ALL CATEGORY
Prabowo Keluarkan Dekrit Kembali ke UUD 45, Mimpi Kali Ye
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan ARUS deras keinginan kembali ke UUD 1945 akibat amandemen atas hampir seluruh isi UUD 1945 seolah menemukan peluang dengan terpilihnya Prabowo sebagai Presiden yang ditetapkan KPU dan didukung Putusan MK. Tidak sedikit tokoh kritis bahkan oposisi yang merapat kepada Prabowo dengan harapan bahwa Prabowo dapat mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Harapan itu tentu berlebihan karena kemenangan Prabowo bersama Gibran hingga kini, bahkan selanjutnya, masih dipermasalahkan keabsahannya. Putusan hukum dinilai tidak berbasis moral dan etika. Produk dari sebuah kecurangan yang masih tertanam dalam sanubari rakyat Indonesia pendukung kejujuran dan keadilan. Sebelum Pilpres muncul suara desakan agar Jokowi menyadari kelemahan UUD hasil beberapa kali amandemen, lalu segera mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 sebagaimana dahulu Soekarno melakukannya. Akan tetapi wacana bahkan desakan tersebut mundur dengan sendirinya berbarengan dengan kekhawatiran bahwa dekrit itu akan menjadi sebab dari perpanjangan masa jabatan Jokowi sebagai Presiden. Ketika usia jabatan Jokowi memendek dan Prabowo akan memulai jabatan curangnya maka mulai berharap Prabowo lah yang akan mengeluarlan dekrit tersebut dengan keyakinan bahwa ia adalah prajurit patriotik. Pertanyaan serius apakah mungkin dan berani Prabowo melakukan itu? Jawabannya adalah mimpi kalee, mengingat tiga hal yaitu : Pertama, Prabowo akan mengenang \"jasa\" Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengukuhkan kemenangan kontroversialnya. Maka dengan menghapus status MK melalui dekrit kembali ke UUD 1945 sama saja ia menghianati \"penolong\" nya. Kedua, dengan berlakunya UUD 1945 maka pemilihan Presiden menjadi harus dilakukan oleh MPR. Konsekuensi logisnya segera diadakan pemilihan ulang. Prabowo tidak mungkin akan menggoyahkan kedudukannya sendiri. Di sisi lain, demi Gibran Jokowi akan \'all out\' menolak. Ketiga, dekrit sama saja dengan menegakkan konstitusi melalui mekanisme inkonstitusional. Dekrit tidak dikenal dalam aturan UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang mengeluarkan dekrit saat \"deadlock\" atas pembahasan soal konstitusi. Atas dasar itu maka aneh jika para tokoh yang semula oposan mencoba merapat kepada Prabowo untuk berharap keluar dekrit. Kembali ke UUD 1945 hanya dapat dilakukan oleh MPR bukan Presiden. Silahkan saja desak MPR agar mau menggunakan kewenangannya untuk mengubah dan menetapkan UUD. Di tengah DPR, MPR dan Presiden yang tidak peduli bahkan menafikan suara rakyat, maka harapan para tokoh itu menjadi tipis untuk terealisasi. Rezim kini sedang menikmati hasil dari perekayasaan aturan. Jalan satu-satunya yaitu dengan desakan rakyat semesta. Desakan rakyat semesta itu adalah \"people power\". Dan sesungguhnya hal ini merupakan suatu keniscayaan dari rakyat yang harus merebut kembali kedaulatannya sendiri. (*)
Politik Genosida Cina Menerkam Indonesia
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih GENOSIDA adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa, atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan (atau membuat punah) bangsa tersebut. Lebenstraum atau secara harafiah \"ruang hidup\" adalah salah satu tujuan politik genosida utama Adolf Hitler, serta sebuah komponen penting dalam ideologi Nazi. Lebensraum berperan sebagai motivasi kebijakan ekspansionis Jerman Nazi yang bertujuan memberikan ruang tambahan untuk pertumbuhan penduduk Jerman. Ini merupakan kebijakan tertulis Nazi untuk memusnahkan, mendeportasi, atau memperbudak penduduk Polandia, Ukraina, Rusia, dan bangsa Slavia lainnya, yang mereka anggap inferior, dan mengisi kembali tanah tersebut dengan orang-orang Jermanik. Dengan rekayasa lain politik genosida Jerman persis diadopsi Cina. Cina terus melebarkan dan memperkuat politik OBOR merupakan proyek konektivitas ambisius Tiongkok melalui pembangunan infrastruktur dan jalur transportasi darat dan laut yang menghubungkan negaranya dengan kawasan Asia, Eropa, dan Afrika. China diketahui memiliki proyek One Belt One Road ( OBOR ) atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI). Yaitu prakarsa Sabuk dan Jalan atau Inisiatif Sabuk dan Jalan adalah politik *lebenstraum* Jerman yang diadopsi oleh pemerintah Tiongkok. Proyek Strategis Nasional ( PSN ) adalah proyek Strategis untuk meminggirkan, mengusir bahkan musnahkan masyarakat pribumi di Indonesia karena dianggap manusia interior di ganti dengan manusia Cina Bermacam macam alasan mendatangkan tenaga kerja Cina dibungkus Tenaga Kerja ahli untuk PSN. Lebih sadis dan gila akan membangun reklamasi pantai sepanjang pulau Jawa untuk hunian penduduk Cina. Jokowi sebagai kepala negara harus bertanggung jawab, sengaja, paham dan mengerti bahwa penduduk Cina yang sudah di lepas keluar dari negaranya tidak akan bisa kembali lagi kenegaraannya. Jumlah penduduk Tiongkok saat ini sebanyak 1.425.247.534 jiwa per Jumat 10 Mei 2024, berdasarkan penjabaran Worldometer dari data terbaru PBB, maka harus dicarikan dan dipindahkan ke negara lain, termasuk di pindah ke Indonesia, melalui proses politik yang di rekayasa kerja sama dengan program PNS di Indonesia. Politik OBOR yang di revisi menjadi BRI di Indonesia untuk memperkokoh politik *Lebensraum*, berarti tanah dan sumber daya alam tersebut harus di ambil Cina dengan mengusir warga pribumi. Sejak presiden Sukarno dan di masa Suharto, sangat hati hati dengan politik ekspansi Cina yang akan memindahkan penduduknya ke Indonesia dan saat itu dikenal dengan bahaya kuning dari utara Di era Jokowi semua jebol, Presiden yang serba minim tentang wawasan Nusantara bahwa negara yang harus dijaga, dilindungi justru diberi karpet merah, silahkan warga Cina masuk ke Indonesia dengan leluasa. Jokowi tidak paham atau membutakan diri bahwa politik *lebenstraum* Jerman diadopsi Cina akan menerkam Indonesia, untuk memindahkan penduduknya ke negara lain termasuk ke Indonesia, ini bencana besar lambat bertindak cepat atau lambat negara Indonesia akan di kuasai Cina. (*)
Jika Israel Terlibat Kasus Jatuhnya Helikopter Presiden Iran, Akan Terjadi Perang Besar
Jakarta | FNN - Pengamat politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, jika hasil penyelidikan kasus jatuhnya helikopter kepresidenan Iran terbukti ada keterlibatan Israel, maka kemungkinan Iran akan melakukan tindakan sangat tegas dan terjadi perang besar-besaran di kawasan Timur Tengah. “Perang besar-besaran akan terjadi, karena Israel kerap melakukan provokasi untuk melibatkan Amerika Serikat agar terlibat dalam konflik bersenjata untuk mendukung Israel. Sebaliknya, Iran kemungkinan akan dapat dukungan penuh dari Rusia, China, dan Korea Utara,” kata Selamat Ginting di Jakarta, Senin (20/5/2024). Ia menanggapi kecelakaan helikopter di kota Tabriz yang menyebabkan gugurnya Presiden Iran Ebrahim Raisi (63 tahun). Helikopter naas itu ditumpangi Presiden Iran bersama beberapa pejabat, termasuk Menteri Luar Negeri Hossein Amir Abdollahian. Tujuan Presiden Iran Raisi menumpangi helikopter itu untuk meresmikan sebuah proyek bendungan Qiz-Walasi di perbatasan Azerbaijan. Insiden terjadi pada Ahad (19/5/2024) waktu setempat. Menurut Selamat Ginting, apabila ada yang selamat dalam kecelakaan helikopter tersebut, sangat mudah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk jika sistem record black box bisa mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi sehingga helikopter kepresidenan Iran jatuh. “Jika helikopter itu ditembak, pasti ada jejak dan bukti-buktinya. Kita tunggu saja hasil penyelidikan militer Iran,” kata Selamat Ginting yang pernah meliput di Istana Presiden Iran pada 2011 saat Mahmud Ahmadinejad memimpin pemerintahan Iran. Dari hasil penyelidikan, kata Ginting, nantinya akan dapat diketahui apakah jatuhnya helikopter tersebut akibat kecelakaan biasa, karena kondisi cuaca yang buruk atau ada sabotase yang diduga melibatkan Israel, Amerika dan negara-negara sekutunya. Mengingat helikopter Bell 212 buatan Amerika Serikat. “Tentu saja ada spekulasi-spekulasi seperti itu yang berkembang di Iran mengingat belum lama ini Iran membalas serangan Israel dengan meluncurkan sekitar 300 rudal dan drone ke wilayah Israel. Serangan balasan Iran dilakukan setelah Israel diduga menyerang Konsulat Iran di Damaskus-Suriah pada awal April 2024 lalu,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Una situ. Selama ini, lanjut Ginting, Iran senantiasa menghindari perang terbuka dengan Israel. Kendati Perdana Menteri Israel Netanyahu kerap memprovokasi terjadinya perang. Tujuannya tidak lain, untuk menarik Amerika Serikat turut serta dalam konflik bersenjata di Timur Tengah. Dikemukakan, Iran lebih memilih untuk bersabar sambil membangun kemampuan militer dan nuklirnya. Sejumlah pihak memperkirakan akan terjadi perang antara Iran dengan Israel pada 2030 yang juga melibatkan milisi Hizbullah, Hamas, dan Houthi yang selama ini berani memberikan perlawanan terhadap tentara Israel. Menurutnya, ada hal yang menarik dari pertemuan Presiden Iran Sayyid Raisi dan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev sebelum pembukaan bendungan Qiz-Walasi. Azerbaijan sebagai negara mayoritas Syiah dan merupakan negara tetangga Iran. Namun, Azerbaijan dikenal sebagai sekutu terdekat pemerintahan Zionis Israel. Azerbaijan merupakan pemasok minyak utama untuk Zionis Israel melalui pintu masuk dari Turki. “Jadi kerjasama antara Iran dengan Azerbaijan antara lain sebagai bentuk diplomasi Iran agar Azerbaijan sebagai sesama penganut mayoritas Syiah memiliki hubungan bertetangga yang lebih bersahabat,” pungkas Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik dan militer. (*)
Partai Gelora Tolak Usulan Politik Uang Dilegalkan dalam Pemilu
Jakarta | FNN - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah menilai usulan agar politik uang (money politic) dilegalkan dalam pemilihan umum (Pemilu), sebagai tanda bahwa partai politik telah kehilangan akal untuk mengatasi kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pemilu. \"Pengakuan partai terbesar dari Komisi II DPR RI bahwa money politic telah menjadi budaya dalam pemilu kita, artinya partai politik telah kehilangan akal dalam mengatasi kecurangan,\" sebut Fahri dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/5/2024) merespon usulan seorang politisi PDI Perjuangan yang duduk di Komisi II DPR RI. Menurut Fahri, dengan adanya usulan dan pengakuan mengenai politik uang tersebut, maka semakin jelas bahwa selama ini, ada pihak yang teriak-teriak curang padahal dirinya sebagai pelaku kecurangan. \"Sekarang kita mengerti tentang maling teriak maling. Seolah pilpres yang curang padahal pileg-lah yang curang,\" ujar Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 tersebut. Diingatkan Fahri, partai politik semestinya menjadi think tank atau lembaga pemikir dan intelektual yang berkontribusi pada bangsa, bukan mesin kekuasaan maupun lembaga bisnis. Sebab menurut dia, kerusakan sebuah negara demokrasi, bisa dilihat setidaknya dari tingkah laku parpolnya, apalagi yang masuk dalam lingkaran kekuasaan. \"Untuk itu, mendesak segera dilakukan pembenahan agar parpol dan sistem demokrasinya sehat,\" kata politisi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut seraya berharap parpol dapat berbenah, mengingat mereka adalah tulang punggung demokrasi. Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Hugua meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk melegalkan politik uang dalam kontestasi pemilu. Dia menilai, politik uang adalah satu aktivitas yang sulit dihilangkan. Menurut Hugua, para caleg juga sulit terpilih jika tanpa melakukan politik uang. Sehingga, dia menilai politik uang lebih baik dilegalkan dan dimasukkan dalam Peraturan KPU (PKPU) dengan batasan-batasan tertentu, sehingga bisa membuat aktivitas politik uang bisa lebih dikontrol. \"Tidakkah kita pikir money politics dilegalkan saja di PKPU dengan batasan tertentu?. Karena money politic ini keniscayaan, kita juga tidak money politic tidak ada yang memilih, tidak ada pilih di masyarakat karena atmosfernya beda,\" kata Hugua saat rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024) lalu. (*)
Jusuf Rizal Gagas Pembentukan Pengawas Dewan Pers
Jakarta, FNN | Sejumlah jurnalis dan tokoh masyarakat, dipelopori HM Jusuf Rizal, membentuk lembaga yang bakal menjadi pengawas Dewan Pers. Lembaga baru ini menyandang nama Indonesian Journalist Watch atau IJW. Dasar pembentukan lembaga ini adalah amanat UU Pers 40 Tahun 1999, Pasal 17 sebagai lembaga pengawasan pers di Indonesia. \"Dewan Pers saat ini sangat perkasa, menjadi satu-satunya lembaga yang mengatur masa depan pers di Indonesia tanpa kontrol,\" ujar Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) tersebut, dalam siaran persnya hari ini. Menurut Jusuf Rizal, dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 pada Bab VII Pasal 17 telah diatur peran serta masyarakat untuk turut serta dan dapat melakukan kegiatan guna mengembangkan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. “IJW hadir mengisi kekosongan karena minimnya lembaga pengawasan pers. Sementara pers saat ini akibat revolusi industri, tumbuh seperti jamur di musim hujan. Sedang Dewan Pers stagnan jadi organisasi stempel atas nama menjalankan UU,” tegas Jusuf Rizal yang saat ini juga menjabat sebagai Ketum Perkumpulan Wartawan Media Online Indonesia (PWMOI). Menurut penilaian Jusuf Rizal, Dewan Pers saat ini terkooptasi hanya mengurus organisasi wartawan yang menjadi anggotanya. Sementara dalam UU Pers Pasal 15 Ayat 4 telah diatur secara rinci fungus-fungsi Dewan Pers. Seharusnya Dewan Pers hadir untuk semua, tanpa ada pengkotak-kotakan. Dewan Pers sudah seperti menara gading dengan banyak masalah namun minim pembelaan terhadap pers. Dikatakan peran serta masyarakat dalam pengawasan secara rinci itu, diatur pada Pasal 17 dapat berupa : a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. “Untuk itu, IJW akan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan etika, moral, hukum maupun perundang-undangan. Misalnya, kami turut mengkritisi Dewan Pers dalam kasus Sambo, di mana diduga ada upaya membungkam pers bicara fakta,” tegasnya. Saat ini, kata Jusuf, banyak terjadi diskriminasi kepada pers dan wartawan. Dewan Pers hanya fokus pada media-media besar yang dibesarkan zaman Orde Baru. Pers kecil, khususnya, media online yang tumbuh ribuan keleleran, terpinggirkan dan bahkan cenderung mau dibunuh lewat kebijakan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) dan Sertifikasi perusahaan media. Media dan wartawan yang belum memenuhi syarat tergabung di Dewan Pers sudah seperti penjahat. Dilarang meliput di instansi pemerintah. Dilarang menerima kue iklan. Itu karena Dewan Pers berlindung atas nama Pasal 15 ayat 4 poin. \"Dewan Pers sudah seperti kartel dengan kroninya. Padahal belum tentu wartawan yang belum UKW dan medianya tidak terverifikasi di Dewan Pers, kualitasnya lebih bagus dari wartawan yang sudah UKW dengan etika dan moral yang baik ” tegasnya. Sementara, ketika anggotanya, organisasi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), tersandung masalah dugaan korupsi dan penggelapan uang Rp2,9 milyar dari dana bantuan Kementerian BUMN hanya diam seribu bahasa. Padahal ini menyangkut etika, moral dan hukum. Dewan Pers hanya membela kelompok kepentingan, tidak berdiri dan hadir untuk seluruh insan pers. “IJW akan terus mengkritisi kebijakan Dewan Pers, Pers maupun wartawan dalam industri pers. Karena tanpa ada pengawasan, misalnya masalah bantuan-bantuan pemerintah dan perusahaan ke organisasi pers di Pusat dan Daerah, diduga tidak dikelola secara transparan dan akuntable. Rawan dikorupsi hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan,\" tegas Jusuf Rizal.
Salim Said dan Islam (1)
Oleh Fathorrahman Fadli I Wartawan Senior FNN Siapa bilang Salim Said itu tidak punya konsern pada Islam, Umat Islam dan pemikiran Islam. Menurut saya yang terlibat diskusi 10 tahunan bersama beliau di Institut Peradaban yang didirikannya bersama Bang Jimly Assiddiqie atau belakangan saya tulis dengan Prof.JA itu tidak benar. Salim ternyata memiliki konsern yang mendalam tentang Islam. Terutama, Islam dalam kaitannya dengan peran dan artikulasinya dalam negara. Sebab Salim Said memang bukan seorang pendakwah yang ceramahnya berceceran dimana-mana, namun tidak menyentuh akar persoalan umat yang menyedihkan; kebodohan, kemiskinan, dan keterpinggiran secara politik. Saya sebagai muridnya, yang dengan cermat mengikuti perkembangan dan dinamika pemikirannya tentang banyak hal mulai politik, budaya, film, Islam yang dibawa Muhammad, soal orang Arab yang belum menyatu dengan Indonesia, dan aneka lelucon diseputar Kenakalan Bung Karno sebagai Play Boy Cap Kopi. Kata-kata belakangan itu hanya sebagai penyegar kami saat diskusi yang berat-berat bersama Ichan (Muhammad Ichsan Loulembah). Kami bertiga kadang terlibat diskusi yang sangat sensitif tentang Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Rasulullah. Tentu saja jika didengar orang awam akan melahirkan kemarahan yang besar. Kami bertiga, Salim, Ichan dan saya memang berjenis kelamin sama, laki-laki berlatar belakang jurnalis, meski berbeda rasa. Salim terbiasa melakukan kerja-kerja jurnalistik dengan melakukan serentetan interview mendalam atas informasi-informasi yang bertalian satu sama yang lain. Kerja Salim ini lebih dekat pada kerja-kerja seorang intelijen profesional yang merangkai satu kegiatan atau peristiwa satu dengan yang lain. Untuk kemudian ia memberi makna secara presisi sebagai kesimpulan. Dalam konteks itu, kepada Ichan Loulembah ia bilang, Chan, Oong ini termasuk orang yang ahli kontra intelijen. Saya sendiri hanya nyengir, dan mengabaikan apa yang meluncur dari mulutnya yang tajam itu. Saat itu Ichan tertawa sambil memejamkan matanya. Sementara Ichan, juga seorang jurnalis yang lebih dekat dengan kegiatan keradioan. Ichan jago sekali kalau bicara radio dan urusan penyiaran publik. Oleh karena itu ia sering membuat kegiatan jurnalistik berbasis radio atau kalau saya sederhanakan mik atau microphone. Ichan jangan dikasih miks, sebab kalau miks sudah ditangannya bisa lama..hahhaha. Ia mirip atau paling tidak menyerupai Larry King di Amerika. Saya pribadi menyebut Ichan, Larry King Indonesia atau Mister Mic. Sementara saya jurnalis kantor berita LKBN Antara yang terbiasa menulis cepat atas peristiwa untuk segera dikonsumsi oleh publik secara luas. Namun sebagai jurnalis kami berwatak sama, keras, independen, .dan risih menjadi anak buah siapapun. Sebab menjadi anak buah itu menyebabkan kita tidak bisa berfikir bebas merdeka. Terkungkung oleh kepentingan jangka pendek, apalagi pikiran jurnalis itu jangka panjang; mengabdi pada kebenaran dan keadilan agar tercipta kebajikan, kemaslahatan publik secara luas. Oleh karena itu, soal rejeki, kami rasakan cukup dengan apa adanya. Kami bertiga merasa cocok dalam berdiskusi dan berdebat, terutama ketika kebetulan saya, Ichan dan Salim datang lebih awal dari teman-teman anggota diskusi yang lain. Sering sekali Salim bertanya, \"Mana Zaki, Ong.\" \"Oh...dia lagi ke Penang, Prof, ketemu pembimbing, katanya.\"Zaki adalah sahabat saya, dosen UIN dan aktivis PMII. Zaki Mubarak adalah anggota diskusi Institut Peradaban yang sangat aktif dan lebih awal beberapa bulan dari saya. Ia dibawa oleh Profesor Bahtiar Efendi bergabung ke Institut Peradaban. Bersamaan dengan Zaki, ada juga Alfan Alfian, penulis dandosen tang sangat produktif. Namun belakangan, Alfan jarang datang karena di Hari Rabu memiliki kegiatan lain yang lebih menghasilkan. Sedangkan saya, Zaki, dan Ichan tetap istiqomah mengikuti diskusi-diskusi seru di lembaga yang selalu di datangi tokoh-tokoh penting di tanah air kita. Suatu ketika, kami kedatangan Hamid Basyaib, wartawan senior, penulis, dan penterjemah buku. Kami diskusi ngalor ngidul. Ia melihat-lihat suasana ruang diskusi yang tidak nampak pada dinding-dinding kemewahan selain buku-buku. Ia dengan gayanya yang khas meledek saya dan Ichan. \"Adduh....aku heran sama Ichan dan Oong ini....kalian cari apa disini sih....heran gua. Duit kagak ada, cuma dengerin orang-orang tua bernostalgia,\" cibirnya. Ichan dan saya hanya tertawa lebar dan menganggap ocehan Hamid itu sekadar candaan tak penting belaka. Sejenak kemudian mata Ichan melirik saya, seraya berkata, \"Hamid itu tidak tahu Ong, bahwa kita ini sedang menemani seorang tokoh besar, Salim itu tokoh besar Ong, Hamid itu tak paham,\" kata Ichan meyakinkan saya. Salim dan Islam Kembali pada anggapan banyak pihak bahwa Salim Said tidak banyak perhatiannya pada Islam itu adalah sesuatu yang keliru. Salim seringkali mengeluhkan kondisi dan keadaan Umat Islam di Indonesia ini. Miskin, bodoh, mudah diadu domba, gampang diprovokasi, dan peradabannya masih rendah. Menurut Salim Said, peradaban yang masih rendah itu disebabkan karena rendahnya taraf pendidikan dan taraf ekonomi umat. Pada taraf kehidupan yang seperti itu tidak mungkin mereka disuruh untuk berdemokrasi. Mereka akan mudah dimobilisir dengan kekuatan uang dikarenakan mereka butuh uang. Ideologi Islam yang mereka yakini sebagai jalan hidup itu dengan mudah di interupsi oleh kebutuhan yang nyata sehari-hari. Melihat kondisi itu Salim Said tentu sangat sedih. Dan kesedihan itu selalu menggelayut dalam pikirab untuk memproduksi ide-ide yang progresif dalam politik. Sebab dalam keyakinan Salim Said, yang dapat mengubah keadaan buruk menjadi baik secara dramatis---- hanya efektif ditempuh dengan politik kekuasaan. Dengan kekuasaan kita dapat mengubah keadaan hanya dengan secarik kertas. ***
IKN, Vini Vidi Mati?
Oleh Luthfi Pattimura I Wartawan Senior FNN TADI pagi saya melihat kembali bahan desain gambar ilustrasi dan perancangan Ibu Kota Nusantara (IKN), dari Bang Endra Saleh Atmawidjaja, Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).Bahan-bahan tersebut untuk penyusunan sebuah buku yang saat ini sedang kami tulis berdua, berjudul, Mercusuar Nusantara, Ibukota Negara Visi Kota Dunia Untuk Semua. Sampai pada warisan sosial Jakarta, pada penjelasan ekologis Jakarta dan sekitarnya sebagai bagian dari isi buku tersebut, nah, bagian itu saya sisihkan di sini untuk berbagi. Berbagi di sini mungkin karena alasan saya sederhana; Memprediksi jalannya masa depan, berarti membuka sebuah portal untuk melihat hubungan antara manusia dan lingkungan tempat tinggal. Di hadapan keanekaragaman pandangan tentang pemindahan ibukota negara —sahabat arifin arifat semua yang membaca tulisan ini— yang kita butuhkan di sini adalah memilih; Bukan kenapa ada semacam puncak gunung es dari gagal fokus terhadap koloni urban di ibukota negara sebagai pusat dari segala macam aktivitas kita. Melainkan, bagaimana melihat persoalan lingkungan bagi warga masyarakat Jakarta dan sekitarnya, ketika lapisan makna aktivitas dan lingkungannya, pantul memantul dengan ruang untuk tumbuh kembang. Di sini, gagasan pemindahan ibukota negara, masuk.Pada 17 Juli 1957, Presiden Soekarno menggagas pemindahan ibukota negara dari Jakarta, ketika berada di Palangka Raya untuk meresmikan kota tersebut sebagai Ibukota Kalimantan tengah. Melamar gagasan tersebut, Presiden Soeharto pada tahun 1997 mengeluarkan Keppres Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri. Awalnya, dimaksudkan untuk Pusat Pemerintahan.Pada tahun 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali melirik gagasan pemindahan ibukota negara. Saat itu SBY menyodorkan skenario pemindahan pusat pemerintahan keluar dari Jakarta, dengan tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota. Membuka penangguhan makna gagasan pindah ibukota negara, Presiden Joko Widodo akhirnya memohon izin di hadapan anggota DPR RI pada 2019, untuk memindahkan ibukota negara (IKN), ke pulau Kalimantan. Memperdiksi jalannya masa depan, ini beda tipis dengan AS yang menukar New York City dengan Washington, D.C. Australia menukar Melbourne dengan Canberra. Brazil menukar Rio De Janeiro dengan Brasilia. Pakistan menukar Karachi dengan Islamabad. Turki menukar Istanbul dengan Ankara. Di antara sekian jenis peristiwa yang menjadi alasan negara-negara tersebut untuk berhijrah, kemacetan dan kepadatan penduduk, lebih merupakan peristiwa sosial yang bekerja di belakang Malaysia dan Kazakhstan. Sedangkan kecanduan terhadap keberlanjutan dan modernisasi, Australia dan Brazil bisa menjadi contoh; Australia berfokus pada keserasian lansekap, topografi, dan keindahan kota. Brazil berfokus pada penerapan politik pembangunan ke terciptanya pengembangan ekonomi, dengan membangun interkonektivitas antar wilayah. Bukan berarti Indonesia memang tetap berniat untuk mempertahankan Jakarta sebagai Ibukota NKRI. Dengan membandingkan negara-negara yang memindahkan ibukotanya, justru karena kemajuan dan kesejahteraan berada di lingkungan yang sehat dan harmonis, bukan oleh kesemrawutan dan kekumuhan sosial. Silahkan buka buku laporan atau artikel mana pun; Kita sangat dimungkinkan untuk menjumpai catatan-catatan mengerikan mengenai banjir, kepadatan penduduk, kekumuhan, kemacetan, polusi udara, oleh peristiwa alam dan sosial. Kazakhstan memindahkan ibukotanya dari Almaty ke Astana, bukan ketika 1.120 juta warga Almaty pada 1997 gaya-gayaan mengikuti cara Turki atau Pakistan, melainkan ketika kemacetan dan kepadatan penduduknya yang bikin sesak. Malaysia juga begitu, memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya karena kemacetan dan kepadatan penduduk. Persitiwa sosial ini yang sedang kita hadapi.Seorang sopir angkot mungkin bisa ceroboh ketika roda angkotnya bergerak di atas aspal. Tetapi, kita jangan ceroboh di atas garis pengalaman dalam memprediksi jalannya masa depan. Sebagaimana terjadi di Kazakhstan pada 1997, atau di Malaysia pada tahun 1999, ibukota negara dan pusat pemerintahan dipindahkan oleh mereka yang asetnya hanyalah belajar dari kemampuan memecahkan warisan sosial yang bagus.Melongo karena keheranan dengan Jakarta dan tata ruang, sempat, pakar ekonomi dan lingkungan Emil Salim angkat suara, bahwa penataan ruang DKI Jakarta sebaiknya dipusatkan sebagai Ibu Kota Negara, dan fungsi lainnya seperti pelabuhan, industri dan perdagangan diserahkan keluar dari DKI Jakarta. Sebelum perang, kata Herlianto dalam dalam bukunya Urbanisasi dan Pembangunan Kota, Jakarta hanya direncanakan untuk menampung 600 ribu penduduk. Tapi dalam kurun waktu 10 tahun, terjadi kenaikan penduduk kota Jakarta lebih dari 50 persen. Karena makin hari kian bertambah penduduk, maka laju pertumbuhan penduduk 50 persen itu sudah tidak lagi untuk setiap sepuluh tahun, tetapi setiap tahun. Sampai di sini kita teringat, cerita pada Juni 1998; Xia Qing-Quan, Direktur Pusat Penelitian Kartun Berita Cina, melibatkan karyanya berjudul, City Libyrinth dalam pameran kartun yang digelar di Pasar Seni Ancol Jakarta pada waktu itu. Dalam karyanya tersebut dia menggambarkan; Seorang pemuda pergi meninggalkan kekasihnya sebentar menunggu di suatu tempat. Untuk urusan apa pemuda itu pergi, tak perlu dijelaskan karena, pangkal ceritanya adalah permasalahan tata ruang kota; Ketika si pemuda kembali untuk menemui kekasihnya, sang pemuda justru tersesat karena jalanan yang dia lewati ternyata semakin ruwet. Makanya, pada tahun 1970-an, jika disebut ‘Jakarta’ muncul di benak orang, lambang paling tajam sebuah kota urban. Tetapi, muncul di benak orang, Monas, dan ancaman-ancaman ganda seperti ‘Bronx’ dan kesemrawutan, jika disebut ‘Jakarta dan sekitarnya’ pada tahun 2000-an. Tempo hari, ketika menulis tajuk rencana 13 November 1990, Harian Pelita menyoroti fenomena vandalisme remaja di kota-kota besar dan dikaitkan dengan standar ruang publik. Bahwa, kota-kota besar di Indonesia sebenarnya belum dirancang secara humanis dalam arti memberi space kepada naluri warga kotanya untuk mengekspresikan tindakan-tindakan manusiawi mereka, untuk bisa saling santai dan bercanda, untuk bisa saling mengenal dan lebih memahami satu sama lain. Saat melihat ruang publik dengan kaca mata kebijakan, dan melihat kebijakan dengan kaca mata kehidupan, tokoh transformasional leadership, Hasnan Habib pernah angkat suara, “Manusia bisa melakukan suatu tindakan sangat keras, jika lingkungan di sekitarnya juga memberikan kekecewaan yang besar.”Sadar akan begitu banyaknya permasalahan yang pembalikkan kekhususan Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Jokowi, pun mengumpulkan seluruh camat, lurah, dan wali kota se-DKI Jakarta, untuk peduli dengan tempat yang menghancurkan warisan sosial. Pada 20 November 2012, di Balaikota DKI Jakarta, semua yang hadir terdiam. Mereka harus mengerti emosi sebuah cerita dalam slide tentang Jakarta yang kotor dan kumuh. Pada saat itu, Jokowi berironi; Jakarta jangan menjadi kota tak terurus, rawan kejahatan layaknya ‘Bronx,’ di Amerika Serikat. Sebagian pembaca mungkin tahu bagaimana rasanya saat tinggal di kota yang aman. Namun, bagaimana rasanya kalau Anda tinggal di daerah Pluit, Jakarta Utara, dan tak punya gambaran kapan Jakarta akan tenggelam karena daratan tempat perumahan warga di sana berada 1,7 m di bawah air.Perasaan yang membawa kita ke Presiden AS, Joe Biden yang pernah mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan dunia. Di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, 27 Juli 2021, Biden menyatakan, “Apa yang terjadi di Indonesia jika perkiraannya benar bahwa dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan Ibukotanya karena akan tenggelam.” Dalam motif ini, kebutuhan berhijrah dari lingkungan yang mengancam kesinambungan hidup warga ibukota, membawa konsekuensi dalam bagaimana alternatif solusi meringankan ketakutan dari degradasi kualitas lingkungan, diangkat dan diisolasi.Kalau definisi pindah dirumuskan sebagai menempatkan ke tempat lain. Jatuhnya; Mengapa harus terjadi pemindahan, apa saja yang dibawa, bagaimana, kapan persisnya, dan seterusnya. Tanpa lonceng bahaya ekologis dan warisan sosial, maka pengesahan UU No. 3 Tahun 2022, yang revisinya disahkan pada 3 Oktober 2023, adalah mustahil. Ibarat sebuah buku, halaman-halaman lingkungan Jakarta dan sekitarnya membawa kita pada satu tur singkat, dan melihat dengan jelas warisan sosial dan ancaman-ancaman ganda dari lingkungan Jakarta. Pada saat tulisan ini Anda baca, Jakarta berada di dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut. Sedangkan Kaltim, berada di ketinggian berkisar antara 0-1500 meter di atas permukaan laut.Terlepas dari yang konstan dalam sejarah perjalanan bangsa mana pun di dunia adalah segalanya berubah; Namun pemindahan ibukota negara saya lihat sebagai sebuah portal untuk melihat pelipatgandaan harapan terhadap jalannya masa depan, bagi rahmatan li’l Indonesia, lewat pemindahan ibukota negara. Saya, kami, Anda, mereka, kita semua yang vini, vidi, dalam hubungan antara manusia dan lingkungan tempat tinggal—untuk vici—bukan untuk mati, muara berbagi ini.
Salim Said dan Tafsir Sosial Islam
Oleh Fathorrahman Fadli I Wartawan Senior FNN Saya tidak tahu pasti apakah proyek penulisan buku, \"Tafsir Sosial Islam\" itu sudah sampai dimana. Setahu saya, Prof. Palim sempat membicarakan buku itu kepada saya, Ichan Loulembah, dan Zaki Mubarak. Namun yang sering diminta tolong untuk mencari literatur terkait proyek buku itu adalah Zaki Mubarak. Kami bertiga seringkali malu hati, ketika melihat Prof. Salim tetap bersemangat dalam membaca, berdiskusi, dan menulis buku atau sekadar memberikan ceramah pada ratusan acara, talkshow, atau yang sejenisnya. Bagi kami, jika saja buku itu sudah rampung, tentulah akan sangat berharga sekali dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan sosial politik bangsa kita. Terutama dalam melihat bagaimana nilai-nilai Islam yang datang ke negeri ini, lalu berproses menjadi laku dan adat keseharian masyarakat kita. Buku itu tentulah akan mengulas pula bagaimana Islam dipandang dari Ilmu Sosiologi, sejarah, politik dan kebudayaan bangsa kita sekaligus. Sayangnya, buku tersebut belum ada kabarnya hingga ajalnya tiba. Semoga beliau mendapatkan maqomam mahmuda. Sebagaimana kita maklumi, selama dua atau tiga tahun terakhir ini Profesor Salim Said sering keluar masuk rumah sakit untuk menjaga kesehatannya yang kian rapuh. Hingga terdengar kabar bahwa kondisi kesehatannya berada dalam posisi tidak dapat dijenguk para kerabatnya. Beberapa hari dari kabar itu, Ustad Agus Abubakar, selalu monetor dan memberi kabar perihal kondisi mutakhir beliau. Kabar paling mutakhir saya melihat postingan video dari Profesor JA. Video itu setahu saya hanya menyebar di WAG Institut Peradaban tempat kami berdiskusi hal-hal yang strategis dalam dinamika politik bangsa dan negara. Saya terbilang baru 10 tahunan ikut menjadi member yang aktif berdiskusi di Institut Peradaban. Atas jasa Pak Sukojo, Sekretaris utama Profesor Salim Said, akhirnya saya menceburkan diri hingga diminta menjadi pengurus Yayasan yang pendirinya para tokoh nasional papan atas. Tentu saja, itu pengalaman yang sangat berharga sekali sebagai bagian integral mengasah wawasan saya selaku pembelajar. Tiap Rabu siang hingga menjelang magrib, bahkan hingga jarum jam menyentuh angka 8 malam, masih saja kami berdiskusi. Belakangan seiring usia kami menua dan kesehatan Prof. Salim mulai menurun, diskusi baru berakhir pukul lima sore atau menjelang adzan maghrib tiba. Bagi kami Salim Said adalah guru yang sangat baik. Jika beliau menjelaskan sesuatu, sangatlah jelas pesannya, enak didengar, dan punya perspektif yang kuat karena ilmu yang dimilikinya. Gaya bicara menarik dan memukau. Bahasanya mudah dicerna oleh setiap orang. Namun isinya selalu menantang untuk didengar. Saya biasanya menjadi murid yang paling rajin bertanya. \"Tanya Prof,\" pinta saya. \"Ok, Ong, Anda mau tanya apa,\" jawabnya bersemangat. Salim Said adalah orang yang paling bahagia jika ada orang yang mengajukan pertanyaan padanya. Ia merasa bahagia pula jika ia berhasil menjawabnya dengan atletis, dan membuat sang penanya mengangguk-angguk pertanda paham. Salim Said termasuk satu-satunya pembicara yang sangat Talkative. Ia pembicara yang sangat laris terutama mengenai keahliannya dibidang Sejarah Politik Militer Indonesia. Dalam setiap kesempatan diskusi Reboan (Hari Rabu) itu, Salim selalu menyebut keahliannya itu agar pesertanya paham. \"Saya ini adalah profesor politik yang membaca politik dari sosiologi dan sejarah, ini posisi saya sebagai ilmuan politik, semoga anda paham,\" serunya. Dalam diskusi inilah, pokok-pikiran dan kepedulian Salim atas dinamika perjalanan bangsa dan negara ini keluar semua. Saya termasuk beruntung dapat mendengar, menyimak, mengkaji, mendebat nyaris seluruh ide-ide progresif Salim Said itu hingga ajalnya menjemput. Ide-ide progresif Salim Said menyangkut banyak hal. Mulai pentingnya masa jabatan politik preside n hanya satu periode (7 tahun), tata kelola negara yang akuntabel, perbaikan partai politik, sirkulasi elit, oligarki, pendanaan partai politik, penjernihan kasus Gerakan 30 September PKI, bangsa yamgbtidak ada yang ditakuti, Tuhan pun tidak ditaluti dan lainnya. Salim Said yang belakangan menulis dirinya sebagai Salim Haji Said itu memang sosok yang langka. Ia memiliki pengetahuan yang sangat luas; politik, sejarah, militer, film, jurnalistik, sastra, hingga wawasan Islam modernis. Jika berbicara ia sangat bermutu nan mempesona. Ia juga seorang pembicara yang sangat profesional. Suatu ketika saya diminta Bang Lukman Hakiem, senior HMI dan penulis buku para tokoh Islam untuk meyakinkan Salim Said agar bersedia menjadi narasumber diskusi soal Pemimpin Masyumi M. Natsir. \"Sebagai pembicara, saya harus memberikan sesuatu yang baru, bukan yang sudah banyak diketahui orang, sebab dengan itu saya kemudian dibayar. Pak Lukman atau Pak Laode yang lebih paham soal Natsir, anda minta mereka sajalah,\" katanya menolak. Tafsir Sosial Islam Ketika berbicara Islam dan Umat Islam Indonesia, Salim Said kerapkali gelisah. Mukanya yang kereng, perlahan melunak. \"Bangsa ini mayoritas muslim, namun kelas peradabannya masih sangat menyedihkan sekali,\" cetusnya suatu ketika. Kemudian ia melanjutkan, masih dibutuhkan upaya yang sangat besar dan sungguh-sungguh untuk menjangkau peradaban yang lebih tinggi. Tentu saja, untuk itu semua kita harus membereskan dulu kondisi umat Islam sebagai mayoritas dalam bangsa ini. Salim mengingatkan kita semua seluruh warga negara agar tidak mudah melakukan tindakan-tindakan yang naif. Sebab dimata Salim, bangsa kita itu merupakan \"The Fragmented Society: bangsa yang sangat mudah terpecah-belah. Mengapa demikian? Secara alamiah, Indonesia mendapat anugerah Tuhan yang sangat melimpah. Alamnya sangat kaya raya dan sangat indah. Memiliki bahasa dan adat istiadat yang sangat beragam. Banyaknya varian suku bangsa dan bahasanya. Wajarlah jika Indonesia tidak saja menjadi wilayah buruan warga asing, namun menjadi pusat riset para peneliti sosial kelas dunia. Banyak sekali ilmuan dunia yang menjadikan Indonesia sebagai sumber utama dalan riset-riset mereka. Bahkan ratusan, mungkin ribuan sarjana dari kampus-kampus di negara-negara maju mulai kampus di Belanda, Jepang, Jerman, Inggris, Amerika, Australia, Singapore, hingga Malaysia berhasil meraih doktor (S3) berkat melakukan risetnya di Indonesia. Semua karunia itu, menurut Salim Said harus dikelola secarà baik. Jika tidak, maka bangsa itu akan mengalami bahaya dan malapetaka yang besar. \"Saya ingatkan kepada Anda semua yang berdiskusi disini, Jika cara elit politik masih seperti sekarang dalam mengelola negeri ini, terus terang saya tidak yakin dalam 100 tahun Indonesia ini akan eksis sebagai negara,\" keluhnya dengan nada sedih. \"Saya bicara begini karena saya cinta pada Indonesia, sebab Indonesia itu baru sebuah cita-cita belum, kira sebagai bangsa masih dalam taraf on going process,\" jelasnya. Pandangan Salim Said ini bersisian dengan pandangan politik Deliar Noer. Menurut Deliar, Indonesia sebagai bangsa potensial pecah menjadi 8 negara baru. Gejala pecahnya negara Indonesia itu setidaknya karena gerakan sentrifugal politik yang mengarah hanya untuk kepentingan elit. Elit politik hanya mementingkan dirinya sendiri dan abai pada kepentingan strategis seluruh bangsa. Masa depan bangsa akan tertukar dan terkubur oleh ambisi pendek para elit politiknya. Dalam konteks masalah elit politik nasional kita yang amburadul itulah Salim mengusulkan soal pentingnya mendorong elit sadar diri dan kembali pada kepentingan seluruh rakyat. Gejala pecahnya negara Indonesia itu setidaknya karena gerakan sentrifugal politik yang mengarah hanya untuk kepentingan elit. Elit politik hanya mementingkan dirinya sendiri dan abai pada kepentingan strategis seluruh bangsa. Masa depan bangsa akan tertukar dan terkubur oleh ambisi pendek para elit politiknya. Masalah elit politik nasional kita yang amburadul itulah Salim mengusulkan soal pentingnya mendorong elit sadar diri dan kembali pada kepentingan seluruh rakyat. Kerisauan Salim itu selalu disampaikan dalam setiap akhir diskusi, setiap Rabu, kepada murid-murid utamanya, Muhammad Ichsan Loulembah (Ichan), Zaki Mubarak, Zulfikar, Muhammad Chalid, Tito, Agus Abubakar, Agus Surya, Fathorrahman Fadli, Faizal, Tarli Nugroho dan orang-orang muda yang sempat aktif di Institut Peradaban.
Doa Proposal
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BEREDAR di medsos potongan tayangan do\'a Ketua Fraksi PAN di DPR Saleh Partaonan Daulay yang menggegerkan \"dunia\". Soalnya pada do\'a di acara Rakornas Pilkada PAN 9 Mei 2024 yang dihadiri Prabowo Subianto itu terdapat narasi permohonan untuk mendapat kursi Menteri yang lebih banyak. Terlihat ada peserta yang tersenyum. Konon Prabowo atas do\'a unik, menukik dan gimik itu berujar \"masuk itu barang\". Do\'a \"jilatan\" yang hampir full teruntuk dan terkait Prabowo Subianto itu antara lain : \"Ya Allah kami meyakini bahwa bapak Prabowo Subianto sudah merencanakan akan memberikan beberapa posisi kepada kader-kader terbaik Partai Amanat Nasional pada kabinet mendatang. Sebagai insan yang beriman tentu hal itu sangat kami syukuri. Namun demikian tentu kami akan lebih berterimakasih dan bersyukur lagi andaikata amanah yang diberikan kepada kami bisa lebih banyak dari yang kami perkirakan selama ini\". Sebagai do\'a, tentu minta apa saja kepada Allah boleh-boleh saja. Tapi do\'a seperti di atas membuat sebagian umat Islam risi, malu dan mengurut dada. Do\'a minta kursi di depan orang yang diperkirakan akan memberi kursi menimbulkan pertanyaan ini do\'a kepada Allah atau kepada Prabowo ? Seperti main bilyar sodok sana untuk masuk ke lubang ini. Ya Allah atau Ya Prabowo ? Pantas jika dijawab oleh Prabowo \"masuk tuh barang\". Memang do\'a yang itu untuk barang-barang. Di tengah politik transaksional, do\'a pun bisa masuk kategori transaksi. Jualan kesetiaan termasuk setia pada kecurangan dan keculasan. Memang negeri ini semakin parah saja, sudah hukum steril dari moral dan etika, suara bisa dibeli dengan harga murah, kini do\'a pun bertukar dengan kesetiaan. Sangat pragmatis sekali. Teriak amanah untuk praktek khianah, adil untuk jabatan secuil. Komentar beragam ada yang menyebut itu do\'\'a rakus, do\'a memalukan, do\'a mengemis, do\'a tergila dan tentu juga do\'a proposal. Maknanya do\'a ini merupakan proposal kepada Prabowo agar menambah jatah Menteri. Adakah Menteri Makan Siang Gratis (MSG) akan diminta oleh PAN yang kebetulan Ketumnya Mendag ? Memang konyol. Mengurus negara seperti sekedar menikmati suara burung cucak rawa. Ironinya do\'a Saleh itu diawali dengan \"ta\'udz\" yakni berlindung dari godaan syetan yang terkutuk, namun narasi do\'a ternyata berisi suara setan yang mengganggu dengan kursi dan kursi. Kursi yang membuat para pejabat termasuk Menteri sering terlibat korupsi. Demi mengisi kantong pribadi dan pundi-pundi partainya sendiri. Nabi mengingatkan bahwa mereka yang meminta-minta jabatan dengan sangat, maka saat jabatan itu didapat, Allah SWT akan beratkan bebannya. Lalu jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan (hizyun wa nadamah) di hari kiamat. Berdo\'a mengangkat tangan dengan wajah tertunduk penuh kepalsuan, menipu dan merampok kedaulatan rakyat. Hilang rasa malu akibat terkubur oleh ambisi perebutan kursi-kursi duniawi. Lupa bahwa mereka akan mati esok hari. Dan kemudian terbangun dalam keadaan buta nanti. Do\'a proposal dunia disinggung dalam Al Qur\'an sebagai hal buruk dan menjadi karakter kaum jahiliyah. Di akherat ia tidak akan mendapat apa-apa. \"faminan naasi man yaquulu robanaa atinaa fid dunya\" (diantara manusia ada yang berdo\'a ya robbana berilah kami kesuksesan dunia) \"wa maa lahu fil akhiroti min kholaaq\" (dan kehidupan akherat tidak dapat apa-apa)--QS Al Baqarah 200. Sebenarnya Saleh Daulay tidak perlu berdoa kepada Allah, minta saja langsung kepada Prabowo \"pak, minta tambah kursi Menteri\". Atau jika teks do\'a itu diketahui pak Ketum yang duduk di sebelah Prabowo, tinggal berbisik saja \"pak, minta tambah kursi Menteri\". Masalah kini adalah publik membaca bahwa do\'a telah dijadikan alat atau berfungsi sebagai project proposal. Proposal Daulay. Dan Ini merupakan penodaan agama. (*)
Kuliah Kebutuhan Tersier, Tidak Wajib?
Oleh Faishal Sallatalohy - Praktisi Hukum Pemerintah memposisikan pendidikan tinggi di kampus sebagai kebutuhan tersier. Tidak masuk dalam program wajib belajar 12 tahun yang digagas pemerintah Jokowi. Statusnya bukan \"wajib\" melainkan \"pilihan\". Artinya, secara hukum, pemerintah memposisikan pendidikan tinggi bukan sebagai kebutuhan primer yang harus diprioritaskan dalam layanan ke masyarakat. Dengan bahasa lain, pemerintah hanya mewajibkan masyarakat memiliki pendidikan sebatas SD, SMP, SMA/SMK saja. Sementara perguruan tinggi, hanya pilihan, tidak penting, bukan kebutuhan mendasar. Kebijakan konyol yang hanya akan semakin memburukan kualitas SDM Indonesia. Memicu pendalaman indeks pembangunan manusia semakin tidak berkualitas. Menjatuhkan mimpi generasi mudah untuk berdaya saing global dan go internasional. Semakin banyak kualitas lulusan dan tenaga kerja kasar karena mayoritasnya, paling top hanya lulusan SMA/SMK. Kenyataan dunia hari ini bordless dan dinamis. Membentuk pasar tenaga kerja yang sangat kompetitif. Coba saja liat syarat rekruitmen tenaga kerja. Baik di sektor formal dan informal, rata-rata mensyaratkan minimal lulusan S1 dengan berbagai pengalaman kerja. Secara global, misalnya menggunakan ukuran \"Global Talent Competitivnes Index (GTCI)\", bahwa kualitas tenaga kerja dinilai berdasarkan lama sekolah (tingkat pendidikan) dan pengalaman. Dengan kenyataan tersebut, apakah pemerintah ingin menjadikan masyarakat indonesia menjadi babu, jongos di negeri sendiri dengan cara menghasilkan lulusan yang mayoritasnya SD, SMP, SMA/SMK ? Kenyataan saat ini menunjukkan, Peringkat kualitas daya saing SDM indonesia berdasarkan GTCI, masih sangat miris. Terperosok di angka 38,61. Bahkan lebih rendah dibanding malaysia Malaysia 58,62, Brunei Darussalam 49,91 dan Filipina 40,94. Dengan kenyataan yang menyedihkan itu, kenapa tidak memprioritaskan pendidikan tinggi masuk dalam program wajib belajar yg ditopang oleh pendanaan full negara? Jika program wajib belajar hanya sebatas SD, SMP, SMA/SMK, dapat dipastikan indeks daya saing SDM Indonesia secara global akan makin suram. Dalam regulasinya, pemerintah hanya mensubsidi pendanaan untuk pendidikan wajib 12 tahun (SD, SMP, SMA/SMK). Subsidinya pun tidak full, hanya berbasis skema bantuan (BOS). Sementara untuk perguruan tinggi, pendanaan dari APBN (subsidi) dipangkas, pemerintah lepas tangan. Bagi peserta didik yg ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, silahkan bayar sendiri tanpa didukung subsidi pendidikan dari negara. Kebijakan Konyol Memangkas BOP dari APBN ke Perguruan Tinggi adalah perilaku konyol pemerintah Jokowi yang patron politik pendidikannya memang berhaluan Barat. Pegembangan pendidikan, terutama pendidikan tinggi dilihat hanya dari satu sisi, yakni pertimbangan ekonomi dan bisnis. Kampus dikondisikan sebagai lahan investasi yang menjanjikan profit kepada pendonor, investor. Begitulah polanya, agar modal swasta bisa masuk dan bekerja di Kampus, maka Support pendanaan negara lewat APBN harus dihentikan terlebih dahulu. Ketika pendanaan negara berhenti, kampus-kampus didorong \"menjual diri\" untuk diintervensi modal swasta dengan skema penawaran bisnis to bisnis. Ketika modal swasta masuk kampus, layanan pendidikan bergeser dari fungsi sosial ke fungsi bisnis. Eksesnya pasti menuntut kenaikan biaya kuliah secara konsisten. Dikarenakan prinsip utama investasi dan bisnis adalah mencari profit setinggi-tingginya. Pergeseran pendidikan tinggi dari fungsi sosial ke fungsi bisnis merupakan ekses dari \"manutnya\" pemerintah Indonesia terhadap penerapan reformasi struktural dalam bentuk pelaksanaan kebijakan liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi perguruan tinggi sesuai perintah sejumlah lembaga keuangan dan perdagangan global. Misalnya, di tahun 2012 lalu, diberlakukan rezim UU No 12 tahun 2012 tentang Badan Hukum Perguruan Tinggi yg kini sudah direvisi masuk dalam UU Cipta Kerja. Ekses aturan ini adalah membiarkan perguruan tinggi bekerja sesuai mekanisme pasar tanpa ada perlindungan dari negara. Bahasa sederhananya, cabut kewajiban subsidi pendidikan dari negara, biarkan kampus beroperasi menggunakan modal swasta. Memenuhi maksud tersebut, sejak tahun 2008, kampus-kampus negeri, lebih dulu dirubah statusnya dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN), menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kemudian diubah lagi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Pergeseran status tersebut, secara langsung merubah status kampus negeri layaknya kampus swasta. Sama-sama tidak lagi menerima biaya operasional dari negara. Sebagai gantinya, seluruh kampus disuruh untuk mencari sumber dana sendiri dengan cara berbisnis dengan mahasiswa lewat kenaikan biaya pendidikan yg cenderung mahal dan membuka diri untuk diintervensi oleh modal swasta. Untuk mendukung pihak kampus berbisnis dengan mahasiswa, pasal 88 UU No 18 Tahun 2012 mengamanatkan pemerintah untuk menentukan suatu standar tertentu operasional pendidikan tinggi dan sistem pembayaran pendidikan bagi mahasiswa. Dari sana, maka lahirlah sistem uang kuliah tunggal (UKT) yg selanjutnya diatur dengan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan. Beleid terbaru terkait UKT, diatur dalam Permendikbud No. 25 Tahun 2020. Masalahnya terletak pada pasal 6 yg menyatakan, bahwa besaran UKT ditentukan oleh Pimpinan kampus PTN Badan Hukum setelah berkonsultasi kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Sementara untuk kampus PTN, selain Badan Hukum (Swasta) menetapkan besaran UKT setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bagi universitas dan institut atau Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi bagi politeknik dan akademi komunitas. Ketika pemerintah memberikan kewenangan mutlak kepada kepala perguruan tinggi untuk menentukan besaran UKT, masalahnya adalah tidak ada regulasi yang mengatur terkait batas maksimal besaran UKT yg harus dibayarkan mahasiswa. Tentu saja hal ini merupakan celah bagi pihak kampus untuk menetapkan besaran UKT dengan harga yang cenderung mahal dan selalu naik tiap tahunnya. Wajar saja, kampus menetapkan UKT mahal. Dikarenakan kampus, terutama PTN-BH tidak lagi menerima dana operasional dari negara. Di satu sisi mahasiswa dibkin \"mampus\" dengan UKT yang mahal. Mahasiswa diwajibkan membayar UKT mahal, dimana pembayaran mahasiswa tersebut akan digunakan untuk membiayai operasional kampus meliputi komponen Gaji Dosen, fasilitas belajar, meja, kursi, ATK, biaya perawatan, pemeliharaan gedung, biaya listrik, PAM dan sebagainya. Semua hal yg seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, dibebankan kepada mahasiswa untuk membayarnya. Belum lagi ditambah dengan sifat serakah pemodal yang menanamkan investasinya di kampus. Prinsip modal adalah bisnis. Motif bisnis adalah untung sebesar-besarnya. Mendorong pihak kampus menetapkan UKT dengan harga yang cenderung memiskan keluarga peserta didik. Akhirnya, biaya UKT yang mahal, sulit dijangkau mahasiswa. Bukannya merevisi aturan konyol tersebut, pemerintah malah melegitimasi dan mendorong perusahan pinjol masuk dan menjadi alternatif pendanaan pendidikan mahasiswa yg sulit membayar biaya pendidikan mahal. Seperti maraknya mahasiswa yg terjerat pinjol UKT belakangan ini. Inilah wujud mekanisme pasar yang menjadi prinsip utama operasional perguruan tinggi. Kampus diliberalkan, diprivatisasi dan dikomersialisasi sebahai lembaga bisnis lewat rezim UKT yang sangat mahal. Liberalisasi pendidikan sebagai lembaga bisnis bukan hal baru. Ini bagian dari kelanjutan reformasi ekonomi yg dipaksakan WTO, IMF, OECD, ADB dan Bank Dunia untuk dijalankan pemerintah Indonesia. Imbas krisis 1998, Indonesia diberi pinjaman IMF sebesar US$ 32 milyar untuk melakukan reformasi struktural, termasuk di bidang pendidikan. Hal ini sejalan dengan agenda reformasi paradigma yang dipaksakan Bank Dunia antara periode 1994-2010. Puncaknya pada tahun 2005, indonesia sebagai anggota WTO, berkewajiban menandatangani General Agreement on Trade Service (GATS) yg mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. Dokumen GATS tersebut pada akhirnya dijadikan sebagai rujukan akademik pembentukan UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Aturan ini kemudian dibatalkan MK pada 31 Maret 2010 dengan amar putusan yang tegas menyatakan bahwa regulasi ini merugikan Indonesia karena bertujuan melibarkan, privatisasi dan menyerahkan pendidikan tinggi kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan negara. Namun usaha para komprador kekuasaan itu tidak berhenti. Dua minggu kemudian, tepatnya pada 17 April 2010, Bank Dunia kembali mengupayakan liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi dengan menyodorkan dokumen \"Managing Higher Education for Relevance and Efficiency\". Dokumen itulah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar rujukan akademik pembentukan UU No 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi yang sekarang sudah direvisi masuk ke dalam UU Cipta Kerja dengan model pengaturan pendidilan yang liberal dan cenderung mahal lewat keberlanjutan skema UKT. Karena mahal biaya pendidikan, mahasiswa kesulitan membayar. Tololnya, pemerintah lewat OJK, legitimasi dan dorong perusahan pinjol masuk dan menjadi alternafif pembiayaan lewat skema study loan dengan bunga, biaya platform dan biaya pengajuan yang cenderumg makin memiskinkan mahasiswa beserta keluarganya. Hal paling penting yang harus diketahui, bahwa skema studi loan pinjol adalah gagasan awal presiden Jokowi pada 2018 lalu. Di tahun itu, Jokowi meminta perbankan Indonesia membuat student loan untuk mahasiswa. Pada April 2018, terbentuklah kelompok bank yg menyediakan kredit pendidikan ini meliputi Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Tabungan Negara. Kemudian pada 2019, skema tersebut meluas ke kalangan perusahan startup pinjol binaan Kemenristek/BRIN, DANAdidik yang menyediakan pinjaman dana untuk kuliah, pelatihan, dan sertifikasi. Melihat peluang tersebut, OJK kemudian menghimpun dan mendorong banyak perusahan pinjol, salah satunya Danacita untuk bekerjasama dengan lembaga pendidikan tinggi untuk menyalurkan kredit pembiayaan UKT kepada mahasiswa. Perilaku bego negara ini, makin tumbuh subur dan berlangsung ketika lahirnya UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja hanya memasukan satu pasal terkait bidang pendidikan. Yakni pasal 65 yang terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menyebutkan, “Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha”. Norma ayat (1) dinilai mengandung semangat liberalisasi dan privatisasi yang mengarah pada komersialiasi layanan pendidikan. Pasalnya, farasa “perizinan berusaha” menyamakan perizinan pendidikan dengan izin usaha. Perizinan berusaha sebagai asas legalitas pendirian satuan pendidikan tinggi formal dan nonformal, jelas bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada BAB XVII tentang Pendirian Satuan Pendidikan, tepatnya pasal 62 ayat (1), UU Sisidiknas menyatakan, “Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah”. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, ”Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan”. Seluruh persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh izin pendirian satuan pendidikan tersebut tidak disertakan dalam UU Ciptak Kerja. Sebaliknya, disederhanakan menjadi perizinan usaha. Imbasnya, penyederhanaan perizinan pendidikan menjadi perizinan usaha, kian melonggarkan aturan sertifikasi dan evaluasi, akreditasi, hingga manajemen dan proses pendidikan. Dampak lanjutannya akan berefek pada pengabaian asas kesetaraan mutu perguruan tinggi. Sebaliknya, penyederhaaan izin justru semakin mempermudah pelaku usaha swasta mengintervensi pendidikan nasional. Selain itu juga menjadi semacam pemberian karpet merah terhadap masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia, serta kebebasan perguruan tinggi untuk memainkan besaran biaya layanan pendidikan. Dalam kaitan ini, UU Cipta Kerja dinilai lebih mementingkan asas ekonomi dan investasi pada layanan pendidikan dan cenderung mengabaikan mutu pendidikan. Sesuai hukum pasar bebas, substansi liberalisasi investasi adalah privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Dalam kaitan ini, peran negara dibuat seminimal mungkin. Hal ini dapat ditelusuri pada pasal 65 UU Cipta Kerja yang sama sekali tidak menyertakan aturan terkait peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Padahal dalam pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas mengatur penyelenggaraan pendidikan satuan pendidikan berbentuk badan hukum didirikan oleh pemerintah dan masyarakat. Artinya, UU Cipta Kerja selain memudahkan upaya liberalisasi pendidikan juga berupaya meminilkan peran negara. Hal ini tentu saja berpotensi mengarahkan Indonesia menuju pendalaman pasar bebas pendidikan. Dalam konteks ini, penyederhanaan izin pendidikan menjadi perizinan usaha berpotensi membuat lembaga pendidikan memiliki dua pilihan prinsip. Antara nirlaba dengan profit. Dengan pilihan asas profit, maka lembaga pendidikan tidak akan jauh berbeda dengan korporasi yang berorientasi profit. Dengan asas profit atau komersial akan semakin mendorong sektor pendidikan sebagai komoditas dagang. Artinya, pendidikan menjadi jasa yang diperjual belikan tergantung permintaan dan penawaran. Dalam kaitan ini, bukan mustahil peserta didik akan berpotensi kesulitan mengakses layanan pendidikan lantaran berbiaya mahal. Hal ini dapat memicu pelebaran kesenjangan sosial. Dimana saat terjadi kesenjangan akan memperburuk tingkat literasi masyarakat. Bagian paling penting dari upaya liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan, selain berbiaya mahal serta meminimalkan peran negara juga memudahkan perguruan tinggi asing mendirikan satuan pendidikan di Indonesia. Dalam kaitan ini, persoalan semakin rumit karena pemerintah pasti diperhadapkan dengan pilihan memperioritaskan mutu pendidikan yang harus dinegosiasikan atau diselaraskan dengan kepentingan investasi. Hal ini dinilai dapat mereduksi secara perlahan peranan negara dan masyarakat lokal dalam menjalankan satuan pendidikan dengan basis layanan pendidikan yang berdasar pada konstitusi yang menghimpun norma agama dan budaya. Seperti yang terjadi sekarang. Atas nama kemudahan investasi, aturan dibuat dengan basis norma yang justru menjungkirbalikan nilai konstitusi yang menghimpun norma agama dan budaya Indonesia. Hal ini boleh dikatakan menjadi pemicu lahirnya malapetaka Permendikbud No. 30 Tahun 2021. Selain cacat formil, beleid ini juga merusak mutu dan moral pendidikan perguruan tinggi secara materil karena menjabarkan norma pelanggaran seksual yang dinilai justru mengkampenyakan seks bebas di lingkungan kampus. Misalnya ketentuan pada pasal 5 yang diikuti dengan ragam sanksi secara tidak proporsional sesuai pasal 13 ayat (2) yang diputuskan melalui rekomendasi stagas. Ketentuan pasal 5 ayat (2), khususnya yang berkaitan dengan frasa “Persetujuan Korban”, meliputi huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m. Selama dilakukan atas persetujuan korban, maka tindak kekerasan seksual yang dimaksud menjadi sah atau bukan termasuk tindakan kekerasan seksual. Pengaturan demikian benar-benar kontraporudktif dengan filosofis dan tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional. Tidak hanya melanggar UU Sisdiknas, tapi juga melanggar amanat konstitusi UUD 1945. Konstitusi dalam BAB XIII Tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ayat (3), menyatakan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang--undang”. Selain itu juga dinilai bertentangan dengan pasal 31 ayat (5), bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-¬nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Selain itu, persoalan penyerderhanaan izin pendidikan menjadi izin berusaha bertentangan dengan amanat konstitusi yang mewajibkan pendidikan sebagai hak dasar bukan diserahkan kepada mekanisme untuk diprivatisasi dan dikomersialisasi. Dalam kaitan ini, UUD 1945 BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28C ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Upaya liberalisasi pendidikan melalui penyederhanaan izin usaha pendidikan yang berpotensi mengarah pada privatisasi dan komersialisasi juga bersebangan dengan ketentuan BAB XIII Tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ayat (1) bahwa, “setiap orang berhak mendapatkan pendidikan”. Potensi biaya mahal akibat upaya liberalisasi yang dapat memicu ketimpangan akses layanan pendidikan juga bertentangan dengan pasal 31 ayat (2), Bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya, Liberalisasi dengan potensi komersialisasi perguruan tinggi juga dinilai bertabrakan dengan ayat (4) pasal 31, bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. (*)