AGAMA

Rezim yang Tidak Bersahabat dengan Umat Islam

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Terlalu kasar jika disebut memusuhi agama. Meski tidak terang-terangan tetapi hanya agama Islam yang dijauhi, diwaspadai, dan dijadikan \"sasaran tembak\". Dirasakan bahwa rezim semakin tidak bersahabat. Kekuatan Islam ditakuti dan sepertinya harus dilumpuhkan. Islamophobia adalah sebutan populernya.  Aneh, unik, tapi nyata bahwa umat Islam adalah mayoritas yang tidak dioptimalkan potensinya. Benar bahwa tidak boleh ada diskriminasi etnik, ras, atau agama, akan tetapi penguasa yang lebih melindungi dan memanjakan minoritas adalah keliru besar. Apalagi jika dengan terang-terangan meminggirkan mayoritas. Jika integrasi nasional telah sukses dan tidak ada lagi penganaktirian, maka mayoritas atau minoritas memang tidak perlu ada atau dipersoalkan.  Namun faktanya umat Islam kini tidak ditempatkan sebagai sahabat dalam pengelolaan kenegaraan. Pemerintahan Jokowi bersama \"the rulling party\" nampaknya lupa bahwa sejarah pembentukan negara Republik Indonesia ditandai dengan begitu besarnya peran umat Islam termasuk kontribusi nilai-nilai keagamaannya.  Tentu rezim akan berkilah bahwa ia tidak melakukan apa yang dituduhkan. Akan tetapi umat sangat merasakan itu. Islam ditempatkan sebagai lawan yang dianggap mengganggu ketenteraman. Sikap ekstrim, radikal dan intoleran dipandang sebagai bahaya nasional. Padahal nyatanya tidak ada ekstrimitas, radikalisme atau intoleranisme itu. Jikapun ada satu dua, maka itu tidak boleh digeneralisasi atau dijadikan guliran politik yang masif.  Rezim telah membuat stigma kontra produktif. Membubarkan HTI dan FPI bukan kebijakan hebat. Membungkam HRS, Munarman atau sebelumnya Syahganda, Jumhur, dan Anton Permana bukan langkah simpatik. Justru menonjok diri sendiri dan menunjukkan bahwa rezim inilah yang sebenarnya ekstrim, radikal, dan intoleran.  Membunuh 6 anggota Laskar FPI bukan pula heroik tetapi membuat luka yang lebih dalam pada umat Islam. Tidak mudah dihapus dengan peradilan pura-pura. Peradilan sandiwara berlakon hukum main-mainan.  Dunia mentertawakan lawakan yang tidak lucu dan memalukan.  Mengapa rezim tidak bersahabat pada umat Islam?  Pertama, ada kegalauan terhadap ideologi Pancasila yang dianggap sebagai hasil resepsi atau adopsi kepentingan politik umat Islam dalam kesejarahan. Dari dasar negara Islam, Piagam Jakarta, hingga Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu mencoba, menghadang,  membingkai atau mereduksi dengan Pancasila 1 Juni 1945. Kedua, kepentingan asing \"anti Islam\" menyusup atau menunggangi konfigurasi politik yang ada. Penguasa  oligarkhi berparadigma materialisme dan berbahasa investasi serta sarwa pengembangan ekonomi gesit mengotak-atik spiritualitas bangsa. Agama disterilisasi dengan diksi moderasi. Agama tidak menjadi ruh dari pembangunan.  Ketiga, trauma 212 terus membayang. Ada ketakutan gelombang aksi dahsyat yang muncul kembali. Dengan isu lebih menohok daripada sekedar mereaksi ahok. Meski Presiden Jokowi hadir pada acara tersebut, akan tetapi sulit dibantah bahwa 212 adalah monumen dari potensi perjuangan kekuatan umat Islam.  Keempat, media sosial menjadi ajang pertarungan. Pegiatnya disebut \"cyber army\". Buzzer muncul sebagai fenomena politik baru yang berada di area pengacak-acakan opini. Umat Islam yang berdakwah melalui medsos dihadang dengan cuitan para buzzer Istana. Meski tak bermutu dengungannya tetapi yang penting adalah ramainya. Toh tugasnya hanya untuk mengacaukan.  Ketika umat Islam tidak ditempatkan sebagai sahabat, maka rezim akan lelah untuk membuat berbagai disain. Sementara itu perencanaan apapun sulit diapresiasi dan berat untuk mendapat dukungan. Karenanya pilihan hanya satu untuk rezim ini dan rezim manapun untuk memajukan Indonesia yaitu jadikan umat Islam sebagai sahabat.  Jangan musuhi ormas Islam, jangan kriminalisasi ulama dan tokoh agama, jangan adu domba, fitnah, dan nista simbol agama. Buktikan sikap tegas dengan menghukum para penista agama. Siapapun, meski mereka adalah buzzer peliharaan Istana. (*)

Kemenag Mataram Belum Keluarkan Rekomendasi Keberangkatan Jamaah Umrah

Mataram, FNN - Kantor Kementerian Agama Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat sampai saat ini belum mengeluarkan rekomendasi kuota pemberangkatan jamaah umrah. \"Sebanyak 99 orang jamaah umrah yang diberangkatkan tanggal 16 dan 19 Januari 2022, dari travel PT Samira semuanya warga dari luar Kota Mataram,\" kata Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Mataram HM Amin di Mataram, Kamis.PT Samira merupakan salah satu biro perjalanan (travel) perjalanan haji dan umrah yang ada di Kota Mataram tapi berkantor pusat di Jakarta.Amin menilai, belum adanya usulan atau pemberangkatan jamaah umrah dari travel yang ada di Kota Mataram, kemungkinan mereka masih menunggu kondisi lebih baik.Jamaah umrah yang berangkat di tengah pandemi COVID-19 harus mengikuti standar protokol kesehatan (prokes), menjalani karantina sebelum berangkat dan setelah tiba di Tanah Air, serta diberangkatkan melalui satu pintu yakni dari embarkasi Jakarta.\"Dengan adanya regulasi itu, maka 99 orang yang berangkat melalui PT Samira kemungkinan mereka yang sudah daftar lama dan mampu bayar lebih,\" katanya.Pasalnya, lanjut Amin, dengan adanya regulasi karantina dan penerapan protokol kesehatan (prokes) COVID-19 dalam pelaksanaan ibadah umrah, berdampak pada biaya umrah yang kini mencapai Rp35 juta hingga Rp38 juta untuk perjalanan 12 hari. Bisanya perjalanan umrah selama 12 hari, biaya maksimal sekitar Rp25 juta.\"Kondisi itu bisa kita lihat, hingga saat ini belum ada satupun travel lokal di Mataram yang mengajukan rekomendasi untuk memberangkatkan jamaah meskipun pemerintah sudah membuka izin pemberangkatan umrah,\" katanya.Lebih jauh Amin mengatakan kebijakan pembukaan pelaksanaan ibadah umrah oleh pemerintah, akan menjadi uji coba dan bahan evaluasi bagaimana proses pemberangkatan jemaah di tengah pandemi yang harus menaati protokol kesehatan COVID-19.\"Kita sangat berharap tahun 2022, pelaksanaan ibadah haji bisa dibuka kembali tentunya dengan berbagai regulasi yang berlaku. Jika tidak bisa 100 persen, ya 20-30 persen dari jumlah kuota setiap tahun,\" katanya.Ditambahkan Amin, setiap tahun Kota Mataram mendapat kuota pemberangkatan haji sekitar 730-750 orang. \"Dengan terjadi penundaan keberangkatan haji dua kali, maka jumlah kuota yang tertunda sekitar 1.500 orang,\" sebutnya. (mth) 

Wamenag Ajak Ponpes Ikuti Jejak Ponpes Maraqitta'limat Lombok Timur

Lombok Timur, FNN - Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa\'adi mengajak pondok pesantren khususnya di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mengikuti jejak Pondok Pesantren Maraqitta\'limat Lombok Timur, dalam mengembangkan dan memajukan ponpes.\"Pantaslah kalau Ponpes Maraqitta\'limat di bawah kepemimpinan beliau (TGH Hazmi Hamzar) tumbuh dan berkembang sangat pesat,\" kata Zainut saat hadir di Haul ke-70 Ponpes Maraqitta\'limat milik TGH Hazmi Hamzar di Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, NTB, Kamis.  Ia menilai langkah TGH Hazmi Hamzar untuk juga terjun di dunia politik dengan menjadi Anggota DPRD NTB sudah sangat tepat. Karena menurutnya, politik merupakan fardu kifayah, maka wajib salah seorang di antaranya berpolitik.\"Karena saya mengajak pondok pesantren yang lain mau mengikuti jejak Maraqitta\'limat dan TGH Hazmi Hamzar,\" ajak Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) ini. Sementara, Pimpinan Ponpes Maraqitta\'limat TGH Hazmi Hamzar berharap ke depan ponpes akan mengembangkan sejumlah program, salah satunya Program Satu Rumah Satu S2.Menurutnya, langkah ini dilakukan untuk mendorong dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di NTB.\"Maraqitta\'limat masuk pada program satu rumah satu S2. Ini tidak lain kita lakukan dalam mewujudkan peningkatan pendidikan, meningkatkan jumlah sumber daya manusia dengan pendidikan yang lebih tinggi melalui program satu rumah satu S2,\" katanya. (mth)      

Wagub Jateng Minta Santri Teladani Mbah Moen Tangkal Gerakan Radikal

Semarang, FNN - Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, meminta para santri di berbagai pondok pesantren agar meneladani mendiang KH Maimoen Zubaer (Mbah Moen) dalam menangkal gerakan radikal yang berpotensi menimbulkan perpecahan di Republik Indonesia.   \"Kecintaan Mbah Moen terhadap NKRI selalu diwujudkan dalam doa dan ajaran beliau,\" kata dia, di Semarang, Kamis.Menurut Maimoen, para santri harus memberikan kontribusi berupa pemahaman mengenai bahaya gerakan radikal, terorisme, dan isu sekularisme.   Selain itu, para santri juga perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pondok pesantren di tengah maraknya pihak-pihak yang mengatasnamakan ponpes membuat masyarakat cukup gelisah. \"Ini harus dijawab oleh para santri, khususnya anggota Santri Gayeng Nusantara. Untuk memberikan juga \'ini lho ponpes yang sarat, sanad keilmuannya sambung ke Nabi\',\" ujarnya.   Wagub menambahkan, para santri dituntut dapat berkontribusi dan berkolaborasi dengan pemerintah, salah satu langkah nyata yang harus dilakukan adalah turut menyukseskan vaksinasi Covid-19. \"Pertumbuhan ekonomi juga menjadi fokus santri yang perlu dikedepankan apalagi di masa pandemi ini pertumbuhan ekonomi juga menjadi fokus pemerintah agar Indonesia dapat bertahan,\" katanya. (mth)  

Hapus Islamophobia

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan COUNCIL on American-Islamic Relations (CAIR) akan merilis sikap politik masyarakat dan pemerintah AS yang anti Islam atau Islamophobia sepanjang tahun 2017-2020. Arahannya adalah sudah saatnya Islamophobia dihapus. Kebijakan dan tindakan anti Islam  bukan saja kontraproduktif tetapi juga manipulatif. Gerakan Islamophobia pun sebenarnya telah gagal untuk mampu \"memberangus\" Islam.  Rilis terbaru CAIR bertema \"Islamophobia in the Mainstream\" itu mengangkat adanya indikasi 35 Yayasan dan lembaga amal yang menyalurkan 106 juta US Dollar kepada 26 kelompok anti Islam.  Amerika menunjukkan kemajuan dengan kebijakan yang lebih bersahabat kepada Islam.  Setelah Biden mencabut kebijakan anti Islam Trump dan mengesahkan No Ban act atau UU anti diskriminasi agama maka DPR AS setuju RUU Anti Islamophobia usulan anggota Partai Demokrat Ilhan Omar untuk menjadi UU sebagai dasar pemberantasan Islamophobia di seluruh dunia Indonesia sebagai negara mayoritas muslim seyogyanya menyambut gembira upaya memberantas Islamophobia di seluruh dunia tersebut. Menyiapkan berbagai perangkat dan dana untuk menunjang program yang rasional  dan sehat itu. Indonesia semestinya menjadi  garda terdepan bersama negara muslim lainnya. Negara RI akan lebih berwibawa dan dihormati.  Alif ba ta nya adalah dengan memulai mengubah dan menghapus kebijakan dan tindakan yang berbau Islamophobia di dalam negeri sendiri. Masih banyak anasir Islamophobist di kalangan pejabat pemerintahan,  partai politik, ataupun organisasi kemasyarakatan. Lucunya kalangan beragama juga ikut-ikutan menjadi Islamophobist.  Empat langkah memberantas Islamophobia di Indonesia.  Pertama, mengubah pandangan dan sikap Pemerintah dan berbagai elemen politik yang menjadikan Islam sebagai masalah bahkan musuh. Islam dan umat Islam sesungguhnya adalah potensi utama bagi kemajuan bangsa dan negara.  Kedua, hentikan stigmatisasi Islam dan umat Islam sebagai radikal, intoleran, anti kebhinekaan dan sejenisnya. Memberi stigma buruk hanya membuat umat tidak nyaman dan akan \"memasang kuda-kuda\". Pemerintah dipastikan tidak akan mendapat dukungan.  Ketiga, tidak mengarahkan narasi \"moderasi beragama\" kepada liberalisasi, sekularisasi, atau pengambangan keyakinan keagamaan (plotisma). Menunggangi moderasi untuk melumpuhkan Islam dan umatnya hanya menciptakan kegaduhan dan perlawanan. Keempat, membuat perundang-undangan dengan substansi anti Islamophobia. Memberi sanksi atas sikap anti Islam baik yang dilakukan oleh umat lain maupun oleh umat Islam sendiri yang dangkal dalam pemahaman keagamaannya, termasuk para buzzer Istana yang gemar menista Islam dan menyakiti umat Islam.  Sikap Islamophobia bertentangan dengan Pancasila dan mengganggu kerukunan hidup beragama. Potensial untuk menjadi penoda agama dan lekat dengan kriminalisasi ulama.  Hapus Islamophobia dan jadikan  negara Indonesia sebagai teladan bagi konsistensi sikap politik penguasa dalam melindungi Islam dan umat Islam dari berbagai serangan jahat atas keyakinan dan pelaksanaan ajaran. Merasakan nyaman dalam beribadah dan menjalankan syari\'ah. Amerika saja bisa. Indonesia bukanlah China. (*)

Tidak Ada Hubungannya dengan Status Muallaf

Oleh  M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan MENAG Yaqut meminta masyarakat tidak buru buru menghakimi Ferdinand Hutahaean  karena kasusnya sudah masuk dalam proses hukum. Lagi pula yang bersangkutan mualaf. Ternyata banyak pihak yang mengaitkan status mualaf Hutahaean sebagai pembenar cuitannya soal \"Allahmu lemah\". Benar atau tidaknya Ferdinand itu mualaf tidak relevan sebagai argumen untuk memaklumi atau membenarkan cuitan penistaan. Andai Ferdinand muslim pun menyebut Allahmu lemah dan Allahku kuat di area publik adalah salah. Ferdinand tidak menulis dalam buku diary catatan pribadinya sendiri. Allahmu lemah dimaknai bahwa Allah \"milik\" orang lain itu lemah. Selama Pengadilan belum memutuskan sebaliknya, maka proses hukum pembuktian tetap berjalan. Ada pemahaman dan perasaan umum khususnya umat Islam bahwa Ferdinand Hutahaean menista agama Islam. Allah yang dimuliakan oleh umat telah direndahkan. Penyidik tidak boleh surut.  Umat bukan terburu-buru menghakimi sebagaimana dinyatakan Menag Yaqut, akan tetapi umat merasa tersakiti atas penistaan Allah itu. Perasaan kegamaan yang terusik. Umat telah melapor kepada pihak Kepolisian untuk diproses. Kini sudah sampai tahap penyidikan dan konon Senin Ferdinand akan diperiksa. Status Tersangka semakin terbuka baginya. Senin adalah hari penting bagi Ferdinand maupun umat Islam. Hari kelabu atau hari haru biru.  Mualaf dicoba untuk dijadikan tameng walaupun status itu baru muncul sekarang. Ferdinand, pembelanya atau siapapun tidak pernah  mengumumkan status itu sebelumnya. Meskipun demikian soal penistaan tidak berhubungan dengan berpindah agama atau tetap dalam memeluk agama Kristen Protestan. Siapapun dan dalam status beragama apapun tetap saja Allah tidak boleh direndahkan atau dinistakan.  Uniknya Ferdinand pernah bercuit  bahwa agama tidak menjamin manusia masuk surga. Konyol sekali. Bila saja benar, dan itu diragukan, bahwa ia telah beberapa tahun menjadi muslim maka cara bersikap terhadap umat Islam dan dialog imajiner terbukanya yang menilai Allah lemah telah membuktikan bahwa Ferdinand \"jahil agama\" dan dapat dikategorikan \"yukhodiuunallah\" menipu Allah atau \"mudzabdzabiina baina dzalik\" plintat plintut.  Ciri demikian dalam Al Qur\'an disebut munafik. Jadi dengan mencoba memasuki ruang mualaf maka hanya membuat pertanyaan dan pilihan saja. Apakah dirinya kafir atau munafik. Sulit untuk menilai bahwa dengan sikap keagamaan seperti itu dapat dikategorikan beriman atau mu\'min.  Terlepas apakah kafir atau munafik, yang jelas penistaan agama adalah perbuatan kriminal yang dilarang hukum. Untuk pilihan ini hanya satu untuk Ferdinand yaitu Tersangka menuju Terhukum. Tangkap dan penjarakan. Apakah tetap Kristen ataupun Mualaf ! 

Maaf, Hukuman Bukan Cuma Buat Ferdinand Hutahaean

Bukan hanya semata karena tekanan sosial politik, publik mencium aroma akan ada upaya membuat legitimasi hukum tebang pilih pada kasus Ferdinand Hutahaean. Di tengah imej buruk kinerja dan tercela aparat hukum, rezim cenderung bermanuver menjadikan Ferdinand  Hutahaean sebagai kambing yang dihitamkan. Rakyat harus terus berupaya menjadikan  kasus Ferdinand sebagai momentum sekaligus titik balik supremasi hukum. Terutama pada penistaan agama  Islam yang dilakukan serigala-serigala berbulu domba seperti Denny Siregar, Ade Armando, Permadi Arya, Eko Kuntadhi, Husin Shihab, Dewi Tanjung dan komunitas jahat sehabitat lainnya. Siapapun mereka yang beragama Islam maupun non-muslim tanpa pandang bulu, tanpa toleransi dan tanpa ampun, wajib dihukum seberat-beratnya jika menista dan melecehkan agama apapun. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari BEGITUPUN Polri, jangan lagi ada pencitraan dan bermain politik dalam hukum. Tegakkan hukum kepada setiap penista agama dan segala bentuk kejahatan termasuk korupsi, tragedy 50 KM,  dan extra ordinary crime lainnya. Mungkin inilah waktu yang tepat mengembalikan marwah Polri sebagai alat negara dan melepaskan diri dari  belenggu alat kekuasaan. Semua tindakan inkontitusional yang merendahkan dan melukai rasa keadilan  harus ditindak tegas. Siapapun pelakunya, rakyat biasa atau para pejabat bahkan para pemimpin sekalipun. Dengan semakin terpuruknya negara dalam segala sendi kehidupan rakyat  hingga pada kerusakan mental dan distorsi kebijakan aparat. Kasus maraknya penistaan agama oleh Ferdinand Hutahaean beserta para buzzer hina lainnya. Selayaknya dan sepatutnya dilihat Polri menjadi kesempatan emas membangun kepercayaan publik dalam membangun kostruksi hukum yang tegak, sehat dan bermartabat. Kemauan dan kemampuan Polri mewujudkan hukum yang beradab, mungkin bukan hanya akan menyelamatkan NKRI dari degradasi sosial dan disintegrasi nasional. Boleh jadi menyelamatkan kemanusiaan di negeri ini sembari menyelamatkan seluruh keluarga besar Polri. Terutama dalam kehidupan di dunia dan akherat. Karena keluarga besar Polri juga manusia yang punya keyakinan agama dan perlunya menyiapkan bekal  akan datangnya kematian kelak. Semoga kita semua tetap berjalan lurus dan  Istiqomah menegakkan kebenaran dan keadilan. In syaa Allah. (*)

Si Sempak Merah yang Tak Pandai Berenang

Oleh Ady Amar, Kolumnis Bagai anak kecil yang tak pandai berenang, tapi nekat nyemplung di kolam orang dewasa. Ferdinand Hutahaean bisa diibaratkan demikian. Awal-awalnya sih ia masih tertolong. Tapi itu tadi, ia masih tak mau belajar berenang yang baik. Sampailah pada peristiwa besar yang tidak ada lagi yang bisa menolongnya. Ferdinand lelaki yang tak bisa melihat apa yang bakal terjadi dari apa yang diperbuatnya. Persis anak kecil tadi, yang kelelep tanpa bekal mahir berenang. Lagak Ferdinand membela rezim berlebihan, seolah ingin diri sejajar dengan buzzer yang datang lebih awal, yang sudah lumayan bisa berenang. Mulut Ferdinand yang menghantam \"lawan\" politik, meski tidak jelas ada yang memerintah, ia lakukan sepenuh hati. Bahkan dengan mengumbar narasi norak. Tampil dengan lagak sok  nekat. Seolah anak kecil yang melihat anak lainnya sudah pandai berenang, dan ia yang tanpa bisa berenang, nekat menceburkan diri seolah berenang itu cuma butuh keberanian. Tidak perlu keterampilan. Ferdinand terkesan ingin menyalip buzzer lainnya. Maka, ia memang terlihat terdepan dalam memproduk narasi jahat. Sehari bisa 3-4 kali, layaknya orang minum obat. Tweet nya menyasar siapa saja yang perlu disasar. Pikirnya, mustahil dengan \"membela\" rezim ia bisa tenggelam. Ferdinand lupa, atau memang tidak mengerti, bahwa berkomunikasi di ruang publik, itu punya aturannya sendiri. Tidak cuma bisa membidik sasaran dengan narasi kasar, dengan mengabaikan apa yang boleh dan tidak boleh disentuh. Ferdinand main gambreng saja. Melakukan cuitan rasis sudah jadi kebiasaan. Setidaknya itu disasarkan pada Habib Rizieq Shihab, Anies Baswedan dan terakhir pada Habib Bahar bin Smith. Ia memang aman-aman saja. Ia seolah tak tersentuh hukum. Sepertinya tidak ada yang mempermasalahkan. Ia merasa bebas-bebas saja. Sampailah Tuhan murka  atas ulah anak yang tidak kecil lagi, tapi masih berperangai kanak-kanak yang nyebur  ke kolam dengan air yang dalam. Ferdinand dihentikan Tuhan, yang murka karena dikecilkannya. Tweet nya, yang sudah dihapus, \"Allah mu lemah, Allah ku luar biasa\", memunculkan kemarahan umat Islam. Jika tidak disikapi bijak, bisa muncul tsunami yang bukan saja mampu menenggelamkan seorang Ferdinand, bahkan seluruh negeri bisa merasakan dampaknya. Ferdinand sedang menghitung hari. Ia merasa terjatuh. Terlambat sadar, bahwa sejatinya ia tak punya sandaran. Mengibah seperti anak kecil dongok minta dikasihani, \"saya ditinggalkan\". Ia terpuruk dan merasa sendirian, tanpa ada yang membelanya. Siapa yang dimaksudnya. Ada sih satu-dua yang mandi sekolam dengannya, tapi sudah lumayan bisa berenang, yang coba membela sekadarnya. Di antaranya, Denny Siregar. Tapi umat Islam yang geram pada cuitan Ferdinand, yang mengecilkan Allah mu-- dalam perspektif Islam. Lalu bersemangat, mendesak Polda Metro Jaya untuk membuka kasus Denny Siregar, yang sudah lebih satu setengah tahun mandek. Dan itu juga soal ujaran kebencian. Melihat sisi lain Ferdinand  bisa buat terkekeh, sambil mual dibuatnya. Ia yang selalu tampil sok nekat itu, yang entah oleh sebab apa, pada satu kesempatan perlu menunjukkan bentuk tubuhnya. Berpose dengan tanpa baju dan celana. Hanya menggunakan sempak. Berwarna merah. Dengan kedua tangannya diangkat model menekuk.  Menunjukkan bisep di kedua lengan tangannya. Seolah petinju saat timbang badan menjelang pertandingan. Badannya sedikit pun tidak atletis. Entah apa yang mau dibanggakannya. Maka sejak itu, julukan Si Sempak Merah jadi melekat padanya. Dan, Si Sempak Merah yang tak pandai berenang, itu dalam hitungan hari lagi akan diperiksa dan ditahan. Entah berapa lama penjara mampu menyadarkannya. (*)

Ferdinand Hutahaean Itu Korban Kultur Jilat-Menjilat

Oleh  Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN dan Pemerhati Sosial Politik. PENISTA agama yang melecehkan Allah SWT, Ferdinand Hutahaean, meminta maaf kepada umat Islam. Dia mengaku khilaf menuliskan cuitan “Allahmu lemah”. Seiring dengan permintaan maaf itu, Ferdinand mengaku bahwa dia seorang muslim tetapi minim ilmu agama. Karena itu, dia memohon bimbingan dari para guru agama. Tidak hanya meminta maaf, mantan politisi Partai Demokrat itu mengatakan dirinya menderita penyakit “down” selama setahun. Mungkin itulah yang membuat dia mengalami semacam disorientasi. Bisa jadi dia terombang-ambing dalam menjalani kehidupan. Mengapa akhirnya Ferdinand meminta maaf? Padahal dia sempat menunjukkan sikap keras untuk melaporkan balik orang yang melaporkan penistaan yang dia lakukan. Apakah permintaan maaf ini mengisyaratkan bahwa dia tak di-backing? Persis! Itulah persoalannya. Sekiranya dia punya backing, dia akan melawan. Tak mungkin Ferdinand meminta maaf. Hari ini dia tak punya siapa-siapa untuk menyetop kasus penistaan itu. Dia dibuang dari sisi SBY tetapi tak diterima oleh Jokowi. Ferdinand kenal dengan sejumlah petinggi pemerintahan tapi tak bersambut. Jangankan bersambut, bahkan ada indikasi bahwa Kepolisian merasa mendapatkan tumbal untuk digunakan sebagai bukti bahwa mereka menangani serius laporan pelecehan agama. Bahwa Polisi tidak tebang pilih. Penangangan kasus Ferdinand dengan serius oleh Polisi akan dipamerkan. Supaya publik bisa diyakinkan bahwa kali ini Polisi serius. Polisi berhutang kepada umat Islam. Mereka membiarkan Deni Siregar, Permadi Arya (Abu Janda) Ade Armando, dll, yang seenaknya melannggar aturan tanpa proses hukum. Mumpung ada Ferdinand Hutahaean yang bisa diproses. Dia bukan orang Jokowi, atau belum diterima masuk ke gerombolan buzzer kebal hukum, meskipun dia berusaha menjilat junjungan. Sekarang, mungkin Ferdinand menyesal. Dia menjadi korban kultur jilat-menjilat. Ternyata, menjilat pun pakai “fit and proper test” juga. Dicek rekam jejaknya apakah asli Jokower atau ‘acrobater’.[]

Selamat Mencari Pembela

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan SULIT Ferdinand Hutahaean lepas dari proses hukum yang dijalankan Kepolisian karena setelah SPDP lanjut pada pemeriksaan Terlapor. Sudah dapat diduga status akan meningkat menjadi Tersangka. Tekanan sosial politik sangat berpengaruh terhadap proses hukum.  Isu ahokisasi mendorong kebijakan untuk secepatnya  diambil.  Ferdinand berada dalam suasana yang tidak nyaman. Posisinya \"out standing\" atau menurut ungkapannya sendiri \"down\". Ia terjebak dalam pembelaan artifisial dan dialog imajiner. Rekan-rekan sekolamnya tidak bisa menolong. Janda atau Siregar harus menyelam dulu lebih dalam. Armando berjaga dari kemungkinann efek domino.  Si sombong ambruk dalam kebodohannya sendiri. Lupa pepatah \"suara rakyat suara Tuhan\". Tuhan yang dianggap lemah akan bersuara kuat lewat suara hamba-hamba-Nya. Jika Tuhan yang dimaksud adalah Allah nya umat Islam, maka suara umat itu akan memekakkan telinga dan hatinya. Memenjarakan keangkuhannya.  Ambruk mental jagoan Hutahaean. Awalnya masih berkelit dengan dialog imajiner antara fikiran dan hati, lalu mencoba mengolah agama dari Kristen menjadi mualaf dan terakhir khilaf dan minta maaf. Mulai lemas dan memelas melihat pasal-pasal yang mengancam tanpa diduga. Eksponen Kristen sendiri murka atas ocehan gila Ferdinand.  Kini ia tergencet dan setahap demi setahap lepas dari perlindungan. Jika masih sebagai Kristen Protestan tentu ia tak bisa berdalih bahwa ucapannya merepresentasi paham keagamaan anutannya. Apalagi dalam persepsi Katolik. Sebagai politisi ia bukan berbasis PDIP tetapi mantan aktivis Partai Demokrat. Kader Demokrat pun kini menggebuknya. Saat Pilpres malah menjadi pendukung Prabowo. Tidak ada beban bagi kekuasaan untuk memproteksinya. Ketika nyebur ke kolam Hutahaean memang tidak pandai berenang.  Sebentar lagi setelah gelar ia akan menjadi Tersangka. Terlalu berat aparat untuk berhadapan dengan umat. \"Berpotensi menimbulkan keonaran\" kata pejabat di Kepolisian. Gelombang aksi bukan mustahil akan terjadi jika Ferdinand melenggang. Memicu umat dan masyarakat untuk menumpahkan kejengkelan yang sudah lama terpendam.  Ketika umat belum mampu menyeret Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando, Eko Kunthadi dan lainnya, Ferdinand akan menjadi bulan-bulanan. Minggu-minggu dan hari-hari penderitaan selama proses hukum. Ferdinand memang layak menerima kesialan atas kebodohannya. Allah tidak lemah, Hutahaean yang lemah seperti kerupuk kena basah.  Semoga Ferdinand dapat menikmati rekreasi awal tahun dengan merenung, berimajinasi  dan berdialog antara fikiran dengan hati di dalam bui. Cuitan dia sendiri yang telah membuat \"down\" dan memenjarakan. Allah tidak lemah dan tidak perlu dibela, yang butuh pembela adalah dirimu wahai Ferdinand Hutahaean.  Nah, selamat mencari pembela untuk di Pengadilan nanti. (*)