AGAMA

Tidak Ada Hubungannya dengan Status Muallaf

Oleh  M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan MENAG Yaqut meminta masyarakat tidak buru buru menghakimi Ferdinand Hutahaean  karena kasusnya sudah masuk dalam proses hukum. Lagi pula yang bersangkutan mualaf. Ternyata banyak pihak yang mengaitkan status mualaf Hutahaean sebagai pembenar cuitannya soal \"Allahmu lemah\". Benar atau tidaknya Ferdinand itu mualaf tidak relevan sebagai argumen untuk memaklumi atau membenarkan cuitan penistaan. Andai Ferdinand muslim pun menyebut Allahmu lemah dan Allahku kuat di area publik adalah salah. Ferdinand tidak menulis dalam buku diary catatan pribadinya sendiri. Allahmu lemah dimaknai bahwa Allah \"milik\" orang lain itu lemah. Selama Pengadilan belum memutuskan sebaliknya, maka proses hukum pembuktian tetap berjalan. Ada pemahaman dan perasaan umum khususnya umat Islam bahwa Ferdinand Hutahaean menista agama Islam. Allah yang dimuliakan oleh umat telah direndahkan. Penyidik tidak boleh surut.  Umat bukan terburu-buru menghakimi sebagaimana dinyatakan Menag Yaqut, akan tetapi umat merasa tersakiti atas penistaan Allah itu. Perasaan kegamaan yang terusik. Umat telah melapor kepada pihak Kepolisian untuk diproses. Kini sudah sampai tahap penyidikan dan konon Senin Ferdinand akan diperiksa. Status Tersangka semakin terbuka baginya. Senin adalah hari penting bagi Ferdinand maupun umat Islam. Hari kelabu atau hari haru biru.  Mualaf dicoba untuk dijadikan tameng walaupun status itu baru muncul sekarang. Ferdinand, pembelanya atau siapapun tidak pernah  mengumumkan status itu sebelumnya. Meskipun demikian soal penistaan tidak berhubungan dengan berpindah agama atau tetap dalam memeluk agama Kristen Protestan. Siapapun dan dalam status beragama apapun tetap saja Allah tidak boleh direndahkan atau dinistakan.  Uniknya Ferdinand pernah bercuit  bahwa agama tidak menjamin manusia masuk surga. Konyol sekali. Bila saja benar, dan itu diragukan, bahwa ia telah beberapa tahun menjadi muslim maka cara bersikap terhadap umat Islam dan dialog imajiner terbukanya yang menilai Allah lemah telah membuktikan bahwa Ferdinand \"jahil agama\" dan dapat dikategorikan \"yukhodiuunallah\" menipu Allah atau \"mudzabdzabiina baina dzalik\" plintat plintut.  Ciri demikian dalam Al Qur\'an disebut munafik. Jadi dengan mencoba memasuki ruang mualaf maka hanya membuat pertanyaan dan pilihan saja. Apakah dirinya kafir atau munafik. Sulit untuk menilai bahwa dengan sikap keagamaan seperti itu dapat dikategorikan beriman atau mu\'min.  Terlepas apakah kafir atau munafik, yang jelas penistaan agama adalah perbuatan kriminal yang dilarang hukum. Untuk pilihan ini hanya satu untuk Ferdinand yaitu Tersangka menuju Terhukum. Tangkap dan penjarakan. Apakah tetap Kristen ataupun Mualaf ! 

Maaf, Hukuman Bukan Cuma Buat Ferdinand Hutahaean

Bukan hanya semata karena tekanan sosial politik, publik mencium aroma akan ada upaya membuat legitimasi hukum tebang pilih pada kasus Ferdinand Hutahaean. Di tengah imej buruk kinerja dan tercela aparat hukum, rezim cenderung bermanuver menjadikan Ferdinand  Hutahaean sebagai kambing yang dihitamkan. Rakyat harus terus berupaya menjadikan  kasus Ferdinand sebagai momentum sekaligus titik balik supremasi hukum. Terutama pada penistaan agama  Islam yang dilakukan serigala-serigala berbulu domba seperti Denny Siregar, Ade Armando, Permadi Arya, Eko Kuntadhi, Husin Shihab, Dewi Tanjung dan komunitas jahat sehabitat lainnya. Siapapun mereka yang beragama Islam maupun non-muslim tanpa pandang bulu, tanpa toleransi dan tanpa ampun, wajib dihukum seberat-beratnya jika menista dan melecehkan agama apapun. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari BEGITUPUN Polri, jangan lagi ada pencitraan dan bermain politik dalam hukum. Tegakkan hukum kepada setiap penista agama dan segala bentuk kejahatan termasuk korupsi, tragedy 50 KM,  dan extra ordinary crime lainnya. Mungkin inilah waktu yang tepat mengembalikan marwah Polri sebagai alat negara dan melepaskan diri dari  belenggu alat kekuasaan. Semua tindakan inkontitusional yang merendahkan dan melukai rasa keadilan  harus ditindak tegas. Siapapun pelakunya, rakyat biasa atau para pejabat bahkan para pemimpin sekalipun. Dengan semakin terpuruknya negara dalam segala sendi kehidupan rakyat  hingga pada kerusakan mental dan distorsi kebijakan aparat. Kasus maraknya penistaan agama oleh Ferdinand Hutahaean beserta para buzzer hina lainnya. Selayaknya dan sepatutnya dilihat Polri menjadi kesempatan emas membangun kepercayaan publik dalam membangun kostruksi hukum yang tegak, sehat dan bermartabat. Kemauan dan kemampuan Polri mewujudkan hukum yang beradab, mungkin bukan hanya akan menyelamatkan NKRI dari degradasi sosial dan disintegrasi nasional. Boleh jadi menyelamatkan kemanusiaan di negeri ini sembari menyelamatkan seluruh keluarga besar Polri. Terutama dalam kehidupan di dunia dan akherat. Karena keluarga besar Polri juga manusia yang punya keyakinan agama dan perlunya menyiapkan bekal  akan datangnya kematian kelak. Semoga kita semua tetap berjalan lurus dan  Istiqomah menegakkan kebenaran dan keadilan. In syaa Allah. (*)

Si Sempak Merah yang Tak Pandai Berenang

Oleh Ady Amar, Kolumnis Bagai anak kecil yang tak pandai berenang, tapi nekat nyemplung di kolam orang dewasa. Ferdinand Hutahaean bisa diibaratkan demikian. Awal-awalnya sih ia masih tertolong. Tapi itu tadi, ia masih tak mau belajar berenang yang baik. Sampailah pada peristiwa besar yang tidak ada lagi yang bisa menolongnya. Ferdinand lelaki yang tak bisa melihat apa yang bakal terjadi dari apa yang diperbuatnya. Persis anak kecil tadi, yang kelelep tanpa bekal mahir berenang. Lagak Ferdinand membela rezim berlebihan, seolah ingin diri sejajar dengan buzzer yang datang lebih awal, yang sudah lumayan bisa berenang. Mulut Ferdinand yang menghantam \"lawan\" politik, meski tidak jelas ada yang memerintah, ia lakukan sepenuh hati. Bahkan dengan mengumbar narasi norak. Tampil dengan lagak sok  nekat. Seolah anak kecil yang melihat anak lainnya sudah pandai berenang, dan ia yang tanpa bisa berenang, nekat menceburkan diri seolah berenang itu cuma butuh keberanian. Tidak perlu keterampilan. Ferdinand terkesan ingin menyalip buzzer lainnya. Maka, ia memang terlihat terdepan dalam memproduk narasi jahat. Sehari bisa 3-4 kali, layaknya orang minum obat. Tweet nya menyasar siapa saja yang perlu disasar. Pikirnya, mustahil dengan \"membela\" rezim ia bisa tenggelam. Ferdinand lupa, atau memang tidak mengerti, bahwa berkomunikasi di ruang publik, itu punya aturannya sendiri. Tidak cuma bisa membidik sasaran dengan narasi kasar, dengan mengabaikan apa yang boleh dan tidak boleh disentuh. Ferdinand main gambreng saja. Melakukan cuitan rasis sudah jadi kebiasaan. Setidaknya itu disasarkan pada Habib Rizieq Shihab, Anies Baswedan dan terakhir pada Habib Bahar bin Smith. Ia memang aman-aman saja. Ia seolah tak tersentuh hukum. Sepertinya tidak ada yang mempermasalahkan. Ia merasa bebas-bebas saja. Sampailah Tuhan murka  atas ulah anak yang tidak kecil lagi, tapi masih berperangai kanak-kanak yang nyebur  ke kolam dengan air yang dalam. Ferdinand dihentikan Tuhan, yang murka karena dikecilkannya. Tweet nya, yang sudah dihapus, \"Allah mu lemah, Allah ku luar biasa\", memunculkan kemarahan umat Islam. Jika tidak disikapi bijak, bisa muncul tsunami yang bukan saja mampu menenggelamkan seorang Ferdinand, bahkan seluruh negeri bisa merasakan dampaknya. Ferdinand sedang menghitung hari. Ia merasa terjatuh. Terlambat sadar, bahwa sejatinya ia tak punya sandaran. Mengibah seperti anak kecil dongok minta dikasihani, \"saya ditinggalkan\". Ia terpuruk dan merasa sendirian, tanpa ada yang membelanya. Siapa yang dimaksudnya. Ada sih satu-dua yang mandi sekolam dengannya, tapi sudah lumayan bisa berenang, yang coba membela sekadarnya. Di antaranya, Denny Siregar. Tapi umat Islam yang geram pada cuitan Ferdinand, yang mengecilkan Allah mu-- dalam perspektif Islam. Lalu bersemangat, mendesak Polda Metro Jaya untuk membuka kasus Denny Siregar, yang sudah lebih satu setengah tahun mandek. Dan itu juga soal ujaran kebencian. Melihat sisi lain Ferdinand  bisa buat terkekeh, sambil mual dibuatnya. Ia yang selalu tampil sok nekat itu, yang entah oleh sebab apa, pada satu kesempatan perlu menunjukkan bentuk tubuhnya. Berpose dengan tanpa baju dan celana. Hanya menggunakan sempak. Berwarna merah. Dengan kedua tangannya diangkat model menekuk.  Menunjukkan bisep di kedua lengan tangannya. Seolah petinju saat timbang badan menjelang pertandingan. Badannya sedikit pun tidak atletis. Entah apa yang mau dibanggakannya. Maka sejak itu, julukan Si Sempak Merah jadi melekat padanya. Dan, Si Sempak Merah yang tak pandai berenang, itu dalam hitungan hari lagi akan diperiksa dan ditahan. Entah berapa lama penjara mampu menyadarkannya. (*)

Ferdinand Hutahaean Itu Korban Kultur Jilat-Menjilat

Oleh  Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN dan Pemerhati Sosial Politik. PENISTA agama yang melecehkan Allah SWT, Ferdinand Hutahaean, meminta maaf kepada umat Islam. Dia mengaku khilaf menuliskan cuitan “Allahmu lemah”. Seiring dengan permintaan maaf itu, Ferdinand mengaku bahwa dia seorang muslim tetapi minim ilmu agama. Karena itu, dia memohon bimbingan dari para guru agama. Tidak hanya meminta maaf, mantan politisi Partai Demokrat itu mengatakan dirinya menderita penyakit “down” selama setahun. Mungkin itulah yang membuat dia mengalami semacam disorientasi. Bisa jadi dia terombang-ambing dalam menjalani kehidupan. Mengapa akhirnya Ferdinand meminta maaf? Padahal dia sempat menunjukkan sikap keras untuk melaporkan balik orang yang melaporkan penistaan yang dia lakukan. Apakah permintaan maaf ini mengisyaratkan bahwa dia tak di-backing? Persis! Itulah persoalannya. Sekiranya dia punya backing, dia akan melawan. Tak mungkin Ferdinand meminta maaf. Hari ini dia tak punya siapa-siapa untuk menyetop kasus penistaan itu. Dia dibuang dari sisi SBY tetapi tak diterima oleh Jokowi. Ferdinand kenal dengan sejumlah petinggi pemerintahan tapi tak bersambut. Jangankan bersambut, bahkan ada indikasi bahwa Kepolisian merasa mendapatkan tumbal untuk digunakan sebagai bukti bahwa mereka menangani serius laporan pelecehan agama. Bahwa Polisi tidak tebang pilih. Penangangan kasus Ferdinand dengan serius oleh Polisi akan dipamerkan. Supaya publik bisa diyakinkan bahwa kali ini Polisi serius. Polisi berhutang kepada umat Islam. Mereka membiarkan Deni Siregar, Permadi Arya (Abu Janda) Ade Armando, dll, yang seenaknya melannggar aturan tanpa proses hukum. Mumpung ada Ferdinand Hutahaean yang bisa diproses. Dia bukan orang Jokowi, atau belum diterima masuk ke gerombolan buzzer kebal hukum, meskipun dia berusaha menjilat junjungan. Sekarang, mungkin Ferdinand menyesal. Dia menjadi korban kultur jilat-menjilat. Ternyata, menjilat pun pakai “fit and proper test” juga. Dicek rekam jejaknya apakah asli Jokower atau ‘acrobater’.[]

Selamat Mencari Pembela

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan SULIT Ferdinand Hutahaean lepas dari proses hukum yang dijalankan Kepolisian karena setelah SPDP lanjut pada pemeriksaan Terlapor. Sudah dapat diduga status akan meningkat menjadi Tersangka. Tekanan sosial politik sangat berpengaruh terhadap proses hukum.  Isu ahokisasi mendorong kebijakan untuk secepatnya  diambil.  Ferdinand berada dalam suasana yang tidak nyaman. Posisinya \"out standing\" atau menurut ungkapannya sendiri \"down\". Ia terjebak dalam pembelaan artifisial dan dialog imajiner. Rekan-rekan sekolamnya tidak bisa menolong. Janda atau Siregar harus menyelam dulu lebih dalam. Armando berjaga dari kemungkinann efek domino.  Si sombong ambruk dalam kebodohannya sendiri. Lupa pepatah \"suara rakyat suara Tuhan\". Tuhan yang dianggap lemah akan bersuara kuat lewat suara hamba-hamba-Nya. Jika Tuhan yang dimaksud adalah Allah nya umat Islam, maka suara umat itu akan memekakkan telinga dan hatinya. Memenjarakan keangkuhannya.  Ambruk mental jagoan Hutahaean. Awalnya masih berkelit dengan dialog imajiner antara fikiran dan hati, lalu mencoba mengolah agama dari Kristen menjadi mualaf dan terakhir khilaf dan minta maaf. Mulai lemas dan memelas melihat pasal-pasal yang mengancam tanpa diduga. Eksponen Kristen sendiri murka atas ocehan gila Ferdinand.  Kini ia tergencet dan setahap demi setahap lepas dari perlindungan. Jika masih sebagai Kristen Protestan tentu ia tak bisa berdalih bahwa ucapannya merepresentasi paham keagamaan anutannya. Apalagi dalam persepsi Katolik. Sebagai politisi ia bukan berbasis PDIP tetapi mantan aktivis Partai Demokrat. Kader Demokrat pun kini menggebuknya. Saat Pilpres malah menjadi pendukung Prabowo. Tidak ada beban bagi kekuasaan untuk memproteksinya. Ketika nyebur ke kolam Hutahaean memang tidak pandai berenang.  Sebentar lagi setelah gelar ia akan menjadi Tersangka. Terlalu berat aparat untuk berhadapan dengan umat. \"Berpotensi menimbulkan keonaran\" kata pejabat di Kepolisian. Gelombang aksi bukan mustahil akan terjadi jika Ferdinand melenggang. Memicu umat dan masyarakat untuk menumpahkan kejengkelan yang sudah lama terpendam.  Ketika umat belum mampu menyeret Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando, Eko Kunthadi dan lainnya, Ferdinand akan menjadi bulan-bulanan. Minggu-minggu dan hari-hari penderitaan selama proses hukum. Ferdinand memang layak menerima kesialan atas kebodohannya. Allah tidak lemah, Hutahaean yang lemah seperti kerupuk kena basah.  Semoga Ferdinand dapat menikmati rekreasi awal tahun dengan merenung, berimajinasi  dan berdialog antara fikiran dengan hati di dalam bui. Cuitan dia sendiri yang telah membuat \"down\" dan memenjarakan. Allah tidak lemah dan tidak perlu dibela, yang butuh pembela adalah dirimu wahai Ferdinand Hutahaean.  Nah, selamat mencari pembela untuk di Pengadilan nanti. (*)

Ustadz Abdul Somad Datang, Wali Kota Pematang Siantar Merasa Lega

Pematang Siantar, FNN - Masyarakat Muslim di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, sebenarnya sudah lama menunggu kehadiran Ustadz Abdul Somad (UAS).  \"Kami pun rasanya susah juga untuk bisa menghadirkan Tuan Guru Ustadz Abdul Somad. Tapi Alhamdulillah, dalam momen peletakan batu pertama Pembangunan Ponpes Tahfidz As-Sulaimaniyah ini, Tuan Guru bisa datang ke Kota Pematang Siantar,\" kata Wali Kota Pematang Siantar,  Hefriansyah, dalam sambutan sebelum UAS menyampaikan ceramahnya, Kamis (6/1/2022).  Dalam ceramahnya Abdul Somad mengatakan Sejarah Pondok Pesantren As Sulaimaniyah di Indonesia tidak terlepas dari sekolah Tahfiz Alquran di Turki.  Berdirinya Ponpes Arras Sulaimaniyah di Pematangsiantar di Tahun 2022 ini bertepatan dengan 100 tahun berdirinya sekolah tahfiz As Sulaimaniyah. Abdul Somad juga mengajak jemaah yang hadir untuk menginfakan hartanya ke jalan yang bermanfaat bagi ummad khususnya untuk menjadikan anak-anak penghafal Alquran. Dalam Tausyianya Ustadz Somad juga memaparkan 3 hal yang harus diamalkan pertama wakaf, kedua mendidik Anak dan ketiga ingat mati. Keluarga Pejuang \'45 Pondok Pesantren berdiri di atas tanah keluarga besar Alm Purnawirawan Kamidin Saragih. Beliau adalah salah satu pejuang 1945 yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kota Pematang Siantar.  Kamidin Saragih juga orangtua dari pengusaha wanita yang sukses terbilang sukses yakni Julita M Saragih. Beliau juga adik kandung dari salah satu anggota DPRD Kota Pematangsiantar, Bintar Saragih.  Pesantren ini akan diperuntukan bagi anak laki-laki untuk tingkat SLTP dengan kapasitas 60 orang Lokasi Pondok Pesantren Tahfiz Arras- Sulaimaniyah (As Sulaimaniyah) berada di Jalan Nagahuta no 14, Kelurahan Setia Negara, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematangsiantar.  Selain Wali Kota Pematang Siantar, yang mendampingi UAS adalah Komandan Rindam, ketua MUI Siantar dan lainnya. Sementara itu, Julita M. Saragih sebagai Pembina sekaligus pendiri Pondok Pesantren As Sulaimaniyah Pematangsiantar mengucapkan terimakasih kepada Abdul Somad bisa hadir dan meletakan batu pertama untuk pembangunan Pesantren Arras Sulaimaniyah. “Pertama-tama terima kasih atas kehadiran Tuan Guru, bapak, ibu dan saudara-saudaraku semua. Suatu kehormatan bagi saya dan keluarga juga warga di sini, menyelenggarakan peletakan batu pertama pembangunan Pesantren Arras Sulaimaniyah. Masya Allah Ustad Abdul Somad berkenan hadir di tengah-tengah kita, untuk melakukan peletakan batu pertama,” ujar Julita. Pndok pesantren ini dikhususkan untuk para santri putra. “Insya Allah pesantren ini akan diisi dengan santri-santri putra tingkat SMP,” kata Julita.  Namun, lanjut dia, dirinya berencana membangun pondok pesantren untuk putri yang lokasinya di Kota Pematangsiantar juga. Untuk itu dia memohon do\'anya. Sedangkan Ponpes Tahfidz yang akan dibangun di Jl Nagahuta No 14 Pematang Siantar, luas bangunannya sekitar 1,250 meter persegi. Sementara waktu untuk pembangunannya sekitar 1,5 tahun. “Mohon doa restunya semoga tahun ajaran 2023-2024 kegiatan pesantren Tahfiz sudah bisa di laksanakan,” pintanya. Desain pesantren ini dibuat dengan design ala Turkey dan Batak menggunakan motif Gorga. Untuk bangunannya di bangun dari 0. “Pembangunan pesantren ini 100% menggunakan konsep dari Sulaimaniyah Turkey insya Allah kuat sampai 200 tahun ke depan,” ucapnya. Dalam nada terbata-bata campur rasa haru, Julita mengakui memang sungguh berat awalnya untuk memutuskan rumah ini dihancurkan karena begitu banyak kenangan dan mimpi-mimpi keluarga besarnya di rumah ini. “Sebagai pengganti, akan dibuat video tentang rumah ini sehingga keturunan kami akan tetap bisa melihat dan mengetahui sejarah tentang awal mula berdirinya Pesantren Tahfiz Arras Sulaimaniyah Pematangsiantar,” kata Julita.  Di acara ini, tampil juga cucu dan cicit keluarga Kamidin Saragih yang sudah mampu menghafal Alquran. “Acara ini dimeriahkan dengan pembacaan tilawah Qur’an oleh Ananda Rayyan dan anak-anak santri,” tambah Julita Saragih.  Dalam sambutannya, Bintar Saragih mengatakan, pembangunan pesantren ini merupakan cita-cita orang tua untuk menjadikan harta keluarga menjadi ladang amal yang nantinya bisa bermanfaat bagi kehidupan keluarga almarhum Kamidin Saragih dan bagi masa depan anak-anak Indonesia agar mereka bisa menghafal  Alquran. (TG) 

Ferdinand Hutahaean, dan Penegakan Hukum dalam Ujian

Oleh Ady Amar, Kolumnis Ferdinand Hutahaean perlu membuat pernyataan via berbagai video di Youtube, berkenaan dengan \"Allah mu lemah, Allah ku luar biasa\". Ia katakan, bahwa itu dialog imajiner dengan diri sendiri. Tidak dimaksudkan mengusik agama lain.  Boleh saja Ferdinand mencoba ngeles dan itu agar tidak meringkuk dalam tahanan. Maka, ia perlu mengkarifikasi, bahwa ia sedang dialog dengan diri sendiri. Itulah andalan yang diharap bisa menyelamatkan. Meski argumen darinya itu bisa dengan mudah dipatahkan. Apa yang dicuitkannya itu tidak berdiri sendiri. Ada latar belakangnya, dan itu lanjutan komentar atas ditahannya Habib Bahar bin Smith. Ferdinand seperti orang yang terseret arus sungai deras, maka apapun yang ada didekatnya disambarnya meski cuma ranting kecil. Maka, ia berharap \"ranting kecil\" berupa argumen dialog imajiner, itu bisa menyelamatkannya. Ferdinand berharap semua bisa mengerti tentangnya, bahwa ia sedang ada masalah dengan diri sendiri. Semua diharap bisa mengerti tentang dirinya. Bisa memahaminya. Tapi Ferdinand tidak coba mengeri, bahwa apa yang di-tweetnya itu punya konsekuensi hukum. Ganas Menjadi Melas Ferdinand dikenal ganas jika menghantam siapa saja yang disasarnya. Utamanya Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, yang seolah jadi sarapan paginya untuk dicaci maki dengan tidak semestinya. Bahkan dengan memfitnah segala. Anies di mata Ferdinand tidak ada baik-baiknya. Karya-karya Anies yang dibuat, yang cemerlang itu, bukannya diapresiasi tapi dipelintir sebagai hal yang gagal. Anies bahkan digoblok-goblokkan. Lalu, tiba-tiba Ferdinand tampil melas ingin difahami tentang dirinya yang sedang ada masalah. Sebagai pegiat media, khususnya di Twitter, Fedinand bisa disebut tengah memerankan peran antagonis menyeramkan. Semua tokoh yang \"dianggap\" kritis pada rezim disasarnya dengan umpatan. Buatnya mengumpat setiap hari itu seolah wajib, seolah pekerjaan hariannya. Tiada hari tanpa menyerang seseorang dengan narasi buruk. Ferdinand seolah mengabdikan diri tampil di tempat becek menjijikkan. Buatnya itu tidak masalah. Ia bahkan sering berganti peran dengan skenario berbeda dalam adegan siapa yang mesti disasarnya. Pernah membela Jokowi di 2014. Lalu berpisah. Bergabung dengan Partai Demokrat. Saat partainya mengusung Prabowo (2019), Ferdinand tampil menyerang Jokowi dengan tidak semestinya. Jejak digitalnya bisa dengan mudah dicari. Setelah Prabowo bergabung dengan Jokowi, ia memutar seratus delapan puluh derajat, memilih keluar dari Partai Demokrat, dan jadi freeman. Ia lalu balik kucing muncul sebagai pembela Jokowi. Tanpa arahan sekalipun, seolah Ferdinand sudah tahu apa yang mesti dikerjakan. Ferdinand sudah tahu ke mana sasaran mesti ditembakkan. Maka, Anies jadi obyek sasaran berikutnya. Seolah tiada hari tanpa memproduk ujaran buruk untuk Anies. Mengapa ia mesti menyerang Anies, analisis sederhana bisa dibuat, dan semua akan menunjuk pada 2024. Tarik Menarik Kepentingan Sekarang semua berpulang pada hukum itu sendiri. Mestinya hukum ditegakkan pada siapa pun tanpa terkecuali. Maka, penista agama, dan itu kasus SARA, semacam Ferdinand Hutahaean, ini dipenjarakan. Saksi-saksi dan saksi-saksi ahli sudah diminta kesaksiannya. Konon Kepolisian sudah menaikkan kasusnya dari penyelidikan ke penyidikan. Lalu menunggu apa lagi pihak kepolisian untuk bisa memanggil dan memeriksa Ferdinand guna ditetapkan statusnya. Setidaknya ia bisa diperlakukan sama dengan Kepolisian memperlakukan Habib Bahar bin Smith, yang awalnya diperiksa sebagai saksi, dan lalu ditahan. Memperlambat memberikan status pada Ferdinand, seperti upaya tarik menarik kelompok tertentu, yang coba ingin melindunginya. Setidaknya asumsi demikian mengemuka. Dan itu bisa difahami. Hukum memang serasa permainan bola pimpong yang ditampar ke sana dan kemari. Maka, reaksi umat dalam hari-hari ini akan dilihat. Jika adem ayem dan tekanan untuk memenjarakan penista agama jadi kendor. Maka, Ferdinand meski jelas-jeles melecehkan agama, kasusnya akan mandek. Sekali lagi, ini asumsi yang dibaca publik. Kebenarannya akan ditentukan bagaimana hukum diposisikan dalam memperlakukan penista agama. Berharap munculnya asumsi-asumsi skeptis, itu tidak sampai menemukan kebenarannya. Umat dituntut terus  sabar melihat kerja Kepolisian yang profesional dan terukur. Penista agama, siapa pun dan ada di barisan manapun, pastilah akan diperlakukan sama di hadapan hukum. Bisa jadi hari ini, atau satu sampai dua hari ke depan, semuanya akan jadi lebih jelas jawabannya. Kita tunggu saja, apakah Ferdinand dipenjarakan, yang memang seharusnya, atau justru ia bebas melenggang. (*)

Ferdinand Menyulut Api

Oleh Ady Amar, Kolumnis FERDINAND Hutahaean bermain api. Bukan sembarang api. Kali ini api yang dimainkan, bukan hanya mengena bilik kecilnya semata. Jika tidak cepat dipadamkan, maka api yang ditiup-tiupnya dengan keras bisa membakar seluruh negeri. Mulut Ferdinand yang meniup-niup api itu, jika tidak dihentikan, bisa mengundang marah bahaya dahsyat. Ferdinand ngelunjak. Merasa di atas angin, merasa tak tersentuh hukum. Menjadi percaya diri berlebihan. Nekad memasuki hal yang semestinya tabu untuk dimasukinya. Ia mengggugat Allah, Tuhan dalam makna Islam. Ia mengatakan, \"Allah mu lemah, Allah ku luar biasa\". Status Twitter @FerdinandHaean3 dibuat pada Selasa, 4 Januari 2022, pukul 10.54 WIB, demikian bunyinya: \"Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maka segalanya, DIA lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela.\" Merasa cuitan apapun darinya tidak akan menimbulkan persoalan.  Ferdinand merasa jadi orang kuat, meski tidak jelas apa pekerjaannya, kecuali hari-harinya memproduk cuitan nyinyir. Hantam sana-hantam sini. Merasa tak tersentuh hukum. Bebas bicara apa saja, bahkan boleh bicara menghina Allah, Tuhannya Presiden Joko Widodo, dan  mayoritas umat Islam Indonesia. Seorang Jusuf Kalla (JK),  yang dua kali jadi Wakil Presiden dari Presiden berbeda, itu pun kalah sakti dengan Ferdinand. JK diolok-olok di-Chaplin-chaplin-kan dan difitnah segala. Itu karena kumisnya, meski tidak sama, coba diserupakan dengan Charlie Chaplin. Sang anak perempuan tidak terima melihat sang ayah diperlakukan tidak semestinya, dan  melaporkan pada Bareskrim Polri. Tapi bertahun tidak ada tindak lanjut atas laporannya.  Sedang Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta, entah sudah berapa puluh bahkan ratus kali mendapat hinaan dan fitnah keji. Seolah tidak ada puas-puasnya. Intensitasnya dibuat makin meninggi dan jahat, mencoba memancing Anies untuk meresponsnya. Tapi seperti biasanya, Anies tidak menanggapi atau mempersoalkan. Marga Baswedan, marga sang kakek AR Baswedan, yang pahlawan nasional, itu dipelesetkan dengan Bus Edan. Lagi-lagi Anies mendiamkannya, seperti juga pemimpin negeri ini membiarkan ulahnya, seolah tampak memanjakan. Tapi kali ini yang disasar Ferdinand adalah Allah, Tuhannya mayoritas umat Islam. Kali ini apakah Ferdinand tetap mendapat privilage, dibiarkan tanpa tersentuh hukum. Kita lihat saja. Jika api yang ditiup-tiup Ferdinand tidak cepat dipadamkan, maka tidaklah perlu khawatir jika api itu nantinya akan menjalar ke mana-mana tanpa bisa dihentikan. Itu berbahaya. #TangkapFerdinand Ferdinand memasuki wilayah SARA, khususnya agama. Mestinya ia hindari. Mestinya tahu pada batas apa ia bisa ditolerir. Tapi pada sensitivitas agama persoalan akan menjadi lain. Cuitan Ferdinand itu bisa disebut masuk bagian dari kategori strategi politik memecah belah sesama anak bangsa. Jelas, ia melanggar UU ITE Pasal 45 ayat 2, dan Pasal 28 ayat 2 UU 19/2016. Selain itu ia melanggar Pasal 14 ayat 1 dan 2 KUHP. Mestinyai tidak menunggu aduan masyarakat. Polri bisa langsung menangkap pelaku ujaran kebencian. Bagian dari antisipasi agar \"api\" tidak membesar, yang akan sulit bisa dipadamkan. Jika terlambat, maka jangan tahan gerakan Aksi Umat Islam bergerak membela agamanya. Persoalan akan jadi berlarut. Kasus Ahok yang menghina Surat Al-Maidah 51, memunculkan gelombang gerakan aksi umat berjilid, yang mengantarkan Ahok ke penjara. Aksi Umat Islam tidak perlu terjadi jika keresahan umat bisa direspons selayaknya. Ferdinand tidak belajar dari kasus Ahok. Diri merasa terlindungi, tak tersentuh hukum. Karenanya, ia merasa akan aman-aman saja. Siang kemarin (5/1) Haris Pratama, Ketua KNPI, mendatangi Bareskrim Polri, melaporkan Ferdinand Hutahaean atas ujaran kebencian. Sedang di Makassar, Brigade Muslim Indonesia (BMI) Sulawesi Selatan, salah satu lembaga gerakan Islam di kota Makassar, resmi melaporkan Ferdinand ke Polda Sulawesi Selatan. Hampir semua elemen masyarakat mengecam ujaran kebencian bernuansa SARA produk Ferdinand itu. Termasuk Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) mengecam cuitan tidak bertanggung jawab Ferdinand. PGI menyatakan, bahwa apa yang disampaikan Ferdinand tidak mewakili umat Kristen, dan PGI mendukung proses hukum untuknya. Setidaknya itu yang disampaikan Pdt. Hendrik Lokru, Direktur Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian PGI. Sepertinya ada kesadaran bersama untuk menjaga negeri, agar tidak terlanjur menjadi arang. Maka, memadamkan \"api\" yang disulut Ferdinand menjadi kewajiban yang semestinya disegerakan. Tidak perlu umat Islam bergerak massal membela agamanya. Tidak perlu hingga muncul Aksi berjilid menuju Jakarta, di tengah kondisi negeri tengah berperang melawan penyebaran pandemi Covid-19. Sikap tegas Kapolri, tanpa pandang bulu, dinanti untuk disegerakan: #TangkapFerdinand. (*)

Bib Bahar, Sampeyan Itu Terlalu Lelaki

Oleh Ady Amar, Kolumnis SEPERTI melawan kemustahilan dan ia lagi-lagi jatuh pada hal yang sama. Jatuh yang pasti ia sadari, yang justru ia pilih. Itu setidaknya gambaran yang dihadirkan Habib Bahar bin Smith. Seseorang yang memilih takdirnya di penjara. Ia bisa diibaratkan seseorang dengan saraf takut yang sudah putus. Bahkan sudah putus saat ia masih jadi orok. Itu setidaknya narasi menggambarkannya. Atau untuk menyebut manusia yang tidak merasa perlu takut pada apapun yang nantinya akan merepotkannya. Badannya kurus kering. Tubuh pun relatif pendek,  tidak terlalu tinggi. Dan dengan rambut gondrong pirang berjurai lebih dari sepundak, ia lebih pantas dilihat bak penyanyi rock. Melihat sosoknya tidak ada seram-seramnya sebagai orang nekat. Tapi khusus untuknya, kenekatan itu sepertinya tidak perlu tampak sebagai gambaran orang nekat, yang tampil dengan badan gempal dan muka seram. Nada suaranya khas berat seksi. Ia memang asli putra Menado, yang berguru ilmu agama di tanah Jawa. Mendirikan pondok yang masuk di wilayah Kabupaten Bogor. Entah berapa banyak santrinya. Dan tidak tahu pula ia mengajar agama pada bidang apa. Nama pondok pesantrennya Tajul Alawiyyin. Habib Bahar bin Smith semalam jadi tahanan Polda Jawa Barat. Ia ditahan karena kasus ujaran kebencian. Pasal ujaran kebencian ini bisa ditarik kesana kemari, sesuai yang dikehendaki. Itu yang mengena pada Habib Bahar. Mestinya ia bisa menghindar dari persangkaan ujaran kebencian, jika ia menyadari bahwa setiap perkataannya yang diunggah di video dan viral itu punya konsekuensi menjeratnya. Tapi ya itu tadi, ia seolah berakrab dengan persoalan yang lalu membuatnya meringkuk dalam tahanan. Orang lain coba menghindar, tapi tidak dengannya yang seolah tidak hendak bergeser dari apa yang diyakini. Dan karenanya, disuarakan dengan tanpa tedheng aling-aling. Maka mendengarkan ceramahnya, seolah melihat orang sedang marah-marah. Memang ia marah melihat hal tidak sebenarnya dan lalu disampaikan dengan gayanya. Tidak sebagaimana orang lain, yang bisa memilih dengan narasi lebih halus dan dengan intonasi datar-datar saja. Tidak Gentar Saat Kasad Jenderal Dudung Abduracman mengatakan, \"Tuhan Kita Bukan Orang Arab\". Muncul banyak yang mengoreksi pernyataan absurd itu. Tuhan kok diserupakan dengan makhluk. Tidak terkecuali Bahar yang mengkritik keras. Diunggah di video dan viral. Sampai harus Brigjen Achmad Fauzi mendatanginya di pondoknya, dan terjadilah perdebatan seru keduanya. Habib Bahar tampak tegar tidak sedikitpun ada rasa gentar. Video perdebatan keduanya itu pun viral. Beberapa televisi berita pun menampilkan perdebatan itu. Orang lalu mengatakan, bahwa kedatangan Brigjen Achmad Fauzi dengan beberapa anak buahnya semestinya hal tidak perlu. Ada nada ancaman yang disampaikannya, yang disambut dengan jawaban Bahar dengan tegar pula. Nyali lelaki tidak biasa. Adegan perdebatan itu tidak perlu ada jika TNI dalam hal ini AD, tidak mendatanginya, meski menurut Brigjen Achmad Fauzi, itu ada di wilayahnya. Tapi bukan ranah TNI, itu ranah Kepolisian. Tapi ya itu tadi, sepertinya tidak suka seorang Bahar mengoreksi atasannya, Jenderal Dudung Abdurachman, ia jadi abai masuk pada yang bukan tupoksinya. Bahar tampak dominan dalam perdebatan itu, yang tetap dengan suara lantang dengan sesekali telunjuk tangannya dimainkan ke sana kemari. Siang kemarin Bahar mendatangi di Polda Jawa Barat, diperiksa dan ditahan. Bisa jadi \"sudah\" ditemukan alat bukti memberatkan. Harusnya hal demikian tidak perlu harus sampai ditahan segala. \"Harusnya Bantah pendapat dengan pendapat, bukan dengan dikriminalisasikan\". Setidaknya itu pandangan Refly Harun, pakar Hukum Tatanegara, yang juga aktif sebagai pegiat media. Habib Bahar bin Smith sudah ditahan, dan itu pilihannya, meski itu jadi pilihan tidak mengenakkan dalam mengawali tahun 2022. Manusia satu ini sulit bisa dihentikan, ia sudah memilih jalannya sendiri. Jalan yang tidak biasa. Jalan yang mesti dihindari, anehnya ia tetap enjoy memasukinya. Bib Bahar, sampeyan itu terlalu lelaki... (*)

Ulama Yang Dibunuh, Ulama Yang Dituduh

Seperti mengikuti tarikan napas, sepanjang itu ulama terus  mengalami penindasan. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari TAK cukup dihina, dianiaya dan dikriminalisasi, penyerangan dan pembunuhan para imam masjid, ustadz serta ulama mulai dilakukan dengan modus kasar namun terencana dan terorganisir. Usai Islam dan umatnya dianggap lemah dan tak berdaya. Siasat jahat menyingkirkan pewaris nabi dan penjaga ahlak itu, kini dipertontonkan dengan telanjang. Islam memang telah membuktikan sekaligus mengingatkan melalui wahyu yang berisi \"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang sampai kamu mengikuti agama mereka\", sebagaimana yang tertuang di Kitabullah Al Quran dalam surat Al Baqarah (1):120. Jauh sejak berabad-abad yang lalu hingga kini dan seterusnya.  Selama itu pula  umat Islam akan dimusuhi, diganggu, dan disingkirkan. Kemuliaan Islam sebagai agama Tauhid   dan agama  kemanusiaan memang telah lama menjadi ancaman sekaligus musuh besar bagi kepentingan-kepentingan penyembah berhala dan yang ingin menguasai dunia.  Tak cukup mendatangkan serangan dari luar, upaya penyusupan secara massif dan  terstruktur terus dilakukan dari dalam tubuh umat Islam sendiri. Semua kekuatan mulai dari agitasi dan propaganda, manipulasi data dan sejarah hingga menguasai ranah kultural dan struktural gencar dilakukan. Proyek penghancuran Islam dirancang sedemikian rupa dengan cara-cara yang halus dan kasar sekalipun. Operasi desislamisasi mampu dilancarkan dengan strategi politik maupun penggunaan kekuatan militer. Tentu saja dengan dukungan angaran yang tak terkira besarnya. Membunuh Populisme Islam Usai kegagalan sekulerisasi dan liberalisasi Islam dalam balutan globalisme. Islam di Indonesia terus menjadi persfektif dan proyeksi target politik ideologi kaiptalis dan ideologi komunis. Kedua produk pemikiran manusia yang secara substansi dan esensi berorientasi pada material juga  bersifat atheis itu. Memang memposisikan Islam sebagai penghalang  terbesar ambisi thogut  dunia. Setelah kriminalisasi ulama, khususnya pada Imam Besar  Al Mukarrom Al Habib Rieziq Syihab. Rezim tak pernah membiarkan seseorang  menjadi simbol pemimpin dan perlawanan rakyat di luar pemerintahan. Ulama kharismatik yang bervisi amar maruf nahi kunkar dan penggerak massa seperti Imam Besar Habib Rieziq Syihab itu. Bukan saja menjadi pemimpin umat Islam dan rakyat Indonesia pada umumnya. Keteguhan dan konsistensinya berdakwah, seiring waktu dinilai sebagai ancaman kekuasaan dan dianggap dapat menggulingkan rezim yang memang cenderung dibawah anasir kekuatan anti Islam.  Selain banyak lagi pemenjaraan ulama dan aktifis yang kritis terhadap rezim. Belakangan juga sering terjadi teror dan penganiyaan terhadap ulama. Bahkan sudah ada beberapa pembunuhan ulama yang terang-terangan dan terbuka. Habib Bahar Bin Smith  yang dianggap penerus Imam Besar Habib Rizeq Syihab juga mengalami hal serupa. Setelah bebas dari penjara dan harus bolak balik ke kepolisian menghadapai laporan tendensius dan politis. Sempat mengalami teror dikirimi kepala seekor Anjing. Boleh jadi Habib Bahar Bin Smith juga dapat terancam pembunuhan.  Tak lama berselang teror dan intimidasi oleh perwira TNI pada Habib Bahar Bin Smith. Lebih miris lagi, baru-baru ini tepatnya Jumat dini hari tanggal 31 Desember 2021. Di dalam Masjid Al Ikhwan Kelurahan Sepa, Kecamatan Belapa, Kabupaten Luwu - Sulawesi Selatan. Umat Islam dikejutkan dengan penganiayaan hingga menyebabkan kematian terhadap seorang imam masjid yang bernama Yusuf Daeng Palebba (72 tahun) oleh orang tak dikenal. Begitu keji dan laknatnya  pembunuhan imam masjid dilakukan di dalam masjid di wilayah NKRI dan  Panca Sila secara brutal. Rangkaian sikap permusuhan, kebencian dan sikap anti Islam tak bisa dipungkiri telah terintegrasi dan menjadi agenda yang dilakukan dengan sistem dan cenderung menggunakan institusi   yang berkepentingan. Sebagai mayoritas dinegerinya sendiri dan  terbesar di dunia. Umat Islam tak terhindarkan menjadi sasaran empuk konspirasi global. Tak cukup diformat sebagai potensi pasar internasional dan eksploitasi sumber daya alam.  Umat Islam kini diperburuk memasuki suasana intimidasi dan teror keagamaan. Islam telah berada dalam peperangan pemikiran (ghazwul fikri) dan kecenderungan program depopulasi. Mungkin sulit membuktikan secara    ilmiah  dan terkendala dalam mengeksplorasi data yang sarat statistik. Namun secara faktual dan kolerasinya  pada kehidupan umat Islam  yang nyata. Umat Islam khususnya di Indonesia, terus-menerus mengalami kedzoliman dan ketidak adilan. Kelemahan umat Islam di Indonesia menjadi equivalen dengan serangan luar yang begitu offensif dan progressif. Jumlahnya umat Islam memang mayoritas namun secara nilai masih minoritas. Tinggi dan mulia agamanya namun rendah dan buruk martabat umatnya. Seakan menegaskan kebenaran-kebenaran masa lampau yang disampaikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menjadi kesedihannya. Bahwasanya akan ada suatu massa, dimana umat Islam akan seperti buih di lautan. Sebuah kritik otokritik bersejarah yang visioner dari pembawa risalah yang agung. Betapa rapuhnya umat Islam di satu sisi, sementara begitu buasnya predator mengincar umat Islam di lain sisi. Pandemi yang menjadi  menjadi mega proyek sekaligus strategi global yang jitu fan efektif mereduksi Islam. Menjadi triger dari upaya merekonstruksi kemanusiaan dan ketuhanan dalam versi  poros tunggal dunia. Menjadi bagian dari skenario dan  berlangsungnya \'new age\'. Musuh-musuh Islam   menghancurkan sistem nilai yang selama ini sudah berjalan seperti demokratisasi, penegakan HAM, supremasi hukum,  kelestarian lingkungan,  isu negara kesejahteraan dan keadilan dsb. Isu-isu global yang selama ini mereka hembuskan dan kampanyekan sendiri. Namun mereka yamg mengingkari juga. Kekuatan yang melebur dalam kelompok \'non state\' dan muncul dalam kemasan zionis, freemassion-ilumminati, fundamentalis dan sekte agama-agama barat lainnya serta kekuatan komunis internasional. Nyata-nyata menguasai dunia, menghidupkan \"agama-agama\" dan \"Tuhan-Tuhan baru\". Membangun berhala-berhala dunia. Dalam situasi yang sedemikian itu, Islam menjadi keharusan untuk \'dilenyapkan\'. Kini, akankah kesabaran umat Islam ada batasnya?. Jauh sebelum bicara tentang jihad. Kesadaran kritis, ghiroh dan pembelaan terhadap umat, ulama dan agama Islam akan bersemi ditengah derasnya prises deislamisasi. Akankah umat Islam diam saat imam masjid, ustadz dan ulama dianiaya dan dibunuh?. Haruskah umat Islam membiarkan terus rangkaian  peristiwa  ulama yang dibunuh, ulama yang dituduh. Wallahu a\'lam bishawab. (*)