DAERAH

DPRD Sumbar Meminta Program Unggulan Harus Menyesuaikan Kemampuan

Padang, FNN - Ketua DPRD Sumatera Barat Supardi meminta agar pelaksanaan program unggulan Gubernur-Wakil Gubernur Sumbar Mahyeldi - Audy Joinaldy harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah serta kewenangan yang dimiliki. "Ada beberapa program unggulan yang akan membebani keuangan daerah sehingga dalam realisasinya harus sesuai kemampuan keuangan," kata Supardi di Padang, Kamis. Politisi Gerindra itu mencontohkan salah satu program unggulan pasangan yang diusung PKS dan PPP ini adalah menciptakan destinasi wisata unggulan di 19 kota dan kabupaten. "Masing-masing daerah memiliki destinasi wisata internasional, artinya ada 19 destinasi internasional yang ada di Sumbar," kata dia. Selain itu ada program menciptakan 100 ribu pengusaha milenial dalam masa jabatan periode 2021-2025 ini. Selanjutnya pemberian beasiswa kepada 1.000 mahasiswa di kampus terkemuka serta mengalokasikan 10 persen anggaran APBD Sumbar untuk sektor pertanian. "Ini perlu menjadi perhatian dan disesuaikan dengan kewenangan dan kemampuan keuangan daerah," kata dia. Ia mengingatkan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar hanya memiliki masa jabatan efektif selama tiga tahun dan pelaksanaan program unggulan hanya dapat dimulai pada 2022. "Tentu perlu strategi yang tepat agar program unggulan dapat selesai dalam masa jabatan tersebut," kata dia. Terutama dalam pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2026 harus sesuai dengan pokok pembangunan daerah yang ada di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025. "Serta harus diselaraskan dengan dokumen pembangunan lainnya seperti RIPDA Pariwisata Sumbar 2014-2025, RTRW Sumbar 2012-2032, RZWP3K dan Rencana Pembangunan Industri Sumbar 2018-2038," kata dia. (ant)

Warga Terdampak Bendungan Kuningan Dapat Rumah

Jakarta, FNN - Ditjen Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memastikan rumah khusus untuk merelokasi warga yang terdampak pembangunan Bendungan Kuningan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, siap untuk segera dihuni dalam waktu dekat. “Pembangunan Rumah Khusus untuk relokasi masyarakat yang terdampak pembangunan Bendungan Kuningan dapat segera digunakan dalam waktu kurang dari 15 hari," kata Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Khalawi Abdul Hamid dalam rilis di Jakarta, Rabu. Khalawi Abdul Hamid memaparkan bahwa sebanyak 419 warga yang terdampak akan segera dipindahkan ke rumah khusus ini begitu Bendungan Kuningan diresmikan dan dialiri dengan air. Khalawi menerangkan rumah khusus yang berlokasi di Desa Sukarapih, Kecamatan Cibereum, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat sudah dalam proses finishing dan penyelesaian Prasarana Sarana dan Utilitas (PSU). Dirjen Perumahan juga sudah melakukan dialog dengan pihak pelaksana pembangunan serta Bupati Kuningan untuk mengetahui progres serta kendala pembangunan di lapangan. "Saat ini progres pembangunan 419 rumah yang terbagi dalam empat tahap ini sudah mencapai 90 persen," katanya. Ia memaparkan pekerjaan pembangunan yang saat ini dilaksanakan adalah pengecatan, instalasi jaringan listrik dan air bersih yang akan segera rampung dalam waktu kurang dari 15 hari. Pekerjaan instalasi listrik dan air bersih akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan dibantu Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Sementara itu, Bupati Kuningan Acep Purnama menyatakan Pemerintah Daerah memastikan jaringan listrik dan air bersih akan segera masuk dalam perumahan ini. “Tiang-tiang listrik dari PLN sudah mulai masuk beserta dengan gardu listriknya. Dan untuk jaringan air bersih akan segera diusahakan dari PDAM setempat untuk segera menyiapkan jalurnya,” ujar Acep. Dalam hal penyediaan air bersih, Kementerian PUPR juga mengerahkan bantuan dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, dalam melakukan pengukuran Geo Listrik untuk menentukan sumber air pendamping PDAM yang dapat digunakan sebagai upaya percepatan penyelesaian rumah khusus ini. (ant)

Komunitas Malioboro Kumandangkan Lagu Indonesia Raya

Jogjakarta, FNN - Seluruh komunitas di sepanjang Jalan Malioboro Yogyakarta kompak mengumandangkan lagu Indonesia Raya yang dilanjutkan dengan Garuda Pancasila tepat pada 1 Juni 2021 yang diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. “Harapannya, akan semakin tumbuh jiwa patriotisme dan nasionalisme dari pedagang kaki lima (PKL) dan komunitas lain di Malioboro,” kata Ketua Koperasi Paguyuban Pedagang Kaki Lima Yogyakarta (PPKLY) Wawan Suhendra di Yogyakarta, Selasa. Menurut dia, seluruh pedagang kaki lima yang berada di bawah koperasi tersebut bahkan selalu rutin menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap pukul 10.00 WIB. Seluruh pedagang sudah berkomitmen untuk berdiri di depan kios masing-masing dan kemudian menyanyikan Indonesia Raya. Hingga saat ini, Wawan mengatakan, tidak ada pedagang yang merasa keberatan dengan komitmen tersebut karena kegiatan hanya memakan waktu sekitar lima menit. “Semua aktivitas dihentikan. Dagangan ditinggal sebentar termasuk jika ada pembeli sekali pun,” katanya. Hal senada disampaikan Ketua Koperasi Paguyuban Tri Dharma Rudiarto yang menyebut bahwa lagu Indonesia Raya dan Garuda Pancasila yang dikumandangkan di sepanjang Malioboro diharapkan dapat menggugah semangat nasionalisme seluruh komunitas di Malioboro. “Jiwa nasionalisme harus terus dipupuk untuk bisa menumbuhkan rasa peratuan, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Semangat Pancasila ini harus dijiwai oleh seluruh komunitas di Malioboro dari ujung utara hingga selatan,” katanya. Di sepanjang Malioboro terdapat setidaknya 4.000 orang yang menjadi anggota dari berbagai komunitas di tempat tujuan utama wisata di Kota Yogyakarta tersebut. Peringatan Hari Lahir Pancasila di Malioboro dilakukan dengan long march dari ujung utara hingga ujung selatan Jalan Malioboro. “Harapan kami, komitmen yang sudah dilaksanakan oleh seluruh komunitas seperti menyanyikan Indonesia Raya setiap pukul 10.00 WIB ini bisa terus dipertahankan dan bisa dilakukan lebih baik,” katanya. Meskipun seluruh komunitas pada saat ini disibukkan untuk kembali menggeliatkan denyut perekonomian di kawasan wisata Malioboro, namun Ekwanto menyebut komunitas tidak melupakan sejarah perjuangan bangsa. “Mereka tetap menggelar peringatan Hari Lahir Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Momentum seperti ini memang tidak seharusnya dilewatkan,” katanya. (sws/ant)

KKB Teroris? Negara Diduga Lakukan Terorisme di Papua (Bagian-1)

by Marthen Goo Jayapura FNN - Pemerintah mengumumkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai “Teroris” seperti yang disampaikan Menkopolhukam, Prof. Maufud MD, dan viral di media-media, tentu saja mengagetkan publik. Pro dan kontra terjadi dimana-mana. Hampir semua orang Papua menolak lebel tersebut. Tetapi di Jakarta, banyak yang pro dan kontra. Mestinya dengan melebel teroris, apalagi oleh pemerintah, harus jelas dan terukur. Dampak dari pernyataan pemerintah soal KKB sebagai terorisme ada empat. Pertama, terjadi pengiriman pasukan yang berlebihan. Kedua, adanya penyerangan darat dan udara. Ketiga, adanya masyarakat kurang lebih 7000-an orang mengungsi besar-besaran ke hutan. Sementara yang mengungsi ke distrik pembentukan traomating pada penduduk. Terhadap dugaan pada poin keempat, Komnas HAM diharapkan untuk segera turun ke Papua. Lakukan penyelidikan secara menyeluruh dari bentuk penyerangan yang dilakukan oleh apparat. Ada tidak korban warga sipil? Ada tidak pengungsian yang tidak dilindungi negara? Atau adanya proses pengabaian sebagai kejahatan HAM yang dikenal dalam dunia HAM adalah “by omission”. Jika ada kejahatan HAM, baik by omission, apalagi by comission, maka Komnas HAM harus berani untuk menetapkan sebagai kejahatan HAM. Seret segera pelakunya ke pengadilan HAM. Apalagi kalau jelas-jelas siapa yang memberikan intruksi. Jika merujuk pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maka soal “genosida”, jika ada dugaan terjadi, dan memenuhi unsur pasal 7 poin (a) tentang kejahatan genosida, dan pasal 8 poin (c) “menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya”. Membedah KKB dan TPN-OPM KKB adalah Kelompok Kriminal Bersenjata. Kata kriminal, memiliki arti bahwa kelompok yang melakukan perbuatan kriminal. Biasanya tujuan yang dilakukan adalah hal-hal yang sifatnya kecil dan terbatas serta tujuan materi semata. Sehingga, siapa itu kelompok kriminal bersenjata? Barang kali hanya pemerintah di Jakarta yang tahu kelompok tersebut. Hal itu berbeda dengan TPN-OPM. TPN sendiri adalah Tentara Pembebasan Nasional. Sementara OPM adalah Organisasi Papua Merdeka. Artinya bahwa organisasi, baik TPN maupun OPM adalah organisasi Idiologi Papua Merdeka. Perjuangan mereka adalah perjuangan untuk merebut kemerdekaan Papua. Mereka juga bisa disebut sebagai kombatan, dalam perspektif perjuangan idiologi. Barang kali perjuangan TPN-OPM ini sama dengan keberadaan Indonesia saat berjuang untuk merebut kemerdekaan setelah mendeklarasikan kemerdekaan 17 agustus 1945. Karena paska proklamasi kemerdekaan, Belanda berkeinginan untuk mengambil kembali Indonesia, dan melalui desakan Amerika, akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Indonesia pada saat itu memiliki idiologi yang sama tentang kemerdekaan, dan lepas dari penjajahan. Bahkan Soekarno sebagai salah seorang pejuang selalu ditangkap dan dilebelin separatis. Terjadi dua cara pandang yang berbeda. Belanda menganggap Soekarno adalah separatis, tetapi rakyat di Jawa menganggapnya sebagai nasionalis dan pejuang bagi keselamatan rakyat Jawa kala itu. Keberadaan TPN-OPM secara subtansial sama. Barang kali bagi sebagian rakyat Indonesia TPN-OPM adalah kelompok separatis, tapi bagi sebagian besar rakyat Papua, TPN dan OPM adalah organisasi nasional Bangsa Papua untuk kemerdekaan. Tentu ini soal cara pandang dan pada posisi dimana kita berada. Hal yang sama juga saat Belanda menguasai Jawa dan beberapa daerah lainnya minus Papua. Jadi, dari aspek subtansial, KKB dan TPN/OPM tentu berbeda. Walau dalam perspektif separatis, Menurut Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Internasional Unpad Bandung, “separatisme diartikan gerakan memisahkan diri suatu masyarakat di dalam suatu negara. Alasannya ketidakadilan sosial yan terjadi terhadap masyarakat setempat. Pola kolonialisme sudah tidak relevan lagi untuk abad ini”. Barang kali terhadap pernyataan Guru Besar tersebut, cara pandang yang dilihat hanya pada tahun 2021. Sementara TPN-OPM lahir dari akumulasi perjalanan sejarah yang Panjang. Dimana ada kesinambungan antara perebutan Papua oleh Soekarno dengan paksa, operasi militer, Pepera 1969 di bawah tekanan militer, operasi militer lanjutan dan kejahatan kemanusiaan yang panjang hingga saat ini. Dari aspek tersebut, pernyataan guru besar sesungguhnya bisa menjadi perdebatan tersendiri. TPN-OPM Punya Kepastian Hukum Pemerintah menetapkan KKB teroris ,dan itu disampaikan ke publik lewat media. Pertanyaan dalam perspektif hukum, KKB itu siapa? Pemerintah bisa menjelaskan yang dimaksud KKB? Apakah KKB itu adalah oknum dari orang? Atau organisasi apa ? Bukankah dalam hukum pidana, ketika menyebut subjek hukum harus jelas? Ketika pemerintah menyebutkan KKB teroris, narasi yang disampaikan ke publik sangat abstrak dan multitafsir. Artinya, siapapun orang yang hanya didasarkan pada asumsi bisa disebut teroris seenaknya. Tanpa ada batasan dan penjelasan yang jelas, kongkrit dan terukur. Ini stigmatisasi atas pernyataan teroris. Sementara pernyataan pemerintah tidak jelas dari aspek subtansi ketika bicara subjek hukum. Jika merujuk pada pernyataan pemerintah yang disampaikan Menkopolhukam “pemerintah menganggap organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris”. Apakah semudah itu? Sementara penetapan teroris itu unsurnya ketat dan terukur. Kenapa pemerintah menyebut orang Papua? Apakah ini tendensius rasisme, atau kebencian kepada orang Papua? Subjek hukum tidak jelas, maka berpotensi kekerasan bisa terjadi. Kerena pada siapa saja yang diasumsikan melakukan kekerasan. Bahkan, ketika rakyat protes dan dianggap melawan aparat, bisa didalilkan dengan terorisme. Ini menciptakan kegaduan baru. Apalagi dasar hukum penetapan itu tidak ada, tetapi pengiriman pasukan dan pendekatan militer digunakan pendekatan “respon terorisme”. Jika merujuk pada UUD’45 pasal 1 ayat (3) Indonesia adalah negara hukum, mestinya kepastian hukum, dan subjek hukum harus jelas. Kalau yang kaya gegini, sama saja dengan melakukan tindakan yang inkonstitusional. Sewenang-wenang. Sesuka hati. Unsur Dalam Gerakan Terorisme Sekarang kita coba dalami unsur-unsur dalam pengertian teroris. UU Nomor 5 tahun 2018 dijelaskan “terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”. Pengertian ini ada dua poin yang bisa dilihat. Pertama, perbuatan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal. Kedua, perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan Jika merujuk pada dua poin dasar tersebut, hal-hal yang dilakukan TPN jika kita gali dan dalami secara objektif, barangkali bisa digali dan didalami oleh tim independen lain. Pertaman, TPN selalu berkonflik dan saling bermusuhan dengan TNP/Polri. Kedua, TPN hanya akan mengintrogasi atau membunuh oknum tertentu orang yang menjadi bagian dari mata-mata aparat Indonesia (spionase). Ketiga, menghancurkan fasilitas umum yang dihuni/digunakan TNI/Polri sehingga beralih fungsi dari umum ke khusus . Dari tiga poin yang biasa dilakukan TPN/OPM tersebut, tentu dalam konflik kombatan, itu normal dan wajar jika dilihat dalam perspektif hukum humaniter. Artinya, jika dirujuk pada konflik kombatan, aspek teroris tidak masuk. Bahkan jika dirujuk pada pengertian teroris pun tidak masuk. Kalau pemerintah merujuk pada pengertian teroris, terlalu jauh menyimpulkan. Fakta lyang sudah jadi rahasia umum sejak Papua di dalam Indonesia, TPN-OPM tidak pernah membunuh warga sipil, baik warga asli Papua maupun non Papua. Bahkan perjuangan TPN-OPM adalah pembebasan nasional dan penyelamatan orang Papua. Sejak pendirian TPN-OPM sampai saat ini, belum ada warga pendatang yang dibunuh. Hal tersebut berbeda jika itu adalah TNI-Polri atau spionase (mata-mata). Mama-mama di Papua menjelaskan bahwa TPN-OPM itu bukan teroris. Hasil wawancara media suara Papua, mama Yosina adalah salah satu korban yang masih trauma sampai saat ini. Ia mengaku menyaksikan keluarganya dibantai pasukan militer tahun 1969. “Waktu itu Mamade dan Bapade dibantai tentara. Saya saksikan sendiri keganasan militer Indonesia. Jadi, yang terorisme itu siapa? Semua orang tahu yang biadap selama ini di tanah Papua” (SuaraPapua.com 15 Mei 2021). Di Harian Kompas, tokoh Papua Natalius Pigai menyebut, “militer justru hadir sebagai monster leviadan, beringas pembawa maut di Papua. Ternyata opini dan propaganda media intelijen di negara ini bahwa TPN-OPM atau KKB membunuh rakyat Papua ternyata propaganda utopis, tipu muslihat pemerintah”. “Jika rakyat Papua korban terus, maka sudah pasti TPN-OPM akan hadir untuk melindungi rakyat Papua. Masa yang akan datang mereka TPN-OPM akan semakin kuat untuk hadir melindungi bumi putra dan tanah airnya. Pemerintah harus buka kran demokrasi”, ujar Pigai (Kompas, 17/5/2021). Jadi, pemerintah harus memperjelas siapa KKB. Karena dari aspek subjek sangat tidak jelas. Sementara jika KBB yang dimaksud adalah TPN, dari fakta tidak terpenuhi, dari subjek hukum pun tidak terpenuhi. Bahkan kekerasan yang diarahkan kepada rana sipil justru selalu dilakukan oleh aparat negara. Fakta hari ini bisa kita lihat terjadi pengungsian besar-besaran. Belum lagi tiga kakak-beradik yang dibunuh dalam rumah sakit di Intan Jaya. (bersambung). Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.

Rakyat Tolak Otsus Papua, Jakarta Jangan Sok Kuasa

by Marthen Goo Jayapura FNN - Ketika bicara negara Indonesia, tentu tidak terlepas dari bicara sejarah bangun negara. Dimana Indonesia dibangun atas kesepakatan bersama oleh pendiri bangsa. Soekarno dan the founding fathers lainnya sangat membuka ruang dan menghargai proses demokrasi dengan perdebatan gagasan. Dasarnya adalah kesepakatan bersama mendirikan sebuah negara dari gagasan-gagasan yang dilahirkan. Logikanya, ketika merumuskan sesuatu kebijakan dalam pembangunan nasional, mestinya juga didasari pada kesepakatan bersama. Bukan pada pemaksaan kekuasaan. Apalagi Indonesia yang multi kultur, multi ras, multi kebudayaan, mestinya proses demokrasinya harus dimatangkan dalam semangat kebangsaan. Bukan pemaksaan kehendak mayoritas, seakan-akan mewakili kaum minoritas dalam kebangsaan. Tragisnya, kebijakan yang diambil justru merugikan kaum minoritas. Demokrasi dan penghormatan pada kebhinekaan mestinya dihargai sebagai upaya untuk memajukan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM). Semangat itu, kemudian lahir yang namanya konstitusi. Dalam konstitusi, pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-undang Dasar”. Terhadap pasal ini, yang pembatasannya jelas pada UUD’45. Untuk itu, mari kita berpegang pada prinsip-prinsip dasar konstitusi yang dirumuskan dalam tujuan nasional, yakni pada pembukaan yaitu (1) melindungi, (2) mensejahterakan, (3) mencerdaskan, dan (4) penertiban. Jika merujuk pada semangat konstitusi di Indonesia yang dikenal dengan UUD’45 itu, apakah UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua telah memenuhi tujuan nasional? Jika tidak terpenuhi, dan turut menghancurkan kehidupan orang Papua, apalagi selama berlangsungnya otonomi khusus justru mengancam kehidupan warga bangsa, maka sebaiknya tidak perlu dipaksakan. Dalam kenyataannya, pelaksanaan otonomi khusus tersebut hanya menyenangkan para pejabat di tanah Papua. Sebaliknya rakyat malah yang sengsara dan semakin menderita kehidupannya. Maka wajar saja kalau rakyat Papua memiliki hak konstitusional untuk menolak otonomi khusus tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat tidak perlu mamaksakan kehendak. Jangan sok kuasa. Penolakan otonomi khusus sudah berjalan sejak tahun 2004 lalu. Pada tahun tersebut, Dewan Adat Papua sebagai lembaga adat yang menjadi payung adat bagi seluruh rakyat di tanah Papua melakukan aksi besar-besaran di Jayapura, ibu kota propinsi Papua dengan menolak otonomi khusus. Rumusan otonomi khusus tidak mempertimbangkan aspek kekhususan Papua. Tidak juga menjelaskan pada pasal mana saja proteksi tersebut dirumuskan. Penolakan otonomi khusus terus berjalan di tanah Papua. Bahkan di tahun 2008, rakyat Papua di Nabire juga melakukan aksi dengan membawa peti-mati yang bertuliskan “Otonomi Khusus Telah Mati”. Aspirasi rakyat itu oleh DPRD Nabire, dibawa ke DPRP Propinsi. Tahun 2009 dan 2010, di Jayapura, dilakukan aksi besar-besaran yang diorganisir oleh Forum Demokrasi (Fordem). Aksinya dipusatkan di kantor MRP, DPR-P dan Gubernur dengan isu yang sama. Aksi-aksi penolakan otsus di Papua berjalan terus tanpa henti. Bahkan di tahun 2021 ini, di Dogiyai dilakukan aksi besar-besaran dua kali menyampaikan penolakan terhadap otonomi khusus dan penolakan pemekaran provinsi Papua. Aksi di Dogiyai merupakan aksi seluruh komponen rakyat Papua di Dogiyai. Rentetan semua itu menunjukan bahwa rakyat di Papua menolak otonomi khusus. Sementara di Yahukimo, rakyat melakukan aksi yang sama untuk menolak otonomi khusus. Sam Awom dalam zoom meeting 24 maret 2021 lalu menyebutkan bahwa “rakyat Papua menolak otonomi khusus. Sehingga oknum elit di Jakarta jangan mengatas-namakan rakyat untuk dorong otonomi khusus revisi. Rakyat hari ini meminta referendum sebagai jalan demokratis”. Sam Awom sebagai koordinator penandatanganan penolakan Otsus berkali-kali menyampaikan hal yang sama. Karena dalam petisi, dapat diukur bahwa rakyat Papua menolak otonomi khusus. Semestinya, ketika rakyat menolak otonomi khusus, DPR di senayan harus mendengarkan aspirasi rakyat. Bersikap menyuarakan aspirasi rakyat, karena esensi dari pada parlemen adalah perwakilan rakyat. Ruang aspirasi dan dengar pendapat rakyat harus dibuka selebar-lebarnya. Hari ini rakyat sudah menolak otonomi khusus. Jangan lagi direkayasa untuk melakukan revisi undang-undangnya Pada saat yang Papua menolak otonomi khusus secara merata di seluruh bumi Papua, Pemerintah Jakarta malah diam-diam ketemu dengan orang-orang yang tidak representatif dan mengatasnamakan rakyat Papua. Tujuanya hanya untuk kepentingan merubah Undang-Undang Otonomi Khusus. Bukan membuka ruang dialog yang seluas-luasnya, dari kabupaten ke kabupaten. Pemerintah pusat harus menunjukan profesionalistas dalam ketaatannya kepada konstitusi negara. Terutama yang berkaitan dengan keinginan merubah atau merevisi Undang-Undang otonomi khusus di Papua. karena merumuskan sebuah undang-undang harus dengar aspirasi rakyat. Bukan dengan upaya politisasi. Ini negara hukum yang sudah jelas perumusannya. Dasar hukum dari semangat bernegara adalah (1) tujuan nasional, (2) UUD’45, dan (3) UU. Jika tiga hal tersebut tidak terpenuhi, mestinya pemerintah berpikir format lain yang lebih memproteksi rakyat. Bukan dengan memaksakan kehendak. Fakta membuktikan bahwa otonomi khusus yang basisnya adalah Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tidak berhasil. Tidak berhasilnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2201 karena di dalam undang-undang khusus tersebut, tidak dimuat hal-hal yang berhubungan dengan masalah di Papua. mDengan demikian, tujuan nasional tidak ada dalam UU No. 21 Tahun 2001 untuk kehidupan bagi orang Papua. Selain itu, UUD’45, dimana pasal 1 ayat (2) dirujuk pada pasal 19 ayat (1) dan pasal 20 juga tidak berkolerasi. Cara pandang bahwa uang sebagai jawaban adalah sebuah kekeliruan yang patal. Karena cara pandang yang seperti itu, sama sekali tidak menghentikan marjinalisasi terhadap rakyat, pelanggaran HAM yang nyata dan telanjangserta dan kejahatan-kejahatan lainnya terhadap rakyat Papua. Soal paling penting dan strategis yang perlu dipikirkan dan dikaji baik-baik oleh pemerintah pusat. Prinsipnya adalah ketika rakyat sudah menolak otonomi khusus, karena tidak berhasil, maka, tugas pemerintah pusat adalah mencari jalan atau cara yang lebih besar dari otonomi khusus. Salah satunya adalah membuka ruang dialog dan perundingan yang seluas-luasnya dengan rakyat. Tidak ada cara lain. Jangan juga takut berhadapan dan berdialog dengan rakyat sendiri. Membuka dialog dan perundingan yang selebar-lebarnya juga ditegaskan oleh tokoh nasional asal Papua, Natalius Pigai. Tokoh pegiat HAM dan keadilan ini menyarankan agar segera “bekukan otonomi khusus dan gelar perundingan”. Barang kali, ini cara yang bisa ditempuh untuk mencari solusi bersama di Papua guna wujudkan Papua sebagai tanah yang damai untuk semua anak bangsa. Perundingan sendiri harus dilihat dalam semangat konstitusi negara. Pertama, semangat lahirnya negara. Kedua, musyawara untuk mufakat, yakni sila keempat. Ketiga, adanya referensi Aceh dalam perundingan untuk menyelesaikan masalah. Bahkan musyawarah untuk mufakat adalah ciri has kebudayaan bangsa yang wajib untuk dilestarikan. Dengan demikian, perundingan memenuhi ketentuan konstitusional. Mestinya kita harus jauh lebih bermartabat dalam menyelesaikan berbagai masalah di Papua. Bukan dengan praktek arogansi dan otoritarianisme. Apalagi mengabaikan prinsip-prinsip dalam bernegara. Jangan mengabaikan semangat rumusan UUD’45 yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan sebagai dasar lahirnya konstitusi yang tertulis di Indonesia sebagai bentuk sistim hukum tertulis (eropa kontinental). Penulis adalah Aktivis Kemanusia Asal Papua.

Anies Yang Masih Membangun Saja Disalahkan, Apalagi?

by Mang Udin Jakarta FNN - Baru-baru ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membangun rumah panggung di wilayah langganan banjir. Persisnya di Kampung Melayu. Untuk sementara, ada 40 rumah panggung yang dibangun. Sebagai pilot project dulu. Anggaran setiap rumah Rp. 78 juta. Konsepnya, rumah panggung tiga lantai. Lantai bawah untuk dapur dan ruang interaksi sosial. Lantai dua dan tiga untuk keluarga. Dengan begitu, mereka para penghuni tidak perlu bingung ketika terjadi banjir. Penghuni tetap nyaman tinggal di lantai atas. Ini terobosan ide yang patut didukung. Inovasi baru, karena memang tidak pernah ada sebelumnya. Sebuah nalar kreatif dalam menghadapi masalah banjir. Namun ada saja yang mencemoh 40 rumah panggung yang baru menjadi pilot project tersebut. Wah, ini proyek nggak bener. Bisa menimbulkan kecemburuan sosial, kata salah seorang anggota DPRD DKI. Yang banjir kan tidak di daerah Kampung Melayu aja. Ada sejumlah wilayah yang menjadi langganan banjir di DKI. Mestinya dibangun serentak, lanjutnya. Nggak apa-apa juga anggota DPRD DKI bilang begitu. Namanya juga kritik. Masukan yang perlu didengar. Hanya sedikit perlu dijelaskan bahwa pembangunan kota itu bertahap. Ini lumrah, wajar, dan bagian dari umumnya perencanaan. Kalau kita memahami ini, maka tidak perlu menyoal kesetaraan, keadilan, apalagi kecemburuan terkait rumah panggung. Kecuali jika ada yang cemburu karena tidak dilibatkan dalam pilot project. Tetapi, cemburu itu alami. Setiap orang butuh duit kok. Istilah serentak tidak lazim ada dalam program pembangunan. Pemilu serentak, nah ini baru popular anggota DPRD yang terhormat. Nikah serentak juga boleh, eh maksudnya kawin massal,. Itu juga ada. Tetapi, pembangunan serentak, ini istilah yang agak asing di telinga. Anggota DPRD belajar tentang perencanangan pembangunan, belajarnya di penggiran jalan mana? Kalau belajarnya di selokan, got atau gorong-gorong, kira-kira dimananya ya? Pelebaran atau pembangunan jalan misalnya, apakah dibangun serentak? Tidak juga. Trotoar, apakah juga dibangun serentak? Tidak juga. Begitu juga LRT/MRY dan normalisasi sungai, apakah dilakukan serentak? Kalau pembangunan ada yang serentak-serentak, tolong tunjukan, kira-kira dimana? Tak serentak itu bukan berarti tak adil. Tak serentak bukan berarti tak merata. Tak serentak bukan berarti tebang pilih. Ini hanya soal perencanaan, tahapan dan anggaran saja. Untuk berpikir sederhana ini, tak perlu harus pinter-pinter amat. Amat aja nggak pinter-pinter juga. Warga mungkin tak cemburu. Tetapi, kalau diprovokasi terus-terus, mereka kemungkinan akan was-was juga. Khawatir program rumah panggung tidak berlanjut. Padahal semua butuh proses. Tidak bisa bim-salabim. Tidak bisa abrak-kedabrak. Ini program berkelanjutan. Maunya, setiap pemimpin ingin menuntaskan semua program dalam semalam. Seperti mitos dalam cerita Roro Jonggrang. Tetapi, kita sekarang hidup di dunia nyata. Tidak hidup di zaman Candi Borobudur ketika didirikan. Mesti anggota DPRD menyadari perlunya proses itu. Tdak semua pembangunan infrastruktur bisa tuntas dalam satu periode Gubernur. Lihat itu LRT/MRT. Dimulai dengan perencanaan pada masa Gubernur Sutiyoso hingga sekarang belum juga selesai-selesai tuh. Ini namanya program yang berkelanjutan. Masa anggota DPRD tidak paham? Jangan-jangan memang tidak mau paham. Ya, terserah saja kalo gitu. Saat pendemi dimana anggaran terbatas, ada pembangunan untuk warga tanpa merogoh kocek APBD, tetapi menggunakan Corporate Social Responsibiloty (CSR), dana Baznas Bazis DKI dan Kerjasama dengan institusi lain. Ini sebagai terobosan yang luar biasa. Apalagi, ini diprogram sebagai solusi untuk mengamankan warga dari banjir yang selama ini menjadi masalah tahunan bagi masyarakat Kampung Melayu dan wilayah lainnya. Sebuah solusi cerdas. Setelah program normalisasi sungai yang berkelanjutan, program naturalisasi sedang berjalan. Penambahan dan perbaikan pompa, serta program penghijauan dan pembuatan sejumlah waduk, rumah panggung adalah solusi tambahan. Meski bersifat lokal, tetapi ini sangat membantu warga untuk keluar dari masalah banjir. Masih juga disalahkan? Kebangetan kau anggota DPRD. Bagaimana program rumah panggung di wilayah lainnya? Kalibata, Condet dan Pesanggrahan misalnya? Masih ada hari, tanggal, bulan dan tahun. Jakarta belum kiamat. Masih bisa dikerjakan di beberapa bulan berikutnya. Kalau pilot project ini berhasil, nantinya bisa juga dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI. Bisa menggandeng semakin banyak perusahaan swasta dengan CSR-nya. Bisa juga melalui donasi dari luar negeri. Yang 40 rumbah ini baru pilot project. Lihat dulu, evaluasi efektifitas dan manfaatnya. Jangan buru-buru kebakaran jenggot. Ntar mukamu bisa gosong. Namun, kalau kritik semata-mata hanya untuk cari panggung, boleh-boleh juga sih. Bisa jadi iklan yang efektif. Tetapi, sesungguhnya ada banyak pilihan cara yang lebih bijak dan elegan untuk manggung. Tidak harus dengan cara menyalahkan apapun yang dilakukan Gubernur Anies. Kecuali ada tugas khusus untuk menyalahkan itu. Jangan-jangan punya spesialisasi disitu. Ya, kita harap maklum saja! Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik.

Perlu Dialog Jakarta-Papua Seperti Tawaran Jokowi Untuk Myanmar

by Marthen Goo Jayapura FNN - “…Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?...” jika merujuk pada kata-kata Yesus Kristus yang diyakini oleh umat Kristiani sebagai Tuhan, dan jika bisa direfleksikan kembali dengan pernyataan Kristus tersebut, barang kali ini yang dimaksudkan. Adakah praktek hal yang sama? Dimana masalah Papua di dalam negara sendiri diabaikan. Bahkan aspek kemanusiaan tidak diperhatikan, dan dilakukan pendekatan yang sama berulang-ulang. Sementara di Myanmar, aspek kemanusiaan dianggap jauh lebih prioritas dan penting. Aneh bin ajaib. Tentu sebagai manusia yang beradab, patut kita kutuk semua kejahatan dan kekerasan yang melukai, merendahkan dan menghancurkan martabat manusia dimana saja manusia berada. Bahkan semangat deklarasi universal hak asasi manusia di dunia adalah semangat yang mengedepankan kemanusiaan sebagai hak hidup yang wajib dihormati oleh siapapun. Deklarasi universal hak asasi manusia yang lahir pada 10 Desember 1948 adalah deklarasi yang menghormati hak asasi manusia di dunia tanpa perbedaan kelas, rumpun, ataupun agama. Dalam semangat itu kemudian di Indonesia, penghormatan kepada Hak Asasi Manusia (HAM) dirumuskan secara utuh dalam konstitusi negara secara tertulis. Bahkan dipertegas dengan ketat setelah dilakukan amandemen yang ke-4 UUD 1945. Setelah itu, dirumuskan juga dalam Undang-Undang baik Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Walau demikian, apakah kejahatan terhadap HAM di Papua berhenti? Tentu saja tidak. Masih tetap saja terus kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua. Bahkan kejahatan rasisme pun tetap dilakukan. Menurut Raga Kogoya, Tim Relawan Kemanusiaan Nduga,“…kalau kami bicara tentang Nduga, orang banyak yang meninggal, dan suku Nduga itu akan hilang akibat operasi militer. Anak-anak jadi korban tidak sekolah, ibu-ibu banyak meninggal saat melahirkan. Masyarakat 11 distrik sudah kosong. Terjadi pengungsian besar-besaran sampai ke Jayapura dan Wamena,Timika, Ilaga, ada juga yang sampai ke Asmat dan Merauke”. Masih kata Raga Kogoya,,, “semua itu akibat asap bom yang diturunkan. Banyak masyarakat Nduga yang meninggal. Banyak yang ditembak. Kami kemudian tidak mendata lagi karena kami diancam, terus kami dikejar. Pengungsi tidak bahwa KTP dan KK. Jadi saat mengungsi di Wamena kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Ada yang meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan”. “,,,kami membangun sekolah untuk pengungsi dalam pengunsian, tetapi kami ditekan. Kami beribadah juga. Mobil tentara masuk ke-arah tempat ibadah dan keliling. Anak-anak ditekan. Anak-anak kemudian terlantar sampai tidak sekolah sejak 2017 hingga sekarang, sudah 4 tahun lamanya”. Keterangan Raga Kogoya sebagai tim relawan memberikan gambaran tentang situasi Nduga saat ini. Sudah berjalan mencapai 4 tahun, dimana rakyat menjadi ancaman serius. Kasus yang sama juga sedang terjadi di Intan Jaya. Bahkan ada pengungsian juga di Timika. Negara yang mestinya hadir untuk melindungi dan menyelamatkan rakyat pengungsi. Sayangnya itu belum terlihat. Kenyataan yang berbeda dengan kasus Wamena, dimana ketika warga non-Papua hendak mengungsi, kekuatan negara langsung hadir dan memfasilitasi pengungsian. Bahkan untuk diberangkatkan keluar Papua pun difasilitasi negara. Perbedaan perlakuan yang dipertontonkan negara kepada publik. Tentu saja semangat kita adalah melawan kejahatan kemanusiaan dan praktek-praktek rasisme yang merendahkan martabat kamanusiaan. Agar kedamaian bisa terwujud diantara sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sama tanpa perbedaan dan tampa kelas. Semangatnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Semoga semangat itu bisa diwujudkan Presiden. Myanmar harus dibantu demi kemanusiaan, begitu juga dengan Papua. Presiden Dorong Dialog Myanmar Presiden menyampaikan keprihatinan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar dengan berkata, “…atas nama pribadi dan seluruh rakyat Indonesia, saya menyampaikan dukacita dan simpati yang dalam kepada korban dan keluarga korban akibat penggunaan kekerasan di Myanmar”. Indonesia kata Presiden Jokowi, “mendesak agar penggunaan kekersan di Myanmar segera dihentikan. Sehingga tidak ada lagi korban berjatuhan. Keselamatan dan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama. Indonesia juga mendesak agar dialog, agar rekonsiliasi segera dilakukan untuk memulihkan demokrasi, untuk memulihkan perdamaian dan untuk memulihkan stabilitas…” Atas pernyataan Presiden terhadap Myanmar tersebut, patut diberiapresiasi sebagai penghormatan kepada kamanusiaan sebagai cita-cita bangsa, dan tujuan nasional yakni “mewujudkan perdamaian dunia”. Bahkan sebagai perwujudan sila kedua walau lintas negara. Untuk Myanmar, Presiden tidak hanya menyampaikan keprihatin atas nama pribadi dan kepala negara. Presiden juga mendesak dilakukannya dialog dan rekonsiliasi sebagai jalan untuk mencapai solusi damai. Terus, bagimana dengan Papua Pak Presiden? Bukankah untuk hal yang sama, seharusnya sudah dilakukan terhadap Papua Pak Presiden? Jika ucapan dukacita bisa disampaikan kepada Myanmar, mestinya yang sama juga disampaikan kepada rakyat Papua yang selalu mendapat kekerasan berkali-kali sampai saat ini. Jika kekerasan di Myanmar dihentikan, mestinya kekerasan di Papua juga dihentikan, dengan melakukan pendekatan kemanusiaan. Hentikan pengiriman pasukan berlebihan ke Papua. Seharusnya diganti dengan pengiriman dokter dan tim medis, apalagi dalam situasi Covid. Perlu pengiriman guru untuk anak-anak yang dipengungsian. Kembali lagi soal dialog dan rekonsiliasi, bukankah bijaksana jika Papua sudah dilakukan dialog Jakarta-Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai? Itu sebagai contoh pernyataan Presiden ke publik Indonesia dan dunia tersebut? Bagimana jika orang menyoroti pernyataan Presiden, bahwa Presiden Indonesia menunjukan prihatin kemanusiaan kepada Myanmar, tetapi di dalam negaranya sendiri, soal Papua bermasalah. Sejak Papua dimasukan ke Indonesia sampai saat ini terus terjadi kejahatan kemanusiaan. Negara terus melakukan pendekatan keamanan dengan berbagai operasi keamanan yang melahirkan pelanggaran HAM ? Semoga tulisan ini dibaca Pak Presiden. Jangan sampai tibah pada kesimpulan dalam bahasa pasaran yang selalu disampaikan anak milenial bahwa “Papua latihan lain, main lain”. Artinya, bicara lain, perbuatan lain. Pak Presiden jika merasa penting, lakukan dialog dan rekonsiliasi. Cobalah Pak Presiden lakukan terhadap Papua, agar pernyataan Presiden bisa dihargai. Perlu lakukan pendekatan di Papua untuk menyelesaikan masalah-masala di Papua secara menyeluruh. Hindari “latihan lain, main lain”. Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Mendengar pernyataan Presiden terhadap kasus Myanmar, tentu ada publik yang merasa bangga. Ada juga publik yang merasa heran, apalagi orang Papua, karena Presiden menunjukan kepedulian terhadap kemanusiaan rakyat Myanmar. Tetapi mengabaikan kemanusiaan rakyat Papua. Alm. Pastor Dr. Neles Tebai Pr. yang adalah koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) pernah berjumpa Presiden dan menyampaikan konsep dialog Jakarta-Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai Papua. Namun sampai saat ini, dialog Jakarta-Papua belum juga dilakukan. Dalam semangat menghormati hak asasi manusia, Komisi Tinggi HAM PBB hendak ke Papua. Namun sampai saat ini, mereka masih kesulitan untuk masuk ke Papua. Mestinya Presiden bisa menjamin kelancaran mereka mengunjungi Papua dan berjumpa dengan korban dan keluarga korban. Setidaknya pernyataan Presiden untuk Myanmar itu dibuktikan juga terhadap kehadiran Komisi Tinggi HAM PBB. Sekali lagi, ini dalam konteks kemanusiaan, karena itu juga yang disampaikan Presiden. Menurut Theo Esegem, Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua “…Saya harap bapak Presiden dan jajarannya coba buka diri dan ruang, agar dari Komisi Tinggi HAM di PBB dapat melakukan kunjungan ke Papua. Sehingga dapat membuktikan desakan 83 negara terkait isu pelanggaran HAM di Papua. Apa artinya kepala negara tidak mengijinkan Komisi Tinggi HAM PBB masuk ke Papua? Namun menunjukan sikap terkait konflik kekerasan di Nyianmar? …” Sebanyak 83 negara telah memberikan pandangan saat merespon kasus pelanggaran HAM di Papua. Negara-negara itu menyimpulkan masalah pelangaran HAM di Papua adalah masalah serius yang harus diselesaikan. Untuk itu mendesak Komisi tinggi Ham PBB untuk melakukan kunjungan ke Papua Barat. Terhadap hal ini, atas nama kemanusiaan, Presiden harus membuka akses, mempraktekan dialog dan rekonsiliasi tersebut untuk Papua. Kita harus sepakat bahwa cara-cara kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Setiap kekerasan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus dihapuskan. Cara menghapusnya adalah dengan memperbanyak dialog dan rekonsiliasi sebagai perwujudan pernghormatan terhadap kemanusiaan. Tentu yang namanya damai itu indah dan damai itu impian setiap insan manusia, apalagi rakyat. Atas dasar dan semangat penghormatan terhadap kemanusiaan sila kedua Pacasila itu, dan didorong oleh keinginan yang luhur untuk mewujudkan tujuan nasional, prinsip konstitusional dan kemanusiaan, Presiden Jokowi diharapkan untuk segera menggelar Dialog Jakarta-Papua. Presiden harus menunjuk Wakil Presiden sebagai penganggungjawab Politik, dan menunjuk Special Envoy untuk mempersiapkan dialog. Kecuali kalau mau berhenti pada “latihan lain, main lain”. Pak Presiden yang terhormat, mari selesaikan masalah Papua dengan cara yang bermartabat, terhormat dengan digelarnya Dialog Jakarta-Papua. Buktikan kalau bisa bicara untuk Myanmar, bisa juga dilakukan untuk Papua. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Dari Papua.

Pertama Kali Visi & Misi Calon Kepala Daerah Digugat ke MK

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Menurut KBBI, visi adalah pandangan atau wawasan ke depan. Visi merupakan impian, cita-cita atau nilai inti sebuah keinginan dengan pandangan jauh ke depan demi mencapai sebuah tujuan yang diinginkan. Sedangkan misi adalah suatu pernyataan tentang apa yang harus dikerjakan dalam usaha mewujudkan suatu visi yang telah dibuat. Singkat kata, visi calon Kepala Daerah merupakan impian, cita-cita dan harapan yang hendak dicapai. Sedangkan misi adalah tindakan yang harus dilakukan untuk mewujudkan impian, cita-cita dan harapan yang telah dirumuskan dalam visi calon Kepala Daerah. Visi dan misi calon Kepala Daerah merupakan cita-cita mulia, dan rencana aksi dalam rangka mensejahterakan rakyatnya jika terpilih sebagai Kepala Daerah. Lantas, mengapa visi dan misi Calon Bupati dan Wakil Bupati Bandung, Dadang Supriatna dan Sahrul Gunawan alias BEDAS digugat ke Mahkamah Konstitusi? Benarkah tiga kartu BEDAS mengandung unsur politik uang? Apa bedanya Kartu Jakarta Pintar Plus (KJP Plus) yang diluncurkan Anies Baswedan di DKI Jakarta atau Kartu Indonesia Sehat (KIS) oleh Jokowi? Kedua kartu tersebut, KJP Plus dan KIS tidak digugat ke Mahkamah Konstitusi. Yang agak menarik dan mirip dengan visi dan misi Calon Bupati dan Wakil Bupati Bandung, Dadang Supriatna dan Sahrul Gunawan adalah visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati Lumajang, Thoriqul Haq dan Indah Amperawati. Kamis (4/3/2021), Bupati dan Wakil Bupati Lumajang launching Kartu Lumajang Mengaji (KLM) untuk 6.200 guru ngaji di Lumajang. KLM merupakan kartu yang juga berfungsi sebagai ATM dari Bank Jatim. Pemegang KLM akan mendapat tambahan saldo Rp 100.000 per bulan. Persis dengan KJP Plus di DKI Jakarta. Hanya beda sasaran dan manfaat penerima kartu. Pertanyaannya, mengapa KLM dan KJP Plus tidak dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi? Sementara tiga kartu pasangan calon Dadang Supriatna dan Sahrul Gunawan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan penelusuran penulis terhadap visi dan misi Calon Bupati dan Wakil Bupati Bandung, Dadang Supriatna dan Sahrul Gunawan. Membandingkannya dengan visi dan misi Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno, Thoriqul Haq dan Indah Amperawati. Menurut hemat saya, ada dua perbedaan yang mendasar. Pertama, visi dan misi BEDAS mencantumkan nilai rupiah untuk Kartu Guru Ngaji senilai Rp. 100 miliar dan Kartu Tani Rp. 100 miliar. Sementara visi dan misi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Bupati dan Wakil Bupati Lumajang tidak ditemukan nilai nominal tertentu pada visi dan misi mereka. Kedua, kesalahan (jika dianggap salah oleh MK), Calon Bupati dan Wakil Bupati Bandung, Dadang Supriatna dan Sahrul Gunawan adalah pembagian kartu tani, kartu guru ngaji dan kartu wirausaha. Tiga kartu itu dibagikan langsung kepada pemilih pada masa kampanye secara masif. Lengkap dengan nilai nominal yang tercantum di kartu. Inilah yang diduga ada unsur politik uangnya. Sedangkan KIS Jokowi, KJP Anies Baswedan dan KLM Thoriqul Haq hanya sebatas alat peraga kampanye dan tidak dibagikan kepada pemilih saat masa kampanye. Inilah babak baru Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sejarah pertama di Indonesia. Visi dan misi calon Kepala Daerah digugat ke Mahkamah Konstitusi. Akankah menjadi sejarah pertama preseden baik? Gugatan penggugat dikabulkan Mahkamah Konstitusi? Kita tunggu saja sambil berdo’a. Semoga menjadi keputusan terbaik untuk kita semua, khususnya warga Kabupaten Bandung. Insya Allah. Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.

Syaikhona Muhammad Kholil: Mengapa Harus Pahlawan? (1)

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Madura itu memang gudangnya ulama. Salah satu ulama besar yang berperan penting dalam melawan kolonialisme dan konstruksi Islam se-Nusantara itu adalah Syaikhona Muhammad Kholil yang berasal dari Bangkalan Madura, Jawa Timur. Kontribusi Syaikhona Kholil dalam gerakan nasionalisme yaitu dengan aktif memberdayakan masyarakat dalam bidang agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan, politik, dan sebagainya. Syaikhona Kholil itu menjadi titik sentral penempaan dan pembibitan para calon pejuang dan pahlawan. Hal ini tidak juga terbantahkan dalam fakta sejarah. Santri-santri binaan Syaikhona Kholil hampir semuanya menjadi pejuang dan gigih. Beberapa diantaranya bahkan telah dinobatkan sebagai pejuang dan Pahlawan Nasional. Satu diantaranya yaitu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari. Dalam sidangnya pada 25 Januari 2021, Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur, sepakat mengusulkan Syaikhona Muhammad Kholil sebagai calon Pahlawan Nasional. Kemudian dilanjutkan pada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk diproses lebih lanjut ke Kementerian Sosial RI. Untuk itu maka DPD Partai Golkar Jatim mengadakan Seminar dan Webinar Nasional dalam rangka Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional pada Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Latif dengan Keynote Speaker Khofifah Indar Parawansa pada Selasa, 9 Maret 2021. Dalam catatan TP2GD, Syaikhona Muhammad Kholil memilih perjuangan kultural melalui jalan pendidikan, sosial, dan agama dalam kontribusinya terhadap bangsa dan negara. Perjuangan dan kontribusi Syaikhona Muhammad Kholil sebagai Guru Pahlawan, Guru Para Alim dan Ulama, Guru Para Pejuang. Riwayat perjuangan ini disusun berdasarkan kontribusi Syaikhona Muhammad Kholil tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Syaikhona Muhammad Kholil lahir di Bangkalan pada 25 Mei 1835 Masehi (9 Shofar 1251 Hijriah). Pada usia anak-anak, Syaikhona Kholil berguru ke Tuan Guru Dawuh, yang lebih dikenal dengan Bujuk Dawuh, di Desa Mlajah, Bangkalan. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang dewasa, putra pasangan KH Abdul Latif-Nyai Siti Khadijah ini belajar pada beberapa pondok pesantren yang ada di Pulau Jawa: Pondok Pesantren Langitan Tuban, tepatnya di Desa Mandungan, Widang, Tuban, Jatim, Muhammad Kholil mondok di Pondok Pesantren Langitan untuk memperdalam ilmu Nahwu dan Sharraf yang diasuh oleh KH Mohammad Noer (wafat 1870 M). Pondok Pesantren Canga'an Bangil, Jatim, setelah boyong dari Pondok Pesantren Langitan Tuban, Muhammad Kholil pindah ke Pondok Pesantren Canga'an Bangil, Jatim yang diasuh oleh KH Asyik untuk memperdalam ilmu alat dan ilmu fiqih. Pondok Pesantren Darussalam, Kebon Candi, Pasuruan. Sepulangnya dari Pondok Pesantren Canga'an Bangil, Jatim, Muhammad Kholil pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, Kebon Candi, Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif. Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Di saat mondok di Pondok Pesantren Kebon Candi, Muhammad Kholil belajar pula kepada KH Noer Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 km dari Kebon Candi. Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Setail, Genteng Banyuwangi. Pesantren terakhir di Pulau Jawa yang dituju Muhammad Kholil adalah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Setail, Genteng Banyuwangi yang diasuh oleh KH Abdul Bashar (wafat 1915). Pada 1276 H/1859 M, Muhammad Kholil belajar di Makkah. Di Makkah Muhammad Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Makkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Mohammad Al-Afifi Al-Makki, Syiekh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Iswmail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Muhammad Kholil belajar kepada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun, kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi'i tidak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi'i. Syaikhona Muhammad Kholil memilih perjuangan kultural melalui jalan pendidikan, sosial, dan agama dalam kontribusinya terhadap bangsa dan negara. Perjuangan dan kontribusinya sebagai Guru Pahlawan, Guru Para Alim dan Ulama, Guru Para Pejuang bisa dideskripsikan sebagai berikut. Penentu Lahirnya NU Syaikhona Muhammad Kholil memberikan restu pada Kiai Hasyim Asy'ari untuk mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wadah organisasi dan perjuangan ulama dan pengikut Islam Ahlusunnah wal Jamaa'ah. Dalam kurun waktu awal tahun 1924, di tengah kegelisahan massif kaum pesantren ini, Kiai Hasyim terus berikhtiar, bermunajat dan beristikharoh untuk mendapat petunjuk dan isyarat. Namun, petunjuk dan isyarat yang diharapkan tidak kunjung datang juga. Isyarat dan inspirasi justru datang dari Syaikhona Muhammad Kholil. Syaikhona Kholil memanggil Kiai As'ad Syamsul Arifin mengantarkan tongkat kepada Kiai Hasyim Asy'ari. Kiai As'ad dengan patuh mengantarkan tongkat ini kepada Kiai Hasyim Asy'ari. Setelah menerima tongkat ini, Kiai Hasyim berujar bahwa beliau mantap untuk mendirikan sebuah organisasi yang dapat mewadahi pemikiran dan gerakan kalangan pesantren. Dalam penghujung akhir 1024 itu juga, Kiai As'ad kembali dipanggil oleh Syaikhona Kholil untuk mengantarkan tasbih kepada Kiai Hasyim Asy'ari. Kiai As'ad lalu membungkukkan kepalanya menerima pengalungan tasbih langsung dari Syaikhona Muhammad Kholil, dan dengan cara membungkukkan kepalanya pula Kiai As'ad menyerahkan untuk diambil langsung oleh Kiai Hasyim Asy'ari. Lalu Kiai Hasyim Asy'ari berujar, siapa saja yang melawan ulama (dalam organisasi ini) akan hancur. KH Hasyim Asy'ari kemudian mendirikan wadah perjuangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah dengan nama Nahdlatul Ulama. Menjadi Embrio Lahirnya Pergerakan Nasional dan Nasionalisme di Kalangan Pesantren. Syaikhona Muhammad Kholil memberikan pencerahan kebangkitan pergerakan nasional, nasionalisme melalui jalan pendidikan. Pergerakan ini kiranya menjadi strategi tersendiri setelah melihat gurunya, Syaikh Nawawi Banten harus rela pondok dan langgarnya dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena terlalu lantang menggelorakan perjuangan melawan penjajahan. Tempat penempaan dan pencerahan para santri untuk melahirkan kecintaan pada bangsanya dan melepaskan diri dari berbagai ketidakadilan akibat kolonialisme. Gerakan Politik Etik di Eropa dilaksanakan juga di Nusantara dengan maksud ingin membalas jasa rakyat. Para pemimpin pergerakan melakukan upaya pendidikan dan mendirikan sekolah-sekolah untuk kaum pribumi. Dalam konteks pendidikan, Syaikhona Muhammad Kholil memberikan pendidikan Islam sebagai jalan utama untuk memberdayakan umat dan membangkitkan semangat egaliter untuk bersama. Pemberdayaan melalui pendidikan Islam, memberikan pencerahan luar biasa kepada para santri untuk proses penemuan identitas diri ini muncul pertama-tama karena pengalaman negatif dijajah oleh Belanda. Selanjutnya menumbuhkan kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa. Syaikhona Muhammad Kholil menjadi titik sentral penempaan dan pembibitan para calon pejuang dan pahlawan. Hal ini tidak terbantahkan dalam fakta sejarah. Santri-santri binaan Syaikhona Muhammad Kholil telah banyak menjadi pejuang yang gigih, beberapa diantaranya bahkan telah dinobatkan sebagai pejuang dan pahlawan nasional. Sebut saja santri-santri Beliau diantaranya, KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, Kiai As'ad Syamsul Arifin, KH Manaf Abdul Karim, KH Mohammad Shiddiq, KH Bisri Syansuri, Kiai Munawwir Krapyak, Kiai Maksum, KH Abdullah Mubarok, dan lainnya. Para santri Syaikhona Muhammad Kholil inilah yang kemudian terangkai sebagai jejaring penebar pemikiran dan gerakan Syaikhona Muhammad Kholil, yang secara aktif menguatkan perjuangan agama dari kalangan pesantren. Santri-santri alumni didikan Syaikhona Muhammad Kholil yang menerjemahkan pemikiran dan gerakan sang guru. Pemerintah Hindia-Belanda mengakai jika perlawanan-perlawanan yang muncul di seantero Jawa, dan Nusantara berasal dari kaum santri. (Bersambung) ***

Sekda Papua, Defacto Doren Wakerkwa, Dejure Dance Flassy

by Marthen Goo Nabire FNN - Pelantikan Sekretaris Daerah (Sekda) Papua pada 1 Maret 2021 dilakukan langsung secara bersamaan kepada dua individu yang berbeda. Yang satu dilantik oleh Pemerintah Pusat, dan satu lagi dilantik oleh Pemerintah Daerah. Mungkin ini fenomenal unik, dan sepanjang berdirinya republik Indonesia adalah sejarah baru. Karena baru pertama kali terjadi. Jadi, kalau begini caranya pemerintah mengelola negara yang kaya ini, bagimana bisa dijadikan contoh yang baik kepada publik? Mungkin menambah cerita bahwa hanya di Indonesia saja, hal-hal yang seperti ini bisa terjadi. Yang tadinya tidak mungkin, bisa berubah menjadi mungkin. Malahnya, Menteri Dalam Negeri melantik Dance Y. Flassy sebagai Sekda Propinsi Papua versi pemerintah pusat. Namun pada saa yang bersamaan Wakil Gubernur Propinsi Papua melantik Doren Wakerkwa sebagai Sekda Propinsi Papua versi pemerintah propinsi. Pro dan kontra menjadi tontonan yang sangat fatal, namun juga menarik. Apalagi sampai tercipta dua kubu pendukung yang dikawatirkan saling berhadap-hadapan. Bisa saja berpotensi menciptakan konflik horizontal antara para pendukung. Belum lagi saling tidak percaya yang berkepanjangan. Terkait kasus seperti ini, mestinya pemerintah pusat arif dan bijaksana. Hal-hal yang turut menciptakan kegaduan harusnya ditutupi dan dihindari. Pemerintah pusat seharusnya lebih professional dalam mengurai persoalan-persoalan seperti ini. Bukannya malah menciptakan kegaduhan baru di Papua. Kalau begini polanya, kapan Papua bisa tenang? Pemerintah Pusat harusnya merujuk pada kepastian hukum. Semangat negara hadir untuk menciptakan ketenangan dan kedamainan. Mestinya ketenangan dan kedamaian menjadi pijakan pemerintah pusat. Bukan malah sebaliknya. Kepastian hukum saja tidak cukup. Harus diikuti dengan etika pengelolaan pemerintahan yang baik dan benar, sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Aspek Etika Dalam pelaksanaan pencarian Sekda Papua, pemerintah pusat melakukan tes secara terbuka. Barangkali biasanya disebut itu lelang jabatan. Tes terbuka itu disaksikan oleh publik. Karena disaksikan oleh publik, maka sudah tentu publik akan menyimpulkan bahwa siapa yang mendapatkan nilai tertinggi akan menjadi Sekda. Begitu cara masyarakat Papua memahaminya. Menggunakan logika anak kecil saja, yang menjadi juara satu, pasti akan keluar sebagai pemenang. Itu tidak bisa terbantahkan, dengan menggunakan dalil apapun. Dengan demikian, maka, pemerintah pusat mestinya konsisten terhadap apa yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Termasuk kepada kandidat yang mengikuti tes tersebut. Faktanya, pemerintah pusat menentukan lain dari perspektif yang dipahami dan dimengerti selama ini oleh masyarakat. Pemerintah pusat justru memilih dan menetapkan calon yang nilainya di bawah yang juara satu. Walaupun kita tahu bahwa siapapun yang diputuskan dan ditetapkan pemerintah pusat adalah menjadi kewenangan mutlak dai pemerintah pusat. Namun dari aspek etika, sudah sangat salah. Inilah sumber kegaduhanitu. Apalagi pemerintah pusat tidak menjelaskan secara terbuka alasan kenapa Sekda yang dipilih bukan yang nilainya paling tinggi. Apakah ada muatan politik? Hanya pemerintah pusat yang bisa jelaskan. Sebab hanya akan melahirkan kubu-kubu di kalangan rakyat Papua. Juga akan menghambat pelayanan pemerintahan dengan baik. Dari hasil tes, tentu masyarakat Papua sudah tahu bahwa yang pantas untuk menjadi Sekda Papua adalah Doren Wakerkwa. Sehingga secara etika, Doren mestinya diputuskan oleh pemerintah pusat sebagai Sekda Propinsi Papua. Walau secara hukum bisa berbeda, pada akhirnya tergantung kepada putusan presiden, jika dilihat dari dasar legalitasnya. Dengan demikian, aspek transparansi, profesionalisme dan ketaatan pada legalitas sangat dibutuhkan dalam pelayanan pemerintahan yang baik dan benar. Sehingga asas Good Governance harus benar-benar bisa diwujudkan dalam soal-soal seperti ini. Jangan asal-asalan saja. Legalitas atau Kepastian Hukum? Karena Indonesia adalah negara hukum, maka penentuan Sekda Propinsi didasari pada pemilihan tiga nama oleh Gubernur melalui Panitia Seleksi (Pansel). Kemudian diajukan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan diputuskan satu nama oleh presiden. Artinya, terhadap hal itu sudah menjadi hak priorogatif presiden untuk memutuskan siapa Sekda Propinsi Papua. Jika merujuk pada Undang-undang Aparatur Sipil Negara dengan jelas menyebutkan bahwa “…pejabat pembina kepegawaian mengusulkan tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi madya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri (pasal 114 ayat (4))…”. Sementara lebih lanjut juga dijelaskan untuk menentukan satu nama, “…presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya (pasal 144 ayat (5))…”. Atas dasar inilah kemudian lahir keputusan presiden nomor: 159/TPA /2020 tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua. Yance Y Flassy yang diputuskan Presiden menjadi Sekda Propinsi Papua. Aturan turunan dari Undang-undang dalam soal Sekda adalah Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2018 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 91 tahun 2019. Dalam Perpres No 3/2018 dijelaskan “…Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengangkat penjabat sekretaris daerah provinsi untuk melaksanakan tugas sekretaris daerah provinsi setelah mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri… (pasal 5 ayat (1))...”. Gubernur hanya boleh mengangkat Sekda atas persetujuan Menteri Dalam Negeri. Sementara jika melihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 91/2019, “….Penjabat sekretaris daerah provinsi yang ditunjuk oleh menteri sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik (pasal 7 ayat (1))…”. Penjabat ditunjuk oleh menteri sebelum dilakukan pelantikan oleh gubernur. Secara teknis soal pelantikan, dijelaskan dalam aturan pelaksana teknis yakni dalam peraturan Menteri Dalam Negeri, “…dalam hal Gubernur tidak melantik penjabat Sekretaris Daerah Provinsi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menteri melantik penjabat sekretaris daerah provinsi (pasal 7 ayat (4))…”. Jadi, jika merujuk pada pasal 7, maka, pelantikan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri secara hukum terpenuhi. Kesimpulan Dari penjelasan singkat di atas, kini sampai pada kesimpulan. Secara etika, kami berharap pemerintah pusat bisa menjelaskan secara professional kepada publik Papu kenapa sampai pemilik nilai tertinggi tidak menjadi Sekda? Apakah pertimbangan politik, atau pertimbangan apa? Kenapa pelelangan bersifat terbuka, dengan melakukan ujian terbuka, dan publik mengetahui hal tersebut dengan perspektif dan kesimpulannya yang dilakukan masing-masing? Untuk menutupi tulisan ini, secara hukum, Dance Y. Flassy terpenuhi dan menjadi Sekretaris Daerah Propinsi Papua. Ucapan selamat sukses yang disampaikan oleh Yosua Noak Douw, tokoh intelektual Papua kepada Dance Y Falssy atas kesuksesan sudah sangat tepat. Atas pemenuhan legalitas, patut kita apresiasi kepada pak Dance. Semoga amanah yang diembankan kepada pak Dance bisa dilaksanakan dengan baik dalam pengelolahan birokrasi pemerintahan di Propinsi Papua. Sejak Dance Y. Flassy dilantik oleh Menteri Dalam Negeri, maka secara sah Sekretaris Daerah Propinsi dipimpin oleh Dance Y. Flassy, dan pelantikan yang dilakukan di luar dari Menteri Dalam Negeri secara hukum adalah gugur. Bagi pihak yang merasa dirugikan, masih bisa menempuh jalur hukum, walaupun dasar hukum sudah bersifat kongkrit jika merujuk pada UU ASN, Perpres, serta Permen. Semoga dengan tulisan ini, kita sama-sama bisa secara bersama meminimalisir konflik diantara yang pro dan kontra. Pemerintah pusat diharapkan ke depan harus bisa jauh untuk lebih professional. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Papua.