HUKUM

MPR Tidak Perlu Menunggu Proses Hukum Selesai untuk Lantik Wakil Ketua MPR yang Baru.

JAKARTA, FNN  — Pengamat hukum Tata Negara, Margarito Kamis, mengatakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak perlu menunggu poses hukum yang diajukan Fadel Muhammad selesai. Mereka bisa langsung melantik Tamsil Linrung sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur DPD RI. “Jadi terletak pada apakah fakta yang dipakai (dalam pencopotan Fadel, Red) cukup atau tidak. Kalau faktanya cukup maka MPR tidak perlu menunggu proses hukum. Bahkan bisa diabaikan,” ungkap Margarito, Senin (13/2/2023). Pernyataan ini disampaikan terkait dengan belum dilantik Tamsil Linrung menggantikan Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR. Dalam prosesnya Fadel diberhentikan dari posisinya sebagai Wakil Ketua MPR. Proses pelantikan belum dilakukan karena menunggu proses hukum yang dilakukan Fadel Muhammad. Menurut Magarito, semuanya tinggal kemauan MPR. “Kalau MPR mau sebenarnya mereka punya dasar untuk melakukan tindakan itu (melantik Tamsil Linrung menggantikan Fadel, Red),” paparnya. MPR tidak perlu ragu untuk melantik Tamsil Linrung menggantikan Fadel Muhammad. Kalau faktanya cukup maka MPR bisa segera mengambil keputusan, tanpa harus menunggu selesainya proses hukum yang dilakukan Fadel Muhammad. Pendiri Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti punya pendapat yang sama. Menurutnya, MPR bisa saja langsung mengganti Fadel dengan Tamsil. “Kalau nanti ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tinggal disesuaikan saja dengan putusan pengadilan,” kata Ray. Bagi Ray, masalah ini lebih tergantung pada kemauan internal MPR. “Apakah MPR mau mempercepat atau memang memperlambat. Karena tidak ada ketentuan yang khusus mengatur itu,” kata dia. Selain itu, kata Ray, DPD juga harus menyuarakan masalah ini lebih kuat kalau memang ingin segera ada penggantian.  Bagi Ray akan lebih baik jika pimpinan MPR segera melakukan penggantian. “Lebih baik dilantik saja dulu (Tamsil, Red). Kalau nanti ada keputusan baru ya sesuaikan dengan keputusan itu,” ungkap Ray. (sws)

Lima Isu Agenda Hibah Pengabdian kepada Masyarakat Disiapkan FHUI

Depok, FNN - Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menyiapkan lima cakupan isu dalam agenda hibah pengabdian kepada masyarakat (pengmas) di bidang hukum agar masyarakat lebih memahami tentang hukum.\"Kelima isu bidang hukum adalah Pengmas berbasis peraturan dan perlindungan hukum; pengmas berbasis kolaborasi mitra; pengmas berbasis lingkungan dan hewan; pengmas berbasis perempuan, anak, keluarga, dan kelompok rentan; serta pengmas berbasis IPTEK (HAKI, hak cipta, dan sebagainya),\" kata Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaaan FHUI, Prof. M. R. Andri Gunawan Wibisana di UI Depok, Kamis.Nantinya kata dia luaran wajib dari program ini dapat berupa artikel jurnal, buku saku, buku, video berdurasi minimal 10 menit, atau tayangan podcast. Luaran tersebut wajib memiliki ISBN/HKI yang sertifikatnya dilampirkan saat proses pengumpulan laporan akhir. Program hibah pengmas ini akan berlangsung dari Februari hingga November 2023.Program hibah Unit Pengmas FHUI tahun ini akan dibuka untuk 20 proposal hibah dosen tetap, 8 proposal hibah dosen tidak tetap, 8 proposal hibah mahasiswa, dan 4 proposal hibah tenaga kependidikan. Upaya ini dilakukan untuk memperluas peran sivitas akademika UI di masyarakat.Andri Gunawan juga menjelaskan saat ini pihaknya melibatkan tenaga kependidikan (tendik) dalam program pengabdian kepada masyarakat (pengmas) pada tahun 2023, padahal sebelumnya, program hibah pengmas ini hanya melibatkan dosen dan mahasiswa sebagai tim pengabdi.\"Kebijakan FHUI ini mendorong sivitas akademika untuk terlibat dalam berbagai kegiatan pengmas dan riset publikasi,\" katanya.Menurut dia tahun 2023 ini, mahasiswa atau tendik yang biasanya ikut dalam pengmas dosen, dapat mengajukan hibah sendiri. Selain itu, dosen tidak tetap juga dapat ikut berpartisipasi.Sejak 2018, program hibah pengmas yang terbuka bagi dosen dan mahasiswa ini terpisah dari riset dan difasilitasi, didanai, serta disupervisi oleh Unit Pengmas FHUI.Sementara itu Direktur Direktorat Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (DPPM) UI, Agung Waluyo, S.Kp., M.Sc., Ph.D., kegiatan pengmas sangat memberi dampak sosial jika ada kerja sama quintuple helix yang melibatkan swasta, industri, akademisi, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.Dari kerja sama tersebut terlihat dampak yang masif, seperti pada kegiatan pelestarian Barong Landong yang pernah dilakukan di Bengkulu.\"Tahun ini, kami akan melakukan peningkatan kualitas. Dengan pendanaan yang efisien, lokasi pengmas tidak lagi di sepuluh titik yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia, tetapi kami memfokuskan hibah kompetisi ini di area Jabodetabek,\" ujar Agung.(ida/ANTARA)

Direktur Bappenas Diperiksa Kejagung Terkait Kasus Korupsi BTS Kominfo

Jakarta, FNN - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung memeriksa Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Mardiana sebagai saksi kasus dugaan korupsi penyedia infrastruktur BTS Kominfo.Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana di Jakarta, Rabu, mengatakan ada tiga orang saksi yang diperiksa bersama Rachmat Mardiana, yakni Feri Rianda selaku karyawan Bagian Keuangan PT Lintasarta, Ginanjar (Direktur Marketing and Solution PT Aplikanusa Lintasarta), dan Adi Wibowo selaku pihak swasta.\"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara tersebut,\" kata Ketut.Keempat orang saksi itu diperiksa terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dalam penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tahun 2020 sampai 2022 atas nama lima tersangka.Penyidik Kejagung telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus itu, yakni Anang Achmad Latif selaku Direktur Utama BAKTI Kemkominfo, Galubang Menak (Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia), Yohan Suryanto (tenaga ahli Human Development Universitas Indonesia tahun 2020), Mukti Ali (tersangka dari pihak PT Huwaei Technology Investment), dan Irwan Hermawan (Komisaris PT Solitchmedia Synergy).(ida/ANTARA)

Sidang Etik Richard Eliezer Segera Dijadwalkan

Jakarta, FNN - Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri telah menjadwalkan sidang etik terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu, di mana sidang ini nantinya akan menentukan nasib apakah Bharada E dapat kembali menjadi anggota Polri atau diberhentikan dari keanggotaan.“(Sidang etik) sudah dijadwalkan oleh Propam. Apabila jadwal pastinya sudah ada dan hasilnya juga sudah ada, akan disampaikan kepada media,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo di Jakarta, Kamis.Menurut Dedi, sidang etik tersebut segera akan dilakukan, karena putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah menjadi pertimbangan bagi Divpropam Polri untuk menggelar sidang Komisi Kode Etik terhadap Bharada E.“Kalau sudah putusan pengadilan, dasar dari putusan pengadilan ini sebagai pertimbangan hakim komisi kode etik profesi yang akan mengambil keputusan secara kolektif kolegial,” katanya.Ia menjelaskan, putusan komisi kode etik Polri dalam menjatuhkan sanksi kepada anggota Polri yang terlibat tidak pidana mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 dan Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Polri dan Komisi Kode Etik.Dalam memutuskan nantinya, kata Dedi, komisi kode etik Polri juga akan mempertimbangkan banyak hal, salah satunya status Richard Eliezer sebagai justice collaborator (JC) yang telah dikabulkan oleh pengadilan.Termasuk juga mendengarkan saran dan masukan dari saksi ahli, serta mendengar apa yang menjadi suara masyarakat.“Dan komitmen Polri dari awal Pak Kapolri sudah memerintahkan bahwa kasus ini dibuka secara terang benderang secara transparan mungkin dengan cara pembuktian secara ilmiah atau SCI,” katanya.Meski demikian, Dedi tidak mau mendahului putusan komisi kode etik terkait nasib Richard Eliezer apakah berpeluang kembali ke Polri atau tidak.“Kami tidak bisa mendahului karena tetap harus menunggu dari hasil sidang kode etik profesi yang akan digelar Propam. Kita tunggu dulu apabila nanti sudah ada hasilnya akan kami sampaikan,” ujarnya.Jenderal bintang dua itu menambahkan, pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J hingga para terdakwa telah diputus oleh majelis hakim sebagai wujud komitmen pimpinan Polri yang sejak awal ingin proses berupaya untuk menuntaskan kasus tersebut, dengan membentuk tim khusus yang bekerja mengungkap fakta secara maksimal.“Timsus sudah bekerja dengan maksimal, proses pembuktian secara ilmiah juga sudah dilakukan kepada penuntut umum maupun dalam proses persidangan. Dalam proses persidangan seluruh alat bukti dalam pengungkapan kasus ini juga sudah digelar dan itu sudah dinilai oleh hakim dan hakim juga sudah mengambil keputusan,” kata Dedi.(ida/ANTARA)

Menegangkan, Akhirnya Richard Eliezer Divonis 1 Tahun 6 bulan Penjara

JAKARTA, FNN  - Mantan ajudan bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Ferdy Sambo, Richard Eliezer Pudihang Lumiu divonis 1 tahun 6 bulan penjara dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menilai, polisi berpangkat Bhayangkara Dua atau Bharada itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Mengadili, menyatakan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,” ujar ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023). “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa atas nama Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan penjara,” kata Hakim Wahyu. Seketika ruang sidang penuh gemuruh sukacita. Richard tampak menangis saat mendengar putusan tersebut.  Adapun vonis ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan. Jaksa menuntut Bharada Richard Eliezer dengan pidana 12 tahun penjara. Dalam kasus ini, Richard Eliezer menjadi terdakwa bersama Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi dan rekan sesama ajudan, Ricky Rizal atau Bripka RR. Asisten rumah tangga (ART) sekaligus sopir keluarga Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf turut menjadi terdakwa dalam kasus ini. Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi telah lebih dulu menjalani sidang putusan pada Senin (13/2/2023). Eks Kadiv Propam Polri itu divonis pidana mati oleh majelis hakim. Sementara, istrinya Putri Candrawathi divonis pidana 20 tahun penjara. Sehari setelahnya, giliran Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal yang menjalani sidang putusan. Kuat Ma’ruf divonis 15 tahun penjara. Sementara Ricky Rizal dijatuhi pidana 13 tahun penjara. ? Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Richard Eliezer terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir J yang direncanakan terlebih dahulu. Ajudan Ferdy Sambo itu dinilai telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Baca juga: Orangtua Richard Eliezer Berharap Putranya Bebas dari Hukuman Adapun pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh pernyataan Putri Candrawathi yang mengaku telah dilecehkan oleh Brigadir J di rumah Ferdy Sambo di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (7/7/2022).?? Pengakuan yang belum diketahui kebenarannya itu lantas membuat Sambo yang kala itu masih polisi dengan pangkat jenderal bitang dua marah hingga menyusun strategi untuk membunuh Brigadir J.?? Akhirnya, Brigadir J pun tewas diekskusi dengan cara ditembak 2-3 kali oleh Bharada E di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022). (kompas)

Jaksa KPK Mengungkap Alasan Dosen Unila Setor Uang ke Karomani

Bandarlampung, FNN - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan alasan saksi Evi Kurniawati turut menyetorkan uang kepada terdakwa Karomani agar anaknya dapat diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (Unila).Jaksa KPK terpaksa membuka kembali Berita Acara Pemeriksaan (BAP) lantaran saksi Evi Kurniawati yang merupakan seorang Dosen Fakultas Kedokteran Unila tersebut sedikit tidak terbuka dalam memberikan kesaksiannya.\"Selain agar anak saksi dapat masuk fakultas kedokteran apa lagi alasan saksi memberikan uang. Baik saya akan membacakan ulang BAP saksi,\" kata Jaksa KPK Asril dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang Kelas IA Bandarlampung, Selasa.Dalam BAP yang dibuka melalui proyektor tersebut, jaksa mengungkapkan bahwa alasan saksi Evi yang juga merupakan seorang Kepala Poli Klinik Unila tersebut salah satunya agar saksi tidak dipecat dari jabatan sebagai kepala di poli klinik tersebut.\"Kemudian saksi khawatir terdakwa Karomani mengganggu kelancaran anak saksi di Unila, membatalkan kelulusan anak saksi, dan khawatir dengan jabatan anda. Apakah itu benar,\" tegas jaksa.Saksi yang melihat keterangan BAPnya melalui sebuah proyektor kemudian mengaku bahwa sebenarnya keterangannya tidak seperti itu.Dirinya berdalih bahwa lelah diperiksa oleh KPK selama enam jam sehingga keluar keterangan sebagai berikut.\"Ada yang benar, tapi tidak sepenuhnya seperti itu. Saya kelelahan karena enam jam diperiksa,\" kata saksi Evi.Saksi Evi Kurniawati merupakan satu dari tujuh saksi yang telah dihadirkan oleh Jaksa KPK dalam sidang lanjutan suap penerimaan mahasiswa di Unila dengan melibatkan tiga terdakwa yaknj Prof Dr Karomani, Heriyandi, dan M Basri.Enam saksi lainnya yang hadir dan telah dimintai keterangan sebagai saksi di antaranya Ruskandi seorang dokter anak, Tugiyono selaku dosen di Unila, Evi Daryanti selaku PNS staf di Dinas PUPR Kabupaten Tulangbawang, Bendahara Pengeluaran Pembantu di Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat Unila Nurihati Br Ginting, Sekretaris Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat Unila Shinta Agustina, dan Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat Unila Budi Sutomo.Prof Karomani bersama dua orang terdakwa lainnya yakni Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila nonaktif Prof Heryandi dan Ketua Senat Unila nonaktif Muhammad Basri sendiri menjadi terdakwa atas perkara dugaan penerimaan suap penerimaan mahasiswa baru di Unila Tahun 2022.Dalam perkara tersebut, KPK telah menetapkan empat orang tersangka yang terdiri atas tiga orang selaku penerima suap, yakni Prof Dr Karomani (Rektor Unila nonaktif), Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi, dan Ketua Senat Unila Muhammad Basri.Sementara itu, untuk tersangka pemberi suap adalah pihak swasta yakni Andi Desfiandi yang telah dijatuhi hukuman oleh majelis hakim beberapa waktu lalu.(sof/ANTARA)

MAKI Menyayangkan MA Kurangi Putusan Edhy Prabowo

Jakarta, FNN - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyayangkan pengurangan hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dari sembilan tahun menjadi lima tahun dengan alasan yang tidak logis.“Prinsipnya menghormati semua putusan, tapi kalau kasus korupsi disunat dengan alasan yang tidak logis sangat disayangkan,” kata Boyamin saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.MAKI mengendus adanya praktik melanggar aturan dari putusan MA tersebut, karena alasan yang digunakan tidak logis, yakni sebagai tim sukses dan membantu nelayan.Menurutnya, putusan MA tersebut tidak memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Termasuk menghapus denda pengganti senilai Rp9,5 miliar dan USD 77 ribu.“Menurut saya dalam kasus Edhy sesuatu yang tidak lagi dari pemahaman yang sederhana, misalnya kalau tidak salah dikatakan sebagai tim sukses atau apalah gitu termasuk dikurangi dendanya, itu yang menurut saya tidak memenuhi rasa keadilan,” ujarnya.Boyamin mengatakan dalam perkara korupsi kalau hanya dijatuhkan hukuman penjara, hal itu terlalu ringan. Mestinya terdakwa dijatuhi pidana denda dan uang pengganti senilai uang yang dikorupsinya, sebagai efek jera.“Karena apapun ini, korupsi menjadi sesuatu yang hanya menghukum penjara dan itu ringan, mestinya ada denda, uang pengganti. Denda itu kalau perlu jangan hanya semiliar, dua miliar, senilai korupsinya, dan uang pengganti juga begitu, sehingga proses pemiskinan korupsi itu berlaku,” katanya.Edhy Prabowo, terdakwa kasus suap pengurusan izin ekspor benih bening lobster atau benur, yang awalnya diputus oleh Pengadilan Jakarta Pusat pada 15 Juli 2021 berupa pidana lima tahun penjara dan denda Rp400 juta, subsider enam bulan. Kemudian, diharuskan membayar uang pengganti Rp9,6 miliar dan USD 77 ribu, bila tidak dibayar diganti pidana penjara selam dua tahun. Hakim juga mencabut hak politiknya selama tiga tahun.Kemudian di tingkat Pengadilan Tinggi, putusan terhadap Edhy Prabowo justru diperberat menjadi sembilan tahun dan denda Rp400 juta, subsider enam bulan. Juga menghukum terdakwa membayar uang pengganti Rp9,6 miliar dan USD 77 ribu, bila tidak dipidana selama tiga tahun. Termasuk mencabut hak politik selama tiga tahun.Edhy lantas mengajukan kasasi, dan Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan pidana penjara lima tahun dan denda Rp400 juta subsider enam bulan, serta menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dan jabatan publik selama dua tahun.Untuk diketahui, putusan kasasi perkara yang melibatkan eks Menteri KKP diketuai Sofyan Sitompul dengan anggota masing-masing Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih serta Panitera Pengganti Agustina Dyah Prasetyaningsih.(sof/ANTARA)

Tuntutan Mati Buat Henry Hernando, Pembunuh Letkol Mubin

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  RUANG Sidang PN Bale Bandung Selasa siang 14 Februari 2024 bergemuruh dengan teriakan \"Hidup Jaksa.. Allahu Akbar\" setelah Tim JPU bergantian membacakan tuntutan yang diakhiri dengan pernyataan : Pertama, sah dan meyakinkan Henry Hernando bersalah melakukan perbuatan pidana Pembunuhan Berencana sesuai dengan Pasal 340 KUHP. Kedua, memohon Majelis Hakim agar memutuskan kepada Terdakwa berupa hukuman Mati.  Pembunuhan sadis Letkol Purn H Mubin yang dilakukan oleh Henry Hernando alias Aseng awalnya terkesan ada nuansa perlindungan pada terdakwa. Hal ini terindikasi dengan tidak dihadirkannya Hernando selama 13 kali di persidangan PN Bale Bandung. Demikian juga pada sidang ke 14 dengan agenda tuntutan dari JPU. Letjen Purn Yayat Sudrajat yang hadir sebagai pengunjung sidang sempat memprotes ketidakhadiran secara offline Terdakwa.  JPU secara bergantian membacakan surat tuntutannya berdasarkan bukti-bukti di persidangan. Dakwaan Primer Pasal 340 KUHP, Subsidair 338 KUHP dan Lebih Subsidair Pasal 351 ayat (3) KUHP. Diawali dengan uraian peristiwa dan telaahan rumusan delik untuk Dakwaan Primer.  Tiga elemen penting \"barangsiapa\", \"menghilangkan nyawa\" dan \"dengan perencanaan\" telah terbukti. Pasal 340 KUHP dapat dikenakan dengan titel \"Pembunuhan Berencana\". Dipenuhinya unsur ketentuan Pasal 340 KUHP menyebabkan Dakwaan Subsidair  Pasal 338 dan Lebih Subdidair Pasal  351 ayat (3) tidak perlu dibuktikan lagi.  Sebagaimana biasa ruang sidang selalu dipenuhi oleh rekan seangkatan korban Akabri 82 lengkap dengan seragam putih Pandu Tidar. Letjen Purn Yayat Sudrajat mantan Ka Bais selalu hadir memberi dukungan penyelesaian secara adil atas kejahatan Henry Hernando terhadap Letkol Purn HM Mubin, mantan Dandim dan Guru Bahasa Arab di sebuah Pesantren.  Pembunuhan Hernando dinilai sadis hanya karena kesal korban HM Mubin yang mengantar anak majikannya sekolah parkir di depan pintu ia tega menusukkan pisau lipat yang disiapkannya di celana Eiger dengan 18 tusukan ke pipi, leher, tangan dan dada dalam waktu hanya 13 detik. Korban sendiri tidak berdaya karena duduk di belakang kendaraan yang dikemudikannya. Anak di bawah umur yang duduk di sebelahnya mengalami trauma atas kejadian sadis ini.  Yang masih disayangkan adalah belum atau tidak ditariknya ayah Terdakwa Ir. Sutikno Sutrisno yang berada di sebelah Terdakwa saat terjadinya penusukkan tersebut sebagai pelaku penyerta.  Sebelum peristiwa Terdakwa telah berkomunikasi di dalam rumah dengan ayahnya tersebut.  Tuntutan Jaksa sudah jelas Hukuman Mati. Terdakwa dan kuasa hukumnya akan mengajukan pledoi pekan depan. Majelis Hakim tentu mempersilahkan.  Setelah Fredy Sambo divonis mati, kini Henry Hernando yang diharapkan oleh keluarga dan rekan serta masyarakat agar mendapat vonis mati pula. Keadilan harus ditegakkan.  Bandung, 14 Februari 2023

Sambo Sudah Divonis Mati, Tapi Harus Tetap Dikawal Karena Proses Hukum Masih Berlanjut

Jakarta, FNN – Vonis untuk Ferdy Sambo dan Putri Candrawati kemarin sudah dijatuhkan oleh Hakim.  Vonisnya luar biasa, sesuai ekspektasi publik, yaitu Ferdy Sambo divonis hukuman mati dan Putri Candrawati 20 tahun penjara. Padahal, tuntutan untuk Sambo hanya hukuman seumur hidup dan Putri hanya 8 tahun penjara. Tetapi, akhirnya keduanya mendapat vonis hukuman tertinggi. Terkait dengan vonis hukuman untuk Sambo ini,  Rocky Gerung dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Selasa (14/2/23) mengatakan, “Ini yang capital punishment atau hukuman mati itu, lepas dari kontroversi, kita lagi kampanye untuk tidak ada hukuman mati, karena itu bertentangan dengan hak asasi manusia.”. Menurut Rocky, masyarakat sipil, LSM terutama, menganggap bahwa hukuman mati bukan hukuman yang diselenggarakan demi hak asasi manusia. Dan di seluruh dunia ada kampanye untuk  hukuman mati, dan di Indonesia sudah 20 tahun lalu belum ada ratifikasi. Itu posisi normatif dari masyarakat sipil. Posisi deskriptif justru terbaca dalam putusan itu bahwa maksimal punishment mati dan 20 tahun. “Tetapi, bagi kita Sambo ini tetap variabel yang masih hidup, variabel yang masih bisa memengaruhi opini publik. Karena mungkin banyak catatan yang dia tinggalkan,” ujar Rocky dalam pembahasan yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.  Sedangkan kondisi politik kita, lanjut Rocky, memungkinkan orang berspekulasi. Misalnya, Sambo tahu banyak hal sehingga dia mesti dibungkam dengan hukuman mati. Ini pandangan mereka yang mencurigai proses politik di belakang Sambo. Ada pula yang beranggapan bahwa hukuman mati itu sudah pas. “Tetapi, bagi kita bukan itu soalnya. Soalnya adalah kasus ini masih melibatkan berbagai macam isu atau gosip tambahan yang pasti akan melelehkan lagi kebekuan politik. Jadi, sekali lagi, tetap kita hargai keputusan hakim itu dan kita nggak perlu komentari sebetulnya,” ungkap Rocky. Yang agak lucu, kata Rocky, justru Mahfud MD yang mengomentari. Sebetulnya kita ingin supaya Pak Mahfud jangan komentar dulu sebelum putusan itu menjadi final. Karena masih ada kasasi dan peninjauan kembali. “Ini terlihat bahwa istana menganggap itu sudah final. Karena itu, sudah tepat. Bagaimana Hakim nanti bersikap independen atau bersikap imparsial. “Jadi, Pak Mahfud mewakili satu arogansi, satu kepongahan, untuk mengintervensi proses pengadilan. Ini yang kita sesalkan,” tambah Rocky. Rocky menyesalkan mengapa Mahfud harus mengatakan ini sudah tepat, padahal Mahfud adalah pejabat publik yang harusnya menghormati keputusan pengadilan dan jangan komentari sebelum ada kekuatan hukum tetap. Ini bahayanya kalau kekuasaan seolah-olah menganggap ini proyek mereka, kata Rocky. Jadi, Sambo dianggap proyeknya istana sehingga dianggap sudah selesai. Padahal, sebetulnya konstruksi hukum semacam ini mesti kita bawa untuk memungkinkan Sambo itu membongkar kasus-kasus yang lain. Jadi itu sebetulnya. Ini sekadar interpretasi terhadap apa yang diucapkan yang sebetulnya tidak boleh dia lakukan. Seperti sama-sama kita ketahui bahwa dunia hukum kita belum terlalu bisa diharapkan karena ada intervensi-intervensi, ada kondisi yang bisa sangat ringan tapi bisa sangat berat, tergantung dari mana kepentingan-pentingan politik di belakangnya, sehingga terjadi perdebatan semacam itu. “Ya, itu yang dari awal variabel-variabel nonlegal itu berseliweran di ruang  sidang dan nonlegal itu biasanya justru yang lebih sensasional. Jadi, sekali lagi, kalau dia masuk ke pengadilan, pastikan pengadilan itu bersih. Tetapi, kita mesti tuntut sebetulnya siapa yang akan menjamin pengadilan itu bersih. Tentu kekuasaan yang bisa menjamin itu karena kekuasaan yang punya potensi intervensi,” tambah Rocky. Sekarang terlihat kekuasan intervensi. Ini berarti, dari awal pengadilan ini tidak bersih. jadi kalau kita anggap Mahfud MD sekedar mengomentari hasil putusan, itu lebih dari itu tafsirnya, karena sistem pengadilan kita tidak bersih. Jadi, Pak Mahfud harus hati-hati membaca isu dan jangan mendahului sesuatu yang sebetulnya sudah bagus sehingga akhirnya berantakan lagi persepsinya. Kalau istana bilang itu bagus, sudah benar, itu berarti istana intervensi. Padahal, sebetulnya tanpa intervensi pun kita ingin supaya pengadilan itu bersih. (ida)

Kuat Ma'ruf Divonis Penjara 15 Tahun

Jakarta, FNN - Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Kuat Ma’ruf, divonis hukuman penjara selama 15 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa.\"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kuat Ma’ruf dengan pidana penjara selama 15 tahun,\" kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa.Hakim menyatakan bahwa Kuat Ma’ruf terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Dalam memaparkan pertimbangan, Anggota Majelis Hakim Morgan Simanjuntak mengatakan bahwa majelis hakim meyakini Kuat Ma’ruf menghendaki pembunuhan Brigadir Yosua di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan.Keyakinan tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai tindakan Kuat Ma’ruf, seperti mengejar Yosua dengan pisau dapur di Magelang, Jawa Tengah; membawa pisau dapur tersebut ke Saguling, Jakarta; hingga ikut isolasi ke Duren Tiga, Jakarta Selatan, padahal Kuat Ma’ruf tidak mengikuti tes PCR (Polymerase Chain Reaction). Selain itu, hakim juga menyimpulkan bahwa Kuat Ma’ruf telah terbukti turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.Dalam menyusun putusan tersebut, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.Hal-hal yang memberatkan salah satunya ialah Kuat Ma’ruf tidak sopan di persidangan. Selain itu, Kuat Ma’ruf berbelit-belit, tidak mengakui, dan tidak menyesali perbuatan-perbuatannya dalam memberikan keterangan di depan persidangan.\"Hal-hal yang meringankan, terdakwa masih mempunyai tanggungan keluarga,\" kata Morgan.Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Senin (16/1).Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa Kuat Ma’ruf menjalani pidana penjara selama delapan tahun dalam sidang pembacaan tuntutan di PN Jakarta Selatan.\"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kuat Ma’ruf dengan pidana penjara selama delapan tahun,\" kata JPU Rudy Irmawan saat membacakan tuntutan di hadapan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin.(ida/ANTARA)