KESEHATAN

Secara Yuridis Kematian Pasca Vaksin Bisa Digugat

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Kabar duka datang dari Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol. Muhammad Roem Ohoirat yang membenarkan informasi mengenai salah satu komandan kompi di satuan Brimob Polda Maluku, yakni Iptu LT meninggal dunia pada Minggu 4 April 2021. Iptu LT meninggal dunia usai divaksin AstraZeneca. “Benar, almarhum meninggal dunia. Almarhum meninggal setelah divaksin pada tanggal 30 Maret 2021, namun pada tanggal 31 meriang dan sesak napas,” ujar Roem. Roem mengatakan, setelah mengalami gejala tersebut, Iptu LT diantar istrinya ke rumah sakit namun saat diperiksa dokter tidak ada penyakit yang menyebabkan korban mengalami gejala seperti itu. Akhirnya, Iptu LT diberi obat. Setelah itu beraktivitas seperti biasa. Tidak lama dari situ, Iptu LT mengalami gejala sesak napas hingga meninggal dunia. Roem belum bisa menjelaskan apakah meninggalnya karena divaksin atau tidak. Setelah dinyatakan meninggal, tim Satgas Covid1-9 melakukan pemeriksaan terhadap jenazah Iptu LT. Dari sana didapatkan ternyata Iptu LT positif Covid-19. Melansir VIVA.co.id, Minggu (4 April 2021 | 18:16 WIB), menurut Roem, pihaknya tak tahu apakah sebelumnya almarhum sudah positif lalu divaksin atau bagaimana. Akhirnya jenazah Iptu LT langsung dimakamkan dengan protokol Covid-19. Dokter masih menelusuri riwayat penyakit Iptu LT. Roem belum bisa sepenuhnya menyebut, korban menginggal akibat divaksin. “Yang jelas kita tidak bisa katakan itu meninggal karena divaksin,” ujarnya. Sebelumnya, kasus serupa menimpa Sulaiman Daeng Tika (50). Warga Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan ini meninggal dunia di RS Haji Kota Makassar, Senin (22/3/2021) malam. Seminggu atau tujuh hari sebelumnya, ia sempat disuntik vaksin Sinovac tahap pertama. Daeng Tika dibawa ke RS karena demam tinggi dan nyeri di seluruh persendian. Namun, ia tak tertolong meski telah mendapat penanganan. Di rumah duka Desa Batu-Batu, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, suasana kesedihan tampak dirasakan keluarga almarhum. Mereka tak menyangka, almarhum yang sebelumnya sehat, tiba-tiba mengeluh sakit dan meninggal dunia. “Bapak sebelumnya sehat-sehat aja, gak punya sakit kronis atau sakit-sakitan,” ujar Mahmud, anak almarhum, Selasa (23/3/2021). Mahmud menceritakan, ayahnya divaksin pada 15 Maret silam di tempat kerjanya. Beberapa hari kemudian mengeluh sakit, tapi tetap masuk kerja. Dua hari setelah vaksin kemudian ada gejala panas tinggi. Demam dan nyeri seluruh badannya. Peristiwa serupa terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Salah satu lansia merupakan wanita yang sudah menjalani vaksinasi Covid-19 pada Senin, 8 Maret 2021. Perempuan berusia 75 tahun itu divaksin pada Senin, 8 Maret 2021. Hari itu ada 2.500 lansia yang mendapatkan vaksinasi Covid-19. Menurut Bupati Banyumas Achmad Husein, lansia tersebut sudah lolos skrining, sehingga dia dinilai layak mendapatkan vaksinasi Covid-19. Namun beberapa jam kemudian setelah lansia itu kembali ke rumah sekitar pukul 11.30 WIB, tak lama sore harinya pukul 17.00 WIB dia jatuh terduduk di lantai dan dibawa ke RS hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Kejadian tersebut membuat Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Hindra Irawan Satari buka suara. Hendra menyebut, kedua lansia tersebut meninggal bukan karena vaksinasi Covid-19. “Penyebab meninggal bukan disebabkan vaksinasi Covid-19,” ujar Hindra kepada Merdeka.com, Senin, 15 Maret 2021. Kasus ini diungkap kembali oleh Bupati Husein kepada wartawan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa, 9 April 2021. Di Kabupaten Cilacap, Jateng, seorang nakes diketahui meninggal dunia usai beberapa hari divaksin Covid-19. Nakes itu meninggal, Jumat (5/2/2021) sekitar pukul 07.00 WIB. Tapi, Kepala Dinkes Cilacap dr Pramesti Griana Dewi mengatakan, nakes berjenis kelamin laki-laki itu meninggal bukan karena disuntik vaksin Covid-19, melainkan demam berdarah. “Dokter penanggung jawabnya menyatakan, nakes itu meninggal akibat Dengue Shock Syndrome (DSS) atau demam berdarah,” kata dr Pramesti Griana Dewi seperti dilansir Hestek.id, Sabtu (2021-02-06,15:34).Ia membenarkan jika sang nakes sempat menjalani vaksinasi Covid-19 di RSUD Cilacap, tempatnya bertugas, 27 Januari 2021. Kondisi nakes, disebut Pramesti tak mengalami efek dari vaksin dan bekerja seperti biasa. Bahkan, nakes itu juga bertugas merujuk pasien ke RSUD Sardjito Jogjakarta. “Sepulang dari Jogjakarta, badannya nggreges dan Minggu (31/1/2021) yang bersangkutan izin tidak masuk kerja,” paparnya. Kemudian Rabu (3/2/2021) yang bersangkutan masuk IGD RSUD Cilacap karena lemas dan BAB berwarna hitam. Saat itu juga langsung masuk ICU, trombositnya jauh di bawah normal dan langsung dilakukan transfusi trombosit. Nakes tersebut meninggal, Jumat (5/2/2021) sekitar pukul 07.00 WIB. Kasus serupa menimpa Direktur Pascasarjana STIK Tamalatea Makassar dan juga Bendahara Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Dr Eha Soemantri SKM, MKes. Eha meninggal di ICU RS Wahidin Sudiro Husodo, setelah salat subuh. Kabar yang beredar, sebelumnya Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Eha sendiri sebelumnya sudah divaksin. Namanya masuk dalam penerima vaksin pertama di Sulsel, 14 Januari 2021. Pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoninya. Setelah divaksin beberapa waktu lalu. Ia mengimbau masyarakat untuk tak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntik vaksin tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh Pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut. Setelah divaksin Eha mengaku tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, ia mengajak mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus covid-19. Dokter Tifauzia Tyassuma mengatakan, dua orang senior dan gurunya wafat pasca suntikan pertama vaksin. Begitu suntik ke-1 langsung masuk ICU dan saturasi oksigen 60%. “Ngga ada satupun Dokter yang boleh bilang kalau beliau berdua kena KIPVI,” ujarnya. Keduanya Lansia dengan Comorbid. Menurutnya, kalau disebutkan Institusi mana pasti ia di-bully lagi lahir bathin. Dan semua bungkam diam seribu bahasa. Sebetulmya ini adalah tamparan bagi Seluruh Dokter di Indonesia. “Ayo dong bicaralah jujur sesuai hati nurani Anda semua. Saya tidak mau memusuhi kalian dan apalagi dimusuhi kalian. Saya cinta kalian semua dan sangat mengkhawatirkan keadaan ini,” pesan Medical Scientist, Pakar dan Praktisi Nutrisi ini. Sayangnya, kasus-kasus kematian dokter dan nakes lainnya yang terjadi di Indonesia paska vaksinasi Covid-19, selalu dijawab dengan dalih “bukan KIPI”. Mungkinkah kasus-kasus kematian pasca vaksinasi ini bisa dilakukan gugatan terhadap Pemerintah? Menurut Advokat Subagyo, gugatan pada Pemerintah terkait kematian pasca vaksinasi bisa saja dilakukan. “Asalkan ada keterangan ahli yang menerangkan bahwa itu termasuk kesalahan,” katanya. Apakah otopsi masih perlu dilakukan atas jazadnya? Otopsi itu kalau ada proses pidananya. Jadi, pertama harus menanyakan kepada ahli kesehatan dulu. Hukum akan mengikuti fakta. Jika fakta itu menurut ahli adalah malpraktik, maka hukum baru bisa bertindak. Kesalahan atau malpraktik ini apa termasuk jika menurut aturan, yang punya komorbid itu tidak bolah divaksin, tetapi tetap saja divaksin, sehingga menyebabkan kematian? “Ya bisa seperti itu. Yang penting ada analisis ahli tentang risiko, seberapa besar risikonya,” ujarnya. Pernyataan senada disampaikan Advokat Sumarso. Bisa digugat, tapi metodanya Citizen Lawsuit. “Gugatan oleh warga negara. Hanya saja, proses pembuktiannya harus akurat. Nda gampang juga untuk otopsi. Yang bisa minta otopsi hanya penyidik, kecuali kasus pembunuhan,” katanya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ponpes Amanatul Ummah Terima Vaksin, Asal Jangan AstraZeneca!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Meski akhirnya PWNU dan MUI Jawa Timur membolehkan Vaksin AstraZeneca digunakan untuk vaksinasi Covid-19, Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah KH Asep Saifuddin Chalim terang-terangan menolak vaksin AstraZeneca. Ia melarang keras 12.000 santri dan mahasiswa, serta 1000 lebih tenaga pengajar di lembaga pendidikannya disuntik vaksin Covid-19 dari Inggris tersebut. “Amanatul Ummah sangat mendukung vaksinasi, asalkan jangan vaksin AstraZeneca,” tegas Kiai Asep. Jika vaksin AstraZeneca haram mutlak bagi Amanatul Ummah. “Jadi, tidak ada halal mubah itu tidak ada,” katanya kepada wartawan di Institut KH Abdul Chalim, Desa Bendunganjati, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Sabtu (27/3/2021). Kiai Asep menyebut, karena sesuai fatwa MUI Pusat yang mengatakan vaksin AstraZeneca itu mengandung (tripsin) pankreas babi dan hukumnya haram. Menurut MUI pusat hukumnya haram, tapi diperbolehkan ketika darurat. “Namun, di Amanatul Ummah tidak yang ada darurat. Karena selama satu tahun di Amanatul Ummah ini tidak ada yang terkena Covid-19,” terangnya. Menurutnya, Ponpes Amanatul Ummah bisa bebas Covid-19 karena selama ini menerapkan protokol yang ketat. Setiap santri yang baru datang, wajib lolos pemeriksaan rapid test, foto toraks dan pemeriksaan darah lengkap. Kiai Asep juga mengkritik Fatwa MUI Jatim yang menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca halal dan bagus (halalan thoyiban). Ia menilai fatwa tersebut salah karena hanya menggunakan alasan istihalah atau perubahan bentuk dan ihlak atau penghancuran. MUI Jatim yakin tripsin pankreas babi yang digunakan dalam produksi vaksin AstraZeneca tidak lagi menjadi najis karena sudah berubah bentuk. Istihalah di situ disamakan dengan Ihlak, penghancuran, tidak ada nilai-nilai babinya. Istihalah dan ihlak tertangkal oleh Intifak. Yaitu bisa menjadi vaksin karena ada (tripsin) pankreas babinya. Intifak itu bukti yang tidak bisa dihilangkan. Buktinya apa? Jadi vaksin. Tanpa ada pankreas babinya tak akan jadi vaksin. “Keharaman intifak, baru pada pemikiran saja sudah haram, apalagi sudah ada realisasinya,” lanjut Kiai Asep. Imam Syafii dan Imam Hambali mengajarkan, istihalah atau perubahan bentuk dari benda najis menjadi tidak najis hanya berlaku pada tiga hal. Yaitu ketika arak berubah secara alami menjadi cuka, kulit yang diambil dari bangkai selain babi dan anjing, serta ayam yang menetas dari telur yang dikeluarkan dari ayam mati. Menurutnya, itu berbahaya sekali. “Itulah kenapa saya ngotot ingin memberitahukan kepada seluruh masyarakat Jatim bahkan Indonesia,” tegasnya. Ketika MUI Jatim hasil fatwanya tidak segera dicabut, dan MUI Pusat tidak memanggilnya, bahayanya ini menjadi pintu masuk lebar-lebar untuk semua produk (olahan) babi dihalalkan karena istihalah. “Karena semua produk babi pasti dengan Istihalah semua, tak mungkin gelondongan berupa babi,” terang Kiai Asep. Kiai Asep berharap pemerintah tak menggunakan vaksin AstraZeneca untuk vaksinasi Covid-19 di Jatim. Apalagi disuntikkan ke pesantren-pesantren. Sebab, ia berpendapat, kondisi saat ini tidaklah darurat. Masyarakat masih bisa menunggu pemerintah membeli vaksin yang dipastikan halal. Ia pun memberikan solusi ke pemerintah yang terlanjur membeli vaksin AstraZeneca dalam jumlah besar. “Solusinya agar digunakan di daerah-daerah nonmuslim yang tidak mempermasalahkan tubuhnya kemasukan unsur-unsur babi,” jelas Kiai Asep. Sementara untuk umat Muslim di Indonesia, Kiai Asep berharap pemerintah menggunakan vaksin jenis lain yang dipastikan halal. Terhadap para ulama Jatim yang terlanjut divaksin AstraZeneca, dia menyarankan agar memperbanyak istighfar. Harus mendatangkan lagi selain vaksin AstraZeneca. Masih banyak vaksin lain. Menunggu tidak masalah, tiga bulan, setahun tidak akan mati. Bukan darurat kalau seperti itu. Yang terlanjur divaksin? Istighfar saja yang banyak. Ia menjelaskan, kandungan babi dalam vaksin AstraZeneca akan berdampak negatif jika disuntikkan ke umat Islam. Muslim yang mengonsumsi zat-zat dari babi akan sulit diterima doanya oleh Allah SWT. Selain itu, proses kematian mereka saat sekarat juga akan sulit. Mohon maaf, banyak orang yang mengatakan Zionis dan Orientalis ingin makanan yang dikonsumsi orang-orang mukmin mengandung babi agar doanya tidak dikabulkan oleh Allah SWT. “Kan kasihan mereka adalah bangsa Indonesia, sebagai potensi Indonesia. Mohon kalimat saya ini didengar oleh Gubernur, Presiden oleh siapa saja. Kemudian MUI Pusat berbuat,” pesan Kiai Asep. Gumpal Darah Kalau Kiai Asep menolak vaksin AstraZeneca karena haram, lain halnya beberapa negara di Eropa yang menghentikan vaksin AstraZeneca karena terjadi kematian akibat penggumpalan darah. Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB menulis 7 kematian akibat penggumpalan darah setelah vaksinasi AstraZeneca. Dari 18 juta orang yang sudah divaksinasi dengan produk AstraZeneca di UK, ditemukan ada 30 orang yang mengalami masalah dengan penggumpalan darah yang tidak biasa. Data dari The Medicines and Helathcare Produsts Regulatory Agency (MHRA), BPOM UK menunjukkan: Ada 22 kasus adalah CVST (Cerebral Venous Sinus Thrombosis), yaitu munculnya gumpalan darah di otak. Kondisi ini disertai dengan rendahnya kadar platelet (trombosit). Dalam keadaan normal kadar platelet yang rendah justru akan memicu terjadinya pendarahan, bukan terbentulnya gumpalan darah. Ada 8 lainnya mengalami penggumpalan darah (terjadi) bukan di otak, juga disertai dengan kadar platelet yang rendah. Dari 30 orang itu akhirnya dilaporkan 7 orang meninggal. Tapi, belum diketahui dengan pasti apakah ini suatu kebetulan atau memang efek samping dari vaksin itu. Namun, negara-negara lain mulai berhati-hati: Jerman, Perancis dan Belanda mulai membatasi penggunaan vaksin ini hanya untuk orang tua. Dalam penelitian dan pengembangan produknya AstraZeneca bekerja sama dengan University of Oxford. Di Eropa kini tengah melakukan penelitian atas: Sifat penggumpalan darah yang tidak biasa, karena terjadi dalam keadaan kadar platelet yang rendah, yang harusnya justru menyebabkan pendarahan; Adanya antibodi langka yang menyebabkan gangguan pembekuan darah. Vaksin Pfizer juga tengah diteliti karena dari 10 juta orang yang telah divaksinasi ditemukan 2 yang mengalami CVST setelah vaksinasi. Namun tidak disertai dengan kadar platelet yang rendah sebagaimana kasus AstraZeneca. Kejadian penggumpalan darah sendiri masih menjadi tanda tanya: berapa sering sebenarnya dalam keadaan normal, tanpa vaksinasi. Diestimasikan bahwa dari 1 juta orang akan muncul 2 hingga 16 kasus dalam setahun. Dan infeksi Covid-19 berkaitan dengan penggumpalan darah yang abnormal, sehingga angka kejadian per sejuta orang ini tentu akan meningkat. Dari Jerman dilaporkan adanya 31 CVST dan 9 kematian setelah vaksinasi dilakukan pada 2,7 juta orang. Sebagian besarnya adalah usia muda atau wanita setengah baya. Berbagai analisa telah dicoba dilakukan terhadap masalah ini. Seandainya pun kematian itu berkaitan dengan vaksin, maka perlu dilakukan perbandingan sebagai berikut berdasarkan data di UK: dari 2,5 juta orang: 🥕1 kematian akibat vaksinasi. 🥕2.500 orang usia 40 tahun meninggal akibat infeksi Covid-19 🥕50.000 orang usia 60 tahun meninggal akibat infeksi Covid-19 Maka tetap saja manfaat vaksin jauh lebih besar dibandingkan risikonya. Rasio manfaat dan risiko vaksin akan terus dievaluasi mengingat program vaksinasi di Eropa mulai bergeser dari usia lanjut ke orang-orang muda, yang memiliki risiko kematian akibat infeksi lebih rendah. Sementara, seorang medical biologist mengatakan: adalah hal “biasa” jika secara tak sengaja ditemukan kluster efek samping yang langka. Namun, jika kluster itu ditemukan pada beberapa populasi, misal: kasus AstraZeneca ini di Jerman dan Inggris, maka sulit mengatakan bahwa ini kejadian acak. Jadi lebih cenderung dikatakan ada hubungan. Namun, tidak seorang pun berani mengambil kesimpulan bahwa keduanya berhubungan: kematian akibat penggumpalan darah dan vaksin AstraZeneca. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

KIPI Jatuh Akibat AstraZeneca, Satgas Sulut "Suspend" Vaksinasi Covid

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sulawesi Utara pada akhirnya menghentikan sementara penggunaan Vaksin AstraZeneca karena munculnya efek samping pada 5-10 persen warga yang disuntik. Satgas Covid-19 setempat menghentikan sementara penggunaan vaksin dari Inggris tersebut. Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) masih menunggu hasil laporan investigasi penerima vaksin AstraZeneca di Kota Manado dan Kota Bitung setelah Satgas Covid-19 Sulawesi Utara menghentikan sementara penggunaan AstraZeneca. Alasan satgas daerah menyetop sementara AstraZeneca adalah karena muncul efek simpang seperti demam atau nyeri badan hingga tulang. “Kalau misalnya serius dan membahayakan, tentunya akan dihentikan atau di-suspend atau ditunda,” kata Hindra Irawan. Ketua Komnas KIPI itu mengaku, pihaknya sudah menerima laporan dari Komda KIPI Sulut terkait hal ini, yaitu efek simpang berstatus ringan hingga sedang. “Saya sudah menghubungi Komda (KIPI). Memang ada KIPI, sedang dilakukan investigasi,” tuturnya. Sementara itu, Kementerian Kesehatan mengatakan Dinkes Sulut telah memberikan surat pemberitahuan penyetopan vaksin AstraZeneca karena ditemukan KIPI terhadap 5-10% warga yang menerima vaksin AstraZeneca. “Suratnya baru (diterima) hari ini. Sudah akan dikaji dulu oleh ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization),” ujar juru bicara vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi. Menurutnya, Kemenkes masih menunggu kajian Komnas KIPI untuk memutuskan kebijakan soal penggunaan AstraZeneca secara nasional. Kepala Satgas Covid-19 Sulut Steven Dandel mengatakan keputusan ini diambil untuk memastikan aspek kehati-hatian. Dalam Emergency Use Authorization (EUA) vaksin AstraZeneca disebutkan, KIPI ini adalah efek simpang (adverse effect) AstraZeneca yang sifatnya sangat sering terjadi very common, artinya 1 di antara 10 suntikan dan sering terjadi common -1 di antara 10 sd 1 di antara 100. Agar tidak terjadi kepanikan, Steven mengatakan pemerintah akan mempersiapkan komunikasi risiko agar masyarakat memahami fakta dari insiden tersebut. Namun sebelum itu, Steven memastikan investigasi akan segera dilakukan oleh Komda KIPI, Dinas Kesehatan Sulut, Kementerian Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia. Sulut adalah satu dari 6 provinsi yang mendapatkan vaksin AstraZeneca, selain Bali, NTT, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Riau. Sebanyak 50.000 dosis vaksin AstraZeneca juga telah tiba di Kota Manado sepekan lalu. Mengutip Detik.com, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Sulawesi Utara melaporkan 990 orang dari 3.990 penerima vaksin AstraZeneca mengalami KIPI berupa demam, menggigil, nyeri badan hingga tulang dan muntah serta mual. Keputusan Satgas Covid-19 Sulut yang diambil untuk memastikan aspek kehati-hatian itu bisa disebut “sangat berani”. Pasalnya, selama ini jika terjadi kasus serupa biasanya selalu dijawab dengan dalih “bukan KIPI”. Sejak awal, kalangan ahli virus atau bakteri ada yang berpendapat, di bahan vaksin itu ada satu bahan yang berfungsi sebagai katalisator/stabilizer. Katalisator atau stabilizernya itu bisa: mengandung bakteri X atau enzim/protein dari bakteri X itu. Keduanya, mampu merusak sistem membran semi permeabilitas sel atau membran selektif permeabel sel. Sementara bahan-bahan vaksin itu terdiri dari virus/bakteri/antigen, pengawet (thimerosal?), bahan adjuvant, dan sebagainya. Setelah sistem membran permeabilitas atau membran selektif permeabel sel itu dirusak oleh protein stabilizer ini, maka kandungan zat-zat adjuvant maupun pengawet itu bisa tersebar ke mana-mana, ke seluruh darah, bahkan ke seluruh sel. Sehingga akan terbentuk kelainan-kelainan ikutannya. Dari sudut pandang ini bisa dipahami pula, kalau vaksin itu diduga berpotensi bisa menyebabkan KIPI dengan berbagai bentuknya, antara lain: autis, hedrocefalus, down syndrome, hiperaktif, crohns disease, dan sebagainya. Kena Covid Tidak sedikit laporan di lapangan yang menyebutkan bahwa sejumlah dokter dan nakes lainnya, termasuk juga pejabat publik yang mengaku dirinya terinfeksi Covid-19 usai divaksinasi. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan salah satu faktornya adalah seseorang mengabaikan protokol kesehatan usai divaksinasi. Sebab, vaksin bukanlah sebuah pelindung utama yang bisa menjadikan seseorang mutlak kebal terhadap virus. “Disuntik vaksin tak akan bikin kita jadi Superman. Enggak bisa bikin kita kebal virus,” ujar Menkes dalam pidatonya saat meresmikan layanan Vaksinasi Drive-Thru di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), Kamis (25/3/2021). “Makanya kalau ada orang bilang, kok kena Covid-19 ya sudah divaksin? Ya iya, habisnya setelah divaksinasi jalan-jalan tanpa masker misalnya,” tegasnya, seperti dilansir JawaPos.com (25 Maret 2021, 15:53:50 WIB). Menurutnya, antibodi kekebalan baru akan terbentuk setelah 28 hari usai suntik vaksin dosis kedua. Dan itupun tak menutup kemungkinan untuk kebal sepenuhnya dari virus. Setelah 28 hari pun bisa kena Covid-19, tapi tak akan parah. Karena kita punya antibodi. “Kalau terbentuk optimal pun tak membentuk bapak jadi Superman. Tapi, sakit pun tak akan parah dan masuk RS,” tegas Menkes. Juru Bicara Pemerintah Untuk Covid-19 Wiku Adisasmito mengingatkan masyarakat untuk terus disiplin protokol kesehatan. Sebab kini menurutnya mulai mengendur di banyak negara karena terlena dengan kedatangan vaksin. Mengingat laju penyuntikan vaksin tak sebanding dengan laju penularan virus Covid-19. Menurut Wiku, kelalaian dalam menerapkan protokol kesehatan itu sangat berpotensi untuk menyebabkan potensi penularan di tengah penduduk. Wiku mengingatkan sejalan dengan temuan tersebut, maka dia meminta semua orang untuk memandang vaksin sebagai solusi penanganan pandemi Covid-19. Vaksin akan membantu menyelamatkan nyawa. Akan tetapi jika kita hanya mengandalkan vaksin, maka kita membuat kesalahan. Perubahan perilaku harus menjadi pondasi utama dari usaha kita menghentikan penularan virus Covid-19 di Indonesia mengingat telah ditemukannya kasus mutasi baru Covid-19. “Selanjutnya merupakan tanggung jawab kita semua untuk tetap mencegah penularan terjadi di tengah masyarakat dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan,” jelas Wiku. Bagaimana dengan dokter dan nakes yang meninggal? Rasanya tidak mungkin kalau mereka mengabaikan prokes pasca divaksin! *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Epidemiolog Dicky Budiman: “Virus Dormant Itu Teknologi Kuno! (1)”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Vaksin AstraZeneca sempat menjadi bahasan publik usai Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyebut vaksin buatan perusahaan farmasi asal Inggris itu haram karena mengandung enzim tripsin dari babi. Meski begitu, MUI tetap memberikan lampu hijau penggunaan AstraZeneca untuk program vaksinasi, mengingat stok vaksin di Indonesia terbatas. BPOM pun pada Jumat (19/3/2021) lalu telah merestui penggunaan AsrtaZeneca untuk vaksinasi di tanah air. Restu BPOM itu menyusul vaksin AstraZeneca yang sempat ditangguhkan sementara, usai ditemukannya dugaan kasus pembekuan darah yang terjadi di beberapa negara Eropa akibat vaksinasi dengan vaksin kerjasama Oxford itu. Virus Covid-19 kini telah menginfeksi hampir 123,9 juta penduduk di bumi. Dan, setidaknya, sekarang inii dunia telah memvaksinasi lebih dari 447 juta suntikan (kira-kira setara dengan 2 kali jumlah mereka yang terinfeksi), dengan masing-masing 2 kali suntikan. Virus Covid-19 telah menginfeksi 1,46 juta penduduk Indonesia. Setidaknya, Indonesia telah memvaksinasi lebih dari 7,8 juta suntikan atau kira-kira setara dengan 5,3 kali jumlah mereka yang terinfeksi, dengan masing-masing 1 kali suntikan. Dalam catatan Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB, angka ini baru 2,1% dari target penduduk yang akan divaksinasi sebanyak 181,6 juta orang, masing-masing 2 kali suntikan. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, berikut ini petikan wawancara Mocahamad Toha dari FNN.co.id dengan dr. Dicky Budiman, MSc, PhD (Can) Global Health Security CEPP Griffith University, Australia yang juga seorang Epidemiolog. Terkait program vaksinasi (Sinovac dan AstraZeneca) yang sudah jalan di Indonesia. Sinovac dinyatakan halal oleh MUI, AstraZeneca haram. Komentar Anda? Menurut saya ada perbedaan antara Sinovac dan AstraZeneca dalam segi kemasan. Sinovac dikemas jauh lebih cermat, lebih hati-hati oleh pemerintah, terutama dari 3 segi, yaitu halal, keamanan, dan efikasi. Walaupun kita selalu ingatkan, diumumkan hampir sebelum keluar hasil dari fase ke-3 ini. Tapi, relatif lebih (dalam konteks Indonesia, faktor halal ini) sangat penting. Tapi berbeda dengan AstraZeneca. Ini timbul satu komunikasi yang kurang, untuk konteks Indonesia. Maksudnya? Karena, ternyata (dalam hal) ini belum ada sinergi yang kuat antara BPOM, Kemenkes, dan MUI. Ternyata MUI mengeluarkan fatwa haramnya. Dan, ini juga semakin menjadi bahasan publik karena di Australia, di Eropa, dan di negara lain dinyatakan halal sehingga digunakan. Padahal kan sama-sama Muslim. Sehingga ini jadi pro-kontra, jadi perbedaan. Dan tentu ini akan tidak kondusif untuk strategi vaksinasi. Karena bagaimanapun sebagian masyarakat kita akan melihat apa yang disampaikan pertama oleh pemerintah (dalam hal ini MUI). Bahwa ini memberi kandungan yang diharamkan. Dan, ini sudah melekat, sehingga ini sulit untuk diluruskan. Nah, ini yang harus diperbaiki mekanisme formnya sebagaimana Sinovac, kalau aman dan efektif. Ada beberapa kasus di Indonesia, seperti kematian pasca vaksinasi yang juga menimpa dokter dan nakes lainnya. Terakhir, yang dialami seorang guru honorer di Garut yang lumpuh. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini yang harus direspon dengan penguatan KIPI (Kejadian Ikutan Paska Iminusasi). Dan KIPI ini tentu harus dilaporkan dan disampaikan secara reguler pada publik juga. Termasuk kita ini sudah melakukan 2 vaksinasi dengan Sinovac ini beberapa waktu, bulan. Nah, ini tentu ada perkembangan, ada data yang bisa disampaikan kepada publik. Apapun data itu untuk melihat. Melihat apa? Karena ini untuk melihat efektivitas pada dunia nyata ini akan bisa terlihat, sehingga data ini juga memeperlihatkan bahwa pemerintah melakukan pemantauan ini, termasuk bukan hanya KIPI-nya tetapi juga efektivitas vaksin ini di lapangan. Dan kasus-kasus seperti itu sebagaimana yang terjadi di Indonesia maupun luar negeri, sama saja, harus diverifikasi, harus dijelaskan apakah ini berkaitan dengan vaksinasinya atau tidak. Dan ini harus tentu dengan penjelasan yang ilmiah, mengklirkan, membantu menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi dengan kasus-kasus tersebut. Fakta, kematian pasca vaksinasi AstraZeneca di beberapa negara Eropa karena terjadi pembekuan darah. Komentar Anda? Kasus kematian yang diduga dikaitkan dengan Astrazeneca di Eropa ini sudah terbukti tidak terkait. Dan memang ini dari awal saya sudah sampaikan bahwa harus sangat komprehensif ketika melihat peristiwa yang terjadi, dan diduga dikaitkan dengan vaksin. Karena, pertama harus dilihat data pada uji vaksin tersebut, ada tidak efek samping dimaksud. Bila tidak ada, sangat amat kecil kemungkinan terjadi itu. Ada, tetapi amat sangat kecil. Dan, untuk AstraZeneca di fase-3 atau hanpir semua faksin Covid-19 ini tidak ada ditemukan efek samping dalam bentuk kejadian trombosis. Kedua, untuk memperkuat fakta ini apakah ada kaitan atau tidak juga harus melihat apa yang disebut dengan background rate. Backround rate ini jadi dilihat bagaimana angka kejadian penyakit atau kasus tersebut sebelum program vaksinasi Covid-19. Bisa dijelaskan maksudnya? Misalnya, trombosis ini sebelum vaksinasi secara global itu sudah sangat dimaklumi di dunia kedokteran bahwa ini sangat sering terjadi. Satu diantara 1000 orang itu mengalami kasus ini, trombosis. Kemudian satu dari 4 kematian di dunia, itu dikaitkan dengan trombosis. Ini yang dimaksud dengan background rate itu. Sehingga saat misalnya terjadi kasus seperti ini pada orang yang sudah divaksinasi, pertama selain juga dilihat bahwa itu tidak ada kaitannya dengan fase ketiga dan kedua, background rate, dan tentu juga dilihat kasus per kasus. Dan semakin jelas juga, bahwa kasus ini banyak terjadi pada wanita yang usia di bawah 55 tahun, sesuatu yang tidak lazim juga kalau dikaitkan dengan hal trombosis semu. Menjadi paradoks tersebut adalah ditemukannya penurunan trombosit di saat terjadinya ini, pembekuan darah, sesuatu yang agak kontradiktif. Karena trombosit menurun itu berkaitan dengan pendarahan seperti pada penyakit Demam Berdarah. Tapi dalam kasus ini terjadi penggumpalan darah, dan ini tentu harus dicari tahu dulu diduga apakah ada kaitannya dengan genetik atau reaksi imun, dan lain sebagainya. Ini yang harus digali dulu. Yang jelas pada vaksin itu sangat kecil kemungkinan. Dan Indonesia harusnya juga punya sikap yang sama. Kehati-hatian iya, namun tentu tidak bisa kita gampang mengikuti dengan apa yang dilakukan negara lain, lantas kita serta merta ikut melakukan, karena dalam situasi seperti ini kita harus berpedoman pada sains. Dan, saya kira sekarang harus segera Indonesia melakukan pemberian vaksinasi ini, termasuk AstraZeneca. Namun hal-hal lain terkait dengan AstraZeneca ini adalah dari segi komunikasi resikonya yang tidak sebaik Sinovac. Terutama sinergi yang belum memadai antara BPOM, Kemenkes, dan MUI tadi. Sehingga, masalah fatwa haram ini menjadi keluar tidak di awal. Sehingga ini tentu akan berpengaruh. Tentu ini yang harus diperbaiki untuk vaksinasi selanjutnya. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Epidemiolog Dicky Budiman: “Virus Dormant Itu Teknologi Kuno! (2)”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Di Hongkong terjadi kasus Bell’s palsy (paralisa wajah) yang bisa dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Komentar Anda? Kembali melihat semacam KIPI ini seperti yang saya sampaikan. Jadi, lihat background rate dari kasus Bell's palsy ini. Kalau bicara Bell's palsy ini belum ada penyebab pastinya. Nah, kaitan antara Bell's palsy ini dengan vaksin insidensi atau tingkat insidensi dari Bell's palsy ini antara penerima vaksin Covid-19 kurang lebih sama dengan insidensi pada populasi ini. Artinya, tidak bisa selalu dikaitkan. Karena tidak cukup kuat. Ini sama saja antara penerima vaksin dengan tidak. Jadi, bahwa vaksin ini dikaitkan dengan Bell's palsy tidak kuat. Tidak kuat alibi maupun argumentasi ilmiahnya. Dan, kalau bicara dormant atau virus yang dianggap mati kemudian hidup kembali, ini kalau dalam kaitan vaksin, itu tidak terjadi. Tidak pernah terjadi. Yang terjadi sebaliknya. Pada tahun 1960-an itu yang disebut dengan culture tragedy, itu vaksin folio yang memang dilemahkan, tapi ketika itu teknologi vaksin itu masih kuno. Masih belum memiliki standar keamanan seperti sekarang ini, sehingga vaksin-vaksin yang diberikan pada saat itu di Amerika Serikat, ternyata masih ada virus folio yang masih hidup sehingga malah menyebabkan penyakit kelumpuhan, dan bahkan, kematian. Apa yang kemudian dilakukan saat itu? Nah, sejak saat itu riset vaksin ini luar biasa. Bukan hanya sifatnya standar aman, tapi juga ekstraordinari keamanannya. Kebetulan saya pernah ada di Sekretariat Organisasi Kerjasama Islam di Jeddah dan juga yang berbasis di Ankara di Komite Kesehatannya selama beberapa tahun, sehingga terkait vaksinasi folio dan lain sebagainya, saya juga terlibat. Dan, saya salah satu yang membuat perencanaannya di negara Islam. Saat itu pun sudah kita sampaikan bahwa isu vaksin yang dilemahkan itu tidak tepat. Yang terjadi, yang disebut dengan dormant itu adalah ketika seseorang sudah terinfeksi, katakan misalnya Ebola, sekalipun setelah 4-5 tahun pun ternyata si virus ini bisa hidup lagi. Si virus ini ternyata ada yang sembunyi, dormant. Itu yang terjadi. Bagaimana dengan vaksin Covid-19? Saya gak tahu untuk yang Covid-19 ini, apakah ada yang sama ketika seseorang ada yang terinfeksi sebagaimana cacar. Nah, ini yang perlu penelitian lagi. Tapi kalau dari vaksin ini terus ada yang dormant, dari standar yang ada saat ini, sangat amat kecil. Bahwa ada orang yang terpapar setelah divaksin itu bukan dari vaksinnya. Jadi, pemahaman virus dormant atau yang dianggap mati kemudian hidup lagi itu bukan dalam vaksinnya. Tapi itu lebih misalnya orang yang disebut terinfeksi itu ada yang terinfeksi ulang atau seperti kasus Ebola itu aktif lagi, sekali lagi, kasus dalam vaksin apapun pada dekade tahun 2000-an ke sini tidak memiliki peluang seperti itu lagi karena teknologi vaksin yang sudah jauh sangat baik dibanding di era tahun 1960-an, sehingga apa yang menyebabkan orang itu terinfeksi setelah divaksin itu karena sudah tidak melakukan upaya 5T sebelum, selama, dan bahkan sesudah divaksin. Karena vaksinasi, apapun jenis vaksinnya, itu akan membutuhkan waktu setidaknya saat pertama itu 12 hari, setelah suntikan dia mulai ada respons imunitas, antibodinya mulai dibangun, itu belum optimal. Apalagi kalau Sinovac itu kan perlu 2 kali suntikan. Masih harus menunggu, sampai suntikan ke-2 baru dua mingguan. Ini yang menyebabkan kenapa terjadinya orang yang terinfeksi. Saran Anda? Jadi, ini yang saya kira harus diluruskan. Bahwa, virus dormant itu tidak tepat diterapkan teorinya pada vaksinasi dengan menggunakan virus yang dilemahkan atau dimatikan untuk saat ini. Teori itu bisa berlaku dulu saat teknologinya belum semaju seperti sekarang ini. Itu kan teknologi era 1960-an hingga 1970-an itu masih bisa, Tapi saat ini teknologi itu tak tepat, sebagaimana kalau kita bicara dalam bidang kedokteran. Saya sebagai dokter, kalau jaman dulu orang dioperasi itu banyak yang meninggal, karena penanganan atau manajemen infeksinya saat itu masih buruk. Antibiotiknya dan lain sebagainya itu belum ada. Sekarang orang dioperasi ya bisa, demam pun tidak. Karena teknologinya sudah sangat maju. Nah ini yang terjadi juga dalam perbaikan kualitas riset vaksin. Terakhir komentar saya, sangat penting bagi Indonesia dalam hal ini pemerintah (Kemenkes), memang betul, penelitian vaksin ini belum selesai. Kan nanti akan dilihat nanti pada relawan, Apakah betul respon imunitas atau antibodi yang terbentuk itu bertahan satu tahun atau tidak, jadi diperpanjang ini. Juga ini dilihat efektivitas nyatanya di dunia nyata seperti apa, termasuk juga masalah KIPI ini yang harus terus dipantau dan dilaporkan, ini penting sekali untuk menjelaskan secara ilmiah, sekali lagi, apa yang terjadi pada kasus-kasus, termasuk yang seperti tadi. Ini terinfeksi, padahal sudah divaksin. Jadi, harus dikronologiskan dengan detail seperti apa. Karena hal ini penting sekali. Bukan hanya menjelaskan oh ini bukan, tapi juga memberikan penjelasan ilmiah, termasuk ini pelajaran penting untuk program vaksinasi ke depan. (Selesai) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

"Natural Herd Immunity" Bakal Kendalikan Virus Corona!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Berdasarkan riset Bloomberg, Indonesia diperkirakan akan menghabiskan waktu 10 tahun, bahkan lebih, untuk mengatasi pandemi Covid-19. Perkiraan itu dikeluarkan Bloomberg Vaccine Tracker berdasarkan vaksinasi yang mampu dilakukan Indonesia per harinya. Berdasarkan data Bloomberg Vaccine Tracker yang dikutip Strait Times, Sabtu (6/2/2021), perkiraan kemampuan vaksinasi yang dapat dilakukan Indonesi per harinya, yakni 60.443 dosis. Hal itu dengan asumsi yang terinfeksi Covid-19 sebesar 1.134.854 orang, dan dengan angka kematian 31.202 orang. Dengan asumsi seperti tersebut, maka waktu vaksinasi yang dapat diselesaikan Indonesia adalah lebih dari 10 tahun. Sama dengan Indonesia, terdapat negara lain yang diasumsikan bisa menyelesaikan waktu vaksinasi dengan minimal waktu 10 tahun. Yakni, India dengan asumsi vaksinasi 299.082 dosis per hari dan Rusia dengan asumsi vaksinasi 40.000 dosis per hari. Negara lainnya yang diasumsikan dapat menyelesaikan pandemi Covid-19 dengan waktu vaksinasi yang jauh lebih cepat adalah Israel (2 bulan) dengan asumsi vaksinasi 135.778 dosis per hari; Uni Emirat Arab (2 bulan) dengan asumsi vaksinasi 140.103 dosis per hari, Inggris (6 bulan) 438.421 dosis per hari, dan Amerika Serikat (11 bulan) dengan asumsi vaksinasi 1.339.525 dosis per hari. Sementara negara lainnya, Perancis (3,8 tahun) dengan asumsi vaksinasi 68.066 dosis per hari, Brazil (3,9 tahun) dengan asumsi 218.694 dosis per hari, dan China dengan asumsi 1.025.000 dosis per hari. Sehingga secara global, dunia butuh 7 tahun untuk menyelesaikan pandemi Covid-19 dengan rata-rata vaksinasi 4.540.345 dosis per hari. Sejauh ini belum ada tanggapan dari pemerintah mengenai hasil riset Bloomberg itu. Presiden Joko Widodo dalam beberapa kali kesempatan menyampaikan target menyelesaikan vaksinasi dalam waktu 1 tahun. Target ini berdasarkan perhitungan yang telah dilakukannya. Menurutnya, Indonesia memiliki 30.000 vaksinator di 10.000 Puskesmas dan 3.000 Rumah Sskit. Paling tidak satu juta orang bisa divaksin dalam satu hari. “Ini kenapa, seperti yang sudah saya bilang, tidak sampai setahun vaksinasi ini sudah bisa kita selesaikan. Karena angka-angkanya saya hitung, kita bisa,” kata Jokowi, secara virtual, Kamis (21/1/2021). Selain, Presiden Jokowi pun sedang mempertimbangkan adanya vaksinasi Covid-19 secara mandiri. Alasannya, “Karena kita perlu mempercepat, perlu sebanyak-banyaknya. Apalagi biayanya ditanggung oleh perusahaan sendiri. Kenapa tidak.” Sementara Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan vaksinasi Covid-19 akan selesai dalam jangka waktu 15 bulan. Ini pun tergantung pada pasokan vaksin yang dipesan pemerintah. Saat ini pemerintah telah memiliki kontrak pembelian sekitar 270 juta dari kebutuhan sebesar 426 juta dosis vaksin Covid-19. Jika kontrak dengan Pfizer-BioNtech bisa difinalisasi, maka akan terdapat tambahan sekitar 329 juta dosis. Pemerintah juga sedang mengupayakan vaksin gratis dari Covax/Gavi, suatu wadah kerja sama multilateral untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Jika tidak dapat gratis, Indonesia akan membeli vaksin Covax/Gavi sebanyak 54 juta, dan terdapat opsi 108 juta dosis vaksin. “Sehingga total yang kontrak dan juga opsi adalah 666 juta,” kata Budi Gunadi. Dr. Tifauzia Tyassuma, MSc, Medical Scientist, Pakar dan Praktisi Nutrisi, mengatakan, “Bloomberg salah! Pandemi Coronavirus Indonesia akan selesai dalam 3 tahun. Bukan 10 tahun!” Begini menghitungnya. Natural Herd Immunity, sebut saja NHI, adalah HI yang disebabkan oleh terinfeksinya manusia oleh virus secara alamiah. Akan menghasilkan Antibodi yang lahir secara alamiah ditambah dengan bonus terbentuknya Memory cell. Artificial Herd Immunity (AHI), adalah HI yang dibentuk karena terinfeksinya manusia oleh virus melalui jarum suntik Vaksinasi. Akan menghasilkan Antibodi yang lahir secara buatan, ditambah dengan bonus risiko KIPVI (Kejadian Ikutan Pasca Vaksinasi). Pada tahun 2021 di Indonesia sudah terbentuk NHI sebesar 15% (berdasarkan perhitungan modelling prediction atas jumlah kasus dengan cakupan Testing 4%, artinya sebenarnya di beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DI Jogjakarta, Kalbar, dan Sulsel, NHI antara 15-30%, sementara data ini abaikan dulu. Pegang 15%). Maka sampai dengan pada akhir tahun 2021, NHI akan menyumbang 15% lagi sehingga total 30% NHI. Itu artinya akan ada 81.000.000 juta penduduk yang sudah kebal, sudah memiliki antibodi, dan tidak perlu divaksin lagi. Pada akhir tahun 2022, akan ada NHI lagi sekitar 15% lagi, maka total akan ada 121.500.000 penduduk yang sudah kebal, sudah memiliki antibodi, dan tidak perlu divaksin lagi. Nah. Selama Januari 2021 hingga akhir Desember 2022, dengan kecepatan rata-rata faktual, kemampuan Kemenkes RI memberikan Vaksinasi sebesar 64,187 dosis per hari, maka akan ada 46.856.500 penduduk yang berhasil divaksinasi. Sehingga, total pada akhir Desember 2022, akan ada NHI 121.500.000 + AHI 46.856.500 = 168.356.500. Artinya akan ada 63% Herd Immunity. Masuk range jumlah HI yang diperlukan untuk mengendalikan Virus sebesar 40-70%. Jadi, “Bloomberg yang memprediksi Indonesia akan terjadi HI selama 10 tahun itu salah!” ujar Dokter Tifauzia. Bloomberg tidak memperhitungkan NHI, Natural Herd Immunity. Padahal NHI itulah sumber kekuatan yang terbukti selama 200 tahun, sejak manusia mulai mengenal Vaksinasi, yang mampu mengendalikan, bahkan mengeradikasi Virus dan kuman Patogen, sehingga takluk dan relatively lenyap. Contoh sebenarnya sudah di depan mata. SARS pada 2002-2004 siapa yang mengendalikan? NHI. Flu Burung H1N1 pada 2004-2007 siapa yang mengendalikan? NHI. MERS pada 2011-2013 siapa yang mengendalikan? NHI. Flu Spanyol pada 1918-1921 siapa yang mengendalikan? NHI. Zika pada 2014 siapa yang mengendalikan? NHI. Ebola pada 2016-2017 siapa yang mengendalikan? NHI. Virus Sapi Gila alias Mad cow siapa? NHI. Virus Swine Flu alias Flu Babi H5N1 siapa? NHI. Sehingga, total pada akhir Desember 2022, akan ada NHI 121.500.000 + AHI 46.856.500 = 168.356.500. Artinya akan ada 63% Herd Immunity. Masuk range jumlah HI yang diperlukan untuk mengendalikan Virus sebesar 40-70%. Jika menyimak uraian dari Dokter Tifauzia di atas, antara NHI dengan AHI, angkanya hingga Desember 2022 lebih banyak NHI (121.500.000) daripada AHI (46.856.500). Bahan Vaksin Sejak awal dan sampai sekarang ini, di kalangan ahli virus atau bakteri ada yang berpendapat, di bahan vaksin itu, ada satu bahan yang berfungsi sebagai katalisator/stabilizer. Katalisator atau stabilizernya itu bisa: mengandung bakteri X atau enzim/protein dari bakteri X itu. Keduanya, mampu merusak sistem membran semipermeabilitas sel atau membran selektif permeabel sel. Sementara bahan-bahan vaksin itu terdiri dari virus/bakteri/antigen, pengawet (thimerosal?), bahan adjuvant, dan sebagainya. Setelah sistem membran permeabilitas atau membran selektif permeabel sel itu dirusak oleh protein stabilizer ini, maka kandungan zat-zat adjuvant maupun pengawet itu bisa tersebar ke mana-mana, ke seluruh darah, bahkan ke seluruh sel. Sehingga akan terbentuk kelainan-kelainan ikutannya. Dari sudut pandang ini bisa dipahami pula, kalau vaksin itu diduga berpotensi bisa menyebabkan KIPI dengan berbagai bentuknya, antara lain: autis, hedrocefalus, down syndrome, hiperaktif, crohns disease, dan sebagainya. Sayangnya, kasus-kasus kematian dokter dan nakes lainnya yang terjadi di Indonesia paska vaksinasi Covid-19, selalu dijawab dengan dalih “bukan KIPI”. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Faktanya, Virus yang Sudah “Mati” Ternyata Bisa “Hidup” Kembali

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Hongkong mencatat kasus pertama paralisa otot wajah setelah vaksinasi Covid-19. Seorang pria berusia 69 tahun dengan riwayat hipertensi dilaporkan mengalami paralisa wajah (gejala Bell’s palsy) 2 jam setelah divaksinasi (pertama) dengan Sinovac pada 6 Maret 2021. Yang pertama kali dirasakan adalah rasa tidak nyaman di mata kiri, dan tidak bisa menutup sempurna segera setelah vaksinasi. Keesokan harinya ngences (drooling) dari mulut sebelah kiri, dan segera pergi ke rumah sakit. Sehari kemudian dia sudah boleh keluar dari rumah sakit. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kondisinya. Bell’s palsy umumnya bersifat temporer, dan akan membaik dengan sendirinya dalam waktu beberapa minggu atau bulan. Bell’s palsy Bisa Dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Kasus ini segera dilaporkan sebagai reaksi yang tak diharapkan (adverse reaction), meskipun belum tentu ada kaitan langsung. Hal tersebut diungkapkan Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. Perihal jumlah laporan reaksi yang tidak diharapkan dalam insiden di Hong Kong ini termasuk rendah: 7,6 laporan per 10.000 dosis. Sementara di negara lain: Inggris 39,9; Singapura 38,2; Australia 23,4. Indonesia? KIPI? Kejadian Ikutan Paska Imunisasi. Namun perlu diingat bahwa di setiap negara program vaksinasi dan kriteria pelaporannya bisa bervariasi, sehingga angka-angka di atas tidak bisa begitu saja diperbandingkan. Hongkong memulai vaksinasi massal pada akhir Februari dan telah ada 93.000 dosis vaksin yang disuntikkan, dengan rincian: 91.818 dosis Sinovac dan 1.207 dosis Pfizer. Dan mencatat 69 jenis reaksi yang tidak diharapkan, diantaranya 30 pria dan 17 wanita usia 30 – 90 tahun, yang terpaksa dikirim ke rumah sakit karena mengeluhkan/mengalami fatigue, pusing dan bahkan stroke. Pada kasus stroke, seorang pria usia 74 tahun dengan riwayat diabetes dan hipertensi, 6 hari setelah divaksinasi dia mengalami kelemahan otot pada sisi tubuh sebelah kiri dan sulit berbicara (slurred speech). Kasus stroke ini juga ditemukan di Garut. Adapun kematian setelah vaksinasi itu tercatat 4 orang: Seorang pria, 63 tahun, dan wanita 55 tahun, keduanya menderita penyakit kronis; Seorang pria, 71 tahun, tanpa catatan penyakit kronis, dan seorang wanita, 70, dengan riwayat hipertensi dan radang sendi osteoarthritis. Wanita itu meninggal 9 hari setelah mendapat vaksinasi. Catatan Arie Karimah itu ditulis dalam akun Facebook-nya pada Sabtu, 20 Maret 2021. Ada yang menarik perhatian dalam tulisan tersebut. Yakni, terkait Bell’s palsy yang bisa dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, saya sering menulis bahwa virus yang “dilemahkan atau dimatikan” itu bisa bangun kembali pada suatu suhu tertentu. Sebab, di antara yang mati itu dapat dipastikan masih ada yang pura-pura “tidur atau mati”. Vaksin Sinovac dibuat dengan salah satu teknologi yang paling kuno, yang sudah digunakan sejak 100 tahun yang lalu. Yaitu menggunakan virus Covid-19 yang telah “dinonaktifkan” atau “dimatikan”. Berarti benar: mengandung virus hidup yang dilemahkan. Sinovac mengumpulkan sampel cairan tubuh yang mengandung virus dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China sendiri digunakan sebagai dasar vaksin. Dari sini nanti juga bisa menjawab: Mengapa dengan menggunakan teknologi yang sama bisa menghasilkan efikasi vaksin yang berbeda? Mengapa diperlukan uji klinis internasional untuk mengukur efikasi yang lebih baik, karena produknya kelak juga akan dipasarkan ke berbagai negara? Para peneliti di Sinovac memiliki kultur virus dalam jumlah besar di sel-sel ginjal monyet, yang mereka pilih sebagai hewan percobaan. Virus tersebut kemudian dibunuh dengan zat kimia beta-propiolactone, yang akan berikatan dengan gen-gen virus. Akibatnya virus tidak bisa lagi melakukan replikasi (membelah diri, beranak-pinak). Namun spike proteinnya yang menonjol di bagian luar virus tetap utuh. Virus tersebut kemudian “diekstraksi” dan dicampur dengan adjuvant, yaitu senyawa berbasis alumunium. Fungsi adjuvant dalam proses vaksinasi adalah untuk merangsang sistem imun di tubuh kita merespon terhadap vaksin yang disuntikkan. Karena virusnya “sudah mati”, maka penyuntikan vaksin tidak akan menyebabkan seseorang terinfeksi virus Covid-19. Tapi, ternyata faktanya di Hongkong dan di Indonesia, tidak sedikit yang terinfeksi Covid-19 setelah divaksin Sinovac. Setelah berada di dalam tubuh kita virus tersebut akan dimakan (difagositosis) oleh salah satu jenis sel immune yang bernama sel T, yang memiliki bagian yang disebut dengan “antigen-presenting cell”. Antigen-presenting cell ini akan melumatkan virus dan menyisakan sebagian fragmennya di permukaan tubuhnya. Nantinya sel immune yang lain, yaitu Helper T cell akan mengenali fragmen tersebut. Jika fragmen tersebut cocok dengan protein yang ada di permukaan Helper T cell, maka sel-sel T akan diaktifkan, dan mengundang sel-sel immune yang lain untuk merespon terhadap vaksin. Sel immune lainnya yang bernama sel B juga akan menemukan fragmen protein virus. Sel B memiliki protein di permukaan tubuhnya dengan berbagai bentuk, yang beberapa diantaranya mungkin akan cocok untuk berikatan dengan fragmen protein virus Covid-19. Jika sudah berikatan, sel B akan menarik sebagian atau keseluruhan fragmen ini ke dalam tubuhnya, kemudian mulai memproduksi antibodi yang cocok dengan bentuk permukaan virus. Produksi antibodi setelah vaksinasi ini belum diketahui akan berlangsung selama berapa bulan. Itu sebabnya kelak jika diajukan permohonan izin edar, bukan EUA (Emergency Use of Authorization), monitoring titer antibodi dan kemampuan mencegah terinfeksi utu akan berlangsung selama 2-4 tahun, bukan sekedar 3-6 bulan. Setelah divaksinasi sistem imun akan merespon jika kelak terjadi infeksi oleh virus Covid-19 yang hidup. Sel-sel B akan segera mengenali virus Covid-19 dan menghasilkan antibodi yang akan berikatan/menetralkan virus melalui spike proteinnya, sehingga virus tidak bisa memasuki sel-sel tubuh kita. Meskipun dalam waktu beberapa bulan tetelah vaksinasi titer antibodi akan berkurang, tapi tubuh kita memiliki memori B cells, yang akan mengingat bentuk virus Covid-19 hingga bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun kemudian. Jika suatu hari kelak virus Covid-19 mencoba menginfeksi, maka sel-sel B akan segera memproduksi antibodinya untuk mencegah infeksi. Tapi, faktanya virus Covid-19 masih tetap saja bisa menginfeksi seseorang yang divaksin. Berarti, kecepatan Covid-19 tidak bisa diimbangi oleh sel-sel B yang memproduksi antibodi manusia yang sudah divaksin. Bukan tidak mungkin, proses infeksi Covid-19 dalam vaksin itu terjadi beberapa minggu, bulan, atau tahun kemudian. Bahkan, ada yang terjadi dalam hitungan hari seperti yang menimpa Dokter JF di Palembang dan beberapa nakes lainnya di Indonesia yang terinfeksi Covid-19 setelah divaksin. Teranyar adalah yang menimpa dr. Heru Dwiantoro W, SpOG (K) di RSUD Sidoarjo. Meski sudah divaksin, Dokter Heru meninggal karena terinfeksi Covid-19, Sabtu (20/3/2021). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Epidemiolog UI Pandu Riono: "Kematian di Eropa Tidak Terkait dengan AstraZeneca"

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Vaksin AstraZeneca mengandung unsur haram dalam proses pembuatannya. Meski begitu, Komisi Fatwa MUI telah menetapkan bahwa vaksin yang diproduksi di Korea Selatan itu boleh digunakan. Pertama, vaksin AstraZeneca ini hukumnya haram karena dalam tahapan proses produksinya itu memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi. Namun, “Kedua, penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca pada saat ini hukumnya dibolehkan,” kata Asrorun Niam. Dalam konferensi pers daring, Jumat, 19 Maret 2021, tersebut Ketua MUI Bidang Fatwa itu mengatakan ada lima pertimbangan utama MUI memutuskan hal ini. Pertama, adalah adanya kondisi kebutuhan yang mendesak (hajjah asy'ariyah) dalam fiqih, yang menduduki kedudukan darurat syar'i. Kedua, adanya keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya atau resiko fatal jika tak segera dilakukan vaksinasi Covid-19. Sebelum memutuskan fatwa ini, MUI telah mengundang Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), produsen AstraZeneca, hingga pihak Bio Farma untuk mendapat masukan. Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci, tak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity. Keempat, adanya jaminan keamanan penggunaanya untuk pemerintah sesuai dengan penggunaannya. Terkait keamanan ini, telah dibahas oleh BPOM dalam rapat komisi fatwa sebelumnya. Kelima, pemerintah yang tak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin. “Mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia baik di Indonesia maupun di tingkat global,” kata Asrorun. Ia mengatakan kebolehan penggunaan Vaksin AstraZeneca tidak akan berlaku lagi, jika lima alasan itu hilang. MUI terus meminta pemerintah untuk terus mengikhtiarkan ketersedian vaksin Covid-19 yang halal dan suci, khususnya bagi umat muslim di Indonesia. Sebelumnya, MUI juga telah menghasilkan fatwa tentang pengunaan human diploid cell (sel berasal dari bagian tubuh manusia) sebagai bahan produksi obat dan vaksin yang ditetapkan pada Munas X MUI, Kamis (26/11/2020) malam. Salah satu isi fatwa berisikan ketentuan hukum penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh bila terjadi kondisi kedaruratan atau kebutuhan mendesak. Alasannya pun sama dengan AstraZeneca. Dalam hal terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar'iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar'iyah), penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh. PWNU Jawa Timur membuat fatwa yang lebih tegas lagi: “Halal karena unsur babi tak nyata lagi dalam produk akhir vaksin”. Jadi, manfaat vaksin dalam penanganan Covid-19 lebih besar daripada risiko efek samping masalah pembekuan darah atau reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Apalagi, BPOM sudah memberikan izin penggunaan vaksin AstraZeneca yang sebelumnya mendapat sorotan. Juru Bicara vaksinasi Coronavirus Disease 2019 BPOM, Lucia Rizka Andalusia, mengatakan izin diberikan dengan merujuk pada hasil pertemuan European Medicines Agencu (EMA) bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dilaksanakan pada 18 Maret lalu. Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan terkait penggunaan Vaksin AstraZeneca itu, berikut ini petikan wawancara Mochamad Toha dari FNN.co.id dengan Epidemiolog Universitas Indonesia dr. Pandu Riono, MPH, PhD. Meski haram karena mengandung babi, fatwa MUI membolehkan Vaksin AstraZeneca digunakan dengan alasan keadaan darurat. Apa bedanya dengan Sinovac? Hanya di Indonesia saja ada penilaian kehalalan yg dilakukan oleh lembaga non pemerintah. Ada beberapa kasus kematian pasca vaksinasi yang juga menimpa dokter dan nakes, juga ada guru, terakhir ada guru di Garut yang lumpuh. Melihat fakta ini, di mana letak amannya? Vaksin itu yang perlu menjadi penilaian sebaiknya dibatasi pada keamanan dan manfaatnya. Monitor KIPI di semua negara dan Indonesia sama prosedurnya pada setiap layanan vaksinasi itu untuk evaluasi keamanan, sampai sekarang semua vaksin aman dan efektif. Di Eropa ada 6 negara yang hentikan vaksinasi AstraZeneca karena ada beberapa kasus kematian karena terjadi pembekuan darah pasca divaksin. Komentar Anda? Kejadian yang ditemukan tidak ada kaitan dengan vaksin AstraZeneca, sekarang semua lanjut dengan kecepatan tinggi agar bisa kendalikan pandemi. Gimana kabar Vaksin Merah Putih dan Vaksin Nusantara? Kita sekarang sedang dalam proses belajar mengembangkan vaksin, yang jelas dasar ilmiah dan keterbukaan hanya vaksin merah-putih. Vaksin Nusantara? Itu lupakan saja, metodenya berdasarkan saintifik tidak logis untuk atasi pandemi infeksi Covid-19. Maksudnya? Karena itu hanya stimulasi imunitas seluler, padahal butuh keduanya, imunitas humoral dan seluler. Tidak praktis, lebih pas untuk terapi. Itu bukan penelitian peneliti Indonesia murni, lebih banyak peneliti dari Amerika, Aivita Biomedical Inc. (Mereka) itu yang punya lisensi dan pengetahuan sel dendritik untuk terapi kanker. Semua langkah uji klinis fase 1 banyak ketidapatuhan pada kaidah riset yang baik. Uji Klinis fase 3 AstraZeneca tidak pernah dilakukan di Indonesia, seperti Sinovac. Mengapa? Tidak semua vaksin harus diuji di negara masing-masing, selama uji klinis baik dan valid, ini berlaku sama di semua negara Apakah Vaksin AstraZeneca bisa imbangi kecepatan mutasi corona yang begitu cepat dengan berbagai varian? Kecepatan mutasi tidak tergantung jenis vaksin. Semua vaksin masih bermanfaat untuk cegah kematian dan sakit berat, walaupun sudah bermutasi. Yang pernah saya baca, sudah ada 48 varian pasca B117 yang masuk ke Indonesia. Bukan masuk, mutasi virus itu alamiah itu jenis Sars-Cov-2 ini, di Indonesia juga bermutasi terus, tapi yang di dunia ini baru ada 3 jenis varian yang dapat berpengaruh pada penanganan pandemi. Boleh disebutkan 3 jenis varian itu apa saja, supaya kalangan medis dan masyarakat tahu? B117, B1351, dan P1. (Sebenarnya) masyarakat tidak perlu tahu. Ok, mungkin tanda-tanda atau gejala medisnya kalau seseorang kena tiga varian itu apa saja? Juga tidak bisa dibedakan, tetap sebagian besar tidak bergejala. Berarti berbahaya juga dan ganas, karena tidak ada gejala? Yang lama juga sama 85% lebih juga tidak bergejala, OTG (orang tanpa gejala). B117 sudah diketahui lebih mudah menular dan kematian lebih tinggi. Kembali ke soal AstraZeneca yang dihentikan penggunaannya di Eropa. Apa karena ditemukan kematian pasca divaksin AstraZeneca yang menyebabkan penggumpalan darah? Tidak dihentikan, lanjut kok! Memang, ada kasus tersebut tetapi tak terkait dengan vaksin, lanjut diberikan. Terakhir, di Indonesia ini apa tidak ada ilmuwan yang bisa buat vaksin atau formula herbal yang bisa atasi virus semacam Covid-19? Vaksin Merah-Putih itu adalah ilmuwan Indonesia, risetnya mahal dan sekarang belajar saja. Pencegahan lebih penting dan mudah, bukan pengobatan tidak ada manfaatnya karena virus tersebut hanya 1 minggu aktif lalu inaktif. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Dokter Tifauzia, “Izinkan Saya Bicara (Vaksin)”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Nama dr. Tifauzia Tyassuma, MSc pernah mencuat dan menghiasi media massa dan halaman media sosial pertengahan Maret 2020. Dokter, ahli penyebaran penyakit (epidemiologi klinis) itu menuliskan sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Setidaknya ada empat surat yang ditulis dalam akun Facebook-nya yang menuntut Presiden Jokowi bersama jajarannya untuk bergerak cepat dalam menangani pandemi Virus Corona yang semakin mengkhawatirkan. Dalam salah satu tulisannya, Medical Scientist, Pakar dan Praktisi Nutrisi Kardiometabolik yang akrab dipanggil Dokter Tifa ini bahkan menulis dengan nada keras. Dia menyayangkan keterlambatan pemerintah dalam membuat kebijakan penutupan total (lockdown) semua wilayah di Tanah Air. Gara-gara keterlambatan itu, pemerintah harus menyiapkan kuburan massal. Genap setahun kemudian (Maret 2021), Dokter Tifa kembali mengkritisi kebijakan pemerintah. Terutama terkait dengan impor “Vaksin Kadaluarsa”. Banyak yang mendukung, tapi tak sedikit pula yang mencibur Dokter Tifa. Berikut ini wawancara Mochamad Toha, wartawan FNN dengan Presiden Ahlina Institute itu yang aktif terjun di lapangan untuk melakukan pelatihan, penelitian, dan observasi ini. Anda masih tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kali ini terkait Vaksin Corona yang ternyata expired (kadaluarsa). Luar biasa. Semua postingan saya tentang expired candy already been take down. Postingan dianggap fake. Jadi sekarang yang truth adalah fake, until the truth will no longer exist! Tidak ada lagi tempat buat kebenaran! Emangnya apa yang Anda tulis dalam akun Facebook Anda? Sekarang ini banyak bermunculan “Ilmuwan” dan “Dokter” Pembela Vaksin kadaluarsa. Sederhana saja kok. Bisa Anda jelaskan maksudnya? Vaksin yang datang tanggal 12 Desember 2020 berjumlah 1,2 juta dosis dan tanggal 31 Desember 2020 berjumlah 1,8 juta dosis, Masa kadaluarsanya 25 Maret 2021. Bukankah semuanya habis disuntikkan? Memang, menurut Jubir Kemenkes telah habis disuntikkan kepada Para Dokter dan Nakes (Oh My God, semoga mereka semua selamat). Kemudian pengiriman vaksin berikutnya, adalah tanggal 6 Januari 2011, 2 Februari 2021, dan 2 Maret 2021 total sebanyak 35 juta dosis, sementara dikabarkan Masa Kadaluarsanya tahun 2023. Jadi, menurut Anda? Artinya: Masa kadaluarsa Vaksin ini adalah 2 tahun. Dengan mengikuti Logika yang sama, maka artinya, vaksin yang datang bulan Desember 2020 dan masa kadaluarsa Maret 2021 itu adalah vaksin yang dibikin tahun 2019. Bukannya pandemi itu mulai melanda China akhir 2019 dan mulai mewabah lintas negara itu mulai awal Januari 2020? Kemungkinannya menjadi banyak: Satu. Negara penghasil vaksin sudah tahu bakal ada Pandemi pada tahun 2020. Maka dia sudah buat duluan dan selesai produksi tahun 2019. Dua. Vaksin yang datang bulan Desember 2020 dan masa kadaluarsa Maret tahun 2021 pasti bukan vaksin yang menjalani Uji Klinis Fase 1,2, dan 3 yang baru dinyatakan berjalan pada tahun 2020. Artinya isi vaksin ini jadinya apa? Tiga. Kenapa sih Pemerintah cq Kemenkes ini begok banget? Akibat kebegokan kalian sekarang hari-hari kalian sibuk klarifikasi akibat salah beli barang hampir basi. Abis malah tambah begok lagi dengan Vaksin Astra Zeneca datang, termyata masa kadaluarsa pada Mei 2021. Berarti sama saja dong Vaksin Astra Zeneca juga dibikin tahun 2019? Berarti ini pada udah tahu ya negara produsen vaksin, ngga China, ngga Inggris, bahwa bakal terjadi Pandemi tahun 2020 dong? Mengapa tidak ada Dokter dan Nakes yang bersuara? Nah! Empat. Kenapa sih Dokter-Dokter dan Nakes tak ada suara sedikitpun sampai hari ini, diam seribu bahasa, tidak berkutik, tidak bernyali sedikitpun padahal mereka tahu kalau disuntik barang yang hampir mendekati masa kadaluarsa, dan itu artinya barang produksi tahun 2019. Sementara Uji Klinis terhadap vaksin ini baru dilaksanakan pada tahun 2020. Saya bingung saja. Ke mana kecerdasan Anda para Dokter dan Nakes? Hal ini sangat sederhana. Tidak harus pakai IQ full juga paham. Bukankah ada juga sebagian dokter yang terkesan mendukung vaksin “sampah” itu? Bukan hanya itu. Sekarang ini malah diantara para Dokter tersebut sibuk bikin framing membenar-benarkan, merasionalisasi vaksin itu, dan malah membenturkan bahwa siapapun yang menyalahkan vaksin kadaluarsa, dia yang salah! Saran Anda? Ayolah... Qulil haq walau kaana murron, kata Rasul SAW. Katakanlah kebenaran sekalipun itu pahit. Apa artinya? Artinya, Dunia ini masih jauh dari aman. Saat ini juga, dunia dibayang-bayangi oleh Virus B117. Satu varian yang memiliki perbedaan 21 genome dengan Wuhan Coronavirus. Artinya, penduduk Dunia berhadapan dengan Mutan baru Coronavirus 2021: yang sementara namanya disebut sebagai B117. Saya sebut saja Covid-21. Apakah Varian Mutan B117 sangat berbahaya? Begini. Kemampuan menginfeksi B117 berkali-kali lipat dibanding Covid-19. Daya jelajah 4 kali lipat. Terutama ketika Dunia mulai longgarkan 3M. Penduduk mulai lelah di rumah. Dan Masker mulai ditanggalkan. Bahkan orang-orang bodoh yang mengaku-ngaku Ilmuwan, masih sibuk mengkampanyekan Gerakan Lepas Masker. Maksudnya? Masih banyak “Ilmuwan palsu” yang tidak henti-hentinya bicara di sosial media bahwa Pandemi Coronavirus ini Pandemi bikinan media. Terakhir, Anda juga menulis lagi Surat Terbuka kepada Pemerintah? Masih tetap. Kalau Dokter Tifa, dan semua orang yang memberikan masukan dan kritik yang tajam, tepat, dan lurus, dilarang memberikan pendapat tentang vaksin, dan setiap pendapat, yang tidak sejalan, dilabeli dengan false information. Itu kan sama saja dengan “kekang suara” Anda? Benar! Itu artinya pelita dilarang menyala. Kita semua akan ada di masa kegelapan. Tidak ada check and balance. Tidak ada kritik yang menjadi alat pemandu kalau ada yang melenceng keluar dari garis lurus. Dan rakyat menjadi korban. Dibuat buta dalam kegelapan yang pekat, tanpa tahu dibawa ke mana. Apa yang Anda sampaikan dalam tulisan itu? Soal Vaksin. Anda Pemerintah, sepertinya sangat perlu dibantu dengan pendapat dari orang di luar arena, yang punya pandangan lurus, jujur, dan mulia, tanpa kepentingan, dan dalam pikirannya hanya penuh dengan kebaikan bagi umat, tidak punya tujuan apapun selain dari menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab bila tidak, percayalah, sebagaimana juga banyak korban jatuh karena virus, akan banyak korban jatuh karena vaksin, dan ini adalah rakyat. Mengapa Anda harus menyampaikan hal itu? Begini. Tugas Pemerintah yang utama adalah menjaga Rakyat. Rakyat yang harus dilindungi nyawanya, dilindungi kesehatan dan kesejahteraannya. Tugas saya sebagai Ilmuwan dan Warganegara yang baik, adalah menjaga agar Pemerintah menunaikan tugasnya, tidak saja dengan baik, tetapi dengan luhur dan mulia. Saya menuliskan ini, dengan penuh keprihatinan, kekhawatiran, dan cintakasih kepada bangsa ini. Izinkan saya bicara. Orang yang menganjurkan Buka Masker dan meremehkan Coronavirus, bahkan berani bilang Pandemi ini cuma bikinan, malah dibiarkan berkeliaran di sosial media cari pengikut. Apalagi, mengaku-ngaku ahli virus, berhasil jadi pujaan orang-orang bodoh dan bebal! Dia itulah kriminal yang sesungguhnya! Apa yang Anda harapkan? Kita ini berhadapan dengan musuh yang tak kasat mata, yang cerdas luar biasa. Dibutuhkan kecerdasan luar biasa, kebaikan hati yang luar biasa, kemuliaan hati yang luar biasa, secara serempak, agar Coronavirus bisa segera kita taklukkan. Siapapun juga, yang mengajak-ajak orang untuk Buka Masker, membuat orang percaya bahwa Coronavirus tidak ada, meremehkan Pandemi ini, dia layak ditangkap! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co id.

Indonesia Jadi Lahan Uji Coba Vaksin “Sampah”?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Seperti halnya obat-obatan, vaksin juga punya masa kadaluarsa. Konsekuensinya, vaksin tersebut seharusnya tidak boleh atau “haram” digunakan untuk tubuh manusia. Termasuk beragam merk vaksin Virus Corona (COVID-19) yang kadaluarsa. Vaksin Sinovac yang sudah datang di Indonesia mencapai 38 juta dosis. Celakanya, ternyata vaksin batch 1 dan batch 2 ini masa kadaluarsanya pada 25 Maret 2021. Sebanyak 1,2 juta itu datang pada 6 Desember 2020 dan 1,8 juta datang pada 31 Desember 2020. Dus, kalau kadaluarsa keduanya pada 25 Maret 2021, berarti Vaksin Sinovac ini datang dalam keadaan hampir kadaluarsa. Kasihan para Dokter dan Nakes, karena mereka ini justru dapat jatah Sinovac yang akan memasuki masa kadaluarsa. Sementara sebagaimana lazimnya, vaksin dan obat-obatan yang dikemas, masa kadaluarsa biasanya 6 sampai 2 tahun. Lalu mengapa Indonesia dikirimi vaksin yang sudah hampir masuk masa kadaluarsa? Dengan menggunakan logika yang sama, lalu bagaimana dengan vaksin batch 3 sebanyak 15 juta dosis yang datang pada 12 Januari 2021? Apakah masa kadaluarsanya juga sama, 3 bulan seperti nasib vaksin batch 1 dan 2? “Kalau begitu, vaksin 15 juta dosis ini terancam kadaluarsa pada sekitar 25 April 2021,” kata dr. Tifauzia Tyassuma. Lalu vaksin Sinovac batch 4 sebanyak 11 juta dosis, yang datang pada 2 Februari 2021, terancam kadaluarsa pada 25 Mei 2021! Kemudian, Vaksin Sinovac batch 5 sebanyak 10 juta dosis, yang datang pada 2 Maret 2021, terancam kadaluarsa pada 25 Juni 2021! Apalagi, saat ini 34 juta dosis dari Vaksin Sinovac belum habis, baru terpakai 4 juta dosis. Padahal Projek Vaksinasi ini sudah 3 bulan berlalu. Ditambah lagi, kini Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkejut saat tahu bahwa vaksin asal UK, AstraZeneca sebanyak 1,1 juta dosis, akan kadaluarsa pada Mei 2021. Sementara daya serap vaksin ke masyarakat baru 60.000 dosis perhari. Jadi, sampai dengan Mei 2021 sejumlah 41 juta dosis vaksin (dari Sinovac dan AstraZeneca) baru terpakai 12 juta dosis sesuai kalkulasi. Berarti akan ada vaksin kadaluarsa sebanyak 29 juta dosis. Perlu dicatat, Vaksin Sinovac telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari BPOM. Dengan izin penggunaan darurat ini, vaksin produksi Sinovac Life Science Co.Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia. Sebelumnya, di Facebook beredar unggahan yang menyebutkan, vaksin Covid-19 produksi Sinovac itu sudah diproduksi sebelum pandemi virus corona. Persepsi ini muncul ketika ada informasi, vaksin Covid-19 itu akan kedaluwarsa pada 25 Maret 2021. Vaksin memiliki masa kedaluwarsa 2 tahun. Informasi tersebut telah diklarifikasi oleh Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi. Melansir Kompas.com, Minggu (14/3/2021), Nadia mengatakan bahwa vaksin yang akan kedaluwarsa itu merujuk kepada vaksin CoronaVac pengadaan batch pertama. “Vaksin ini telah kita gunakan untuk diberikan kepada 1,45 juta tenaga kesehatan dan 50.000 orang pemberi pelayanan publik. Saat ini, vaksin ini sudah habis kita gunakan,” kata Nadia. Ketua Tim Uji Klinis Nasional Vaksin Covid-19 Prof. Kusnandi Rusmil mengatakan, vaksin Covid-19 memiliki masa kadaluwarsa dua tahun. Oleh karena itu, vaksin Covid-19 yang saat ini siap suntik harus segera dihabiskan. Hal itu disampaikannya dalam diskusi virtual bertajuk “Memahami Covid-19 dan Mutasi Virus”, Sabtu (13/3/2021). Kusnandi mengatakan, narasi itu tidak benar. Pernyataan yang dia sampaikan di atas, tidak tepat jika diartikan bahwa vaksin Covid-19 telah dibuat sejak dua tahun yang lalu atau sebelum pandemi Covid-19 merebak. Bukan vaksin Sinovac itu dibikin 2 tahun lalu. Kusnandi menjelaskan, setiap jenis vaksin masa kedaluwarsanya berlainan. Biasanya, vaksin bertipe inactivated seperti Covid-19 memiliki masa berlaku antara satu sampai dua tahun. Untuk Sinovac itu juga antara 1 sampai 2 tahun, ada juga yang kurang dari 6 bulan. Ia mengatakan, vaksin Covid-19 yang saat ini digunakan untuk program vaksinasi, bisa juga dipercepat masa kedaluwarsanya oleh Bio Farma, agar lebih cepat dihabiskan. Mungkin saja dibikin setahun yang lalu, tapi supaya cepat habis, dicepatkan expired date-nya. Karena sekarang Bio Farma sedang bikin vaksin dari bulk yang baru. Karena ini sudah dikirim bulk dari Sinovac ke Bio Farma. “Mungkin bulk yang lama expired date-nya dipercepat, biar habis dulu. Jadi, yang masuk duluan itu dipakai,” ujar Kusnadi. Tunda AstraZeneca Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penggunaan vaksin Covid-19 asal AstraZeneca ditunda sementara di Indonesia. Pihaknya masih menunggu hasil penelitian dari WHO terkait efek samping dari vaksin AstraZeneca yang terjadi di Eropa. “Sampai saat ini berita yang kami terima dari WHO mereka masih meneliti, kita juga terima dari MHRA itu BPOMnya UK, dan EMA itu European Medical Authority, mereka sekarang belum mengkonfirmasi apakah ini ada korelasinya karena vaksin atau tidak,” kata Budi. Dalam Rapat Kerja di Komisi IX DPR RI, Jakarta, Senin (15/3/2021) itu, Budi mengatakan, informasi yang diterimanya sejauh ini, pembekuan darah tidak disebabkan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Namun, Kemenkes dan BPOM menunda sementara penggunaannya. Menurut Budi, untuk konservativismenya, BPOM menunda dulu implementasi AstraZenca sambil menunggu konfirmasi dari WHO. Mudah-mudahan dalam waktu singkat dapat keluar, karena memang betul yang AstraZenca ini ada expired period pada akhir Mei 2021. Budi menambahkan, pihaknya juga tengah menunggu fatwa halal vaksin AstraZeneca dari MUI. MUI harusnya ada rapat dalam besok atau lusa, sehingga fatwanya bisa dikeluarkan dalam dua hari kedepan ini. Diberitakan, hingga Kamis (11/3/2021) ada 6 negara Eropa yang menghentikan sementara penyuntikan vaksin Covid-19 AstraZeneca, menyusul adanya laporan pembekuan darah pasien usai vaksinasi. Denmark adalah negara pertama yang mengumumkan penangguhan ini, melalui pernyataan Otoritas Kesehatan negara itu. Penangguhan dilakukan sebagai tindakan pencegahan, tetapi belum dipastikan ada hubungan antara vaksin dengan pembekuan darah. Badan Obat-obatan Eropa (EMA) mengungkapkan, sampai 9 Maret ada 22 kasus pembekuan darah dari 3 juta orang lebih yang divaksinasi di Wilayah Ekonomi Eropa. Menurut dr.Tifauzia Tyassuma, Indonesia seharusnya tak perlu membeli vaksin sampai 400 juta dosis. Saat ini sudah masuk 180 juta lebih. Alasannya, mengambil patokan data yang dirilis Jhon Hopkins, di mana 60 negara sudah mengalami penurunan penularan Covid-19 karena Herd Emmunity (HE) secara alamiah yang mencapai 40-50%. Sementara, dari 220 negara dikurangi 60 negara atau sekitar 160 negara HE sudah mencapai 15 %, termasuk Indonesia. Untuk sampai tingkat HE 40-50%..di mana dari kekebalan kelompok/populasi yang terpajan virus dapat melindungi 60-50% rakyatnya secara alamiah, maka saat itu masa pandemi menuju endemi. Indonesia bisa mengejar angka ini hingga akhir 2021, sehingga pada 2022 menuju endemi. Indonesia bisa juga mengejar HE buatan lewat vaksinasi. HE alamiah dan HE buatan bisa dikolaborasikan untuk mempercepat HE yang diharapkan. Namun karena kecepatan vaksinasi perhari Indonesia hanya 60.000 populasi, maka butuh beberapa tahun kemudian untuk capai HE buatan lewat vaksinasi. Sementara vaksin yang masuk saat ini, seperti Sinovac pada Maret sampai Juni 2021 nanti masuk kadaluarsa. Bahkan berita terbaru vaksin AstraZeneca yang sudah masuk Indonesia juga kadaluarsa pada Mei 2021. Menakutkan bukan? Haruskah “vaksin sampah” itu dipaksakan diinjeksi ke lengan tangan rakyat? Siapa tanggung jawab jika terjadi efek samping seperti di Eropa? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.