KESEHATAN

Dua Kali Vaksin Bukan Jaminan, Faktanya Ibu Cinta Positif Covid19

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Mengutip Detik.com, Minggu (18 Apr 2021 08:51 WIB), Ibu Cinta sapaan karib dari Atalia Praratya, istri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Kang Emil) positif COVID-19. Padahal, Atalia sudah menjalani vaksinasi dua kali. “Hari pertama masih kaget, baru dikabari, bingung ketularan di mana. Memang saya ketemu banyak sekali orang dan masyarakat. Tapi, mudah-mudahan saya berharap teman-teman dan juga orang-orang yang dekat dengan saya tidak ada satupun yang tertular ya,” kata Atalia. Dalam video yang diunggah, Sabtu (17/4/2021), Atalia mengungkapkan, ia termasuk orang tanpa gejala (OTG). Atalia mengungkapkan, selama ini ia aktif dalam menerapkan protokol kesehatan. Meski begitu, ia meminta doa untuk kesembuhannya. “Sesungguhnya saya merasa orang yang aktif sekali menggunakan masker, cuci tangan, dan selalu diingatkan menggunakan hand sanitizer. Tapi, Allahualam, kehendak Allah seperti itu. Ya masih kaget aja hari ini, mohon doanya saja dari semua,” ungkapnya. Sebelum dinyatakan positif Covid-19, Atalia menyebut ia sempat merasakan sakit kepala. “Tidak terasa apa-apa, penciuman normal, hanya kemarin, kepala sedikit pening. Saya pikir karena kehujanan,” sebutnya. Atalia menambahkan, kondisi keluarganya khususnya yang berada di area Gedung Pakuan, termasuk suaminya, Kang Emil, non reaktif. “Keluarga besar pakuan alhamdulillah termasuk pak gub, arka, adc, walpri, dll non reaktif semua,” katanya. Atalia diketahui sudah mendapat vaksinasi dua kali. Momen Atalia disuntik vaksin pertama kali diunggah melalui akun Instagramnya pada 5 Maret 2021 lalu. Atalia mengunggah video mengenai proses vaksinasi dirinya. Dalam keterangannya juga Atalia menyebut mendapatkan vaksin sebagai kapasitasnya dalam Satgas Covid-19 Jawa Barat. Vaksinasi pertama pada 4 Maret 2021, dan kedua pada 18 Maret 2021. Sementara itu, Kang Emil menyatakan ia dan anak-anaknya negatif, meski sang istri Atalia terkonfirmasi positif Covid-19. Ia pribadi di test PCR dan hasilnya negatif, juga anak-anak mereka negatif Covid-19. Jadi, apa gunanya divaksin? Berarti vaksin tidak menjamin kekebalan tubuh dari serangan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Begitulah tanggapan netizen terkait dengan Atalia yang akhirnya terpapar Covid-19 meski sudah divaksin dua kali. Sebelumnya, seperti dilansir Kontan.co.id, Senin (07 Desember 2020 / 10:13 WIB), Direktur Eksekutif Program Darurat WHO, Mike Ryan, mengatakan bahwa vaksin bukanlah akhir dari Covid-19. Mike Ryan menilai, perlu adanya sinergi semua pihak agar penyakit tersebut benar-benar bisa dihilangkan. “Vaksin tidak berarti nol Covid-19. Vaksin dan vaksinasi akan menambah alat utama yang ampuh pada kekuatan yang kita miliki,” ujarnya. Tapi mereka tidak akan melakukan pekerjaan itu sendiri. “Kita harus menambahkan vaksin ke dalam strategi kesehatan masyarakat yang ada,” ungkap Ryan yang hadir dalam Majelis Umum PBB, Sabtu (5/12/2020). Dilansir dari Euronews, pandangan serupa juga diungkapkan oleh Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Baginya, belum tepat jika menganggap bahwa pandemi telah berakhir dengan adanya vaksin. Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari buka suara terkait perlukan vaksinasi untuk mengatasi pandemi Covid-19 saat ini. Hal itu disampaikan saat hadir dalam acara Karni Ilyas Club yang tayang di kanal YouTube milik Karni Ilmya, Kamis, 16 April 2021. “Kita perlu enggak sih vaksin? Sebetulnya dalam sejarah tidak ada yang mengatakan bahwa pandemi itu bisa dihentikan dengan vaksin,” ungkap Siti Fadilah Supari, dikutip Minggu, 18 April 2021. Menurutnya, pandemi tersebut terjadi, karena penyakit yang menyebar di masyarakat belum ditemukan obatnya. Ketua POKJA Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan menegaskan, adanya resiko terpapar Covid-19 usai divaksin menandakan, vaksinasi bukan segalanya untuk memutus penularan Covid-19. Masyarakat tetap harus menjalankan protokol 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak) usai vaksinasi. Ini karena resiko terpapar Covid-19 setelah divaksin masih bisa terjadi. Artinya, setelah divaksin, tidak boleh langsung euforia dengan meninggalkan 3M. Resiko terjangkit Covid-19 memang akan tetap ada setelah diberikan vaksin. Tapi resiko dan gejala klinis akan jauh lebih ringan. “Vaksinasi itu belum tentu menjamin 100 persen kebal dari Covid-19. Vaksin memang membantu capai herd immunity (kekebalan kelompok). Namun, yang namanya pandemi Covid-19 tidak hanya soal vaksinasi,” imbuh Erlina. “Vaksinasi bukan segala-galanya selalu. Walaupun sudah divaksinasi, selalu terapkan 3M. Menjauhi keramaian dalam menjalankan aktivitas sehari-hari serta menjaga imunitas. Jangan setelah divaksin, langsung euforia, enggak pakai masker dan pesta-pesta. Itu enggak boleh.” Bagaimana dengan Atalia Praratya, istri Kang Emil yang positif Covid-19. Padahal, Atalia sudah menjalani vaksinasi dua kali. Juga, telah menerapkan prokes yang ketat? Rasanya tak mungkin Atalia terpapar Covid-19 sebelum vaksinasi. Karena, jika Atalia sebelum divaksin ternyata sudah terpapar Covid-19, dapat dipastikan tidak akan mendapatkan vaksinasi. Atalia beruntung. Apalagi, ia istri Kang Emil. Andai bukan seorang istri gubernur, apa beritanya bisa viral seperti sekarang ini? Belum Selesai Apa yang dialami Atalia di atas membuktikan, Covid-19 masih ada dan belum selesai. Meski sudah divaksinasi ternyata terpapar Covid-19 juga. Jangan sampai mengalami seperti di India dan Brazil, yang sulit mengendalikan laju penularan dan jumlah kematiannya. Di kedua negara yang semula dianggap berhasil itu, sekarang sama-sama sulit mencari lokasi makam baru. Persamaannya dengan kita, sama-sama jumlah penduduknya banyak. Sebaiknya kita simak catatan Prof. Dr. dr. Eulis Datau yang penting ini: Kanada, melarang penerbangan masuk dan keluar, dan jumlah kematian harian telah melebihi 1.000; Arab Saudi, diblokir dan tidak ada penerbangan masuk/keluar; Tanzania, sepenuhnya diblokir; Brasil, jatuh ke babak paling mematikan, dengan lebih dari 4.100 kematian hari ini; Spanyol, telah mengumumkan bahwa keadaan darurat dapat diperpanjang; Inggris, mengumumkan penguncian selama satu bulan; Prancis, terkunci selama 2 minggu; Jerman, disegel selama 4 minggu; Italia, juga mengikuti dengan cermat hari ini; Semua negara/kawasan ini telah mengonfirmasi gelombang ketiga Covid-19 lebih mematikan daripada gelombang pertama. Oleh karena itu, kita harus sangat berhati-hati dan melakukan semua tindakan pencegahan. Menjadi komunikator yang waspada antara teman dan keluarga. Simpan semua orang dari gelombang ketiga. Jangan menilai dari blokade gelombang kedua tidak ada yang terjadi. Sejarah memberi tahu kita bahwa seperti flu Spanyol pada 1917-1919, gelombang ketiga lebih berbahaya daripada gelombang pertama dan kedua. Jutaan orang tewas. Lindungi diri Anda dan milik Anda Keluarga. Menjaga tindakan keamanan hayati, memakai masker, menjaga jarak sosial, sering mencuci tangan, dan lain-lain. Sejarah tidak akan pernah berbohong, mari kita renungkan. Mestinya kita semua jangan terlena, dan tetap waspada. Kebanyakan, penyebab kematiannya itu, kekentalan darahnya yang tinggi, sehingga gagal jantung. Secara umum, saat ini masih masuk gelombang ketiga. Mutasi virusnya, rekayasa yang mengkombinasikan antara Covid-19 dengan virus Dengue (demam berdarah). Yang terjadi pada manusia yang terinfeksi terjadi kekentalan darah yang amat tinggi yang menyebabkan gagal jantung, sehingga meninggal. Dari semua hal di atas, patut diberikan sebuah kesimpulan: dua kali vaksin Covid-19, apa pun produknya, ternyata bukan merupakan jaminan untuk terbebas dari pandemi ini. Kewaspadaan dalam menjalankan pola hidup bersih dan sehat tetap menjadi kunci utamanya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Vaksin Nusantara Mulai Banjir Dukungan, Pro-kontra Merebak

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Dukungan secara politik dibuktikan oleh beberapa pemimpin dan tokoh masyarakat terhadap Vaksin Nusantara besutan mantan Menteri Kesehatan Dr. dr. Terawan Agus Putranto, SpRad. Bahkan, dukungan juga datang dari mantan Menkes Siti Fadilah Supari. “Saya memutuskan menjadi relawan uji klinik Vaksin Nusantara, menurut saya, biasa-biasa saja dan sederhana saja, saya agak kaget kok menjadi berita?” ujar Siti Fadilah Supari dalam rilisnya, Kamis (15/4/2021). Siti Fadilah mendengar, membaca, dan berpikir tentang vaksin nusantara. Menurutnya, si peneliti berpikir logis, inovatif. Memang, inovasi selalu mengagetkan kemapanan, bahkan bisa mengganggu yang sudah mapan. Di dalam ilmu pengetahuan, logis saja tidak cukup, tetapi harus dibuktikan. Maka ia bersedia menjadi relawan karena Siti Fatilah Supari menghargai seorang peneliti yang berpikiran beda dengan yang lainnya. Dia membuat hipotesis. Dan, hipotesis itu boleh saja salah, tapi harus dibuktikan dulu. Maka perlu penelitian. Harapannya kalau memang uji klinik ini mendapatkan hasil yang positif, artinya hipotesis dr. Terawan terbukti, “waah saya sangat bahagia karena kondisi saya saat ini sangat cocok dengan metode ini.” Sedangkan tentang pernyataan BPOM? “Pernyataan dari BPOM boleh-boleh saja, memang BPOM yang punya wewenang untuk ijin edarnya,” ujar Siti Fadilah Supari. Tentang ahlinya dan lain-lainnya dari Amerika Serikat tersebut? “Wahh saya tidak tahu. Tapi, kita kan negara yang berdaulat, dengan politik bebas dan aktif, maka boleh saja bekerjasama dengan negara manapun dengan prinsip kemitraan yang transparan, setara dan adil,” lanjutnya. (Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi). Menurutnya, yang penting produk ini menjadi produk Indonesia, untuk kemaslahatan bangsa yang membutuhkan. Terutama untuk lansia seperti dirinya. Diberitakan sebelumnya, BPOM menyatakan penelitian Vaksin Nusantara belum memenuhi syarat, sehingga mereka belum mengeluarkan izin persetujuan penelitian uji klinis (PPUK) fase 2. BPOM merilis hasil uji klinis fase I atas Vaksin Nusantara yang digelar pada 23 Desember – 6 Januari 2021 di RSUD Kariadi, Kota Semarang terhadap 28 subjek. Hasilnya, sebagian besar relawan mengalami kejadian tak diinginkan mulai dari level ringan, sedang, hingga berat. “Sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2,” kata Kepala BPOM Penny Lukito, dilansir Tirto.id, Selasa (13/4/2021). Efek simpang yang dirasakan antara lain, nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant. Di luar 20 subjek tersebut, terdapat 6 subjek penelitian yang mengalami efek simpang derajat berat. Sebanyak 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol. Menurut Penny, KTD grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinis yang tercantum pada protokol uji klinik. Namun, berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM, ternyata tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinis dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut. Penny menjelaskan, itu menjadi satu alasan bagi BPOM enggan menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) tahap 2 bagi vaksin nusantara. Dalam catatannya Kamis (15 April 2021), Prof. Dr. dr. Djohansjah Marzuki, Sp.BP (K), guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, mengomentari penolakan beberapa politisi dan anggota DPR terhadap keputusan BPOM itu. Profesor Djohansyah melihat, ini sebagai tanda masih rendahnya pengetahuan dan pengertian tentang Budaya Ilmiah. Vaksin adalah suatu produk ilmiah dari ilmu biologi, ilmu kedokteran, dan ilmu kefarmasian. Karena itu harus disikapi denga perilaku mengikuti kaidah-kaidah ilmiah atau nama lainnya dangan Budaya Ilmiah. Menurut Profesor Djohansyah, budaya ilmiah adalah perilaku intelektual yang berdasar pada kaidah-kaidah ilmu. Pertama, Ilmu natural berfokus pada kebenaran, dibuktikan dengan data yang terukur, tanpa bias oleh karena itu pula dikembangkan aturan dan kaidah-kaidah yang baku. Tentu kejujuran para ilmuwan menjadi mutlak. Dukungan dalam ilmu itu adalah adanya evidence dengan data yang terukur. Bukan jumlah orang atau banyaknya pejabat yang berbaris di belakangnya. Kedua, Ilmiah itu harus independen, tidak memihak kepentingan pribadi, kelompok maupun bangsa. Hanya berpihak pada kebenaran saja dan prosedur yang baku. Prosedur itupun dibuat oleh ilmuwan, bukan oleh pejabat kekuasaan negara. Ketiga, Kekuasan dan jabatan tidak boleh punya pengaruh terhadap jalannya penelitian ilmu. Ilmu natural tidak mengenal nasionalisme dan politik. No authority in science. Keempat, Ketidak-jujuran dalam ilmu diangggap perilaku yang sangat tercela. Misconduct. Tampaknya masih begitu banyak tokoh masyarakat tidak tahu masalah ini. Kalau tidak tahu maka sebaiknya serahkan saja kepada lembaga yang mengerti imu dan budaya ilmiah seperti BPOM dan lain-lain. Jangan memojokkan lembaga ilmiah dengan tuduhan-tuduhan tentang soal nasionalisme, memihak kelompok kepentingan tertentu, yang pasti itu tidak boleh dilakukan oleh lembaga ilmiah yang berbudaya ilmiah dan penuh tanggung jawab. Para politisi dan tokoh masyarakat harus bisa menghargai lembaga ilmiah. Jika tak mengerti budaya ilmiah ini janganlah menggangu pekerjaan para ilmuwan yang melakukan tugasnya dengan berbudaya ilmiah dengan tanggungjawab. Budaya ilmiah itu menjadi dasar perilaku para ilmuwan ilmu natural di seluruh dunia. Negara maju adalah negara yang menggalakkan ilmu dan budaya ilmiah dlm negaranya. Apa jadinya negara ini kalau para pemimpin dan tokoh masyarakatnya memusuhi atau tidak menghargai lembaga dan institusi keilmuan. Jika menganggap lembaga ilmiah itu menyalah gunakan fungsinya maka laporkan dan usut saja, tapi jangan dimusuhi tanpa dasar yang kuat. Profesor Djohansyah mengingatkan, memusuhi lembaga ilmiah mempunyai resiko jangka panjang menghambat kemajuan bangsa dan negara. Prof. Zubairi Djoerban @ProfesorZubairi dalam akun Twitter-nya berkomentar: Ada anggapan saya sentimen dengan Pak Terawan. Bahkan dikaitkan dengan terapi cuci otak dan sanksi terhadapnya. Beberapa media bertanya ini. Saya nyatakan tak ada sentimen itu. Tapi, saya akan sentimen pada vaksin yang diduga mengabaikan kaidah ilmiah. Tidak ada yang personal. 12.13 - 16/04/21 (Twitter). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Vaksin Nusantara Dijamin Unggul vs Sinovac Cina

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Dahlan Iskan, Menteri BUMN semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam tulisan di DisWay, 13 April 2021, menulis, kemarin pagi orang antre di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta: menjalani vaksinasi mandiri lewat Vaksin Nusantara. Salah satu yang kelihatan di situ adalah tokoh ini: Sudi Silalahi. Bersama istri. Mantan Sekab itu percaya betul pada keahlian Dr. Dr. Terawan Agus Putranto, SpRad – Letnan Jenderal dan baru saja berhenti dari jabatan menteri kesehatan. Kemarin pagi itu tahapnya baru untuk pengambilan darah. Sekitar 20 cc. Tepatnya 8 ampul kecil. Darah tersebut diberi antigen. Lalu disimpan di lab Selama 2 minggu. Setelah muncul antibodi di darah itu, Sudi harus kembali ke RSPAD lagi. Darah tersebut akan dimasukkan kembali ke tubuhnya. “Saya tadi diberi tahu untuk datang lagi tanggal 28 April,” ujar Sudi Silalahi. Itulah cara yang disebut menimbulkan antibodi Covid-19 melalui sistem sel dendritik. Sel dendritik itu kemudian '”mengajar”' sel-sel darah kita. Yakni bagaimana cara memunculkan antibodi – yang lebih awet bertahan di dalam badan, bahkan bisa jadi seumur hidup. Minggu ini tiap hari 40 orang dulu. Ia mengetahui bahwa yang antre untuk divaksinasi lewat Vaksin Nusantara begitu banyak. Mulai minggu depan satu hari sudah bisa 80 orang. Rupanya Terawan – sebagai inisiator Vaksin Nusantara – akan menempuh jalan mirip sukses DSA (Digital Substraction Angiography). Yang dulunya juga ditentang begitu hebat – sampai ia diberhentikan sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia – tapi akhirnya diterima secara luas. Sampai saat ini sudah lebih 40.000 orang yang menjalani DSA – termasuk Dahlan dan istri. Itulah terapi untuk membersihkan saluran darah di dalam otak. Yang secara populer lantas disebut “brain wash”' – cuci otak dalam arti harfiah. Terapi “cuci otak” Terawan dengan menggunakan alat DSA banyak dipakai masyarakat Indonesia, baik dari kalangan pejabat hingga masyarakat biasa yang menikmati terapi ini. Biaya terapi “cuci otak” dengan alat DSA ini pada 2018 kisaran Rp 23 juta atau Rp 25 juta. “Sebenarnya untuk DSA-nya sendiri cuma 23 juta atau 25 juta (rupiah), sekitar itu,” ungkap Terawan saat ditemui di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Senin (12/11/2018). Yang membuat biayanya membengkak, menurutnya, justru disebabkan biaya pemeriksaan-pemeriksaan lainnya. Seperti pemeriksaan yang berkaitan dengan penyakit lain. Itulah yang membuat membengkak. Sebenarnya DSA sendiri murah. Sampai saat ini, Terawan pun tak membedakan biaya terapi DSA pada masyarakat Indonesia dan warga negara asing. Menurut Terawan, semua orang harus diperlakukan sama dalam hal pelayanan maupun biaya. Sebelumnya, banyak orang yang telah melakukan dan disembuhkan oleh terapi DSA itu. Sebut saja beberapa nama besar diantaranya seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagaimana dengan Vaksin Nusantara yang sedang dikembangkan Terawan? Apakah juga ada antusiasme masyarakat untuk disuntik Vaksin Nusantara? Sejak adanya penolakan untuk uji coba fase II Vaksin Nusantara, Terawan langsung memindahkan peralatan laboratorium dendritiknya dari Semarang, dibawa kembali lagi ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena, mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo, dan pengamat politik senior Fahri Ali tampak mengantri di RSPAD Gatot Subroto sebagai peserta Vaksin Nusantara. Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan sejumlah anggota Komisi IX DPR RI mendatangi RSPAD, juga tampak ada di RSPAD Gatot Subroto. Mereka itu untuk sementara diambil sampel darahnya. Sehingga, pengambilan sampel darah bagian dari proses vaksinasi. “Jangan dianggap tadi vaksin. Itu bagian dari prosesnya. Jadi, ngambil darah bagian dari proses,” kata Melkiades, Rabu (14/4/2021). “Kamis depan itu disuntik ke masing-masing orang sesuai dengan pengambilan darah tadi,” lanjut politisi Partai Golkar yang akrab disapa Melki itu. Vaksin Nusantara merupakan produk perusahaan obat asal Amerika Serikat (AS), AIVITA Biomedical yang dikembangkan oleh perusahaan Indonesia PT Rama Emerald Multi Sukses. Vaksin ini hanya digunakan bagi orang yang diambil komponen sel darah putihnya dan disuntikkan kembali. Saat sel diambil terjadi proses inkubasi dengan antigen protein S virus SARS-CoV-2. Lantas usai tujuh hari, sel itu dimasukkan lagi ke tubuh orang yang diambil selnya. Cara ini diklaim bisa bentuk pertahanan terhadap Covid-19. Penelitian klinis fase I melibatkan 28 relawan di RSUP Dr Kariadi. BPOM menyatakan penelitian Vaksin Nusantara belum memenuhi syarat, sehingga mereka belum mengeluarkan izin persetujuan penelitian uji klinis (PPUK) fase 2. BPOM merilis hasil uji klinis fase I atas Vaksin Nusantara yang digelar pada 23 Desember – 6 Januari 2021 di RSUD Kariadi Semarang atas 28 subjek. Hasilnya sebagian besar relawan mengalami kejadian tak diinginkan mulai dari level ringan, sedang, hingga berat. “Sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2,” kata Kepala BPOM Penny Lukito, dilansir Tirto.id, Selasa (13/4/2021). Efek samping yang dirasakan antara lain, nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. Bandingkan dengan efek samping pada Vaksin Sinovac yang hanya dilaporkan sekitar 0,1-1 persen pada uji klinis fase 3. Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant. Di luar 20 subjek tersebut, terdapat 6 subjek penelitian yang mengalami efek samping derajat berat. Sebanyak 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol. Menurut Penny, KTD grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinis yang tercantum pada protokol uji klinik. Namun, berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM, ternyata tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinis dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut. Penny menjelaskan, itu menjadi satu alasan bagi BPOM enggan menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) tahap 2 bagi vaksin nusantara. Terawan dan Vaksin Nusantara harus bisa menunjukkan efikasi tinggi dibanding Sinovac yang diakui pejabat China memang rendah! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Bahaya Efek Simpang Vaksin AstraZeneca, Indonesia Harus Waspada!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Indonesia wajib waspada terkait efek simpang Vaksin AstraZeneca. Pasalnya, selain Vaksin Sinovac, Indonesia kini juga melakukan vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca. Peringatan ini mengacu pada catatan Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB. Meskipun MHRA (The Medicines and Healthcare Produsts Regulatory Agency) baru akan mengumumkan hasil kaji ulangnya pada Rabu atau Kamis pekan depan, tapi hampir pasti ada kaitan antara terbentuknya gumpalan darah di otak dengan AstraZeneca. AstraZeneca itu dibuat dengan teknologi viral vector menggunakan adenovirus chimpanzee. MHRA menerima laporan 30 kasus penggumpalan darah, dengan 7 diantaranya meninggal, setelah dilakukan vaksinasi terhadap lebih dari 18 juta orang di UK. Pihak EMA (The European Medicines Agency) juga tengah menyelidiki laporan 44 kasus penggumpalan darah di otak, dan bersifat sangat langka, disebut sebagai CVST (Cerebral Venous Sinus Thrombosis). Kasus itu terjadi setelah dilakukan vaksinasi terhadap 9,2 juta orang di European Economic Area, yang meliputi negara-negara Uni Eropa, Islandia, Liechtenstein, Norwegia, Perancis, Jerman, dan Belanda menghentikan sementara vaksinasi pada orang muda. Penghentian vaksinasi dengan vaksn AstraZeneca ini, karena kasus penggumpalan darah itu banyak terjadi pada wanita muda atau setengah baya. Meski demikian kelompok ini belum dianggap sebagai kelompok berisiko. Dugaan sementara, menurut Arie Karimah, vaksin memicu produksi antibodi yang tidak biasa. Namun, asumsi ini dibantah, mengapa tidak terjadi pada vaksin lain, yang sama-sama menjadikan spike protein virus sebagai target vaksin. Ada kemungkinan lainnya berkaitan dengan penggunaan pil KB. Tapi, belum ada data yang diungkap: berapa persen pengguna pil KB yang disuntik vaksin AstraZeneca dan mengalami kasus CVST? Sebelumnya, Arie Karimah menulis tentang Breakthrough Infection at Michigan, Amerika Serikat. Negara bagian Michigan, yang telah selesai memvaksinasi lebih dari 1,8 juta warganya, kini tengah menyelidiki kasus “breakthrough” infection. “Breakthrough” infection itu terinfeksi setelah divaksinasi. Mereka mencatat: 246 orang masih bisa terinfeksi, 2 minggu atau lebih setelah suntikan kedua vaksin Pfizer atau Moderna, atau setelah suntikan vaksin Johnson & Johnson, yang memang cukup sekali suntik. Dari 1,8 juta hanya 100.000 orang yang mendapat vaksin J&J. Ada 11 orang perlu dirawat di rumah sakit. Artinya, ini “melawan pakem” bahwa kalau sudah divaksinasi jika pun terinfeksi maka infeksinya ringan, tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Tiga orang meninggal, 2 di antaranya dalam waktu 3 minggu setelah vaksinasi penuh. Mesk angka-angka ini kecil bila dibandingkan jumlah yang sudah divaksinasi, namun hal itu menguatkan 2 hal yang selalu perlu diingatkan kepada publik: Pertama, vaksin tidak memberikan garansi mutlak (risiko nol persen) tidak akan terinfeksi. Kedua, memakai masker dan protokol kesehatan lainnya masih tetap penting selama musim pandemik masih berlangsung. Kasus “breakthrough” infection ini tidak terlalu mengejutkan, karena pada mereka yang telah berusia lanjut atau memiliki sistem immune yang lemah bisa jadi tidak mampu membentuk antibodi yang cukup untuk melawan infeksi, meski sudah “dilatih” oleh pemberian vaksin. Dan sekalipun vaksinnya memiliki efikasi yang nyaris sempurna: Pfizer 95% dan Moderna 94%. Tapi Johnson & Johnson “hanya”: 66% untuk mencegah infeksi sedang, dan 85% untuk mencegah infeksi parah. Di samping itu, kluster sekolah di Michigan meningkat hingga 47% hanya dalam waktu 2 minggu, sehingga sebagian sekolah memutuskan untuk belajar dari rumah kembali. Menurut Arie Karimah, pengetahuan tentang infeksi Covid-19 terus berkembang. Apa yang dianggap benar sebulan yang lalu belum tentu masih terjaga kebenarannya bulan ini. Perlu dipahami terlebih dahulu istilah yang benar tentang reinfeksi Covid-19, yang berbeda dengan infeksi saluran pernafasan lainnya, juga perbedaannya dengan istilah lain: Reinfeksi: terjadi jika seseorang terinfeksi Covid-19, kemudian sembuh dan virusnya tidak terdeteksi lagi oleh PCR, tapi kemudian terinfeksi kembali dengan strain virus yang berbeda. Jadi dibutuhkan genetic sequencing untuk memastikan terjadinya reinfeksi. Bukan sekedar munculnya kembali gejala yang sama/mirip. Di seluruh dunia baru tercatat kurang dari 50 orang yang mengalami reinfeksi, sehingga kasusnya dianggap jarang/langka. Di AS hanya tercatat 5 kasus. Jadi, reinfeksi hanya bisa dipastikan setelah diketahui genome virus di infeksi pertama dan kedua berbeda. Perlu dilakukan 2 kali sampling pada satu orang: di infeksi pertama dan kedua. Dan pada masing-masing sampel itu dilakukan genome sequencing. Genetic sequencing adalah proses untuk mengidentifikasi sidik jari sebuah virus yang spesifik, sehingga bisa dibandingkan dengan strain virus yang lain. Contoh genetic sequencing. Sebagai ilustrasi kemampuan genomic sequencing AS: 10 Jan: 252 sequences per minggu; 24 Jan: 2.238 sequences per minggu; Pertengahan Feb: 6.000 sequences per minggu. UK melakukan sequencing terhadap 5-10% dari sampel yang mereka miliki. Bagaimana dengan kita? Berapa per bulan? Seorang epidemiologist di state of Washington mengatakan, mereka berusaha melakukan genetic sequencing untuk genotyping 5% dari seluruh sampel yang sudah terkumpul. Dengan cara ini baru memungkinkan untuk menyortir 700 sampel yang berpotensi reinfeksi. Genotyping juga akan membantu menandai keberadaan hasil mutasi genetik (varian), yang bisa mempengaruhi seberapa mudahnya virus menyebar dan seberapa parah infeksi yang ditimbulkannya. Long-Haul Covid: infeksi pertama memicu gejala yang sangat melemahkan tubuh, yang bisa bertahan hingga berbulan-bulan, dan partikel virusnya bisa terus terdeteksi oleh PCR. Reaktivasi Virus Dormant. Seperti halnya bakteri, sebagian virus juga bisa mengalami kondisi tidur (dormant), yaitu virus tetap ada di dalam tubuh namun tidak aktif dan tidak menunjukkan gejala penyakit. Mirip dengan OTG, namun bedanya kasus dormant ini yang bersangkutan pernah terinfeksi dan menunjukkan gejala. Virus dormant ini load-nya sangat rendah, dan bisa berada di bagian lain di luar saluran pernafasan, sehingga tidak terdeteksi oleh PCR. Baik karena lokasi keberadaannya yang tidak terjangkau oleh swab, atau memerlukan CT (cycle threshold) yang sangat tinggi untuk bisa terdeteksi. Tapi mereka bisa menyerang kembali suatu hari nanti. Rendahnya viral load. Ini jugalah yang bisa menjelaskan kenapa penderita bisa mengalami kehilangan indra penciuman (anosmia) dan rasa (dysgeusia) begitu lama, karena virusnya masih berada di dalam tubuh dan melakukan replikasi (perkembangbiakan) dalam jumlah yang sangat kecil dalam jangka waktu yang lama. Berbulan-bulan. Arie Karimah khawatir yang dianggap reinfeksi di Indonesia adalah reaktivasi virus dormant. Contoh yang sudah sangat dikenal tentang reaktivasi virus dormant adalah pada kasus herpes genital, yang disebabkan oleh virus Herpes Simplex tipe 2. Berapa lamakah perlindungan alamiah yang diberikan oleh infeksi Covid-19 yang pertama? Penelitian terbaru menunjukkan, antibodi dan memory T-cells dan B-cells, yang berfungsi mengingat bentuk virus dan bagaimana cara memproduksi antibodinya, bisa bertahan lebih dari 8 bulan. Apakah mereka yang sudah pernah terinfeksi perlu waspada terhadap reinfeksi? Jawabannya: Iya. Mereka mungkin tidak perlu khawatir selama beberapa minggu, atau bahkan beberapa bulan setelah sembuh. Namun setelah itu tidak ada jaminan tidak akan mengalami reinfeksi. Dua faktor yang akan menentukan apakah akan terjadi reinfeksi, dan berapa cepat reinfeksi bisa terjadi: Faktor internal: berapa banyak produksi (titer) antibodi yang terbentuk saat infeksi yang pertama. Makin rendah berarti makin besar risiko mengalami reinfeksi. Jadi mereka yang mengalami infeksi ringan juga lebih berpeluang mengalami reinfeksi, karena diduga titer antibodinya masih rendah. Faktor eksternal: berapa sering bertemu dengan virus. Hal ini mencakup: berapa orang penular yang ditemui, berapa sering, dan berapa lama pertemuannya. Makin sering berarti makin besar risiko mengalami reinfeksi. Apakah gejala yang muncul pada reinfeksi lebih ringan atau lebih parah? Sebagian besar lebih ringan, karena tubuh sudah menghasilkan antibodinya. namun gejala juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti disebutkan di atas. Dalam studi di Qatar, Inggris, dan AS menyebutkan peluang reinfeksi hanya 0,1 - 0,2%, dan reinfeksi terjadi pada sekitar waktu 16 – 20 minggu setelah infeksi pertama. Jadi, seringan apapun infeksinya, long-haul Covid-19 akan menyebabkan gejalanya terus ada selama beberapa bulan di organ-organ tubuh yang terpengaruh. Virusnya masih ada dan tidur. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Secara Yuridis Kematian Pasca Vaksin Bisa Digugat

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Kabar duka datang dari Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol. Muhammad Roem Ohoirat yang membenarkan informasi mengenai salah satu komandan kompi di satuan Brimob Polda Maluku, yakni Iptu LT meninggal dunia pada Minggu 4 April 2021. Iptu LT meninggal dunia usai divaksin AstraZeneca. “Benar, almarhum meninggal dunia. Almarhum meninggal setelah divaksin pada tanggal 30 Maret 2021, namun pada tanggal 31 meriang dan sesak napas,” ujar Roem. Roem mengatakan, setelah mengalami gejala tersebut, Iptu LT diantar istrinya ke rumah sakit namun saat diperiksa dokter tidak ada penyakit yang menyebabkan korban mengalami gejala seperti itu. Akhirnya, Iptu LT diberi obat. Setelah itu beraktivitas seperti biasa. Tidak lama dari situ, Iptu LT mengalami gejala sesak napas hingga meninggal dunia. Roem belum bisa menjelaskan apakah meninggalnya karena divaksin atau tidak. Setelah dinyatakan meninggal, tim Satgas Covid1-9 melakukan pemeriksaan terhadap jenazah Iptu LT. Dari sana didapatkan ternyata Iptu LT positif Covid-19. Melansir VIVA.co.id, Minggu (4 April 2021 | 18:16 WIB), menurut Roem, pihaknya tak tahu apakah sebelumnya almarhum sudah positif lalu divaksin atau bagaimana. Akhirnya jenazah Iptu LT langsung dimakamkan dengan protokol Covid-19. Dokter masih menelusuri riwayat penyakit Iptu LT. Roem belum bisa sepenuhnya menyebut, korban menginggal akibat divaksin. “Yang jelas kita tidak bisa katakan itu meninggal karena divaksin,” ujarnya. Sebelumnya, kasus serupa menimpa Sulaiman Daeng Tika (50). Warga Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan ini meninggal dunia di RS Haji Kota Makassar, Senin (22/3/2021) malam. Seminggu atau tujuh hari sebelumnya, ia sempat disuntik vaksin Sinovac tahap pertama. Daeng Tika dibawa ke RS karena demam tinggi dan nyeri di seluruh persendian. Namun, ia tak tertolong meski telah mendapat penanganan. Di rumah duka Desa Batu-Batu, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, suasana kesedihan tampak dirasakan keluarga almarhum. Mereka tak menyangka, almarhum yang sebelumnya sehat, tiba-tiba mengeluh sakit dan meninggal dunia. “Bapak sebelumnya sehat-sehat aja, gak punya sakit kronis atau sakit-sakitan,” ujar Mahmud, anak almarhum, Selasa (23/3/2021). Mahmud menceritakan, ayahnya divaksin pada 15 Maret silam di tempat kerjanya. Beberapa hari kemudian mengeluh sakit, tapi tetap masuk kerja. Dua hari setelah vaksin kemudian ada gejala panas tinggi. Demam dan nyeri seluruh badannya. Peristiwa serupa terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Salah satu lansia merupakan wanita yang sudah menjalani vaksinasi Covid-19 pada Senin, 8 Maret 2021. Perempuan berusia 75 tahun itu divaksin pada Senin, 8 Maret 2021. Hari itu ada 2.500 lansia yang mendapatkan vaksinasi Covid-19. Menurut Bupati Banyumas Achmad Husein, lansia tersebut sudah lolos skrining, sehingga dia dinilai layak mendapatkan vaksinasi Covid-19. Namun beberapa jam kemudian setelah lansia itu kembali ke rumah sekitar pukul 11.30 WIB, tak lama sore harinya pukul 17.00 WIB dia jatuh terduduk di lantai dan dibawa ke RS hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Kejadian tersebut membuat Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Hindra Irawan Satari buka suara. Hendra menyebut, kedua lansia tersebut meninggal bukan karena vaksinasi Covid-19. “Penyebab meninggal bukan disebabkan vaksinasi Covid-19,” ujar Hindra kepada Merdeka.com, Senin, 15 Maret 2021. Kasus ini diungkap kembali oleh Bupati Husein kepada wartawan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa, 9 April 2021. Di Kabupaten Cilacap, Jateng, seorang nakes diketahui meninggal dunia usai beberapa hari divaksin Covid-19. Nakes itu meninggal, Jumat (5/2/2021) sekitar pukul 07.00 WIB. Tapi, Kepala Dinkes Cilacap dr Pramesti Griana Dewi mengatakan, nakes berjenis kelamin laki-laki itu meninggal bukan karena disuntik vaksin Covid-19, melainkan demam berdarah. “Dokter penanggung jawabnya menyatakan, nakes itu meninggal akibat Dengue Shock Syndrome (DSS) atau demam berdarah,” kata dr Pramesti Griana Dewi seperti dilansir Hestek.id, Sabtu (2021-02-06,15:34).Ia membenarkan jika sang nakes sempat menjalani vaksinasi Covid-19 di RSUD Cilacap, tempatnya bertugas, 27 Januari 2021. Kondisi nakes, disebut Pramesti tak mengalami efek dari vaksin dan bekerja seperti biasa. Bahkan, nakes itu juga bertugas merujuk pasien ke RSUD Sardjito Jogjakarta. “Sepulang dari Jogjakarta, badannya nggreges dan Minggu (31/1/2021) yang bersangkutan izin tidak masuk kerja,” paparnya. Kemudian Rabu (3/2/2021) yang bersangkutan masuk IGD RSUD Cilacap karena lemas dan BAB berwarna hitam. Saat itu juga langsung masuk ICU, trombositnya jauh di bawah normal dan langsung dilakukan transfusi trombosit. Nakes tersebut meninggal, Jumat (5/2/2021) sekitar pukul 07.00 WIB. Kasus serupa menimpa Direktur Pascasarjana STIK Tamalatea Makassar dan juga Bendahara Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Dr Eha Soemantri SKM, MKes. Eha meninggal di ICU RS Wahidin Sudiro Husodo, setelah salat subuh. Kabar yang beredar, sebelumnya Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Eha sendiri sebelumnya sudah divaksin. Namanya masuk dalam penerima vaksin pertama di Sulsel, 14 Januari 2021. Pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoninya. Setelah divaksin beberapa waktu lalu. Ia mengimbau masyarakat untuk tak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntik vaksin tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh Pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut. Setelah divaksin Eha mengaku tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, ia mengajak mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus covid-19. Dokter Tifauzia Tyassuma mengatakan, dua orang senior dan gurunya wafat pasca suntikan pertama vaksin. Begitu suntik ke-1 langsung masuk ICU dan saturasi oksigen 60%. “Ngga ada satupun Dokter yang boleh bilang kalau beliau berdua kena KIPVI,” ujarnya. Keduanya Lansia dengan Comorbid. Menurutnya, kalau disebutkan Institusi mana pasti ia di-bully lagi lahir bathin. Dan semua bungkam diam seribu bahasa. Sebetulmya ini adalah tamparan bagi Seluruh Dokter di Indonesia. “Ayo dong bicaralah jujur sesuai hati nurani Anda semua. Saya tidak mau memusuhi kalian dan apalagi dimusuhi kalian. Saya cinta kalian semua dan sangat mengkhawatirkan keadaan ini,” pesan Medical Scientist, Pakar dan Praktisi Nutrisi ini. Sayangnya, kasus-kasus kematian dokter dan nakes lainnya yang terjadi di Indonesia paska vaksinasi Covid-19, selalu dijawab dengan dalih “bukan KIPI”. Mungkinkah kasus-kasus kematian pasca vaksinasi ini bisa dilakukan gugatan terhadap Pemerintah? Menurut Advokat Subagyo, gugatan pada Pemerintah terkait kematian pasca vaksinasi bisa saja dilakukan. “Asalkan ada keterangan ahli yang menerangkan bahwa itu termasuk kesalahan,” katanya. Apakah otopsi masih perlu dilakukan atas jazadnya? Otopsi itu kalau ada proses pidananya. Jadi, pertama harus menanyakan kepada ahli kesehatan dulu. Hukum akan mengikuti fakta. Jika fakta itu menurut ahli adalah malpraktik, maka hukum baru bisa bertindak. Kesalahan atau malpraktik ini apa termasuk jika menurut aturan, yang punya komorbid itu tidak bolah divaksin, tetapi tetap saja divaksin, sehingga menyebabkan kematian? “Ya bisa seperti itu. Yang penting ada analisis ahli tentang risiko, seberapa besar risikonya,” ujarnya. Pernyataan senada disampaikan Advokat Sumarso. Bisa digugat, tapi metodanya Citizen Lawsuit. “Gugatan oleh warga negara. Hanya saja, proses pembuktiannya harus akurat. Nda gampang juga untuk otopsi. Yang bisa minta otopsi hanya penyidik, kecuali kasus pembunuhan,” katanya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ponpes Amanatul Ummah Terima Vaksin, Asal Jangan AstraZeneca!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Meski akhirnya PWNU dan MUI Jawa Timur membolehkan Vaksin AstraZeneca digunakan untuk vaksinasi Covid-19, Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah KH Asep Saifuddin Chalim terang-terangan menolak vaksin AstraZeneca. Ia melarang keras 12.000 santri dan mahasiswa, serta 1000 lebih tenaga pengajar di lembaga pendidikannya disuntik vaksin Covid-19 dari Inggris tersebut. “Amanatul Ummah sangat mendukung vaksinasi, asalkan jangan vaksin AstraZeneca,” tegas Kiai Asep. Jika vaksin AstraZeneca haram mutlak bagi Amanatul Ummah. “Jadi, tidak ada halal mubah itu tidak ada,” katanya kepada wartawan di Institut KH Abdul Chalim, Desa Bendunganjati, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Sabtu (27/3/2021). Kiai Asep menyebut, karena sesuai fatwa MUI Pusat yang mengatakan vaksin AstraZeneca itu mengandung (tripsin) pankreas babi dan hukumnya haram. Menurut MUI pusat hukumnya haram, tapi diperbolehkan ketika darurat. “Namun, di Amanatul Ummah tidak yang ada darurat. Karena selama satu tahun di Amanatul Ummah ini tidak ada yang terkena Covid-19,” terangnya. Menurutnya, Ponpes Amanatul Ummah bisa bebas Covid-19 karena selama ini menerapkan protokol yang ketat. Setiap santri yang baru datang, wajib lolos pemeriksaan rapid test, foto toraks dan pemeriksaan darah lengkap. Kiai Asep juga mengkritik Fatwa MUI Jatim yang menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca halal dan bagus (halalan thoyiban). Ia menilai fatwa tersebut salah karena hanya menggunakan alasan istihalah atau perubahan bentuk dan ihlak atau penghancuran. MUI Jatim yakin tripsin pankreas babi yang digunakan dalam produksi vaksin AstraZeneca tidak lagi menjadi najis karena sudah berubah bentuk. Istihalah di situ disamakan dengan Ihlak, penghancuran, tidak ada nilai-nilai babinya. Istihalah dan ihlak tertangkal oleh Intifak. Yaitu bisa menjadi vaksin karena ada (tripsin) pankreas babinya. Intifak itu bukti yang tidak bisa dihilangkan. Buktinya apa? Jadi vaksin. Tanpa ada pankreas babinya tak akan jadi vaksin. “Keharaman intifak, baru pada pemikiran saja sudah haram, apalagi sudah ada realisasinya,” lanjut Kiai Asep. Imam Syafii dan Imam Hambali mengajarkan, istihalah atau perubahan bentuk dari benda najis menjadi tidak najis hanya berlaku pada tiga hal. Yaitu ketika arak berubah secara alami menjadi cuka, kulit yang diambil dari bangkai selain babi dan anjing, serta ayam yang menetas dari telur yang dikeluarkan dari ayam mati. Menurutnya, itu berbahaya sekali. “Itulah kenapa saya ngotot ingin memberitahukan kepada seluruh masyarakat Jatim bahkan Indonesia,” tegasnya. Ketika MUI Jatim hasil fatwanya tidak segera dicabut, dan MUI Pusat tidak memanggilnya, bahayanya ini menjadi pintu masuk lebar-lebar untuk semua produk (olahan) babi dihalalkan karena istihalah. “Karena semua produk babi pasti dengan Istihalah semua, tak mungkin gelondongan berupa babi,” terang Kiai Asep. Kiai Asep berharap pemerintah tak menggunakan vaksin AstraZeneca untuk vaksinasi Covid-19 di Jatim. Apalagi disuntikkan ke pesantren-pesantren. Sebab, ia berpendapat, kondisi saat ini tidaklah darurat. Masyarakat masih bisa menunggu pemerintah membeli vaksin yang dipastikan halal. Ia pun memberikan solusi ke pemerintah yang terlanjur membeli vaksin AstraZeneca dalam jumlah besar. “Solusinya agar digunakan di daerah-daerah nonmuslim yang tidak mempermasalahkan tubuhnya kemasukan unsur-unsur babi,” jelas Kiai Asep. Sementara untuk umat Muslim di Indonesia, Kiai Asep berharap pemerintah menggunakan vaksin jenis lain yang dipastikan halal. Terhadap para ulama Jatim yang terlanjut divaksin AstraZeneca, dia menyarankan agar memperbanyak istighfar. Harus mendatangkan lagi selain vaksin AstraZeneca. Masih banyak vaksin lain. Menunggu tidak masalah, tiga bulan, setahun tidak akan mati. Bukan darurat kalau seperti itu. Yang terlanjur divaksin? Istighfar saja yang banyak. Ia menjelaskan, kandungan babi dalam vaksin AstraZeneca akan berdampak negatif jika disuntikkan ke umat Islam. Muslim yang mengonsumsi zat-zat dari babi akan sulit diterima doanya oleh Allah SWT. Selain itu, proses kematian mereka saat sekarat juga akan sulit. Mohon maaf, banyak orang yang mengatakan Zionis dan Orientalis ingin makanan yang dikonsumsi orang-orang mukmin mengandung babi agar doanya tidak dikabulkan oleh Allah SWT. “Kan kasihan mereka adalah bangsa Indonesia, sebagai potensi Indonesia. Mohon kalimat saya ini didengar oleh Gubernur, Presiden oleh siapa saja. Kemudian MUI Pusat berbuat,” pesan Kiai Asep. Gumpal Darah Kalau Kiai Asep menolak vaksin AstraZeneca karena haram, lain halnya beberapa negara di Eropa yang menghentikan vaksin AstraZeneca karena terjadi kematian akibat penggumpalan darah. Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB menulis 7 kematian akibat penggumpalan darah setelah vaksinasi AstraZeneca. Dari 18 juta orang yang sudah divaksinasi dengan produk AstraZeneca di UK, ditemukan ada 30 orang yang mengalami masalah dengan penggumpalan darah yang tidak biasa. Data dari The Medicines and Helathcare Produsts Regulatory Agency (MHRA), BPOM UK menunjukkan: Ada 22 kasus adalah CVST (Cerebral Venous Sinus Thrombosis), yaitu munculnya gumpalan darah di otak. Kondisi ini disertai dengan rendahnya kadar platelet (trombosit). Dalam keadaan normal kadar platelet yang rendah justru akan memicu terjadinya pendarahan, bukan terbentulnya gumpalan darah. Ada 8 lainnya mengalami penggumpalan darah (terjadi) bukan di otak, juga disertai dengan kadar platelet yang rendah. Dari 30 orang itu akhirnya dilaporkan 7 orang meninggal. Tapi, belum diketahui dengan pasti apakah ini suatu kebetulan atau memang efek samping dari vaksin itu. Namun, negara-negara lain mulai berhati-hati: Jerman, Perancis dan Belanda mulai membatasi penggunaan vaksin ini hanya untuk orang tua. Dalam penelitian dan pengembangan produknya AstraZeneca bekerja sama dengan University of Oxford. Di Eropa kini tengah melakukan penelitian atas: Sifat penggumpalan darah yang tidak biasa, karena terjadi dalam keadaan kadar platelet yang rendah, yang harusnya justru menyebabkan pendarahan; Adanya antibodi langka yang menyebabkan gangguan pembekuan darah. Vaksin Pfizer juga tengah diteliti karena dari 10 juta orang yang telah divaksinasi ditemukan 2 yang mengalami CVST setelah vaksinasi. Namun tidak disertai dengan kadar platelet yang rendah sebagaimana kasus AstraZeneca. Kejadian penggumpalan darah sendiri masih menjadi tanda tanya: berapa sering sebenarnya dalam keadaan normal, tanpa vaksinasi. Diestimasikan bahwa dari 1 juta orang akan muncul 2 hingga 16 kasus dalam setahun. Dan infeksi Covid-19 berkaitan dengan penggumpalan darah yang abnormal, sehingga angka kejadian per sejuta orang ini tentu akan meningkat. Dari Jerman dilaporkan adanya 31 CVST dan 9 kematian setelah vaksinasi dilakukan pada 2,7 juta orang. Sebagian besarnya adalah usia muda atau wanita setengah baya. Berbagai analisa telah dicoba dilakukan terhadap masalah ini. Seandainya pun kematian itu berkaitan dengan vaksin, maka perlu dilakukan perbandingan sebagai berikut berdasarkan data di UK: dari 2,5 juta orang: 🥕1 kematian akibat vaksinasi. 🥕2.500 orang usia 40 tahun meninggal akibat infeksi Covid-19 🥕50.000 orang usia 60 tahun meninggal akibat infeksi Covid-19 Maka tetap saja manfaat vaksin jauh lebih besar dibandingkan risikonya. Rasio manfaat dan risiko vaksin akan terus dievaluasi mengingat program vaksinasi di Eropa mulai bergeser dari usia lanjut ke orang-orang muda, yang memiliki risiko kematian akibat infeksi lebih rendah. Sementara, seorang medical biologist mengatakan: adalah hal “biasa” jika secara tak sengaja ditemukan kluster efek samping yang langka. Namun, jika kluster itu ditemukan pada beberapa populasi, misal: kasus AstraZeneca ini di Jerman dan Inggris, maka sulit mengatakan bahwa ini kejadian acak. Jadi lebih cenderung dikatakan ada hubungan. Namun, tidak seorang pun berani mengambil kesimpulan bahwa keduanya berhubungan: kematian akibat penggumpalan darah dan vaksin AstraZeneca. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

KIPI Jatuh Akibat AstraZeneca, Satgas Sulut "Suspend" Vaksinasi Covid

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sulawesi Utara pada akhirnya menghentikan sementara penggunaan Vaksin AstraZeneca karena munculnya efek samping pada 5-10 persen warga yang disuntik. Satgas Covid-19 setempat menghentikan sementara penggunaan vaksin dari Inggris tersebut. Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) masih menunggu hasil laporan investigasi penerima vaksin AstraZeneca di Kota Manado dan Kota Bitung setelah Satgas Covid-19 Sulawesi Utara menghentikan sementara penggunaan AstraZeneca. Alasan satgas daerah menyetop sementara AstraZeneca adalah karena muncul efek simpang seperti demam atau nyeri badan hingga tulang. “Kalau misalnya serius dan membahayakan, tentunya akan dihentikan atau di-suspend atau ditunda,” kata Hindra Irawan. Ketua Komnas KIPI itu mengaku, pihaknya sudah menerima laporan dari Komda KIPI Sulut terkait hal ini, yaitu efek simpang berstatus ringan hingga sedang. “Saya sudah menghubungi Komda (KIPI). Memang ada KIPI, sedang dilakukan investigasi,” tuturnya. Sementara itu, Kementerian Kesehatan mengatakan Dinkes Sulut telah memberikan surat pemberitahuan penyetopan vaksin AstraZeneca karena ditemukan KIPI terhadap 5-10% warga yang menerima vaksin AstraZeneca. “Suratnya baru (diterima) hari ini. Sudah akan dikaji dulu oleh ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization),” ujar juru bicara vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi. Menurutnya, Kemenkes masih menunggu kajian Komnas KIPI untuk memutuskan kebijakan soal penggunaan AstraZeneca secara nasional. Kepala Satgas Covid-19 Sulut Steven Dandel mengatakan keputusan ini diambil untuk memastikan aspek kehati-hatian. Dalam Emergency Use Authorization (EUA) vaksin AstraZeneca disebutkan, KIPI ini adalah efek simpang (adverse effect) AstraZeneca yang sifatnya sangat sering terjadi very common, artinya 1 di antara 10 suntikan dan sering terjadi common -1 di antara 10 sd 1 di antara 100. Agar tidak terjadi kepanikan, Steven mengatakan pemerintah akan mempersiapkan komunikasi risiko agar masyarakat memahami fakta dari insiden tersebut. Namun sebelum itu, Steven memastikan investigasi akan segera dilakukan oleh Komda KIPI, Dinas Kesehatan Sulut, Kementerian Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia. Sulut adalah satu dari 6 provinsi yang mendapatkan vaksin AstraZeneca, selain Bali, NTT, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Riau. Sebanyak 50.000 dosis vaksin AstraZeneca juga telah tiba di Kota Manado sepekan lalu. Mengutip Detik.com, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Sulawesi Utara melaporkan 990 orang dari 3.990 penerima vaksin AstraZeneca mengalami KIPI berupa demam, menggigil, nyeri badan hingga tulang dan muntah serta mual. Keputusan Satgas Covid-19 Sulut yang diambil untuk memastikan aspek kehati-hatian itu bisa disebut “sangat berani”. Pasalnya, selama ini jika terjadi kasus serupa biasanya selalu dijawab dengan dalih “bukan KIPI”. Sejak awal, kalangan ahli virus atau bakteri ada yang berpendapat, di bahan vaksin itu ada satu bahan yang berfungsi sebagai katalisator/stabilizer. Katalisator atau stabilizernya itu bisa: mengandung bakteri X atau enzim/protein dari bakteri X itu. Keduanya, mampu merusak sistem membran semi permeabilitas sel atau membran selektif permeabel sel. Sementara bahan-bahan vaksin itu terdiri dari virus/bakteri/antigen, pengawet (thimerosal?), bahan adjuvant, dan sebagainya. Setelah sistem membran permeabilitas atau membran selektif permeabel sel itu dirusak oleh protein stabilizer ini, maka kandungan zat-zat adjuvant maupun pengawet itu bisa tersebar ke mana-mana, ke seluruh darah, bahkan ke seluruh sel. Sehingga akan terbentuk kelainan-kelainan ikutannya. Dari sudut pandang ini bisa dipahami pula, kalau vaksin itu diduga berpotensi bisa menyebabkan KIPI dengan berbagai bentuknya, antara lain: autis, hedrocefalus, down syndrome, hiperaktif, crohns disease, dan sebagainya. Kena Covid Tidak sedikit laporan di lapangan yang menyebutkan bahwa sejumlah dokter dan nakes lainnya, termasuk juga pejabat publik yang mengaku dirinya terinfeksi Covid-19 usai divaksinasi. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan salah satu faktornya adalah seseorang mengabaikan protokol kesehatan usai divaksinasi. Sebab, vaksin bukanlah sebuah pelindung utama yang bisa menjadikan seseorang mutlak kebal terhadap virus. “Disuntik vaksin tak akan bikin kita jadi Superman. Enggak bisa bikin kita kebal virus,” ujar Menkes dalam pidatonya saat meresmikan layanan Vaksinasi Drive-Thru di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), Kamis (25/3/2021). “Makanya kalau ada orang bilang, kok kena Covid-19 ya sudah divaksin? Ya iya, habisnya setelah divaksinasi jalan-jalan tanpa masker misalnya,” tegasnya, seperti dilansir JawaPos.com (25 Maret 2021, 15:53:50 WIB). Menurutnya, antibodi kekebalan baru akan terbentuk setelah 28 hari usai suntik vaksin dosis kedua. Dan itupun tak menutup kemungkinan untuk kebal sepenuhnya dari virus. Setelah 28 hari pun bisa kena Covid-19, tapi tak akan parah. Karena kita punya antibodi. “Kalau terbentuk optimal pun tak membentuk bapak jadi Superman. Tapi, sakit pun tak akan parah dan masuk RS,” tegas Menkes. Juru Bicara Pemerintah Untuk Covid-19 Wiku Adisasmito mengingatkan masyarakat untuk terus disiplin protokol kesehatan. Sebab kini menurutnya mulai mengendur di banyak negara karena terlena dengan kedatangan vaksin. Mengingat laju penyuntikan vaksin tak sebanding dengan laju penularan virus Covid-19. Menurut Wiku, kelalaian dalam menerapkan protokol kesehatan itu sangat berpotensi untuk menyebabkan potensi penularan di tengah penduduk. Wiku mengingatkan sejalan dengan temuan tersebut, maka dia meminta semua orang untuk memandang vaksin sebagai solusi penanganan pandemi Covid-19. Vaksin akan membantu menyelamatkan nyawa. Akan tetapi jika kita hanya mengandalkan vaksin, maka kita membuat kesalahan. Perubahan perilaku harus menjadi pondasi utama dari usaha kita menghentikan penularan virus Covid-19 di Indonesia mengingat telah ditemukannya kasus mutasi baru Covid-19. “Selanjutnya merupakan tanggung jawab kita semua untuk tetap mencegah penularan terjadi di tengah masyarakat dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan,” jelas Wiku. Bagaimana dengan dokter dan nakes yang meninggal? Rasanya tidak mungkin kalau mereka mengabaikan prokes pasca divaksin! *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Epidemiolog Dicky Budiman: “Virus Dormant Itu Teknologi Kuno! (1)”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Vaksin AstraZeneca sempat menjadi bahasan publik usai Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyebut vaksin buatan perusahaan farmasi asal Inggris itu haram karena mengandung enzim tripsin dari babi. Meski begitu, MUI tetap memberikan lampu hijau penggunaan AstraZeneca untuk program vaksinasi, mengingat stok vaksin di Indonesia terbatas. BPOM pun pada Jumat (19/3/2021) lalu telah merestui penggunaan AsrtaZeneca untuk vaksinasi di tanah air. Restu BPOM itu menyusul vaksin AstraZeneca yang sempat ditangguhkan sementara, usai ditemukannya dugaan kasus pembekuan darah yang terjadi di beberapa negara Eropa akibat vaksinasi dengan vaksin kerjasama Oxford itu. Virus Covid-19 kini telah menginfeksi hampir 123,9 juta penduduk di bumi. Dan, setidaknya, sekarang inii dunia telah memvaksinasi lebih dari 447 juta suntikan (kira-kira setara dengan 2 kali jumlah mereka yang terinfeksi), dengan masing-masing 2 kali suntikan. Virus Covid-19 telah menginfeksi 1,46 juta penduduk Indonesia. Setidaknya, Indonesia telah memvaksinasi lebih dari 7,8 juta suntikan atau kira-kira setara dengan 5,3 kali jumlah mereka yang terinfeksi, dengan masing-masing 1 kali suntikan. Dalam catatan Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB, angka ini baru 2,1% dari target penduduk yang akan divaksinasi sebanyak 181,6 juta orang, masing-masing 2 kali suntikan. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, berikut ini petikan wawancara Mocahamad Toha dari FNN.co.id dengan dr. Dicky Budiman, MSc, PhD (Can) Global Health Security CEPP Griffith University, Australia yang juga seorang Epidemiolog. Terkait program vaksinasi (Sinovac dan AstraZeneca) yang sudah jalan di Indonesia. Sinovac dinyatakan halal oleh MUI, AstraZeneca haram. Komentar Anda? Menurut saya ada perbedaan antara Sinovac dan AstraZeneca dalam segi kemasan. Sinovac dikemas jauh lebih cermat, lebih hati-hati oleh pemerintah, terutama dari 3 segi, yaitu halal, keamanan, dan efikasi. Walaupun kita selalu ingatkan, diumumkan hampir sebelum keluar hasil dari fase ke-3 ini. Tapi, relatif lebih (dalam konteks Indonesia, faktor halal ini) sangat penting. Tapi berbeda dengan AstraZeneca. Ini timbul satu komunikasi yang kurang, untuk konteks Indonesia. Maksudnya? Karena, ternyata (dalam hal) ini belum ada sinergi yang kuat antara BPOM, Kemenkes, dan MUI. Ternyata MUI mengeluarkan fatwa haramnya. Dan, ini juga semakin menjadi bahasan publik karena di Australia, di Eropa, dan di negara lain dinyatakan halal sehingga digunakan. Padahal kan sama-sama Muslim. Sehingga ini jadi pro-kontra, jadi perbedaan. Dan tentu ini akan tidak kondusif untuk strategi vaksinasi. Karena bagaimanapun sebagian masyarakat kita akan melihat apa yang disampaikan pertama oleh pemerintah (dalam hal ini MUI). Bahwa ini memberi kandungan yang diharamkan. Dan, ini sudah melekat, sehingga ini sulit untuk diluruskan. Nah, ini yang harus diperbaiki mekanisme formnya sebagaimana Sinovac, kalau aman dan efektif. Ada beberapa kasus di Indonesia, seperti kematian pasca vaksinasi yang juga menimpa dokter dan nakes lainnya. Terakhir, yang dialami seorang guru honorer di Garut yang lumpuh. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini yang harus direspon dengan penguatan KIPI (Kejadian Ikutan Paska Iminusasi). Dan KIPI ini tentu harus dilaporkan dan disampaikan secara reguler pada publik juga. Termasuk kita ini sudah melakukan 2 vaksinasi dengan Sinovac ini beberapa waktu, bulan. Nah, ini tentu ada perkembangan, ada data yang bisa disampaikan kepada publik. Apapun data itu untuk melihat. Melihat apa? Karena ini untuk melihat efektivitas pada dunia nyata ini akan bisa terlihat, sehingga data ini juga memeperlihatkan bahwa pemerintah melakukan pemantauan ini, termasuk bukan hanya KIPI-nya tetapi juga efektivitas vaksin ini di lapangan. Dan kasus-kasus seperti itu sebagaimana yang terjadi di Indonesia maupun luar negeri, sama saja, harus diverifikasi, harus dijelaskan apakah ini berkaitan dengan vaksinasinya atau tidak. Dan ini harus tentu dengan penjelasan yang ilmiah, mengklirkan, membantu menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi dengan kasus-kasus tersebut. Fakta, kematian pasca vaksinasi AstraZeneca di beberapa negara Eropa karena terjadi pembekuan darah. Komentar Anda? Kasus kematian yang diduga dikaitkan dengan Astrazeneca di Eropa ini sudah terbukti tidak terkait. Dan memang ini dari awal saya sudah sampaikan bahwa harus sangat komprehensif ketika melihat peristiwa yang terjadi, dan diduga dikaitkan dengan vaksin. Karena, pertama harus dilihat data pada uji vaksin tersebut, ada tidak efek samping dimaksud. Bila tidak ada, sangat amat kecil kemungkinan terjadi itu. Ada, tetapi amat sangat kecil. Dan, untuk AstraZeneca di fase-3 atau hanpir semua faksin Covid-19 ini tidak ada ditemukan efek samping dalam bentuk kejadian trombosis. Kedua, untuk memperkuat fakta ini apakah ada kaitan atau tidak juga harus melihat apa yang disebut dengan background rate. Backround rate ini jadi dilihat bagaimana angka kejadian penyakit atau kasus tersebut sebelum program vaksinasi Covid-19. Bisa dijelaskan maksudnya? Misalnya, trombosis ini sebelum vaksinasi secara global itu sudah sangat dimaklumi di dunia kedokteran bahwa ini sangat sering terjadi. Satu diantara 1000 orang itu mengalami kasus ini, trombosis. Kemudian satu dari 4 kematian di dunia, itu dikaitkan dengan trombosis. Ini yang dimaksud dengan background rate itu. Sehingga saat misalnya terjadi kasus seperti ini pada orang yang sudah divaksinasi, pertama selain juga dilihat bahwa itu tidak ada kaitannya dengan fase ketiga dan kedua, background rate, dan tentu juga dilihat kasus per kasus. Dan semakin jelas juga, bahwa kasus ini banyak terjadi pada wanita yang usia di bawah 55 tahun, sesuatu yang tidak lazim juga kalau dikaitkan dengan hal trombosis semu. Menjadi paradoks tersebut adalah ditemukannya penurunan trombosit di saat terjadinya ini, pembekuan darah, sesuatu yang agak kontradiktif. Karena trombosit menurun itu berkaitan dengan pendarahan seperti pada penyakit Demam Berdarah. Tapi dalam kasus ini terjadi penggumpalan darah, dan ini tentu harus dicari tahu dulu diduga apakah ada kaitannya dengan genetik atau reaksi imun, dan lain sebagainya. Ini yang harus digali dulu. Yang jelas pada vaksin itu sangat kecil kemungkinan. Dan Indonesia harusnya juga punya sikap yang sama. Kehati-hatian iya, namun tentu tidak bisa kita gampang mengikuti dengan apa yang dilakukan negara lain, lantas kita serta merta ikut melakukan, karena dalam situasi seperti ini kita harus berpedoman pada sains. Dan, saya kira sekarang harus segera Indonesia melakukan pemberian vaksinasi ini, termasuk AstraZeneca. Namun hal-hal lain terkait dengan AstraZeneca ini adalah dari segi komunikasi resikonya yang tidak sebaik Sinovac. Terutama sinergi yang belum memadai antara BPOM, Kemenkes, dan MUI tadi. Sehingga, masalah fatwa haram ini menjadi keluar tidak di awal. Sehingga ini tentu akan berpengaruh. Tentu ini yang harus diperbaiki untuk vaksinasi selanjutnya. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Epidemiolog Dicky Budiman: “Virus Dormant Itu Teknologi Kuno! (2)”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Di Hongkong terjadi kasus Bell’s palsy (paralisa wajah) yang bisa dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Komentar Anda? Kembali melihat semacam KIPI ini seperti yang saya sampaikan. Jadi, lihat background rate dari kasus Bell's palsy ini. Kalau bicara Bell's palsy ini belum ada penyebab pastinya. Nah, kaitan antara Bell's palsy ini dengan vaksin insidensi atau tingkat insidensi dari Bell's palsy ini antara penerima vaksin Covid-19 kurang lebih sama dengan insidensi pada populasi ini. Artinya, tidak bisa selalu dikaitkan. Karena tidak cukup kuat. Ini sama saja antara penerima vaksin dengan tidak. Jadi, bahwa vaksin ini dikaitkan dengan Bell's palsy tidak kuat. Tidak kuat alibi maupun argumentasi ilmiahnya. Dan, kalau bicara dormant atau virus yang dianggap mati kemudian hidup kembali, ini kalau dalam kaitan vaksin, itu tidak terjadi. Tidak pernah terjadi. Yang terjadi sebaliknya. Pada tahun 1960-an itu yang disebut dengan culture tragedy, itu vaksin folio yang memang dilemahkan, tapi ketika itu teknologi vaksin itu masih kuno. Masih belum memiliki standar keamanan seperti sekarang ini, sehingga vaksin-vaksin yang diberikan pada saat itu di Amerika Serikat, ternyata masih ada virus folio yang masih hidup sehingga malah menyebabkan penyakit kelumpuhan, dan bahkan, kematian. Apa yang kemudian dilakukan saat itu? Nah, sejak saat itu riset vaksin ini luar biasa. Bukan hanya sifatnya standar aman, tapi juga ekstraordinari keamanannya. Kebetulan saya pernah ada di Sekretariat Organisasi Kerjasama Islam di Jeddah dan juga yang berbasis di Ankara di Komite Kesehatannya selama beberapa tahun, sehingga terkait vaksinasi folio dan lain sebagainya, saya juga terlibat. Dan, saya salah satu yang membuat perencanaannya di negara Islam. Saat itu pun sudah kita sampaikan bahwa isu vaksin yang dilemahkan itu tidak tepat. Yang terjadi, yang disebut dengan dormant itu adalah ketika seseorang sudah terinfeksi, katakan misalnya Ebola, sekalipun setelah 4-5 tahun pun ternyata si virus ini bisa hidup lagi. Si virus ini ternyata ada yang sembunyi, dormant. Itu yang terjadi. Bagaimana dengan vaksin Covid-19? Saya gak tahu untuk yang Covid-19 ini, apakah ada yang sama ketika seseorang ada yang terinfeksi sebagaimana cacar. Nah, ini yang perlu penelitian lagi. Tapi kalau dari vaksin ini terus ada yang dormant, dari standar yang ada saat ini, sangat amat kecil. Bahwa ada orang yang terpapar setelah divaksin itu bukan dari vaksinnya. Jadi, pemahaman virus dormant atau yang dianggap mati kemudian hidup lagi itu bukan dalam vaksinnya. Tapi itu lebih misalnya orang yang disebut terinfeksi itu ada yang terinfeksi ulang atau seperti kasus Ebola itu aktif lagi, sekali lagi, kasus dalam vaksin apapun pada dekade tahun 2000-an ke sini tidak memiliki peluang seperti itu lagi karena teknologi vaksin yang sudah jauh sangat baik dibanding di era tahun 1960-an, sehingga apa yang menyebabkan orang itu terinfeksi setelah divaksin itu karena sudah tidak melakukan upaya 5T sebelum, selama, dan bahkan sesudah divaksin. Karena vaksinasi, apapun jenis vaksinnya, itu akan membutuhkan waktu setidaknya saat pertama itu 12 hari, setelah suntikan dia mulai ada respons imunitas, antibodinya mulai dibangun, itu belum optimal. Apalagi kalau Sinovac itu kan perlu 2 kali suntikan. Masih harus menunggu, sampai suntikan ke-2 baru dua mingguan. Ini yang menyebabkan kenapa terjadinya orang yang terinfeksi. Saran Anda? Jadi, ini yang saya kira harus diluruskan. Bahwa, virus dormant itu tidak tepat diterapkan teorinya pada vaksinasi dengan menggunakan virus yang dilemahkan atau dimatikan untuk saat ini. Teori itu bisa berlaku dulu saat teknologinya belum semaju seperti sekarang ini. Itu kan teknologi era 1960-an hingga 1970-an itu masih bisa, Tapi saat ini teknologi itu tak tepat, sebagaimana kalau kita bicara dalam bidang kedokteran. Saya sebagai dokter, kalau jaman dulu orang dioperasi itu banyak yang meninggal, karena penanganan atau manajemen infeksinya saat itu masih buruk. Antibiotiknya dan lain sebagainya itu belum ada. Sekarang orang dioperasi ya bisa, demam pun tidak. Karena teknologinya sudah sangat maju. Nah ini yang terjadi juga dalam perbaikan kualitas riset vaksin. Terakhir komentar saya, sangat penting bagi Indonesia dalam hal ini pemerintah (Kemenkes), memang betul, penelitian vaksin ini belum selesai. Kan nanti akan dilihat nanti pada relawan, Apakah betul respon imunitas atau antibodi yang terbentuk itu bertahan satu tahun atau tidak, jadi diperpanjang ini. Juga ini dilihat efektivitas nyatanya di dunia nyata seperti apa, termasuk juga masalah KIPI ini yang harus terus dipantau dan dilaporkan, ini penting sekali untuk menjelaskan secara ilmiah, sekali lagi, apa yang terjadi pada kasus-kasus, termasuk yang seperti tadi. Ini terinfeksi, padahal sudah divaksin. Jadi, harus dikronologiskan dengan detail seperti apa. Karena hal ini penting sekali. Bukan hanya menjelaskan oh ini bukan, tapi juga memberikan penjelasan ilmiah, termasuk ini pelajaran penting untuk program vaksinasi ke depan. (Selesai) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

"Natural Herd Immunity" Bakal Kendalikan Virus Corona!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Berdasarkan riset Bloomberg, Indonesia diperkirakan akan menghabiskan waktu 10 tahun, bahkan lebih, untuk mengatasi pandemi Covid-19. Perkiraan itu dikeluarkan Bloomberg Vaccine Tracker berdasarkan vaksinasi yang mampu dilakukan Indonesia per harinya. Berdasarkan data Bloomberg Vaccine Tracker yang dikutip Strait Times, Sabtu (6/2/2021), perkiraan kemampuan vaksinasi yang dapat dilakukan Indonesi per harinya, yakni 60.443 dosis. Hal itu dengan asumsi yang terinfeksi Covid-19 sebesar 1.134.854 orang, dan dengan angka kematian 31.202 orang. Dengan asumsi seperti tersebut, maka waktu vaksinasi yang dapat diselesaikan Indonesia adalah lebih dari 10 tahun. Sama dengan Indonesia, terdapat negara lain yang diasumsikan bisa menyelesaikan waktu vaksinasi dengan minimal waktu 10 tahun. Yakni, India dengan asumsi vaksinasi 299.082 dosis per hari dan Rusia dengan asumsi vaksinasi 40.000 dosis per hari. Negara lainnya yang diasumsikan dapat menyelesaikan pandemi Covid-19 dengan waktu vaksinasi yang jauh lebih cepat adalah Israel (2 bulan) dengan asumsi vaksinasi 135.778 dosis per hari; Uni Emirat Arab (2 bulan) dengan asumsi vaksinasi 140.103 dosis per hari, Inggris (6 bulan) 438.421 dosis per hari, dan Amerika Serikat (11 bulan) dengan asumsi vaksinasi 1.339.525 dosis per hari. Sementara negara lainnya, Perancis (3,8 tahun) dengan asumsi vaksinasi 68.066 dosis per hari, Brazil (3,9 tahun) dengan asumsi 218.694 dosis per hari, dan China dengan asumsi 1.025.000 dosis per hari. Sehingga secara global, dunia butuh 7 tahun untuk menyelesaikan pandemi Covid-19 dengan rata-rata vaksinasi 4.540.345 dosis per hari. Sejauh ini belum ada tanggapan dari pemerintah mengenai hasil riset Bloomberg itu. Presiden Joko Widodo dalam beberapa kali kesempatan menyampaikan target menyelesaikan vaksinasi dalam waktu 1 tahun. Target ini berdasarkan perhitungan yang telah dilakukannya. Menurutnya, Indonesia memiliki 30.000 vaksinator di 10.000 Puskesmas dan 3.000 Rumah Sskit. Paling tidak satu juta orang bisa divaksin dalam satu hari. “Ini kenapa, seperti yang sudah saya bilang, tidak sampai setahun vaksinasi ini sudah bisa kita selesaikan. Karena angka-angkanya saya hitung, kita bisa,” kata Jokowi, secara virtual, Kamis (21/1/2021). Selain, Presiden Jokowi pun sedang mempertimbangkan adanya vaksinasi Covid-19 secara mandiri. Alasannya, “Karena kita perlu mempercepat, perlu sebanyak-banyaknya. Apalagi biayanya ditanggung oleh perusahaan sendiri. Kenapa tidak.” Sementara Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan vaksinasi Covid-19 akan selesai dalam jangka waktu 15 bulan. Ini pun tergantung pada pasokan vaksin yang dipesan pemerintah. Saat ini pemerintah telah memiliki kontrak pembelian sekitar 270 juta dari kebutuhan sebesar 426 juta dosis vaksin Covid-19. Jika kontrak dengan Pfizer-BioNtech bisa difinalisasi, maka akan terdapat tambahan sekitar 329 juta dosis. Pemerintah juga sedang mengupayakan vaksin gratis dari Covax/Gavi, suatu wadah kerja sama multilateral untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Jika tidak dapat gratis, Indonesia akan membeli vaksin Covax/Gavi sebanyak 54 juta, dan terdapat opsi 108 juta dosis vaksin. “Sehingga total yang kontrak dan juga opsi adalah 666 juta,” kata Budi Gunadi. Dr. Tifauzia Tyassuma, MSc, Medical Scientist, Pakar dan Praktisi Nutrisi, mengatakan, “Bloomberg salah! Pandemi Coronavirus Indonesia akan selesai dalam 3 tahun. Bukan 10 tahun!” Begini menghitungnya. Natural Herd Immunity, sebut saja NHI, adalah HI yang disebabkan oleh terinfeksinya manusia oleh virus secara alamiah. Akan menghasilkan Antibodi yang lahir secara alamiah ditambah dengan bonus terbentuknya Memory cell. Artificial Herd Immunity (AHI), adalah HI yang dibentuk karena terinfeksinya manusia oleh virus melalui jarum suntik Vaksinasi. Akan menghasilkan Antibodi yang lahir secara buatan, ditambah dengan bonus risiko KIPVI (Kejadian Ikutan Pasca Vaksinasi). Pada tahun 2021 di Indonesia sudah terbentuk NHI sebesar 15% (berdasarkan perhitungan modelling prediction atas jumlah kasus dengan cakupan Testing 4%, artinya sebenarnya di beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DI Jogjakarta, Kalbar, dan Sulsel, NHI antara 15-30%, sementara data ini abaikan dulu. Pegang 15%). Maka sampai dengan pada akhir tahun 2021, NHI akan menyumbang 15% lagi sehingga total 30% NHI. Itu artinya akan ada 81.000.000 juta penduduk yang sudah kebal, sudah memiliki antibodi, dan tidak perlu divaksin lagi. Pada akhir tahun 2022, akan ada NHI lagi sekitar 15% lagi, maka total akan ada 121.500.000 penduduk yang sudah kebal, sudah memiliki antibodi, dan tidak perlu divaksin lagi. Nah. Selama Januari 2021 hingga akhir Desember 2022, dengan kecepatan rata-rata faktual, kemampuan Kemenkes RI memberikan Vaksinasi sebesar 64,187 dosis per hari, maka akan ada 46.856.500 penduduk yang berhasil divaksinasi. Sehingga, total pada akhir Desember 2022, akan ada NHI 121.500.000 + AHI 46.856.500 = 168.356.500. Artinya akan ada 63% Herd Immunity. Masuk range jumlah HI yang diperlukan untuk mengendalikan Virus sebesar 40-70%. Jadi, “Bloomberg yang memprediksi Indonesia akan terjadi HI selama 10 tahun itu salah!” ujar Dokter Tifauzia. Bloomberg tidak memperhitungkan NHI, Natural Herd Immunity. Padahal NHI itulah sumber kekuatan yang terbukti selama 200 tahun, sejak manusia mulai mengenal Vaksinasi, yang mampu mengendalikan, bahkan mengeradikasi Virus dan kuman Patogen, sehingga takluk dan relatively lenyap. Contoh sebenarnya sudah di depan mata. SARS pada 2002-2004 siapa yang mengendalikan? NHI. Flu Burung H1N1 pada 2004-2007 siapa yang mengendalikan? NHI. MERS pada 2011-2013 siapa yang mengendalikan? NHI. Flu Spanyol pada 1918-1921 siapa yang mengendalikan? NHI. Zika pada 2014 siapa yang mengendalikan? NHI. Ebola pada 2016-2017 siapa yang mengendalikan? NHI. Virus Sapi Gila alias Mad cow siapa? NHI. Virus Swine Flu alias Flu Babi H5N1 siapa? NHI. Sehingga, total pada akhir Desember 2022, akan ada NHI 121.500.000 + AHI 46.856.500 = 168.356.500. Artinya akan ada 63% Herd Immunity. Masuk range jumlah HI yang diperlukan untuk mengendalikan Virus sebesar 40-70%. Jika menyimak uraian dari Dokter Tifauzia di atas, antara NHI dengan AHI, angkanya hingga Desember 2022 lebih banyak NHI (121.500.000) daripada AHI (46.856.500). Bahan Vaksin Sejak awal dan sampai sekarang ini, di kalangan ahli virus atau bakteri ada yang berpendapat, di bahan vaksin itu, ada satu bahan yang berfungsi sebagai katalisator/stabilizer. Katalisator atau stabilizernya itu bisa: mengandung bakteri X atau enzim/protein dari bakteri X itu. Keduanya, mampu merusak sistem membran semipermeabilitas sel atau membran selektif permeabel sel. Sementara bahan-bahan vaksin itu terdiri dari virus/bakteri/antigen, pengawet (thimerosal?), bahan adjuvant, dan sebagainya. Setelah sistem membran permeabilitas atau membran selektif permeabel sel itu dirusak oleh protein stabilizer ini, maka kandungan zat-zat adjuvant maupun pengawet itu bisa tersebar ke mana-mana, ke seluruh darah, bahkan ke seluruh sel. Sehingga akan terbentuk kelainan-kelainan ikutannya. Dari sudut pandang ini bisa dipahami pula, kalau vaksin itu diduga berpotensi bisa menyebabkan KIPI dengan berbagai bentuknya, antara lain: autis, hedrocefalus, down syndrome, hiperaktif, crohns disease, dan sebagainya. Sayangnya, kasus-kasus kematian dokter dan nakes lainnya yang terjadi di Indonesia paska vaksinasi Covid-19, selalu dijawab dengan dalih “bukan KIPI”. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id