KESEHATAN

Banyak KIPI Akibat Vaksin Sinovac, Pemerintah Masih Berkilah

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ada pernyataan menarik dan mungkin ironis sekali dengan “fakta” di lapangan terkait dengan angka kematian tenaga kesehatan atau nakes dari Presiden Joko Widodo akibat COVID-19 yang menurun berkat adanya penggencaran vaksin. “Dari angka-angka yang kita lihat di Jawa Tengah kemarin yang sudah disuntik vaksin, itu kelihatan sekali drop-nya angka kematian untuk nakes, drop sekali,” ujarnya dalam akun YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu (20/2/2021). Menurut Presiden, pada vaksinasi tahap 1 yang sudah berlangsung sejak Rabu, 13 Januari 2021, penerima hanyalah nakes. Pasalnya, kelompok inilah yang memiliki risiko tertular paling tinggi dari interaksi langsung dengan pasien Covid-19. Pemilihan kelompok penerima vaksin ini bukan dilakukan sembarangan. Pada tahap pertama, vaksin (itu) diberikan pada orang-orang dengan mobilitas dan interaksi yang tinggi. Dengan harapan, kekebalan imunitas kelompok bisa dimulai dari kelompok masyarakat ini. “Pendekatan kita adalah herd immunity, (yaitu) pendekatan klaster kelompok-kelompok yang memiliki mobilitas tinggi dan interaksi tinggi. Bukan karena yang lain tidak penting, tapi kita ingin dapatkan kekebalan komunal yang maksimal,” tambah Presiden Jokowi. Benarkah pernyataan Presiden Jokowi tersebut? Coba kita lihat bersama faktanya! Vaksinasi tahap 1 dimulai pada Rabu, 13 Januari 2021, diawali oleh Jokowi bersama beberapa pejabat lainnya yang disaksikan oleh rakyat melalui televisi. Esoknya, Kamis, 14 Januari 2021, barulah giliran para nakes di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk salah satu diantaranya di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Dokter JF ikut dalam tahap 1 tersebut. Jum’at pagi (15/1/2021), dokter berusia 48 tahun itu ditemukan meninggal di pelataran parkir sebuah mini market. Prof. Yuwono menyebut, korban meninggal di dalam mobil. Korban tak punya comorbid dan tidak memiliki riwayat dirawat di rumah sakit. Dokter forensik RS M. Hasan Bhayangkara Palembang Indra Nasution mengatakan, tim forensik menemukan bintik pendarahan yang disebabkan kekurangan oksigen di daerah mata, wajah, tangan, dan dada. Temuan itu menyimpulkan dugaan penyebab kematiannya. “Diduga meninggal karena sakit jantung,” ungkap Indra. “Benar berdasarkan laporan yang bersangkutan baru saja divaksin, namun vaksin tidak ada hubungan dengan penyebab kematian,” tegasnya. Kasi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular, Dinas Kesehatan Kota Palembang, Yudhi Setiawan mengatakan, penyebab Dokter JF meninggal dunia bukan karena vaksin Covid-19, melainkan kekurangan oksigen. Menurut akademisi dan peneliti dari Lembaga Ahlina Institute dr. Tifauzia Tyassuma, kasus serupa bakal mewarnai 2021. “Kejadian seperti ini akan mewarnai hari-hari di tahun 2021. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) akan dicatat dan dilaporkan,” katanya. “Penerima vaksin yang menjadi korban ini akan dicatat dan dilaporkan, dan yang meninggal akan dikubur,” lanjutnya. Pemerintah nantinya akan sibuk mengklarifikasi demi meyakinkan masyarakat bahwa penyebab kematian itu bukan karena vaksin Covid-19. Dan, klarifikasi dari Pemerintah dan para ProVaks hardcore akan bilang bahwa korban (itu) meninggal bukan karena vaksinasi, tetapi karena jantung berhenti berdetak, paru tak mampu mengambil nafas, dan batang otak berhenti bekerja. “Pasti bukan karena Vaksin. Apalagi Vaksin China yang jelas-jelas sangat aman,” sindirnya. Yang membuat Dokter Tifa gusar sejak awal, mengapa para nakes itu diberi jatah Sinovac? Padahal apa susahnya memesan 3 juta botol dari merk lain dengan kualitas lebih bagus. Vaksin Virus Corona Covid-19 kembali “makan korban”. Kali ini yang menjadi korban DR. Eha Soemantri SKM, MKes, Bendahara Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat (Persakmi) Sulawesi Selatan. Eha meninggal di ICU RS Wahidin Sudiro Husodo, Makassar. Setelah shalat subuh. Kabar beredar, sebelumnya Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Eha sendiri sebelumnya sudah divaksin. Namanya masuk dalam penerima vaksin pertama di Sulsel. Bersama beberapa pejabat Pemprov Sulsel dan Forkopimda di Sulsel. Pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoni terkait vaksinasi, setelah divaksin beberapa waktu lalu. Eha mengimbau masyarakat untuk tidak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntikan vaksin pada tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut. “Alhamdulillah, setelah divaksin saya tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, mari kita mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus Covid-19,” ujarnya. Tapi, pada Jumat (19/2/2021) pagi, Eha dinyatakan meninggal dunia di RS Wahidin Sudiro Husodo, Kota Makassar. Yang dialami Eha sudah seharusnya dilakukan investigasi karena peristiwa tersebut termasuk dalam kategori KIPI Serius. Sebelumnya, KIPI Serius lainnya dialami nakes RSUD Ngudi Waluyo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Erny Kusuma Sukma Dewi (33), yang meninggal setelah disuntik vaksin Covid-19, pada Minggu, 14 Februari 2021. Nakes Erny menjalani vaksinasi tahap pertama pada Kamis, 28 Januari lalu. Sebelum disuntik vaksin Sinovac, ia juga menjalani screening seperti yang lain. Erny yang sehari-hari bekerja di ruang isolasi pasien positif RSUD Ngudi Waluyo, dinyatakan sehat. Yang bersangkutan tidak memiliki penyakit penyerta. Suhu tubuh juga normal. “Dia lolos screening,” kata Direktur RSUD Ngudi Waluyo, Endah Woro Utami, Minggu (21/2/2021). Sembilan hari setelah vaksinasi (tahap pertama), Erny tiba-tiba mengalami gejala sakit. Tubuhnya panas. Juga, muncul sesak yang itu membuat yang bersangkutan langsung dilarikan ke rumah sakit. “Saat di swab ternyata positif (Covid-19),” ungkap Woro, seperti dilansir iNews.id, Minggu (21/2/2021). Kabar terbaru, drg. Bernadi Into. Sp.Prost, meninggal dunia Senin, 22 Februari 2021 karena Covid-19. Padahal pada Rabu, 27 Januari 2021 CEO PT Mustika Keluarga Sejahtera, pemilik RS Mustika Medika, Bekasi, posting foto di medsosnya sedang divaksin. Kematian Tertinggi Kematian petugas medis dan kesehatan (nakes) di Indonesia bertambah dan disebut menjadi yang tertinggi di Asia dan nomor tiga terbesar di seluruh dunia. Menurut Dr Adib Khumaidi SpOT dari Tim Mitigasi IDI, ini berdasarkan perbandingan statistik testing dan populasi. Tim Mitigasi IDI mengumumkan pembaruan data tenaga medis yang wafat akibat Covid-19 sepanjang pandemi di Indonesia berlangsung mulai Maret 2020 hingga pertengahan Januari 2021, telah mencapai total 647 orang. Data ini dirangkum oleh Tim Mitigasi IDI dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesidia (Patelki), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Adapun dari total 647 nakes yang wafat akibat terinfeksi Covid-19 ini terdiri dari 289 dokter (16 guru besar), 27 dokter gigi (3 guru besar), 221 perawat, 84 bidan, 11 apoteker, 15 tenaga laboratorium medik. Sementara itu, dokter yang wafat tersebut terdiri dari 161 dokter umum (4 guru besar), dan 123 dokter spesialis (12 guru besar), serta 5 residen. Di mana keseluruhannya berasal dari 26 IDI wilayah provinsi dan 116 IDI cabang kota/kabupaten. Berdasarkan data provinsi: Jawa Timur: 56 dokter, 6 dokter gigi, 89 perawat, 4 tenaga laboratorium (lab) medik, 33 bidan; DKI Jakarta: 43 dokter, 10 dokter gigi, 25 perawat, 2 apoteker, 3 tenaga lab medik, 7 bidan; Jawa Tengah: 41 dokter, 2 dokter gigi, 27 perawat, 3 tenaga lab medik, 2 bidan; Jawa Barat: 33 dokter, 4 dokter gigi, 27 perawat, 6 apoteker, 1 tenaga lab medik, 13 bidan Sumatra Utara: 26 dokter, 1 dokter gigi, 3 perawat, 9 bidan; Sulawesi Selatan: 18 dokter, 7 perawat, 4 bidan Banten : 12 dokter, 2 perawat, 4 bidan; Bali: 6 dokter, 1 perawat, 1 tenaga lab medik; DI Aceh: 6 dokter, 2 perawat, 1 tenaga lab medik, 1 bidan; Kalimantan Timur: 6 dokter dan 4 perawat; DI Jogjakarta: 6 dokter, 2 perawat, 3 bidan; Riau: 6 dokter, 2 perawat, 1 bidan; Kalimantan Selatan: 5 dokter, 1 dokter gigi, dan 6 perawat; Sulawesi Utara: 5 dokter, 1 perawat, 1 bidan; Sumatra Selatan: 4 dokter, 1 dokter gigi, 5 perawat; Kepulauan Riau: 3 dokter dan 2 perawat, Nusa Tenggara Barat: 2 dokter, 1 perawat, 1 tenaga lab medik, 1 bidan; Bengkulu: 2 dokter, 2 bidan; Sumatra Barat: 1 dokter, 1 dokter gigi, dan 2 perawat Kalimantan Tengah: 1 dokter, 2 perawat, 1 apoteker, 2 bidan; Lampung: 1 dokter dan 2 perawat Maluku Utara : 1 dokter dan 1 perawat Sulawesi Tenggara: 1 dokter, 2 dokter gigi, 1 perawat; Sulawesi Tengah: 1 dokter, 1 perawat; Papua Barat: 1 dokter Bangka Belitung: 1 dokter; Papua: 2 perawat, 1 bidan; Nusa Tenggara Timur: 1 perawat; Kalimantan Barat: 1 perawat, 1 apoteker, 1 tenaga lab medik; Jambi: 1 apoteker; DPLN (Daerah Penugasan Luar Negeri) Kuwait 2 perawat, 1 dokter masih dalam konfirmasi verifikasi. Tingginya kematian nakes ini merupakan salah satu dampak dari akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi belakangan ini. “Meski angka positif Covid-19 sudah lebih dari satu juta, namun Indonesia belum memasuki puncak pandemi,” kata Adib. Kembali ke pernyataan Presiden Jokowi di atas, jadi di mana letak terjadinya penurunan angka kematian nakes? Faktanya: vaksinasi dimulai Kamis, 14 Januari 2021. Jum’at (15/1/2021), dr. JF meninggal di Palembang. Minggu (14/2/ 2021) Erny Kusuma Sukma Dewi meninggal di Wlingi. Jum’at (19/2/2021), DR. Eha Soemantri SKM, MKes juga meninggal di Makassar. Senin, 22 Februari 2021, drg. Bernadi Into. Sp.Prost. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Dana Covid Pemerintah Mulai Sesak Nafas?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020, yang namanya sangat panjang, dan susah dihafal itu sudah memberi keleluasaan penggunaan dana Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) untuk penanganan pandemi Covid 19. Saking leluasanya, maka Pasal 27 memberikan an membebaskan para pembuat kebijakan keuangan yang terkait Covid-19 dari tuntutan hukum. Dampak positifnya adalah kebijakan keuangan yang terkait penanggulangan pandemi menjadi prioritas. Sedangkan negatifnya bisa terjadi pemborosan, kebocoran, dan pengelolaan yang tidak becus. Anggaran sangat mudah untuk dibesar-besarkan dari yang sebenarnya. Mark up anggaran bisa terjadi dengan sangat gampang, seperti yang terjadi pada Bantuan Sosial (Bansos) yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan anak Pak Lurah. Indonesia menurut Laporan Bank Dunia termasuk 10 negara berpendapatan kecil menengah, dengan jumlah hutang Luar Negeri (LN) yang besar. Sampai akhir Desember 2020, besaran hutang kita telah mencapai Rp. 6.074 triliun. Sementara total hutang baru Pemerintah tahun ini akan mencapai Rp. 1.439 triliun, akibat pandemi Covid 19. Pemerintah sendiri mulai berjanji dan teriak untuk waspada. Hutang yang tidak terkelola dengan baik akan menjadi back fire. Tragisnya lagu, hutang dikorupsi oleh orang-orang yang berlindung di sekeliling istana. Padahal pandemi Covid-19 yang menjadi alasan keleluasaan penggunaan dan peningkatan hutang kini sudah terasa menjadi back fire. Alokasi dana penanganan Covid 19, juga mulai tersendat. Jumlah pasien Covid yang semakin terus meningkat, dan mencapai angka di atas satu juta orang, dengan tingkat keterisian Rumah Sakit akumulatif 70%, telah melampaui angka batas aman yang ditetapkan oleh WHO, yaitu maksimal 60%. Menurut Asosiasi Rumah Sakit (ARSSI) pemerintah mulai tidak mampu membayar klaim biaya pasien yang ditaksir sebesar Rp. 1 triliun lebih. Ketidakmampuan pemerintah untuk membayar Rumah Sakit untuk tiga bulan Oktober, November, dan Desember 2020 cukup menggelisahkan banyak Rumah Sakit. Karena hal ini tentu mempengaruhi cash flow Rumah Sakit tersebut. Jumlah tersebut, belum termasuk Januari dan Februari 2021 nanti. Angla Rp. 1 triliun klaim tersebut tentu bertambah dengan tagihan bulan sebelumnya akibat adanya dispute. Sebagaimana dahulu BPJS yang juga bermasalah dalam pencairan pembayaran kepada Rumah Sakit, kini klaim pembayaran penanganan pasien Covid-19 pun mulai bermasalah. Dana Covid-19 di pemerintah mulai sesak nafas. Pemerintah harus membayar tanggungan triliunan rupiah untuk sebuah Rumah Sakit. Sementara dana pemerintah mulai megap-megap. Sebagai contoh, Rumah Sakit yang hanya mernyediakan 30 bed (tempat tidur) untuk pasien Covid-19, pemerintah telah menunggak untuk tiga bulan sebesar Rp. 10 miliar. Dapat dibayangkan untuk Rumah Sakit yang menyediakan bed jauh daripada itu. Tentu saja tunggakan pemerintah kepada Rumah Sakit jauh lebih besar lagi dari yang hanya 30 bed. Jika janji untuk waspada tak terealisasi, dan pemerintah abai terhadap penyelesaian tunggakan kepada Rumah Sakit, maka bukan saja berpengaruhi terhadap pelayanan pasien Covid 19. Tetapi juga akan dapat mengganggu keadaan Rumah Sakit itu sendiri. Bukan hal yang mustahil beberapa Rumah Sakit swasta dapat ambruk akibat Covid-19 ini. Pemerintah harus serius memperhatikan keadaan ini. Semoga saja dalam kaitan penanganan pandemi Covid 19, pemerintah tidak sedang berada di ruang ICU dan isolasi. Sehingga butuh ventilator untuk menstabilkan pernafasannya. Nafas yang semakin sesak dan tersendat. Wajar saja, kalau pemerintah berharap bisa mendapatkan dana wakaf dari Umat Islam. Namun sayangnya, Umat Islam keburu sudah tidak percaya dengan pemerintah. Sikap Umat Islam yang tidak mau percaya, karena pemerintah selalu berubah-ubah. Pagi bisa menjadi tempe, dan sore berubah menjadi dele. Ditambah dengan sikap Islamphobia. Untuk itu, kiranya penting bagi pemerintah untuk untuk meningkatkan keberhasilan penanganan pandemi Covid 19, khususnya berkaitan dengan pendanaan, antara lain : Pertama, meningkatkan alokasi anggaran. Rencana anggaran sektor kesehatan yang akan dialokasikan ternyata masih terkecil, yaitu hanya Rp. 104,7 triliun, dibandingkan untuk sektor perlindungan sosial Rp. 150,96 triliun, pariwisata, ICT, ketahanan pangan Rp. 141,36 triliun, dan korporasi & Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) sebesar Rp. 156,66 triliun. Kedua, audit ketat anggaran untuk penggulangan Covid-19. Jangan sampai dana untuk menggulangi Covid-19 menjadi obyek perlombaan korupsi. Kasus korupsi dana bansos menjadi bukti tentang rawannya dana-dana atas nama kondisi darurat, sangatlah untuk disalahgunakan. Pandemi Covid-19 telah ikut membahagiakan dan memakmurkan para perampok. Ketiga, memprioritaskan pengamanan pembayaran untuk sarana kesehatan, termasuk tunggakan kepada Rumah Sakit Swasta. Tidak boleh ada tunggakan klaim pembayaran kepada Rumah Sakit, baik Swasta maupun pemerintah. Sebab hal ini berbahaya bagi layanan pasien Covid-19, termasuk untuk keberlangsungan hidup Rumah Sakit. Covid-19 tak boleh membunuh semua. Hutang yang bengkak dan kebocoran yang mengejutkan adalah sinyal lampu kuning menuju merah. Bahwa keuangan keuangan pemerintah dalam bahaya. Gambaran kemampuan pemerintah mengelola potensi dan keuangan negara, berada pada titik yang sangat rendah. Semoga Pemerintah bukan pasien yang harus segera masuk ruang IGD, dan memerlukan alat bantu pernafasan. Pemerintah jangan seperti dana Covid-19 yang mengalami sesak nafas berat. Janji Pemerintah untuk waspada jangan sampai menjadi tagihan baru rakyat yang mulai tak percaya dan bosan dengan prilaku pemerintah yang banyak janji. Namun banyak juga inkar janji, terutama janji kampanye. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Terbukti, Faktanya Vaksin Sinovac “Tidak Aman”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - VaksinVirus Corona COVID-19 kembali “makan korban”. Kali ini yang menjadi korban: DR. Eha Soemantri SKM, MKes, Bendahara Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat (Persakmi) Sulawesi Selatan. Eha meninggal di ICU RS Wahidin Sudiro Husodo, Makassar. Setelah shalat subuh. Kabar beredar, sebelumnya Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Eha sendiri sebelumnya sudah divaksin. Namanya masuk dalam penerima vaksin pertama di Sulsel. Bersama beberapa pejabat Pemprov Sulsel dan Forkopimda di Sulsel. Pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoni terkait vaksinasi, setelah divaksin beberapa waktu lalu. Eha mengimbau masyarakat untuk tidak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntik vaksin pada tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut. “Alhamdulillah, setelah divaksin saya tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, mari kita mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus covid-19,” ujarnya. “Tentunya dengan tetap mematuhi 3M. Memakai masker, menjaga jarak, dan mematuhi protokol kesehatan,” lanjutnya. Eha Soemantri adalah pengurus Persakmi Sulsel. Ibu tiga anak itu meraih gelar Doktor di Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS pada 2016. Ia dinyatakan lulus setelah mempertahankan disertasi yang berjudul Determinan Kejadian Stunting pada Anak Usia di Bawah Lima Tahun di Sulsel. Ia meneliti manusia “kate” atau manusia pendek. Mereka yang kehilangan daya tumbuh karena beberapa faktor. Termasuk kekurangan gizi. Sebelum meninggal, Eha memilih mengabdikan dirinya menjadi tenaga pengajar sekaligus menjabat sebagai Direktur Pascasarjana STIK Tamalatea Makassar. Melansir Porostimur.com, Eha menjadikan pendidikan sebagai wadah untuk memperbaiki mutu kehidupan umat manusia. Jumat (19/2/2021) pagi, Eha dinyatakan meninggal dunia di RS Wahidin Sudiro Husodo. Peristiwa yang menimpa Doktor Eha Soemantri itu sudah sepatutnya mendapatkan perhatian serius dari Kementrian Kesehatan. Pasalnya, yang dialami Eha ini termasuk Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Sesuai petunjuk WHP, salah satu bagian tugas dari setiap petugas kesehatan dan NRA/BPOM dalam program imunisasi adalah: - Mengantisipasi dan/atau mengevaluasi kemungkinan terjadinya KIPI yang terjadi pada vaksin tertentu. - Membandingkan angka KIPI sebenarnya yang dilaporkan dengan angka KIPI yang diperkirakan terjadi pada kelompok yang divaksinasi dan kelompok yang tidak di vaksinasi. - Melakukan investigasi segera apabila ada laporan KIPI serius. Tantangan yang penting adalah bagaimana sistem surveilans KIPI bisa membedakan dengan baik antara KIPI karena peristiwa koinsidens dengan KIPI yang disebabkan reaksi terhadap vaksin dan komponen-komponennya. Yang dialami Eha sudah seharusnya dilakukan investigasi karena peristiwa tersebut termasuk dalam kategori KIPI Serius. Pasalnya, Eha telah divaksinasi dua kali: Kamis, 14 Januari, dan Kamis, 28 Januari 2021. Kabarnya, Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Jangan sampai muncul anggapan, Vaksin Sinovac yang disuntikkan pada Eha ternyata “tidak aman”, meski “halal”, seperti yang telah dinyatakan oleh BPOM. Sebelumnya, beredar video 6 petugas nakes dari 5 Puskesmas di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) mengalami pusing, mual, dan muntah-muntah setelah divaksin Sinovac pada Senin, 15 Februari 2021. Dikabarkan oleh SerambiOn TV, hingga kini mereka masih mendapatkan perawatan di RSU Cut Meutia, Aceh Utara, dan RS Arun, Kota Lhokseumawe. Mereka dilarikan ke RS karena mengalami muntah, mual dan pusing mendapat vaksinasi di tempat mereka bekerja. Untuk diketahui, Aceh Utara mulai melaksanakan vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mulai Rabu (12/2/2021) yang diadakan secara serentak di 36 titik, termasuk di RSU Cut Meutia. Melansir Serambinews.com, Selasa (16/2/2021), vaksinasi tahap pertama itu ditargetkan bisa tuntas diadakan pada Senin (15/2/2021) atau selama 5 hari kerja dengan jumlah nakes 6.115 orang. Lalu, pada sorenya, Darlina (35) nakes asal Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, tiba-tiba mengalami mual dan kemudian muntah setelah divaksin. Ia dibawa ke RSU Arun Lhokseumawe untuk mendapat penanganan medis sekitar pukul 14.30 WIB. Tak lama kemudian empat nakes empat nakes lainnya, dari tiga Puskesmas juga mengalami hal yang sama. Mereka kemudian dibawa ke RSU Cut Meutia Aceh Utara sekitar pukul 17.00 WIB. Masing-masing, Melisa Anggraini (34) asal Kecamatan Samudera bertugas di Puskesmas Meurah Mulia, Murniati (40) asal Meunasah Alue Kecamatan Muara Dua Lhokseumawe yang bertugas di Puskesmas Syamtalira Bayu. Widiya Riyani (36) asal Peureumpok Kecamatan Syamtalira Aron yang bertugas di Puskesmas Syamtalira Aron dan Mutmainnah (45) asal Desa Alue Awe Kecamatan Muara Dua Lhokseumawe yang bertugas di Puskesmas Syamtalira Aron. Lalu, pada Selasa (16/2) sekira pukul 00.30 WIB, bertambah satu nakes yang dirawat di RSU Cut Meutia. Pria tersebut adalah Maulana (27) asal Desa Ulee Blang Mane Kecamatan Blang Mangat Lhokseumawe bertugas di Puskesmas Geureudong Pase, Aceh Utara. Sebelumnya, peristiwa serupa menimpa dua nakes di Musi Rawas, Sumatera Selatan. Dua nakes Puskesmas Selangit dan Puskesmas Beliti langsung mengalami kejang-kejang dan muntah usai diivaksin Sinovac. Keduanya langsung menjalani perawatan untuk diobsevasi di RSU Sobirin Musi Rawas pada Selasa (2/2/2021). Tidak Aman Perlu diketahui bahwa vaksin Sinovac itu terbuat dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”. Jika vaksinasi yang kini sedang berjalan itu tidak dihentikan sementara, hal itu sama saja dengan menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Sebab, seperti yang sering saya sampaikan, diantara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itulah pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Ingat, virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, faktanya saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian. Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) saja, tetapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus penyanyi yang meninggal beberapa bulan lalu). Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Fakta klinis tersebut ditemukan di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Covid-19 juga sudah mulai menginfeksi saluran pencernaan, sistem saraf, hingga mata. Perlu diingat, Covid-19 itu terjadi dan meledak lebih dari setahun lalu. Padahal, kalau tidak salah, fase membuat vaksin itu butuh waktu 12-18 bulan. Dari mana specimen virusnya itu diperoleh? Kabarnya, basic dari vaksin ini adalah kasus SARS-Corona 5 tahun yang lalu, bukan Covid-19 ini. Apakah efektif untuk Covid-19? Kematian dr. JF di Palembang, sehari setelah divaksin, dan Doktor Eha di Makassar, janganlah dianggap remeh. Bagaimana pula kalau sekarang ini varian baru yang telah ditemukan di Malaysia, Thailand, Philipina, yang kemampuannya 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19? Termasuk, di Inggris dan Afrika sekarang ini? Covid mampu menyerang saluran pencernaan dan saraf. Jangan bisanya mengatakan, pasca divaksin: “jika meninggal atau cacat memperoleh santunan sekian juta rupiah”. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

China Pernah Tuding Indonesia Sumber Covid-19

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Salah satu kesimpulan dari para tim peneliti WHO terkait laboratorium di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China bahwa yang sangat tidak mungkin virus itu bocor dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium dengan banyak koleksi sampel virus, menjadi bukti WHO membela China. Dalam menentukannya, tim tersebut mengatakan, kebocoran semacam itu sangat jarang dan tidak ada bukti virus itu ada di lab itu atau di lab mana pun di dunia saat pandemi dimulai. “Sangat tidak mungkin ada sesuatu yang bisa lolos dari tempat seperti itu,” ujar pemimpin tim WHO Peter Ben Embarek saat meninjau protokol keselamatan di sana. Selama 4 pekan di China, tim WHO belum menemukan sumber Virus Corona COVID-19. WHO tampaknya berusaha "menyelamatkan" China sebagai sumber.Covid-19, dan mencoba mencari dan mengalihkan tuduhan ke negara Asia Tenggara. Siapa.lagi.kalau bukan Indonesia? Jejak digital mencatatnya. Melansir Liputan6.com, (17 Apr 2020, 16:51 WIB), kabar tentang China yang menuding Indonesia sebagai sumber virus corona COVID-19 beredar di media sosial. Kabar ini disebarkan akun Instagram @shitpost.penambahan.iq pada 22 Maret 2020. Akun Instagram @shitpost.penambahan.iq mengunggah gambar tangkapan layar pemberitaan berjudul "China Menuding Indonesia Sebagai Sumber Virus Corona". Akun Instagram @shitpost.penambahan.iq menambahkan narasi dalam konten yang diunggahnya. "Inilah cerita jutaan orang yang bukan main," tulis akun Instagram @shitpost.penambahan.iq. Konten yang diunggah akun Instagram @shitpost.penambahan.iq telah 2.880 kali disukai dan mendapat beragam komentar dari warganet. Kabar tentang China yang menuding Indonesia sebagai sumber virus corona COVID-19. Penelusuran dilakukan menggunakan situs pencari Google Search dengan memasukkan kata kunci "china menuding indonesia sebagai sumber virus corona". Hasilnya terdapat artikel yang membantah klaim tersebut. Satu di antaranya artikel berjudul "[Fakta atau Hoaks] Benarkah Pemerintah Cina Tuduh Indonesia yang Sebarkan Virus Corona Covid-19?" yang ditayangkan situs tempo.co pada 26 Maret 2020. Narasi bahwa pemerintah China menuduh Indonesia sebagai penyebar virus Corona Covid-19 beredar di media sosial. Narasi itu berasal dari artikel di situs Kabarberita.site yang berjudul "Virus Corona Bersumber dari China, Kini Pemerintah Tiangkok Tuduh Indonesia Sebarkan Virus Covid-19". Salah satu akun di Facebook yang menyebarkan artikel itu adalah akun Ijin Share Ya, yakni pada 23 Maret 2020. Hingga berita ini dimuat, artikel tersebut telah mendapatkan respons lebih dari 250 kali dan dikomentari 141 kali. Adapun artikel itu berisi pernyataan dari pemerintah wilayah Shaanxi, Cihna, soal penyebaran kasus baru yang ditimbulkan oleh wabah virus Corona Covid-19. Mereka menuding bahwa wabah virus Corona Covid-19 merupakan "kasus impor", salah satunya dari Indonesia. Menurut artikel itu, China yang menjadi sumber virus Corona berangsur pulih. Sudah tidak ditemukan pula pasien baru Covid-19. Namun, salah satu warganya kini kembali terinfeksi virus Corona. Cbina pun menuduh bahwa virus Corona tersebut berasal dari Indonesia. Hal ini, menurut artikel itu, berawal pada 10 Maret 2020, ketika warga China yang bernama Zhang Moumou, 35 tahun, mengalami gejala batuk dan demam. Kemudian, pada 13 Maret malam, dia mengambil penerbangan dari Indonesia, melalui Hong Kong, ke China. Sesampainya di bandara, dia memberi tahu staf bandara bahwa dia tidak sehat. Setelah suhu tubuhnya diukur, Zhang dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Xian, Shaanxi, untuk menjalani isolasi dan perawatan. Zhang pun inyatakan positif mengidap Covid-19. Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait kasus Covid-19 di Shaanxi, Cina, dari media-media kredibel. Hasilnya, ditemukan berita dari situs media The Jakarta Post yang memuat tautan halaman yang berisi pernyataan resmi Komisi Kesehatan Shaanxi, Cihna, mengenai kasus Covid-19 di wilayahnya. Boleh jadi, meski sempat dibantah pejabat China sendiri, bukan tidak mungkin.fakta tersebut akan dijadikan dalih kalau Indonesia sebagai "sumber corona". Apalagi, ada anggapan penanganan Covid-19 dinilai gagal. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

WHO dan China Bakal Jadikan Indonesia “Tersangka” Sumber Corona?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Guru Besar Biologi Molekuler Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof. Chaerul Anwar Nidom angkat bicara soal pernyataan bahwa Virus Corona bukan dari laboratorium di China. Ia meyakini COVID-19 itu buatan, tak alami. Menurutnyua, pandemi Covid-19 merupakan sebuah wabah yang didesain sedemikian rupa. Sebab, jika pandemi ini muncul secara alamiah, maka akan mudah diketahui asal-usulnya. Ia juga mengatakan, membuat virus memang ada ilmunya. “Kalau alam kan sebenarnya bisa dideteksi kan. Tapi yang tidak bisa dideteksi bagaimana ada orang jahat di sebuah laboratorium untuk kepentingan-kepentingan dan disebarkan. Nah, itu kan by design namanya. Jadi virus itu didesain,” ujar Nidom, seperti dikutip Detik.com. ”Dan, itu ada ilmunya, kemampuan itu ada bahwa virus itu bisa dibuat itu bisa,” lanjut Nidom, Rabu (10/2/2021). Pernyataan itu disampaikan setelah WHO menyatakan, virus Corona tak mungkin berasal dari laboratorium di China. “Ya karena virusnya kan ndak bisa ditanya. Jadi apa pun pendapatnya bisa saja diputar balik, kan gitu. Kecuali virusnya bisa diinterogasi kayak yang dilakukan pihak penyidik kan baru ketahuan,” ujar Nidom. Menurut Prof Nidom, itulah problematikanya. Jadi, siapa pun mau mengatakan dari mana dari mana itu bisa saja dilakukan. “Itu kan bisa demi kepentingan politik, demi kepentingan yang lain-lain,” imbuhnya. Ia kemudian mengingatkan kembali bagaimana awal kemunculan virus Corona yang pertama kali terdeteksi di Kota Wuhan, China, yang sempat mempunyai banyak nama. Namun, pada akhirnya semua menyebut sebagai Corona Virus Disease 2019 atau COVID-19. “Sama dengan dulu memberi nama virus COVID ini disebut juga dengan Wuhan Virus, terus pemerintah China protes karena nanti akan tertulis selama-lamanya. Sehingga diganti dengan SARS CoV. Kemudian penyakitnya juga dulu disebut penyakit Wuhan,” ujar Prof Nidom. “Cina protes lagi makanya disebut Corona Virus Disease 2019 atau COVID-19,” lanjut Prof Nidom. “Tapi letusan (Corona) itu kan dari Wuhan. Seandainya bukan dari Wuhan kan tidak bisa kita mengatakan bahwa ini pandemi. Jadi titik episentrum awal ini dari Wuhan,” tambahnya. “Nah sekarang sebelum dikatakan dari Wuhan dan sebagainya, ada dari mana-mana kan yang dicurigai dari Amerika Serikat dan sebagainya. Nah kalau ini benar berita seperti itu harusnya pemerintah China menuntut pemerintah Amerika,” tegas Prof Nidom. Menurut Prof Nidom, meski ada perdebatan mengenai asal-usul virus Corona, masyarakat dunia sudah terlanjur mempercayai bahwa pandemi ini memang bukan alamiah. Hal ini kemudian membuat WHO turut ikut menyelidiki muasalnya. Apalagi, di masyarakat sudah berkembang bahwa ada suatu penyakit yang bukan alamiah. Jadi ada kepercayaan dan keyakinan dari masyarakat dunia bahwa Covid ini apakah wabah alam atau wabah buatan. “Sehingga WHO ini perlu turun untuk meyakinkan masyarakat dunia. Nah, ini tergantung dari kemampuan WHO untuk menyelidiki itu," terang Prof Nidom. Sebelumnya, tim pakar internasional yang menyelidiki asal-usul Covid-19 menolak anggapan, Covid-19 berasal dari laboratorium di China. Peter Ben Embarek, Kepala Misi WHO mengatakan, sangat tidak mungkin virus itu adalah bocoran dari laboratorium di Kota Wuhan. Peter Ben mengatakan, perlu penyelidikan lebih lanjut untuk mengidentifikasi sumber virus. Penyelidikan sekarang bisa fokus di Asia Tenggara, kata seorang pakar kesehatan. Tim WHO saat ini dalam tahap akhir misi investigasi mereka. Wuhan yang terletak di Provinsi Hubei adalah tempat virus Covid-19 pertama kali dideteksi pada 2019. Sejak itulah, lebih dari 106 juta kasus dan 2,3 juta kematian telah dilaporkan di seluruh dunia. Mengarah ke Indonesia? Kesimpulan dari para tim peneliti WHO terkait laboratorium di Wuhan bahwa yang sangat tidak mungkin virus itu bocor dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium dengan banyak koleksi sampel virus, menjadi bukti WHO membela China. Dalam menentukannya, tim tersebut mengatakan, kebocoran semacam itu sangat jarang dan tidak ada bukti virus itu ada di lab itu atau di lab mana pun di dunia saat pandemi dimulai. “Sangat tidak mungkin ada sesuatu yang bisa lolos dari tempat seperti itu,” ujar pemimpin tim WHO Peter Ben Embarek saat meninjau protokol keselamatan di sana. Benarkah ini senjata biologis yang sedang dikembangkan China, seperti sinyalemen seorang perwira intelijen dan ahli perang biologis Israel Letkol Dany Shoham? Jika benar, ini jelas sangat membahayakan kehidupan manusia di dunia. Bisa saja virus ini senjata bio massal China, seperti SARS dan lain-lain. Hanya saja China sedang naas alias apes kali ini. Sekarang ini senjata paling bahaya bagi manusia bukan nuklir atau bom atom. Senjata paling bahaya ya bio massal. Perlu dicatat! Perang Dunia I berakhir itu gara-gara wabah cacar. Dan, kini dengan banyak negara punya nuklir, penangkalnya pun sudah mereka siapkan. Makanya, sekarang negara-negara maju berlomba-lomba membuat senjata biologis lagi. Sebenarnya bukan naas juga. Uji coba mereka berhasil. Cek saja siapa-siapa yang menjadi korban. Hanya kalangan miskin China. Dan, ke depan China akan berubah menjadi Thanos: melenyapkan sebagian besar populasi manusia dan hewan melalui senjata biologis. Targetnya: orang-orang miskin yang menurut China sudah tak berguna! Yang dikhawatirkan virus-virus bio massal itu dikirim ke seluruh dunia via drone. Sebab, radar belum bisa deteksi drone. Bahasa radar hanya unidentifying object. Uji coba nuklir dan penangkalnya beberapa waktu lalu justru sudah dilakukan AS dan Iran. Termasuk uji coba senjata dengan medium drone. Diduga, itu adalah senjata Nuklir. Coba saja periksa bagaimana kondisi mayat jenderal Iran yang jadi korban serangan drone AS itu. Benarkah Virus Corona yang sedang melanda Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, adalah senjata biologis yang berasal dari Wuhan Institute of Virology, sebuah laboratorium terkait senjata rahasia China yang mengembangkan virus mematikan. Tampaknya tudingan perwira intelijen Israel itu secara gamblang telah “dimentahkan” oleh WHO dan China. Dan, penyelidikan WHO sekarang “bisa fokus” di Asia Tenggara. Meski tak menyebut nama negara, sepertinya WHO dan China bakal menjadikan Indonesia sebagai “tersangka” sumber Virus Corona? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Misteri Wafatnya Ustadz Maaher, Mengapa Polri Bersifat “Defensif”?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ada pernyataan menarik dari Polri yang tidak mengungkap secara gamblang penyakit yang diderita Soni Eranata atau Ustadz Maaher At-Thuwailibi sebelum meninggal. Penyakitnya disebut sensitif. “Yang jadi pertanyaan itu, kenapa Saudara Soni Ernata meninggal? Ini karena sakit. Saya tak bisa sampaikan sakitnya apa karena sakit yang sensitif,” kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono dalam jumpa pers, Selasa (9/2/2021). Seperti dilansir Detik.com, Selasa (09 Feb 2021 12:50 WIB), Argo menegaskan, pihaknya tidak akan mengungkap penyakit yang diderita oleh Ustadz Maaher. Pertimbangannya adalah terkait keluarga Maaher. “Ini bisa berkaitan dengan nama baik keluarga almarhum. Jadi, kita tidak bisa sampaikan ini secara jelas dan gamblang sakitnya apa karena penyakitnya adalah sensitif, ini masalahnya,” ujarnya. “Bisa membuat nama baik keluarga juga tercoreng,” tambah Argo. Diberitakan, Maaher berstatus tahanan kejaksaan yang dititipkan di Rutan Bareskrim Polri. Sewaktu menjadi tahanan Dittipidsiber Bareskrim, Maaher sempat dibantarkan karena sakit. Maaher meninggal dunia pada Senin (8/1/2021) malam. Kini jenazahnya dimakamkan di Ponpes Daarul Quran, Cipondoh, Tangerang. Pihak pengacara dan keluarga sebelumnya menyebut bahwa Ustadz Maaher sempat sakit terkait usus. Beberapa kali Maaher sudah mengeluhkan hal itu. “Awal beliau dioperasi ususnya itu, kira-kira 3 bulan yang lalu, nampaknya penyakit itu masih menjadi keluhan juga,” ujar pengacaranya, Djudju Purwantoro, kepada wartawan di RS Polri, Senin (8/2/2021). Keluarga mengatakan hal yang sama. “Beliau kan punya TB usus. Dulu sebelumnya sempat sakit parah kan, drop, terus kemudian sudah membaik,” kata adik Maaher, Jamal, ditemui di rumah duka, di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (9/2/2021). Sebelumnya, seperti ditulis Suara.com, Selasa (9 Februari 2021 pukul 06.54), pengacaranya mencium ada keanehan kematian Maaher yang meninggal dunia di Rutan Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (8/2/2021). “Kami sebagai kuasa hukumnya meminta keterangan terbuka dari tim medis setempat untuk mengklarifikasi sebab kematian tersebut,” kata Novel Bakmumin kepada Suara.com, Senin (8/2/2021). Penangguhan penahanan yang tak pernah dikabulkan Polri disayangkan kuasa hukum. “Saya sangat menyesalkan upaya yang sudah tidak menimbang unsur kemanusiaan,” tuturnya. Istri Maaher, Iqlima Ayu, sempat mengajukan penangguhan penahanan atas suaminya. Dia berharap Maaher bisa dibebaskan setelah pihaknya menjaminkan dirinya sebagai upaya penangguhan penahanan kepada penyidik Bareskrim Polri. Namun, pengajuan tersebut tidak dikabulkan. Belakangan ini, meninggalnya Maaher di rutan Bareskrim Polri ternyata berbuntut panjang. Kuasa hukumnya menduga dia sengaja 'dihabisi'. Hal ini disampaikan Novel Bamukmin di Bang Edy Channel di YouTube. Menurut Novel, penguasa sengaja “mengirim pesan” kepada para ulama dan aktivis kritis lainnya. Caranya, mereka sengaja “menghabisi” Ustadz Maheer. “Rezim ingin menegaskan, jika kalian tetap berseberangan dan kritis terhadap kekuasan, lihat yang terjadi pada Ustadz Maaher. Ini pesan yang ingin penguasa sampaikan,” kata Novel. Terlepas dari dugaan yang disampaikan kuasa hukum Maaher itu, tidak kalah penting adalah enggannya polisi mengatakan penyakit Maaher sebenarnya dengan alasan karena “sakit yang sensitif”, meski pihak keluarganya telah membuat pernyataan, “tahu” penyakitnya. Apa itu? Covid-19, HIV/AIDS, atau Racun? Fakta Medis Maaher meninggal dalam kondisi sangat mengenaskan. Dari foto wajahnya yang beredar di WAG, kayak gabakan hitam-hitam semua, lemas, dan gatal-gatal (mirip herpes). Jika melihat pemeriksaan luar pada tubuh Maaher, coba kita lihat apa penyebabnya. Saturasi oksigen. Yaitu suatu komplikasi umum dapat terjadi ketika virus menghalangi aliran darah membawa oksigen dalam tubuh, kondisi seperti hipoksia, disorientasi, kebingungan, bibir atau wajah kebiruan. Jika ini terjadi, artinya bisa jadi merupakan sinyal adanya gangguan pada jantung. Gangguan apa pun pada aliran darah dapat menyebabkan penggumpalan, meningkatkan peradangan, dan mempersulit jantung untuk melakukan tugasnya. Pada umumnya, ini bisa terjadi saat virus menghalangi aliran darah membawa oksigen dalam tubuh, kondisi seperti hipoksia, disorientasi, kebingungan, bibir atau wajah kebiruan. Jika hal ini terjadi, artinya bisa jadi merupakan sinyal adanya gangguan pada jantung. Gangguan apa pun pada aliran darah itu dapat menyebabkan penggumpalan, meningkatkan peradangan, dan mempersulit jantung untuk melakukan tugasnya. Saturasi oksigen ini salah satu dari 6 gejala dan tanda Covid-19 mulai mempengaruhi kesehatan jantung. Gejala dan tanda Covid-19 lainnya, dilansir Kompas.com, Rabu (20 Januari 2021 | 05:55 WIB), yaitu Sindrom takikardia. Peneliti percaya, pasien Covid-19, yang melakukan perjalanan jauh bisa menghadapi kondisi seperti POTS atau sindrom takikardia ortostatik postural. Sindrom ini merusak sistem saraf, menyebabkan ketidakseimbangan detak jantung, tingkat tekanan darah yang tidak biasa. Selain itu, yang perlu diwaspadai yakni tanda takikardia juga dapat bermanifestasi menjadi gejala seperti pusing, sirkulasi darah menurun, menyebabkan jantung berdebar-debar, pusing, kekebalan tubuh yang terganggu. Itu semuanya dapat dianggap sebagai tanda awal gangguan jantung. Apakah penyakit Ustadz Maaher masuk dalam 2 dari 6 gejala dan tanda Covid-19 tersebut, hanya dokter dan pihak RS Polri yang tahu. Di sinilah perlu keterbukaan pihak Polri. Ruam kulit bisa menjadi petunjuk dan bukti adanya infeksi Virus Corona (Covid-19). Hal ini dialami Dewi Persik yang mengaku menderita ruam kulit akibat terinfeksi Covid-19. Ruam kulit juga termasuk gejala terinfeksi virus corona. Tapi, tak banyak yang tahu kalau perubahan di kulit itu bisa menjadi salah satu tanda gejala Covid-19. Munculnya ruam kulit, terutama di tangan dan kaki seringkali merupakan tanda pertama infeksi virus corona pada orang yang tidak memiliki gejala penyakit lain. Seperti dilansir Kompas.com, Jumat (25 Desember 2020 | 17:55 WIB), diterbitkan di dalam American Journal of Clinical Dermatology, ulasan berbasis bukti ilmiah menunjukkan kalau ruam kulit ternyata memengaruhi satu dari lima pasien Covid-19. “Dokter harus menggunakan informasi ini untuk mengidentifikasi pasien dengan Covid-19 yang tidak memiliki gejala lain,” kata penulis studi dan dokter ahli bedah di Keck School of Medicine University of Southern California di Los Angeles, Daniel Gould, MD, PhD. “Dokter juga harus menggunakan informasi tersebut agar lebih agresif dalam menguji virus,” sambung dia. Apakah Ustadz Maaher terinfeksi Covid-19? Untuk mengetahui itu semua bisa saja melihat perlakukan dokter saat Maaher dirawat di RS Polri. Apakah dokter dan nakes yang merawat Maaher memakai alat pelindung diri (APD) lengkap atau tidak? Sesuai dengan SOP penanganan pasien Covid-19, jika mereka memakai APD, itu bisa menjadi petunjuk bahwa Maaher terkena Covid-19 atau tidak. Jika bukan Covid, apa mungkin Maaher terkena Sindrom Stevens Johnson (SSJ)? Ini adalah kelainan langka yang menyerang pada kulit dan selaput lendir sebagai jaringan lunak pelapis sistem pencernaan dari mulut ke anus, organ reproduksi (saluran genital), serta bola mata. SSJ jarang terjadi, tapi dapat menimbulkan kondisi yang serius bahkan fatal. Sindrom ini biasanya disebabkan karena reaksi terhadap obat-obatan tertentu, maupun terkadang oleh infeksi. Awalnya, gejala SSJ menyerupai flu, diikuti dengan ruam merah keunguan yang menyebar dan membentuk lepuhan. Selanjutnya, kulit akan mati dan mengelupas. SSJ adalah kondisi kegawatdaruratan yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Penyebab SSJ belum diketahui secara pasti. Namun secara umum, kondisi ini terjadi sebagai reaksi tubuh atas obat-obatan tertentu dan juga infeksi. Pada anak-anak, SSJ biasanya dipicu oleh infeksi virus. Pada orang dewasa, SSJ seringkali muncul sebagai bentuk reaksi yang merugikan pada obat (adverse reaction). Apakah Maaher kena SSJ, penyidik tidak juga mau menyebutnya. Atau, karena terkena racun sehingga dia “keracunan”? Jika menyimak foto Maaher yang beredar, wajahnya nyaris sama dengan foto jenazah mantan Ketua KPU Husni Kamil Malik. Pasalnya, di foto wajah Husni Kamil penuh dengan bintik merah. Hal itu menandakan jika pembuluh darah Husni Kamil pecah. Berbagai spekulasi pun mncul. Sebagian berpendapat, Husni Kamil meninggal mendadak “terkena” racun. Sayangnya, jenazah Husni Kamil saat itu tidak diotopsi. Penulis Wartawan Senior FNN.co.id.

Ustadz Maaher Wafat di Rutan Mabes Polri, Apa Penyakitnya?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Seorang lagi ulama muda Indonesia meninggal dunia: Ustadz Maaher At-Thuwailibi. Ustadz bernama asli Soni Eranata ini meninggal di Rutan Mabes Polri, Senin malam (8/2/2021). Dia tutup usia setelah sempat menjalani perawatan di RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur. Ustadz Maaher dirawat di RS Polri pada akhir Januari 2021 itu karena sakit. “Ustadz Maaher meninggal dunia di rutan Mabes Polri beberapa menit lalu, semoga husnul khotimah,” tutur kuasa hukum Habib Rizieq Shihab, Aziz Yanuar, pada Senin, 8 Februari 2021. Aziz mengatakan, sebelum meninggal Maaher mengalami sakit cukup parah, seperti sakit kulit hingga buang air menggunakan popok. Namun, setelah dibantarkan, Maaher dikembalikan lagi ke sel Bareskrim Mabes Polri walau kondisinya belum sembuh. Mengutip Tempo.co, Selasa (9 Februari 2021 02:27 WIB), sebelum menjadi tersangka kasus ujaran kebencian itu, pria kelahiran Medan, 28 tahun silam itu dikenal aktif menyampaikan dakwah menggunakan medsos, seperti akun Twitter, YouTube, hingga Instagram. Pria yang lahir dengan nama Soni Eranata itu mendapat julukan Maaher At-Thuwailibi dari gurunya saat menjadi santri. Semasa hidupnya, Maaher sempat berselisih dengan Permadi Arya alias Abu Janda. Keduanya sempat saling lapor ke polisi. Permadi melaporkan Maaher terkait isi ceramahnya yang dinilai sangat berpotensi menyebabkan bibit terorisme, sementara Maaher melaporkan Permadi atas dugaan pencemaran nama baik. Maaher juga sempat berseteru dengan artis Nikita Mirzani. Maheer pernah mengancam akan mengepung rumah Nikita setelah pernyataan Nikita dalam Instagram Story-nya, Rabu, 11 November 2020. “Gara-gara Habib Rizieq pulang ke Jakarta penjemputannya gila-gilaan. Nama habib itu adalah tukang obat. Screenshot, nah nanti banyak nih antek-anteknya nih, hah enggak takut gue," katanya. Cuitan Nikita tersebut mengomentari penjemputan HRS di Bandara Soekarno Hatta. Dalam ancaman yang pernah diunggah Nikita di akun Instagram lamanya, Ustadz Maaher meminta Nikita meminta maaf atas pernyataannya yang dianggap menghina HRS. Selain dua kasus itu, Ustadz Maheer juga menyentil warga Nahdliyin ketika mengomentari unggahan cuitan pengguna Twitter yang menunjukkan Habib Luthfi bin Yahya mengenakan peci ditutup semacam kafiyeh menyerupai kerudung. Cuitan Ustadz Maheer ini menjadi dasar pelaporan dengan sangkaan dugaan kebencian. Ia ditangkap penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri di kediamannya di Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, pada Kamis (3/12/2020), pukul 04.00. Ustadz Maaher langsung ditetapkan sebagai tersangka. Penangkapan tersebut bermula dari cuitannya soal tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Kota Pekalongan, Habib Luthfi bin Yahya. “Karena di sini dipastikan postingannya: ‘Iya tambah cantik pake jilbab kayak kyai nya Banser ini ya’,” ucap Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono pada 3 Desember 2020. Awi menuturkan, kata kunci dalam kasus tersebut terletak pada kata cantik dan jilbab dalam unggahan Ustadz Maaher. Menurut Brigjen Awi, kedua kata itu digunakan untuk perempuan sementara kiai adalah laki-laki. Ustadz Maaher dilaporkan oleh pihak Banser NU ke Bareskrim Polri atas cuitan tersebut. Ia ditetapkan sebagai tersangka dugaan ujaran kebencian berdasarkan SARA. Polisi mengaku sudah meminta keterangan ahli bahasa serta ahli ITE. “Kami duga terjadi penghinaan yang menjadikan delik yang kuat untuk menghasut dan menimbulkan perpecahan antargolongan dan kelompok masyarakat, inlah yang menjadi pertimbangan kepolisian,” ujar Brigjen Awi. Kasus Ustadz Maaher itu berawal dari cuitannya di Twitter akunnya @ustadzmaaher: “Iya tambah cantik pake Jilbab.. Kayak Kyai nya Banser ini ya..” Ia saat itu menjawab komentar akun @gunduladul pada 25 Agustus 2020. Akun @gunduladul telah di-suspended. “Kami duga terjadi penghinaan yang menjadikan delik yang kuat untuk menghasut dan menimbulkan perpecahan antargolongan dan kelompok masyarakat, inlah yang menjadi pertimbangan kepolisian,” lanjut Brigjen Awi. Ustadz Maaher ditangkap terkait laporan polisi bernomor LP/B/0677/XI/2020/Bareskrim pada 27 November 2020. Ia disangka melakukan tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA; Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selama masa penahanannya, istri Maheer, Iqlima Ayu, sempat menyambangi Kantor Bareskrim Polri untuk mengajukan penangguhan penahanan terhadap suaminya. Dia berharap Maaher bisa dibebaskan setelah pihaknya menjaminkan dirinya sebagai upaya penangguhan penahanan kepada penyidik Bareskrim Polri. Namun, pengajuan tersebut tidak dikabulkan. Sampailah pada saat istri Ustadz Maaher itu mengungkapkan kondisi kesehatan suaminya. Iqlima memohon Ustadz Maaher bisa diperiksakan ke RS. Polisi kemudian membantarkan Ustadz Maaher ke RS Polri. Kondisi kesehatan Ustadz Maaher saat itu memang menurun. Pada 20 Januari 2021, Ustadz Maaher dibantarkan ke RS Polri. Dia dikabarkan menderita penyakit di lambung. “Benar saat ini beliau dibantarkan sejak kemarin siang di RS Polri Kramat jati untuk medical check up,” kata pengacara Ustadz Maaher, Djudju Purwantoro, Kamis (21/1/2021). Perkiraan Djudju ketika itu, Ustadz Maaher akan dirawat selama 4 hari. Perawatan Ustadz Maaher dilakukan sambil menunggu hasil observasi dokter. “Masih di RS Polri sekira 4 hari ke depan evaluasi hasil pemeriksaan/observasi dulu. Luka di lambung dalam dan mual-mual,” ujar Djudju. Seperti dilansir Detik.com, Senin (08 Feb 2021 23:25 WIB), Ustadz Maaher sempat meminta agar dirawat di RS Ummi. Tapi, pada Senin (8/2/2021), dia meninggal dunia di Rutan Mabes Polri. Ustadz Maaher meninggal pada pukul 19.00 WIB. “Betul, beliau meninggal sekira jam 7 malam di Rutan Mabes Polri,” ujar Djudju Purwantoro, saat dihubungi, Senin (8/2/2021). Ustadz Maaher meninggal dalam status tahanan Kejaksaan yang dititipkan di Rutan Bareskrim Polri. “Dapat kami sampaikan bahwa tersangka atas nama Sori Eranata meninggal dunia. Yang bersangkutan saat ini berstatus tahanan Kejaksaan yang dititipkan di Rutan Bareskrim Polri,” kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Slamet Uliandi. Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan, Usadz Maaher sempat mengeluh sakit selama menjalani masa tahanan. Argo menjelaskan sebelum berkas perkara tahap 2 diserahkan ke Kejaksaan, Maaher sudah mengeluh sakit. Dokter kemudian membawa Ustadz Maaher untuk mendapat perawatan di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. “Setelah diobati dan dinyatakan sembuh yang bersangkutan dibawa lagi ke Rutan Bareskrim,” kata Argo melalui keterangan tertulis. Sayangnya, penyebab sebenarnya Ustadz Maaher meninggal tersebut belum ada konfirmasi, kecuali dari pihak Polri. Dari foto wajahnya yang beredar di WAG, kayak gabakan hitam-hitam semua, lemas, dan gatal-gatal (mirip herpes). “Kondisi Ustadz Maher sebelum meninggal, kalau penampakan begini bukan karena TB ususnya, tapi mirip “dicovidkan”. Ada temen yang kondisinya seperti ini kena Covid-19, kayak gabakan item-item semua, lemes, gatal-gatal, dsb,” ujar seorang sumber. “Dari mulutnya keluar ludah terus-menerus kemungkinan seperti sariawan yang parah, mulut ajurrr. Itu tanda-tanda penurunan kekebalan yang amat sangat. Yang paling mungkin Covid (autoimun atau HIV kayaknya bukan, karena pernah operasi usus),” lanjutnya. Kebenaran foto Ustadz Maaher yang beredar itu juga belum ada konfirmasi. Mungkinkah Ustadz Maaher terinfeksi Covid-19 sebelum meninggal dunia? Tentu perlu pemeriksaan medis lebih lanjut dengan cara diotopsi! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Aroma Vaksin Rasa Biologis, Senjata Pembunuh Massal?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ada artikel Stephen Lendman “Bioweaponized COVID Vaccines” yang sudah diterjemahkan berjudul “Vaksin Covid yang Dipersenjatai Biologis”. Sumber artikel dari https://www.globalresearch.ca/bioweaponized-covid-vaccines/5736482. Seperti dilansir Theglobal-review.co, Minggu (7 Februari 2021), sepanjang periode pasca-Perang Dunia II, kedua sayap kanan pihak perang AS terus menggunakan senjata kimia, biologi, radiologi, dan senjata terlarang lainnya terhadap musuh yang ditemukan. Sebelumnya, perang biologis dilakukan terhadap penduduk asli AS dengan menggunakan selimut yang terinfeksi cacar. Sepanjang sejarah AS, perang kotor di dalam dan luar negeri termasuk dengan penggunaan senjata terlarang. Pemberian vaksin massal untuk menangkal flu musiman yang berganti nama menjadi Covid-19 adalah salah satu bentuk perawatan biologis pada kesehatan manusia. Saat ini pemberian vaksin-vaksin tersebut sedang dilakukan di seluruh dunia. Kampanye desepsi massal yang disponsori oleh AS/negara Barat/Media Besar tidak lain bertujuan meyakinkan orang awam agar menjadi sukarelawan sebagai kelinci percobaan untuk eksperimen manusia terbesar yang pernah ada berisiko sangat membahayakan kesehatan dan kesejahteraan semua orang yang mengikutinya. Vaksin tidak melindungi, seperti yang diklaim secara salah. Mereka adalah sapi perah besar untuk memenuhi kepentingan Farmasi Besar, alasan mereka dipromosikan dan didorong oleh Pemerintah Besar. Vaksin Covid adalah induk dari semuanya untuk membiarkan Pharma menguangkan banyak keuntungan dari sumber keuntungan jika semuanya berjalan sesuai rencana. Pertahanan Kesehatan Anak-anak (Children’s Heath Defense) menjelaskan bahwa epidemi kesehatan anak telah menjamur seiring dengan jadwal vaksinasi anak. Vaksin itu mengandung banyak bahan-bahan neurotoksik, karsinogenik, termasuk merkuri, aluminium, formaldehida, MSG, sel janin manusia yang diaborsi, dan zat lain yang berisiko membahayakan kesehatan. Suntikan flu tahunan (vaksin) yang sangat dipromosikan mengandung merkuri dan racun lain itu berhubungan dengan perkembangan gangguan saraf dan penyakit serius lainnya. Semua itu berbahaya. Saat digabungkan, maka vaksin secara eksponensial meningkatkan ancaman pada kesehatan dan kesejahteraan manusia. Kekuatan gelap AS yang bersekongkol dengan Farmasi dan agen pers media itu merugikan generasi bayi, pemuda, dan orang dewasa dalam menopang tujuan jahat mereka. Klaim dari farmasi tentang efektivitas dan keamanan vaksin itu dibuat-buat. Berdasarkan apa yang diketahui sejauh ini, vaksin covid jauh lebih berbahaya bagi kesehatan daripada yang dikembangkan sebelumnya. Tidak disetujui oleh Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (FDA) akan sorotan atau pemberitaan terkait bahaya yang ditimbulkan oleh vaksin. Itulah mengapa tidak ada seorang pun yang ingin menjaga dan memelihara kesehatannya mengharapkan pemberian vaksin. Risiko bahaya jangka pendek atau jangka panjang sangat besar, terutama bila dikombinasikan dengan obat lain. Semua itu mengandung bahan-bahan berisiko membahayakan kesehatan. Alih-alih melindungi kesehatan masyarakat, pemerintah di AS, Barat, dan negara lainnya itu mendukung Farmasi Besar, tidak peduli dengan bahaya yang ditimbulkan oleh racun dalam obat-obatan mereka. Beberapa hari sebelumnya, ahli bedah tulang belakang terkemuka/mantan presiden Asosiasi Dokter dan Ahli Bedah Amerika Dr. Lee Merritt menyebut vaksin covid sebagai “obat yang dipersenjatai”. Menurut Merritt, vaksin eksperimental ini adalah “senjata biologis yang dimanipulasi secara biologis”. Setiap ada “siapa pun” menentang keselamatan mereka, mereka akan “disensor”. Merritt mengungkapkan, “Kami memiliki banyak senjata biologis selama bertahun-tahun dan yang sangat saya khawatirkan adalah cacar. Tapi, sebagian besar senjata biologis ini sulit untuk didistribusikan atau ada perawatan untuk mereka.” “Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa coronavirus adalah virus yang sangat jinak yang muncul secara alami yang bahkan tidak membuat kebanyakan orang flu, tetapi paling-paling itu akan membuat Anda flu biasa,” jelas Merritt. “Jika kita berada di biowarfare sekarang sebagai bagian dari peperangan multi-dimensi ini, jika Anda memiliki pengobatan di saku belakang Anda, mereka tidak dapat meneror Anda dengan virus,” katanya. “Dan itu penting karena (vaksin) tidak mencegah penularan oleh penerimaan virus sendiri,” tegas Merritt. Menurutnya, tak ada vaksin yang diperlukan untuk flu musiman yang berganti nama menjadi Covid-19 itu. Merritt menekankan, “peluang bertahan hidup” dan pemulihan dari “virus flu” ini melebihi 99,9%. “Ketika divaksin untuk covid, Anda “tidak mendapatkan vaksin,” jelas Merritt. “Apa yang disuntikkan mengubah kode genetik manusia,” ujarnya. “Itu mengubah individu yang divaksin menjadi organisme hasil rekayasa genetika. Kerusakan tidak dapat diubah. Ini akan muncul secara bertahap dari waktu ke waktu yang pada akhirnya sangat mungkin merugikan jutaan atau berpotensi miliaran orang,” lanjut Merritt. Merritt menekankan bahwa jika musuh asing ingin mengobarkan perang biologi pada AS, vaksin mRNA covid yang berbahaya akan menjadi “senjata biner yang sempurna”. Saran Merritt: Bantuan dari apa yang terjadi adalah “mudah”. Merritt tidak sendiri. Ribuan dokter dan ilmuwan di seluruh dunia memperingatkan agar tidak menggunakan vaksin covid eksperimental. Mereka tidak aman, tak melindungi, dan berisiko membahayakan kesehatan jika digunakan sesuai petunjuk. Senjata Biologis? Benarkah Virus Corona yang pertama melanda Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, adalah senjata biologis yang berasal dari Wuhan Institute of Virology, sebuah laboratorium terkait senjata rahasia China yang mengembangkan virus mematikan? Jika benar, jelas ini sangat membahayakan kehidupan manusia di seluruh dunia. Terbukti, ini menular antar manusia. Hal ini diungkapkan oleh seorang ahli perang biologis Israel, Letkol Dany Shoham. Seperti dilansir dari Viva.co.id, Sabtu (25/1/2020 | 20:00 WIB), Minggu ini, Radio Free Asia menyiarkan ulang laporan televisi lokal Wuhan pada 2015, yang menunjukkan laboratorium penelitian virus paling maju di China, yang dikenal sebagai Institut Virologi Wuhan. Diketahui Wuhan memiliki dua laboratorium yang terhubung dengan program bio-warfare. Laboratorium itu adalah satu-satunya tempat yang dinyatakan China mampu mengerjakan virus-virus mematikan. Dany Shoham telah mempelajari senjata biologi China. Menurutnya, institut ini berhubungan dengan program senjata biologi rahasia Beijing. Laboratorium tertentu di institut ini mungkin terlibat dalam hal penelitian dan pengembangan senjata biologis China. “Setidaknya sebagai pelengkap, namun bukan sebagai fasilitas utama penyelarasan senjata biologi,” katanya dikutip dari Washington Times, Sabtu (25/1/2020). Ia juga mengatakan, pengerjaan senjata biologi dilakukan sebagai bagian dari penelitian sipil-militer ganda dan “pasti rahasia”. China sendiri selalu membantah memiliki senjata biologis ofensif. Namun, Departemen Luar Negeri AS, dalam sebuah laporan dua tahun lalu, mengatakan mereka mencurigai China telah terlibat dalam pekerjaan perang biologis terselubung. Tapi, pihak berwenang China sejauh ini mengatakan bahwa asal-usul virus corona, yang telah membunuh banyak orang dan menginfeksi ratusan di pusat Provinsi Hubei, tidak diketahui asal usulnya. Seorang pejabat AS menyebut, ini adalah satu tanda yang tidak menyenangkan, desas-desus semu sejak wabah yang dimulai dari Wuhan tersebut mulai beredar di Internet China yang mengklaim, virus itu adalah bagian dari konspirasi AS untuk menyebarkan senjata kuman. Perlu dicatat, Shoham meraih gelar doktor dalam bidang mikrobiologi medis. Dari 1970-1991, ia merupakan analis senior intelijen militer Israel untuk perang biologi dan kimia di Timur Tengah dan di seluruh dunia. Benarkah ini senjata biologis yang sedang dikembangkan China, seperti sinyalemen seorang perwira intelijen Israel tadi? Jika benar, ini jelas sangat membahayakan kehidupan manusia di dunia. Ditambah lagi jika benar tudingan Dr. Lee Merritt yang menyebut vaksin covid sebagai “obat yang dipersenjatai”, itu sama halnya genosida massal! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Server eHAC Kemenkes Masih Error

Laporan Wartawan FNN, Tony Hasyim Jakarta, FNN - Sampai kemarin (8/02/2021) pemeriksaan dokumen digital hasil tes Covid-19 bagi masyarakat yang ingin melakukan penerbangan domestik dari Bandara Soekarno-Hatta belum juga terlaksana. Padahal para stakeholder di Bandara Soekarno-Hatta sudah sepakat penerapan pemeriksaan dokumen kesehatan eHAC (electronic Health Alert Card) akan dimulai per 1 Februari lalu. Masyarakat yang ingin melakukan perjalanan domestik melalui udara, pelabuhan dan pos lintas batas darat negara juga sudah jauh-jauh hari diwajibkan mengunduh aplikasi eHac tersebut di Google Play atau Apple Store serta dapat diakses melalui inahac.kemkes.go.id. Berdasarkan pengamatan wartawan FNN di check-point pemberangkatan maskapai Lion Air dan Batik Air, petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) masih melakukan pemeriksaan dokumen bebas Covid-19 dengan cara manual. Proses pemeriksaan ini memakan waktu sekitar 40 detik hingga 60 detik per satu penumpang. Artinya jika satu penerbangan ada 100 orang saja maka pemeriksaan model kuno ini akan memakan waktu 4000-6000 detik atau antara 66-100 menit. Itu kalau semua dokumen terlihat asli secara kasat mata. Jika petugas menemukan kecurigaan bisa membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk verifikasi. Pemeriksaan dokumen bebas Covid-19 secara manual tersebut meski tidak sampai menimbulkan kerumuman tapi jika masih diteruskan dipastikan akan menimbulkan kerumuman calon penumpang di jam-jam penerbangan sibuk atau di musim liburan seperti yang terjadi pada musim liburan akhir tahun lalu. Kondisi ini jelas membahayakan keselamatan para penumpang atas resiko penyebaran Covid-19 yang masih mengganas hingga hari ini dan jelas kapan akan berakhir. Sementara pemeriksaan dokumen digital hasil tes COVID-19 ini penting sekali untuk segera dilaksanakan di Bandara Soekarno-Hatta mengingat bandara ini merupakan jangkar penerbangan domestik di mana sebagian besar penumpang pesawat domestik berangkat dari bandara ini ke penjuru lain Tanah Air. Menurut petugas Angkasa Pura dan petugas KKP yang ditemui di Bandara Soekarno-Hatta, mereka sebenarnya sejak 1 Februari sudah siap melakukan pemeriksaan dokumen secara digital. Tapi realisasinya tergantung bagaimana kerjasama pihak laboratorium (pemeriksa tes Covid-19) dengan Kemenkes. “Kalau mereka sudah bekerjasama kita yang dilapangan tidak akan melakukan pemeriksaan seperti ini lagi,” kata seorang petugas yang sedang meneliti dokumen tes Covid-19 yang disodorkan seorang warga yang ingin melakukan penerbangan ke Bali, Senin sore kemarin. Sebelumnya stakeholder di Bandara Soekarno-Hatta Kamis 21 Januari 2021 telah menandatangani Kesepakatan Bersama tentang Digitalisasi Dokumen Kesehatan eHAC Keberangkatan di Bandara Soekarno-Hatta. Penandatanganan Kesepakatan Bersama dilakukan di Bandara Soekarno-Hatta, oleh: PT Angkasa Pura II (Persero) sebagai operator Bandara Soekarno-Hatta Kantor Kesehatan Pelabuhan Kementerian Kesehatan (KKP Kemenkes) Satgas Udara Penanganan COVID-19 Penyedia fasilitas tes COVID-19 di Bandara Soekarno-Hatta (Farma Lab & Kimia Farma Diagnostika) Maskapai (Garuda Indonesia, Citilink Indonesia, Batik Air, Lion Air, Sriwijaya Air, NAM Air, AirAsia Indonesia, Airfast) Pendukung aplikasi E-HAC milik Kemenkes (Vaksinku & Paspor Sehat) PT Gapura Angkasa sebagai pihak ground handling President Director PT Angkasa Pura II (Persero) Muhammad Awaluddin mengatakan digitalisasi dokumen kesehatan/surat keterangan hasil tes COVID-19 menciptakan seamless journey karena calon penumpang pesawat tidak perlu lagi membawa kertas fisik dan melakukan antrian validasi manual. “AP II mendorong stakeholder supaya Bandara Soekarno-Hatta menerapkan digitalisasi surat keterangan hasil tes COVID-19 sebagai syarat perjalanan rute domestik. Dengan demikian, protokol kesehatan dapat dipenuhi lebih mudah, customer experience juga meningkat karena tercipta seamless journey, dan yang tidak kalah penting adalah hal ini turut menghalau praktik pemalsuan surat tes karena validasi dilakukan digital,” ujar Muhammad Awaluddin. Executive General Manager Bandara Soekarno-Hatta Agus Haryadi mengatakan digitalisasi surat tes COVID-19 dilakukan lewat aplikasi eHAC yang dimiliki Kementerian Kesehatan. “Secara sederhana, implementasi digitalisasi surat hasil tes dapat dijelaskan sebagai berikut: Calon penumpang melakukan tes COVID-19 di fasilitas kesehatan (faskes) yang sudah teregistrasi di aplikasi eHAC, seperti Airport Health Center di Bandara Soekarno-Hatta. “Setelah dilakukan tes, faskes mengirim hasil tes yang menyatakan negatif ke eHAC calon penumpang. Kemudian, calon penumpang mendapat QR Code di aplikasi eHAC,” ujar Agus Haryadi. QR Code di eHAC tersebut ditunjukkan calon penumpang di konter check in untuk diperiksa petugas maskapai. Petugas maskapai juga akan ada di titik Security Check Point 2 (SCP 2) untuk memeriksa QR Code bagi calon penumpang yang melakukan self check in atau web check in. “Infrastruktur pendukung sudah siap, di setiap konter check in dan di SCP 2 dipastikan ada alat pembaca QR Code bagi petugas maskapai,” ujar Agus Haryadi. Kepala Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah I Soekarno-Hatta Moh. Alwi menuturkan kolaborasi antarstakeholder di Bandara Soekarno-Hatta termasuk menghadirkan digitalisasi dokumen kesehatan ini diharapkan dapat menghalau praktik pemalsuan dokumen hasil tes COVID-19 agar tidak berulang kembali, dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap transportasi udara. “Calon penumpang pesawat harus melakukan tes COVID-19 sesuai yang dipersyaratkan, ini untuk menjaga agar transportasi udara tetap sehat, aman dan nyaman dalam bepergian”. ujar Moh. Alwi. Kepala Satgas Udara Penanganan COVID-19 Kolonel Pas MA. Silaban (TNI AU) mengatakan pemeriksaaan secara digital sebagai upaya menutup ruang beredarnya surat hasil tes COVID-19 palsu. “Kami mengimbau agar calon penumpang pesawat berhati-hati terhadap penipuan terkait surat tes palsu, tidak tergoda bujuk rayu oknum yang menjanjikan surat tes palsu, dan jangan melakukan pemalsuan surat tes,” ujar Kolonel Pas MA. Silaban (TNI AU). Kepala KKP Kemenkes Bandara Soekarno-Hatta, Darmawali Handoko mengatakan rencananya validasi digital surat hasil tes COVID-19 diberlakukan penuh Februari 2021. Sedangkan Direktur Utama Farma Lab Arie Genipa dan Direktur Utama Kimia Farma Diagnostika Adil Fadilah Bulqini menegaskan penyedia fasilitas kesehatan di Bandara Soekarno-Hatta siap menjalankan digitalisasi surat hasil tes COVID-19 dengan langsung mengirim surat hasil tes ke aplikasi E-HAC. Ketua Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja menuturkan, “Maskapai nasional mendukung kemudahan pelaksanaan protokol kesehatan guna mewujudkan penerbangan sehat. Petugas maskapai akan membantu pengecekan QR Code calon penumpang pesawat.” Sebuah sumber mengatakan penyebab tertundanya pemeriksaan eHAC di Bandara Soekarno-Hatta disebabkan karena ada gangguan pada server layanan eHAC di Kemenkes. Keadaan ini menyebabkan ketika setiap laboratorium pemeriksa Covid-19 di seluruh fasilitas kesehatan (faskes) yang mau menginput data hasil pemeriksaan hasil tes PCR/Rapid mendapat respon : “Pengiriman Data eHAC gagal. Layanan eHAC tertutup sementara waktu.”

Insentif Nakes: Gaduh Yang Tak Perlu

By Tamsil Linrung Jakarta, FNN - Ada tiga fakta serius dalam perkembangan Covid-19 di tanah air. Pertama, Januari 2021, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menembus satu juta kasus covid-19. Kedua, Indonesia juga mencatat sejarah baru angka kematian akibat Covid-19 tertinggi, tidak hanya di Asia Tenggara tetapi bahkan di Asia. Ketiga, Indonesia berada pada peringkat teratas di Asia dan nomor tiga tertinggi di dunia dalam jumlah kasus kematian Tenaga Kesehatan (Nakes) akibat Covid-19. Tiga fakta itu bertali-temali. Dan Nakes berada tepat di tengah, diapit antara perjuangan menyelematkan nyawa pasien dan upaya melindungi keselamatan diri sendiri. Mereka berdiri di tapal batas antara sehat dan terjangkit, hidup dan mati. Tingginya angka kematian Nakes berpotensi mengakibatkan penanganan pasien yang tidak optimal di kemudian hari. Pemerintah telah berupaya menambal celah itu. Saat membahas anggaran bersama Komite IV DPD RI Januari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan menambah sebanyak 8.572 Nakes untuk ditempatkan di 148 fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Langkah itu baik dan harus kita dukung. Namun, bagi kami yang membidangi kesehatan di Komite III DPD RI, problemnya tentu bukan sebatas menambal celah bolong Nakes secara kuantitas. Ketika negara meminta mereka ke medan perang melawan Covid-19, maka Pemerintah wajib menjamin kualitas kehidupan mereka, fisik maupun psikologis, materi maupun non-materi. Insentif yang Gaduh Sayangnya, gaduh pemotongan insentif Nakes sempat memecah fokus perjuangan Nakes. Pemantiknya, Surat Keputusan Menteri Keuangan yang ditandangani Sri Mulyani pada 1 Februari 2021. Dengan SK ini, besaran insentif Nakes dipangkas hingga 50 persen. Tak pelak, protes pun bermunculan dari banyak arah. Beberapa di antaranya disuarakan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), LaporCovid19, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan lain-lain. Komisi IX DPR juga tegas menolak. Saya sendiri, selaku anggota Komite III DPD RI yang membidangi kesehatan, juga menyayangkan keluarnya SK Menkeu tersebut. Untungnya, Pemerintah cukup responsif. Belakangan, niat itu dianulir. Kita mengerti bahwa di tengah situasi keuangan negara yang terbatas, Pemerintah tentu bekerja ekstra keras mengakali paceklik. Namun, langkah yang ditempuh harus pula menimbang faktor psikologis masyarakat. Ketika perancangan kebijakan menyangkut penanganan Covid-19, situasi psikologis Nakes tentu menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Itulah sebabnya, agenda kebijakan sebaiknya terlebih dahulu digodok secara matang sebelum akhirnya disajikan dalam bentuk keputusan. Dengan begitu, kebijakan tidak justru menjadi sumber persoalan baru atau setidaknya menjadi sumber kegaduhan baru. Insentif sungguh bukan semata soal uang. Bahkan terlalu menyederhanakaan masalah bila sudut pandangnya dibangun dari arah sana. Insentif adalah wujud apresiasi negara kepada Nakes yang ditugaskan Pemerintah berjuang di medan berisiko tinggi. Insentif adalah salah satu cara negara berterima kasih. Kita tahu, okupasi rumah sakit akan tinggi seiring meningginya laju Covid-19. Rumah sakit rujukan Covid-19 bahkan banyak yang telah penuh. Sebagian pasien dirawat atau diisolasi di hotel atau rumah singgah lainnya sehingga Nakes harus pula terkonsentrasi di sana. Dilema insentif Nakes bukan kali ini saja. Jika kita mengamati pemberitaan media massa, di sana-sini, ada saja berita tentang insentif sebagian Nakes yang tertunda atau belum terselesaikan. Problemnya memang tidak melulu di Pemerintah, tetapi juga pada Pemerintah Daerah. Namun, penanganan Covid-19 tentu harus dirumuskan sebagai orkestra perlawanan yang padu, dalam satu jalur komando yang efektif-efesien. Dukungan Masyarakat Bangsa ini sesungguhnya punya modal besar menanggulangi wabah. Perjalanan pandemi telah mendidik dan membangun kesadaran masyarakat hidup dalam protokol kesehatan yang cukup baik. Rakyat agaknya juga optimistis, mendukung, dan percaya bahwa pemulihan ekonomi oleh Pemerintah dapat mengatasi dampak Covid-19 terhadap kehidupan perekonomian mereka. Kesimpulan ini tergambar dari hasil survei Indonesia Development Monitoring (IDM) yang dirilis 31 Januari 2021. Optimisme masyarakat terbaca sebesar 81,9 persen. Namun, melalui survei yang sama, IDM juga menemukan bahwa 63,8 persen responden menyatakan pemerintahan Joko Widodo tidak dikelola secara clean Government. Persepsi ini salah satunya dilecut oleh perilaku pungli dan koruptif yang dipertontonkan sebagian pejabat. Oleh karena itu, cara memutuskan kebijakan hendaknya tidak mendegradasi harapan dan dukungan rakyat yang besar tadi. Apalagi bila kebijakan dimaksud terkait alokasi anggaran, termasuk gonjang-ganjing pemotongan insentif. Masalah pandemi covid-19 memang saling tumpang tindih dengan problem ekonomi bangsa. Titik balik perbaikan ekonomi akan sangat bergantung kepada penanganan pandemi Covid-19. Sebaliknya, penanganan pandemi tentu memerlukan alokasi biaya yang tidak sedikit. Ini seperti simalakama. Namun kita tidak harus terjebak dalam simalakama itu. Sebab barangkali saja ada pos anggaran lain di luar penanganan Covid-19 yang bisa ditunda dan dialihkan untuk menanggulangi situasi darurat ini. Kreativitas perencanaan memang dibutuhkan. Sekarang, kita sudahi gaduh insentif. Kita kembali menyinergikan semua inisiatif baru penanganan Covid-19, baik sektoral kesehatan maupun non kesehatan. Gagasan dan penerapannya harus dibuat dalam satu garis komando yang padu, dengan skala prioritas terukur. Yang sedang berjalan saat ini adalah program vaksinasi. Ayo kita sukseskan. Penulis adalah Senator Komite III DPD RI