KESEHATAN

Faktanya, Virus yang Sudah “Mati” Ternyata Bisa “Hidup” Kembali

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Hongkong mencatat kasus pertama paralisa otot wajah setelah vaksinasi Covid-19. Seorang pria berusia 69 tahun dengan riwayat hipertensi dilaporkan mengalami paralisa wajah (gejala Bell’s palsy) 2 jam setelah divaksinasi (pertama) dengan Sinovac pada 6 Maret 2021. Yang pertama kali dirasakan adalah rasa tidak nyaman di mata kiri, dan tidak bisa menutup sempurna segera setelah vaksinasi. Keesokan harinya ngences (drooling) dari mulut sebelah kiri, dan segera pergi ke rumah sakit. Sehari kemudian dia sudah boleh keluar dari rumah sakit. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kondisinya. Bell’s palsy umumnya bersifat temporer, dan akan membaik dengan sendirinya dalam waktu beberapa minggu atau bulan. Bell’s palsy Bisa Dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Kasus ini segera dilaporkan sebagai reaksi yang tak diharapkan (adverse reaction), meskipun belum tentu ada kaitan langsung. Hal tersebut diungkapkan Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. Perihal jumlah laporan reaksi yang tidak diharapkan dalam insiden di Hong Kong ini termasuk rendah: 7,6 laporan per 10.000 dosis. Sementara di negara lain: Inggris 39,9; Singapura 38,2; Australia 23,4. Indonesia? KIPI? Kejadian Ikutan Paska Imunisasi. Namun perlu diingat bahwa di setiap negara program vaksinasi dan kriteria pelaporannya bisa bervariasi, sehingga angka-angka di atas tidak bisa begitu saja diperbandingkan. Hongkong memulai vaksinasi massal pada akhir Februari dan telah ada 93.000 dosis vaksin yang disuntikkan, dengan rincian: 91.818 dosis Sinovac dan 1.207 dosis Pfizer. Dan mencatat 69 jenis reaksi yang tidak diharapkan, diantaranya 30 pria dan 17 wanita usia 30 – 90 tahun, yang terpaksa dikirim ke rumah sakit karena mengeluhkan/mengalami fatigue, pusing dan bahkan stroke. Pada kasus stroke, seorang pria usia 74 tahun dengan riwayat diabetes dan hipertensi, 6 hari setelah divaksinasi dia mengalami kelemahan otot pada sisi tubuh sebelah kiri dan sulit berbicara (slurred speech). Kasus stroke ini juga ditemukan di Garut. Adapun kematian setelah vaksinasi itu tercatat 4 orang: Seorang pria, 63 tahun, dan wanita 55 tahun, keduanya menderita penyakit kronis; Seorang pria, 71 tahun, tanpa catatan penyakit kronis, dan seorang wanita, 70, dengan riwayat hipertensi dan radang sendi osteoarthritis. Wanita itu meninggal 9 hari setelah mendapat vaksinasi. Catatan Arie Karimah itu ditulis dalam akun Facebook-nya pada Sabtu, 20 Maret 2021. Ada yang menarik perhatian dalam tulisan tersebut. Yakni, terkait Bell’s palsy yang bisa dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, saya sering menulis bahwa virus yang “dilemahkan atau dimatikan” itu bisa bangun kembali pada suatu suhu tertentu. Sebab, di antara yang mati itu dapat dipastikan masih ada yang pura-pura “tidur atau mati”. Vaksin Sinovac dibuat dengan salah satu teknologi yang paling kuno, yang sudah digunakan sejak 100 tahun yang lalu. Yaitu menggunakan virus Covid-19 yang telah “dinonaktifkan” atau “dimatikan”. Berarti benar: mengandung virus hidup yang dilemahkan. Sinovac mengumpulkan sampel cairan tubuh yang mengandung virus dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China sendiri digunakan sebagai dasar vaksin. Dari sini nanti juga bisa menjawab: Mengapa dengan menggunakan teknologi yang sama bisa menghasilkan efikasi vaksin yang berbeda? Mengapa diperlukan uji klinis internasional untuk mengukur efikasi yang lebih baik, karena produknya kelak juga akan dipasarkan ke berbagai negara? Para peneliti di Sinovac memiliki kultur virus dalam jumlah besar di sel-sel ginjal monyet, yang mereka pilih sebagai hewan percobaan. Virus tersebut kemudian dibunuh dengan zat kimia beta-propiolactone, yang akan berikatan dengan gen-gen virus. Akibatnya virus tidak bisa lagi melakukan replikasi (membelah diri, beranak-pinak). Namun spike proteinnya yang menonjol di bagian luar virus tetap utuh. Virus tersebut kemudian “diekstraksi” dan dicampur dengan adjuvant, yaitu senyawa berbasis alumunium. Fungsi adjuvant dalam proses vaksinasi adalah untuk merangsang sistem imun di tubuh kita merespon terhadap vaksin yang disuntikkan. Karena virusnya “sudah mati”, maka penyuntikan vaksin tidak akan menyebabkan seseorang terinfeksi virus Covid-19. Tapi, ternyata faktanya di Hongkong dan di Indonesia, tidak sedikit yang terinfeksi Covid-19 setelah divaksin Sinovac. Setelah berada di dalam tubuh kita virus tersebut akan dimakan (difagositosis) oleh salah satu jenis sel immune yang bernama sel T, yang memiliki bagian yang disebut dengan “antigen-presenting cell”. Antigen-presenting cell ini akan melumatkan virus dan menyisakan sebagian fragmennya di permukaan tubuhnya. Nantinya sel immune yang lain, yaitu Helper T cell akan mengenali fragmen tersebut. Jika fragmen tersebut cocok dengan protein yang ada di permukaan Helper T cell, maka sel-sel T akan diaktifkan, dan mengundang sel-sel immune yang lain untuk merespon terhadap vaksin. Sel immune lainnya yang bernama sel B juga akan menemukan fragmen protein virus. Sel B memiliki protein di permukaan tubuhnya dengan berbagai bentuk, yang beberapa diantaranya mungkin akan cocok untuk berikatan dengan fragmen protein virus Covid-19. Jika sudah berikatan, sel B akan menarik sebagian atau keseluruhan fragmen ini ke dalam tubuhnya, kemudian mulai memproduksi antibodi yang cocok dengan bentuk permukaan virus. Produksi antibodi setelah vaksinasi ini belum diketahui akan berlangsung selama berapa bulan. Itu sebabnya kelak jika diajukan permohonan izin edar, bukan EUA (Emergency Use of Authorization), monitoring titer antibodi dan kemampuan mencegah terinfeksi utu akan berlangsung selama 2-4 tahun, bukan sekedar 3-6 bulan. Setelah divaksinasi sistem imun akan merespon jika kelak terjadi infeksi oleh virus Covid-19 yang hidup. Sel-sel B akan segera mengenali virus Covid-19 dan menghasilkan antibodi yang akan berikatan/menetralkan virus melalui spike proteinnya, sehingga virus tidak bisa memasuki sel-sel tubuh kita. Meskipun dalam waktu beberapa bulan tetelah vaksinasi titer antibodi akan berkurang, tapi tubuh kita memiliki memori B cells, yang akan mengingat bentuk virus Covid-19 hingga bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun kemudian. Jika suatu hari kelak virus Covid-19 mencoba menginfeksi, maka sel-sel B akan segera memproduksi antibodinya untuk mencegah infeksi. Tapi, faktanya virus Covid-19 masih tetap saja bisa menginfeksi seseorang yang divaksin. Berarti, kecepatan Covid-19 tidak bisa diimbangi oleh sel-sel B yang memproduksi antibodi manusia yang sudah divaksin. Bukan tidak mungkin, proses infeksi Covid-19 dalam vaksin itu terjadi beberapa minggu, bulan, atau tahun kemudian. Bahkan, ada yang terjadi dalam hitungan hari seperti yang menimpa Dokter JF di Palembang dan beberapa nakes lainnya di Indonesia yang terinfeksi Covid-19 setelah divaksin. Teranyar adalah yang menimpa dr. Heru Dwiantoro W, SpOG (K) di RSUD Sidoarjo. Meski sudah divaksin, Dokter Heru meninggal karena terinfeksi Covid-19, Sabtu (20/3/2021). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Epidemiolog UI Pandu Riono: "Kematian di Eropa Tidak Terkait dengan AstraZeneca"

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Vaksin AstraZeneca mengandung unsur haram dalam proses pembuatannya. Meski begitu, Komisi Fatwa MUI telah menetapkan bahwa vaksin yang diproduksi di Korea Selatan itu boleh digunakan. Pertama, vaksin AstraZeneca ini hukumnya haram karena dalam tahapan proses produksinya itu memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi. Namun, “Kedua, penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca pada saat ini hukumnya dibolehkan,” kata Asrorun Niam. Dalam konferensi pers daring, Jumat, 19 Maret 2021, tersebut Ketua MUI Bidang Fatwa itu mengatakan ada lima pertimbangan utama MUI memutuskan hal ini. Pertama, adalah adanya kondisi kebutuhan yang mendesak (hajjah asy'ariyah) dalam fiqih, yang menduduki kedudukan darurat syar'i. Kedua, adanya keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya atau resiko fatal jika tak segera dilakukan vaksinasi Covid-19. Sebelum memutuskan fatwa ini, MUI telah mengundang Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), produsen AstraZeneca, hingga pihak Bio Farma untuk mendapat masukan. Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci, tak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity. Keempat, adanya jaminan keamanan penggunaanya untuk pemerintah sesuai dengan penggunaannya. Terkait keamanan ini, telah dibahas oleh BPOM dalam rapat komisi fatwa sebelumnya. Kelima, pemerintah yang tak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin. “Mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia baik di Indonesia maupun di tingkat global,” kata Asrorun. Ia mengatakan kebolehan penggunaan Vaksin AstraZeneca tidak akan berlaku lagi, jika lima alasan itu hilang. MUI terus meminta pemerintah untuk terus mengikhtiarkan ketersedian vaksin Covid-19 yang halal dan suci, khususnya bagi umat muslim di Indonesia. Sebelumnya, MUI juga telah menghasilkan fatwa tentang pengunaan human diploid cell (sel berasal dari bagian tubuh manusia) sebagai bahan produksi obat dan vaksin yang ditetapkan pada Munas X MUI, Kamis (26/11/2020) malam. Salah satu isi fatwa berisikan ketentuan hukum penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh bila terjadi kondisi kedaruratan atau kebutuhan mendesak. Alasannya pun sama dengan AstraZeneca. Dalam hal terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar'iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar'iyah), penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh. PWNU Jawa Timur membuat fatwa yang lebih tegas lagi: “Halal karena unsur babi tak nyata lagi dalam produk akhir vaksin”. Jadi, manfaat vaksin dalam penanganan Covid-19 lebih besar daripada risiko efek samping masalah pembekuan darah atau reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Apalagi, BPOM sudah memberikan izin penggunaan vaksin AstraZeneca yang sebelumnya mendapat sorotan. Juru Bicara vaksinasi Coronavirus Disease 2019 BPOM, Lucia Rizka Andalusia, mengatakan izin diberikan dengan merujuk pada hasil pertemuan European Medicines Agencu (EMA) bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dilaksanakan pada 18 Maret lalu. Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan terkait penggunaan Vaksin AstraZeneca itu, berikut ini petikan wawancara Mochamad Toha dari FNN.co.id dengan Epidemiolog Universitas Indonesia dr. Pandu Riono, MPH, PhD. Meski haram karena mengandung babi, fatwa MUI membolehkan Vaksin AstraZeneca digunakan dengan alasan keadaan darurat. Apa bedanya dengan Sinovac? Hanya di Indonesia saja ada penilaian kehalalan yg dilakukan oleh lembaga non pemerintah. Ada beberapa kasus kematian pasca vaksinasi yang juga menimpa dokter dan nakes, juga ada guru, terakhir ada guru di Garut yang lumpuh. Melihat fakta ini, di mana letak amannya? Vaksin itu yang perlu menjadi penilaian sebaiknya dibatasi pada keamanan dan manfaatnya. Monitor KIPI di semua negara dan Indonesia sama prosedurnya pada setiap layanan vaksinasi itu untuk evaluasi keamanan, sampai sekarang semua vaksin aman dan efektif. Di Eropa ada 6 negara yang hentikan vaksinasi AstraZeneca karena ada beberapa kasus kematian karena terjadi pembekuan darah pasca divaksin. Komentar Anda? Kejadian yang ditemukan tidak ada kaitan dengan vaksin AstraZeneca, sekarang semua lanjut dengan kecepatan tinggi agar bisa kendalikan pandemi. Gimana kabar Vaksin Merah Putih dan Vaksin Nusantara? Kita sekarang sedang dalam proses belajar mengembangkan vaksin, yang jelas dasar ilmiah dan keterbukaan hanya vaksin merah-putih. Vaksin Nusantara? Itu lupakan saja, metodenya berdasarkan saintifik tidak logis untuk atasi pandemi infeksi Covid-19. Maksudnya? Karena itu hanya stimulasi imunitas seluler, padahal butuh keduanya, imunitas humoral dan seluler. Tidak praktis, lebih pas untuk terapi. Itu bukan penelitian peneliti Indonesia murni, lebih banyak peneliti dari Amerika, Aivita Biomedical Inc. (Mereka) itu yang punya lisensi dan pengetahuan sel dendritik untuk terapi kanker. Semua langkah uji klinis fase 1 banyak ketidapatuhan pada kaidah riset yang baik. Uji Klinis fase 3 AstraZeneca tidak pernah dilakukan di Indonesia, seperti Sinovac. Mengapa? Tidak semua vaksin harus diuji di negara masing-masing, selama uji klinis baik dan valid, ini berlaku sama di semua negara Apakah Vaksin AstraZeneca bisa imbangi kecepatan mutasi corona yang begitu cepat dengan berbagai varian? Kecepatan mutasi tidak tergantung jenis vaksin. Semua vaksin masih bermanfaat untuk cegah kematian dan sakit berat, walaupun sudah bermutasi. Yang pernah saya baca, sudah ada 48 varian pasca B117 yang masuk ke Indonesia. Bukan masuk, mutasi virus itu alamiah itu jenis Sars-Cov-2 ini, di Indonesia juga bermutasi terus, tapi yang di dunia ini baru ada 3 jenis varian yang dapat berpengaruh pada penanganan pandemi. Boleh disebutkan 3 jenis varian itu apa saja, supaya kalangan medis dan masyarakat tahu? B117, B1351, dan P1. (Sebenarnya) masyarakat tidak perlu tahu. Ok, mungkin tanda-tanda atau gejala medisnya kalau seseorang kena tiga varian itu apa saja? Juga tidak bisa dibedakan, tetap sebagian besar tidak bergejala. Berarti berbahaya juga dan ganas, karena tidak ada gejala? Yang lama juga sama 85% lebih juga tidak bergejala, OTG (orang tanpa gejala). B117 sudah diketahui lebih mudah menular dan kematian lebih tinggi. Kembali ke soal AstraZeneca yang dihentikan penggunaannya di Eropa. Apa karena ditemukan kematian pasca divaksin AstraZeneca yang menyebabkan penggumpalan darah? Tidak dihentikan, lanjut kok! Memang, ada kasus tersebut tetapi tak terkait dengan vaksin, lanjut diberikan. Terakhir, di Indonesia ini apa tidak ada ilmuwan yang bisa buat vaksin atau formula herbal yang bisa atasi virus semacam Covid-19? Vaksin Merah-Putih itu adalah ilmuwan Indonesia, risetnya mahal dan sekarang belajar saja. Pencegahan lebih penting dan mudah, bukan pengobatan tidak ada manfaatnya karena virus tersebut hanya 1 minggu aktif lalu inaktif. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Dokter Tifauzia, “Izinkan Saya Bicara (Vaksin)”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Nama dr. Tifauzia Tyassuma, MSc pernah mencuat dan menghiasi media massa dan halaman media sosial pertengahan Maret 2020. Dokter, ahli penyebaran penyakit (epidemiologi klinis) itu menuliskan sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Setidaknya ada empat surat yang ditulis dalam akun Facebook-nya yang menuntut Presiden Jokowi bersama jajarannya untuk bergerak cepat dalam menangani pandemi Virus Corona yang semakin mengkhawatirkan. Dalam salah satu tulisannya, Medical Scientist, Pakar dan Praktisi Nutrisi Kardiometabolik yang akrab dipanggil Dokter Tifa ini bahkan menulis dengan nada keras. Dia menyayangkan keterlambatan pemerintah dalam membuat kebijakan penutupan total (lockdown) semua wilayah di Tanah Air. Gara-gara keterlambatan itu, pemerintah harus menyiapkan kuburan massal. Genap setahun kemudian (Maret 2021), Dokter Tifa kembali mengkritisi kebijakan pemerintah. Terutama terkait dengan impor “Vaksin Kadaluarsa”. Banyak yang mendukung, tapi tak sedikit pula yang mencibur Dokter Tifa. Berikut ini wawancara Mochamad Toha, wartawan FNN dengan Presiden Ahlina Institute itu yang aktif terjun di lapangan untuk melakukan pelatihan, penelitian, dan observasi ini. Anda masih tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kali ini terkait Vaksin Corona yang ternyata expired (kadaluarsa). Luar biasa. Semua postingan saya tentang expired candy already been take down. Postingan dianggap fake. Jadi sekarang yang truth adalah fake, until the truth will no longer exist! Tidak ada lagi tempat buat kebenaran! Emangnya apa yang Anda tulis dalam akun Facebook Anda? Sekarang ini banyak bermunculan “Ilmuwan” dan “Dokter” Pembela Vaksin kadaluarsa. Sederhana saja kok. Bisa Anda jelaskan maksudnya? Vaksin yang datang tanggal 12 Desember 2020 berjumlah 1,2 juta dosis dan tanggal 31 Desember 2020 berjumlah 1,8 juta dosis, Masa kadaluarsanya 25 Maret 2021. Bukankah semuanya habis disuntikkan? Memang, menurut Jubir Kemenkes telah habis disuntikkan kepada Para Dokter dan Nakes (Oh My God, semoga mereka semua selamat). Kemudian pengiriman vaksin berikutnya, adalah tanggal 6 Januari 2011, 2 Februari 2021, dan 2 Maret 2021 total sebanyak 35 juta dosis, sementara dikabarkan Masa Kadaluarsanya tahun 2023. Jadi, menurut Anda? Artinya: Masa kadaluarsa Vaksin ini adalah 2 tahun. Dengan mengikuti Logika yang sama, maka artinya, vaksin yang datang bulan Desember 2020 dan masa kadaluarsa Maret 2021 itu adalah vaksin yang dibikin tahun 2019. Bukannya pandemi itu mulai melanda China akhir 2019 dan mulai mewabah lintas negara itu mulai awal Januari 2020? Kemungkinannya menjadi banyak: Satu. Negara penghasil vaksin sudah tahu bakal ada Pandemi pada tahun 2020. Maka dia sudah buat duluan dan selesai produksi tahun 2019. Dua. Vaksin yang datang bulan Desember 2020 dan masa kadaluarsa Maret tahun 2021 pasti bukan vaksin yang menjalani Uji Klinis Fase 1,2, dan 3 yang baru dinyatakan berjalan pada tahun 2020. Artinya isi vaksin ini jadinya apa? Tiga. Kenapa sih Pemerintah cq Kemenkes ini begok banget? Akibat kebegokan kalian sekarang hari-hari kalian sibuk klarifikasi akibat salah beli barang hampir basi. Abis malah tambah begok lagi dengan Vaksin Astra Zeneca datang, termyata masa kadaluarsa pada Mei 2021. Berarti sama saja dong Vaksin Astra Zeneca juga dibikin tahun 2019? Berarti ini pada udah tahu ya negara produsen vaksin, ngga China, ngga Inggris, bahwa bakal terjadi Pandemi tahun 2020 dong? Mengapa tidak ada Dokter dan Nakes yang bersuara? Nah! Empat. Kenapa sih Dokter-Dokter dan Nakes tak ada suara sedikitpun sampai hari ini, diam seribu bahasa, tidak berkutik, tidak bernyali sedikitpun padahal mereka tahu kalau disuntik barang yang hampir mendekati masa kadaluarsa, dan itu artinya barang produksi tahun 2019. Sementara Uji Klinis terhadap vaksin ini baru dilaksanakan pada tahun 2020. Saya bingung saja. Ke mana kecerdasan Anda para Dokter dan Nakes? Hal ini sangat sederhana. Tidak harus pakai IQ full juga paham. Bukankah ada juga sebagian dokter yang terkesan mendukung vaksin “sampah” itu? Bukan hanya itu. Sekarang ini malah diantara para Dokter tersebut sibuk bikin framing membenar-benarkan, merasionalisasi vaksin itu, dan malah membenturkan bahwa siapapun yang menyalahkan vaksin kadaluarsa, dia yang salah! Saran Anda? Ayolah... Qulil haq walau kaana murron, kata Rasul SAW. Katakanlah kebenaran sekalipun itu pahit. Apa artinya? Artinya, Dunia ini masih jauh dari aman. Saat ini juga, dunia dibayang-bayangi oleh Virus B117. Satu varian yang memiliki perbedaan 21 genome dengan Wuhan Coronavirus. Artinya, penduduk Dunia berhadapan dengan Mutan baru Coronavirus 2021: yang sementara namanya disebut sebagai B117. Saya sebut saja Covid-21. Apakah Varian Mutan B117 sangat berbahaya? Begini. Kemampuan menginfeksi B117 berkali-kali lipat dibanding Covid-19. Daya jelajah 4 kali lipat. Terutama ketika Dunia mulai longgarkan 3M. Penduduk mulai lelah di rumah. Dan Masker mulai ditanggalkan. Bahkan orang-orang bodoh yang mengaku-ngaku Ilmuwan, masih sibuk mengkampanyekan Gerakan Lepas Masker. Maksudnya? Masih banyak “Ilmuwan palsu” yang tidak henti-hentinya bicara di sosial media bahwa Pandemi Coronavirus ini Pandemi bikinan media. Terakhir, Anda juga menulis lagi Surat Terbuka kepada Pemerintah? Masih tetap. Kalau Dokter Tifa, dan semua orang yang memberikan masukan dan kritik yang tajam, tepat, dan lurus, dilarang memberikan pendapat tentang vaksin, dan setiap pendapat, yang tidak sejalan, dilabeli dengan false information. Itu kan sama saja dengan “kekang suara” Anda? Benar! Itu artinya pelita dilarang menyala. Kita semua akan ada di masa kegelapan. Tidak ada check and balance. Tidak ada kritik yang menjadi alat pemandu kalau ada yang melenceng keluar dari garis lurus. Dan rakyat menjadi korban. Dibuat buta dalam kegelapan yang pekat, tanpa tahu dibawa ke mana. Apa yang Anda sampaikan dalam tulisan itu? Soal Vaksin. Anda Pemerintah, sepertinya sangat perlu dibantu dengan pendapat dari orang di luar arena, yang punya pandangan lurus, jujur, dan mulia, tanpa kepentingan, dan dalam pikirannya hanya penuh dengan kebaikan bagi umat, tidak punya tujuan apapun selain dari menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab bila tidak, percayalah, sebagaimana juga banyak korban jatuh karena virus, akan banyak korban jatuh karena vaksin, dan ini adalah rakyat. Mengapa Anda harus menyampaikan hal itu? Begini. Tugas Pemerintah yang utama adalah menjaga Rakyat. Rakyat yang harus dilindungi nyawanya, dilindungi kesehatan dan kesejahteraannya. Tugas saya sebagai Ilmuwan dan Warganegara yang baik, adalah menjaga agar Pemerintah menunaikan tugasnya, tidak saja dengan baik, tetapi dengan luhur dan mulia. Saya menuliskan ini, dengan penuh keprihatinan, kekhawatiran, dan cintakasih kepada bangsa ini. Izinkan saya bicara. Orang yang menganjurkan Buka Masker dan meremehkan Coronavirus, bahkan berani bilang Pandemi ini cuma bikinan, malah dibiarkan berkeliaran di sosial media cari pengikut. Apalagi, mengaku-ngaku ahli virus, berhasil jadi pujaan orang-orang bodoh dan bebal! Dia itulah kriminal yang sesungguhnya! Apa yang Anda harapkan? Kita ini berhadapan dengan musuh yang tak kasat mata, yang cerdas luar biasa. Dibutuhkan kecerdasan luar biasa, kebaikan hati yang luar biasa, kemuliaan hati yang luar biasa, secara serempak, agar Coronavirus bisa segera kita taklukkan. Siapapun juga, yang mengajak-ajak orang untuk Buka Masker, membuat orang percaya bahwa Coronavirus tidak ada, meremehkan Pandemi ini, dia layak ditangkap! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co id.

Indonesia Jadi Lahan Uji Coba Vaksin “Sampah”?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Seperti halnya obat-obatan, vaksin juga punya masa kadaluarsa. Konsekuensinya, vaksin tersebut seharusnya tidak boleh atau “haram” digunakan untuk tubuh manusia. Termasuk beragam merk vaksin Virus Corona (COVID-19) yang kadaluarsa. Vaksin Sinovac yang sudah datang di Indonesia mencapai 38 juta dosis. Celakanya, ternyata vaksin batch 1 dan batch 2 ini masa kadaluarsanya pada 25 Maret 2021. Sebanyak 1,2 juta itu datang pada 6 Desember 2020 dan 1,8 juta datang pada 31 Desember 2020. Dus, kalau kadaluarsa keduanya pada 25 Maret 2021, berarti Vaksin Sinovac ini datang dalam keadaan hampir kadaluarsa. Kasihan para Dokter dan Nakes, karena mereka ini justru dapat jatah Sinovac yang akan memasuki masa kadaluarsa. Sementara sebagaimana lazimnya, vaksin dan obat-obatan yang dikemas, masa kadaluarsa biasanya 6 sampai 2 tahun. Lalu mengapa Indonesia dikirimi vaksin yang sudah hampir masuk masa kadaluarsa? Dengan menggunakan logika yang sama, lalu bagaimana dengan vaksin batch 3 sebanyak 15 juta dosis yang datang pada 12 Januari 2021? Apakah masa kadaluarsanya juga sama, 3 bulan seperti nasib vaksin batch 1 dan 2? “Kalau begitu, vaksin 15 juta dosis ini terancam kadaluarsa pada sekitar 25 April 2021,” kata dr. Tifauzia Tyassuma. Lalu vaksin Sinovac batch 4 sebanyak 11 juta dosis, yang datang pada 2 Februari 2021, terancam kadaluarsa pada 25 Mei 2021! Kemudian, Vaksin Sinovac batch 5 sebanyak 10 juta dosis, yang datang pada 2 Maret 2021, terancam kadaluarsa pada 25 Juni 2021! Apalagi, saat ini 34 juta dosis dari Vaksin Sinovac belum habis, baru terpakai 4 juta dosis. Padahal Projek Vaksinasi ini sudah 3 bulan berlalu. Ditambah lagi, kini Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkejut saat tahu bahwa vaksin asal UK, AstraZeneca sebanyak 1,1 juta dosis, akan kadaluarsa pada Mei 2021. Sementara daya serap vaksin ke masyarakat baru 60.000 dosis perhari. Jadi, sampai dengan Mei 2021 sejumlah 41 juta dosis vaksin (dari Sinovac dan AstraZeneca) baru terpakai 12 juta dosis sesuai kalkulasi. Berarti akan ada vaksin kadaluarsa sebanyak 29 juta dosis. Perlu dicatat, Vaksin Sinovac telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari BPOM. Dengan izin penggunaan darurat ini, vaksin produksi Sinovac Life Science Co.Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia. Sebelumnya, di Facebook beredar unggahan yang menyebutkan, vaksin Covid-19 produksi Sinovac itu sudah diproduksi sebelum pandemi virus corona. Persepsi ini muncul ketika ada informasi, vaksin Covid-19 itu akan kedaluwarsa pada 25 Maret 2021. Vaksin memiliki masa kedaluwarsa 2 tahun. Informasi tersebut telah diklarifikasi oleh Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi. Melansir Kompas.com, Minggu (14/3/2021), Nadia mengatakan bahwa vaksin yang akan kedaluwarsa itu merujuk kepada vaksin CoronaVac pengadaan batch pertama. “Vaksin ini telah kita gunakan untuk diberikan kepada 1,45 juta tenaga kesehatan dan 50.000 orang pemberi pelayanan publik. Saat ini, vaksin ini sudah habis kita gunakan,” kata Nadia. Ketua Tim Uji Klinis Nasional Vaksin Covid-19 Prof. Kusnandi Rusmil mengatakan, vaksin Covid-19 memiliki masa kadaluwarsa dua tahun. Oleh karena itu, vaksin Covid-19 yang saat ini siap suntik harus segera dihabiskan. Hal itu disampaikannya dalam diskusi virtual bertajuk “Memahami Covid-19 dan Mutasi Virus”, Sabtu (13/3/2021). Kusnandi mengatakan, narasi itu tidak benar. Pernyataan yang dia sampaikan di atas, tidak tepat jika diartikan bahwa vaksin Covid-19 telah dibuat sejak dua tahun yang lalu atau sebelum pandemi Covid-19 merebak. Bukan vaksin Sinovac itu dibikin 2 tahun lalu. Kusnandi menjelaskan, setiap jenis vaksin masa kedaluwarsanya berlainan. Biasanya, vaksin bertipe inactivated seperti Covid-19 memiliki masa berlaku antara satu sampai dua tahun. Untuk Sinovac itu juga antara 1 sampai 2 tahun, ada juga yang kurang dari 6 bulan. Ia mengatakan, vaksin Covid-19 yang saat ini digunakan untuk program vaksinasi, bisa juga dipercepat masa kedaluwarsanya oleh Bio Farma, agar lebih cepat dihabiskan. Mungkin saja dibikin setahun yang lalu, tapi supaya cepat habis, dicepatkan expired date-nya. Karena sekarang Bio Farma sedang bikin vaksin dari bulk yang baru. Karena ini sudah dikirim bulk dari Sinovac ke Bio Farma. “Mungkin bulk yang lama expired date-nya dipercepat, biar habis dulu. Jadi, yang masuk duluan itu dipakai,” ujar Kusnadi. Tunda AstraZeneca Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penggunaan vaksin Covid-19 asal AstraZeneca ditunda sementara di Indonesia. Pihaknya masih menunggu hasil penelitian dari WHO terkait efek samping dari vaksin AstraZeneca yang terjadi di Eropa. “Sampai saat ini berita yang kami terima dari WHO mereka masih meneliti, kita juga terima dari MHRA itu BPOMnya UK, dan EMA itu European Medical Authority, mereka sekarang belum mengkonfirmasi apakah ini ada korelasinya karena vaksin atau tidak,” kata Budi. Dalam Rapat Kerja di Komisi IX DPR RI, Jakarta, Senin (15/3/2021) itu, Budi mengatakan, informasi yang diterimanya sejauh ini, pembekuan darah tidak disebabkan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Namun, Kemenkes dan BPOM menunda sementara penggunaannya. Menurut Budi, untuk konservativismenya, BPOM menunda dulu implementasi AstraZenca sambil menunggu konfirmasi dari WHO. Mudah-mudahan dalam waktu singkat dapat keluar, karena memang betul yang AstraZenca ini ada expired period pada akhir Mei 2021. Budi menambahkan, pihaknya juga tengah menunggu fatwa halal vaksin AstraZeneca dari MUI. MUI harusnya ada rapat dalam besok atau lusa, sehingga fatwanya bisa dikeluarkan dalam dua hari kedepan ini. Diberitakan, hingga Kamis (11/3/2021) ada 6 negara Eropa yang menghentikan sementara penyuntikan vaksin Covid-19 AstraZeneca, menyusul adanya laporan pembekuan darah pasien usai vaksinasi. Denmark adalah negara pertama yang mengumumkan penangguhan ini, melalui pernyataan Otoritas Kesehatan negara itu. Penangguhan dilakukan sebagai tindakan pencegahan, tetapi belum dipastikan ada hubungan antara vaksin dengan pembekuan darah. Badan Obat-obatan Eropa (EMA) mengungkapkan, sampai 9 Maret ada 22 kasus pembekuan darah dari 3 juta orang lebih yang divaksinasi di Wilayah Ekonomi Eropa. Menurut dr.Tifauzia Tyassuma, Indonesia seharusnya tak perlu membeli vaksin sampai 400 juta dosis. Saat ini sudah masuk 180 juta lebih. Alasannya, mengambil patokan data yang dirilis Jhon Hopkins, di mana 60 negara sudah mengalami penurunan penularan Covid-19 karena Herd Emmunity (HE) secara alamiah yang mencapai 40-50%. Sementara, dari 220 negara dikurangi 60 negara atau sekitar 160 negara HE sudah mencapai 15 %, termasuk Indonesia. Untuk sampai tingkat HE 40-50%..di mana dari kekebalan kelompok/populasi yang terpajan virus dapat melindungi 60-50% rakyatnya secara alamiah, maka saat itu masa pandemi menuju endemi. Indonesia bisa mengejar angka ini hingga akhir 2021, sehingga pada 2022 menuju endemi. Indonesia bisa juga mengejar HE buatan lewat vaksinasi. HE alamiah dan HE buatan bisa dikolaborasikan untuk mempercepat HE yang diharapkan. Namun karena kecepatan vaksinasi perhari Indonesia hanya 60.000 populasi, maka butuh beberapa tahun kemudian untuk capai HE buatan lewat vaksinasi. Sementara vaksin yang masuk saat ini, seperti Sinovac pada Maret sampai Juni 2021 nanti masuk kadaluarsa. Bahkan berita terbaru vaksin AstraZeneca yang sudah masuk Indonesia juga kadaluarsa pada Mei 2021. Menakutkan bukan? Haruskah “vaksin sampah” itu dipaksakan diinjeksi ke lengan tangan rakyat? Siapa tanggung jawab jika terjadi efek samping seperti di Eropa? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Prof Subowo, “Vaksin Masuk Tidak Ada Gunanya Untuk Kita”

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Dalam Diskusi Grup Probiotik, Prof. dr. Subowo, MSc. PhD mengatakan, vaksinasi terhadap patogen apa saja, tujuannya bukan menaikkan antibodi, sebab jika yang diinginkan antibodi tujuannya terapi, artinya ingin segera mengatasi infeksi.Maka vaksinasi terhadap hepatitis (apapun jenis virusnya) bertujuan untuk profilaksis, artinya tidak segera dibutuhkan. Pada setiap kali vaksinasi maka tubuh ini akan merespons terhadap vaksin tersebut. Respons imun dimulai dengan pengenalan oleh sel pengenal, yaitu limfosit B menghasilkan antibodi (humoral) atau limfosit T (selular). Proses responsnya sama yang dimulai dengan pengenalan melalui molekul reseptor yang diikuti proses proliferasi (reseptor tak diperlukan lagi) dalam proses proliferasi ini dilanjutkan dengan diferensiasi menjadi 2 jenis sel, yaitu: Sel efektor (B menjadi plasma cell, T menjadi sel Tc (sitotoksik), plasma cell menghasilkan antibodi terhadap vaksin. Selain itu, menurut Prof Subowo, diferensiasi menjadi sel memor yang dilengkapi dengan reseptor. Mengapa disebut sel memori, karena di kemudian hari jika terpapar oleh vaksin yang sama atau virus patogen yang sama akan merespons mengganti fungsi limfosit yang pertama kali mengenal vaksin. Dalam imunologi disebut “virgin cell”. Virgin cell diganti oleh memory Cell. Vaksinasi yang bertujuan profilaksis tidak memerlukan antibodi, tetapi yang diperlukan memory cell karena hidupnya lama. Jika yang bersangkutan di kemudian hari orang tersebut terpapar hepatitis virus, sel memori yang banyak inilah yang akan menghadapi virus tersebut seperti yang dilakukan oleh “virgin cell”, tetapi antibodinya merupakan antibodi terhadap virus bukan terhadap vaksin. Yang penting sekarang, apa arti vaksinasi itu? Benar antibodi ketika vaksin masuk memang ada tetapi tidak ada gunanya untuk kita, karena tidak cukup jumlahnya untuk menghadapi virus yang proliferasinya cepat, lagipula vasinasi bukan untuk terapi tetapi profilaksis. Hal ini yang harus dipahami, vaksinasi tujuannya membuat sel memori sebanyak-banyaknya yang umurnya panjang. Jika pada uji klinik diukur antibodi terhadap vaksin, bertujuan untuk menguji apakah vaksin dapat merangsang respons imun. Itu yang pertama. Kedua, kapan antibodi itu habis dalam serum? Untuk menentukan waktu yang menguntungkan vaksinasi kedua. Jika masih ada antibodi maka antibodi itu akan mengikat vaksin yang berdampak mengurangi dosis vaksin kedua. Sebenarnya 2 minggu itu terlalu pendek. Efektivitas vaksin tidak diukur oleh kemampuanya menghasilkan antibodi. Khasiat vaksin dan efektivitas vaksin mengukur penurunan proporsional dalam kasus diantara orang yang telah divaksinasi. Khasiat vaksin digunakan saat ketika dilaksanakan dalam kondisi ideal, misalnya saat uji klinis. Efektivitas vaksin digunakan saat studi dilakukan di bawah lapangan khas (kondisi kurang dari sempurna). Khasiat atau efektivitas vaksin (VE) diukur dengan menghitung risiko penyakit diantara orang yang divaksinasi dan tidak divaksinasi serta menentukan persentase reduksi risiko penyakit antara orang yang divaksinasi relatif terhadap orang yang tidak divaksin. Semakin besar pengurangan persentase penyakit pada kelompok yang divaksinasi, semakin besar khasiat atau efektivitas vaksin. Memantau efektivitas vaksin sangat penting untuk: Optimalkan penggunaan sumber daya terbatas; Menunjukkan dampak vaksin pada hasil kesehatan (membenarkan biaya); Optimalkan vaksin uptake; Merangsang pengembangan vaksin yang meningkat. Prof Subowo mengingatkan, vaksinasi itu bukan terapi, maka harus tetap prokes walaupun antobodi tinggi tetap tidak melindungi diri, karena virus cepat proliferasi. Menjaga Mikrobioma Dr Widya Murni MARS, Dipl of IHS, seorang dokter umum yang praktek dalam bidang ilmu integrative dan functional medicine, lebih khusus lagi di bidang anti-aging medicine berbasis hormon mengungkap pentingnya peningkatan Vitamin D. Dalam ilmu ini, dr. Murni senantiasa mencari root of cause (akar penyebab) untuk memberi pengobatan bukan sekedar penurun gejala. Setiap terapi yang diberikan harus berasal dari root of cause-nya, seperti halnya kekurangan vitamin D. “Saya terpaksa membuat tulisan ini dengan niat baik untuk menyebarkan paradigma baru penggunaan dosis tinggi vitamin D untuk pencegahan dan pengobatan Covid-19,” tulis dr. Murni. Memang vitamin D bukan satu-satunya pendukung innate dan adaptive immune system, tapi jika kita memiliki kadar vitamin D yang rendah dan terkena Covid-19, maka akan terjadi sulit sembuh, dan bahkan sering terjadi gagal napas sehingga harus dirawat di ICU. Ada juga terjadi kegagalan multiorgan dan kematian. No one should be die with corona virus. Kata seorang ahli, harusnya tidak ada seorangpun meninggal dengan Covid-19, jika tertangani dengan baik tentunya. Dr. Murni sempat menghadiri satu acara di Kuala Lumpur yang diselenggarakan MAAFIM, organisasi Malaysia Asociation of Functional & Interdisiplinary Medicine, yang juga dihadiri semua bintang ilmu Integrative & Functional Medicine dari Malaysia dan kelas dunia. Salah satu topik penting yang ditampilkan adalah The Miracle Of Vitamin D yang dibawakan oleh Dr. Renu Mahtani dari India, murid langsung Dr. Cicero Coimbra dari Brazil. Keduanya adalah pakar dalam pengobatan autoimmune dengan menggunakan dosis tinggi vitamin D. Menurut Dr. Renu Mahtani, the real global pandemi saat ini adalah (karena) low vitamin D. Ini terjadi sebelum pandemi Covid-19 datang. Tidak hanya di negara Barat semata orang jarang berjemur, tapi di sejumlah negara tropis pun di mana sinar matahari gratis, orang tidak pernah membiasakan diri berjemur untuk menjaga kadar vitamin D yang optimal. Walaupun range normal vitamin D yang dipakai oleh sebagian besar negara di dunia sekitar 30-100 ng/mL, jika kita ingin memiliki sistem imun optimal, jangan biarkan tingkat vitamin D hanya berkisar di 30 saja. Kadar vitamin D yang kurang dari 30 ng/mL ini membuat kita dengan mudah kena influenza epidemik (dan pasti Covid-19). Karena sebenarnya batas bawah kadar 20 ng/mL itu hanya dimaksud untuk mencegah penyakit Rickets yang mungkin saat ini sudah sukar ditemukan. Dr Coimbra bahkan mengatakan, jika kita menginginkan sistem imun kita optimal, kita harus memiliki kadar vitamin D 100 ng/mL. Dan untuk mencapai kadar ini, tidak akan cukup jika kita hanya mengkonsumsi vitamin D dengan dosis 1000 iu per hari. Setidaknya, kita harus mengkonsumsi vitamin D dosis 10.000 iu per hari. Penggunaan dosis 1000 iu tersebut tak ubahnya seperti UMR, sangat susah bertahan hidup. Apalagi jika kita sudah menderita Covid-19, jangan gunakan dosis 1000 iu ini, akan lebih lama sembuhnya. Berbekal ilmu dari Dr Coimbra dan Dr Renu Mahtani tersebut, dengan penuh percaya diri, ia mencegah covid dengan dosis 10.000 iu, dan bahkan ada protokol Dr Brownstein membantu pengobatan banyak pasien covid hanya dengan vitamin D oral dosis tinggi 50.000 iu. Bahkan, tidak jarang dr. Murni menginjeksikan vitamin D dosis 600.000 iu, cara yang dulu hanya digunakan untuk boosting kadar vitamin D pada pasien kanker semata. Prinsipnya jika tidak gunakan injeksi, akan sangat lama perbaikan kadar vitamin D mendekati nilai 100 ng/mL. Namun, pandemi saat ini membuat kita harus dihadapkan pada pilihan sekaligus mengejar waktu dalam dua minggu pasien harus sembuh atau meninggal. Dengan ilmu dosis tinggi vitamin D dan vitamin C, kita bisa menyembuhkan pasien Covid dalam 3 hari hingga 1 minggu saja tanpa penyulit. Lebih dari itu, pasien cukup isoman di rumah, tidak usah berebutan masuk RS yang juga sudah habis kapasitasnya, serta tak perlu ketakutan yang selalu meliputi setiap pasien maupun keluarga. Banyak dokter takut memberikan dosis tinggi karena vitamin D ini harus diaktivasi di hati dan ginjal, sehingga konon bisa memicu gagal ginjal. Ini info hoax yang dipercaya oleh sebagian dokter yang kurang memahami dan memiliki pengalaman dalam pengobatan dengan ilmu vitamin D. Ketakutan penggunaan dosis tinggi vitamin D tersebut adalah terjadinya hiperkalsemia, atau kelebihan penyerapan kalsium yang mungkin dianggap bisa menyumbat pembuluh darah. Karenanya untuk atasi hal ini, pada mereka dengan resiko thrombosis atau pengentalan darah, itu bisa disertai vitamin K2, atau nattokinase dan serrapeptase sebagai anti kekentalan darah alami. Beberapa individu yang sudah maintain gut microbiome (menjaga mikrobioma usus) dengan baik, mengonsumsi probiotik multistrain (komunitas, atau probiotik siklus) tentu saja tidak membutuhkan tambahan vitamin K2 atau pengencer darah alami ini. Jadi, benar kata Profesor Subowo bahwa vaksin masuk memang ada, tapi tidak ada gunanya untuk kita! Klarifikasi Prof. Subowo Judul yang dibuat itu bukan merupakan kesimpulan dari seluruh uraian, tetapi diambil dari penggal kalimat agar bernada negantif. Maksud kalimat yang menyatakan: vaksin masuk tidak ada gunanya, memang pada saat itu tidak ada gunanya, tetapi dikemudian hari baru ada perlidungan, maka vaksinasi bukan untuk terapi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Dokter Tony Loman, “Beberapa Teman Saya Tertular Covid-19 Setelah Vaksinasi”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Apakah setelah vaksinasi Covid-19 kita langsung kebal terhadap penularannya ? Dokter Tony Loman, SpPK menjelaskan dalam akun Facebook-nya Lab.dr.Tony. Menurut dr. Tony Loman, SpPK, setelah divaksin, bukan langsung kebal. Butuh waktu 2-8 minggu setelah suntikan kedua untuk timbulnya antibodi yang protektif. Kebetulan ia bekerja di laboratorium, jadi bisa memeriksa antibodi spesifik yang timbul. “Hasil keluarga saya adalah sbb: Antibodi Kuantitatif (Positif bila > 0,8 u/ml); Saya = 0,4 u/ml (negatif), (H1 + 18); Anak ke-2 = 26,8 u/ml (H2 + 8); Menantu = 2.80 u/ml (H2 + 5); Anak ke-1 = 59,04 u/ml (H2 + 16),” tulisnya. H1 = suntikan pertama; H2 = suntikan kedua (Umum=Berselang 2 minggu dari H1), (Lansia = Berselang 4 minggu dari H1). Vaksinasi pertama tersebut lebih bertujuan ke pembentukan sel memori limfosit B (yang akan memproduksi antibodi), sehingga pada saat ini belum terjadi pembentukan antibodi/masih rendah sekali, baru pengenalan terhadap protein Virus. Vaksinasi ke-2 bertujuan merangsang sel memori limfosit B yang sudah mengenal protein Virus Covid-19 untuk membentuk antibodi terhadap Virus Covid. Hal ini jelas terlihat pd H1 + 18 belum terjadi pembentukan antibodi (0.4 u/mL). Semua pembentukan antibodi baru terjadi setelah H2. Semakin lama hari setelah H2, kadar antibodi akan semakin tinggi. Hasil di atas menunjukkan: H2+16 (58.04 u/mL) > H2 + 8 (26.8 u/mL) > H2 + 5 (2.80 u/mL) Jadi semua antibodi yang terbentuk di atas masih sesuai teori. Dianjurkan tes antibodi pada: Hari ke 28-60 pasca H2 pada lansia usia > 60 th; Hari ke 21-60 pasca H2 pada usia < 60 th. Jadi, bisa dipahami bahwa saat ini saya belum kebal terhadap virus Covid-19. Itu alasannya pasca vaksinasi harus tetap mempertahankan 5M. Lima M harus tetap dipertahankan hingga pandemi Covid-19 selesai, karena hingga saat ini belum juga diketahui berapa lama efektivitas dari vaksinasi Covid-19, perkiraan sementara ini adalah 4-8 bulan, masih menunggu hasil penelitian lebih lanjut. Apakah suatu saat kita memerlukan vaksinasi yang ke-3? Mungkin, tunggu perkembangan penelitian lebih lanjut. “Bukti di lapangan ada beberapa teman saya yang tertular Covid-19 setelah vaksinasi H2. Jangan cepat merasa aman segera setelah vaksinasi tetap waspada,” ujar Dokter Tony. Untuk mengetahui apakah kita sudah kebal atau belum, harus periksa di laboratorium parameter: Anti Sarscov2 - kuantitatif. Berapa batas kadar protektif antibodi tersebut? Menurutnya, hingga saat ini masih dalam penelitian, semoga cepat selesai, dan kita bisa mendapat nilai protektif tersebut. Fakta Medis Bukti di lapangan yang disampaikan Dokter Tony memang benar adanya. Ini yang terjadi pada Ketua DPD PKS Kabupaten Bekasi, Imam Hambali yang meninggal dunia diduga terpapar Covid-19. Padahal, sebelum ia dinyatakan meninggal dunia, Imam sempat mengikuti vaksinasi massal yang digelar Satgas Covid-19 di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi, Muhammad Nuh, Kamis (11/3/2021), mengatakan, ia juga baru tahu berita dari tetangganya, “saya kroscek dengan keluarganya betul wafat, tadi jam 3.30 pagi”. “Informasi ketika beliau minta instirahat karena lelah waktu itu habis rapat karena tipes, yang sampai ke telinga kita karena tipes,” kata Nuh, seperti dilansir SindoNews, Kamis (11 Maret 2021 - 09:12 WIB). Nuh kaget dengan informasi, Imam meninggal karena Covid-19. Padahal, ia telah divaksin dosis pertama. ”Padahal sudah divaksin, kita juga enggak mengerti ya kok bisa ya. Katanya kalau sudah divaksin itu daya tahan tubuh 50% sudah bisa menangkal,” ungkapnya. Sebelumnya, kasus kematian pasca divaksin juga menimpa Taslim Azis, mantan atlit pencak silat asal Maluku. Taslim meninggal dunia Sabtu, 28 Februari 202, sekitar pukul 23.00 WIB di Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta. Informasi tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon melalui akun Twitter resminya. Taslim juga salah seorang politisi dari Partai Gerindra dan sekaligus mantan anggota DPR Fraksi Gerindra. Ia adalah fungsionaris DPP Gerindra serta PB Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI). Dalam dunia pencak silat, namanya tidak asing lagi. Taslim tercatat pernah 2 kali juara dalam Kejuaraan Dunia serta 5 kali merebut medali emas SEA Games. Setelah pensiun sebagai atlet, Taslim beralih profesi menjadi pelatih pencak silat nasional dan juga beberapa kali menjadi manajer tim Indonesia di SEA Games maupun kejuaraan dunia. Ia meninggal dunia sehari pasca mengikuti vaksinasi Covid-19. “Iya bener, hari Jum’at bapak divaksin,” kata Haikal Taslim Azis, putra Taslim Azis kepada FNN.co.id. Politisi Gerindra Sufmi Dasco yang sempat melayat bersama Fadli Zon tidak mengetahui penyebab Taslim meninggal. “Tapi waktu saya melayat, katanya karena serangan jantung,” kata Dasco kepada fnn.co.id.. Sebelumnya, “vonis jantung“ juga pernaqh diarahkan pada Dokter JF yang meninggal dunia pasca divaksin Covid-19 pada Kamis (14/1/2021). Korban meninggal di dalam mobil. Ia tak punya comorbid dan tidak memiliki riwayat dirawat di rumah sakit. Dokter forensik RS M Hasan Bhayangkara Palembang Indra Nasution mengatakan, Dokter JF meninggal pada Jumat (22/1/2021) pagi. Hal tersebut diketahui dari otot jenazah yang belum kaku. Tim forensik menemukan bintik pendarahan yang disebabkan kekurangan oksigen di daerah mata, wajah, tangan, dan dada. Temuan itu menyimpulkan dugaan penyebab kematiannya. “Diduga meninggal karena sakit jantung,” ungkap Indra. “Benar berdasarkan laporan yang bersangkutan baru saja divaksin, namun vaksin tidak ada hubungan dengan penyebab kematian. Jika akibat vaksin, pasti reaksinya lebih cepat dan matinya juga (akan) lebih cepat karena disuntikkan,” lanjutnya. Fakta medis pasca divaksin ada yang terinfeksi Covid-19 menjadi bukti, vaksin yang sudah dilabeli “aman dan halal” ternyata “tidak aman”. Ditambah lagi, ada beberapa kasus nakes di Indonesia yang juga mengalami hal serupa. “Bukti di lapangan ada beberapa teman saya yang tertular Covid-19 setelah vaksinasi H2. Jangan cepat merasa aman segera setelah vaksinasi tetap waspada,” ujar Dokter Tony. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Vaksin Covid Astra-Zeneca Bikin Polemik, Indonesia Tetap Pakai?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sebuah media Italia Ilmessaggero.it, Kamis (11 Marzo 2021) memberitakan, Denmark menghentikan penggunaan Vaksin AstraZeneca karena ditemukan kasus serius pembekuan darah pada pasien setelah penyuntikan vaksin AstraZeneca. Diberitakan, Otoritas Kesehatan Nasional Denmark telah menangguhkan pemberian vaksin AstraZeneca sebagai tindakan pencegahan setelah melaporkan beberapa kasus pembekuan darah yang serius. Otoritas Denmark tak mengungkap berapa banyak laporan pembekuan darah yang ada, baik yang ada di Denmark ataupun negara lain. Stockholm hanya menuturkan, laporan ini tidak bisa diremehkan dan harus ditindak dengan serius. Dalam keterangan persnya, Otoritas Kesehatan Nasional Denmark sendiri sedang melakukan penyelidikan pada kasus-kasus ini untuk menetapkan apakah ada kaitannya dengan vaksinasi tersebut. Menurut Direktur Otoritas Kesehatan Nasional, Soren Brostroem, pihaknya berada di tengah-tengah program vaksinasi terbesar dan terpenting dalam sejarah Denmark. Saat ini Otoritas Kesehatan Nasional membutuhkan semua vaksin yang bisa didapatkan. Oleh karena itu, menghentikan sementara salah satu vaksin bukanlah keputusan yang mudah. Tetapi justru karena Denmark memvaksinasi begitu banyak, maka pihaknya juga harus segera merespons ketika menyadari kemungkinan efek samping yang serius. “Kami perlu mengklarifikasi ini sebelum kami bisa terus menggunakan vaksin AstraZeneca,” kata Soren Brostroem. Tak lama setelah Denmark, Norwegia dan Islandia juga menghentikan penggunaan vaksin sebagai tindakan pencegahan hingga ada pemberitahuan lebih lanjut. Siaran pers perusahaan AstraZeneca mengatakan, pihaknya “mengetahui” keputusan pihak berwenang Denmark untuk menangguhkan pemberian vaksin Covid-19, menyusul laporan efek samping obat tersebut. “Keselamatan pasien adalah prioritas tertinggi AstraZeneca. Regulator memiliki standar yang jelas dan ketat mengenai kemanjuran dan keamanan untuk menyetujui obat baru dan ini juga termasuk vaksin Covid-19 dari AstraZeneca,” tulis perusahaan farmasi Anglo-Swedia itu. Perusahaan menyebutkan, keamanan vaksin telah dipelajari secara ekstensif dalam uji klinis Fase III dan data mengkonfirmasi bahwa vaksin secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Italia bukan satu-satunya negara yang, menurut informasi yang dirilis European Medicines Agency (EMA, Badan Farmasi Eropa), telah menerima vaksin AstraZeneca batch ABV5300, yang sedang diteliti terkait kematian yang ada di Austria, kasus emboli paru, dan dua laporan tromboembolitik. Sementara evaluasi Komite Ema Prac, yang menangani farmakovigilans menambahkan, badan UE menjelaskan bahwa sebanyak 1 juta dosis tersebut telah menjangkau 17 negara: Austria, Bulgaria, Siprus, Denmark (yang menangguhkan vaksinasi dengan AstraZeneca), Estonia , Prancis, Yunani, Islandia, Irlandia, Latvia, Lituania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Spanyol, dan Swedia. EMA menjelaskan, setelah Austria, 4 negara lain – Estonia, Lithuania, Latvia, Luksemburg – telah menangguhkan batch tunggal ini sebagai tindakan pencegahan, pada tahap penyelidikan sedang dilakukan. Prac akan melanjutkan penilaiannya “dari setiap potensi masalah dengan lot, serta peninjauan peristiwa tromboemboli dan kondisi terkait”. EMA meyakinkan, yang kemarin melaporkan, pandangan pertama dari data oleh Prac tidak menunjukkan masalah spesifik. Dengan lot dan tak ada “indikasi bahwa vaksinasi telah menyebabkan kondisi ini, yang tidak ada sebagai efek samping dari vaksin ini”. Menyusul pelaporan beberapa kejadian merugikan yang serius, bersamaan dengan pemberian dosis milik batch lain (ABV2856) dari vaksin anti Covid-19 AstraZeneca, Badan Obat Italia AIFA telah memutuskan untuk melarang penggunaan lot ini secara nasional. Itu dilakukan sebagai tindakan pencegahan untuk mengeluarkan larangan penggunaan lot ini di seluruh wilayah nasional dan berhak untuk mengambil tindakan lebih lanjut, jika perlu, ini juga dalam koordinasi yang erat dengan EMA, Badan Farmasi Eropa. Untuk saat ini, memang tak ada hubungan sebab akibat antara pemberian vaksin dan kejadian ini. AIFA melakukan semua pemeriksaan yang diperlukan, memperoleh dokumentasi klinis dalam kerjasama erat dengan NAS dan otoritas yang kompeten. Sampel dari lot ini akan dianalisis oleh Istituto Superiore di Sanità. AIFA juga akan segera mengkomunikasikan “informasi baru yang harus tersedia”. Penangguhan batch ini dilakukan setelah terjadi kematian yang mencurigakan. Sebuah kasus yang dicurigai, terkait dengan keputusan AIFA untuk melarang penggunaan dosis batch ABV2856 dari vaksin AstraZeneca di wilayah nasional setelah ada beberapa “kejadian merugikan yang serius”, seperti dilaporkan di Sisilia. Seorang tentara yang bertugas di Augusta (Sr), Stefano Paternò, 43, berasal dari Corleone, tetapi penduduk di Misterbianco (Ct) meninggal Rabu (10/3/2021) pagi karena serangan jantung di rumahnya. Sehari sebelumnya tentara tersebut telah menjalani vaksin dosis pertama dari batch yang sama yang dirujuk AIFA. Dalam kasus ini Jaksa Syracuse telah membuka penyelidikan dan memerintahkan otopsi. Pada hari-hari ini, berita mengkhawatirkan telah beredar di Astrazeneca: seorang perawat tewas di Austria (dan satu lagi dirawat di rumah sakit), dan seorang tentara Italia yang meninggal setelah divaksin. Saat ini tidak ada berita resmi tentang korelasi antara vaksinasi dan kematian. Tapi, masih banyak orang yang mengeluhkan efek samping yang sangat berat akibat dosis Astrazeneca. Menteri Denmark Magnus Heunicke sendiri merinci, di Twitter, bahwa belum jelas apakah masalah ini terkait dengan vaksin. Pihaknya membutuhkan investigasi dan wawasan. Sementara Wina dengan Estonia, Lituania, Latvia, dan Luksemburg, mereka memutuskan untuk menghentikan sebagai langkah antisipasi. Bagaimana dengan Indonesia? Meski terjadi kasus kematian nakes pasca vaksinasi dengan Vaksin Sinovac, pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih berkutat pada polemik apakah itu termasuk Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau bukan. Dan bahkan, tidak ada keberanian untuk menunda atau menghentikan sementara vaksinasi selama belum ada hasil investigasi atau penelitian terkait kematian pasca vaksinasi tersebut. Jawaban klasiknya, “Itu cuma sekian persen, masih kecil!” Para pejabat terkait lebih bangga dengan mengatakan, kita bisa “mengamankan” sekian juga vaksin, sementara negara lain masih rebutan. Tanpa pernah menelisik apakah vaksin tersebut aman atau tidak, seperti AstraZeneca yang ternyata “tidak aman”. Bahkan, meski belum pernah uji klinis di Indonesia, dengan mudahnya kita terima begitu saja 1,1 juga dosis Vaksin AstraZeneca yang sudah masuk ke Indonesia. “Hari ini Indonesia menerima pengiriman pertama vaksin AstraZeneca sebesar 1.113.600 vaksin jadi,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam juma pers disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, seperti dilansir Detik.com, Senin (08 Mar 2021 18:12 WIB). Presiden Joko Widodo juga menuturkan jutaan dosis vaksin AstraZeneca segera masuk RI. Menurutnya, Indonesia telah memiliki 38 juta dosis vaksin Covid-19. Tiga juta dosis dalam bentuk sudah jadi dan 35 juta dalam bentuk bahan baku vaksin. “Dan insya’ Allah juga di bulan Maret ini, akan datang lagi vaksin AstraZeneca sebanyak 4,6 juta dosis vaksin jadi,” kata Jokowi dalam video yang disiarkan di YouTube Sekpres, Kamis (4/3/2021). Apakah Indonesia tetap memakai vaksin AstraZeneca meski sebagian negara di Eropa tadi menghentikan vaksinasi karena adanya kematian pasca disuntik Vaksin AstraZeneca? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Probiotik, Manjur Atasi Semua Jenis Varian Corona

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Seorang dokter membuat status di laman Facebook-nya tentang Virus Corona B117 disertai link beritanya. “.... dan... Mutasi Lagi ....” Status itu kemudian dikomentari oleh sejawatnya yang juga seorang dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. “Anak saya Januari lalu sepertinya sudah kesenggol B117 ini... gejalanya persis sama plek. Alhamdulillah 4 hari digeber probiotik sudah sehat lagi,” tulisnya. Apa yang dialami anak dokter ini adalah fakta medis, bukan hoax, termasuk aplikasi formula probiotik. Masuknya Corona B117 tersebut diungkap oleh Wakil Menteri Kesehatan dr. Dante Saksono. Ada dua kasus varian baru Corona B117 yang ditemukan di Indonesia. Laporan diumumkan bertepatan dengan setahun pandemi Corona di Indonesia. Ia mendapatkan informasi, tepat dalam setahun ini Kemenkes menemukan mutasi B117 UK mutaion di Indonesia. “Ini fresh from the oven, baru tadi malam ditemukan 2 kasus. Artinya kita kana menghadapi pandemi ini dengan tingkat kesulitan yang makin berat,” ujar Dante. Varian Corona Inggris B117 tersebut sebelumnya sudah menyebar di setidaknya 60 negara, berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Varian Corona Inggris B117 yang diyakini 70 persen lebih menular ini juga merebak di Singapura dan India. Namun, gejala COVID-19 yang dilaporkan beberapa pasien yang terkena varian Corona B117 ini berbeda dengan biasanya. Apa saja? 1. Kelelahan dan merasa lesu. Para pakar Inggris menemukan pasien Corona baru-baru ini lebih umum mengalami gejala Covid-19 kelelahan di awal terpapar. Kelelahan akibat infeksi Covid-19 varian baru ini disertai dengan rasa pusing. Alasan pasien Corona bisa mengalami gejala ini salah satunya disebabkan adanya sitokin dalam sistem kekebalan tubuh, respons dari reaksi infeksi yang menyerang tubuh. Efek samping melawan patogen dapat membuat tubuh merasa lelah terus menerus. 2. Mual hingga pusing. Selain itu, gejala Covid-19 neurologis seperti pusing, kelelahan, hingga mual juga ditemukan pada pasien Corona Inggris. Sulit membedakan gejala ini dengan penyakit lainnya lantaran bisa juga dipicu kondisi lain. Namun, satu-satunya cara yang bisa dilakukan saat muncul gejala Covid-19 mual hingga pusing di awal terpapar adalah istirahat yang cukup dan mengatur pola makan. Sebisa mungkin menghindari lebih dulu olahraga berat. 3. Nyeri otot. Varian baru Corona B117 Inggris juga membuat para pasien mengalami nyeri otot. Jumlah kasus yang mengalami gejala Covid-19 nyeri otot ini juga meningkat dua kali lipat di Inggris. Sebenarnya, penyebab nyeri otot bisa terjadi karena myalgia. Kondisi saat virus menyerang serat otot dan lapisan jaringan penting. Adanya peradangan secara luas juga bisa menyebabkan nyeri sendi, rasa lemah dan nyeri tubuh selama terpapar. Jika mengalami gejala Covid-19 ini ada baiknya kamu segera melakukan tes. Selain tiga gejala tersebut, berikut gejala COVID-19 lain yang ditemukan Layanan Kesehatan Inggris (NHS), seperti dikutip dari Express UK. 1. Sakit (radang) tenggorokan; 2. Diare; 3. Konjungtivitis (mata merah); 4. Sakit kepala; 5. Ruam pada kulit; 6. Perubahan warna (discolouration) pada jari tangan dan kaki. Sebelumnya, Pemerintah telah mengungkap temuan dua kasus varian baru Corona B117 di Karawang. Berdasarkan keterangan, kedua pasien merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang datang dari Arab Saudi beberapa waktu lalu. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi mengungkap kondisi terkini dua pasien yang terinfeksi virus Corona varian baru B117. “Gejala sama dengan infeksi virus Covid biasa. Kondisi sudah sehat, sudah kembali bersama keluarga,” kata dr. Nadia kepada Detikcom, Kamis (4/3/2021). Menurutnya, kedua kasus ini ditemukan saat surveilens genom sequensing pada pelaku perjalanan. “Jadi, dari orang yang datang dari Arab,” lanjut dr. Nasia. Saat ini pihaknya masih melakukan proses tracing ke sejumlah orang yang pernah kontak dekat dengan pasien. Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Karawang dr. Fitra Hergyana menyebut total sudah ada 15 orang yang ditracing terkait temuan kasus Corona B117. Dari dua kasus yang ditemukan, Fitra menyebut hanya ada satu yang mengeluhkan gejala yakni Ny M. Namun disebutkan, gejala yang dikeluhkan masih dikategorikan ringan. “Sudah negatif dan sebenarnya baik-baik saja, sebelumnya yang satu kan memang sempat ada demam dan batuk, tapi sudah pulih,” kata Fitra, Rabu (3/3/2021). Mengapa Probiotik Mengapa Virus Corona bisa bermutasi dengan variasi genetika yang berbeda? Salah satunya karena masifnya penyemprotan desinfektan berbasis alkohol dan bahan kimia lainnya. Perlu dicatat, virus corona itu basic-nya seperti virus influenza. Habitatnya juga ada di kulit sekitar hidung manusia. Mereka ini bertugas membersihkan zat-zat patogen yang menempel di kulit sekitar hidung dan bibir atas. Mereka juga bertugas membantu menjaga kelembaban kulit manusia. Jadi, sebenarnya virus corona tersebut berada di tubuh manusia. Sifat dasar virus/bakteri itu serupa dengan antibodi, manusia, hewan, atau tanaman. Yakni, kalau mereka tersakiti, mereka akan memperkuat dirinya, dan menggandakan dirinya beratus-ratus kali lipat, dibandingkan pada kondisi normal. Covid-19 yang tertuduh sebagai pembunuh massal sadis itu, berusaha dibunuh secara massal pula, dengan disemproti desinfektan secara massal. Akibatnya, ada sebagian yang mati, ada sebagian yang masih hidup. Mungkin yang masih hidup lebih banyak dibanding dengan yang sudah mati. Karena sudah menjadi sifatnya virus/bakteri itu, maka yang hidup ini menggandakan dirinya beratus-ratus atau beribu-ribu kali lebih banyak dan lebih kuat dibanding sebelumnya. Kalau sebelumnya kemampuan terbangnya hanya sekitar 1,8-2 m, menjadi akan lebih jauh lagi dibanding dengan itu. Kemampuan terbang lebih jauh inilah yang menyebabkan mereka menjadi bersifat “airborne infection”. Lalu karena jumlah mereka sangat banyak, mereka juga menemukan bakteri-bakteri lain yang mempunyai daya terbang lebih jauh. Corona menumpang pada bakteri lainnya. Hal ini serupa dengan pesawat ulang alik yang numpang pada pesawat yang berbadan lebih besar. Akibat dari penyemprotan desinfektan secara massal, menyebabkan mereka menjadi: Lebih banyak; Lebih kuat; Mampu terbang lebih jauh; Daya rusaknya lebih hebat. Pada saat ditemukan di Timteng yang disebut dengan MERS-CoV (middle east respirstory syndrome coronavirus), yang menjadi kambing hitamnya adalah Onta. Karena hewan itulah yang ada di sana. Kematian tidak ada hubungannya dengan corona. Kalau waktunya mati, tak ada corona pun, bisa mati. Andaikan didemo besar-besaran sama corona, kalau belum waktunya mati, ya tetap sehat. Corona itu sahabat kita, bukan musuh kita. Kesembuhan anak seorang dokter yang diduga sudah terinfeksi Corona B117 di awal tulisan, tidak lepas dari “vaksin” probiotik berbasis mikrobiota. Perlu diketahui, formula probiotik adalah bakteri komunitas dengan jumlah ribuan strains bakteri tanah (hingga 7500 strains) dan didominasi oleh “sekumpulan bakteri negatif” yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada saat virus dihadirkan probiotik, maka virus corona ini berasumsi yang dihadirkan di probiotik itu adalah kawan-kawan mereka. Sehingga “virus tidak lagi merasa diserang, tidak merasa disakiti, tidak merasa terancam keberadaannya”. Yang terjadi kemudian, bersama-sama dengan sekumpulan bakteri lengkap probiotik, mereka akan hidup normal, berkembang dan regeneratif sesuai fitrahnya. Keseimbangan Mikrobiota kemudian yang terjadi. Pada saat semua seimbang, selesai sudah masalah karena tidak lagi ada yang terlalu dominan, tak lagi ada ketimpangan. Pada dasarnya, semua ciptaan Allah SWT itu diciptakan dalam keadaan berpasang-pasangan. Manakala tidak ada pasangannya, mereka akan gelisah, lalu mereplikasi dirinya semaksimal mungkin. Hal itu dilakukan karena adanya ketakutan/kegelisahan mereka. Dengan menyemprotkan cairan ber-probiotik di bagian luar tubuh manusia, maka membuat mereka tidak resisten dan tidak berkembang biak terus-menerus. Dengan memasukkan probiotik ke dalam tubuh penderita, maka corona itu akan menemukan pasangannya, sehingga mereka merasa aman, dan tak akan melakukan proses regeneratif lagi. Mereka merasa nyaman, lalu secara bertahap akan menjadi bagian dari mikrobioma di tubuh. Mereka menjadi mematikan dan sangat ganas, karena ketakutannya akan keberlangsungan hidupnya di dunia akan berakhir, makanya mereka berusaha sekuat-kuatnya mempertahankan keberadaannya di muka ini. Kalau terjadi di dalam tubuh, terutama di saluran pernafasan, mereka akan mengalami proses regenerasi yang sangat cepat. Itu dilakukan sebagai bentuk usahanya untuk mempertahankan kehidupannya. Dalam proses itulah muncul cairan, sebagai tempat hidup mereka. Hanya saja, cairan tempat hidupnya itu bersifat toksik bagi tubuh manusia, sehingga merusak mukosa di saluran pernafasan, dan sampai ke paru-paru, merusak paru-paru, lalu paru-paru kaku, tidak bisa bergerak secara leluasa, akibat nafasnya sesak, maka gagal nafas. Dengan memasukkan probiotik ke ttubuh kita, maka corona sebagian besar akan menemukan pasangannya, sehingga mereka tak regeneratif lagi, dan bersifat tak menyakiti. Sisanya, akan dikoloni oleh probiotik yang lainnya. Jadi, formula probiotik itu tidak bersifat membunuh mereka, tetapi menjadi sahabat mereka, dan mengajak kembali ke habitat dan sifat alamiahnya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Teraktual, Satu Jurnalis Terkena KIPI Vaksin Corona!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Fakta: News Anchor JawaposTV, Dean Cahyani, dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, usai menjalani vaksin Covid-19 di Gelora Bung Karno (GBK), Kamis (25/2/2921) siang. Kepada awak media, Dean mengatakan, setelah menjalani vaksin, dirinya merasa mual dan pusing dan diikuti dengan pembengkakan pada kedua mata dan bibirnya. “Jadi tadi setelah vaksin, saya langsung ke kantor buat siaran. Pas mau mulai, saya langsung merasa mual dan pusing. Semua pada panik, karena mata dan bibir saya mengalami bengkak, kemungkinan alergi,” kata Dean di Ruang IGD, Kamis (25/2/2921) malam. Tak hanya sampai di situ, Dean juga mengakui efek lain yang dialaminya adalah gangguan penglihatan. Dia tak bisa melihat karena pembengkakan di kedua matanya itu. “Saya gak bisa melihat, kalau mau kirim pesan harus dekatin handpone,” ungkapnya. Sebelumnya, Dean dibawa ke Puskesmas Kebayoran Lama agar mendapatkan penanganan darurat. Tetapi, sampai di Puskesmas Kebayoran Lama, pihak Puskesmas kembali merujuk Dean ke RSUD Kebayoran Lama. Saat itu, pihak RSUD Kebayoran Lama kabarnya akan merujuk Dean ke RS lainnya, karena tidak ada ruang inap bagi pasien yang harus menjalani rawat inap. Kabarnya, Dean bakal ditujuk kembali ke RS Farmawati. Dihubungi terpisah, Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Profesor Hindra Irawan Satari menjelaskan efek samping yang dialami Dean kemungkinan diakibatkan oleh alergi. “Kayaknya alergi, bila diobati biasanya sembuh, mungkin, dia alergi terhadap komponen vaksin yang belum dia/kita ketahui,” kata Prof Hindra, seperti dilansir Suara.com, Jumat (26/2/2021). Prof Hindria menyarankan calon penerima vaksin harus paham betul kondisi kesehatannya sebelum divaksin, jika mempunyai riwayat penyakit atau alergi harus konsultasi ke dokter terkait untuk diberi surat keterangan layak vaksin oleh dokter. “Bila ada komorbid, sebaiknya pastikan dalam keadaan terkendali,” tegas Prof Hindria. Pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri mengakui adanya sejumlah jurnalis yang dilarikan ke RS pasca mendapatkan vaksin Covid-19 di Hall A Basket Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Kamis (25/2/2021). Melansir Lampungpro.co, Juru bicara Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmidzi, yang dikonformasi awak media, mengatakan puluhan wartawan terkapar setelah divaksin. Ada yang pusing dan mual-mual hingga pingsan. Kemenkes kemudian membawa mereka ke RS untuk observasi. Dari hasil observasi tersebut diketahui, banyak wartawan begadang dan tidur di atas pukul 22.00. Hal ini sangat berpengaruh ke metabolisme tubuh yang mau divaksin. Ini juga berpengaruh ke tensi dan kadar darah seseorang. Bahkan ada yang ditensi sampai 160 atau 170. “Jadi, buat jurnalis yang dua pekan lagi terima suntikan kedua, atau yang akan divaksin pertama dimohon tidak begadang sehari sebelum vaksinasi,” kata Siti Nadia. Selain itu, banyak wartawan yang tidak sarapan sebelum divaksin. Keinginan cepat datang dan selesai membuat banyak wartawan tidak sarapan dengan baik. Jenis sarapannya juga tidak bergizi dan ini juga sangat berpengaruh ke kondisi tubuh, terutama rendahnya gula darah. Kebanyakan dari mereka yang terkapar ketika diinfus di rumah sakit beberapa jam kemudian langsung pulih. Jadi, Siti Nadia memohon untuk tidak lupa sarapan pagi saat mau divaksin. Selain itu, banyak wartawan ketakutan dan cemas saat antri. Hal ini juga bisa memperparah kondisi tubuh seseorang. Dengan beban psikologis yang berat membuat sistem kekebalan tubuh menurun. Sementara kandungan vaksin Sinovac mengharuskan siap dari sisi tersebut. Hal ini selaras dengan data KIPI bahwa 64% peserta vaksinasi stres dan membuat mereka merasakan efek samping. Kemenkes sebelumnya telah memastikan penggiliran jumlah peserta yang mencapai 5.512 orang insan pers. Para peserta vaksinasi terdiri atas 512 orang yang sejak awal dijadwalkan divaksin dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2021. Lalu, sebanyak 5.000 insan pers yang dikoordinasikan oleh Dewan Pers dari 10 organisasi konstituen Dewan Pers dan Forum Pemred. Organisasi tersebut antara lain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Penerbit Pers (SPS), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Kemudian Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI). Selama tiga hari berturut-turut, wartawan yang mengikuti vaksinasi Covid-19 dikelompokkan ke dalam tiga sesi. Sesi pertama dimulai pukul 08.00-10.00, sesi kedua pukul 10.00-12.00, dan sesi ketiga dimulai pukul 13.00-16.00 WIB. Terpapar Corona Meski sudah divaksin Covid-19 ternyata belum jaminan kebal dan tidak terpapar virus Covid-19. Kalau begitu apa gunanya vaksin Covid-19? Ini dialami 10 nakes Puskesmas Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan (Tangsel). Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Banten, Budi Suhendar, memberikan penjelasan terkait 10 nakes Puskesmas Jombang itu. Dia merujuk pernyataan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) terkait tingkat keampuhan vaksin Covid-19. “Seseorang tidak langsung (bisa) kebal 100% setelah disuntik vaksin Covid-19. Sebab, masih memerlukan waktu untuk meningkatkan antibodi di dalam tubuh,” kata Budi melalui aplikasi pesan singkat, seperti dilansir TribunJakarta.com, Rabu (24 Februari 2021 15:44). Budi menegaskan, vaksin bukan jaminan kebal terinfeksi virus ganas itu. Upaya pencegahan dengan penerapan protokol kesehatan mutlak dilakukan. “Sehingga dapat saja seseorang yang sudah divaksin terinfeksi virus Covid-19,” jelasnya. Yang artinya, walaupun sudah divaksin kita tetap harus melaksanakan upaya pencegahan selama bekerja dan saat berada di mana saja. Selain itu, proses vaksinasi belum menyeluruh sehingga belum terbentuk kekebalan komunal atau herd immunity. “Walaupun sudah divaksin kedua, tetap saja prokes harus dilakukan. Karena secara komunal kekebalan kelompok juga belum terbentuk,” katanya. Diberitakan sebelumnya, total ada 15 nakes dan tujuh siswa magang yang terpapar Covid-19 di Puskesmas Jombang. Dari 15 nakes, 10 diantaranya sudah menjalani vaksinasi Covid-19. Kasus serupa juga dialami Wakil Bupati Nganjuk, Marhaen Djumadi, positif Covid-19. Saat dinyatakan positif, ia ternyata sudah 2 kali divaksin bersama Forkopimda lainnya. Marhaen membenarkan, dirinya positif Covid-19. Kabar itu diterima Marhaen dari RSUD Nganjuk pada Kamis (18/2/2021). “Benar kabar dari RSUD Nganjuk Kamis kemarin,” jelasnya. Menurut analisa Presiden Ahlina Institute for Anvancing Health Literacy on Nutrition and Neuroscience Indonesia dr. Tifauzia Tyassuma, nakes sebagai priorotas mendapat vaksinasi Sinovac pertama seluruh Indonesia sebanyak 1,4 juta. Setelah 14 hari vaksinasi kedua dari jumlah itu hanya sekitar 800 ribu lebih yang melakukan vaksinasi kembali. Artinya ada sekitar 600 ribu tidak mendapat kekebalan tubuh sesuai yang diharapkan. Namun, belum ada penelitian mengapa nakes tidak vaksin kembali lagi: apakah mereka ragu terhadap kemampuan vaksin Sinovac yang hanya efektifitasnya 50,4 %, yang artinya dari 100 yang divaksin hanya 50 orang kemungkinan kebal terhadap virus; Atau nakesnya puas cukup sekali vaksin karena sudah mendapat sertifikat dan dicatat sebagai orang yang sudah divaksin. Yang menarik juga dari analisa Dokter Tifa, Covid-19 meski daya infeksi menyebar sangat cepat karena inangnya manusia, bukan lagi kelelawar yang awalnya sangat mematikan, yakni 9,7% di seluruh dunia, sekarang tinggal 3% saja. Sementara Case Fatalitas Rate (CSR) di seluruh dunia sudah tinggal 2,3%, tetapi Indonesia masih 3%. Makanya, prokes 3 M itu tetap harus ketat dilaksanakan, karena ilmuwan seluruh dunia mengakui cara ini bisa menahan laju penularan Covid-19. Sebab vaksin baru mulai dan belum bisa dijadikan patokan. Pada 2021 meskipun disarankan Dokter Tifa untuk kembali bekerja-bekerja-bekerja, tetapi tetap jaga ketat 3 M. Disarankan pakai masker medis dua lapis jika ingin ketemu orang. Apalagi, Covid-19 yang semula dibantah bukan airbone itu, sekarangg diakui WHO, bahkan mutasinya saat ini bisa hidup 8-20 jam dengan jangkauan 8 meter. Penulis adalah wartawan senior FNN.co.id.

Sebut Kematian Disebabkan Covid-19, Alibi Agar Non-KIPI?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Pada Selasa, 23 Februari 2021, beredar Press Release Komda KIPI Sulawesi Selatan: “Kematian Ny. ES Tidak Berhubungan dengan Vaksin”. Contact Person bisa hubungi​: Dr. dr. Martira Maddeppungeng, SpA(K). Bahwa World Health Organization (WHO) telah menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi global pada Rabu, 11 Maret 2020. Indonesia merupakan salah satu dari 114 negara yang mengalaminya. Saat ini kasus di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, per 22 Februari 2021 mencapai 54.209 kasus terkonfirmasi. Vaksinasi Covid-19, bagian penting dari upaya penanganan pandemi Covid-19 yang menyeluruh dan terpadu meliputi aspek pencegahan dan penerapan prokes. Vaksinasi Sinovac sebagai upaya Pemerintah dalam melindungi seluruh rakyatnya, dilakukan sebanyak 2x dengan jangka waktu 14 hari. Kekebalan tubuh baru terbentuk maksimal setelah 28 hari sejak vaksinasi pemberian pertama diberikan. Upaya penanganan pandemi ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan mengadakan vaksinasi Covid-19. Ny. ES di sini adalah inisial dari nama DR. Eha Soemantri SKM, MKes, Bendahara Persakmi Sulawesi Selatan. Komda KIPI (Komisi Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) Sulawesi Selatan mengadakan penyelidikan, almarhumah mendapat vaksinasi Covid -19 pada Kamis, 14 Januari 2021. Kemudian almarhumah pergi ke Mamuju, 5 hari sebelum vaksinasi Covid-19 ke 2 pada Kamis, 28 Januari 2021. Doktor Eha diketahui mendapat gejala sesak, demam, batuk 3 hari pasca vaksinasi dan dinyatakan terkonfirmasi Covid-19 pada Senin, 8 Februari 2021. Setelah mendapat perawatan di RS Pelamonia kemudian dirujuk ke RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dinyatakan negatif PCR pada Kamis, 18 Februari 2021. Kesimpulan: 1. Almarhumah kemungkinan tertular saat pergi ke luar kota sebelum vaksinasi kedua diberikan dan kontak dengan anggota keluarga lain terkonfirmasi Covid-19 yaitu suami beserta ketiga anaknya; 2. Gejala timbul setelah vaksinasi kedua. Kekebalan tubuh pada saat itu belum terbentuk maksimal; 3. Almarhumah sudah mendapatkan penanganan sesuai tatalaksana Covid-19 dengan hasil PCR swab nasofaring terakhir negatif. Namun pada beberapa kasus Covid-19, perburukan terjadi karena badai sitokin sehingga menyebabkan masalah sistemik berbagai organ sehingga terjadi gagal nafas; 4. Kematian disebabkan oleh Covid-19 bukan karena vaksin. Bersama beberapa pejabat Pemprov Sulsel dan Forkopimda di Sulsel, pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoni terkait vaksinasi, setelah divaksin beberapa waktu lalu. Eha mengimbau masyarakat untuk tidak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntikan vaksin pada tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut. “Alhamdulillah, setelah divaksin saya tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, mari kita mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus Covid-19,” ujarnya. Tapi, Jumat (19/2/2021) pagi, Eha dinyatakan meninggal dunia di RS Wahidin Sudiro Husodo, Kota Makassar. Yang dialami Eha sudah seharusnya dilakukan investigasi karena peristiwa itu termasuk dalam kategori KIPI Serius. Sebelumnya, KIPI Serius lainnya dialami nakes RSUD Ngudi Waluyo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Erny Kusuma Sukma Dewi (33), yang meninggal setelah disuntik vaksin Covid-19, pada Minggu, 14 Februari 2021. Nakes Erny menjalani vaksinasi tahap pertama pada Kamis, 28 Januari lalu. Sebelum disuntik vaksin Sinovac, ia juga menjalani screening seperti yang lain, dan dinyatakan sehat. Erny tak memiliki penyakit penyerta. Suhu tubuh juga normal. Sembilan hari setelah vaksinasi (tahap 1), Erny tiba-tiba mengalami gejala sakit. Tubuhnya panas. Juga, muncul sesak yang itu membuat yang bersangkutan langsung dilarikan ke rumah sakit. Saat di swab ternyata positif (Covid-19). Kabar terbaru, drg. Bernadi Into, Sp.Prost, meninggal dunia, Senin, 22 Februari 2021, karena Covid-19. Padahal, Rabu, 27 Januari 2021, CEO PT Mustika Keluarga Sejahtera, pemilik RS Mustika Medika, Kota Bekasi, posting foto di medsosnya sedang divaksin. Bukan Vaksin? Seorang dokter bercerita soal keluarganya yang dokter. Selama setahun pandemi, bulek-nya itu tidak terinfeksi Covid-19 sama sekali. Tapi, setelah keluarga dokter yang bekerja di sebuah RSUD ini divaksin semua, ternyata mereka terinfeksi Covid-19 dan diopname. Di sana juga banyak perawat yang diopname setelah divaksin Sinovac. Agar tidak terlanjur parah, keluarga dokter ini minum suplemen dan lain-lain. “Alhamdulillah, ada hasilnya, gejala minimalisir di area lambung,” ujarnya. Hanya suaminya yang ketularan, sedang sesak pneumoni, anak mantunya anosmi. Cerita dari dokter alumni sebuah PTN di Surabaya ini bukanlah hoax. Sekali lagi, bukan hoax! Cerita ini adalah fakta di lapangan yang mungkin tidak ada dalam berita. Kembali ke soal meninggalnya Doktor Eha di Makassar tersebut. Ada dua point kesimpulan yang disampaikan Komda KIPI Sulawesi Selatan yang perlu disimak dengan jeli dan teliti. Yaitu: 1. Almarhumah (ES) kemungkinan tertular saat pergi ke luar kota sebelum vaksinasi kedua diberikan dan kontak dengan anggota keluarga lain terkonfirmasi Covid-19 yaitu suami beserta ketiga anaknya. Dari sini tampak sekali Komda KIPI sebenarnya ingin mengatakan bahwa kematian Doktor Eha itu bukan karena vaksin. Jadi, seperti ditulis dalam kesimpulan ke-4, “Kematian disebabkan oleh Covid-19 bukan karena vaksin.” Terkesan, Komda KIPI berusaha menutupi fakta, kematian Eha disebabkan suntikan vaksin. Bukankah prosedur vaksinasi itu diawali dengan menjalani screening atas kesehatan penerima vaksin? Jika hasil screening Eha itu ternyata terpapar Covid-19, bukankah akan dilarang ikut vaksin? Bagaimana bisa seseorang yang terinfeksi Virus Corona tetap saja boleh divaksin? Bukankah seharusnya ditolak? Tampaknya adanya nakes yang meninggal setelah divaksin tersebut membuat Komnas KIPI dan Kemenkes perlu menjelaskannya. Dan, “Pemerintah berharap, kejadian serupa tidak akan terulang kembali kedepannya,” kata Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Spa(K), MTropPaed. Menurut Ketua Komnas KIPI itu, kekebalan tubuh tidak langsung tercipta pasca penyuntikan pertama, kalaupun ada, itu sangatlah rendah. Kekebalan baru akan tercipta sepenuhnya dalam kurun waktu 28 hari pasca penyuntikan kedua. “Meskipun sudah divaksinasi, dalam dua minggu kedepan sangat amat rawan terpapar,” tutur Prof Hindra. Prof Hindra menambahkan, vaksin Covid-19 ini membutuhkan dua kali dosis penyuntikan. Suntikan pertama ditujukan untuk memicu respons kekebalan awal. Sedangkan suntikan kedua, guna menguatkan respons imun yang terbentuk. Oleh karena itu setelah diimunisasi tetap harus menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, dan menjauhi kerumunan, karena masih rawan, kalau kita lengah bisa saja terjadi hal yang tidak kita inginkan. “Vaksin Covid-19 yang digunakan untuk vaksinasi dipastikan aman dan berkhasiat. Sebab, dalam proses pengujiannya telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh WHO,” kata Prof Hindra. “Dengan hasil pengujiannya di fase 1, fase 2 dan fase 3, kita hasilnya ringan,” tambah Prof Hindra Hal ini merujuk pada uji klinis yang dilakukan oleh Tim Riset Uji Klinik Vaksin Covid-19 Universitas Padjajaran: efek samping yang ditimbulkan dari vaksinasi Covid-19 bersifat ringat dan mudah diatasi seperti reaksi lokal berupa nyeri, kemerahan atau gatal-gatal. Untuk mengantisipasi timbulnya KIPI, pemerintah telah menyiapkan langkah penanganan termasuk menyediakan contact person di setiap pos pelayanan vaksinasi. Prof Hindra mengungkapkan bahwa di Indonesia sendiri, proporsi efek samping serius yakni 42 per 1.000.000 sedangkan non serius 5 per 10.000. Menurutnya, vaksinasi merupakan upaya tambahan untuk melindungi seseorang dari potensi penularan Covid-19, sehingga tetap membutuhkan prokes untuk memberikan perlindungan yang optimal. “Vaksinasi itu tak menjamin 100 persen (tidak akan tertular), namun sebagai upaya tambahan untuk mengurangi risiko terpapar/terinfeksi,” katanya. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes yang juga Direktur Pencegahan Penyakit Menular Langsung dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid, mengingatkan agar meski telah divaksinasi, tetap disiplin prokes, karena seseorang masih berisiko terpapar virus Covid-19. “Bagi seluruh masyarakat saya berpesan, dengan adanya vaksinasi kita juga masih punya kewajiban menjalankan protokol kesehatan,” ucapnya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.