NASIONAL

Jangan Cemen, Berlaku Adil-lah, Jenderal!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sanksi pencopotan jabatan Dandim 1417 Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi hanya karena postingan istrinya, Irma Purnama Dewi Nasution, soal penusukan Menko Polhukam Wiranto di Kabupaten Pandeglang, Banten, justru menyalahi Undang-Undang. Yakni, UU No 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Menurut Kapendam XIV Hasanuddin Kolonel Inf Maskun Nafik, postingan istri Dandim Kendari itu dinilai TNI AD menjatuhkan martabat prajurit. Di mana letak pelanggaran Dandim? Cermati, postingan Irma Nasution itu hanya mengatakan, “Jangan cemen pak,…Kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yg melayang”. Ungkapan hiperbola (makna berlebihan) ini jelas tanpa mempersonifikasi kepada individu tertentu (Wiranto). Tulisan “jangan cemen pak” itu bisa ditujukan kepada semua orang pria yang dipanggil Pak! ‘Pak’ ini tidak bisa diarahkan dan ditujukan secara khusus kepada Wiranto. Kalau ada yang merasa itu ditujukan kepada Wiranto, itu tafsiran bukan konteks bahasa. Dalam postingan kedua berupa sebuah nasehat untuk mengingatkan peristiwa yang pernah terjadi dialami mantan Ketua DPR Setya Novanto. Posting-an kedua tertulis “Teringat kasus pak Setnov,.. bersambung rupanya, pake pemeran pengganti’. Untuk postingan kedua itu, juga tidak ada kata yang menyebut nama Wiranto. Jika sampai ke peradilan umum, peluang untuk lolos dari tudingan ujaran kebencian sangatlah besar. Jaksa pun tidak akan gegabah menuduh Irma Nasution melanggar UU ITE. Jika “tindak pidana” Irma Nasution ini dikaitkan dengan jabatan suaminya sebagai Dandim Kendari, di mana letak pelanggaran disiplin militer Kolonel Hendi? Bukankah UU 25/2014 itu hanya berlaku bagi anggota TNI, bukan istri tentara (anggota Persit)? Meski secara yuridis formal belum diproses hingga vonis hakim, KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa sudah menjatuhkan sanksi kepada Kolonel Hendi dan seorang anggotanya. Keduanya dihukum karena istri mereka mem-posting soal penusukan Wiranto di medsos. Boleh jadi, sebagai istri Dandim Kendari, Irma Nasution sering mendengar keluh-kesah para istri anggota Kodim Kendari terkait dengan kesulitan ekonomi yang dialami mereka. Mereka tidak berani bicara terbuka. Di sinilah Irma Nasution kemudian “bicara”. Jenderal Andika mengatakan pihaknya menindak suami mereka. Kolonel HS dan Serda Z disebut telah memenuhi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 yaitu Hukum Disiplin Militer. “Sehingga konsekuensinya kepada Kolonel HS tadi sudah saya tandatangani surat perintah melepas dari jabatannya dan akan ditambah dengan hukuman disiplin militer berupa penahanan selama 14 hari, penahanan ringan selama 14 hari,” ujarnya. “Begitu juga dengan Sersan Z, telah dilakukan surat perintah melepas dari jabatannya dan kemudian menjalani proses hukuman disiplin militer,” lanjut Jenderal Andika. Nasib yang sama juga menimpa anggota POMAU Lanud Muljono Surabaya. Peltu YNS dicopot dan ditahan karena istrinya mengunggah opini negatif terkait penusukan Menko Polhukam Wiranto. Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsma Fajar Adriyanto mengatakan, Peltu YNS mendapat teguran keras, dicopot dari jabatan dan ditahan dalam rangka penyidikan oleh Pomau karena melanggar UU 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer. “Dalam urusan politik, posisi prajurit TNI AU dan keluarganya (Keluarga Besar Tentara-KBT) sudah jelas, netral. Oleh karena itu, KBT dilarang berkomentar, termasuk di media sosial yang berdampak pendiskreditan pemerintah maupun simbol-simbol negara,” ujarnya. Menurutnya, FS telah menyebarkan opini negatif terhadap pemerintah dan simbol negara dengan mengunggah komentar yang mengandung fitnah, tidak sopan, dan penuh kebencian kepada Menko Polhukam Wiranto yang terluka karena serangan senjata tajam di medsos. FS sudah dilaporkan ke Polres Sidoarjo karena melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal Penyebaran Kebencian dan Berita Bohong. “KBT yang kedapatan melanggar, dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku,” katanya saat dihubungi iNews.id, Jumat (11/10/2019). Sebenarnya hak politik bagi para istri prajurit TNI sudah pernah dikeluarkan oleh Panglima TNI semasa Moeldoko. Mantan Panglima TNI yang kini menjadi Kepala Staf Presiden (KSP) itu telah mengeluarkan kebijakan baru dengan memberi izin dan mengembalikan hak politik bagi para istri prajurit TNI. Mereka bisa menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih. Dalam Surat Telegram Panglima TNI Nomor: ST/1378/XI/ 2014 pada 24 November 2014 disebutkan, istri para prajurit TNI diperbolehkan untuk melakukan kegiatan politik sehingga nanti ada yang bisa menjadi bupati atau gubernur. ”Di dalam UU, yang dilarang berpolitik praktis itu prajurit TNI, sedangkan bagi istri prajurit TNI tidak ada larangan dan hal tersebut diperbolehkan,” tandas Pembina Utama Dharma Pertiwi ini pada acara HUT ke-51 Dharma Pertiwi di Balai Sudirman, Jakarta. Hal ini sudah masuk dalam agenda program sekaligus mempertegas dan memperjelas posisi istri prajurit TNI dalam politik. Tugas pokok Panglima TNI adalah tugas komando, yakni menyiapkan pasukannya agar siap tempur, menjaga dan meningkatkan kesejahteraan, serta menjaga dan memelihara kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Rencana pemberian izin kepada istri prajurit TNI untuk bisa memenuhi hak-hak politiknya seperti dipilih dan memilih dalam pemilu sudah lama menjadi bahan kajian di Mabes TNI. Namun, rencana itu baru terwujud pada masa Panglima Jenderal Moeldoko. Pakar Hukum Prof. DR. Suteki SH MHum dalam tulisannya mencoba mencari tahu pasal mana yang mengatur bahwa apabila seorang istri anggota TNI melakukan pelanggaran hukum maka suaminya turut menanggung kesalahan. “Bahkan harus dihukum double, yaitu dicopot jabatannya, dikurung dalam sel 14 hari, serta belum lagi istrinya akan diajukan di peradilan umum. Kalau saya lihat misi UU Hukum Disiplin Militer adalah Pembinaan,” katanya. “Mengapa bukan aspek ini yang diutamakan melainkan terkesan “pembinasaan”,” lanjut Prof. Suteki yang menggugat Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang karena mengalami peristiwa serupa akibat dugaan mal administrasi. Pembianan oleh seorang atasan itu penting, sehingga tidak keburu menjatuhkan hukuman disiplin pegawai. “Saya dapat merasakan kepedihan anggota TNI itu, karena juga mengalami pencopotan jabatan karena diduga melakukan perbuatan melanggar disiplin pegawai.” Kasus seorang istri yang diduga melakukan pelanggaran hukum lantas berakibat dicopot dan dihukumnya suami yang anggota TNI itu. “Saya kira hukuman itu tidak adil dan cenderung menimbulkan rasa gelisah, resah pada anggota lainnya,” ungkap Prof. Suteki. Rasanya memang tak mungkin semua suami anggota TNI itu bisa mengawasi tindak-tanduk perilaku istrinya selama 24 jam. Para istri juga memiliki kelompok atau relasi dengan warga bangsa lain, apalagi sekarang eranya medsos. “UU Nomor 25 Tahun 2014 setahu saya hanya mengatur hukum disiplin yang melibatkan militer atasan dan bawahan. Bawahan yang dimaksud tidak termasuk istri dan anaknya,” ungkap Prof. Suteki. Sebagai Bawahan, seorang TNI itu juga manusia yang harus pula dilindungi hak-hak asasinya untuk diperlakukan adil dan tak sewenang-wenang. “Misalnya dihukum tanpa kesalahan yang dilakukannya secara langsung,” tegasnya. Menurut Prof. Suteki, sangat janggal bila ada prinsip tanggung renteng dalam penjatuhan hukuman terhadap suami TNI atas dugaan penggaran hukum yang dilakukan oleh istrinya. “Seandainya pun itu diatur dalam UU maka secara tegas saya nyatakan hal itu tidak adil dan cenderung terjadi pelanggaran atas HAM,” tegasnya. Jadi, mustahil suami anggota TNI dapat memastikan bahwa apa yang dilakukan oleh istrinya selalu dalam koridor hukum. Lalu, adilkah bila seorang anggota TNI dihukum disiplin dan kurungan ketika istrinya diduga melakukan pelanggaran hukum yang juga belum terbukti di depan pengadilan? Adilkah? Inikah yang disebut Pidana Tanggung Renteng padahal tidak ada unsur penyertaan suami TNI pun dalam dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh istrinya. “Saya tidak setuju kesalahan jempol istri, suami kena hukuman administrasi. Jika tujuannya untuk pelajaran bagi suami istri lain, ya cukup pidanakan istri yng berbuat salah,” komentar Advokat Muhammad Sholeh, SH. Meski belum diproses secara hukum, sebanyak 52 pengacara yang tergabung dalam kantor pengacara Supriadi & Co di Kota Kendari siap mendampingi istri Kolonel Hendi itu. Opini publik sudah menunjukkan empati kepada Irma Nasution, Kolonel Hendi, dan kawan-kawan. Pada intinya, publik menghendaki TNI tetap pada jalurnya dan tidak ikut mempermainkan hukum. Jadi, berlaku adil-lah, jenderal. Jangan cemen! ***

212 Melawan, Mengumumkan Perang dan Tak Akan Rekonsiliasi dengan Kezaliman

Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Keliru besar, jika Prabowo -setelah merapat ke Jokowi- mengumumkan tidak ada lagi oposisi. Salah mutlak, bagi rezim ketika mampu menekuk kekuatan oposan partai berarti telah aman untuk berbuat sesukanya, zalim terhadap rakyat. Pada acara munajat 212 di masjid Sunda Kelapa (13/10), dengan tegas Ust Slamet Ma'arif selaku ketua PA 212 menyatakan tidak akan pernah rekonsiliasi dengan kezaliman, tidak akan pernah rekonsiliasi dengan kecurangan, tidak akan pernah rekonsiliasi dengan ketidakadilan, tidak akan pernah rekonsiliasi dengan penindasan. Pernyataan ini, bukan mewakili pribadi Ust Slamet namun mewakili segenap elemen pergerakan khususnya gerakan Islam, yang bergerak di luar partai politik. Jelas, ini tamparan keras bagi rezim juga bagi kubu Prabowo. Pernyataan ini menegaskan, Prabowo tak memiliki secuilpun kendali pada elemen pergerakan Islam. Dukungan pergerakan Islam, ulama, habaib, kepada Prabowo saat Pilpres, bukanlah dukungan taklid buta sebagaimana dukungan Gerindra kepada ketua umumnya. Karena nilai perjuangan, semangat melawan kezaliman, perlawanan pada kecurangan dan penolakan para perilaku ketidakadilan menjadi nilai yang menyatukan umat dan melabuhkan dukungan politik pada Prabowo. Saat Prabowo menepi, keluar dari nilai yang diadopsi umat, kemudian meninggalkan nilai perjuangan dengan merapat dan berharap mendapat bagian kursi kekuasan, meninggalkan keengganan pada kecurangan seraya justru melegitimasi kecurangan dengan proyek rekonsiliasi abal-abal, menjadi sebab Prabowo berada pada satu kubu dengan rezim dan mengambil posisi berhadap-hadapan dengan umat. Rezim Jokowi akan mengkalkulasi nilai rekonsiliasi Prabowo sangat rendah, dimana rekonsiliasi ini tak meredam perlawanan umat. Karenanya, rezim khususnya PDIP akan sangat berhati-hati membagi kursi kepada Gerindra. Sebab, jika Gerindra begitu mudah mengkhianati rakyat yang mendukungnya, mengabaikan fatwa ulama yang membelanya, apa sulitnya bagi Prabowo kelak meninggalkan PDIP jika Gerindra membaca peluang untuk menguasai kekuasaan ? Kalkulasi ini, yang nampaknya akan membuat PDIP pelit membagi kursi, sebagaimana PDIP tdk ridlo posisi ketua MPR RI diberikan pada Muzani. PDIP lebih Happy bersama Golkar, karena Golkar dipandang lebih gentle sebagai mitra koalisi dan sejak awal telah berdarah mendukung Jokowi. Sementara itu, pertarungan politik ini belum akan berakhir. Gerakan 212 akan terus melawan, karena perjuangan 212 bukan atau tidak sekedar mengantarkan seseorang untuk duduk di tampuk kekuasan. Gerakan 212 diilhami oleh Ruh Islam, Ruh bela Islam, Ruh bela ulama. Karenanya, 212 akan terus berjuang hingga Islam bertengger pada tampuk kekuasan, hingga fatwa ulama menjadi penuntun jalannya roda kekuasan, hingga keadilan dan kesejahteraan benar-benar wujud dengan diterapkannya hukum Islam. Penangkapan Sekjen PA 212 Ust Bernard Abdul Jabar adalah penghinaan terhadap gerakan 212. Tindakan ini, justru menyulut api perlawanan dan meningkatkan Ghiroh semangat Islam. Selamat datang di era baru pertarungan, selamat datang pertarungan gerakan politik kepartaian melawan gerakan politik keumatan. Selamat datang, di era pertarungan politik pencitraan, politik kekuasaan, melawan politik kejujuran, politik keumatan yang membawa misi melayani kepentingan umat berdasarkan nilai-nilai wahyu ilahi. [].

Kolonel Hendi Suhendi : Prajurit, Suami & Ayah Sejati

Sebagai seorang ayah, kelak anak-anak sang Kolonel Hendi akan tahu bahwa ayahnya adalah seorang prajurit sejati. Suami sejati dan sang ayah sejati. Sejarah akan mengungkap, bahwa ayahnya bukan seorang pengkhianat negara. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Akhirnya, Kolonel Kav Hendi Suhendi resmi dicopot dari jabatan Dandim 147/Kendari, Sultra. Kolonel Hendi menerima keputusan pencopotan jabatan karena postingan sang istri soal penusukan Wiranto. Sebagai seorang prajurit sejati, sang Kolonel siap salah. Sebab doktrin prajurit itu, komandan tidak pernah salah. Sebagai prajurit, sikap legawa yang ditunjukan, menggambarkan betapa dia mampu menjaga marwah dan wibawanya sebagai seorang prajurit. Menjaga wibawa institusi TNI. Padahal Kolonel Hendi diperlakukan tidak adil. Dipaksa menanggung beban atas kesalahan yang tidak diperbuatnya sendiri. Diperhinakan marwahnya sebagai perwira TNI. Sebagai seorang calon jendral TNI. Karena putusan sanksi diumumkan secara terbuka dihadapan public oleh komandannya. Bahkan, Kolonel Hendi menanggung beban tanggungjawab atas perbuatan sang istri yang belum bisa dibuktikan kesalahannya. Belum ada penyelidikan. Belum juga ada penyidikan. Belum ada pembuktian secara hokum atas kesalahan yang diperbuat. Belum juga ada putusan hakim yang menyatakan Kolonel Hendi bersalah. Toh dia telah menanggung konsekuensi hokum yang berat di rezim Jokowi. Dimana asas praduga tak bersalah itu hanya berlaku bagi mereka yang pro kepada penguasa saja. Sebagai suami sejati, dia sanggup 'MIKUL DUWUR MENDEM JERO'. Dia begitu melindungi sang istri. Belahan jiwanya, dan ibu dari anak-anaknya. Ia merangkul sang istri, memperlakukannya selayaknya istri. Tidak terbesit rasa marah dan kesal, atas musibah yang menimpanya. Hari-harinya Kolonel Hendi harus dihabiskan di jeruji besi untuk masa tahanan selama 14 hari ke depan. Sang Kolonel juga harus mempersiapkan ketangguhan mental sang istri untuk menghadapi ujian diperkarakan oleh komandan sang Kolonel di peradilan umum nanti. Nampaknya, komandan sang Kolonel ini tidak cukup puas hanya dengan melihat dirinya masuk sel selama 14 hari. Tetapi sang komandan juga ingin melihat istri dari sang Kolonel masuk bui. Sebagai seorang ayah, kelak anak-anak sang Kolonel Hadi ini akan tahu bahwa ayahnya adalah seorang prajurit sejati. Suami sejati dan sang ayah sejati. Sejarah akan mengungkap, bahwa ayahnya bukan seorang pengkhianat negara. Tak mudah untuk bersikap kesatria. Apalagi dalam kubangan kekuasaan zalim di era Jokowi. Semua kritik terhadap rezim ditafsirkan kebencian, ditafsirkan SARA, dan ditafsirkan hoax. Sementara kedunguan akut yang menopang rezim, dianggap Pancasilais dan berbhineka tunggal ika. Secara zahir memang berat. Sangat berat untuk melepaskan jabatan jika tidak atas kesadaran karena amanah. Bagi sebagian besar orang saat ini, jabatan adalah tuhan baru yang dipuja-puja. Jabatan juga dikejar dengan menghalalkan segala cara. Suara pembelaan umat dan rakyat kepada Kolonel Hadi nyaring dank eras. Internal TNI, secara umum jelas akan berpihak pada kebenaran dan sikap kesatria Kolonel Hadi. Namun kekuasan saat ini sedang mengintensifkan represifme untuk memaksa rakyat memberikan ketaatan pada rezim. Rezim ini tak peduli. Apakah ditaati karena cinta, atau terpaksa taat karena takut. Yang penting bagi rezim ini adalah rakyat diam. Rakyat tidak ribut, dan nurut saja meskipun terus dizalimi. Sabar Pak Kolonel, karakter anda telah menujukan pribadi seorang calon jenderal sejati. Semoga, ujian ini tak mengurangi apapun kecuali menambah iman dan naiknya derajat anda sekeluarga, Amin amin amin ya robbal ‘alamain. Penulis adalah Wartawan Senior

Pak KASAD, TNI Bukan Alat Kekuasaan Loh

Suasana kebatinan TNI itu sama dan senapas dengan suara rakyat. Kalau terasa ada yang salah, pasti rakyat juga ikut merasakan. Kaum emak, termasuk istri tentara itu juga manusia biasa. Isteri tentara itu bukan robot. Mereka juga memiliki pikiran dan perasaan. Wajar saja mereka bersuara atas adanya anomali yang terjadi di negeri ini. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Miris, institusi TNI juga ikut-ikutan 'terpapar' kedunguan rezim. Padahal, publik berharap TNI masih bisa mengayomi rakyat. Apalagi setelah polisi terbukti 'gagal' menjalankan fungsinya sebagai pengayong pelayan dan pelindung masyarakat sipil. Belum lama ini, KSAD Jenderal Andika Perkasa menjatuhkan sanksi kepada dua anggota TNI AD. Keduanya dihukum karena istri mereka mem-posting soal penusukan Menko Polhukam Wiranto di media sosial. Sederhananya, dua anggota TNI ini dihukum hanya karena 'gosipan' emak-emak. Terlepas apapun konten yang diunggah, cara menghukum yang dipublikasikan terbuka kepada publik, bukanlah cara untuk mendidik, membina, dan menjaga marwah bawahan. Jika benar harus dihukum, tentu hukuman itu khusus untuk diketahui internal. Celakanya, hukumannya pun double pula Pak KASAD. Selain dicabut dari jabatan, dua anggota TNI berpangkat Kolonel dan Sersan ini juga disanksi sel 14 hari. Bahkan, tidak puas dengan sanksi internal, IPDN yang merupakan istri Komandan Kodim Kendari Kolonel HS dan LZ istri Sersan Dua berinisial Z, juga diarahkan ke ranah peradilan umum. Apakah seperti ini perilaku komandan terhadap anak buahnya? Mendapat masalah dari luar saja, komandan sedapat mungkin menjaga dan melindungi marwah anggotanya. Komandan juga sekaligus memberi arahan dan pembinaan. Bukan main langsung copot, terus dimasukan ke dalam sel. Setelah itu istrinya dibawa ke pengadilan umum. Apa yang mau dipertontonkan dari peristiwa ini ? Mau menebar teror kepada seluruh korps TNI agar menutup mulut atas semua keanehan di negeri ini ? Lantas, jika 'urusan gosip' saja dikenai sanksi, bagaimana dengan kondisi di Papua ? Apa tidak cukup alasan untuk dicopot petinggi AD disana ? Karena mereka dipandang 'gagal' mengamankan wilayah ? Pak KASAD, cukup penglima TNI saja yang tak paham tupoksi TNI. Sehingga berdiri dengan gagah, berdeklamasi untuk melindungi Jokowi. Saya ingatkan saja, TNI itu milik rakyat bukan milik Jokowi. TNI itu alat negara, bukan alat kekuasaan. Lantas, jika model penindakan anggota seperti ini apa Pak KASAD akan dicintai bawahan ? Prajurit itu kalau bertugas 'Toh Nyowo', taruhan nyawa boss. Jangan hanya karena urusan 'gosip emak-emak', lantas komandan tega menunjukan sikap jemawa. Suasana kebatinan TNI itu sama dan senapas dengan suara rakyat. Kalau terasa ada yang salah, pasti mereka juga ikut merasakan. Kaum emak, termasuk istri tentara itu juga manusia biasa. Isteri tentara itu bukan robot. Mereka juga memiliki pikiran dan perasaan. Wajar saja mereka bersuara atas adanya anomali yang terjadi di negeri ini. Kalaupun itu melanggar, juga cukup diingatkan saja. Tidak perlu langsung mencopot jabatan suami. Penjarakan suami, dan tuntut emak-emak istri tentara ke peradilan umum. Coba fikirkan, istri anggota TNI diperkarakan di ranah peradilan umum, hanya karena dipersoalkan oleh komandan suaminya. Ini kan miris sekali Pak KASAD. Pak KASAD. Banyak senior bapak yang gemas, tatapi masih menahan diri. Jangan paksa, rasa tidak ridho untuk dizalimi itu meledak menjadi aksi nyata. Teraktualisasi dalam bentuk tindakan. Terukurlah, dan pakai nurani TNI dan rakyat dalam mengambil tindakan. Tidak semua apa yang diinginkan penguasa, harus anda penuhi. Meskipun posisi anda saat ini juga hadiah dari penguasa. Ingatlah, bagaimana susah payah anda meniti karier di militer. Kalau anggota TNI diberikan sanksi karena berbuat salah itu akan terima. Tapi kalau disanksi karena tendensi, disanksi karena politik itu berbahaya. Apalagi anda berikan sanksi karena ingin menyuarakan nurani. Itu lebih berbahaya lagi Pak KASAD. Sekali lagi, kami segenap rakyat mendukung TNI. Kami mencintai TNI sebagai anak kandung rakyat. Kami juga berharap, agar TNI tetap berpihak kepada rakyat. Ingat, TNI itu lahir dan dibesarkan dari rahim umat dan rakyat. Karena itu, jangan mendurhakai umat dan rakyat Pak KASAD. Penulis adalah Wartawan Senior

Hati-hati, Islam Itu Milik Allah Subhanahuwata'ala

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Saya yakin Anda mengamatinya dengan saksama. Sedang ada upaya untuk memojokkan Islam dan umat Islam. Khususnya umat Islam garis lurus. Ada konspirasi untuk menjelek-jelekkan umat Islam. Yang bertujuan agar umat Islam merasa risih dengan Islam. Mereka rekayasa berbagai peristiwa yang membuat persepsi tentang Islam menjadi buruk. Islam akan dilihat radikal. Ektrem. Suka tindak kekerasan. Tidak toleran. Sangar, dlsb. Sejalan dengan rekayasa persepsi negatif itu, mereka berupaya melakukan desain ulang Islam. Membolak-balik ajaran Islam dengan kedok naskah akademik. Menerbitkan buku-buku ilmiah populer yang menyesatkan dengan bungkus Islam sejuk. Mereka ingin melihat umat Islam yang ‘compatible’ (bisa cocok) dengan segala macam budaya dan syahwat kemanusiaan. Yaitu, umat Islam yang toleran. Sehingga, tidak ada lagi “bagiku agamaku, bagimu agamamu”. Mereka ingin sekali menciptakan kondisi “agamaku adalah agamamu, agamamu adalah agamaku juga”. Ini yang mereka sebut toleransi. Umat Islam tidak lagi beridentitas. Umat Islam harus seperti mereka. Mereka ingin agar umat Islam di masa depan tidak lagi menutup aurat. Tidak lagi sholat. Tidak lagi hirau dengan halal-haram. Tidak lagi mengenal pernikahan, dlsb. Mungkinkah konspirasi kalian akan sampai ke titik ini? Itu sepenuhnya tergantung pada kehendak Allah SWT. Yang pasti, seperti dijanjikan Allah, Dia sendirilah yang langsung menjaga Islam. Allah mengatakan, Dia rihdo (suka, senang, rela) kepada Islam. Karena ridho kepada Islam, tentulah Allah juga ridho kepada umat Islam. Oleh sebab itu, Allah pasti juga akan menjaga dan melindungi umat Islam. Seperti dijudulkan di atas, hamba-sahaya hanya ingin menyampaikan kepada semua orang, baik yang mengimani al-Quran maupun yang tidak, bahwa Islam itu milik Allah SWT. Bukan milik para ustad. Bukan juga milik para ulama. So, be careful. Hati-hatilah. Be thoughtful. Renungkanlah. Nah, pesannya apa? Pesannya sangat jelas dan lantang. Yaitu, mau kalian buat apa pun terhadap Islam, kalian akan berhadapan langsung dengan Allah SWT. Bukan berhadapan dengan para ulama. Juga bukan para ustad atau kiyai yang akan menghadang kalian. Tapi, Allah langsung. Mereka ini, para ulama, ustad, kiyai, bisa saja kalian habisi. Jika Allah izinkan. Tapi, mungkinkah cahaya Islam kalian padamkan? Mustahil itu. Allah berjanji bahwa itu pasti tidak bisa kalian lakukan. Kalian bisa mencoba macam-macam cara untuk mereduksi Islam. Tapi, Allah “terlanjur” bersumpah bahwa dia tidak akan membiarkan usaha kalian berhasil. Malahan, Allah menegaskan bahwa Dia akan menyempurnakan cahaya itu walaupun kalian lawan sekeras-kerasnya. Sekarang, kalian lakukan segala macam upaya untuk merusak Islam dan umat Islam. Ada kampanye sitgmatisasi negatif seperti membingkai orang Islam sebagai pelaku terorisme. Islam radikal, ekstremis, intoleran, dll. Termasuk juga upaya untuk menjadikan kalimat Tauhid sebagai momok yang harus dijauhi oleh orang Islam. Dengan berbagai cara, kalian berusaha agar kalimat Tauhid tidak lagi diusung. Tidak lagi diteriakkan. Terus, ada pengekangan dakwah seperti pembubaran pengajian, daftar ustad radikal, larangan mengundang ustad-ustad garis lurus, intimidasi, dll. Kalian lakukan juga upaya penyempitan edukasi Islam, termasuk penghapusan cerita-cerita perang jihad di zaman Rasulullah SAW dari buku sejarah Islam. Lalu, ada yang mencoba menyelipkan pesan-pesan pluralisme lewat buku bacaan untuk anak sekolah atau bacaan umum. Dan banyak lagi cara lainnya. Bahkan ada cara yang keji, yang sangat kotor. Termasuk, patut diduga, skenario penghancuran generasi muda Islam melalui pengedaran narkotika. Banyak yang menjadi pemakai narkoba .Penghancuran akhlak melalui inseminasi gaya hidup bebas. Ada pula upaya pengajaran konsep Islam Nusantara. Tujuannya agar kaum muslimin di Indonesia mempraktekkan Islam dengan konten dan kemasan lokal. Kalian dukung para propagandis yang menyampaikan berbagai narasi keliru tentang Islam. Sampai ada liberalis yang berani mengatakan bahwa hafiz (penghafal) al-Quran itu tidak lagi diperlukan karena sekarang sudah banyak alat bantu digital. Ada pula yang berani membuat thesis doktoral bahwa perzinahan tidak haram. Sedikit-banyak, kerusakan akibat skenario kalian itu memang terjadi juga. Banyak orang Islam yang tak suka Islam garis lurus. Banyak yang memakai identitas liberal. Hidup bebas seperti yang kalian ajarkan. Mengamalkan seks sejenis atau hidup bersama pasangan berkelamin sama. Banyak juga yang termakan oleh propaganda kalian. Di front lain, kalian juga sangat aktif mempersekusi dan mengkriminalisasikan para ulama, ustad, kiyai, maupun habaib. Karena mereka ini pengawal Islam. Kalau mereka dikurung di penjara, maka Islam akan berhenti bersinar. Mereka ketakutan. Sehingga umat menjadi lemah. Begitulah sangkaan kalian. Bisakah ini terjadi? Bisa, kalau Allah izinkan. Untuk kalian pahami, umat Islam dan para ulama serta ustad hanyalah pion-pion Allah saja. Mereka itu bidak-bidak lemah. Bisa dijebloskan ke penjara setiap saat sesuai keinginan kalian. Tapi, ingat! Allah bisa bikin umat Islam dan para ulama yang sangat lemah itu menjadi sangat kuat. Allah berkuasa untuk itu. Konsep, rencana dan strategi kalian, bisa berbalik. Allah telah berjanji tentang itu. Allah berjanji akan menghancurkan kalian. Sebagaimana Dia hancurkan musuh-musuh-Nya terdahulu. Jadi, kalau ada niat kalian untuk membendung, mengerdilkan, mereduksi atau menjelek-jelekkan Islam, urusannya pasti langsung ke langit. Sebab, Islam itu milik Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Hati-hatilah! [] 13 Oktober 2019

Pernyataan Wiranto Yang Mengiris Luka di Atas Duka

Tulisan ini tidak ada kaitannya dengan berita penusukan Wiranto di Banten. Karena tulisan ini dibuat dab sudah direalase secara meluas empat hari sevrlumnya (6 Oktober 2019). Penjelasan ini perlu disampaikan karena banyak pembaca yang mempertanyakan serta mengaitkannya dengan insiden di Banten itu. Terima kasih Oleh Jacob Ereste Jakarta, FNN - Pernyataan yang dikatakan tidak sengaja oleh Wiranto dalam kapasitasnya sebagai publik figur mengiris luka. Pejabat publik yang seharusnya paling perduli dan kompeten pada masalah bencana. Sungguh amat sangat melukai rasa duka kemanusiaan. Pernyataan Wiranto yang mengatakan bahwa saudara kita yang tengah didera oleh bencana alam di Maluku itu sepatutnya mendapat perhatian. Seharusnya pertolongan hingga bantuan dalam bentuk apa saja. Petolongan yang dapat diberikan agar derita yang sedang mereka rasakan bisa ikut kita ringankan. Jika tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka, setidaknya jangan lagi menambah beban psikologis. Yang bisa melemahkan daya juang dan daya tahan mereka untuk tetap tabah dan bertahan. Yang bisa membuat mereka tegar mengatasi musibah yang sedang dialami sampai sekarang. Pernyataan dalam konfrensi pers termasuk rilis atau bahkan wawancara dengan Wiranto itu sulit untuk dicerna akal sehat. Sebagai pernyataan yang tidak disengaja. Sehingga dengan begitu bisakah pernyataan Wiranto itu dimaafkan? Torehan yang telah melukai luka duka. Yang sedang mereka rasakan akibat bencaba alam itu sungguh tidak patut diucapkan oleh seorang pejabat selevel Menkopolhukam. Pernyataan tersebut sungguh sangat sulit untuk dimaafkan. Permintaan maaf Wiranto usai menyebut pengungsi Maluku yang sedang dilanda bencaba itu menjadi beban bagi pemerintah. Penyataan tersebut tidak cuma mengesankan yang enggan dari pihak pemerintah untuk memberi bantuan. Tetapi juga seperti hendak melepas tanggung jawab sebagaimana jaminan yang jelas tertera dalam kesepakatan serta keyakinan kita pada UUD 1945 yang asli. Pengungsi Maluku itu harus dan wajib menjadi perhatian negara. Suatu kepedulian kita sebagai bangsa yang menganut falsafah Pancasila. Disitulah esensinya kita Gotong Royong ! Pernyataan Wiranto yang dimuat secara meluas dalam medis masss itu sungguh sangat menyakitkan. Bagaimana mungkin seorang pejabat publik yang sangat kompeten untuk menangani masalah rakyat menyatakan pada saudara kita yang terkena musibah bencana itu. Penyataan itu sangat tidak patut. Mereka yang masih berada di tempat pengungsian itu dikatakan sebagai beban pemerintah. Blunder yang dibuat oleh Menkopolhukam itu, menyebut pengungsi Maluku sebagai bebani pemerintah. Sungguh tidak etis dan tidak berprikemanusiaan. Wiranto memang sudah meminta maaf atas pernyataannya tersebut. Tetapi apakah bisa begitu saja penyelesaiannya. Karena hati yang terluka, tidak mungkin segampang itu menghapusnya. Bisa saja Wiranto mentakan bahwa tidak hendak menyakiti hati siapa-siapa. Tetapi coba tanyakan kepada para korban yang masih bersedih serta saudara mereka yang juga ikut merasakan duka yang sangat mendalam itu. Apa perasaan mereka dengan pemintaan maaf Wiranto tersebut Pernyataan culas serupa itu jelas tidak cuma mengganggu perasaan masyarakat di Maluku. Tetapi sungguh lebih dari itu sangat mengiris hati. Termasuk perasaan kami sebagai saudara mereka yang tidak langsung terlanda bencana alam tersebut. Dampak psikologisnya jelas sangat menghujam dalam Pak Wiranto. Menoreh luka di atas duka yang belum mereda. Padahal esensi dari Pancasila itu seperti kata Bung Karno adalah sikap gotong royong. Sikap bersama-sama dalam susah dan senang. Sementara pemerintah yang dicerminkan oleh sosok seorang Menkopolhukam justru sebaliknya. Sungguh tragis dan menyedihkan sekali. Sebab akibatnya, rakyat semakin paham pada watak yang sesungguhnya. Watak yang tengah menjangkiti pejabat di negeri ini. Penulis adalah Pemerhati Ruang Publik

Batalnya Acara Muslim United & Warisan Feodalisme Keraton Yogja

Saya kira diera modern, dan era penuh keterbukaan ini, Sultan Yogja tidak boleh lagi mempraktikkan kejemawaan. Gaya pemimpin yang sarat dengan feodalisme. Apalagi, Sultan hari ini sedang mengalami kemelut tahta. Jika Sultan mangkat, tahta Keraton Yogja tidak mungkin diwariskan kepada puteri-puteri Sultan. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Acara Muslim United #2 yang sedianya diselenggarakan di Masjid Gedhe Kauman Jogja dikabarkan batal. Penyebabnya, Raja Jogja tidak memberi izin. Tidak jelas apa yang menyebabkan Sultan menolak mengeluarkan izin Kegiatan Muslim United #2 yang bertajuk 'Sedulur Saklawase'. Namun, menurut Panitia Pelaksana dari Presidium Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Syukri Fadholi, menduga penolakan itu karena pihak Keraton menerima informasi yang salah. Sebab menurutnya banyak beredar informasi yang menyebutkan bahwa kegiatan Muslim United diisi oleh orang-orang berpaham radikal. Sebelumnya pihak otoritas keraton Yogja melalui KGPH Hadiwinoto sempat mengeluarkan surat yang memperbolehkan panitia Muslim United menggunakan Alun-alun Utara sebagai tempat kegiatan. Namun surat itu akhirnya dicabut lagi. Awalnya, atas dasar surat yang sempat dikeluarkan KGPH Hadiwinoto itu akhirnya pihak panitia mempersiapkan segala hal. Panitia menyebut persiapan sudah 80 persen sebelum akhirnya dilarang oleh pihak Keraton Yogja. Klimaksnya, hari ini Sabtu (12/10) panitia kelabakan. Panitia terpaksa harus memindahkan keseluruhan agenda yang telah dipersiapkan sejak lama menuju Masjid Jogokariyan. Kondisi inipun belum menjamin kepastian agenda dapat terselenggara tanpa gangguan aspek legalitas dari rezim. Pihak Keraton enggan menyebut alasan pencabutan surat yang dikeluarkan KGPH Hadiwinoto, dan akhirnya sultan juga tidak mengeluarkan izin. Sultan juga diam, tak mengunggah secuil pun alasan mengapa tidak memberikan izin, dan sama sekali tidak mengindahkan persiapan panitia yang sudah mengeluarkan banyak energi untuk acara ini. Sedianya, sejumlah ulama dan aktor ternama akan hadir dalam acara tersebut, di antaranya Ustaz Abdul Somad, Ustaz Hanan Attaki, Ustaz Derry Sulaiman, Ustaz Felix Siauw, hingga Arie Untung. Namun energi panitia untuk menghadirkan para ulama ini tidak membuat Sultan dan pihak keraton jogja, merasa iba dan terketuk hatinya untuk memberikan izin. Sebelumnya, Pengageng Kawedanan Hageng Panitrapura, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono menjelaskan tidak dikabulkannya izin karena atas pertimbangan keamanan, mengingat situasi nasional tengah banyak demonstrasi. Namun alasan ini tentu sangat absurd, karena kegiatan Muslim United tidak atau bukan dalam bentuk demonstrasi atau unjuk rasa. Alasan ini juga bertentangan dengan pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur Jogja, saat terjadi aksi masif demo mahasiswa jogja ke Jakarta, beberapa waktu yang lalu. Sultan mengaku tak bisa melarang mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya ke Jakarta. Hanya saja Sultan HB X mengimbau agar tak anarkis. Sultan menyatakan ikut demonstrasi adalah hak warga masyarakat. Karenanya Sultan tidak bisa melarang dan mempersilakan. Asal tidak melakukan perusakan saja. Demonstrasi dengan tertib sesuai dengan izin yang diberikan. (24/9). Andaikan benar alasan penolakan pemberian izin karena faktor keamanan, atau pertimbangan keamanan. Atau mungkin juga terkait maraknya demonstrasi dan ujuk rasa, sebagaimana yang diungkap Pengageng Kawedanan Hageng Panitrapura, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono. Tentu Sri Sultan selaku Raja Jogja tidak akan mempersilakan mahasiswa jogja demo ke Jakarta. Karena itu, alasan tidak keluarnya izin karena pihak Keraton menerima informasi yang salah. Beredar informasi yang menyebutkan bahwa kegiatan Muslim United diisi oleh orang-orang berpaham radikal. Padahal justru yang lebih dominan dan reasonable, menjadi sebab batalnya acara Muslim United di Yogja tersebut. Padahal, sampai hari ini tidak jelas apa yang dimaksud radikal ? Siapa yang punya wewenang menyematkan label radikal ? Atas dasar apa seseorang, apalagi ustad sekelas Ustaz Abdul Somad, Ustaz Hanan Attaki, Ustaz Derry Sulaiman, Ustaz Felix Siauw, hingga Arie Untung dilabeli radikal ? Apakah ada kasus Ustaz Abdul Somad ngebom ? Ustaz Hanan Attaki menusuk pejabat ? Ustaz Derry Sulaiman menggorok dan membakar hidup-hidup orang seperti tragedi di Wamena ? Ustaz Felix Siauw membubarkan pengajian ustadz yang lain ? Yang ada, Ust Felix yang sering jadi korban pembubaran. Apalagi Arie Untung, artis yang taubat dan hijrah ke jalan Islam ini apakah layak disebut radikal ? Alasan yang paling bisa dicerna selain tudingan radikal kepada penyelenggara dan ustadz-ustadz penceramah Muslim United. Juga alasan kejumawaan. Warisan feodalisme keraton Yogja yang terus dilestarikan. Diuri-uri. Alasan ini terkonfirmasi melalui pernyataan Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhamardawa, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro, yang dengan jumawa mengatakan Keraton tidak perlu menjelaskan alasan tidak dikabulkannya izin acara tersebut. Suami Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu itu berdalih Masjid Keraton tempat acara tersebut merupakan Kagungan Dalem atau milik keraton. Dalam kaidah fiqh Islam yang disebut masjid itu milik umat, milik publik, tidak sah dan batal kedudukan seseorang, individu, atau institusi yang mengaku atau mengklaim sebagai pemilik masjid. Secara fiqh, demi hukum masjid menjadi domain publik. Adapun status individu atau institusi hanya diberi amanah mengelola masjid, itu sifatnya pelayanan, administrasi, bukan mendaku hak masjid sebagai miliknya. Demikian pula, status masjid Gedhe Kauman itu milik umat, milik publik, bukan milik keraton. Keraton hanya berkedudukan sebagai pelayan, administrator, untuk melayani rakyatnya. Bahkan, istana keraton kesultanan jogja itu milik rakyat, karena raja jogja itu juga raja rakyat. Bukanlah status Sultan itu karena pengakuan dari rakyat? Bukan sekedar pemberian trah dari nenek moyang? Andaikan, sultan mewarisi tahta sementara rakyat menolak mengakui kekuasan Sultan. Apakah sultan masih berkuasa? Saya kira diera modern, dan era penuh keterbukaan ini, Sultan Yogja tidak boleh lagi mempraktikkan kejemawaan. Gaya pemimpin yang feodal. Apalagi, Sultan hari ini sedang mengalami kemelut tahta. Jika Sultan mangkat, tahta Keraton Yogja tidak mungkin diwariskan kepada puteri-puteri Sultan. Jika Sultan mau merubah Pangeran. Mengubah trah singgasana diteruskan putri raja, Sultan tak cukup mengeluarkan Sabda Pandita Ratu. Sultan butuh dukungan dan legitimasi umat. Jika Sultan zalim kepada umat. Sultan memimpin dengan gaya jemawa dan ego mempertahankan tradisi feodalisme keraton, Sultan akan dijauhi umat. Sultan akan ditinggalkan oleh rakyat. Wahai Sultan. Jika memang dirimu mengemban amanah agama (selain amanah pemerintahan), kenapa dirimu tega mempersulit syiar agama Islam melalui acara Muslim United ? Bertaubatlah Sultan, mumpung ajal belum menjemput. Penulis adalah Wartawan Senior

Pak Jokowi, Maluku Masih NKRI Kan?

Inilah fakta diskriminatif yang tak terbantahkan. Maluku terus dianaktirikan, dan entah kapan akan berakhir. Padahal bila ada bencana, kehadiran Pak Presiden tidak saja memastikan proses penanganan bencana oleh negara telah berjalan baik. Tetapi yang lebih penting adalah memberikan spirit, kekuatan moral dan psikologis kepada masyarakat Maluku. Bahwa dalam menghadapi bencana ini mereka tidak sendiri. Negara harus benar-benar hadir sebagai perwujudan perintah konstitusi. Oleh Ikhsan Tualeka Jakarta, FNN - Bapak Presiden yang terhormat. Kalau mau diresapi dengan dalam, sebagai putra timur dari Maluku, saya merasa bahwa ada sesuatu yang mengganjal. Terutama dalam konteks hubungan relasi antara pemerintah pusat (Jakarta) dengan masyarakat Maluku. Ada banyak fakta yang dapat mengkonfirmasi anggapan itu. Sebagai contoh nyata. Baru-baru ini, pembantu utama bapak, Menkopolhukam, Wiranto, melakukan konferensi pers tentang Maluku. Wiranto didampingi oleh Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, Kapolri dan sejumlah pejabat negara lainnya. Dengan menggunakan fasilitas negara, Wiranto mengatakan “pengungsi yang banyak di Maluku dapat menjadi beban pemerintah”. Bagi kami orang Maluku, luar biasa pernyataan Menkopolhukam Wiranto ini. Betapa tidak, karena Wiranto menyampaikan ini dalam kegiatan resmi Negara. Pernyataan yang sangat kontraproduktif itu, tentu adalah sikap resmi institusi negara. Bukan pribadi penyataan pribadi. Kenyataan ini menambah daftar panjang praktik, dan sikap diskriminatif pemerintah pusat kepada masyarakat Maluku. Tentu akan terlalu panjang untuk diulas dalam surat ini. Minimnya alokasi anggaran untuk Maluku. Tidak adanya regulasi spesifik sebagai landasan membangun dan mengangkat Maluku yang notabene memiliki karakteristik berbeda dengan daerah-daerah lain untuk dari lembah kemiskinan. Contoh ini adalah sedikit dari daftar panjang itu. Perlakuan yang tidak adil itu bisa dilihat dari bagaimana respon Pak Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan terhadap becana gempa yang terjadi di Maluku. Sampai sekarang Pak Jokowi belum juga datang menyambangi Maluku. Meski hingga catatan ini dibuat, gempa masih terus terjadi, dengan korban mencapai lebih dari 50 orang meninggal. Sedangkan yang mengungsi mencapai 100.000 ribu orang dan 6.523 unit rumah yang rusak Bandingkan dengan bencana disejumlah daerah lain. Dengan korban yang relatif lebih sedikit seperti gempa di Banten, banjir bandang di Garut, meleutusnya gunung Sinabung di Sumatera Utara, kebakaran hutan di Palangkaraya. Pada bencana alam di daerah lain,Pak Presiden langsung datang. Malah sehari setelah kejadian atau bencana terjadi, Pak Jokowi datang lengkap dengan jajaran pembantu bapak. Bahkan ada juga Pak Jokowi berkantor di lokasi bencana. Dengan kehadirin Pak Presiden yang cepat di lokasi bencana bisa ditafsirkan bermacam-macam. Orang bisa saja beranggapan itu karena jarak antara Istana Negara dengan lokasi-lokasi bencana relatif dekat. Memudahkan untuk malukan mobilisasi ke lokasi bencana. Itu tentu alasan klasik, karena bukankah Maluku juga masih masuk wilayah Indonesia? Dengan demikian Maluku berhak mendapat perhatian yang sama dari kepala negaranya. Dengan fasilitas yang dimiliki negara, tentu jarak bukan satu masalah. Apalagi ada pesawat kepresidenan. Ataukah Pak Presiden takut karena informasi dari para pembisik kalau gempa tremor masih terjadi walau dalam dalam skala yang lebih kecil? Kalau bapak takut akan gempa kecil itu, kami maklumi. Walau kamiu agak kecewa karena sebelumnya kami yakin Pak Jokowi seorang kesatria. Inilah fakta diskriminatif yang tak terbantahkan. Maluku terus dianaktirikan, dan entah kapan akan berakhir. Padahal bila ada bencana, kehadiran Pak Presiden tidak saja memastikan proses penanganan bencana oleh negara telah berjalan baik. Tetapi yang lebih penting adalah memberikan spirit, kekuatan moral dan psikologis kepada masyarakat Maluku. Bahwa dalam menghadapi bencana ini mereka tidak sendiri. Negara harus benar-benar hadir sebagai perwujudan perintah konstitusi. Pak Presiden, datanglah. Kunjungilah anak-anak bangsamu yang tertimpa bencana di Maluku. Apalagi secara politik Maluku adalah provinsi yang berkontribusi dalam kemenangan bapak di dua kali perhelatan Pilpres. Kehadiran Pak Presiden tentu saja akan mengkonfirmasi analisa lembaga-lembaga otoritas terkait yang menyatakan tak akan ada gempa lebih besar lagi dari 6,5 Magnitude yang terjadi sebelumnya. Kondisinya relatif aman, sehingga Presiden perlu datang. Dengan Pak Presiden mengunjungi korban gempa di Maluku, akan turut membahwa pesan kebangsaan bahwa negeri para raja ini adalah bagian integral bangsa. Maluku yang berhak mendapat perhatian yang sama dengan daerah lain dari negara. Bukan dibiarkan menghadapi bencana sendiri tanpa kehadiran Negara yang diwakili Pak Preasiden Pak Jokowi, hanya satu kalimat untuk merangkum semua isi surat ini, “Sambangilah korban bencana di Maluku. Mereka juga adalah warga bangsa. Mereka jangan dikecewakan”. Kami orang Maluku tidak sedang mengemis kepada pemerintah pusat. Kami hanya sedang menagih tanggungjawab negara untuk mendapat perlakuan yang sama dengan daerah lain. Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC)

Istri Dandim atau Pidato Panglima TNI yang Jatuhkan Martabat Prajurit?

Tidak ada elemen mahasiswa yang menolak pelantikan Jokowi, atau ingin menggagalkan pelantikan Jokowi. Lantas, kenapa penglima TNI membawa TNI ke ranah politik praktis ? Bukankah TNI itu wajib netral ? Bukankah TNI itu alat negara, bukan alat kekuasaan ? Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Kapendam XIV Hasanuddin, Kolonel Inf Maskun Nafik menyebut Dandim 1417 Kendari, Kolonel Hendi Suhendi dicopot karena postingan istri soal Menko Polhukam Wiranto. Postingan istri Dandim Kendari itu dinilai menjatuhkan martabat prajurit Jika ditilik dari sisi redaksi, postingan istri Dandim ini sama sekali tidak menyebut mengatasnamakan institusi TNI, tidak pula menyebut nama sosok tertentu secara tegas. Boleh dibilang, status Facebook istri Dandim ini hanyalah bentuk ungkapan batin yang terjaga dalam koridor hukum. Postingan istri Dandim Kendari itu hanya mengatakan 'Jangan cemen pak,...Kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yg melayang'. Ungkapan ini, tergolong ungkapan hiperbola (makna yang di lebih-lebihkan) tanpa mempersonifikasi kepada individu tertentu. Redaksi 'jangan cemen pak' itu bisa ditujukan kepada semua orang dengan panggilan Pak, bisa Pak lurah, Pak camat, Pak RT, Pak Tani, Pak Bayan, dan Pak Pak lainnya. Redaksi 'Pak' ini tidak bisa diarahkan dan ditujukan secara khusus kepada Wiranto. Jika ada yang merasa itu ditujukan kepada Wiranto, itu merupakan tafsiran bukan konteks bahasa tegas yang dituju oleh redaksi. Adapun postingan kedua, juga sifatnya netral. Sebuah nasehat untuk mengingatkan peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Posting-an kedua, tertulis 'Teringat kasus pak setnov,.. bersambung rupanya, pake pemeran pengganti'. Dalam postingan kedua, juga tidak ada kata yang menyebut nama Wiranto. Coba kita bandingkan, jika tafsiran postingan itu dianggap menjatuhkan martabat prajurit dengan pidato khusus panglima TNI. Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, lengkap bersama jajaran komando TNI membuat rekaman video yang meminta siapa pun dapat menyampaikan aspirasi di negara demokrasi ini. Dalam video itu juga muncul ultimatum, siapa pun yang melakukan tindakan anarkis, inkonstitusional, cara-cara yang kurang baik, termasuk ingin menggagalkan pelantikan presiden dan wapres terpilih hasil pemilu, akan berhadapan dengan TNI. Pertanyaannya, sejak kapan tupoksi TNI itu menjaga pelantikan Presiden ? Dan siapa yang dimaksud panglima TNI ingin menggagalkan pelantikan ? Jika merujuk peserta aksi demo karena konteks pidato penglima itu terjadi setelah demo masif mahasiswa, demo itu menuntut pencabutan UU KPK, menolak RUU KUHP. Tidak ada elemen mahasiswa yang menolak pelantikan Jokowi, atau ingin menggagalkan pelantikan Jokowi. Lantas, kenapa penglima TNI membawa TNI ke ranah politik praktis ? Bukankah TNI itu wajib netral ? Bukankah TNI itu alat negara, bukan alat kekuasaan ? Sikap panglima TNI ini lah sebenarnya yang bisa ditafsirkan menjatuhkan martabat prajurit, menjatuhkan wibawa TNI. Tentara yang seharusnya menjadi Abdi Rakyat terkesan berubah menjadi Andi penguasa (baca: Jokowi). Saya kira, persoalan status Facebook istri Dandim ini juga tidak perlu ditindaklanjuti dengan pencopotan jabatan Dandim, apalagi akan memproses pidana di peradilan umum. Kalau mau merujuk UU ITE (UU No. 19/2016 Jo. UU No. 11/2008), melanggar pasal apa ? Pasal 28 ayat (2) tentang menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA ? Dimana unsur-unsurnya ? Ngawur saja memaksakan menyidik perkara ini dengan pendekatan UU ITE. Saya kira pejabat era now harus hati-hati mengeluarkan statement dan tindakan. Justru heboh pencopotan Dandim dan rencana akan memproses istri prajurit ke ranah pidana umum inilah yang merupakan tindakan yang menjatuhkan martabat prajurit. Masak prajurit dibuka aibnya keruang publik hanya karena status Facebook ? Dandim Kendari bukan pengkhianat, tidak memberontak, tidak disersif dalam tugas, tidak korup, tidak melawan perintah atasan, tidak gagal melindungi rakyat dari ancaman musuh, tidak terlibat politik praktis. Kok begitu amat sanksinya ? Saya kira, institusi TNI tidak boleh lebai menyikapi peristiwa ini. TNI wajib membedakan mana isu politik dan mana isu Sapta Marga Prajurit. TNI harus netral, TNI alat negara bukan alat kekuasaan. Penulis adalah Wartawan Senior

Pak Wiranto Ditusuk, Kok Malah Banyak yang Bersyukur?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Confirm. Masyarakat kita sedang sakit parah. Terbelah sangat dalam. Yang satu mendoakan, menginginkan, bahkan melakukan sesuatu yang buruk untuk yang lain. Bila keburukan itu benar-benar terjadi, banyak yang bersuka cita. Membesar-besarkannya. Menganggap doanya terkabul. Allah SWT telah membalas keburukan itu dengan balasan yang setimpal. Peristiwa penusukan Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto di Menes, Pandeglang, Banten mengkonfrmasi hal itu. Di medsos banyak yang mengucapkan rasa syukurnya. Joke, meme, spekulasi, dan teori konspirasi bermunculan. Ada juga yang menduga ini hanya semacam sandiwara. Settingan. Semacam reality show. Ada memang yang sedih, bahkan kecewa. Mengapa luka tusuknya tidak cukup dalam. Mengapa Wiranto tidak terluka parah, atau mati sekalian! Ngeri banget! Suara-suara semacam itu sudah dipastikan muncul dari kelompok yang selama ini berseberangan dengan pemerintah. Atau setidaknya berseberangan secara personal dengan Wiranto. Sebagai balasan, situs seword.com yang dikenal sebagai pendukung Jokowi membuka kotak pengaduan. Mereka meminta pembacanya melaporkan bila menemukan netizen yang bersuara negatif, nyinyir atas Wiranto. Status yang nyinyir, lengkap dengan biodata dan fotonya —kalau ada— akan dipajang dan dilaporkan ke polisi. Mengapa bangsa ini menjadi kehilangan empati, pendengki dan menginginkan keburukan, bahkan kalau perlu mencelakakan dan saling membinasakan? Apakah hanya rakyatnya yang sakit? Atau mereka sebenarnya merupakan cermin dari perilaku para pemimpinnya. Di militer ada semacam kredo: Tidak ada prajurit yang salah. Yang salah komandannya. Filsuf dan negarawan zaman Romawi Marcus Tulius Cicero dalam sebuah orasinya pernah menyatakan: Ikan busuk dimulai dari kepalanya. Belajar dari pengalaman para pedagang ikan. Kalau mau selamat, tidak busuk semua. Kepalanya harus segera dipotong. Kebusukan suatu negeri, berawal dari kebusukan para pemimpinnya. Jadi harus dipotong dari pucuk pimpinannya. Sebaliknya Sayidina Ali Bin Abi Thalib pernah berkata: pemimpin yang buruk, merupakan cermin dari rakyatnya. Ketika seorang pemuda menggugat Ali mengapa pada masa pemerintahannya situasinya tidak sebaik pada masa Khalifah Abu Bakar, dan Umar Bin Khattab? Khalifah Ali menjawab singkat : Karena pada masa Khalifah Abubakar dan Umar, rakyatnya seperti saya. Dan pada masa pemerintahan saya, rakyatnya seperti kamu! Sebuah pemerintahan yang brengsek, adalah cermin sebuah masyarakat yang brengsek pula. Mengapa memilih pemimpin yang brengsek?! Dalam khasanah pemikiran Islam dikenal sebuah kalimat bijak: Kalian akan dipimpin oleh orang seperti kalian! Nah lho……. Kita semua harus introspeksi. Mengapa semua ini terjadi. Tidak bisa langsung menuding bahwa rakyat kita brengsek. Begitu juga sebaliknya. Di media sosial ucapan-ucapan Wiranto yang dimuat media kembali bertebaran. Ketika ada prajurit TNI yang tewas di Nduga, Papua, dia minta agak tidak perlu dibesar-besarkan. “Risikonya memang seperti itu,” ujarnya. Wiranto benar. Risiko seorang prajurit yang bertugas di daerah rawan, apalagi medan tempur: _kill or to be killed._ Membunuh atau dibunuh. Tapi ya tidak perlu disampaikan ke publik. Sensitif lah terhadap Keluarga prajurit. Ketika terjadi gempa di Ambon, Wiranto dikutip pernah menyatakan, agar para pengungsi segera kembali ke rumah, supaya tidak jadi beban pemerintah. Ucapan yang membuat warga Ambon gondok alang kepalang. Selain tidak sensitif, ucapan itu juga menunjukkan sebagai pejabat publik tidak punya empati. Lebih jauh lagi tidak paham tugas dan tanggung jawabnya. Tugas negara, tugas pemerintah mengurus rakyatnya. Jangan dianggap beban. Kalau tidak mau dibebani rakyat, ya jangan jadi pejabat pemerintah. Nah ketika sekarang Wiranto ditusuk orang, netizen membalas. “Tidak perlu dibesar-besarkan.” “Risikonya sebagai pejabat keamanan memang seperti itu.” “Segera keluar dari RSPAD. Jangan jadi beban pemerintah!” Bagaimana memahami sikap bangsa kita saat ini? Konsep the other yang diperkenalkan oleh filsuf kontemporer Perancis Emmanuel Levinas, atau liyan dalam bahasa Jawa, tidak cukup memadai untuk menggambarkannya. Dalam bahasa Jawa, liyan, orang lain, merupakan konsep berpikir, yang satu merasa lebih unggul dan lebih benar dibanding yang lain. Tanpa sadar orang Jawa sering menyebut sesuatu yang tidak benar, sebagai tidak “njawani.” Tidak Jawa. Realita yang terjadi saat ini bukan hanya soal yang satu merasa superior dengan yang lain. Bangsa kita adalah bangsa yang terbelah. Tidak percaya satu dengan lainnya. Curiga satu dengan yang lain. Merasa paling benar dan yang lain selalu salah. Apapun yang dilakukan pihak lain, tidak ada yang benar. Beda dengan sikap kritis yang harus tetap menjunjung obyektivitas. Perlu keberanian untuk mengakui dan mengambil langkah konkrit. Presiden, pejabat pemerintah, berhentilah melakukan Framing, lebeling, pelakunya terpapar kelompok radikal, ISIS dan entah stigma apalagi. Berhentilah mengklaim merasa paling Pancasila, dan paling NKRI. Pasti akan ada reaksi balik. Akan ada perlawanan. Semua itu hanya akan memperparah pembelahan masyarakat. Peristiwa penusukan Wiranto harusnya menjadi sebuah alarm yang bersuara sangat nyaring. Ada yang salah dengan bangsa ini. Kita sedang menuju jurang kehancuran. Kita, rakyat, para pemimpin, terutama Presiden Jokowi harus segera mengambil langkah konkrit! end