NASIONAL
Komjen Pol. Dharma, "Islam Itu Sangat Mencintai Kedamaian"
Komjen Polisi Dharma mengingatkan tentang masalah radikakalisme dan terorisme sebagai bagaian dari rekayasa global. Mereka merekayasa ketakutan pada manusia. Yang melakukan rekayasa tersebut adalah rezim globalisasi. Targetnya, menciptakan pola pikr manusia yang tidak akan bisa lepas dari rekayasa teknologi informasi dan komunikasi. By Kisman Latumakulita Jakarta, FNN – Rasulullaah SAW berkata “tidak berimannya kamu sampai kamu mencintai sesamamu seperti kamu mencintai dirimu sendiri”. Begitulah maknanya Muslim. Itulah kalimat paling indah, berkelas dan bermartabat dari ajaran Rusulullaah SAW yang dikutip oleh Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Komjen Polisi Drs. Dharma Pongrekun MM. MH. Komjen Polisi Dharma menyampaikan hadits Nabi Muhammad SAW tersebut, ketika menjadi pembicara pada “Indonesia Islamic Young Leaders Summit” yang diselenggarakan di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Sabtu 23 November 2019 kemarin. Dalam pandangan Komjen Polisi Dharma, Islam adalah Agama yang sangat mencintai nilai-nilai kedamaian. Islam memang mengajarkan untuk saling mengasihi, dan menyayangi diantara sesama muslim. Namun Islam juga menyuruh untuk saling mengasihi dan menyayangi diantara sesama umat manusia. Bahkan, Islam sangat mencintai kedamaian pada lingkungan alam semesta. Sampai pada titik ini Dharma menyatakan tidak sependapat dengan pendapat yang mengait-ngaitkan Islam dengan terorisme. Dia juga menolak pendapat yang mengaitkan Islam dengan radikalisme dan intoleransi. Jendral bintang tiga termuda di polisi ini mengambil sikap yang berdeda dengan sementara pihak yang mencoba mengindentikan Islam dengan terorisme, radikalisme dan intoleransi. Menurut Dharma yang baragama Kristen Protestan itu, Islam telah mengajarkan kita untuk saling mencintai diantara kita. Islam juga mengajarkan kita untuk hidup saling mengasihi diantara sesama manusia. Artinya, Islam itu sangat mencintai kedamaian. Apalagi Islam yang di Indonesia. Kedamaian tentu saja menjadi segala-galanya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Sejarah masa lalu, posisi geografi dan pejalanan masa depan akan mengikat kita. Untuk itu, jangan sampai ada pihak yang bisa memisahkan kita. Sebab kita bisa bersama-sama dalam mencitapkan pilar-pilar yang saling menghormati, menyayangi dan mencintai diantara kita. Tujuannya, mendukung kebaikan bersama bagi generasi yang akan datang. Radikalisme Rekayasa Global Pada kesempatan tersebut, Komjen Dharma juga mengingatkan tentang masalah radikakalisme dan terorisme sebagai bagaian dari rekayasa global. Mereka merekayasa ketakutan pada manusia. Yang melakukan rekayasa itu adalah rezim globalisasi. Targetnya, menciptakan pola pikr manusia yang tidak akan bisa lepas dari rekayasa teknologi informasi dan komunikasi. Ciri yang menonjol dari rekayasa yang diciptakan oleh rezim globalisasi itu adalah menimbulkan rasa takut. Pola pikir manusia yang selalu dipernuhi dengan rasa takut, karena angka-angka. Misalnya, bakal kekurangan angka pada reziki atau pendapatan. Takut kalau selalu saja kurang dan kurang. Reziki yang diberikan dari Allaah, Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah cukup atau lebih. Pada rasa ketakutan ini, manusia cenderung tidaklagi menyandarkan diri atau mendekatkan diri kepada kebesaran Allaah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Manusia lebih cenderung manyandarkan diri pada kekuatan diantara sesama manusia. Mencari perlindungan kepada manusia, yang dianggap paling kuat atau lebih kuat. Orang-orang dari komunitas intelijen menyebut rekayasa globalisasi ini dengan sebutan “teori bullshit”. Dimana, merekalah yang menciptakan rasa ketakutan tersebut kepada manusia. Namun setelah ketakutan itu tercipta, mereka sendiri yang datang, dan menawarkan diri sebagai dewa penolong. Jadinya, mereka yang tampil sebagai pahlawannya (iNews.ci.id). Berdasarkan latar belakangnya, praktek dan dampak dari rekayasa globalisasi itu dikatagorikan dalam beberapa kelompok. Misalnya, ada kelompok yang menyiapkan program, yang meliputi uang, kekuatan, dan kontrol terhadap populasi. Sedangkan stretaginya itu dilakukan dengan cara-cara Terstuktur, Sistematis dan Masif (TSM). Visinya adalah merekayasa kehidupan (life engineering). Sedangkan misinya adalah menyatukan semua sistem kehidupan di dunia. Untuk menangkal pengaruh redikalisme dan terorisme tersebut, Komjen Polisi Dharma menghimbau, agar kita harus kembali kepada nilai-nilai moral dan keimanan yang diperintahkan Tuhan melalui para Nabi dan Rasul-Nya. Perlu untuk dibangun kembali rasa saling mencintai dan menyayangi diantara sesama manusia, seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullaah SAW. Salain itu, juga dibangun semangat gotong-royong dan saling membantu satu sama lain diantara kita. Kembali kepada Allaah Sehari sebelumnya, Jum’at 22 November 2019, di depan sekitar 700 mahasiswa Universitas Univeritas Hamka, Dharma mengingatkan tentang pengaruh globalisasi, yang merupakan sistem dari supra sistem global. Mereka rezim global ingin merekayasa kehidupan manusia. Caranya, dengan mamanipulasi pola pikir manusia. Untuk mencapai maksud tersebut, diciptakanlah berbagai rekayasa dan ketakutan kepada manusia. Antara lain, melakukan rekayasa kecerdasan. Mereka juga membuat rekayasa-rekayasa konflik. Setelah rekayasa konflik tersebut berhasil, langkah berikutnya mereka sendiri yang melakukan penyerangan terhadap hasil rekayasa konflik yang mereka buat tersebut. Harus diakui bahwa pengaruh globalisasi tersebut, telah membawa kerusakan fatal bagi kehidupan manusia. Antara lain, runtuhnya nilai-nilai kesakralan dalam kehidupan manusia, terutama kehidupan keluarga. Selian itu, hilangnya keintiman hubungan dintara sesama umat manusia. Pudarnya integritas sosial yang murni. Terjadi juga perubahan pada gaya hidup yang menaggalkan aspek moralitas, nilai-nilai luhur dan agama. Benteng paling ampuh untuk mengahadapi serangan dan pengaruh rezim globalisasi tersebut adalah kembali lagi kepada nilai-nilai agama yang diajarkan para Nabi dan Rasul. Karena di dalam ajarannya para Nabi dan Rasul tersebut, terkandung nilai-nilai Pancasila yang kini menjadi dasar negara kita bangsa Indonesia. Dharma memberi contoh, para Nabi dan Rasul mengajarkan kita tentang berperilaku adil bagi seluruh umat manusia. Selain itu, menjunjung tinggi dan mengedepankan kemanusian diantara sesama kita. Setelah itu, kita duduk untuk bermusyawarah dan bermufakat tenteng setiap perosalan mungkin ada dantara kehidupan sosial kita. Setiap ada perbedaan yang timbul, bingkai penyelesaiannya adalah musyawarah dan mufakat. Semua persoalan bisa diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Kalau kita mau untuk duduk berkumpul dan bermusyawarah dengan adil. Setelah itu diikuti dengan samangat untuk saling sayang-menyayangi (rasa kemanusian) diantara sesama anak bangsa, maka akan tercipta persatuan dan kesatuan. Itulah esensinya nilai-nilai dasar negara kita Pancasila. Penulis adalah Wartawan Senior
Rizieq vs Sukarno, Siapa Yang Lebih Hebat?
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Suatu waktu, beberapa tahun lalu, supir rental dan sahabat politik saya, Harun Songge, memberitahu saya di subuh hari bahwa perjalanan ke gunung Kelimutu, Flores dibatalkan. Info dari pelayanan turis di Hotel, karena sudah mulai hujan gerimis dan kabut gelap. Kami menginap di Ende beberapa puluh kilometer dari gunung itu. Menginap di Ende karena saya memberi ceramah di Taman Renungan Sukarno, di kota Ende. Saya sampaikan ke Songge bahwa jika Sukarno bisa bertapa di puncak gunung Kelimutu itu. Puncak tugu Sukarno, maka saya dulu aktifis student center di ITB. Tempat Sukarno kuliah dan menjadi aktifis, insya Allah akan sampai juga ke puncak gunung itu. Di bawah kaki gunung Kelimutu. Yang tingginya setengah gunung Gede - Puncak, alias 1600-an meter, guide atau pemandu atau kuncen kalau di Jawa, mengatakan hujan kabut gelap ini akan berubah terang jika "arwah" Bung Karno dan roh-roh penjaga mengijinkan kita sampe ke puncak. Dulu, ada presiden Indonesia, coba-coba untuk naik ke puncak gunung. Namun gagal, karena kabutnya tidak mau pergi dari puncak gunung Kelimutu. Padahal aparat sudah mengerahkan pawang hujan. Singkat cerita, kami pelan-pelan mendaki ke atas. Hujan dan kabut pun pelan-pelan menghilang. Saya pun berjam-jam merenung di puncak Tugu Sukarno itu. Sebuah tempat mistis, dikelilingi tiga danau indah. Tempat Sukarno bertapa menggali Pancasila. Pancasila Bung Karno di Ende bukanlah sebagai anak umur millenial yang plesiran. Meskipun dia seorang engineer atau arsitek yang jumlahnya segelintir saat itu. Yang punya kesempatan dibayar mahal. Namun Sukarno ketika itu merupakan tawanan kolonial Belanda. Yang di usia mudanya radikal dan menghasut orang-orang Indonesia untuk melawan Belanda. Pengasingan di Ende, dari tahun 1934-1938. Dengan beban keluarga yang berat, Sukarno harus berpikir keras merumuskan sebuah ideologi bagi adanya suatu bangsa merdeka kelak. Merenung di kota atau desa kala itu. Bisa juga di taman renungan. Bertapa di puncak gunung, diantara orang-orang Katolik dan Islam di sana, serta melakukan surat menyurat dengan tokoh-tokoh bangsa, termasuk A. Hasan, tokoh agama di Jawa Barat, membuat Bung Karno mempunyai konsep holistik tentang Pancasila. Apa itu konsep holistik? Peratama, konsep holistik Pancasila harus bisa menjelaskan tentang masyarakat dan bangsa apa Indonesia itu? Kedua, bagaimana pendekatan dalam merumuskan konsep itu? Bung Karno adalah seorang insinyur maupun arsitek. Cara insinyur mendekati persoalan (approach) adalah "problem solver". Ini tentu sangat berbeda dengan cara filosop dan agamawan yang mengagungkan nilai. Begitu pula dengan ahli-ahli ilmu sosial yang mendekati persoalan dengan kesempurnaan konsepsi. Holistik di sini jadinya melihat realitas. Menemukan masalah dan memecahkannya. Realitas bangsa kita saat itu adalah bangsa dalam cengkraman kolonial. Masalahnya adalah keterpecahan. Lalu bagaimana cara untuk menemukan pemecahannya? Dengan pendekatan itu, maka Bung Karno sejak awal menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang integralistik. Dia melihat ada tiga komponen dasar bangsa kita. Pertama masyarakat Islam. Kedua, masyarakat adat. Ketiga, masyarakat progresif revolusiner. Ketiga ini dibahas Bung Karno, sebelum masa pengasingan di Ende itu, yakni dalam tulisannya "Islamisme, Nasionalisme dan Marxisme". Mungkin berbeda dengan Supomo, yang benar-benar intelektual. Dalam meyakini masyarakat integralistik, Bung Karno bisa jadi lebih pada "oedipus effect". Yang dia maksud rekayasa sosial untuk menyatukan tiga komponen utama bangsa tersebut. Pemikir pejuang seperti Muhammad Natsir maupun Tan Malaka berbeda dengan Bung Karno. Sebagai ahli ilmu sosial dan logika misalnya, menawarkan suatu masyarakat paripurna. Natsir menawarkan ummah. Sedangkan Tan Malaka menawarkan kaum proletar Murba. Hanya Sukarno yang menawarkan ketiga kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok Islam (dan agama), Nasionalis dan Marxist. Ketika kelompok tersebut, terus bersama-sama mengklaim eksistensi sebagai bangsa Indonesia. Bangsa ini ketika dihadapkan pada kolonialisme, Bung Karno mencari spirit patriotisme dari ketiga elemen itu. Dalam Islam bung Karno mendorong munculnya modernisme agama (bukan Islam Sontoloyo). Sedangkan dari nasionalisme didorong munculnya spirit cinta tanah air, dan dari marxisme didorong munculnya gerakan kaum tertindas. Bagaimana Rizieq Temukan Pancasila? Rizieq bukanlah seperti Sukarno dalam mendekati masalah tadi. Sebagai cendikiawan, Rizieq memulai penggalian Pancasila dari konsepsi. Lalu setelah itu mencarinya di dunia nyata, di belantara kemiskinan Jakarta. Kemudian kembali merumuskannya di Universitas. Metoda ini sering dikenal dengan nama “aksi-refleksi-aksi atau refleksi-aksi-refleksi”. Penjelajahan Rizieq pada Pancasila membuat Rizieq menawarkan konsepsi masyarakat Islam sebagai superior pada skala bangsa. Pertama, Rizieq meneguhkan sila Ketuhanan sebagai sentral atau yang utama. Sebaliknya Soekarno menempatkan sila ini sebagai sila terkahir. Kedua, Rizieq membangun platform kebersamaan nasional pada isu kebangkitan kaum miskin. Dari sisi kebangkitan kaum miskin, Rizieq berbeda dengan Marxisme. Sebab Marxisme yang melakukan pembelahan sempurna kaum miskin versus kaum kapitalis. Kebangkitan kaum miskin dalam pandangan Rizieq, merujuk pada Islam. Dapat menerima dukungan dari kaum kapitalis yang tercerahkan atau mau berbagi kepada kaum dhuafa itu. Sukarno VS Rizieq Orang-orang besar adalah orang-orang yang muncul dari penjara ke penjara maupun dari pengasingan (exile) ke pengasingan. Sukarno dan Habib Rizieq adalah dua sosok bangsa yang mengalami penderitaan panjang dalam hidupnya. Dalam konteks penjara dan pengasingan. (Tentu saja bukan koruptor) Dari sisi ini, kita akan melihat Sukarno dan Habib Rizieq mewakili dua sosok tokoh bangsa yang sejajar. Ajaran Bung Karno yang utama adalah Kebangsaan. Ajaran Rizieq yang utama adalah Ketuhanan. Namun, keduanya kemudian masuk pada agenda yang sama, yakni pembebasan. Tema pembebasan Bung Karno adalah melawan penindasan kolonial. Sedangkan tema pembebasan Rizieq adalah pembebasan dari cengkraman oligarki kapital. Sesungguhnya ini sama, meski tidak sebangun. Lawan dalam definisi Bung Karno adalah penjajah dan penjajahan. Sedangkan dalam defini Rizieq, lawan adalah oligarki dan rezim anteknya. Saat Bung Karno memilih bersekutu dengan Jepang, tahun 1942-45, tujuan Bung Karno adalah melawan kolonial Belanda. Jadi, bukan pengkhianatan Bung Karno atas cita-citanya. Rizieq ketika membangun persekutuan dengan keluarga Cendana, dia tidak melihatnya sebagai pengkhianat cita-cita pula. Jadi, meskipun Bung Karno dan Rizieq berbeda dalam penekanan terhadap jawaban atas persoalan di awal, namun spirit berikutnya tentang pembebasan, sama dan sejalan. Ada kesamaan yang dipunyai oleh Bung Karno dan Habib Rizieq Penutup Membandingkan Sukarno versus Habib Rizieq adalah penting untuk melihat secara tulus kedua sosok pahlawan bangsa kita dalam melakukan pembebasan kaumnya. Pendekatan yang dilakukan Bung Karno mengalami pelecehan ataupun penolakan dari berbagai tokoh waktu itu, seperti Syahrir, Tan Malaka, Natsir dan lain-lain. Misalnya, Tan Malaka lebih suka melecehkan Bung Karno sebagai kolaburator. Rizieq saat ini juga banyak mendapat kecaman. Karena dianggap akan menihilkan agenda kebangsaan dengan superioritas Islam. Ketika Rizieq dan Rachmawati Sukarnoputri berjumpa pertama sekali, sebelum aksi 212 pada tahun 2015, keduanya berusaha mencari temuan jalan tengah antara Sukarnoisme dan Rizieqisme tersebut. Jalan bangsa ini masih panjang untuk membangun berdasarkan ajaran pembebasan ala Bung Karno dan ala Rizieq. Kaum tertindas menunggu perubahan sosial secepatnya untuk adanya kebahagian bersama. Kita harus mempercepatnya dengan mendorong adanya sintesa Soekarnoisme dan Rizieqisme dalam perjuangan bangsa. Bukan membandingkan siapa yang lebih hebat. Tidak perlu melihat lebih jauh lagi pada judul di atas. Karena mereka dua tokoh ini besar, dalam jamannya yang berbeda. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Rakyat Perlu Kerja Pranikah, Bukan Kursus Pranikah
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Seperti orang linglung para penguasa kita ini. Pada saat anak-anak muda memerlukan lapangan kerja, yang mereka sediakan malah bimbingan untuk menjadi pengantin. Ketika anak-anak muda memikirkan situasi masa depan, para penguasa malah sibuk mengajarkan mereka tentang perkawinan. Sangat konyol, rasanya. Mau dibilang ini gagasan yang tak becus, nanti tersinggung. Padahal, memang mengada-ada. Bapak-ibu para penguasa yang terhormat! Khususnya kepada Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Yang menjadi masalah besar itu bukan persiapan anak-anak muda menuju rumah tangga. Melainkan mau buat apa mereka setelah berumah tangga. Di tengah ketidakpastian. Yang menjadi masalah itu adalah lapangan kerja. Bukan bagaimana cara berumah tangga. Kalau Anda prihatin terhadap angka perceraian, misalnya, itu bukan berpunca dari ketidaksiapan menuju rumah tangga. Melainkan karena pernikahan menjadi labil akibat kesulitan sehari-hari yang dialami banyak keluarga. Kalau Adan temukan begitu banyak persoalan di keluarga-keluarga muda, itu bukan karena mereka tak mengerti cara bersuami-istri. Melainkan karena mereka setiap hari diteror oleh penghasilan yang tidak menentu atau bahkan tidak ada. Bukan karena mereka tak mengerti berkasih sayang. Seorang pejabat supertinggi mengatakan bahwa melalui kelas bimbingan, masyarakat yang akan berencana menikah diberi bekal mengenai pengetahuan seputar kesehatan reproduksi, penyakit-penyakit yang mungkin terjadi pada pasangan suami-istri hingga masalah stunting pada anak. Reproduksi? Penyakit? Stunting anak? Mungkin juga menjadi masalah. Tapi, tidak urgen. Pastilah orang paham soal kekurangan gizi (stunting). Ini bersumber dari kekurangan bujet keluarga. Keuangan keluarga yang tidak menentu. Kerja serabutan. Harga-harga yang makin mencekik. Bukan karena tak tahu bagaimana cara makan yang bergizi. Begitu juga isu reproduksi dan penyakit-penyakit kesuamiistrian. Penyakit kelamin, dsb. Ini bukan persoalan urgen. Sebab, selama masa perkenalan antara pasangan calon suami-istri, tentu mereka juga memperhatikan berbagai potensi yang terkait dengan masalah kesehatan. Pria atau wanita yang berkenalan dan menjalin hubungan, tentulah akan saling mencari tahu dan saling mengamati. Apalagi, proses menuju pernikahan itu ditangani oleh orangtua calon suami dan istri. Lebih terjamin lagi. Sebab, orangtua dari pria dan wanita biasanya akan merintitis dulu. Mereka akan membentangkan apa adanya tentang anak mereka. Tentang segala kekuragan dan kelebihan. Inilah proses yang sesuai dengan syariat. Tidak ada yang disembunyikan tentang calon suami atau calon istri. Jadi, tak perlu ada negara untuk membantu para calon suami-istri dalam masalah-masalah yang ingin ditangani oleh Kemenko PMK itu. Kalau mengawasi agar jangan sampai terjadi perkawinan antara penganut agama yang berbeda, itulah yang diperlukan. Rakyat akan mendukung. Sebab, perkawinan beda agama besar kemungkinan akan melahirkan generasi bingung. Tak punya pegagangan. Generasi yang rusak akidah. Dan kerusakan akidah (iman) akan menyebabkan bangsa menjadi rusak juga. Karena itu, lebih baik Anda-anda yang sedang berkuasa ini memikirkan lapangan kerja untuk anak-anak muda. Lebih baik memikirkan cara memberantas korupsi agar uang yang bocor puluhan triliun setiap tahun itu bisa digunakan untuk program-progran yang lebih relevan untuk para calon suami-istri. Atau, lebih baik Anda tanya Presiden Jokowi kapan dia akan menerbitkan kartu prakerja. Ini pasti sangat membantu anak-anak muda calon pengantin.[] 21 November 2019 Penulis wartawan senior.
Misteri Ahok: Bakal Jadi Pejabat BUMN untuk Balas Dendam?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ahok Effect! Itulah yang terjadi sekarang ini. Terjadi reaksi penolakan atas rencana Menteri BUMN Erick Thohir yang akan menempatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi Direktur Utama atau Komisaris Utama di BUMN. Kabar santer, mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan ditempatkan di PT Pertamina (Persero). Reaksi keras langsung datang dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) yang terang-terangan menolak rencana Menteri Erick ini. Serikat Pekerja Tolak Ahok Pimpin Pertamina: PEMBERANG DATANG - KITA PERANG!! Begitu salah satu bunyi spanduk penolakan atas Ahok oleh FSPPB itu. “Benar (menolak),” tegas Presiden FSPPB Arie Gumilar, mengutip Liputan6.com, Jumat (15/11/2019). Sebelumnya, Ahok telah bertemu dengan Erick Thohir dan berbicara mengenai kemungkinan Ahok masuk ke salah satu BUMN. FSPPB menolak rencana penunjukan Ahok masuk dalam jajaran pejabat Pertamina, baik untuk posisi direksi ataupun komisaris. Arie mengungkapkan, aksi penolakan yang dilakukan serikat pekerja yang tergabung dalam FSPPB didasari karena Ahok yang memiliki cacat persyaratan materiil. Menurutnya, Ahok cacat persyaratan materiil. “Kader internal Pertamina juga banyak yang cakap,” tuturnya. Hingga hari ini belum jelas betul posisi Ahok apakah Komisaris Utama atau Direktur Utama Pertamina. Ada yang berspekulasi di BUMN Inalum yang melakukan divestasi 51 % saham PT Freeport. Lalu Inalum menawarkan kepemilikan saham ke RRC. Pemerhati Politik M. Rizal Fadillah menyebut, jika kemudian Ahok menjabat di Pertamina, maka ia akan berminyak minyak. Semakin berminyak dan licin. Reaksi pun muncul. Yang menyorot “ketidakbersihan” Ahok meradang. Ahok diduga korupsi di banyak proyek mulai dari RS Sumber Waras, bus Transjakarta asal China, hingga reklamasi. Buku Marwan Batubara cukup mengurai hal dugaan korupsi Ahok. Kesimpulannya dengan track record buruk soal korupsi tak pantas Ahok memegang jabatan penting BUMN. Petinggi alumni 212 juga teriak atas “ketidaksucian” Ahok yang “alumni Lapas” untuk kasus penodaan agama. Tidak layak Ahok yang telah menyakiti umat Islam diberi jabatan strategis. Ahok akan jadi sasaran aksi baru umat. Reuni 212 yang selalu berulang akan menemukan isu “lama” soal Ahok ini. Gelindingan bisa saja membesar dan memfokus. Dan, ini akan mengarah ke Presiden Joko Widodo yang telah memberi kepercayaan pada Ahok. Tentu dengan dua isu besar yang disandang Ahok, yaitu korupsi dan penista agama. Untuk jangka pendek, Ahok akan tetap sebagai “masalah”. Kita teringat ucapan KH Ma’ruf Amin dalam video tentang Ahok yang kini viral. Bahwa Ahok adalah sumber konflik. Nah, Ahok belum steril saat ini, masih sensitif jika dipromosikan pada jabatan jabatan penting. Haruskah Presiden Jokowi memaksakan Ahok untuk memegang jabatan penting di BUMN? Memang sudah bisa dipastikan, masuknya Ahok sebagai calon bos salah satu BUMN adalah hasil rekomendasi dari Presiden Jokowi. Begitu ungkap Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, ditemui di kantor Kementerian BUMN, Rabu (13/11/2019). “Yang pasti setiap posisi yang vital untuk BUMN kita harus koordinasi dengan Pak Jokowi. Tidak mungkin enggak karena BUMN yang mempengaruhi banyak menyangkut kehidupan pasti kita konsultasi dengan Pak Jokowi,” ujar Arya. Diakuinya, banyak yang mengapresiasi langkah pemerintah menarik Ahok masuk menjadi bos BUMN. Karena Ahok dinilai sosok yang tegas, meski pernah tersandung kasus hukum dan dipenjara. “Harapan kita memang Pak Ahok bisa bergabung bersama kita di salah satu BUMN, jadi kita memang mengharapkan Pak Ahok bersedia juga untuk bergabung di salah satu BUMN kita,” tambah Arya. Namun Arya belum bisa memastikan BUMN mana yang akan ditempati oleh Ahok. Yang pasti BUMN tersebut adalah BUMN yang sifatnya strategis, dalam arti berperan penting dalam perekonomian dan kenegaraan. Penunjukan Ahok sebagai bos BUMN ini, ujar Arya, pastinya akan melalui proses di Tim Penilai Akhir (TPA). Sehingga, ini belum berakhir. Artinya, Ahok bisa masuk atau gagal, masih tergantung dari TPA, kecuali dia “sakti”. Apalagi, kalau sudah ada “rekom” dari Presiden Jokowi, itu jelas “harga mati”, sulit ditolak! Pertanyaannya, “mengapa harus Ahok?” Sudah tidak adakah di seluruh Indonesia ini sosok pejabat yang lebih bersih dan lebih cerdas dari Ahok? Balas Dendam Ahok? Semangatnya Ahok untuk menerima “tawaran” jabatan dari Menteri Erick Thohir menduduki posisi Direksi atau Komisaris di sebuah BUMN tersebut justru akan memicu kontroversi di kalangan umat Islam yang pernah “disakiti” Ahok. Bahkan, saat Ahok berhasil “lolos” dari sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan dia ketika menjabat Wakil Gubernur maupun Gubernur DKI Jakarta pun nyaris tidak tersentuh hukum sama sekali, kecuali terkait penistaan agama (Islam). Hingga membuat Ketua MUI KH Ma’ruf Amin geram dan mengeluarkan fatwa MUI terkait penistaan agama yang ditujukan kepada Ahok. Setelah dilakukan demo besar-besaran melalui Gerakan Nasional Penyelamat Fatwa MUI, Ahok akhirnya diadili. Ahok divonis 2 tahun penjara oleh majelis hakim PN Jakarta Utara karena terbukti bersalah melakukan penodaan agama atas pernyataan soal Surat Al-Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Ahok mulai menjalani hukuman penjara pada 9 Mei 2017 setelah putusan majelis hakim di PN Jakarta Utara. Ahok bebas pada Kamis, 24 Januari 2019. Ahok keluar dari Rutan Mako Brimob setelah menjalani masa pidana penjara selama 1 tahun 8 bulan 15 hari. Mengenai hal ini, mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie mengatakan bahwa sebaiknya kasus hukum dugaan korupsi yang menyeret nama Ahok diselesaikan terlebih dulu. Karena track record dalam menentukan pemimpin BUMN harus menjadi pertimbangan utama. “Jangan menjadi preseden buruk, karena kondisi BUMN yang sudah banyak terpuruk karena fraud. PT Jiwasraya yang diam-diam, sudah defisit puluhan T (triliun),” kata Marzuki lewat Twitternya, dikutip Rabu, 13 November 2019. Dilansir VIVA, Kamis (14/11/2019 | 06:00 WIB), menurut Marzuki, hal tersebut berdasarkan temuan BPK RI. Tapi, kasus ini masih menggantung dan belum diselesaikan. Selama belum diselesaikan, maka kasus itu tidak selesai. “Ini enggak baik, seolah ada diskriminasi. Dulu di PTSB hanya Rp 94 juta antar BUMN, kasusnya dijadikan kasus pidana. Itu temuan BPK yang bisa diselesaikan karena sama-sama BUMN,” ujarnya. Ia mengatakan, temuan BPK itu persoalan legal, maka apa pun wajib diselesaikan temuan itu. Menurut Marzuki, harusnya tidak perlu takut apabila tidak bersalah. Sebab, ini temuan BPK dan kerugian negaranya jelas. “Selama belum diselesaikan, maka kasus itu tidak selesai. BPK itu lembaga, temuannya masih nyangkut di Pemprov DKI, itu harus diselesaikan. Apapun wajib diselesaikan, kalau tidak bersalah gak usah takut dan gak usah baper,” ungkap Marzuki. “BTP itu teman saya, satu daerah, maju gubernur juga karena motivasi dari cerita saya,” lanjutnya. Jika Menteri Erick Thohir tetap ngotot ingin menempatkan Ahok menjadi pimpinan di salah satu BUMN, sebaiknya Ahok ditugaskan untuk benahi BUMN dengan masalah utang yang hingga Desember 2918 terbilang cukup tinggi. Seperti diungkap Dewan Pembina Gapasda dan Iperindo, Bambang Haryo Soekartono, saat berbincang dengan awak media, Rabu (23/10/2019) mengungkapkan, sebelum mewujudkan permintaan Presiden Jokowi soal rencana ekspansi ke luar negeri. Salah satu masalah yang membuat BUMN Indonesia sulit untuk melakukan ekspansi karena terbebani oleh utang. Hingga Desember 2018 lalu, setidaknya ada 10 BUMN dengan utang terbesar, antara lain BRI menanggung utang Rp 1.008 triliun; Bank Mandiri utang Rp 997 triliun, BNI utang Rp 660 triliun, PLN utang Rp 543 triliun, Pertamina utang Rp 522 triliun, BTN utang Rp 249 triliun, Taspen utang Rp 222 triliun, Waskita Karya utang Rp 102 triliun; Telekomunikasi Indonesia utang Rp 99 triliun, dan Pupuk Indonesia utang Rp 76 triliun. Rasio utang perusahaan rata-rata sudah di atas separuh aset yang dimiliki masing-masing perusahaan pelat merah tersebut. Bahkan ada yang rasionya sudah mendekati aset yang dimiliki, seperti BRI dengan aset Rp 1.179 triliun. Artinya, dengan utang yang ditanggung berbanding aset dimiliki, perusahaan bisa dipailitkan. “Bisa dikatakan 10 BUMN ini terancam bangkut. Sebab kalau asetnya dijual semua habis untuk membayar utang,” ujarnya. *** Penulis wartawan senior.
Wow, Umat Islam Dikepung Habis
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Tidak ada keraguan bahwa terminologi “radikalisme” itu 99.99% ditujukan kepada umat Islam. Sulit untuk berkilah atau memoles penjelasan bahwa label negatif itu bukan untuk orang Islam saja. Hanya ada ruang 0.1% untuk mengatakan bahwa sebutan itu ditujukan ke semua orang. Kenapa? Karena kejadian empirisnya seperti itu. Sosialisasi istilah radikalisme, sejak awal, diasosiasikan dengan umat Islam. Ini fakta historis. Sama dengan Orde Baru, Golkar, Repelita, dlsb. Semua ini secara otomatis tersambung ke Presiden Suharto. Anda sebut Orde Baru, maka asosiasi yang muncul adalah Suharto. Begitu juga Golkar. Kata “radikalisme” mengalami proses yang sama. Para petinggi keamanan, politisi, pengamat, media massa, dan komponen-komponen lainnya menyematkan kata itu ke setiap peristiwa buruk yang melibatkan orang Islam. Setelah berulang-ulang dikaitkan dengan umat Islam, labelisasi itu menjadi solid. Sehingga, akan terasa aneh kalau “radikalisme” Anda katakan tidak terkait dengan umat Islam. Sama anehnya dengan argumentasi bahwa Orde Baru atau Golkar tidak terkait dengan Suharto. Mudah-mudahan cukup jelas mengapa “radikalisme” menjadi identik dengan umat Islam. Hari ini, umat Islam sedang dikepung habis. Atas nama pencegahan radikalisme. Sekarang, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah meluncurkan situs (website) khusus untuk melaporkan ASN yang dianggap terpapar radikalisme. Tak tanggung-tanggung. Instansi yang dipimpin oleh Menteri Johnny G Plate itu bekerja sama dengan 10 kementerian lain. Tujuannya jelas. Untuk menjaring para pegawai negeri yang menunjukkan ciri-ciri dan perilaku radikal. Siapakah yang akan disasar lewat situs pelaporan itu? Ya, itu tadi. ASN yang dianggap terpapar radikalisme. Seperti dijelaskan di atas, radikalisme itu identik dengan orang Islam. Artinya, yang hendak dikejar situs pelaporan itu hampir pasti ASN muslim. Barangkali Anda akan bertanya: mengapa diyakini situs pelaporan radikalisme itu ditujukan kepada ASN muslim? Jawabannya, apakah Anda yakin situs pelaporan radikalisme itu ditujukan juga kepada para ASN yang bukan muslim? Atau, lebih spesifik lagi: apakah cadar, celana cingkrang, jilbab, janggut, dll, adalah isu-isu yang terkait dengan orang non-muslim? Jadi, sangat repot menolak kesimpulan bahwa semua kebijakan dan tindakan antiradikalisme pasti diarahkan kepada kaum muslimin. Memang, pihak yang berkuasa akan berusaha sekuat tenaga menjelaskan bahwa penangkalan atau pembasmian radikalisme bukan bersubjekkan orang Islam saja. Tetapi, nalar sehat tak bisa dikelabui. Semua pengalaman menunjukkan bahwa apa saja tentang radikalisme, pasti dikaitkan dengan orang Islam.. Kita lanjutkan. Tidak hanya situs pelaporan ASN radikal yang diciptakan oleh para penguasa. Proses rekrutmen CPNS (calon pegawai negeri sipil) akan dibuat esktra-ketat. Para calon akan ditelusuri secara digital. Untuk mencari akun-akun media sosial milik mereka. Tujuannya ialah untuk mengetahui apakah mereka pernah mengunggah bahan-bahan yang mereka anggap radikalisme atau tidak. Apakah pelaporan ASN radikal dan pemantauan akun-akun medsos CPNS saja yang dilakukan penguasa? Tidak. Ada sejumlah tindakan lain yang diarahkan ke umat Islam. Misalnya, Kementerian Agama akan menghapus materi tentang perang jihad dari buku sejarah Islam. Kemudian, masjid-masjid yang ada di lingkungan berbagai kantor pemerintahan dan BUMN diawasi oleh lembaga-lembaga keamanan. Seperti diketahui, Badan Intelijen Negara (BIN) menyimpulkan ada 41 dari 100 masjid di Jakarta yang terpapar radikalisme. Sebanyak 11 masjid di kantor pemerintahan, 11 di komplek lembaga, dan 21 di kantor-kantor BUMN. Seterusnya, ketika Nadiem Makarim diangkat menjadi Mendikbud, seorang netizen meminta kepada menteri milenial ini agar masjid yang ada di sekolah-sekolah segera dibongkar. Ada pula rencana penguasa untuk merombak konten ratusan buku. Kementerian Agama akan mengubah isi 155 buku pelajaran agama. Yaitu, yang dipakai mulai dari kelas 1 SD sampai kelas 12 SMA. Materi tentang khilafah akan ditinjau. Bisa dibaca sasarannya: yaitu memutus semua hubungan umat Islam dengan terminologi “khilafah”. Boleh jadi penelitian akademis dan tinjauan ilmiah pun akan dilarang. Nah, bagaimana Anda menafsirkan langkah-langkah yang tertata rapi (coordinated) dan serentak (concerted) ini? Bagi saya, semua itu menunjukkan betapa banyaknya orang yang ingin melihat umat Islam dikepung. Didemonisasikan. Dilabel dengan aneka sebutan negatif. Dan ini dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Tentu tak perlu bersedih. Apalagi marah-marah. Umat sudah terbiasa ditindas dan dipojokkan. Sudah sangat lumrah menjadi tertuduh. Dari presiden ke presiden, umat Islam sudah lumrah dengan posisi “under-sieged”. Dikepung habis. Cuma, mereka salah kalkulasi. Dengan segala upaya pengepungan itu, umat tidak akan menjadi “besieged mentality”. Tidak akan pernah bermental terkepung. Sebaliknya, umat semakin bergairah dan lincah. Dalam dakwah dan perjuangan politik.[] 18 November 2019 Penulis adalah wartawan senior.
Silakan Bangun Apa Saja, Asal Bukan Islam
Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Tampaknya, judul inilah yang mengisi kepala para penguasa Indonesia. Tidak semua. Tapi, sebagian besar. Asalkan bukan Islam, silakan buat apa saja di Indonesia ini. Silakan bangun apa saja. Mau mengembangkan sekularisme sampai yang lain habis, silakan. Tidak ada masalah. Akan didukung penuh. Mau tekan gas habis untuk liberalisme, juga silakan. Tidak akan dihalangi. Bahkan akan didorong sekuat tenaga. Pun kalau ada yang serius mau mengarahkan Indonesia menjadi sarang korupsi, juga akan dibiarkan. Malahan dibantu dengan melemahkan KPK. Juga kalau Indonesia mau dijadikan sebagai pusat perzinahan, pasti disambut meriah. Bakal banyak yang senang. Bahkan sudah dibuatkan thesis S-3 yang menghalalkan zina. Bisa saja nanti dibuatkan sertifikasi halal untuk penyedia fasilitas perzinahan. Terus, mau dijadikan Indonesia ini negara kapitalis ekstrem, silakan maju. Dengan senang hati akan difasilitasi oleh penguasa. Atau mau dijadikan negara komunis, malah kebetulan. Kebetulan sedang banyak pentolan yang sangat menginginkan ini. Anda mungkin sudah tahu siapa mereka. Dan, Presiden Xi Jinping dapat dipastikan akan mendukung tuntas. Pokoknya, siapa saja boleh membangun apa saja. Asal bukan Islam atau umat Islam. Kalau ada yang mau mengarahkan penguatan Islam garis lurus, kecuali Islam bengkok-bengkok, pasti akan membentur tembok. Beginilah kondisi yang dihadapi umat Islam. Dari mana saja Anda mau memulai penguatan umat garis lurus, di situ ada perintang jalan. Disiapkan skenario yang akan melelahkan Anda. Yang akan membuat Anda frustrasi. Semua sudah disiaprapikan. Ada tuduhan terorisme. Ada narasi intoleran. Anti-Pancasila. Anti-NKRI. Seolah-olah, semua label ini hanya pantas disematkan di kening umat Islam. Sekarang ini sedang gencar-gencarnya penguasa melabelkan radikalisme kepada umat Islam. Ada demonisasi cadar dan celana cingkrang yang diidentikkan dengan radikalisme itu. Cadar dan cingkrang dipoles habis menjadi momok yang menakutkan. Dibicarakan di mana-mana dalam konotasi negatif. Dalam keadaan seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh umat? Nyaris tidak ada. Kecuali terus berdoa, berdakwah, dan beristighfar. Berdoa adalah senjata paling ampuh bagi umat. Kalau para ulama, ustad, kiyai, pemuka masyarakat, dll, pastilah senyum-senyum saja menghadapi situasi seperti sekarang ini. Mereka berprasangka baik kepada Rabbal ‘Alamin –Tuhan Semesta Alam. Mereka paham bagaimana cara merujuk kesemena-menaan para penguasa. Intinya, fitnah (cobaan) terhadap umat Islam akan terus datang bertubi-tubi. Akan silih berganti. Baginda Nabi dengan jelas menyebutkan rangkaian fitnah yang menerpa deras dan mendera umat. “Yaa ayyuhalazina amanu, ishbiru wa shabiru, wa rabithu, wattaqullaha la’allakum tuflihuun.” (QS Ali Imran 200) “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” Musuh-musuh Islam itu begitu dahsyat. Di dalamnya ada segala macam kekuatan yang berhimpun. Ada kekuatan politik, ekonomi, finansial, plus orang-orang munafik. Sebaliknya, satu-satunya “kekuatan” umat adalah hadits Nabi yang menyebutkan bahwa umat Islam di akhir zaman akan seperti buih di lautan. Terombang-ambing tak tentu arah. Kok hadits buih disebut kekuatan? Karena dengan hadits inilah umat akan melakukan koreksi. Boleh jadi proses koreksi itu telah dimulai dan menuju penyempurnaan. Wallahu a’lam.[] 15 November 2019 Penulis adalah wartawan senior.
Plus Minus Ahok Mendongkrak Risiko Jokowi
Oleh Hudzaifah Jakarta, FNN - Ahok kembali menjadi viral di media massa cetak, televisi, radio maupun media sosial. Kali ini mantan narapidana penistaan agama itu akan diangkat menjadi bos di PT Pertamina, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) paling basah di negeri ini. Sebelumnya pemilik nama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu memang santer akan menjadi salah satu nominasi menteri Kabinet Indonesia Maju. Tapi setelah nama-nama menteri dan wakil menteri diumumkan, peluang Ahok pun pupus. Setelah itu beredar kabar bahwa Ahok akan menjadi Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi setelah ditelusuri Ahok tak memenuhi syarat karena dalam karirnya sebagai Gubernur DKI banyak persoalan korupsi yang diarahkan kepadanya. Belakangan Ahok bertemu Menteri BUMN Erick Thohir dan dikabarkan akan menjadi bos BUMN, wabil khusus Pertamina. Bahkan Presiden Jokowi sendiri diketahui yang mendorong Ahok jadi bos di Pertamina, entah sebagai Direktur Utama atau Komisaris Utama. “Bisa keduanya. Kita tahu kinerjanya. Nanti penempatannya di mana, itu proses seleksi yang ada di Kementerian BUMN," ucap Jokowi hari ini. Menteri BUMN Erick Thohir sendiri menyatakan proses seleksi akan selesai akhir bulan ini, sehingga awal Desember 2019 sudah bisa dilantik. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membenarkan soal peluang Ahok menjadi salah satu bos di BUMN energi. Menurutnya Ahok sosok yang tepat karena ketegasannya untuk memimpi salah satu BUMN energi. Atau BUMN lain yang sakit membutuhkan kepiawaian dan keberanian Ahok. Sampai di sini publik pun menyatakan aneka reaksi yang beragam. Pengarang buku Korupsi Ahok, Marwan Batubara berpendapat bahwa Ahok itu lebih pantas ditahan ketimbang diberi jabatan, mengingat banyaknya kasus korupsi yang melilitnya. Mantan Ketua DPR Marzuki Ali menyampaikan keheranannya dengan rekomendasi Jokowi agar Ahok jadi bos Pertamina. Alasannya, banyak sekali temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terkait dugaan korupsi Ahok, sebaiknya temuan BPK itu ditindaklanjuti aparat hujum dulu. Sementara mantan Menteri Koperasi dan UKM Syarif Hasan mengatakan di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah mengangkat petinggi BUMN dari orang bermasalah. Bahkan pejabat yang sedang duduk dalam jabatannya terindikasi bermasalah dan ditersangkakan, maka diberhentikan. Dengan kata lain, Presiden Jokowi sedang mempertaruhkan risiko yang besar dengan rencana mengangkat Ahok sebagai bos Pertamina. Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman berpendapat, kalau Ahok benar mau dicalonkan jadi Direktur Utama atau Komisaris Utama BUMN, maka Erick Tohir bisa dianggap melanggar Permen BUMN Nomor 03 Tahun 2015 tentang Persyaratan Menjadi Anggota Direksi dan Komisair BUMN. Menurutnya Ahok tidak memenuhi syarat formal untuk menjadi Direksi maupun Komisaris BUMN sesuai Permen BUMN tersebut. Pada Bab II tentang Persyaratan Anggota Direksi BUMN dalam Permen BUMN Nomor 03/2015, pada poin A angka 3, tentang Persyaratan Formal, disebutkan direksi perseroan adalah orang perorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu lima tahun sebelum pengangkatan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, BUMN, perusahaan dan atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. Tentang persyaratan formal poin 3 ini, walau bisa dimentahkan dengan dalih Ahok dipenjara bukan karena merugikan keuangan negara atau BUMN, tapi Ahok tersangkut di persyaratan materiil. Yusri mengungkapkan pada Bab II huruf B angka 6 Permen BUMN Nomor 03/2015, disebutkan persyaratan materiil direksi perseroan adalah Perilaku yang baik. “Faktanya, yang bersangkutan (Ahok,red) berperilaku yang melecehkan, menistakan atau menghina agama lain sehingga dipenjara karena hal tersebut, itu berarti berperilaku tidak baik," ungkap Yusri. Tentu saja dimata Jokowi, Ahok adalah special person. Selain yang membantu menghubungkan Jokowi dengan sumber pembiayaan kampanye Gubernur DKI Jakarta dan Pilpres 2014 dan mungkin saja 2019, maka Ahok layak diberi apresiasi. Bagi Jokowi, Ahok adalah penentu nasibnya hingga menduduki jabatan RI-1. Wajar kalau diberi hadiah bos BUMN. Sebab kalau menjadi menteri, wakil menteri ataupun pengawas KPK, syaratnya sangat berat dan sulit bagi Ahok untuk menembus. Sementara dengan menjabat bos BUMN--belum jelas apakah akhirnya menjadi Dirut atau Komut Pertamina, Inalum, Sarinah, dan lainnya—syarat itu masih debatabel. Erick Thohir malah optimistis Ahok bisa dititipi di salah satu BUMN, memang yang paling basah adalah Pertamina. Bahkan Erick menjamin bahwa proses seleksinya sedang berlangung, diprediksi awal Desember sudah bisa dilantik. Kasus Ahok Jika di-rewind ke belakang, sebenarnya Ahok meninggalkan banyak perrsoalan hukum. Mulai dari kasus RS Sumber Waras, Taman BMW, Rusun Cengkareng, reklamasi pantura Jakarta, dana kompensasi, dan kasus-kasus lain yang menurut audit BPK mengandung unsur pelanggaran hukum. Tapi untungnya rezim yang memimpin negeri ini adalah orang-orang yang dekat dengan Ahok. Sehingga sosok yang belakangan menjadi kader PDIP ini seperti tak tersentuh hukum. Adapun penetapannya sebagai terpidana kasus penistaan agama terjadi berkat tekanan kuat dari ummat Islam yang tergabung dalam gerakan 212. Berdasarkan buku Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok yang ditulis Marwan Batubara, sedikitnya ada 7 kasus besar yang melilit Ahok sejak menjadi Wakil dan Gubernur DKI Jakarta. Pertama, berdasarkan hasil audit resmi BPK, Ahok terindikasi terlibat korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras. Bahkan dalam prosesnya Ahok telah melakukan 6 pelanggaran yang serius sehingga negara dirugikan sebesar Rp191 miliar karena membeli lahan sendiri. Kedua, kasus lahan Taman BMW. Ahok diduga terlibat korupsi dalam pelepasan lahan Taman BMW seluas 12 hektar di Sunter di Jakarta Utara. Lahan itu sedianya akan digunakan untuk dibangun Jakarta International Stadium (JIS) Persija. Tapi lahan itu ternyata dikuasai PT Buana Permata Hijau (BPH). Ketiga, kasus lahan Rusun Cengkareng. Kasus ini berawal ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membeli lahan seluas 4,6 hektare di Cengkareng, Jakarta Barat tahun 2015 seharga Rp668 miliar dari Toeti Noezlar Soekarno. Pembelian dilakukan Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Jakarta (sekarang bernama Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta). Lahan itu dibeli untuk pembangunan rumah susun (rusun). Pembelian itu belakangan dipermasalahkan saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, lahan itu juga terdata sebagai milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DPKPKP) DKI Jakarta. Jika demikian, Pemprov DKI telah membeli lahannya sendiri. Keempat, penyelewengan dana corporate social responsibility (CSR) yang merupakan kompensasi dari para pengembang. Harusnya dana itu dimasukkan dulu ke dalam APBD DKI, baru digunakan sesuai perencanaan dan pagu anggaran yang disediakan. Nyatanya dana itu langsung digunakan untuk berbagai fasilitas seperti jalan lingkar Semanggi, baru diappraisal nilainya di-netting ke dalam APBD. Kelima, penyimpangan dana non budgeter. Berbagai proyek pembangunan di DKI Jakarta selama dipimpin Ahok disusun dan ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan DPRD DKI Jakarta dan tanpa menggunakan dana APBD DKI Jakarta. Intinya, Ahok menggunakan dana pengusaha untuk pembangunan fasilitas publik. Menurut Ahok, pembangunan yang menggunakan APBD prosesnya rumit, sehingga dia memilih cara cepat dengan mengumpulkan dana kompensasi dari para pengembang proyek di Jakarta dan Ahok merasa itu adalah wewenang diskresinya. Direktur Utama Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Kepada penyidik KPK, dia menyatakan ada 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro, yang anggarannya akan dijadikan pengurangan kontribusi tambahan proyek reklamasi. Pengurangan terjadi kalau Agung Podomoro membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta yang nilainya mencapai Rp1,6 triliun. Namun mekanisme ini melanggar aturan yang ada dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Keenam, kasus reklamasi Teluk Jakarta. Pada tahun 2015 (masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama/Ahok), pembangunan di Teluk Jakarta mulai bergerak dengan dikeluarkannya izin reklamasi Pulau G, Pulau F, Pulau I, dan Pulau K. Masih ada sekitar 13 Pulau yang belum mendapat izin pelaksanaan reklamasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun dalam prosesnya pulau yang dibangun di proyek reklamasi ini tanpa menggunakan izin lingkungan (Amdal), penerbitan IMB tanpa penjelasan rencana tata ruangnya, bahkan tanpa IMB. Ketujuh, kasus-kasus korupsi Ahok di Belitung Timur. Mantan Bupati Belitung Timur yang juga menjadi pasangan Ahok dalam Pilkada Kabupaten Beltim, Khairul Effendi, pernah mengungkap buruknya kinerja Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang menjabat sebagai Bupati Beltim. Pada hari Rabu, 9 Desember 2014, Komite Masyarakat Peduli Penyalahgunaan Kekuasaan (Kompak Babel), LSM Alamak Babel, Maki Babel, melaporkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ke KPK atas dugaan perusakan hutan lindung dan penambangan ilegal di Gunung Nayo, Belitung Timur, dengan nomor aduan (2014-12-000152). Penambangan pasir kuarsa di kawasan hutan lindung ini mulai ditangani kepolisian pada tahun 2010, dan pada awal tahun 2011 dilimpahkan kasusnya untuk ditangani Polda Bangka Belitung. Bersama Dinas Pertambangan dan Dinas Kehutanan Provinsi, waktu itu polisi telah menemukan lokasi penambangan pasir kuarsa CV Panda yang dimiliki oleh Ahok berada di kawasan hutan lindung. Hal itu berdasarkan Peta 410 (SK Menhut 410 thn 1986) dan Peta 357 (SK menhut 357 thn 2004). Namun hingga saat ini belum ada kejelasan kelanjutan proses hukum kasus ini. Fakta dari rekam kronologis, dapat diketahui kalau tahun 1992 - 1998 CV Panda melakukan operasi produksi pasir kuarsa di kawasan hutan lindung tadi dan baru berhenti pada 20013. Artinya perusahaan CV Panda melakukan penambangan terlarang selama kurang lebih 9 tahun, dan hal ini jelas pelanggaran hukum yang patut dipidana. Dengan rekam jejak Ahok yang sangat buruk di atas, terutama dalam hal dugaan korupsi, sepertinya Jokowi sedang bermain-main dengan risiko kepemimpinannya. Nama baik Jokowi bisa jadi buruk dibuatnya, seburuk tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Ahok. Kita lihat saja seberapa kuat Jokowi mengangkat kembali barang rongsokan yang bernama Ahok, tokoh tak kredibel, pemarah, dan cenderung merugikan negara. Prosesnya sangat menarik untuk dinikmati...! Penulis adalah wartawan senior.
Pamor TNI Runtuh, Presiden Joko Widodo Harus Ganti Marsekal Hadi Tjahjanto?
Sebelum Hadi menjadi Panglima, TNI selalu berada urutan paling atas dari institusi negara yang paling dipercaya oleh masyarakat. Namun sekarang peringkat TNI turun beberapa digit. Dari raihan dengan prosentase 90,4% di tahun-tahun sebelumnya, kini turun menjadi hanya 89% di eranya Hadi Panglima TNI. Kalau Hadi masih dipertahankan terus, maka tidak tertutup kemungkinan citra TNI makin buruk lagi di matas masyarakat. By Haris Rusly Moti Presiden Joko Widodo telah mengganti Kepala Polri yang dijabat Jenderal Tito Karnavian. Kini Jenderal Idham Azis diberikan “mahkotai” untuk memimpin Polri. Perggantian Jenderal Tito sebagai Kapolri itu memang terasa sangat mengejutkan. Masa dinas aktif Jendral Tito Karnavian masih cukup lama. Tito baru pensiun pada tahun 2023 nanti. Masih tersisa masa dinas aktif Tito sekitar dua tahun lebih lagi. Namun begitulah yang namanya hak prerogatif Presiden berbicara. Menyusul perubahan kepemimpinan di tubuh Polri itu, wajar saja kalau jika banyak pihak mendesak agar Presiden Joko Widodo juga segera mengganti Panglima Tentara Nasiopnal Indonesia (TNI). Butuh perubahan kepemimpinan di tubuh TNI. Meskipun memilih dan mengangkat calon Panglima TNI tersebut merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, penting bagi Presiden Joko Widodo untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan, dan pendepat yang berkembang public sekarang ini. Banyak pertimbangan dibalik desakan tersebut. Diantaranya, pertimbangan normatif seperti perlunya regenerasi di tubuh TNI. Selain itu adalah pertimbangan aktual, terkait menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada institusi dan kelembagaanTNI. Menurut pandangan kami, Presiden Joko Widodo bertanggungjawab untuk mengembalikan pamor TNI. Presiden harus bangun dan tumbuhkan lagi kepercayaan rakyat kepada institusi TNI. Sebab di era kepemimpinan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, pamor dan kepercayaan kepada TNI anjlok. Bisa dibayangkan, selama ini berkembangnya persepsi di publik, yang menganggap bahwa Panglima TNI Marsekal Hadi semata-mata sebagai Wakil Kepala Polri yang dijabat Jenderal Tito. Bahkan, lebih tragis lagi, ada yang beranggapan Hadi menjadi ajudannya Kapolri Tito Karnavian. Persepsi seperti ini sangat melecehkan dan merugikan institusi TNI. Persepsi seperti itu bisa berkembang pasti ada sebabnya. Tdak ujug-ujug datang begitu saja dari langit. Kata orang kampong, “ada asap pasti ada apinya”. Persepsi seperti itu berkembang lantaran masalah kapasitas kepemimpinan dan intelektual di dalam diri Marsekal Hadi. Persepsi negatif kepada Marsekal Hadi Tjahjanto tersebut berimbas langsung menjadi persepsi negatif kepada institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Survey opini publik yang dilakukan oleh LSI Denny JA membuktikan menurunnya persepsi positif tersebut terhadap TNI. Hasil survey yang diumumkan pada Rabu, 13 November 2019 itu membuktikan terjadi penurunan kepercayaan publik kepada institusi TNI. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana institusi TNI menempati peringkat paling atas sebagai institusi paling terpercaya oleh masyarakat. Sebelum Hadi menjadi Panglima, TNI selalu berada urutan paling atas dari institusi negara yang paling dipercaya oleh masyarakat. Namun sekarang peringkat TNI turun beberapa digit. Dari raihan dengan prosentase 90,4% di tahun-tahun sebelumnya, kini turun menjadi hanya 89% di eranya kepemimpinan Hadi. Kalau Hadi dipertahankan terus, maka tidak tertutup kemungkinan citra TNI makin buruk lagi di matas masyarakat. Perlu ditekankan bahwa masalahan Hadi Tjahyanto bukan masalah antara matra di dalam tubuh TNI. Setiap matra pasti memiliki perwira terbaik yang mempunyai kapasitas untuk memimpin TNI. Masalah Hadi Tjahjanto adalah masalah kapasitasnya, baik kapasitas leadership maupun kapasitas intelektual yang tidak kompatibel dengan tantangan zaman. Sebagai contohnya ketika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menanggapi teror berdarah di Polres Medan, di sebuah acara di Bogor, 13 November 2019. "Diantara ancaman revolusi industri 4.0 adalah peristiwa yang terjadi dalam tempo yang singkat. Kita tak membayangkan tiba-tiba terjadi, 'bang!' Bom, di Medan terjadi bom bunuh diri," ujar Marsekal Hadi. Marsekal Hadi mungkin perlu membuka buka kembali google untuk melihat ciri ciri serangan teror yang dilakukan oleh terorisme dari berbagai generasi. Pada dasarnya hampir seluruh kejadian teror, baik teroris generasi 3.0 maupun teroris generasi 4.0, selalu dilakukan dengan effek kejut, cepat, singkat. Tidak dapat diduga sebelumnya, baik waktu, sasaran maupun pelakunya. Jadi, kejadian bom Medan bukanlah ciri dari ancaman revolusi 4.0. Perhatikan teror 911 yang meruntuhkan gedung WTC di Amerika. Semuanya berlangsung dengan sangat eskalatif, sangat cepat, dan tak dapat diprediksi sebelumnya. Demikian juga teror bom di dalam negeri, seperti di Bali, Kedubes Australia hingga teror bom Marriot. Semua peristiwa teror yang sangat eskalatif itu terjadi sebelum berlangsung revolusi 4.0. Jangan kemudian kita mengkambinghitamkan revolusi 4.0 untuk menutupi ketidakmampuan dan kegagalan kita sebagai pemimimpin negara ini. Kegagalan kita dalam melindungi segenap bangasa dan tumpah darah Indonesia, seperti yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945. Penulis adalah Kepala Pusat Pengkajian Nusantara-Pasifik (PPNP)
Diduga Memeras Rakyat, BPJS Sebaiknya Bubar
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Pernyataan mengejutkan datang dari kader PDIP. Anggota Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning mengkritik kebijakan kenaikan tarif iuran BPJS. Menurut Wasekjen PDIP ini, kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100% akan membuat masyarakat menjerit. Bahkan kebijakan yang telah disetujui Presiden Joko Widodo ini layaknya bentuk pemerasan kepada rakyat. Pernyataan sangat mengejutkan itu Ribka di Gedung Nusantara I, Kompleks DPR RI, Senayan, Rabu (6/11/2019). “Elu karena enggak masuk PBI karena yang sehat membantu yang sakit tapi dipaksakan satu keluarga (membayar). Itu namanya pemerasan, bukan gotong-royong, apalagi naik 100%,” ujar Ribka, seperti dilansir RMOL.com. Lebih lanjut, kata Ribka, alasan kenaikan iuran demi menutupi defisit negara yang mencapai triliunan rupiah juga dinilai bukan alasan tepat. “Udeh jangan ngomongin defisit, ini sudah salah pengelolaan,” tambah Ribka. Ribka bukannya tanpa alasan menyalahkan buruknya pengelolaan. Menurutnya, di zaman Menkes Siti Fadhilah Supari terdapat Jamkesmas dengan premi Rp 5.000, tapi berjalan lancar tanpa adanya keluhan dari masyarakat. “Enggak ada yang ribut. Dokter enggak ribut, rumah sakit enggak ribut (dibayar) lima ribu. Masa sekarang Rp 23 ribu yang PBI masih ribut, artinya di mana nih ributnya?” pungkas Ribka, seperti dilansir dari Kantor Berita RMOLNetwork. Peneliti Cikini Studi Teddy M Yamin di Jakarta, dilansir Beritasatu.com, Jumat (1/11/2019) meminta Pemerintah memberi penjelasan detail terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100%. Hal ini diperlukan agar masyarakat memahami langkah yang diambil pemerintah dalam menaikkan iuran BPJS tersebut. Menurut Teddy, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, yang meminta seluruh elemen masyarakat “memahami” keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat harus dijelaskan secara rinci penyebabnya, sehingga tidak terkesan pembelaan. Teddy mengatakan, sejauh ini tidak ada yang tahu apa penyebab utama defisit yang dialami BPJS Kesehatan sehingga pemerintah meminta masyarakat untuk “memahami” keputusan menaikan iuran BPJS Kesehatan 100%. Padahal, bisa saja UU BPJS Kesehatan itu sendiri yang kurang sempurna, miss management, akturia yang kurang cermat menghitung premi, masalah fraud di internal penyelenggara, atau oleh sebab lain. “Tidak ada yang tahu. Jangan salahkan lagi publik, jika publik bertanya-tanya karena belum ada penjelasan resmi tentang alasan kenaikan premi yang melompat ini,” tandasnya. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat ini tak normal dalam bisnis asuransi kesehatan dengan produk konvensional. Menaikkan iuran di atas 10% saja dalam bisnis asuransi konvensional merupakan hal yang tak normal dan bisa membuat nasabah kabur. Apalagi, banyak alternatif perusahaan asuransi yang bisa menjadi pilihan. Selain itu, jarang pula terjadi perusahaan menaikkan biayanya untuk satu pos sebanyak 100%. Karena itu, langkah menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebanyak 100% merupakan tindakan yang tidak normal dalam bisnis asuransi. Kendati demikian, dalam konteks ini, masyarakat tidak ada alternatif pilihan. Masyarakat dipaksa dan terpaksa harus menerima keputusan pemerintah ini, karena mereka tidak punya alternatif lain. Terlepas dari fungsi dan manfaatnya bagi rakyat yang pernah mendapatkan pelayanan BPJS Kesehatan adalah hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintahnya. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan pelayanan kesehatan bagi rakyatnya bukan mencari laba. UU BPJS, sudah jelas menyebutkan bahwa BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011. Sesuai UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba. “Untuk diketahui premi yang dibayarkan menurut data yang dicermati Cikini Studi sekitar Rp 300 miliar per tahun,” paparnya. Oleh karena itu, semestinya pemerintah bisa mencari alternatif lain untuk menyelesaikan kemelut persoalan defisit keuangan yang dialami oleh BPJS Kesehatan tanpa membebani rakyat yang tengah bergelut dengan berbagai problema ekonomi saat ini. “Apalagi kewajiban membayar premi BPJS Kesehatan satu keluarga, misalnya empat orang peserta. Jangan bandingkan dengan karyawan yang preminya dibayari perusahaan. Terlebih jangan bandingkan dengan pejabat pemerintah,” ungkapnya. Pejabat pemerintah yang penuh fasilitas, termasuk asuransi kesehatan tidak perlu memakai jasa BPJS Kesehatan untuk menjamin kesehatannya dan anggota keluarganya. Karena, semua pejabat Indonesia, termasuk di dalamnya anggota DPR, menteri, dan pejabat lainnya setingkat eselon 1 dijamin biaya premi asuransi kesehatannya (yang dijamin asuransi konvensional bukan BPJS Kesehatan). Benefit yang super dan full cover untuk perawatan di dalam dan di luar negeri jika diperlukan dengan premi yang ditanggung negara (APBN). Pejabat yang dijamin kecuali Presiden dan Wapres sekitar 10.000 peserta, termasuk di dalam keluarga (bersama tanggungannya). Benefit yang lengkap, seperti rawat inap, rawat jalan, rawat gigi, kacamata, melahirkan dengan manfaat tak terbatas. *BPJS Bubarkan Saja!* Seruan keras datang dari Eddy Junaidi, seorang aktivis yang juga wartawan senior. Menurut Eddy dengan BPJS diwajibkan dan negara terlibat dalam menetapkan sanksi bagi yang belum bayar, sudah bertentangan dengan UU, karena BPJS awalnya adalah sistem jaminan sosial. BPJS bukan lagi sebagai upaya pelayanan publik di bidang kesehatan (sesuai niat UU), tapi kini menjelma menjadi perusahaan asuransi yang dzolim dan banyak mudharatnya. Misi yang ambigu antara misi sosial (subsidi dengan Penerima Bantuan Iuran) dan komersial sebagai asuransi menandakan negara tidak mampu mengelola sistem jaminan sosial sesuai substansi UU Nomor 40 Tahun 2004. Jika BPJS dikelola seperti ini lebih baik dikembalikan ASN dengan Askes, TNI-POLRI dengan Asabri, publik pekerja dengan Jamsostek di bidang kesehatan. Sistem jaminan kesehatan yang semula melalui Jamkesmas juga sudah baik dirumuskan ulang dengan solusi khusus atau dipisah secara manajerial agar tidak berimplikasi buruk terhadap layanan kesehatan masyarakat karena tidak adil kebijakan harganya dengan jasa rumah sakit dan perangkatnya. Pemerintah sudah gagal mengelola sistem jamsinan sosial dan eksesnya menimbulkan kegaduhan di ruang publik, dan terkesan mudharatnya lebih banyak. Sangat mengherankan jika sampai saat ini Direksi BPJS tidak diganti karena jelasjelas gagal, tak memenuhi harapan sistem jaminan sosial sesuai perintah konstitusi. Sistem jaminan sosial merupakan perwujudan Pasal 28 H mengembangkan sistem jaminan sosial negara (SJSN) pada Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Konstitusi memerintahkan sistem jaminan sosial pada UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, hak warga negara berubah menjadi kewajiban warga negara berbasis iuran (asuransi). Sanksi dengan PP Nomor 86 Tahun 2013, yang akan efektif diberlakukan pada Januari 2020 semakin menyimpang dari perintah konstitusi. Ambiguitas ini terkesan pemerintahan Jokowi tidak mantap visinya dalam pengelolaan BPJS. Data dari Direksi BPJS pada 2018, jumlah peserta mencapai 196,4 juta orang dan dari jumlah tersebut, 92,2 juta jiwa (47%) adalah PBI (Penerima Bantuan Iuran) subsidi karena dianggap miskin berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013, dengan 14 kriteria orang miskin. Data ini bertentangan dengan data BPS tentang jumlah orang miskin sebanyak 25,95 juta orang, sementara pada APBN subsidi (PBI) terhitung 96,8 juta orang miskin. Peningkatan ini menjadi terkesan ambigu sikap Pemerintah dalam menyikapi data orang miskin. Secara politik diakui data orang miskin hanya 9,8% atau 25 juta orang. Sementara untuk pemenuhan anggaran Kementerian Sosial dan BPJS diakui 96,8 juta orang. Siapa yang bertanggung jawab terhadap selisih data yang mencapai 70,8 juta jiwa ini. Padahal Jokowi pada 26 April 2016 di Istana Negara dengan tegas menyatakan untuk basis data pegangannya hanya satu, yakni BPS. Hal ini juga mungkin pemerintah tak reaktif saat BPS menilai bahwa Indonesia tergolong negara dengan penduduk miskin terbesar. Jika PBI berbasis data BPS tentu subsidi mengecil dan sistem jaminan sosial tidak terwujud. Dengan peningkatan data riil tentang jumlah orang miskin subsidi melalui PBI pada 2019 mencapai Rp 19,54 triliun. Sudah waktunya memikirkan solusi permanen tentang persoalan BPJS. Berbasis UUD 1945 tak ada salahnya negara mensubsidi, tapi jangan di bawah naungan korporasi yang bervisi ambigu dan cengeng karena melibatkan negara dalam penerapan sanksi. Total klaim BPJS pada 2018 sebesar Rp 68,52 triliun, artinya jika dikonversi menjadi beban negara seperti tarif PBI Rp 23.000 per jiwa. Jika dikalikan dengan basis 250 juta orang dikalikan 12 bulan setahun, setara dengan klaim BPJS pada 2018. Jika ditanggung negara dengan standar layanan sama semua rakyat Indonesia terlayani dan bagi yang ingin di luar standar layanan PBI bagi yang mampu baru berlaku kelas sesuai azas kapitalisme. Kegagalan BPJS tersebut, karena agenda sosialisme pada UUD 1945 dibajak oleh kapitalisme, sehingga sistem jaminan sosial diubah menjadi asuransi. BPJS yang korporatif ditumpangi oleh PBI atas nama kepentingan negara, sehingga tujuan sosial dan komersial BPJS saat ini menjadi sama-sama gagal. Seharusnya subsidi negara untuk orang miskin ditangani lembaga pelayanan publik nirlaba, seperti Perum atau Perjan (BUMN) di era Orde Baru. Dengan konsep seluruh rakyat dilayani dengan tarif Rp 23.000/orang/bulan menjadi adil bagi rakyat Indonesia. BPJS untuk yang mampu, silakan menyesuaikan tarif karena secara basis pemerintah sudah mensubsidi sebagian layanan kesehatan tanpa terkecuali. Sementara asuransi BPJS Kesehatan saat ini berorientasi komersial. Eksesnya hancurnya cash flow RS yang ditunggaki tagihan BPJS tidak bisa dihindari. BPJS saat ini bukan solusi, tapi menimbulkan kegaduhan baru. Direksi BPJS gagal, terlihat dari cara mereka menjawab pertanyaan DPR saat RDP beberapa hari lalu. BPJS direvitalisasi dan dituntut adanya kejelasan dalam status pengelolaan dana PBI untuk membedakan mana yang murni sistem jamsos, dan mana layanan komersial selayaknya asuransi. Jika tidak, bubarkan saja, kembalikan fungsinya masing-masing seperti sebelum melebur dengan BPJS. *) Penulis adalah wartawan senior.
Sengkarut Dana Desa: Antara Desa Fiktif, Kepentingan Pilpres, dan Salah Kelola
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Jawa Timur Mohammad Yassin mengungkapkan, menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam kurun waktu 1 tahun terdapat kurang lebih 100 penyelewengan dana desa di Jatim. Penyelewengan yang kerap terjadi antara lain, rancangan anggaran di-mark up, volume fisik pekerjaan kurang atau tak sesuai RAB, penyusunan APBDes tidak mengacu pada RKP Desa, kewajiban perpajakan belum atau tak dilaksanakan, dan beberapa temuan lain. Dengan kegiatan Kawal Desa Melalui Pengawasan (Kades Lawas), Inspektorat dan DPMD Jatim bekerja sama dengan Pemkab/Pemkot secara rutin menggelar kegiatan Kades Lawas sebagai wujud pencegahan korupsi pada pemerintahan desa. Melansir Harianbhirawa.co.id, Selasa (15/10/2019), di Jatim ada 8.500 desa menerima dan mengelola bermacam-macam jenis anggaran keuangan dari pemerintah. Karena itu alurnya harus diawasi dengan baik guna meminimalisir kesalahan pengelolaannya. Menurut Inspektur Provinsi Jatim Helmi Perdana Putra, dalam pengelolaan keuangan desa, saat ini harus tetap diawasi dengan benar. “Kades Lawas itu lahir dari latar belakang kasus temuan ICW sejumlah 184 kasus, dan 141 kasus di aparatur pemerintah,” jabar Helmi. Menariknya, di Jombang, dengan beberapa anggaran desa yang dikorupsi kepala desa, hanya cukup dikembalikan lewat Inspektorat saja, dan tidak ada proses hukum. “Ada apa ini,” ujar seorang warga Jombang kepada fnn.co.id. Jika di Jatim yang terungkap adalah adanya sejumlah penyelewengan dalam pengelolaan dana desa, namun di beberapa daerah lainnya ditemukan adanya “Desa Hantu” alias “Desa Siluman”, nama desanya ada secara administratif, tapi tanpa penduduk. “Desa Hantu” inilah dipakai untuk menyedot dana desa. Soal Desa Hantu itu terungkap saat Menkeu Sri Mulyani Indrawati melaporkan evaluasi kinerja APBN Tahun Anggaran 2019 di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta Selatan. Sri Mulyani mengungkapkan bahwa saat ini banyak muncul desa “hantu” atau desa-desa baru yang tidak berpenghuni. Desa tersebut muncul tiba-tiba demi mendapatkan alokasi anggaran program dana desa yang sudah dijalankan Pemerintah. “Sekarang muncul desa-desa baru yang nggak ada penduduknya karena adanya dana desa,” kata Sri Mulyani, seperti dilansir Detik.com, Senin (4/11/2019). Pihaknya mengalokasikan anggaran dana desa sebesar Rp 70 triliun di tahun 2019. Indonesia memiliki 74.597 desa di 2019, di mana setiap desa mendapatkan anggaran sekitar Rp 900 juta. Kemendagri mengatakan, fenomena desa 'hantu' alias tak berpenghuni berada di salah satu Kabupaten, Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa tersebut sengaja dibentuk demi mendapatkan aliran uang program dana desa. Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Nata Irawan mengatakan, pembentukan desa fiktif ini sudah lama terjadi dan telah terendus oleh KPK. “Itu isu sudah lama, tapi dikembangkan lagi, sudah pernah didiskusikan oleh KPK, di salah satu desa di Sulawesi salah satu Kabupaten ada desa fiktif,” kata Nata kepada Detik.com, Jakarta, Selasa (5/11/2019). Ia mengungkapkan ada empat desa 'hantu' alias fiktif yang selama ini sudah menerima aliran dana desa. Pihaknya pun telah menurunkan tim untuk melakukan pemeriksaan. “Ditjen Bina Pemerintahan Desa membentuk tim, tim kami turun melihat langsung benar ada atau tidak isu itu, ternyata memang ada 4 desa yang tidak memenuhi syarat terbentuk menjadi sebuah desa,” tegas Nata. Temuan itu rupanya sudah diselidiki oleh pihak kepolisian. Yang ditangani adalah dugaan tindak pidana korupsi membentuk atau mendefinitifkan desa-desa tak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen tidak sah. Akibatnya terjadi kerugian keuangan negara atau daerah atas Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe Tahun Anggaran 2016 sampai dengan Tahun Anggaran 2018. Melansir Merdeka.com, Rabu (6/11/2019 15:31), Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku lembaganya sudah diajak koordinasi oleh Polda Sulawesi Tenggara dalam pengusutan kasus tersebut. “KPK melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi dalam bentuk dukungan terhadap penanganan perkara oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara,” ujar Febri di kantornya, Rabu (6/11). Dalam perkara tersebut, lanjut dia, diduga ada 34 desa bermasalah, tiga desa di antaranya fiktif, sedangkan 31 desa lainnya ada, akan tetapi surat keputusan pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur. Sementara pada saat desa tersebut dibentuk sudah ada moratorium dari Kemendagri, sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukannya itu 'backdate' (tanggal mundur). Alokasi Pilpres? Ada sebuah tulisan menarik dari akun twitter Niaz @Niazdhani tentang Dana Desa. Berikut ini catatannya. Di Indonesia jumlah desa menurut BPS dan mendapat bantuan Dana Desa Rp 800 juta/desa sebanyak 74.957 desa. Total Rp 60 triliun per tahun selama 2015-2018 = Rp 180 triliun. Jika penggunaannya benar, ini adalah prestasi Presiden Joko Widodo. Menjelang Pilpres, 17 April 2019, Pemerintah kucurkan Bandes Rp1,8 miliar per desa atau Rp 135 triliun. Bayangkan, 70% desa di Indonesia penduduknya kurang 1000 orang/desa, 1 warga bisa mendapat Rp 1 juta dari Bangdes 2019. Di Indonesia Timur, 70% desa hanya berpenduduk kurang dari 500 orang per desa. Jumlah insentif jika Jokowi menang bisa naik menjadi Rp 2-3 juta/orang. Bisa Rp 4-5 juta per suara pemilih, karena jumlah pemilih hanya 150-250 orang per desa. Inilah senjata pamungkas. Dan, Presiden Jokowi sudah wanti-wanti, dana bantuan desa tidak boleh diganggu. Biarkan saja untuk sukseskan pemilu. Rp180 triliun + Rp135 triliun = Rp 315 triliun! Modal pilpres dari APBN. Lihat contoh jumlah penduduk desa di Aceh, Kabupaten Simeulue 70% kurang dari 1.000 penduduk, jumlah pemilih hanya sekitar 150-600 per desa dapat dana Rp 800 juta Bangdes bisa dibagi-bagi Rp1-2 juta per pemilih jika Jokowi menang. Bahkan di Kecamatan Teupah Barat, Simeulue, Aceh, tidak 1 desa pun penduduknya capai 1000 orang. Ada 1 desa hanya 160 jiwa. Pemilih pilpres hanya 36 orang dapat Rp 800 juta, dibagi 40 saja masih Rp 20 juta per orang. Apakah 169 orang adalah jumlah penduduk paling sedikit di Aceh? Tidak! Di desa Serasah dan Kuta Batu, Aceh, jumlah penduduk desa hanya 89 dan 68 orang. Jumlah pemilih hanya 21 dan 17 orang per desa dapat dana Bangdes Rp 1,8 miliar awal April 2019 Rp 80-100 juta per suara. Karena data resmi inilah @Niazdhani berencana pindah Desa Sade Ate, Leuser di Bawah Gunung dan Danau Leuser. Penduduk desa hanya 70 orang, jumlah pemilih 12 orang. April 2019 dapat Rp 1,8 miliar Bangdes. “Masa’ saya sendiri ga dapat Rp 100 juta? Pak Kades Rp 500 juta,” kicaunya. Jika mau dapat lebih, bisa. Tapi desanya agak di atas gunung. Jumlah penduduk tak sampai 70 dan pemilih tercatat di DPT hanya 8 orang Rp 1,8 miliar dibagi 8 kan Rp 250 juta per pemilih. Itu tadi di Aceh. Di Maluku pun banyak desa berpenduduk kurang dari 500 orang. Misalnya, di Kecamatan Kei Selatan, desa > 500 penduduk hanya 3 desa. Kalau di Maluku saja jumlah penduduk per desa banyak di bawah 500 jiwa, lain pula di Papua. Di Papua, jumlah desa dengan jumlah penduduk kurang dari 100 jiwa juga banyak. Mau diapain uang bangdes Rp 800-1,8 miliar per desa? Dari hampir 75 ribu desa 8 ribu desa baru 1.700 desa saja tidak diketahui penduduknya. Yang embat dana desa siapa? Tanya Mendagri (Tjahjo Kumulo saat itu) 1.000 x 800.000.000 = Rp 800 miliar x 3 tahun = Rp 2,7 triliun. Tahun 2019 = Rp 1,8 miliar x 1000 = 1,8 triliun = Rp.4,5 triliun. Dus, siapa yang terima dana Bangdes? Jadi, terbukti pemilu itu bisa kurangi angka kemiskinan. Bagi yang masih miskin dan ingin dapat uang besar secara gratis, segera urus surat pindah ke desa yang penduduknya di bawah 100 orang, pemilih < 20 orang. Dijamin dapat minimal Rp 100 juta Saat ini baru saja ketemu Desa Teriame, Kecamatan Yefta, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Jumlah penduduk desa 31 orang. Jumlah pemilih 7 orang. Rp 1,8 miliar dibagi 7 = 250 juta per pemilih! Seperti dilansir Liputan6.com, Rp 179 Triliun dana desa telah dicairkan untuk 74,9 ribu desa, Rp 800 juta/desa. Menyusul, tahun depan Rp135 trliun, per desa Rp 1,8 miliar. Kalau setiap pemilu dapat Rp 100 juta, artinya setahun Rp 20 juta. Sebulan Rp 2 juta (dibulatkan). Di desa, uang Rp 2 juta/bulan kan cukup. Jadi tak usah kerja. Tinggal tunggu pilpres saja. Dapat dana bangdes minimal Rp 100 juta, maksimal Rp 300 juta. Asal pilih Jokowi dan pilih desa yang tepat! Kalau ditangkap polisi gimana? 1. Kalau Jokowi menang, dijamin aman; 2. Kalau ditangkap, kan kades yang jadi tersangka, bukan rakyat. Kalau mau lebih aman, suruh kades setorkan ke Muspika setempat. Dijamin aman dech! Artinya, Jokowi baik dong? Oh ya, tentu saja. Jokowi baik hati. Toh bukan uang pribadi, itu kan uang pajak rakyat dan utang dari IMF plus Surat Utang Negara (SUN). Jokowi harus begitu. Harus menang pilpres! Teman dari Maluku bilang, di Maluku ada ratusan pulau. Dulu tak ada penduduknya, paling 1-2 keluarga. Kini penduduknya ramai. Ngakunya orang Maluku tapi mata sipit, kulit kuning, jago bahasa Mandarin, khek, hokian atau konghu. Tapi tidak bisa bahasa Indonesia. Jumlahnya ribuan! Ternyata ada desa yang penduduknya hanya 22 orang. Ada satu desa, penduduknya hanya 7 orang! Wow, Rp 800 juta per desa, satu orang dapat pekjigo tiaw! Rp 1,8 miliar bagi 7 orang berapa ya? Pindah ke Desa Kamai, Kecamatan Benuki, Kab Mamberamo Raya, Papua. “Saya jadi paham mengapa KPU Papua mark up ugal-ugalan jumlah pemilih. Seharusnya 1,7 juta pemilih, direkayasa DPT jadi 3,5 juta pemilih. Terkait proyek cetak, antar logistik yang miliaran rupiah. Terkait mark up anggaran KPU Papua 300-400%,” tulis Niaz. “Dengan alasan jumlah pemilih dan medan berat. Saya jadi paham mengapa dibiarkan sama SBY dulu dan Jokowi sekarang. Oknum KPU kantongi uang anggaran hasil mark up DPT. SBY dan Jokowi yang kantongi suara mark up-nya. Simbiosis oramutualisme!” Kunci dari semua ini sekarang ada di tangan Mendagri Tito Karnavian. Ditunggu keberanian mantan Kapolri ini untuk ungkap semua bantuan Dana Desa! End. Penulis adalah wartawan senior.