NASIONAL

Jokowi Bicara Radikalisme

Negara hukum demokratis, mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat secara jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Pemerintah dimanapun selalu memiliki perangkat resmi dan tidak resmi. Tugasnya, memonitor, mengumpulkan, menganalisis setiap inci realitas bangsanya. Setelah itu memproyeksi realitas baru. Apa saja yang dilakukan ke depan. Pemerintahan Jokowi juga memiliknya. Berbekal itu atau tidak, Presiden Jokowi membuat pernyataan tak terukur pada dua kesempatan berbeda. Pernyataan itu dalam intinya, tentang Kementerian Agama (Kemenag) mengurusi radikalisme dan intoleransi. Dikemukakan pertama kali pada saat pelantikan menteri-menterinya. Diulang lagi pada hari berikutnya pada saat rapat perdana kabinetnya. Katanya sesaat setelah pelantikan menteri “ke-9 Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Ini urusan (Menag) berkaitan dengan radikalisme, ekonomi ummat, industri halal. Saya kira, dan terutama haji berada di bawah beliau (CNNIndonesia.com, 24/10). Sehari setelah itu, Presiden menyatakan kembali dalam rapat perdana kabinet. Kata Presiden, “kita ingin berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi, betul-betul secara kongkrit bisa dilakukan oleh Kementerian Agama”. Dipilihnya Jendral (Purn) Fachrul Razi menjadi menteri agama, menurut Presiden karena mantan wakil panglima TNI 1999-2000 itu memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah radikalisme, yang saat ini tengah menjadi keresahan di publik (Wowkeren, 25/10).” Insyaa Allah Menjadi politisi bukan pekerjaan rumit. Sejauh tersedia bakat untuk itu. Misalnya, bersedia menanggung cercaan, hinaan dan sejenisnya. Toh politik tidak seluruhnya berputar pada kemampuan membuat hal-hal yang tidak mungkin berubah menjadi mungkin. Begitu pula sebaliknya. Politik malah lebih sering terlihat sebagai seni membuat konflik berputar dalam kendali. Pada garis kehendak yang ditetapkan. Apa yang Jokowi masksudkan radikalisme dan intoleran itu? Dengan pemahaman apa ia memasuki isu radikalisme dan intoleransi tersebut? Tidak ada yang mengetahuinya. Tetapi apapun itu Presiden Jokowi telah memperlihatkan relasi determinan agama. Determinan yang terlihat mengarah kepada Islam. Karena dengan radikalisme dan intoleransi itulah, yang sekarang mengakibatkan penyataan membahana membelah realitas kemesraan tradisional Nahdatul Ulama (NU) dengan Muhammadiah dengan kementerian ini. Pak Din, professor pintar dan berintegritas top ini pun menanggapinya. Kata Pak Din, seharusnya Kemenag bukan memberantas hal semacam itu. Kemenag memiliki peranan yang jauh lebih luas untuk membangun moralitas bangsa. Kemenag jangan disalahfungsikan, sebab radikalisme tidak hanya di seputaran agama. Radikalisme tidak hanya radikalisme keagamaan. Lebih jauh, disini terlihat Pak Din menempatkan, membawa isu itu ke dalam alam konstitusionalisme. Pak Din menguraikan dalam nada kritis bahwa “kenapa tidak boleh disebut radikalisme ekonomi ? Yang melakukan pelarian dan kekerasan pemodalan? Yang menimbulkan kesenjangan ekonomi, jurang antara yang kaya dan miskin. Dalam penilaian kritisnya, Pak Din menamakan radikalisme ekonomi. Kenapa tidak radikalisme politik? Kata radikalisme itu agak “tendensius” tanda petik dari saya. Karena lebih banyak ditekankan kepada umat Islam. (Teropongsenayan, 24/10). Jalan Pak Din memang bukan jalan Kiyai Robikin, salah seorang fungsionaris PB NU. Kiyai Robikin memperlihatkan kemiripan pandangan NU dengan Presiden mengenai bahaya radikalisme. Tetapi kemiripan ini tidak cukup membuat NU puas. Setidaknya kiyai-kiyai NU di daerah tidak nyaman dengan pernyataan Presiden masalah radikalisme. Karena bukan orang NU itulah menurut Kiyai Robikin, banyak kiyai-kiyai di daerah yang menyatakan protesnya (Kumparan, 24/10). Kiyai Robikin tak mungkin memasuki area ini tanpa alasan. Tetapi Jokowi, entah karena keluhan NU atau bukan, sehari setelah pengangkatan Menteri Agama, mengangkat KH Zainut Tauhid Sa’adi menjadi Wakil Menteri Agama. Kiyai Zainut dikenal luas memiliki jejak positif dalam urusan keummatan. Beliau tahu seluk-beluk perasaan ummat Islam. Kapasitasnya yang hebat memudahkan Pak Wamen menemukan cara pemecahannya. Pak Wamen sontak menyodorkan gagasan silaturrahim dengan para kiyai dan Ormas keagamaan. Menurutnya, ini harus sudah terlaksana sebelum benar-benar merancang program dan kegiatan kementerian ini. Bisa memunculkan penilain yang membelah di mayarakat. Sebab (isu radikalisme), dalam penilaiannya bisa menyebabkan kontroversi di masyarakat. Menguraikannya menjadi pekerjaan yang harus segera dilakukan oleh Kemenag (Republika.co.id, 25/10). Pak Wamen benar. Terminologi radikalisme dan intoleransi itu sangat tidak jelas. Apa konsepnya? Apa objeknya? Apa bentuknya, dan apa unsurnya? Serba tak jelas parameternya. Terlihat sejauh ini hanya diserahkan ke dunia politik. Pak Wamen juga benar, jika silaturrahim adalah wahana terindah untuk menghidupkan rasa sebagai sesama hamba Allah. Dan saya cukup yakin Pak Jendral Fachrul juga menyukai silaturrahim di lintasan yang indah ini nantinya. Insyaa Allah. Waktu Menjadi Hakim Mengandalkan hukuman dalam merespon tindak-tanduk radikalisme dan intoleransi, sejauh ini bukan pilihan utama Jokowi. Apalagi belom jelas detail konsep itu secara hokum. Walaupun lebih dipertautkan dengan agama,khususnya Islam. Namun yang bisa dikatakan Pak Presiden tampkanya lebih memilih komunikasi dan silaturahmi. Pak Presiden terlihat cukup jelas lebih memerlukan langkah non hukum. Tetapi justru disitulah letak soalnya. Dimana letak soalnya? Negara hukum demokratis mengharuskan kejelasan yang sejelas-jelasnya setiap terminologi atau konsep yang dijadikan sebagai basis tindakan pemerintahan. Konsep dan detailnya yang tidak jelas. Tetapi dijadikan sebagai basis kebijakan negara, maka harus dikatakan sama dengan main politik. Negara hukum demokratis mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat secara jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini. Membuat jelas konsep radikalisme dan intoleransi adalah cara konstitusional memotong, membelenggu, mengisolasi tindakan main lebel, main tuduh. Presiden Jokowi, saya duga, jauh dari kehendak melebel Islam dengan radikalisme dan intoleransi. Saya percaya itu, lebih dari yang bisa dibayangkan. Tetapi bukan disitu soalnya. Soalnya tanpa konsep yang jelas, terukur pada detail dan unsur-unsurnya. Tetapi menjadikannya sebagai isu utama tindakan pemerintahan, sama dengan menyatakan telah ada radikalisme dan intoleransi. Hanya berdasarkan defenisi Presiden. Sebaik-baiknya niat Presiden memberangus radikalisme, Presiden juga dituntut untuk memiliki pijakan terukur secara hukum. Negara hukum demokratis, sekali lagi, mutlak mengharuskan konsep-konsep radikalisme dan intoleransi dirumuskan terlebih dahulu dalam hukum. Rumusannya, harus selaras dengan nalar keadilan. Harus terukur dalam semua aspek detailnya. Juga harus selaras dengan nilai-nilai hebat, agung, fundamental yang melembaga dalam kearifan-kearifan bangsa yang hebat ini. Negara hukum demokratis, juga mengharuskan diciptakannya lingkungan yang civilized. Bebas dari rasa takut, apapun jenisnya. Tetapi ketakutan mendadak yang tak terukur, tidak bisa diambil dan dijadikan basis kebijakan hukum. Ketakutan mendadak dan tak terukur, hanya menghadirkan legitimasi murahan. Semua itu, karena derajat kesesuaiannya tidak kokoh. Jangan lupa legitimasi ditunjuk konstitusionalisme sebagai standar utama membuat hukum. Juga standar utama menciptakan daya adaptasi tindakan pemerintahan dengan semua nilai yang hebat dari bangsa ini. Jokowi jelas tidak tendensius. Tetapi agak sulit untuk tak mengatakan Jokowi terlihat membelakangi perspektif konstitusionalisme sehat. Mengapa? Pernyataannya terlihat kongklusif. Juga muncul di tengah ketiadaan konsep hukum tentang radikalisme dan intoleransi. Bukan tak bisa, tetapi bukan itu cara mengendorsnya. Apalagi rasio yang menyertainya begitu tipis. Cara yang dipilih itu, entah dengan atau tanpa detail pertimbangan pada semua aspeknya, punya konsekuensi. Pak Jokowi terlihat membawa dirinya menjadi orang tak terlatih mengenal kearifan konstitusionalisme sehat mengurus pemerintahan. Bicara pendek memang bisa, tapi tak menyertakan argumentasi konstitusionalisme sehat adalah perkara mengerikan. Apakah Presiden telah cukup yakin DPR yang telah menjelma menjadi mahluk paling bijaksana menggunakan kewenangan pengawasan konstitusionalnya? Sehingga DPR juga tak memperhatikan detail konsekuensi pernyataannya? Entahlah. Presiden, boleh jadi memiliki keyakinan bahwa DPR telah lebih dewasa. DPR bisa membawa diri memahami pemerintahan Jokowi saat ini. Boleh jadi juga DPR untuk alasan itu, selalu dapat menerima semua tindakan pemerintahan Pak Presiden. Lebih jauh Presiden mungkin telah cukup yakin berada dan berurusan dengan hanya satu realitas. Bukan dua realitas yang pernah terbentang begitu lebar. Yang sempat teridentifikasi secara terburu-buru, sehingga hampir membelah bangsa ini. Realitas tunggal itu, semoga beralasan. Lebih dari itu, mungkin menjadi modal untuk menggerakan lebih cepat, tetapi terukur. Bukan liar pemerintahan ini. Tetapi sehebat itu sekalipun, Presiden diminta untuk bijaksana mengelola pemerintahannya. Presiden, untuk kepentingan kearifan pemerintahan konstitusional, tak boleh terlihat menjadi pemicu tindak-tanduk rasisme, intoleransi dan radikalisme dalam semua dimensinya. Itu jelas tidak boleh. Karena itu merupakan hal terhebat untuk segala zaman. Presiden juga tak boleh menjadi pemicu kontroversi, apapun isunya. Agar terhindari dari semua itu dan tidak ternilai tendensius, indah sekali bila Presiden bergegas merumuskan konsep detail radikalisme dan intoleransi itu. Mari Presiden. Kami semuya menantikannya. Waktu yang akan datang menjadi hakim, memberi kualifikasi pada dirinya sebagai Presiden untuk semua itu. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Univesrsitas Khairun Ternate

AKBP Idham Azis Pernah Terkena Sanksi Karena Kasus Perjudian

Dikhawatirkan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air karena takut berhadapan dengan “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” punya hubungan kedekatan masa lalu dengan Kapolri. Kasian, pemerintahan Pak Jokowi juga dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN – Pada tahun 2004, kalangan enternal polisi dan dunia perjudian di tanah air dibikin heboh. Penyebabnya Kapolri ketika itu Jendral Polisi Drs. Da’i Bachtiar marah besar. Akibatnya, Kapolri Da’i mencopot sejumlah perwira menengah polisi jabatannya masing-masing. Mereka yang dicopot dari jabatanya tersebut, umumnya bertugas di jajaran Polda Metro Jaya. Para perwira menengah Polda Metro Jaya yang dicopot itu, dipindahkan ke polda-polda di daerah Indonesia Timur dan Indonesia Tengah. Mereka ditempatkan di Papua, Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Mereka dicopot dari jabatannya, karena danggap membiarkan perjudian marak dan telanjang mata terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Padahal perjudian dengan dalih apapapun adalah pelanggaran terhadap pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 303 KUHP ini di kalangan pelaku perjudian tanah air, sering disebut dengan “Pasal San Kong San. Bahasa cinanya San yang berarti angka tiga. Kong artinya angka nol atau kosong, dan San lagi tetap artinya tiga. Akibatnya, Telegram Rahasia (TR) Kapolri Da’i Bachtiar untuk mencopot dan memindahkan sejumlah perwira menengah dari Polda Metro Jaya ke Indonesia Timur dan Indonesia Tengah itu, terkenal dengan nama “TR San Kong San”. Ada juga yang menyebutnya dengan TR 303. Yang lain menamakannya TR perjudian. Satu diantara perwira menengah Polda Metro Jaya yang terkena atau ikut terdampak dari terbitnya “TR San Kong San” adalah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Drs. Idham Azis. Calon Kapolri pengganti Tito Karnavian ini dipindahkan Da'i Bachtiar ke Polda Sulawesi Tengah. Jabatan Idham Azis ketika itu adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Sebelum menjabat sebagai Kapolres Metro Jakarta Barat, Idham Azis menjabat Kasat Jatanras atau biasa disebut Kasatum. Organ di bawah Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Kasatum Polda Metro Jaya ketika itu adalah penanggung jawab lapangan semua kegiatan perjudian dan prostitusi. Aturan bakunya, Kasatum harus memastikan tidak ada kegiatan perjudian dengan dalih apapun, dan dalam bentuk apapun yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Namun jika ada kegiatan perjudian secara terbuka, maka dipasatikan penyebabnya ada dua kemungkinan. Kemungkinan Pertama, perjudian ketika itu memang marak, dan terbuka di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Siapapun bisa bermain judi dengan gampang dan bebas. Penulis sering ikut menyaksikan dan menemani teman yang bermain judi di beberapa tempat perjudian. Namun bisa saja kegiatan perjudian berlangsung dengan bebas dan terbuka. Tetapi tanpa sepengetahuan Kasatum Polda Metro Jaya dan jajaran kepolisian di bawahnya. Artinya, perjuadian yang terjadi adalah ilegal atau liar. Sayangnya, para bandar judi tidak ditindak, sehingga membuat Kapolri Da’i Bachtiar harus marah besar. Kemungkinan Kedua, perjudian memang berlansung, namun liar. Artinya, ada perjudian tanpa izin. Namun bisa saja perjudian tersebut hanya bisa berjalan dengan leluasa, karena sepengetahuan jajaran Kasatum Polda Metro Jaya. Artinya, ada yang tau sama taulah. Bahasa kerennya ada yang hengky pengky. Walaupun demikian, setiap saat mereka bisa juga ditangkap atau tempat judinya ditutup bila diperlukan . Secara struktur, seharusnya AKBP Drs. Idham Aziz tidak perlu terkena sanksi atau terdampak “TR San Kong San”. Sebab jabatan Idham adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Wakapolres tidak memiliki kaitan komando langsung terhadap kegiatan perjudian di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat. Kewenangan tersebut hanya ada pada Kapolres atau Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat. Palaksana lapangannya adalah Kanit Voice Control (VC). Bawahan dari Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat Kapolri Jangan Tersandara Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang menjadi bandar perjudian di wilayah hukum Polda Metro Jaya didominasi oleh kelompok “Naga Sembilan”. Mereka juga yang sekarang mengontrol lebih dari separuh roda perputaran ekonomi nasional. “Naga Sembilan” pula yang mengendalikan separuh sistem hukum kita sekarang. Sayangnya, mereka tidak pernah berwujud atau nongol ke permukaan Rasanya sangat sulit bagi siapapun untuk bisa menang di Polisi, Jaksa dan Pengadilan, jika berperkara dengan “Naga Sembilan”. Kekuasaan dan kekuatan hukum sebesar apapun, sepertinya tidak bisa untuk menghukum kedigjayaan “Naga Sembilan”. Apa jadinya bila Kapolri kita nanti adalah orang yang pernah bersentuhan dengan “Naga Sembilan”? Siapa pelaku binis negeri ini atau investor asing yang berani berperkara secara hukum melawan anggota kelompok “Naga Sembilan”? Kenyataan ini akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan iklim usaha dan investasi di tanah air. Paling kurang selama satu tahun tiga bulan ke depan. Selama kurun waktu Idham Azis menjabat sebagai Kapolri. Kita tidak ingin Kapala Polisi Indonesia disandra oleh para pengusaha hitam. Jangan juga sampai Kapolri kita dikendalikan oleh kelompok “Naga Sebilan”. Kapolri, siapapun orangnya harus terbebas dari pengaruh mavioso. Sebab kalau sampai Kapolri punya beban masa lalu dengan para mavioso perjudian dan prostitusi, maka itu pertanda buruk. Kasian sekali perjalanan bangsa ini untuk lima belas bulan ke depan. Dikhawatirkan kalangan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air, hanya karena takut berhadapan dengan kelompok “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” mempunyai kedekatan hubungan di masa lalu dengan Kapolri. Kasian juga bagi pemerintahan Pak Jokowi, karena dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi. Padahal Indonesia sekarang membutuhkan investasi dalam yang jumlah sangat besar. Indonesia butuh invetasi, baik dari dalam negeri maupun asing. Tujuannya, untuk bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas 6% setiap tahun. Untuk itu, dibutuhkan pejabat bidang hukum yang lumayan-lumayan bersihlah. Semua neraca dan indikator ekonomi Indonesia sekarang ini merah. Defisit neraca perdagangan merah sangat besar. Bahkan defisinya terbesar sepanjang Indonesia, sejak merdeka tahun 1945. Nilai defisitnya antara U$ 8-9 miliar dollar. Selain itu, neraca pembayaran juga merah. Begitu pula dengan necara penerimaan dari pajak, yang juga merah. Semua indikator ekonomi Indonesia yang lemah dan merah tersebut, telah mendorong Pak Jokwi harus melakukan kompromi politik dengan rivalmya Prabowo Subianto. Tujuannya, agar tercipta iklim politik yang kondusif. Targat akhirnya adalah masuknya investasi, terutama dari luar negeri dalam jumlah yang besar, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6% setiap tahun. Namun keinginan yang mulia tersebut, ternyata belum cukup Pak Jokowi. Masih dibutuhkan pejabat di bidang hukum yang tidak punya rekam jejak masa lalu dengan pengusaha hitam. Mereka adalah para penguasa yang dulu mengendalikan bisnis perjudian dan prostitusi. Tentu saja mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Apalagi marasa memiliki kedekatan emosional dengan Kapolri nantinya. Jika pejabat bidang hukum punya jejak masa lalu dengan para mavioso dan pengusaha hitam, dikhawatirkan akan menyulitkan Pak Jokowi dalam merealisasikan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”. Kecuali jika pada periode kedua ini, Pak Jokowi tidak lagi mengutamakan pelaksanaan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”. Pak Jokowi, ketika “TR San Kong San” tersebut keluar dulu, sangat mungkin Pak Jokowi tidak mengetahuinya. Karena tahun 2004 Pak Jokowi baru mulai perisiapan menjadi Walikota Solo periode pertama. Mungkin juga Pak Jokowi sedang sibuk-sibuknya mengurus modrenisasi Pasar Kliwer Solo. Pak Jokowi baru masuk Jakarta tahun 2012, untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Kebetulan saja ketika itu, penulis adalah wartawan senior dari Majalah Hukum dan Politik. Semoga fakta dan informasi ini bermanfaat bagi pimpinan dan anggota Komisi III DPR. Sebab mulai Rabu besok ini Komisi III DPR melakukan rangkain uji kepatutan dan kelayakan terhadap Komjen Polisi Drs. Idham Azis sebagai calon Kapolri Terakhir, tulisan ini bukanlah karena adanya kebencian atau suka dan tidak suka penulis kepada pribadi Komjen Polisi Drs. Idham Azis untuk menjadi Kapolri. Bukan juga sebagai upaya untuk menghalangi atau menjegal Idham Azis menjadi Kapolri, Tulisan ini hanya sebagai sumbangan kecil dari pengetahuan dan pemahaman penulis sebagai anak bangsa. Hanya karena masih punya kepedulian kepada bangsa dan negara. Tulisan ini juga sebagai bentuk kecil dari cinta penulis kepada bangsa. Menurut penulis, bangsa ini sedang tidak aman secara ekonomi dan hukum. Berdosa sekali kalau penulis tidak meyampaikan fakta ini kepada publik. Kepada Pak Jokowi dan Komisi III DPR. Paling kurang, mudah-mudahan saja ketika menjadi Kapolri nantinya, Jendral Polisi Drs. Idham Azis lebih hati-hati dalam memimpin intitusi kepolisin. Insya Allaah, Amin amin amin Penulis adalah Wartawan Senior

Menag Ketemu UAS, Mau Memeriksa Hadits Yang Sensitif?

Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi dikabarkan akan menemui penceramah kondang Ustaz Abdul Somad (UAS). Pertemuan tersebut merupakan bagian dari agenda Fachrul untuk merangkul segenap komponen masyarakat demi kepentingan bangsa. (28/10). Sebelumnya, Menag menegaskan agar ustadz-ustadz tidak menyampaikan konten ceramah yang memuat ayat atau hadits sensitif. Pertemuan ini, tentu menimbulkan praduga publik tentang rencana eksekusi para ustadz agar lolos verifikasi unsur 'sensitif' di dalam penyampaian ayat maupun hadits. Menag mengakui UAS memiliki peran dan berjuang untuk bangsa. Meskipun, dia juga memiliki penilaian ada satu dua butir ceramahnya yang menurutnya tidak pas. Menag mengaku memiliki kewajiban untuk menyampaikan itu. Pada artikel yang berjudul 'REZIM JOKOWI SEMAKIN REPRESIF TERHADAP ULAMA ?' penulis telah membuat analisis adanya pola baru yang memungkinkan bagi rezim untuk melakukan sejumlah 'intimidasi struktural', memaksa ulama untuk masuk 'meja perundingan' yang telah dipersiapkan rezim. Dalam negosiasi perundingan itulah, para ulama akan dihadapkan pada tiga opsi utama : Pertama, para ulama kritis yang menyampaikan sejumlah dalil untuk mengoreksi rezim, baik dalil dari al Quran maupun as Sunnah diminta untuk menarik diri dari aktivitas dakwah amat ma'ruf nahi munkar, serta menjadi satu kesatuan bersama rezim untuk mensyiarkan sejumlah dalil yang akan mengokohkan kedudukan rezim. Kedua, jika ulama kritis tidak mau menjadi ulama yang mendukung rezim, yang melegitimasi kekuasaan rezim dengan mencari kutipan dalil Al Quran maupun AS Sunnah, agar memilih diam dan fokus menyampaikan dakwah tentang akhlak dan kebajikan persoanal individual. Ketiga, ulama yang masih tetap nekat berdakwah dan menjelaskan syariah apa adanya, tetap mengutip dalil dari Al Quran dan AS Sunnah tanpa pilah pilih, tetap mengoreksi kezaliman rezim dan menolak melegitimasinya, akan diancam dengan sejumlah konsekuensi, termasuk akan dikriminalisasi. UAS nampaknya akan menjadi ulama pertama yang ditarget rezim. Pertemuan ini, merupakan langkah negosiasi untuk memaksa UAS memilih satu diantara tiga pilihan. Mau tunduk kepada rezim dan menerima sejumlah kompensasi, memilih untuk tiarap (diam), atau ditekan dan dikriminalisasi jika masih melawan rezim. Jadi, pertemuan Menag dengan UAS bukan untuk memferifikasi hadits yang disampaikan UAS. Sebab, secara keilmuan bisa apa Fahrur Razi dibandingkan UAS kalau bicara hadits ? Atau Menag mau menggunakan tangan kekuasaan untuk memberi stempel hadits yang disampaikan UAS sensitif ? Ini merupakan aksi nyata bahwa rezim memang ingin membungkam dakwah Islam, rezim menjadi pihak yang menyeleksi hadits berdasarkan arogansi kekuasaan. Berdalih ceramah sensitif, ayat sensitif, hadits sensitif, rezim akan mengunci dan menutup rapat syiar dakwah dan agama Islam menggunakan otoritas kekuasaan. Karenanya, semua ustadz, ulama, mubaligh, advokat, akademisi, tokoh Islam dan segenap umat Islam wajib bergandengan tangan untuk saling melindungi. Semboyan umat harus berani menjadi martir bagi ulama, sementara ulama siap menyongsong Syahid demi menjaga kemuliaan Dien Islam. Ya Allah, selamatkanlah umat dan agama ini. Amien. [].

Bukan Radikalisme, Cuma Keresahan Mereka Saja

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dalam 20 tahun terakhir ini, umat Islam leluasa menjalankan dakwah. Di mana saja, di semua tingkat. Setelah puluhan tahun dikekang dan ditindas oleh penguasa. Dakwah itu kini membuahkan hasil positif. Ketakwaan umat secara umum terlihat meningkat. Kasat mata menyaksikan itu. Tanda-tandanya antara lain adalah semakin banyak wanita yang mengenakan busana muslimah. Umat semakin paham dan percaya diri. Di kampus-kampus. Di tempat-tempat kerja, baik di lingkungan kantor pemerintahan maupun di lingkungan pabrik-pabrik. Ahamduillahnya, gairah keislaman tidak lagi terbatas di lingkaran yang dulu boleh disebut tak berkelas. Islam kini dipahami, dihayati, dan dilaksanakan semaksimal mungkin oleh kelas menengah. Kelas terdidik. Educated. Begitulah pertumbuhan dakwah yang dijalankan dengan damai oleh para ulama, kiyai, ustad, dll. Berhasil menjangkau lapisan luas masyarakat. Dan disambut dengan tangan terbuka. Dulu, orang-orang yang bermukim di kawasan elit kota-kota besar enggan memakai jilbab. Takut dikatakan terbelakang jika mengenakan busana muslimah. Sekarang, semua itu sirna dimakan oleh pengetahuan mereka tentang Islam. Dulu, orang Islam ragu-ragu menampilkan keislamannya. Sekarang, semua itu hilang. Umat dari segala lapisan dan kelas memberikan perhatian besar terhadap dakwah. Umat semakin paham bahwa tujuan hidup mereka adalah akhirat yang terbaik. Itulah buah dakwah yang mulai meresahkan banyak pihak. Resah karena tiba-tiba hari ini di mana-mana perempuan Islam rata-rata memakai busanana muslimah. Menutup aurat. Majelis ilmu agama tumbuh bak jamur di tanah lembab. Pertumbuhan dakwah itu juga ditandai oleh kehadiran rumah ibadah, yaitu masjid dan musholla, di kantor-kantor dan tempat-tempat komersial seperti mal, plaza, pasar, dlsb. Bahkan sampai ke sekolah-sekolah. Rata-rata sekolah memiliki masjid atau surau. Sholat dan sarananya menjadi kebutuhan mutlak. Ini yang membuat kaum liberal meradang. Mereka panik melihat semakin banyak kaum muda yang lebih tertarik kepada ketakwaan ketimbang kesesatan. Di banyak perguruan tinggi negeri, juga swasta, boleh dikatakan hampir 100 persen mahasiswa dan dosen Islam berpakaian muslimah. Akibatnya, mereka gelisah melihat kampus-kampus yang mahasiswanya ikut pengajian dan majelis ta’lim. Ada masjid kampus. Azan bersahut-sahutan. Salah seorang Youtuber sesat, namanya DS, termasuk yang gelisah melihat kampus-kampus yang semakin solid dengan suasana Islami. Dalam satu kampanye video, DS menuduh mereka tercuci otak, terpapar radikalisme, dll. Dia tuduh para mahasiswa yang semakin takwa itu sebagai pendukung khilafah. Garis keras, intoleran, dsb Umat Islam tampkanya kembali dijadikan bulan-bulanan. Label radikalisme dikampanyekan oleh orang-orang yang anti-Islam. Baik oleh mereka yang Islam maupun yang bukan Islam. Para penguasa ikut termakan. Presiden Jokowi sendiri juga yakin umat Islam sekarang menjadi radikal. Salah satu fokus kerja Jokowi adalah proyek deradikalisasi. Padahal, umat hanya menjalankan syariat agama mereka. Secara damai dan tidak mengganggu siapa pun. Tapi, mengapa begitu gencar kampanye radikalisme? Ada beberapa penjelasan. Pertama, sejak 20 tahun terakhir ini umat Islam dari semua lapisan dan di segenap pelosok negeri bisa bersatu dalam dakwah. Bersatu dalam Islam garis lurus. Ini yang membuat para pembenci Islam yang memiliki kekuatan uang tak terbatas, berusaha menggunakan para penguasa untuk menindas pertumbuhan dakwah. Salah satu caranya adalah memunculkan isu radikalisme. Terminologi ini sangat ampuh untuk menakut-nakuti umat. Kedua, ada kekuatan luar yang juga merasa resah melihat umat yang semakin solid dalam dakwah. Islam garis lurus yang tersambung begitu kukuh membuat kekuatan luar merasa terhalang untuk masuk. Mereka menjadi frustrasi. Umat garis lurus akan membendung mereka. Kekuatan luar yang ingin masuk ke sini, pasti merasa tak cocok dengan umat yang menunjukkan sauasana islami. Ketiga, bisa jadi juga sejumlah pemegang kuasa tertentu sengaja memelihara isu radikalisme karena mereka bisa menjual itu untuk mendapatkan duit besar. Ini sangat berbahaya. Sebab, para penguasa yang memelihara isu radikalisme itu bisa memainkannya secara terukur dan terkendali. Mereka itu sangat ceroboh. Permainan ini hanya mengorbankan umat. Umat Islam menjadi tertuduh terus. Jadi, yang sesungguhnya berlangsung bukanlah keberadaan radikalisme. Yang ada hanyalah suasana islami umat garis lurus yang sama sekali tidak mengancam siapa pun. Cuma memang menyulut keresahan sejumlah pihak. Yaitu, mereka yang tak rela umat ini bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Padahal, umat Islam yang memiliki ketakwaan dipastikan akan bermentalitas Pancasila.[] 28 Oktober 2019

Pak Presiden Tolong Bubarkan Relawan Jokowi

Oleh Mangarahon Dongoran, (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Jika relawan Jokowi tidak dibubarkan atau membubarkan diri, maka akan menjadi salah satu benalu pengganggu roda pemerintahan lima tahun mendatang. PEKAN lalu ada berita yang sempat menarik perhatian saya, saat saya dirawat di sebuah rumah sakit di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Berita itu bukan karena Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Pun juga bukan karena hiruk-pikuk pengangkatan 34 menteri dan pejabat setingkat menteri yang menjadi pembantu Presiden. Bukan pula pengangkatan 12 orang wakil menteri yang menjadi pembantu wakil menteri dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan pengangkatan wamen, berarti ada pembantunya pembantu presiden. Berita menarik bagi saya adalah ketika relawan Projo (Pro Jokowi) menyatakan bubar. Alasannya, karena mereka merasa tidak dibutuhkan lagi. Meski sebenarnya itu alasan yang dibuat-buat. Alasan paling menyebalkan sebenarnya ada dua. Pertama, karena Projo tidak suka Prawobo Subianto diangkat menjadi Pertahanan RI. Harap maklum, Prabowo adalah rival Jokowi dalam dua kali Pilpres (2014 dan 2019). Dalam dua kali pilpres itu juga Projo merupakan relawan militan yang selalu siap dengan peluru tajamnya untuk menghujam lawan Jokowi, yaitu Prabowo Subianto. Bukan relawan tanpa pamrih Alasan kedua, karena Projo yang merasa berdarah-darah dan berkeringat membela Jokowi, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Meski selama ini mereka mengatakan relawan tanpa pamrih, tapi dari hati yang dalam, Projo merasa ditinggal begitu saja. "Sakitnya tuh, di sini (maksudnya hati)," demikian kira-kira yang terasa pada sebagian relawan Projo. Sejujurnya, saya senang dengan ketulusan Projo membubarkan diri, meski akhirnya diralat alias tidak bubar karena Ketua Umumnya Budi Ari Setiadi diangkat menjadi Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Artinya, setelah mengancam bubar, baru diberi kue. Seandainya tidak mengancam, mungkin Projo tidak dapat apa-apa. Artinya, selama ini orang-orang Projo bukanlah relawan tanpa pamrih, tetapi relawan dengan penuh harapan. Projo sebenarnya berharap mendapapat kursi menteri. Apa boleh buat, wamen oun jadilah. Ibarat kata pepatah, "Tak ada rotan akar pun jadilah." Jauh sebelum Projo mengeluarkan pernyataan membubarkan diri (meski batal), sebenarnya saya sudah ingin meminta atau menyarankan agar Presiden RI membubarkan seluruh relawan Jokowi. Alasannya, karena Pilpres yang merupakan pertarungan demokrasi sudah berakhir. Ibarat peperangan, yang satu sudah kalah, dan yang menang harus berusaha merangkul yang kalah. Prabowo disandera Apalagi, lawan utama Anda (Prabowo) sudah dijadikan sandera dalam pemerintahan Anda. Ibaratnya, panglima perangnya sudah Anda buat bertekuk lutut, tidak berdaya, dan tunduk sesuai dengan keinginan Anda. Jika macam-macam, tinggal ditendang dari kabinet yang Anda pimpin. Saya sudah tahu jawaban yang akan dilontarkan Jokowi jika permintaan atau saran saya ini dibaca. "Saya tidak berhak membubarkan mereka (relawan Jokowi)," kira-kira itu jawaban yang keluar. "Betul! Anda tidak berhak membubarkannya. Akan tetapi Anda berhak menjaga jarak dengan para relawan Jokowi itu. Setidaknya, Anda bisa mengatakan, "Pilpres sudah selesai. Jadi, semua harus bersatu. Relawan Jokowi tidak diperlukan lagi. Semuanya adalah rakyat saya." Mengapa saya meminta atau menyarankan Presiden membubarkan Relawan Jokowi yang jumlahnya menurut data yang saya peroleleh 120 relawan (bisa lebih)? Karena menurut pengamatan dan hemat saja, jika Relawan Jokowi tidak dibubarkan atau membubarkan diri, maka akan menjadi salah satu benalu pengganggu roda pemerintahan lima tahun ke depan. Banyak benalu lain, baik yang berasal dari eksternal maupun internal. Belum lagi pertumbuhan ekonomi yang diyakini akan berat, yang merupakan benalu terbesar. Belum lagi gangguan keamanan, seperti pemberontakan separatis di Papua. Meminta proyek Mereka akan terus meminta atau menekan agar mendapatkan jabatan dan proyek. Ini saya katakan, karena ada pengalaman seorang kepala daerah tingkat dua (walikota) yang sempat menyampaikan unek-uneknya ke saya pada periode Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla ( 2014-2019) yang lalu. Kata walikota itu, ia pusing karena didatangi Relawan Jokowi. Mereka meminta proyek. Tidak dikasih mereka menekan. Kalau dikasih, belum tahu track recordnya atau rekam jejaknya dalam urusan proyek bagus. Tidak hanya di daerah. Relawan Jokowi juga meminta proyek di BUMN. Kalau ada komisaris atau direksi di sebuah BUMN berasal dari Relawan Jokowi maupun tim suksesnya, mereka tidak perlu meminta karena sudah ditawarkan. Kalau BUMN yang komisaris atau direksi tidak ada yang berasal dari relawan atau tim sukses, maka mereka masuk meminta proyek dengan memaksa. Oleh karena itu, "Pak Presiden Tolong Bubarkan Relawan Jokowi." Sebab, selain merupakan salah satu benalu di pemerintahan yang Anda pimpin, relawan ini juga berpotensi besar untuk berbenturan dengan sesama anak bangsa. Sebab, jika ada kelompok atau individu yang dianggap tidak sejalan dengan mereka, maka dianggap sebagai lawan yang harus dimusuhi dan kalau perlu "dibinasakan." Jika ada perbedaan pendapat, apalagi menyangkut agama, mereka langsung mencap, "intoleran, anti Pancasila, anti NKRI," dan sederet kata lainnya. Bahkan, mereka tidak segan mengatakan sebagai kelompok radikal. Bahkan, jika ada yang mengkritisi kebijakan pemerintah, terutama mengkritisi janji kampanye Anda yang tidak dilaksanakan, mereka akan mem-bully atau merundung habis-habis. Ini seperti yang terjadi dalam lima tahun pemerintahan Anda sebelumnya. Mereka akan mengatakan hal itu fitnah, bukan kritik. Padahal, yang disampaikan adalah kritik dan mengingatkan apa yang Anda janjikan selama kampanye. Sebagaimana sering Anda kemukakan, pemerintahan yang Anda pimpin membutuhkan masukan, kritik dan saran membangun. Sekali lagi Pak Presiden, tolong bubarkan Relawan Jokowi ! **

Menteri Agama (Tak) Mengurus Umat Islam

Ucapan menteri yang bernada tidak untuk mendamaikan suasana seperti itu, seharusnya tidak boleh ada di lembaga pemerintahan. Kita patut menyatakan, sekarang kementerian itu tidak lagi untuk mengurus Umat Islam. Sementara uang wakaf, sedekah, dana haji, miliknya Umat Islam kini telah dipergunakan lebih dari separuhnya oleh pemerintah. Oleh Dr. Ahmad Yani Jakarta, FNN – Departemen Agama secara historis didirikan untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam menjalankan syariat. Kementerian ini didirikan pada tahun 1946. Lembaga ini ada sebagai kompromi politik atas hilangnya tujuh kata dalam “Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945. Kita mengetahui bahwa setelah proklamasi 17 Agustus 1945, umat Islam melalui tokoh-tokoh politiknya merelakan kehilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Hilangnya tujuh kata ini sebagai bentuk kompromi umat Islam demi keutuhan bangsa. Terlihat bahwa umat Islam menempatkan keutuhan bangsa di atas segala-galanya. Meskipun alasan keutuhan masih menimbulkan tanda tanya hingga hari ini. Namun sikap moderat umat Islam merelakan piagam Jakarta menjadi Pancasila tidak bisa dinilai secara murah oleh siapapun. Itu adalah bentuk pengorbanan terbesar yang tak boleh dilupakan. Pengorbanan inim juga tidak boleh dikesampingkan oleh siapapun Pengorbanan Umat Islam atas hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, telah menjadi perhatian utama dari pendiri bangsa ketika itu. Sehingga Muhamad Yamin, bertanya "tidak cukuplah jaminan kepada Agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja. Melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri”. Pendek cerita, harus menurut kehendak rakyat. Bahwa urusan Agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, Wakaf, Masjid, dan penyiaran Islam, harus diurus oleh kementerian yang istimewa. Nama lembaganya ketika di tahun 1945 itu adalah “Kementerian Agama". Jadi Kementerian Agama didirikan pada tahun 1945 itu untuk mengurusi hal-ihwal Agama Islam, sesuai kepentingan Islam. Lembaga ini diadakan bukan untuk kepentingan dan urusan yang lain. Begitulah sejarah tentang lahirnya Kementerian Agama tersebut. Pertanyaan Muhamad Yamin itu menjadi bukti sejarah bahwa Kementrian Agama tersebut, dibuat khusus hanya untuk umat Islam dalam mengakomodir segala kepentingan umat Islam. Selain itu, Kementrian Agama juga yang menjadi titik temu antara kubu nasionalis sekuler dan nasionalis agama. Kiyai Haji Wahid Hasyim dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa "model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah kompromi jalan tengah. Jalan antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara." Pemerintah mengumukan berdirinya Kementrian Agama setelah disepakati secara aklamasi di oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ketika itu Haji Mohammad Rasjidi yang diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Agama Pertama. Haji Mummad Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern. Dan di kemudian hari, Haji Muhammad Rasjidi dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah. Jangan Ahistoris Bozzz Apa yang dikatakan oleh Menteri Agama Fahrul Rozi bahwa “dirinya bukanlah Menteri Agama Islam, dan dia ditugaskan untuk melawan radikalisme, telah membuka kembali luka lama dalam kehidupan umat Islam”. Mengatakan bukan Menteri Agama Islam adalah pernyataan ahistoris, buta dan tuli terhadap sejarah kelahiran bangsa. Sebab sejarah mencatat, bahwa aspirasi Umat Islam diakomodir dengan terbentuknya Kementerian Agama pada awal-awal kemerdekaan bangsa ini. Ucapan yang bernada tidak untuk mendamaikan suasana seperti itu, seharusnya tidak boleh ada di lembaga pemerintahan. Kita patut menyatakan, bahwa sekarang kementerian itu tidak lagi untuk mengurus Umat Islam. Sementara uang wakaf, sedekah, dana haji, miliknya Umat Islam kini telah dipergunakan lebih dari separuhnya oleh pemerintah. Secara kasarnya, sekarang Umat Islam sedang diperas. Tetapi kekayaan Umat Islam yang disimpan di Kementrian Agama tidak dianggap oleh pemerintah. Sementara ceramah ustadz dibatasi, mesjidnya diawasi. Apakah ini yang dikehendaki oleh pemerintah sekarang? Masih berdasar pernyataan menteri Agama Fahrul Rozi. Bahwa dia ditugaskan oleh Presiden untuk mengurus radikalisme. Semua kementerian periode kedua ini sepertinya hanya mengurus radikalisme. Kita menyebutnya dengan pemerintahan yang mengurus radikalisme. Bahkan Prof. Dr. Din Syamsuddin menyarankan Kementrian Agama diganti namanya menjadi Kementrian Anti Radikalisme. Sebegitu kuatnya radikalisme sehingga mulai dari aparat keamanan seperti Polisi, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasiopnal Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga kementerian di kabinet Jokowi yang kedua semua mengurusinya. Berarti kerja pemerintah hanya mewujudkan program deradikalisasi saja. Tugas Menteri Agama itu adalah membangun moral bangsa. Membangun moral keagamaan, yang memberikan nilai positif dan konstruktif bagi bangsa. Menjaga kerukunan, dan meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan. Membawa pesan keagamaan di tengah masyarakat. Begitulah tugas-tugas Kementrian Agama yang seharusnya. Sementara fungsinya adalah membuat dan menetapkan kebijakan keagamaan. Mengelola kekayaan di Kementrian Agama, dan mengawasi pelaksanaan tugas. Selain itu, melaksanakan kegiatan dan bimbingan teknis. Karena itu kalau tugas Kementerian Agama adalah mengurus radikalisme dan bukan menteri Agama Islam, lebih baik kementerian itu dihilangkan saja. Sebab sejarah kementerian itu merupakan hasil akhir dari kompromi diantara tokoh-tokoh bangsa. Kompromi antara golongan nasionalis Islam dengan golongan nasionalisme sekuler. Terlepas dari semua itu, Menteri Agama Fahrul Rozi sekarang ini tidak cocok mengurus kementerian. Tetapi lebih cocok diberikan tugas sebagai kepala BNPT. Itu lebih menjurus ke pikiran beliau ketimbang mengurus urusan Umat Islam yang begitu kompleks. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta serta Advokat

Pancasila Menjadi Benteng Dampak Negatif Globalisasi TI

Serangan siber juga telah berkembang sampai tahap melumpuhkan sebagian atau seluruh instrumen dan infrasturktur siber sebuah negara. Tidak terkecuali juga Indonesia. Sifat serangan siber itu tidak hanya mengancam jiwa manusia. Namun mengancam jpula stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan ketahanan sosial budaya. Kondisi ini membuat Indonesia kini mengalami krisis siber. By Komjen Pol. Dhama Pongrekun MH. MM Jakarta, FNN - Era globalisasi sekarang ini telah dijadikan alat untuk mengkoneksi secara global seluruh aspek kehidupan manusia. Koneksivitas global tersebut telah meliputi aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Basis utama dari sarana koneksitas global itu adalah money, power dan control Akibatnya setiap orang mampu mengakses informasi dengan bebas atau tanpa batas. Akses informasi itu, baik dalam bentuk gambar, tulisan maupun video yang dapat memanipulasi mindset manusia. Caranya, didahului dengan pelemahan sistem tubuh manusia, melalui perubahan struktur Deoxyribo Nucleic Acid (DNA), yang dirusak oleh gelombang elektromagnetik, dan mempunyai kekuatan hipnotis. Peralatan hipnotis yang bernama smartphone itu kita beli. Setelah dibeli, kita juga yang menggunakan. Namun yang mengontrol kita adalah mereka yang mendesain, dan memproduksi smartphone tersebut. Mereka mengontrol dan mengendalikan kita setiap saat. Kapan saja dan dimana saja, bila mereka mau. Rekayasa kehidupan, yang bisasanya disebut life engineering, dapat dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Life engineering bisanya dilakukan kapan saja, dan dimana saja. Dimulai dengan propaganda ketakutan, agar otok purba kita bekerja mencari perlindungan mempertahankan diri. Kerana pada hakikatnya life engineering itu sudah ada, sejak ini dunia diciptakan. Pada era modern, rekayasa kehidupan dilakukan melalui fase revolusi industry. Muaranya pada ditemukan tekonologi informasi dan tekonologi komnikasi. Media yang dipakai adalah internet, yang mulai digunakan sejak 20-30 tahun lalu. Sejak itu, globalisasi menjadi gelombang yang sangat dahsyat. Penguruh dan dampak dari globalisasi itu, sepertinya tidak bisa dibendung. Selalu ada dalam kehidupan sehari-hari kita. Sekarang, seluruh aspek kehidupan manusia, terhubung dengan mamanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara sarana tekonologi informasi dan komunikasi yang dipakai sehari-hari adalah smartphone. Teknologi memang didesain untuk hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Teknologi juga didesain dengan sajian kecepatan dan efektivitas yang sangat tinggi. Teknologi telah memudahkan manusia yang menggunakannya saling berkonukasi secara praktis dan efisien. Walaupun demikian, kita jangan sampai terlena dan diperbudak oleh hadirnya teknologi tersebut. Kemajuan teknologi harus tetap kita waspadai. Tidak selamanya teknologi membawa dampak positif terhadap kehidupan manusia. Pengembangan teknologi misalnya, pada perangkat tekonologinya kerap disisipi aplikasi yang memiliki ekslusivitas, seperti pornografi dan candu. Misi-misi teknologi seperti inilah yang harus diwaspadai oleh para penggunanya. Dibalik semua kemudahan teknologi informasi saat ini, kemajuan teknologi juga mempunyai resiko dan ancaman. Pada umumnya teknologi tersebut, digunakan oleh barbagai negara untuk memenangkan persaingan kepentingan mereka di tingkat global. Pada titik itulah, perang sebagai bentuk puncak persaingan antara negara hadir dan berevolusi. Salah satu dampaknya, peperangan sekarang ini tidak hanya terbatas pada kontak fisik. Tidak juga hanya dengan menggunakan senjata konvensional. Konsep peperangan zaman now telah berkembang menjadi perang siber. Basisnya adalah penggunaan teknologi informasi dan komunkasi tersebut. Serangan siber juga telah berkembang sampai tahap melumpuhkan sebagian atau seluruh instrumen dan infrasturktur siber sebuah negara. Tidak terkecuali juga Indonesia. Sifat serangan siber itu tidak hanya mengancam jiwa manusia. Namun mengancam jpula stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan ketahanan sosial budaya. Kondisi ini membuat Indonesia kini mengalami krisis siber. Menghadapi kenyataan ini, semua komponen bangsa harus hadir mengantispasi kemungkinan terburuk. Karena Indonesia akan diserang oleh pusaran arus negative dari dampak globalisasi. Pusaran globalisasi itu memiliki tiga program besar, yaitu Money, Power dan Control. Pertahanan terbaik menghadapi ancaman globalisasi yang berbasis Money, Power dan Control itu adalah menghadirkan dasar negara Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sebab dasar negara Pancasila menempatkan manusia Indonesia mempercayai Tuhan Yang Maha Esa sebagai panduan kehidupan pribadi maupun berbangsa. Semua kemponen bangsa harus memperkuat ketahanan untuk menjiwai pilar bangsa Pancasila, dan UUD 1945 sebagai benteng menghadapi globalisasi hipnotis. Pengaruh globalisasi ini dijalankan dengan cara yang sistimatis, terstruktur dan masif ke semua lini pemerintahan. Semua orang ditanamkan suatu hidden agenda yang akan membuat kehidupan hanya satu arah. Yang ujung-ujungnya akan menyengsarakan bangsa, karena sudah ikut dengan agenda tersebut. Mereka melakukan agendanya dengan cara memberikan rasa ketakutan kepada kita. Dengan cara menyebarkan hipnotis ketakutan itu kita dipaksa mengikuti agenda yang sudah dijalankan. Agenga yang sistematis, karena dibumbui dengan kemudahan, kecepatan kepada manusia di dunia. Tanpa sadar akan membuai arah kehidupan yang luxury sebagai pemuas nafsu dunia. Kita jadi melupakan kehidupan kita yang berasal dari dunia supranatural. Bukan berasal dari suatu nilai angka atau eksak. Jika kita tidak berpegang teguh akan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka semua akan tergerus dengan kehidupan yang bernilai ekonomi. Era revolusi industri 4.0 dan kemajuan teknologi gadget khususnya, membuat kita kehilangan norma-norma. Membuat kita manipulasi mindset dengan aplikasi atau sarana yang ditawarkan. Sarana tersebut berisi materi-materi hipnotis yang penuh kebohongan dan propaganda ketakutan. Bahaya gelombang hypno elektromagnetik yang membuat kita menjadi addict. Penulis pernah mempraktekan bahaya gelombang hypno elektromagnetik itu dengan melakukan tes kinosiologi kepada dua mahasiswa dan satu narasumber pada seminar kebangsaan di Gereja Bethel Pekanbaru Sabtu (26/10/2019). Hasilnya, terbukti hypno elektromagnetik merusak sel-sel tubuh, apabila kita selalu dengan waktu yang lama mempergunakan gadget. Sudah waktunya Indonesia memiliki teknologi industri nasional yang di awaki anak-anak bangsa sendiri. Dampaknya, selain dapat memajukan ekonomi dalam negeri, hal ini juga dapat menjaga data keamanan seluruh bangsa Indonesia. Kita juga tidak lagi tergantung dengan bangsa lain seperti yang dikhawatirkan salah oleh Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis. Ketika menjadi pembicara di hadapan 300 lebih peserta Seminar Kebangsaan di Gereja Bethel Pekanbaru, penulis mengingatkan generasi muda bangsa harus berpedoman dengan Pancasila. Kerana dengan bangsa yang berdasar pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka akan sadar tentang pentingnya berprilaku hidup yang berkeadilan dan beradab itu. Kebhinekaan bangsa juga dengan sendirinya akan mempererat persatuan kita. Apabila persatuan sudah terwujud, tentu diharapkan setiap perbedaan pendapat, akan diakhiri dengan musyawarah dan mufakat. Pada akhirnya akan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa indonesia. Penulis adalah Wakil Kepada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)

Prabowo Tak Ingin Rakyat Terbelah

Dari ketiga kisah itulah, Prabowo ingin mengajak kadernya untuk belajar dari negara besar. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Mungkin itulah jawaban paling tepat untuk menjawab pertanyaan sebagian rakyat Indonesia yang masih penasaran mengapa Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto bergabung dengan Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Wapres Ma’ruf Amin. Dua kali Pilpres 2014 dan 2019 telah membuat rakyat pemilih Jokowi dan Prabowo “perang” tanpa henti. Jika ini dibiarkan terus, bukan tidak mungkin akan terjadi perang terbuka yang melibatkan kekuatan militer. Inilah yang dihindari Prabowo. Itulah alasan mengapa saat Presiden Jokowi meminta Prabowo membantunya dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo tidak menolaknya. Prabowo menyanggupinya dengan segenap jiwa dan raga. Kejadian ini tentu merupakan hal yang sangat tidak biasa. Bagaimana tidak, keduanya pernah bertarung sengit pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu. Apalagi, sengitnya kontestasi kedua pilpres antara Jokowi dan Prabowo terasa sampai ke akar rumput. Lebih dari 5 tahun, publik seperti tersekat pada dua kubu yang berbeda: cebong dan kampret. Ketegangannya merambat tidak hanya di level politik nasional. Di level daerah, Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Jabar menjadi bukti atas friksi keduanya. Bahwa friksi pendukung keduanya sangatlah keras. Kesediaan Prabowo menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi – Ma’ruf bagi banyak orang sangat sulit diterima akal sehat, apalagi ego. Pro-kontra langkah Prabowo pun merebak di publik. Banyak yang mendukung dengan memahaminya sebagai bukti kebesaran jiwa sosok mantan Danjen Kopasus itu, tapi tidak sedikit juga yang belum bisa memahami – apalagi menerima – langkah politik yang tidak biasa terjadi di Indonesia ini. Di Amerika Serikat, Hillary Clinton yang sebelumnya bekas pesaingnya melawan Barack Obama sebagai calon presiden dari Partai Demokrat, akhirnya mengangkat Clinton sebagai Menteri Luar Negeri (21 Januari 2009 – 1 Februari 2013). Kembali ke Prabowo, apa sebenarnya yang membuat mantan Pangkostrad tersebut bersedia membantu Presiden Jokowi mengelola pemerintahan, khusus di bidang pertahanan? “Saya kira tugas beliau lebih tahu dari saya,” kata Presiden Jokowi. Jawaban atas pertanyaan mengapa Prabowo akhirnya bersedia bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju, sebenarnya telah disampaikan secara tersirat, tapi sangat jelas, yaitu saat Rapimnas Partai Gerindra pada Rabu,16 Oktober 2019, lalu. Mengutip Saluran8, sepekan sebelum dilantik menjadi Menhan, dalam pidatonya, Prabowo mengisahkan perjalanan 3 tokoh besar dunia dari 3 negara yang juga (kemudian menjadi) besar, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Tiongkok. Pertama, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu. Hideyoshi adalah seorang pemimpin pasukan besar di Jepang pada masanya dan Ieyasu adalah salah satu musuh besarnya dengan kekuatan prajurit yang tidak kalah tangguh plus jumbo. Prabowo bercerita, suatu hari sebelum bertempur, Hideyoshi dengan 70 ribu pasukan yang di belakangnya mengirim utusan khusus ke Ieyasu untuk meminta bertemu. Dalam pertemuan titu, Hideyoshi mengutarakan gagasannya daripada bertarung, kenapa tidak bersekutu saja. “(Yang mulia) Ieyasu, pasukan Anda hebat-hebat, kuat-kuat. Begitupun pasukan saya, jumlahnya tidak kalah banyak. Tapi, yang mulia… kalau besok kita jadi bertempur, di antara kita pasti akan ada yang kalah dan ada yang menang.” “Akan ada banyak prajurit kita yang berguguran. Akan banyak orang tua Nippon yang kehilangan anaknya. Anda cinta Nippon, saya juga cinta Nippon, kenapa kita tidak bekerjasama dan bersatu saja? demi cinta kita terhadap Nippon.” Akhirnya kedua pasukan besar yang bertikai ini bersekutu dan membawa kemajuan yang hasilnya bisa dinikmati bersama dan oleh segenap rakyat. Kedua, Abraham Lincoln dan William Seward. Suatu ketika Lincoln menyatakan ingin bertemu dengan Seward di kongres parlemen Amerika Serikat. Seward menolak bertemu, bahkan mengatakan “kasih tahu monyet itu suruh pulang” kepada sekretarisnya hingga umpatan tersebut terdengar oleh Lincoln sendiri. Bertahun-tahun berlalu, mereka terus bertarung sengit di arena politik hingga Lincoln akhirnya terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Setelah memenangkan Pemilihan Presiden AS pada 6 November 1980, hal pertama yang dilakukan oleh Lincoln ternyata meminta Seward menjadi Scretary of State. Seward kaget, karena selama ini dia ibarat rival abadinya Lincoln. “Kenapa Anda pilih saya? Saya kan tidak suka sama Anda,” tanya Seward sebagaimana diceritakan Prabowo. “Oh, saya tahu, Anda tidak suka sama saya dan saya tidak suka sama Anda. Tapi saya tahu, Anda cinta United State of America. Dan, saya cinta United State of America. Kenapa kita tidak kerjasama demi United State of America,” lanjut Prabowo berkisah. Prabowo tertegun membaca kisah tersebut. “Inilah kenapa Amerika jadi negara besar, kenapa Jepang jadi negara kuat,” ungkap Prabowo dalam benaknya. Ketiga, Mao Tse-tung, mantan musuhnya (Zhang Lam?) dan Deng Xiaoping. Selanjutnya Prabowo berkisah tentang Mao Tse-tung yang menang melawan Jepang dan Kuomintang. Dua hari sebelum mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Mao memanggil beberapa orang untuk menjadi Wakil Presiden. Salah satu yang dipanggil adalah seorang tokoh sekaligus jenderal yang pernah menjadi lawannya. Orang yang pernah memimpin operasi dan membunuh puluhan ribu pasukan Mao itu kaget dengan permintaan Mao untuk menjadi wakil presiden. “Kenapa Anda pilih saya? Anda tahu, dulu saya pernah pimpin operasi dimana puluhan ribu anak buahmu saya bunuh.” “Tidak! Tidak! Jangan lihat ke belakang! Lihat ke depan. Kita bangun RRT ke depan,” jawab Mao Tse-tung dikisahkan Prabowo. Lalu ada juga kisah Deng Xiaoping, tiga kali dipecat oleh Mao Tse-tung. Anaknya dilempar dari balkon dan cacat seumur hidup. Ketika Mao-tung meninggal, Deng Xiaoping melanjutkan kepemimpinan Mao dan peran-peran, jejak, serta eksistensi Mao tetap dipeliharanya, bahkan hingga hari ini. Dari ketiga kisah itulah, Prabowo mengajak kader-kadernya untuk belajar dari negara-negara yang kini menjadi besar. Agar Indonesia juga bisa menjadi negara besar. Anda bisa melihat video pidato Prabowo ini yang diunggah di halaman Digdaya TV. Berbekal video tersebut, sebetulnya kita sudah bisa menyimpulkan sendiri kenapa Prabowo bersedia menyanggupi permintaan Jokowi untuk menjadi Menteri Pertahanan. Dan, Prabowo mengaplikasikannya. Prabowo melihat masa depan, bukan masa lalu. Riwayat sejarah yang pernah terjadi di Jepang, AS, dan Tiongkok, tampak kini sedang terjadi di Indonesia. Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo, Prabowo berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Ia mengalah demi hindari perpecahan anak bangsa Indonesia. Dari keputusan politik keduanya, kini kita melihat arah Indonesia sedang menuju ke visi yang lebih besar melalui sinergi politik dengan dasar sama-sama cinta terhadap Indonesia. Artinya, Jokowi – Prabowo sepakat berdamai untuk membangun masa depan. Hanya saja, tampaknya masih ada pihak yang kurang ikhlas dengan bergabungnya Prabowo dalam Kabinet Indonesia Maju tersebut. Usulan Hak Veto yang bakal diberikan Presiden kepada para Menko diduga kuat beraroma “kepentingan” politis. “Veto” Menko Hari-hari ini muncul usulan Presiden Jokowi akan memberikan Hak Veto pada para Menko. Tujuannya untuk menjaga agar visi presiden dijalankan para menteri. Ada empat Menko di pemerintahan Joko – Ma’ruf. Yakni Menko Polhukam yang dijabat Mahfud MD, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dijabat Muhadjir Effendy. Menurut Mahfud, Kemenko bertugas mengawal visi besar presiden. Tujuannya supaya dapat diimplementasikan para pembantunya di kementerian dan lembaga setingkat menteri. Pendek kata, Menko melakukan koodinasi sinkronisasi dan harmonisasi terhadap kebijakan yang diterbitkan para menteri. Kemenko mengkoordinasikan tugas-tugas kementerian yang menjadi wewenang masing-masing. “Presiden mengatakan Menko boleh memveto kebijakan menteri yang ada di bawahnya kalau dia bertindak sendiri, apalagi sampai bertentangan dengan kebijakan Presiden maupun kebijakan Kementerian lain yang sejajar,” ujarnya. Direktur The Global Future Institute Prof Hendrajit mempertanyakan, apa benar (Hak Veto ini) cuma untuk menyasar Menhan baru Prabowo Subianto? “Gimana dengan yang di bawah Menko Perekonomian?” ungkap Hendrajit. Kemenko Perekonomian-nya sendiri dari Golkar, Mendag dari PKB, Menteri BUMN dari pebisnis, Meneri Perindustrian juga Golkar. Menhub dari kalangan profesional. Airlangga dan Agus Gumiwang, bukan sekadar satu partai. Tapi juga satu faksi. “Agus Suparmanto, politisi PKB, saya lihat merupakan titik rawan dari konfigurasi kerjasama di jajaran Menko Perekonomian Airlangga. Begitu juga Erick Thohir,” lanjutnya. Bagaimana kalau kalau skema veto untuk Menko diterapkan? Menko Perekonomian Airlangga dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, boleh dibilang satu skema dan satu agenda. Menhub Budi Karya Sumadi bisa klop dengan Airlangga dan Jokowi karena sama sama alumni UGM, meski lebih kental kedekatannya sama Jokowi. Erick Thohir, bos Mahaka Group tersebut, jalur koneksi bisnisnya lebih dekat ke Jusuf Kalla ketimbang ke Jokowi. Jadi, potensi tabrakan antar kementerian di jajaran kemenko ekonomi cukup rawan. “Faksi Airlangga dan Agus Gumiwang satu sisi, Mendag Agus Suparmanto yang PKB dan Erick Thohir yang pengusaha dekat dengan JK dan Astra Group. Pada sisi lain,” ungkap Hendrajit. Sedangkan di Menko Polhukam, malah tak rumit. “Kalau terkesan ada hubungan yang nggak sreg antara Prabowo dan Mahfud, apapun, mereka berdua pernah berkolaborasi saat Mahfud menjadi Ketua Timses Prabowo Subianto – Hatta Rajasa,” ujarnya. Seharusnya komunikasi dan koordinasi mereka berdua lebih bagus daripada Tim Airlangga. Di Kemenko Maritim dan Investasi, Menko bisa memveto Menteri Kelautan dan Perikaman, LBP memveto Edhy Prsbowo. Sementara di bidang lain , Mahfud bisa memveto Prabowo. Sebenarnya mreka kerja untuk rakyat atau hanya skema veto memveto sih? Dari sini terlihat, yang bakal benar-benar kerja untuk negara hanya Prabowo! ***

Kabinet Rekonsiliasi: Jokowi Bukan (lagi) Petugas Partai

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pengumuman kabinet Jokowi Jilid II mengirim satu pesan penting : Jokowi bukan lagi petugas partai, seperti pernah dinisbahkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati. Jokowi telah menjadi Presiden yang “mandiri.” Tidak mau didekte oleh partai, maupun ormas pengusungnya. Dia menyusun kabinet berdasarkan kepentingan taktis dan strategis politiknya. Tentu tetap mengakomodasi kepentingan partai pendukung, dan akuisisi terhadap lawan politik. Pesan tegas itu sangat terlihat bila kita mencermati komposisi kabinet yang baru saja diumumkan Jokowi, Rabu (23/10). Pertama, Jokowi memperkokoh posisinya sebagai Presiden dengan ditopang oleh dua kekuatan utamanya: Geng Luhut Binsar Panjaitan dan profesional dengan pilar utama geng alumni Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelum pembentukan kabinet banyak rumor dan spekulasi yang menyebutkan kemungkinan Luhut, tangan kanan Jokowi tidak akan masuk kabinet. Megawati tidak menyukainya. Spekulasi kian kencang seiring menguatnya peran Kepala BIN Budi Gunawan. Dia berhasil mempertemukan Prabowo dengan Jokowi, dan kemudian dengan Megawati. Alih-alih tergusur, Luhut tetap menduduki posisi lamanya sebagai Menko Maritim. Perannya kian besar karena ditambahi bidang investasi. Dengan peran baru itu posisi Luhut akan menjadi semakin kuat dan penting. Apalagi dikaitkan dengan kian besarnya investasi Cina yang masuk ke Indonesia. Bersama Luhut masuk juga seorang sekondan lamanya Jenderal (TNI) Fahrul Razi sebagai Menteri Agama. Pria Aceh ini satu angkatan dengan Luhut di Akabri 1970. Dalam dua kali pilpres, aktif sebagai ketua tim Bravo-5, tim pemenangan Jokowi yang dibentuk Luhut. Fahrul juga menjadi salah satu petinggi perusahaan milik Luhut PT Toba Sejahtera. Pilar lain pendukung Jokowi adalah para profesional. Erick Tohir yang menggantikan Rini M Soemarno sebagai Menteri BUMN. Kepala KSP Moeldoko, Menkop/UKM Teten Masduki, Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia, Mendikbud/Dikti Nadiem Makarim, Menkes Mayjen TNI Dr Terawan AP, Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro, Menteri Pariwisata Wisnuthama. Masuk dalam barisan ini adalah mantan Kapolri Tito Karnavian yang ditunjuk sebagai Mendagri. Tito pantas menduduki posisi sangat penting dan berpengaruh itu. Di bawah komandonya Polri punya andil besar dalam kemenangan Jokowi. Sementara sejumlah nama profesional yang masuk dalam geng alumni UGM adalah Menteri PUPR Basoeki Hadimulyono, Menhub Budi Karya Sumadi, Menlu Retno LP Marsudi, dan Mensesneg Pratikno. Dalam barisan ini juga bisa ditambahkan nama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Kedua, benar PDIP menjadi partai terbanyak mendapatkan kursi di kabinet seperti diinginkan Megawati. 5 kursi. Namun beberapa diantaranya tidak cukup prestisius. Pramono Anung dan Yasona Laoly tetap dalam posisi semula sebagai Mensekab dan Menkumham. Dua wajah baru Juliari P Batubara sebagai Mensos, IG Ayu Bintang Darmawati sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Sementara Mantan Mendagri Tjahjo Kumolo posisinya terdowngrade jauh. Dia hanya menjadi Menpan. Sebuah kementrian yang anggaran tahunannya kalah jauh dibanding dengan satu direktorat jenderal di Kemendagri. Anggaran Kemenpan tahun 2020 yang disetujui DPR hanya sebesar Rp 304, 310 miliar. PDIP masih dapat tambahan “satu pos baru” tapi secara tidak langsung. Jaksa Agung ST Baharuddin adalah adik kandung politisi PDIP TB Hasanuddin yang semula disebut-sebut disiapkan sebagai Menhan. Nama Kepala BIN Budi Gunawan yang semula diperkirakan akan menjadi orang kuat baru secara mengejutkan tidak muncul di kabinet. Kemungkinan dia tetap di pos semula. Tetap bermain di belakang layar. Dengan komposisi ini PDIP tidak menempati satu pun pos triumvirat (Menhan, Menlu, dan Mendagri). Ketiga pos ini menjadi sangat penting manakala terjadi kekosongan kekuasaan. Ketiga, Jokowi memberikan pos Menteri Pertahanan kepada Prabowo, namun menolak memberikan pos Menteri Pertanian kepada Waketum Gerindra Edhie Prabowo. Pos tersebut diberikan kepada Syahrul Yasin Limpo dari Nasdem. Edhie dipindahkan menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Jauh-jauh hari Gerindra memberi syarat hanya akan bergabung ke dalam kabinet bila mendapatkan pos di bidang pertahanan dan ketahanan pangan. Bila tidak, lebih baik di luar kabinet. Dengan hanya dua pos menteri, maka akuisisi politik terhadap Prabowo biayanya sangat murah. Keempat, Jokowi bisa tetap memaksa Nasdem dalam kabinet dengan kompensasi Menteri Pertanian yang semula diincar Gerindra. Nasdem juga mendapat jatah dua menteri lainnya, yakni Menkominfo Johny G Plate dan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya. Bandingkan dengan posisi Nasdem sebelumnya. Mendapat jatah Jaksa Agung dan Menteri Perdagangan. Dua posisi sangat strategis yang disebut-sebut ikut menjadi penentu naiknya perolehan suara Nasdem pada Pemilu 2019. Sebelumnya Nasdem juga pernah mendapat pos sebagai Menteri Agraria. Kelima, Jokowi berani melanggar pakem baku yang selama ini disediakan untuk dua ormas terbesar NU dan Muhammadiyah. Pos Kemenag yang biasanya menjadi jatah NU diberikan ke seorang jenderal. Pos Mendikbud yang secara tradisional menjadi jatah Muhammadiyah diberikan ke bos Gojeg. Representasi NU cukup diwakili oleh PKB yang mendapat jatah tiga menteri: Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Menaker Ida Fauziah, dan Menteri Desa Abdul Halim Iskandar. Nama-nama tokoh NU seperti Yenny Wahid, Ketua Umum GP Anshor Yaqut Cholil Qoumas, dan Ipang Wahid tidak masuk kabinet. Padahal mereka ikut berkeringat. Pasang badan bela Jokowi. Ketua PB NU Said Agil Siradj juga sudah menyatakan siap menyetorkan sejumlah nama. Mungkin termasuk namanya sendiri. Sementara Muhammadiyah hanya kebagian satu pos, yakni Menko PMK Muhajir Effendy. Posisi tinggi tapi tanpa portofolio. Keenam, beberapa partai pendukung Jokowi yang tidak lolos parlemen gigit jari. Hanura, PSI, Perindo, PKPI, dan PBB Yusril tidak mendapat jatah. Termasuk dalam posisi ini Partai Demokrat dan PAN. Mereka tidak diajak masuk dalam kabinet. Kemungkinan kalau beruntung mereka akan mendapat jatah wakil menteri, kepala badan, atau jabatan-jabatan lain di luar kabinet. Dari komposisi tersebut Jokowi sudah menunjukkan posisinya. Para partai pendukung --termasuk PDIP-- boleh mengusulkan nama. Jadi tidaknya yang menentukan Jokowi dan orang dekat dalam lingkar kekuasaannya. Apakah mereka puas dan bisa menerima pembagian jatah di kabinet itu? Waktu yang akan berbicara. Satu pesan penting yang perlu diingat. Yang sudah masuk kabinet, jangan terlalu gembira. Yang belum masuk jangan terlalu sedih berlebihan. Apalagi sampai memaki-maki. Toh masih ada reshufle kabinet. Banyak berdoa saja. End

Semoga Prabowo Warisi Takdir Gadjah Mada

Oleh Agi Betha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sulit menuliskan ini tanpa menyebutkan nama. Tapi jika disebut nama, nanti UU ITE yang bekerja. Jadi biarlah ditulis seperti ini, kadang ada disebut nama kadang tidak. PRABOWO INGIN JADI MENHAN Akhir tahun 2016, di sela hingar bingar Pilkada DKI, saya bertemu teman lama yang cukup dekat dengan Pak Prabowo. Dia bercerita bahwa posisi 2 kutub berseberangan antara Presiden Jokowi dengan PS tidak akan terjadi, jika saja Jokowi mau menjadikan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan di kabinetnya. Saya kaget. Mosok PS mau jadi menterinya Pak Jokowi? Bukannya dia ambisi jadi presiden? Ingin menjadi orang nomor 1 di republik ini demi mewujudkan cita-cita besarnya? Teman ini lalu bertutur. Sesudah terpilih menjadi Presiden di 2014, Pak Jokowi pernah menawarkan jabatan menteri kepada Gerindra. Tapi PS tidak tertarik, karena departemen tersebut tidak strategis jika mau berkontribusi mengubah nasib Indonesia ke depan. Prabowo lalu membuat wacana negosiasi sendiri. Yakni jika Presiden Jokowi mau berikan jabatan Menteri Pertahanan kepadanya, maka ia mau bergabung dengan pemerintah. PS ketika itu terus terang nyatakan ingin memegang posisi penting sebagai Menhan, karena peningkatkan mutu pertahanan dan keamanan negara sudah teramat genting dilakukan. Kondisi pertahanan Indonesia sudah sangat rapuh, baik jika harus menghadapi invasi fisik, maupun perang ideologi berupa Proxywar yang masuk dari segala lini. PS tidak mau jabatan menteri basa-basi yang secara politik merupakan cara untuk membungkamnya, karena telah mau masuk ke lingkar kekuasaan. Namun ketika itu Jokowi menolak permintaan Prabowo. Sehingga Gerindra tetap jadi oposisi di periode pertama pemerintahan Jokowi. Jadi soal PS mau jadi Menhan adalah kabar usang. Yang baru justru soal Jokowi yang kini menyetujui. Menjelang Pilpres 2019, kembali santer beredar cerita incumbent kirim utusan ke Hambalang untuk menawarkan posisi lagi ke Prabowo. Kali ini jabatan cawapres yang diimingkan. Secara hitungan kasar, jika saat itu tawaran diterima, maka Jokowi-PS akan jadi paslon tak terkalahkan di Pilpres 2019. Undefeated. History maker. Tapi Prabowo emoh. Dia mengatakan, jika memang mau berbagi kekuasaan demi membenahi negara, kenapa dulu Jokowi tidak mau memberikan porsi Menhan kepadanya. Tawaran sebagai Cawapres itu jelas hanya untuk mendudukkan PS sebagai vote getter dan memuluskan jalannya pilpres. BANYAK YANG MENENTANG Jika di periode ke-2 kekuasaannya kini Jokowi setujui posisi Menteri Pertahanan untuk Prabowo, dipastikan banyak pihak yang menentang. Yaitu kelompok pro-Tiongkok, pro-Amrik, Australia, dan sebagian negara Asean yg terlihat baik di depan kita tapi diam-diam merasa Indonesia sebagai ancaman besar mereka. Di dalam negeri, usulan posisi Menhan kepada PS pasti ditentang oleh pimpinan partai (sudah gatel ingin sebut nama, tapi ingat UU ITE) yang menjadi boneka 9 Naga. Dirijek keras oleh si Fulan, pimpinan partai kesohor yang dikenal sebagai kepanjangan tangan Amrik dan pemilik portal online terkemuka. Juga ditolak oleh senioren jendral merah yang telah mengikat janji masa depan bersama RRC. PS KANTONGI RESTU DARI SIAPA? Kemarin sebuah media mainstream membocorkan bahwa rencana menjadikan PS Menhan, kabarnya belum didiskusikan dengan Surya Paloh, pemilik Nasdem sekaligus anggota koalisi pemerintah. Sementara Bu Mega yang lewat Diplomasi Nasgor sempat memanfaatkan PS untuk menohok kawan koalisinya, ternyata belakangan kembali ke aslinya. Mega tidak dukung PS naik ke Menhan. Ia keukeuh menyodorkan nama kader PDIP TB Hasanuddin, mantan Cagub Jabar. Sebelumnya Menhan memang jatah orangnya Mega. Dalam sejarahnya, Ryamizard memang pernah jadi ajudan Presiden Megawati. Jadi spekulasi umum bahwa Megalah yang mendukung PS jadi Menhan sebagai bagian dari diplomasi Nasgor, terbantahkan. Bahwa Mega nyaman bersekutu dengan PS, ternyata salah besar. Macetnya komunikasi antara Teuku Umar dengan Gondangdia selama lebih dari 1 tahun terakhir, tidak membuat Mega gentar. Retaknya koalisi penguasa tidak membuat Mega membentuk sekutu betulan dengan Prabowo. Mungkin karena polemik soal PDIP yang dulu kerja keras menaikkan Jokowi di 2014, tapi hanya tempati posisi yang kering di kabinet, kini sudah berlalu. Kursi penting yang dulu diisi partai lain yang kadernya memburu rente dengan terus lakukan imprat-improt itu, kini jadi rebutan. Sebentar saja Mega manfaatkan Prabowo untuk gertak sambal ke partai-partai kecil koalisinya, sesudah itu ia kembali labuhkan kesetiaan kepada kepentingannya sendiri. Jika benar bahwa tidak ada partai koalisi penguasa yang restui PS, lalu kenapa Presiden tetap akan jadikan PS Menhan? Jawabannya mungkin hanya Presiden Jokowi sendiri yang tahu. Yang jelas kali ini strategi pak presiden terpilih cukup cerdik. Demi selekasnya menyelamatkan kursi Menhan untuk Prabowo, Jokowi menempatkan PS di salah satu deretan teratas tokoh yg ia temui. Agar posisi itu terkunci. Digembok: Cekrek! Berharap tidak ada tangan kuat yang utak-atik lagi. Ini pertarungan urat syaraf. Maklum, Kemenhan adalah salah satu departemen dengan postur anggaran terbesar di APBN. Salah satu jabatan Triumvirat berdasarkan UUD bila presiden dan wakilnya jatuh di tengah jalan itu, memang terlalu menggiurkan. Jika Menkopolhukam urusi keamanan dalam negri, maka Menhan bertanggungjawab menyelamatkan NKRI agar tetap utuh dari segala jenis gangguan dari luar. Posisi yang seksi secara jumlah anggaran dan sangat kuat dari segi kekuasaan politik. MENGAPA PS INCAR POSISI MENHAN? Soal PS incar posisi Menhan itu, siapa yang tidak kaget? Malah anomali kalau tidak terkejut. Awalnya sayapun begitu. Tiga tahun lalu saya bertanya, "Kok PS yang musuh politik Jokowi malah inginkan posisi sebagai Menteri Pertahanan presiden?" Lalu pelahan jawabanpun datang. Selapis demi selapis membuka wawasan. Pertama saya beberapa kali bertemu Pak Sudrajat, mantan Cagub Jabar yang juga mantan atase pertahanan KBRI di AS dan mantan Dubes RI untuk RRC. Jenderal lulusan Harvard ini adalah narator yang baik, paham geopolitik, dan sangat cerdas. Ia paparkan soal OBOR dan Proxywar yang mengancam Indonesia, bahkan tanpa disadari sudah masuk di tengah kita. Ibarat rebutan kekasih, si pemuda Amerika dan jejaka China nafsu ingin sama-sama kuasai Indonesia, si perawan cantik bahenol nan kaya raya. Intinya Indonesia terancam jadi perawan yang mati di tengah. Berikutnya ramai soal teori Indonesia akan 'dibagi' menjadi 5 negara lewat skenario Barat, China, dan Israel, yang dinarasikan oleh seorang tokoh ekonomi. Kemudian ada kejadian-kejadian pelemahan Ulama dan Islam sebagai agama mayoritas yang dibenturkan dengan pluralisme. Berikutnya adalah intervensi kepada media yang dilakukan secara masif dan pemandulan fungsi pers. Lalu puncaknya Prabowopun ungkapkan bahwa Indonesia terancam bubar pada 2030. PS nekat katakan itu, meski tahu bahwa resikonya ia akan dicemooh. Sejak melihat rentetan peristiwa itulah saya paham kenapa PS ngebet banget ingin jadi Menhan. Dia ingin perjuangkan anggaran pertahanan dan keamanan agar tidak jadi bahan rayahan. Berkali-kali di berbagai diskusi, Prabowo terbuka menyatakan keheranannya. Kenapa anggaran yang sedemikian besar itu tidak mampu membeli alutsista yang diperlukan untuk pertahanan NKRI? Sebagai jenderal lapangan, sebetulnya PS tahu apa yang terjadi, paham jawabannya, dan mengerti apa yang harus dilakukan. Begitu banyak yang harus secepatnya dikerjakan oleh Menhan baru, jika ingin NKRI Harga Mati betul-betul diwujudkan. Jika negara terancam bubar jalan pada tahun 2030, tentunya bukan ujug-ujug terjadi di tahun itu juga. Bagai suatu penyakit mematikan, prosesnya tentu sudah dimulai jauh sebelumnya. Dan saat ini Prabowo berpacu dengan usianya sendiri. Ia tidak muda lagi. Jika tidak lakukan kini, maka belum tentu ada peluang lagi. Target besarnya adalah untuk mengeleminir 'Paradoks Indonesia', yakni negara kaya raya tapi rakyatnya masih banyak yang hidup miskin. Juga demi wujudkan 'Indonesia Menang', dengan cara mandiri pangan, mandiri energi dan mandiri air. Dua itu adalah judul buku PS yang selalu dia bawa dan bagikan ke mana-mana. JANJI PS YANG HARUS DITEPATI Jika benar nanti Indonesia miliki Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, maka keuntungannya adalah rakyat bisa menagih janji-janji kampanyenya. Setidaknya terhadap persoalan yang menjadi wewenang seorang Menhan. Selama ini di Hambalang, di stadion, di lapangan, dimanapun berada, Prabowo selalu menyerukan soal bagaimana selekasnya mengeleminir 'Paradoks Indonesia', yakni negara kaya raya tapi rakyatnya sangat banyak yang hidup miskin. Juga demi wujudkan 'Indonesia Menang', dengan cara mandiri pangan, mandiri energi dan mandiri air. Dua itu adalah judul buku PS yang selalu dia bawa dan bagikan ke mana-mana. Dalam narasi PS, soal Pertahanan Negara adalah pekerjaan menyeluruh. Ketahanan Pangan adalah bagian pokok dari kemampuan pertahanan Bangsa Indonesia. Revolusi Putih atau pembagian susu gratis untuk anak-anak sekolah adalah cita-citanya untuk menghapus stunting. Supaya tidak terjadi lost generation. Di skema Prabowo, setiap keluarga miskin nantinya harus dibantu memiliki hewan unggas sendiri. Kecukupan protein adalah salah satu kunci kecerdasan generasi baru. Ayam atau itik harus dipelihara sendiri, untuk memenuhi kecukupan gizi kaum papa di pelosok. Narasi itulah yang pada 2014 lalu membuat Pak Bondan 'Maknyus' Winarno nyatakan jatuh cinta kepada Prabowo. Katanya hanya Prabowo, capres yang peduli soal gizi rakyat dan miliki program detil soal itu. Kemudian Pak Maknyus menyurati PS, masuk jadi kader Partai Gerindra, bahkan sempat nyaleg. Atas keputusannya itu, Bondan yang juga dikenal sebagai wartawan investigasi senior, sempat melakukan perlawanan keras di twiter kepada para pembullynya. Jejak digitalnya masih tersimpan hingga sekarang. Selain soal perut, Prabowo juga selalu serukan bahwa kebutuhan hakiki yang wajib dimiliki oleh seorang manusia merdeka adalah tanah. Apalagi bumi Indonesia sangat luas, setara dengan puluhan negara Eropa yang disatukan. Jadi sewajarnya tiap keluarga harus memiliki tanah. Meski hanya sepetak, yang penting tanah itu ada rumah untuk dihuni, ada sejengkal lahan bakal ditanami singkong, serumpun sayur, dan menaruh unggas. Menurut Prabowo, cuma sesederhana itulah cita-cita dan arti kemerdekaan bagi jutaan orang miskin tanpa tanah, di bumi Indonesia yang kaya raya gemah ripah loh jinawi ini. Menurut PS, itu semua bisa diwujudkan dengan memakai lahan milik negara yang nganggur, untuk diolah menjadi area produktif. Lahan itu dipinjamkan sementara, agar rakyat miskin mampu menabung sampai terbeli tanahnya sendiri. Maka dalam teorinya, kelak tiap keluarga di Indonesia tidak perlu takut kelaparan meski terjadi invasi dan embargo makanan dari luar. Itulah ketahanan bangsa yang sesungguhnya. Pertahanan negara yang sebenarnya. Apakah soal pangan dan papan itu masuk dalam target yang diurusi seorang Menhan? Secara straight tidak. Tapi definisi secara makro, makna pertahanan adalah kesiapan menghadapi segala bentuk ancaman dari luar. Peperangan fisik maupun pertempuran ideologi. Jadi pemikiran dan eksekusinya tentu harus lintas departemen, tidak dapat dilakukan seorang Menhan. Pertahanan negara baru akan dapat maksimal jika soal stok senjata, peluru, personil, energi, makanan, air, dan kebutuhan pokok dalam negri lainnya tercukupi. Karena upaya Pertahanan dalam arti keadaan darurat peperangan, adalah termasuk menyiapkan seluruh rakyat sipil agar siap menghadapi segala sesuatu dan dampaknya. Teori tentara rakyat, harus jalan pada keadaan seperti itu. Kita tidak mungkin mengajak perut yang lapar dan pikiran yang depresi karena tekanan ekonomi, untuk memikirkan pertahanan. Apalagi melakukan perlawanan. Inilah makna People Power Bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Yang sangat ditakuti oleh negara-negara lain, baik di kawasan jiran maupun oleh negara adikuasa di seberang Lautan Pasifik. Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, kondisi rakyat yang sehat, kemampuan memproduksi sendiri pangan dan energinya, alutsista yang modern, siapa yang akan berani menihilkan Indonesia sebagai kekuatan besar dunia? Itulah kenapa Prabowo ingin jabatan Menhan sepaket dengan posisi Menteri Pertanian. Ia percaya Edhy Prabowo yang dididiknya soal pertanian selama ini dapat tek-tok mengerjakan PR besar ketahanan pangan dan pertahanan negara. Tapi sejauh ini, tampaknya impian PS kembali terjegal. Posisi Mentan hampir dipastikan mental, karena si tangan kuat tidak mau posisi strategis itu lepas ke lawan. Edhy Prabowo boleh jadi terlempar ke posisi Menteri Perikanan dan Kelautan. Prabowo jadi Blasteran Jika PS benar jadi Menhan, maka di dunia medsos ia akan jadi kampret blasteran cebong. Entah namanya jadi Cepret atau apa. Sementara pendukungnya di Pilpres kemarin boleh tetap jadi Kampret mandiri, atau juga ikut jadi blasteran. Namanya saja negara demokrasi, pastilah HAM dihormati. Hak Azasi Manusia, Hak Azasi Membully, maupun Hak Azasi Masabodo, boleh pilih mana suka. Dan konsekuensinya, PS harus bisa menerima dengan ikhlas hati kemauan pendukungnya yang kini tercerai berai, sebagai bagian dari akibat pilihan politiknya. Saya jadi apa..? Saya pilih membantu rakyat yang masih banyak memikirkan bagaimana cara mengisi perut laparnya, sehingga boro-boro mereka paham soal perebutan kursi kekuasan saat ini. Orang lapar harus pikirkan nasi, bukan mikir kursi. Lalu bagaimana soal nasib Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ke depannya? Ya kita doakan saja, semoga dia bisa seperti Patih Gadjah Mada, dimana jabatan Patih juga diartikan sebagai Mentri Utama. Meski bukan jadi raja, tapi Gadjah Mada lebih ngetop dari Hayam Wuruk. Gadjah Mada bekerja tak kenal menyerah. Ia berlayar ke seluruh penjuru negri, berperang menaklukkan musuh, bergerak menyatukan Nusantara, menepati sumpahnya untuk tidak 'menikmati kemewahan' sebelum berhasil menyatukan pulau-pulau dan suku-suku yang terbelah. Gadjah Mada lalu jadi legenda. Patungnya dibuat dan dikoleksi di mana-mana ratusan tahun sesudah ia mangkatpun, setiap orang tahu muka Gadjah Mada, meski belum tentu paham mana wajah Hayam Wuruk yang mengangkat dan mempercayakan jabatan kepada dirinya. Tulisan ini bukan pembelaan kepada PS. Hanya berusaha memahami jalan pikirannya, berdasarkan pengamatan atas apa yang dia ucapkan dan lakukan selama ini. #PikiranYangMerdeka