NASIONAL

H2C Para Buzzer: Ditinggalkan atau Jadi Komisaris?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menilai, aktivitas para buzzer atau pendengung Presiden Joko Widodo saat ini justru merugikan Jokowi sendiri. Karena itulah dia menghimbau para pendengung Jokowi ini untuk lebih positif dalam bersuara. Seperti dilansir CNNIndonesia.com, Jumat (04/10/2019 14:45 WIB), dia melihat dari emosi yang terbangun, emosi yang terbangun dari kondisi yang tercipta itu merugikan. “Jadi yang perlu dibangun emosi positif lah,” kata Moeldoko di Jakarta. Moeldoko merespons tentang aktivitas para pendukung Jokowi beberapa hari belakangan ini. Dua kasus dia soroti, yakni terkait penyebaran informasi ambulans DKI Jakarta yang disebut membawa batu dan bensin saat aksi massa di sekitar Gedung MPR/DPR. Lalu, dari kasus tangkapan layar grup WhatsApp pelajar STM, yang ternyata nomor telepon di grup itu diduga milik anggota Polri. Kedua informasi tersebut dianggap sejumlah pihak telah menyesatkan alias hoaks. Berdasarkan analisa DroneEmprit terkait mobil ambulans DKI Jakarta membawa batu dan bensin, diketahui bahwa pihak pertama yang menyebarkan informasi itu adalah akun-akun yang dikenal kerap 'membela' Jokowi ataupun pemerintah. Mereka antara lain, @OneMurthada, @Paltiwest, @digeeembok, @Dennysiregar7, dan akhirnya juga diunggah oleh akun @TMCPoldaMetro. Setelah ramai 'dilawan', akhirnya Polda Metro mengakui keliru menyebut ambulans DKI bawa batu dan bensin. Sementara itu, sejumlah akun yang mengunggah tangkapan layar grup WA anak STM antara lain, @TheREAL_Abi, dan @OneMurtadha. Namun akun-akun tersebut sudah menghapus unggahannya setelah para pengguna Twitter lainnya mengkritisi isi tangkap layar itu. Moeldoko menyatakan kehadiran buzzer awalnya untuk memperjuangkan dan menjaga marwah pemimpinnya. Namun, bagi Moeldoko, dalam kondisi Pemilu sudah selesai, buzzer sudah tak diperlukan lagi. Menurut mantan panglima TNI itu, yang diperlukan saat ini adalah dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan yang malah bersifat destruktif. “Karena kalau buzzer-buzzer ini selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar, tidak enak di hati. Nah itu lah destruktif dan itu sudah enggak perlu lah. Untuk apa itu?" tuturnya. Moeldoko berharap para buzzer menurunkan semangat yang berlebihan dalam mendukung seorang tokoh idolanya, dalam hal ini Jokowi. Dia juga tak ingin buzzer yang mendukung Jokowi ini justru menyebarkan kebencian. Moeldoko juga telah mengimbau para buzzer untuk menggunakan bahasa yang nyaman dan tak menyakiti pihak lain. Dia mengaku sudah menyampaikan langsung kepada influencer, tokoh-tokoh relawan dan tokoh-tokoh yang lainnya. Mengutip Detik.com, Jum’at (4/10/2019 09:13:18 WIB), analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia Ismail Fahmi menilai, buzzer membuat pemerintah menjadi tak bisa mendengarkan kritik yang disampaikan masyarakat di media sosial. Sebab, menurut Ismail, para buzzer pendukung Jokowi langsung 'menghajar' saat ada kritik. Ismail awalnya menjelaskan soal buzzer yang dipelihara negara. Dia menyebut buzzer negara memelihara buzzer semenjak tahun 2014. “Sekarang, sejak 2014, dalam menghadapi media sosial itu, negara bukan memberikan berita positif, tetapi negara malah menaruh buzzer untuk menghadapi opini. Itulah yang kemudian apa, menyebabkan buntu. Mereka yang mengkritik jadinya seperti buzzer,” kata Ismail. Karena tak mendapatkan tanggapan dari pemerintah, dan pemerintah juga mendengar. Jadi, “Buzzer membereskan aja, ketika ada ini, diberesin ini. Ketika ada sesuatu yang bikin ramai, ditangkal isu lain,” lanjut Ismail. “Kemudian ada satu isu yang pemerintah mau angkat, dia bikin kampanye luar biasa, yang menghalangi langsung dihajar oleh buzzer itu,” imbuh Ismail kepada wartawan, Kamis (3/10/2019). Menurut Ismail, buzzer di media sosial membuat pemerintah tidak bisa mengetahui aspirasi apa yang disampaikan masyarakat melalui media sosial. Dia menilai pemerintah seharusnya membuat sistem yang bisa menampung kritikan masyarakat di media sosial. “Seharusnya tidak ada buzzer di Istana, tidak ada buzzer di oposisi, yang ada adalah rakyat, yang ada adalah publik yang menyampaikan suara di media sosial, menyampaikan kritikan. Kemudian pemerintah mendengarkan big data, mendengarkan sinyal itu,” ucapnya. Moeldoko sendiri menepis anggapan bahwa buzzer di media sosial yang pro-pemerintah 'dikomandani' kantornya. Justru, seperti dikutip Detik.com, Kamis (03 Oktober 2019, 17:23 WIB) Moeldoko menilai para buzzer perlu ditertibkan. “Saya pikir memang perlu (ditertibkan). Ini kan yang mainnya dulu relawan, sekarang juga pendukung fanatik,” ucap Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2019). Menurutnya, para buzzer cenderung tak ingin sosok yang diidolakannya diserang. Tapi, bila itu terjadi, disebut Moeldoko, para buzzer tersebut pasti bereaksi. “Contohnya begini – bukan saya maksudnya – para buzzer itu tidak ingin idolanya diserang, idolanya disakitin. Akhirnya masing-masing bereaksi. Ini memang persoalan kita semua, juga kedua belah pihak, bukan hanya satu pihak. Kedua belah pihak,” ucapnya. Selain itu, dia berpendapat buzzer sebaiknya menggunakan kalimat yang tidak menyerang lawan politik idolanya. “Ya sebenarnya bukan santainya, tapi perlu mencari diksi-diksi yang lebih.... Kan tidak harus menyerang, tidak harus saling menjelekkan, tidak harus saling mengecilkan. Menurut saya sih buzzer-buzzer itu harus ditinggalkanlah, kan pemilu juga udah selesai,” imbuhnya. Moeldoko juga menepis Kantor Staf Presiden (KSP) 'mengomandani' buzzer pendukung Jokowi. KSP, disebutnya, justru mengimbau pendukung Jokowi tidak menyerang lawan politik atau yang berseberangan. “Oh tidak, tidak. Sama sekali kita... justru kita KSP itu mengimbau 'udah kita jangan lagi seperti itu'. Beberapa kali saya sudah ngomongkan, janganlah kita politik yang kita kembangkan itu, kalau saya boleh mengatakan politik kasih sayang,” ujarnya. Kakak Pembina Para buzzer Jokowi ini bekerja secara senyap. Setidaknya itu yang digambarkan Seword.com. “Tim ini memang tidak terlihat. Selain Kakak Pembina dan Presiden, tak ada yang benar-benar tahu komposisi tim ini,” tulis Seword, Kamis (02 Mei 19 pukul 07: 36). Nama-nama yang disebut Seword antara lain: Yusuf Muhammad, Denny Siregar, Abu Janda, Aldi El Kaezzar, Eko Kuntadhi, Habib Think, Salman Faris, Katakita, Info Seputar Presiden, Redaksi Indonesia, Komik Kita, Komik Pinggiran, dan Sewordcom. “Semua datang dari berbagai daerah memenuhi panggilan Kakak Pembina,” ungkap Seword. Meski ditampik Moeldoko, Kakak Pembina yang dimaksud adalah dirinya KSP. Di berbagai grup WA malah disebutkan setidaknya ada 120 Aliansi Gerakan Relawan/Buzzer Jokowi. Jika benar yang mereka ini binaan Istana, tentu saja ada konsekensi ekonominya. Berapa nilai rupiah yang harus dikeluarkan Istana untuk operasional para buzzer ini setiap bulannya? Tak mungkin mereka “bekerja” secara suka rela tanpa bayaran. Tidak mungkin sekelas Denny Siregar dibayar senilai recehan. Ninoy Karundeng saja terima bayaran Rp 3,2 juta/bulan, seperti pengakuannya dalam video “interograsi” yang tersebar luas di grup WA belum lama ini. Apalagi, jika mereka bekerja secara profesional. Dapat dipastikan, bayarannya di atas Rp 5 juta, bahkan Rp 25 juta/bulan. Sebuah angka yang cukup menggiurkan tentunya. Jika beruntung, bisa seperti Kartika Djoemadi, pendiri Jokowi Ahok Social Media Volunteers (JASMEV) yang diluncurkan pada 12 Agustus 2012, diangkat menjadi Komisaris Danareksa pada 27 Oktober 2015, setelah sukses pada Pilpres 2014. Begitu Jokowi resmi menyatakan diri menjadi Capres2014, JASMEV yang tadinya non aktif ini kembali lagi dalam dunia sosial media, dan menyatakan akan membantu Jokowi bersama puluhan ribu relawan JASMEV di seluruh Indonesia dan luar negeri. Tujuannya memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014. Karena pertarungan Pilpres 2014 tidak mengusung Ahok sebagai wakil Jokowi, membuat JASMEV mengubah akronimnya menjadi Jokowi Advanced Social Media Volunteers. Bagaimana dengan buzzer Jokowi untuk Pilpres 2019 setelah mengulang kemenangan? Jika Jokowi tidak lupa, pasti ada yang diangkat seperti Kartika. Semoga tidak H2C alitas Harap-Harap Cemas! ***

Mungkinkah Jokowi Berantas Korupsi?

Sistem pemilu, yang sejauh ini muncul sebagai mesin memproduksi korupsi harus dibenahi. Puluhan, bahkan ratusan miliyar rupiah yang dikeluarkan setiap kali pemilu digelar. Tentu saja untuk meraih jabatan politis ini, sangat disukai oleh pialang-pialang kekuasaan. Sungguh ini tidak bisa diterima akal sehat. Memang pialang menyukainya, karena itulah cara mereka mengendalikan pejabat, dan kekuasaan. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Pak Jokowi, Presiden yang mengawali karir politik sebagai Walikota Solo ini, oleh sebagian kalangan terlihat unggul dalam pembangunan infrastruktur. Selama memerintah Solo, pria ini dianugrahi penghargaan tokoh anti korupsi. Tindakan-tindakan pemerintahan macam apakah yang membawa dirinya menerima penghargaan? Hanya dirinya dan pemberi penghargaan yang tahu. Sebagai tokoh antikorupsi, harusnya Pak Jokowi dapat mengikuti jalan berani yang telah dilakukan oleh Martin Vizcara, Presiden Peru. Martin menggenggam jabatan Presiden Peru menggantikan Pedro Pablo Kuczynki menyusul skandal suap yang menimpa dirinya. Sebelum menjadi wakil presiden, Martin, disini terlihat mirip Pak Jokowi menjabat sebagai Gubernur Moquequa. Salah satu provinsi di Selatan Peru. Juga seperti Pak Jokowi, selama Martin memerintah di Moquequa. Ketika itu Martin dikenal memiliki reputasi sebagai orang yang sangat konsisten dalam menerapkan good governanace. Reputasi itu pula yang menjadi modal terbesar dirinya. Modal itulah yang membuat Pedro Pablo jatuh hati kepada Martin. Perdo lalu memintanya untuk menjadi wakil presiden, dan membawanya sukses memasuki pemilu presiden tahun 2016. Pasangan Perdo-Martin sukses terpilih pada pemilu itu. Posisinya sebagai wakil presiden, tidak memungkinkan Martin mengaktualisasikan gagasan-gagasannya. Tetapi tidak setelah dirinya menjadi Presiden. Martin mengambil langkah dengan resiko besar memerangi korupsi. Konsisten Mungkinkan Pak Jokowi, pria penerima penghargaan anti korupsi, yang akan dilantik untuk jabatan presiden kedua kalinya ini mengikuti langkah Martin? Sikap yang paling menonjol dari Martin adalah tetap konsisten ditengah pemerintahan yang sungguh-sungguh terbelah. Pak Jokowi, sejauh ini tidak berada dalam pemerintahan yang terbelah. DPR – minus Pan dan PKS, boleh dikatakan all the presiden team. Malah the presiden dream team. PAN dan PKS hampir pasti tak bakal aneh-aneh. Gerindra toh terlihat bakal jinak. Lalu masih ada stok benteng lain di luar gedung DPR yang sangat dahsyat. Para Buzzer adalah kekuatan lain yang sangat dahsyat itu. Akankah landscap dan semua modal politik tak tertandingi, yang kini dimiliki dan melingkarinya itu membawa Jokowi pada titik “main sikat” seperti Martin lakukan di Peru? Sulit menemukan jawaban kongklusif. Tetapi apa yang ditakuti Pak Jokowi dari parlemen yang telah tersatukan, terunifikasi dengan pemerintah? Toh politisi-politisi mutakhir selalu terlihat tidak mengayuh tindak-tanduk politiknya dengan sikap hitam-putih. Mereka selalu cair, untuk tak mengatakan abu-abu. Kenyataan pemerintahan seperti itu, dalam batas yang nyata berbeda dengan yangh Martin hadapi di Peru. Martin menemukan dirinya berada dalam pemerintahan yang terbelah. Partainya Keiko Fujimori mendominasi Parlemen Peru, dan Keiko sendiri menjadi ketuanya. Keiko sang Ketua National Congress adalah pesaing Martin bersama Pedro pada pemilu 2016. Mungkin saja ia memiliki ambisi menenggelamkan Martin. Namun demikian Martin tetap konsisten. Bagaimana dengan Pak Jokowi? Akankah sama konsistennya dengan Martin? Entahlah. Bila ya, maka Pak Jokowi mungkin akan membawa dirinya pada langkah-langkah, tidak usah main sikat, tetapi reformatif yang tertata dalam pertempuran melawan korupsi. Pak Jokowi tidak usah banyak bicara. Tetapi tidak usah juga menyembunyikan gagasan anti korupsinya. Kalau gagasan itu memang ada. Tindakan pemerintahannya di Solo yang membawa dirinya memperoleh penghargaan, harus terlihat lebih jelas dalam tata kelola birokrasi lima tahun ke dapan. Martin di Peru. Presiden yang semasa memimpin Provinsi Moquequa di Peru Selatan, menerapkan good and clean government. Jelas sekali komitmen dan konsistensinya. Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden menggantikan Pedro Pablo Kuczynski yang diimpeach, Martin menunjukan konsistensi dan kelasnya. “Peru come first, and we must leave behind squabbles”. Begitulah isi pidato Martin yang menghebohkan, dan membuat gegap gempita rakyatnya. “Saya akan bekerja mengembalikan kepercayaan kepada institusi-institusi publik, “kata Martin dalam pidatonya itu. Itu karena Martin tahu masalah besar yang melilit politik dan birokrasi. Sama dengan Indonesia. Masalah terbesar bangsa Indonesia adalah korupsi. Dalam penilaian Martin, korupsi telah mewabah sedemikian gilanya. Korupsi menggurita dalam birokrasi sejak pemerintahan Alberto Fujimori, Presiden Peru periode 1991-2000. Presiden Fujimori terpaksa diimpeach, dan akhirnya dipenjara karena berbagai skandal korupsi. Selangkah Saja Seperti itulah korupsi dimuka bumi ini. Dulu maupun sekarang tidak ada bedanya. Tidak di Indonesia, tidak juga juga di Peru. Dimana-mana modusnya tidak pernah jauh dari kesepakatan-kesepakatan kotor. Suap-menyuap, penyalah-gunaan wewenang, dan kick back proyek. Pedro, presiden yang digantikan Martin misalnya, dituduh menerima ratusan ribu dolar Amerika Serikat dari Odebrecht, perusahaan konsultan Brasil yang mengerjakan sejumlah proyek di Peru. Martin mungkin terlalu progresif untuk ukuran sebuah negara yang menderita korupsi parah. Untuk meyingkirkan hambatan-hambatan politik yang mungkin menghadang langkah-langkah reformatifnya, ia pada kesempatan pertama meminta pemilu dipercepat dari seharusnya 2021 menjadi Januari 2020. Setelah menggenggam jabatan presiden, Martin melangkah dengan sangat progresif. Martin bahkan mengintroduksi larangan terhadap politisi korup mengikuti kontestasi itu. Gagasan ini dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Peru yang hendak diubah. Langkah ekstrim ini, jelas tidak perlu dilakukan Pak Jokowi. Toh pemilu sudah usai dengan segala duka dan pilu yang menyertainya. Ada politisi di legislative dan eksekutif yang telah berbagai level untuk tertangkap KPK, karena melakukan korupsi. Tidak usah jadi perangsang mengadopsi langkah dan tindakan tipikal Martin di Peru. Tidak usah Pak Jokowi. Tetapi bukan itu masalahnya. Pak Jokowi perlu maju selangkah lagi saja. Mengenali dan memetakan secara jelas dan terukur, penyebab dan cara berkelahi dengan korupsi sejauh ini. Itu saja dulu. Selalu saja ada pandangan yang berbeda. Persis seperti pandangan-pandangan undang-undang KPK Perubahan. Ditambah yang pro Perpu atau anti Perpu. Ada juga yang pro korupsi dan anti korupsi. Itu jelas pasti ada. Namun itu biasa saja. Tetapi mengidentiikasi kenyataan itu saja tidak cukup. Bukan itu cara berpikirnya. Yang wajar dilakukan Pak Jokowi adalah mengenal. Sekali lagi mengenal lebih dalam. Lebih jernih pada setiap sudut tersembunyi dan semua sayap diskursus penanganan korupsi. Pada titik itu, Pak Jokowi perlu membuka gudang politik “minyak untuk pangan” yang diterapkan PBB di Irak. Program ini bermotif mengurung mendiang Saddam Husen, yang Amerika identifikasi sebagai manusia paling berbahaya dan korup pada masanya itu. Tetapi apa hasilnya? Toh, rakyat tetap menderita, bahkan sesudah Sadam pergi untuk selamanya. Nyatanya program ini menyediakan begitu banyak lubang korup, yang dinikmati pialang-pialang kekuasan dalam dunia politik ekonomi, khususnya minyak Internasional. Hingga saat ini korupsi malah mengila d Irak. Rakyat terus terlilit penderitaan diberbagai sudut kehidupan. Korup tetapi berbaju antikorupsi. Begitulah yang dapat digambarkan dari program “minyak untuk pangan” di Irak pada masa Saddam Husen. Inilah yang terlihat tak sepenuhnya dikenali Martin di Peru. Salah satu kenyataan inilah yang mengakibatkan, , National Congres yang didominasi partai oposisi pimpinan Keiko Fujimori, menolak gagasannya. Martin memang tidak hilang akal. Dia membawa gagasannya itu ke referendum khas Chaves di Venezuela. Korupsi yang menurutnya menggurita di negerinya boleh saja disajikan sebagai penyebab paling utama anggota parlemen bersatu menolak gagasannya. Tetapi parlemen melihat sisi lain dari gagasannya itu. Apa? Mengapa harus gunakan referendum? Siapa yang menjamin referendum itu tidak sama tujuannya dengan yang digunakan Chaves, bahkan Alberto Fujimori? Bukankah Fujimori juga hendak mengubah konstitusi melalui referendum? Dan konstitusi yang direferendumkan itu memungkinkan dirinya menjadi presiden untuk ketiga kalinya Pak Jokowi karena itu, harus memiliki pengetahuan, gagasan dan langkah-langkah pemberantasan korupsi dirancang secara tepat. Ini akan ditentukan selamanya oleh kemauan berkelas Pak Jokowi memaknai penghargaan antikorupsi yang disandangnya. Pak Jokowi tidak perlu memberangus politisi, seperti yang dilakukan Martin di Peru. Juga tidak perlu mengubah Undang-Undang Dasar untuk memungkinkan dirinya maju lagi pada pemilu presiden berikutnya. Itu juga tidak perlu Pak Jokowi. Toh masa jabatan keduanya saja belum dimulai. Sistem pemilu, yang sejauh ini muncul sebagai mesin produksi korupsi harus dibenahi. Puluhan, bahkan ratusan miliyar rupiah yang dikeluarkan setiap kali pemilu digelar. Tentu saja untuk meraih jabatan politis ini, sangat disukai oleh pialang-pialang kekuasaan. Sungguh ini tidak bisa diterima akal sehat. Memang pialang menyukainya, karena itulah cara mereka mengendalikan pejabat, dan kekuasaan. Bila Pak Jokowi dapat, tentu berdasarkan data ternalar. Memetakan fenomena korupsi dalam politik pintu berputar, itu akan jadi point paling hebat. Politik pintu berputar, tidak lain selain sebagai cara menciptakan dan melanggengkan klik-klik intitusi. Wujud politik pintu berputas ini adalah pejabat yang telah pergi dari satu institusi, tetapi atas nama menjaga relasi, semangat institusi, mereka bisa masuk dan keluar institusi itu sesuka hati. Mereka juga mendapat akses, mendapat informasi, bahkan kekebalan. Apa sesudah itu? Korupsi tidak surut. Mungkinkah semua itu dilakukan Pak Jokowi? Itu soalnya. Respon merangkak terhadap berbagai peristiwa mematikan, mulai dari bencana Lombok, Sulteng, kematian aneh sekitar 700 petugas PPS pemilu. Belakangan bencana Ambon dan kerusuhan mematikan di Wamena Papua, memungkinkan setiap orang memilih untuk tidak berharap. Tetapi siapa tahu. Mungkin ya, mungkin tidak. Sejarah akan bicara pada wakutunya kelek. Penulias adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Sultan Khairun Ternate

Bernegara dengan Perpu

Undang-undang KPK perubahan, sejauh ini, sama-sekali tidak menghapuskan wewenang penyidikan oleh KPK. Izin penyadapan juga sama sekali tidak dapat dianalogkan sebagai telah penghapusan wewenang KPK untuk melakukan penyadapan. Tidak seperti itu. Dengan demikian, tidak tersedia alasan secara materil untuk Presiden penerbitan Perpu. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Konstitusi membekali Presiden dengan kewenangan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sifat kewenangan ini khas. Presiden dapat, dengan atau tanpa alasan yang ternalar menerbitkan Perpu. Betu-betul khas, karena rumus hukum tentang syarat sahnya penggunaan kewenangan ini sangat elastis. Dimensinya sangat jamak. Konstitusi memang menyodorkan syarat bagi diterbitkannya Perpu. Syaratnya adalah harus ada hal-ihwal kegentingan yang memaksa. Tetapi keadaan hukum macam apa yang dapat dikategori hal-ihwal kegentingan yang memaksa? Sampai disini serba tidak jelas. Tidak juga spesifik. Praktis syarat “hal-ihwal kegentingan yang memaksa itu” sebagaimana dalam pasal 22 UUD 1945 tidak menunjuk satu atau serangkaian keadaan yang spesifik, faktual dan nyata. Keadaan atau hal-ihwal kegentingan yang memaksa itu bisa bersifat imajiner, setidaknya potensial. Tidak mesti ada secara nyata. Yang penting presiden secara subyektif menganggap – bersifat hipotesis – hal-ihwal kegentingan yang memaksa itu ada. Nyata-nyata ada atau tidak, itu tidak penting. Tetapi apapun itu, konstitusi mewajibkan Presiden harus menjelaskan level validitas “hal ihwal kegentingan yang memaksa” itu kepada DPR untuk mendapat cap persetujuan. Ini imperative sifatnya. Wajib dan mutlak adanya. Dititik ini manuver politik kedua belah pihak, Presiden dan DPR menemukan relefansinya. Ini bukan soal benar dan salah. Sama sekali bukan. Ini soal keterampilan menundukan, menggoda, membawa lawan ke sudut yang diinginkan. Cermat dan Jernih Penerbitan Perpu itu wewnang Presiden. Wewenang ini jelas diperlukan. Tetapi karena syarat materilnya tidak jelas, maka pada kesempatan lain wewenang ini, kalau tidak arif, tidak bijak, dapat digunakan untuk memperbesar wewenang. Bahkan bisa saja untuk meruntuhkan demokrasi. Itu sebabnya wewenang ini harus dikerangkakan. Setidaknya dipertalikan pada norma non hukum. Norma non hukum itu misalnya kearifan lebih dari sekadarnya. Norma non hukum itu diperlukan karena Presiden, terlepas dari siapapun orangnya. Menyandang nama presiden itu bukan semata-mata hanya karena dipilih. Entah siapa yang mendorongnya, dia dipilih karena dinilai memiliki kemampuan di atas rata-rata calon presiden yang tersedia. Itu sebabnya harus bisa memandu, mengarahkan, mengadaptasikan gagasan yang bekembang ditengah masyarakat dengan nilai-nilai hebat dalam bangsanya. Dalam kasus Perpu KPK. Kian hari kian digemakan oleh beberapa kelompok untuk segera diterbitkan oleh Presiden misalnya. Tidak bisa ditimbang dengan timbangan ya atau tidak. Dapat dimakzulkan atau tidak. Tidak bisa ditimbang dengan jalan fikiran menerbitkan Perpu pembatalan undang-undang KPK sama dengan pro rakyat, dan anti korupsi. Sebaliknya, Presiden tidak menerbitkan Perpu sama dengan pro kepada korupsi. Juga tidak. Pastinya tidak sesederhana itu. Presiden dalam konteks itu perlu memasuki soal-soal berikut. Pertama, yang harus ditimbang oleh Presiden adalah level rasionalitas dibalik suara-suara yang saling menyangkal itu. Level rasionalitas harus dikerangkakan ke dalam kepentingan bernegara secara sehat. Pada level ini Presiden harus tahu bahwa korupsi sedang menggurita di tubuh politik bangsa besar ini. Kemarin KPK menangkap Bupati Lampung Utara, dan beberapa orang dalam urusan suap menyuap. Keberhasilan penangkapan ini berkat penyadapan. Penyadapan kini menjadi salah satu instrumen paling ampuh dalam pertempuran melawan korupsi. Kedua, dalam konteks itu, Presiden perlu menentukan dengan jernih ujung hukum penyadapan. Misalnya, apakah pejabat yang tertangkap tangan menerima suap harus dipidana atau pada kesempatan pertama mengembalikan seluruh uang suap. Tidak sampai disitu saja. Pejabat tersebut serta-merta diberhentikan dari jabatan, dan wajib melakukan kerja sosial, tanpa harus dipidana. Ketiga, apa argumentasi demokrasi dibalik status KPK sebagai organ non pemerintah? Dan KPK berada diluar wewenang Presiden untuk mengaturnya? Presiden juga perlu tahu bahwa demokrasi tidak memungkinkannya. Mengurangi demokrasi demi pemberantasan korupsi, bukan tak bisa. Tetapi Presiden perlu memasuki sejarah pemberantasan korupsi lebih dalam. Sejarah menunjukan dengan ketepatan tak diragukan bahwa korupsi juga dipakai sebagai senjata untuk mematikan lawan politik. Tidak mungkin cara seperti ini dinilai sebagai cara yang masuk akal. Sebab ini sama dengan memperbesar skala korupsi. Dalam kenyataannya, tidak ada keadaan yang menunjukan telah terjadi kekosongan hukum dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Semua hukum pemberantasan korupsi positi berlaku. Organ pemberantasan korupsi seperti KPK, Polisi dan Jaksa tetap saja eksis. Undang-undang KPK perubahan, sejauh ini, sama-sekali tidak menghapuskan wewenang penyidikan oleh KPK. Izin penyadapan juga sama sekali tidak dapat dianalogkan sebagai telah penghapusan wewenang KPK untuk melakukan penyadapan. Tidak seperti itu. Dengan demikian, tidak tersedia alasan secara materil untuk Presiden penerbitan Perpu. Lebih dari semua itu, Presiden harus lebih jernih mengenal fenomena demontrasi. Demo kini terlihat mulai diandalkan sebagai sarana untuk menciptakan kondisi hal-ihwal kegentingan yang memaksa. Sebagai jalan yang sah menggerakan wewenang Presiden untuk penerbitan Perpu. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota oleh DPRD, diterbitkan setelah Presiden didemo. Cukup ramai demonstrasi diberbagai daerah agar Gubernur, Bupati dan Walikota tetap dipilih secara lansung. Macam-macam argumennya ketika itu. Harus Peka Begitukah pemerintahan yang demokratis dan berdasar hukum dikelola Pak Presiden? Pasti bukan begitu. Malah tidak juga seperti itu. Fenomena demo sebagai mesin penyedia hal-ihwal kegentingan yang memaksa, justru bisa memukul mundur, bahkan menenggelamkan demokrasi. Memang suara Perpu KPK kali ini datang dari mahasiswa, dan beberapa kelompok di luar kekuasaan. Tetapi bagaimana bila, misalnya suatu saat Presiden memiliki gagasan tertentu. Tetapi pengoperasianya memerlukan legalisasi hokum. Sementara hukum yang diperlukan itu belum tersedia? Bagaimana pula bila, dengan cara yang rumit, seperti demo dipakai untuk menyediakan hal ihwal kegentingan yang memaksa? Padahal terdapat target tersembunyi dibalik gagasan itu. Misalnya memperbesar, dalam arti menambah wewenang Presiden? Bahaya, tentu saja. Pendukung demokrasi, bila mungkin, dapat menyusuri lorong-lorong sejarah politik yang menyediakan begitu banyak fakta perubahan pemerintahan demokratis ke fasis. Adolf Hitler memasuki kekuasaan, yang kelak menghebohkan dunia. Tidak melalui kudeta. Hitler memasuki kekuasaan melalui pemilu. Kepopulerannya membawa dirinya memasuki kekuasaan. Tokoh-tokoh politik melihat dirinya sebagai alternatif pemecahan situasi pelik. Diam-diam tokoh-tokoh yang telah frustrasi terhadap keadaan faktual, membangun keyakinan bahwa situasi rumit seperti ini hanya dapat dipecahkan, dengan cara memunculkan seseorang yang memiliki popularitas sanagat tinggi. Hitler masuk kategori itu. Diam-diam mereka, para tokoh ini berharap jangka waktu dalam dua tiga bulan Hitler bisa dikendalikan. Hitler dapat dibawa ke sudut yang mereka rancang. Nyatanya tidak bisa. Hitler tidak bisa dikendalikan, dan dituntun ke rencana mereka. Apa yang terjadi sesudahnya? Jerman terjerembab ke dalam fasisme. Demokrasi jadi hancur berantakan. Demokrasi sama sekali bukan soal mayoritas. Demokrasi itu soal keadilan, soal membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan hukum yang beradab. Yang memiliki daya dorong membuat kekuasaan mengerti harkat dan martabat manusia. Tidak lebih dari itu. Demokrasi bukan soal suara nyaring, yang memekik telinga. Bukan. Bahaya betul bila demokrasi dipertalikan hanya pada suara nyaring. Venezuela jatuh ke krisis berkepanjangan yang semakin sulit menemukan jalan keluarnya hingga saat ini. Karena mempertalikan demokrasi hanya pada suara nyaring. Chaves dengan Chavistanya menelurkan referendum mengubah konstitusi. Berhasil. Konstitusi diubah. Chaves dengan konstitusi barunya itu memiliki kesempatan maju lagi sebagai calon presiden. Tetapi referendum itu teridentifikasi berjarak sangat jauh dari jujur. Seperti biasa hasilnya tetap diterima. Demokrasi mengharuskannya. Dan konstitusipun diubah. Chaves dapat mencalonkan diri lagi. Apa yang terjadi sesudahnya? Venezuela jatuh semakin dalam ke berbagai krisis hingga saat ini. Nicolas Maduro, penerus Chaves pun, masih terlilit dengan masalah, terutama ekonomi yang diwariskan Chaves. Apa point pentingnya? Sarana konstitusi dan demokrasi, selalu mungkin bisa dimanipulasi. Apalagi “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai dasar legal penerbitan Perpu sangat elastis. Demokrasi dan hukum bukan tanpa cacat, walau cacatnya tidak mudah untuk dikenali. Tetapi bukan tak bisa dikenali. Membangun negara berdasarkan suara nyaring ditengah masyarakat, dalam kasus-kasus di atas, jelas mengandung bahaya. Mayoritas berdasarkan suara-suara yangterekspos, tidak selamanya berbuah kebaikan. Venezuela tak sendirian dalam kasus ini. Chilie pada masa Alende misalnya, juga mengalami hal yang sama. Pemerintahan sosialisnya, dengan demokrasi relatifnya menemui kebangkrutan karena didemo sepanjang hari. Alende dituduh menyemai dan menyebarkan komunisme. Anak-anak yang lahir, menurut propaganda oposisi, akan dijauhkan dari agama. Ibu-ibu termakan propaganda itu. Sebagian rakyat lalu menandai pemerintahan Alende sebagai monster. Alende tidak boleh dibiarkan terus memerintah Chilie. Pemerintahannya harus diakhiri. Demonstrasi tak berkesudahan dipanggil untuk memasuki arena politik menantang Alende. Demonstrasi baru berakhir setelah Alende tertembak di Istana kepresidenan. Jenderal Pinochet, seorang militer, kabarnya mendapat lampu hijau dari Amerika. Entah menjadi komponen utama dalam oposisi itu atau tidak, namun Pinochet memasuki kekuasaan. Pinochet diangkat menjadi presiden menggantikan Alende. Demokrasi bangkrut, dan berakhir dengan pahit. DPR, saya cukup yakin sangat mengetahui betul bagaimana suara-suara nyaring yang menggema di pertengahan tahun 1959. Hasilnya adalah Dekrit Presiden. Suara-suara nyaring juga menggema pada tahun 1966. Hasilnya relatif sama. Indonesia pun terkapar didasar demokrasi. Kondisi seperti tahun 1959 dan 1966 itukah yang diimpikan bangsa saat ini? DPR tidak usah memanggil pemakzulan. Tetapi perlu membunyikan alarm lain. Tentu saja politis, agar Perpu tidak tersaji sebagai hal yang biasa. DPR juga harus mengasah kepekaannya. DPR harus dapat memberi kepastian bahwa Presiden tidak mengandalkan wewenang istimewasnya itu dalam mengelola negara. Toh UUD 1945 telah membekali Presiden dalam urusan mengatur negara. Misalnya, dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Instruksi Presiden. Betul wewenang ini diperlukan. Tetapi sesuai sifatnya, wewenang tersebut harus digunakan dan dikerangkakan pada keadaan yang sungguh-sungguh memerlukannya. Kedaan yang sungguh-sungguh memerlukan itu, dapat diukur berdasarkan praktik bernegara yang masuk akal. Pada kondisi yang masuk akal itulah Presiden perlu memecahkannya, dengan cara memasuki gudang wewenang istimewanya, yaitu dengan menerbitkan Perpu. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Anjing Penggonggong Istana dan Pak Jenderal Moeldoko

Dua skandal terakhir, hasil karya para penggonggong ini, tentu saja menjadi bagian dari upaya membela Jokowi. Mereka sekaligus juga membusukkan lawan politiknya Jokowi. Sekali lagi, mereka tidak peduli walau harus menebar, memproduksi ujaran kebencian, hoax, dan fitnah. Kendati yang difitnah adalah anak-anak STM sekalipun! Oleh Edy Mulyadi Jakarta, FNN - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membuat pernyataan jujur dan mengejutkan. Dia bilang, istana tidak lagi memerlukan buzzer alias para penggonggong. Pada bagian lain, pensiunan jenderal bintang empat ini mengaku sudah menemui sejumlah buzzer. Karena menggonggong adalah perilaku anjing, jadi saya menyebut mereka, maaf, para anjing penggonggong berpengaruh. Disebut berpengaruh karena para binatang, eh manusia ini punya banyak follower di akun media social (medsos) masing-masing. Pada pertemuan tersebut, Moeldoko mengaku sudah meminta para buzzer Jokowi bersifat lebih dewasa. Mereka juga diminta tidak emosional ketika merespons sesuatu hal. Namun, katanya lagi, terkadang imbauan tadi sulit dipraktikkan karena sudah terpolarisasi sejak Pilpres lalu. Sampai di sini kita menghargai kejujuran Moeldoko soal para penggonggong. Namun aksi 'lempar handuk' ala Moeldoko terhadap sepak terbang para penggonggong Istana jelas menggelikan. Dia pikir rakyat NKRI terlalu dungu sehingga bisa dikibulin dan percaya dengan dalih yang dia sodorkan. Lain halnya jika mantan Panglima TNI ini bicara dengan anak-anak TK. Mungkin saja mereka dipercaya. Sulit Menampik Bukti Istana kian kerepotan menampik keberadaan dan polah para penggonggong. Terbitnya laporan penelitian karya Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford benar-benar membungkam Istana. Laporan seru itu membuat istana seperti kena sariawan. Bertajuk ' The Global Disinformation Order. 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation' atau ' Orde Disinformasi Global. Kira-kira Indonesianya begini “Informasi Global tentang Manipulasi Media Sosial Terorganisir 2019”. Sejatinya banyak pihak yang jauh-jauh hari sudah menduga kalau Istana memelihara banyak anjing penggonggong. Diduga jumlahnya bisa ratusan, bahkan mungkin juga ribuan. Masing masing dari mereka punya akun yang puluhan sampai ratusan. Ciri utama para penggonggong itu adalah, memuji-muji Jokowi setinggi langit. Jokowi seperti seorang dewa yang tanpa cela di mata mereka. Pada saat yang sama, mereka beramai-ramai membantai lawan politik Presiden dan atau pengeritiknya tanpa ampun. Untuk keperluan memenuhio syahwatnya itu, anjing-anjing penggonggong tidak segan-segan menebar fitnah, ujaran kebencian, dan hoax. Aksi tebar fitnah, ujaran kebencian, dan hoax mereka lakukan dengan sangat massif dan berkelanjutan. Sambung-menyambung, tak ada henti-hentinya. Mereka terus-menerus membantai lawan Jokoiwi itu sampai ada perintah berhenti dari komandan atau yang mereka sebut sebagai 'kakak pembina'. Itulah sebabnya banyak kalangan menilai anjing-anjing penggonggong tersebut sudah pada tingkatan merusak demokrasi. Dua teranyar para buzzer tadi adalah penyebaran hoax dan fitnah terhadap ambulans milik Pemprov DKI Jakarta. Mereka mengatakan ambulans milik Pemda DKI Jakarta membawa batu dan bensin saat aksi massa di sekitar Gedung MPR/DPR. Fitnah dan hoax lainnya adalah, tangkapan layar grup WhatsApp pelajar STM yang seolah-olah mereka dijanjikan bayaran pihak tertentu. Namun setelah ditelusuri, ternyata nomor-nomor telepon di grup itu diduga milik anggota Polri. Salah satu nomor telepon di grup WA itu punya tagihan bulanan hingga Rp 4 juta lebih. Ngomong-ngomong, anak STM mana yang punya tagihan telepon Rp 4 juta lebih sebulan, ya? Dua skandal terakhir, hasil karya para penggonggong ini, tentu saja menjadi bagian dari upaya membela Jokowi. Mereka sekaligus juga membusukkan lawan politiknya Jokowi. Sekali lagi, mereka tidak peduli walau harus menebar, memproduksi ujaran kebencian, hoax, dan fitnah. Kendati yang difitnah adalah anak-anak STM sekalipun! Tokoh nasional dan juga begawan ekonomi Rizal Ramli adalah satu diantara yang sangat terganggu dengan keberadaan para buzzer Istana ini. September tahun silam dia bahkan sudah mengingatkan agar Jokowi. Harapannya agar Jokowi menghentikan atau setidaknya menertibkan para buzzernya. Menurut RR, begitu Rizal Ramli biasa disapa, apa yang dilakukan para penggonggong benar-benar merusak demokrasi. Demokrasi yang seharusnya membuka ruang bagi perbedaan pendapat. Sayangnya, di tangan Jokowi dan para penggonggongnya, domokrasi berubah jadi merusak dan menghancurkan. Menyimpan Bangkai Tentu saja, Istana (terpaksa) bolak-balik membantah tudingan tadi. Bahkan dengan mimik tanpa dosa, Jokowi meminta rakyat Indonesia agar tidak membuat dan menyebar hoax. Dia juga mengimbau rakyat tidak termakan hoax yang beredar di dunia maya. Tidak sampai di situ, Polisi juga gencar meneriakkan buruknya hoax. Aparat berseragam cokelat yang sering dijuluki para demonstran dengan wercok alias wereng coklat ini, rajin menangkapi pegiat medsos yang dianggap menebar hoax dan atau ujaran kebencian. Katanya dalam rangka menegakkan hukan dan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya, berkali-kali orang-orang yang dicokok Polisi adalah mereka yang kritis terhadap rezim berkuasa. Sementara para penggonggong yang justru terbukti jauh lebih aktif dan massif menebar hoax, fitnah, dan ujaran kebencian tetap aman sejahtera sentosa. Serapi-rapinya menutupi bangkai akhirnya akan tercium juga baunya. Begitu kata pepatah bijak orang tua-tua di kompong. Hal ini pula yang terjadi dengan fenomena anjing-anjing penggonggong Istana. Pernyataan Moeldoko bahwa Istana sudah tidak membutuhkan para buzzer adalah konfirmasi yang sangat sempurna atas sinyalemen dan kritik banyak pihak seputar para anjing penggonggong ini. Suka tidak suka, pernyataan Moeldoko mengkonfirmasi beberapa hal, antara lain: Pertama, selama ini Istana punya dan memelihara para anjing penggonggong. Kedua, selama ini Istana bisa dan biasa memfitnah serta menebar kebencian. Memfitnah dan memproduksi hoax lewat para anjing penggonggongnya rupanya merupakan hal biasa bagi Istana. Ketiga, selama ini Istana terbukti menjadi raja munafik negeri ini. Sibuk berteriak-teriak agar rakyat jangan ikut-ikutan menebar hoax dan fitnah di medsos. Ternyata justru Istana adalah produsen dan penyebar hoax yang paling sempurna. Keempat, selama ini Polisi berlagak budek dan picek kalau menyangkut para anjing penggonggong Istana. Walau mereka menebar fitnah dan hoax, walau sudah dilaporkan, tetap sama sekali tidak disentuh oleh hukum. Mereka seperti mendapatkan perlindungan. Penolakan polisi memproses laporan terhadap Denny Siregar yang menebar fitnah terhadap ambulans milik Pemprov DKI adalah contoh nyata. Semakin sempurna juga wercok menjadi bagian dari penjaga dan pelindung anjung penggonggong buzzur demi kekuasaan. Kelima, Permadi Arya, Denny Siregar, Eko Kunthadi, MoertadhoOne, Seword, dan masih banyak yang lain adalah sedikit contoh dari anjing-anjing penggonggong Istana yang kebal hokum. Mereka sangat kebal hukum di eranya rezim Jokowi. Keenam, pasal-pasal karet undang-undang ITE yang sangar dan sadis itu, menjadi omong kosong. Saat berhadapan dengan para anjing penggonggong Istana undang-undang ITE menjadi macan ompong. Undang-undang ITE hanya ajam ke oposan dan para pengritik rezim.. Ketujuh, Istana menganut prinsip habis manis sepah dibuang. Ucapan Moeldoko dengan sangat terang-benderang bisa dimaknai sebagai 'kini saatnya membuang para anjing penggonggong.' Kedelepan, anjing-anjing penggonggong kini (sebentar lagi) jadi pengangguran. Mereka tidak bisa makan karena uang gonggongan dihentikan. Kesembilan, ini pon yang tak kalah penting, yaitu rasain luh!!! Penulis adalah Wartawan Senior

Koalisi Jokowi-Prabowo Subianto dan Gagasan Negara Kuat!

Jika membaca pandangan dan hati nurani Presiden Joko Widodo maupun Jenderal Prabowo Subianto sebagai pemimpin bangsa ini, sebenarnya mau menunjukkan ada optimisme dibalik tekanan liberal. Bahwa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman penetrasi kapital, hegemoni politik negara lain. Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Presiden Terpilih Joko Widodo dalam Visi Indoensia 2019-2024 menyatakan bahwa Indoneia menjadi negara terkuat di dunia. “Kita harus optimistis menatap masa depan. Kita juga harus percaya diri dan berani menghadapi tantangan kompetisi global. Kita harus yakin bahwa kita bisa menjadi salah satu negara terkuat di dunia”. Visi negara kuat sebagaimana disampaikan dalam Visi Indonesia tersebut, sebenarnya telah diutarakan dalam berbagai kesempatan. Terutama ketika penyampaian visi misi calon Presiden Republik Indonesia, baik oleh Joko Widodo maupun Prabowo Subianto saat debat pertama 17 Januari 2019. Visi yang sama juga disampaikan lagi di debat ke empat 30 Maret 2019 dan pada berbagai kesempatan dengan berbagai penekanan. “Negara kuat jika alutsista maupun keamanan dalam negeri kuat. Pentingnya negara yang kuat. Negara kuat jika institusi atau lembaga negara kuat. Demikian pula harus ditunjang dengan pengelola negara yang professional, bersih dan berwibawa”. “Bangsa yang kuat, mandiri, berdaulat akan dihargai dan dihormati bangsa-bangsa lain termasuk dalam diplomasi”. “Negara yang kuat jika memiliki TNI yang kuat. Didukung dengan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alustista) yang kuat dan modern. Dampaknya kita akan disegani oleh bangsa lain”. “Keamanan dalam negeri terpelihara jika institusi Kepolisian Negara yang kuat”. “Rakyat mendapat keadilan dihadapan hukum, jika institusi Kepolisian terpercaya. Kepolisian yang bekerja secara independen, profesional, moderen, sejahtera”. Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) harus kenyang, sehat dan pintar. Akibatnya, aparat penegak hokum akan profesional, objektif dan imparsial dalam menegakan hukum”. Kalimat pajang tersebut di atas merupakan ringkasan dari sederet ungkapan ide, gagasan Joko Widodo maupun Prabowo Subianto. Niat besar mereka berdua untuk membawa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat. Indonesia yang akan menjadi pemenang, dan keluar dari negara yang terancam gagal (falls of nations). Fals of Nation (Negara Gagal)”. Buku karangan Daren Acemoglu seorang ilmuan Amerika keturunan Turki. Inti dari buku Negara Gagal tersebut berkesimpulan bahwa “Negara Gagal karena sumber daya alam dikuasai oleh sekelompok kecil oligarki. Sementara kebijakan politik dan hukum negara berorientasi untuk memperkuat kepentingan sekelompok kecil oligarki ekonomi dan politik tersebut”. Sehebat-hebatnya membangun untuk mengejar ketertinggalan negara lain, tetapi tetap saja menjadi negara miskin dan gagal. Kita perlu belajar, sebagaimana kesenjangan (gap) antara Amerika Serikat dengan Meksiko, Korea Utara dengan Korea Selatan, Jerman Barat dan Jerman Timur. Mexico, Korea Utara, dan Jerman Timur memiliki infrastruktur yang sama dengan Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jerman Barat. Namun label sebagai negara gagal tetap melekat di Meksiko, Korea Utara dan Jerman Timur sebelum reunifikasi. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pada periode ke-2 (2019-2024) memperioritaskan pembangunan pada sumber daya manusia sudah sangat tepat. Memang benar, apapun yang dilakukan pemimpin bangsa ini tentu mempertimbangkan “kepentingan inti negara Indonesia” (core of national interest). Sesungguhnya negara yang maju dan berkembang berada pada penguatan hukum untuk mengatur ketertiban, keamanan dan rasa keadilan bagi rakyat”. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai lembaga penegak hukum yang berada beranda di depan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) tentu menjadi pilar terpenting bagi negara ini. Jika membaca pandangan dan hati nurani Presiden Joko Widodo maupun Jenderal Prabowo Subianto sebagai pemimpin bangsa ini, sebenarnya mau menunjukkan ada optimisme dibalik tekanan liberal. Bahwa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman penetrasi kapital, hegemoni politik negara lain. Akibatnya adalah negara makin tidak berwibawa. Disebabkan oleh perilaku kurang elok seperti kebocoran keuangan negara, korupsi merajalela, memperdagangkan pengaruh, jual beli jabatan yang justru dilakukan oleh orang-orang yang melingkari istana. Semua ini dilakukan oleh pusat kekuasaan negara sejak jaman orde baru, dan berlangsung hingga saat ini. Visi Indonesia yang disampaikan oleh Joko Widodo sudah mulai membuka kran demokrasi untuk tidak akan menyandera pilar-pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamain dan keadilan. Upaya ke arah melalui instrumen demokrasi, yaitu partai politik, media massa, lembaga penegak hukum. Bangsa ini tidak boleh mengalami distorsi arah dan gradasi nilai-nilai konstitusi dan landasan idil. Pada periode kedua nanti, pemerintahan mesti berkomitmen agar rakyat bisa artikulasikan keinginan, rintian, ratapan, penderitaan. Begitu juga dengan kebebasan ekspresi, pendapat, pikiran dan perasaan harus mendapat yang seluas-luasnya. Untuk menjaga kebebasan sipil terpelihara, maka pucuk pimpinan lembaga yang menangani bidang politik, hukum dan hak asasi manusia haruslah dipercayakan kepada orang yang professional, tetapi juga demokratis. Dirahapkan pada masa yang akan datang, pemimpin negara tentu bukan tipe pemimpin yang suka berdebat. Bukan pula tipe yang suka berwacana.Bangsa ini sangat beruntung, seandainya Prabowo dan Jokowi berkoalisi, maka dua pemimpin yang kuat menyatu untuk membangun bangsa dan negara. Kita berharap kedua pemimpin akan mampu membangun bangsa. Berbudaya literasi dengan tidak bermain kata-kata gimik atau bahkan menyerang pribadi lawan politik. Berdiam tidak berarti apatis terhadap Negara. Berdiam bisa saja sembari mengarahkan pemerintah berkerja sungguh-sungguh demi rakyat, bangsa dan negara. Harus dipahami bahwa situasi saat ini telah menyebabkan kerusakan fundamental. Juga soal integrasi sosial dan ancaman integrasi nasional. Dengan demikian, membangun kekuatan bersama untuk pemantapan integrasi sosial dan politik bukan penting, namun sangat dibutuhkan saat ini. Kebhinekaan bangsa dalam kurun waktu lima tahun lalu berada di titik nadir. Pondaasi dan bangunan sosial terancam pecah karena ketidakharmonisan dan fragmentasi antar horisontal juga vertikal. Rasisme, diskriminasi, dan kekerasan verbal yang didorong atas rasa kebencian suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Pendatang dan pribumi adalah kosa kata yang saban hari menghiasi media massa, media sosial, media maintream dan juga dalam komunikasi interpersonal. Sewaktu-waktu, pada pangung resmi, baik di media, seminar, dan berbagai tempat pemerintah seringkali menyampaikan bahwa kebinekaan Indonesia adalah suatu wahyu. Titah yang tertulis sebagai adagium persatuan dan kesatuan, kebinekaan bangsa sudah final dan mengikat du sanubari tiap orang. Menjamurnya beraneka etnik, ras, budaya harus diterima sebagai kondisi kekinian. Realitas bangsa, bahkan keanekaragaman adalah suatu niscaya. Semua terlindung dalam konstitusi negara dan landasan ideologi Pancasila. Itulah inti negara kuat karena fondasinya bersatu padu dalam beraneka. Negara harus memastikan bahwa rakyat tidak terlalu terjebak dalam sektarianisme. Eksklusivisme yang naïf, bahkan chauvinistik seakan-akan ada yang mengklaim sebagai pemilik negeri ini. Klaim diri sebagai pahlawan, nasionalis, bahkan bahkan personifikasi diri sebagai nasionalis. Sedangkan suku bangsa lain di nusantara, terutama kaum minoritas lain dianggap bukan pejuang dan pahlawan bagi bangsa ini. Monopoli kebenaran seperti harusnya sudah tidak ada lagi. Membangun bangsa dengan tanggung renteng untuk memantapkan bangsa yang kuat. Barangkali tidak lupa bahwa perjuangan bangsa Indonesia dilakukan secara sporadis. Berjuang juga sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing. Hanyan saja tujuan perjuangan tetap sama, yaitu mengusir penjajah dari bumi Nusantara . Diponegoro tidak pernah memimpin perang dari Sabang sampai Merauke. Tetapi Diponegoto hanya wilayah Jawa Tengah. Laksamana Malahayati berjuang hanya di Aceh. Sisingamangaraja berjuang di Tanah Batak. Demikian pula pahlawan Patimura hanya di Maluku. Semua memiliki keinginan yang sama, yaitu Indonesia lepas dari belenggu penjajah. Presiden Joko Widodo maupun Prabowo Subianto paham sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia juga diperjuangkan semua orang. Kemerdekaan diraih karena adanya kontribusi juga oleh tujuh orang pahlawan keturunan Cina, yaitu Jhon Lie, Koen Hian yang menjadi anggota BPUPKI. Ada juga dari keturunan Arab, yaitu Rasyid Baswedan. Bahkan ada juga keturunan barat Belanda yang kita sebut penjajah seperti "Ijon Jambi" tokoh yang mendirikan Kopassus. Pahlawan besar beragama Katolik di Jawa Tengah tidak bisa diragukan lagi. Aada nama-nama besar seperti Jos Sudarso, Adi Sutjipto, Adi Marmo, Slamet Riyadi, I.J Kasimo. Kalau demikian, apakah kita harus menafikan nama dan peran mereka dalam eksistensi republik ini?. Tentu saja tidak, karena bangsa ini terikat dalam adagium unitarianisme, yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Cara pandang tentang kebangsaan ini tercermin pada Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Itulah ide, gagasan dan harapan Indonesia negara kuat. Negara kuat dalam pemeintahan Presiden Joko Widodo dan Maruf Amin 2019-2024 yang saya pahami dan analisis. Rakyat silahkan ikut memberi dukungan tanpa mengoreksi untuk mengisi ruang-ruang kosong yang tidak diisi Negara. Kita jangan lupa bahwa dunia sedang mengalami perubahan (progress). Bukan kemunduran (regress). Kita bisa berubah, jika ada hasrat untuk berubah (willingness to change). Penulis adalah Pemerhati Orang Kecil dan Kemanusiaan

Tenang Bu Mega, Surya Paloh Juga Abaikan Pancasila

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Insiden Megawati (Ketum PDIP) tak menyalami Surya Paloh (Ketum Partai NasDem) di acara pelantikan anggota DPR-RI pada 1 Oktober 2019, ditanggapi cukup heboh. Terutama di media sosial. Peristiwa yang mempermalukan Paloh itu ditulis oleh beberapa pengamat sosial-politik. Penulis yang juga konsultan media dan politik, Hersubeno Arief, menggambarkan bahwa tindakan Bu Mega itu mencerminkan keseriusan perpecahan koalisi parpol pendukung Jokowi. Bung Hersubeno juga menyayangkan Bu Mega yang sengaja mempertontonkan kebencian pribadinya terhadap Paloh di depan publik. Dan tertangkap kamera pula sehingga virallah kejadian itu. Menurut Hersubeno, tidak menyalami Paloh itu menunjukkan Bu Mega adalah orang yang paling berkuasa di kubu Jokowi. Dalam arti, dia bisa sesuka hati. Mau menyalami atau tidak menyalami, tidak ada pengaruhnya terhadap kekuasaan dan kekuatan Bu Mega. Tapi, yang sangat menarik adalah analisis Narudin Joha. Penulis kondang yang selalu tajam ini mempertanyakan keberpancasilaan Bu Mega ketika dia tidak menyalami Surya Paloh di depan umum. Nasjo mempertanyakan nilai-nilai Pancasila di dalam diri Bu Mega. Nasjo menyayangkan sikap Megawati itu karena dia adalah ketua Dewan Pengarah BPIP, yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Intinya, menurut Nasjo, sangatlah tak pantas Bu Mega tidak menyalami Paloh. Tulisan Nasjo itu menyiratkan kesimpulan bahwa Bu Mega tidak pancasilais. Tidak mengamalkan akhlak Pancasila. Gara-gara tidak menyalami Paloh. Begitu lebih-kurang pemahaman saya. Tetapi, saya berpendapat lain. Pendapat yang berbeda ini tidak berarti tak setuju dengan Nasjo. Setuju! Hanya saja, saya ingin mengatakan agar Bu Mega tenang saja. Kenapa tenang? Karena, mohon maaf, Surya Paloh itu pun belum tentu juga pancasilais. Apakah bisa Paloh dikatakan pancasilais ketika media yang ada di tangannya, yaitu MetroTV dan Media Indonesia, hari-hari memberitakan dan memuat editorial serta analisis yang tidak berkeadilan? Meraka membela apa saja yang dilakukan para penguasa yang semakin zalim sekarang ini. Lihat saja bagaimana sepak-terjang mereka selama proses pilpres 2019 berlangsung. Nah, apakah Paloh lebih berpancasila dibandingkan Bu Mega? Tunggu dulu. Sikap diam Paloh membiarkan sepak-terjang media yang berada di bawah kerajaan bisnisnya, sangat jelas bukan moral Pancasila. Dia bukanlah seorang pancasilais sejati. Dia tidak menunjukkan akhlak Pancasila. Saya berkeberatan dengan tulisan Nasjo yang seolah menilai hanya Bu Mega yang mengabaikan nilai-nilai Pancasila. Padahal, Surya Paloh pun begitu. Bagaimana orang mau menyebut Paloh itu berpancasila ketika dia hari-hari hanya memikirkan cara agar bisnis dia semakin besar dan semakin banyak mencetak duit? Dari mana Anda bisa melihat dia pancasilais? Alangkah bagusnya dan adilnya jika Nasrudin Joha mengatakan bahwa, “Bu Mega menyalahi akhlak Pancasila dengan tidak menyalami Paloh. Tetapi, yang tak disalami kelihatan abai juga pada Pancasila.” Jadi, sekali lagi, Bu Mega tenang saja. Tak usah khawatir. Sama-sama abai kok.[] 6 Oktober 2019

Yang Perlu Diperkuat Itu TNI, Bukan Polisi

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kalau Presiden Indonesia paham, siapa pun presidennya, seharusnya dia memperkuat TNI. Bukan memperkuat Polisi. Memperkuat salah satu diantara kedua institusi ini menunjukkan jalan pikiran penguasa. Menunjukkan jalan pikiran presiden. Sekali lagi, siapa pun presidennya. Kalau presiden tidak punya jalan pikiran, berarti menunjukkan jalan pikiran pembisik dan sponsornya. Memperkuat TNI atau Polisi memperlihatkan dua perbedaan yang kontras. Perbedaan antara kecerdasan dan kedunguan. Perbedaan antara niat baik dan niat buruk. Presiden yang memperkuat militer adalah pemimpin yang mengerti percaturan global. Dia cerdas. Dia paham tentang ancaman terhadap eksistensi negaranya. Dia paham tentang perlunya menjaga kedaulatan dan wibawa negara dan bangsanya. Karena itu, dia pantas dikatakan punya niat baik. Sebaliknya, presiden yang memperkuat Polisi adalah pemimpin yang tak paham ancaman eksternal. Dia tak mengerti atau seolah tak mengerti tentang ancaman terhadap kedaulatan negara. Dia tak mengerti bahwa negara-negara besar dan kuat selalu punya ambisi teritorial. Lihat saja pertikaian wilayah yang tak pernah selesai. Di mana-mana. Di Asia, kita bisa baca kegigihan RRC untuk memperluas wilayah. Mereka tak segan-segan mengklaim pulau-pulau atau wilayah laut yang selama ini bukan milik mereka. Mengapa RRC berani dan percaya diri? Karena mereka merasa kuat. Dan militer mereka memang kuat. Terkuat kedua di dunia. Setujulah kita bahwa Indonesia tidak mungkin dan tak perlu menjadi seperti China dalam hal kekuatan militer. Tetapi, janganlah pula sampai seperti Papua Nugini, Laos atau Maladewa. Pantaskah negara sebegini besar dan kaya sumber daya alam cuma punya militer yang hanya bisa bertahan tiga hari? Sangat memalukan. Juga menakutkan. Kalau misalnya hari ini militer RRC mendarat, lusanya kita langsung menyerah. Ah, kalau RRC dijadikan ukuran, pastilah militer Indonesia hancur dalam beberapa hari. Ok. Kita lihat Singapura. Mereka punya 319 pesawat tempur. Semuanya mutakhir. AU negara sebesar Jakarta minus Bodetabek dengan penduduk 5 juta jiwa ini termasuk yang terkuat di dunia. Dengan personel AU hampir 15,000 orang. Mereka memiliki 60 pesawat F-16C/D dan 40 pesawat F-15SG yang dirancang khusus untuk AU Singapura. Angkatan daratnya berkekuatan 72,000 personel aktif. Plus hampir 400,000 personel wamil. Mereka memiliki peralatan perang AD yang tercanggih. Angkatan lautnya yang terbaik di Asia Tenggara. Ada 6 kapal frigat siluman (stealth) dan sejumlah kapal selam berteknologi tinggi. Tahun lalu, anggaran pertahanan Singapura mencapai lebih 210 triliun rupiah (bandingkan dengan anggaran pertahanan Indonesia yang hanya 131 triliun untuk 2020). Begitulah visi para pemimpin negara kota ini tentang pertahanan. Dari sejak mereka merdeka sampai sekarang. Dengan begitu, tidak ada yang berani coba-coba mengganggu Singapura. Demikian pula Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dll. Mereka sadar betul bahwa memperkuat militer adalah “tertib hukum alam” yang wajib mereka lakukan. Sebab, siapa pun yang menjadi presiden atau perdana menteri di negara-negara itu, mereka paham tentang kedaulatan dan martabat negara. Mereka mengerti bahwa ada banyak negara lain yang akan menggertak atau membully kalau kekuatan militer mereka hanya berkelas kacangan. Begitulah para pemimpin negara-negara yang punya niat baik. Niat baik untuk melindungi bangsa dan rakyatnya. Anehnya, selama lima tahun ini penguasa Indonesia sibuk memperkuat Polisi. Dari waktu ke waktu, dana tahunan untuk kepolisian diperbesar terus-menerus. Diperkuat peralatan, pelatihan dan jumlah personelnya. Hari ini, pimpinan Polri bangga menyebutkan bahwa polisi Indonesia adalah yang terkuat kedua di dunia setelah polisi RRC. Polri memiliki 430,000 personel. Sedangkan TNI gabungan ketiga angkatan hanya punya 455,000 personel. Nah, kira-kira apa tujuan Presiden Jokowi memperkuat Polisi? Untuk melawan agresi asingkah? Menghadapi invasi militer Amerika atau RRC? Atau untuk mengimbangi kekutan militer Singapura? Tentu tidak. Tak mungkin. Pasti tidak itu tujuan Jokowi memperkuat Polisi. Yang jelas tampak saat ini adalah bahwa polisi cenderung menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menyakiti rakyat. Ini terbukti dari cara polisi menangani rangakaian unjuk rasa belum lama berselang. Jokowi tampaknya perlu disadarkan bahwa musuh negara itu bukan rakyat. Bukan para pendemo. Bukan juga para ulama dan umat Islam. Yang menjadi ancaman itu bukan rakyat sendiri. Melainkan kekuatan asing yang sangat ingin menguasai sumber daya alam Indonesia. Yang sangat ingin menguasa wilayah darat dan laut negara ini. Jadi, yang perlu diperkuat itu adalah TNI. Bukan polisi. Sekali lagi, Dirgahayu TNI.[] 5 Oktober 2019

TNI 74 Tahun: Rakyat Paham Kalian Masih Menunggu

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salam hormat, TNI. Kami ingat hari jadi kalian, 5 Oktober. Tapi, terus terang, kami tak tahu hari jadi mereka. Dan, alhamdulillah sekali kami tak tahu hari jadi mereka itu. Tidak tertarik juga, soalnya. Dan, bukan sekadar tak tertarik. Rakyat malah mendoakan agar mereka segera diazab Allah SWT atas kesadisan, kebrutalan, kekejaman, dan kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Terhadap orang-orang lemah dan para ulama garis lurus. Lihat saja kalau seorang pendemo terkepung dan tertangkap oleh mereka. Habis mereka keroyok. Ramai-ramai mereka pukuli. Mereka tendang dengan sepatu laras. Mereka gebuki dengan pentungan sampai bocor. Sungguh biadab. Tapi, anehnya, penguasa negeri ini sangat suka pada mereka. Senang melihat mereka beringas terhadap rakyat. Suka melihat mereka main tembak mati. Bahkan, penguasa memberikan insentif kepada mereka. Alokasi anggaran untuk mereka sangat besar. Tidak seperti TNI yang harus urut dada soal besaran anggaran tahunan. Penguasa memang memberikan status “anak emas” kepada mereka. Tumben, untuk tahun depan (2020), kalian dapat anggaran 131.2 triliun. Memang jumlah ini terbesar di antara semua kementerian atau lembaga negara. Tapi ini ‘kan harus dibagi empat. Untuk Kemenhan, untuk TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU. Padahal, ketiga angkatan harus membeli begitu banyak alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang harganya mahal-mahal. Sudahlah. Tidak apa-apa. Anggaran kalian boleh kecil. Tapi, dukungan dan simpati rakyat sangat besar. Rasa cinta rakyat sangat besar kepada TNI. Ini yang tidak ada pada mereka. Spontanitas kalian memberikan perlindungan kepada orang yang dikejar-kejar oleh mereka, membuat rakyat bahagia meskipun banyak yang berdarah-darah. Sebaliknya, rakyat malah sudah sangat marah kepada mereka. Ada yang “benci stadium 4” pada mereka. Itu semua karena ulah mereka sebdiri yang sangat menjijikkan. Sangat memuakkan. Sangat brutal. Kalian di lingkungan TNI tahu persis betapa aroganya mereka. Betapa angkuhnya mereka. Tiap hari kalian saksikan langsung di jalanan. Kalian semua malah tampak ingin menampar mereka. Rakyat tahu dan melihat bahwa kalian pun sudah mendidih. Syukurlah, kalian masih bisa tenang. Menahan diri. Kalau kalian mau, kalian bisa patahkan leher mereka. Tapi, kalian tidak seperti mereka. Kaliana tidak angkuh seperti mereka. Kalian tidak mudah hilang akal seperti mereka. Kalian, TNI, punya martabat. Kalian memiliki akal sehat. Kalian paham kapan harus bertindak untuk menjinakkan kesadisan mereka kepada rakyat. Kalian tahu kapan itu harus dilakukan. Rakyat pun paham. Rakyat mengerti. TNI masih menunggu saat yang tepat. Dirgahayu TNI. Selalu bersama rakyat! Hidup-mati bersama rakyat! 5 Oktober 2019

Keterlaluan: Membantu Orang Terjepit Dihukum Penjara

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ada kabar yang sangat memprihatinkan. Luput dari pemberitaan besar karena rangkaian unjuk rasa belum lama ini. Peristiwa itu terjadi pada 19 September 2019. Tak sesuai dengan akal sehat. Orang yang menolong orang lain yang sedang terjepit, dihukum penjara. Itulah yang dialami oleh 29 karyawan Sarinah, Jakarta, yang dinyatakan bersalah hanya karena membolehkan para pendemo masuk ke gedung Sarinah ketika berlangsung aksi 21-22 Mei 2019. Pengadilan di Jakarta menyatakan mereka bersalah membantu orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap aparat negara. Para pengunjuk rasa masuk ke gedung itu sekadar untuk membasuh muka mereka. Mungkin juga sekadar melepas dahaga. Tapi, bagi penguasa, sikap alami yang ditunjukkan oleh para karyawan Sarinah itu dipelintir menjadi perbuatan pidana. Mereka didakwa membantu para pendemo melawan aparat. Sikap spontan memberikan bantuan itu dihukum penjara 4 bulan 3 hari. Bahkan, hampir saja dihukum 8 bulan. Logika penguasa adalah bahwa dengan masuk ke Sarinah dan mendapatkan air, maka para pendemo kembali segar untuk turun ke jalan. Luar biasa sekali. Entah dari mana pemikiran seperti ini diadopsi oleh para penegak hukum. Jelas sekali logika penguasa dan citarasa keadilan penegak hukum mengalami “gangguan serius”. Para pengunjuk rasa jelas bukan teroris. Mereka turun ke jalan karena merasa ketidakadilan merajalela di negeri ini. Mereka bukanlah ancaman bagi aparat keamanan. Para pendemo yang dibantu oleh 29 karyawan Sarinah itu bukanlah orang yang sedang melancarkan gerakan untuk menghancukan negara dan pemerintah. Mereka bukan pelaku makar. Seterusnya, para karyawan Sarinah itu bukanlah orang-orang yang telah lebih dulu mempersiapkan diri untuk membantu para pengunjuk rasa agar mereka bisa lebih anarkis lagi. Mereka hanya bereaksi spontan. Para karyawan itu hanya membaca fakta yang polos. Bahwa pada saat itu sedang terjadi perseteruan antara aparat negara yang kuat dengan peralatan lengkap versus pendemo tangan kosong. Hanya memberikan air yang mereka lakukan. Sama seperti para petugas yang memberikan pertolongan kepada siapa pun juga tanpa melihat latarbelakang politik mereka. Hanya berupa bantuan kemanusiaan. Ternyata, kehancuran akal sehat para penguasa memang sudah lebur total. Tak bisa dikenali lagi. Tidak ada lagi pertanda akal sehat itu ada. Sabarlah kalian wahai para karyawan Sarinah. Kalian dipaksa menjadi terpidana karena perbuatan mulia Anda. Kalian pasti sudah selalu dengar bahwa akan ada suatu zaman yang semua serba terbalik. Yang benar dikatakan salah, yang salah dikatakan benar. Orang yang amanah tak diberi kepercayaan. Sebaliknya, para penipu diberi mandat.[] 04 Oktober 2019

Mengapa Orang Papua Marah Kepada Pendatang?

Catatan ini ingin dibaca oleh Bapak Ir. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia 2019-2024 Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Tulisan ini saya tulis berdasarkan realitas yang dihadapi rakyat Papua. Saya telah melihat langsung, memantau, mendengar dan mencatat. Dimana seluruh isinya cek langsung ke rakyat Papua. Juga cerita-cerita dengan tidak kurang dari delapan Bupati dan mantan Bupati, serta pejabat masih aktif di pemerinhan Papua. Saya menulis ini adalah kontribusi saya sebagai penyelidik professional. Saya juga pernah menangani tidak kurang dari lima belas ribu kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Tulisan ini sebagai kontribusi saya untuk kebaikan dan perbaikan bersama (bonum commune). Lima puluh delapan tahun hidup dalam nestapa. Ratusan ribu orang Papua telah dibantai. Tragisnya, pembantaian tersebut, hanya didasari atas kebencian dan rasisme terhadap bangsa Papua, yang berkulit hitam dan rambut keriting. Kata-kata yang mengandung kekerasan verbal dengan sebutan monyet, kera, gorila, bahkan kete, telah lama diterima orang Papua. Pelakunya tidak hanya rakyat sipil biasa, tetapi justru dilakukan oleh aparat negara baik di Papua maupun di luar Papua. Makin lama pendatang bersikap, berperilaku dan berbuat rasis, dan dibalas dengan sikap segregatif rakyat Papua sebagai ungkapan sakit hati. Lebih ironis lagi aparat Intelijen, TNI dan Polri menjadikan kaum pendatang sebagai mitra, informen bahkan pasukan milisia. Secara sengaja atau tidak, aparat menggiring orang-orang sipil pendatang, yang tidak berdosa, dan sedang mengadu nasib di tanah Papua sebagai kelompok milisia. Itulah pemicu kebencian akut rakyat Papua terhadap pendatang. Jadi, mengapa hari ini bangsa Orang Papua dicaci maki, dicemooh, dimusuhi?. Mengapa tidak marah kepada aparat negara yang menggiring pendatang, rakyat sipil tidak berdoa bermain dalam bara api di Papua yang memang wilayah konflik. Mengapa semua bisu terhadap rilaku aparat ini? Mengapa seuma berdiam diri menganai prilaku buruk dari aparat intelijen kita ini Pernahkah kita tahu bahwa di Wamena, pusat kota dan di daerah lainnya HIV/AIDS berkembang cepat mengancam kepunahan bangsa Papua Melanesia? Bukan karena wanita-wanita melayu penjajah seks komersial menjual diri di “lokalisasi”. Karena memang tidak ada lokalisasi di Wamena. Namun mereka bikin gubuk-gubuk kecil di kios-kios, dan rumah makan pendatang. Ada istilah di rumah makan, mas mau makan apa? Daging mentah atau masak? Kalo daging mentah berarti berdagang seks. Sedangkan daging masak berarti makanan sebenarnya. Itulah ilustrasinya jika orang asli Papua makan. Ketika terjadi aksi protes oleh orang Papua di pusat-pusat kota, aparat sering kali intai orang Papua dari rumah-rumah pendatang. Atau di kios-kios, dan rumah makan pendatang. Seringkali memberondong peluru dari tempat-tempat tersebut ke arah orang Papua. Sudah terlalu banyak orang Papua mati karena pola-pola seperti ini. Cara-cara ini disaksikan oleh orang Papua. Memang Papua ini kota-kotanya kecil semua. Bila terjadi hal-hal seperti ini, dapat disaksikan dengan mudah, gampang, kasat mata, dan terang benderang. Tutur lisan menyebar seantero orang Papua dan modus-modus ini diketahui luas. Sekali lagi bukan murni prilaku pendatang. Tetapi pendatang yang digiring oleh aparat yang beroperasi di Papau. Mau tidak mau “harus manut”, apalagi ini wilayah konflik. Namun salah satu kelakuan yang tidak elok dipertontonkan para pendatang adalah dikala konflik atau cek cok mulut dengan orang Papua. Para pendatang selalu meminta atau berlindung dibalik laras senjata. Mereka tidak menempu jalur hokum. Saya tidak pernah menemukan orang pendatang melapor atau mencari keadilan di pengadilan melawan orang Papua secara fair. Judi togel marak dimana-mana di kota-kota Papua. Jualan minuman keras dikelola pendatang dibekingi oleh aparat. Pemandangan atas prilaku aparat yang seperti selalu menjadi tontongan menarik di seluruh wilayah Papua. Tidak mengherankan kalau kenyataan ini menimbulkan problem sosial di masyarakat. Apakah kita pernah tahu bahwa daerah penambangan liar dikuasai pendatang ? Jual minuman keras, peredaran narkotika, bahkan prostitusi seperti di Degeuwo, Tembagapura, daerah Mamberamo selalu dibekingi oleh aparat? Aparat membeckingi orang luar Papua untuk menguasai 3 sumber utama milik orang Papua. Pertama, merampas sumber daya alam dengan melakukan penambangan liar (ilegal mining), pengambilan ikan secara liar dan pengambilan kayu secara ilegal. Kedua, merampas sumber daya ekonomi orang Papua di seluruh pusat-pusat kota. Distribusi barang dan jasa dikuasai pendatang, sumber-sumber ekonomi juga dikuasai pendatang. Kios, pasar bahkan angkot dan ojek dikuasai pendatang. Ketiga, merampas hak politik rakyat Papua. Perampasan hari ini sudah merambah ke dunia birokrasi dan politik. Pendatang terlalu haus terhadap kekuasaan. Merejka mau menjadi Bupati, Wakil Bupati, DPR dengan cara sogok. Menghamburkan uang sana-sini untuk menguasai hasil pemilu. Pemilu hari ini nyaris dikuasai oleh kaum pendatang. Faktanya, ada kabupaten yang anggota DPR-nya nyaris hampir 100% adalah pendatang. Selain itu, ada lagi kabupaten yang satu keluarga 7 orang menjadi anggota DPRD setempat. Kalau ketiga sumber kehidupan utama orang Papua dikuasai, maka apakah masih ada harapan hidup bagi orang Papua? Masa depan bagi orang Papua tentu sudah suram. Ini adalah contoh-contoh yang bisa menimbulkan kecemburuan social orang Papua, yang sudah terakumulasi sangat lama. Apakah anda tahu bahwa Kepala Daerah dan Pejabat di Papua tersandera dan disandera oleh para kontraktor dan anak buahnya? Mereka hamper semuanhya adalah pendatang. Para kontraktor itu menggunakan aparat negara untuk memuluskan proyek. Bahkan sudah ada pencairan uang terlebih dahulu sebelum proyek berjalan. Semua itu karena tekanan dan terror dari kontraktor melalui aparat. Bupati hampir dipastikan disandera Kepala Dinas yang anggarannya besar seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Keuangan. Mereka kerja sama dengan Polisi dan Jaksa, yang menteror Kepala Daerah dengan bukti penyalagunaan anggaran. Seakan-akan Bupati bermasalah. Ditunjukaan kepada Bupati surat panggilan palsu, SPDP Palsu. Akibatnya, kepala daerah ketakutan, sehingga selanjutnya hasil konspirasi merampok uang negara bermiliar-miliar. Seluruh Papua, auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) datang atau didatangi pejabat daerah untuk menyogok. Agar BPK mengeluarkan sebuah surat yang bernama “ telah selesai melakukan pemeriksaan”. Sekali lagi surat itu bernama “telah selesa melakukan pemeriksaan”. Padahal BPK tidak pernah periksa dan tidak pernah ada realisasinya. Akibatnya, semua rakyat Papua hari ini terheran-heran. Mengapa hampir semua kabupaten di Papua tiap tahun dapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)? Padahal mereka telah merampok uang rakyat Papua dalam jumlah yang besar tanpa pembangunan fisik. Aktor Intelektualnya (gurunya) itu adalah para pejabat non Papua. Kalau boleh saya jujur apa adanya, maka Rumah Sakit di Papua sudah dicap sebagai “tempat kematian”. Bukan tempat persemaian manusia. Bukan juga tempat kehidupan, apalagi rumah sakit pemerintah, termasuk milik Kepoisian. Sekarang rakyat Papua mulai curiga rumah sakit swasta sekalipun milik gereja. Orang Papua sangat takut ke rumah sakit. Mereka lebih memilih pengobatan alami. Telah lama rumah sakit dicurigai orang Papua sebagai tempat pembersihan etnis Papua (etnic cleansing). Rata-rata ibu muda yang pernah masuk rumah sakit saat hamil untuk melahirkan, namun tidak bisa melahirkan. Ada juga ibu orang Papua yang disuntik kesuburan tanpa persetujuan suami dan dirinya. Mungkin sang ibu ditanya saat mengalami kontraksi kesakitan mau melahirkan, sehingga tanpa sadar ibu tersebut mengiyakan untuk disuntik kesuburan. Memang rata-rata tampilan fisik bangunan dan didalam rumah sakit sangat “buluk”. Bahkan waktu saya dan Manager Nasution mantan anggota Komnas HAM sekarang di LPSK melihat langsung air kran di rumah sakit dok dua, rumah sakit nomor satu setanah Papua mati seminggu. Padahal air itu sangat vital. Kehidupan tanpa air, manusia pasti mati, apalagi di rumah sakit. Memang di dunia ini tenaga medis dan para medis itu istimewa. Mereka adalah wakil Tuhan di dunia. Namun untuk tanah Papua, tentu saja penilaian berbeda. Jangankan rumah sakit, orang Papua hari ini sudah kehilangan respek kepada Romo, apalagi Pendeta dan Kiyai. Telah lama suara kenabian hilang di tanah Papua Melanesia. Gereja telah menjadi alatnya penguasa. Gereja menjadi alat milik klik-klik misterius. Hambah Tuhan yang membela orang Papua mati mendadak di daerah pedalaman saat berhadapan dengan laras senjata. Tidak ada hukum negara di tanah Papua. Tidak ada keadilan dihadapan hukum bagi orang Papua. Keadilan hanya berlaku bagi mereka yang pendatang , kecuali orang Papua mau membayar “sogokan” kepada hakim, jaksa dan polisi. Orang Papua yang pejabat, begitu muda dan cepat dapat kuputusan pengadilan. Salinan keputusan hanya dalam hitungan hari sudah keluas. Sementara untuk orang Papua yang kecil dan miskin, begitu sulitnya mendapat keadilan. Hampir 58 tahun pengadilan yang menghukum orang non Papua atau aparat kepolisian, belum pernah saya lihat dan baca dokumennya. Padahal ada seorang anggota polisi yang dipenjara karena menyiksa dan membunuh di luar pengadilan (Extra Judicial Killing) dan selalu mendapat sorotan dunia. Namun tidak ditemukan dokumen putusan pengadilan. Semua rintihan, ratapan, kesedihan orang Papua terbungkam di kalbu rakyat Papua. Rakyat Papua tidak punya ruang ekspresi. Media massa dibungkam menjadi alat propaganda penguasa dan pendatang. Organisasi masyarakat sipil dan partai politik sebagai instrumen artikulator kepentingan rakyat Papua terbungkam. Kekebasan berekspresi menjadi sangat terbatas. Akibatnya, apa yang terjadi hari ini adalah meledaknya puncak gunung es yang sudah membeku dengan sangat lama sekali. Itu yang kurang di pahami negara dan rakyat Indonesia. Bangsa yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional lintas suku dan agama sepatutnya meminta negara untuk mencari solusi penyelesaian masalah Papua secara bermartabat. Penyelesaian yang lebih progresif. Bukan sebaliknya meminta represi militer di Papua. Kalau hanya meminta operasi militer, maka tidak perlu minta lagi. Karena operasi militer itu sudah terjadi selama 58 tahun di tanah Papua. Rakyat Papua sudah terbiasa saban hari hidup dalam ancaman di tanah tumpa darah mereka sendiri. Tanah Papua adalah tanah milik bangsa Melanesia. Saya harus jujur sampaikan bahwa kita ini terdiri dari dua ras yang berbeda, yaitu Ras Negro Melanesia dan Ras Mongoloid Melayu. Ibarat minyak dan air. Tidak akan pernah bisa bersatu, kecuali kalau rasisme, Papua phobia dan diskriminasi dihilangkan dari negara ini. Itu terasa tidak mungkin karena diskriminasi di negeri ini sudah terlalu akut. Penulis adalah Pembela Orang Lemah