NASIONAL
Menanam Pancasila dengan Pupuk Kemunafikan
Anda berceramah tentang kejujuran tetapi Anda sendiri tiap hari menilap uang rakyat. Anda jelaskan soal keadilan sosial, tapi Anda lakukan kezaliman di mana-mana. Kalian pidatokan perihal kemanusiaan sementara kalian sendiri kejam, beringas, brutal. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dulu, di zaman Orde Baru, ada BP7. Huruf ‘p’-nya sampai tujuh biji. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BPPPPPPP). Terpaksa disingkat BP7. Tahu kenapa disingkat pakai angka ‘7’? Sebab, kalau diketik lengkap BPPPPPPP di dalam dokumen harian atau di dalam korespodensi, khawatir huruf ‘p’-nya kurang atau lebih. Tak percaya, coba Anda hitung huruf ‘p’ yang tertulis di atas. Ada tujuh biji atau tidak? Nah, begitulah susahnya pemerintah Orde Baru memasyarakatkan Pancasila. Dibuat badan khusus dengan biaya besar. BP7 menggurita ke seluruh Indonesia. Di mana ada kabupaten, di situ ada BP7. Waktu itu, para petinggi negara khawatir rakyatnya tidak paham Pancasila dan tidak pancasilais. Digagaslah BP7 sebagai mesin injeksi Pancasila. Saking hebatnya mesin injeksi ini, Anda tak akan bisa hafal kepanjangan BP7 itu dalam tiga kali baca. Coba saja. Mesin injeksi Pancasila buatan Orde Baru itu digunakan sebagai alat untuk memompakan nilai-nilai falsafah bangsa itu ke dalam diri pegawai negeri dan mahasiswa. Mereka ini dianggap sebagai lapisan yang menentukan Indonesia menjadi pancasilais atau tidak. Dilaksanakanlah penataran P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dengan tujuan agar orang yang ditatar menjadi baik. Agar jiwa yang tidak pancasilais lenyap dari birokrasi. Dan agar para calon pemimpin yang sedang sekolah di perguruan tinggi, menjadi manusia pancasilais. Hasilnya? Korupsi merajalela. Penyelewengan uang negara makin marak. Jurang kaya-miskin melebar terus. Penggundulan hutan mencapai puncaknya. Para pelaku kejahatan ini semuanya hafal Pancasila. Mereka sudah diwisuda sebagai peserta penataran P4 100 jam atau 125 jam. Penataran Pancasila tak punya dampak apa-apa. BP7 buang-buang duit. Akhirnya badan ini dibubarkan. Fast forward, di bulan Juni 2017 dibentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Ada perasaan Pancasila tidak membekas. Banyak yang tidak paham. Inilah alasan untuk membuat model baru mesin injeksi Pancasila pengganti BP7. Persiden Jokowi lebih serius lagi. UKP-PIP dinaikkan menjadi Badan Pembinaan Idoelogi Pancasila (BPIP). Inilah versi mutakhir mesin injeksi Pancasila. Semua crew di sini bergaji besar. Target: manusia pancasilais sejati akan segera dirilis. Hasilnya? Omong kosong. Protipe pancasilais tak kunjung muncul. Korupsi tetap merajalela. OTT KPK, siapa takut? BUMN menjadi sarang korupsi. Pemilu menjadi ajang jual-beli suara. Pilpres penuh dengan kecurangan dan penipuan. Semua lembaga kepemiluan dihuni oleh orang-orang yang haus duit. Suara rakyat ditipu. Yang benar dikatakan salah, yang salah dibalik menjadi benar. Parpol-parpol tetap melakukan cara haram mencari dana operasional. Kelakuan para pimpinan parpol tak berubah. Masih terus munafik. Hidup mewah tapi sok peduli rakyat kecil. Pura-pura bersih, padahal maling semua. Pancasila mereka permainkan, mereka silatlidahkan. Semakin brengsek. Para pejabat tinggi di semua tingkat menjadi ganas. Semua diolah untuk memperkaya diri. Mereka berkoar-koar mau memperbaiki kehidupan rakyat. Tetapi sejatinya mereka munafik. Nah, ini dia. Kita temukan sekarang ‘keyword’-nya. Kata kuncinya: munafik dan kemunafikan. Kemunafikan itulah yang menjadi masalah besar. Bagaimana mungkin kalian bisa mengharapkan nilai-nilai luhur Pancasila tumbuh kalau pupuknya kemunafikan? Anda berceramah tentang kejujuran tetapi Anda sendiri tiap hari menilap uang rakyat. Anda jelaskan soal keadilan sosial, tapi Anda lakukan kezaliman di mana-mana. Kalian pidatokan perihal kemanusiaan sementara kalian sendiri kejam, beringas, brutal. Pancasila adalah hidup sederhana dan berbagi. Tetapi kalian semua rakus dan tamak. Kalian bercuap-cuap soal persatuan Indonesia, tetapi di balik itu kalian lakukan perbuatan yang memecah-belah bangsa. Sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” kalian ubah menjadi “keadilan sosialita bagi semua yang banyak duit korupsinya”. Jadi, salah siapa? Yang salah adalah kalian semua yang masih menghuni sistem kenegaraan ini. Kalian adalah problem. Bukan solusi. Kalian penipu, bukan yang ditipu. Kalian perampok, bukan korban. Itulah sebabnya Pancasila tak bisa mengakar. Karena kemunafikan kalian semua. Bukan sosialisasi Pancasila yang menjadi masalah. Bukan karena ketiadaan BP7 atau keberadaan BPIP yang menjadi masalah. Tetapi karena tidak ada keteladanan pancasilais dari kalian semua. Padahal, kalian paham Pancasila. Jadi, pecuma kalian tanam Pancasila kalau pupuknya kemunafikan. Percuma ada BP7 atau BPIP.
Rezim Terus Memburu dan Mempersekusi UAS?
Di media sosial, telah viral siapa saja dalang dibalik pernyataan tuntutan pembatalan ceramah UAS. DEB V secara terbuka menyebut ada keterlibatan rezim dan penopangnya, yang ikut mengkonsolidasi penolakan di Frankfurt, Jerman. Bahkan konsolidasi penolakan juga dilakukan di Bremen dan Hamburg Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Rupanya, pembatalan ceramah UAS di UGM bukanlah akhir. Umat mengira, di UGM adalah yang terakhir kalinya UAS dihalangi untuk menebarkan dakwah, menyadarkan umat. UAS masih dianggap 'mesin pemusnah massal' yang akan memusnahkan kedunguan, membangkitkan kesadaran, dan tentu hal ini yang akan memicu kebangkitan umat Islam. Keadaan inilah yang tidak diinginkan rezim. Rezim ingin terus menancapkan hegemoninya kepada umat, mengkondisikan umat agar tetap dalam keadaan dungu dan memaksa agar umat ketakutan dan membiarkan kezaliman yang diproduksi rezim. Rezim khawatir dan sangat takut, kedunguan diangkat dari umat, umat menjadi sadar dan atas kesadaran itu umat tak lagi takut dan secara kolektif mengajukan perlawanan semesta kepada rezim. Hari ini (17/10), Ustaz Abdul Somad (UAS) dikabarkan kembali ditolak mengisi ceramah di Frankfurt, Jerman. UAS dijadwalkan mengisi Tablig Akbar pada tanggal 23 Oktober 2019. Penolakan tersebut dilontarkan oleh akun Change.org bernama Deb V yang mengajak warganet menolak acara kedatangan UAS. Deb V. menuliskan alasanya menolak UAS karena sering membuat pernyataan yang intoleran bahkan cenderung provokatif memusuhi sesama Muslim, tapi juga kepada non muslim. Di media sosial, telah viral siapa saja dalang dibalik pernyataan tuntutan pembatalan ceramah UAS. DEB V secara terbuka menyebut ada keterlibatan rezim dan penopangnya, yang ikut mengkonsolidasi penolakan di Frankfurt, Jerman. Bahkan konsolidasi penolakan juga dilakukan di Bremen dan Hamburg. Selain di Jerman, UAS sebelumnya juga batal mengisi sebuah acara Tabligh Akbar sekaligus penggalangan dana masjid fase 2 di wilayah Amsterdam, Belanda. Pembatalan tersebut disampaikan melalui surat pemberitahuan yang diterbitkan oleh Persatuan Pemuda Muslim se-Europa (PPME) Al-Ikhlash Amsterdam. Dilihat detikcom, Kamis (10/10/2019), surat pemberitahuan itu ditandatangani oleh ketua PPME Hansyah Iskandar Putera beserta wakilnya Hasanul Hasibuan. Memang benar, rezim ini tidak menggunakan tangannya langsung untuk memburu UAS. Kadangkala dengan otoritas kepegawaian, kadangkala menggunakan ormas Bani Majengjeng, antek dari partai pengusung rezim, komponen gerombolan kafir (pada kasus laporan polisi), juga menggunakan otoritas kampus (pada kasus UGM). Saat ini, UAS telah berlepas diri dari status PNS nya. Artinya, otoritas kepegawaian tidsk mungkin bisa lagi digunakan oleh rezim untuk memburu dan mempersekusi UAS. Namun kemerdekaan UAS sebagai rakyat biasa tanpa status Aparat Sipil Negara tidak membuat rezim ini berhenti memburu UAS. Kasus Jerman ini, menjadi bukti bahwa perburuan UAS masih terus dilakukan. Sebenarnya UAS ini memang bandel, ustadz yang satu ini intoleran, tidak mau diajak rukun dengan rezim seperti Yusuf Mansur dan Ma'ruf Amin. Andaikan UAS tidak bandel, mau diatur rezim seperti Yusuf Mansur atau Ma'ruf Amin, maka UAS tidak akan pernah mendapat perlakuan zalim dari rezim. Bahkan, ceramah UAS akan didanai dan difasilitasi rezim. Setelah rezim mampu menghentikan 'dampak destruktif' dari seruan-seruan HRS, mampu mengisolasi HRS di Arab Saudi, ternyata dari rahim umat ini muncul UAS sebagai pengganti. Tak suka dengan model dakwah HRS yang tegas dan lugas, rezim juga membenci ceramah UAS yang karib dengan logika yang dibumbui canda. Intinya, semua ujaran yang akan menyadarkan umat, menghilangkan kedunguan umat, pasti akan diburu rezim. Rezim ini tidak ingin umat menyadari, bahwa kebangkitan umat ada pada Islam dan sadar bahwa rezim yang ada hanyalah boneka yang dijadikan alat oleh penjajah untuk menindas umat Islam.
Advokat Sahlan: Status Medsos Istri Dandim Tidak Ada Unsur Pidana!
Jakarta, FNN - Seorang advokat asal Kota Surabaya, Sahlan, tertarik dengan polemik status hukum Ny. Irma Purnama Dewi Nasution, istri mantan Dandim 1417 Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi. Ia membuat Pendapat Hukum terkait dengan persoalan tersebut. Alumni STIH Sunan Giri Malang itu tertarik untuk memberikan pendapat hukum karena ada yang janggal dalam sanksi yang diberikan KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa pada Kolonel Hendi. Banyak pertanyaan seputar persoalan suami-istri itu. Bagaimana pendapat hukum Sahlan terkait dengan persoalan yang menimpa Kolonel Hendi dan istrinya tersebut, berikut petikan wawancara Mochamad Toha dari FNN dengan advokat muda ini: Apa yang bisa Anda sampaikan dalam permasalahan Kolonel Hendi Suhendi dan istrinya, Irma Nasution ini? Perlu dicatat, TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis sedangkan istrinya diperbolehkan. Hal itu sesuai UU TNI Nomor 34 Tahun 2014 tentang TNI hanya mengatur prajurit TNI yang tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Kalau itu yang menyangkut suaminya selaku anggota TNI. Untuk istrinya? Ada Surat Telegram Panglima TNI Nomor: ST/1378/XI/ 2014 tanggal 24 November 2014 disebutkan, istri para prajurit TNI diperbolehkan untuk melakukan kegiatan politik sehingga nanti ada yang bisa menjadi bupati atau gubernur. Jadi, tidak ada larangan berpolitik pada istri tentara? Di dalam undang-undang, yang dilarang berpolitik praktis adalah prajurit TNI, sedangkan bagi istri prajurit TNI tidak ada larangan dan hal tersebut diperbolehkan. Ini tidak melanggar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit & UU Nomor 25 Tahun 2014 Pasal 8a dan Pasal 9 karena yang melakukan adalah istrinya. Maksudnya? Komandan Korem 143/Ho Kendari Kolonel Inf Yustinus Nono Yulianto mengatakan, dasar hukum pencopotan Dandim Kendari karena dianggap melanggar Sapta Marga di tubuh TNI sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 Pasal 8a dan Pasal 9. Mungkin bisa dijelaskan lebih lanjut? Baiklah. Kita coba baca dulu tentang Sapta Marga TNI dan Ketentuan Pasal 8a dan Pasal 9 UU Nomor 25 Tahun 2014. Sapta marga TNI adalah sebagai berikut: 1. Kami warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila 2. Kami Patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah 3. Kami Kesatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan 4. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia 5. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, paruh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit 6. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa 7. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit. Ketentuan Pasal 8a dan Pasal 9 UU Nomor 25 Tahun 2014. Ketentuan Pasal 8a dan Pasal 9 UU Nomor 25 Tahun 2014 adalah mengatur tentang Jenis Pelanggaran Hukum Disiplin Militer. Ketentuan Pasal 8a, menyebutkan, "Segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan Tata Tertib Militer”. Sementara, Pasal 9 mengatur tentang dua jenis hukuman disiplin militer yang bisa diberikan jika seorang anggota melakukan pelanggaran, Hukuman bisa berupa teguran dan penahanan. Penahanan disiplin ringan paling lama adalah 14 hari, sedangkan penahanan untuk kasus disiplin berat bisa mencapai 21 hari. Pasal 10, yang berbunyi, "Penjatuhan Hukuman Disiplin Militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diikuti dengan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam pasal tersebut bukankah tidak ada kaitannya dengan perbuatan istrinya? Benar. Seharusnya, pencopotan jabatan suaminya itu dilakukan setelah dibuktikan tindak pidana yang dilakukan istri. Sebagai negara hukum dengan asas praduga tidak bersalah maka harus terlebih dahulu dibuktikan dan berkekuatan hukum tetap. Jadi, sanksi KSAD terhadap Kolonel Hendi tidak tepat? Penghukuman yang diberikan tersebut memang tidak tepat. Meskipun hukuman itu terkait pembinaan, kurungan 14 hari dalam sel tahanan yang dikenakan kepada para prajurit, sekali lagi menurut kami, tidaklah tepat. Apakah status Facebook Irma Nasution itu ada unsur pidananya? Status Facebook istri Kolonel Hendi tersebut tidak mengandung unsur pidana. Berdasarkan informasi yang beredar terdapat 2 (dua) status istri eks.Dandim Kendari yang dipersoalkan, yaitu: “Jangan cemen, Pak … Kejadianmu, tak seberapa dibanding dengan jutaan jiwa yang melayang”. “Jadi teringat kasus Setnov. Ada lanjutannya ternyata. Menggunakan peran pengganti”. Berkaitan dengan hal tersebut bagaimana pendapat hukum Anda? a. Bahwa status “Jangan cemen, Pak … Kejadianmu, tak seberapa dibanding dengan jutaan jiwa yang melayang”. Menurut pendapat saya dapat dinilai sebagai bentuk “curahan hati” dan/atau “panggilan hati” melihat kondisi negeri ini. Dan/atau juga dapat dinilai sebagai motivasi agar segera bangkit dan tidak merasa kalah atau lemah atau Cemen; b. Bahwa apabila ada maksud melaporkan istri eks Dandim Kendari ke aparat, atas dasar apa? Atas unsur-unsur pidana apa? Apabila atas dasar pasal 28 (1) dan (2) UU ITE No.19/2016 Jo. UU No. 11/2008 tentang hoax dan ujaran kebencian. Di mana letak frasa dari status tersebut yang bermuatan ujaran dan/kalimat dan/frasa yang mengandung kebencian? Dan/atau adakah status tersebut berupa ujaran kebohongan? Berita hoax (pasal 28 ayat 1) yang disebarkan melalui media elektronik (sosial media) yang dapat dipidana menurut UU ITE tergantung dari muatan konten yang disebarkan. Jika bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Jika bermuatan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA dipidana berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Saya berpendapat bahwa tidak terdapat keterkaitan antara yang dituduhkan hoax dan ujaran kebencian, dan juga tidak terdapat status yang berupa ujaran kebencian dan/atau yang dinilai sebagai hoax; c. Bahwa apabila akan dilaporkan atas delik pencemaran nama baik, pasal 27 ayat (3) UU ITE. Apakah status tersebut menyebutkan nama Wiranto? Frasa “jangan Cemen, pak….” bisa jadi yang dimaksud adalah bukan Pak Wiranto, barangkali bapak” yang lain? Kalau Wiranto merasa tersinggung mestinya Wiranto yang melaporkan? Karena pasal ini adalah delik aduan; d. Bahwa atas dasar penjelasan di atas, untuk saat ini saya berpendapat tidak terdapat unsur pidana pasal 27 ayat (3), atau pasal 28 (1) dan (2) UU ITE No.19/2016 Jo. UU No. 11/2008. Karenanya, semua polemik hukum terkait status FB istri Eks Dandim Kendari seyogyanya dihentikan. Saran Anda pada institusi TNI? Seharusnya pimpinan TNI tidak menjatuhkan sanksi terlebih dahulu kepada para suami dari istri TNI yang belum tentu bersalah secara hukum. Apalagi, tidak ada aturan dalam UU TNI yang mengatur soal sanksi atas perbuatan istrinya.
Tragedi Irma Nasution
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, (Sabang Merauke Circle) Jakarta, FNN - Irma Nasution, istri Kolonel Hendi Suhendi, akhirnya berurusan dengan kepolisian RI dalam sangkaan kasus ITE, yang heboh belakangan ini. Irma dianggap memposting hal hal yang kurang beradab terkait penusukan Jenderal (purn) Wiranto di Pandeglang. Kolonel Suhendi yang dipecat dari jabatan Dandim bangga dengan istrinya, tidak menyesal. "saya bangga telah menjadikan istri saya, istri yang bebas merdeka", kata Kolonel Suhendi. Irma Nasution telah mengukirkan namanya sebagai perempuan merdeka atau independen dalam zaman now ini. Dia telah menjadi perempuan kedua dengan nama yang sama dalam sejarah bangsa kita. Irma Nasution pertama adalah putri Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, yang dibunuh tentara pro komunis, Oktober 34 tahun lalu. Irma binti A. H. Nasution ditembak mati ketika dipeluk ibu asuhnya. Kekerasan politik di masa itu membuat dendam dan membunuh adalah suatu kebiasaan, juga terhadap perempuan dan anak-anak. Istri tentara menurut keterangan resmi Kapuspen TNI, Mayjen Sisriadi, merupakan tanggung jawab tentara itu. UU No 25 tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, menurutnya mengatur "segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan Tata Tertib Militer". Meskipun tanggung jawab tentara alias suami, Irma Nasution juga dinyatakan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sehingga Kepala Staf Angkatan Darat melimpahkan urusan Irma ke ranah sipil, alias kepada polisi. Apa yang ingin kita pahami lebih dalam dari peristiwa ini? Pertama, jika postingan Irma "Jangan Cemen Pak..., kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yang melayang" benar ditujukan pada Wiranto, sebagaimana juga postingan yang lebih nyata dari istri tentara lainnya istri (Peltu (AU) YNS (dan juga istri Sersan (AD) Z), maka kita dapat melihat bahwa perempuan pendamping tentara di era ini sangat akrab dengan media sosial yang berlatarbelakang politik. Beberapa waktu lalu, Uli Panjaitan, anaknya Luhut Panjaitan dan istri tentara jenderal juga, pernah terlibat adu argumen di medsos soal politik terhadap Erwin Aksa, ketua Golkar. Mungkin ini sebuah keniscayaan bahwa masyarakat kita sebagai pengguna medsos tidak membedakan lagi perempuan atau laki atau istri tentara atau istri tukang sayur, semuanya sudah menjadi nitizen aktif dalam virtual world. Kedua, jika hukuman yang diterima Kolonel Suhendi berupa pemecatan dari jabatam Dandim dan dihukum kurungan atas perbuatan istrinya, lalu mengapa istrinya juga memiliki tanggung jawab atas perbuatannya? Ini mungkin pertanyaan standar buat militer. Tentu saja anggota keluarga militer yang bukan militer terhubung dengan hukum sipil. Namun, dalam perkara menyangkut politik negara, bukankah sebaiknya sanksi militer yang diterima suami cukup untuk itu? Ketiga, bagaimana hak- hak perempuan vs. laki- laki dalam lingkungan militer? Apakah memang kontrak kehidupan militer tetap seperti dahulu kala di mana isu emanspasi perempuan tunduk pada kepentingan militer itu? atau adakah kebebasan perempuan dalam lingkungan keluarga militer yang masih mungkin dikembangkan terkait politik? Pertanyaan ini penting dikembangkan mengingat karir politik perempuan saat ini menjadi agenda pokok bangsa kita. Tuntutan 30% kuota perempuan dalam politik hanya tercapai 20%. Itupun banyak diisi oleh perempuan-perempuan yang di luar maksud pemberdayaan kaum perempuan (just presence not essence). Sehingga kita berharap istri-istri tentara bisa menjadi sumber rekrutmen ke depan. Kita menyaksikan misalnya, istri SBY, alm. Ani Yudhoyono, berhasil membangun partai besar dari nol. Bagaimana naisib bangsa kita jika istri-istri tentara kembali di bawah kendali suami 100%? Penutup Mencermati kasus Irma Nasution tentu penting dilakukan secara hati-hati. Irma Nasution ini bukanlah Irma Nasution binti A. H. Nasution yang masih kecil. Irma ini adalah istri kolonel, artinya istri dengan status sosial yang sangat tinggi. Sebagai orang cerdas dan punya sensitifitas perempuan, mungkin Irma melihat kondisi politik saat ini yang tidak sesuai harapannya. Dan, bisa pula dia melihat Wiranto hanyalah politisi gaek, yang gagal mengendalikan stabilitas politik selama ini. Jadi bukan Wiranto eks tentara. Dalam frame seperti ini tentu saja Irma tidak meletakkan pikirannya pada perlawanan vertikal terhadap kekuasaan, meskipun Wiranto berkuasa dalam kekuasaan sipil. Tentara sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan, tentu saja tidak tunduk pada politik kekuasaan. Hal itu yang membuat tentara paska reformasi masih dipisahkan dari proses dipilih maupun memilih dalam pemilu. Namun, jika kita mencurigai pikiran Irma Nasution sebagai bentuk perwakilan pikiran2 istri tentara, maka sebuah gelombang besar keresahan kelompok militer terhadap keadaan politik saat ini, mungkin saja eksis. Sebab, hampir 5 tahun rezim Jokowi, stabilitas politik selalu berguncang, khususnya ketegangan kelompok sosial dan matinya kebebasan ekspresi masyarakat sipil. Kita tentu prihatin atas kekerasan yang dialami Wiranto, semoga beliau lekas sembuh. Sekaligus berharap Wiranto bersimpati pada kematian 5 mahasiswa yang berdemonstrasi serta kematian para pemuda2 dalam demonstrasi lainnya, terlebih kematian orang2 Bugis dan Padang di Wamena beberapa waktu lalu. Semoga kasus Irma Nasution ini menjadi jalan bagi kita mengetahui apa yang sedang terjadi dalam masyarakat kita. Horas Irma, kalau orang-orang Kerawang menawarkan suamimu jadi Bupati Kerawang, anak2 Medan pun siap menawarkan kamu jadi Walikota di Medan. Horas...
Surat Terbuka buat Presiden Joko Widodo, INPRES BPJS? JANGAN. PLEASE, DEH!
Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pak Presiden Joko Widodo, saya mau tanya, kabarnya sampeyan tengah menyiapkan Instruksi Presiden (Inpres) yang menetapkan penunggak iuran BPJS Kesehatan tidak bisa mengakses pelayanan publik. Benarkah? Pak Joko, kabarnya, aturan ini bakal mengatur penunggak iuran BPJS Kesehatan tidak akan bisa memperpanjang paspor, SIM, mengurus anak sekolah, tidak bisa mengajukan kredit perbankan, hingga tak bisa mengurus administrasi pertanahan. Benarkah? Kata Direktur Utama PT BPJS Fahmi Idris, Inpres yang bakal sampeyan terbitkan itu kabarnya bertujuan untuk meningkatkan kolektibilitas iuran BPJS Kesehatan. Benarkah? Draft Inpres itu, kabarnya, tengah disiapkan Kantor Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Benarkah? Mas Joko (biarkan saya memanggil sampeyan dengan mas, biar terasa ‘lebih akrab’. Lagi pula, selisih usia kita tidak terpaut jauh, kan? Cuma sekitar lima tahun saja. Dan, yang lebih penting lagi, memanggil presidennya dengan ‘mas’ bukanlah pelanggaran hukum apalagi dituding terpapar radikalisme. Betul begitu, kan, mas?), saya ingin sedikit mengingatkan sampeyan. Pertama, bahwa iuran BPJS itu pada hakekatnya adalah premi asuransi yang dibayarkan peserta kepada perusahaan penyelenggaranya. Di belahan bumi mana pun, tidak ada secuil pun aturan yang mewajibkan rakyatnya ikut asuransi, apalagi membayar premi kepada perusahaan. Kedua, di belahan dunia mana pun, premi asuransi bukanlah pajak dan atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Untuk dua jenis pungutan kepada rakyat tersebut, ada dasar hukumnya. Kita menyebut itu dengan Undang Undang. Salah satunya, UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Mungkin ada UU Perapajakan yang lebih baru, saya _Ndak tahu. Barangkali sampeyan bisa tanya sama Sri Mulyani, Menteri Keuangan terbalik negeri ini. _Ndak_ sulit, kan, mas Joko tanya kepada si mbak yang jadi anak buah sampeyan itu? Oya, saya juga mau mengingatkan sampeyan, mas Presiden, bahwa UU itu produk bersama antara Pemerintah dan DPR. Sampayan pasti tahu, kenapa pemerintah harus melibatkan DPR dalam membuat UU, kan? Ndak perlulah saya mengajari lagi, lha wong sampeyan pasti lebih tahu daripada saya. Ketiga, bahwa karena bukan pajak atau PNBP maka negara sama sekali tidak boleh memaksa rakyat membayar. Apalagi ini cuma premi perusahaan asuransi. Kalau negara sampai memaksa rakyat membayar, lalu apa bedanya pemerintahan sampeyan sekarang dengan Kompeni saat menjajah Indonesia? Maaf, lho ya, kalau saya langsung menyebut Kompeni. Maksudnya supaya lebih jelas saja dan ndak bertele-tele. Keempat, jika mas Joko jadi menerbitkan Inpres sanksi bagi pelanggar iuran BPJS tidak bisa memperolah layanan publik, ini kan lebih zalim lagi. Mosok sebagai Presiden sampeyan akan memerintahkan aparat negara menolak rakyat yang mau memperpanjang SIM, Paspor, mengurus anak sekolah, akses perbankan, hingga tak bisa mengurus administrasi pertanahan hanya karena menunggak iuran BPJS. Jangan begitulah, mas. Bukankah tugas aparat dan birokrasi negara memang untuk melayani rakyatnya? Saya ingatkan mungkin saja sampeyan lupa, bahwa menunggak iuran BPJS bukanlah tindakan kiriminal. Lha wong mereka yang jelas-jelas melanggar hukum saja masih berhak memperoleh pelayanan publik, kok. _Ndak_ percaya, lihat saja rekam jejak orang-orang di Senayan itu. Beberapa dari mereka (untuk tidak menyebut ‘banyak’) yang tersangkut masalah hukum? Tidak tanggung-tanggung, mereka mencuri uang rakyat dalam jumlah puluhan miliar, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah! Atau, mungkin sampeyan akan mengelak dengan mengatakan, lho orang-orang terhormat di Senayan itu belum terbukti secara hukum melakukan korupsi. Begitu? Alahhhh..., mas Joko, sampeyan lebih tahu permainan dan campur aduk antara soal hukum dan politik di negeri ini ketimbang saya. Kelima, kalau sampeyan jadi juga menerbitakn Inpres ini, mas Joko bisa diakegeorikan melanggar UU, lho. Minimal, sampeyan melanggar prosedur penerbitan peraturdan dan perundangan. Sebab, setiap aturan yang isinya memungut uang rakyat harus berbentuk UU, harus dibuat bersama-sama DPR. Lalu, pungutan itu harus benar-benar masuk ke kas negara, bukan kas perusahaan. Apalagi kalau tujuan diterbitkannya aturan tersebut hanya untuk memperbaiki kolektibilitas iuran BPJS. Keleru, mas, keleru! Keenam, sampeyan pasti masih ingat tujuan para bapak pendiri bangsa ini membentuk Indonesia, kan? Kalau lupa atau ndak sempat mencari referensinya, ini saya kutipkan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945, konstitusi kita: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa..." Jadi mas Joko, bapak-bapak pendiri bangsa membentuk negara yang amat kita cintai ini antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Nah, bagaimana mungkin rakyat bisa sejahtera kalau mereka tidak bisa bekerja narik ojek atau jadi sopir karena tidak bisa memperpanjang SIM hanya disebabkan telat membayar iuran BPJS? Bagaimana rakyat bisa cerdas kalau anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah hanya karena orang tuanya telat membayar iuran BPJS? Bagaimana kesejahteraan rakyat meeningkat, kalau mereka tidak bisa mengakses kredit perbankan untuk memulai atau mengembangkan usaha hanya karena menunggak iuran BPJS? Bagaimana rakyat bisa menjual lahan atau rumahnya, hanya karena telat membayar iuran BPJS? Padahal, bisa jadi mereka menjual lahannya yang cuma seuprit untuk melunasi tunggakan iuran BPJS. Ketujuh, saya ingin mengingatkan sampeyan, bahwa negara bertanggung jawab menjamin kesehatan seluruh warga negara. Ini amanat konstitusi, lho. Silakan baca pasal 34 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “ negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.” Jadi, berdasarkan konstitusi kita yang dalam sumpah jabatan sampeyan harus junjung tinggi itu, jelas-jelas Pemerintah wajib menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Wajib! Jangan pula kewajiban ini Pemerintah manipulasi dengan membentuk perusahaan asuransi yang menarik premi dari rakyat, wajib plus sanksi-sanksinya pula! Saya serius, kalau sampai Inpres tertsebut terbit, artinya sampeyan bisa disebut melanggar UU bahkan konstitusi kita. Agar tidak lupa, dalam sumpah jabatan, mas Joko mengucapkan ini: “ Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden/Wakil Presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan semua undang-undang dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Mas Joko, sumpah ini serius banget, lho. Berat! Karena siapa pun Presidennya yang mengucapkan sumpah ini, artinya dia sudah berjanji kepada rakyat Indonesia. Melanggar sumpah ini, bisa berujung pada pemakzulan. Sesuai Konstitusi kita, Presiden juga bisa diberhentikan di tengah jalan. Jadi, di negeri ini memakzulkan Presiden dan atau Wapres di masa jabatannya bukanlah tindakan inkonsititusional. Pasal Pasal 7A, menyebutkan: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tapi, ah sudahlah. Aturan main pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya di pasal-pasal berikutnya dibuat begitu rumit, njelimet, berbelit. Singkat kata, nyaris tidak mugkin! Apalagi dengan komposisi anggota DPR sekarang, semuanya jadi nyaris mustahil! Tapi sebagai orang beragama, saya yakin sampeyan pasti paham dan mengerti benar, bahwa sumpah ini juga disaksikan para malaikat juga Allah Tuhan Yang Maha Berkuasa lagi Maha Perkasa. Allah akan minta pertanggungjawaban pelaku sumpah ini di akhirat kelak. Allah juga telah sediakan balasan, baik siksa yang amat pedih maupun ganjaran kenikmatan, atas orang yang bersumpah ini. Dan, semua balasan itu abadi, kekal, tidak berkesudahan. Tidak seperti masa jabatan di Indonesia yang maksimal hanya dua periode alias 10 tahun. Sungguh suatu sumpah yang tidak boleh dan bisa dianggap main-main. Atau, barangkali, maaf, sampeyan berpendapat, ah itu kan di akhirat. Masih lama. Masih bisa tobat, minta ampun kepada Allah. Tunggu dulu. Tidak ada yang tahu, kapan kiamat akan terjadi. Jangankan kiamat, setiap kita pun, tentu saja, termasuk sampeyan, tidak tahu kapan akan mati. Siapa yang bisa menjamin, sampeyan akan tetap hidup setelah menandatangani Inpres tersebut? Ndak ada, kan? Kalau sebagai Presiden sampeyan mau membantu menyelamatkan BPJS, masih ada bahkan banyak cara lain. Misalnya, sepertinya yang dipaparkan ekonom senior Rizal Ramli. Dia punya jurus-jurus jitu untuk menyelematkan BPJS tanpa harus memberatkan rakyat. Ndak perlu saya ulang di surat terbuka ini. Sampeyan bisa perintahkan staf untuk googling untuk mencarinya. Jadi, mas Joko please, deh, jangan terbitkan Inpres superngawur itu. Kalau semua ini terjadi, kasihan saya, saudara saya, tetangga saya, kenalan saya. Kasihani penduduk Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Papua, dan peduduk ratusan pulau lain. Kasihanilah kami, mas. Kasihanilah rakyat Indonesia! Dah, gitu aja! [*] Jakarta, 15 Oktober 2019
Nggak Butuh Prabowo, Nyampah-nyampahin Negeri Aja
Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Urat malu para politisi terlalu tipis sehingga mudah putus. Prabowo Subianto mungkin salah satunya. Capres yang selalu kalah ini belakangan menghiasi layar kaca. Ia bersafari ke Istana sampai ke rumah ketua parpol. Publik menduga, tujuannya satu: kursi menteri “demi nusa dan bangsa”. Langkah Prabowo ini bisa dibilang tak tahu malu, karena Prabowo sudah jelas-jelas kalah dalam pemilu dan pilpres kemarin. Bisa-bisanya ia ikut berebut kursi menteri. Dengan dalih demi nusa dan bangsa pula. Pretttt. Padahal, akibat dari tindakan Prabowo ini justru akan buruk bagi nusa dan bangsa. Jika sampai Gerindra dan Prabowo berkoalisi dengan pemerintah, maka pemerintahan mendatang tanpa penyeimbang. Oposisi mati. Itu buruk bagi demokrasi. Di sisi lain, sikap Prabowo juga mengecewakan sebagian besar pendukungnya. Pantas saja, jika Rocky Gerung bertekad akan “road show” berkeliling Tanah Air untuk mengajak “kampret” –pendukung Prabowo-Sandi dalam pilpres kemarin-- beroposisi pada Ketua Umum Gerindra itu. Tokoh yang memopulerkan kata-kata ‘dungu” ini juga mengajak “cebong” –pendukung Jokowi-Makruf Amin—untuk menolak masuknya Prabowo ke dalam barisan pendukung pemerintah. “ Nggak butuh tokoh seperti dia, nyampah-nyampahin negeri aja,” tandasnya. Merapatnya Prabowo ke Jokowi mengundang banjir cemoohan dari pendukungnya. Prabowo bilang rekonsiliasi demi bangsa dan negara. Agar bangsa ini tidak lagi terbelah. Dia beranggapan bermesraan dengan penguasa, serta merta para pendukungnya bakal ikutan mesra. Seorang pensiunan wartawan, Balya Nur menulis, Prabowo terlalu pede. Percaya diri. Dia mengingatkan pendukung Jokowi dengan pendukung Prabowo sangat berbeda. Pendukung Jokowi adalah mereka yang habis-habis mendukung bekas Wali Kota Solo ini karena sosoknya. Pokoknya walau langit runtuh, Jokowi harga mati. Lain lagi dengan pendukung Prabowo. Mereka mendukung Ketua Umum Gerindra ini karena nilai. Bukan sosoknya. Kini, Prabowo sudah membuang nilai itu, sehingga ia sudah meninggalkan pendukungnya. Cara yang ia tempuh pun sangat menyakitkan dan juga memalukan. Prabowo lupa bahwa dirinya didukung oleh Ijtima Ulama. Ada nilai-nilai islami pada nilai program pada capres Prabowo-Sandi, kala itu. Kini, para pendukung Prabowo yang didorong oleh nilai itu sudah membaca, Prabowo jauh dari nilai-nilai tersebut. Selain membangun koalisi dengan pemerintah, Prabowo dan Gerindra sudah menunjukkan bahwa dirinya memang tidak pantas didukung umat Islam. Setidaknya ada dua parameter soal itu. Pertama, Gerindra menunjuk Rahayu Saraswati Djojohadikusumo untuk tampil membaca doa di acara resmi sidang paripurna MPR. Rahayu adalah keponakan Prabowo. Dia perempuan, selain itu juga nonmuslim. Untung Ketua MPR Zulkifli Hasan mengambil alih dengan membaca doa pendek. Gerindra protes dan keluar ruang sidang. Mereka menuduh Zulkifli Hasan intoleran. Padahal, Ketua MPR itu telah menyelamatkan Gerindra. Kalau sampai terjadi Rahayu membaca doa, sudah pasti akan ramai di medsos. Sejak zaman Bung Karno sampai zaman Jokowi, tidak ada pada acara resmi kenegaraan, pembacaan doa diserahkan kepada perempuan dan nonmuslim. Bahkan sejak zaman Soeharto pada masa dia tidak mesra dengan umat Islam juga tidak ada. Sampai zaman Jokowi yang dituduh sebagai era liberal juga nggak ada. Bukan mereka nggak paham soal toleransi. Mereka paham soal kepatutan. Mereka tidak mau menyinggung perasaan mayoritas. Itu baru namanya toleransi. Kedua, Gerindra berencana memperjuangkan RUU PKS atau Penghapusan Kekerasan Seksual. Itu bisa dicermati dari semangatnya Rahayu Saraswati memperjuangkan hal itu. Padahal para ulama yang tergabung dalam ijtima ulama menentang sebagian pasal pasal dari RUU PKS. Dari dua parameter ini saja jelas bahwa Prabowo telah membuat para pendukungnya menyesal telah memperjuangkan dirinya waktu pilpres yang lalu. Lebih dari itu, eks pendukung Prabowo juga malu. Malu karena pilihannya dulu tidak punya malu. Kembali ke soal rekonsiliasi. Prabowo menyebut bahwa langkah itu dilakukan agar tidak ada perpecahan anak bangsa hanyalah pemanis bibir saja. Sepanjang penguasa adil pada rakyatnya, rakyat tidak akan terbelah. Kalau rakyat merasa penguasa tidak adil, mereka tetap akan protes. Apalagi jika buzzer pro penguasa terus saja memanas-manasi. Presiden terpilih adalah milik rakyat bukan hanya milik relawan. Selama masih ada relawan pro penguasa, selama itu pula rakyat tidak merasa memiliki presiden. Dan akan terus terbelah. Rakyat di satu sisi, buzzer pemerintah di sisi lain. End
Jangan Cemen, Berlaku Adil-lah, Jenderal!
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sanksi pencopotan jabatan Dandim 1417 Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi hanya karena postingan istrinya, Irma Purnama Dewi Nasution, soal penusukan Menko Polhukam Wiranto di Kabupaten Pandeglang, Banten, justru menyalahi Undang-Undang. Yakni, UU No 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Menurut Kapendam XIV Hasanuddin Kolonel Inf Maskun Nafik, postingan istri Dandim Kendari itu dinilai TNI AD menjatuhkan martabat prajurit. Di mana letak pelanggaran Dandim? Cermati, postingan Irma Nasution itu hanya mengatakan, “Jangan cemen pak,…Kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yg melayang”. Ungkapan hiperbola (makna berlebihan) ini jelas tanpa mempersonifikasi kepada individu tertentu (Wiranto). Tulisan “jangan cemen pak” itu bisa ditujukan kepada semua orang pria yang dipanggil Pak! ‘Pak’ ini tidak bisa diarahkan dan ditujukan secara khusus kepada Wiranto. Kalau ada yang merasa itu ditujukan kepada Wiranto, itu tafsiran bukan konteks bahasa. Dalam postingan kedua berupa sebuah nasehat untuk mengingatkan peristiwa yang pernah terjadi dialami mantan Ketua DPR Setya Novanto. Posting-an kedua tertulis “Teringat kasus pak Setnov,.. bersambung rupanya, pake pemeran pengganti’. Untuk postingan kedua itu, juga tidak ada kata yang menyebut nama Wiranto. Jika sampai ke peradilan umum, peluang untuk lolos dari tudingan ujaran kebencian sangatlah besar. Jaksa pun tidak akan gegabah menuduh Irma Nasution melanggar UU ITE. Jika “tindak pidana” Irma Nasution ini dikaitkan dengan jabatan suaminya sebagai Dandim Kendari, di mana letak pelanggaran disiplin militer Kolonel Hendi? Bukankah UU 25/2014 itu hanya berlaku bagi anggota TNI, bukan istri tentara (anggota Persit)? Meski secara yuridis formal belum diproses hingga vonis hakim, KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa sudah menjatuhkan sanksi kepada Kolonel Hendi dan seorang anggotanya. Keduanya dihukum karena istri mereka mem-posting soal penusukan Wiranto di medsos. Boleh jadi, sebagai istri Dandim Kendari, Irma Nasution sering mendengar keluh-kesah para istri anggota Kodim Kendari terkait dengan kesulitan ekonomi yang dialami mereka. Mereka tidak berani bicara terbuka. Di sinilah Irma Nasution kemudian “bicara”. Jenderal Andika mengatakan pihaknya menindak suami mereka. Kolonel HS dan Serda Z disebut telah memenuhi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 yaitu Hukum Disiplin Militer. “Sehingga konsekuensinya kepada Kolonel HS tadi sudah saya tandatangani surat perintah melepas dari jabatannya dan akan ditambah dengan hukuman disiplin militer berupa penahanan selama 14 hari, penahanan ringan selama 14 hari,” ujarnya. “Begitu juga dengan Sersan Z, telah dilakukan surat perintah melepas dari jabatannya dan kemudian menjalani proses hukuman disiplin militer,” lanjut Jenderal Andika. Nasib yang sama juga menimpa anggota POMAU Lanud Muljono Surabaya. Peltu YNS dicopot dan ditahan karena istrinya mengunggah opini negatif terkait penusukan Menko Polhukam Wiranto. Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsma Fajar Adriyanto mengatakan, Peltu YNS mendapat teguran keras, dicopot dari jabatan dan ditahan dalam rangka penyidikan oleh Pomau karena melanggar UU 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer. “Dalam urusan politik, posisi prajurit TNI AU dan keluarganya (Keluarga Besar Tentara-KBT) sudah jelas, netral. Oleh karena itu, KBT dilarang berkomentar, termasuk di media sosial yang berdampak pendiskreditan pemerintah maupun simbol-simbol negara,” ujarnya. Menurutnya, FS telah menyebarkan opini negatif terhadap pemerintah dan simbol negara dengan mengunggah komentar yang mengandung fitnah, tidak sopan, dan penuh kebencian kepada Menko Polhukam Wiranto yang terluka karena serangan senjata tajam di medsos. FS sudah dilaporkan ke Polres Sidoarjo karena melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal Penyebaran Kebencian dan Berita Bohong. “KBT yang kedapatan melanggar, dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku,” katanya saat dihubungi iNews.id, Jumat (11/10/2019). Sebenarnya hak politik bagi para istri prajurit TNI sudah pernah dikeluarkan oleh Panglima TNI semasa Moeldoko. Mantan Panglima TNI yang kini menjadi Kepala Staf Presiden (KSP) itu telah mengeluarkan kebijakan baru dengan memberi izin dan mengembalikan hak politik bagi para istri prajurit TNI. Mereka bisa menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih. Dalam Surat Telegram Panglima TNI Nomor: ST/1378/XI/ 2014 pada 24 November 2014 disebutkan, istri para prajurit TNI diperbolehkan untuk melakukan kegiatan politik sehingga nanti ada yang bisa menjadi bupati atau gubernur. ”Di dalam UU, yang dilarang berpolitik praktis itu prajurit TNI, sedangkan bagi istri prajurit TNI tidak ada larangan dan hal tersebut diperbolehkan,” tandas Pembina Utama Dharma Pertiwi ini pada acara HUT ke-51 Dharma Pertiwi di Balai Sudirman, Jakarta. Hal ini sudah masuk dalam agenda program sekaligus mempertegas dan memperjelas posisi istri prajurit TNI dalam politik. Tugas pokok Panglima TNI adalah tugas komando, yakni menyiapkan pasukannya agar siap tempur, menjaga dan meningkatkan kesejahteraan, serta menjaga dan memelihara kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Rencana pemberian izin kepada istri prajurit TNI untuk bisa memenuhi hak-hak politiknya seperti dipilih dan memilih dalam pemilu sudah lama menjadi bahan kajian di Mabes TNI. Namun, rencana itu baru terwujud pada masa Panglima Jenderal Moeldoko. Pakar Hukum Prof. DR. Suteki SH MHum dalam tulisannya mencoba mencari tahu pasal mana yang mengatur bahwa apabila seorang istri anggota TNI melakukan pelanggaran hukum maka suaminya turut menanggung kesalahan. “Bahkan harus dihukum double, yaitu dicopot jabatannya, dikurung dalam sel 14 hari, serta belum lagi istrinya akan diajukan di peradilan umum. Kalau saya lihat misi UU Hukum Disiplin Militer adalah Pembinaan,” katanya. “Mengapa bukan aspek ini yang diutamakan melainkan terkesan “pembinasaan”,” lanjut Prof. Suteki yang menggugat Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang karena mengalami peristiwa serupa akibat dugaan mal administrasi. Pembianan oleh seorang atasan itu penting, sehingga tidak keburu menjatuhkan hukuman disiplin pegawai. “Saya dapat merasakan kepedihan anggota TNI itu, karena juga mengalami pencopotan jabatan karena diduga melakukan perbuatan melanggar disiplin pegawai.” Kasus seorang istri yang diduga melakukan pelanggaran hukum lantas berakibat dicopot dan dihukumnya suami yang anggota TNI itu. “Saya kira hukuman itu tidak adil dan cenderung menimbulkan rasa gelisah, resah pada anggota lainnya,” ungkap Prof. Suteki. Rasanya memang tak mungkin semua suami anggota TNI itu bisa mengawasi tindak-tanduk perilaku istrinya selama 24 jam. Para istri juga memiliki kelompok atau relasi dengan warga bangsa lain, apalagi sekarang eranya medsos. “UU Nomor 25 Tahun 2014 setahu saya hanya mengatur hukum disiplin yang melibatkan militer atasan dan bawahan. Bawahan yang dimaksud tidak termasuk istri dan anaknya,” ungkap Prof. Suteki. Sebagai Bawahan, seorang TNI itu juga manusia yang harus pula dilindungi hak-hak asasinya untuk diperlakukan adil dan tak sewenang-wenang. “Misalnya dihukum tanpa kesalahan yang dilakukannya secara langsung,” tegasnya. Menurut Prof. Suteki, sangat janggal bila ada prinsip tanggung renteng dalam penjatuhan hukuman terhadap suami TNI atas dugaan penggaran hukum yang dilakukan oleh istrinya. “Seandainya pun itu diatur dalam UU maka secara tegas saya nyatakan hal itu tidak adil dan cenderung terjadi pelanggaran atas HAM,” tegasnya. Jadi, mustahil suami anggota TNI dapat memastikan bahwa apa yang dilakukan oleh istrinya selalu dalam koridor hukum. Lalu, adilkah bila seorang anggota TNI dihukum disiplin dan kurungan ketika istrinya diduga melakukan pelanggaran hukum yang juga belum terbukti di depan pengadilan? Adilkah? Inikah yang disebut Pidana Tanggung Renteng padahal tidak ada unsur penyertaan suami TNI pun dalam dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh istrinya. “Saya tidak setuju kesalahan jempol istri, suami kena hukuman administrasi. Jika tujuannya untuk pelajaran bagi suami istri lain, ya cukup pidanakan istri yng berbuat salah,” komentar Advokat Muhammad Sholeh, SH. Meski belum diproses secara hukum, sebanyak 52 pengacara yang tergabung dalam kantor pengacara Supriadi & Co di Kota Kendari siap mendampingi istri Kolonel Hendi itu. Opini publik sudah menunjukkan empati kepada Irma Nasution, Kolonel Hendi, dan kawan-kawan. Pada intinya, publik menghendaki TNI tetap pada jalurnya dan tidak ikut mempermainkan hukum. Jadi, berlaku adil-lah, jenderal. Jangan cemen! ***
212 Melawan, Mengumumkan Perang dan Tak Akan Rekonsiliasi dengan Kezaliman
Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Keliru besar, jika Prabowo -setelah merapat ke Jokowi- mengumumkan tidak ada lagi oposisi. Salah mutlak, bagi rezim ketika mampu menekuk kekuatan oposan partai berarti telah aman untuk berbuat sesukanya, zalim terhadap rakyat. Pada acara munajat 212 di masjid Sunda Kelapa (13/10), dengan tegas Ust Slamet Ma'arif selaku ketua PA 212 menyatakan tidak akan pernah rekonsiliasi dengan kezaliman, tidak akan pernah rekonsiliasi dengan kecurangan, tidak akan pernah rekonsiliasi dengan ketidakadilan, tidak akan pernah rekonsiliasi dengan penindasan. Pernyataan ini, bukan mewakili pribadi Ust Slamet namun mewakili segenap elemen pergerakan khususnya gerakan Islam, yang bergerak di luar partai politik. Jelas, ini tamparan keras bagi rezim juga bagi kubu Prabowo. Pernyataan ini menegaskan, Prabowo tak memiliki secuilpun kendali pada elemen pergerakan Islam. Dukungan pergerakan Islam, ulama, habaib, kepada Prabowo saat Pilpres, bukanlah dukungan taklid buta sebagaimana dukungan Gerindra kepada ketua umumnya. Karena nilai perjuangan, semangat melawan kezaliman, perlawanan pada kecurangan dan penolakan para perilaku ketidakadilan menjadi nilai yang menyatukan umat dan melabuhkan dukungan politik pada Prabowo. Saat Prabowo menepi, keluar dari nilai yang diadopsi umat, kemudian meninggalkan nilai perjuangan dengan merapat dan berharap mendapat bagian kursi kekuasan, meninggalkan keengganan pada kecurangan seraya justru melegitimasi kecurangan dengan proyek rekonsiliasi abal-abal, menjadi sebab Prabowo berada pada satu kubu dengan rezim dan mengambil posisi berhadap-hadapan dengan umat. Rezim Jokowi akan mengkalkulasi nilai rekonsiliasi Prabowo sangat rendah, dimana rekonsiliasi ini tak meredam perlawanan umat. Karenanya, rezim khususnya PDIP akan sangat berhati-hati membagi kursi kepada Gerindra. Sebab, jika Gerindra begitu mudah mengkhianati rakyat yang mendukungnya, mengabaikan fatwa ulama yang membelanya, apa sulitnya bagi Prabowo kelak meninggalkan PDIP jika Gerindra membaca peluang untuk menguasai kekuasaan ? Kalkulasi ini, yang nampaknya akan membuat PDIP pelit membagi kursi, sebagaimana PDIP tdk ridlo posisi ketua MPR RI diberikan pada Muzani. PDIP lebih Happy bersama Golkar, karena Golkar dipandang lebih gentle sebagai mitra koalisi dan sejak awal telah berdarah mendukung Jokowi. Sementara itu, pertarungan politik ini belum akan berakhir. Gerakan 212 akan terus melawan, karena perjuangan 212 bukan atau tidak sekedar mengantarkan seseorang untuk duduk di tampuk kekuasan. Gerakan 212 diilhami oleh Ruh Islam, Ruh bela Islam, Ruh bela ulama. Karenanya, 212 akan terus berjuang hingga Islam bertengger pada tampuk kekuasan, hingga fatwa ulama menjadi penuntun jalannya roda kekuasan, hingga keadilan dan kesejahteraan benar-benar wujud dengan diterapkannya hukum Islam. Penangkapan Sekjen PA 212 Ust Bernard Abdul Jabar adalah penghinaan terhadap gerakan 212. Tindakan ini, justru menyulut api perlawanan dan meningkatkan Ghiroh semangat Islam. Selamat datang di era baru pertarungan, selamat datang pertarungan gerakan politik kepartaian melawan gerakan politik keumatan. Selamat datang, di era pertarungan politik pencitraan, politik kekuasaan, melawan politik kejujuran, politik keumatan yang membawa misi melayani kepentingan umat berdasarkan nilai-nilai wahyu ilahi. [].
Kolonel Hendi Suhendi : Prajurit, Suami & Ayah Sejati
Sebagai seorang ayah, kelak anak-anak sang Kolonel Hendi akan tahu bahwa ayahnya adalah seorang prajurit sejati. Suami sejati dan sang ayah sejati. Sejarah akan mengungkap, bahwa ayahnya bukan seorang pengkhianat negara. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Akhirnya, Kolonel Kav Hendi Suhendi resmi dicopot dari jabatan Dandim 147/Kendari, Sultra. Kolonel Hendi menerima keputusan pencopotan jabatan karena postingan sang istri soal penusukan Wiranto. Sebagai seorang prajurit sejati, sang Kolonel siap salah. Sebab doktrin prajurit itu, komandan tidak pernah salah. Sebagai prajurit, sikap legawa yang ditunjukan, menggambarkan betapa dia mampu menjaga marwah dan wibawanya sebagai seorang prajurit. Menjaga wibawa institusi TNI. Padahal Kolonel Hendi diperlakukan tidak adil. Dipaksa menanggung beban atas kesalahan yang tidak diperbuatnya sendiri. Diperhinakan marwahnya sebagai perwira TNI. Sebagai seorang calon jendral TNI. Karena putusan sanksi diumumkan secara terbuka dihadapan public oleh komandannya. Bahkan, Kolonel Hendi menanggung beban tanggungjawab atas perbuatan sang istri yang belum bisa dibuktikan kesalahannya. Belum ada penyelidikan. Belum juga ada penyidikan. Belum ada pembuktian secara hokum atas kesalahan yang diperbuat. Belum juga ada putusan hakim yang menyatakan Kolonel Hendi bersalah. Toh dia telah menanggung konsekuensi hokum yang berat di rezim Jokowi. Dimana asas praduga tak bersalah itu hanya berlaku bagi mereka yang pro kepada penguasa saja. Sebagai suami sejati, dia sanggup 'MIKUL DUWUR MENDEM JERO'. Dia begitu melindungi sang istri. Belahan jiwanya, dan ibu dari anak-anaknya. Ia merangkul sang istri, memperlakukannya selayaknya istri. Tidak terbesit rasa marah dan kesal, atas musibah yang menimpanya. Hari-harinya Kolonel Hendi harus dihabiskan di jeruji besi untuk masa tahanan selama 14 hari ke depan. Sang Kolonel juga harus mempersiapkan ketangguhan mental sang istri untuk menghadapi ujian diperkarakan oleh komandan sang Kolonel di peradilan umum nanti. Nampaknya, komandan sang Kolonel ini tidak cukup puas hanya dengan melihat dirinya masuk sel selama 14 hari. Tetapi sang komandan juga ingin melihat istri dari sang Kolonel masuk bui. Sebagai seorang ayah, kelak anak-anak sang Kolonel Hadi ini akan tahu bahwa ayahnya adalah seorang prajurit sejati. Suami sejati dan sang ayah sejati. Sejarah akan mengungkap, bahwa ayahnya bukan seorang pengkhianat negara. Tak mudah untuk bersikap kesatria. Apalagi dalam kubangan kekuasaan zalim di era Jokowi. Semua kritik terhadap rezim ditafsirkan kebencian, ditafsirkan SARA, dan ditafsirkan hoax. Sementara kedunguan akut yang menopang rezim, dianggap Pancasilais dan berbhineka tunggal ika. Secara zahir memang berat. Sangat berat untuk melepaskan jabatan jika tidak atas kesadaran karena amanah. Bagi sebagian besar orang saat ini, jabatan adalah tuhan baru yang dipuja-puja. Jabatan juga dikejar dengan menghalalkan segala cara. Suara pembelaan umat dan rakyat kepada Kolonel Hadi nyaring dank eras. Internal TNI, secara umum jelas akan berpihak pada kebenaran dan sikap kesatria Kolonel Hadi. Namun kekuasan saat ini sedang mengintensifkan represifme untuk memaksa rakyat memberikan ketaatan pada rezim. Rezim ini tak peduli. Apakah ditaati karena cinta, atau terpaksa taat karena takut. Yang penting bagi rezim ini adalah rakyat diam. Rakyat tidak ribut, dan nurut saja meskipun terus dizalimi. Sabar Pak Kolonel, karakter anda telah menujukan pribadi seorang calon jenderal sejati. Semoga, ujian ini tak mengurangi apapun kecuali menambah iman dan naiknya derajat anda sekeluarga, Amin amin amin ya robbal ‘alamain. Penulis adalah Wartawan Senior
Pak KASAD, TNI Bukan Alat Kekuasaan Loh
Suasana kebatinan TNI itu sama dan senapas dengan suara rakyat. Kalau terasa ada yang salah, pasti rakyat juga ikut merasakan. Kaum emak, termasuk istri tentara itu juga manusia biasa. Isteri tentara itu bukan robot. Mereka juga memiliki pikiran dan perasaan. Wajar saja mereka bersuara atas adanya anomali yang terjadi di negeri ini. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Miris, institusi TNI juga ikut-ikutan 'terpapar' kedunguan rezim. Padahal, publik berharap TNI masih bisa mengayomi rakyat. Apalagi setelah polisi terbukti 'gagal' menjalankan fungsinya sebagai pengayong pelayan dan pelindung masyarakat sipil. Belum lama ini, KSAD Jenderal Andika Perkasa menjatuhkan sanksi kepada dua anggota TNI AD. Keduanya dihukum karena istri mereka mem-posting soal penusukan Menko Polhukam Wiranto di media sosial. Sederhananya, dua anggota TNI ini dihukum hanya karena 'gosipan' emak-emak. Terlepas apapun konten yang diunggah, cara menghukum yang dipublikasikan terbuka kepada publik, bukanlah cara untuk mendidik, membina, dan menjaga marwah bawahan. Jika benar harus dihukum, tentu hukuman itu khusus untuk diketahui internal. Celakanya, hukumannya pun double pula Pak KASAD. Selain dicabut dari jabatan, dua anggota TNI berpangkat Kolonel dan Sersan ini juga disanksi sel 14 hari. Bahkan, tidak puas dengan sanksi internal, IPDN yang merupakan istri Komandan Kodim Kendari Kolonel HS dan LZ istri Sersan Dua berinisial Z, juga diarahkan ke ranah peradilan umum. Apakah seperti ini perilaku komandan terhadap anak buahnya? Mendapat masalah dari luar saja, komandan sedapat mungkin menjaga dan melindungi marwah anggotanya. Komandan juga sekaligus memberi arahan dan pembinaan. Bukan main langsung copot, terus dimasukan ke dalam sel. Setelah itu istrinya dibawa ke pengadilan umum. Apa yang mau dipertontonkan dari peristiwa ini ? Mau menebar teror kepada seluruh korps TNI agar menutup mulut atas semua keanehan di negeri ini ? Lantas, jika 'urusan gosip' saja dikenai sanksi, bagaimana dengan kondisi di Papua ? Apa tidak cukup alasan untuk dicopot petinggi AD disana ? Karena mereka dipandang 'gagal' mengamankan wilayah ? Pak KASAD, cukup penglima TNI saja yang tak paham tupoksi TNI. Sehingga berdiri dengan gagah, berdeklamasi untuk melindungi Jokowi. Saya ingatkan saja, TNI itu milik rakyat bukan milik Jokowi. TNI itu alat negara, bukan alat kekuasaan. Lantas, jika model penindakan anggota seperti ini apa Pak KASAD akan dicintai bawahan ? Prajurit itu kalau bertugas 'Toh Nyowo', taruhan nyawa boss. Jangan hanya karena urusan 'gosip emak-emak', lantas komandan tega menunjukan sikap jemawa. Suasana kebatinan TNI itu sama dan senapas dengan suara rakyat. Kalau terasa ada yang salah, pasti mereka juga ikut merasakan. Kaum emak, termasuk istri tentara itu juga manusia biasa. Isteri tentara itu bukan robot. Mereka juga memiliki pikiran dan perasaan. Wajar saja mereka bersuara atas adanya anomali yang terjadi di negeri ini. Kalaupun itu melanggar, juga cukup diingatkan saja. Tidak perlu langsung mencopot jabatan suami. Penjarakan suami, dan tuntut emak-emak istri tentara ke peradilan umum. Coba fikirkan, istri anggota TNI diperkarakan di ranah peradilan umum, hanya karena dipersoalkan oleh komandan suaminya. Ini kan miris sekali Pak KASAD. Pak KASAD. Banyak senior bapak yang gemas, tatapi masih menahan diri. Jangan paksa, rasa tidak ridho untuk dizalimi itu meledak menjadi aksi nyata. Teraktualisasi dalam bentuk tindakan. Terukurlah, dan pakai nurani TNI dan rakyat dalam mengambil tindakan. Tidak semua apa yang diinginkan penguasa, harus anda penuhi. Meskipun posisi anda saat ini juga hadiah dari penguasa. Ingatlah, bagaimana susah payah anda meniti karier di militer. Kalau anggota TNI diberikan sanksi karena berbuat salah itu akan terima. Tapi kalau disanksi karena tendensi, disanksi karena politik itu berbahaya. Apalagi anda berikan sanksi karena ingin menyuarakan nurani. Itu lebih berbahaya lagi Pak KASAD. Sekali lagi, kami segenap rakyat mendukung TNI. Kami mencintai TNI sebagai anak kandung rakyat. Kami juga berharap, agar TNI tetap berpihak kepada rakyat. Ingat, TNI itu lahir dan dibesarkan dari rahim umat dan rakyat. Karena itu, jangan mendurhakai umat dan rakyat Pak KASAD. Penulis adalah Wartawan Senior