NASIONAL

Reuni 212, Apakah Masih Perlu?

Bagi pegiat demokrasi yang jujur, seharusnya keberadaan alumni 212 patut disyukuri. Bukan malah dimusuhi hanya karena adanya perbedaan latar belakang dan keyakinan beragama. Sebab mereka adalah simbol tetap hidupnya kelompok masyarakat madani (civil society). Kelompok yang melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah. Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Senin 2 Desember 2019, Reuni Akbar Alumni 212 akan kembali digelar di Lapangan Monas, Jakarta. Acara digelar bersamaan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dan diberi tajuk Maulid Agung. Banyak yang mempertanyakan urgensinya, perlunya reuni itu digelar setiap tahun. Apalagi di tengah upaya “rekonsiliasi,” menyatukan kembali anak bangsa yang terbelah sangat dalam, pasca Pilpres 2019. Bagi yang tidak sepakat dengan reuni, kegiatan itu hanya akan mengganggu proses “rekonsiliasi” yang tengah diupayakan pemerintah. Mendagri Tito Karnavian secara terbuka menyatakan alumni 212 menjadi penghambat terwujudnya stabilitas nasional. Kendati disampaikan secara berseloroh, apa yang diucapkan Tito haruslah dilihat sebagai sikap resmi pemerintah. Bercanda, tapi serius. Pemerintah masih tetap menganggap alumni 212 sebagai ganjalan terbesar. Kelompok yang sampai aekarang belum/tidak bisa ditaklukkan. Semacam duri dalam daging. Sebagai mantan Kapolri, tentu Tito sangat paham betul dengan siapa dia berurusan. Gerakan ini tidak mudah bisa dipatahkan dan ditundukkan. Tidak bisa ditakut-takuti, juga tidak bisa dikooptasi. Mereka berbeda dengan kubu pendukung Prabowo. Lepas dari ketidak-sukaan pemerintah, menarik untuk mempertanyakan apakah urgensi dari reuni tersebut? Bagi pegiat demokrasi yang jujur, seharusnya keberadaan alumni 212 patut disyukuri. Bukan malah dimusuhi hanya karena adanya perbedaan latar belakang dan keyakinan beragama. Sebab mereka adalah simbol tetap hidupnya kelompok masyarakat madani (civil society). Kelompok yang melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah. Hanya kelompok yang berani menyatakan TIDAK, ketika semua instrumen demokrasi nyaris mati suri dan membebek terhadap apapun keinginan pemerintah. Tanda-tanda negara ini dibawa menjauh dari demokrasi tampak sangat nyata. Tanda-tanda bahwa negara ini ingin kembali dibawa ke praktik kekuasaan otoriter sudah di depan mata. Ada upaya secara sistematis mengembalikan pemilihan presiden ke MPR. Ada upaya nyata menjadikan Jokowi sebagai presiden “seumur hidup.” Upaya itu dibungkus dengan wacana memperpanjang masa jabatan dari 5 tahun menjadi 8 tahun. Mengubah pembatasan masa jabatan dua periode menjadi tiga periode. Bila upaya tersebut sukses, tidak tertutup kemungkinan tidak ada lagi pembatasan masa jabatan presiden seperti pada masa Orde Baru, dengan dalih kembali ke UUD 45. Pemerintah melangkah terlampau jauh memasuki aktivitas privat masyarakat. Yang lebih memprihatinkan pemerintah terkesan terjangkit dan mengembangkan wacana Islamophobia. Wacana perang terhadap radikalisme dikembangkan sedemikian rupa dan sasaran utamanya adalah umat Islam. Akibatnya, kegiatan majelis taklim harus terdaftar. Polisi disebar untuk mengawasi masjid-masjid yang diduga sebagai tempat penyebar kebencian. Pemerintah juga menerbitkan SKB 11 Menteri untuk mencegah paham radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN). Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan masa depan demokrasi Indonesia, ketika tidak ada lagi elemen kritis yang terorganisasi. Dalam konteks inilah reuni alumni 212 menemukan urgensinya. Harus terus ada kelompok yang menyuarakan sikap kritis terhadap pemerintah. Mereka harus terus dirawat. Dijaga soliditasnya. Jangan pandang mereka sebagai kelompok berbahaya yang harus terus dimusuhi. Jadikan mereka partner di luar pemerintahan untuk menjaga demokrasi kita tumbuh sehat dan kuat. Demokrasi dapat tegak berdiri tanpa oposisi, adalah ilusi. End Penulis adalah Wartawan Senior

Suka atau Tidak, Reuni 212 Kini Menjadi Arus Besar

Arus dan gelombang besar 212 akan terus mempersoalkan prilaku ketidakadilan yang bersumber dari para penguasa. Juga akan mempersoalkan kesemena-menaan para pemilik modal yang menguras habis sumber daya alam milik rakyat. Gerakan 212 juga mengingat terus para pemburu rente ekonomi impor yang telah menyesarakan petani, peternak dan nelayan. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Bisa dipastikan bahwa semua penguasa tingkat tinggi tidak ada yang suka melihat pelaksanaan Reuni 212 tahun 2019 ini. Yang juga tidak suka termasuk para konglomerat, terutama mereka yang hitam. Yaitu, para konglomerat yang merasa umat Islam garis lurus sebagai penghalang bagi kesewenangan dan rencana-rencana jahat mereka. Kalau ada yang bilang mereka suka, hampir pasti pernyataan itu hoax atau bohonh. Pura-pura saja mereka. Alias munafik. Sebab sejauh ini, hanya Gubernur DKI Anies Baswedan yang diyakini tidak gerah melihat Reuni 212. Dia langsung memberikan izin penggunaan kawasan Monas untuk acara reuni. Bisa dipastikan pula bahwa para penguasa memiliki perangkat lunak dan perangkat keras untuk mencegah gerakan umat Islam ini. Mereka bisa melarang, menghalangi massa, dan mereka bisa menciptakan suasana yang membuat para peserta merasa tak nyaman. Supaya pendukung Reuni 212 tak mau hadir lagi. Semua ini bisa mereka rekayasa sesuka hati. Tetapi, perhelatan Reuni 212 insya Allah akan terlaksana besok, 2 Desember 2019. Meskipun semua pemegang kekuasaan membencinya. Meskipun institusi-institusi keamanan tidak suka. Meskipun kaum liberal, kaum sesat, umat garis bengkok sangat tidak suka. Meskipun Ade Armando, Denny Siregar, Abu Janda, Sukmawati, Megawati, Paloh, Bamsoet, Banser, dan lain-lain, juga tidak suka. Mengapa para penguasa, pengusaha, orang-orang sesat dan bengkok pikiran itu tak suka adanya 212? Karena gerakan 212 berhasil menghimpun kekuatan umat garis lurus. Yang akan menghadang dan mpersoalkan prilaku kesewenangan, keserakahan, dan kebatilan ideologi. Arus dan gelombang besar 212 akan terus mempersoalkan prilaku ketidakadilan yang bersumber dari para penguasa. Juga akan mempersoalkan kesemena-menaan para pemilik modal yang menguras habis sumber daya alam milik rakyat. Gerakan 212 juga mengingat terus para pemburu rente ekonomi impor yang telah menyesarakan petani, peternak dan nelayan. Kekuatan 212 akan melawan habis ideologi-ideologi yang berbahaya bagi kelansungan hidup bangsa dan Negara kita. Akan melawan sampai mati keinginan para penganut komunisme dan kekuatan politik besar yang punya ambisi hendak mengijonkan dan menyerahkan negara ini kepada RRC. Inilah peranan penting kehadiran dan keberadaan gerakan 212. Kekuatan ini tak bisa dianggap enteng, karena sudah didukung oleh semua lapisan masyarakat. Ada jutaan “ordinary people” (orang biasa). Tetapi banyak pula kaum intelektual, para ilmuwan, teknokrat, dan lain sebagainya. Umat dari segala latar-belakang itu bersatu dan menyatu tanpa ada sekat. Gerakan 212, insya Allah, tak mungkin lagi bisa dibendung. Gerakan ini sudah menjadi “rallying point” atau “tempat berkumpul” umat dadn manusia garis lurus. Kekuatan ini telah menjadi “mainstream” (arus besar) umat. Yaitu, gerakan yang telah diterima oleh mayoritas umat. Mau suka atau tidak suka. Sepanjang para tokohnya bisa selalu menjaga kesakralan gerakan dan misinya, dapat dipastikan Arus 212 bisa menimbulkan distorsi serius terhadap agenda jahat yang disusun oleh musuh-musuh bangsa dan Negara. Penulis adalah Wartawan Senior

Mana Lebih Urgen: Narkoba Atau Radikalisme?

By Asyari UsmanJakarta, FNN - Badan Narkotika Nasional (BNN) mendata sekitar 4,200,000 (4.2 juta) pemakai narkoba di Indonesia. Jumlah desa dan kelurahan tercatat 83,447. Jadi, rata-rata desa dan kelurahan memiliki 50 orang pemakai narkoba. Ini angka rata-rata. Kalau diasumsikan pemakai narkoba itu lebih banyak di kawasan perkotaan (urban), boleh jadi di setiap kelurahan di kota-kota besar ada 80-an pemakai narkoba.Kalau 50 orang pemakai narkoba per desa/kelurahan itu melakukan rekrutmen, bisa dibayangkan masa depan bangsa ini. Jika 50 orang pemakai itu berhasil menambah anggota 25 orang per tahun, berarti dalam lima tahun akan bertambah 125 orang pemakai baru. Karena itu, pada 2025 nanti Indonesia memiliki “pasukan narkoba aktif” sebanyak 50+125x83,447=14,603,225. Kita sederhanakan saja menjadi 14 juta orang. Angka ini tidak memperhitungkan kalau para pemakai baru melakukan rekrutmen. Jika pemakai baru juga aktif mencari teman baru, silakan para pakar matematika membuatkan tabulasinya.Baik. Kita ambil sajalah angka 14 juta sebagai proyeksi jumlah pemakai narkoba pada 2025. Kira-kira, serepot apa bangsa ini nanti? Di desa atau kelurahan Anda nantinya akan ada 175 orang pemakai narkoba. Ada 175 sel aktif narkoba di sekitar Anda. Kalau 10 persen saja diantara mereka kita sebut “pemakai radikal”, berarti ada 17 orang yang siap menjadi “bom bunuh diri” yang akan meneror tiap desa dan kelurahan.Ada lagi angka yang sangat mencemaskan dari Komisi Perlindingan Anak Indonesia (KPAI). Di awal Maret 2018, Komisi mengatakan dari 87 juta anak di bawah 18 tahun, hampir 6 juta diantaranya masuk kategori pencandu narkoba.Selain angka pemakai dan proyeksi rekrutmen ini, kita lihat sepintas kerugian lain akibat penggunaan narkoba. BNN mengatakan, sekitar 40 orang menemui ajal setiap hari karena benda yang berbahaya ini. Potensi kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 75 triliun rupiah per tahun.Sebelum dilanjutkan, kita memohon kepada Allah SWT agar proyeksi ini tidak menjadi kenyataan. Amin, Allahumma amin.Nah, dari angka-angka yang sangat menyeramkan ini, menurut Anda mana lebih urgen masalah narkoba dibandingkan isu radikalisme? Sebagai ilustrasi saja, radikalisme yang sangat ditakuti oleh para penguasa, terutama Menag Fachrul Razi, itu baru sebatas pemakaian cadar dan celana cingkrang. Kalau pun lebih dari ini, radikalisme di kalangan umat Islam baru sebatas aktivitas amar-ma’ruf nahi mungkar oleh FPI atau cita-cita khilafah di kalangan “ormas ompong” HTI.Atau, radikalisme itu baru sebatas kepatuhan kaum perempuan muslim untuk menutup aurat mereka. Di kampus-kampus atau di tempat kerja. Atau, radikalisme itu baru sebatas ghirah untuk ikut Reuni 212.Dan tidak semua umat Islam punya ghirah yang tinggi untuk bersyariat. Masih ada puluhan juta yang tak mau tahu soal halal-haram. Ada jutaan lagi umat Islam garis bengkok yang siap membakar bendera Tauhid. Masih banyak yang siap bekerja sama dengan Israel atau China komunis, dlsb. Dan mereka ini siap pula berhadapan dengan kaum yang dilabel-label radikal itu.Jadi, masalah radikalisme yang menghantui para penguasa saat ini masih belumlah mencemaskan. Tidak semengerikan 6 juta anak-anak di bawah 18 tahun yang saat ini kecanduan narkoba. Belumlah tertandingi angka kematian akibat narkoba yang mencapai 40 orang tiap hari.Dampak cadar, cingkrang, janggut, atau pakaian muslimah lainnya, belumlah bisa menandingi kerugian ekonomi sebesar 75 triliun per tahun terkait peredaran narkoba. Kalau radikalisme itu kalian anggap sebagai gangguan, masih belumlah menyamai jumlah 50 orang pencandu narkoba per desa atau kelurahan di Indonesia.Karen itu, cobalah Anda para penguasa merenungkan mana yang lebih urgen masalah narkoba dibandingkan isu radikalisme?Mana yang lebih berbahaya: ratusan ton sabu dan 13 juta butir ekstasi yang tak tertangkap oleh aparat atau Reuni 212, cadar, celana cingkrang, janggut, jilbab, dll?[]30 November 2019Penulia wartawan senior.

Agnes Mo, Anies Baswedan & Sukanto Tanoto dalam Nasionalisme Kita

Sikap Anies ini berbeda antara bumi dan langit dengan Sukanto Tanoto. Sukanto Tanoto, yang kekayaannya melimpah ruah karena berbagai "kemudahan" bisnis di Indonesia malah menyatakan bahwa RRC lah ayah kandungnya. Ini tentu sebuah gambaran buruk dwi identitas dibanding Anies tadi. Seharusnya Sukanto menjadikan Indonesia "ayah kandung" untuk berbakti, bukan sebaliknya. By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Banyak tokoh-tokoh pegiat politik marah dengan Agnes Mo beberapa hari ini. Bahkan, mantan Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Emmi Hafidz, seperti dikutip Tempo dari akun FB-nya, minta Agnes pindah saja ke neraka. Pasalnya, dalam suatu wawancara bergengsi di Amerika, BUILD Series, Agnes mengatakan dia tidak punya sama sekali darah Indonesia. Sebelumnya, Kevan Kenney, pembawa acara, menanya Agnes, kenapa dia profil fisiknya berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Pihak-pihak yang marah maupun bertanya-tanya antara lain dilatari. Pertama, Agnez dinilai tidak tahu berterima kasih terhadap Indonesia yang sudah membesarkan dia. Kedua, Agnez membangkitkan sentimen nasionalistik. Dapat berdampak sentimen atas darah keturunan yang ingin disamakan (dianggap setara pribumi) selama ini menjadi dipertanyakan kembali. Ketiga, bagaimana Agnez bisa punya kewarganegaran Indonesia? Soal Agnez ini menarik untuk kita diskusikan. Karena Agnez adalah artis terkenal di Indonesia. Dia mempunyai banyak fans. Kedua, beberapa waktu lalu "kasus kebangsaan" ini banyak terjadi. Anies Baswedan misalnya, menyatakan akan membangun Pribumi dalam pidato kemenangannya Oktober 2017. Selain itu, Jokowi mengangkat menteri energi, Archandra, pada saat mana Archandra tercatat sebagai warga Negara Amerika. Beberapa tahun lalu, pengusaha Sukanto Tanoto juga mengatakan persoalan yang hampir sama dalam sebuah pertemuan elit di RRC. Dia mengatakan bahwa RRC adalah bapak kandungnya. Sedangkan Indonesia hanya sebagai bapak tiri Sukamto Tanoto. Begitu juga dengan Bahlil Lahadalia, yang dikecam orang-orang Papua karena dianggap mengaku-ngaku sebagai orang Papua. Di jaman globalisasi dan internet of things, pembicaraan kebangsaan ini tetap dalam kontroversi. Antara lain cairnya identitas seseorang d i satu sisi versus mengentalnya netionalisme di sisi lain. Kita akan tetap menemukan kontrovensi masalah ini dengan pelaku yang berbeda di masa mendatang. Kita akan membandingkan kasus-kasus seperti di atas pada isu nasionalisme bangsa kita. Apakah memang benar bahwa bangsa kita tidak ada yang asli? Sebagaimana Sukarno dan para founding fathers membuatnya pada pasal 6 UUD 1945 yang asli. Apakah persoalan identitas yang ditampilkan Agnez vs. Anies vs. Archandra vs. Sukanto Tanoto vs. Bahlil mempunyai skala isu yang sama? Pribumi vs Non Pribumi Bangsa Indonesia dan warganegara Indonesia adalah suatu yang berbeda. Agnez pada dasarnya ingin memberitahu pembawa acara Kevan Kenney, atau semua kita yang saat ini terlibat diskusi ini, bahwa dia bukanlah Bangsa Indonesia, melainkan hanya warganegara Indonesia. Karena tidak ada darah Indonesia yang mengalir di dalam tubuhnya. Sebagaimana Michael Jackson atau Rihanna di Amerika, misalnya, mereka adalah Bangsa Afrika, tetapi adalah warganegara Amerika. Begitu juga dengan Agnez, yang adalah bangsa campuran Jepang, China dan Jerman, tetapi warganegara Indonesia. Di Amerika orang Afrika menyebut dirinya Afro-American atau Black America. Sebuah bangsa menurut ahli seperti Anthony Smith vs. Ernst Gellner sudah berbeda. Dalam "The Warwick Debate", yang menjadi rujukan para ahli "national vs nationalism", antara keduanya di Universitas Warwick, Inggris, tahun 1996, Smith meyakini bahwa fenomena bangsa itu ada. Sedangkan Gellner meyakini bahwa bangsa itu hanya produk modernisme dalam abad industri. Pikiran bahwa bangsa itu ada, sejalan dengan Soekarno dan para founding fathers bahwa Bangsa Indonesia itu artinya adalah yang asli. Bukan bangsa Arab, China maupun Eropa. Amien Rais dan kawan-kawan, pada tahun 1999-2002, tidak percaya bahwa Bangsa Indonesia asli itu ada. Akibatnya, pasal 6 UUD 1945 yang dirumuskan BPUPKI dirubah mereka dalam Amandemen. Siapapun termasuk Agnez punya hak yang sama dengan orang-asli asli untuk menjadi presiden kita. Pemikiran Amien Rais dan kawan-kawan tersebut, ternyata sejalan dengan Ernst Gellner, Eric Hobswam dan Ben Anderson. Bahwa yang ada adalah warganegara atau pemegang parpor seperti Agnez Mo. Pemegang aspor bukanlah sebuah bangsa. Dalam pikiran Sukarno dan pendiri Negara lainnya, bahwa garis kewarganegaran itu mengalir dari darah kebangsaan. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Professor Hikmahanto Juwana. Kewarganegaraan cecara otomatis diberikan buat bangsa lainnya sesuai aturan yang mengaturnya. Lalu bagaimana soal pribumi vs. non pribumi? Senator Mc Cain, 2008, di pilpres USA, sebagai penantang Obama, pernah mengatakan bahwa Obama bukanlah pribumi. Lebih tepatnya Mc Cain menyebut "American Heritage" berasal dari Anglo Saxon. bukan Afrika seperti Obama. Namun, McCain gagal memberi perspektif yang bertentangan soal siapa Bangsa Amerika. Sebab, semua orang Amerika adalah pendatang. Setidaknya mereka menganggap begitu. Warga negara Amerika kemudahan adalah siapapun yang lahir di Amerika. Anies juga bicara soal kemajuan kaum pribumi, pada tahun 2017. Ketika menyampaikan pidato kemenangan dia sebagai Gubernur DKI, 2018 (lihat Syahganda dalam "Anies, Mandela dan Evo Morales : Aspek Teoritik dan Sejarah Perjuangan Pribumi"). Kala itu dia menyebutkan akan berjuang untuk kemajuan pribumi. Namun isu itu surut ketika Anies dilaporkan warga ke polisi, karena dianggap rasis. Anies juga diejek oleh sebagian nitizen kalau dia bukan pribumi alias Arab. Namun, jika melihat kasus Bahlil yang besar di Papua dan anak-anak "pendatang" (lahir dan besar di Papua) menjadi korban kebiadaban di Wamena beberapa waktu lalu. Mereka dianggap bukan dianggap asli maupun pribumi di sana. Maka asli dan pribumi itu terlihat pula memiliki tempat dalam kazanah politik kita. Bahkan, di Papua, hanya orang Papua asli alias pribumi yang boleh jadi Gubernur di sana. Lalu apakah Anies membedakan antara pribumi vs. asli? Dari apa yang terlihat, semangat Anies memperjuangkan pribumi adalah nyata. Jika Anies, yang pasti sadar bahwa dia adalah turunan Arab, bukan asli, namun cinta pribumi, maka dapat dipastikan itu adalah spirit ke Indonesiaan dan patriotisme yang dimilikinya. Sama dengan kakeknya, yang anggotan BPUPKI A. R Baswedan, yang memilih berjuang bersama pribumi Indonesia melawan Belanda. Sikap Anies ini berbeda antara bumi dan langit dengan Sukanto Tanoto. Sukanto Tanoto, yang kekayaannya melimpah ruah karena berbagai "kemudahan" bisnis di Indonesia malah menyatakan bahwa RRC lah ayah kandungnya. Ini tentu sebuah gambaran buruk dwi identitas dibanding Anies tadi. Seharusnya Sukanto menjadikan Indonesia "ayah kandung" untuk berbakti, bukan sebaliknya. Tantangan Nasionalisme Apakah Agnez perlu pindah ke neraka? Soal Agnez ini adalah soal identitas sosial belaka. Masalah kontestasi identitas ini mungkin menyakitkan masyarakat awam. Apalagi jika Agnez yang sudah dianggap Indonesia, kemudian terkesan menyepelekan Indonesia. Saya bukanlah orang awam yang larut dalam perdebatan semu soal Agnez. Sedikit kecewa, mungkin iya. Tapi, bagi saya Agnez adalah gadis jujur belaka. Yang mengungkapkan tentang dirinya, sebagai sebuah klarifikasi sosial apa adanya. Tidak menambah. Juga tidak mengurangi. Dalam jaman global ini, Agnez dan fenomena sebagian masyarakat sebagai anggota atau bagian "global community" merupakan keniscayaan, khususnya di kota-kota besar. Mengapa saya tidak menganggap ini terlalu penting? Karena Agnes tidak melibatkan negara, bangsa dan masyarakat Indonesia pada urusannya tersebut. Tentu hanya orang awam pula yang perlu atau punya "hak" menista Agnez. Sebaliknya, orang-orang politik atau mengerti politik, akan menjadi "misleading" jika ikut dalam polemik isu Agnez. Artinya, dalam "political sphere" maupun "public domain", soal Agnez ini tidak merugikan. Namun, soal "Anies dan Pribumi", "Archandra dan Dwi Kewarganegaran", "Sukanto Tanoto dan Bapak Kandung" serta "Bahlil dan Asli Papua", merupakan tema politik dan harus dibahas serius oleh pemimpin-pimpinan bangsa ini. Apakah pribumi, asli dan nasionalisme, akan kita anggap sebagai produk modernisme, sesuatu yang akan kita biarkan sirna? Atau sebaliknya? Kita justru kembali merivitalisasi spirit kebangsaan kita. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendiri bangsa? Membiarkan sirna, artinya kita tidak perlu lagi mempersoalkan siapa pemilik tanah air ini. Namun sebaliknya, jika mengikuti "spirit Sumpah Pemuda", maka tanah air ini ada pemiliknya. Berbagai negara dan bangsa di dunia saat ini banyak melakukan revitalisasi kebangsaan mereka. Seperti di Eropa dan Amerika. Juga Amerika latin. Hal ini penting bagi mereka untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam struktur negara bangsa. Dari cepatnya perputaran migrasi penduduk dunia saat ini. Penutup Soal Agnez hanyalah soal identitas tanpa muatan politik. Sehingga tidak perlu dikecam berlebihan. Apalagi harus meminta Agnez pindah ke neraka. Orang-orang harus sadar, bahwa masalah nasionalisme kita bukan pada isu identitas bangsa vs. kewarganegaran Agnes. Namun, ada pada kemauan kita mengembalikan identitas politik bangsa ini. Apakah bangsa pribumi atau asli ini akan tetap menjadi pemilik tanah air Indonesia? Ataukah akan terhempas dalam kejayaan bangsa-bangsa asing yang menguasai sumber daya alam dan kekayaan lainnya? Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle

Sosok Menteri di Era Gus Dur

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Masih terngiang cerita seorang menteri era Gus Dur yang berani mengatakan apa adanya kepada presiden maupun para menteri dalam sidang kabinet. Dia menjadi bawahan tapi juga sekaligus teman diskusi serta teman debat Presiden. Orangnya hamble dan cenderung "hitam-putih" dalam melihat persoalan. Dalam sidang kabinet, dia tidak sungkan untuk mengatakan: "Anda Salah", baik kepada Presiden maupun para menteri. Orang yang tidak mengenal karakternya, akan menilai bahwa orang ini sombong apalagi orangnya memang jarang tersenyum. Tapi apapun isi percakapan dan debat sengit yang disampaikan sang menteri ini, itu semua hanya berlangsung di ruang sidang kabinet. Tidak sampai bocor atau dibocorkan oleh menteri itu ke luar/media. Bahkan terhadap sebuah keputusan yang sudah diambil Gus Dur sekalipun, Sang Menteri ini tidak segan-segan untuk mengatakan: "Saya Tidak Setuju dengan Keputusan Anda.... Bapak Presiden" "Selanjutnya terserah Anda, saya bawahan Anda Pak Presiden. Apakah Anda mau memberhentikan saya atau tidak". Itulah etika birokrasi sekaligus prinsip yang dipegang sang menteri ini. Walaupun berbeda pendapat atau tidak setuju dengan Presiden sebagai atasannya, dia tetap "stand with the boss". Kala itu, banyak di antara menteri yang diangkat dan dipecat Gus Dur. Tapi ada juga menteri yang mundur hanya karena tidak setuju dengan keputusan Gus Dur. Menteri yang pernah dipecat Gus Dur di antaranya Wiranto dan Jusuf Kalla. Saya menceritakan ini karena wajah sang menteri ini tiba-tiba sering berkelabat dalam ingatan saya dalam beberapa hari terakhir ini. Betapa tidak, di saat kabinet sedang gaduh di era Gus Dur, Sang Menteri sering ngajak curhat dengan para kuli tinta. Nah, supaya posisinya sejajar, sengaja saya sebagai kuli tinta yang mengajak sekaligus "mentraktir" sang menteri ini untuk hang out sambil makan/ngopi-ngopi di luar. Setelah itu, bon makan-makannya saya reimburs ke kantor tempat saya bekerja. Lalu saya ajak beberapa kolega yang sama-sama bertugas di Palace waktu itu. "Negara besar dengan persoalan yang besar tapi dikelola secara amatiran,". Begitulah antara lain ucapan dan otokritik yang disampaikan menteri ini. "Lalu kenapa Anda mau jadi menterinya Gus Dur?" sergah saya. Harap Anda tahu, kata menteri itu, saya sudah berteman dengan Gus Dur cukup lama bahkan sebelum dia menjadi Presiden. Tapi begitu dia menjadi presiden tahun 2000, saya menolak ketika Gus Dur memintanya untuk menjadi menteri dalam kesempatan pertama. "Namun karena Gus Dur berkali-kali meminta saya untuk masuk kabinet dengan alasan krisis sumber daya manusia waktu itu, saya pun akhirnya tidak bisa mengelak lagi," ujarnya. Pasca lengsernya Soeharto, persoalan bangsa silih berganti dan menumpuk. Masalah utama waktu itu, krisis ekonomi dan krisis poltik, persoalan GAM Aceh juga belum beres, dll. Presiden Habibie dan Presiden Gus Dur boleh dibilang periode "cuci piring" sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat. Menteri yang saya ceritakan ini orangnya sangat rasional sehingga dia tidak percaya ketika Gus Dur bakal menjadi Presiden saat terjadi krisis kepemimpinan pasca Habibie. Waktu itu konflik antara Partai Golkar yang mendukung Habibie dengan PDIP sebagai pendukung Megawati Soekarnoputri, sangat keras. Di atas kertas, seharusnya waktu itu Megawati yang menjadi Presiden karena di parlemen anggota PDIP cukup kuat. Namun karena waktu itu lahir Poros Tengah yang diinisiasi oleh Amien Rais, akhirnya yang menjadi Presiden Gus Dur yang awalnya waktu itu hanya didukung oleh PKB. Tapi kemudian didukung oleh partai-partai lain seperti PAN bahkan akhirnya Partai Golkar ikut mendukung Gus Dur. Kembali ke cerita dan curhat sang menteri. Gus Dur, kata dia, bukan hanya sekali dua kali saja menyatakan kepadanya kalau dia akan terpilih menjadi Presiden. "Bahkan ketika Gus Dur sedang di rumah sakit akibat terkena serangan stroke, dia masih sempat cerita soal politik. Dia waktu itu sangat yakin bakal menjadi Presiden dan meminta saya membantu dia untuk masuk ke dalam kabinet," cerita Sang Menteri ini. Walaupun dirinya sudah lama menjadi teman diskusi politik dan berdebat dengan Gus Dur. "Tapi saya kan nggak tega juga berdebat dengan orang yang sedang terbaring sakit. Jadi saya iyain aja ke Gus Dur," katanya. Padahal, dalam hati Sang Menteri ini menggerutu: Gus Dur ini sedang ngimpi. Karena berdasarkan analisa dan kalkulasi politik sang menteri ini, Gus Dur mustahil bisa menjadi seorang Presiden. Tapi akhirnya realitas politik waktu itu menunjukkan bahwa Gus Dur benar-benar menjadi seorang Presiden. Sejak itu, sang menteri ini tidak berani lagi untuk menganalisa langkah politik Gus Dur . Tidak hanya menteri yang satu ini, banyak elite politik waktu itu yang tidak mampu membaca langkah politik Gus Dur. Sehingga kala itu ada joke, "Gus Dur ini ibarat sopir bemo, bawa kendaraannya sulit ditebak orang, mau lurus, belok kiri atau nganan juga tidak ada yang tahu karena nggak pernah pakai lampu sein kalau mau belok". Kalau melihat ke belakang, para menteri waktu itu memiliki karakter dan prinsip yang tegas dan jelas. Tidak setuju dengan Presiden, dia mundur. Kalau nggak salah Ryaas Rasid yang mundur waktu itu. Lalu ada juga beberapa menteri yang dipecat bahkan seorang menteri non parpol yang sebelumnya menjadi kepercayaan Gus Dur. Priadi adalah orang yang diangkat Gus Dur menjadi Menkeu karena orangnya dinilai baik dan bisa dipercaya. Dan selama berkarier di BRI hingga menjadi direksi di Bank BUMN tersebut, Priadi praktis tidak mempunyai cacat. Dia boleh dibilang orang yang "lurus" dan sederhana. Tapi toh, akhirnya dia termasuk salah seorang menteri yang dipecat Gus Dur juga. Belakang saya paham, Gus Dur banyak mengangkat dan memberhentikan menteri waktu itu semata hanya sebagai manuver politik. Apa tujuannya ? Hanya Gus Dur yang tahu. Yang jelas sang menteri ini walaupun sering mendebat Gus Dur dalam sidang kabinet, justru dia yang dipertahankan hingga berakhirnya kekuasaan Gus Dur yang kurang lebih hanya 18 bulan. Setelah menjadi Menteri Sekretaris Kabinet, sang menteri ini kemudian dipindah menjadi Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM). Terakhir dia dipindah lagi oleh Gus Dur menjadi Jaksa Agung. Waktu itu kartel politik dan oligarki parpol tidak parah seperti sekarang. Di era Gus Dur, posisi Presiden relatif masih powerfull terutama dalam proses penyusunan kabinet. Sistem politik presidensial masih terasa walaupun banyak menteri waktu itu yang merupakan representasi dari parpol. Tapi rupanya makin lama kekuatan parpol di parlemen semakin solid dan akhirnya melalui proses politik Gus Dur berhasil dilengserkan oleh parlemen. Mereka yang mengangkat, mereka pula yang menjatuhkan Gus Dur. Bulog Gate cuma pintu masuk saja untuk menurunkan Gus Dur dari kursi Presiden. Lalu Presiden diganti oleh Megawati. Sampai persidangan Bulog Gate berakhir, Gus Dur tidak terbukti terlibat dalam Bulog Gate. Dalam persidangan, Gus Dur pernah datang untuk memberikan kesaksian, setelah dia tidak menjadi Presiden lagi. Komitmen Gus Dur dalam penegakan hukum tidak diragukan lagi, keberanian untuk menghapus Dwi Fungsi ABRI juga merupakan salah satu legacy Gus Dur. Semoga tulisan ini tidak sampai dibaca oleh sang menteri yang saya ceritakan di tulisan ini. Alfatihah untuk almarhum Gus Dur. Wallohualam Bhisawab..... Penulis wartawan senior.

Milenial dalam Obsesi Jokowi

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Sangat mengherankan mengapa Presiden Jokowi “so obsessed” (sangat kagum) pada generasi milenial. Sampai-sampai dia berikan tujuh (7) jabatan staf khusus presiden untuk mereka. Apa pentingnya ketujuh milenial itu didudukkan sebagai staf khusus? Apakah masalah ekonomi, sosial, dan politik yang melanda Indonesia ini akan selesai? Untuk apa sesungguhnya para milenial itu? Apakah sekadar pajangan agar Jokowi dikatakan promilenial dan memberikan perhatian kepada mereka? Mudah-mudahan saja Jokowi paham betul gambaran tentang milenial. Ada sekian macam deskripsi. Kita simak sebentar gambaran tentang milenial menurut berbagai sumber. Lexico Oxford merumuskan milenial sebagai “orang-orang yang memasuki usia dewasa muda (young adulthood) pada awal abad ke-21”. Katakanlah menjadi dewasa pada tahun 2000. Urban Dictionary lebih spesifik lagi. Masuk akal dan ilmiah. Dikatakan, milenial itu punya dua sayap. Yaitu, Generasi Y (yang lahir antara 1981-1991) dan Generasi Z (yang lahir antara 1991-2001). Orang-orang Generasi Y seringkali punya ciri yang mirip dengan Generasi X (yang lahir sebelum Generasi Y). Ini yang membuat Generasi Z tak bisa membedakan Generasi Y dengan Generasi X. Generasi Z kemudian mengklaim merekalah yang disebut Milenial. Padahal, tahun-tahun kelahiran milenial adalah 1981-2001. Generasi Y dan Generasi Z sama-sama bisa disebut milenial. Perbedaannya cuma pada perkembangan teknologi. Generasi Y tumbuh dengan komputer pribadi, handphone biasa (cell phone) dan sistem video game. Sedangkan Generasi Z tumbuh dengan tablet, smartphone, dan applikasi (apps). Kesamaan antara kedua generasi ini adalah bahwa mereka mengubah komunikasi dan identitas. Secara global. Nah, perhatikan kalimat terakhir definisi di atas. Yaitu, perubahan komunikasi. Artinya, para milenial itu lebih banyak berinovasi dalam cara komunikasi dilakukan. Mereka buat revolusi komunikasi. Sebutlah “revolusi software”. Misalnya saja, Mark Zuckerberg menciptakan Facebook pada 2004. Dia milenial dan hebat. Usianya baru 35 tahun. Lahir 14 May 1984. Dengan kekayaan bersih lebih USD74 miliar (Rp1,036 T). Facebook dipakai 2.4 miliar pengguna. Kemudian muncul Instagram: dibuat pada 2010 oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger. Masing-masing berusia 36 dan 33. Mereka masuk generasi milenial juga. Dengan kekayaan lebih USD50 miliar seorang (Rp700 T). Seterusnya, Pavel Durov (Rusia) menciptakan Telegram pada 2013. Dia milenial yang berusia 35 tahun. Kekayaannya USD2.7 miliar (Rp38 T). Nah, inilah gambaran yang indah-indah tentang milenial yang sukses. Tapi, milenial diasosiasikan juga dengan tabiat (habit) yang buruk. Seorang miliuner berkata, “Anak-anak milenial itu bisa punya rumah kalau mereka berhenti membeli roti bakar alpukat.” Ini sindiran bahwa anak-anak milenial suka nongkrong di kafe-kafe dan restoran. Menghabiskan waktu berjam-jam dengan gadget (smartphone, tablet, laptop, dll). Milenial dituduh menghancurkan berbagai industri tradisional. Milenial juga dicap sesukahati. Ada yang mengatakan ‘over-sensitivity’ (terlalu sensitif). Candu smartphone, dan banyak lagi julukan lain. Sekarang kita coba pahami obesesi Jokowi terhadap kaum milenial. Apa yang ingin dia peroleh dari pengangkatan tujuh staf khusus yang berpredikat milenial itu? Zuckerberg, Systrom, dan Durov adalah anak-anak milenial yang membuat revolusi dalam cara berkomunikasi. Mereka membuatkan Facebook, Instagram dan Telegram sebagai media komunikasi yang menyenangkan. Dan gratis. Tapi, ketiga platform medsos ciptaan milenial ini bukanlah industri yang riil. Yang mereka buat adalah produk jasa untuk mempercepat, mempermurah, mempermudah dan memperluas komunikasi. Tidakkah hebat produk-produk jasa komunikasi ciptaan Zuckerberg, Systrom, dan Durov? Tentu sangat luarbiasa. Ratusan juta orang merasakan kemudahan. Namun, perlu kita lihat latar belakang perekonomian di negara mereka. Amerika Serikat atau Rusia, tempat ketiga milenial hebat ini bermukim, boleh dikatakan sudah mencapai puncak dalam inovasi perangkat keras (hardware). Mereka sudah selesai melakukan “revolusi hardware”. Sebut saja, industri hardware bidang mana yang belum mereka kuasai? Otomotif? Penerbangan? Pertanian? Elektronika? Perminyakan darat (onshore) dan laut (offshore)? Apalagi? Industri persenjataan? Alat-alat kedokteran? Permesinan? Alat-alat berat, dlsb? Space industry (industri antariksa), termasuk persatelitan, berserta industri-industri pendukungnya, dll? Semua negara maju, termasuk Jepang dan Korea Selatan, sudah mapan di bidang-bidang ini. Bahkan sudah mencapai titik jenuh. Artinya apa? Artinya, industri hardware (perangkat keras) mereka sudah sangat kuat. Mereka menguasai pasar global. Ketika mereka beranjak ke industri software (perangkat lunak), termasuk yang berbasis internet yang di dalamnya ada berbagai platform medsos tadi, negara-negara maju tidak punya masalah sama sekali dengan industri hardware. Bagaimana dengan kita? Adakah kita punya industri otomotif asli (bukan perakitan atau assembling)? Anda bisa jawab Esemka bin Changan. Boleh jugalah. Punyakah kita pabrik elektronik inovasi sendiri? Polytron, barangkali? Bisa jadi. Semoga ini benar-benar merk nasional Indonesia. Terus, apakah ada di sini pabrik alat-alat berat? Ingat, cangkul saja masih diimpor dari RRC. Apakah ada pabrik senjata berat? PT Pindad baru bisa bikin senapan serbu, pistol, dan rompi antipeluru. Ada juga peluncur granat. Lumayanlah. Nah, masih banyak inovasi yang diperlukan untuk indutsri hardware negara ini. Artinya, Indonesia masih jauh di belakang dalam perangkat keras. Untuk semua bidang industri. Konyolnya, hari ini para penguasa berlomba-lomba genit dalam menggunakan terminologi “milenial”. Seolah-olah kita akan segera menyamai kedudukan negara-negara maju begitu para milenial dipajang kabinet Jokowi. Dari tujuh stafsus milenial itu, paling-paling yang bisa memberikan masukan berharga adalah Adamas Belva Syah Devara. Itu pun kalau masukan akan ditindaklanjuti. Anak muda 29 tahun ini memiliki bisnis aplikasi pendidikan, “Ruangguru”. Aplikasi ini yang bisa memberikan kontribusi untuk kemajuan bidang pendidikan. Stafsus milenial lainnya yang mungkin bisa berperan adalah Gracia Billy Mambrasar. Berasal dari Papua. Sama seperti Belva, Gracia bisa membantu akselerasi bidang pendidikan di Papua. Saya khawatir, Jokowi hanya terperangah oleh maraknya jualan online lewat aplikasi, termasuk Go-Jek. Dia mungkin terkagum-kagum oleh bisnis jasa pembayaran (payment online) yang juga menggunakan aplikasi. Boleh kagum. Tapi, jasa transaksi online (software) itu sifatnya hanya memudahkan dan memurahkan. Itu tidak akan membuat negara menjadi kuat tanpa hardware sistem pertahanan yang kuat. Tidak akan membebaskan rakyat dari kelaparan dan kekurangan gizi kalau hardware pertanian dan kelautan tidak kuat. Tidak akan melepaskan Indonesia dari tabiat importasi segala macam keperluan kalau hardware perindustrian tidak kuat. Jadi, agak mencemaskan juga obsesi Jokowi terhadap milenial. Betapa tidak? Begitu dia melihat milenial bisa menyelenggarakan event dengan bantuan aplikasi, Jokowi menjadi terpukau. Diangkat Putri Tanjung menjadi stafsus. Begitu dia melihat jasa transportasi bisa dimudahkan dan dimurahkan dengan aplikasi, dia angkat Nadiem Makarim menjadi Mendikbud. Padahal, yang menjadi masalah adalah fasilitas pendidikan, cara pendidikan dikelola, dan kesempatan. Nadiem dan Putri menikmati itu secara sempurna di Amerika. Andaikata anak-anak Indonesia lainnya bisa punya kesempatan itu, mungkin sejak dulu Indonesia ini sudah menjadi “negara aplikasi”.[] 26 November 2019 Penulis wartawan senior.

Luar Biasa, Kapolri Potong Jatah Proyek Polisi di Pemda

Untuk menjaga keamanan dari pelapor, Idham bakal melindungi kerahasiaan identitas dari perlapor. Dengan catatan, laporan yang disampaikan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, sesuai dengan kebenaran fakta kejadian yang sebenarnya. Artinya, laporan tersebut bukanlah dari hasil mengarang bebas. By Kisman Latumakulita Jakarta, FNN – Sudah dua puluh enam hari, Jendral Polisi Drs. Idham Azis menjabat sebagai Kapolri. Idham Azis dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi di Istana Negara pada hari Jumat, tanggal 01 November 2019. Tentu saja belum banyak yang bisa dinilai dari pekerjaan Jendral Idham Azis selama dua puluh enam hari masa jabatannya tersebut. Beberapa pembenahan kecil telah dilakukan Idham Azis ke dalam internal polisi. Hanya pembenahan kecil, namun cukup untuk membuat kita terperangah, dan terkaget-kaget antara percaya dan tidak percaya. Akhirnya, kita menjadi kagum kepada kebijakan Kapolri pengganti Tito Karnavian ini. Bagaimana tidak. Jendral Idham membuat kebijakan tergolong langka. Dia memotong atau menghilangkan salah satu sumber pendapatan para oknum Kapolsek, Kapolres dan Kapolda di seluruh wilayah Indonesia. Padahal rantai sumber reziki tersebut sudah dinikmati. Juga sudah berlansung puluhan tahun lamanya. Paling kurang sejak reformasi 1998 bergulir sampai sekarang. Namun tanggal 15 November 2019 lalu, kebijakan langka itu dibuat. Jendral Idham mengeluarkan Surat Kapolri, dengan Nomor : R/2029/XI/2019. Surat tersebut ditujukan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota seluruh Indonesia. Isinya mengenai “Koordinasi Pelaksanaan Tugas Polri Dalam Penegakan Hukum dan Penyelanggaraan Pemerintahan Daerah”. Inti dari Surat Kapolri yang ditandatangi oleh Kadivpropam Irjen Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo tersebut, adalah himbauan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota agar tidak melayani atau memfasilitasi segala bentuk pemintaan uang atau barang yang dilakukan oleh anggota polisi di daerah. Mulai dari tingkat Polsek, Polres sampai Polda. Luar biasa berekelas dan hebat kebijakan Kapolri yang satu ini. Bukan itu saja. Jendral Idham juga mengingatkan jajaran Pemerintah Daerah seluruh Indonesia, agar menolak segala bentuk intimidasi atau intervensi dari anggota polisi terhadap pelaksanaan pekerjaan proyek di lingkungan Pemerintah Daerah. Peringatan ini berlaku juga terhadap siapa saja yang mebawa-bawa atau mengatasnamakan intitusi Polri. Jika ada yang mencoba-coba melanggar himbauan ini, Jendral Idham berjanji untuk memberikan sanksi tegas kepada anggotanya. Idham tidak akan pandang bulu atau pilah-pilih pelakunya. Siapa pun orangnya bakal disikat, baik itu anggota polisi maupun yang mereka yang mengaku atau mengatasnamakan intitusi polisi. Lagi-lagi luar biasa Kapolri yang bersuku Bugis ini. Untuk tujuan itu, Idham menghimbau Pemerintah Daerah agar melaporkan anggota polisi yang suka minta-minta proyek di daerah. Untuk memperlancar laporan dari masyakat itu, telah disediakan Sentra Pelayanan Prompam (Bagyanduan Divpropam Polri) di Markas Besar Polisi, di jalan Trunojoyo No.3, Jakarta Selatan. Laporan bisa disampaikan melalui call center atau WhatsApp (WA), dengan nomor kontak 081384682019. Selain itu, bisa juga melalui email dengan alamat ke : divropampolri@yahoo.co.id Guna mendukung pengawasan terhadap pengaduan masyarakat, Idham mengharapkan informasi laporan disertai dengan data-data yang valid. Misalnya, indentitas pelapor, indentitas dari terlapor, serta data pendukung yang relevan, khususnya yang terkait dengan proyek atau permintaan dana. Untuk menjaga keamanan dari pelapor, Idham bakal melindungi kerahasiaan identitas perlapor. Dengan catatan, laporan yang disampaikan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, sesuai dengan kebenaran fakta kejadian yang sebenarnya. Artinya, laporannya bukan dari hasil mengarang bebas. Coklat Tua dan Muda Kebijakan Jendral Idham agar Pemerintah Daerah tidak memberikan fasilitas, baik berupa dana atau jatah proyek kepada anggota polisi di semua tingkatan kewilayah ini, tentu saja tidak popular di mata anggota polisi. Namun kebijakan tersebut pasti sangat disukai, disenangi dan berkelas di mata masyarakat. Kebijakan tersebut harus memotong dan menghentikan sumber reziki anggota polisi yang berlangsung berpuluh-puluh tahun. Tentu saja ini bukanlah kebijakan asal-asalan. Jendral Idham pasti sudah pertimbangkan dengan matang dampak yang bakal timbul. Tidak ada pilihan lain bagi Jendral Idham. Kebiasaan buruk ini harus dihentikan dari sekarang. Jendral Idham sudah sangat mengerti dan paham dengan praktek jatah-jatahan proyek untuk komandan polisi di daerah ini. Apalagi Idham pernah menjadi Kapolres dan Kapolda. Sebuah kebijakan kecil saja dari Kapolri. Namun sangat berdampak secara positif terhadap output pembangunan di daerah secara keseluruhan. Publik harusnya mendukung sepenuhnya kebijakan Jendral Idham tersebut. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa di daerah ada para oknum Kapolres, Kepala Kerjaksaan Negeri (Kajari) Kapolda dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) mempunyai jatah proyek dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jatahnya itu selalu ada pada setiap tahun anggaran. Tinggal jatah itu mau diambil atau tidak? Mau digunakan atau tidak? Terpulang kepada para komandan masing-masing. Pada beberapa provinsi di Pulau Sumatera, para pejabat pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan pimpinan proyek punya sandi khusus terkait jatah proyek ini. Mereka menyebut jatah proyek untuk para oknum Kapolres, Kajari, Kapolda dan Kajati itu dengan nama tertentu. Misalnya, “proyek itu punyanya coklat tua, dan proyek itu jatahnya coklat muda”. Kalau coklat tua adalah jatah proyek untuk oknum Kajari dan Kajati. Sedangkan coklat muda adalah jatah proyek untuk oknum polisi Kapolres dan Kapolda. Biasanya jatah proyek seperti ini dikerjakan oleh pemborong yang menjadi teman dekatnya coklat tua atau coklat muda. Yang punya jatah proyek biasa mendapatkan fee yang berpariasi antara 10% - 20%. Tragisnya lagi, terkadang nilai proyeknya belum dibahas atau disetujui oleh DPRD dan Pemerintah Daerah. Namun sipemborong sudah memberikan fee di depan antara 5% - 10% kepada coklat tua maupun coklat muda sebagai pemilik jatah proyek. Dampak negatif dari adanya jatah-jatahan proyek untuk oknum coklat tua dan oknum coklat muda ini adalah berkurangnya kualitas proyek. Hasilnya bisa di bawah standar atau spect. Akibatnya, dalam kurum waktu tidak terlalu lama, antara satu sampai dua tahun saja, proyeknya sudah rusak. Tidak lagi bisa dipakai. Padahal anggaran yang digunakan untuk proyek tersebut mungkin saja tidak kecil. Selian itu, SKPD merasa bakal mendapat perlindungan dari oknum coklat tua maupun coklat muda. Dampaknya, proyek-proyek lain, yang tidak terkait dengan coklat tua dan coklat muda sekalipun, bisa asal-asalan pekerjaannya. Kualitasnya tidak harus sesuai dengan spect. Karena SKPD tidak lagi khatir atau takut bakal diperiksa oleh coklat tua mapun coklat muda terkait proyek di daerah tersebut. Luar biasa. Hanya dalam lima belas hari sejak menjabat Kapolri, Jendral Idham telah mebuat kebijakan kecil, tetapi bermanfaat sangat besar. Hanya pembenahan ke dalam internal intitusi polisi. Namun berdampak secara strategis dan ekonomis terhadap keseluruhan pembangunan di tanah air. Kualitas pembangunan di daerah diharapkan semakin membaik nantinya. Kebocoran juga bisa dicegah atau diminimalisir. Semoga SKPD dan pimpinan proyek, tidak perlu takut kepada cokalt tua maupun coklat muda. Mereka juga tidak perlu menyiapkan jatah proyek dari APBD untuk coklat tua dan coklat muda. Harapannya, pengerjaan proyek bisa diawasi coklat tua dan coklat muda dengan baik dan benar. Untuk itu, kita juga berharap agar Jaksa Agung TB Burhanudin melakukan hal yang sama. Kebijakan kecil yang dibuat Jendral Idham ini, bisa diikuti oleh Jaksa Agung. Sehingga bukan saja oknum coklat muda yang tidak lagi kebagian jatah proyek dari Pemerintah Daerah. Harapannya oknum coklat tua (Jaksa) juga mendapat perlakuan yang sama dengan oknum coklat muda dari para SKPD dan pimpinan proyek di Pemerintah Daerah. Nantinya sama-sama tidak lagi mendapatkan jatah proyek. Semoga bisa terealisasi. Insya Allaah, amin amin amin. Penulis adalah Wartawan Senior

Catatan Penting Hasil Komite Khittah NU 26 di Situbondo

Oleh Mochamad Toha Surabaya, FNN - Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo kembali menjadi saksi penting dalam penegakan khittah Nahdlatul Ulama (NU). Sekitar 35 tahun lalu, tepatnya 1984, di pesantren ini pula, keputusan penting kembali ke Khittah 1926, ditetapkan. Pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyah, KHR Achmad Azaim Ibrahimy, cucu pahlawan nasional Almaghfurlah KHR As’ad Syamsul Arifin, menjadi tuan rumah pertemuan dzurriyah muassis NU, masyayikh, habaib dan ulama Jatim dalam rangka menegaskan pengertian Khittah NU. Kegiatan diadakan, Kamis 21 November 2019, di auditorium putra. Menghadirkan banyak tokoh penting, seperti Prof. DR KH Ahmad Zahro, Prof. DR Rochmat Wahab, DR Marzuki Ali, Gus Hilmi Ash-Shiddiqi, KHR Achmad Azaim Ibrahimy, dan KH Afifuddin Muhajir. Tak ketinggalan pula pengurus harian pesantren, petinggi Universitas Ibrahimy dari Kabid, Kabag, Rektorat, dan Dekanat turut hadir dalam acara tersebut. Silaturrahim ini menghasilkan sembilan rumusan penting. Pertama. Sebagai prinsip pergerakan dan pengabdian, khittah secara substantif sejatinya sudah digariskan Hadratusysyaikh KH Hasyim Asya’ri, yakni kembali pada garis perjuangan para ulama salafussholihin, sebagaimana doa yang biasa kita panjatkan kepada Allah SWT. “Untuk itu, khittah sebagai garis perjuangan perlu diaktualisasikan kembali dalam rangka jam’iyah diniyah wa ijtima’iyah,” ungkap Ustadz Muhammad Ali yang didaulat sebagai juru bicara Komite Khittah NU 26 ini. Kedua. Melalui gerakan kultural ini, majelis silaturrahim mengajak kepada semua warga Nahdlatul Ulama untuk selalu melakukan muhasabah terhadap fenomena ke-NU-an yang terjadi selama ini. Menurut Ustadz Ali, tindakan koreksi diri ini menjadi penting dijalankan, karena tak ada kesempurnaan dalam hidup setiap manusia. Selain prinsip ini, kita semua juga memiliki kepedulian dan keberpihakan kepada jamiyah NU agar menjalankan organisasi sebagai sarana ibadah perjuangan dan pengabdian kepada Allah SWT. Ketiga. Jangan jadikan organisasi NU sebagai alat untuk memuluskan kepentingan pragmatis pribadi dengan menjauhkan prinsip perjuangan yang telah dibangun oleh para muassis NU. Keempat. Niat tulus dan ikhlas dalam memperjuangkan NU, hanya mengharap target keridhoan Allah SWT. Jika ada diantara kita, baik yang menjadi pengurus maupun tidak, melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan garis perjuangan NU, maka, tegurlah dengan benar dan sabar, sebagaimana prinsip watawa shaubil haq watawa shaubish shabr. “Permusyawaratan dalam tubuh NU sebagai jam’iyah harus mendasarkan pada prinsip dan nilai-nilai yang dibangun para muassis NU,” tutur Ustadz Ali. Kelima. Untuk mengembalikan prinsip-prinsip permusyawaratan tersebut, maka dalam setiap penyelenggaraan permusyawaratan di berbagai tingkatan, agar tidak menggunakan cara-cara yang tidak terpuji, seperti mempengaruhi musyawirin dengan politik uang. Fenomena-fenomena politik uang setiap permusyawaratan tentu saja tidak berjalan secara tunggal, ada keterlibatan pihak lain yang ingin memanfaatkan NU secara pragmatis. “Jika ini masih terjadi dan terus dipertontonkan para pengurus, kami khawatir NU akan kehilangan wibawa dan kharismanya sebagai jam’iyah diniyah wa ijtima’iyah,” tegas Ustadz Ali. Keenam. Forum meminta kepada PBNU agar melakukan kerja koreksi dan seleksi terhadap penyimpangan-penyimpangan akidah, karena ada dugaan penyusupan atas penyimpangan akidah yang tidak sejalan dengan akidah dan prinsip-perinsip ahlussunannah waljamaah di tubuh jam’iyah NU. Ketujuh. Kepada seluruh warga NU yang berperan dalam politik dan penyelenggaran pemerintahan, tetap istiqomah memperjuangkan amanah NU, sehingga NU tidak hanya dijadikan alat perebutan kekuasaan, tetapi harus bermanfaat secara umum, maslahah amah. Kedelapan. Perlu memperkuat fungsi kelembagaan mustasyar di jam’iyah NU, sehingga apabila terdapat penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan kepengurusan, bisa mendapat teguran dan sanksi oleh seluruh anggota mustasyar. “PBNU hendaknya mengelola NU menjadi jam’iyyah ashabul haq wal ‘adl jangan mengubah menjadi jam’iyah ashabul qoror,” tegas Ustadz Ali. Kesembilan. Menghimbau kepada seluruh warga nahdliyyin agar selalu istiqomah membaca wirid Ya jabbar ya qohhar. KitaSatu Hati Istilah Khittah NU memang telah populer saat muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984. Namun, jauh sebelum itu, telah disebutkan oleh pendiri NU, Hadratusysyaikh KH Hasyim Asya’ri dalam Qonun Asasi NU yang ditulisnya. “Bahwa ketika NU sudah tidak lagi berada dalam garisnya, harus kembali ke khittati salaf, garis para sahabat, tabiin, tabiit tabiin dengan ihsan (kebaikan) hingga hari kiamat,” ungkap KHR Ahmad Azaim Ibrahimy. Hal itu disampaikan Pengasuh PP Salfiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo ini, dalam Silaturahmi Dzuriyah Masyayikh, Ulama, Kiai, dan Habib yang didakan oleh Komite Khittah 1926 NU (KK26NU) di PP tersebut pada Rabu (21/10/2019). Dalam kesempatan itu, cucu Kiai As’ad tersebut menyebut bahwa terselenggaranya acara ini, berangkat dari amanah mulia dari penggagas KK26NU, KH Salahuddin Wahid. “Bahwa apa yang kita cita-citakan kita satu hati, merindukan jam’iyah NU kembali kepada ajaran pokok semula yang dituturkan dan dipraktikkan oleh pendiri dan pendahulu yang kemudian disebut dengan Khittah,” ungkapnya. Ia juga menyebut bahwa perjuangan dalam mengembalikan NU pada khittahnya, sudah sejak KH Hasyim Asy’ari. Menurut Gus Abdurrahman Hasan Genggong bahwa dalam kitabnya Kiai Hasyim menjelaskan arah perjuangan jamiyah NU bahwa ketika NU sudah tidak sesuai dengan yang digariskan, maka harus kembali kepada Khittati Salaf. “Khittati Salaf ini ya para ulama salaf, yaitu sahabat, tabiin, tabiit tabiin, tapi ada biihsanin ila yaumiddin. Segala sesuatu itu harus biihsan. Untuk sekarang ini biihsan kita, mengembalikan NU kepada khittahnya,” tambahnya. Ia memaparkan pada Khittah NU juga sudah popular pada 1950-an oleh KH Ahyat Chalimi, pada 1962 di Solo, pada 1971 oleh KH Wahab Chasbullah, pada 1981 oleh KH Ahmad Shiddiq, KH As’ad Syamsul Arifin dan sejumlah pemuda NU di Asembagus Situbondo, dan akhirnya dapat diputuskan pada 1884, yaitu pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo. “Menurut Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), kelompok khittah pada saat pergolakan itu, terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu khittah murni, khittah plus, dan khittah minus. Lah kita ini yang mana? Semoga kita termasuk yang khittah NU murni,” jelasnya. Mengacu pada cerita pendirian NU, di mana Kiai As’ad mengemban amanah dari Syaikhona Kholil Bangkalan untuk memberikan tasbih beserta perangkat wirid “Ya Jabbar Ya Qohhar”, Kiai Azaim menyebut bahwa tasbih itu sekarang ini sudah berputar. “Seperti ada yang dibersihkan, tapi tasbihnya tidak sampai rusak. Terus tidak lepas (butir tasbihnya) tapi kotorannya yang lepas. Yang kami cita-citakan khidmah kepada pendiri NU. Itu yang membuatkan kami siap dengan penuh senang hati mengadakan acara ini,” ujarnya. Dengan satu harapan, lanjutnya, tersenyumnya Kiai Syamsul Arifin, senyumnya Kiai As’ad, Kiai Fawaid, terlebih senyumnya para muassis (pendiri) NU. Dan semoga Insyaallah Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga rida,” pungkasnya. Seperti yang diketahui, demi tewujudnya NU yang kembali kepada jalurnya, yaitu Khittah 1926 yang digariskan oleh pendirinya, Komite Khittah 1926 NU mengumpulkan para ulama, kiai, dan habaib di PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Kamis (21/11/2019). Dalam silaturahmi itu, ratusan ulama, kiai, dan habaib dari berbagai daerah di Indonesia hadir untuk merembukkan format perjuangan dalam mengembalikan NU kepada relnya. Penulis wartawan senior.

Komjen Pol. Dharma, "Islam Itu Sangat Mencintai Kedamaian"

Komjen Polisi Dharma mengingatkan tentang masalah radikakalisme dan terorisme sebagai bagaian dari rekayasa global. Mereka merekayasa ketakutan pada manusia. Yang melakukan rekayasa tersebut adalah rezim globalisasi. Targetnya, menciptakan pola pikr manusia yang tidak akan bisa lepas dari rekayasa teknologi informasi dan komunikasi. By Kisman Latumakulita Jakarta, FNN – Rasulullaah SAW berkata “tidak berimannya kamu sampai kamu mencintai sesamamu seperti kamu mencintai dirimu sendiri”. Begitulah maknanya Muslim. Itulah kalimat paling indah, berkelas dan bermartabat dari ajaran Rusulullaah SAW yang dikutip oleh Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Komjen Polisi Drs. Dharma Pongrekun MM. MH. Komjen Polisi Dharma menyampaikan hadits Nabi Muhammad SAW tersebut, ketika menjadi pembicara pada “Indonesia Islamic Young Leaders Summit” yang diselenggarakan di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Sabtu 23 November 2019 kemarin. Dalam pandangan Komjen Polisi Dharma, Islam adalah Agama yang sangat mencintai nilai-nilai kedamaian. Islam memang mengajarkan untuk saling mengasihi, dan menyayangi diantara sesama muslim. Namun Islam juga menyuruh untuk saling mengasihi dan menyayangi diantara sesama umat manusia. Bahkan, Islam sangat mencintai kedamaian pada lingkungan alam semesta. Sampai pada titik ini Dharma menyatakan tidak sependapat dengan pendapat yang mengait-ngaitkan Islam dengan terorisme. Dia juga menolak pendapat yang mengaitkan Islam dengan radikalisme dan intoleransi. Jendral bintang tiga termuda di polisi ini mengambil sikap yang berdeda dengan sementara pihak yang mencoba mengindentikan Islam dengan terorisme, radikalisme dan intoleransi. Menurut Dharma yang baragama Kristen Protestan itu, Islam telah mengajarkan kita untuk saling mencintai diantara kita. Islam juga mengajarkan kita untuk hidup saling mengasihi diantara sesama manusia. Artinya, Islam itu sangat mencintai kedamaian. Apalagi Islam yang di Indonesia. Kedamaian tentu saja menjadi segala-galanya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Sejarah masa lalu, posisi geografi dan pejalanan masa depan akan mengikat kita. Untuk itu, jangan sampai ada pihak yang bisa memisahkan kita. Sebab kita bisa bersama-sama dalam mencitapkan pilar-pilar yang saling menghormati, menyayangi dan mencintai diantara kita. Tujuannya, mendukung kebaikan bersama bagi generasi yang akan datang. Radikalisme Rekayasa Global Pada kesempatan tersebut, Komjen Dharma juga mengingatkan tentang masalah radikakalisme dan terorisme sebagai bagaian dari rekayasa global. Mereka merekayasa ketakutan pada manusia. Yang melakukan rekayasa itu adalah rezim globalisasi. Targetnya, menciptakan pola pikr manusia yang tidak akan bisa lepas dari rekayasa teknologi informasi dan komunikasi. Ciri yang menonjol dari rekayasa yang diciptakan oleh rezim globalisasi itu adalah menimbulkan rasa takut. Pola pikir manusia yang selalu dipernuhi dengan rasa takut, karena angka-angka. Misalnya, bakal kekurangan angka pada reziki atau pendapatan. Takut kalau selalu saja kurang dan kurang. Reziki yang diberikan dari Allaah, Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah cukup atau lebih. Pada rasa ketakutan ini, manusia cenderung tidaklagi menyandarkan diri atau mendekatkan diri kepada kebesaran Allaah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Manusia lebih cenderung manyandarkan diri pada kekuatan diantara sesama manusia. Mencari perlindungan kepada manusia, yang dianggap paling kuat atau lebih kuat. Orang-orang dari komunitas intelijen menyebut rekayasa globalisasi ini dengan sebutan “teori bullshit”. Dimana, merekalah yang menciptakan rasa ketakutan tersebut kepada manusia. Namun setelah ketakutan itu tercipta, mereka sendiri yang datang, dan menawarkan diri sebagai dewa penolong. Jadinya, mereka yang tampil sebagai pahlawannya (iNews.ci.id). Berdasarkan latar belakangnya, praktek dan dampak dari rekayasa globalisasi itu dikatagorikan dalam beberapa kelompok. Misalnya, ada kelompok yang menyiapkan program, yang meliputi uang, kekuatan, dan kontrol terhadap populasi. Sedangkan stretaginya itu dilakukan dengan cara-cara Terstuktur, Sistematis dan Masif (TSM). Visinya adalah merekayasa kehidupan (life engineering). Sedangkan misinya adalah menyatukan semua sistem kehidupan di dunia. Untuk menangkal pengaruh redikalisme dan terorisme tersebut, Komjen Polisi Dharma menghimbau, agar kita harus kembali kepada nilai-nilai moral dan keimanan yang diperintahkan Tuhan melalui para Nabi dan Rasul-Nya. Perlu untuk dibangun kembali rasa saling mencintai dan menyayangi diantara sesama manusia, seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullaah SAW. Salain itu, juga dibangun semangat gotong-royong dan saling membantu satu sama lain diantara kita. Kembali kepada Allaah Sehari sebelumnya, Jum’at 22 November 2019, di depan sekitar 700 mahasiswa Universitas Univeritas Hamka, Dharma mengingatkan tentang pengaruh globalisasi, yang merupakan sistem dari supra sistem global. Mereka rezim global ingin merekayasa kehidupan manusia. Caranya, dengan mamanipulasi pola pikir manusia. Untuk mencapai maksud tersebut, diciptakanlah berbagai rekayasa dan ketakutan kepada manusia. Antara lain, melakukan rekayasa kecerdasan. Mereka juga membuat rekayasa-rekayasa konflik. Setelah rekayasa konflik tersebut berhasil, langkah berikutnya mereka sendiri yang melakukan penyerangan terhadap hasil rekayasa konflik yang mereka buat tersebut. Harus diakui bahwa pengaruh globalisasi tersebut, telah membawa kerusakan fatal bagi kehidupan manusia. Antara lain, runtuhnya nilai-nilai kesakralan dalam kehidupan manusia, terutama kehidupan keluarga. Selian itu, hilangnya keintiman hubungan dintara sesama umat manusia. Pudarnya integritas sosial yang murni. Terjadi juga perubahan pada gaya hidup yang menaggalkan aspek moralitas, nilai-nilai luhur dan agama. Benteng paling ampuh untuk mengahadapi serangan dan pengaruh rezim globalisasi tersebut adalah kembali lagi kepada nilai-nilai agama yang diajarkan para Nabi dan Rasul. Karena di dalam ajarannya para Nabi dan Rasul tersebut, terkandung nilai-nilai Pancasila yang kini menjadi dasar negara kita bangsa Indonesia. Dharma memberi contoh, para Nabi dan Rasul mengajarkan kita tentang berperilaku adil bagi seluruh umat manusia. Selain itu, menjunjung tinggi dan mengedepankan kemanusian diantara sesama kita. Setelah itu, kita duduk untuk bermusyawarah dan bermufakat tenteng setiap perosalan mungkin ada dantara kehidupan sosial kita. Setiap ada perbedaan yang timbul, bingkai penyelesaiannya adalah musyawarah dan mufakat. Semua persoalan bisa diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Kalau kita mau untuk duduk berkumpul dan bermusyawarah dengan adil. Setelah itu diikuti dengan samangat untuk saling sayang-menyayangi (rasa kemanusian) diantara sesama anak bangsa, maka akan tercipta persatuan dan kesatuan. Itulah esensinya nilai-nilai dasar negara kita Pancasila. Penulis adalah Wartawan Senior

Rizieq vs Sukarno, Siapa Yang Lebih Hebat?

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Suatu waktu, beberapa tahun lalu, supir rental dan sahabat politik saya, Harun Songge, memberitahu saya di subuh hari bahwa perjalanan ke gunung Kelimutu, Flores dibatalkan. Info dari pelayanan turis di Hotel, karena sudah mulai hujan gerimis dan kabut gelap. Kami menginap di Ende beberapa puluh kilometer dari gunung itu. Menginap di Ende karena saya memberi ceramah di Taman Renungan Sukarno, di kota Ende. Saya sampaikan ke Songge bahwa jika Sukarno bisa bertapa di puncak gunung Kelimutu itu. Puncak tugu Sukarno, maka saya dulu aktifis student center di ITB. Tempat Sukarno kuliah dan menjadi aktifis, insya Allah akan sampai juga ke puncak gunung itu. Di bawah kaki gunung Kelimutu. Yang tingginya setengah gunung Gede - Puncak, alias 1600-an meter, guide atau pemandu atau kuncen kalau di Jawa, mengatakan hujan kabut gelap ini akan berubah terang jika "arwah" Bung Karno dan roh-roh penjaga mengijinkan kita sampe ke puncak. Dulu, ada presiden Indonesia, coba-coba untuk naik ke puncak gunung. Namun gagal, karena kabutnya tidak mau pergi dari puncak gunung Kelimutu. Padahal aparat sudah mengerahkan pawang hujan. Singkat cerita, kami pelan-pelan mendaki ke atas. Hujan dan kabut pun pelan-pelan menghilang. Saya pun berjam-jam merenung di puncak Tugu Sukarno itu. Sebuah tempat mistis, dikelilingi tiga danau indah. Tempat Sukarno bertapa menggali Pancasila. Pancasila Bung Karno di Ende bukanlah sebagai anak umur millenial yang plesiran. Meskipun dia seorang engineer atau arsitek yang jumlahnya segelintir saat itu. Yang punya kesempatan dibayar mahal. Namun Sukarno ketika itu merupakan tawanan kolonial Belanda. Yang di usia mudanya radikal dan menghasut orang-orang Indonesia untuk melawan Belanda. Pengasingan di Ende, dari tahun 1934-1938. Dengan beban keluarga yang berat, Sukarno harus berpikir keras merumuskan sebuah ideologi bagi adanya suatu bangsa merdeka kelak. Merenung di kota atau desa kala itu. Bisa juga di taman renungan. Bertapa di puncak gunung, diantara orang-orang Katolik dan Islam di sana, serta melakukan surat menyurat dengan tokoh-tokoh bangsa, termasuk A. Hasan, tokoh agama di Jawa Barat, membuat Bung Karno mempunyai konsep holistik tentang Pancasila. Apa itu konsep holistik? Peratama, konsep holistik Pancasila harus bisa menjelaskan tentang masyarakat dan bangsa apa Indonesia itu? Kedua, bagaimana pendekatan dalam merumuskan konsep itu? Bung Karno adalah seorang insinyur maupun arsitek. Cara insinyur mendekati persoalan (approach) adalah "problem solver". Ini tentu sangat berbeda dengan cara filosop dan agamawan yang mengagungkan nilai. Begitu pula dengan ahli-ahli ilmu sosial yang mendekati persoalan dengan kesempurnaan konsepsi. Holistik di sini jadinya melihat realitas. Menemukan masalah dan memecahkannya. Realitas bangsa kita saat itu adalah bangsa dalam cengkraman kolonial. Masalahnya adalah keterpecahan. Lalu bagaimana cara untuk menemukan pemecahannya? Dengan pendekatan itu, maka Bung Karno sejak awal menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang integralistik. Dia melihat ada tiga komponen dasar bangsa kita. Pertama masyarakat Islam. Kedua, masyarakat adat. Ketiga, masyarakat progresif revolusiner. Ketiga ini dibahas Bung Karno, sebelum masa pengasingan di Ende itu, yakni dalam tulisannya "Islamisme, Nasionalisme dan Marxisme". Mungkin berbeda dengan Supomo, yang benar-benar intelektual. Dalam meyakini masyarakat integralistik, Bung Karno bisa jadi lebih pada "oedipus effect". Yang dia maksud rekayasa sosial untuk menyatukan tiga komponen utama bangsa tersebut. Pemikir pejuang seperti Muhammad Natsir maupun Tan Malaka berbeda dengan Bung Karno. Sebagai ahli ilmu sosial dan logika misalnya, menawarkan suatu masyarakat paripurna. Natsir menawarkan ummah. Sedangkan Tan Malaka menawarkan kaum proletar Murba. Hanya Sukarno yang menawarkan ketiga kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok Islam (dan agama), Nasionalis dan Marxist. Ketika kelompok tersebut, terus bersama-sama mengklaim eksistensi sebagai bangsa Indonesia. Bangsa ini ketika dihadapkan pada kolonialisme, Bung Karno mencari spirit patriotisme dari ketiga elemen itu. Dalam Islam bung Karno mendorong munculnya modernisme agama (bukan Islam Sontoloyo). Sedangkan dari nasionalisme didorong munculnya spirit cinta tanah air, dan dari marxisme didorong munculnya gerakan kaum tertindas. Bagaimana Rizieq Temukan Pancasila? Rizieq bukanlah seperti Sukarno dalam mendekati masalah tadi. Sebagai cendikiawan, Rizieq memulai penggalian Pancasila dari konsepsi. Lalu setelah itu mencarinya di dunia nyata, di belantara kemiskinan Jakarta. Kemudian kembali merumuskannya di Universitas. Metoda ini sering dikenal dengan nama “aksi-refleksi-aksi atau refleksi-aksi-refleksi”. Penjelajahan Rizieq pada Pancasila membuat Rizieq menawarkan konsepsi masyarakat Islam sebagai superior pada skala bangsa. Pertama, Rizieq meneguhkan sila Ketuhanan sebagai sentral atau yang utama. Sebaliknya Soekarno menempatkan sila ini sebagai sila terkahir. Kedua, Rizieq membangun platform kebersamaan nasional pada isu kebangkitan kaum miskin. Dari sisi kebangkitan kaum miskin, Rizieq berbeda dengan Marxisme. Sebab Marxisme yang melakukan pembelahan sempurna kaum miskin versus kaum kapitalis. Kebangkitan kaum miskin dalam pandangan Rizieq, merujuk pada Islam. Dapat menerima dukungan dari kaum kapitalis yang tercerahkan atau mau berbagi kepada kaum dhuafa itu. Sukarno VS Rizieq Orang-orang besar adalah orang-orang yang muncul dari penjara ke penjara maupun dari pengasingan (exile) ke pengasingan. Sukarno dan Habib Rizieq adalah dua sosok bangsa yang mengalami penderitaan panjang dalam hidupnya. Dalam konteks penjara dan pengasingan. (Tentu saja bukan koruptor) Dari sisi ini, kita akan melihat Sukarno dan Habib Rizieq mewakili dua sosok tokoh bangsa yang sejajar. Ajaran Bung Karno yang utama adalah Kebangsaan. Ajaran Rizieq yang utama adalah Ketuhanan. Namun, keduanya kemudian masuk pada agenda yang sama, yakni pembebasan. Tema pembebasan Bung Karno adalah melawan penindasan kolonial. Sedangkan tema pembebasan Rizieq adalah pembebasan dari cengkraman oligarki kapital. Sesungguhnya ini sama, meski tidak sebangun. Lawan dalam definisi Bung Karno adalah penjajah dan penjajahan. Sedangkan dalam defini Rizieq, lawan adalah oligarki dan rezim anteknya. Saat Bung Karno memilih bersekutu dengan Jepang, tahun 1942-45, tujuan Bung Karno adalah melawan kolonial Belanda. Jadi, bukan pengkhianatan Bung Karno atas cita-citanya. Rizieq ketika membangun persekutuan dengan keluarga Cendana, dia tidak melihatnya sebagai pengkhianat cita-cita pula. Jadi, meskipun Bung Karno dan Rizieq berbeda dalam penekanan terhadap jawaban atas persoalan di awal, namun spirit berikutnya tentang pembebasan, sama dan sejalan. Ada kesamaan yang dipunyai oleh Bung Karno dan Habib Rizieq Penutup Membandingkan Sukarno versus Habib Rizieq adalah penting untuk melihat secara tulus kedua sosok pahlawan bangsa kita dalam melakukan pembebasan kaumnya. Pendekatan yang dilakukan Bung Karno mengalami pelecehan ataupun penolakan dari berbagai tokoh waktu itu, seperti Syahrir, Tan Malaka, Natsir dan lain-lain. Misalnya, Tan Malaka lebih suka melecehkan Bung Karno sebagai kolaburator. Rizieq saat ini juga banyak mendapat kecaman. Karena dianggap akan menihilkan agenda kebangsaan dengan superioritas Islam. Ketika Rizieq dan Rachmawati Sukarnoputri berjumpa pertama sekali, sebelum aksi 212 pada tahun 2015, keduanya berusaha mencari temuan jalan tengah antara Sukarnoisme dan Rizieqisme tersebut. Jalan bangsa ini masih panjang untuk membangun berdasarkan ajaran pembebasan ala Bung Karno dan ala Rizieq. Kaum tertindas menunggu perubahan sosial secepatnya untuk adanya kebahagian bersama. Kita harus mempercepatnya dengan mendorong adanya sintesa Soekarnoisme dan Rizieqisme dalam perjuangan bangsa. Bukan membandingkan siapa yang lebih hebat. Tidak perlu melihat lebih jauh lagi pada judul di atas. Karena mereka dua tokoh ini besar, dalam jamannya yang berbeda. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle