NASIONAL
Cadar, Cingkrang dan Kebangkitan Peradaban Islam
Melihat gejala atau fenomena ini, sebenarnya apa dan siapa yang dirugikan dari kebangkitan peradaban Islam di Indonesia sih? Peradaban Islam, selain menentang dominasi kapitalisme, juga menentang sisi negatif liberalisme kehidupan. Seperti free sex, homosexual, pornografi, dan sejenisnya. Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Presiden Jokowi bereaksi menanggapi pandangan dan pernyataan Din Syamsudin, Rizal Ramli, dan lain lain tentang radikalisme. Terkahir adalah Said Aqil Siraj beberapa hari kemarin. Reaksi Presiden Jokowi ini telah meruntuhkan agenda aksi Jokowi terkait pemusnahan radikalisme. Jokowi langsung meralat istilah radikalisme yang terlanjur menjadi perbincangan hangat umat Islam. Radikalisme diganti Jokowi dengan "manipulator agama". Masih di bulan yang sama, akhir Oktober lalu, perintah Jokowi kepada Menteri Agama tentang radikalisme. Namun kemudian dia mencoba untuk menganulirnya sendiri. Pemimpin, seperti Jokowi, cenderung tanpa pengetahuan yang cukup tentang narasi besar bangsa ini ke depan. Merasa gampang memainkan kata-kata, yang konsepnya, hanya bisa dipahami melalui kajian yang dalam atas konsep dan definisi tersebut. Akibatnya, kata radikalisme itu, harus ditarik kembali. Sayangnya, Menteri Agama Fahrul Rozi asal ngerocos. Merasa mendapatkan tugas, sudah bergerak lebih cepat. Sebelum adanya penganuliran sendiri. Dia sudah menterjemahakan sendiri radikalisme itu kepada simbol. Seperti cingkrang (celana yang dipake sampe batas bawah lutut, dan di atas tumit) dan cadar (berjiblab dengan ikut menutup wajah kecuali mata). Menteri Agama mengatakan, pegawainya yang pake cingkrang dilarang masuk kantor, alias keluar dari pegawai negeri. Meskipun Menteri menganulir lagi, bahwa itu bukan pelarangan. Hanya sebagai rekomendasi. Namun giliran Wakil Menteri Agama yang harus menunjukkan loyalitasnya. Lebih bersikp estrim. Wakil Menteri melarang penggunaan cadar dan cingkrang di lingkungan Kementerian Agama. Pekerjaan Menteri Agama yang “membreak down" radikalisme kepada simbol berpakaian merupakan kemajuan besar. Ini juga sangat luar biasa. Meskipun sikap itu dilakukan dengan terburu-terburu. Sebab akibatnya adalah salah. Setelah itu menganulisnya sendiri. Clifford Geertz dalam "Religion as a cultural system", 1993, mengetengahkan pentingnya memperhatikan simbol dalam sebuah konsep budaya. Simbol menurutnya, merupakan alat atau metoda manusia berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan dan sikap dalam kehidupan. Agama menurut Geertz adalah "a system of symbols". Menurutnya, simbol agama, merupakan kode atau "bahasa isyarat" keterhubungan antara manusia. "a symbolism relating man's sphere of existence to a wider sphere within which it is conceived to rest, that both the affirmation and denial are made". Cadar dan Cingkrang merupakan dua simbol pakaian muslim yang berkembang di Indonesia saat ini. Cadar merupakan varian hijab seperti berselendang di masa lalu dan jilbab saat ini. Cingkrang sendiri merupakan ajaran agama Islam yang menutup aurat lelaki. Variasi penafsiran penutupan ini sampai di bawah lutut, dan di atas mata kaki. Namun sebagiannya tidak mengharuskan batas bawah tersebut. Disamping cingkrang, trend ummat Islam di Indonesia saat ini adalah gamis, serta sebagiannya menggunakan (lagi) sarung. Lalu apakah cadar dan cingkrang dua buah simbol kejahatan? Simbol iblis? Ataukah keduanya simbol kesalehan? Geerzt yang menekankan simbol dalam kajian budaya tentu terkait dengan "symbol" dan "meaning" dalam pendekatan "symbolic-interactional", gang dikembangkan para sosologi, khususnya Max Weber. "Meaning" atau makna dari simbol penting untuk melihat sejauh apa interaksi sosial akan berjalan baik. Jadi pertanyaan di atas harus mampu membongkar makna dari simbol cadar dan cingkrang tersebut. Beberapa tahun lalu penggunaan cadar di eropa dilarang. Denda diberlakukan terhadap wanita muslim yang menggunakan cadar di beberapa area tertentu atau kantor publik. Ketidaksukaan masyarakat barat terhadap symbol-simbil yang berasosiasi dengan Islam dapat ditarik jauh dalam sejarah permusuhan Kristen dan Islam di masa lalu. Pembantaian 50 orang jemaah Masjid beberapa waktu lalu di Christchurch, New Zealand, misalnya sebagai bagian dari ketiksukaan orang-orang barat. Karena terdapat jejak digital. Pembunuhnya terinspirasi kelanjutan perang Salib terhadap ummat Islam. Disamping konflik Kristen vs. Islam di era pertengahan lalu, membuat kapitalisme barat, yang non agama juga mempunyai permusuhan kepada Islam. Ketidaksesuaian konsep mereka dengan pandangan Islam soal peradaban. Sebab, kolonialisme barat terhadap negara-negara Islam menghadapi perlawanan konsisten dari organ perjuangan Islam. Islam di barat, sebagai agama migran disana. Islam harus beradaptasi dengan peradaban barat tersebut. Beberap pengusaha keturunan arab di Prancis dan Belgia, misalnya, meski membayar berapapun denda yang dikenakan kepada perempuan muslim terkena denda. Itu sebagai bentuk empati. Namun, akan sampai kapan pelarangan cadar ini? Belum diketahui. Indonesia, kesadaran baru ataupun "invention atau redefinition” atas penutupan aurat wanita dalam Islam sangat gencar dilakukan sejak era tahun 1980-an. Mun'im Sirry, orientalis liberal dari Notre Damme University of USA, yang membiayai 7 riset terkait agama di Indonesia saat ini, menyatakan bahwa kesadaran berhijab ini merupakan "silent revolution" selama puluhan tahun. Kesadaran yang didukung juga oleh fashion industry. Silent revolution karena hal itu ketika disadari, ternyata telah berlangsung dengan dominan. Bercadar sendiri adalah konsep berhijab yang bukan hanya menutup seluruh tubuh, kecuali tangan dan wajah. Namun bercadar hanya membiarkan mata saja yang boleh terbuka buat wanita di ruang publik. Varian penafsiran soal hijab di kalangan ulama, meskipun mayoritas menganggap berhijab dengan jilbab adalah sesuai perintah agama. Sedangkan cadar sebagai bentuk ekstrim, atau berlebihan. Namun kesalehan orang-orang yang bercadar tidak dapat dikecilkan. Konsep berhijab atau menutup aurat bagi wanita bukanlah kepentingan wanita itu sendiri, namun merupakan bagian konsep keluarga. Konsep keluarga bagi wanita, yang selama ini mengambil peran (agency) membesarkan anak-anaknya, ketika suaminya fokus di luar rumah mencari nafkah. Dengan berhijab, wanita dapat melindungi dirinya dari pergaulan terbuka. Juga memberi pesan nyaman kepada suaminya yang terpisah sepanjang hari. Penutupan wajah kecuali mata dan tangan, atau bercadar, merupakan tindakan wanita yang dapat difahami dalam perluasan atau ekstensi kenyamanan wanita dan keluarganya tersebut. Jika penafsiran agama yang mereka yakini hal ini pula sebagai hijab yang sempurna, tentu kita harus mengapresiasi hal tersebut. Sebagai bentuk kesalehan wanita Indonesia, sesuai sila pertama Pancasila. Islam di Indonesia, adalah ajaran utama yang menaungi 80% penduduknya. Jika di barat Islam adalah pendatang, maka di Indonesia Islam adalah tuan rumah. Sehingga menjadi ganjil rasanya orang-orang bercadar dan bercelana cingkrang dianggap "outsider". Bukannya dilindungi dan dimanjakan oleh kekuasaan yang ada. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Kebangkitan Peradaban Islam Vedi Hadiz, professor sosiologi dari Melbourne University dalam wawancaranya dengan Balairung Press, selain mengkhawatirkan populisme Islam ditunggangi oligarki pemilik modal. Profesor Vedi juga menunjukkan vacumnya narasi kelompok sosialis kiri dalam menjawab ketidak adilan sosial yang menganga saat ini. Sebelumnya, dalam riset yang komprehensip tentang “Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah", Hadiz yang melakukan pendekatan Socio-history dan political-economy, memperlihatkan kebangkitan Islam di Indonesia menjadi suatu fakta. Tingginya semangat masyarakat untuk kembali dan mengamalkan Islam itu adalah nyata. Kenyataan ini berbeda dengan di bawah Turki dan Mesir. Yang ukurannya adalah pencapaian penguasaan kapital oleh orang-orang Islam. Namun, riset Hadiz tentang populisme Islam dan Mun'im Sirry tentang "contending modernity" untuk "peaceful co-existence" menunjukkan bahwa kebangkitan Islam di Indonesia sudah tidak dapat dihancurkan lagi. Kebangkitan Islam di Indonesia mempunyai rentang, dari upaya mendominasi kultur, melawan neoliberalisme barat dan ketidakadilan social. Selain itu, mendorong demokrasi tetap berkembang sebagai sistem politik. Cadar dan cingkrang merupakan simbol kultural dari kesalehan warganegara. Sedangkan demokrasi, partisipasi politik ummat Islam dalam pemilu bersifat total. Melihat gejala atau fenomena ini, sebenarnya apa dan siapa yang dirugikan dari kebangkitan peradaban Islam di Indonesia sih? Peradaban Islam, selain menentang dominasi kapitalisme, juga menentang sisi negatif liberalisme kehidupan. Seperti free sex, homosexual, pornografi, dan sejenisnya. Kontestasi symbol-simbol dan narasi Islam versus sisi negatif liberalisme terus berlangsung. Jadi kebencian terhadap kebangkitan peradaban Islam berpusat pada kapitalisme dan ajaran negatif liberalisme itu. Namun, negara sebagai wakil dari sebuah "kontrak sosial", harus pertimbangkan keinginan dominan dalam masyarakat, khususnya jika tidak bertentangan dengan Pancasila. Penutup Cadar dan cingkrang merupakan simbol yang merepresentasikan budaya kesalehan dalam Islam. Kesalehan sendiri merupakan hak-hak dasar manusia yang diyakini sebagai "system of belief" yang sakral. Negara harus mengapresiasi kesalehan seseorang jika tidak mengganggu sistem kepercayaan terhadap arus utama masyarakat. Radikalisme yang diartikan negatif, lalu diterjemahkan dalam simbol cadar dan cingkrang sudah melampaui batas negara mencampuri kehidupan masyarakatnya. Negara, sebagai bagian dari konsensus kontrak sosial bukan mempunyai hak tak terbatas mengatur rakyatnya. Pemerintah harus membuang isu cadar dan isu cingkrang dari keinginan negatif. Negara tidak perlu terlalu jauh mencoba “mengexercise" kekuasaannya. Tidak lagi pada tempatnya, Sebaiknya narasi ke depan disesuaikan dengan agenda "peaceful co-existence" antara ummat Islam dan kekuatan sosial lainnya. Dalam setting agenda persatuan nasional dan tentunya "shared prosperity". Jika tidak, situasi kebangsaan kita akan terus kacau. Kita hanya menjadi mangsa ekploitasi imperium asing. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Menteri “Bernoda” Korupsi (3): Zainudin Amali dan Wisnu Trenggono?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Dua nama lainnya yang “bernoda” korupsi adalah Menpora Zainudin Amali dan Wamenhan Wisnu Sakti Trenggono. Zainudin Amali, politisi Partai Golkar, termasuk salah seorang yang dipanggil Presiden Joko Widodo sebelum ditetapkan sebagai menteri. Setelah itu, Rabu (23/10/2019), Zainudin Amali ditunjuk sebagai Menpora menggantikan Imam Nahrawi yang tersangkut skandal korupsi di Kemenpora dan kini diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia punya pengalaman di organisasi kepemudaan. Menurut Presiden Jokowi, sebagai Menpora, Zainudin Amali juga bertugas di kewirausahaan pemuda, sport industry dan sport tourism, “RUU Sistem Keolahragaan Nasional dan perbaiki peringkat SEA Games,” pesan Presiden Jokowi saat pengumuman. Sebelum menjabat Menpora, Zainudin Amali tercatat sebagai Ketua Komisi II DPR RI dari Golkar. Bagaimana dengan Wamenhan Wisnu Sakti Trenggono? Berikut jejak digital news yang menulis tentang keduanya di media selama ini. Zainudin Amali Melansir Tempo.co, Selasa (22 Oktober 2019 15:46 WIB), nama politisi Golkar ini pernah muncul dalam dua kasus korupsi di KPK. Juru Bicara KPK Febri Diansyah membenarkan bahwa Zainudin pernah diperiksa KPK. “Memang ada beberapa nama yang kita tahu terkait dengan beberapa kasus korupsi yang pernah ditangani KPK, bahkan ada yang pernah masuk di komunikasi tersangka yang diperdengarkan di persidangan,” kata Febri, Selasa (22/10/ 2019). Kasus pertama yang menyeret nama Zainudin Amali ialah kasus suap sengketa Pilkada yang membuat mantan Ketua MK Akil Mochtar dihukum penjara seumur hidup oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Melalui percakapan BBM, keduanya diduga melakukan negosiasi soal pengurusan sengketa Pilkada Jatim pada 2014. Ketika itu, ada permintaan uang Rp 10 miliar dari Akil Mochtar. Ia mengakui adanya percakapan dengan Akil Mochtar seusai diperiksa KPK, 20 Januari 2014. Ia tidak membantah kabar bahwa Akil Mochtar meminta Rp10 miliar untuk memenangkan pasangan calon Soekarwo-Saifullah Yusuf. Namun, Zainudin Amali mengaku percakapan itu hanya gurauan. “Tidak ada negosiasi, (arahan itu) kayak kita lagi bercanda-bercanda gitu,” ujar Zainudin Amali setelah diperiksa di KPK, kala itu. Perlu dicatat, dalam sengketa Pilkada Jatim 2013 tersebut, akhirnya dimenangkan oleh Soekarto-Saifullah Yusuf. Zainudin Amali, juga pernah terseret kasus korupsi di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Tersangka dalam kasus itu ialah Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno. Penyidik KPK pernah menggeledah ruang kerja dan rumah anggota Komisi Energi DPR itu di Jakarta pada Januari 2014. KPK menengarai ada jejak-jejak tersangka di kedua tempat tersebut. “Saya kira itu juga sudah terbuka ya informasinya,” kata Febri. Saat itu Zainudin Amali menjabat Wakil Ketua Komisi VII DPR. Kasus ini merupakan pengembangan penyidikan atas perkara dugaan suap di lingkungan SKK Migas yang menjerat mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Zainudin Amali saat itu diperiksa untuk tersangka mantan Sekjen ESDM Waryono Karno. begitu keterangan Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, Senin (20/1/2014). Ketua DPD Partai Golkar Jatim itu ditanya oleh penyidik KPK mengenai praktik korupsi dan suap di kementerian ESDM yang saat itu dipimpin Menteri Jero Wacik. KPK menggeledah kediaman serta kantor Zainuddin Amali dan menginterogasi seorang stafnya. Liputan6.com, Selasa (22 Okt 2019, 15:09 WIB) menulis, penyidik KPK juga menggeledah ruangan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana dan rumahnya di Bogor, ruangan anggota Komisi VII Tri Yulianto, ruang rapat Komisi VII, serta ruangan Fraksi Partai Demokrat. Wahyu Trenggono Sebuah tulisan menarik berjudul Korupsi Telkom – TBIG & Kriminalisasi Raden Nuh – Edi Syahputra di Kompasiana.com, Minggu (22 Okt 2019, 15:09 WIB), yang ditulis oleh Ridha Taqaballah menyingkap tabir gelap “permainan” Wahyu Sakti Trenggono. Akun yang menyebut diri sebagai “Tukang Bongkar Korupsi” itu mengungkap banyak hal terkait sepak terjang Wahyu Trenggono yang kini diangkat Presiden Jokowi menjadi Wakil Menteri Pertahanan, wakilnya Menhan Prabowo Subianto. Penunjukan mantan Bendahara TKN Joko Widodo – Ma’ruf Amin ini, untuk ngurusi terkait industri pertahanan, melenceng dari bisnis yang ditekuni Wisnu Trenggono selama ini. Entah mengapa pada akhirnya Presiden Jokowi memilihnya. Bagaimana ceritanya Wisnu Trenggono dan Abdul Satar (PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk/TBIG – PT Solusindo Kreasi Pratama) bersama Arief Yahya (PT Telkom) sampai akhirnya bisa “menyingkirkan” Direksi PT Telkom. Berawal dari Keputusan RUPS PT Telkom pada 11 April 2012 yang menetapkan bahwa PT Telkom43e selaku Holding Company PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) akan berusaha mewujudkan Mitratel sebagai Perusahaan Terbesar di Asia Tenggara di sektor infrastruktur telekomunikasi/BTS Provider pada 2014. Dengan rencana itu akan diwujudkan melalui aksi korporasi strategis berikut: Merealisasi rencana Mitratel Go Public (IPO) pada akhir 2012; Telkom selaku holding company akan menambah Ekuitas Rp 2 triliun untuk Mitratel sebagai tambahan modal investasi; Menambah portofolio kredit perbankan untuk modal kerja dan investasi Mitratel hingga Rp 10 triliun; Mengalihkan pengelolaan menara BTS Telkom Group (Telkom, Telkomsel, Flexy dan lain-lain) yang berjumlah > 50.000 unit secara bertahap ke Mitratel hingga menjadikan Mitratel sebagai perusahaan pengelola menara BTS terbesar di Asia Tenggara; Terakhir, dengan mengakuisisi perusahaan sejenis seperti PT Tower Bersama, Protelindo, dan lain-lain. Keputusan RUPS Telkom terkait pengembangan bisnis Mitratel tersebut sudah disetujui dewan komisaris dan pemegang saham/pemerintah. Direksi Telkom sendiri menargetkan kapitalisasi market Mitratel melalui IPO dan seterusnya sebagaimana diputuskan RUPS Telkom 11 April 2012 akan mencapai Rp 100 triliun pada 2013, Rp 250 triliun pada akhir 2014; Dan, Rp 400 triliun pada Rp 2016 dengan penguasaan pangsa pasar di atas 80 persen dengan realisasi seluruh rencana aksi koporasi Telkom terkait Mitratel termasuk rencana mengakuisi TBIG, Protelindo, dan lain-lain. Jelas, rencana itu merupakan ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup/eksistensi/bisnis kompetitornya /perusahaan sejenis: PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk dan PT Solusindo Kreasi Pratama (milik Wahyu Trenggono/Abdul Satar Cs), Protelindo, dan seterusnya. Rencana mewujudkan Mitratel sebagai perusahaan infrastruktur telekomunikasi terbesar di Asia Tenggara terbukti telah digagalkan melalui perubahan mendadak di jajaran manajemen puncak/Direksi PT Telkom Indonesia Tbk. Rinaldi Firmansyah, Dirut Telkom dan 5 direksi Telkom lainnya diberhentikan mendadak, digantikan oleh Arief Yahya yang sebelumnya Direktur Enterprise Whole Sales PT Telkom, melalui RUPSLB 9 Mei 2012 (kurang sebulan setelah RUPS Telkom 11 April 2012). Alasan resmi penggantian tersebut tidak pernah diketahui secara pasti, padahal Rinaldi Firmansyah Cs baru diperpanjang masa jabatannya sebagai Direksi Telkom untuk periode kedua karena kinerjanya yang sangat memuaskan. Berdasarkan pengakuan langsung Wahyu Trenggono dan Abdul Satar, pihaknyalah yang jadi aktor intelektual pemecatan Rinaldi Cs secara mendadak tersebut. Wahyu Trenggono melobi intensif Menteri Perekonomian dan Menteri BUMN. Posisi Wahyu Trenggono sebagai Bendahara PAN saat itu, sumbangan Rp 15 miliar ke PAN dan komitmen Wahyu Trenggono akan membantu likuiditas logistik PAN, sumbangan Rp 15 miliar untuk kegiatan Menteri BUMN yang disalurkannya melalui Staf Menteri BUMN Budi Rahman Hakim, menjadi faktor utama keberhasilannya menggusur Rinaldi dari jabatan Dirut Telkom. Wahyu Trenggono berhasil memperdaya Menko Perekonomian Hatta Rajasa guna mengganti Rinaldi Firmansyah Cs dengan Arief Yahya Cs. Melalui uang suap Rp 30 miliar (untuk PAN dan Menteri BUMN) dalam rangka memuluskan pemecatan Rinaldi Firmansyah Cs dan menjadikan Arief Yahya 'boneka' Wahyu Trenggono/ Abdul Satar sebagai Dirut Telkom. Uang itu berasal dari uang hasil korupsi Proyek Mobil Penyedia Layanan Internet (MPLIK) BP3TI Kementerian Kominfo yang paketnya dimenangkan PT Telkom, yaitu Rp 520 miliar dari total proyek Rp 1,4 triliun TA 2011. Uang suap Rp 30 miliar untuk PAN (Menko Perekonomian) dan Menteri BUMN itu, Rp 28,5 miliar berasal dari uang muka proyek MPLIK Telkom yang dibayar PT Telkom kepada rekanan PT Telkom dalam pengerjaan proyek MPLIK, yakni PT Geosys Alexindo. Sisanya, ditalangi oleh Wahyu Trenggono dan Abdul Satar. PT Geosys sendiri diduga adalah milik Wahyu Trenggono dan Alex J Sinaga (eks Dirut PT Pramindo Ikat Nusantara/sekarang Dirut Telkomsel). Berdasarkan temuan internal audit dan LHP BPK diketahui PT Geosys Alexindo ternyata perusahaan fiktif/abal-abal, ditunjuk sebagai rekanan dalam pengerjaan proyek MPLIK oleh Arief Yahya, Direktur EWS Telkom dan Abdus Somad, VP EWS Telkom secara melanggar hukum dan prosedur di PT Telkom serta tanpa sepengetahuan dewan direksi Telkom. Temuan audit internal Telkom dan LHP BPK, diketahui penunjukan dan penandatangan kontrak PT Telkom - PT Geosys Alexindo dilakukan Arief Yahya - Abdussomad tanpa melibatkan dan/atau tanpa persetujuan rapat Dewan Direksi Telkom. Demikian juga pembayaran uang muka proyek MPLIK Rp 28,5 miliar dari Telkom kepada PT Geosys dilakukan atas perintah Arief Yahya yang bukan merupakan kewenangannya selaku Direktur EWS Telkom. Belakangan diketahui PT Geosys Alexindo memang direncanakan sebagai SPV (special purpose vehicle) untuk mendapat cash money dalam rangka menyuap Menko Perekonomian/PAN dan Menteri BUMN agar Rinaldi Firmansyah Cs dipecat dan Arief Yahya Cs ditunjuk sebagai pengganti Dirut/Direksi Telkom. Temuan audit internal Telkom dan LHP PK terkait pelanggaran hukum dan korupsi Arief Yahya, Abdus Somad, Wahyu Sakti Trenggono dan Abdul Satar pada proyek MPLIK BP3TI Kementerian Kominfo di PT Telkom Indonesia Tbk ini sudah disidik oleh Kejaksaan Agung. Penyidik Kejagung sudah memanggil Arief Yahya pada 27 Desember 2013 dan 27 Januari 2014, namun Arief Yahya mangkir atau menolak hadir diperiksa di Kejagung. Janji Jaksa Agung, Jampidsus, dan Dirdik Jampidsus untuk memanggil paksa Arief Yahya pada awal 2014 dan penetapan sebagai tersangka tidak pernah ditepati. Anehnya, penyidik Kejagung tiba-tiba menghentikan penyidikan atas Arief Yahya, Abdus Somad, Wahyu Trenggono, dan Alex J Sinaga. Benarkah yang ditulis Ridha Taqaballah di Kompasiana.com tersebut? Jika Kejagung sudah menghentikan penyidikan skandal ini, KPK wajib turun tangan! Ingat, pesan Presiden Jokowi, jangan korupsi! (SELESAI). Penulis adalah wartawan senior. ***
Idham Azis Cukup Menghibur Umat Islam
Semoga saja dengan Kapolri di tangan beliau, hubungan Umat Islam dengan polisi yang sempat merenggang dan retak itu, bisa terrajut dan tersambung kembali. Semoga Umat Islam bisa kembali menjadi mitra aktif dari polisi. Hubungan yang saling membutuhkan untuk bersama-sama menjaga keamanan negeri ini, agar tetap aman dan kondusif. Oleh M. Naufal Dunggio Jakarta, FNN - Statement ini tampaknya cukup menghibur hati umat Islam. Pernyataan itu datang dari mulut calon Kapolri Idham Izis. Kenapa dibilang cukup menghibur? Karena melihat perkawanan polisi dengan umat Islam mengalami kerenggangan, yang begitu jauuuh. Padahal sebelumnya umat Islam menjadi mitra aktif polisi dalam menjaga keamanan negeri ini. Penangkapan para Ulama, Ustadz dan Habaib merupakan bukti nyata adanya kerenggangan hubungan antara polisi dengan umat Islam. Adapun orang-orang yang dekat dengan penguasa dan pendukung penguasa seperti Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armado dan para penista Agama Islam yang lain, toh mereka aman dan tentram saja. Padahal sudah lebih dari puluhan laporan polisi masuk ke polisi dan. Namun alhamdulillah mereka tidak diproses. Bang Idham, begitu panggilan para aktivis pada beliau. Dia manusia yang cukup religius. Beliau suka membantu teman-teman dalam kesusahan, terutama kepada kalangan aktivis jalanan. Beliau tidak memilih dan memilah bila membantu seseorang. Mungkin inilah kekuatan akhlaq beliau, yang sangat suka memberi dan membantu kepada orang lain. Dampaknya, bang Idham dipilih Presiden untuk menakhodai Polisi Indonesia dalam empat belas bulan ke depan. Sampai dengan Januari 2021 nanti Suatu waktu, penulis pernah bersama dengan bang Idham mendampingi Pak Makbul Padmanegara, ketika itu sebagai Kabareskrim. Kami berkunjung ke Tentena Poso yang saat itu lagi bergejolak. Penulis menyaksikan gaya bang Idham. Orangnya tenang, fokus, detail. Tidak terlalu banyak bicara, namun sangat bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Wajar saja kalau sekarang ini beliau diamanahkan untuk menjadi orang nomor satu di tubuh Polisi. Karena punya talenta untuk menjadi pimpinan. Sudah terlatih sejak berpangkat mayor polisi. Itu sekilas cerita tentang bang Idham yang penulias saksikan sendiri. Semoga saja dengan Kapolri di tangan beliau, hubungan Umat Islam dengan polisi yang sempat merenggang dan retak itu, bisa terrajut dan tersambung kembali. Semoga Umat Islam bisa kembali menjadi mitra aktif dari polisi. Hubungan yang saling membutuhkan untuk bersama-sama menjaga keamanan negeri ini, agar tetap aman dan kondusif. Polisi yang baik, dan dianggap sukses itu bukan karena dia bisa menangkap penjahat. Tetapi lebih dari itu, bagaimana polisi bisa menjadikan para penjahat itu menjadi malu dan takut untuk melakukan kejahatankembali. Dan penulis yakin, bang Idham Azis bisa melakukan itu. Semoga Allah memudahkan segala tugas dan urusan Kapolri baru. Terutama dalam menjaga keamanan negeri ini tanpa harus mencederai umat beragama. Siapapun umat beragama itu. Semoga saja. Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri. Insyaa Allaah. Penulis adalah Aktivis dan Ustadz Kampung
Soal Radikalisme, Idham Azis Tampak Cerdik
Tidak gampang memang membicarakan soal radikalisme itu. Apalagi sampai sekarang, belum jelas, apa saja definisi atau batasan yang terang dan jelas. Apa itu pengertian radikalime dan intolerasi? Dengan pemahaman yang seperti apakah, sebutan soal radikalisme dan instolerasi itu ditempelkan kepada seseorang atau kelompok orang? By Luqman Ibrahim Soemay Jakakrta FNN - Soal redikalisme, terlihat Kapolri Jendral Polisi Drs. Idham Azis punya sikap yang jelas dan tegas. Idham mengatakan, redikalime tidak bisa diindentikan dengan Agama Islam. Radikalisme itu adalah persoalan pribadi setiap orang. Bahkan ada juga kelompok orang yang berpaham radikalisme. Yang bisa dipastikan adalah radikalisme bukan itu Agama Islam Jendral Polisi Drs. Idham Azis membuat penegasan itu ketika mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR. Uji kapatutan dan kelayakan adalah syarat yang harus dilewati dan diikuti Idham untuk bisa menjadi Kapolri. Kegiatan fit and profer test juga terbuka untuk diikuti masyarakat umum. Bisa dilihat, didengar dan disaksikan siapa saja. Selama menjalani rangkain fit and profer test di Komisi III sebagai calon Kapolri, tampaknya radikalisme adalah salah satu isu yang paling menarik dan penting disampaikan Idham. Radikalisme, satu diantara tujuh program kerja Idham Azis bila terpilih menjadi Kapolri. Dengan ruang sisa waktu, yang hanya empat belas bulan, Idham perlu kerja keras untuk bisa merealisasikan tujuh program kerja lainnya . Cara memilih tempat yang pas untuk menyampaikan persoalan radikalisme dan Islam, sejauh ini tampak Kapolri Idham Azis mengerti dan memahami betul masalah yang sangat sensitiv tersebut. Sebab bila keliru mengelola isu sensitiv ini, bisa jadi bukan menyelesaikan masalah, atau memperkecil masalah. Sebaliknya, bisa memproduksi dan manambah masalah baru. “Tidak boleh radikalisme itu diidentikkan dengan Agama Islam. Sebab radikalisme itu hanya ulah dari perorangan atau kelompok orang yang bersifat kejahatan, ”tegas Idham. Ini pernyataan hebat dan berkelas dari seorang Kapolri. Pernyataan itu menggambarkan, Idham orang yang mengerti dan faham, bagaimana memilih diksi dan tempat yang pas untuk membahasakan radikalisme ke publik. Memang tidak gampang bicara persoalan radikalisme. Apalagi sampai sekarang, belum jelas apa saja definisi atau batasan yang terang dan jelas soal radikalisme. Apa itu pengertian radikalime dan intolerasi? Dengan pemahaman yang seperti apakah, sebutan soal radikalisme dan instolerasi itu ditempelkan kepada seseorang atau kelompok orang? Walaupun demikian, isu sekitar radikalime telah memperlihatkan relasi determinan kepada Agama. Dan determinan yang saat ini terlihat mengarah kepada Agama Islam. Bila tidak pas dalam memilih diksi dan tempat untuk membicarakannya, soal ini bisa meluber ke mana-mana. Banyak orang yang awalnya tidak marah dan tersinggung, bisa bersikap sebaliknya. Paktanya hari ini, isu radikalime dan intoleransi itu, yang sekarang ini mengakibatkan pernyataan membahana terjadi di masyarakat. Pernyataan yang telah membelah realitas kemesraan tradisional antara Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, melawan Kementerian Agama, “ujar Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis. Bicara soal radikalime itu, Pak Din Syamsudin pun menanggapinya. Apalagi Kementerian Agama ditugaskan Presiden Jokowi untuk nmengurusi radikalime. Profesor pintar dan berintegritas top ini mengatakan, “seharusnya Kementerian Agama bukan hanya mengurus radikalisme”. Kementerian Agama itu memiliki peranan yang jauh lebih penting dan besar, daripada sekedar hanya mengurusi soal radikalisme. Kementerian Agama juga jangan sampai disalahfungsikan. Tugasnya lebih luas, yaitu membangun moral bangsa. Sebab radikalisme tidak hanya ada di seputaran agama saja. Lebih jaun dan kritis, tampaknya Pak Din mendorong isu radikalime ke dalam pemahaman konstitusi bernegara. Misalnya, mengapa tidak boleh disebut radikalime ekonomi? Padahal mereka yang melakukan kekerasan dan pelarian modal. Sangatlah pas dan pantas saja untuk mereka disebut sebagai pelaku atau lelompok radikalisme. Sebab perbuatan mereka telah menimbulkan kesenjangan ekonomi. Mereka yang memperlebar jurang antara yang kaya dengan miskin. Yang kaya kamin kaya. Sebaliknya, yang miskin makin miskin. Mengapa juga mereka tidak disebut dengan radikalisme politik atau radikalime hukum? Padahal dua bentuk radikalime ini bisa mengakibatkan bangsa dan negara berantakan. Contohnya, banyaknya politisi yang dijebloskan KPK ke penjara. Kenyataan itu membuktikan bahwa radikalisme di bidang hukum dan politik sangat masif dan membahayakan. Itu bisa terjadi karena menipisnya moral bangsa. Melihat resksi yang kuat tentang radikalism itu, Jendral Idham Azis terlihat cukup cerdik dan pandai dalam memilih tempat, waktu dan pilihan diksi untuk berbicara tentang radikalisme. Idham juga tampaknya faham bagaiamana menangani radikalisme. Sebab bila salah dalam membuat treatment, hampir dipastikan akan menambah masalah baru. Itulah yang harus dihindari Penulis adalah Wartawan Senior
Guru Besar Marah, Nadiem Hanya Setara Dengan Guru Paling “Dlosor”
Taruhlah prestasi inovatifnya Nadiem adalah dengan buat aplikasi GoJek. Kategori kompleks menurut peraturan bersama Mendikbud dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), angka kredit Nadiem hanya 4 x 1. Maka total Kum (Komulatif) angka kredit Nadiem adalah 154. Angka kredit ini hanya cukup untuk naik pangkat dari guru pertama golongan IIIa ke guru pertama yang golongan IIIb. Oleh M. Juhri Jakarta, FNN - Bila Guru Besar itu Jenderal, maka Mendikbud Nadiem yang baru dilantik ini masih berpangkat Letenan. Bagi sebagian orang, hal itu tak soal. Alasannya bisa saja nanti Nadiem lebih hebat dari para Guru Besar. Tetapi yang begini jangan ditanya ke militer atau polisi. Sebab bisa ditempeleng. Mana mau Jenderal dipimpin oleh panglima yang pangkatnya hanya seorang Letenan. Oh, ternyata itu sama. Guru Besar juga begitu sebenarnya. Meraka Marah. Ya para Guru Besar marah. Hanya mereka tak bersuara, karena rejim ini terbukti represif. Beberapa profesor yang kritis di periode pertama Jokowi berkuasa, banyak yang diamputasi dari tugas pengabdian akademiknya. Bukan hanya Guru Besar yang gelar akademisnya profesor yang marah. Banyak pemangku kepentingan pendidikan, termasuk emak-emak juga marah. Mereka tidak suka dengan pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Memang, pengangkatan Nadiem sesuai dengan janji Jokowi di periode pertama yang mau mengangkat Mendikbud dari Persastuan Guru Reoublik Indonesia (PGRI). Nadiem juga PGRI. Malah Nadiem pendiri malah. Tetapi, Nadiem bukan dari organisasi guru pejuang atau PGRI. Nadiem berasal dari Persatuan Gojek Republik Indonesia. PGRI juga yang oleh pejabat Malaysia saja dianggap "hina”. Flashback ke cerita lama. Dulu, di sebuah perguruan tinggi negeri, mahasiswanya ogah lulus hanya karena rektornya belum profesor. Banyak mahasiswa dilama-lamain kuliahnya menunggu rektornya berganti dengan professor. Tidak masalah harus menghabiskan waktu tujuh tahun di kampus menunggu rektor profesor. Meskipun sang rektor bergelar S1 Belanda. Dokterandur di jaman dulu sudah sangat hebat. Mahasiswa tidak mau ternoda ijazahnya dengan tandatangan rektor yang hanya bergelar dokterandus tanpa embel-embel gelar profesor. Meskipun untuk itu mereka rela berlama-lama, hanya mengambil empat Satuan Kreditr Semester (SKS) untuk satu semester lagi. PPL atau KKN yang bisa diambil dalam satu semester, dipisah menjadi sendiri-sendiri. Untuk semester berikutnya 7 SKS metodologi penelitian dan seminar. Lalu lanjut ke semester berikutnya, yaitu skripsi yang ditempuhnya bisa dua semester. Kalau strategi berlama-lama ini susah dipenuhi, maka mahasiswa merubah strategi. Mahasiswa biasanya memilih mengambil cuti dua semester tidak berturut-turut. Dulu, cara ini bisa dilakukan, karena SPP hanya Rp 60.000 per semester. Ya demi ijazah harus ditandatangani oleh rector yang bergelar profesor. Kalau sekarang, berlama-lama di bangku kuliah, bisa membuat bangkrut orang tua. Saking mahalnya biasa kuliah per semester. Gambaran para mahasiswa itu, kini menjadi kegundahan yang melanda para calon Guru Besar. Betapa tidak, nanti Surat Keputusan (SK) pengangkatan Guru Besarnya ditandatangani oleh oknum yang setara dengan pangkat guru paling "dlosor", alias paling bawah. Dengan persyaratan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dinaikkan, maka pangkat paling dlosor itu bukan hanya guru SMP dan SMA saja. Namun guru SD juga dlosor. Malah tidak sedikit guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-Kanak (TK) yang sudah S1, pangkatnya sekarang setara dengan golongasn IIIa. Jadi kalau Mendikbud Nadiem Makarim yang usianya 35 tahun ini diangkat PNS, maka termasuk Aparat Sipil Negara (ASN) yang baru diangkat. Nilai angka kreditnya 100 untuk pendidikan yang S1 bergelar BA. Sedngkan S2-nya yang bergelar MBA, angka kreditnya 50. Jadi total kreditnya baru 150. Itu pun harus memperoleh persyaratan penyetaraan lulusan luar negeri. Taruhlah prestasi inovatifnya Nadiem adalah dengan buat aplikasi GoJek. Kategori kompleks menurut peraturan bersama Mendikbud dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), angka kredit Nadiem hanya 4 x 1. Maka total Kum (Komulatif) angka kredit Nadiem adalah 154. Angka kredit ini hanya cukup untuk naik pangkat dari guru pertama golongan IIIa ke guru pertama yang golongan IIIb. Bandingkan dengan profesor pemula, Pembina Utama Madya yang golongan IVd. Profesor pemula yang naik dari doktor atau gelar S3, sudah jadi syarat pendidikan formal dengan Kum angka kreditnya 850. Sedangkan Kum 1.050 wajib untuk guru besar dengan pangkat Pembina Utama golongan IVe. Itu pun dengan syarat minimal 35% adalah pengajaran, dan 45% penelitian. Tidak boleh lebih 10% pengabdian dan tidak boleh lebih 10% penunjang. Syarat penting yang sering menjadi kendala diangkatnya dosen sebagai Guru Besar adalah tulisan di jurnal Internasional yang berindeks scopus. Nilai angka kreditnya harus memenuhi 0,15 yang masuk kategori Q3 atau Q4. Dengan mengikuti angka kredit di Perguruan Tinggi ini, maka jabatan yang paling pas untuk Nadiem Makarim hanya Asisten Ahli, dengan pangkat Penata Muda Tingkat I golongan IIIb. Jabatan ini juga termasuk yang paling dlosor di antara sesame dosen. Jauh di bawah Guru Besar yang dipimpinnya. Aneh memang, sebab professor Pembina Utama akan dibina oleh Mendikbud yang masih Asisten Ahli. Soal Mendikbud yang belum profesor ini sebenarnya bukan hal baru. Dulu, Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro menjadi profesor setelah menjadi Mendikbud. Tetapi mendongkraknya tidak terlalu menimbulkan kecemburuan yang besar, karena dari usia dan pengabdiannya mencukupi. Mendikbud kelahiran Pamekasan ini bertutur dalam Buku Biografinya berjudul “Sepanjang Jalan Kenangan”. Seperti ini Wardiman berujar “ketika itu, Wardiman sudah sepuluh tahun memperoleh gelar doktor dari Technische Hogeshool (TH) Delft Belanda. Namun ditegor oleh BJ Habibie, ‘Man, kenapa tidak sekalian menjadi profesor?” Kata Wardiman, yaya hanya mengangguk dan tersenyum. Saat itu, saya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Saya pun menanyakan tentang persyaratan untuk diangkat menjadi guru besar. Staf Wardiman di Depdikbud mengatakan, Kum saya sudah melebihi kriteria sebagai guru besar. Wardiman lalu menghubungi Rektor Universitas Padjajaran. Apakah tidak keberatan menjadi tempat bagi promosi gelar profesor bagi saya? Wardimana minta ditetapkan sebagai Guru Besar, dan akan menyampaikan orasi ilmiah dalam upacara pengukuhannya sebagai Guru Besar tahun 1994. Padahal Wardiman diangkat menjadi Mendikbud untuk periode 1993 – 1998. Namun untuk Mendikbud Nadiem hanya yang setara dengan pangkat atau golongan guru dan dosen yang paling dlosor ini, yaitu Asisten Ahli. Kalau langsung diangkat sebagai professor, akan menimbulkan gonjang-ganjing pada tatanan kepangkatan fungsional di Kemendikbud. Bisa saja sebagai pemegang kuasa, Nadiem bisa saja "meminta" Perguruan Tinggi (PT) memberinya gelar Guru Besar Kehormatan, seperti Puan Maharani, yang diprotes oleh Guru Gesar. Atau mungkin seperti SBY yang mendapat gelar profesor tidak tetap. Entah apa maksudnya dengan profesor tidak tetap tersebut. Apa guru besar belum permanen? Bisa saja gelar Guru Besarnya berubah-ubah. Kadang bisa mengecil, kadang juga bisa membesar. Bila MenPan-RB mempersyaratkan dosen dengan angka kredit yang ketat sebagai ukuran kualitas dosen dan perguruan tinggi. Dipastikan Mendikbud Nadiem sebagai pimpinan para rektor, para guru besar tidak memenuhi standar mutu. Dengan begitu, seharusnya MenPAN-RB mengkategorikan Kemendikbud sebagai kementerian yang tidak bermutu dari sisi reformasi birokrasi. Dengan syarat yang begitu berat tersebut, Jokowi sama sekali tidak bertenggang rasa dengan para profesor di Indonesia, karena mengangkat Nadiem menjadi Mendikbud. Karena untuk menjadi professor itu, tidak mudah. Tahun lalu 2018 lalu, ada 2.750 dosen tidak memenuhi syarat sebagai guru besar. Sedangkan dengan karya inovatif Gojek tersebut, sebanarnya banyak guru besar yang tidak kalah hebatnya. Banyak Guru Besar yang menjadi memegang banyak hak paten. Sementara ijazah luar negeri pun tidaklah memperoleh pengakuan penyetaraan di dalam negeri. Seharusnya, dengan diangkatnya Nadiem menjadi Mendikbud, maka sepertinya semua syarat-syarat untuk menjadi Guru Besar juga harus dibebaskan. Guru dikembalikan kepada kenaikan pangkat otomatis berkala. Dihitung dari tahun pengabdian sang guru. Perguruan Tinggi juga perlu diberikan kebebasan bebas sebebasnya. Mereka bisa sesuka sukanya saja mengangkat sesorang menjadi Guru Sesar. Toh, sama seperti Pak Jokowi yang suka-sukanya mengakat Nadiem sebagai Mendikbud. Kata orang Jawa seenak udele dewe. Penulis adalah Wartawan Senior
Radikalisme Said Aqil Siroj
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Pimpinan utama organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdatul Ulama, Said Aqil Siroj, kemarin, sebagai mana diberitakan berbagai media, meminta kita menghormati dan mendoakan Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Sihab (HRS) . Ini berita pertama yang melibatkan suara ketua umum NU itu sejak Jokowi melantik menteri agama dari kalangan eks militer dan menugaskannya untuk membasmi radikalisme. Suara Said Agil ini tentunya menambah besar polemik dan diskursus radikalisme di Indonesia. Sebab, yang diminta untuk dihormatinya adalah tokoh paling radikal di Indonesia. Sebelumnya kita mendengar pandangan Professor Din Syamsudin, mantan ketua umum Muhammadiyah, terkait penugasan Jokowi yang utama pada menag soal radikalisme ini, agar pemerintah mengganti kementerian agama menjadi kementerian urusan radikal. Dan isu radikal itu harus mempertimbangkan dimensi lain selain agama, seperti radikalisme ekonomi, dll. Sebelumnya juga ekonom Dr. Rizal Ramli telah mensinyalir bahwa isu radikalisme ini sengaja dimainkan rezim Jokowi untuk menutupi situasi perekonomian nasional yang bobrok dan akan semakin buruk. Adhi Masardi, mantan juru bicara Gus Dur, dalam tulisannya "Isu Radikal, Permainan Politisi Lokal", menekankan kekonyolan permainan isu ini. Menurutnya ini seperti anak kecil yang dimarahi orang tuanya lalu keluar rumah dan melempari rumahnya sendiri, alias merusak rumahnya sendiri dan memalukan di mata tetangga. Margarito Kamis, dalam "Jokowi Bicara Radikalisme" (fnn. co.id), menyoroti bahayanya Jokowi memainkan isu radikalisme ini tanpa difinisi/konsep yang jelas soal radikalisme ini. Jokowi disebutkan bisa saja membelakangi konstitusi. Sebab, sebelum konsep itu mempunyai landasan hukum yang tegas, isu itu dapat menyasar kepada kebencian tehadap umat Islam. Suara Said Aqil ini mengandung beberapa pesan penting yang perlu kita kaji, 1) penghormatan terhadap HRS adalah penghormatan terhadap tokoh yang paling radikal di Indonesia- dalam perspektif rezim Jokowi selama ini. 2) NU arus utama menganulir sikap sikap mereka sebelumnya terhadap pandangan dan aksi FPI maupun 212, yang selama ini dikecamnya. 3) mendoakan dan menghormati HRS dapat berarti mendukung radikalisme gerakan HRS. Mispersepsi Radikalisme Radikal adalah sebuah kata latin "radic" yang berarti dalam atau keakar-akarnya. Sebuah pandangan radikal dikaitkan dengan konsep transformasi sosial yang dalam, sampe keakar2nya. Di barat, kosa kata ini awalnya dilabelkan pada gerakan kiri dan komunis yang ingin mengganti sistem negara kapitalis barat menjadi sosialistik. Namun, label itu kemudian disematkan juga pada gerakan2 lain yang prinsipnya menghancurkan sistem sosial yang dominan. Di Amerika misalnya, gerakan supermasi kulit putih (white supremacy), juga dilabeli dengan radikal. Alex Schmid, dalam "Radicalization , De-Radicalization, Counter-Radicalization: A Conceptual Discussion and Literature Review", 2013, mengemukakan perbedaan konsep antara radikal dan ekstrimis. Radikal dapat dengan kekerasan dan tanpa kekerasan, namun radikal merupakan kelompok "open-minded" atau berpikir terbuka, sebaliknya ekstrimist mempunyai pandangan sempit atau "closed minded", yang cenderung meyakini sesuatu kebenaran dalam versi dia sendiri (mono-causal interpretation) serta cenderung menganjurkan kekerasan. Radikal cenderung bisa demokratik dan "historically," tend to be more open to rationality and pragmatic compromise.. " Sebagai professor bergengsi dalam bidang radikalisme dan terorisme, Schmid menyarankan agar pembahasan soal radikalisme ini mengaitkan konteks agar tidak "misleading" dalam membuat kesimpulannya. Seraphin Alava et. al dalam "Youth and Violent Extrimism On Social Media: Mapping The Research", UNESCO, 2017, juga menyarankan pentingnya penggunaan isu radikalisme dalam konteks nasional tertentu. Di China, misalnya, radikalisme dan ekstrimisme hanya diarahkan pada orang-orang Uighur atau radikalisme lebih diidentikkam dengan separatisme. Di Indonesia, penggunaan kata radikal, ekstrimis dan teroris seringkali tertukar dan tidak merujuk pada suatu definisi yang pasti. Sehingga ini membahayakan dalam agenda aksi pemerintah menangani keselamatan warganya. Di Mana Bahayanya? Agenda aksi pemerintahan Jokowi. membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa melalui pengadilan dalam kacamata barat disebut sebagai "illiberal democracy". Suatu cara yang diasumsikan sebagai praktik non demokrasi dalam menegakkan atau mempertahankan demokrasi. Dalam sepuluh tahun pemerintahan SBY, misalnya, semua kejahatan politik berakhir melalui pengadilan. Karena dalam demokrasi hakim adalah orang terakhir yang menyatakan "kebenaran". Dan HTI tidak terbukti di pengadilan melakukan kekerasan. Bersamaan dengan pembubaran HTI, rezim Jokowi jilid satu terindikasi menyasar pada pembubaran FPI. Pemerintahan Jokowi saat itu mengulur-ulur perpanjangan ijin ormas FPI dikementerian dalam negeri. Bahaya yang dimaksudkan di atas adalah antara "illiberal democracy" dan "freedom of speech & freedom to organize" dapat semakin kabur, tergantung dari kacamata sempit rezim penguasa. Dan ini akan mungkin mendorong negara menjadi "state-actor terrorism". Kejahatan negara terhadap rakyatnya setidaknya mulai terindikasi dengan penemuan-penemuan Amnesti Internasional, LBH, Kontras dll bahwa negara bertanggung jawab atas kematian dan kekerasan yang dialami demontran yang menolak hasil pemilu pada 21-22 Mei 2019 dan mahasiswa yang menolak revisi UU KPK lalu. Berbeda dengan urusan terkait ormas Islam itu, pengamat barat, khususnya kelompok Indonesianis di Australia, melihat rezim Indonesia yang berkuasa saat ini sudah kembali menjadi rezim otoritatian (Authoritarian-turn), sebagai mana dinyatakan professor Aspinal dkk dari Australia National University. Radikal dalam konteks nasional tertentu dapat di musuhi oleh sebuah negara, namun dapat dipahami komunitas human rights internasional, terutama terkait aksi membela diri kelompok masyarakat dari kekerasan negara (state-actor terrorism). Kelompok bersenjata di Irlandia, IRA, misalnya, beberapa dekade lalu, mendapatkan dukungan berbagai kelompok internasional, khususnya Gereja Katolik, karena dianggap mempertahankan diri dari kekejaman pemerintah dan dukungan Inggris kala itu. Begitu juga kelompok bersenjata di Papua, yang melakukan kekerasan terhadap penduduk Indonesia non Papua dan militer/polisi, mendapat dukungan internasional, khususnya komunitas masyarakat Israel, Australia, Ingrris, negara-negara pasifik dan Amerika. Untuk menghindari mispersepsi pada konsep radikalisme, kembali perlu melihat konteks dalam lingkup sosial politik nasional yang sedang berlangsung. Radikal dalam konteks nasional tertentu dapat di musuhi oleh sebuah negara, namun dapat dipahami komunitas human rights internasional, terutama terkait aksi membela diri kelompok masyarakat dari kekerasan negara (state-actor terrorism). Kelompok bersenjata di Irlandia, IRA, misalnya, beberapa dekade lalu, mendapatkan dukungan berbagai kelompok internasional, khususnya Gereja Katolik, karena dianggap mempertahankan diri dari kekejaman pemerintah dan dukungan Inggris kala itu. Begitu juga kelompok bersenjata di Papua, yang melakukan kekerasan terhadap penduduk Indonesia non Papua dan militer/polisi, mendapat dukungan internasional, khususnya komunitas masyarakat Israel, Australia, Ingrris, negara2 pasifik dan Amerika. Melihat radikalisme dalam konteks sebuah bangsa akan melengkapi pemahaman atas mana yang benar benar menjadi musuh bersama sebuah bangsa dan mana yang hanya menjadi komoditas politik kekuasaan tertentu. Penutup Said Aqil telah mendoakan dan menghormati Habib Rizieq. Habib Rizieq Sihab adalah manusia paling radikal di Indonesia. Karena perjuangan HRS adalah untuk merombak struktur sosial yang dikuasai segelintir ologarki, khususnya menurut dia Sembilan Naga. Rizieq bersumpah akan menjadikan sembilam naga menjadi sembilan cacing. Dan gerakan Rizieq mendapat apresiasi besar dari ummat Islam. Masa lalu organisasi FPI yang pro kekerasan, selama 5 tahun terakhir ini berkembang ke arah demokrasi. Yakni melibatkan diri pada kontestasi politik via pemilu dan pilkada. Meskipun pergeseran ini belum menghilangkan luka dan keraguan kelompok2 minoritas atas FPI, yang dipersepsikan masih memasukkan kekerasan dalam aksinya. Sejauh ini kita sudah melihat radikalisme itu dapat tanpa kekerasan tapi dapat juga dengan kekerasan. Namun radikalisme tidak harus mengarah pada ekstrimisme. Ekstrimisme, seperti gerakan Abubakar Baasyir, misalnya, tidak juga sama dengan gerakan radikalisme HRS. Radikalisme mengutuk teorisme sedangkan ekstrimisme dapat mendorong ke arah terorisme. Pertanyaan besar kemudian, bagaimana jika ulama pimpinan utama Nahdatul Ulama mendukung dan mendoakan Habib Rizieq Sihab? Bagaimana lebel yang harus diberikan pada Said Aqil Siroj? Ini merupakan misteri dari radikalisme Said Aqil Siroj tentunya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Jokowi Bicara Radikalisme
Negara hukum demokratis, mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat secara jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Pemerintah dimanapun selalu memiliki perangkat resmi dan tidak resmi. Tugasnya, memonitor, mengumpulkan, menganalisis setiap inci realitas bangsanya. Setelah itu memproyeksi realitas baru. Apa saja yang dilakukan ke depan. Pemerintahan Jokowi juga memiliknya. Berbekal itu atau tidak, Presiden Jokowi membuat pernyataan tak terukur pada dua kesempatan berbeda. Pernyataan itu dalam intinya, tentang Kementerian Agama (Kemenag) mengurusi radikalisme dan intoleransi. Dikemukakan pertama kali pada saat pelantikan menteri-menterinya. Diulang lagi pada hari berikutnya pada saat rapat perdana kabinetnya. Katanya sesaat setelah pelantikan menteri “ke-9 Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Ini urusan (Menag) berkaitan dengan radikalisme, ekonomi ummat, industri halal. Saya kira, dan terutama haji berada di bawah beliau (CNNIndonesia.com, 24/10). Sehari setelah itu, Presiden menyatakan kembali dalam rapat perdana kabinet. Kata Presiden, “kita ingin berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi, betul-betul secara kongkrit bisa dilakukan oleh Kementerian Agama”. Dipilihnya Jendral (Purn) Fachrul Razi menjadi menteri agama, menurut Presiden karena mantan wakil panglima TNI 1999-2000 itu memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah radikalisme, yang saat ini tengah menjadi keresahan di publik (Wowkeren, 25/10).” Insyaa Allah Menjadi politisi bukan pekerjaan rumit. Sejauh tersedia bakat untuk itu. Misalnya, bersedia menanggung cercaan, hinaan dan sejenisnya. Toh politik tidak seluruhnya berputar pada kemampuan membuat hal-hal yang tidak mungkin berubah menjadi mungkin. Begitu pula sebaliknya. Politik malah lebih sering terlihat sebagai seni membuat konflik berputar dalam kendali. Pada garis kehendak yang ditetapkan. Apa yang Jokowi masksudkan radikalisme dan intoleran itu? Dengan pemahaman apa ia memasuki isu radikalisme dan intoleransi tersebut? Tidak ada yang mengetahuinya. Tetapi apapun itu Presiden Jokowi telah memperlihatkan relasi determinan agama. Determinan yang terlihat mengarah kepada Islam. Karena dengan radikalisme dan intoleransi itulah, yang sekarang mengakibatkan penyataan membahana membelah realitas kemesraan tradisional Nahdatul Ulama (NU) dengan Muhammadiah dengan kementerian ini. Pak Din, professor pintar dan berintegritas top ini pun menanggapinya. Kata Pak Din, seharusnya Kemenag bukan memberantas hal semacam itu. Kemenag memiliki peranan yang jauh lebih luas untuk membangun moralitas bangsa. Kemenag jangan disalahfungsikan, sebab radikalisme tidak hanya di seputaran agama. Radikalisme tidak hanya radikalisme keagamaan. Lebih jauh, disini terlihat Pak Din menempatkan, membawa isu itu ke dalam alam konstitusionalisme. Pak Din menguraikan dalam nada kritis bahwa “kenapa tidak boleh disebut radikalisme ekonomi ? Yang melakukan pelarian dan kekerasan pemodalan? Yang menimbulkan kesenjangan ekonomi, jurang antara yang kaya dan miskin. Dalam penilaian kritisnya, Pak Din menamakan radikalisme ekonomi. Kenapa tidak radikalisme politik? Kata radikalisme itu agak “tendensius” tanda petik dari saya. Karena lebih banyak ditekankan kepada umat Islam. (Teropongsenayan, 24/10). Jalan Pak Din memang bukan jalan Kiyai Robikin, salah seorang fungsionaris PB NU. Kiyai Robikin memperlihatkan kemiripan pandangan NU dengan Presiden mengenai bahaya radikalisme. Tetapi kemiripan ini tidak cukup membuat NU puas. Setidaknya kiyai-kiyai NU di daerah tidak nyaman dengan pernyataan Presiden masalah radikalisme. Karena bukan orang NU itulah menurut Kiyai Robikin, banyak kiyai-kiyai di daerah yang menyatakan protesnya (Kumparan, 24/10). Kiyai Robikin tak mungkin memasuki area ini tanpa alasan. Tetapi Jokowi, entah karena keluhan NU atau bukan, sehari setelah pengangkatan Menteri Agama, mengangkat KH Zainut Tauhid Sa’adi menjadi Wakil Menteri Agama. Kiyai Zainut dikenal luas memiliki jejak positif dalam urusan keummatan. Beliau tahu seluk-beluk perasaan ummat Islam. Kapasitasnya yang hebat memudahkan Pak Wamen menemukan cara pemecahannya. Pak Wamen sontak menyodorkan gagasan silaturrahim dengan para kiyai dan Ormas keagamaan. Menurutnya, ini harus sudah terlaksana sebelum benar-benar merancang program dan kegiatan kementerian ini. Bisa memunculkan penilain yang membelah di mayarakat. Sebab (isu radikalisme), dalam penilaiannya bisa menyebabkan kontroversi di masyarakat. Menguraikannya menjadi pekerjaan yang harus segera dilakukan oleh Kemenag (Republika.co.id, 25/10). Pak Wamen benar. Terminologi radikalisme dan intoleransi itu sangat tidak jelas. Apa konsepnya? Apa objeknya? Apa bentuknya, dan apa unsurnya? Serba tak jelas parameternya. Terlihat sejauh ini hanya diserahkan ke dunia politik. Pak Wamen juga benar, jika silaturrahim adalah wahana terindah untuk menghidupkan rasa sebagai sesama hamba Allah. Dan saya cukup yakin Pak Jendral Fachrul juga menyukai silaturrahim di lintasan yang indah ini nantinya. Insyaa Allah. Waktu Menjadi Hakim Mengandalkan hukuman dalam merespon tindak-tanduk radikalisme dan intoleransi, sejauh ini bukan pilihan utama Jokowi. Apalagi belom jelas detail konsep itu secara hokum. Walaupun lebih dipertautkan dengan agama,khususnya Islam. Namun yang bisa dikatakan Pak Presiden tampkanya lebih memilih komunikasi dan silaturahmi. Pak Presiden terlihat cukup jelas lebih memerlukan langkah non hukum. Tetapi justru disitulah letak soalnya. Dimana letak soalnya? Negara hukum demokratis mengharuskan kejelasan yang sejelas-jelasnya setiap terminologi atau konsep yang dijadikan sebagai basis tindakan pemerintahan. Konsep dan detailnya yang tidak jelas. Tetapi dijadikan sebagai basis kebijakan negara, maka harus dikatakan sama dengan main politik. Negara hukum demokratis mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat secara jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini. Membuat jelas konsep radikalisme dan intoleransi adalah cara konstitusional memotong, membelenggu, mengisolasi tindakan main lebel, main tuduh. Presiden Jokowi, saya duga, jauh dari kehendak melebel Islam dengan radikalisme dan intoleransi. Saya percaya itu, lebih dari yang bisa dibayangkan. Tetapi bukan disitu soalnya. Soalnya tanpa konsep yang jelas, terukur pada detail dan unsur-unsurnya. Tetapi menjadikannya sebagai isu utama tindakan pemerintahan, sama dengan menyatakan telah ada radikalisme dan intoleransi. Hanya berdasarkan defenisi Presiden. Sebaik-baiknya niat Presiden memberangus radikalisme, Presiden juga dituntut untuk memiliki pijakan terukur secara hukum. Negara hukum demokratis, sekali lagi, mutlak mengharuskan konsep-konsep radikalisme dan intoleransi dirumuskan terlebih dahulu dalam hukum. Rumusannya, harus selaras dengan nalar keadilan. Harus terukur dalam semua aspek detailnya. Juga harus selaras dengan nilai-nilai hebat, agung, fundamental yang melembaga dalam kearifan-kearifan bangsa yang hebat ini. Negara hukum demokratis, juga mengharuskan diciptakannya lingkungan yang civilized. Bebas dari rasa takut, apapun jenisnya. Tetapi ketakutan mendadak yang tak terukur, tidak bisa diambil dan dijadikan basis kebijakan hukum. Ketakutan mendadak dan tak terukur, hanya menghadirkan legitimasi murahan. Semua itu, karena derajat kesesuaiannya tidak kokoh. Jangan lupa legitimasi ditunjuk konstitusionalisme sebagai standar utama membuat hukum. Juga standar utama menciptakan daya adaptasi tindakan pemerintahan dengan semua nilai yang hebat dari bangsa ini. Jokowi jelas tidak tendensius. Tetapi agak sulit untuk tak mengatakan Jokowi terlihat membelakangi perspektif konstitusionalisme sehat. Mengapa? Pernyataannya terlihat kongklusif. Juga muncul di tengah ketiadaan konsep hukum tentang radikalisme dan intoleransi. Bukan tak bisa, tetapi bukan itu cara mengendorsnya. Apalagi rasio yang menyertainya begitu tipis. Cara yang dipilih itu, entah dengan atau tanpa detail pertimbangan pada semua aspeknya, punya konsekuensi. Pak Jokowi terlihat membawa dirinya menjadi orang tak terlatih mengenal kearifan konstitusionalisme sehat mengurus pemerintahan. Bicara pendek memang bisa, tapi tak menyertakan argumentasi konstitusionalisme sehat adalah perkara mengerikan. Apakah Presiden telah cukup yakin DPR yang telah menjelma menjadi mahluk paling bijaksana menggunakan kewenangan pengawasan konstitusionalnya? Sehingga DPR juga tak memperhatikan detail konsekuensi pernyataannya? Entahlah. Presiden, boleh jadi memiliki keyakinan bahwa DPR telah lebih dewasa. DPR bisa membawa diri memahami pemerintahan Jokowi saat ini. Boleh jadi juga DPR untuk alasan itu, selalu dapat menerima semua tindakan pemerintahan Pak Presiden. Lebih jauh Presiden mungkin telah cukup yakin berada dan berurusan dengan hanya satu realitas. Bukan dua realitas yang pernah terbentang begitu lebar. Yang sempat teridentifikasi secara terburu-buru, sehingga hampir membelah bangsa ini. Realitas tunggal itu, semoga beralasan. Lebih dari itu, mungkin menjadi modal untuk menggerakan lebih cepat, tetapi terukur. Bukan liar pemerintahan ini. Tetapi sehebat itu sekalipun, Presiden diminta untuk bijaksana mengelola pemerintahannya. Presiden, untuk kepentingan kearifan pemerintahan konstitusional, tak boleh terlihat menjadi pemicu tindak-tanduk rasisme, intoleransi dan radikalisme dalam semua dimensinya. Itu jelas tidak boleh. Karena itu merupakan hal terhebat untuk segala zaman. Presiden juga tak boleh menjadi pemicu kontroversi, apapun isunya. Agar terhindari dari semua itu dan tidak ternilai tendensius, indah sekali bila Presiden bergegas merumuskan konsep detail radikalisme dan intoleransi itu. Mari Presiden. Kami semuya menantikannya. Waktu yang akan datang menjadi hakim, memberi kualifikasi pada dirinya sebagai Presiden untuk semua itu. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Univesrsitas Khairun Ternate
AKBP Idham Azis Pernah Terkena Sanksi Karena Kasus Perjudian
Dikhawatirkan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air karena takut berhadapan dengan “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” punya hubungan kedekatan masa lalu dengan Kapolri. Kasian, pemerintahan Pak Jokowi juga dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN – Pada tahun 2004, kalangan enternal polisi dan dunia perjudian di tanah air dibikin heboh. Penyebabnya Kapolri ketika itu Jendral Polisi Drs. Da’i Bachtiar marah besar. Akibatnya, Kapolri Da’i mencopot sejumlah perwira menengah polisi jabatannya masing-masing. Mereka yang dicopot dari jabatanya tersebut, umumnya bertugas di jajaran Polda Metro Jaya. Para perwira menengah Polda Metro Jaya yang dicopot itu, dipindahkan ke polda-polda di daerah Indonesia Timur dan Indonesia Tengah. Mereka ditempatkan di Papua, Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Mereka dicopot dari jabatannya, karena danggap membiarkan perjudian marak dan telanjang mata terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Padahal perjudian dengan dalih apapapun adalah pelanggaran terhadap pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 303 KUHP ini di kalangan pelaku perjudian tanah air, sering disebut dengan “Pasal San Kong San. Bahasa cinanya San yang berarti angka tiga. Kong artinya angka nol atau kosong, dan San lagi tetap artinya tiga. Akibatnya, Telegram Rahasia (TR) Kapolri Da’i Bachtiar untuk mencopot dan memindahkan sejumlah perwira menengah dari Polda Metro Jaya ke Indonesia Timur dan Indonesia Tengah itu, terkenal dengan nama “TR San Kong San”. Ada juga yang menyebutnya dengan TR 303. Yang lain menamakannya TR perjudian. Satu diantara perwira menengah Polda Metro Jaya yang terkena atau ikut terdampak dari terbitnya “TR San Kong San” adalah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Drs. Idham Azis. Calon Kapolri pengganti Tito Karnavian ini dipindahkan Da'i Bachtiar ke Polda Sulawesi Tengah. Jabatan Idham Azis ketika itu adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Sebelum menjabat sebagai Kapolres Metro Jakarta Barat, Idham Azis menjabat Kasat Jatanras atau biasa disebut Kasatum. Organ di bawah Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Kasatum Polda Metro Jaya ketika itu adalah penanggung jawab lapangan semua kegiatan perjudian dan prostitusi. Aturan bakunya, Kasatum harus memastikan tidak ada kegiatan perjudian dengan dalih apapun, dan dalam bentuk apapun yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Namun jika ada kegiatan perjudian secara terbuka, maka dipasatikan penyebabnya ada dua kemungkinan. Kemungkinan Pertama, perjudian ketika itu memang marak, dan terbuka di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Siapapun bisa bermain judi dengan gampang dan bebas. Penulis sering ikut menyaksikan dan menemani teman yang bermain judi di beberapa tempat perjudian. Namun bisa saja kegiatan perjudian berlangsung dengan bebas dan terbuka. Tetapi tanpa sepengetahuan Kasatum Polda Metro Jaya dan jajaran kepolisian di bawahnya. Artinya, perjuadian yang terjadi adalah ilegal atau liar. Sayangnya, para bandar judi tidak ditindak, sehingga membuat Kapolri Da’i Bachtiar harus marah besar. Kemungkinan Kedua, perjudian memang berlansung, namun liar. Artinya, ada perjudian tanpa izin. Namun bisa saja perjudian tersebut hanya bisa berjalan dengan leluasa, karena sepengetahuan jajaran Kasatum Polda Metro Jaya. Artinya, ada yang tau sama taulah. Bahasa kerennya ada yang hengky pengky. Walaupun demikian, setiap saat mereka bisa juga ditangkap atau tempat judinya ditutup bila diperlukan . Secara struktur, seharusnya AKBP Drs. Idham Aziz tidak perlu terkena sanksi atau terdampak “TR San Kong San”. Sebab jabatan Idham adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Wakapolres tidak memiliki kaitan komando langsung terhadap kegiatan perjudian di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat. Kewenangan tersebut hanya ada pada Kapolres atau Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat. Palaksana lapangannya adalah Kanit Voice Control (VC). Bawahan dari Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat Kapolri Jangan Tersandara Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang menjadi bandar perjudian di wilayah hukum Polda Metro Jaya didominasi oleh kelompok “Naga Sembilan”. Mereka juga yang sekarang mengontrol lebih dari separuh roda perputaran ekonomi nasional. “Naga Sembilan” pula yang mengendalikan separuh sistem hukum kita sekarang. Sayangnya, mereka tidak pernah berwujud atau nongol ke permukaan Rasanya sangat sulit bagi siapapun untuk bisa menang di Polisi, Jaksa dan Pengadilan, jika berperkara dengan “Naga Sembilan”. Kekuasaan dan kekuatan hukum sebesar apapun, sepertinya tidak bisa untuk menghukum kedigjayaan “Naga Sembilan”. Apa jadinya bila Kapolri kita nanti adalah orang yang pernah bersentuhan dengan “Naga Sembilan”? Siapa pelaku binis negeri ini atau investor asing yang berani berperkara secara hukum melawan anggota kelompok “Naga Sembilan”? Kenyataan ini akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan iklim usaha dan investasi di tanah air. Paling kurang selama satu tahun tiga bulan ke depan. Selama kurun waktu Idham Azis menjabat sebagai Kapolri. Kita tidak ingin Kapala Polisi Indonesia disandra oleh para pengusaha hitam. Jangan juga sampai Kapolri kita dikendalikan oleh kelompok “Naga Sebilan”. Kapolri, siapapun orangnya harus terbebas dari pengaruh mavioso. Sebab kalau sampai Kapolri punya beban masa lalu dengan para mavioso perjudian dan prostitusi, maka itu pertanda buruk. Kasian sekali perjalanan bangsa ini untuk lima belas bulan ke depan. Dikhawatirkan kalangan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air, hanya karena takut berhadapan dengan kelompok “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” mempunyai kedekatan hubungan di masa lalu dengan Kapolri. Kasian juga bagi pemerintahan Pak Jokowi, karena dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi. Padahal Indonesia sekarang membutuhkan investasi dalam yang jumlah sangat besar. Indonesia butuh invetasi, baik dari dalam negeri maupun asing. Tujuannya, untuk bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas 6% setiap tahun. Untuk itu, dibutuhkan pejabat bidang hukum yang lumayan-lumayan bersihlah. Semua neraca dan indikator ekonomi Indonesia sekarang ini merah. Defisit neraca perdagangan merah sangat besar. Bahkan defisinya terbesar sepanjang Indonesia, sejak merdeka tahun 1945. Nilai defisitnya antara U$ 8-9 miliar dollar. Selain itu, neraca pembayaran juga merah. Begitu pula dengan necara penerimaan dari pajak, yang juga merah. Semua indikator ekonomi Indonesia yang lemah dan merah tersebut, telah mendorong Pak Jokwi harus melakukan kompromi politik dengan rivalmya Prabowo Subianto. Tujuannya, agar tercipta iklim politik yang kondusif. Targat akhirnya adalah masuknya investasi, terutama dari luar negeri dalam jumlah yang besar, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6% setiap tahun. Namun keinginan yang mulia tersebut, ternyata belum cukup Pak Jokowi. Masih dibutuhkan pejabat di bidang hukum yang tidak punya rekam jejak masa lalu dengan pengusaha hitam. Mereka adalah para penguasa yang dulu mengendalikan bisnis perjudian dan prostitusi. Tentu saja mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Apalagi marasa memiliki kedekatan emosional dengan Kapolri nantinya. Jika pejabat bidang hukum punya jejak masa lalu dengan para mavioso dan pengusaha hitam, dikhawatirkan akan menyulitkan Pak Jokowi dalam merealisasikan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”. Kecuali jika pada periode kedua ini, Pak Jokowi tidak lagi mengutamakan pelaksanaan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”. Pak Jokowi, ketika “TR San Kong San” tersebut keluar dulu, sangat mungkin Pak Jokowi tidak mengetahuinya. Karena tahun 2004 Pak Jokowi baru mulai perisiapan menjadi Walikota Solo periode pertama. Mungkin juga Pak Jokowi sedang sibuk-sibuknya mengurus modrenisasi Pasar Kliwer Solo. Pak Jokowi baru masuk Jakarta tahun 2012, untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Kebetulan saja ketika itu, penulis adalah wartawan senior dari Majalah Hukum dan Politik. Semoga fakta dan informasi ini bermanfaat bagi pimpinan dan anggota Komisi III DPR. Sebab mulai Rabu besok ini Komisi III DPR melakukan rangkain uji kepatutan dan kelayakan terhadap Komjen Polisi Drs. Idham Azis sebagai calon Kapolri Terakhir, tulisan ini bukanlah karena adanya kebencian atau suka dan tidak suka penulis kepada pribadi Komjen Polisi Drs. Idham Azis untuk menjadi Kapolri. Bukan juga sebagai upaya untuk menghalangi atau menjegal Idham Azis menjadi Kapolri, Tulisan ini hanya sebagai sumbangan kecil dari pengetahuan dan pemahaman penulis sebagai anak bangsa. Hanya karena masih punya kepedulian kepada bangsa dan negara. Tulisan ini juga sebagai bentuk kecil dari cinta penulis kepada bangsa. Menurut penulis, bangsa ini sedang tidak aman secara ekonomi dan hukum. Berdosa sekali kalau penulis tidak meyampaikan fakta ini kepada publik. Kepada Pak Jokowi dan Komisi III DPR. Paling kurang, mudah-mudahan saja ketika menjadi Kapolri nantinya, Jendral Polisi Drs. Idham Azis lebih hati-hati dalam memimpin intitusi kepolisin. Insya Allaah, Amin amin amin Penulis adalah Wartawan Senior
Menag Ketemu UAS, Mau Memeriksa Hadits Yang Sensitif?
Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi dikabarkan akan menemui penceramah kondang Ustaz Abdul Somad (UAS). Pertemuan tersebut merupakan bagian dari agenda Fachrul untuk merangkul segenap komponen masyarakat demi kepentingan bangsa. (28/10). Sebelumnya, Menag menegaskan agar ustadz-ustadz tidak menyampaikan konten ceramah yang memuat ayat atau hadits sensitif. Pertemuan ini, tentu menimbulkan praduga publik tentang rencana eksekusi para ustadz agar lolos verifikasi unsur 'sensitif' di dalam penyampaian ayat maupun hadits. Menag mengakui UAS memiliki peran dan berjuang untuk bangsa. Meskipun, dia juga memiliki penilaian ada satu dua butir ceramahnya yang menurutnya tidak pas. Menag mengaku memiliki kewajiban untuk menyampaikan itu. Pada artikel yang berjudul 'REZIM JOKOWI SEMAKIN REPRESIF TERHADAP ULAMA ?' penulis telah membuat analisis adanya pola baru yang memungkinkan bagi rezim untuk melakukan sejumlah 'intimidasi struktural', memaksa ulama untuk masuk 'meja perundingan' yang telah dipersiapkan rezim. Dalam negosiasi perundingan itulah, para ulama akan dihadapkan pada tiga opsi utama : Pertama, para ulama kritis yang menyampaikan sejumlah dalil untuk mengoreksi rezim, baik dalil dari al Quran maupun as Sunnah diminta untuk menarik diri dari aktivitas dakwah amat ma'ruf nahi munkar, serta menjadi satu kesatuan bersama rezim untuk mensyiarkan sejumlah dalil yang akan mengokohkan kedudukan rezim. Kedua, jika ulama kritis tidak mau menjadi ulama yang mendukung rezim, yang melegitimasi kekuasaan rezim dengan mencari kutipan dalil Al Quran maupun AS Sunnah, agar memilih diam dan fokus menyampaikan dakwah tentang akhlak dan kebajikan persoanal individual. Ketiga, ulama yang masih tetap nekat berdakwah dan menjelaskan syariah apa adanya, tetap mengutip dalil dari Al Quran dan AS Sunnah tanpa pilah pilih, tetap mengoreksi kezaliman rezim dan menolak melegitimasinya, akan diancam dengan sejumlah konsekuensi, termasuk akan dikriminalisasi. UAS nampaknya akan menjadi ulama pertama yang ditarget rezim. Pertemuan ini, merupakan langkah negosiasi untuk memaksa UAS memilih satu diantara tiga pilihan. Mau tunduk kepada rezim dan menerima sejumlah kompensasi, memilih untuk tiarap (diam), atau ditekan dan dikriminalisasi jika masih melawan rezim. Jadi, pertemuan Menag dengan UAS bukan untuk memferifikasi hadits yang disampaikan UAS. Sebab, secara keilmuan bisa apa Fahrur Razi dibandingkan UAS kalau bicara hadits ? Atau Menag mau menggunakan tangan kekuasaan untuk memberi stempel hadits yang disampaikan UAS sensitif ? Ini merupakan aksi nyata bahwa rezim memang ingin membungkam dakwah Islam, rezim menjadi pihak yang menyeleksi hadits berdasarkan arogansi kekuasaan. Berdalih ceramah sensitif, ayat sensitif, hadits sensitif, rezim akan mengunci dan menutup rapat syiar dakwah dan agama Islam menggunakan otoritas kekuasaan. Karenanya, semua ustadz, ulama, mubaligh, advokat, akademisi, tokoh Islam dan segenap umat Islam wajib bergandengan tangan untuk saling melindungi. Semboyan umat harus berani menjadi martir bagi ulama, sementara ulama siap menyongsong Syahid demi menjaga kemuliaan Dien Islam. Ya Allah, selamatkanlah umat dan agama ini. Amien. [].
Bukan Radikalisme, Cuma Keresahan Mereka Saja
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dalam 20 tahun terakhir ini, umat Islam leluasa menjalankan dakwah. Di mana saja, di semua tingkat. Setelah puluhan tahun dikekang dan ditindas oleh penguasa. Dakwah itu kini membuahkan hasil positif. Ketakwaan umat secara umum terlihat meningkat. Kasat mata menyaksikan itu. Tanda-tandanya antara lain adalah semakin banyak wanita yang mengenakan busana muslimah. Umat semakin paham dan percaya diri. Di kampus-kampus. Di tempat-tempat kerja, baik di lingkungan kantor pemerintahan maupun di lingkungan pabrik-pabrik. Ahamduillahnya, gairah keislaman tidak lagi terbatas di lingkaran yang dulu boleh disebut tak berkelas. Islam kini dipahami, dihayati, dan dilaksanakan semaksimal mungkin oleh kelas menengah. Kelas terdidik. Educated. Begitulah pertumbuhan dakwah yang dijalankan dengan damai oleh para ulama, kiyai, ustad, dll. Berhasil menjangkau lapisan luas masyarakat. Dan disambut dengan tangan terbuka. Dulu, orang-orang yang bermukim di kawasan elit kota-kota besar enggan memakai jilbab. Takut dikatakan terbelakang jika mengenakan busana muslimah. Sekarang, semua itu sirna dimakan oleh pengetahuan mereka tentang Islam. Dulu, orang Islam ragu-ragu menampilkan keislamannya. Sekarang, semua itu hilang. Umat dari segala lapisan dan kelas memberikan perhatian besar terhadap dakwah. Umat semakin paham bahwa tujuan hidup mereka adalah akhirat yang terbaik. Itulah buah dakwah yang mulai meresahkan banyak pihak. Resah karena tiba-tiba hari ini di mana-mana perempuan Islam rata-rata memakai busanana muslimah. Menutup aurat. Majelis ilmu agama tumbuh bak jamur di tanah lembab. Pertumbuhan dakwah itu juga ditandai oleh kehadiran rumah ibadah, yaitu masjid dan musholla, di kantor-kantor dan tempat-tempat komersial seperti mal, plaza, pasar, dlsb. Bahkan sampai ke sekolah-sekolah. Rata-rata sekolah memiliki masjid atau surau. Sholat dan sarananya menjadi kebutuhan mutlak. Ini yang membuat kaum liberal meradang. Mereka panik melihat semakin banyak kaum muda yang lebih tertarik kepada ketakwaan ketimbang kesesatan. Di banyak perguruan tinggi negeri, juga swasta, boleh dikatakan hampir 100 persen mahasiswa dan dosen Islam berpakaian muslimah. Akibatnya, mereka gelisah melihat kampus-kampus yang mahasiswanya ikut pengajian dan majelis ta’lim. Ada masjid kampus. Azan bersahut-sahutan. Salah seorang Youtuber sesat, namanya DS, termasuk yang gelisah melihat kampus-kampus yang semakin solid dengan suasana Islami. Dalam satu kampanye video, DS menuduh mereka tercuci otak, terpapar radikalisme, dll. Dia tuduh para mahasiswa yang semakin takwa itu sebagai pendukung khilafah. Garis keras, intoleran, dsb Umat Islam tampkanya kembali dijadikan bulan-bulanan. Label radikalisme dikampanyekan oleh orang-orang yang anti-Islam. Baik oleh mereka yang Islam maupun yang bukan Islam. Para penguasa ikut termakan. Presiden Jokowi sendiri juga yakin umat Islam sekarang menjadi radikal. Salah satu fokus kerja Jokowi adalah proyek deradikalisasi. Padahal, umat hanya menjalankan syariat agama mereka. Secara damai dan tidak mengganggu siapa pun. Tapi, mengapa begitu gencar kampanye radikalisme? Ada beberapa penjelasan. Pertama, sejak 20 tahun terakhir ini umat Islam dari semua lapisan dan di segenap pelosok negeri bisa bersatu dalam dakwah. Bersatu dalam Islam garis lurus. Ini yang membuat para pembenci Islam yang memiliki kekuatan uang tak terbatas, berusaha menggunakan para penguasa untuk menindas pertumbuhan dakwah. Salah satu caranya adalah memunculkan isu radikalisme. Terminologi ini sangat ampuh untuk menakut-nakuti umat. Kedua, ada kekuatan luar yang juga merasa resah melihat umat yang semakin solid dalam dakwah. Islam garis lurus yang tersambung begitu kukuh membuat kekuatan luar merasa terhalang untuk masuk. Mereka menjadi frustrasi. Umat garis lurus akan membendung mereka. Kekuatan luar yang ingin masuk ke sini, pasti merasa tak cocok dengan umat yang menunjukkan sauasana islami. Ketiga, bisa jadi juga sejumlah pemegang kuasa tertentu sengaja memelihara isu radikalisme karena mereka bisa menjual itu untuk mendapatkan duit besar. Ini sangat berbahaya. Sebab, para penguasa yang memelihara isu radikalisme itu bisa memainkannya secara terukur dan terkendali. Mereka itu sangat ceroboh. Permainan ini hanya mengorbankan umat. Umat Islam menjadi tertuduh terus. Jadi, yang sesungguhnya berlangsung bukanlah keberadaan radikalisme. Yang ada hanyalah suasana islami umat garis lurus yang sama sekali tidak mengancam siapa pun. Cuma memang menyulut keresahan sejumlah pihak. Yaitu, mereka yang tak rela umat ini bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Padahal, umat Islam yang memiliki ketakwaan dipastikan akan bermentalitas Pancasila.[] 28 Oktober 2019