NASIONAL
Plus Minus Ahok Mendongkrak Risiko Jokowi
Oleh Hudzaifah Jakarta, FNN - Ahok kembali menjadi viral di media massa cetak, televisi, radio maupun media sosial. Kali ini mantan narapidana penistaan agama itu akan diangkat menjadi bos di PT Pertamina, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) paling basah di negeri ini. Sebelumnya pemilik nama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu memang santer akan menjadi salah satu nominasi menteri Kabinet Indonesia Maju. Tapi setelah nama-nama menteri dan wakil menteri diumumkan, peluang Ahok pun pupus. Setelah itu beredar kabar bahwa Ahok akan menjadi Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi setelah ditelusuri Ahok tak memenuhi syarat karena dalam karirnya sebagai Gubernur DKI banyak persoalan korupsi yang diarahkan kepadanya. Belakangan Ahok bertemu Menteri BUMN Erick Thohir dan dikabarkan akan menjadi bos BUMN, wabil khusus Pertamina. Bahkan Presiden Jokowi sendiri diketahui yang mendorong Ahok jadi bos di Pertamina, entah sebagai Direktur Utama atau Komisaris Utama. “Bisa keduanya. Kita tahu kinerjanya. Nanti penempatannya di mana, itu proses seleksi yang ada di Kementerian BUMN," ucap Jokowi hari ini. Menteri BUMN Erick Thohir sendiri menyatakan proses seleksi akan selesai akhir bulan ini, sehingga awal Desember 2019 sudah bisa dilantik. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membenarkan soal peluang Ahok menjadi salah satu bos di BUMN energi. Menurutnya Ahok sosok yang tepat karena ketegasannya untuk memimpi salah satu BUMN energi. Atau BUMN lain yang sakit membutuhkan kepiawaian dan keberanian Ahok. Sampai di sini publik pun menyatakan aneka reaksi yang beragam. Pengarang buku Korupsi Ahok, Marwan Batubara berpendapat bahwa Ahok itu lebih pantas ditahan ketimbang diberi jabatan, mengingat banyaknya kasus korupsi yang melilitnya. Mantan Ketua DPR Marzuki Ali menyampaikan keheranannya dengan rekomendasi Jokowi agar Ahok jadi bos Pertamina. Alasannya, banyak sekali temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terkait dugaan korupsi Ahok, sebaiknya temuan BPK itu ditindaklanjuti aparat hujum dulu. Sementara mantan Menteri Koperasi dan UKM Syarif Hasan mengatakan di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah mengangkat petinggi BUMN dari orang bermasalah. Bahkan pejabat yang sedang duduk dalam jabatannya terindikasi bermasalah dan ditersangkakan, maka diberhentikan. Dengan kata lain, Presiden Jokowi sedang mempertaruhkan risiko yang besar dengan rencana mengangkat Ahok sebagai bos Pertamina. Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman berpendapat, kalau Ahok benar mau dicalonkan jadi Direktur Utama atau Komisaris Utama BUMN, maka Erick Tohir bisa dianggap melanggar Permen BUMN Nomor 03 Tahun 2015 tentang Persyaratan Menjadi Anggota Direksi dan Komisair BUMN. Menurutnya Ahok tidak memenuhi syarat formal untuk menjadi Direksi maupun Komisaris BUMN sesuai Permen BUMN tersebut. Pada Bab II tentang Persyaratan Anggota Direksi BUMN dalam Permen BUMN Nomor 03/2015, pada poin A angka 3, tentang Persyaratan Formal, disebutkan direksi perseroan adalah orang perorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu lima tahun sebelum pengangkatan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, BUMN, perusahaan dan atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. Tentang persyaratan formal poin 3 ini, walau bisa dimentahkan dengan dalih Ahok dipenjara bukan karena merugikan keuangan negara atau BUMN, tapi Ahok tersangkut di persyaratan materiil. Yusri mengungkapkan pada Bab II huruf B angka 6 Permen BUMN Nomor 03/2015, disebutkan persyaratan materiil direksi perseroan adalah Perilaku yang baik. “Faktanya, yang bersangkutan (Ahok,red) berperilaku yang melecehkan, menistakan atau menghina agama lain sehingga dipenjara karena hal tersebut, itu berarti berperilaku tidak baik," ungkap Yusri. Tentu saja dimata Jokowi, Ahok adalah special person. Selain yang membantu menghubungkan Jokowi dengan sumber pembiayaan kampanye Gubernur DKI Jakarta dan Pilpres 2014 dan mungkin saja 2019, maka Ahok layak diberi apresiasi. Bagi Jokowi, Ahok adalah penentu nasibnya hingga menduduki jabatan RI-1. Wajar kalau diberi hadiah bos BUMN. Sebab kalau menjadi menteri, wakil menteri ataupun pengawas KPK, syaratnya sangat berat dan sulit bagi Ahok untuk menembus. Sementara dengan menjabat bos BUMN--belum jelas apakah akhirnya menjadi Dirut atau Komut Pertamina, Inalum, Sarinah, dan lainnya—syarat itu masih debatabel. Erick Thohir malah optimistis Ahok bisa dititipi di salah satu BUMN, memang yang paling basah adalah Pertamina. Bahkan Erick menjamin bahwa proses seleksinya sedang berlangung, diprediksi awal Desember sudah bisa dilantik. Kasus Ahok Jika di-rewind ke belakang, sebenarnya Ahok meninggalkan banyak perrsoalan hukum. Mulai dari kasus RS Sumber Waras, Taman BMW, Rusun Cengkareng, reklamasi pantura Jakarta, dana kompensasi, dan kasus-kasus lain yang menurut audit BPK mengandung unsur pelanggaran hukum. Tapi untungnya rezim yang memimpin negeri ini adalah orang-orang yang dekat dengan Ahok. Sehingga sosok yang belakangan menjadi kader PDIP ini seperti tak tersentuh hukum. Adapun penetapannya sebagai terpidana kasus penistaan agama terjadi berkat tekanan kuat dari ummat Islam yang tergabung dalam gerakan 212. Berdasarkan buku Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok yang ditulis Marwan Batubara, sedikitnya ada 7 kasus besar yang melilit Ahok sejak menjadi Wakil dan Gubernur DKI Jakarta. Pertama, berdasarkan hasil audit resmi BPK, Ahok terindikasi terlibat korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras. Bahkan dalam prosesnya Ahok telah melakukan 6 pelanggaran yang serius sehingga negara dirugikan sebesar Rp191 miliar karena membeli lahan sendiri. Kedua, kasus lahan Taman BMW. Ahok diduga terlibat korupsi dalam pelepasan lahan Taman BMW seluas 12 hektar di Sunter di Jakarta Utara. Lahan itu sedianya akan digunakan untuk dibangun Jakarta International Stadium (JIS) Persija. Tapi lahan itu ternyata dikuasai PT Buana Permata Hijau (BPH). Ketiga, kasus lahan Rusun Cengkareng. Kasus ini berawal ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membeli lahan seluas 4,6 hektare di Cengkareng, Jakarta Barat tahun 2015 seharga Rp668 miliar dari Toeti Noezlar Soekarno. Pembelian dilakukan Dinas Perumahan dan Gedung Pemprov DKI Jakarta (sekarang bernama Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta). Lahan itu dibeli untuk pembangunan rumah susun (rusun). Pembelian itu belakangan dipermasalahkan saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, lahan itu juga terdata sebagai milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DPKPKP) DKI Jakarta. Jika demikian, Pemprov DKI telah membeli lahannya sendiri. Keempat, penyelewengan dana corporate social responsibility (CSR) yang merupakan kompensasi dari para pengembang. Harusnya dana itu dimasukkan dulu ke dalam APBD DKI, baru digunakan sesuai perencanaan dan pagu anggaran yang disediakan. Nyatanya dana itu langsung digunakan untuk berbagai fasilitas seperti jalan lingkar Semanggi, baru diappraisal nilainya di-netting ke dalam APBD. Kelima, penyimpangan dana non budgeter. Berbagai proyek pembangunan di DKI Jakarta selama dipimpin Ahok disusun dan ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan DPRD DKI Jakarta dan tanpa menggunakan dana APBD DKI Jakarta. Intinya, Ahok menggunakan dana pengusaha untuk pembangunan fasilitas publik. Menurut Ahok, pembangunan yang menggunakan APBD prosesnya rumit, sehingga dia memilih cara cepat dengan mengumpulkan dana kompensasi dari para pengembang proyek di Jakarta dan Ahok merasa itu adalah wewenang diskresinya. Direktur Utama Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Kepada penyidik KPK, dia menyatakan ada 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro, yang anggarannya akan dijadikan pengurangan kontribusi tambahan proyek reklamasi. Pengurangan terjadi kalau Agung Podomoro membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta yang nilainya mencapai Rp1,6 triliun. Namun mekanisme ini melanggar aturan yang ada dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Keenam, kasus reklamasi Teluk Jakarta. Pada tahun 2015 (masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama/Ahok), pembangunan di Teluk Jakarta mulai bergerak dengan dikeluarkannya izin reklamasi Pulau G, Pulau F, Pulau I, dan Pulau K. Masih ada sekitar 13 Pulau yang belum mendapat izin pelaksanaan reklamasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun dalam prosesnya pulau yang dibangun di proyek reklamasi ini tanpa menggunakan izin lingkungan (Amdal), penerbitan IMB tanpa penjelasan rencana tata ruangnya, bahkan tanpa IMB. Ketujuh, kasus-kasus korupsi Ahok di Belitung Timur. Mantan Bupati Belitung Timur yang juga menjadi pasangan Ahok dalam Pilkada Kabupaten Beltim, Khairul Effendi, pernah mengungkap buruknya kinerja Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang menjabat sebagai Bupati Beltim. Pada hari Rabu, 9 Desember 2014, Komite Masyarakat Peduli Penyalahgunaan Kekuasaan (Kompak Babel), LSM Alamak Babel, Maki Babel, melaporkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ke KPK atas dugaan perusakan hutan lindung dan penambangan ilegal di Gunung Nayo, Belitung Timur, dengan nomor aduan (2014-12-000152). Penambangan pasir kuarsa di kawasan hutan lindung ini mulai ditangani kepolisian pada tahun 2010, dan pada awal tahun 2011 dilimpahkan kasusnya untuk ditangani Polda Bangka Belitung. Bersama Dinas Pertambangan dan Dinas Kehutanan Provinsi, waktu itu polisi telah menemukan lokasi penambangan pasir kuarsa CV Panda yang dimiliki oleh Ahok berada di kawasan hutan lindung. Hal itu berdasarkan Peta 410 (SK Menhut 410 thn 1986) dan Peta 357 (SK menhut 357 thn 2004). Namun hingga saat ini belum ada kejelasan kelanjutan proses hukum kasus ini. Fakta dari rekam kronologis, dapat diketahui kalau tahun 1992 - 1998 CV Panda melakukan operasi produksi pasir kuarsa di kawasan hutan lindung tadi dan baru berhenti pada 20013. Artinya perusahaan CV Panda melakukan penambangan terlarang selama kurang lebih 9 tahun, dan hal ini jelas pelanggaran hukum yang patut dipidana. Dengan rekam jejak Ahok yang sangat buruk di atas, terutama dalam hal dugaan korupsi, sepertinya Jokowi sedang bermain-main dengan risiko kepemimpinannya. Nama baik Jokowi bisa jadi buruk dibuatnya, seburuk tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Ahok. Kita lihat saja seberapa kuat Jokowi mengangkat kembali barang rongsokan yang bernama Ahok, tokoh tak kredibel, pemarah, dan cenderung merugikan negara. Prosesnya sangat menarik untuk dinikmati...! Penulis adalah wartawan senior.
Pamor TNI Runtuh, Presiden Joko Widodo Harus Ganti Marsekal Hadi Tjahjanto?
Sebelum Hadi menjadi Panglima, TNI selalu berada urutan paling atas dari institusi negara yang paling dipercaya oleh masyarakat. Namun sekarang peringkat TNI turun beberapa digit. Dari raihan dengan prosentase 90,4% di tahun-tahun sebelumnya, kini turun menjadi hanya 89% di eranya Hadi Panglima TNI. Kalau Hadi masih dipertahankan terus, maka tidak tertutup kemungkinan citra TNI makin buruk lagi di matas masyarakat. By Haris Rusly Moti Presiden Joko Widodo telah mengganti Kepala Polri yang dijabat Jenderal Tito Karnavian. Kini Jenderal Idham Azis diberikan “mahkotai” untuk memimpin Polri. Perggantian Jenderal Tito sebagai Kapolri itu memang terasa sangat mengejutkan. Masa dinas aktif Jendral Tito Karnavian masih cukup lama. Tito baru pensiun pada tahun 2023 nanti. Masih tersisa masa dinas aktif Tito sekitar dua tahun lebih lagi. Namun begitulah yang namanya hak prerogatif Presiden berbicara. Menyusul perubahan kepemimpinan di tubuh Polri itu, wajar saja kalau jika banyak pihak mendesak agar Presiden Joko Widodo juga segera mengganti Panglima Tentara Nasiopnal Indonesia (TNI). Butuh perubahan kepemimpinan di tubuh TNI. Meskipun memilih dan mengangkat calon Panglima TNI tersebut merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, penting bagi Presiden Joko Widodo untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan, dan pendepat yang berkembang public sekarang ini. Banyak pertimbangan dibalik desakan tersebut. Diantaranya, pertimbangan normatif seperti perlunya regenerasi di tubuh TNI. Selain itu adalah pertimbangan aktual, terkait menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada institusi dan kelembagaanTNI. Menurut pandangan kami, Presiden Joko Widodo bertanggungjawab untuk mengembalikan pamor TNI. Presiden harus bangun dan tumbuhkan lagi kepercayaan rakyat kepada institusi TNI. Sebab di era kepemimpinan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, pamor dan kepercayaan kepada TNI anjlok. Bisa dibayangkan, selama ini berkembangnya persepsi di publik, yang menganggap bahwa Panglima TNI Marsekal Hadi semata-mata sebagai Wakil Kepala Polri yang dijabat Jenderal Tito. Bahkan, lebih tragis lagi, ada yang beranggapan Hadi menjadi ajudannya Kapolri Tito Karnavian. Persepsi seperti ini sangat melecehkan dan merugikan institusi TNI. Persepsi seperti itu bisa berkembang pasti ada sebabnya. Tdak ujug-ujug datang begitu saja dari langit. Kata orang kampong, “ada asap pasti ada apinya”. Persepsi seperti itu berkembang lantaran masalah kapasitas kepemimpinan dan intelektual di dalam diri Marsekal Hadi. Persepsi negatif kepada Marsekal Hadi Tjahjanto tersebut berimbas langsung menjadi persepsi negatif kepada institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Survey opini publik yang dilakukan oleh LSI Denny JA membuktikan menurunnya persepsi positif tersebut terhadap TNI. Hasil survey yang diumumkan pada Rabu, 13 November 2019 itu membuktikan terjadi penurunan kepercayaan publik kepada institusi TNI. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana institusi TNI menempati peringkat paling atas sebagai institusi paling terpercaya oleh masyarakat. Sebelum Hadi menjadi Panglima, TNI selalu berada urutan paling atas dari institusi negara yang paling dipercaya oleh masyarakat. Namun sekarang peringkat TNI turun beberapa digit. Dari raihan dengan prosentase 90,4% di tahun-tahun sebelumnya, kini turun menjadi hanya 89% di eranya kepemimpinan Hadi. Kalau Hadi dipertahankan terus, maka tidak tertutup kemungkinan citra TNI makin buruk lagi di matas masyarakat. Perlu ditekankan bahwa masalahan Hadi Tjahyanto bukan masalah antara matra di dalam tubuh TNI. Setiap matra pasti memiliki perwira terbaik yang mempunyai kapasitas untuk memimpin TNI. Masalah Hadi Tjahjanto adalah masalah kapasitasnya, baik kapasitas leadership maupun kapasitas intelektual yang tidak kompatibel dengan tantangan zaman. Sebagai contohnya ketika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menanggapi teror berdarah di Polres Medan, di sebuah acara di Bogor, 13 November 2019. "Diantara ancaman revolusi industri 4.0 adalah peristiwa yang terjadi dalam tempo yang singkat. Kita tak membayangkan tiba-tiba terjadi, 'bang!' Bom, di Medan terjadi bom bunuh diri," ujar Marsekal Hadi. Marsekal Hadi mungkin perlu membuka buka kembali google untuk melihat ciri ciri serangan teror yang dilakukan oleh terorisme dari berbagai generasi. Pada dasarnya hampir seluruh kejadian teror, baik teroris generasi 3.0 maupun teroris generasi 4.0, selalu dilakukan dengan effek kejut, cepat, singkat. Tidak dapat diduga sebelumnya, baik waktu, sasaran maupun pelakunya. Jadi, kejadian bom Medan bukanlah ciri dari ancaman revolusi 4.0. Perhatikan teror 911 yang meruntuhkan gedung WTC di Amerika. Semuanya berlangsung dengan sangat eskalatif, sangat cepat, dan tak dapat diprediksi sebelumnya. Demikian juga teror bom di dalam negeri, seperti di Bali, Kedubes Australia hingga teror bom Marriot. Semua peristiwa teror yang sangat eskalatif itu terjadi sebelum berlangsung revolusi 4.0. Jangan kemudian kita mengkambinghitamkan revolusi 4.0 untuk menutupi ketidakmampuan dan kegagalan kita sebagai pemimimpin negara ini. Kegagalan kita dalam melindungi segenap bangasa dan tumpah darah Indonesia, seperti yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945. Penulis adalah Kepala Pusat Pengkajian Nusantara-Pasifik (PPNP)
Diduga Memeras Rakyat, BPJS Sebaiknya Bubar
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Pernyataan mengejutkan datang dari kader PDIP. Anggota Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning mengkritik kebijakan kenaikan tarif iuran BPJS. Menurut Wasekjen PDIP ini, kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100% akan membuat masyarakat menjerit. Bahkan kebijakan yang telah disetujui Presiden Joko Widodo ini layaknya bentuk pemerasan kepada rakyat. Pernyataan sangat mengejutkan itu Ribka di Gedung Nusantara I, Kompleks DPR RI, Senayan, Rabu (6/11/2019). “Elu karena enggak masuk PBI karena yang sehat membantu yang sakit tapi dipaksakan satu keluarga (membayar). Itu namanya pemerasan, bukan gotong-royong, apalagi naik 100%,” ujar Ribka, seperti dilansir RMOL.com. Lebih lanjut, kata Ribka, alasan kenaikan iuran demi menutupi defisit negara yang mencapai triliunan rupiah juga dinilai bukan alasan tepat. “Udeh jangan ngomongin defisit, ini sudah salah pengelolaan,” tambah Ribka. Ribka bukannya tanpa alasan menyalahkan buruknya pengelolaan. Menurutnya, di zaman Menkes Siti Fadhilah Supari terdapat Jamkesmas dengan premi Rp 5.000, tapi berjalan lancar tanpa adanya keluhan dari masyarakat. “Enggak ada yang ribut. Dokter enggak ribut, rumah sakit enggak ribut (dibayar) lima ribu. Masa sekarang Rp 23 ribu yang PBI masih ribut, artinya di mana nih ributnya?” pungkas Ribka, seperti dilansir dari Kantor Berita RMOLNetwork. Peneliti Cikini Studi Teddy M Yamin di Jakarta, dilansir Beritasatu.com, Jumat (1/11/2019) meminta Pemerintah memberi penjelasan detail terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100%. Hal ini diperlukan agar masyarakat memahami langkah yang diambil pemerintah dalam menaikkan iuran BPJS tersebut. Menurut Teddy, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, yang meminta seluruh elemen masyarakat “memahami” keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat harus dijelaskan secara rinci penyebabnya, sehingga tidak terkesan pembelaan. Teddy mengatakan, sejauh ini tidak ada yang tahu apa penyebab utama defisit yang dialami BPJS Kesehatan sehingga pemerintah meminta masyarakat untuk “memahami” keputusan menaikan iuran BPJS Kesehatan 100%. Padahal, bisa saja UU BPJS Kesehatan itu sendiri yang kurang sempurna, miss management, akturia yang kurang cermat menghitung premi, masalah fraud di internal penyelenggara, atau oleh sebab lain. “Tidak ada yang tahu. Jangan salahkan lagi publik, jika publik bertanya-tanya karena belum ada penjelasan resmi tentang alasan kenaikan premi yang melompat ini,” tandasnya. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat ini tak normal dalam bisnis asuransi kesehatan dengan produk konvensional. Menaikkan iuran di atas 10% saja dalam bisnis asuransi konvensional merupakan hal yang tak normal dan bisa membuat nasabah kabur. Apalagi, banyak alternatif perusahaan asuransi yang bisa menjadi pilihan. Selain itu, jarang pula terjadi perusahaan menaikkan biayanya untuk satu pos sebanyak 100%. Karena itu, langkah menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebanyak 100% merupakan tindakan yang tidak normal dalam bisnis asuransi. Kendati demikian, dalam konteks ini, masyarakat tidak ada alternatif pilihan. Masyarakat dipaksa dan terpaksa harus menerima keputusan pemerintah ini, karena mereka tidak punya alternatif lain. Terlepas dari fungsi dan manfaatnya bagi rakyat yang pernah mendapatkan pelayanan BPJS Kesehatan adalah hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintahnya. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan pelayanan kesehatan bagi rakyatnya bukan mencari laba. UU BPJS, sudah jelas menyebutkan bahwa BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011. Sesuai UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba. “Untuk diketahui premi yang dibayarkan menurut data yang dicermati Cikini Studi sekitar Rp 300 miliar per tahun,” paparnya. Oleh karena itu, semestinya pemerintah bisa mencari alternatif lain untuk menyelesaikan kemelut persoalan defisit keuangan yang dialami oleh BPJS Kesehatan tanpa membebani rakyat yang tengah bergelut dengan berbagai problema ekonomi saat ini. “Apalagi kewajiban membayar premi BPJS Kesehatan satu keluarga, misalnya empat orang peserta. Jangan bandingkan dengan karyawan yang preminya dibayari perusahaan. Terlebih jangan bandingkan dengan pejabat pemerintah,” ungkapnya. Pejabat pemerintah yang penuh fasilitas, termasuk asuransi kesehatan tidak perlu memakai jasa BPJS Kesehatan untuk menjamin kesehatannya dan anggota keluarganya. Karena, semua pejabat Indonesia, termasuk di dalamnya anggota DPR, menteri, dan pejabat lainnya setingkat eselon 1 dijamin biaya premi asuransi kesehatannya (yang dijamin asuransi konvensional bukan BPJS Kesehatan). Benefit yang super dan full cover untuk perawatan di dalam dan di luar negeri jika diperlukan dengan premi yang ditanggung negara (APBN). Pejabat yang dijamin kecuali Presiden dan Wapres sekitar 10.000 peserta, termasuk di dalam keluarga (bersama tanggungannya). Benefit yang lengkap, seperti rawat inap, rawat jalan, rawat gigi, kacamata, melahirkan dengan manfaat tak terbatas. *BPJS Bubarkan Saja!* Seruan keras datang dari Eddy Junaidi, seorang aktivis yang juga wartawan senior. Menurut Eddy dengan BPJS diwajibkan dan negara terlibat dalam menetapkan sanksi bagi yang belum bayar, sudah bertentangan dengan UU, karena BPJS awalnya adalah sistem jaminan sosial. BPJS bukan lagi sebagai upaya pelayanan publik di bidang kesehatan (sesuai niat UU), tapi kini menjelma menjadi perusahaan asuransi yang dzolim dan banyak mudharatnya. Misi yang ambigu antara misi sosial (subsidi dengan Penerima Bantuan Iuran) dan komersial sebagai asuransi menandakan negara tidak mampu mengelola sistem jaminan sosial sesuai substansi UU Nomor 40 Tahun 2004. Jika BPJS dikelola seperti ini lebih baik dikembalikan ASN dengan Askes, TNI-POLRI dengan Asabri, publik pekerja dengan Jamsostek di bidang kesehatan. Sistem jaminan kesehatan yang semula melalui Jamkesmas juga sudah baik dirumuskan ulang dengan solusi khusus atau dipisah secara manajerial agar tidak berimplikasi buruk terhadap layanan kesehatan masyarakat karena tidak adil kebijakan harganya dengan jasa rumah sakit dan perangkatnya. Pemerintah sudah gagal mengelola sistem jamsinan sosial dan eksesnya menimbulkan kegaduhan di ruang publik, dan terkesan mudharatnya lebih banyak. Sangat mengherankan jika sampai saat ini Direksi BPJS tidak diganti karena jelasjelas gagal, tak memenuhi harapan sistem jaminan sosial sesuai perintah konstitusi. Sistem jaminan sosial merupakan perwujudan Pasal 28 H mengembangkan sistem jaminan sosial negara (SJSN) pada Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Konstitusi memerintahkan sistem jaminan sosial pada UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, hak warga negara berubah menjadi kewajiban warga negara berbasis iuran (asuransi). Sanksi dengan PP Nomor 86 Tahun 2013, yang akan efektif diberlakukan pada Januari 2020 semakin menyimpang dari perintah konstitusi. Ambiguitas ini terkesan pemerintahan Jokowi tidak mantap visinya dalam pengelolaan BPJS. Data dari Direksi BPJS pada 2018, jumlah peserta mencapai 196,4 juta orang dan dari jumlah tersebut, 92,2 juta jiwa (47%) adalah PBI (Penerima Bantuan Iuran) subsidi karena dianggap miskin berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013, dengan 14 kriteria orang miskin. Data ini bertentangan dengan data BPS tentang jumlah orang miskin sebanyak 25,95 juta orang, sementara pada APBN subsidi (PBI) terhitung 96,8 juta orang miskin. Peningkatan ini menjadi terkesan ambigu sikap Pemerintah dalam menyikapi data orang miskin. Secara politik diakui data orang miskin hanya 9,8% atau 25 juta orang. Sementara untuk pemenuhan anggaran Kementerian Sosial dan BPJS diakui 96,8 juta orang. Siapa yang bertanggung jawab terhadap selisih data yang mencapai 70,8 juta jiwa ini. Padahal Jokowi pada 26 April 2016 di Istana Negara dengan tegas menyatakan untuk basis data pegangannya hanya satu, yakni BPS. Hal ini juga mungkin pemerintah tak reaktif saat BPS menilai bahwa Indonesia tergolong negara dengan penduduk miskin terbesar. Jika PBI berbasis data BPS tentu subsidi mengecil dan sistem jaminan sosial tidak terwujud. Dengan peningkatan data riil tentang jumlah orang miskin subsidi melalui PBI pada 2019 mencapai Rp 19,54 triliun. Sudah waktunya memikirkan solusi permanen tentang persoalan BPJS. Berbasis UUD 1945 tak ada salahnya negara mensubsidi, tapi jangan di bawah naungan korporasi yang bervisi ambigu dan cengeng karena melibatkan negara dalam penerapan sanksi. Total klaim BPJS pada 2018 sebesar Rp 68,52 triliun, artinya jika dikonversi menjadi beban negara seperti tarif PBI Rp 23.000 per jiwa. Jika dikalikan dengan basis 250 juta orang dikalikan 12 bulan setahun, setara dengan klaim BPJS pada 2018. Jika ditanggung negara dengan standar layanan sama semua rakyat Indonesia terlayani dan bagi yang ingin di luar standar layanan PBI bagi yang mampu baru berlaku kelas sesuai azas kapitalisme. Kegagalan BPJS tersebut, karena agenda sosialisme pada UUD 1945 dibajak oleh kapitalisme, sehingga sistem jaminan sosial diubah menjadi asuransi. BPJS yang korporatif ditumpangi oleh PBI atas nama kepentingan negara, sehingga tujuan sosial dan komersial BPJS saat ini menjadi sama-sama gagal. Seharusnya subsidi negara untuk orang miskin ditangani lembaga pelayanan publik nirlaba, seperti Perum atau Perjan (BUMN) di era Orde Baru. Dengan konsep seluruh rakyat dilayani dengan tarif Rp 23.000/orang/bulan menjadi adil bagi rakyat Indonesia. BPJS untuk yang mampu, silakan menyesuaikan tarif karena secara basis pemerintah sudah mensubsidi sebagian layanan kesehatan tanpa terkecuali. Sementara asuransi BPJS Kesehatan saat ini berorientasi komersial. Eksesnya hancurnya cash flow RS yang ditunggaki tagihan BPJS tidak bisa dihindari. BPJS saat ini bukan solusi, tapi menimbulkan kegaduhan baru. Direksi BPJS gagal, terlihat dari cara mereka menjawab pertanyaan DPR saat RDP beberapa hari lalu. BPJS direvitalisasi dan dituntut adanya kejelasan dalam status pengelolaan dana PBI untuk membedakan mana yang murni sistem jamsos, dan mana layanan komersial selayaknya asuransi. Jika tidak, bubarkan saja, kembalikan fungsinya masing-masing seperti sebelum melebur dengan BPJS. *) Penulis adalah wartawan senior.
Sengkarut Dana Desa: Antara Desa Fiktif, Kepentingan Pilpres, dan Salah Kelola
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Jawa Timur Mohammad Yassin mengungkapkan, menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam kurun waktu 1 tahun terdapat kurang lebih 100 penyelewengan dana desa di Jatim. Penyelewengan yang kerap terjadi antara lain, rancangan anggaran di-mark up, volume fisik pekerjaan kurang atau tak sesuai RAB, penyusunan APBDes tidak mengacu pada RKP Desa, kewajiban perpajakan belum atau tak dilaksanakan, dan beberapa temuan lain. Dengan kegiatan Kawal Desa Melalui Pengawasan (Kades Lawas), Inspektorat dan DPMD Jatim bekerja sama dengan Pemkab/Pemkot secara rutin menggelar kegiatan Kades Lawas sebagai wujud pencegahan korupsi pada pemerintahan desa. Melansir Harianbhirawa.co.id, Selasa (15/10/2019), di Jatim ada 8.500 desa menerima dan mengelola bermacam-macam jenis anggaran keuangan dari pemerintah. Karena itu alurnya harus diawasi dengan baik guna meminimalisir kesalahan pengelolaannya. Menurut Inspektur Provinsi Jatim Helmi Perdana Putra, dalam pengelolaan keuangan desa, saat ini harus tetap diawasi dengan benar. “Kades Lawas itu lahir dari latar belakang kasus temuan ICW sejumlah 184 kasus, dan 141 kasus di aparatur pemerintah,” jabar Helmi. Menariknya, di Jombang, dengan beberapa anggaran desa yang dikorupsi kepala desa, hanya cukup dikembalikan lewat Inspektorat saja, dan tidak ada proses hukum. “Ada apa ini,” ujar seorang warga Jombang kepada fnn.co.id. Jika di Jatim yang terungkap adalah adanya sejumlah penyelewengan dalam pengelolaan dana desa, namun di beberapa daerah lainnya ditemukan adanya “Desa Hantu” alias “Desa Siluman”, nama desanya ada secara administratif, tapi tanpa penduduk. “Desa Hantu” inilah dipakai untuk menyedot dana desa. Soal Desa Hantu itu terungkap saat Menkeu Sri Mulyani Indrawati melaporkan evaluasi kinerja APBN Tahun Anggaran 2019 di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta Selatan. Sri Mulyani mengungkapkan bahwa saat ini banyak muncul desa “hantu” atau desa-desa baru yang tidak berpenghuni. Desa tersebut muncul tiba-tiba demi mendapatkan alokasi anggaran program dana desa yang sudah dijalankan Pemerintah. “Sekarang muncul desa-desa baru yang nggak ada penduduknya karena adanya dana desa,” kata Sri Mulyani, seperti dilansir Detik.com, Senin (4/11/2019). Pihaknya mengalokasikan anggaran dana desa sebesar Rp 70 triliun di tahun 2019. Indonesia memiliki 74.597 desa di 2019, di mana setiap desa mendapatkan anggaran sekitar Rp 900 juta. Kemendagri mengatakan, fenomena desa 'hantu' alias tak berpenghuni berada di salah satu Kabupaten, Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa tersebut sengaja dibentuk demi mendapatkan aliran uang program dana desa. Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Nata Irawan mengatakan, pembentukan desa fiktif ini sudah lama terjadi dan telah terendus oleh KPK. “Itu isu sudah lama, tapi dikembangkan lagi, sudah pernah didiskusikan oleh KPK, di salah satu desa di Sulawesi salah satu Kabupaten ada desa fiktif,” kata Nata kepada Detik.com, Jakarta, Selasa (5/11/2019). Ia mengungkapkan ada empat desa 'hantu' alias fiktif yang selama ini sudah menerima aliran dana desa. Pihaknya pun telah menurunkan tim untuk melakukan pemeriksaan. “Ditjen Bina Pemerintahan Desa membentuk tim, tim kami turun melihat langsung benar ada atau tidak isu itu, ternyata memang ada 4 desa yang tidak memenuhi syarat terbentuk menjadi sebuah desa,” tegas Nata. Temuan itu rupanya sudah diselidiki oleh pihak kepolisian. Yang ditangani adalah dugaan tindak pidana korupsi membentuk atau mendefinitifkan desa-desa tak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen tidak sah. Akibatnya terjadi kerugian keuangan negara atau daerah atas Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe Tahun Anggaran 2016 sampai dengan Tahun Anggaran 2018. Melansir Merdeka.com, Rabu (6/11/2019 15:31), Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku lembaganya sudah diajak koordinasi oleh Polda Sulawesi Tenggara dalam pengusutan kasus tersebut. “KPK melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi dalam bentuk dukungan terhadap penanganan perkara oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara,” ujar Febri di kantornya, Rabu (6/11). Dalam perkara tersebut, lanjut dia, diduga ada 34 desa bermasalah, tiga desa di antaranya fiktif, sedangkan 31 desa lainnya ada, akan tetapi surat keputusan pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur. Sementara pada saat desa tersebut dibentuk sudah ada moratorium dari Kemendagri, sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukannya itu 'backdate' (tanggal mundur). Alokasi Pilpres? Ada sebuah tulisan menarik dari akun twitter Niaz @Niazdhani tentang Dana Desa. Berikut ini catatannya. Di Indonesia jumlah desa menurut BPS dan mendapat bantuan Dana Desa Rp 800 juta/desa sebanyak 74.957 desa. Total Rp 60 triliun per tahun selama 2015-2018 = Rp 180 triliun. Jika penggunaannya benar, ini adalah prestasi Presiden Joko Widodo. Menjelang Pilpres, 17 April 2019, Pemerintah kucurkan Bandes Rp1,8 miliar per desa atau Rp 135 triliun. Bayangkan, 70% desa di Indonesia penduduknya kurang 1000 orang/desa, 1 warga bisa mendapat Rp 1 juta dari Bangdes 2019. Di Indonesia Timur, 70% desa hanya berpenduduk kurang dari 500 orang per desa. Jumlah insentif jika Jokowi menang bisa naik menjadi Rp 2-3 juta/orang. Bisa Rp 4-5 juta per suara pemilih, karena jumlah pemilih hanya 150-250 orang per desa. Inilah senjata pamungkas. Dan, Presiden Jokowi sudah wanti-wanti, dana bantuan desa tidak boleh diganggu. Biarkan saja untuk sukseskan pemilu. Rp180 triliun + Rp135 triliun = Rp 315 triliun! Modal pilpres dari APBN. Lihat contoh jumlah penduduk desa di Aceh, Kabupaten Simeulue 70% kurang dari 1.000 penduduk, jumlah pemilih hanya sekitar 150-600 per desa dapat dana Rp 800 juta Bangdes bisa dibagi-bagi Rp1-2 juta per pemilih jika Jokowi menang. Bahkan di Kecamatan Teupah Barat, Simeulue, Aceh, tidak 1 desa pun penduduknya capai 1000 orang. Ada 1 desa hanya 160 jiwa. Pemilih pilpres hanya 36 orang dapat Rp 800 juta, dibagi 40 saja masih Rp 20 juta per orang. Apakah 169 orang adalah jumlah penduduk paling sedikit di Aceh? Tidak! Di desa Serasah dan Kuta Batu, Aceh, jumlah penduduk desa hanya 89 dan 68 orang. Jumlah pemilih hanya 21 dan 17 orang per desa dapat dana Bangdes Rp 1,8 miliar awal April 2019 Rp 80-100 juta per suara. Karena data resmi inilah @Niazdhani berencana pindah Desa Sade Ate, Leuser di Bawah Gunung dan Danau Leuser. Penduduk desa hanya 70 orang, jumlah pemilih 12 orang. April 2019 dapat Rp 1,8 miliar Bangdes. “Masa’ saya sendiri ga dapat Rp 100 juta? Pak Kades Rp 500 juta,” kicaunya. Jika mau dapat lebih, bisa. Tapi desanya agak di atas gunung. Jumlah penduduk tak sampai 70 dan pemilih tercatat di DPT hanya 8 orang Rp 1,8 miliar dibagi 8 kan Rp 250 juta per pemilih. Itu tadi di Aceh. Di Maluku pun banyak desa berpenduduk kurang dari 500 orang. Misalnya, di Kecamatan Kei Selatan, desa > 500 penduduk hanya 3 desa. Kalau di Maluku saja jumlah penduduk per desa banyak di bawah 500 jiwa, lain pula di Papua. Di Papua, jumlah desa dengan jumlah penduduk kurang dari 100 jiwa juga banyak. Mau diapain uang bangdes Rp 800-1,8 miliar per desa? Dari hampir 75 ribu desa 8 ribu desa baru 1.700 desa saja tidak diketahui penduduknya. Yang embat dana desa siapa? Tanya Mendagri (Tjahjo Kumulo saat itu) 1.000 x 800.000.000 = Rp 800 miliar x 3 tahun = Rp 2,7 triliun. Tahun 2019 = Rp 1,8 miliar x 1000 = 1,8 triliun = Rp.4,5 triliun. Dus, siapa yang terima dana Bangdes? Jadi, terbukti pemilu itu bisa kurangi angka kemiskinan. Bagi yang masih miskin dan ingin dapat uang besar secara gratis, segera urus surat pindah ke desa yang penduduknya di bawah 100 orang, pemilih < 20 orang. Dijamin dapat minimal Rp 100 juta Saat ini baru saja ketemu Desa Teriame, Kecamatan Yefta, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Jumlah penduduk desa 31 orang. Jumlah pemilih 7 orang. Rp 1,8 miliar dibagi 7 = 250 juta per pemilih! Seperti dilansir Liputan6.com, Rp 179 Triliun dana desa telah dicairkan untuk 74,9 ribu desa, Rp 800 juta/desa. Menyusul, tahun depan Rp135 trliun, per desa Rp 1,8 miliar. Kalau setiap pemilu dapat Rp 100 juta, artinya setahun Rp 20 juta. Sebulan Rp 2 juta (dibulatkan). Di desa, uang Rp 2 juta/bulan kan cukup. Jadi tak usah kerja. Tinggal tunggu pilpres saja. Dapat dana bangdes minimal Rp 100 juta, maksimal Rp 300 juta. Asal pilih Jokowi dan pilih desa yang tepat! Kalau ditangkap polisi gimana? 1. Kalau Jokowi menang, dijamin aman; 2. Kalau ditangkap, kan kades yang jadi tersangka, bukan rakyat. Kalau mau lebih aman, suruh kades setorkan ke Muspika setempat. Dijamin aman dech! Artinya, Jokowi baik dong? Oh ya, tentu saja. Jokowi baik hati. Toh bukan uang pribadi, itu kan uang pajak rakyat dan utang dari IMF plus Surat Utang Negara (SUN). Jokowi harus begitu. Harus menang pilpres! Teman dari Maluku bilang, di Maluku ada ratusan pulau. Dulu tak ada penduduknya, paling 1-2 keluarga. Kini penduduknya ramai. Ngakunya orang Maluku tapi mata sipit, kulit kuning, jago bahasa Mandarin, khek, hokian atau konghu. Tapi tidak bisa bahasa Indonesia. Jumlahnya ribuan! Ternyata ada desa yang penduduknya hanya 22 orang. Ada satu desa, penduduknya hanya 7 orang! Wow, Rp 800 juta per desa, satu orang dapat pekjigo tiaw! Rp 1,8 miliar bagi 7 orang berapa ya? Pindah ke Desa Kamai, Kecamatan Benuki, Kab Mamberamo Raya, Papua. “Saya jadi paham mengapa KPU Papua mark up ugal-ugalan jumlah pemilih. Seharusnya 1,7 juta pemilih, direkayasa DPT jadi 3,5 juta pemilih. Terkait proyek cetak, antar logistik yang miliaran rupiah. Terkait mark up anggaran KPU Papua 300-400%,” tulis Niaz. “Dengan alasan jumlah pemilih dan medan berat. Saya jadi paham mengapa dibiarkan sama SBY dulu dan Jokowi sekarang. Oknum KPU kantongi uang anggaran hasil mark up DPT. SBY dan Jokowi yang kantongi suara mark up-nya. Simbiosis oramutualisme!” Kunci dari semua ini sekarang ada di tangan Mendagri Tito Karnavian. Ditunggu keberanian mantan Kapolri ini untuk ungkap semua bantuan Dana Desa! End. Penulis adalah wartawan senior.
Wabah Sintingisme
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Novel Baswedan, penyidik senior KPK, kehilangan mata kiri. Cacat permanen. Karena disiram dengan air keras. Pengusutan tindak pidana itu tak kunjung tuntas. Polisi “tak sanggup” mengusutnya. Bahkan dengan perintah Presiden pun tidak ada hasilnya. Celakanya, sudahlah menderita cacat permanen, Novel bisa-bisa masuk penjara. Dia dilaporkan ke Polisi oleh seorang warga. Dengan tuduhan merekayasa penyiraman air keras itu. Novel dituduh bersandiwara. Tuduhan seperti ini tidak hanya keji dan kejam, tetapi juga berlawanan dengan akal sehat. Luar biasa. Rupanya, sudah sedemikian banyak orang yang mengalami “mental disorder”. Semakin banyak yang sakit jiwa. Entah apa yang menyebabkannya. Sungguh sangat memprihatinkan. Orang-orang yang lahir dan besar di lingkungan yang berintelektualitas tinggi pun terkena wabah “sintingisme” (paham atau aliran sinting). Mungkinkah ini efek dari penipuan pilpres? Mungkinkah kita semua sedang didera oleh wabah kehilangan akal sehat? Wallahu a’lam! Belakangan ini, gejala “sintingisasi” semakin agresif. Ada yang sinting karena ingin mengklaim bahwa dia yang menemukan kejanggalan isian e-budgenting Pemprov DKI. Meskipun Gubernur Anies Baswedan yang lebih dulu menyisir dan menangkap basah keanehan lem aibon dan pena ballpoint. Ada pula yang mengalami gangguan jiwa karena melihat cadar dan celana cingkrang. Sampai-sampai mereka berani tampil keliru dalam menyimpulkan ciri-citi radikalisme. Dan, tak sedikit pula yang tergila-gila dengan terminologi “radikalisme” itu. Lanjut ke bingkai berikutnya, sangat banyak pula yang mengalami gangguan akal sehat akibat kemenangan spektakuler Anies Baswedan di Pilgub DKI 2017. Mereka masih belum pulih. Sampai-sampai banyak petinggi senior yang sekarang gila berat untuk menghambat Anies di Pilgub 2022 yang akan datang. Sintingisme juga melanda dunia politik. Ada yang kehilangan akal karena tak kebagian kursi sesuai keinginannya. Yang punya kursi juga mencoba-coba sesuatu yang melawan akal sehat. Menempatkan orang-orang yang hanya terlihat hebat tetapi belum teruji di bidang yang diamanahi. Demi kemilenialan semata, dikorbankan akal sehat. Nah, apa yang akan terjadi? Kalau serangan wabah sintingisme itu berlanjut tanpa ada upaya pencegahan, ada kemungkinan kesintingan akan menjadi fenomenal. Akan mengancam semua sistem dan subsistem kehidupan lain. Akan mengancam sistem ekonomi dan sosial, sistem moralitas serta sistem nilai reliji (keagamaan). Semua lini kehidupan akan diganggu oleh kesintingan berpikir dan bertindak. Bisa juga sintingisme bakal teradopsi menjadi “new political life style”. Menjadi “gaya hidup politik baru”. Sintingisme dikhawatirkan akan menjadi acuan dalam menyusun kebijakan publik. Akan dijadikan acuan dalam rekrutmen politik dan rekrutmen birokrasi. Singkatnya, kesintingan bakal menggantikan akal sehat. Ini yang berkemungkinan akan terjadi. Kalau semua orang berdiam diri, tidak ada yang mengingatkan dan mengkritisi situasi yang ada ini, maka destinasi sintinglah yang akan menunggu. Ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan akal sehat. Sekarang ini, semakin banyak posisi penting yang dikendalikan oleh orang sinting. Sangat menakutkan. Horrific! Tak tertutup kemungkinan Indonesia akan dilanda penegakan hukum yang dikendalikan oleh orang-orang sinting. Boleh jadi akan muncul komunitas sinting yang akan melaporkan para hakim Tipikor yang selama ini menjatuhkan vonis penjara terhadap para koruptor. Ada kemungkinan orang-orang sinting akan membatalkan semua hukuman atas para koruptor itu. Kalau grafik sakit jiwa (sintingisme) terus melejit drastis di kalangan para penggemar perbuatan sinting, besar kemungkinan pelaksanaan agenda politik normal menjadi abnormal. Bisa saja orang-orang yang terbiasa menipu rakyat, akan mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai penipuan itu. Boleh jadi sintingisasi akan dilaksanakan sebagai program wajib oleh para pencinta, penggemar dan penganjur akal sinting. Jumlah mereka tidak bisa dianggap remeh. Jangan pula anggap enteng kemampuan mereka. Mereka ada di mana-mana. Mereka bisa mengelabui publik seolah-olah mereka waras. Ini yang sangat mengerikan. Anda sangka dia masih normal. Ternyata dia terjangkit gangguan akal sehat. Jadi, berhati-hatilah terhadap wabah sintingisme.[] 12 November 2019 Penulis adalah wartawan senior.
Kembali Kepada Kekuatan Moral NU
Presiden Jokowi tidak merasa perlu melayani aksi 411 dulu, karena tahu para petingg NU tak mendukung aksi itu. Bahkan sebaliknya menentangnya. Toh banyak kaum nahdiyyin yang ikut aksi 411. Betul bahwa NU adalah sebuah jama’ah besar. Tetapi aspirasi sosial-politiknya tidak satu. Oleh Kafil Yamin Jakarta, FNN - Pengurus Rabithah Ma"ahid Islamiyah (RMI) PBNU, Ridwan Darmawan mengungkapkan kekecewaan ke publik. Ridwan Darmawan mewakili kekecewaan warga Nahdatul Ulama (NU), yang merasa tidak terwakili di kabinet periode kedua Jokowi. Meski demikian, sebagai pribadi, pernyataan itu cukup mewakili perasaan umum kaum Nahdiyyin. Toh pernyataan pribadi Ridwan Darmawan itu didukung dengan pernyataan tegas dari Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur K.H Agoes Ali Masyhur. Beberapa waktu lalu KH. Agoes Ali Masyhur menyatakan “tidak ada dukungan politik yang gratis.” Untuk itu, NU dengan tanpa risih, secara terbuka, menyatakan kekecewaannya karena tidak dikasih jabatan menteri. Juga secara terbuka menyatakan bahwa dukungan NU tersebut tidak gratis. Bila disodorkan hadits nabi yang melarang meminta jabatan, bahwa setiap amal itu harus berdasarkan keikhlasan. Pasti keluar rentetan tafsir dan dalih pembelaan diri bahwa pernyataan NU tersebut masih dalam koridor ahli sunnah wal jama’ah. Psikologi keorganisasian yang tumbuh di kalangan para Nahdhiyyin adalah rasa percaya diri sebagai kelompok mayoritas ummat. Sekaligus juga diberkahi para wali. Sikap psikologis ini sering mengarah kepada rasa percaya diri berlebihan. Tahap selanjutnya adalah anggapan bahwa tanpa dukungan dariNU, urusan sosial, politik dan keagamaan tidak akan jalan dengan baik. Tanpa dukungan politik dari NU, penguasa kekurangan legitimasi. Karena itu kinerjanya akan melemah. Para tokoh NU berhasil membangun citra seperti itu. Seorang Calon Bupati dan Walikota, Calon Gubernur atau Calon Presiden merasa tak mantap kalau tak mendekati para ulama NU. Selama dua kali pilpres kemarin, 2014 dan 2019, kedua capres berusaha membangun kesan bahwa mereka paling dekat dengan para ulama NU. Untuk itu, keduanya ‘sungkem’ kepada para kyai sepuh NU. Rasa percaya diri berlebih ini menular kepada mereka yang merasa mendapat dukungan NU. Disamping itu, ada sedikit modal sifat jumawa, Ahok dulu itu terjadi ‘surplus’ percaya diri karena tahu dia didukung oleh NU, sekaligus para taipan. Ahok tak segan berkata-kata tidak senonoh di depan publik sepanjang tidak membuat para tokoh NU tak nyaman. Karena itu, ketika dia keceletot menyerang K.H, Ma’ruf Amin dalam persidangan, dia buru-buru minta maaf kepada NU. Presiden Jokowi tidak merasa perlu melayani aksi 411 dulu, karena tahu para petingg NU tak mendukung aksi itu. Bahkan sebaliknya menentangnya. Toh banyak kaum nahdiyyin yang ikut aksi 411. Betul bahwa NU adalah sebuah jama’ah besar. Tetapi aspirasi sosial-politiknya tidak satu. Mitos, apa boleh buat. Sering diuji oleh kenyataan. Ahok masuk penjara juga setelah meminta maaf kepada NU. Aksi 411 bertambah besar jadi aksi spektakuler 212 tanpa dukungan NU. Mitos kekuataan jama’ah besar terbantahkan. Untuk memantapkan legitimasinya, Jokowi memasukkan sejumlah tokoh NU ke dalam kabinet hasil pipres 2014. Ternyata kabinetnya tak cukup mantap, karena menteri dan pejabat dari NU banyak yang kena jaring KPK. Sebutlah Muhammad Romahurmuzy, Menag Lukman Hakim dan Menpora Imam Nahrawi. Citra pemerintahan Jokowi jadi buram. Nah, dalam menyusun kabinet periode kedua ini, Jokowi belajar satu hal. Dia sudah memberikan konsesi politik yang cukup untuk NU. Tetapi tidak mendapat hasil yang sesuai dengan mitos. Tidak sesuai harapan. Karena itulah Jokowi kelihatannya memutuskan ‘tidak memperpanjang izin konsesi politik NU’. Peran Moral Namun ketersingkiran NU dari kekuasaan sekarang ini bisa jadi jalan kepada kesejatian NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Setelah sekian lama NU disibukkan oleh ‘politik rendah’. Khittah NU 1928 hanya dijadikan sebagai dengan mitos saja. Bila NU sekarang memanfaatkan ketersingkiran dari kekuasaan untuk melakukan ‘konsolidasi spiritual’, maka mitos-mitos tadi bisa menjadi kenyataan. Berikut ini langkah-langkah yang bisa dilakukan NU. Misalnya, anti-korupsi dan riba. Di luar kekuasaan, NU tidak akan lagi gagap ketika bicara tentang anti korupsi. Karena tak akan ada warga NU yang terjerat kasus korupsi. Dengan demikan kampanye, anti korupsi oleh NU bisa lebih berpengaruh ketimbang NU ikut berkuasa. K.H. Makruf Amin terlihat ‘radikal’ ketika sebagai ketua MUI dia bicara tentang BPJS. Bahwa skema tidak sesuai syariat karena mengandung riba. Tetapi setelah jadi cawapres, dia menyatakan bahwa BPJS itu “sarana untuk tolong menolong. Bahasa agamanya ta’awun.” Bila tak ada perwakilan NU di pemerintahan, sikap NU terhadap BJPS dengan skema ekonomi riba lain lagi. Mungkin tidak akan segagap itu. Menjaga toleransi dan kebhinakaan. Adalah lebih efektif mendakwahkan toleransi dan kebhinekaan dengan pendekatan budaya. Selama ini, NU mendakwahkan kedua hal tersebut dengan kekuasaan. Tak terhindarkan menuding pihak oposisi sebagai ‘radikal’, dan cenderung mendiskreditkan penampilan kearab-araban. Tetapi sangat toleran kepada penampilan sekuler Barat. Bahkan tindakan banser menyita bendera HTI dan pertanyatan-pernyataan Said Aqil Siraj malah menjadikan NU terlihat anti kebhinekaan. Mengurangi perpecahan di kalangan ulama. Belakangan ini, sangat tak nyaman mendengar ulama saling serang, saling hujat dan sebagiannya antar sesama tokoh NU. Ini membingungkan ummat. Ummat Islam memang mayoritas di Indonesia, tapi secara ekonomi lemah. Sekarang NU secara politik pun lemah. Sebagiannya dirobek-robek oleh perseteruan di kalangan para ulama. Tidak ada jaminan bahwa kiprah NU di luar kekuasaan akan mengurangi perseteruan ini. Tetapi paling tidak salah satu penyebabnya, yakni persaingan mendapat kekuasaan, telah disingkirkan. Penulis adalah Wartawan Senior
Radikalisme, Cadar, Celana Cingkrang, dan Agama Pembebas
Oleh Edy Mulyadi* Jakarta, FNN - "Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) *** Harus diakui, penguasa negeri ini telah sukses memberi pekerjaan rumah (PR) kepada rakyat Indonesia, khususnya ummat Islam. Rezim terbukti berhasil mengecoh perhatian publik dengan isu radikalisme, cadar, celana cingkrang, jenggot, dan lainnya. Kita pun dibuat ‘sibuk menari di kendang’ yang ditabuh penguasa. Sedangkan masalah utama negeri berupa ekonomi yang nyungsep dan korupsi brutal, terus melenggang tanpa ada hambatan berarti. Tulisan ini hendak mengingatkan kita semua, lagi-lagi khususnya ummat Islam, lebih khusus lagi para ulama, habaib, kyai, asatidz, dan para tokoh lainnya, bahwa Islam turun sebagai agama pembebas. Ya, Islam yang dibawa sejak Nabi Adam AS hingga Muhammad SAW, adalah agama pembebas. Untuk memeluk Islam, kita hanya diminta berikrar bahwa tidak tuhan selain Allah dan mengakui Muhammad SAW adalah utusanNya. Inilah yang dimaksud dengan agama pembebas. Membebaskan penuhanan atas manusia terhadap manusia lain, agar manusia hanya menuhankan Allah belaka. Karena selain Allah bukanlah Tuhan, dan sama sekali tidak layak serta tidak berhak dipertuhankan. Segala bentuk ketidakadilan dan kezaliman harus dilawan, karena hal itu bentuk lain dari wujud penghambaan manusia atas manusia lainnya. Islam dikenal sebagai agama yang menyandang tugas amar ma’ruf nahi munkar. Menyeru pada kebaikan dan menolak kejahatan, kezaliman, ketidakadilan. Gagal, zalim, tidak adil Indonesia, kini rakyatnya mengalami kezaliman luar biasa. Penguasanya memeras rakyat dengan beraneka pajak dan pungutan. Pejabat publiknya mencuri bahkan merampok sumber daya alam (SDA) dan APBN yang sejatinya milik rakyat. Ini adalah kejahatan, ketidakadilan, dan kezaliman! Penguasa negeri ini gagal menyejahterakan rakyat sebagaimana diawajibkan oleh konstitusi. Mereka gagal melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara gagal memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat paragraf ke-4 UUD 1945 kita. Pemerintah gagal menjamin tiap-tiap warga negara memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2). Penguasa gagal memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar (pasal 34 ayat 1). Negara gagal menjamin tiap warga negara memperoleh jaminan dan pelayanan kesehatan yang layak (pasal 34 ayat 3). Pemerintah gagal menjamin kemerdekaan berpendapat, berkumpul dan berserikat (pasal 28E ayat3). Yang ada penguasa memberangus hak azasi ini dan menebar teror dengan pasal-pasal karet UU ITE. Konstitusi kita dengan tegas menjamin adanya persamaan kedudukan dalam hukum. Passal 27 ayat (1) menyebutkan, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Tapi apa yang terjadi? Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum hanya berlaku bagi mereka yang berseberangan dengan penguasa. Sedangkan di hadapan para pendukung dan penjilat kekuasaan hukum menjadi mandul. Penguasa gagal menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 29 ayat 2). Bukan cuma itu, rezim bahkan berusaha mengriminalisasi orang-orang yang ingin menjalankan ajaran agamanya. Di era kekuasaannya yang kedua, berbagai pernyataan dan para menteri Joko Widodo menunjukkan rezim ini menjadikan Islam dan ummat Islam sebagai musuh negara. Mengurangi bahkan menghapus anggaran belanja sosial di APBN adalah bentuk ketidakadilan yang nyata. Pada saat yang sama penguasa justru terus menambah pos pembayaran cicilan dan pokok utang yang menghisap rakyat sumber daya negeri ini. Menaikkan harga berbagai kebutuhan dasar, seperti gas, BBM, listrik, dan lainnya di tengah kian beratnya kehidupan rakyat adalah kezaliman yang nyata! Menaikkan premi (ingat, premi; bukan IURAN) BPJS adalah ketidakadilan yang nyata! Mengancam rakyat yang terlambat membayar premi BPJS dengan menghentikan pelayanan SIM, Paspor, mengurus anak sekolah dan lainya adalah kezaliman yang nyata! Membuka pintu lebar-lebar bagi banjirnya tenaga kerja asing adalah kezaliman yang nyata! Terus menimbun utang hingga ribuan triliun, jelas menunjukkan rendahnya kemampuan dan kreativitas penguasa dalam mengelola anggaran. Membuat utang berbunga sangat tinggi dalam jumlah superjumbo adalah ketidakadilan yang nyata! Betapa tidak, bukankah pada akhirnya semua beban itu rakyat yang harus membayar? Pemakzulan Parade kegagalan penguasa tersebut adalah pelanggaran amat serius terhadap amanat konstitusi. Kalau kita mau tegas, rentetan kegagalan itu sudah lebih dari cukup jadi alasan untuk memakzulkan presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi. Bukankah dalam sumpahnya setiap presiden yang dilantik berjanji akan mematuhi serta menjalankan konstitusi dan UU dengan selurus-lurusnya? Jadi, perkara menghentikan presiden (dan wakil presiden) di tengah masa jabatannya bukanlah makar, seperti yang jadi koor andalan rezim ini. Memakzulkan presiden adalah konstitusional. Silakan baca pasal 7a UUD 1945 kita. Persoalan persayaratan dan prosedurnya dibuat rumit-ruwet hingga nyaris mustahil, ini hal lain lagi. Jadi, sekali lagi, berhentilah kita ikut kendang penguasa tentang radikalisme, cadar, celana dan cingkrang. Ini adalah isu murahan untuk mengalihkan fokus rakyat terhadap kegagalan penguasa di bidang ekonomi dan pemberantasan korupsi. Kepada para ulama, habaib, kyai, dan tokoh ummat, ganti tema-tema ceramah anda dengan ketidakadilan dan kezaliman penguasa yang terpampang di depan mata. Ingatkan ummat, bahwa uang yang dikorupsi adalah milik rakyat. Cerahkan pemahaman publik, bahwa SDA yang dirampok secara brutal oleh para pejabat publik itu milik rakyat dan warisan bagi generasi masa datang. Karenanya, semua itu harus dilawan! Islam mengajarkan, bahwa mempertahankan harta yang dirampas adalah hak setiap individu dan suatu tindakan mulia. Mati karena mempertahankan harta dinilai sebagai mati syahid. Allah janjikan masuk surga tanpa hisab, in sya Allah. Membaca shalawat atas Rasulullah SAW itu penting. Kita wajib melakukannya. Allah dan para malaikat pun bersahalawat kepada nabi Muhammad SAW. Berzikir kepada Allah, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah, itu penting. Kita harus melakukannya. Memperingati Maulid Nabi itu penting, dan kita boleh melakukannya. Tapi berjihad memberantas kezaliman dan ketidakadilan juga lebih penting. Berjuang merebut hak-hak rakyat yang dirampas itu sangat penting. Jihad menegakkan agama Allah, membebaskan penuhanan manusia atas manusia lain jauh lebih penting. Jadi, tidak tepat lagi kita mengatakan kepada ummat dan rakyat, kalau ada pejabat korupsi, biarlah itu urusan dia. Dia berdosa dan kelak akan mendapat siksa dari Allah. Begitu juga dengan jika penguasa yang zalim dan sewenang-wenang, tidak bisa lagi dengan semata-mata itu urusan privat yang bersangkutan dengan Allah. Urusan kepemimpinan, apalagi bernegara, adalah urusan publik. Kezaliman dan ketidakadilan penguasa wajib diluruskan. Risiko? Pasti ada. Sebagai pendakwah, risiko terdekat adalah tidak diundang lagi berceramah. Jika sudah punya agenda rutin, kemungkin jadwal dicoretnya jadwal kita di masjid atau kantor tersebut. Risiko lainnya, kita akan berhadapan dengan penguasa. Ini lebih besar dan lebih berat ketimbang risiko pertama. Sangat mungkin akan ditangkap, dipenjara, bahkan nyawanya dihilangkan. Tentu saja, kita sama sekali tidak berharap akan mengalaminya. Namun inilah risiko dakwah yang harus ditapaki setiap pelakunya. Inilah jalan dakwah para nabi, termasuk nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia. Itulah sebabnya, Rasulullah SAW bersabda, seperti di pembuka tulisan ini. “Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim.” Bagaimana? [*] Jakarta, 11 November 2019 *) Edy Mulyadi, Sekretaris Jenderal GNPF-Ulama
Jangan Ragukan ke-Islaman Kapolri Idham Azis
Jujur harus diakui, belum pernah ada calon Kapolri di negeri ini, yang ketika menjalani fit and proper test di Komisi III DPR, mau mengutip ayat-ayat Al-Quran seperti yang dilakukan Bang Idham Azis. Itu artinya, Al-Qur’an bakal dijadikan sebagai panduan, sandaran nilai dan moral dalam memimpin kelembagaan Polri selama satu satu tahun dua bulan ke depan. By M. Naufal Dunggio Jakarta, FNN - Akhir-akhir ini viral di medsos tetang jejak digital Kapolri Baru Jendral Polisi Drs. Idham Azis. Lengkap dengan segala bumbu masaknya. Yang intinya meragukan komitmen beliau dalam memimpin Polri yang diucapkan pada saat fit and proper test beberapa hari lalu. Terlebih lagi keraguan publik tentang sikapnya kepada umat Islam. Ucapan dan sikap beliau tentang radikalisme yang sangat cukup membawa angin segar bagi umat Islam. Jangan hanya dianggap sebagai liv service belaka. Jangan juga hanya dengan dimunculkan jejak digital yang menyudutkan beliau. Seakan-akan dengan jejak digital tersebut, ingin mengabarkan pada publik bahwa ke-Islamannya dan perhatian pada umat Islam patut diragukan. Sebagai anak Sulawesi, bang Idham (panggilan akrabnya) seperti layaknya anak-anak di pulau Sulawesi pada umumnya, tidak ada yang bodoh tentang pelajaran agama Islam. Para orang tua kampung di Pulau Sulawesi, selalu mendidik anak-anaknya agar bisa dan lancar dalam membacakan Al-Qur’an sampai khatam Juz 30 atau Juz Amma. Setelah itu, harus memahami pelajaran agama Islam. Jangan coba-coba sehabis shalat magrib, anda tidak ikut mengaji di surau, mushollah atau di rumahnya para guru mengaji. Kalau sampai anda tidak mengaji, dipastikan kayu sepanjang satu meter atau ikat pinggang siap-siap melayang di kaki atau pantat. Bagitulah kerasnya didikan para orang tua tentang pentingnya mengaji. Aib bagi keluarga bila ada anaknya yang tidak bisa mengaji. Anak-anak Sulawesi, biar badung dan nakal, namun mereka pada umumnya tetap saja pintar-pintar pengetahuan agamanya. Pintar mengaji juga menjadi kewajiban, walaupun mereka bukanlah ustadz atau guru mengaji. Sehingga walaupun bergeser dalam pergaulan saat sudah besar, mereka tetap saja kokoh dalam mempertahankan nilai dan moral agama. Semua itu bisa terjadi, karena anak Sulawesi dididik oleh orang tuanya dengan nilai-nilai agama Islam sejak kecil. Tidak mengherankan kalau mereka bisa menunjukkan kelasnya, bahwa mereka memang mengerti tentang ajaran agama Islam. Mengerti yang diajarkan di kampung sewaktu kecil. Apalagi kalau sekarang ini, kedua orang tuanya masih hidup. Bapak atau ibu, atau kedua-duanya pasti sangat dimuliakan. Kedua orang tuanya pasti sangat dijunjung tinggi kehormatannya. Karena anak tersebut pasti akan kembali ke jalan yang Allah inginkan. Walaupun, menurut pandangan orang lain, agak kelam pejalanan hidupnya. Kondisi seperti inilah yang juga terjadi pada Kapolri baru Idham Azis. Kalau beliau tidak pernah mengaji atau ta'lim sejak kecil, mana mungkin ketika mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR, fasih dalam mengutip Al-Qur’an, Surat Yasin, Ayat 65. Yang artinya, "pada hari ini Allah menutup mulut kita, dan tangan kita yang berbicara, dan kaki kita menjadi saksi terhadap apa yang dikerjakan semasa hidup kita". Subhanallah. Ayat ini kalau dibaca oleh para imam di waktu shalat maghrib, isya atau subuh, biasanya suka bergetar suara sang imam. Suasana ini biasanya diikuti dengan tangisan akibat dahsyatnya pengaruh ayat ini. Orang kalau tidak meresapi ayat ini, mana mungkin mau dijadikan acuan dalam menjalankan amanah Allah di muka bumi. Penyanyi sekelas almarhum Chrisye saja tidak bisa mengulangi ayat ini untuk kedua kalinya. Perintiwa itu terjadi saat Chrisye melakukan rekaman, dengan menyanyikan lagu yang ditulis oleh penyair top Taufik Ismail, dengan mengambil syair dari Ayat 65 Surat Yasin ini. Badannya Chrisye bergetar dan menggigil, saat meresapi syair-syair yang diambil dari Surah Yasin tersebut. Bang Idham, dengan lisannya sudah menyampaikan kepada kita bangsa Indonesia, bahwa dia akan memimpin institusi Polri sesuai dengan nafasnya Ayat 65 Surat Yasin tersebut. Suatu pernyataan mungkin saja langka untuk ukuran modern dan melanial sekarang. Namun itulah fakta yang bisa kita saksikan dan dengan belum lama ini dari mulutnya bang Idham Azis. Jujur harus diakui, belum pernah ada calon Kapolri di negeri ini, yang ketika menjalani fit and proper test di Komisi III DPR, mau mengutip ayat-ayat Al-Quran seperti yang dilakukan Bang Idham Azis. Itu artinya, Al-Qur’an bakal dijadikan sebagai panduan, sandaran nilai dan moral dalam memimpin kelembagaan Polri selama satu satu tahun dua bulan ke depan. Soal nantinya beliau tidak menempati janjinya atau mengingkari sendiri ucapannya, itu urusan Pak Kapolri Idham Azis dengan Ilahi Rabbi. Namun yang jelas beliau telah menunjukkan kepada kita, siapa dirinya yang sebenarnya. Untuk jangan lagi kita meragukan ke-Islamannya. Beliau pasti akan mempertanggung jawabkan jabatannya sebagai Kapolri bukan hanya di hadapan manusia. Namun di hadapan pengadilan akhirat kelak. Begitulah kira-kira begitu pesan yang ingin disampaikan oleh pak Kapolri dengan mengutip Al-Qur’an, Surat Yasin ayat 65 tersebut, ketika menjalani uji kalayakan dan kepatutan di Komisi III DPR. Bang Idham Azis adalah sosok anak Sulawesi pertama yang menjadi orang nomor satu di tubuh Polri. Semoga saja dia menjadi acuan yang bagus, dan indah ke depan. Menjadi teladan untuk bagi adik-adik dari Indonesia Tengah dan Timur. Menjadi teladan juga bagi adak-adiknya di polisi. Paling kurang Polri ketika di tangan Jendral Idham Azis bisa tampil lebih soft di masyarakat. Semoga Polri ke depan lebih manusiawi kepada rakyat dan umat Islam, yang menjadi pemegang saham utama institusi Polri. Polisi yang lebih bermartabat dalam mengamankan NKRI kita. Untuk itu, hanya kepada Allah jualah kita berserah diri. Selamat bekerja Bang Idham. Semoga saja, Allah SWT selalu melindungimu, merahmatimu dan menuntunmu. Penulis adalah Aktivis dan Ustadz Kampong
Jangan Dzalimi Umat Muhammad SAW Dengan Jabatan, Nanti Tersiksa
Belajarlah dari Mustafa Kemal Attaturk. Presiden Turki yang berkuasa tahun 1924-1947 itu sudah merasakan penyiksaan di dunia. Dimana jasadnya mantan mantan Presiden Mustafa Kemal Attaturk tidak diterima oleh bumi untuk dikuburkan dalam tanah. Akibatnya, jasadnya hanya ditaruh di atas bukit. Jasad Mustafa ditaruh di atas tumpuan bebatuan, dan kemudian ditutup lagi dengan batu. By M. Naufal Dunggio Jakarta, FNN - Suatu ketika dikala Nabi Muhammad SAW lagi duduk dengan sahabat-sahabatnya, kemudian beliau berkata "aku rindu dengan saudaraku". Para sahabat bertanya, bukankah kami saudaraku. Rasulullah SAW menjawab, “kalian bukan saudaraku, te tapi kalian adalah sahabatku. Saudaraku itu adalah mereka tidak pernah melihatku, tetapi mereka beriman kepadaku. Ini artinya sebelum umat Muhammad SAW itu lahir ke dunia, kita-kita yang ngaku Islam sekarang ini, sudah dirindukan oleh Rasulullah SAW. Bigitulah gambaran betapa cintanya Rasulullah SAW kepada umatnya. Dari 25 Nabi dan Rasul, hanya Nabi Muhammad SAW yang selalu ingin bersama-sama dengan umatnya sampai hari kiamat nanti. Bukan itu saja. Bahkan saat menghadapi sakratul maut sekalipun, Rasulullaah SAW tidak bertanya tentang anaknya. Tidak juga bertanya tentang istrinya, apalagi hartanya. Tidak ada permintaan apa-apa kepada malikat Jibril dan malaikat Izrail yang menjemput nyawanya selain menyebut dan memanggil-manggil umatnya. Lebih dari sekali Rasulullaah SAW dengan menyebut-nyebut ummatii, ummatii, ummatii. Betapa cintanya Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Maka tidaklah berlebihan bila di bulan kelahirnnya ini, kita menyampaikan shawalat kepada Rasulullaah SAW. Allahumma Shallii 'Alaa Muhammad. Sekarang ini ada semacam koor berssama yang menyakitkan dan melukai perasaan bagi umat Islam Indonesia. Padahal umat Islam Indonesia adalah pemegang saham utama kemerdekaan negeri ini. Koor itu memang sengaja diciptakan oleh penguasa negeri. Mereka ramai-ramai berteriak tentang “radikalisme dan anti khilafah”. Dengan sasaran yang dituju adalah umat Islam. Walaupun Kapolri Jendral Idham Azis sudah menegaskan bahwa radikalisme tidak boleh ditujukan pada umat Islam. Sayangnya para pejabat pemerintah yang gila dengan jabatan, masih tetap saja asyik dan masyuk dengan isu radikalisme itu. Karena isu radikalisme masih sexy, sesexy wanita-wanita Pekerja Seks Komersial di Alexis yang sudah ditutup Gubernur Anis Baswedan itu. Para pejabat pemerintah, tolong jangan diterusin upaya-upaya untuk menyiksa hati dan perasaan Umat Islam yang mendirikan negeri ini. Hukumannya nanti sangat berat, baik hukuman di dunia maupun akhirat nanti. Selain itu, umat Islam yang tadinya tidak radikal, bisa berubah menjadi radikal benaran Belajarlah dari Mustafa Kemal Attaturk. Presiden Turki yang berkuasa tahun 1924-1947 itu sudah merasakan penyiksaan di dunia. Dimana jasadnya mantan mantan Presiden Mustafa Kemal Attaturk tidak diterima oleh bumi untuk dikuburkan dalam tanah. Akibatnya, jasadnya hanya ditaruh di atas bukit. Jasad Mustafa ditaruh di atas tumpuan bebatuan, dan kemudian ditutup lagi dengan batu. Jangan juga menganggap remeh-temeh soal Khutbah Jumat yang tidak lagi membaca shalawat. Itu bukan persoalan khilafiyah, tetapi sebuah kesengajaan. Kalau tidak mau dibilang jahil, bodoh dan dungu. Sebab itu bentuk lain dari upaya menghilangkan jejak Nabi SAW dalam kehidupan kaum muslimin. Musuh-musuh Allah bersama kaum munafikun di dalam Islam, rupanya tidak henti-hentinya, satu kali dua puluh empat jam mengintai dan muslimin. Setelah berupaya dengan segala cara untuk dijauhkan dari agamanya. Umat Islam mau dijauhkan dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan kekuasaan yang mereka miliki saat ini, memudahkan mereka berbuat apa saja. Kapan saja dan dimana saja bisa mendzalimi umat Islam. Jangan dikira umat Islam akan takut. Salah besar kalau punya anggapan dungu seperti itu. Sebab umat Islam semakin kuencang kalian tekan, maka semakin kuencang juga perlawanannya untuk menghancurkan kekuasaan kalian. Tidak ada dalam sejarah, penguasa yang dzalim kepada Umat Islam, dia bisa hidup dengan tenang sambil berlenggang kangkung. Yang telah terjadi malah sebaliknya. Bagi penguasa yang dzalim, hidup kalian bakal klar dalam merintih kesakitan yang panjang sekali. Anda dan keluarga anda akan merana tersiksa sepanjang hidup kalian. Apalagi jika hobbymu dengan kekuasaan yang di tanganmu, hanya untuk menyakiti umat islam dan agamanya. Bumi bakal muntah dan marah menerima bangkaimu tidur diatas punggungnya. Maka berhentilah memusuhi Umat Islam. Gak bakal kuat dikau melawan Umat. Bakal modar kau dalam keadaan hina dina nanti. Jadilah abdi negara yang baik. Abdi negara Yang membahagiakan rakyatnya. Insya Allah, Allah akan bantu kekuasaanmu. Namun kalau anda ingkar, maka tunggulah ketentuan Allah pada kalian. Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri. Selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Allhumma Shallii 'Alaa Muhammad. Penulis adalah Utazd Kampong
Jika Anies Yang Lempar Botol Air Itu ke Lapangan
Kejadian pelemparan itu sayangnya dilakukan oleh Gubernur Kalteng. Coba bayangkan, kalau saja kejadian tersebut dilakukan oleh goodberneeer Indonesia Anies Baswedan. Wah pasti ngga bisa tidur deh para politisi ingusan yang dungu bin togog dari Partai Syaiton dan Iblis (silahkan disingkat saja sendirilah) sudah bereaksi berjamaah. Dipastikan mereka beramai-ramai akan membully Bang Anies selama tujuh siang tujuh malam, dikali tujuh lagi. Oleh M. Naufal Dunggio Jakarta, FNN - Lagi ramai di media sosial Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran melempar botol dari arah tribun VVIP ke tengah lapangan. Saat itu sedang terjadi pertandingan sepakbola antara Kalteng Putra melawan Persib Bandung. Posisi score ketika itu dimenangkan oleh Persib Bandung. Akibatnya Pak Gubernur Sugianto Sabran pun kuciwa berat, karena keseblasan kesayangan masyarakat Kalimantan Tengah kalah. Entah karena emosi atau tidak. Sadar atau tidak sadar, namun terlihat dengan jelas di video yang beredar di media social, Pak Gubernur Kalimantan Tengah sedang melemparkan sebotol air ke arah tengah lapangan. Lemparan tersebut, spontasn diikuti oleh penonton. Kajadian tersebut mangkibatkan pihak keamanan harus bekerja ekstra keras. Sehingga Pak Kapolresta Palangkaraya harus turun langsung ke tengah-tengah lapangan. Pak Kapolres meminta agar penonton menghentikan pelemparan tersebut. Aksi Pak Kapolres dengan aparat kemanan ini, rupa-rupanya tidak bisa diterima oleh Pak Gubernur Sabran. Pak Gubernur marah kepada Pak Kapolres. Pak Gubernur Sugianto tidak suka ditegur sama Kapolres, sehingga dia turun dari tribun memarahi Kapolres. Sayang sekali ya. Kenapa Pak Kapolres tidak gelandang dia Gubernur Sugianto Sabran ke kantor polisi yaa? Dan Pak Kapolres perlu tahan Gubernur Sabran barang satu atau dua hari saja dulu. Bagaimana rasanya seorang Gubernur tidur di kantor polisi. Kayak polisi yang suka menangkap para mahasiswa kalau melakukan pelemparan jika sedang demonstrasi. Kejadian pelemparan itu sayangnya dilakukan oleh Gubernur Kalteng. Coba bayangkan, kalau saja kejadian tersebut dilakukan oleh goodberneeer Indonesia Anies Baswedan. Wah pasti ngga bisa tidur deh para politisi ingusan yang dungu bin togog dari Partai Syaiton dan Iblis (silahkan disingkat saja sendirilah) sudah bereaksi berjamaah. Penulias pastikan mereka beramai-ramai akan membully Bang Anies selama tujuh siang tujuh malam, dikali tujuh lagi. Mereka, para pembenci Bang Anies tidak bisa tidur-tidur. Kalaupun mereka tidur pun, tidak bakalan bisa nyanyak. Mereka, sepanjang siang dan malam 1 x 24 jam secara bergantian menjaga dan memantau terus kinerja Bang Anies. Kapan saja selalu dicari-cari, damana saja salahnya Bang Anies? Tampaknya uang yang digelontorkan oleh sang Opung cukup besar untuk menghajar Bang Anies. Targetnya, supaya Bang Anies keok dan modar sebelum Pilpres tahun 2024 nanti. Contohnya uang biaya aibon dan pulpes yang ramai di media sosial itu. Mereka jadinya melototin terus kinerja Bang Anies. Melototin kesalahan Bang Anies itu ada duitnye. Itu kan kagak gratis. Bayangkan saja. Masak anggota DPRD DKI bisa langsung meributkan anggaran yang baru direncanakan. Anggarannya saja belum dibahas oleh DPRD. Sampai-sampai politisi muda dari PDIP yang bekas penyanyi cilik Tina Toon dengan lagu bolo-bolanya berkomentar pedes. “Boleh jadi bodoh, tapi jangan sampai jadi dungu permanen dong. Bikin malu lembaganya sendiri yang terhormat”. Kebencian kepada seseorang dikarenakan dendam kesumat, plus dibayar agar dendam itu tetap terpelihara sama sekali tidak mengenakkan. Bayangkan, orang yang dibenci tersebut tetap saja tersenyum dan tidak membalas. Dia juga tidak pernah marah. Sebaliknnya, dia menunjukkan kinerja yang sangat positif untuk kemashlahatan warga dan kotanya. Mending dinilai buruk, tetapi hasil kerjanya baik, dari pada dinilai baik tapi hasil kerjanya hancur-hancuran. Itulah motto dari Bang Anies. Dan motto ini membikin para politisi ingusan ini menderita batin, sampai pantat jadi ireng. Masih ada tiga tahun lagi penderitaan ini akan mereka alami. Kelihatannya, duit dari Opung susah bisa mereka nikmati, walau duitnya tak berseri. Duit itu akan membiayai otak dan hati mereka di rumah sakit, karena kraaam nggak bisa menemukan kesalahan Bang Anies dalam menakhodai Jakarta. Menuju pulau yang indah, yang menjadikan maju kotanya dan bahagia warganya. Kacuali warga di partai syaitan dan iblis. Saking banyak itu duit dikeluarin oleh si Opung, ada dosen Universitas Indonesia yang menjadi togog permanen. Baru kali ini di UI ada dosen jadi bloon setengah mampus. Menghina Bang Anies dengan membuat gambar Joker, dengan wajah goodberneer Indonesia. Dan dia bangga bikin seperti itu karena dia merasa kebal hukum walau sudah banyak laporan yang masuk ke polisi. Ah belum aja kau kena apes Ade Armando. Ini istidraj buat kamu. Ada suatu waktu sebelum kau mati, kau akan merasakan bagaimana perih dan pedihnya hukuman penghinaanmu pada agamamu. Pada manusia seperti pak Prabowo dan Bang Anies. Termasuk kepada yang lain. Semoga kita semua umur panjang, dan bisa menyaksikan itu. Tidak ada daun kering yang jatuh ke bumi lepas dari perhatian Ilahi Rabbi. Kita tinggal tunggu tanggal mainnya. Lambat atau cepat itu pasti terjadi. Semoga kita bisa menyaksikannya sebagai bahan i'tibar dan pembelajaran bagi hidup kita dan anak cucu kita. Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri.