NASIONAL

Luhut Menteri Kacrut

Luhut Binsar Panjaitan tampak mewakili negara China dalam setiap kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Kadang sifat berangasannya tersebut, mengingatkan kita pada Ahok yang angkuh dan juga tukang semprot. Sebagai Menko, mestinya Luhut Binsar Panjaiatan lebih berwawasan kenegaraan yang luas. Tentara itu patriot, bukan tukang semprot atau "Judas Iskhariot" sang penghianat. By M. Rizal Fadillah Jakarta, FNN - Dalam kasus konflik Natuna, Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binssar Panjaitan bersikap melunak kepada China. Luhut menyatakan agar kasus pelanggaran hukum di perairan Kepulauan Natuna tidak usah dibesar- besarkan. Kata Luhut, kalau diber-besarkan, takutnya bakal mengganggu program investasi China di Indonesia. Tentu saja ungkapan Luhut ini direaksi keras oleh public. Betapa lemahnya rasa nasionalisme dari sang menteri yang berpangkat Jendral bintang empat kehormatan ini. Kedaulatan negara telah nyata-nyata dilanggar. Kedaulatan negara di Natuna sudah dianggap sebagai milik China. Namun masih dianggap sepele saja sama Luhut Binsar Panjaitan. Kata anak gaul Luhut Binsar Panjaitan ini payah, ancur deh. Kacrut...! Investasi China seolah-olah menjadi segalanya bagi Luhut Binsar Panjaitan. Sehingga kedualatan kita diinjak-injak sekalipun kita sikapi dingin-dingin saja. Padahal bangsa ini justru sedang mengkhawatirkan terlalu jauhnya China merambah negara kita. Investasi menjadi alat penguasaan atau penjajahan. Nyali Menteri Luhut Binsar Panjaitan yang berlatar belakang militer tersebut ternyata ciut. Hanya segitu-gitu saja dia. Ternyata tidak ada hebat-hebatnya juga tuh. Persis seperti tikus cerurut atau tikus kacrut yang kecil. Masalah kedaulatan negara harusnya dipertahankan dan dibela dengan sepenuh jiwa raga. Bukan dengan mental jiwasraya yang keropos dan korup tersebut. Kasus Luhut Binsar Panjaitan dengan sikap lemah dan pragmatis, menunjukkan betapa perlunya para Menteri (juga Presiden) ditatar kembali. Materinya tentang substansi nasionalisme dan ideologi negara. Jangan hanya rakyat yang selalu jadi obyek pembinaan dan penataran. Para petinggi negeri ini penting untuk juga dibina. Karena kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mereka bukanlah kalimat serbagai seorang menteri. Tidak menggambarkan mereka adalah menteri. Contohnya, Luhut Binsar Panjaitan ini. Padahal sikap dan pendapat para menteri itu bisa berdampak secara luas. Rendahnya rasa nasionalisme dan watak pengecut di kalangan para menteri adalah krisis nasional yang sangat nyata saat ini. Ini sangat berbahaya sekali. Sebab negara ini bisa dijual hanya demi investasi atau mendapatkan duit hutang dari luar negeri. Sikap Luhut Binsar Panjaitan yang membela China ini bukan yang pertama kali. Sikap yang semacam ini sudah berulangkali diperlihatkan Luhut. Tidak salah jika ada sebutan di medsos bahwa Luhut sebagai Dubes China untuk Indonesia. Sebab yang diucapkan Luhut Binsar Panjaitan selama ini, tidak lain adalah membela kepentingan China di Indonesia. Luhut Binsar Panjaitan tampak mewakili negara China dalam setiap kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Kadang sifat berangasannya tersebut, mengingatkan kita pada Ahok yang angkuh dan juga tukang semprot. Sebagai Menko, mestinya Luhut Binsar Panjaiatan lebih berwawasan kenegaraan yang luas. Tentara itu patriot, bukan tukang semprot atau "Judas Iskhariot" sang penghianat. Ketika kita berkonflik dengan China, gertakannya jangan membuat nyali ciut. Balas dengan ancaman yang membuat China berpikir seribu kali sebelum melangkah. Missalnya, kita akan membatalkan semua bentuk kerjasama ekonomi dengan China, jika masih saja mengklaim perairan Kepulauan Natuna sebagai bagian dari wilayah teritorialnya. Bila perlu sentuh sampai pada ancaman pemutusan hubungan diplomatik. Bilang bahwa di Indonesia masih banyak warga negara Indonesia (WNI) yang masih merasa sebagai bangsa China. Jika macam- macam, mereka bisa diusir keluar dari Indonesia. Teriakan seperti dulu "go to hell with your aid". Bagaimanapun juga China adalah negara komunis. Mereka sangat berbahaya bagi bangsa kita. Dengan kejadian di perairan Natuna ini, China jelas-jelas bukanlah sahabat kita. Apalagi idelogi mereka tidak mengakui adanya Tuhan. Kita bangsa Indonesia masih mengakui adanya Allah SWT. Sekarang terbukti bahwa China adalah negara tukang cari gara gara. Seenaknya saja menginjak-injak wilayah kita. Sombong, angkuh, dan menggertak. Namun semua tergantung kita juga. Tergantung pada pemimpin kita. Tergantung Menteri dan Presiden kita. Macankah atau tikus cerurut ? Kalau Luhut Binsar Panjaitran, sudah jelas-jelas payah. Ancur deh. Kacrut...! *Penulis adalah Pemerhati Politik

Indonesia Darurat Kedaulatan, Hak Azasi Bangsa Terinjak

By Hartsa Mashirul* Jakarta, FNN - Pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh kapal pencari ikan hingga kapal penjagaan laut dan pantai negara Republik Rakyat China (Coast Guard) telah mencederai perdamain dunia. Pemerintah Republik Rakyat China berdalih bahwa Natuna merupakan bagian dari wilayahnya dengan berpegang pada Nine-Dash Line China. Sejak tahun 1947 di bawah kekuasaan Chiang Kai Sek (Partai Kuomintang Pendiri Republic of China) mengklaim teritorial secara sepihak oleh China dengan bentangan seluas 2.000 kilometer dari dataran China. Pemerintahan China menduduki teritorial di Laut China Selatan dengan Angkatan Lautnya . China berupaya untuk menguasai pulau-pulau yang dahulu diduduki Jepang saat Perang Dunia II. China membuat sebelas garis demarkasi putus-putus. Kemudian mereka China sebut dengan Eleven-Dash Line. Masalah ini kemudian menabrak beberapa wilayah kedaulatan negara di perairan Laut China Selatan, diantaranya Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunai Darussalam. Setelah Kuomintang kalah dalam perang saudara tahun 1949, Partai Komunis China menetapkan diri sebagai penguasa tunggal dengan sebutan Republik Rakyat China yang menganut ideologi komunis dan menggunakan mata uang Yuan. RRC mengklaim dialah satu-satunya perwakilan sah untuk menguasai wilayah maritim Laut China Selatan tersebut. Partai Nasionalis Kuomintang secara yurisdiksi berpindah ke Taiwan dengan menyebut dirinya Republik of China. Mata uangnya Dollar Taiwan, dengan sistem ekonomi kapitalis. Secara de facto Taiwan adalah negara merdeka dan menjadi satu negara dunia, namun secara de jure Taiwan belum mendapatkan pengakuan dari berbagai negara dunia. Namun, hingga saat ini belum diketahui kepastian perang saudara tersebut telah berakhir atau belum. Pada tahun 1950, dua garis putus-putus dihapus. China mengeluarkan Teluk Tonkin sebagai tanda untuk koloni komunisnya di Vietnam Utara, menjadi sembilan garis demarkasi putus-putus atau Nine-Dash Line. Klaim sepihak dengan menggunakan sebutan Nine-Dash Line China merupakan satu hal yang tidak mempunyai landasan Hukum Internasional di Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS ) tahun 1982. Rentetan sejarah perjalanan untuk menetapkan hukum laut internasional dalam Pertemuan Konferensi Majelis Umum PBB resolusi 1105 (XI) dari 21 Februari 1957 merupakan puncak dari proses panjang. Bermula dari Konferensi Den Haag untuk Kodifikasi Hukum Internasional yang diadakan tahun 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa, yang membahas mengenai perairan. Tanggal 29 April 1958 Konferensi PBB di Jenewa tentang Hukum Laut dibuka untuk ditandatangani empat konvensi dan protokol opsional. Berbagai pertimbangan muncul dalam konferensi ini. Tidak hanya memperhitungkan aspek hukum, tetapi juga aspek teknis, biologis, ekonomi dan politik. Selanjutnya tanggal 10 Desember 1982, Konvensi PBB Dalam Hukum Laut Internasional yang dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982. Konvensi ini untuk menggantikan perjanjian internasional mengenai laut yang dibuat tahun 1958. Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 menyatakan laut diantara pulau-pulau kita merupakan wilayah Indonesia. Terkenal dengan sebutan “Deklarasi Djuanda”. Hal ini membantah Hukum Laut Internasional saat itu yang mengakui laut teritorial hanya sejauh 12 mil. Deklarasi Djuanda menjadi dasar bagi para juru runding Indoneisa, yaitu Prof Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Hasjim Djalal, berjuang secara diplomasi di PBB, hingga ditandatanganinya UNCLOS 1982. Ketika itu Indonesia didaulat sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia. Deklarasi Djuanda yang diperjuangkan menjadi UNCLOS 1982, menguatkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menjadi dasar bagi berbagai produk hukum kemaritiman yang kuat, dikarenakan kompatibel dengan Hukum Laut Internasional. Sebagai negara kepulauan terbesar didunia yang berdaulat, perilaku klaim sepihak RRC adalah tindakan tidak menghormati kedaulatan Indonesia. Selain itu, tidak menghormati kesepakatan Hukum Laut Internasional yang berlaku. Perilaku semau mereka sendiri mengakibatkan Rakyat Indonesia meradang. Kami, Rakyat Indonesia menegaskan bahwa tidak ada kata toleransi terhadap mereka yang melakukan pencaplokan sejengkalpun wilayah kedaulatan Indonesia oleh negara lain. Sikap Geng Shuang sebagai Juru Bicara Kementrian Luar Negri China yang menyatakan bahwa Natuna masuk dalam wilayah China adalah menabuh genderang perang. Dunia sedang memanas akibat pergolakan politik dan ekonomi yang memanas. Republik Rakyat China yang dimata sebagian rakyat Indonesia sebagai sahabat, saat ini menikam Indonesia dari belakang. Sikap itu adalah mengkhianati dalam hubungan baik diantara kedua negara. Rakyat Indonesia yang berdaulat mengecam keras klaim sepihak Republik Rakyat China atas Pulau Natuna sebagai bagian wilayahnya. Kembali kami tegaskan, bahwa hal ini bukanlah kali pertama tindakan sewenang-wenang China berusaha mencaplok wilayah kedaulatan Indonesia dalam kurun waktu lima tahun ini. Sekitar bulan Juni 2016 lalu, terjadi insiden Natuna antara kapal nelayan Republik Rakyat China dengan kapal perang Republik Indonesia KRI Imam Bonjol-383. Pemerintah China kemudian memprotes atas tertembaknya kapal ikan Han Tan Cou oleh TNI Angkatan Laut Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa Natuna sebagai zona perikanan tradisional China. Perilaku pemerintah Republik Rakyat China tidak bisa terus kita diamkan. Karena akan menjadi preseden dan kebiasaan untuk terus mengklaim Natuna sebagai wilayahnya. Untuk itu, kami rakyat Indonesia menuntut pemerintahan Republik Rakyat China untuk segera mengkalrifikasi dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia dan seluruh rakyat unia atas pernyataan Juru Bicara Kementrian Luar Negeri China yang merepresentasikan pemerintahan RRC. Rakyat Indonesia menyampaikan hal ini untuk dijadikan informasi kepada seluruh bangsa-bangsa di dunia, bahwa China terus berusaha mencaplok wilayah kedaulatan Indonesia. China berpegang pada dasar sepihak. Sehingga hal tersebut bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982. Akibatnya dapat mengacaukan perdamain regional pasifik maupun perdamaian dunia. Atas keras kepala pemerintahan China yang berulang kali berusaha melakukan tindakan pencaplokan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia, kami rakyat Indonesia menuntut tiga hal sebagai Komando rakyat kepada Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara Republik Indonesia dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia guna menegakkan Hak Azasi Bangsa. Kami mernyampaikan tiga tuntutan yang disebut dengan “TRIKORA”. Pertama, mendesak Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI segara Deklarasikan Perang kepada tetiap negara yang mencaplok wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kedua, mendesak Menteri Pertahanan untuk melindungi seluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Memerintahkan segenap jajaran TNI/Polri untuk melaksanakan perang, sebagaimana Amanat Konstitusi UUD 1945 Pertahanan Rakyat Semesta. *Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Club

Oligarchy Menari di Alam Demokrasi Konstitusional

By Dr. Margarito Kamis * Jakarta, FNN - Langit gelap dunia hukum dan politik Indonesia dua tiga tahun lalu terjadi menyusul munculnya sejumlah kasus. Diantaranya kasus Ranperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Provinsi DKI Jakarta. Pada kasus ini KPK memeriksa direktur PT Agung Sedayu Land. Tak sampai disitu, KPK juga memeriksa dan mencekal Bos Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Agua (detikcom, 27/6/2016). Pada kasus lain, penyuapan pengurusan izin pembangunan Meikarta, teridentifikasi terkait dengan Ranperda Rencana Deteil Tata Ruang Kabupaten Bekasi. Proyek Meikarta teridentifikasi dikerjakan PT. Mahkota Sentosa Utama, anak perusahaan PT. Lippo Cikarang. Sementara PT. Lippo Cikarang teridentiikasi secara faktual oleh media sebagai Anak Usaha Lippo Karawaci. Semuanya terasosiasi dalam Lippo Gorup (CNNIndonesia, 30/10/2018). Ditengah hiruk-pikuk perbincangan terbuka pemindahan ibu kota negara, terungkap secara kredibel kenyataan menarik. PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI), Korporasi dalam Group Royal Golden Eagle (RGE) menguasai lahan 6.000 hektar lahan. Sejauh hak atas tanah seluas itu belum berakhir, pemerintah, dengan alasan kepentingan umum sekalipun, suka atau tidak, tidak bisa main ambil tanah ini tanpa dilakukan ganti rugi. Kendalikan Kebijakan Apakah kenyataan parsial itu yang membawa Kiyai Said Aqil Siradj, Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU) bersuara keras? Di penghujung tahun 2019 dan awal tahun 2020, dengan nada krits yang gamblang, Kiyai Agil bicara oligarki. Entahlah. Mungkin sekali tidak. Tetapi apapun itu, identifikasi Kiyai atas efek oligarki, cukup meyakinkan. Cukup jelas memperlihatkan tabiat entitas berjumlah terbatas ini. Sekarang, kata Kiyai Said ”yang korupsinya triliunan tenang-tenang saja.” Mengapa? Sistem negara sekarang berjalan dengan oligarki. Ini negara dikuasai orang punya duit, atau didukung oleh yang punya duit. Pak Jokowi tidak punya duit. Pak Jokowi tidak punya partai, tetapi didukung oleh yang punya duit dan punya partai (Era Muslim, 28/12/19). Oligarchy (orang kaya) yang berkuasa (oligarki) memiliki bawaan alamiah. Sedari awal, adanya dalam sejarahnya yang panjang, tak mudah dikendalikan. Sedari zaman Yunani kuno, oligarch identik dengan kekayaan, penguasaan tanpa batas seluruh material ekonomi. Bergerak dari penguasaan satu sumber material ekonomi ke sumber material ekonomi lainnya menjadi napasanya. Penguasaan material ekonomi menjadi sumbu material power. Ini telah umum diidentifikasi sebagai tipikal dasar kelompok kecil ini. Dalam kasus Indonesia, sama dengan Amerika jumlah mereka tidak lebih dari 1%. Mereka dapat disebut dengan kelompok 1%. Studi Oxfam seperti dikutip Dr. Syahganda Nainggolan dalam artikelnya, menemukan kenyataan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk Indonesia. Pada tahun 2019, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat 0,2% pemilik rekening di bank menguasai 63,8% total simpanan bank, tulis Syahganda lebih labih lanjut. Korporasi di Amerika menjadi entitas politik. Donasinya teridentifikasi menjadi instrumen relative utama mengendalikan kebijakan. Capres dan calon legislator teridentifikasi sebagai dua sasaran bergengsi yang didonasi. Tahun 2014 misalnya Liz Kennedy mengidentifikasi, kelompok ini uang sebesar U$ 1,1 miliar dollar kepada kandidat dan komite. Jumlah ini lebih besar dari pengeluaran kelompok buruh. Kelompok buruh hanya bisa begerak hingga angka U$215 juta dollar. Pada tahun yang sama Political Action Committee (PAC’S) yang berafiliasi dengan kelompok bisnis mengeluarkan sekitar U$ 380 juta dollar pada pemilihan federal. Lebih besar dari pengeluaran PAC’s yang berafiliasi dengan kelompok pekerja. Jumlah pengeluaran kelompok terakhir ini hanya sebesar U$ 60 juta dollar. Pada tahun 2016 Liz memperkirakan jumlah uang yang dikeluarkan kelompok bisnis lebih besar, yaitu U$ 1 dollar dari setiap U$ 8 dollar yang dikirimkan ke PACs berasal dari korporasi. Pada pemilihan tahun 2016 super PACs mengeluarkan uang sebesar $1,8 miliar dollar. Ada dampaknya? Michael Fowler disisi lain menulis dua bulan setelah menduduki jabatannya, Trump membolehkan Keystone XL oil pipeline kembali beroperasi. Padahal proyek ini dihentikan pengerjaannya oleh Barack Obama, Presiden pendahulunya. Fowler dan kawan-kawan menulis lebih lanjut di campaign donation impact Trumph decision? Hingga kampanye presiden tahun itu, tulis Jork Spenkuchk, asisten profesor menejemen ekonomi dan ilmu pembuatan keputusan pada Kellog Scholl, yang dikutip Fowler dan kawan-kawan, sektor energi memberi donasi sebesar satu juta dollar kepada kampanye Trump. Jork menulis lebih lanjut, setelah menduduki jabatannya, muncul spekulasi tentang balas budi, quid pro quo terhadap mereka. Bernada mirip, Liz menyatakan hukum tak bakal handal menghentikan pengaruh korporasi dalam politik Amerika. Menariknya sebagian teoritikus, ambil misalnya Milton Friedman, ekonom andal ini, menolak tesis pengaruh korporasi melalui donasi. Korporasi, katanya hanya berurusan dengan keuntungan. Bisnis, katanya, ya bisnis. Itulah mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Ini menjadi soal tergelap dalam seluruh atmosfir politik dan hukum. Relatif sama dengan Jerman, juga India untuk kasus tertentu. Selalu begitu urusan politik dalam demokrasi. Gelap, dan sering tak dimasalahkan. Ini berkas bagi koprporasi, yang dimanapun selalu lebih cerdas dalam melangkah. Korporasi tahu soal hukum dan konteks bisnis. Bagi kelompok ini bisnis, tidak bisa dilepaskan dari hukum. Mereka tahu, hukum bukan moral, bukan juga etika, yang menjadi sumber hak dan wewenang. Dalam hukumlah semua hak memasuki penguasaan material ekonomi dan politik didefenisikan. Apa yang diklakukan korporasid engan tesis itu? Kuasailah hukum, maka hak dan wewenang berada dalam genggaman dan jangkaun pengendalian mereka. Tahun 1868, tulis John Coleman dalam Invisible Hand, blok ini berhasil menempatkan Salmon P. Chase, di Mahkamah Agung. Segera setelah itu, Dia dengan statusnya memimpin sidang impeachment terhadap Andrew Johnson. Tahun 1912 kelompok ini berhasil menggolkan The Federal Reserve Act. Berharap Pada NU Oligark Indonesia telah muncul jauh sebelum UUD 1945 diubah pada tahun 1999-2002. Mereka tumbuh di sepanjang rute otokrasi Indonesia. Hebatnya di rute demokrasi yang tercipta setelah pasal-pasal UUD 1945 diubah atau dirumuskan ulang, mereka tetap terus tumbuh dan bergerak masuk ke dalam politik. Pada level yang bisa diperdebatkan, konstitusi terlihat menjadi “piagam atas hak usaha” kelompok ini. Pasal 33 UUD 1945 misalnya memiliki kualifikasi itu. Konsep “efisiensi berkeadilan” lebih dari cukup menjadi benteng utamanya. Praktis konstitusi membawa mereka ke semua sudut material ekonomi dengan cara yang terlihat sah. Betul, pasal 33 UUD 1945 ini dipakai Mahkamah Konstitui memukul telak UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Migas, UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dan UU Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. Tetapi apa sesudahnya? Tatanan praktis politik ekonomi tidak berubah secara fundamental. Tatanan praktis hukum konstitusi Indonesia, tidak pernah cukup jauh bergeser dari perpektif kapitalisme dan liberalisme. Perspekfif kapitalistik khas UU yang dibatalkan di atas, kembali tertanam dalam, dan cukup jelas pada RUU Pertanahan. RUU ini tenggelam di laut politik pergolakan “mengerikan” mahasiswa akhir September 2019 lalu. Sama dengan hukum pemilu Amerika, hukum pemilu Indonesia juga membenarkan donasi. Dalam hukum Amerika, donasi korporasi dikerangkakan secara hukum pada hak memilih. Perspektif ini didukung Mahkamah Agung. Dukungan itu terlihat pada putusan mereka pada kasus Citizen United v. FEC. Entah menjadi proxy corporation, kelak Citizen United mempersoalkannya ke Mahkamah Agung dan MA pun berubah pikiran. MA berpendapat pemerintah tidak bisa membatasi politik suara, sebagai basis suara politik korporasi. Hukum-hukum konstitusi jenis itu, suka atau tidak, menjadi sumbu ketidakseimbangan, inequality dalam tatanan politik dan ekonomi. Struktur pembuatan kebijakan sejauh ini bertipe oligarkis. Akibatnya jelas dalam semua hal. Korporasi menjadi, kalau tak mendefenisikan pembuatan kebijakan, politik, ekonomi dan hukum, selalu terdepan dalam mendapat manfaat kebijakan itu. Posisi terdepan korporasi, sampai kapanpun tak dapat digantikan oleh rakyat, pemilih kebanyakan. Orang kebanyakan sampai kapanpun, tidak dapat menanjak masuk ke struktur oligarkis pembuatan keputusan. Tidak bakal. Selamanya pemilih pas-pasan berada di pinggiran politik donasi. Mereka jelas tertakdir secara konstitusional sebagai sekumpulan orang berdaulat yang merana dalam kebingungan. Begitulah demokrasi konstitusional bekerja di negeri sumber material ekonomi melimpah ini. Demokrasi dan konstitusi tidak lebih dari sekadar “senjata angin” yang hanya bisa menggertak burung pipit. Tidak lebih. Hukum dan demokrasi malah jadi “benteng” ternyaman korporasi di negeri ini. Menangkap angin jauh lebih mungkin daripada meminta korporasi berhenti memperluas jangkauan cengkeraman sumber material ekonomi. Mengapa? Hukum dan demokrasi terlanjur jatuh ke dalam kubangan perspektif kapitalisme dan liberalisme. Hukum dan demokrasi tipe ini mengabdi pada korporasi. Bisakah dilunakan? Mungkin sekali. NU mungkin bisa menyajikan jalan keluarnya. *Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Provokasi China: Prabowo Bisa Terapkan Hankamrata!

Ambisi teritorial China jelas terencana dengan rapi. Mereka tak akan berhenti di Kepulauan Spratly yang berposisi lebih dekat ke Filipina. China mulai mengganggu Kepulauan Natuna milik Indonesia. China mulai provokasi Indonesia! Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Sejarah Perang Rakyat 10 November 1945 di Kota Surabaya telah membuktikan pada dunia bahwa pertahanan rakyat adalah jalan terakhir yang ditempuh rakyat Indonesia ketika asing menyerang Indonesia. Tak ada rasa takut pada diri rakyat Indonesia! Konsep Pertahanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang akan melibatkan seluruh komponen bangsa bisa tetap diberlakukan karena telah teruji oleh sejarah, selain memiliki kehandalan dalam melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman. Hal itu disampaikan Menhan Prabowo Subianto dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Senin (11/11/2019). Prabowo mengatakan, untuk mempertahankan sistem pertahanan tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang RI No 34 Tahun 2004. “Pertahanan keamanan rakyat semesta adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta, yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan semua ini untuk melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman,” katanya. Meski teknologi pertahanan Indonesia saat ini jauh tertinggal dengan negara-negara lain, tapi melalui konsep Hankamrata Indonesia diyakini akan bisa memenangkan sebuah perang. Tak akan ada yang bisa mengalahkan rakyat Indonesia! “Kita mungkin tidak bisa mengalahkan kekuatan teknologi bangsa lain, tetapi pertahanan kita yang berdasarkan pemikiran, konsep pertahanan rakyat, semesta perang kalau terpaksa kita terlibat dalam perang,” tegas Prabowo. “Perang yang akan kita laksanakan adalah perang rakyat semesta. The concept of the total people war,” katanya dalam paparannya di komisi DPR yang menangani soal pertahanan dan keamanan tersebut, seperti dilansir CNNIndonesia.com. Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu menyebutkan bahwa konsep pertahanan tersebut sudah terdoktrin oleh masyarakat Indonesia sejak dulu kala. Sehingga dengan konsep ini, perlu dilakukan program “Bela Negara” bagi warga Indonesia. “Itu adalah doktrin Indonesia selama ini. Lahir dari sejarah kita bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut bela negara,” katanya. Ia mengutarakan, bangsa Indonesia tidak akan diduduki oleh negara lain, apabila seluruh rakyat menjadi komponen pertahanan negara. “Jadi mungkin kita bisa dihancurkan prasarana kita, tapi saya yakin bahwa Indonesia tidak mungkin diduduki bangsa lain karena seluruh rakyat akan menjadi komponen pertahanan negara,” kata Prabowo. Belakangan ini, Indonesia protes kepada China yang menuding kapal ikan Tiongkok sempat memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau, secara ilegal baru-baru ini. Dan, China menolak protes Indonesia tersebut. "China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha yang terletak di LCS) dan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan dekat dengan Kepulauan Nansha,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, dalam jumpa pers rutin di Beijing, Selasa (31/12), seperti dikutip dari situs Kementerian Luar Negeri China. Geng menegaskan China juga memiliki hak historis di LCS. Menurutnya, nelayan-nelayan China telah lama melaut dan mencari ikan di perairan itu dan sekitar Kepulauan Nansha, yang menurut Indonesia masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Padahal, klaim China atas perairan yang menjadi jalur utama perdagangan internasional itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Geng juga berdalih, kapal yang berlayar di kawasan itu baru-baru ini adalah kapal penjaga pantai China yang melakukan patroli rutin. “Patroli rutin untuk menjaga ketertiban laut dan melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat kami yang sah di perairan terkait,” kata Geng. Akibat insiden itu, Kemlu RI telah melayangkan protes kepada China dengan memanggil duta besarnya di Jakarta pada awal pekan ini. Melalui pernyataannya pada Rabu (1/1), Kemlu RI menolak “klaim unilateral” China tersebut. “Klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982,” kata Kemlu RI. “Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016,” tegas Kemlu RI. “Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah 'relevant waters' yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982,” tegas Kemlu RI. Meski berbatasan langsung dengan LCS, Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan China di perairan tersebut. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung kode etik LCS segera diterapkan. Kode etik itu dibentuk sebagai pedoman negara-negara bertindak di perairan kaya sumber daya alam tersebut demi mencegah konflik. Provokasi China Ambisi teritorial China jelas terencana dengan rapi. Mereka tak akan berhenti di Kepulauan Spratly yang berposisi lebih dekat ke Filipina. China mulai mengganggu Kepulauan Natuna milik Indonesia. China mulai provokasi Indonesia! Tercatat, pada 10 Desember 2019, Coast Guard China muncul di perbatasan laut di perairan bagian utara Natuna. Kapal itu dihadang oleh kapal Bakamla Indonesia. Karena dihalau, tak jadi menerobos ke dalam perairan Indonesia. Pada 23 Desember 2019, dua Coast Guard China masuk lagi. Kali ini, kedua kapal bersenjata itu mengawal sejumlah kapal penangkap ikan China yang sedang melakukan pencurian ikan di perairan ZEE Indonesia di utara Natuna. ZEE Indonesia itu diakui PBB. Kali ini China unjuk kekuatan. Dua kapal penjaga pantai yang bersenjata itu dibekingin oleh satu kapal frigat (kapal perang) dari kejauhan. Artinya, angkatan laut China siap melakukan tindak kekerasan. Kapal Bakamla KM Tanjung Datuk 301 mencoba mengusir kapal-kapal China itu. Mereka menolak dengan alasan, berada di wilayah laut China. Pejabat senior Bakamla, Nursyawal Embun, mengatakan pihak China pasti tahu bahwa mereka berada di ZEE Indonesia. Sebab, cukup jauh jaraknya dari wilayah laut yang dikuasai RRC. Pada 30 Desember 2019, Kemenlu RI melancarkan protes ke China. Tapi, hari berikutnya, 31 Desember 2019, kapal-kapal China masuk lagi ke perairan utara Natuna. Kemenlu kemudian memanggil Dubes China di Jakarta. Protes keras disampaikan. Wartawan Senior Asyari Usman mencatat, modus ekspansi laut China sangat jelas. Mereka kirim dulu kapal-kapal nelayan ke perairan Natuna. Kapal perang melakukan pengawalan. Ini membuat Bakamla akan berhati-hati bertindak tegas. Sebab, di belakang kapal-kapal nelayan itu ada kapal perang China yang stand-by. Bakamla tentu bisa meminta bantuan ALRI. Tapi, kekuatan AL China pastilah jauh lebih besar dan lebih tangguh. Dan, kalau sampai kapal perang Indonesia terpancing menggunakan kekerasan, itu akan dijadikan alasan oleh China untuk mengerahkan armada AL mereka lebih banyak lagi ke perairan ZEE Indonesia. Di sini perlu ketegasan Preside Joko Widodo atas klaim China di laut Natuna itu, seperti yang pernah diucapkannya saat Debat Pilpres 2014, “Kita bikin rame!” Inilah saatnya Menhan bisa terapkan Konsep Hankamrata! Saya yakin, rakyat Indonesia tidak akan pernah takut jika harus berkonflik (baca: perang) dengan negara asing! Penulis adalah wartawan senior

Matinya Keadilan Sosial, Catatan Awal Tahun

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Keluhan Said Aqil Siradj (SAS) beberapa hari lalu tentang matinya keadilan sosial, disampaikan beliau pada acara haul leluhurnya di Cerebon, dihadapan puluhan ribu massa kaum Nahdatul Ulama (NU). SAS memperkuat keluhan yang sama yang beberapa tahun belakangan ini disampaikan Habib Rizieq Sihab. Keduanya mewakili mayoritas ummat Islam di Indonesia, yang artinya juga mewakili mayoritas rakyat Indonesia. Dalam pidatonya tersebut, SAS menyampaikan bahwa oligarki (kapitalis) mengambil hampir semua kesempatan ekonomi di tanah air. Mereka oligarki kapitalis tidak menyisakan rakyat kebanyakan, kecuali sebagai penonton dan "kuda tunggangan" dalam peraihan kekuasaan. Habibi Rizieq, berbeda dengan SAS. Habib Rizieq langsung mengarahkan istilah oligarki pemilik modal ini dengan sebutan “Sembilan Naga”. Atau menurut Christian Chua, sebagai China kapitalis. Karena faktanya oligarki modal di Indonesia tidaklah berbeda dengan Cina kapitalis tersebut. Apa yang disampaikan SAS ini telah diteliti Professor Amy Chua, Yale University, dalam "World on Fire", 2003, yang menyebutkan demokratisasi dan free market ekonomi yang masuk ke negara-negara seperti Indonesia. Dimana etnik minoritis menguasai ekonomi, membuat jurang ketimpangan semakin dalam. Chua meneliti puluhan negara, di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Christian Chua, dalam "Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital", 2006. Sebuah disertasi, bukan hanya sejalan dengan temuan Amy Chua. Bahkan saat ini China kapitalis, bukan saja menguasai ekonomi, namun paska reformasi mereka telah menguasai negara. Christian Chua menggambarkan transisi Cina kapitalis dari masa "Bureaucratic capitalism" di era orde baru. Lalu masa "Oligarchic Capitalism" sekitar tahun 80-an sampai 1998, dan masa selanjutnya "Plutocratic Capitalism". Dimana kekuatan Cina kapitalis yang awalnya berlindung pada politico-bureaucrat, akhirnya saat ini memiliki kekuatan lebih unggul. Dalam demokrasi, awalnya para kapitalis shock karena harus terlalu banyak menawarkan konsesi kepada pusat kekuasaan yang menyebar. Namun, sejalan dengan demokrasi yang bersandar pada politik uang, maka sandaran politik kekuasaan kembali kepangkuan para kapitalis. Plutocrary artinya "the rule of wealth". Dalam politik, "plutocratic capitalism" maksudnya negara yang dikendalikan orang-orang kaya. Kadangkala istilah lain yang mirip adalah "Corporatocracy", untuk menunjukkan korporasi besar yang nengendalikan negara. Bukan individual-individual pengusaha. Kecepatan dan percepatan akumulasi asset para kapitalis ini, diteliti oleh Jeffrey Winter (2013) dan Arif Budimanta ( 2017). Menurut Budimanta, pada tahun 2016, Material Power Index (MPI) dari 40 orang terkaya di sini mencapai 548.000. Sedangkan di Singapore 46.000 dan Malaysia 152.000. MPI ini ukuran kekayaan para kapitalis dibandingkan rata-rata pendapatan penduduk (GDP perkapita). Menurut Jeffrey kesenjangan kekayaan kaum oligarki ini dengan rata-rata rakyat, di Indonesia, merupakan yang terburuk di dunia. Sebagai catatan tambahan, Oxfam, sebauh NGO Inggris, merilis riset 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin (2017). Pada tahun 2019, LPS mencatat 0,2% pemilik rekening di bank, menguasai 63,8% total simpanan bank. Professor Amy Chua berbeda dengan Christian Chua dalam melihat persoalan ketimpangan di Indonesia ini. Amy Chua melihat unsur etnisitas dalam pendekatannya, sebaliknya Christian Chua melihatnya dalam pendekatan struktural. Pendekatan Christian yang struktural lebih melihat peranan modal dalam hirarki kekuasaan. Bagi Christian Chua, dalam sistem Kapitalisme, siapa yang mengontrol modal maka dialah yang mengendalikan negara tersebut. Dan negara adalah alat para kapitalis untuk menggandakan keinginan mereka. Mengendalikan bisa langsung maupun bisa dengan menunjuk "manajer" untuk mengelola negara itu untuk sesuatu yang sudah diatur kaum kapitalis. SBY dan Arab Springs Pada pidato akhir tahunnya, mantan Presiden SBY, mengingatkan Jokowi untuk berhati2 akibat situasi ekonomi memburuk. SBY mencatat bahwa jumlah pengangguran dan setengah pengangguran, atau bekerja "part time" berada pada kisaran 36, 5 juta jiwa. Angka ini sangat besar. Sementara kemampuan pemerintah menurunkan jumlah pengangguran hanya 1% dalam 5 tahun. "Arab Springs" atau gejolak sosial (social unrest) seperti yang terjadi di negara2 Arab, beberapa tahun lalu, dipicu oleh kenaikan harga2 ketika pengangguran tinggi. Saat ini pemerintah menaikkan iuran BPJS dan segera menaikkan tarif listrik dll. Dan menurut SBY ini bisa memicu gejolak sosial tersebut. SBY, menurut data pertumbuhan di halaman World Bank. org, adalah satu-satunya presiden Indonesia yang spektakuler menaikkan GDP di atas 200 billon dollar pada tahun 2010. Rata-rata kenaikan tertinggi, misalnya saat ini, hanya sebesar 70 billion dollar saja setahun. World Bank sendiri mencatat SBY sendiri telah berhasil menurunkan jumlah populasi berpendapatan rendah (per capita expenditure per day < or = $ 2) dari 62,2% (2003) menjadi 43,3 (2010). Sedangkan "middle income" ($2-$10) jumlahnya naik dari 37,7% (2003) menjadi 56 5% (2010). Dengan reputasi di atas, tentu saja SBY dan kritikannya menjadi penting bagi kita melihat bahaya yang mengancam selama ini dan tahun depan. Sebuah gejolak sosial tentu selalu merupakan resultante gejolak politik dan ekonomi. Gejolak politik umumnya bukan terletak pada ukuran kestabilan elit, melainkan pada frustasi sosial yang parah. Frustasi sosial ini bersumber pada kebencian massa rakyat pada sebuah rezim (seperti kasus awal Arab Springs di Tunisia). Sedangkan gejolak ekonomi terjadi manakala pertumbuhan ekonomi memburuk dan kehidupan ekonomi semakin sulit. Apakah SBY melihat ini begitu dekat? Korupsi dan Hedonisme Skandal korupsi Jiwasraya yang diduga merugikan perusahaan negara puluhan triliun rupiah menjadi simbol kebusukan elit kekuasaan saat ini. Pada saat reformasi di mulai 20-an tahun lalu, pemerintahan bersih dan "peti mati" merupakan simbol penting yang utama. Saat ini, korupsi kelihatannya menjadi fenomena biasa dari orang-orang yang berkuasa. Korupsi Jiwasraya ini mengapa menjadi penting dibincangkan? Karena unsur kesengajaan dalam merugikan perusahaan negara tersebut nampak nyata. Menariknya lagi, pembobol Jiwasraya ini, salah satunya, mempunyai kedudukan penting sebagai bagian dari organ di kantor Kepala Staf Presiden Republik Indonesia. Pada saat ini rakyat tidak terlalu percaya lagi dengan agenda pemberantasan korupsi. Khususnya setelah presiden dianggap ikut melumpuhkan KPK, di mana DPR yang didominasi rezim, melakukan perubahan UU KPK. Sementara di waktu lainnya, presiden memberi Grasi pada terhukum koruptor, eks Gubernur Riau, beberapa waktu lalu. Perkembangan pesat korupsi saat ini diikuti dengan berkembangnya prilaku hedonis dikalangan elit kekuasaan. Skandal direksi Garuda dalam dimensi barang luxurious, seperti Harley Davidson dan Brompton dan dimensi sex, merupakan bentuk hedonis kaum elit kita. Tentu saja lomba pamer elit ini terjadi dibanyak elit lembaga negara, meski presidennya pada kampanye selalu dikatagorikan merakyat. Kecenderungan perilaku korupsi dan hedon kelihatannya berbanding lurus dengan penguasaan negara oleh kalangan orang-rang kaya. Lembaga DPR-RI yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kekayaan ratusan miliyar, menteri-menteri yang super kaya, dan lain-lain, menjadikan suasana "gemerlapan" di elit lebih mewakili kemiripan dengan elit-elit Francis dahulu ketika dikendalikan raja dan para Baron. Tantangan ke Depan Suara Said Aqil Sirodj dan Habib Rizieq Sihab, apalagi ditambah suara SBY sudah menunjukkan buruknya situasi kita saat ini. Situasi itu meliputi, apa tujuan bernegarakita? Dan apakah ada jalan baik di depan? Tujuan bernegara adalah menghadirkan Keadilan Sosial kepada seluruh rakyat, apakah mau di NKRI harga mati maupun di NKRI harga "bargain". Negara dalam bingkai kapitalisme, seperti pidato Ketum Nasdem, Surya Paloh, beberapa bulan lalu di Universitas Indonesia? Jika kapitalisme mendominasi tata kelola bernegara dan sistem ekonomi, maka pasti akan membuat yang kaya semakin kaya. Yang miskin juga semakin terpinggirkan. Negara tidak mempunyai makna sama sekali apabila grafik pemerataan tidak membaik dari waktu ke waktu. Apabila SBY, misalnya, pernah menunjukkan perubahan signifikan dari grafik pemerataan, perlu diteliti lebih lanjut, sejauh apa "cost" yang dibayarkan untuk itu? Jika "cost" nya terlalu besar, maka kita harus mencari alternatif berbelok dari jalan kapitalisme yang kita lalui. Untuk mengganti jalan kapitalisme ini, baik ala barat maupun pro Beijing, maka diperlukan jalan revolusioner. Karena kita harus menghancurkan struktur yang dikuasai oligarki saat ini. Christina Chua mengatakan "a removal of this oligarchy from power would require a new system, which, however, can only be realised if the general hierarchies of power turned upside down, as it only happens through revolutions". Perubahan ketimpangan ekonomi di barat, dalam Thomas Pikkety on Capital, yang ditelitinya sepanjang 1810-2010, salam 200 tahun, ada benturan ideologi dan perang dunia di eropa, yang mampu menggeser ketimpangan dari Gini Rasio 0,7 menjadi sekitar Gini Rasio 0,3 selama 200 tahun itu. Dimana ada jalan damai dalam menciptakan keadilan sosial (Shared Prosperity)? Untuk urusan ini, maka Said Aqil dan Habib Rizieq harus memulai membicarakan serius langkah-langkah strategis pada isu-isu keadila sosial tersebut. Tentu juga semua tokoh-tokoh nasionalis. Penutup Akhir tahun 2019 kita tandai dengan duka. Pernyataan ketua umum NU tentang oligarki menguasai Indonesia, adalah situasi memalukan dari bangsa yang lahir melalui revolusi sosial. Faktanya, saat ini, cukong-cukong bukan lagi bekerja diam, secara politik, seperti di masa orde baru. Sekarang mereka tampil memimpin negara. Itu adalah keniscayaan demokrasi. Problemnya adalah kekuatan elit rakyat seperti elit NU, yang dipimpin Said Aqil, kurang mendapat kepercayaan, apakah mereka akan benar-benar melakukan perhitungan ulang dalam membenahi arah bangsa ke depan, ataukah hanya sekedar memanas-manasi situasi sosial, yang bertujuan jangka pendek. Meskipun motif Said Aqil bisa kita kesampingkan, namun persoalan yang mempunyai fakta, seperti ketimpangan sosial dan kekuasaan oligarki, Cina kapitalis, harus ditata dalam sistem ketatanegaraan yang menjamin keadilan sosial ke depan. Misalnya, ketika Said Aqil menyinggung adanya kapitalis yang memiliki 5 juta hektar tanah di Indonesia. Lalu bagaimana cara untuk membatasinya? Namun, sekali lagi, tentu saja rakyat harus terus bergerak mencari solusi, agar keadilan sosial menemukan jalannya di Indonesia. #Selamattahunbaru2020 Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle

Menanti Pansus Angket Jiwasraya

By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Agar tidak terus-menerus menjadi tukang “cap setuju”. Tidak menjadi sub-ordinat eksekutif, tetapi juga tidak untuk membelah, memacetkan pemerintahan, melainkan demi akuntabilitas kebijakan dalam berpemerintahan, MPR melangkah maju ditahun 2001. MPR mengubah UUD 1945 yang sangat sakral dan keramat di masa Orde Baru. Dalam UUD 1945 yang dirubah tersebut, MPR membekali DPR “benteng paling hebat.” Benteng itu tertuang dalam pasal 20A UUD 1945. Benteng itu dipertalikan rasionya dengan konteks perlakuan terhadap anggota DPR di masa Orde Baru. Itu betul. Meskipun demikian, rasio kehadiran benteng itu juga dipertalikan dengan pradigma presidensialisasi. Paradigma itu bekerja melalui penghapusan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Penghapusan GBHN mengakibatkan presiden, siapapun orangnya, tersematkan secara konstitusional sebagai aktor tunggal, bebas dalam mendefenisikan kebijakan pembangunan. Isu Konstitusional Pada masa-masa tanpa “benteng yang hebat” itu, DPR mempunyai keunikan. DPR orde baru dapat memunculkan sejumlah orang berkelas. Orang-orang seperti Ibu Aisyah Amini, Pak Zarkasih Noor, Dja’far Sidiq dan Babe Ridwan Saidi dari Fraksi PPP. Dari ABRI ada Ibu Brigjen Polisi Roekmini, dan Pak Brigjen TNI Syamsudin. Dari Fraksi Golkar ada Pak Marzuki Darusman, Pak Sarwono Kususatmadja, Pak Rahmat Witular dan Pak Tadjudin Noor Said, dan Pak Syamsul Muarif. Sedangkan dari Fraksi PDI ada Pak Aberson Marle Sihalolo, Pak Dokter Sukowaluyo dan Ibu Fatimah Ahmad. Mereka adalah sedikit di antara beberapa yang hebat. Orang-orang ini dikenal kritis terhadap serangkaian kebijakan pemerintahan Pak Harto. Pak Harto boleh saja hebat. Namun pada level tertentu, beberapa anggota DPR pada masanya, berhasil menempatkan pemikiran dan tindakan politik yang memusingkan Pak Harto. Pidato Pak Harto di Pekanbaru Riau, tentang Amandemen UUD 1945 misalnya memicu kritik keras anggota DPR dari PPP. Pak Harto, apapun sebutan orang untuk pemerintahannya, keluar menanggapinya. Beliau mengirimkan seorang menterinya untuk secara resmi menjelaskan kandungan tujuan pidatonya itu kepada DPR. Gagal meyakinkan pada pertemuan pertama, Pak Harto kembali mengirimkan menteri lain, dengan level yang lebih energik dan terampil dalam semua aspek. Harus diakui masa itu bukan masa tentang penggunaan hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Interpelasi dan angket, dua hak konstitusional itu baru digunakan pada masa pemerintahan Pak SBY. Penggunaan Hak Angket yang paling mengerikan itu terjadi tahun 2009, pada awal masa pemerintahan Pak SBY periode kedua. Kasus Bank Century menjadi objek angket itu. Walaupun tanpa dilanjutkan ke hak untuk menyatakan pendapat. Tetapi itu saja sudah sangat hebat. Hebat sekali ketika itu. Terlihat disepanjang sidang angket itu, hal-ihwal tentang rendahnya mutu akuntabilitas kebijakan menangani pengelolaan bank diselidiki dan dubuka untuk bisa diketahui oleh publik. Cukup membuat terang sejauh penggunaan angket century itu. Terutama yang berkaitan dengan jumlah uang yang dicurigai rendah derajat akuntabilitasnya. Jumlahnya hanya sampai Rp 7,4 triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil dari Rp 13,7 triliun dalam kasus Jiwasraya. Betul kasus ini telah diselidiki oleh Kejaksaan Agung. Relatif hampir sama dengan kasus Century. Sebelum diangketkan oleh DPR, kasus Century telah diselidiki oleh Polri. Tetapi Century tetap saja diangketkan. Untuk kasus yang lain, seperti penjualan kapal super jumbo milik Pertamina Very Large Crude Carrier (VLCC), DPR terlihat membentuk “Pansus Angket VLCC “ pada tahun 2007. Ketua Pansusnya adalah Prof Dr. Hayus Lumbun, yang belakangan pensiun sebagai Hakim Agung. Padahal ujungnya Mahkamah Agung menyatakan, tidak ada kerugian negara dari penjualan kapal super jumbo VLCC. Begitu juga dengan kasus PT Pelindo Dua. Ketika itu DPR dengan mudah berhasil membentuk “Pansus Angket Pelindo Dua”. Pada tanggal 5 Oktober 2015, DPR berhasil membentuk “Pansus Angket Pelindo Dua”. Yang menjadi Ketua “Pansus Angket Pelido Dua” ketika adalah Ibu Rieke Diah Pitaloka. Meskipun kemudian, ujungnya tidak berbeda jauh dengan Century. Apakah Jiwasraya memenuhi kualifikasi isu konstitusional untuk diangketkan? Politisi akan datang dengan argument, antara satu dengan yang lainnya saling menyanggah. Termasuk berbeda dalam merespon pernyataan Presiden Jokowi tentang durasi waktu masalah yang dilintasi oleh Jiwasraya. Tetapi justru karena telah lama terjadi itulah, masuk akal didalami lebih jauh. Apa masalah dasarnya? Apakah masalahnya baru diketahui setelah peristiwa gagal bayar atau apapun istilahnya dengan jumlah sebesar Rp 13,7 triliun lebih naik ke Kejaksaan Agung? Bila telah diketahui jauh sebelumnya, masalahnya apa tindakan pemerintah? Masuk akalhkah masalah itu dibiarkan saja sebagai masalah teknis bisnis? Pantaskah secara konstitusional masalah ini dikualifikasi sebagai masalah rutin saja dalam bisnis? Apakah negara berbisnis? Bisnis ya bisa rugi, bisa juga untung. Itu alamiah. Tapi dalam konteks kasus Jiwasraya ini masalahnya tidak sederhana. Mengapa? Dari sejarahnya, secara universal bisnis ini muncul dalam kerangka pemikiran konstitusional. Kerangka dasarnya adalah memberi kepastian keamanan sosial ekonomi kepada rakyat. Disitulah letak esensi konstitusional lembaga ini. Pada titik itu, masalah ini tidak cukup diterima sebagai masalah rutin bisnis semata. Ini sudah masuk masalah konstitusional. Masalah ini terhubung. Sekali lagi terhub ung, dengan keharusan negara memberi jaminan keamanan, perlindungan atas kehidupan rakyat. Perlindungan kepada rakyat secara konstitusional merupakan kewajiban absolut negara. Itu sebabnya Franklin Delano Rosevelt, presiden Amerika pada era resesi besar ekonomi pada tahun 1930-an meluncurkan kebijakan sejenis sebagai bagian esensial Social Savety net Policy. Ya untuk memberikan jaminan perlindungan, keamanan sosial dan ekonomi kepada rakyat. Atas dasar itulah, isu Jiwasraya cukup memadai untuk dikerangkakan sebagai isu konstitusional, bukan bisnis semata. Bukan Cabang Khusus Presiden DPR secara parsial memang telah memberi tanda-tanda kecil hendak menangani masalah ini melalui dua Komisi. Mungkin dibentuk Panitia Kerja (Panja), gabungan dua Komisi. Komisi VI dan XI. Mengapa hanya Panja gabungan komisi? Mengapa tidak langsung ke angket? Angket memungkinkan semua anggota DPR terlibat, memungkinkan semua anggota dari semua Komisi terlibat. Ini tidak mungkin terjadi di Panja biasa. Disisi lain angket dibekali kewenangan subpoena. Tindakan paksa dengan konsekuensi hukum. Pansus saja tidak bisa. Tetapi memang Panja biasa lebih mudah memprosesnya. Panja biasa tidak dikerangkakan pada syarat rigid, dan relatif berat. Angket justru dikerangkakan padanya. Syarat inisiator, quorum rapat dan quorum pengambilan keputusan harus dilalui. Tidak itu saja inisiator harus menyiapkan argumen terulis. Dokumen itu harus ditandatangani minimum 25 orang. Praktis Panja biasa lebih mudah. Karena biasa saja. Berbeda secara radikal dengan Angket. Bila disetujui, maka dibentuk Pansus Angket. Namanya juga Pansus Angket. Masalahnya siapa yang mau namanya tercatat sebagai inisiator? Itu lagi soal yang besar. Sangat besar. Politisi picisan akan menandai mereka pemanggil badai, pembuat onar kecil. Itu sebabnya butuh nyali. Nyali ditentukan sejumlah faktor. Siapa yang mau mengambil risiko berat itu? Haruskah muncul tangan kuat sebagai penyokong tak terlihat? Mungkin juga tidak. Tetapi siapa yang bernyali bila politisi picisan melebel mereka sebagai pencipta politik pembelahan pemerintahan. Padahal sejarah century memperlihatkan dengan jelas tidak berakhir dengan datangnya politik dua aliran secara radikal. Negara setelah angket itu tidak jatuh ke dalam politik dua aliran. Sebut saja aliran pemerintah dan aliran non pemerintah, atau nama lain yang sama maknanya. Memang pemerintahan terbelah dalam dua aliran politik, pernah ditakutkan George Washington, John Adams dan Thomas Jefferson pada masanya. Tetapi sekali lagi ini tidak terjadi pasca angket Century. Ketakutan yang sama yang menyertai akhir pilpres 2014, nyatanya melayang juga. Polarisasi itu sangat artifisial, tidak idiologis. Polarisasi yang mirip memang terlihat saat ini. Hanya PKS, PAN dan Demokrat di luar blok pemerintah. Ini memang masalah bila dibawa ke dalam syarat angket. Penyatuan mereka tidak bakal menembus angka ½ anggota DPR untuk bisa meresmikan angket. Tetapi masalah konstitusionalnya adalah Parpol ada atau tidak dalam pemerintahan, anggota DPR ya anggota DPR. Semangat dasarnya harus semangat penyelenggara kekuasaan DPR. Semangat ini, disertai catatan kecil diperlihatkan Demokrat pada masa lalu. Mereka pastikan bahwa kendati Ketua Umumnya menjadi Presiden, mereka mungkinkan DPR bekerja menyelidiki kebijakan pemerintah. DPR, mereka pastikan tak menjadi organ khusus, subordinat pemerintah. Mereka juga tak mau mereduksi secara radikal DPR, dengan argumen politik partisan. Mereka terlihat tahu kelas mutu politik partisan itu. Mutunya sangat rendah dalam sejarah politik. Anggota DPR, demi bangsa harus bertemu pada satu titik. Titik ini bernama kepentingan konstitusional bangsa. Jenis kepentinganya bisa berupa revitalisasi akuntabilitas politik sebuah kebijakan, rule of law dan proteksi terhadap kelangsungan hidup rakyat. Harus diingatkan akuntabilitas selalu menjadi esensi, energy utama tata kelola negara. Itu absolute, dan harus diterima sebagai isu yang mengintegrasikan. Bukan sebaliknya terus terbelah, terus terpola pada arus asal jadi pro dan penantang asal-asalan pemerintah. Akan hebat bila DPR tenggelam dalam kesadaran ini. Mari menantikan pekerjaan kecil ini. Keberhasilan pekerjaan kecil ini akan menaikan derajat akuntabilitas penyelengaraan pemerintahan. Akuntabilitas itulah, yang pada level tertentu sedang dirindukan kiyai Agil Siroj, pimpinan utama NU. Belakangan ini Kiyai Agil mengungkap ketidak-konsistinan Kemenkeu memenuhi MOU dengan mereka. Kiyai ini juga bicara tentang oligarki ditubuh politik bangsa. Apa esensinya? Amburadulnya politik partisan. Politik partisan menenggelamkan mutu kehidupan berbangsa dan bernegara. Ayolah DPR. Gulirkanlah angket. * Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Harry Prasetyo, dan Jejak Duo Tahir di Jiwasraya

Skandal Jiwasraya ini bisa menimbulkan krisis yang multi demensi. Bisa krisis kepercayaan terhadap produk-produk asuransi Indonesia. Bisa juga krisis politik dan krisis ekonomi. Padahal Indonesia hari ini sangat membutuhkan kepercayaan publik yang tinggi, baik publik di dalam negeri maupun luar negeri. By M. Rizal Fadillah Jakarta, FNN - Bagaimana mungkin Presiden Jokowi tidak pusing? Skandal yang multi dimensi kini menimpa bangsa Indonesia. Skandal itu ada di sektor keuangan, politik, maupun hukum. Bila salah dalam mengantisipasi dan menanganinya, maka Jokowi bisa jatuh dari kursi. Seriuskah ? Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) kasus yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya Rp 13,7 triliun ini terbilang besar dan berat untuk mengatasinya. Menkeu yang orangnya Amerika di Indonesia ini sedang bermain di kubangan Cina, yang pasti sangat faham betul dampak dan pengaruh globalnya. Setelah skandal kasus Jiwasraya terbuka, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang selama menjadi pengawas industry asuransi, keliatan mulai ikut-ikutan mencari solusi. Betapa serius, penting dan genting masalah ini. Padahal kegiatan operasional PT Asuransi Jiwasraya selama ini berada di bawah pengawasan OJK. Kalau sekarang OJK baru mulai mencari solusi penyelesaian menyelesaikan, maka publik patut bertanya, memang selama ini OJK berada ada dimana? Selama ini OJK ngumpet dan sembunyi di bagian mananya Indonedsia? Pengawasan seperti apa saja yang sudah dilakukan oleh OJK terhadap Jiwasraya? Mungkinkah OJK sudah mengetahui masalah sejak lama, namun pura-pura menutup mata? Atau OJK ikut serta dalam permainan yang membangkrutkan PT Asuransi Jiwasraya? Kasus Jiwasraya ini terpaksa menyeret Duta Besar (Dubes) Korea Selatan untuk Indonesia angkat bicara. Dubes Kim Chang Beom minta pihak Jiwasraya untuk membereskan 470 warga Koere Selatan menjadi korban gagal bayar polis Asuransi Jiwasraya. Semoga saja besok-besok tidak ada lagi Dubes negaralain yang angkat bicara, karena warga negaranya tersangkut masalah ini. Persoalan Jiwasraya ini bisa membuat industri asuransi Indonesia kehilangan kepercayaan di mata masyarakat interasional. Publik internasional bisa saja menolak produk-produk asuransi yang berasal dari Indonesia. Apalagi skandal Jiwasraya melibatkan perusahaan asuransi papan atas. Persoalan lain yang membuat kita malu adalah PT Asuransi Jiwasraya berstatus perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemegang saham mayoritas setiap perusahan BUMN adalah pemerintah Republik Indonesia, melalui Menteri Keuangan. Sedangkan pengelolaan dan pengawasan manejemen perusahaan BUMN dilakukan Kementerian Negara BUMN. Ini Urusan Saya Presiden Jokowi biasanya melepas tanggungjawab kepada para bawahannya. Jokowi biasanya mengatakan "ini bukan urusan saya". “Ini urusannya menteri itu atau menteri ini”. Namun sekarang Jokowi harus menerima konsekuensi skandal PT Asuransi Jiwasraya. Jokowi terpaksa harus mengatakan "ini urusan saya, atau ini menjadi tanggungjawab saya". Masalah PT Asuransi Jiwasraya sekarang sudah semakin rumit, melingkar dan babalieut. Sebab diduga kuat ada keterlibatan lingkaran dalam Istana Negara atau Istana Kepresidenan. Diketahuai ada jejak sidik jari dari Tenaga Ahli Utama Staf Khusus, Kantor Kepala Staf Presiden (KSP) Harry Prasetyo. Harry Prasetyo adalah Mantan Direktur Keuangan PT Asuransui Jiwasraya. Harry menjabat sebagaik Direktur keuangan selama dua periode. Dia adalah aktor utama dari film berjudul “Skandal PT Asuransi Jiwasraya dengan kerugian Rp 13,7 trliun”. Dai juga yang menjadi pelaku kunci atas perampokan duit PT Asurans Jiwasraya tersebut. Uang polis nasabah sebesar Rp 13,7 triliun digoreng Harry melalui saham-saham papan lapis bawah di Bursa Efek Indonesia. Saham yang dulunya ketika digoreng, masih dihargai di atas seribu rupiah setiap saham. Namun kini harga saham-saham tersebut tinggal lebih dari seratus rupiah per saham. Dato Tahir Mayapada Setelah publik ramai membicarakan skandal PT Asuransi Jwasraya, kini muncul tokoh baru yang ikut dibicarakan. Tokoh itu adalah Dato Seri Tahir Mayapada. Anggota Dewan Petimbangan (Wantimpres) ini diduga kuat terkait dengan penggorengan saham-saham lapis bawah yang dibeli PT Asuransi Jiwasraya. Tahir yang mendapat gelar Dato Seri dari Kesultanan di Malaysia ini adalah pemilik kalompok usaha Mayapada Grup. Dia dia duduga menampung saham kakak-beradik Benny Tjokrosaputro dan Teddy Tjokrosaputro yang diberli dari Jiwasraya. Benny adalah pemilik PT Hanson International (MYRX), Sedangkan Teddy pemilik PT Rimo Internasional Lestari (RIMO). Kedua pengusaha kakak-berdik keturunan ini mendapat gelontoran dana investasi puluhan triliun rupiah dari Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Harry Prasetyo. Polanya, PT Asuransi Jiwasraya membeli surat hutang jangka menengah dari PT Hanson Internasional dan PT Rimo Internasional Lestari. Setelah skandal ini terbongkar, belakangan tersiar kabar kalau kakak-beradik Benny Tjokrosaputro dan Teddy Tjokrosaputro dalam tahap pencekalan oleh penyidik dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus). Jika pencekalan tidak segera dilakukan penyidik, dikhawatirkan mereka berdua akan melarikan diri dari proses penyidikan. Mereka berdua bisa setiap saat kabur duluan ke luar negeri sebelum pencekalan dikeluarkan ke penyidik Pidsus Gedung Bundar. Bisa mengikuti jejak kaburnya Harry Prasetyo yang sudah duluan melarikan diri ke luar negeri. Walaupun demikian, ada juga yang menduga Harry Prasetyo sengaja disuruh kabur. Bila kakak-beradik Brnny danb Teddy ikut kabur, maka dipasstikan akan sangat mengganggu kelancaran proses penyidikan di kejaksaan. Mereka di Sekitaran Istana Selian keterlibatan Harry Prasetyo dan Dato Seri Tahir Mayapada, muncul nama baru yang diduga juga punya kaitan dengan skandal PT Asuransi Jiwasraya, yaitu Erick Thohir. Sekarang Arick Tohir sudah menjabat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN). Diduga ada uang Jiwasraya yang dipakai untuk membeli saham perusahaan Erick Thohir, PT Mahaka Media Tbk. Untuk sementara, dugaan keterlibatan Harry Prasetyo, Dato Seri Tahir Mayapada dan Erick Thohir membuat positioning istana semakin terjepit. Istana tampaknya bakal kesulitan menjawab tudingan publik tentang keterlibatan tiga orang penting di sekitaran Jokowi tersebut. Wajar-wajar saja kalau ada dugaan publik bahwa jebolnya dana masyarakat dalam bentuk polis asuransi di PT Asuransi Jiwasraya ada kaitan erat dengan dana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Apalagi posisi Erick Thohir pada Pilpres 2019 adalah Ketua Tim Pemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Untuk menyelesaikan skandal Jiwasraya ini, rencannya pemerintah melalui Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan akan membentuk holding BUMN Asuransi. Namun keraguan atas opsi ini cukup tinggi di publik. Keraguan itu terutama karena tingkat kesehatan BUMN Asuransi sekarang di bawah rata-rata perusahaan asuransi. Yang paling sehat hanya perusahaan asuransi swasta. Jika pemerintah salah menyiapkan treatment terhadap skandal PT Asuransi Jiwasraya, bisa jadi bukan menyesaikan masalah yang sudah ada. Sebaliknya, malah memproduksi masalah. Jadinya, masalah utama tidak selesai, tetapi malah menambah masalah baru. Mengingat ceritra masih panjang, maka Erick Thohir, Sri Mulyani, dan tentu saja Jokowi seperti sedang berputar putar di "tong setan" (wall of death). Jika tidak pandai memicu dan mengendalikan kendaraan dengan baik, maka dipastikan akan jatuh dan tergelicir. Skandal Jiwasraya ini bisa menimbulkan krisis yang multi demensi. Bisa krisis kepercayaan terhadap produk-produk asuransi Indonesia. Bisa juga krisis politik dan krisis ekonomi. Padahal Indonesia hari ini sangat membutuhkan kepercayaan publik yang tinggi, baik publik di dalam negeri maupun luar negeri. Kini memang masih oleng oleng saja. Selamat berjibaku Mr. President. Jabatan Presiden rasanya tidak termasuk yang diasuransikan. Karenanya risiko harus ditanggung sendiri. Presiden harus buktikan bahwa tidak ada korupsi kolusi dan nepotisme dalam skandal PT Asuransi Jiwasraya. Rakyat hanya bisa jengkel sambil menyaksikan duit negara dirampok lagi. Apakah ini negara perampok? Penulis adalah Pemerhati Politik

Jokowi Pantas Lengser

Rakyat sedang takut, dan khawatir dengan menguatnya dominasi Cina Tiongkok di negeri ini. Sebab dominasi Cina Tiongkok itu terlihat dan nyata pada hampir semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Baik itu bidang investasi, hutang luar negeri maupun peran Cina diaspora yang sekarang menguasai dua pertiga sektor ekonomi nasional. By M. Rizal Fadillah Jakarta, FNN - Ini cuma soal kepantasan saja. Bukan soal desakan, apalagi sampai pemaksaan segala. Lima tahun memimpin tanpa membawa kebanggaan sebagai bangsa yang dihormati atau disegani tingkat antar negara. Rakyat tidak merasakan prestasi yang meskipun sekedar wajar-wajar saja. Tidak perlu ada pestasi yang sangat menonjol atau spektakuler. Datar-datar saja pun tidak. Kini Jokowi menjadi Presiden lagi hanya berbekal tudingan kemenangan yang kontroversial. Banyak yang meragukan akurasi data dan angka-angka kemenangan tersebut. Meski dibantu dengan penampilan wibawa dan bertoga dari hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Jokowi juga sering tidak hadir di forum-forum internasional. Kenyataan ini menandai kurangnya punya rasa percaya diri dalam pergaulan global. Bisa saja akibat dari sulitnya kemampuan berbahasa asing. Begitu pula dengan pemahaman dan nerasi masalah-masalah internasional yang juga terbatas. Tampilan dan gaya juga minim. Artinya, kurang punya wibawa di forum-forum internasional. Memang sering tampil di depan rakyat pedesaan. Tetapi orang sangat paham dan mengetahui kalau tampilan tersebut hanya artifisial belaka. Akibatnya, blunder yang selalu bermunculan. Contoh paling terakhir adalah Presiden Jokowi dibonceng motor tanpa pakai helm. Namun begitu ngobrol dengan para petani, malah keliatan pakai helm. Kenyataan yang seperti ini sering menjadi bahan olok-olokan di media, terutama di media sosial. Rakyat melihat bahwa "kekuatan" dirinya hanyalah pencitraan semata. Tidak otentik apa adanya. Tragisnya, pencitraan itu artinya penipuan. Menganggap "pemirsa" televise itu adalah orang-orang yang gampang untuk diakali hanya dengan sorotan dari para juru kamera. Pejabat Amatiran Program kerakyatan yang disuguhkan ke masyarakat amburadul di lapangan. BPJS kesehatan yang sok meng"cover" semua kebutuhan kesehatan masyarakat melalui asuransi, nyatanya menjadi pengemplang hutang ke unit usaha kesehatan sendiri. Rumah sakit malah dibuat sekarat. Jualan kartu rupanya tidak laku dan tak jelas realisasinya. Kartu Indonesia Pintar hanya membuat orang pintar mainkan kartu. Kartu Pra Kerja hanya bikin orang terampil bekerja membuat kartu. Sedangkan Kartu Sembako Murah hanya menjadikan rakyat mampu beli kartu yang murah. Sementara hasilnya seperti pintar, kerja, dan sembakonya menguap ke awang awang. Lagi-lagi janji yang tak terealisasi. Wajar saja kalau Presiden diragukan kemampuannya untuk mengelola amanah dari rakyat. Jabatan dibagi bagi untuk tim lingkaran dalam. Mulai dari jabatan Menteri hingga Komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akibatnya, jabatan diisi secara asal dan amatiran. Menteri Pendidikan tidak berlatarbelakang pendidikan atau budaya. Menteri Agama yang gemar menyerang agama. Menteri Perdagangan tidak mahir berdagang. Menteri Kesehatan punya kasus tak sehat. Menteri Kelautan dan Perikanan jualan benih lobster. Menteri Keuangan punya keahlian berburu hutang. Hutang luar negeri negara kita kini lebih dari lima ribu lima ratus triliun rupiah. BUMN Memprihatinkan BUMN hingga kini masih terus merugi . Beban hutang BUMN sangat berat, baik untuk pembayaran hutang jangka pendek maupun jangka panjang. Jadi, BUMN jangankan untuk bisa untung. Untuk bisa membayar hutang sendiri saja sudah sangat bagus. Sebab kalau tidak bisa membayar hutang saat jatuh tempo, maka dihatirkan bakal ditombokin oleh rakyat melalui APBN. Sekarang PT Asuransi Jiwasraya terlibat skandal. Untuk sementara skandal Jiwasraya diperkirakan sebesar Rp 15 triliun. Angka yang sangat pantastis untuk ukuran kekinian. Angka paling besar yang menghebokan adalah skandal Bank Century Rp 7,4 triliun, atau skandal e-KTP Rp 2,3 triliun. Lantas bagaimana dengan BUMN yang lain? Sampai sekarang nasib BUMN lain belum terbukti bersih dari skandal saja. Namun bisik bisik di ruang publik, konon BUMN lain hanya belum sampai atau belum ditemukan saja. Namun kemungkinan nasibnya tidak bakalan berbada jauh dengan yang terjadi sekarang pada PT Asuransi Jiwasraya itu. Cukup menjadi gambaran bahwa pengelolaan BUMN selama lima tahun terakhir ini sangat memprihatinkan. Alih-alih konsentrasi pada sukses program kerakyatan dan pemulihan ekonomi nasional melalui BUMN. Presiden Jokowi malah sibuk dengan mainan proyek barunya. Proyek yang muncul dari nafsunya sendiri, yaitu rencana pemindahan ibukota negara ke luar dari Jakarta. Artinya, siap-siap bakalan bikin hutang baru lagi. Jumlahnya juga tiddak kecil. Sekitar Rp 466 triliun. Rakyat sedang takut, dan khawatir dengan menguatnya dominasi Cina Tiongkok di negeri ini. Sebab dominasi Cina Tiongkok itu terlihat dan nyata pada hampir semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Baik itu bidang investasi, hutang luar negeri maupun peran Cina diaspora yang sekarang menguasai dua pertiga sektor ekonomi nasional. Lahan dan sumber daya alam juga semakin tergerus dan sempit bagi kaum pribumi. Akan tetapi pemerintahan Jokowi nampaknya semakin nyaman saja berpelukan erat dengan negara Cina komonis. Kegelisahan dan keresahan rakyat sepertinya tak mau didengar. Tidak juga mau diperhatikan atau dipedulikan. Tidak ada kebijakan yang protektif, terutama di bidang ekonomi atau agraria. Masa depan negara Indonesia suram dipimpin Presiden Jokowi. Karenanya memang pantasnya Jokowi lengser agar ada pemimpin baru yang lebih baik untuk membawa kebahagiaan bagi masyarakat, umat, bangsa, dan negara. Moga saja ada hidayah dan inayah dari Allah. Aamiin. Penulis adalah Pemerhati Politik

Perpres No. 66 Tahun 2019 Gagal Perkuat Organisasi TNI

Fakta sekarang yang dapat kita liat adalah sarana dan prasarana perkantoran maupun alutsista untuk tiga Kogabwilhan ini, terbilang masih zero growth. Meja dan kantor saja masih numpang sana-sini. Namun para petingginya yang menjabat sudah dibuatkan Surat Keputusan (Skep). Sudah ada jabatan Pangkogabwilhan, Kaskogabwilhan , Asrenakogabwilhan juga sudah ada. By Surya Fermana Jakarta, FNN - Isi paling penting dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2019 adalah diadakknya kembali jabatan Wakil Panglima TNI. Selain itu, Pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Wakil Panglima TNI dalam Paragraf 2 Pasal 15 dijabarkan sebagai kordinator pembinaan interoperabilitas Tri Matra Terpadu. Kelihatannyta Wakil Pamglima TNI diadakan sebagai kordinator dari Kogabwilhan. Kogabwilhan adalah bagian dari Komando Utama (Kotama) TNI. Aturan mengenai tugas ini diatur dalam Paragraf 1 pasal 13. Dijelaskan bahwa Kotama terdiri dari Kogabwilhan, Kostrad, Armabar, Kohanudnas, Hidro dan Oseonografi, Kodam, Koppasus, Komando Lintas Laut Militer, Korp Marinir . Semua kotama pembinaannya berada di bawah masing-masing matra, Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sedangkan Kogabwilhan berada di bawah langsung Markas Besar TNI. Kogabwilhan idealnya untuk mewujudkan orkestrasi operasi antar matra. Terutam dalam menghadapi kondisi perang dan non perang. Mencoba meniru konsep Deployment Amerika Serikat, di mana wilayah tidak ada komando seperti Komando Indo-pasifik. Namun konsep dari Amerika Serikat tersebut berada di luar wilayah teritorial Amerika Serikat. Sesuai dengan doktrin militer mereka yang ekspansif. Ingin menguasai dunia sebagai polisi dunia. Sedangkan konsep pertahanan Indonesia tidak ekspansif. Pertahanan Indonesia adalah pertahanan negara dan mewujudkan perdamaian dunia. Coba kita liat struktur organisasi TNI, khususnya Kotama sudah cukup banyak Komando-Komando. Semua panglimanya di setiap Komando. Kenyataan ini membuat Indonesia lebih hebat dari Amerika Serikat dalam mempertahankan teritori, karena mempunyai Komando Teritorial Angkatan Darat dengan perwujudan Komando Daerah militer hingga sampai ke tingkat desa. Secara filosofi, pertahanan Kogabwilhan sudah kurang tepat. Apabila alasannya adalah orkestra Tri Matra maka cukup dengan sering melakukan latihan operasi gabungan antar matra di wilayah yang sudah dibagi, yaitu Barat, Tengah dan Timur. Fakta sekarang yang dapat kita liat adalah sarana dan prasarana perkantoran maupun Alutsista untuk tiga Kogabwilhan, terbilang masih zero growth. Meja dan kantor saja masih numpang sana-sini. Namun para petingginya udah dibuatkan Surat Keputusan (Skep). Sudah ada jabatan seperti Pangkogabwilhan, Kaskosgabwilhan, Asrenakosgabwilhan juga sudah ada. Dimana saja para petinggi Kogabwilhan berkantor sekarang? Mungkinsebagian masih berkantor di Mabes TNI. Dalam hal operasi militer selain perang sudah ada BNPB, Basarnas dan Bakamla. TNI cukup menyediakan pasukan profesional. TNI lebih baik fokus pada pengadaan Alutsista sesuai Renstra II untuk mencapai minimum esential force (MEF). Masih banyak Alutsista yang belum diwujudkan seperti Pesawat Canggih, Radar Kontrol Darat, Rudal Pertahanan Udara dan Kapal Pertahanan Laut yang bisa mengkover seluruh wilayah territorial NKRI. Jangan sampai fokus pada konsep organisasi yang muluk-muluk tapi melenceng dari MEF. TNI perlu mewujudkan penguatan pada masing-masing matra. Bukan sebaliknya, membuat Komando Gabuangan diantara tiga matra yang ada. TNI Aangkatan Darat misalnya, perlu penguatan kembali teritorial dan pelebaran divisi Kostrad ada di setiap bagian wilayah. Sedangkan di TNI Angkatan laut, diperlukan penguatan Armada Laut yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Begitu dengan TNI Angkatan Udara. Diperlukan ketersediian alutsista dan prajurit profesional dalam mengkover seluruh wilayah pertahanan udara Indonesia. Kenapa saya rewel dan bawel mengenai penggemukan struktur organisasi TNI ini ? Karena anggaran rutin TNI sudah mencapai 60% hanya untuk biaya gajih dan tunjangan. Nah dengan Perpres No. 66 tahun 2019 ini, bakalan menambah porsi anggaran untuk gajih dan tunjangan lagi. Padahal anggaran yang ada, dan masih sangat terbtas ini, lebih baik dioptimalkan untuk pengadaan Alutsista dan peningkatan profesionalitas prajurit. Mengutip tulisan Edna Pattisiana di harian Kompas edisi tanggal 20 Desember 2019 terjadi surplus Kolenel dan Perwira Tinggi (Pati) yang tidak mempunyai jabatan (non job) di TNI mencapai sekitar 25% dari jabatan tersedia. Secara keseluruhan baru 75% susunan organisasi terpenuhi. Ada kekosongan personel dari Kopral sampai Letnan Kolonel, sehingga dalam operasi sering rangkap jabatan dan kelebihan pekerjaan karena personel tidak cukup. Itu juga menghambat perwira yang sekolah ke luar negeri guna meningkatkan kemampuan dan menambah wawasan intelijen serta diplomasi. Diperkirana jabatan Wakil Panglima TNI akan tumpang tindih dengan tugas-tugas Kepala Staf Umum (Kasum) Panglima TNI. Dalam Pasal 16 Kasum dijabarkan sebagai kordinator Pembina di Markas Besar TNI. Dengan demikian Kogabwilhan juga berada di bawah kordinasi Kasum karena bagian dari Mabes TNI. Konsekuensinya ada dua kordinator untuk Kogabwilhan, yaitu Wakil Panglima TNI dan Kasum TNI. Nah, jangan sampai Wakil Pamnglima TNI para Pangkogabwilhan beserta jajaran di bawahnya menjadi non job baru, dengan gajih dan tunjangan jabatan besar, namun belom punya kantor. Kerjanya apa ? juga belom jelas. Namun sudah dipastikan bakal menggerogoti anggaran TNI. Pertanyaanya, apakah ketika membuat Perpres No. 66 Tahun 2019 ini, Pak Jokowi berbeda pikiran dengan pernyataannya sendiri ketika mau menyederhanakan eselon di kementerian? Penulis adalah Pengamat Militer

Relasi Kuasa Hadi-Andika di Persimpangan Jalan

Oleh Selamat Ginting Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan elite TNI? Khususnya antara Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dengan KSAD Jenderal Andika Perkasa. Jakarta, FNN - Dalam dua bulan terakhir, ada beberapa peristiwa di mana Kepala Staf Angkatan Darta (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa tidak terlihat menghadiri acara dimana ada Marsekal Hadi. Peristiwa-peristiwa yang mengundang tanda tanya besar. Seperti hubungan panas dingin diantara keduanya. Andika kini malah terlihat lebih banyak bersama Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Keduanya sama-sama berlatar belakangt Unit Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus. Saat Mayjen Prabowo menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Andika masih berpangkat kapten infanteri (Komando). Terakhir, Andika (Akmil 1987) bersama Menhan Prabowo terlihat bersama di Bandung. Saat pertemuan KSAD se-ASEAN, Senin (25/11/2019) lalu. Dari Mabes TNI diwakili Kasum, Letjen Joni Suprianto (Akmil 1986). Prabowo dan Andika menjadi bintang dalam acara ACAMM Asean Chief of Army Multilateral Meeting (ACAMM). Sebelumnya Andika juga bertemu dengan Prabowo, saat peresmian Patung Jenderal Besar Soedirman di Turusan, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Ahad (10/11/2019). Tepat di Hari Pahlawan itu, Andika justru tidak hadir di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan. Saat itu, pimpinan Angkatan Darat diwakili Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman (Akmil 1986). Tatang mendampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Hadir pula KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji (AAL 1985), KSAU Marsekal Yuyu Sutisna (AAU 1986), dan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz (Akpol 1988-A). Begitu juga saat Hadi ke Papua pada 28-29 Oktober 2019. Andika malah menemani Menhan Prabowo. Keduanya menerima kunjungan Duta Besar Cina di Indonesia Xiao Qian di Kementerian Pertahanan, Selasa (29/10/2019). Nah, saat Hadi menerima Menhan Prabowo di Mabes TNI pada Rabu (30/10), Andika juga tidak hadir. Andika diwakili Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman. Hadir pada acara itu, antara lain KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, dan KSAU Marsekal Yuyu Sutisna. Pada acara pelantikan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz, Marsekal Hadi bertindak sebagai saksi bersama Mendagri Tito Karnavian, 1 November 2019. Di situ pula Andika tidak hadir. Pimpinan Angkatan Darat diwakili Letjen Tatang Sulaiman. Interaksionisme simbolik Bagaimana menerjemahkan ketidakhadiran Jenderal Andika saat acara yang juga dihadiri oleh Marsekal Hadi? Apakah sebuah kebetulan, karena ada acara bersamaan? Penulis mencoba melihatnya dari teori interaksionisme simbolik. Salah satu teori yang banyak digunakan dalam penelitian sosiologi. Teori ini memiliki akar keterkaitan dari pemikiran Max Weber yang mengatakan, “tindakan sosial yang dilakukan oleh individu didorong oleh hasil pemaknaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya.” Makna sosial diperoleh melalui proses interpretasi dan komunikasi terhadap simbol-simbol di sekitarnya. Tanda-tanda tersebut merupakan simbol yang digunakan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan pada orang lain. Teori interaksionisme simbolik melihat sebuah tindakan dengan penggunaan simbol dalam rangka mendeklarasikan identitas semacam ‘inilah diriku’. Bisa jadi, itulah bentuk protes Jenderal Andika terhadap Hadi yang lebih mengutamakan memilih perwira tinggi yang satu letting (lulusan kelas yang sama) 1986. Sebelum, promosi terhadap IB Purwalaksana sebagai Irjen Kemhan, berdasarkan keputusan panglima TNI pada 26 November 2019, abituren Akmil 1987, teman lulusan Jenderal Andika, seperti ‘gigit jari’. Abituren Akmil 1986 punya tujuh letjen, termasuk Hinsa Siburian yang sudah pensiun. Sedangkan Akmil 1987, hanya punya satu Jenderal dan dua Letjen. Kini dalam waktu dekat akan menjadi tiga letjen dengan naiknya IB Purwalaksana. Bisa jadi pula, Andika dianggap ‘kurang memperjuangkan’ teman-temannya sesama Akmil 1987. Akmil 1985 pun hanya empat Letjen. Sedangkan Akmil 1988 A maupun B, belum satu pun yang mendapatkan promosi Letjen. Hal ini pula yang dipertanyakan, mengapa Angkatan Darat tertinggal dari Angkatan Laut maupun Angkatan Udara? Bahkan jauh tertinggal dari Kepolisian, karena lulusan 1990 sudah ada yang berpangkat Komisaris Jenderal (setingkat Letjen, Laksdya, dan Marsdya). Makna ketidakhadiran Jebdral Andika, jika diteropong dari teori interaksionisme simbolik, bisa dianalisiis masyarakat berdasarkan makna subjektif yang diciptakan individu sebagai basis perilaku dan tindakan sosialnya. Individu diasumsikan bertindak lebih berdasarkan apa yang diyakininya. Bukan berdasar pada apa yang secara objektif benar. Apa yang diyakini benar merupakan produk konstruksi sosial yang telah diinterpretasikan dalam konteks atau situasi yang spesifik. Hasil interpretasi ini disebut sebagai definisi situasi. Itulah situasi relasi kuasa antara Marsekal Hadi dengan Jenderal Andika. Ada persaingan terselubung. Tentu saja, keduanya akan membantah argumen ini. Silakan saja membantah. Toh, boleh-boleh berbeda dalam perspektif. Pola Karier Untuk itu, penulis juga akan mengaitkannya dengan pola jenjang karier yang berlaku untuk perwira tinggi TNI. Karier adalah perkembangan dan kemajauan yang terbuka bagi prajurit dalam kesempatan untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan tertentu. Termasuk kenaikan pangkat, kesempatan mengikuti pendidikan, serta pemindahan dan giliran penugasan. Karena itu, pimpinan tentara, harus memberikan kesempatan seadil-adilnya kepada setiap perwira untuk mengembangkan kariernya. Tentu saja melalui sebuah perencanaan yang baik, dan giliran penugasan serta kesempatan pendidikan untuk mencapai kemajuan. Dalam pola dasar karier perwira, maka jabatan pada perwira tinggi merupakan fase darma bakti. Pengabdian sebagai perwira lebih dari 25 tahun. Setelah minimal 25 tahun jadi perwira, baru pantas menyandang pangkat Brigjen, Laksma, Marsma. Ini merupakan masa terakhir dari karier seorang perwira. Penekanannya akan beralih dari sekadar pengembangan kemanfaatan maksimal seorang perwira dalam darma baktinya. Fokus perwira tinggi pada masalah-masalah strategi pertahanan dan kebijaksanaan TNI. Sehingga mereka bisa berkarsa dan berkarya nyata, khususnya dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka selayaknya, jabatan-jabatan Komadan atau Panglima, serta staf tingkat tinggi akan dipercayakan kepada perwira yang sangat menonjol di antara perwira yang potensial. Harus dilihat latar belakang penugasan bidang staf, pendidikan, pembinaan teritorial, serta komando pada unit kesatuan yang lebih besar. Tentu dengan ukuran prestasi yang sangat menonjol. Bukan semata-mata, karena sama-sama lulusan satu letting (sekelas). Harapannya, agar organisasi TNI bisa lebih professional, modern, dan mampu menjaga soliditas organisasi. Panglima Besar Soedirman telah memberikan contoh teladan yang patut dicontoh generasi penerus saat ini. Utamanya dalam menjaga soliditas TNI di saat negara dalam keadaan yang genting. Catatan. Tulisan ini telah dibaca di Harian Republika edisi Senin 16 Desember 2019 dan Republika Online edisi Selasa 17 Desember 2019. Namun belakangan tidak lagi dapat diakses di Republika Online. Tulisan dapat dimuat di Portal Berita Online FNN, dengan terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari penulis Penulis adalah Wartawan Senior