ALL CATEGORY
Hakim Vonis Dua Koruptor Dana Desa Galegale 2,5 Tahun Penjara
Ambon, FNN - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Ambon menjatuhkan vonis 2,5 tahun penjara terhadap Salim Wally dan Mardin, dua terdakwa kasus tindak pidana korupsi Dana Desa dan Alokasi Dana Desa Galegale, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, tahun anggaran 2015-2016. "Menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Korupsi," kata Ketua Majelis Hakim Ronny Felix Wuisan didampingi Jenny Tulak dan Bernard Panjaitan selaku hakim anggota di Ambon, Kamis. Dalam amar putusannya, majelis hakim juga menghukum kedua terdakwa membayar denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan serta uang pengganti Rp50 juta subsider satu bulan kurungan. Ada pun hal yang memberatkan terdakwa dihukum penjara karena tidak sanggup mengembalikan kerugian keuangan negara, selama menjabat sebagai kepala desa administratif Gale-Gale tahun 2015 dan 2016 tidak melibatkan saniri negeri (badan permusyawaratan desa) dalam penyusunan anggaran pendapatan belanja desa/negeri. Dalam mengelola dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD), para terdakwa tidak mempedomani Permendagri Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pedoman Keuangan Desa, dan Peraturan Bupati Maluku Tengah Nomor 19 Tahun 2016 tentang Keuangan Desa/Negeri Administratif. Para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam membangun desa dengan penggunaan DD-ADD sesuai UU Nomor 06 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah tentang Desa. Sedangkan yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan dan mengakui serta menyesali perbuatannya. Para terdakwa juga memiliki tanggungan keluarga serta belum pernah dihukum. Putusan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Asmin Hamja dan Rian Lopulalan selama empat tahun penjara, denda Rp50 juta subsider satu bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp360 juta subsider tiga bulan kurungan. Dalam perkara ini terdapat tiga orang terdakwa, namun satu terdakwa lain atas nama Syawal Adjid diadili dalam berkas perkara yang terpisah. (sws)
CSIS: Investasi Pada Riset Mutlak untuk Wujudkan Indonesia Maju 2045
Jakarta, FNN - Alokasi anggaran yang lebih besar untuk investasi pada bidang riset dan pengembangan teknologi mutlak terwujud demi mewujudkan Indonesia maju pada 2045, kata Direktur Eksekutif CSIS Indonesia Philips J Vermonte di Jakarta, Rabu. Menurut Vermonte, anggaran lebih besar pada riset dan pengembangan teknologi merupakan faktor penting yang dapat menumbuhkan berbagai macam inovasi. “Kita harus mengembangkan ekonomi yang berbasis inovasi dan teknologi,” kata Philips saat diskusi acara peluncuran buku “Menuju Indonesia 2045” di Jakarta, Rabu. Pendapat Philips itu, yang juga jadi posisi CSIS Indonesia dalam hasil kajiannya terkait proyeksi Indonesia 2045, sejalan dengan tulisan sejarawan Paul Kennedy dalam buku “The Rise and Fall of The Great Powers” (Naik dan Jatuhnya Negara Adidaya Dunia). Dalam buku itu, Paul menemukan negara-negara dapat tumbuh jadi adidaya karena mereka membuat inovasi dan menciptakan kemajuan pada bidang teknologi. “Itu sudah prasyarat paling utama. Tidak mungkin negara jadi besar tanpa menjadi negara yang mengembangkan inovasi dan teknologi,” sebut Direktur Eksekutif CSIS Indonesia. Dalam sesi diskusi itu, Philips menyampaikan Indonesia masih memiliki banyak hal yang wajib dibenahi demi mewujudkan visi pada 2045, salah satunya meningkatkan alokasi anggaran riset. “Pengeluaran Indonesia untuk riset per 2018 hanya 0,1 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Ini jumlah yang kecil sekali. Korea Selatan itu mengeluarkan 4,1 persen dari PDB-nya,” sebut Philips. Ia lanjut menyampaikan Korea Selatan dan Indonesia pada rentang 1970-an ada pada kondisi yang tidak jauh berbeda, terutama pada sektor pendapatan per kapita, tingkat kemajuan dan pendidikan. “Tapi karena mereka serius spending (mengeluarkan dana, Red) bidang riset, lompatannya luar biasa,” kata Philips. Beberapa pembicara, termasuk Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu contoh negara yang sukses menggunakan “soft power” atau kekuatan non-militer dalam membangun perekonomian dan menyebarkan pengaruh ke negara lain. “Soft power” Korea Selatan itu di antaranya kultur Korean Pop atau K-Pop yang saat ini digandrungi anak-anak muda hampir seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut Philips, keberhasilan K-Pop itu, yang pada akhirnya turut menumbuhkan industri lain di Korea Selatan, merupakan hasil dari riset selama bertahun-tahun. “Yang kita lihat K-Pop, tapi di belakangnya ada riset dan inovasi yang dilakukan secara terus-menerus,” sebut dia. (sws)
Transkrip Rekaman Bocor dan Perlawanan Napoleon Bonaparte Dari Penjara
ISU perseteruan di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, bukan barang baru. Hal itu sering terjadi tidak hanya dalam penanganan kasus kelas kakap. Akan tetapi, rumors tersebut biasanya mencuat menjelang penentuan Tarunojoyo Satu – merujuk istilah atau sebutan Kapolri. Padahal, yang menentukan siapa yang menjadi calon Kapolri adalah Presiden. Dialah yang mengajukan calon ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), guna menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Dia mengajukan ke DPR setelah mendapatkan rekomendasi nama calon Kapolri dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Sering dianggap basa-basi, namun itulah formalitas yang harus dilakukan berdasarkan Undang-undang, walaupun hanya satu calon alias calon tunggal. Setelah itu, DPR mengembalikan nama ke presiden, guna diangkat dan ditetapkan menjadi Kapolri. Jadi, yang menetapkan seseorang calon Kapolri dan kemudian menjadi Kapolri adalah Kompolnas, presiden dan DPR, bukan dukung-mendukung, apalagi intrik-intrik, kubu-kubuan di dalam tubuh institusi tersebut. Tentu, yang paling menentukan adalah presiden, karena ia butuh Kapolri yang sejalan dengan visi dan misinya. Nah, pada saat menjelang pengajuan nama ke DPR itulah terjadi dukung-mendukung di dalam internal polisi. Wajar saling dukung-mendukung, karena hal itu menyangkut demokrasi di tubuh Tribarata itu. Wajar, karena masing-masing pendukung, terutama perwira menengah dan perwira tinggi yang sedang menduduki jabatan, dan ingin menduduki jabatan strategis melakukan hal itu, ingin tetap di posisinya atau bergeser ke posisi yang lebih strategis. Yang tidak wajar adalah jika dukung-mendukung itu harus mengorbankan sosok polisi yang relatif bersih dan loyal ke institusi, bukan ke pribadi. Tidak percaya ada kubu-kubuan atau dukung-mendukung? Tidak percaya, polisi tidak solid menjelang pencalonan Listyo Sigit Prabowo? Pun juga pencalonan Kapolri sebelumnya? Coba kita baca pernyataan petinggi polisi menjelang terpilihnya Sigit. Bukankah Idham Azis, waktu itu Kapolri meminta agar anggotanya solid mendukung Komisaris Jenderal Listyo Sigit yang ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai calon tunggal Kapolri. Idham mengatakan, dukungan diperlukan agar soliditas dan kebersamaan di Korps Bhayangkara tetap terjaga. Anda bisa membaca makna kalimat Idham Aziz itu. Diminta solid, berarti ada riak-riak di tubuhPolri. Berarti, ada dukung-mendukung. Lebih parah lagi, terjadi kubu-kubuan, yang berujung pada sikut-menyikut jabatan. Nah, Rabu malam, 6 Oktober 2021 FNN (Forum News Nork) menerima sebuah lampiran transkrip rekaman pembicaraan tiga orang dalam kasus suap Djoko Tjandra. Inti dari transkrip sepuluh halaman itu, adanya “perseteruan” di dalam tubuh Polri, khususnya menjelang pergantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Rekaman tersebut tertanggal 14 Oktober 2020 pukul 20.20 WIB, di rumah tahanan cabang Badan Reserse Kriminal Polri. Transkrip sepanjang 10 halaman tersebut merupakan pembicaraan antara Napoleon Bonaparte (NB), Tommy Sumardi (TS) dan Prasetijo Utomo (PU). Ketiganya adalah orang yang terlibat dalam kasus suap-menyuap red notice Djoko Tjandra. Apakah salinan transkrip pembicaraan tersebut benar, masih perlu konfirmasi dari berbagai pihak, terutama Markas Besar Polri. Akan tetapi, jika diteliti, alur percakapannya sangat rapi, dengan kode-kode tertentu. Misalnya, TS menyebutkan, “Pokoknya ada lah Bang. Titip-titiplah. Gini. Pasar Minggu juga korbanin bang.” Kemudian NB menyebutkan, “Ya, semua Kaba.” Diduga Kaba itu adalah Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri yang waktu itu dijabat Listyo Sigit Prabowo. Saat itu, Sigit salah nama yang santer menjadi calon Kapolri bersama beberapa nama lainnya. Sigit mulai menjabat Kapolri 27 Januari 2021. Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte adalah mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, mantan Kepala Koordinator dan Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Kakornas PPNS) Polri. Sedangkan Tommy Sumardi adalah orang yang bertindak sebagai perantara suap dari Djoko Tjandra kepada Napoleon dan Prasetijo. Djoko Tjandra adalah penyuap dua jenderal polisi, yaitu Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo terkait pengurusan red notice kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Dalam kasus tersebut, Napoleon divonis empat tahun penjara, Prasetijo dua tahun penjara dan Tommy Sumardi divonis 3 tahun 6 bulan penjara. Djoko Tjandra divonis 4,5 tahun penjara. Tentu semua pihak masih meraba-raba maksud beredarnya transkrip rekaman tersebut. Apakah bocornya transkrip rekaman tiga orang tersebut sengaja dilakukan oleh polisi agar kasus suap Napoleon Bonaparte semakin terang-benderang? Sebab, jika melihat isinya, waktu dan tempatnya, transkrip tersebut tidak sembarang dikeluarkan. Apalagi, transkrip tersebut keluar pada saat Napoleon mulai terang-terangan menyerang institusi yang membesarkan kariernya. Ia mulai melakukan perlawanan dari dalam tahanan terutama setelah kasus penganiayaan yang dilakukannya terhadap tersangka penista agama Islam, M. Kece terungkap ke masyarakat. Napoleon pun menulis surat terbuka. Ia telah dijadikan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Bersamaan dengan beredarnya transkrip rekaman pembicaraan NB, TS dan PU, Napoleon pun menulis surat terbuka terkait kasus perkara yang menjeratnya. Lewat surat terbuka itu, ia yang menyebutkan diri dengan Napo Batara mencurahkan kekesalannya. Napo Batara mengakui, selama ini sudah mengalah dan diam karena seragam institusi yang ia kenakan, dan terpaksa menerima nasib yang sudah ditentukan. “Sebenarnya, selama ini saya sudah mengalah, dalam diam karena terbelenggu oleh seragamku, untuk tutup mulut dan menerima nasib apa pun yang mereka tentukan,” tulis Napolen dalam surat terbukanya, Rabu, 6 Oktober 2021. Ada empat poin isi surat terbukanya itu. Surat terbuka itu juga diisi dengan catatan: Bukti berupa rekaman suara dan transkripnya terlampir. Apakah surat terbuka itu semata-mata bentuk kekecewaan terhadap institusinya sendiri? Ataukah hal itu merupakan perlawanan nyata guna membuka kotak pandora di tubuh Polri? Nah, akankah kasus Napoleon semakin panjang dan menjerat petinggi di Kepolisian Republik Indonesia? Kita tunggu babak selanjutnya. **
Beredar Transkrip Percakapan Napoleon, Tommy Sumardi dan Prasetijo Utomo, Isinya Perseteruan di Tubuh Polri
Jakarta, FNN- Semalam, FNN menerima sebuah lampiran transkrip rekaman pembicaraan tiga orang dalam kasus suap Djoko Tjandra. Inti dari transkrip sepuluh halaman itu adalah adanya “perseteruan” di dalam tubuh Polri, khususnya menjelang pergantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Lebih tepatnya adalah perang bintang antara pendukung Sigit menjadi Kapolri dan pendukung saingannya. Rekaman tersebut tertanggal 14 Oktober 2020 pukul 20.20 WIB, di rumah tahanan cabang Badan Reserse Kriminal Polri. Transkirip sepanjang 10 halaman tersebut merupakan pembicaraan antara Napoleon Bonaparte (NB), Tommy Sumardi (TS) dan Prasetijo Utomo (PU). Ketiganya adalah orang yang terlibat dalam kasus suap-menyuap red notice Djoko Tjandra. Apakah salinan transkrip pembicaraan tersebut benar, masih perlu konfirmasi dari berbagai pihak, terutama Markas Besar Polri. Akan tetapi, jika diteliti, alur percakapannya sangat rapi, dengan kode-kode tertentu. Misalnya, TS menyebutkan, “Pokoknya ada lah Bang. Titip-titiplah. Gini. Pasar Minggu juga korbanin bang.” Kemudian NB menyebutkan, “Ya, semua Kaba.” Diduga Kaba itu adalah Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri yang waktu itu dijabat Listyo Sigit Prabowo. Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte adalah mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, mantan Kepala Koordinator dan Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Kakornas PPNS) Polri. Sedangkan Tommy Sumardi adalah orang yang didakwa sebagai perantara suap dari Djoko Tjandra kepada Napoleon dan Prasetijo. Djoko Tjandra didakwa menyuap dua jenderal polisi, yaitu Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo terkait pengurusan red notice kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Dalam kasus tersebut, Napoleon divonis empat tahun penjara, Prasetijo dua tahun penjara dan Tommy Sumardi divonis 3 tahun 6 bulan penjara. (MD).
Ahli Hukum Tata Negara Dukung Penguatan Kelembagaan DPD
Jakarta, FNN - Ahli Hukum Tata Negara Margarito Kamis mendukung penguatan kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI karena tiap lembaga di Kompleks Parlemen seharusnya berada pada posisi yang setara. Margarito pada sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu, meminta DPD RI untuk menyiapkan strategi yang sifatnya politis agar agenda penguatan itu dapat terwujud. “DPD harus mainkan kartunya, misalnya, tidak berikan DIM (daftar inventarisasi masalah) atau pendapat, maka DPR juga tidak bisa meneruskan pembahasan, karena akan cacat hukum,” kata Margarito Kamis saat berbicara pada acara Obrolan Senator (Obras). Langkah itu, menurut Margarito, dapat menjadi strategi politik yang dapat dilakukan oleh DPD RI. “Saya dukung DPD RI, karena itu DPD harus menunjukkan keangkuhannya juga. Tidak bisa nasibnya diserahkan atau berharap kebaikan hati pada orang-orang di sana. Dalam politik, tidak ada kasihan,” terang Margarito. Oleh karena itu, ia menegaskan DPD RI harus tegas dalam bersikap, misalnya membuat sistem terhambat agar ada negosiasi dan kesepakatan terkait penguatan kelembagaan DPD. “Bila ada pembahasan undang-undang di suatu daerah, jangan bahas. Mana ada politik pakai saling pengertian di awal, karena berurusan dengan kepentingan-kepentingan yang berlawanan. Itu yang dipertandingkan,” kata dia. Ia lanjut menyampaikan postur ketatanegaraan saat ini kurang seimbang, karena DPR RI masih didesain untuk memiliki kekuasaan yang lebih luas dibandingkan dengan lembaga perwakilan rakyat lainnya. “Ada lembaga tata negara, secara demokrasi yang kita desain menjadi subordinat. Dalam kata lain, ada lembaga yang full authority (punya kewenangan penuh, Red.),” kata Margarito menjelaskan hubungan DPR RI dan DPD RI. “Jadi karena itu, untuk alasan apapun ini harus diubah. Tidak bisa kita terus-menerus hidup dengan satu lembaga yang lebih besar dari lembaga lain,” dia menambahkan. Kegiatan diskusi Obrolan Senator merupakan rangkaian HUT ke-17 DPR RI yang pada tahun ini diperingati dengan mengambil tema “Amandemen dan Bikameral: Upaya Penataan untuk Mewujudkan Demokrasi Modern Berdasarkan Konstitusi Kenegaraan”. Dalam kegiatan itu, Margarito Kamis menyampaikan pandangannya terkait DPD RI bersama tokoh-tokoh lainnya, antara lain Wakil Ketua III DPD RI Sultan Baktiar Najamudin, Anggota DPD RI Tamsil Linrung, Anggota DPD RI Zulfikar Arse Sadikin, dan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Denny Indrayana. (sws, ant)
PPATK Temukan Rp 120 Triliun Rekening Bandar Narkoba
Jakarta, FNN - Temuan rekening sebesar Rp120 triliun milik sindikat narkoba menunjukkan upaya pemberantasan peredaran barang terlarang ini harus diikuti dengan memiskinkan para bandar, kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae. Alasannya, jika pemberantasan narkoba hanya sebatas pemidanaan para pelaku dan tidak menyasar uang milik bandar, maka industri narkoba akan tetap tumbuh, kata Dian Ediana Rae pada sesi bincang-bincang yang disiarkan oleh kanal Youtube PPATK, di Jakarta, Rabu. “Upaya untuk mengejar penjahat narkoba harus disertai dengan mengejar uangnya penjahat narkoba,” kata Dian Ediana Rae. “Kalau misalnya penjahatnya hanya dimasukkan ke penjara, tetapi uangnya tetap ada, bahkan dikendalikan, sangat mungkin (bandar) ini masih berpengaruh,” ujar dia pula. Oleh karena itu, Kepala PPATK mengajak seluruh pihak, termasuk lembaganya, aparat penegak hukum, pengadilan, termasuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang membawahi lembaga permasyarakatan, harus bekerja sama memberantas narkoba sampai tuntas. Dian Ediana Rae menerangkan bisnis narkoba kerap menggunakan berbagai cara untuk menyembunyikan uangnya dari pantauan otoritas terkait. Praktik-praktik pencucian uang yang dilakukan oleh sindikat narkoba pun dinamis atau terus berubah dan berkembang tiap waktunya, kata Dian. “Misalnya, mereka memanfaatkan rekening-rekening orang yang tidak terlibat narkoba. Mereka hanya memberi uang kemudian mereka pakai,” ujar Kepala PPATK itu pula. Di samping itu, sindikat narkoba juga kerap melakukan pencucian uang dengan modus perdagangan, misalnya lewat pemakaian invoice palsu. “Ini termasuk canggih, termasuk menggunakan money changer,” kata dia lagi. Demi mengantisipasi berbagai transaksi mencurigakan, PPATK menggunakan berbagai cara, di antaranya bekerja sama dengan negara-negara lain untuk melakukan pertukaran data. Alhasil, jika ada transaksi mencurigakan, misalnya ada pemindahan dana yang tidak seimbang, maka otoritas yang mengawasi itu akan langsung memberi tanda dan memberi tahu otoritas negara lain yang menjadi tujuan transfer. Temuan PPATK terkait rekening sebesar Rp120 triliun milik sindikat narkoba jadi sorotan publik, setelah adanya rapat dengar pendapat (RDP) antara Kepala PPATK dan Komisi III DPR RI bulan lalu. “Saya berterima kasih isu itu ditanya. Kami sudah mengirim informasi itu ke lembaga terkait untuk memberi perhatian lebih serius kepada penanganan tindak pidana terkait narkoba,” kata Dian pula. (sws, ant)
Lima Polisi Polda Kalimantan Tengah Dipecat dengan Tidak Hormat
Palangka Raya, FNN - Lima polisi anggota Polda Kalimantan Tengah dipecat dengan cara tidak hormat karena diduga melakukan penyalahgunaan narkoba dan desersi alias meninggalkan kedinasannya selama 30 hari berturut-turut tanpa keterangan apalagi ijin apapun. "Saya ingatkan seluruh anggota yang ada di Polda ini, agar tidak melakukan hal serupa," kata Kepala Polda Kalimantan Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, saat memimpin langsung jalannya pemecatan lima polisi yang dilaksanakan di lapangan Barigas Palangka Raya, Rabu. Upacara pemecatan secara tidak hormat ini tidak dihadiri kelima polisi itu, melainkan hanya "diwakili" wajah-wajah mereka yang dipampang di suatu spanduk yang dibentang dua provoost Polda Kalimantan Tengah. Simbolisasi pemecatan adalah pencoretan wajah-wajah mereka oleh Prasetyo di lapangan apel itu. Adapun kelima polisi yang dipecat tersebut yakni, bintara yang bertugas di Polres Kotawaringin Timur, Ajun Inspektur Polisi Satu Suwandi, karena saat dilakukan tes urine, terbukti positif mengandung zat methamphetamine dan amphetamin. Kemudian, Ajun Inspektur Polisi Dua Dony Vermanto terakhir menjabat sebagai anggota Dit Samapta Polda Kalimantan Tengah yang terbukti positif mengkonsumsi narkoba, Brigadir Polisi Kariansyah yang sebelumnya menjabat di Satuan Brimob Polda Kalimantan Tengah karena telah meninggalkan kedinasan selama 30 hari kerja secara berturut-turut. Kemudian Brigadir Polisi Gandy Setiawan. "Saudara Gandi juga terbukti melakukan tindakan desersi atau meninggalkan kedinasan selama 30 hari berturut-turut tanpa ada izin resmi dari pimpinan," tambahnya. Selanjutnya Ajun Inspektur Polisi Satu Yudo Arifianto dengan jabatan terakhir bintara unit Kompi I Batalyon B Pelopor Satbrimob Polda Kalimantan Tengah. "Yudo terpaksa kami berhentikan karena yang bersangkutan ini telah melakukan pelanggaran disiplin lebih dari tiga kali dan tidak dapat diampuni kesalahannya," kata Prasetyo. Sebelum mengakhiri sambutannya dia menyatakan kelima polisi itu sudah di-PTDH dan dari semua pelanggaran yang dilakukan mereka memang sudah tidak layak lagi menjadi polisi "Apalagi ini terkait penyalahgunaan narkoba, Polda Kalimantan Tengah pasti tidak akan memberikan toleransi sedikit pun," kata dia. (sws, ant)
Surat Terbuka Napoleon Ungkap Ada Pihak Lain Terlbat Kasus Djoko Tjandra
Jakarta, FNN - Terdakwa kasus penghapus nama Djoko S Tjandra dari daftar pencarian orang atau red notice di jaringan Interpol, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, menulis surat terbuka terkait lanjutan perkara yang menjeratnya. Dalam surat tersebut, Napoleon yang menyebut dirinya Napo Batara mengungkapkan kekesalannya lewat surat tersebut. Napoleon mengaku selama ini sudah mengalah dan diam karena seragam institusi yang ia kenakan, dan terpaksa menerima nasib yang sudah ditentukan. "Sebenarnya selama ini saya sudah mengalah, dalam diam karena terbelenggu oleh seragamku, untuk tutup mulut dan menerima nasib apapun yang mereka tentukan," tulis Napoleon dalam surat terbuka itu yang diterima FNN, Kamis (7/10/21). Pengacara Napoleon, Ahmad Yani telah membenarkan mengenai surat dan isinya tersebut. Menurut Yani, surat itu ditulis Napoleon untuk membuktikan kliennya tidak bersalah dalam kasus dugaan menerima suap dari Djoko Tjandra. Menurut Yani, dugaan uang yang diterima Napoleon selama ini--termasuk yang diungkap dalam fakta persidangan--adalah hanya berdasarkan penuturan satu pihak yakni Tommy Sumardi. Sedangkan, kata Yani, kliennya tak diperkenankan untuk membuka rekaman yang menjadi fakta lain. Belakangan, karena polemik itu, Yani telah ditunjuk menjadi kuasa hukum Napoleon dalam laporan ke Komisi Yudisial (KY). Kepada lembaga pengawas independen itu, Napoleon melaporkan majelis hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tak memperkenankan dirinya membuka rekaman kasus dirinya. "Ya dia kan menyatakan bahwa dia tidak bersalah. Yang, Napoleon itu hanya menyatakan terima uang, hanya berdasarkan pernyataannya Tommy Sumardi. Tidak didukung oleh saksi lain," kata Yani menjelaskan surat Napoleon. Lewat surat yang ditulis, kata Yani, Napoleon hendak mengungkap beberapa aktor baru dalam kasusnya. Di bundelan surat itu, kata dia, terdapat isi percakapan yang ditranskrip dari rekaman antara Napoleon dengan beberapa terdakwa lain, yakni Brigjen Pol Prasetyo Utama termasuk Tommy. Yani belum memperkenankan CNNIndonesia.com mengetahui isi transkrip dari rekaman tersebut. Namun, ia membenarkan rekaman percakapan itu mengungkap peran baru seseorang dari institusi kepolisian. "Ada [orang baru]. Di dalam rekaman itu Tommy S menyatakan jelas bahwa ini dalam rangka ini untuk melindungi orang, untuk jabatan," kata Yani. "Iya, di institusi kepolisian," tambahnya. Sebagai informasi, dalam kasus ini Napoleon mengajukan kasasi atas vonis empat tahun penjara dirinya dari Majelis Hakim PN Jakpus. Ia menjadi tersangka bersama mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo; dan pengusaha Tommy Sumardi. (CNN)
Anis Matta : Isu Kebangkitan Komunisme Indonesia, Ternyata Berkaitan dengan Hegemoni China
Jakarta, FNN - Lembaga Survei Media Survei Nasional (Median) dalam rilisnya pada Kamis (30/9/2021) lalu, mengungkapkan, bahwa 46,4 persen responden di Indonesia masih percaya soal isu kebangkitan komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI). Menanggapi hal ini, Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menilai ketakutan akan kebangkitan komunisme di Indonesia seperti yang diungkap Lembaga Survei Median, ternyata tidak berhubungan dengan ideologi komunis. "Tetapi, berhubungan dengan isu lain yang lebih bersifat politik, yaitu hegemoni geopolitik China," kata Anis Matta dalam Gelora Talk bertajuk 'NKRI dan Ancaman Komunisme Dalam Dinamika Geopolitik, Membedah Survei Median September 2021 yang disiarkan secara live streaming di channel YouTube Gelora TV, Rabu (6/10/2021). Diskusi ini dihadiri Direktur Eksekutif Lembaga Survei MEDIAN Rico Marbun, Menteri BUMN Periode 2011-2014, Dahlan Iskan, Mantan Dubes RI untuk China yang juga Ketua Asosiasi Kerjasama Indonesia-China Mayjen TNI (Purn) Sudrajat, dan Pengamat Politik & Sosial Budaya Rocky Gerung. Menurut Anis Matta, hegemoni China sebenarnya berdampak biasa dan natural saja. Sebab, dalam 30 tahun terakhir, China secara aktif melakukan kampanye dan ekspansi, sehingga memungkinkan persepsi itu terbentuk. "Kalau kita melihat bahwa 46,4% dari populasi kita, percaya tentang isu ini di tengah situasi krisis global. Itu menunjukkan bahwa persepsi publik sekarang dipengaruhi oleh banyak sekali operasi politik dan media," katanya. Operasi tersebut, kata Anis Matta, dijalankan oleh kekuatan-kekuatan global yang tengah bertarung saat ini. "Ini berbarengan atau bersamaan, ketika Amerika secara resmi mendeclaire China sebagai musuh mereka. Artinya opini publik kita sekarang ini dibentuk oleh bagian dari operasi geopolitik," katanya. Namun, Anis Matta menilai ketakutan dan kecemasan publik berdasarkan hasil survei sejak 2017 hingga 2021, yang angkanya terus mengalami peningkatan terhadap hegemoni China, sebenarnya adalah hal yang positif. Jika hal itu dipandang sebagai bagian dari survival instinct (naluri bertahan hidup) seperti takut digigit ular dengan menghindar. Sehingga bisa menjadi pintu masuk untuk mengubah survival instinct publik ini menjadi energi kebangkitan di tengah konflik global sekarang. "Supaya kita tidak lagi menjadi bangsa yang lemah, menjadi korban, menjadi collateral damage ketika ada kekuatan global yang sedang bertarung dan menjadikan wilayah kita yang seharusnya berdaulat, justru menjadi medan tempur mereka," tandasnya. Sehingga perlu dirumuskan satu arah baru, satu peta jalan baru bagi Indonesia. Sebab, kondisi sekarang berbeda dengan zaman Soekarno dan Soeharto dulu yang memiliki cantolan untuk berkolaborasi. "Di awal perjalanan, kita sangat kacau, dipenuhi krisis kepada satu arah yang tidak jelas. Dunia dalam proses tatanan ulang, yang sekarang ini tidak bisa lagi dipakai, butuh satu tatanan dunia baru. Menurut saya secara geopolitik, dianggap sebagai peluang," katanya. Hal ini tentu saja menjadi momentum bagi Indonesia untuk menggunakan survival instinct publik untuk menemukan celah dalam situasi geopolitik sekarang ini. Sehingga Indonesia ikut berperan dalam menentukan tatanan dunia baru. "Karena itulah kami di Partai Gelora membuat cita-cita perjuangan menjadikan Indonesia sebagai lima besar kekuatan dunia dan tidak ingin menjadi collateral damage dari pertarungan kekuatan global," katanya. Direktur Eksekutif MEDIAN Rico Marbun mengatakan, hegemoni China di Indonesia dan mesranya hubungan kedua negara, yang menyebabkan isu kebangkitan PKI atau komunisme kerap muncul setiap tahun, khususnya pada bulan September hingga Oktober. "Cara berpikir mereka yang menganggap adanya hegemoni China di Indonesia, itu karena dianggap sama paralel dengan komunis gitu," kata Rico Marbun. Terkait hal ini, Mantan BUMN Dahlan Iskan meminta seluruh elemen bangsa Indonesia bisa move on dari masa lalu. Artinya, semua kejadian sejarah tidak lebih dari sekadar catatan lembaran kertas. "Nggak boleh terus mengenang masa lalu. Tidak boleh terus sentimen begitu. Karena kalau itu yang terjadi kita tidak akan pernah maju," katanya. Lanjutnya, temuan survei Median itu adalah tugas berat semua elemen bangsa untuk memastikan bahwa kekhawatiran terhadap kebangkitan komunisme tidak perlu lagi ada. "Berarti tugas kita masih berat sekali untuk membawa Indonesia ini maju. Apalagi lima besar di dunia, karena 46 persen umat Islam itu umumnya umat Islam katakan begitu masih berorientasi pada masa lalu yang sama sekali tak ada gunanya," tandasnya. Hal senada disampaikan pengamat politik & sosial budaya Rocky Gerung. Rocky menyebut ideologi komunisme sudah kehilangan patronnya atau pendukungnya di dunia. Ia menilai secara ideologi sebetulnya komunisme sudah selesai dalam sejarah. Namun, menurutnya, fakta membuktikan masyarakat Indonesia masih takut terhadap kebangkitan komunisme, karena adanya kecurigaan terhadap visi komunisme. "Komunisme itu kehilangan patron di dalam proyek dunia, tapi kita masih takut. Berarti ada visi di komunisme yang buat kita curiga terus," ujar Rocky Gerung Mantan Dubes RI untuk China Mayjen TNI (Purn) Sudrajat meminta pemerintah untuk lebih waspada dalam meneken kerjasama atau kolaborasi dengan pemerintah China. Terlebih baru-baru ini ada kebijakan baru yang telah diresmikan China yakni Local Currency Settlemen. Dalam kebijakan itu, untuk konteks perdagangan dengan China akan menggunakan mata uang Yuan dan Rupiah. Apalagi saat ini kerjasama Ekonomi Indonesia dan China terus meningkat. "Kalau kedekatan ekonomi ini tidak dibarengi dengan pemahaman politik antara Indonesia dengan China, ini akan terjadi ketimpangan, justru akan negatif bagi kita," ungkap Sudrajat. (sws)
Nero dan Ibukota Baru
By M Rizal Fadillah KAISAR Romawi Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus atau dikenal Kaisar Nero adalah penguasa Romawi yang dikenal tiran. Bekerja mengikuti kemauannya sendiri. Memenjarakan atau membunuh para penentangnya. Phobia pada keyakinan dan gerakan keagamaan. Kristiani dianggap berbahaya dan selalu menjadi sasaran fitnah Kaisar. Terkenal akan kekejamannya dan bisa menghukum mati hanya karena persoalan sepele. Ibu kandungnya Agrippina, istri-istri, serta adik tirinya Britanicus dibunuh karena takut menyaingi. Mengklaim sebagai seniman yang serba bisa termasuk musik. Suaranya jelek namun tetap harus dipuji. Ada pendengar yang lompat tembok tak mau mendengar suara berisik Nero. Cita cita dan keinginan kuatnya adalah membuat Roma baru. Meski kas negara kosong karena pemborosan namun Roma sebagai ibu kota baru harus dibangun. Roma lama yang indah dibuat terbakar atas perintah rahasia Nero. Sambil memandang kebakaran hebat ia memetik harpa dan meneteskan air mata. Kambing hitam tertuju pada kaum agama. Radikal Kristen tuduhannya. Mereka diburu dan dibantai. "Roma baru" dibangun dengan biaya mahal dan itu adalah hasil memeras dan memaksa rakyat. Pembangunan Istana didahulukan dan dibuat semegah mungkin "Domus Aurea" rumah emas dengan dekorasi intan permata. Setelah Istana selesai, Nero berkata "Ini baru mirip tempat tinggal manusia". Nero narsis dan masa bodoh pada rakyatnya. Membakar dan membangun Roma terjadi pada tahun 64. Namun tahun 68 kekuasaan Nero runtuh. Ternyata ibu kota baru itu adalah kulminasi dari nafsu kegilaannya berkuasa. Ketika rakyat telah habis kesabaran akibat ditekan dan diperas, maka kenekadan adalah pilihannya. Rakyat berontak dan militer mengkudeta. Nero lari setelah gagal mendapat maaf dan ampunan dari rakyatnya. Hukuman mati telah diputuskan oleh penguasa baru Kaisar Servius Sulpicius Galba. Nero panik dan berniat bunuh diri. Tapi sifat pengecutnya membuat ia tak berani menusukkan belati ke tubuhnya sendiri. Pembantunya diminta memegang belati dan Nero ikut menggenggam lalu bersama-sama menusukkan belati itu ke lehernya. Darah tertumpah mengiringi petikan harpa kematiannya. "Dunia ini telah kehilangan seorang seniman yang hebat", lirihnya. Ibu Kota baru dengan kemegahan baru yang bermodal pembakaran ibu kota lama hanya obsesi dari nafsu berkuasa Nero. Rakyat sama sekali tidak merasakan manfaat. Pajak justru dibebankan lebih berat. Nero bahagia di tengah kesulitan rakyat. Nero memang penguasa yang sakit. Ini adalah sepenggal kisah dari negeri Romawi, bukan yang terjadi di negeri ini. Nero telah mati dengan meninggalkan penyakit menular Neroistik yang menjangkiti banyak penguasa negeri saat ini. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan