ALL CATEGORY
Konflik Konstitusional Mengenai PPHN Munculkan Tanda Tanya
Semarang, FNN - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengemukakan, konflik konstitusional mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) memunculkan sejumlah pertanyaan. Antara lain, apakah penambahan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan PPHN/GBHN ada jaminan menyelesaikan masalah kesinambungan pembangunan? "Apakah tidak ada pendekatan lain untuk menjamin kesinambungan itu selain amendemen konstitusi?," kata dia dalam webinar bertajuk Membangun Budaya Konstitusi untuk Penguatan Demokrasi Indonesia yang diselenggarakan Salam Radio, Selasa, 14 September 2021. Menanggapi sebagian besar pendapat para politikus yang melihat amendemen UUD NRI Tahun 1945 sebagai sebuah keharusan, Hamdan Zoelva mengatakan, pendapat mereka merupakan cara pandang legalistik konstitusional pada problem legal substance (substansi hukum). Ketika menghadapi konflik dan problem konstitusional, menurut dia, akan selalu merujuk pada teks konstitusi, undang-undang, dan putusan pengadilan sebagai satu-satunya pendekatan dalam melihat apakah yang merupakan konstitusi dan apa yang tidak merupakan konstitusi. "Saya berangkat dari satu asumsi dasar bahwa lahirnya teks hukum, termasuk konstitusi, tidak dalam ruang hampa. Akan tetapi, dipengaruhi lingkungan sosial, budaya, dan sejarah bangsa itu," kata dia, sebagaimana dikutip dari Antara. Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam itu menekankan, "Teks konstitusi adalah refleksi budaya sekaligus cita ideal yang dikehendaki." Ia menegaskan, dalam pelaksanaannya tidak berada di menara gading, tetapi berhadapan kondisi politik dan sosial budaya yang dinamis. "Tantangannya tidak sama antara satu masa dan masa yang lain. Implementasi norma konstitusi harus mengalami adaptasi," kata Zoelva. Begitu juga terkait dengan liberasasi politik dan ekonomi. Banyak pandangan akademikus dan politikus yang mempersoalkan liberasi politik dan ekonomi sekarang ini adalah akibat perubahan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, untuk menghentikannya mereka berpendapat harus melakukan perubahan konstitusi dengan menghilangkan ayat (4) pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Bahkan, mereka beranggapan, penambahan ayat (4) itulah sebagai biang masalahnya. Dalam ayat (4) menyebutkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Menanggapi hal itu, dia menilai paradigma berpikir dalam mengatasi problem atau konflik konstitusional hanya berlandaskan pada pendekatan legalistik formal, yang dalam kerangka sistem hukum L Friedman, yaitu hanya melihat aspek legal substance. Ia menjelaskan, segala masalah konstitusional ditimpakan pada teks dan norma konstitusi yang harus diubah direformulasi. Bahkan, peran pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang memberi tafsir atas problem konstitusional tidak menjadi pilihan. "Cara berpikir seperti inilah yang saya sebut sebagai cara berpikir yang tidak imbang," kata Zoelva. Menurut dia, mereka hanya memandang hukum dari norma yang ada dalam teks. Tidak melihat pada aspek lain dari hukum, yaitu dalam konteks berkerjanya dari kerangka budaya dalam mengatasi problem atau konflik konstitusional. (MD).
Korban Tewas Kebakaran Lapas Tangerang Bertambah Jadi 48 Orang
Tangerang, FNN - Jumlah korban tewas pada insiden kebakaran di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Klas I Tangerang, Banten, bertambah dua orang. Dengan demikian, total jumlah keseluruhan menjadi 48 orang meninggal dunia. "Saya informasikan update tentang pasien-pasien korban kebakaran dari Lapas Kelas I Tangerang. Tambahan yang meninggal kemarin pada tanggal 13 September itu ada dua orang, dan dari 10 yang dirawat sekarang tersisa 3 pasien lagi," kata Kepala Instalasi Hukum Publikasi dan Informasi (HPI) RSUD Kabupaten Tangerang, Hilwani di Tangerang, Selasa, 14 September 2021. Ia mengatakan, dari tambahan dua narapidana korban kebakaran yang meninggal tersebut yaitu berinisial M (44) dan I (27) dengan kondisi luka bakar 20 persen sampai 98 persen. "Meninggalnya M itu pada pukul 18.00 WIB dan I meninggal sekitar pukul 19.00 WIB. Keduanya sudah menjalani perawatan," katanya, sebagaimana dikutip dari Antara. Ia menuturkan, untuk saat ini kedua jenazah narapidana Lapas Tangerang itu masih ada di tempat pemulasaran jenazah milik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Tangerang. Kemudian, lanjut dia, hingga kini pasien yang masih menjalani perawatan di RSUD Kabupaten Tangerang tersisa tinggal tiga orang, dari ketiga pasien itu yakni berinisial N (34), Y (33) dan S (35). "Ketiga pasien ini kondisinya relatif stabil," ujarnya. Ia menjelaskan, kondisi pasien S yang membaik. Bahkan, sudah bisa berkomunikasi serta makan secara mandiri. Rencananya pada hari ini (Selasa, 14 September) akan dilakukan operasi reduction internal fixation (ORIF) reposisi tulang. "Untuk pasien S hari ini akan dilakukan operasi reposisi tulang yang patah di kaki sebelah kiri," ujarnya. Sebelumnya diketahui, RSUD Kabupaten Tangerang telah melakukan perawatan terhadap 10 orang yang mengalami luka berat dan ringan dari korban kebakaran Lapas Kelas I Tangerang. Mereka yang dirawat mengalami luka bakar dengan kondisi 20 persen hingga 90 persen. (MD).
Semester 1 2021 Pendapatan Asuransi Jiwa Naik 64,1 Persen
Jakarta, FNN - Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat total pendapatan industri asuransi jiwa mencapai Rp 119,74 triliun pada semester I-2021. Nilai tersebut naik atau tumbuh 64,1 persen dibanding semester I-2020 yakni Rp 73 triliun. "Industri asuransi jiwa semester I-2021 berhasil melewati masa sulit pandemi Covid-19. Bahkan, tumbuh lima persen di atas pencapaian semester I-2019 ketika Covid-19 belum ada, yakni dari senilai Rp 113,94 triliun," kata Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon, dalam konferensi pers daring di Jakarta, Selasa, 14 September 2021. Menurutnya, pertumbuhan industri asuransi jiwa tersebut sejalan dengan pulihnya ekonomi nasional yang pada triwulan II-2021 tumbuh 7,07 persen. Sementara it, total pendapatan premi pada semester I-2021 juga menunjukkan pertumbuhan yang baik, yaitu 17,5 persen dari Rp 89,09 triliun di semester I-2020 menjadi Rp 104,72 triliun. "Kami percaya sedikit banyak pencapaian ini tidak lepas dari pandemi yang menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai kebutuhan perlindungan asuransi jiwa," ucap Budi, sebagaimana dikutip dari Antara. Budi menuturkan kinerja positif juga terlihat dari pertumbuhan premi bisnis baru yang mencapai 27,4 persen dari Rp 53,41 triliun di semester I-2020 menjadi Rp 68,02 triliun pada semester I-2021. Sedangkan premi lanjutan tumbuh 2,8 persen dari Rp 35,68 triliun pada semester I-2020 menjadi Rp 36,7 triliun di semester I-2021. Berdasarkan jenis produknya, ia menjelaskan unit link masih menjadi pilihan utama masyarakat dengan kontribusi premi 62 persen selama semester I-2021. Sedangkan asuransi jiwa tradisional 38 persen. Sedangkan menurut kanal distribusi, bancassurance masih merupakan kontributor terbesar dalam pendapatan premi asuransi jiwa yang pada semester I-2021 mencapai 46 persen. Kemudian, diikuti agen sebesar 29 persen, dan alternatif 25 persen. Seiring kinerja positif asuransi jiwa tersebut, Budi menyebutkan total aset asuransi jiwa pun tumbuh 12,9 persen jika dibandingkan semester I-2020 menjadi Rp 575,46 triliun. Sedangkan cadangan teknis juga tumbuh 12,4 persen menjadi Rp 443,95 triliun. Pada awal pandemi, aset industri asuransi jiwa sempat terkoreksi 12 persen, serta cadangan teknis terkontraksi 11,7 persen. "Ini bukan hanya karena pertumbuhan industri, tetapi juga menunjukkan kehati-hatian dan sikap prudent untuk mencadangkan dana lebih. Tujuannya, agar mampu menghadapi tantangan di masa sulit, juga semakin mampu memenuhi komitmen dan janji ke pemegang polis," kata Budi. (MD).
Memiliki Kehilangan dan Ketiadaan
Oleh Yusuf Blegur Sebagian besar orang lebih sering menempatkan standar kemanusiaannya pada apa dan berapa banyak yang dimiliki. Umumnya kepemilikan terhadap kekayaan, jabatan dan pengaruh kekuasaan menjadi tolok ukur yang paling utama. Menggenggam harta berlimpah dan kebijakan menentukan kepentingan publik, memang menempatkan seseorang pada drajat kehidupan yang paling tinggi dalam strata sosial kehidupan masyarakat dan negara. Menjadi terkenal, dihormati dan dihargai serta tidak jarang dipuja dan dielu-elukan khalayak. MESKIPUN masih banyak peran dan status sosial dalam kehidupan manusia yang tidak kalah bermakna dan jauh lebih penting. Namun harta, kekuasaan dan popularitas mengalahkan hal-hal yang justru lebih substantif dan esensial. Sebut saja para tenaga kerja pendidikan dan kesehatan yang tersebar di pelosok-pelosok dan perbatasan negara. Mereka tulus bekerja walau hanya dengan honor seadanya. Dalam medan kerja yang berat, keterbatasan sarana dan prasarana, upah kerja yang jauh dari kelayakan bahkan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Mereka tetap berjuang dan berkorban dalam keterbatasan demi kemanusiaan. Ada juga para voluntir yang mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti kerja-kerja sosial. Meningkatkan kualitas hidup, membangun teknologi kreatif dan inovatif serta membuka akses fasilitas dan program pemerintah dalam perkampungan-perkampungan kumuh, daerah terisolir dan masyarakat lainnya yang terpinggirkan dari pembangunan. Mereka semua merupakan pejuang kemanusiaan yang tenggelam dari sorotan media dan publisitas kehidupan politik kekuasaan. Negara acapkali mengabaikan keberadaan mereka. Pengabdian para pahlawan pembangunan yang sesungguhnya itu, sudah sepantasnya mendapat penghargaan dan penghormatan yang semestinya. Meskipun bagi kekuasaan, membahas nasib mereka bukanlah hal yang menarik dan dianggap tidak penting. Materialisme Sebagai Tuntunan Hidup Kehidupan masyarakat perkotaan termasuk Jakarta sebagai ibukota negara dan jantungnya penyelenggaran negara. Tidak hanya menegaskan masih adanya dikotomi pembangunan jika melihat realitas pedesaan. Bahkan dalam pusat kegiatan ekonomi bisnis dan politik itu, di sana-sini masih banyak menyisakan masyarakat marginal. Ketertinggalan dalam banyak hal seperti pengelolaan sumber daya manusia menjadi hal paling kentara. Negara pada akhirnya menjadi representasi, betapa modernitas hanya dimiliki segelintir orang. Penumpukan kekayaan dan aset ekonomi didominasi orang perorang dan kelompok tertentu. Begitu juga dengan akses politik dan pelayanan hukum hanya bisa dikuasai kalangan terbatas. Pemilik modal dan pembuat regulasi telah membajak negara dari keharusan melayani rakyat. Dalam balutan birokrasi, politisi dan korporasi. Mereka telah bermutasi menjadi wajah baru penjajah lokal. Menjadi sub-koordinat neo kolonialisne dan imperialisme di tengah globalisasi. Menjelma menjadi persekongkolan jahat dan hawa nafsu sistem yang korup dan represif. Lihat saja seketika banyak rakyat kecil menjadi korban dan hidup menderita. Petani tertindas tak mampu menjual produknya dengan harga layak karena kran impor yang mengalir deras. Nelayan juga terpuruk karena dominannya penangkapan ikan oleh kapal modern asing yang terkesan dibiarkan dan dilindungi. Demikian juga para buruh yang terus dieksploitasi namun tetap jauh dari kesejahteraan. Semuanya merupakan dampak dari perilaku kekuasan dan konstitusi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Bandingkan dengan kehidupan para jamaah oligarki dan aliran borjuasi korporasi sesat. Mereka berlimpah dengan kekayaan yang tidak semuanya diperoleh dengan cara yang bersih dan terhormat. Pengusaha didukung birokrasi dan politisi, terkadang dengan arogannya merampok kekayaan negara. Bersekongkol memanipulasi dan menggelapkan harta yang bukan miliknya. Merampas tanah dan bangunan milik rakyat. Menggunakan uang dan kekuasaannya menghukum dan menindas rakyat. Bukah hanya dengan menggunakan preman, jika diperlukan terkadang menggunakan aparatur negara. Rakyat dan Kedaulatan Semu Panca Sila, UUD 1945 dan hukum moral lainnya, tak ubahnya seperti barang antik bersejarah yang tersimpan di museum Indonesia. Kekuasaan dan pada akhirnya diikuti rakyat. Lebih memiliih dan menyukai praktek-praktek kapitalistik dan liberalistik. Meskipun dalam pusaran itu banyak konflik dan ketidakpuasan, memakan korban jiwa, merusak tatanan ideologi bangsa dan bahkan agama. Bangsa Indonesia telah kehilangan jiwanya. Tidak adalagi roh patriotisme dan nasionalisme. Semua kekacauan dan kehancuran mental dan karakter yang ujung-ujungnya menjadi penderitaan yang paling dirasakan rakyat. Indonesia merana kehilangan spritualitasnya sebagai bangsa religi. Bangsa Indonesia sejatinya telah lama kehilangan Panca SIla dan UUD 1945. Kekayaan tak ternilai dan menjadi warisan abadi bagi rakyat dan negara. Sayangnya anugerah terbesar dari Tuhan Yang Maha Esa itu, yang dimiliki bangsa ini, tak mampu dihargai dan dihormati oleh pemimpin dan rakyatnya sendiri. Sebagai sebuah bangsa dan negara, Indonesia telah membuang value dan kebijaksanaan, lebih mengejar materi dan kebendaan lainnya. Nilai-nilai adiluhung itu tercampakkan oleh keinginan hidup hedon dan gemerlap kenikmatan dunia. Gotong-royong dan persaudaraan hanya sekedar cerita lama. Indonesia beserta rakyatnya seperti hidup sebagai bangsa kaya tapi dalam kemiskinan. Memiliki sejarah patriotik yang besar namun menjadi pecundang dan terjajah. Budaya yang dikenal dengan fatsun politik yang santun tapi kekinian tanpa etika, barbar dan biadab. Indonesia Seperti bernegara tanpa negara atau mungkin juga negara dalam negara. Negara tanpa pemerintahan dan nyaris menjadi negara gagal. Semua hanya bisa pasrah tak berdaya sambil mengelus dada. Menggerutu dan menyesalinya dalam hati. Rakyat dengan segala semboyan dan jargon yang besar Keindonesiaannya. Kini menyadari bahwasanya telah memiliki kehilangan dan ketiadaan. Semoga datang perubahan yang lebih baik. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari.
Konsekuensi Amandemen dan PPHN, MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara
Jakarta, FNN - Rencana amandemen UUD untuk memuat Pokok Pokok Haluan Negara yang bergulir dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dinilai tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan saat ini. Dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sementara PPHN bakal bersifat direktif. Presiden harus menjalankan PPHN yang ditetapkan oleh MPR. Sehingga ada konsekuensi bila PPHN yang merupakan lansiran Tap MPR tidak dilaksanakan. Hal itu mencuat dari focus group discussion (FGD) yang digelar oleh Badan Pengkajian MPR di Tangerang Selatan, Senin (13/9). Menurut Pimpinan Badan Pengkajian MPR bidang ekonomi, Tamsil Linrung, pertanggungjawaban Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat menjadi tidak jelas. Dimana janji-janji politik Presiden tidak ada yang mengevaluasi. “Jika janji politik tidak diakomodir dalam PPHN, bagaimana presiden melaksanakan program dan janjinya? Presiden akan terjebak pada dua situasi yang secara esensi sama-sama melanggar konstitusi," tukas Tamsil. Bila upaya menghidupkan PPHN yang dinilai sebagai reinkarnasi GBHN terealisasi, maka konsekuensi logisnya harus ada lembaga yang mengevaluasi implementasi PPHN tersebut. Merujuk pada masa lalu, pertanggungjawaban Presiden adalah kepada MPR. Hal ini tentu merestorasi kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pengamat Ekonomi Politik dan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan yang hadir sebagai narasumber menyebut, tugas MPR hanya sebagai “tukang”. Yaitu “tukang lantik” dan “tukang memberhentikan” ketika Presiden melanggar konstitusi setelah diajukan oleh DPR dan diproses oleh Mahkamah Konstitusi. Idealnya, menurut Anthony, memang harus ada pengawasan terhadap kinerja pemerintah yang punya konsekuensi langsung. Tidak seperti saat ini, ada indikasi terjadi banyak pelanggaran terhadap peraturan maupun janji politik, tapi dibiarkan terjadi begitu saja. Tidak ada yang mengevaluasi sehingga pemerintah bisa seenaknya mengumbar janji. Akibatnya, berbagai aspek kehidupan bangsa dipenuhi jargon. “Seperti UU Tax Amnesty. Janjinya 14% tapi terealisasi cuma 9,8%. Ini kan melanggar konstitusi,” imbuh Anthony. Menurut alumnus Erasmus University Rotterdam ini, penyusunan ekonomi konstitusi dalam kerangka PPHN mesti selaras dengan semua aturan yang bersumber dari UUD. Sehingga kebijakan ekonomi pemerintah yang digariskan dalam PPHN tegak lurus dengan konstitusi yang menjadi jelmaan kedaulatan rakyat. “Sekarang, apakah daerah sudah berdaulat terhadap sumber daya yang mereka miliki? Kan tidak,” kritiknya. Mantan Gubernur Bank Indonesia, Burhanudin Abdullah yang juga hadir sebagai narasumber mengungkapkan, bahwa dimensi ekonomi bangsa saat ini cenderung menjauh dari cita-cita republik. Hal itu terindikasi pada tingkat ketergantungan yang tinggi, kesenjangan yang lebar, hingga implikasi kebijakan ekonomi pada sektor lingkungan. “Pertanyaannya, apakah kita mau menyusun cerita baru yang menjadikan perekonomian lebih mandiri, adil, demokratis, partisipatif, inklusif dan menyejahterakan?” Senada, pengamat ekonomi Awalil Rizky menilai karutmarut ekonomi Indonesia menyisakan kompleksitas problem. Bahkan makin jauh dari spirit ekonomi kekeluargaan yang jadi falsafah ekonomi Pancasila. Ia mencontohkan terjadinya deindustrialisasi prematur yang tidak selaras dengan situasi ekonomi yang mestinya dibangun. Akibatnya, terjadi ketimpangan pendapatan dan pengangguran meluas. “Plot deindustrialisasi seharusnya setelah porsi industri mencapai 30%. Sektor jasa yang tradeable menopang industri,” ungkap Chief Economist Institut Harkat Negeri ini. (JD)
Patah Tumbuh Hilang Berganti
Adagium lawas yang sudah populer dan tak aneh lagi, Rusa boleh kehilangan bulunya tapi tak akan kehilangan otaknya, demikian kata pepatah kuno. Oleh Sugengwaras MAU tidak mau, suka tidak suka, umat Islam merupakan aset besar dan potensial bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya, tanpa memecah belah, mengadu domba dan membentur benturkan intern umat Islam itu sendiri, pihak lain tak akan mampu menguasai dan menjajah Indonesia, yang ditakdirkan kaya sumber data alam, jamrud katulistiwa dan salah satu negara yang dilalui api bumi yang syarat dengan energi panas, uap dan tenaga air. Bahkan dalam ilmu kekinian, para generasi muda penerus bangsa telah bermimpi untuk meniadakan kerusakan eko sistim bumi baik yang diakibatkan oleh penambangan batubara yang rentan dengan kerusakan lingkungan ratusan ribu hektar, untuk dialih sempitkan menjadi sumber energi uap yang jauh lebih efektif terhadap kerusakan alam. Masalahnya tinggal tergantung kepada pimpinan negara, apakah mampu bermimpi dan berpikir untuk ini, atau berkutat sekitar usreg usregan bangsa yang dikendalikan oleh pihak ketiga. Indonesia merdeka dari hasil perjuangan panjang para leluhur dan pendiri bangsa yang penuh pengorbanan, yang ditopang dengan dedikasi dan keinginan luhur untuk merdeka, mereka gabungan rakyat dan pejuang bersenjata yang dikomandoi oleh para pemimpin bangsa bangsa di Indonesia serta para tokoh agama, ulama dan para santri. Panglima Besar Jendral Sudirman, orang pertama sebagai Bapak TNI di Indonesia merupakan salah satu fakta seorang tokoh Nasional yang berasal dari santri dan lahir dari salah satu pondok pesantren di Jawa Tengah. Makna perjalanan sejarah inilah yang harus dipahami oleh kita semua terutama para pimpinan stake holder negara, agar tidak mudah dan gegabah membubarkan ormas, orpol dan organisasi organisasi kemasyarakatan lain yang berpedoman kepada dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila. Kecuali PKI yang sejak kedatangan, kelahiran dan perkembanganya, tidak pernah bergabung dengan kekuatan kekuatan lainya, selain hanya ingin mengembangkan diri sendiri untuk mengkomuniskan Indonesia. Sekelumit contoh tentang kegiatan FPI ( Front Pembela Islam ) pada sekitar Oktober 2019, dikecamatan Sukajaya, kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dari penglihatan langsung saya sendiri, dimana FPI terjun langsung ke TKP TKP tanah longsor dan banjir, mengevakuasi para korban, baik yang sudah menjadi mayat maupun masih hidup, dengan sarana prasarana seadanya, mendirikan pos pos tenda beserta bantuan makanan, obat obatan dan pendirian / pengadaan pos pos di tempat tempat kritis yang masih cukup berbahaya, dengan semangat keibadahan telah mereka buktikan dan tunjukkan kepada kita, terutama rakyat Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Menjadi lucu dan dagelan ludrukan ketika saya melihat ada satu bendera besar dari salah satu partai besar di Indonesia, yang tertancap berkibar di pusat pengendalian operasi ( posko Kodim, posko Polisi, posko SAR, posko Pemda, posko Kesehatan dll ), karena hanya bendera doang yang ada, sedangkan tak tampak batang hidungnya orang yang menancapkan hingga operasi penanggulangan banjir dan tanah longsor selesai. Oleh karenanya, dengan telah dibubarkanya FPI ( Front Pembela Islam ) secara sepihak, dan kini bermunculan deklarasi FPI (Front Persaudaraan Islam ), yang bisa jadi akan berjamur di seantero bumi di Indonesia kita semua tidak perlu kebakaran jenggot, karena seperti halnya ormas / orpol yang lain, mereka adalah aset bangsa, yang sewaktu waktu bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan negara, yang dilindungi dan dijamin oleh hukum / Undang Undang. Marilah semua ormas / orpol yang ada, kita kompak dan bersatu padu, menyikapi dan menghadapi musuh nyata yang sesungguhnya dan yang sebenar benarnya, yaitu pihak asing CINA yang telah bergabung, berkolaborasi, berkonspirasi dengan bangsa kita sendiri, para pecundang, penjilat dan pengkhianat negara. Sekali lagi selamat untuk FPI (Front Persaudaraan Islam) atas dekkarasi deklarasinya, jadilah Ormas yang layak diteladani oleh ormas yang lain, untuk pererat dan perkuat persatuan dan kesatuan bangsa, ketentraman, kenyamanan dan kejayaan NKRI....Aamiin...🤲 *) Purnawirawan TNI AD
Kedaulatan Negara Tertinggi di Tangan Rakyat
Bukan pada tempatnya kita mempercayakan negara hanya pada seorang Presiden, meskipun sudah melalui prosedur dan mekanisme yang sah. Oleh Sugengwaras *) MEMANG Presiden adalah kepala pemerintahan, juga sebagai kepala Negara bahkan Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata, namun dalam perjalananya ada hukum yang *mengikat* untuk mematuhi aturan aturan yang telah disepakati bersama rakyat dan ada hukum yang *memaksa* untuk memberikan sanksi jika ada aturan yang dilanggar. Sifat hukum yang berlaku sama terhadap siapapun WNI yang melanggar tidak bisa dianulir dengan diskresi hukum yang dibuat tiba tiba bak membuat sambal dadakan di warung warung. Maka jika kita simak perjalanan selama era kabinet Jokowi, tidak terhitung pelanggaran pelanggaran yang dilakukan baik dalam proses kelahiran UU maupun Perpu yang membuat kontra respons. Hanya karena ada cara cara dan langkah langkah yang spektakuler, yang membuat rakyat takut dan tidak berdaya, menjadikan rezim ini merasa paling bisa, paling benar, paling berani dan paling berkuasa. Sungguh lebih memprihatinkan ketika seluruh jajaran stake holder menjadi lupa diri dan kehilangan jati diri. Saya respon terhadap rakyat apapun agama, keturunan dan golongannya yang merasakan keprihatinan fenomena ini. Saya mengerti dan melihat upaya upaya yang telah dilakukan bak cara berbicara dengan orang buta atau orang tuli. Saya juga menyaksikan langkah langkah konstitusi /hukum yang ditempuh, nampaknya belum ada hasil yang signifikan, bahkan nyaris membahayakan diri sendiri, sebagai akibat ada indikasi konspirasi. Saya juga membaca gelagat para buzzer dan influencer yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk kepentingan diri sendiri. Maka saya menghimbau, jangan pernah bosan dan menyerah dalam berdoa, berucap maupun bertindak dalam hal kebaikan termasuk penegakan hukum. Jangan merasa paling berjasa karena anda sudah berbuat, jangan merasa kecil hati karena anda hanya bisa berdoa dan jangan merasa tidak berarti karena anda hanya mampu berucap lisan maupun tulisan. Percayalah doa, ucapan dan tindakan nyata, jika disinergikan akan menjadi kekuatan dahsyat! Inilah sesungguhnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang hakiki, saling menghargai, saling menghormati dan tidak saling mencela, namun bersikap tegas dalam hal yang prinsip dan hal hal yang sulit diterjemahkan. Sekali lagi, janganlah berpikir paling berani sendiri, karena sesungguhnya masih sangat banyak orang orang yang lebih berani. Maka, jika para pemberani ini bersatu dan bersinergi dalam SATU KOMANDO niscaya akan mampu berbuat untuk perubahan yang lebih baik. *) Purnawirawan TNI AD
PN Tangerang Vonis Mafia Pengurusan Pajak 3 Tahun Penjara dan Denda Rp3 M
Tangerang, FNN - Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, menjatuhkan vonis penjara selama tiga tahun dan denda Rp34 miliar lebih kepada Sugito atas tindak pidana di bidang perpajakan berupa membantu dan atau turut serta menerbitkan dan atau menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS). Kabid Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Kanwil DJP Banten Sahat Dame Situmorang dalam keterangan tertulisnya, Senin, mengungkapkan dalam petikan putusan Pengadilan Negeri Tangerang nomor 659/Pid.Sus/2021/PN.Tng dinyatakan bahwa terdakwa Sugito terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. "Selain itu turut serta melakukan, dengan sengaja menerbitkan faktur pajak, yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, yang merupakan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan,”. kata Sahat mengutip putusan pengadilan. Dalam putusan tersebut, dinyatakan pula bahwa jika terdakwa tidak membayar paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan kemudian dilelang untuk membayar denda, dalam hal harta bendanya tidak mencukupi maka terdakwa dijatuhkan hukuman kurungan pengganti denda selama satu bulan. Sahat mengatakan modus yang dilakukan oleh tersangka adalah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan (dengan menjadi perantara ke pengguna faktur, yaitu dengan turut serta melakukan atau membantu melakukan penerbitan faktur pajak TBTS yang dilakukan oleh Sepi Muharam dan Lukmanul Hakim dengan cara mendirikan, membeli atau menggunakan perusahaan penerbit Faktur Pajak TBTS di beberapa perusahaan. "Terhadap perbuatan tersangka, sesuai dengan Pasal 39A huruf a Jo. Pasal 43 ayat satu Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2009 UU KUP, diancam dengan hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun serta denda paling sedikit dua kali dan paling banyak enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak," katanya. Sugito telah disangka membantu dan atau turut serta menerbitkan dan atau menggunakan faktur pajak yang Tidak Berdasarkan Transaksi yang Sebenarnya (TBTS) melalui PT Mutiara Permai Sejahtera, PT Teknik Catur Sukses, PT Yaya Guna Sejahtera, PT Citra Indo Pradana, PT Konala Sukses Abadi, dan PT Duta Gading Makmur. Atas perbuatan tersangka dalam kurun waktu Januari 2015 hingga Desember 2017 telah menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp17.184.730.726. Keberhasilan Kanwil DJP Banten dalam menangani tindak pidana di bidang perpajakan menunjukkan keseriusan dalam melakukan penegakan hukum dalam bidang perpajakan di wilayah provinsi Banten dan merupakan wujud koordinasi yang baik antar aparat penegak hukum yang telah dilakukan oleh Kanwil DJP Banten, Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi Banten. "Keberhasilan ini sekaligus yang akan memberikan peringatan bagi para pelaku lainnya dan juga untuk mengamankan penerimaan negara demi tercapainya pemenuhan pembiayaan negara dalam APBN," kata dia. (sws, ant)
Walkot Cimahi Suap Rp507,39 Juta ke Penyidik KPK untuk Amankan Perkara
Jakarta, FNN - Wali Kota Cimahi nonaktif Ajay Muhammad Priatna disebut memberikan suap senilai Rp507,39 juta kepada penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju agar tidak jadi tersangka dalam penyidikan dugaan korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) di Kabupaten Bandung, Kota Bandung serta Kota Cimahi. "Bahwa untuk membantu Ajay Muhammad Priatna agar Kota Cimahi tidak masuk dalam penyidikan perkara bansos, terdakwa Stepanus Robin Pattuju dan Maskur Husain telah menerima uang seluruhnya Rp507,39 juta," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Lie Putra Setiawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin. Hal tersebut terungkap dalam surat dakwaan Stepanus Robin Pattuju dan Maskur Husain. Awalnya, sekitar Oktober 2020 di Lapas Sukamiskin, Robin, Agus Susanto dan Maskur Husain bertemu dengan Saeful Bahri yang merupakan kader PDIP sekaligus terpidana kasus korupsi pemberian suap kepada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan. "Pada kesempatan tersebut, Maskur Husain menginformasikan terdapat kemungkinan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna sedang menjadi target KPK dan Saeful Bahri lalu meminta agar Ajay Muhammad Priatna dibantu," tambah jaksa. Ajay lalu ditemui dan diyakinkan oleh seorang bernama Yadi bahwa KPK sedang melakukan penyelidikan di Bandung Barat terkait kasus bansos di kabupaten Bandung, kota Bandung serta kota Cimahi. Aadi lalu menyebut salah satu penyidik KPK bernama Roni yaitu Stepanus Robin Pattuju bisa membantu Ajay terkait permasalahan tersebut. Ajay lalu menemui Robin di Hotel Geulis dan setelah berdiskusi dengan Maskur Husain, Robin bersedia membantu Ajay agar Kota Cimahi tidak masuk dalam penyidikan perkara bansos dengan imbalan sejumlah uang. Pada 14 Oktober 2020 di penginapan Tree House Suite Jakarta Selatan, Robin dan Ajay kembali bertemu dan saat itu Robin meyakinkan Ajay bahwa dirinya benar dari KPK dan bersedia membantu Ajay dengan imbalan Rp1,5 miliar. Namun Robin dan dan Ajay lalu sepakat nilai pemberian uang sejumlah Rp500 juta dan saat itu Ajay hanya mampu memberikan Rp100 juta. Keesokan harinya, masih di tempat yang sama, ajudan Ajay bernama Evodie Dimas Sugandy menyerahkan tambahan uang sejumlah Rp387,39 juta dalam bentuk mata uang rupiah, dolar Singapura, dan dolar AS kepada Robin dan Maskur Husain dengan meletakkannya di sebuah kamar yang telah ditentukan. Pada 24 Oktober 2020 di salah satu rumah makan di Dago Bandung, Robin kembali menerima uang sejumlah Rp20 juta dari Ajay sehingga total uang yang diterima Robin dan Maskur adalah Rp507,39 juta. Uang tersebut kemudian dibagi dua yaitu Robin mendapat Rp82,39 juta sedangkan Maskur Husain memperoleh Rp425 juta. Dalam perkara ini, Robin dan Maskur Husain didakwa menerima seluruhnya Rp11,025 miliar dan 36 ribu dolar AS (sekitar Rp513 juta) sehingga totalnya sebesar Rp11,5 miliar terkait pengurusan lima perkara di KPK. Robin dan Maskur didakwa menerima dari M Syahrial sejumlah Rp1,695 miliar, Azis Syamsudin dan Aliza Gunado sejumlah Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS, Ajay Muhammad Priatna sejumlah Rp507,39 juta, Usman Effendi sejumlah Rp525 juta dan Rita Widyasari sejumlah RpRp5.197.800.000. M. Syahrial adalah Wali Kota Tanjungbalai nonaktif; Azis Syamsudin adalah Wakil Ketua DPR dari fraksi Partai Golkar; Aliza Gunado adalah kader Golkar yang pernah menjabat sebagai mantan Wakil Ketua Umum PP Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG); Ajay Muhammad Priatna adalah Wali Kota Cimahi non-aktif; Usman Effendi adalah Direktur PT. Tenjo Jaya yang juga narapidana kasus korupsi hak penggunaan lahan di Kecamatan Tenjojaya, Sukabumi, Jawa Barat; dan Rita Wisyasari adalah mantan Bupati Kutai Kartanegara. Atas perbuatannya, Robin dan Maskur didakwa berdasarkan pasal 12 huruf a atau pasal 11 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. (sws, ant).
Azis Syamsuddin Sogok Rp3,613 Miliar ke Penyidik KPK untuk Urus Kasus
Jakarta, FNN - Wakil Ketua DPR dari fraksi Partai Golkar Azis Syamsudin bersama dengan kader partai beringin lain yaitu Aliza Gunado disebut memberikan suap senilai Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS (sekitar Rp513 juta) sehingga totalnya sekitar Rp3,613 miliar ke penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju untuk mengurus kasus di Lampung Tengah. "Bahwa untuk mengurus kasus yang melibatkan Azis Syamsudin dan ALiza Gunado di KPK, terdakwa Stepanus Robin Pattuju dan Maskur Husain telah menerima uang dengan jumlah keseluruhan sekitar Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS (sekitar Rp513 juta)," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Lie Putra Setiawan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin. Hal tersebut terungkap dalam surat dakwaan Stepanus Robin Pattuju dan Maskur Husain. Dalam surat dakwaan disebut pada awalnya sekitar Agustus 2020, Robin dimintai tolong Azis Syamsudin berdiskusi dengan Maskur Husain apakah bersedia mengurus kasus yang melibatkan Azis Syamsudin dan Aliza Gunado terkait penyelidikan KPK di Lampung Tengah. Robin dan Maskur Husain sepakat untuk mengurus kasus yang melibatkan Azis Syamsudin dan Aliza Gunado tersebut asal diberi imbalan uang sejumlah Rp2 miliar dari masing-masing yaitu Azis Syamsudin dan Aliza Gunado dengan uang muka sejumlah Rp300 juta. Azis lalu menyetujui syarat pemberian uang senilai total Rp4 miliar tersebut. Robin lalu menerima uang muka sejumlah Rp100 juta dan Maskur Husain menerima sejumlah Rp200 juta melalui transfer rekening milik Azis Syamsudin pada 3 dan 5 Agustus 2020 Pada 5 Agustus 2020, Robin juga menerima tunai sejumlah 100 ribu dolar AS dari Azis Syamsudin rumah dinas Azis di Jalan Denpasar Raya 3/3 Jakarta Selatan. "Dimana terdakwa datang ke rumah dinas diantar oleh Agus Susanto. Uang tersebut sempat terdakwa tunjukkan kepada Agus Susanto saat ia sudah kembali ke mobil dan menyampaikan Azis Syamsudin meminta bantuan terdakwa, yang nantinya Agus Susanto pahami itu terkait kasus Azis Syamsudin di KPK," tambah jaksa. Robin lalu membagi-bagi uang tersebut yaitu sejumlah 36 ribu dolar AS kepada Maskur Husain di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menukarkan sisanya sebanyak 64 ribu dolar AS di "money changer" dengan menggunakan identitas Agus Susanto sehingga memperoleh uang rupiah sejumlah Rp936 juta. Uang tersebut sebagian diberikan kepada Maskur Husain yaitu sejumlah Rp300 juta di Rumah Makan Borero, Keramat Sentiong. "Selanjutnya mulai akhir Agustus 2020 sampai Maret 2021, terdakwa beberapa kali menerima sejumlah uang dari Azis Syamsudin dan Aliza Gunado dengan jumlah keseluruhan 171.900 dolar Singapura," ungkap jaksa. Robin lalu menukar uang tersebut menggunakan identitas Agus Susanto dan Rizky Cinde Awaliyah yang merupakan teman wanita Robin sehingga diperoleh uang senilai Rp1.863.887.000. Sebagian uang lalu diberikan ke Maskur Husain antara lain pada awal September 2020 di Rumah Makan Borero sejumlah Rp1 miliar dan pada September 2020 di Rumah Makan Borero sejumlah Rp800 juta. Total uang yang diterima Robin dan Masku adalah sekitar Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS. "Kemudian terdakwa dan Maskur Husain bagi, dimana terdakwa memperoleh Rp799.887.000, sedangkan Maskur Husain memperoleh Rp2,3 miliar dan 36 ribu dolar AS," ungkap jaksa. Dalam perkara ini, Robin dan Maskur Husain didakwa menerima seluruhnya Rp11,025 miliar dan 36 ribu dolar AS (sekitar Rp513 juta) sehingga totalnya sebesar Rp11,5 miliar terkait pengurusan lima perkara di KPK. Robin dan Maskur didakwa menerima dari M Syahrial sejumlah Rp1,695 miliar, Azis Syamsudin dan Aliza Gunado sejumlah Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS, Ajay Muhammad Priatna sejumlah Rp507,39 juta, Usman Effendi sejumlah Rp525 juta dan Rita Widyasari sejumlah RpRp5.197.800.000. M. Syahrial adalah Wali Kota Tanjungbalai nonaktif; Azis Syamsudin adalah Wakil Ketua DPR dari fraksi Partai Golkar; Aliza Gunado adalah kader Golkar yang pernah menjabat sebagai mantan Wakil Ketua Umum PP Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG); Ajay Muhammad Priatna adalah Wali Kota Cimahi non-aktif; Usman Effendi adalah Direktur PT. Tenjo Jaya yang juga narapidna kasus korupsi hak penggunaan lahan di Kecamatan Tenjojaya, Sukabumi, Jawa Barat; dan Rita Wisyasari adalah mantan Bupati Kutai Kartanegara. Atas perbuatannya, Robin dan Maskur didakwa berdasarkan pasal 12 huruf a atau pasal 11 jo pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo padal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. (sws, ant).