ALL CATEGORY
KPK Didesak Tetapkan Azis Syamsuddin Jadi Tersangka
Jakarta, FNN - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menetapkan Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin sebagai tersangka. Petrus, dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Sabtu.menyebut fakta keterlibatan Azis dalam dugaan kasus korupsi jual beli jabatan yang melibatkan Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara M Syahrial dan mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju sudah sangat terang-benderang. "Fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan Syahrial dan pemeriksaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terhadap Robin semakin memperjelas peran dan keterlibatan Azis. Azis terlihat berusaha merintangi penyidikan dugaan korupsi Syahrial di KPK," kata Petrus. Ia pun mengutip pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri pada 24 April 2021 yang menyebut peran Azis dalam memfasilitasi dan membantu mempertemukan Robin dengan Syahrial. Diketahui, pada 24 April 2021 adalah jumpa pers KPK dihadiri oleh Firli terkait penahanan Syahrial yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka bersama Robin dan advokat Maskur Husain dalam kasus dugaan suap terkait penanganan perkara Wali Kota Tanjungbalai Tahun 2020-2021. Kemudian, kata dia, dalam pembacaan surat dakwaan terhadap Syahrial oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pada 12 Juli 2021 telah membeberkan peran Azis untuk menghentikan perkara. Disebutkan juga Azis berperan memfasilitasi Syahrial bertemu dengan Robin di rumah jabatan Wakil Ketua DPR. Selanjutnya, fakta persidangan terkait kesepakatan Syahrial membayar uang sebesar Rp1,5 miliar kepada Robin untuk menghentikan penyidikan. Fakta lain, lanjut Petrus, adalah hasil penelusuran dan putusan Dewas KPK yang menyebut Robin menerima uang dari Azis sebesar Rp3,15 miliar. Uang itu diduga untuk menghentikan perkara di Lampung Tengah terkait dengan Aliza Gunado. "Dari fakta-fakta itu, ada beberapa peristiwa pidana korupsi yang melibatkan Azis. Mulai dari suap, permufakatan jahat untuk menghentikan penyidikan dan larangan bagi pegawai KPK bertemu pihak yang sedang diperiksa KPK. Jadi, sudah cukup kuat alasan untuk naikan status Azis dari saksi menjadi tersangka disertai penahanan, mengingat masa cekal Azis akan segera berakhir," ujar Petrus. Oleh karena itu, ia mengingatkan KPK tidak mengulur-ulur waktu untuk melakukan penindakan terhadap Azis. Alasannya, bisa melahirkan rekayasa "post factum" yang merupakan modus baru menyangkal fakta-fakta hasil penyidikan. "Post factum" akan mengacaukan fakta-fakta hasil penyidikan KPK bahkan hasil pemeriksaan Dewas KPK yang menyebut total dana yang diterima oleh Robin dari Syahrial sebesar Rp10 miliar. "Azis menyebut hanya memberikan Rp200 juta kepada Robin sebagai pinjaman. Padahal selama penyidikan dan pemeriksaan Dewas KPK tidak terungkap. Ini modus baru dalam bentuk "post factum", tutup Petrus. (sws)
Bambang Widjojanto: Unsur Korupsi Gubernur Sumbar Perlu Kajian
Padang, FNN - Praktisi hukum Bambang Widjojanto mengemukakan, unsur korupsi dalam surat permintaan sponsor penerbitan buku profil Sumatera Barat (Sumbar) yang menggunakan kop dan ditandatangani oleh Gubernur Mahyeldi masih perlu kajian. "Ada pertanyaan yang muncul apakah surat tersebut terdapat unsur korupsi mengacu kepada pasal 12 huruf e UU Tipikor. Untuk menjawabnya perlu diajukan beberapa pertanyaan yang harus didiskusikan," kata dia saat dihubungi dari Padang, Sabtu. Dalam pasal 12 huruf e UU Tipikor dinyatakan "pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri" Menurut mantan wakil Ketua KPK tersebut, bila melihat perihal surat penerbitan profil dan potensi Sumbar maka perlu diajukan pertanyaan, apakah surat ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. "Sebab surat itu ditujukan justru untuk kepentingan dan keuntungan pembangunan Sumatera Barat," kata dia. Kemudian jika dilihat cara tindakannya, yaitu dengan suatu surat dan isi dari surat perlu dipertanyakan, apakah ada atau tidak ada "job desk" gubernur atau aturan di pemerintahan daerah yang dilanggar dalam kaitannya dengan penerbitan surat tersebut. "Ini perlu diperiksa karena surat itu sudah dikaji dan dirumuskan lebih dulu oleh SKPD di bawahnya yang juga disetujui oleh sekda," katanya. Dengan begitu, menurut dia, sulit untuk menjelaskan pertanyaan apa ada unsur melawan hukum atau dugaan penyalahgunaan kewenangan serta adanya kepentingan dari penandatangan surat itu. Selain itu, dia melihat ujung dari tujuan surat berupa permohonan dengan kalimat diharapkan kesediaannya untuk dapat berpartisipasi dan kontribusi dalam mensponsori penyusunan dan penerbitan buku. "Maka apakah bisa dibuktikan dan bisa dilihat adanya unsur paksaan yang dilakukan oleh pembuat isi surat itu," kata dia. Sebelumnya, Polresta Padang mengamankan lima orang yang mengedarkan surat permohonan sponsorship penerbitan buku profil dan potensi Sumbar bertandatangan Gubernur Sumbar Mahyeldi. Kasatreskrim Polresta Padang, Kompol Rico Fernanda menyampaikan lima orang yang diamankan bukan ASN Pemprov Sumbar yang kemudian berstatus sebagai saksi. Rico menyampaikan hingga saat ini pihaknya telah memeriksa 10 saksi dari kalangan pemerintah provinsi (Bappeda), lima orang sebagai terlapor dan lainnya. Selain itu, Kepolisian juga mengamankan ratusan surat yang rencananya disebar ke berbagai instansi ataupun lembaga di daerah setempat. Surat tersebut tertanggal 12 Mei 2021 bernomor 005/3904/V/Bappeda-2021, sedangkan perihalnya adalah penerbitan profil dan potensi Provinsi Sumatera Barat. Di dalam surat terbubuh tanda tangan Gubernur Mahyeldi itu, digunakan oleh lima orang untuk meminta uang kepada sejumlah pihak. Dalam surat dibunyikan agar penerima surat berpartisipasi dan kontribusi dalam mensponsori penyusunan dan penerbitan buku profil "Sumatera Barat "Provinsi Madani, Unggul dan Berkelanjutan" dalam versi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris serta Bahasa Arab serta dalam bentuk "soft copy". Surat itu menjadi polemik karena ada warga yang melapor ke polisi dan menemukan keanehan. Warga tersebut merasa aneh karena surat bertandatangan gubernur disebarkan oleh orang yang bukan pegawai serta uang untuk dukungan sponsor pun disetor ke rekening pribadi bukan rekening daerah atau dinas. Laporan itu kemudian ditindaklanjuti dengan penelusuran serta mengamankan kelima orang berikut surat-surat yang dibawa. Hingga saat ini penyidik Kepolisian Resor Kota (Polresta) Padang belum menentukan status untuk kasus permintaan sponsor dengan bermodalkan surat bertandatangan Gubernur Sumbar Mahyeldi. (sws)
Partai Gelora: Biaya Pemilu Mahal Bumerang Bagi Demokrasi
Jakarta, FNN - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah mengatakan mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada), telah menjadi "bumerang" bagi keberlangsungan sistem demokrasi dan keberadaan partai politik di Indonesia. "Hal itu melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. Karena keterpilihan mereka tidak ditentukan kualitas dan kapabilitasnya, tapi 'isi tas' atau besaran dana politik yang bersumber dari kantong pribadi atau dari penyandang dana," kata Fahri dalam keterangannya, di Jakarta, Minggu. Dia menilai tidak mengherankan apabila ketika para politisi atau pejabat terpilih dalam jabatan tertentu, maka yang terpikir pertama kali adalah bagaimana mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan agar "balik modal". Menurut dia, hampir tidak ada klaster politik yang tidak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kasus terbaru adalah seorang anggota DPR dengan istrinya yang merupakan seorang bupati ditangkap KPK. Fahri mengatakan, kerusakan sebuah negara demokrasi, bisa dilihat setidaknya dari tingkah laku parpolnya terutama yang masuk dalam lingkaran kekuasaan. "Segera dilakukan pembenahan agar parpol dan sistem demokrasinya sehat. Partai politik itu sebenarnya lembaga pemikiran untuk mengintroduksi cara berpikir dalam penyelenggaraan negara, namun sekarang justru menjelma menjadi mesin kekuasaan," ujarnya. Dia menegaskan bahwa Partai Gelora akan berusaha untuk memutus "lingkaran setan" tersebut, karena pertarungan politik adalah pertarungan rakyat, bukan pertarungan pribadi atau partai politik. Menurut dia, negara yang beres sistem politiknya harus bebas korupsi, sehingga sistemnya harus ditata dan dikelola dengan baik, termasuk soal pembiayaan politik. "Saya juga tidak mau kalau calon anggota legislatif (caleg) dibiayai partai, karena kalau dia bersalah, partai politik akan mengambil kepemilikannya," katanya lagi. Fahri menilai pembiayaan politik yang mahal sebenarnya bisa disiasati dan ditekan seminimal mungkin dengan berbagai cara, misalnya menggelar pertemuan secara virtual dibandingkan bertemu dengan cara bertatap muka. Ketua Bidang Perempuan DPN Partai Gelora Indonesia Ratih Sanggarwati mengatakan partai akan mendorong kaum perempuan untuk maju dalam konstestasi Pemilu 2024 dalam rangka memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen. "Saya berharap semua perempuan di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki kapasitas yang hebat untuk maju sebagai kandidat di pemilu. Tidak lagi berpikir terganjal biaya politik yang mahal, tapi harus kita dorong untuk mampu dan mau berkontestasi pada pemilu terutama untuk memenuhi kuota keterwakilan 30 persen perempuan," ujarnya. Dia menilai praktik-praktik pembiayaan politik yang mahal selama ini tidak mencerdaskan masyarakat dan hanya menyuburkan perilaku korupsi, sehingga muncul istilah "Serangan Fajar" dan "Wani Piro?". Menurut dia, tindakan tersebut harus dihindari, karena selain melanggar aturan, praktik-praktik politik seperti itu sangat tidak mencerdaskan masyarakat. Ratih mengatakan sebaiknya dana kampanye disiapkan untuk membuat berbagai alat peraga kampanye atau untuk membuat iklan di media massa jika diperlukan sebagai upaya mengedukasi masyarakat. (sws)
Bung Radhar Sudah Lurus
By M Rizal Fadillah APA yang ditulis oleh Radhar Tribaskoro berjudul "Bung Zulhas" itu sebenarnya sudah sangat benar. Artinya tidak ada hal yang menegasikan pandangan Zulhas. Hanya Radhar diujung tulisan membuat warning agar Zulhas dan partai nya tetap berjalan di jalur reformasi. Itupun sudah sangat tepat. Tulisan Lutfi Nasution yang mencoba meluruskan sebenarnya tidak perlu, apalagi sampai bahasa "terkejut". Radhar menegaskan bahwa sila keempat Pancasila tentang kerakyatan "yang dipimpin" tidak boleh disimpangkan menjadi demokrasi terpimpin sebagaimana pernah diimplementasikan pada periode kepemimpinan Soekarno 1959-1965. Presiden yang memiliki kekuasaan besar sering membangun tafsir sendiri soal norma-norma kenegaraan. Soekarno adalah contoh. Menurut Radhar tahun-tahun kepemimpinan Soekarno adalah "periode gelap" yang menjadikan Presiden sebagai diktator. Kediktatoran itu di samping disebabkan oleh tafsir sendiri atas norma kenegaraan juga akibat dukungan tanpa syarat dari lingkaran dalam dan luar atas kepemimpinan absolutnya. Ini yang dikhawatirkan Radhar kepada siapapun, termasuk Zulhas, yang bisa saja menjadi pendukung bagi pergeseran sistem pemerintahan ke arah demokrasi terpimpin. Menurut Radhar seharusnya keterpimpinan itu bukan pada personal tetapi pada nilai "hikmat dan kebijaksanaan" dengan mekanisme "permusyawaratan" sebagaimana rumusan tegas sila keempat Pancasila. Kewaspadaan ini menjadi penting mengingat fenomena politik saat ini adalah tampilan loyalitas tanpa syarat. Pertemuan puja puji Ketum Partai koalisi di Istana baru-baru ini menjadi contoh. Zulhas termasuk di dalamnya. Radhar sebenarnya mengingatkan dan mengkhawatirkan akan hal itu. Apalagi pemerintahan Jokowi sejak 2015 juga telah cenderung bersifat oligarkhis dan otoriter. Kooptasi dan kendali atas partai politik dapat menjadi peta jalan bagi demokrasi terpimpin sebagaimana dahulu Soekarno berhasil menghimpun kekuatan Partai Politik dalam wadah Front Nasional. Zulhas tentu saja tidak mendukung demokrasi terpimpin, tetapi melihat arah politik kini yang oligarkhis dan otoritarian bukan mustahil secara tidak disadari para Ketua Umum partai koalisi telah dan akan memberi andil bagi arah terwujudnya sistem pemerintahan demokrasi terpimpin tersebut. Radhar Tribaskoro sekadar mengingatkan. Bung Radhar tak perlu diluruskan. Ia menjadi radar rakyat yang mencium gelagat arah dari politik yang semakin buruk. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Reign of Fear: Cara Orang Bodoh Meminpin Negara
By Asyari Usman JUDUL tulisan ini lebih-kurang bermakna “menjalankan kekuasaan dengan cara menakut-nakuti”. Kalau Anda buka kamus, kemungkinan besar arti “reign of fear” (ROF) itu adalah “pemerintahan ketakutan”. Pada dasarnya, kekuasaan pemerintahan yang mengandalkan ancaman. Bisa ancaman pidana, ancaman penjara, ancaman penangkapan, dsb. Bahkan pembunuhan dan penyiksaan. Di bawah cengkeraman “reign of fear”, pihak oposisi dan pengeritik selalu dihantui ketakutan. Takut dipenjarakan. Takut serangan fisik. Dan takut proses hukum yang selalu dimenangkan oleh pihak yang berkuasa. Sumber hukum tertinggi “reign of fear” adalah dua pasal yang sangat terkenal di dunia hukum rimba. Pasal 1, penguasa tidak pernah salah. Pasal 2, kalau penguasa salah, lihat Pasal 1. Di Indonesia, “reign of fear” itu mengambil beberapa bentuk implementasi. Pertama, mengandalkan kebrutalan aparat keamanan. Ada demo, sikat. Ada gejala aksi protes meluas, tindas habis. Atau ditangkap dengan tuduhan yang bisa dibelok-belokkan sesuka hati penguasa. Peluru karet dan peluru tajam tak tentu lagi mana yang duluan dipakai. Gas air mata adalah kesewenangan yang teringan. Ciduk orang-orang yang terlihat “leading” di demo jalanan. Tujuannya adalah menimbulkan efek jera. Supaya orang takut berdemonstrasi. Kedua, mengandalkan pasal-pasal UU ITE. Yang digunakan untuk mengancam kaum oposisi pemakai media sosial (medsos). Juga untuk mengancam para penulis yang tak sejalan dengan penguasa. Pasal-pasal ITE sangat elastis. Bisa ke mana saja. Penggunaanya sama dengan berbagai pasal karet UU antisubversi di tahun 70-an hingga 80-an. Ketiga, pengendalian sejumlah platform media sosial (medsos) termasuk Facebook, Twitter, Youtube, dll. Para pejabat menggunakan kekuasaan mereka untuk memblokir atau menskorsing akun-akun medsos yang kritis. Keempat, tekanan langsung kepada media atau acara televisi yang populer di masyarakat tetapi merugikan penguasa. Penghentian talk-show Indonesia Lawyers Club (ILC) adalah contoh tindakan brutal terhadap media yang tidak memihak penguasa. Itulah antara lain praktik-praktik yang mendukung “reign of fear”. Tebar ketakutan di tengah masyarakat khususnya di kalangan pengguna media sosial. Dalam bentuk yang ekstrem, penguasa ROF tidak segan-segan melakukan tindakan yang tidak seharusnya terjadi di sebuah negara yang menerapkan demokrasi. Bentuk ekstrem ini antara lain pembunuhan sadis, penyiksaan, penghilangan, atau pencederaan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai musuh penguasa. Misalnya, pembacokan di jalanan oleh orang tak dikenal. Penyiraman air keras. Atau intimidasi langsung ke lingkungan tempat tinggal orang-orang yang kritis. Tindakan-tindakan sadis seperti contoh di atas sebagian terungkap sebagai operasi resmi atas nama institusi keamanan. Ada pula operasi oknum aparatur keamanan. Ini sangat menakutkan. Sebab, orang-orang kritis itu boleh dikatakan “tak berdaya”. Sangat rentan untuk diserang secara fisik di mana saja. Begitulah cara kerja ROF. Seram dan kejam. Itu mereka lakukan untuk menimbulkan ketakutan kepada orang yang bersuara sumbang terhadap penguasa. Seperti apa tipe penguasa yang menggunakan ROF? Secara universal, ROF dilakukan oleh orang-orang yang peradabannya adalah kebiadaban. Penguasa tak rela menerima kritik pedas. Kekerasan adalah argumentasi mereka. Di negara-negara otoriter, ROF tidaklah mengherankan. Tapi, sangat tak masuk akal kalau itu terjadi di negara dengan sistem demokrasi. Lalu, mengapa ROF bisa muncul di negara demokratis? Hanya ada satu kemungkinan. Bahwa cara ini adalah andalan utama para penguasa yang “terpilih secara demokratis” namun tidak memiliki kapabilitas (kemampuan) untuk mengelola negara. Kebodohan dan ketidakmampuan menjelma setiap hari. “Reign of fear” diaktifkan untuk menutupi ketidakmampuan dan kebodohan itu. Sebagai catatan, "reign of fear" dekat-dekat dengan "reign of terror". Yaitu, menjalankan kekuasaan dengan meneror rakyat sendiri. Cara-cara ROF memang bisa membantu para penguasa mempertahankan kekuasaan mereka. Tetapi, di sepanjang kekuasaan itu pula berlangsung ketegangan antara penguasa dan rakyat. Hubungan yang tegang itu adalah bom waktu. Pasti akan sampai ke detik-detik terakhir “timer”-nya.[] (Penulis wartawan senior FNN)
Luput Interpelasi Formula E, Muncul Petisi: GM Satu di Antara Inisiatornya
Oleh Ady Amar *) FRAKSI partai politik DPRD DKI Jakarta, PDIP dan PSI, gagal ajukan Interpelasi berkenaan dengan pembatalan penyelenggaraan Formula E, karena penolakan 7 fraksi partai politik lainnya. Akrobat dua partai tadi, itu hal yang sudah biasa dilakukan. Semua yang sedang dikerjakan dan akan dikerjakan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, menjadi aneh jika tidak disikapi negatif. Anies dibuat tanpa ada baiknya, dibuat tampak buruk. Maka, sekali lagi, hal biasa jika dua partai tadi bersikap menolak kebijakan yang dibuat Anies Baswedan. Kegagalan interpelasi itu diserupakan pahlawan yang gagal di medan laga. Maka di kantor DPRD DKI Jakarta, dipenuhi belasan karangan bunga tanda respek atas perjuangan dua partai tadi. Semacam tradisi "tipu-tipu" mencoba menggiring opini, seolah karangan bunga itu diberikan "rakyat" Jakarta karena perjuangan keras dua partai tadi. Gak jelas siapa pengirimnya, tapi muncul nama pengirimnya dibuat aneh-aneh, seperti ngasal saja dalam memberi nama. Misal, nama pengirimnya, "Forum Duda", "Pemerhati Teman Makan Malam", dan nama-nama aneh lainnya. Pengirimnya bisa jadi diri sendiri, dan itu untuk memuji diri sendiri. Hehehee... Sejak era Ahok kalah dari Anies di Pilkada DKI Jakarta (2017), tradisi kirim karangan bunga seperti dilestarikan. Saat itu ribuan karangan bunga dikirim atas kekalahan Ahok, seolah ingin disimbolkan bahwa kalahnya itu bukan kalah sebenarnya, tapi kalah oleh politik aliran yang dihembuskan kaum fanatik (Islam). Kalah yang tidak mau disebut kalah, lalu cari-cari alasan. Aneh memang, kalah kok dapat karangan bunga. Tapi sebenarnya ada cerita di balik karangan bunga itu. Begini ceritanya... Ahok-Djarot oleh pendukungnya sudah dibayangkan pemenang dalam pilkada DKI Jakarta 2017 itu. Segala hitung-hitungan sudah dibuat, segala cara sudah ditempuh. Maka perayaan kemenangan sudah direncanakan sebelum pencoblosan. Termasuk mempersiapkan ribuan ucapan kemenangan dengan karangan bunga. Uang pun sudah dibayarkan pada perusahaan jasa pembuat karangan bunga. Tapi setelah jagoannya dinyatakan kalah, sedang uang sudah dibayarkan, dan daripada uang hilang maka pesan dalam karangan bunga yang tadinya Selamat Atas Kemenangan... diubah menjadi ucapan bernada belangsungkawa atas kekalahan itu. Isinya dengan narasi macam-macam, intinya penuh ratapan. Maka pengiriman karangan bunga dijadikan media politik absurd. Jadi tradisi yang berketerusan, itu bisa dilihat juga saat Pangdam Jaya, Mayjen Dudung Abdurrahman perang terhadap ratusan baliho Habib Rizieq Shihab. Maka markas Pangdam Jaya dipenuhi karangan bunga, yang intinya dukungan atas langkah "perang" lawan baliho. Tradisi karangan bunga yang dikirim berikutnya, pasca keoknya Ahok, itu tampak ada kaitan dengan mereka yang belum move on dengan kekalahan pilkada DKI Jakarta. Habib Rizieq dianggap sosok yang bekerja keras memenangkan Anies saat itu. Makanya itu Pangdam Jaya dianggap simbol pahlawan dalam "peperangan" melawan Habib Rizieq. Sedang "mengerjai" Anies, yang selalu diwakili PDIP dan PSI, itu bukan sekadar memori kekalahan 2017 yang tidak terlupa, tapi lebih pada menjegal agar Anies bukan sosok yang pantas tampil pada perhelatan Pilpres 2024. Menggagalkan penyelenggaraan Formula E dengan dalih macam-macam, itu juga bagian dari itu. Dan tentu tidak akan berhenti, akan terus ada berbagai macam godaan "ditembakkan" pada Anies. Muncul Petisi Gagal lewat Interpelasi di DPRD DKI Jakarta, yang diwakili PDIP dan PSI, langkah menggagalkan Formula E ini diteruskan lewat Petisi, yang digagas 19 orang. Dari 19 orang ini ada jurnalis gaek Goenawan Mohamad (GM), musisi Ananda Sukarlan, yang memang Ahokers sejati, yang menjadikan Anies musuh sepanjang masa. Lalu politisi senior yang sudah pensiun, Sarwono Kusumaatmadja, sosiolog UI Imam Prasodjo. Tidak ketinggalan intelektual Yudi Latif, Akhmad Sahal, Inayah Wahid, dan lainnya. Cukup bervariasi mereka yang buat petisi yang ditujukan pada ke-7 Fraksi DPRD DKI Jakarta yang menolak Interpelasi. Intinya, mereka setuju bahwa silahkan menyelenggarakan perhelatan Formula E, tapi tidak menggunakan dana APBD. Heheheee... Seperti tawar-menawar saja lagaknya. Interpelasi tidak diinginkan diselenggarakan Formula E, karena masa pandemi. Sedang petisi diarahkan untuk tidak memakai dana APBD. Petisi dicukupkan hanya 500 penandatangan. Mungkin mereka merasa bahwa jumlah segitu sudah dianggap cukup mewakili warga Jakarta. Tidak persis tahu latar belakang inisiator mengajukan petisi itu, apakah memang ada hal pribadi masa lalu yang mengganjal yang tidak bisa dihilangkan bersangkutan dengan Anies Baswedan. Mungkin beberapa orang darinya bisa terlacak, tetapi yang lain tampaknya tidak berhubungan. Tampak lebih sebagai solidaritas antarkawan. Jika tidak, maka mereka yang senior itu seharusnya melakukan tabayun menemui Anies di Balai Kota DKI, guna mendiskusikan dengan berkenaan penyelenggaraan Formula E itu. Bukan lalu membuat petisi segala. Banyak peristiwa lebih dahsyat yang muncul di republik ini, misal tentang KPK yang dimandulkan, atau saat pembahasan UU Cipta Kerja, pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, yang biayanya membengkak dari Rp 86,1 triliun, jadi Rp 113 triliun. Naik Rp 26,91 triliun... mereka adem-adem saja, gak keliatan geliatan penolakannya. Eh giliran Anies mau buat ajang internasional, yang itu akan mengangkat tidak saja nama Jakarta, tapi juga nama Indonesia, kok mesti direcoki. Maunya apa sih, tahun 2024 masih jauh, lagian Anies pun belum tentu diusung partai politik yang ada untuk maju sebagai Capresnya. Heran juga lihat sikapnya, paranoid kok dipelihara! (*) *) Kolumnis
Interpretasi Putri Diana Versi Kristen Stewart Pukau Venesia
Jakarta, FNN - Interpretasi Putri Diana dari aktris Kristen Stewart di film "Spencer" disambut hangat di Festival Film Venesia tempat penayangan perdana, Jumat waktu setempat, di mana beberapa kritikus menyebutnya akan jadi favorit di Oscar. Sutradara Pablo Larrain menyuguhkan transformasi Kristen Stewart sebagai putri yang sedang mengalami berbagai masalah saat bergabung dengan keluarga kerajaan selama tiga hari acara natal di Sandringham House di tengah pernikahannya yang mulai runtuh dengan Pangeran Charles. Dilansir Reuters, film tersebut menggambarkan Diana sebagai orang yang merasa tidak cocok dengan kerajaan, merasa terisolasi dan jauh dengan keluarga sang suami, kecuali dengan William dan Harry, serta ingin bebas dari aturan dan tradisi yang dianggap mengekang. Bicara setelah pemutaran perdana mengenai peninggalan Diana usai kematiannya 24 tahun lalu, Kristen Stewart mengatakan, "Saya rasa ini memang sudah ada dalam dirinya." "Ada sebagian orang yang dianugerahi energi luar biasa. Hal menyedihkan dari dia adalah meski dia terlihat normal dan kasual, dia juga merasa sangat kesepian dan terisolasi." Kristen Stewart dipuji atas penampilannya yang luar biasa, termasuk logat yang dipakai anggota kerajaan. Walau film ini menyampaikan kesedihan, dia menikmati pengalaman mendalami karakter Diana, tingkah laku dan sikapnya, walau semua itu langsung dia tinggalkan begitu keluar dari lokasi syuting. Dalam film, Diana sering terlambat makan malam, sering meninggalkan meja makan secara mendadak karena ingin muntah akibat gangguan pola makan, juga frustrasi karena pelayan dan staf selalu mengatur perilaku yang harus ia lakukan. Anggota kerajaan disebut sebagai "mereka" dan Diana hanya bicara sekilas dengan Ratu atau Pangeran Charles, dia lebih memilih curhat dengan juru rias atau koki. Dalam satu adegan, dia berkata merasa seperti serangga yang dibedah di bawah mikroskop, mengacu kepada paparazi di luar dan pengawas di dalam istana. Sebagai aktris Hollywood, Kristen Stewart bisa sedikit memahami perasaan diburu dan tidak bisa mengontrol situasi yang Diana alami. "Sering sekali saya merasa, 'oh, bisa enggak kita ulang wawancaranya? Saya tadi memikirkan hal lain, saya salah bicara'. Bayangkan bagaimana rasanya untuk Diana. Bayangkan merasa terpojok. Pada suatu titik kau akan merasa murka." Sutradara Larrain yang sebelumnya membuat biopik "Jackie" tentang Jackie Kennedy mengatakan dia ingin menceritakan kisah Diana karena kehidupannya adalah kebalikan dari kisah dongeng. "Ini adalah kisah putri yang memutuskan pergi dari gagasan menjadi ratu karena dia ingin jadi diri sendiri." Riset mendalam dilakukan untuk film ini, tapi yang disajikan dalam "Spencer" adalah karya fiksi, membayangkan apa yang mungkin terjadi kepada Diana di hari-hari ketika dia memutuskan untuk bercerai. "Kami tidak bertujuan membuat dokudrama, kami ingin membuat sesuatu dengan elemen fakta, lalu menggunakan imajinasi." (mth)
Bank Syariah Indonesia Perkuat Layanan Terbaik Lewat Transformasi Digital
Jakarta, FNN - Bank Syariah Indonesia (BSI) memperkuat Ultimate Service yang memberikan layanan terbaik kepada nasabah dengan mengedepankan solusi digital dan uniqueness layanan Bank Syariah. “Dengan memberikan layanan dan engagement yang kuat bagi nasabah dan pemangku kepentingan, diharapkan dapat tercipta loyalitas nasabah BSI,” kata Direktur Direktur Sales dan Distribusi BSI Anton Sukarna dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu, 4 September 2021. Pada Hari Pelanggan Nasional (Harpelnas) ini, Anton menyampaikan terima kasih atas kepercayaan dan dukungan yang diberikan nasabah melewati legal merger hingga proses operational merger. Ia berharap BSI bisa terus memberikan layanan dan produk terbaiknya kepada nasabah. Bagi BSI, setiap kepuasan dan kepercayaan pelanggan merupakan bekal bagi bank tersebut dalam membangun ekonomi dan perbankan syariah di Indonesia. “Hal ini dibuktikan dengan adanya transformasi layanan digital yang dapat diakses nasabah di mana pun dan kapan pun. Kami mengapresiasi seluruh nasabah dan masyarakat yang terus mendukung proses migrasi menjadi nasabah kami dengan mengaktifkan rekening melalui BSI Mobile,” ujar Anton, sebagaimana dikutip dari Antara. Anton menyampaikan melalui transformasi digital yang memberikan layanan dan engagement yang kuat bagi nasabah dan pemangku kepentingan, diharapkan dapat tercipta loyalitas nasabah BSI. “Transformasi bank go digital tentu menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi. Sehingga BSI berupaya menjadi beyond banking melalui berbagai aplikasi yang memudahkan nasabah mengakses layanan finansial melalui BSI Mobile,” katanya. Ia menjelaskan, pengembangan ekosistem digital produk dan fitur BSI Mobile akan terus dilanjutkan. BSI Mobile diharapkan bisa dimanfaatkan nasabah dan masyarakat luas untuk mengakses pembiayaan. Tidak hanya layanan perbankan atau transaksi finansial, namun juga aktivitas yang berkaitan dengan gaya hidup sehari-hari nasabah. Berbagai solusi yang dihadirkan BSI Mobile dalam mempermudah nasabah di antaranya fitur pembukaan rekening online antara lain, kemudahan transaksi melalui fitur transfer, belanja online, transaksi QRIS, top up pulsa, beli token listrik, top up e-wallet, dan pembayaran sekolah. BSI Mobile juga memiliki fitur produk BSI Tabungan E-Mas dan juga Gadai Emas via Online. Adapun per Juni 2021, transaksi digital BSI meningkat dengan nilai transaksi kanal digital sudah menembus Rp 95,13 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari transaksi melalui layanan BSI Mobile yang naik 83,56 persen (yoy). “Jika dirinci, sepanjang Januari-Juni 2021, volume transaksi di BSI Mobile mencapai Rp 41,99 triliun. Jumlah tersebut mengalami pertumbuhan 109,82 persen (yoy). Hal tersebut didorong oleh jumlah user mobile banking yang menembus 2,5 juta pengguna,” kata Anton. (MD).
Bencana Agustus 2021 Berdampak Kerusakan Lebih Tinggi dari Tahun Lalu
Jakarta, FNN - Sebanyak 155 peristiwa bencana alam yang dilaporkan berlangsung pada Agustus 2021 menurun dari periode yang sama tahun lalu, namun memiliki dampak kerusakan lebih tinggi, kata seorang pejabat di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). "Sepanjang Agustus, bencana hidrometeorologi masih mendominasi di wilayah Indonesia," kata Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu. Muhari mengatakan sepanjang Agustus 2021 terjadi 61 kali banjir, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 44 kali, cuaca ekstrem 29 kali, tanah longsor 17 kali, kekeringan dua kali, gempa bumi satu kali dan gelombang pasang atau abrasi satu kali. "Sebagai dampak dari bencana tersebut, BNPB mencatat korban meninggal sembilan orang," katanya. Jika dilihat dari sebaran kejadian, kata Muhari, enam provinsi dengan jumlah kejadian bencana paling tinggi yaitu Provinsi Jawa Barat dengan 26 kejadian, Kalimantan Tengah 18 kejadian, Aceh 16 kejadian, Kalimantan Selatan 15 kejadian, Sumatera Utara 12 dan Sulawesi Selatan 11 kejadian. Sementara itu, jika dilihat perbandingan data pada bulan yang sama antara 2020 dan 2021, kata Muhari, jumlah kejadian bencana pada tahun ini turun 35,68 persen. "Pada Agustus 2020 jumlah bencana sebanyak 241 kejadian, sedangkan pada 2021 sebanyak 155," katanya. Meskipun jumlah kejadian turun, kata Muhari, namun bencana berdampak lebih besar, seperti korban meninggal naik 28,67 persen dan kerusakan rumah naik 660,67 persen. "Meskipun jumlah kejadian bencana lebih sedikit, magnitude atau kekuatan bencana berpengaruh baik terhadap dampak maupun kerugiannya," katanya. Ia menambahkan situasi tersebut perlu menjadi perhatian penting untuk mengevaluasi kembali aspek mitigasi dan kesiapsiagaan di lokasi-lokasi yang setiap tahun diterpa bencana yang sama. (mth)
Jokowi Ria
By M Rizal Fadillah JIKA kita memberi makan burung dara yang berkerumun maka kita melempar dan menaburkan makanan. Begitu juga ketika memberi makan ayam-ayam, maka hewan itu akan berebut mematuk makanan yang baru ditaburkan tersebut. Senang hati rasanya melihat perebutan seru. Begitulah gambaran Jokowi yang melempar bingkisan ke tengah masyarakat yang berkumpul. Mereka tampaknya dianggap hewan-hewan yang mesti diberi makan. Harus berpayah-payah masuk selokan kotor karena kaos yang dilempar ternyata nyebur ke selokan tersebut. Presiden telah kehilangan nurani kemanusiaan. Sungguh mengerikan. Tega rakyat diperlakukan demikian apalagi mereka harus berdesakan, bertubrukan, atau berebutan untuk mendapatkan bingkisan yang dilempar-lempar tersebut. Hal demikian sebenarnya adalah satu bagian saja dari episode kepemimpinan Presiden Jokowi. Drama, hiburan, pernak pernik yang ada di sekitar Jokowi. JIka dulu ada Kamera Ria, Aneka Ria Safari, atau Ria Jenaka, maka kini ada Jokowi Ria. Ini bukan Jokowi-nomics karena terlalu berat menampilkan prestasi ekonomi khas Jokowi yang melesatnya ke bawah, bukan pula Jokowi-mania atau kharisma karena mereka yang berkerumun di sekitar mobil Presiden belum tentu karena cinta kepada Jokowi tetapi cinta kepada sembako, bingkisan, dan kaos. Mereka nekad melanggar prokes demi lempar-lemparan itu. Jokowi Ria dalam konteks agama tentu dilarang karena merupakan akhlak buruk. Tepatnya Jokowi riya. Riya difoto sendiri di pantai, di sawah, atau jongkok di pinggir jalan kereta dan di kolam kodok-cebong. Jika hal itu tujuannya adalah agar dipuji puji, maka haram hukumnya. Gila pujian namanya. Kasus para Ketum Partai koalisi yang berlomba memuji-muji Jokowi saat dikumpulkan di Istana adalah fenomena ganjil dan berbahaya karena bisa membuat Jokowi melambung atau menggelembung. Belum ada prestasi yang signifikan soal penanganan Covid 19. Justru faktanya adalah hutang dan pemborosan keuangan. Korupsi pun terjadi. Rosulullah SAW mengajarkan apabila ada orang di sekitar yang memuji-muji di hadapan kita maka lemparlah ia dengan pasir. Nabi mengingatkan bahwa puja-puji itu dapat mencelakakan dan membuat kita menjadi orang yang berkarakter narsistik atau riya'. Nah semestinya Pak Jokowi kemarin melempar pasir ke wajah Mega, Prabowo, Airlangga, Zulkifli, Surya Paloh dan lainnya karena puja puji mereka itu jelas berbahaya. Dapat melalaikan dan menjatuhkan. Tetapi sikap itu berlaku jika memang Jokowi mau mengikuti Sabda Nabi. Jika tidak ? "Yo wes, sakarepmu lah". Emang gue pikirin. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan