ALL CATEGORY

Buton Selatan Belum Tahu Pelaku UMKM yang Terima Bantuan Pusat

Buton Selatan, FNN - Pemerintah Kabupaten Buton Selatan (Busel), Sulawesi Tenggara, belum mengetahui secara pasti berapa pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menerima bantuan pemerintah usaha mikro (BPUM). Kepala Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian, dan Perdagangan Buton Selatan La Hardin di Busel, Sabtu, mengatakan bahwa pihaknya tidak mendapatkan akses data terkait hal itu. "Jadi, sebanyak 6.517 pelaku UMKM yang kami usulkan untuk mendapatkan BPUM sampai hari ini belum tahu persis berapa yang sudah keluar (menerima, red.) karena ini langsung ke calon penerima," katanya. La Hardin berharap pemerintah pusat melalui Kementerian Koperasi dan UMKM bisa memberikan akses data mengenai pelaku UMKM yang telah pihaknya usulkan tersebut guna lebih menertibkan data penerima bantuan, khususnya pelaku UMKM di daerah itu agar tidak dobel menerima. Ia mengatakan bahwa pihaknya sudah setahun ini menunggu, bahkan pihaknya sudah pernah berkoordinasi dengan provinsi dan Kementerian Koperasi dan UMKM mengenai data usulan itu. "Karena kami tidak bisa mengakses data, tidak tahun berapa yang sudah keluar dananya di Busel," katanya. Padahal, kata dia, sudah ada beberapa orang yang datang melapor kepada pihaknya untuk menanyakan mengenai adanya SMS (pesan singkat) yang diterima oleh calon penerima bagaimana menindaklanjutinya dan telah difasilitasi untuk ketemu pihak bank. Hardin menjelaskan tahapan pengusulan pelaku UMKM di seluruh kecamatan daerah setempat, yakni pertama ke provinsi, kemudian pihak provinsi melanjutkan ke pemerintah pusat. "Jadi, kami hanya menerima calon penerima, kemudian kami mengusulkan ke provinsi, dalam hal ini Dinas Koperasi dan UMKM, lalu provinsi juga menyorong ke pusat," ujarnya. (mth)

RSUD Tulungagung Hemat Anggaran Berkat Tradisi Lomba Inovasi Layanan

Tulungagung, FNN - Manajemen RSUD dr Iskak Tulungagung menyatakan berbagai terobosan inovasi dalam hal pelayanan medis dan nonmedis yang dikreasikan melalui tiga kali penyelenggaraan Festival Kaizen telah berkontribusi dalam penghematan belanja hingga miliaran rupiah. “Terakhir dari penyelenggaraan Festival Kaizen ke-3 ini kami bisa menghemat Rp 2 miliar. (Ini) belum hal-hal lain yang tidak diukur oleh uang, seperti keselamatan dan kenyamanan pelayanan rumah sakit dan sebagainya,” kata Ketua Tim Pelatih (Coach) Festival Kaizen ke-3 RSUD dr Iskak, Kabib Abdullah, A.Md. SKM, di Tulungagung Sabtu. Ia lalu menyebut, hasil Festival Kaizen dari tahun ke tahun menunjukkan keberhasilan secara kualitas dari inovasi masing-masing peserta. Anggaran yang bisa dihemat dari Festival Kaizen ke-1 yang diselenggarakan pada 2018 diestimasi mencapai Rp500 juta. Kemudian pada Festival Kaizen ke-2 pada 2019, anggaran belanja yang berhasil diefisiensi semakin besar menjadi Rp1,5 miliar lebih, dan terakhir pada Festival Kaizen ke-3 yang diikuti 54 tim pada kurun 2020-2021 kembali naik sekitar 35 persen, dengan memangkas budget anggaran belanja sekitar Rp2 miliar. Festival Kaizen telah menjadi tradisi yang rutin diselenggarakan RSUD dr Iskak setiap tahunnya. Dalam festival ini, setiap peserta atau instalasi diharuskan mencari dan menemukan permasalahan yang ada di lingkungan kerja/tugas dinasnya. Dan setelah permasalahan/kendala penatalaksanaan layanan terpetakan, peserta wajib mencari solusi konkretnya. Rangkaian proses pemetaan persoalan, penyusunan proposal penelitian hingga studi analisa serta presentasi akhir semua dibimbing oleh coach yang sudah terlatih dan berpengalaman, yang ditunjuk oleh manajemen RSUD dr. Iskak. Misalnya, terdapat perencanaan kerja di sebuah instalasi yang memakai pencatatan manual dengan alat tulis dan kertas. Setelah ada inovasi, maka muncul ide dengan pencatatan dibantu teknologi. Perubahan pola penatalaksanaan layanan medis/nonmedis yang bersifat keadministrasian ini tentu menghemat anggaran belanja di pos instalasi tersebut. Jika sebelumnya ada plafon anggaran belanja untuk pembelian ATK (alat tulis kantor), dengan memanfaatkan teknologi digital seperti google spreadsheet maka pos belanja ATK bisa di-stop atau tidak diperlukan lagi. (mth)

Membaca Gestur Kebijakan Fiskal yang Galau

BEBERAPA hari belakangan publik dihebohkan dengan rencana pemungutan pajak yang lebih agresif dan lebih massif di tengah situasi krisis pandemi Covid-19. Agresivitas dan masifnya pungutan pajak yang direncanakan itu benar-benar mengagetkan publik. Lebih kaget lagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati karena publik sudah kadung tahu rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%. Plus varian pungutan PPN lainnya yang ujung-ujungnya mencekik leher rakyat. “Tapi itu baru rencana,” begitu pembelaan Menkeu. Soal aneka rencana kenaikan PPN akan termuat dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Menurut dia, sampai saat ini rencana RUU KUP itu belum dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR. Sehingga, dari sisi etika politik, Sri Mulyani merasa belum bisa menjelaskan kepada publik sebelum dibahas dengan DPR. "Karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan ke DPR melalui Surat Presiden dan oleh karena itu situasinya menjadi agak kikuk karena kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan ke DPR juga," ujar dia. Tapi Sri lupa bahwa ia adalah pejabat publik, segala keputusan, kebijakan ataupun rencana kebijakan memang selaiknya harus melewati uji publik. Dan sequence terkait rencana kenaikan PPN ini sudah benar, yang aneh justru sikap Menkeu yang galau ketika publik mengetahui rencananya lebih awal. Oleh karena rencana detil kenaikan PPN ini begitu dramatis, publik pun lebih awal menolak, karena merekalah yang akan menjadi sasaran kebijakan Menkeu terbaik di Asia tersebut. Apa saja rencana kenaikan PPN yang ada dalam draf RUU KUP tersebut? Pertama, PPN yang awalnya 10% dinaikkan menjadi 12% hingga 15% dan multi tarif PPN. Tentu ini sangat memberatkan wajib pajak (WP) badan maupun pribadi dalam situasi krisis sekarang ini. Kedua, penghapusan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) orang pribadi sebesar Rp54 juta, dalam RUU KUP itu dihilangkan. Sehingga WP yang penghasilannya di bawah Rp54 juta yang semula tidak kena pajak, akan dikenakan pajak. Ketiga, pemerintah berencana menambah layer pendapatan kena pajak dan memperbaiki tarif PPh orang pribadi. Orang dengan penghasilan kena pajak (PKP) sampai dengan Rp50 juta dalam satu tahun maka dibanderol PPh sebesar 5%. Orang dengan PKP di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta dikenakan pajak sebesar 15%. Orang dengan PKP di atas Rp250 juta hingga Rp500 juta dikenakan tarif PPh sebesar 25%. Dan orang dengan PKP di atas Rp500 juta tarif pajak penghasilan orang pribadi senilai 30%. Target pembuatan layer PPh ini adalah untuk menggenjot penerimaan pajak orang pribadi. Tentu saja hal ini akan memberatkan ekonomi rakyat yang sedang susah. Keempat, pemerintah juga berencana akan mengenakan PPN sekolah dan jasa pendidikan lainnya sebesar 12%. Tentu saja akan berdampak pada kenaikan biaya pendidikan. Kelima, pemerintah berencana mengenakan pajak biaya melahirkan yang direncanakan sebesar 12%. Tentu saja biaya melahirkan akan lebih mahal dan makin tidak terjangkau. Keenam, pemerintah akan mengenakan PPN untuk sembako 12% untuk 11 jenis sembako. Mulai dari beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayuran. Bisa diduga, dampaknya akan menggenjot harga sembako. Ketujuh, pemerintah juga berencana mengenakan pajak atas pulsa, kartu perdana, token dan lainnya. Selain menaikkan tarif PPN dan PPh serta pengenaan pajak baru, menurut Sri, pemerintah juga sebenarnya melakukan pelonggaran-pelonggaran pajak karena situasi ekonomi yang mengalami kontraksi. Adapun relaksasi perpajakan itu meliputi. Pertama, penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan SPT tahunan dan pembayaran pajak bagi wajib pajak orang pribadi sampai dengan 30 April 2020. Seperti diketahui, sesuai ketentuan batas akhir sebenarnya jatuh pada 31 Maret 2020. Kedua, wajib pajak orang pribadi yang menjadi peserta amnesti pajak dan memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan--realisasi pengalihan dan investasi harta tambahan atau penempatan harta tambahan--dapat melaporkannya paling lambat 30 April 2020. Ketiga, wajib pajak dapat menyampaikan SPT masa PPh pemotongan untuk masa pajak Februari 2020 pada 21 Maret 2020 hingga 30 April 2020 tanpa dikenai sanksi administrasi keterlambatan. Keempat, pengajuan upaya hukum tertentu yang memiliki batas waktu pengajuan antara 15 Maret hingga 30 April 2020 diberikan perpanjangan batas waktu sampai 31 Mei 2020. Latar belakang Pertanyaannya, apa latar belakang sehingga pemerintah membabi buta menaikkan PPN dan PPh dan mengenakan obyek pajak baru tersebut? Tentu karena kondisi penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan hanya bisa dipungut 50% dalam kondisi krisis seperti sekarang ini. Sementara penerimaan pajak juga kurang menggembirakan, termasuk investasi masuk yang jauh dari harapan, pemerintah juga telah mencetak uang besar, tapi kebutuhan APBN masih kurang dan kurang. Sehingga satu-satunya andalan pemerintah adalah mengandalkan utang. Total utang pemerintah sampai April 2021 sudah mencapai Rp6.527,29 triliun. Tapi mengandalkan utang pun sudah tidak mungkin, seperti tersandera, mengingat untuk membayar bunga utang tahun ini saja sebesar Rp373 triliun pemerintah tidak mampu. Pemerintah terpaksa harus berutang lagi hanya untuk membayar bunga utang lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Pendek kata, maju kena, mundur kena. Pemerintah benar-benar sudah kehilangan akal sehat. Pikirannya galau, sehingga Menkeu berinisiatif menaikkan aneka tarif pajak dan menyasar pajak baru. Hal ini juga didasari beberapa realitas. Shortfall--selisih antara target dengan penerimaan—pajak sejak 2006 hingga hari ini masih terjadi dengan volume yang terus membesar. Paling tidak dalam tiga tahun terakhir shortfall pajak cukup mengenaskan. Tahun 2019 target penerimaan pajak Rp1.500-an triliun tercapai hanya Rp1.300-an triliun, jadi shortfall Rp200 triliun. Pada 2020 target penerimaan pajak diturunkan menjadi Rp1.250-an triliun, yang tercapai hanya Rp1.100-an triliun, atau shortfal Rp150-an triliun. Tahun 2021 sama targetnya tercapai Rp1.100-an juga. Lebih mengenaskan lagi jika menengok tax ratio, total penerimaan pajak dibagi dengan produk domestik bruto (PDB), yang pada tahun 2007 masih di level 12%, tiap tahun terus merosot tajam. Terakhir dikabarkan tax ratio tinggal 7%. Inilah yang melatarbelakangi mengapa pemerintah galau, sehingga Sri Mulyani menempuh segala cara guna menalangi kewalahan APBN menghadapi realitas krisis plus pandemi Covid-19. Celakanya, di tengah rencana pemerintah memeras uang rakyat lewat aneka kebijakan perpajakan di atas, kita masih menyaksikan korupsi semakin merajalela. Mulai dari korupsi Bansos, korupsi Jiwasraya, Bumiputera, PBJS Ketenagakerjaan, Asabri, impor benur, dan aneka korupsi bejat lainnya. Menunjukkan para pelaku korupsi sama sekali tidak memiliki sense of crisis. Pada saat yang sama pemerintah memberlakukan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dibuat 0%. Sebuah ironi. Pajak orang kaya diturunkan, pajak orang miskin dinaikkan. Unsur keadilan pajak sama sekali tidak tercermin di sini. Ironi lainnya, tax amnesty jilid 2 akan diberlakukan setelah tax amnesty jilid 1 dianggap gagal. Ada kecurigaan setelah rame-rame pesta korupsi, kini gilirannya diampuni lewat program pengampunan pajak. Tidak hanya sampai di sini, pajak korporasi diturunkan dari 22% menjadi 20%, korporasi yang sudah terdaftar di BEI mendapat diskon tambahan 3% menjadi 17%. Ironi lain, Presiden Jokowi masih berambisi untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru dengan biaya Rp466 triliun. Padahal kas APBN benar-benar kosong melompong, bahkan sarat dengan utang, benar-benar tidak memiliki kepekaan. Puncak dari ironi itu adalah, rencana Kementerian Pertahanan melakukan belanja militer hingga Rp1.760 triliun dan sebagian besar lewat utang. Inilah puncak ironi yang mencengangkan itu. Ekonom Senior Rizal Ramli menyindir pemerintah tidak memliki empati terhadap rakyat, tidak memiliki nurani, karena di tengah krisis malah sibuk merencanakan aneka kenaikan tarif pajak dan pungutan pajak baru. Ia mengingatkan pemerintah bahwa Revolusi Prancis, Revolusi Amerika dan India diawali dari situasi yang kurang lebih sama dengan Indonesia hari ini. PBNU dan Muhammadiyah juga sudah mengingatkan soal perlunya membatalkan pajak sekolah dan sembako. Politisi oposisi juga tegas menolak rencana kenaikan pajak baru, pimpinan partai koalisi juga meminta rencana Menkeu dibatalkan karena dianggap tidak peka. ‘Ala kulli hal, Indonesia ini bak kapal yang akan karam. Di tengah gelombang yang dahsyat ini, masih ada mau membocorkan biduk bernama Indonesia. Masih ada pihak yang melakukan atraksi ugal-ugalan. Semoga ada solusi terbaik untuk bangsa ini...!

Perlu Amandemen UUD 45 Jika Ingin Capres Independen

Semarang, FNN - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini memandang perlu amendemen ke-5 UUD NRI Tahun 1945 jika ingin membuka peluang pasangan calon presiden dan wakil presiden independen pada pemilu. "Wacana tentang pasangan calon presiden/wapres independen memang sudah cukup lama mengemuka. Namun, hal itu terkendala adanya ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Sabtu. Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa pasangan calon presiden/wapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu. Menurut Titi, sebenarnya soal calon independen ini tak perlu terlalu jadi persoalan kalau ada skema yang lebih leluasa untuk pencalonan presiden/wapres melalui penghapusan persyaratan ambang batas pencalonan presiden berupa 20 persen kursi atau 25 persen suara hasil pemilu anggota legislatif. Paling mendesak itu, kata dia, sebenarnya saat ini pembuat undang-undang menghapus persyaratan ambang batas pencalonan tersebut sehingga peluang lahirnya calon-calon alternatif menjadi lebih terbuka lebar. "Kalau calon independen, mau tidak mau harus mengubah konstitusi," kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Namun, lanjut Titi, kalau penghapusan ambang batas pencalonan, hanya pada level perubahan undang-undang tanpa perlu mengubah UUD NRI Tahun 1945. Titi yang juga Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah mengemukakan hal itu terkait dengan pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI La Nyalla Mahmud Mattalitti terkait dengan pasangan calon presiden/wapres dari jalur perseorangan. La Nyalla mengatakan bahwa DPD yang merupakan utusan seluruh daerah di Indonesia idealnya bisa menjadi saluran bagi putra/putri terbaik bangsa nonpartisan yang ingin maju sebagai calon presiden/wakil presiden dari jalur perseorangan. "Saya setuju dengan adanya wacana amendemen konstitusi ke-5 demi perbaikan dan koreksi atas perjalanan amendemen pertama hingga keempat mulai 1999 hingga 2002," kata La Nyalla di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (24/5). Dengan demikian, jalur perseorangan atau nonpartai politik bisa ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi pilpres. La Nyalla mengatakan bahwa hanya parpol yang bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sejak amendemen UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, tertutup saluran bagi putra/putri terbaik di luar kader partai atau mereka yang tidak bersedia menjadi kader partai. Padahal, UUD NRI Tahun 1945 telah menyebutkan bahwa setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. "Ini ambiguitas dan paradoksal," katanya ketika tampil sebagai pembicara utama dalam focus group discussion (FGD) bertema "Amendemen Ke-5 Calon Presiden Perseorangan dan Presidential Threshold" di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Disebutkan pula dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam Pasal 28D Ayat (3) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. "Lalu mengapa untuk menjadi kepala pemerintahan, dalam hal ini untuk menjadi calon presiden, harus anggota atau kader partai politik saja?" katanya. La Nyalla melanjutkan, "Itu pun tidak semua partai bisa mengusung kadernya karena adanya presidential threshold." (sws).

Bergerak dan Bertindak Pasca Pengumuman Tes Wawasan Kebangsaan

Jakarta, FNN - Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diikuti 1.351 orang pegawai KPK di Badan Kepegawaian Nasional (BKN) pada Maret-April 2021 membawa rentetan dampak bukan hanya di institusi penegak hukum tersebut namun juga terhadap lembaga-lembaga negara lain. Penyebabnya adalah pengumuman pimpinan KPK yang menyatakan hanya ada 1.274 pegawai yang lolos tes sehingga ada 75 pegawai KPK Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Ketua KPK Firli Bahuri pada 7 Mei 2021 lalu menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652/2021 tentang Hasil TWK Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat Dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Isi SK tersebut adalah memerintahkan kepada 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut. Belakangan pada 25 Mei 2021 berdasarkan rapat KPK bersama dengan BKN, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Lembaga Administrasi Negara, diputuskan 24 dari 75 pegawai masih dimungkinkan untuk dibina sebelum diangkat menjadi ASN sementara 51 pegawai sisanya tidak memungkinkan untuk dibina berdasarkan penilaian asesor. Ke-51 pegawai tersebut disebut masih akan berada di KPK hingga November 2021 meski saat ini statusnya sudah non-aktif. Namun 75 pegawai yang tidak lolos TWK itu tidak "menerima nasib" begitu saja. Mereka membuat laporan ke sejumlah institusi negara agar dapat mengambil langkah yang tepat sesuai kewenangan masing-masing lembaga terhadap pimpinan KPK, 75 pegawai maupun institusi KPK sendiri. Sejumlah lembaga yang mendapat laporan adalah Dewan Pengawas KPK, Ombudsman, Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi hingga organisasi kemasyarakatan seperti PGI dan MUI. 1. Dewan Pengawas KPK Perwakilan 75 pegawai KPK melaporkan lima orang pimpinan KPK yaitu Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Alexander Marwata dan Nawawi Pomolango ke Dewas KPK pada 18 Mei 2021. Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan selaku perwakilan 75 pegawai mengatakan ada tiga hal yang mereka laporkan. "Yang pertama adalah tentang kejujuran. Dalam berbagai sosialisasi, Pimpinan KPK mengatakan bahwa tidak ada konsekuensi daripada Tes Wawasan Kebangsaan, dan kami juga berpikir bahwa asesmen bukanlah suatu hal yang bisa meluluskan dan tidak meluluskan suatu hal," kata Hotman. Proses alih status menjadi ASN, menurut Hotman, merupakan hak pegawai KPK yang akan menentukan masa depan, sehingga sudah sewajarnya informasi yang diberikan kepada pegawai adalah informasi yang benar. Alasan kedua, ia menyinggung soal materi tes wawancara dalam TWK tersebut yang janggal. "Karena ini juga menyangkut suatu hal yang menjadi kepedulian kami terhadap anak perempuan kami, terhadap adik dan kakak perempuan kami. Kami tidak menginginkan lembaga negara digunakan untuk melakukan suatu hal yang diindikasikan bersifat pelecehan seksual dalam rangka tes wawancara seperti ini," ujarnya. Alasan terakhir, kata Hotman, terkait dengan Pimpinan KPK yang sewenang-wenang dalam mengambil keputusan karena pada 4 Mei 2021 MK telah memutuskan alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak akan memberikan kerugian kepada pegawai tapi pimpinan menerbitkan SK 652 yang sangat merugikan pegawai. Terhadap laporan tersebut, pimpinan KPK menyatakan menyerahkan tindak lanjut pelaporan kepada Dewas. "Pimpinan KPK menghormati pelaporan dimaksud, karena kami menyadari bahwa pelaporan kepada Dewan Pengawas adalah hak setiap masyarakat yang menemukan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh insan KPK," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada Rabu (19/5). Menurut Alexander, pimpinan KPK sebelum mengambil keputusan selalu membahas dan berdiskusi tidak saja dengan semua pimpinan, bahkan dengan jajaran pejabat struktural KPK. Artinya, semua produk kebijakan yang dikeluarkan oleh kelembagaan KPK seperti peraturan komisi, peraturan pimpinan, surat keputusan, surat edaran, dan semua surat yang ditandatangani oleh Ketua KPK dipastikan sudah dibahas dan disetujui oleh empat pimpinan lainnya termasuk Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021. Dewas KPK pun masih memeriksa laporan tersebut dan terus mengumpulkan bahan keterangan terkait dengan dugaan pelanggaran etik tersebut. 2. Ombudsman Direktur Pembinaan Jaringan Antarkomisi KPK, Sujanarko, mewakili 75 pegawai KPK pada 19 Mei 2021 kemudian melapor ke Ombudsman terkait dugaan maladministrasi oleh pimpinan KPK. "Dari kajian kami ada banyak maladministrasi yang sudah dilakukan KPK, baik penerbitan SK-nya, prosesnya, dari sisi wawancara hampir ada 6 indikasi yang kami sampaikan bahwa Pimpinan KPK telah melakukan maladministrasi, termasuk penonaktifan pegawai karena hal itu tidak ada dasarnya," ujar Sujanarko. Saat melapor, Sujanarko datang bersama dengan Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi, Hotman Tambunan, dan Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK, Rasamala Aritonang, serta para kuasa hukum mereka, yaitu Direktur YLBHI, Asfinawati, pengacara publik LBH Jakarta, Arief Maulana, dan dari LBH Muhammadiyah, Gufroni. Menurut Sujanarko, ke-75 pegawai masih mendapatkan gaji yang dibayar negara namun tidak bekerja padahal sudah berstatus non-aktif hingga Oktober 2021 sehingga berpotensi merugikan keuangan negara. Kerugian bertambah karena kasus-kasus yang ditangani KPK dapat terhambat karena tidak aktifnya 75 orang tersebut. Terhadap pelaporan tersebut, Ombudsman sudah meminta keterangan dari pimpinan KPK yang diwakili Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, bersama Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Harefa, dan tim Biro Hukum KPK pada 10 Juni 2021. Ghufron pun mengklarifikasi soal dugaan bahwa TWK diselundupkan dalam peraturan komisi Alih Status Pegawai. Dugaan seludupan itu muncul karena dalam rapat awal pembahasan yaitu 27-28 Agustus 2020 yang membahas aturan turunan alih status pegawai dari UU Nomor 5/2014 tidak ada pembahasan soal TWK. TWK pun masih tidak muncul dalam rapat lanjutan pada November 2020. Namun saat rapat pimpinan pada 5 Januari 2021, usulan pelaksanaan TWK malah muncul sehingga dalam draf Perkom 20 Januari 2021 muncul soal asesmen TWK hingga akhirnya Perkom soal pelaksanaan TWK sebagai syarat alih status pegawai terbit pada 27 Januari 2021. Atas dugaan tersebut, Ghufron beralasan pada rapat harmonisasi 26 Januari 2021 di Kemekumham ada usulan untuk menerapkan TWK sebagai alat untuk pemenuhan syarat wawasan kebangsaan dari pasal 3 PP No 41 tahun 2020 yang berbunyi "Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN dengan syarat: (a) Berstatus sebagai Pegawai Tetap atau Pegawai Tidak Tetap KPK; (b) Setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pemerintah yang sah.". "Tentu semuanya berkembang yang dinamis, draf di akhir itu merupakan hasil dari diskusi yang berkembang dari dari awal. Artinya tidak benar ada pasal selundupan atau ada pasal yang tidak pernah dibahas di awal. Semuanya melalui proses pembahasan dan itu semua terbuka," kata Ghufron. Ghufron juga membantah bahwa KPK membayar BKN untuk melaksanakan TWK sebesar Rp1.807.631.000 "KPK tidak pernah bayar karena tes TWK itu sudah menjadi kegiatan yang dianggap tusinya (tujuan dan fungsi) BKN sendiri sehingga dibiayai APBN BKN sendiri," ungkap Ghufron Sebelumnya, beredar dokumen Nota Kesepahaman (MoU) Pengadaan Barang dan Jasa melalui Swakelola antara Sekretariat Jenderal KPK dan Kepala BKN Nomor 97 Tahun 2021 tertanggal 8 April 2021 yang ditandatangani Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana. Nota kesepahaman itu menyebutkan bahwa kesepakatan tersebut adalah langkah awal kerja sama penyelenggaraan asesmen TWK dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN. Selanjutnya, ada juga Kontrak Swakelola tentang Penyelenggaraan Asesmen TWK dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN tertanggal 27 Januari 2021. Artinya, kontrak tersebut dibuat lebih dahulu dari penandatanganan MoU. Diduga tanggal kontrak tersebut sengaja dibuat mundur (back date) karena kontrak baru dibuat setelah TWK pada tanggal 26 April 2021. Menanggapi hal itu, Ghufron mengatakan bahwa pihaknya semula mengasumsikan pendanaan untuk alih status pegawai KPK menjadi ASN berasal dari KPK. Akan tetapi, karena pelaksanaanya adalah BKN, perlu payung hukum untuk mendanai kegiatan tersebut. BKN lantas bekerja sama dengan KPK. Namun, perkembangannya setelah MoU ditandatangani, ternyata BKN menyampaikan ke KPK bahwa asesmen ini bagian dari tugas dan fungsi BKN sebagai lembaga negara yang bertugas melakukan manajemen ASN mulai rekrutmen, peningkatan karier, sampai reward and punishment. Karena menjadi bagian kerja BKN, lanjut Ghufron, BKN mengatakan bahwa biaya asesmen pegawai KPK tidak perlu ditanggung oleh KPK. "Kemudian langsung jadi MoU yang dinyatakan back date. Itu memang ditandatangani tetapi tidak pernah dilaksanakan karena pendanaannya di-cover oleh BKN sendiri," katanya menjelaskan. Ditegaskan pula bahwa MoU itu tidak pernah dipakai walaupun pihaknya sebagai komitmen kelembagaan di kepegawaian KPK mempersiapkannya. Atas laporan dan klarifikasi tersebut, Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan pihaknya akan melihat masalah itu dari tiga tingkatan. Pertama, soal dasar hukum terutama mengenai proses penyusunan peraturan KPK No 1 tahun 2001; kedua mengenai sosialisasi aturan apakah sudah diterangkan kepada para pihak yang terkait dan sejauh mana keterlibatan lembaga-lembaga lain terlibat dalam proses alih status; ketiga konsekuensi dari "memenuhi syarat" dan "tidak memenuhi syarat" TWK terhadap para pegawai. 3. Komnas HAM Pada 24 Mei 2021, perwakilan 75 pegawai KPK mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam aduannya, mereka melampirkan laporan yang berisikan 8 hal yang dinilai sebagai bentuk dugaan pelanggaran HAM dalam TWK. "Saya menyampaikan kepada Komnas HAM mengenai peran Kepala BKN yang tampak sekali, menurut kami, punya peran cukup banyak bersama-sama Ketua KPK. Ini perlu jadi fokus tersendiri," kata penyidik KPK, Novel Baswedan. Baswedan mengatakan, dia bersama pegawai KPK lain yang tidak lulus TWK kesulitan mendapatkan hasil tes beserta penjelasannya sehingga ia meminta penyelenggara membuka hasil tes karena ketidaklulusan tersebut berdampak pada adanya stigma/label terhadap pribadi mereka. Sementara Kepala Satuan Tugas Penyelidik KPK, Harun Al Rasyid, mengatakan, dia bersama puluhan pegawai KPK yang tidak lulus TWK berkepentingan mengetahui hasil dan penjelasan TWK. "Kenapa kami minta hasil assesment (TWK), karena kalau kami dianggap orang berpenyakit, misal kami punya penyakit jantung kami ingin penyakit itu bisa sembuh," kata dia. Komnas HAM pun sudah memanggil pimpinan KPK untuk melakukan klarifikasi terhadap laporan itu pada 8 Juni 2021, namun tidak ada pimpinan KPK yang hadir. Pimpinan KPK beralasan ada rapat pimpinan sehingga tidak bisa hadir. Pemanggilan kedua untuk pimpinan KPK dijadwalkan pada 15 Juni 2021. Menurut Anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam, pihaknya telah menyiapkan sekitar 30 pertanyaan untuk pimpinan KPK. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan, pimpinan KPK telah mengirimkan surat ke Komnas HAM untuk memastikan terlebih dulu seperti apa pemeriksaan dugaan pelanggaran HAM oleh pimpinan KPK tersebut. Menurut dia, pelaksanaan TWK telah sesuai dengan UU Nomor 19/2019, PP Nomor 41/2020, dan Peraturan Komisi Nomor 1/2021. 4. Mahkamah Konstitusi Selanjutnya sembilan orang pegawai KPK juga mengajukan uji materiil terkait pelaksanaan TWK ke MK pada 2 Juni 2021. Kesembilan orang pemohon adalah Hotman Tambunan, Rasamala Aritonang, Andre Dedy Nainggolan, Novariza, Faisal, Benydictus Siumlala Martin, Harun Al Rasyid, Lakso Anindito dan Tri Artining Putri. "Kami menguji pasal 69 B ayat 1 dan pasal 69 C terhadap pasal 1, pasal 28 D ayat 1, 2, 3 UUD 1945. Kami berpikir bahwa penggunaan TWK untuk pengalihstatusan pegawai KPK itu bertentangan dengan pasal 1, pasal 28 D ayat 1, 2, 3 UUD 1945," kata Tambunan. Pasal 69 B ayat (1) dan pasal 69 C mengatur soal penyelidik atau penyidik KPK dan pegawai KPK yang belum berstatus sebagai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak UU berlaku dapat diangkat sebagai ASN sesuai peraturan perundang-undangan. "Isunya ini adalah mengukur bagaimana mengukur kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Kami melihat bahwa BKN seperti memonopoli pengertian itu dengan menggunakan alat ukur TKW, apakah memang alat ukur itu valid? kita buka saja di sidang-sidang MK," kata Tambunan. Apalagi menurut dia, dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota mengatakan syarat untuk menjadi gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat II, presiden dan wakil presiden hanya mensyaratkan surat pernyataan kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai alat kesetiaan. "Nah menurut BKN alat ukurnya (TKW) sudah sangat valid, sudah saatnya para pejabat strategis tadi menggunakan alat ukur itu. Apa yang dimaksud dengan wawasan kebangsaan itu pandai berpidato tapi melanggar kode etik atau orang-orang yang berjuang untuk memberantas korupsi? Orang yang memenuhi aturan? Orang-orang yang bayar pajak? Itu tadi coba kita lihat di sidang-sidang MK," kata dia. Kesembilan orang pemohon itu juga sudah memberikan 31 bukti setebal lebih dari 2.000 halaman. Ia berharap putusan MK terhadap permohonan mereka dapat dibuat sebelum November 2021 agar dapat langsung diterapkan terhadap nasib 75 pegawai KPK yang dinyatakan TMS. "Kami memohon dan berharap Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan permohonan ini sebelum November 2021, mengingat pasal yang kami mohonkan adalah pasal peralihan yang hanya berlaku sekali," kata Tambunan. 5. PGI dan MUI Pada 28 Mei 2021, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menerima sembilan orang perwakilan pegawai KPK bersama tim hukumnya. "Kami akan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta menghentikan upaya pelemahan KPK ini, terutama peminggiran 75 pegawai KPK," kata Ketua Umum PGI, Gomar Gultom. Menurut Gultom, dengan disingkirkannya para pegawai yang selama ini memiliki kinerja baik serta memiliki integritas kuat dengan alasan tidak lulus TWK akan menjadikan para penyidik berpikir ulang untuk melaksanakan tugasnya dengan profesional seturut dengan kode etik KPK pada masa depan. "Karena mereka khawatir akan 'di-TWK-kan dengan label radikal dan kami makin khawatir karena mereka yang dipinggirkan ini banyak yang sedang menangani kasus-kasus korupsi yang sangat signifikan," kata dia. Aritonang yang ikut dalam pertemuan mengatakakan bahwa pelemahan KPK ini juga merupakan ulah para koruptor. "Kami berhadapan dengan koruptor dan yang bisa korupsi hanyalah mereka yang punya akses kepada kekuasaan. KPK ini hanyalah alat, pisau untuk memotong bagian badan yang koruptif dan reaksi dari para koruptor ini adalah membuang pisau ini, itu yang sedang kami alami," kata dia. Sekretaris Umum PGI, Jacky Manuputty, pun mengungkapkan kegelisahannya melihat fabrikasi hoaks di media sosial yang mudah mengubah persepsi masyarakat terhadap keadaan dan lembaga tertentu. Selanjutnya pada 3 Juni 2021, sebanyak 12 pegawai KPK bertemu dengan pengurus Majelis Ulama Indonesia. "Kehadiran mereka ke MUI dalam rangka mengadukan proses seleksi TWK," ujar Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis. Ia mengatakan 12 pegawai KPK itu bercerita soal keganjilan baik dari materi TWK maupun proses pengangkatan ASN. Untuk menjadi ASN di KPK masih harus menjalani TWK, sementara di lembaga lain seperti Komnas HAM tidak perlu. Setelah audiensi itu, MUI akan membawa masalah ini ke dalam rapat pimpinan harian MUI, sehingga nantinya akan muncul tanggapan resmi dari MUI. Waketum MUI, Anwar Abbas, sebelumnya juga mempertanyakan tes wawasan kebangsaan dari pewawancara dalam tes alih status pegawai KPK. Anwar menilai ada yang salah dalam pemahaman keagamaan dan kebangsaan pewawancara sehingga ia meminta hasil tes dibatalkan karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila dan UUD 1945. Hasil akhir aduan dan laporan 75 pegawai KPK tersebut memang belum terlihat namun setidaknya para pegawai tersebut tetap bergerak dan bertindak melihat ketidakberesan yang ada di depan mata. Mungkin pergerakan tersebut seiring dengan lagu Mars KPK yang diputarkan berulang-ulang saat pelantikan 1.271 orang pegawai KPK menjadi ASN pada 1 Juni 2021 lalu. (sws)

Polairud Bengkayang Tingkatkan Patroli Cegah Kriminalitas di Perairan

Pontianak, FNN - Satuan Polairud, Polres Bengkayang, Polda Kalimantan Barat, terus meningkatkan patroli perairan di wilayah kerjanya dalam rangka untuk mencegah gangguan keamanan dan kriminal di perairan. "Setiap hari anggota kami melakukan patroli di kawasan perairan yang menjadi wilayah hukum Satpolairud Polres Bengkayang," ujar Kasat Polairud Polres Bengkayang Polda Kalbar Ipda Ratnam saat dihubungi di Bengkayang, Sabtu. Ia menambahkan juga bahwa peningkatan patroli ini sebagai bentuk penguatan Pemeliharaan Keamanan Ketertiban Masyarakat (Harkamtibmas) yang optimal guna mencegah terjadi gangguan kamtibmas di kawasan perairan. Selain itu, menurut dia peningkatan patroli juga dilakukan personel untuk menyambangi masyarakat dan nelayan yang sedang berada di Perairan maupun yang berada di pulau. Dalam kesempatan itu polisi berseragam biru menyampaikan edukasi terkait virus Corona atau COVID-19 tentang pelaksanaan protokol kesehatan. Langkah itu untuk memutus mata rantai penularan virus Corona di Kabupaten Bengkayang, Isi dari protokol kesehatan itu di antaranya tetap memakai masker saat berada di luar rumah, tetap menjaga jarak fisik dengan orang lain, mencuci tangan, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas, "Sampai saat ini selama dilakukan peningkatan patroli di perairan Bengkayang situasi dalam keadaan aman dan kondusif," kata Ratnam. (sws)

Polrestabes Bandung Siap Tindak Tegas Premanisme

Bandung, FNN - Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes Bandung siap menindak tegas aksi premanisme yang kerap mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Kepala Satreskrim Polrestabes Bandung AKBP Adanan Mangopang mengatakan telah memerintahkan kepada para anggotanya melaksanakan instruksi tersebut sesuai arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. "Untuk tindakan premanisme, tanpa instruksi pak Kapolri sekalipun juga, ya bapak Kapolrestabes, dan pak Kapolda juga selalu mengingatkan kepada jajarannya untuk menindak tegas," kata Adanan di Bandung, Jawa Barat, Sabtu. Menurutnya tindakan premanisme kerap meresahkan masyarakat bila terus dibiarkan. Sejauh ini Satreskrim Polrestabes Bandung pun memang terus mencegah dan menindak adanya tindakan premanisme. Di Kota Bandung sendiri sebelumnya terjadi aksi premanisme di kawasan Gedebage yang melibatkan dua orang preman dan teknisi yang sedang melakukan perbaikan fasilitas publik. Saat itu pihaknya melalui Unit Reskrim Polsek Gedebage langsung melakukan pencarian kepada pelaku-pelaku yang wajahnya telah tersebar di media sosial. Menurut Adanan, hal itu menjadi contoh bahwa negara telah hadir untuk menindak aksi premanisme. Kedua preman tersebut akhirnya diringkus oleh polisi karena diduga melakukan pemerasan dan pengancaman. "Khususnya yang viral di Gedebage, itu berhasil kita ungkap, dan kita lakukan tindakan tegas, negara tidak boleh kalah dengan premanisme," kata Adanan. Sebelumnya Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Irjen Pol Argo Yuwono memastikan polisi akan menindak preman-preman di seluruh daerah Indonesia dengan melakukan operasi premanisme. Menurut Argo tindakan itu dilakukan setelah Polri meringkus 49 preman yang biasa memalak sopir-sopir truk kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. "Selain di Jakarta, operasi premanisme juga akan dilakukan di seluruh daerah di Indonesia. Suratnya ke Kapolda-Kapolda segera dikirim," kata Argo di Mapolda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (11/6). (sws)

Satgas Gagalkan Upaya Penyelundupan Puluhan Liter BBM ke Timor Leste

Kupang, FNN - Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) RI-Timor Leste menggagalkan upaya penyelundupan puluhan liter bahan bakar minyak (BBM) dari Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur ke Timor Leste. "BMM ini diduga sengaja diselundupkan orang tidak dikenal melalui jalur ilegal di wilayah perbatasan Timor Tengah Utara dengan Timor Leste," kata Wakil Komandan Pos Napan Bawah Satgas Pamtas RI-Timor Leste Sektor Barat Sertu Handhika Wahyu ketika dikonfirmasi di Kupang, Sabtu. BBM yang hendak diselundupkan tersebut sekitar 85 liter di antaranya jenis bensin sebanyak 30 liter dan solar 55 liter yang diisi dalam wadah jerigen dengan ukuran bervariasi. Handhika menjelaskan keberadaan BBM tersebut diketahui ketika empat personel satgas pamtas dari Pos Napan Bawah menggelar patroli malam untuk memeriksa jalur ilegal di sekitar perbatasan di Desa Napan. Para personel kemudian mendapati hal yang mencurigakan berupa suara orang yang berbicara serta langkah kaki di titik patroli yang tidak jauh dari Pos Napan Bawah. Ketika diperiksa, personel patroli melihat dua orang yang langsung berlari meninggalkan barang bawaan berupa BBM yang diisi dalam beberapa jerigen. Handhika mengatakan upaya pengejaran sempat dilakukan orang tersebut tidak bisa ditemukan dikarenakan kondisi gelap pada malam hari dan medan yang agak berbahaya sehingga dihentikan. "Dua orang ini tidak dikenal dan mereka lari meninggalkan beberapa jerigen berisi BBM bensin dan solar yang diduga hendak dibawa ke Timor Leste," katanya. Personel patroli kemudian mengamankan barang bukti di Pos Napan Bawah dan telah melaporkan peristiwa ini secara berjenjang hingga pimpinan di atas. (sws)

Densus 88 Lakukan Pendekatan Humanis sebagai Upaya Deradikalisasi

Jakarta, 12/6 (ANTARA) - Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Anti-teror Polri Kombes Pol MD Shodiq mengatakan Densus 88 melakukan pendekatan yang humanis kepada pelaku maupun orang-orang yang terpapar terorisme sebagai upaya deradikalisasi. Kombes Pol MD Shodiq pada diskusi Peran Yayasan Debintal dalam reintegrasi mantan narapidana terorisme di Indonesia, di Jakarta, Sabtu, mengatakan sampai saat ini belum ditemukan model yang tepat upaya deradikalisasi teroris. "Sampai hari ini pun belum ada saya baca baik jurnal maupun di buku-buku dari para pakar ahli bagaimana orang yang sudah radikal tinggi dengan berbagai teori dan metodologi supaya kembali kepada pemikiran yang moderat, ini saya belum temukan," kata dia. Oleh karena itu, menurut dia Densus 88 melakukan pendekatan humanis sebagai sebagai upaya deradikalisasi terhadap pelaku, mantan bahkan orang yang terpapar terorisme. "Sehingga kami melakukan pendekatan ini yang soft yang humanis terhadap orang yang terpapar radikal, dengan harapan membangun kepercayaan, ini yang penting," kata dia. Dia membagikan pengalamannya yang sudah terlibat menghadapi terorisme sejak 21 tahun lalu. Berbagai upaya dilakukan agar orang-orang yang sudah radikal tinggi bisa kembali menjadi moderat. "Era 2000 sampai dengan 2008-2009 kita lakukan pendekatan dengan pendekatan tokoh-tokoh jihadis di jazirah Arab, tokoh-tokoh Al-Qaeda yang sudah kembali pada pemahaman modern kita hadirkan," kata dia. Namun, menurut dia beberapa metode deradikalisasi yang dilakukan itu baik yang dilakukan oleh Densus 88 maupun bersama institusi yang resmi, yakni BNPT belum menghasilkan hal yang sangat signifikan. "Artinya hanya trial and error, hanya mencoba-coba jadinya mana konsep yang bagus untuk menurunkan tingkat radikalisme ini. Nah ketika dibentuk nomenklatur baru di Densus, kami membuat satu konsep bagaimana melakukan pendekatan baik di dalam rutan, di lapas maupun di luar lapas," ucpanya. Dia mengatakan, jika berbicara deradikalisasi sesuai peraturan perundang-undangan, deradikalisasi itu dilakukan terhadap orang yang statusnya sudah menjadi tersangka, sementara pemahaman dari kalangan luar menilai deradikalisasi adalah proses secara komprehensif. Artinya kata dia belum dilakukan penegakan hukum pun, mereka yang terpapar radikal juga harus diberikan pendekatan-pendekatan deradikalisasi. "Sehingga kami melakukan pendekatan ini yang soft yang humanis terhadap orang yang terpapar radikal. Dasar utama pendekatan dengan trust, kebutuhan primer, kemudian pendekatan membangun komunitas, terjadi suatu pertemuan yang rutin sehingga hubungan emosional akan terjalin," ucapnya. Hal itu lanjut dia pelan-pelan akan menarik kembali orang-orang yang sudah terpapar, agar kembali membuka mindset mereka, membuka ruang bahwa dunia itu tidak seperti yang mereka pahami selama ini. Dengan pemahaman itu pula, lanjut dia, para napiter yang berada di rutan, lapas hingga sampai kembali ke masyarakat nantinya perlu mendapatkan wadah pendampingan. Wadah tersebut menurut dia direalisasikan dalam bentuk Yayasan Debintal "Harapan kita ini nanti akan jadi satu role model yayasan yang mengimplementasikan kegiatan pemahaman yang moderat. Dan kalau bisa nantinya di sana juga dibuat area tangguh ideologi," ujarnya. (sws)

Inspektorat Landak Diminta Persempit Peluang Korupsi pada SKPD

Pontianak, FNN - Bupati Landak, Provinsi Kalimantan Barat, Karolin Margret Natasa, mengingatkan inspektorat yang ada di kabupaten itu untuk mempersempit peluang korupsi di jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan rutin melakukan pembinaan dan pengawasan. "Seperti yang kita ketahui, peran aparat pengawasan intern pemerintah daerah (Inspektorat) sangat penting dalam mengawal visi misi kepala daerah. Tidak untuk kegiatan pemda yang tidak bermanfaat, apalagi sampai untuk dikorupsi, karena pengawalan ini pun berarti semakin mempersempit ruang gerak untuk timbulnya tindak pidana korupsi," kata Karolin di Ngabang, Sabtu. Karolin menegaskan, pengawasan dan pembinaan dari Inspektorat kepada SKPD jelas sangat penting karena anggaran pemerintah akan fokus tertuju untuk mencapai visi misi, seperti meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, menekan tingkat kemiskinan dan pengangguran, dan sebagainya. "Pembahasan ini juga yang menjadi perhatian dalam agenda Rakorwasin yang memfokuskan pada kebijakan pembinaan dan pengawasan, prioritas program pembangunan daerah, peningkatan tata kelola pemda melalui manajemen risiko dan upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi dalam rapat yang dilaksanakan di Kantor Gubernur kemarin," tuturnya. Untuk itu, Karolin meminta Inspektorat dapat lebih baik lagi menjalankan tugas dan peran sebagai pengawas internal pemerintah daerah, dan memastikan program pemerintah bermanfaat untuk masyarakat. Mantan anggota DPR ini juga menambahkan, selain itu, kolaborasi pengawasan antara BPKP Perwakilan dan APIP Pemda, harus benar benar dapat memastikan terwujudnya tujuan dan sasaran pembangunan di daerah. "Hal ini juga mampu mendorong diterapkannya mitigasi risiko-risiko seperti ketidakselarasan pembangunan nasional dengan daerah, ketimpangan sektoral di berbagai daerah, alokasi belanja yang tidak efektif dan efisien, dan sebagainya," kata Karolin. (sws)