ALL CATEGORY

Pesawat Latih Jatuh di Buperta Cibubur

Depok, FNN - Pesawat latih sipil jatuh di kawasan area Bumi Perkemahan dan Graha Wisata atau Buperta Cibubur, Kelurahan Harjamukti, Kecamatan Cimanggis, Depok, Jawa Barat (Jabar), Jumat (28/05/21). Kepala Humas Polres Metro Depok Komisaris Polisi Supriyadi membenarkan adanya pesawat latih jatuh di kawasan Buperta tersebut. "Pilot dan seorang awak pesawat latih selamat dan dibawa ke rumah sakit terdekat," ujarnya. Ia mengatakan saat ini sejumlah petugas telah dikerahkan ke lokasi kejadian, termasuk dari jajaran Polres Metro Depok. Namun Supriyadi mengaku belum bisa menjelaskan secara detail terkait jatuhnya pesawat latih tersebut. "Kami masih mengumpulkan keterangan dari lapangan," katanya lagi. (ant/sws)

Rekayasa Dukungan Untuk Tiga Periode?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Bulan April lalu Benteng Indonesia (Benin) entah Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi lainnya, entah mimpi apa di siang bolong mulai menggelindingkan dukungan tiga periode untuk jabatan Jokowi. Artinya kelompok ini mendorong adanya amandemen UUD 1945 untuk mengubah batasan masa jabatan Presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Jokowi dipastikan mengatakan itu bukan idenya. Bahkan kemungkinan akan menyatakan "tidak tahu menahu'. Seperti biasa kebiasaan Jokowi. Jika muncul kelompok lain yang melakukan hal serupa dikemudiannya, maka sudah pantas rakyat atau masyarakat mencurigai adanya ulah oknum pendukung Jokowi di sekitarnya yang memang serius memperjuangkan. Meskipun demikian, Jokowi pun mulai dan patut diduga berada di belakangnya. Operasi yang berbiaya tinggi untuk suatu sukses politik mulai dijalankan. Ungkapan bahwa Jokowi sendiri tidak ada niat untuk menjabat tiga periode mulai diragukan. Bahkan sangat wajar untuk tidak dipercaya sama sekali, karena begitulah kebiasaan Jokowi. Antara omongan dan perbuatan tidak pernah singkron. Lihat saja penerapan Protokol Kesehatan (Prokes). Isu tiga periode telah lama mengemuka. Mengingat peta politik dan kepentigan pragmatis dari partai politik, maka isu ini bukan mustahil menjadi kenyataan. Aspirasi rakyat mudah dibelokkan oleh penentu kebijakan politik di DPR atau MPR. Apalagi DPR telah menjadi perpanjangan tangan kepentingan oligarki dan konglomerat hitam, busuk, picik, licik dan tamak. Toh sudah terbukti bahwa aspirasi rakyat hanya dibutuhkan hanya saat Pemilu. Itupun dapat direkayasa. Lihat saja pada pembentukan UU Cipta Kerja, UU KPK dan UU Minerba. Rakyat sama-sekali tidak didengar suaranya. Problem kepartaian kini adalah partai politik bukan lagi berfungsi sebagai elemen penegak demokrasi, melainkan menjadi perusak demokrasi. Jika semakin gencar tekanan untuk amandemen UUD 1945 dengan muatan perpanjangan masa jabatan Presiden boleh menjadi tiga periode, maka akan gencar juga kelompok atau aspirasi yang akan melakukan penolakan. Situasi politik semakin bakalan semakin memanas dalam polarisasi dua kepentingan yang berposisi diametral. Bukan mustahil muncul dan menguat pula aspirasi antitesis yang lebih menukik dan tajam, dengan beberapa alasan. Pertama, persoalan amandemen UUD 1945 bukan hanya sekedar perpanjangan jabatan yang dimasalahkan. Tetapi beberapa amandemen terdahulu juga perlu dikritisi. Isu politiknya adalah kembali ke UUD 1945 yang murni. MPR berdaulat kembali dan menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Presiden bertanggungjawab kepada MPR. Tidak asal pergi meninggalkan jabatan. Kedua, jangankan Presiden yang bertambah masa jabatan menjadi tiga periode, untuk bisa bertahan hingga 2024 saja sudah sangat berat. Bisa saja ada desakan agar Presiden cukup sampai disini. Desakan konstitusional agar Presiden mundur atau dimundurkan. Rakyat melihat pada ketidakmampuan Presiden dan penyimpangan dalam pengelolaan negara. Gelindingan dan perjuagan agar Presiden Jokowi menjabat tiga periode bukan tanpa tantangan dan risiko. Meski sepintas terlihat mudah. Tetapi prakteknya tak semudah yang dikalkulasikan. Sejarah telah sarat dengan catatan tentang perubahan politik yang cepat dan tak terduga-duga. Korupsi Itu Tanggungjawab Presiden Bukan Mahfud MD kalau tidak membuat gaduh. Seolah Menkopolhukam adalah Menteri yang mengkoordinir penciptaan keramaian politik, kegundahan hukum, dan kerentanan keamanan. Lempar batu sembunyi tangan. Ungkapan paling mutakhir Mahfud adalah korupsi kini yang merajalela dan Perguruan Tinggi harus bertanggungjawab. Alasan Mahfud koruptor itu sebagian besar produk Perguruan Tinggi. Ternyata Mahfad naif sekali. Seperti orang dungu, dongo, kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-belang. Mahfud lupa kalau korupsi merajalela pasca reformasi, dan rakyat menilai itu di eranya Pemerintahan Jokowi justru yang paling parah. Itu tanggung jawab Presiden Jokowi Bukan beban dan tanggungjawab dari kalangan PerguruanTinggi. Realitanya bahwa lingkungan yang dimasuki para alumni adalah ruang beriklim kehidupan ketatanegaraan yang sangat korup. Birokrasi korup, legislative korup, yudikatif korup, pemerintahan daerah dan instansi lainnya juga ramau korup berjamaah di eranya Presiden Jokowi. Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Karenanya bertanggungjawab atas atmosfir yang ada di berbagai bidang kehidupan pengelolaan negara. Kata Cirero, “ikan itu busuk dari kepalanya”. Jika Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mengalami proses pembusukan, maka dampaknya menjadi multi-dimensional. Menjadi ikutan-ikutan anak buah dan instansi pemerintah lain di bawahnya. Penilaiannya adalah cara memimpin atau mengelola negara yang gagal atau tidak becus. Tata kelola yang primitif, amatiran dan kampungan. Jauh dari tata kelola negara yang benar dan profesianal. Sehingga wajar saja kalau tidak yang dapat dibanggakan dari pemerintahan Jokowi. Presiden siapapun yang tidak tegas dalam memerangi korupsi, akan dilingkari oleh orang-orang yang berani untuk korupsi. Sebaliknya menjadi baik dan profesional jika Presiden tegas, tidak pandang bulu. Seiya sekata antara perbuatan dan tindakan. Tidak memaksakan diri untuk membangun dinasti politik kerluarga anak ddan menantu. Presiden harus bisa membuktikan dalam kebijakan politik yang diambilnya selalu memerangi dan memberi contoh sebagai pemberantas korupsi. Maka birokrasi, legislatif atau badan apapun akan segan, bahkan takut untuk melakukan korupsi. Karena Presiden memberi contoh baik. Jadi korupsi merajalela, meski banyak faktor yang turut menjadi sebab dan banyak pihak harus bertanggungjawab, maka faktor utama dan menentukan adalah Presiden yang tidak berwibawa. Tidak jujur dan tidak berkualitas. Bukan Presiden yang masa bodoh, gemar pencitraan, plintat-plintut, atau pelabrak hukum dan etika politik. Bahkan bisa-bisa diindikasikan korup juga. Presiden Jokowi dengan revisi UU KPK yang melumpuhkan lembaga KPK justru nyata-nyata tak menunjukkan teladan bagi pemberantasan korupsi. Presiden semestinya mampu menggerakkan segenap aparat penegak hukum untuk bekerja maksimal memberantas korupsi. Bukan yang sebaliknya. korupsi seperti dibiarkan merajalela sebagai konsekuensi dari rezim investasi. Para investor hanya akan berdatangan untuk menanamkan modalnya di negara dengan pemerintahnya tidak korup. Investasi dan hutang luar negeri yang tidak berimplikasi pada budaya upeti dan komisi. Tragisnya, korupsi kini dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bahkan dilakukan dengan rapih melalui perencanaan yang rapih dan matang. Dampingan korupsi, yaitu kolusi dan nepotisme ternyata turut merajalela pasca reformasi, khususnya sekarang ini. Mahfud MD semestinya bukan menyalahkan Perguruan Tinggi, tetapi menyalahkan diri sendiri sebagai bagian dari Pemerintahan Jokowi. Menkopolhukam adalah "tangan kanan" penanggungjawab pemberantasan korupsi saat ini di negeri ini. Jadi, jika dipertanyakan merajalelanya korupsi menjadi tanggungjawab Perguruan Tinggi atau Menkopolhukam, maka jawabannya tanggungjawab Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Nah, jika pertanyaannya menjadi tanggungjawab PerguruanTinggi atau Presiden? Pastilah jawabannya tanggungjawab Presiden! Presiden yang disadari atau tidak telah menciptakan iklim korupsi di segala bidang kenegaraan. Tak serius dalam melakukan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Terus mau berambisi untuk menjabat tiga priode? Sebaiknya ngaca dirilah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Perang Dunia III di Depan Mata, China dan Covid Pemicunya?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Dailymail.co.uk menulis, Ilmuwan China dilaporkan telah mempersiapkan “Perang Dunia 3” dengan senjata biologis dan genetik. Termasuk Virus Corona (Covid-19) yang kini melanda dunia, selama enam tahun terakhir. Bukti terbarunya, Beijing mempertimbangkan potensi militer dari virus Corona SARS sejak 2015 yang juga telah menimbulkan kekhawatiran baru atas penyebab Covid-19, karena beberapa pejabat masih percaya, virus itu lolos dari laboratorium China. Sementara itu, “dokumen rahasia tahun 2015” menjadi bukti “kejahatan perang China” soal senjata biologis. Dokumen rahasia yang dibuat 6 tahun lalu ini pun kini menjadi perdebatan karena berisi tentang niat China memulai perang dunia 3. Dari namanya saja, “makalah bom” yang telah sukses diakses oleh Departemen Luar Negeri AS, pembaca akan bertanya-tanya apa maksud dibalik pembuatannya oleh China. Seperti dilansir dari Dailymail.co.uk, Minggu (9/5/2021),, hingga saat membaca isi dokumen tersebut, maksud dan tujuan China kini bertengger menjadi salah satu negara tersukses di tengah pandemi Covid-19 agaknya terbuka lebar. Dokumen yang dibuat oleh para ilmuwan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA China) dan pejabat kesehatan, yang rinciannya dilaporkan di The Australian, meneliti manipulasi penyakit untuk membuat senjata dengan cara yang belum pernah terlihat sebelumnya. Para penulis dokumen tersebut bersikeras bahwa “Perang Dunia 3” akan bersifat biologis. Ini tidak seperti dua perang sebelumnya yang masing-masing digambarkan sebagai perang kimia dan nuklir. Makalah itu merujuk pada dua bom atom yang dijatuhkan di Jepang dan memaksa mereka untuk menyerah, serta mengakhiri Perang Dunia 2. Karenanya kini China mengklaim senjata biologis akan menjadi senjata inti untuk kemenangan dalam Perang Dunia 3. Dokumen tersebut juga menguraikan cara-cara untuk melepaskan senjata biologis dan menyebabkan kerusakan maksimum terhadap sistem medis musuh. Para ilmuwan mengatakan serangan semacam itu tak boleh dilakukan di tengah hari yang cerah. Ini karena sinar matahari yang intens bisa merusak patogen, sementara hujan atau salju dapat memengaruhi partikel aerosol. Sebaliknya, harus dilepaskan pada malam hari, atau saat fajar, senja, atau di bawah cuaca mendung, dengan arah angin yang stabil. Sehingga aerosol dapat melayang ke area sasaran. Sementara itu, penelitian juga mencatat, serangan semacam itu akan mengakibatkan lonjakan pasien yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, yang kemudian bisa menyebabkan sistem medis musuh runtuh. “Dokumen ini menimbulkan kekhawatiran besar tentang ambisi beberapa dari mereka,” kata Anggota Parlemen Tom Tugendhat, ketua komite urusan luar negeri. “Bahkan mereka sangat sadar bahwa senjata-senjata ini berbahaya.” “Tak hanya untuk musuh, tapi warga China sendiri,” lanjut Tom Tugendhat. Sebelumnya, badan intelijen mencurigai Covid-19 mungkin hasil dari kebocoran laboratorium Wuhan yang tidak disengaja. Presiden Brasil Jair Bolsonaro mengkritik keras China dengan menuduhnya menciptakan senjata biologis. Namun belum ada bukti yang menunjukkan bahwa dugaan itu benar. Ia menyebut, Covid-19 untuk memicu 'perang' kimiawi. Apalagi Bolsonaro menambahkan, China menjadi negara yang justru sukses meningkatkan PDB. Sementara itu, negara lain justru tengah berusaha mengatasi lonjakan kasus baru dan kasus kematian. Data dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan memang menunjukkan bahwa China adalah satu-satunya anggota G20 yang PDB-nya menunjukkan pertumbuhan selama pandemi pada tahun 2020. Terlihat PDB-nya meningkat sebesar 2,3%. Mantan Presiden AS Donald Trump juga menuduh WHO meniru propaganda China pada virus sejak wabah pertama kali diumumkan ke dunia. Tapi, China menolak kritik itu dan menuduh AS malah melakukan tekanan politik pada para ahli misi pencari fakta. Benarkah Virus Corona yang pertama melanda Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, adalah senjata biologis yang berasal dari Wuhan Institute of Virology, sebuah laboratorium terkait senjata rahasia China yang mengembangkan virus mematikan? Jika benar, jelas ini sangat membahayakan kehidupan manusia di seluruh dunia. Terbukti, ini menular antar manusia. Hal ini diungkapkan oleh seorang ahli perang biologis Israel, Letkol Dany Shoham. Perlu dicatat, Shoham meraih gelar doktor dalam bidang mikrobiologi medis. Dari 1970-1991, ia merupakan analis senior intelijen militer Israel untuk perang biologi dan kimia di Timur Tengah dan di seluruh dunia. Seperti dilansir dari Viva.co.id, Sabtu (25/1/2020 | 20:00 WIB), Minggu ini, Radio Free Asia menyiarkan ulang laporan televisi lokal Wuhan pada 2015, yang menunjukkan laboratorium penelitian virus paling maju di China, yang dikenal sebagai Institut Virologi Wuhan. Diketahui, Wuhan memiliki dua laboratorium yang terhubung dengan program bio-warfare. Laboratorium itu adalah satu-satunya tempat yang dinyatakan China mampu mengerjakan virus-virus mematikan. Dany Shoham telah mempelajari senjata biologi China. Menurutnya, institut ini berhubungan dengan program senjata biologis rahasia Beijing. Laboratorium tertentu di institut ini mungkin terlibat dalam hal penelitian dan pengembangan senjata biologis China. “Setidaknya sebagai pelengkap, namun bukan sebagai fasilitas utama penyelarasan senjata biologi,” katanya dikutip dari Washington Times, Sabtu (25/1/2020). Ia juga mengatakan, pengerjaan senjata biologi dilakukan sebagai bagian dari penelitian sipil-militer ganda dan “pasti rahasia”. China sendiri selalu membantah memiliki senjata biologis ofensif. Namun, Departemen Luar Negeri AS, dalam sebuah laporan dua tahun lalu, mengatakan mereka mencurigai China telah terlibat dalam pekerjaan perang biologis terselubung. Tapi, pihak berwenang China sejauh ini mengatakan bahwa asal-usul virus corona, yang telah membunuh banyak orang dan menginfeksi ratusan di pusat Provinsi Hubei, tidak diketahui asal usulnya. Seorang pejabat AS menyebut, ini adalah satu tanda yang tidak menyenangkan, desas-desus semu sejak wabah yang dimulai dari Wuhan tersebut mulai beredar di Internet China yang mengklaim, virus itu adalah bagian dari konspirasi AS untuk menyebarkan senjata kuman. Benarkah ini senjata biologis yang sedang dikembangkan China, seperti sinyalemen seorang perwira intelijen Israel tadi? Jika benar, ini jelas sangat membahayakan kehidupan manusia di dunia. Jika memang benar senjata biologis akan menjadi pemicu Perang Dunia III, maka sejarah sejatinya berulang. Ingat, Perang Dunia I juga tidak lepas dari peran senjata biologis. Covid dan China akankah menjadi pemicu Perang Dunia III? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Imperialisme Digital

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Program “Literasi Digital Nasional” diluncurkan menandai peringatan “Hari Kebangkitan Nasional” tahun 2021, Kamis 20 Mei 2021. “Saya harap gerakan ini menggelinding dan terus membesar, bisa mendorong berbagai inisiatif di tempat lain melakukan kerja-kerja konkret di tengah masyarakat agar makin cakap memanfaatkan internet untuk kegiatan edukatif dan produktif,” kata Presiden Jokowi melalui sambutan virtual. Presiden merinci barisan “musuh” bangsa yang harus diperangi lewat maraknya konten-konten negatif dan eskalasi kejahatan yang hadir di ruang digital seperti hoaks, penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, ujaran kebencian, dan radikalisme berbasis digital. Mengutip sejarah, Hari Kebangkitan Nasional 113 tahun lalu pada 20 Mei 1908, dipelopori Dr. Wahidin Soedirohoesodo bersama tiga mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen(STOVIA) mendirikan organisasi Boedi Oetamo. Ketiga mahasiswa itu adalah Soetomo, Gunawan Mangunkusumo, dan Suraji yang telah lama mengagumi dr Wahidin melalui majalah Retno Dumilak. Embrio pergerakan perjuangan menjadi bangsa itu, berlanjut dengan peristiwa “Hari Soempah Pemoeda” 28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya pada “Hari Proklamasi Kemerdekaan RI-17 Agustus 1945”. Jejak rangkaian narasi “kebangkitan” nasional itu, adalah embrio konsolidasi kesadaran berbangsa. Konsolidasi yang di dalamnya sarat semangat anti penjajahan, kolonialisme dan imperliasme. Semangat anti Belanda yang selama kurang lebih 350 tahun telah menjajah dan memangsa mentah-mentah SDA Indonesia melalui kekerasan, perbudakan dan bahkan penghinaan dalam bentuk kerja paksa di negeri sendiri. Di tengah ketidakpastian tampang regulasi saat ini, ancaman imperialisme digital sudah di depan mata. Salah satu contohnya persekutuan raksasa start-up Gojek dengan raksasa lainnya Tokopedia. Telusurilah “riwayat hidup” keduanya di mesin pencari “Google”. Akan ditemui fakta kedua raksasa kapitalisme yang berjubah imperialisme digital tersebut, memposisikan rakyat Indonesia yang berjumlah ratusan juta hanya sebagai “mesin” pencetak uang triliunan tiap bulan secara digital untuk kantong mereka di luar negeri. Memang benar menjanjikan kemudahan di semua bidang. Namun pada saat yang sama menyembunyikan “bencana yang tertunda” (delayed disarter) jangka Panjang. Dalam arti pergeseran budaya pekerja keras aktif menjadi mentalitas konsumerisme pasif, komentar seorang pakar komunikasi. Artikel dekan Fakultas Hukum UI, Dr. Edmond Makarim, (Kamis, 14 January 2021) yang mengutip Data Digital Economy Report 2019 dari United Nations Conference (UNCTAD) tahun 2019, menarik untuk dicermati. Secara gamblang menunjukkan bahwa perusahaan teknologi digital terkonsentrasi secara geografis di AS dan Tiongkok. Meskipun terdapat perusahaan-perusahaan digital yang berasal dan beroperasi di pasaran negara berkembang, mereka tampaknya hanya menjadi porsi marjinal dalam ekonomi digital. Meskipun saat ini tengah semarak hadirnya aplikasi nasional, sebagaimana dijelaskan di atas. Saat ini penguasaan infrastruktur digital tidak berada di tangan bangsa. Dengan pemanfaatan cloud computing, justru data diunggah dan ditampung ke dalam suatu sistem akuarium informasi global yang dapat dilihat oleh yang menguasainya. Kepercayaan pengguna terhadap produk teknologi seharusnya tidak lepas dari sejauh mana pengetahuan mereka akan resiko kerentanan kegagalan teknologi tersebut. Juga bagaimana hal itu telah dikelola atau dimitigasi dengan baik. Tidak ada kesempurnaan dalam teknologi, sehingga seharusnya ada kepastian prosedural untuk mitigasi. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari kewenangan administratif terkait. Tidak hanya dilepaskan kepada kompetisi pasar saja. UU-PDP itulah sesungguhnya bentuk nyata mitigasi verbal yang harus menjadi domain negara. Baru saja di pertengahan Desember lalu, pengguna di dunia dikejutkan dengan gangguan layanan Google selama satu jam. Bahkan raksasa teknologi itu ternyata tidak bisa mencegah 100% terjadinya kerusakan atau gangguan teknologi. Juga tidak menjamin keandalan sistem elektroniknya. Imperialisme sejatinya tidak benar-benar hilang dari kehidupan manusia. Di zaman now, dunia digital pun tidak benar-benar lepas dari yang namanya imperialisme. Inilah yang selanjutnya disebut dengan imperialisme digital (digital imperialism). Dengan kata lain, ini bukanlah istilah baru. Ada diksi yang sejenis dengan itu, misalnya digital colonialism (kolonialisme digital). Keduanya merujuk pada makna yang sama, yaitu penjajahan digital. Percaya atau tidak, kita sejatinya berada dalam jebakan batman. “Terjebak” dalam berbagai tawaran yang menggiurkan dari revolusi digital tersebut. Padahal, setiap aktifitas kita, saat tersambung dan terhubung dalam jaringan digital, semua itu ada cost-nya. Dan, biayanya itu, bukan hanya sekedar berbentuk uang ataupun pulsa yang disedot. Tetapi lebih dari itu. Ada social cost yang harus dibayar. Dimana ini yang kerapkali kita lupakan, atau mungkin tidak kita sadari. “Social cost inilah yang kemudian akan dikapitalisasi oleh penyedia layanan. Baik itu sosial maupun bisnis. Sehingga menjadi kekuatan mereka, untuk dalam beberapa waktu ke depan, mendikte bahkan “memperkuda” kita dalam setiap aktifitas kehidupan. Dengan demikian sudah semestinya kita aware tentang hal ini”, tulis Makarim. Berdasarkan hasil penelitian, dengan hadirnya ekonomi digital dan teknologi digital pada umumnya, menjadilah Indonesia pasar besar sambil memproduksi kekhawatiran. Start-up lokal yang membesar merangsang injeksi modal venture capitalist asing sebagai pintu masuk modal asing untuk “mencaplok” Indonesia. Meluapnya demam venture capitalist berburu start-up Indonesia yang rindu biaya peningkatan, mengubah status kepemilikan start-up pindah ke tangan investor asing. “Menempatkan founder di pinggiran dengan saham minimal. Mereka bukan lagi pemilik. Tetapi sudah berubah menjadi pekerja. Banyak contoh soal nasib kelam start-up lokal. Sebutlah seperti tokopedia, traveloka, bukalapak, lazada dan lain-lain, yang telah diambil alih oleh asing dan aseng”, tulis Asih Subagyo, Sekjen Muslim Information Technology Association (2017). Program gerakan “Literasi Digital Nasional” menjadi rahmat dan sekaligus elemen bencana baru bagi bangsa. Dominasi modal asing akan mengangkangi perekonomian nasional arus utama bangsa. Meniscayakan hadirnya pagar beton regulasi nasional yang tangguh. Keperkasaan regulasi nasional adalah harga mati. Gunanya untuk menangkal ancaman imperialisme digital yang membawa dinamika, penetrasi maupun invasi taring raksasa kapitalisme global yang menjadi mesin penggerak “budaya” pencaplokan terselubung melalui layanan cepat virtualisasi. Yang jelas sampai hari ini, DPR belum juga berhasil menerbitkan UU-PDP (Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi) bagi 279 juta orang penduduk negeri ini . Meskipun RUU-PDP itu telah berkali-kali direncanakan dibahas, sampai sekarang belum berwujud. Sebuah berita buruk saat ini meledak di semua media: terjadi kejahatan digital peretasan data pribadi 279 juta penduduk yang berasal dari kantong BPJS Kesehatan. RUU-PDP telah disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) tahun 2014. Pemerintah bersama-sama DPR telah mengupayakan agar disahkan menjadi undang-undang pada priode 2014-2019. Hingga berakhir masa legislasi 2014-2019, UU itu tidak diapa-apain juga. Pada periode legislasi 2019-2024, RUU-PDP kembali diusulkan pemerintah pada 17 Desember 2019, dan masuk dalam jajaran Prolegnas Prioritas tahun 2020. Namun sampai hari ini tidak ada kabar berita. Sumber di DPR menyebutkan penyebab tersendatnya pembahasan RUU itu, karena ada perbedaan persepsi yang prinsipil antara pemerintah dengan legislator. Eksekutif menghendaki dirinya sebagai “agen tunggal” pengelolaan sanksi-sanksi UU itu kepada operator aplikasi digital yang beromzet trilunan itu. Tetapi pihak legislatif agaknya kurang setuju dengan diksi “tunggal” itu dengan alasan-alasan tertentu. Apa yang salah pada bangsa ini? Sebuah pesan WhatsApp melesat ke dalam HP saya dengan tulisan yang mengusik: “Satu-satunya kesalahan kalian, karena kalian tidak bersalah”. Itu potongan dialog drama kolosal kelas dunia berjudul “Montserrat” karya Emanuel Robles (1948). Diterjemahkan sastrawan papan atas Indonesia, almarhum Drs. Asrul Sani. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.

KKB Teroris? Negara Diduga Lakukan Terorisme di Papua (Bagian-1)

by Marthen Goo Jayapura FNN - Pemerintah mengumumkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai “Teroris” seperti yang disampaikan Menkopolhukam, Prof. Maufud MD, dan viral di media-media, tentu saja mengagetkan publik. Pro dan kontra terjadi dimana-mana. Hampir semua orang Papua menolak lebel tersebut. Tetapi di Jakarta, banyak yang pro dan kontra. Mestinya dengan melebel teroris, apalagi oleh pemerintah, harus jelas dan terukur. Dampak dari pernyataan pemerintah soal KKB sebagai terorisme ada empat. Pertama, terjadi pengiriman pasukan yang berlebihan. Kedua, adanya penyerangan darat dan udara. Ketiga, adanya masyarakat kurang lebih 7000-an orang mengungsi besar-besaran ke hutan. Sementara yang mengungsi ke distrik pembentukan traomating pada penduduk. Terhadap dugaan pada poin keempat, Komnas HAM diharapkan untuk segera turun ke Papua. Lakukan penyelidikan secara menyeluruh dari bentuk penyerangan yang dilakukan oleh apparat. Ada tidak korban warga sipil? Ada tidak pengungsian yang tidak dilindungi negara? Atau adanya proses pengabaian sebagai kejahatan HAM yang dikenal dalam dunia HAM adalah “by omission”. Jika ada kejahatan HAM, baik by omission, apalagi by comission, maka Komnas HAM harus berani untuk menetapkan sebagai kejahatan HAM. Seret segera pelakunya ke pengadilan HAM. Apalagi kalau jelas-jelas siapa yang memberikan intruksi. Jika merujuk pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maka soal “genosida”, jika ada dugaan terjadi, dan memenuhi unsur pasal 7 poin (a) tentang kejahatan genosida, dan pasal 8 poin (c) “menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya”. Membedah KKB dan TPN-OPM KKB adalah Kelompok Kriminal Bersenjata. Kata kriminal, memiliki arti bahwa kelompok yang melakukan perbuatan kriminal. Biasanya tujuan yang dilakukan adalah hal-hal yang sifatnya kecil dan terbatas serta tujuan materi semata. Sehingga, siapa itu kelompok kriminal bersenjata? Barang kali hanya pemerintah di Jakarta yang tahu kelompok tersebut. Hal itu berbeda dengan TPN-OPM. TPN sendiri adalah Tentara Pembebasan Nasional. Sementara OPM adalah Organisasi Papua Merdeka. Artinya bahwa organisasi, baik TPN maupun OPM adalah organisasi Idiologi Papua Merdeka. Perjuangan mereka adalah perjuangan untuk merebut kemerdekaan Papua. Mereka juga bisa disebut sebagai kombatan, dalam perspektif perjuangan idiologi. Barang kali perjuangan TPN-OPM ini sama dengan keberadaan Indonesia saat berjuang untuk merebut kemerdekaan setelah mendeklarasikan kemerdekaan 17 agustus 1945. Karena paska proklamasi kemerdekaan, Belanda berkeinginan untuk mengambil kembali Indonesia, dan melalui desakan Amerika, akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Indonesia pada saat itu memiliki idiologi yang sama tentang kemerdekaan, dan lepas dari penjajahan. Bahkan Soekarno sebagai salah seorang pejuang selalu ditangkap dan dilebelin separatis. Terjadi dua cara pandang yang berbeda. Belanda menganggap Soekarno adalah separatis, tetapi rakyat di Jawa menganggapnya sebagai nasionalis dan pejuang bagi keselamatan rakyat Jawa kala itu. Keberadaan TPN-OPM secara subtansial sama. Barang kali bagi sebagian rakyat Indonesia TPN-OPM adalah kelompok separatis, tapi bagi sebagian besar rakyat Papua, TPN dan OPM adalah organisasi nasional Bangsa Papua untuk kemerdekaan. Tentu ini soal cara pandang dan pada posisi dimana kita berada. Hal yang sama juga saat Belanda menguasai Jawa dan beberapa daerah lainnya minus Papua. Jadi, dari aspek subtansial, KKB dan TPN/OPM tentu berbeda. Walau dalam perspektif separatis, Menurut Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Internasional Unpad Bandung, “separatisme diartikan gerakan memisahkan diri suatu masyarakat di dalam suatu negara. Alasannya ketidakadilan sosial yan terjadi terhadap masyarakat setempat. Pola kolonialisme sudah tidak relevan lagi untuk abad ini”. Barang kali terhadap pernyataan Guru Besar tersebut, cara pandang yang dilihat hanya pada tahun 2021. Sementara TPN-OPM lahir dari akumulasi perjalanan sejarah yang Panjang. Dimana ada kesinambungan antara perebutan Papua oleh Soekarno dengan paksa, operasi militer, Pepera 1969 di bawah tekanan militer, operasi militer lanjutan dan kejahatan kemanusiaan yang panjang hingga saat ini. Dari aspek tersebut, pernyataan guru besar sesungguhnya bisa menjadi perdebatan tersendiri. TPN-OPM Punya Kepastian Hukum Pemerintah menetapkan KKB teroris ,dan itu disampaikan ke publik lewat media. Pertanyaan dalam perspektif hukum, KKB itu siapa? Pemerintah bisa menjelaskan yang dimaksud KKB? Apakah KKB itu adalah oknum dari orang? Atau organisasi apa ? Bukankah dalam hukum pidana, ketika menyebut subjek hukum harus jelas? Ketika pemerintah menyebutkan KKB teroris, narasi yang disampaikan ke publik sangat abstrak dan multitafsir. Artinya, siapapun orang yang hanya didasarkan pada asumsi bisa disebut teroris seenaknya. Tanpa ada batasan dan penjelasan yang jelas, kongkrit dan terukur. Ini stigmatisasi atas pernyataan teroris. Sementara pernyataan pemerintah tidak jelas dari aspek subtansi ketika bicara subjek hukum. Jika merujuk pada pernyataan pemerintah yang disampaikan Menkopolhukam “pemerintah menganggap organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris”. Apakah semudah itu? Sementara penetapan teroris itu unsurnya ketat dan terukur. Kenapa pemerintah menyebut orang Papua? Apakah ini tendensius rasisme, atau kebencian kepada orang Papua? Subjek hukum tidak jelas, maka berpotensi kekerasan bisa terjadi. Kerena pada siapa saja yang diasumsikan melakukan kekerasan. Bahkan, ketika rakyat protes dan dianggap melawan aparat, bisa didalilkan dengan terorisme. Ini menciptakan kegaduan baru. Apalagi dasar hukum penetapan itu tidak ada, tetapi pengiriman pasukan dan pendekatan militer digunakan pendekatan “respon terorisme”. Jika merujuk pada UUD’45 pasal 1 ayat (3) Indonesia adalah negara hukum, mestinya kepastian hukum, dan subjek hukum harus jelas. Kalau yang kaya gegini, sama saja dengan melakukan tindakan yang inkonstitusional. Sewenang-wenang. Sesuka hati. Unsur Dalam Gerakan Terorisme Sekarang kita coba dalami unsur-unsur dalam pengertian teroris. UU Nomor 5 tahun 2018 dijelaskan “terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”. Pengertian ini ada dua poin yang bisa dilihat. Pertama, perbuatan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal. Kedua, perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan Jika merujuk pada dua poin dasar tersebut, hal-hal yang dilakukan TPN jika kita gali dan dalami secara objektif, barangkali bisa digali dan didalami oleh tim independen lain. Pertaman, TPN selalu berkonflik dan saling bermusuhan dengan TNP/Polri. Kedua, TPN hanya akan mengintrogasi atau membunuh oknum tertentu orang yang menjadi bagian dari mata-mata aparat Indonesia (spionase). Ketiga, menghancurkan fasilitas umum yang dihuni/digunakan TNI/Polri sehingga beralih fungsi dari umum ke khusus . Dari tiga poin yang biasa dilakukan TPN/OPM tersebut, tentu dalam konflik kombatan, itu normal dan wajar jika dilihat dalam perspektif hukum humaniter. Artinya, jika dirujuk pada konflik kombatan, aspek teroris tidak masuk. Bahkan jika dirujuk pada pengertian teroris pun tidak masuk. Kalau pemerintah merujuk pada pengertian teroris, terlalu jauh menyimpulkan. Fakta lyang sudah jadi rahasia umum sejak Papua di dalam Indonesia, TPN-OPM tidak pernah membunuh warga sipil, baik warga asli Papua maupun non Papua. Bahkan perjuangan TPN-OPM adalah pembebasan nasional dan penyelamatan orang Papua. Sejak pendirian TPN-OPM sampai saat ini, belum ada warga pendatang yang dibunuh. Hal tersebut berbeda jika itu adalah TNI-Polri atau spionase (mata-mata). Mama-mama di Papua menjelaskan bahwa TPN-OPM itu bukan teroris. Hasil wawancara media suara Papua, mama Yosina adalah salah satu korban yang masih trauma sampai saat ini. Ia mengaku menyaksikan keluarganya dibantai pasukan militer tahun 1969. “Waktu itu Mamade dan Bapade dibantai tentara. Saya saksikan sendiri keganasan militer Indonesia. Jadi, yang terorisme itu siapa? Semua orang tahu yang biadap selama ini di tanah Papua” (SuaraPapua.com 15 Mei 2021). Di Harian Kompas, tokoh Papua Natalius Pigai menyebut, “militer justru hadir sebagai monster leviadan, beringas pembawa maut di Papua. Ternyata opini dan propaganda media intelijen di negara ini bahwa TPN-OPM atau KKB membunuh rakyat Papua ternyata propaganda utopis, tipu muslihat pemerintah”. “Jika rakyat Papua korban terus, maka sudah pasti TPN-OPM akan hadir untuk melindungi rakyat Papua. Masa yang akan datang mereka TPN-OPM akan semakin kuat untuk hadir melindungi bumi putra dan tanah airnya. Pemerintah harus buka kran demokrasi”, ujar Pigai (Kompas, 17/5/2021). Jadi, pemerintah harus memperjelas siapa KKB. Karena dari aspek subjek sangat tidak jelas. Sementara jika KBB yang dimaksud adalah TPN, dari fakta tidak terpenuhi, dari subjek hukum pun tidak terpenuhi. Bahkan kekerasan yang diarahkan kepada rana sipil justru selalu dilakukan oleh aparat negara. Fakta hari ini bisa kita lihat terjadi pengungsian besar-besaran. Belum lagi tiga kakak-beradik yang dibunuh dalam rumah sakit di Intan Jaya. (bersambung). Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.

Oligarki Licik Menunggangi Demokrasi dan Rule of Law

by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN - State regulatory body atau commission, yang dalam studi tata negara juga disebut “auxelarry body” , bukan badan yang diatur UUD. Sama sekali bukan. Badan yang status organiknya bersifat independen ini, merupakan temuan terhebat para oligarki di Amerika. Badan ini disodorkan oleh kelompok penghisap seluruh sumberdaya ekonomi ini, sebagai cara mereka melepaskan diri dari pengawasan langsung pemerintah. Dalam kasus Amerika, hambatan non tarif dagang antar negara bagian, monopoli angkutan barang, dan diskriminasi harga, semuanya tersambung dengan perilaku korporasi. Rockeffeler, dengan standard Oilnya, berada di jantung sebagai sebab utamanya. Itu menjadi salah satu sebab pembentukan Interstate Commerce Commission Act (ICC) pada tahun 1887. Sebab lain adalah adanya kenyataan korporasi telah megambil watak “trust”. Konsep yang saat itu belum menggema di Amerika, merupakan temuan hebat dari J.P. Morgan, yang belakangan menjelma menjadi koporasi keuangan kelas dunia. Kombinasi sebab-sebab itu dipakai oleh Grover Cleveland (1885-1889), sang Presiden yang pro bisnis besar Sherman Act 1890. UU ini melarang semua bentuk monopoli, kombinasi, konspirasi pengaturan harga antar beberapa orang atau monopoli perdagangan di negara-negara bagian. Sukseskah? Dalam kenyataannya tidak. Standar Oil jatuh tahun 1911 bukan karena UU ini. Standar Oil gulung tikar dan hilang hilang nama besarnya karena investigasi Ida Tarbel, jurnalis investigasi kawakan yang menjadi sebab utamanya. Kala itu investigasi khas Ida Tarbel disebut “muckraker”. Terbuai dengan ide institusionalisasi, muncul lagi gagasan mengontrol lebih keras kelakuan para oligarkis ini. Korporasi terlihat seolah-olah mau dipukul habis melalui penciptaan sejumlah UU. Nyatanya yang terjadi adalah UU yang dibuat dalam masa krisis ekonomi hebat tahun 1913-1921 itu justru menebalkan cengkeraman korporasi besar Amerika. Itulah dekorasi utama pemerintahan Woodrow Wilson. Presiden Wilson dan Kongres merespon kenyataan itu gagasan Federal Trade Commission (FTC) tahun 1914. Ini diatur dalam Clayton Act (Hendry Clayton, chairman house judiciary committee sebagai pemrakarsa). Nama resmi UU ini adalah Anti Trust Act. Sukseskah? Tidak juga. Korporasi naik lagi bersamaan dengan datangnya krisis ekonomi hebat pada tahun 1929-1933. Pemerintahan Franklin Delano Rosevelt (FDR) merespon krisis itu dengan sangat agresif. Berbeda jauh dengan Herbert Hoover. Presiden FDR memang bukan kaki tangan oligarkis. Presiden FDR segera melukis pemerintahannya dengan Monetary dan Reconstruction Finance Corporation Policy. Kerbijakan itu diawali dengan pembentukan The Banking Act 1933. Belum cukup dengan mengeliminasi laissez-faire ineviciency, dua tahun kemudian UU ini direvisi. Kongres segera membentuk The Banking Act 1935. Reymon Moley, Rex Tugel, Adolf Berle yang dilebeli “Brain Trust” dan “Trust Busting”, berada dibalik lahirnya kebijakan itu. Berle misalnya mengadvokasi pembentukan The Banghkin Act 1935. Menurutnya itu cara tepat menyingkirkan infesiensi ekonomi, khususnya di bidang keuangan. Berputar di sekitar monetary policy untuk macro economy stabilization, pemerintah FDR segera membuat kebijakan yang terlihat melindungi masyarakat. Disodorkanlah kebijakan-kebijakan penukaran emas dengan surat berharga. Surat berharga itu dapat diuangkan di bank. Tetapi, ini yang menarik. Ketika surat-surat berharga itu dibawa ke bank, mereka menemukan kenyataan bahwa bank telah diliburkan. Ini dikenal dengan Bank Holiday, dikenal juga sebagai massacre day. Kemana perginya emas-emas itu? Diketahui ke Bank of England. Korporasi terus berpesta. Dengan dalih memukul omong kosong free market, Kongres segera membentuk The Securities and Exchange Policy. Segera juga dibentuklah The Securities and Exchanges Commission (SEC) tahun 1934). Kebijakan itu dikokohkan dengan Federal Deposit Insurance Corporation. Juga Federal Home Bank Loan, Federal Saving and Loan Insurance Corporation, Federal Kredit Union, dan the National Mortage Association. Semua kebijakan di atas melengkapi Federal Homes Loan Bank Act 1932 yang telah diteken sebelumnya oleh Presiden Hoover. Pemerintah FDR lalu mengeluarkan Home Owners Loan Act (HOLA). Dalam HOLA diatur pembentukan Federal Housing Administration. Manis Presiden FDR segera mengidfentifikasi komunikasi sebagai satu masalah di tengah putaran waktu krisis itu. Ini harus dibereskan. Kongres juga merespon. Mereka membuat The Federal Communication Commission (FCC) tahun1934. Ini dituangkan dalam Federal Communication Act. Tahu bahwa kekacauan sosial selalu memanggil partner utamanya yaitu instabilitas politik, maka masyarakat harus diberi perhatian. Itulah gagasan yang harus dimengerti dari “Social Infrastructure Policy”. Dalam kerangka itu dibentuk Social Security Act, dan lainnya yang sejenis dalam sifatnya. Memang secara teknis Social Security Act itu bertujuan melakukan “stabilisasi ekonomi makro”. UU ini menyediakan jaminan bagi penganggur, unemployment insurance, jaminan bagi para pensiunan, bantuan kepada anak-anak, dan program jaminan sosial lainnya. UU inui dalam gagasan awalnya dirancang sebagai cara memberi kepastian berkerlanjutan dan permanen terhadap peningkatan stok rumah secara nasional. Program ini memungkinkan semakin banyak orang memiliki rumah. Terutama ditujukan kepada mereka yang berusia di atas 33 tahun. Bahu-membahu dengan pemerintah, Felix Frankfurther, Tomy Corcoran, James Landis dan Ben Cohen, eksponen utama “korporatis group”, seperti Merle dan kawan-kawan, mengadvoksasi pembentukan National Labor Relation Act. Canggih cara kerjanya. Mereka hanya mengadvokasi, dan Senator Robert Wagner, yang tampil memprakarsai pembentukan UU itu. Itu sebabnya UU sering disebut Wagner Act. UU ini memberi pekerja privilege. UU ini mengatur apa yang dikenal dengan Labour Relation Board, yan bersifat Independen. Apakah kehidupan berubah setelah itu? Mereka tetap saja sebagai buruh. Upah tetap menjadi soal. Satu-satunya yang terlihat hebat dari UU ini adalah buruh diberi kebebasan berserikat. Itu saja. Itulah demokrasi dan rule of law khas kaum oligarki. Pembaca FNN yang budiman, The Bankin Act 1933-1935, benar-benar merupakan cara licik khas oligarki mengisolasi, membatasi dan memotong ruang lingkup atau jangkauan kewenangan dari presiden. Kewenangan presiden itu dipotong dengan cara yang memberi sifat “independen” pada badan yang disebut regulatory body atau commission itu. Tidak mengherabnkan American Bar Aassociation (ABA) menemukan kenyataan New Deal Policy adalah cara pemerintah federal, yang bekerja dibawah kendali oligarki memperluas kekuasaan pemerintahan federal. Administrative agency, termasuk badan-badan independen tersebut diidentifikasi sebagai siasat institusional pemerintah pusat memperluas kekuasaannya. ABA atas dasar penilaian itu segera membentuk special committee on administrative law. Mereka memeriksa semua UU itu. Enam tahun setelah mereka bekerja, adminsitrative agency segera diidentifikasi sebagai “administrative absolutism.” Amerika disepanjang periode ini, dalam identifikasi mereka, ditarik dan dijatuhkan ke dalam totalitarianism. Roscou Pound, sosiolg kenamaan yang pandangannya tentang hukum begitu populer Indonesia, kala itu bertindak sebagai salah satu chair-nya. Pound menyangkal independent commission yang diagungkan para politisi, karena diisi oleh para expert. Dalam kenyataan, Pound menilai tak ada korelasi signifikan antara para expert dengan eksistensi independent commission. Pembaca FNN yang Budiman. Pemerintahan Franklin D. Rosevelt dengan New Dealnya dikenal juga sebagai “pemerintahan korporatis.” Bukan demokrasi. Periode ini dilebel dengan korporatokrasi. Begitulah demokrasi dan rule of law di negara demokrasi sekelas Amerika. Rakyat menari dengan demokrasi sejauh bicara-bicara dan bicara, di satu sisi. Oligarki mendikte demokrasi dan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menulis huruf-huruf dalam UU. Lalu bagaimana dengan demokrasi dan rule of law dinegeri kita? Terlihat mirip dalam banyak aspek. Kemiripan ini terlihat pada tampilan emprik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Badan ini dirancang sedemikian canggih sehingga harus benar-benar berada di luar jangkauan dari UUD 1945 dan kekuasaan Presiden. Pembaca FNN yang berbahagia. Konsep independen untuk badan yang disebut regulatory body sejenis KPK dan Bank Indonesia itu, dalam sejarahnya digagas oleh Kolonel Edward Mandel House, mentor politik dari Presiden Wodroow Wilson. Orang ini juga yang berada dibalik gagasan Internatization Liberty, pijakan kebijakan“self determination” untuk negara-negara yang hingga tahun 1919 itu masih terjajah. Konsep itu (independen) diambil dari pengadilan dan disematkan, untuk pertama kalinya, pada The Fed. Sebagai konsekuensinya, Presiden tidak bisa mengurus urusan-urusan pemerintahan itu. Ini yang di tahun 1935 ditunjukan oleh special committee American Barr Association sebagai totalitarianism dan Administrative Absolutism. Di jalan itulah Indonesia mutakhir merenda takdir demokrasi dan rule of law-nya. Rakyat terus berpesta dengan kritik demi kririk kepada pemerintah di satu sisi. Pada sisi lain pemerintah terus asyik dengan nadanya sendiri. Sistem politik, setidaknya sistem pengisian anggota DPR, terdekorasi manis sekali dengan diskriminasi yang level primitifnya begitu telanjang. Diskriminasi primitif itu diinstitusionalisasi ke dalam parlementary treshold dan presidential treshold. Hukumkah itu? Sama busuknya. Mempertahankan hak, mulai kehilangan pijakan keabsahannya. Itulah sumbangan kecil mematikan dari UU Cipta Lapangan Kerja. Konyol sekali bangsa ini. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate.

Menuntut Jokowi Mundur, Terobosan Hukum Membela Kepentingan Rakyat

by Prof. Dr. Eggi Sudjana SH. MSi. Jakarta, FNN - Ada sejumlah pihak yang mempertanyakan, bagaimana mungkin menggugat Presiden secara hukum dan menuntutnya untuk mundur melalui lapangan hukum perdata di Pengadilan Negeri. Padahal, secara tata Negara, proses pengunduran diri dan pemberhentian Presiden (pemakzulan) hanya dapat ditempuh melalui Proses Politik di DPR RI, membawanya secara hukum ke Mahkamah Konstitusi, dan kembalikan ke MPR Ri melalui sidang istimewa. Di MPR RI, sifatnya tinggal seremonial untuk mengukuhkan pemberhentian Presiden yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, menetapkan Wakil Presiden sebagai Presiden definitif dan memilih sekaligus memilih dan menetapkan Wakil Presiden pengganti. Sejumlah anggota DPR RI kelak nantinya yang akan memilih dan mengusulkan penetapan Wakil Presiden pengganti dalam Sidang Istimewa MPR RI. Hanya saja, semua itu terjadi jika Lembaga DPR RI berfungsi. Masalahnya, lembaga DPR RI mengalami disfungsi baik dalam fungsi legislasi, budgeting dan khususnya kontrol terhadap eksekutif. Sejumlah kebohongan, janji-janji palsu, dan disfungsi peran Presiden untuk merealisasikan tujuan pemerintahan adalah pelanggaran hukum, terkategori perbuatan yang melawan hukum. Karena dusta dan janji-janji palsu Presiden Joko Widodo seperti ada dana 11.000 di kantong, tidak akan utang buktinya utang menggunung yang per Desember 2020 telah melampaui angka Rp. 6000 triliun. Janji tidak akan import, buy back Indosat, dan sederajat kebohongan dan janji palsu Presiden Joko Widodo telah merugikan segenap rakyat Indonesia. Secara perdata, hal ini memenuhi unsur pembuatan melawan hukum dalam pasal 1365 Kuhperdata, yang menyatakan, "setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut." Klien kami sebagai bagian dari rakyat Indonesia, sangat dirugikan oleh tindakan Presiden Joko Widodo yang mengedarkan kebohongan dan janji-palsu. Karena itu, secara hukum klien kami sah menggugat Presiden Joko Widodo karena telah melakukan perbuatan melawan hukum. Karena ada kerugian yang dialami klien kami, dan sebenarnya kerugian ini juga dialami oleh seluruh rakyat Indonesia, maka klien kami menuntut ganti rugi atas tindakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Presiden. Karena persoalan kerugian tidak dapat diukur dengan natural uang, maka klien kami meminta Presiden Joko Widodo untuk mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab kerugian sekaligus pertangungjawaban jabatan. Mengenai pengunduran diri ini, hukum juga telah mengaturnya. Tap MPR No VI Tahun 2001, telah memberikan sandaran legitimasi bagi pejabat yang gagal menjalankan amanah untuk mengundurkan diri. Soal Presiden tidak mau tunduk, tidak mau memberikan kompensasi ganti rugi dengan mengundurkan diri, maka kami juga menggugat DPR RI. Gugatan dilayangkan agar DPR RI kembali mengaktifkan fungsinya, terutama fungsi kontrol terhadap eksekutif melalui aktifasi hak angket, hak interpelasi hingga Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Melalui proses gugatan ke DPR RI, nantinya jika Presiden Joko Widodo tidak mau legowo mengundurkan diri sebagai sikap tanggung jawab dan negarawan seorang Joko Widodo, maka DPR RI dapat mengaktifkan mekanisme pemakzulan untuk menjalankan putusan pengadilan, dengan menggelar sidang untuk Menyatakannya Pendapat dan membawa perkaranya ke Mahkamah Konstitusi. Adapun kebijakan Presiden yang memaksa seluruh rakyat mematuhi, padahal kebijakan tersebut melanggar hukum, seperti UU Omnibus Law, Legalisasi Investasi Miras (meskipun kemudian dicabut), UU pelemahan KPK, yang semuanya inisiatif dari Presiden, juga pengedaran informasi bohong dan ingkar janji juga melanggar ketentuan pidana. Dalam ketentuan pasal 421 KUHP disebutkan : "Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan." Meskipun demikian, Presiden tidak dapat dituntut secara pidana. Itulah sebabnya, sejumlah pelapor yang melaporkan pelanggaran protokol kesehatan Presiden Joko Widodo di NTT laporannya ditolak Bareskrim Polri. Atas pertimbangan itulah, kami menuntut pertanggungjawaban ketatanegaraan dengan meminta Presiden mundur dan jika tidak legowo kami meminta DPR RI mengaktifkan proses pemakzulan Presiden dengan mengaktifkan hak kontrol Dewan kepada Presiden. Pelanggaran hukum secara perdata dan pidana dimaksud, ditindaklanjuti dengan mekanisme ketatanegaraan melalui proses pemakzulan berdasarkan pasal 7A UUD 1945. Sebenarnya, kami tidak perlu menggugat kalau kinerja Presiden benar. Kami juga tak perlu mengontrol Presiden jika fungsi DPR RI jalan. Karena terjadi disfungsi eksekutif dan legislatif, apa boleh buat kami terpaksa menggugat, demi masa depan bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai. Penulis adalah Ketua Umum Tim Pembela Ulama & Aktivis.

Harus Diusut 97,000 PNS Palsu, Ini Kejahatan Bukan Kelalaian

By Asyari Usman Medan, FNN - Sangat tak masuk akal itu bisa terjadi dan sangat memalukan. Ada 97,000 data pegawai negeri sipil (PNS) yang misterius. Selama bertahun-tahun, negara mengeluarkan ratusan miliar rupiah setiap bulan untuk membayar gaji dan pensiun PNS palsu. Kasus masif ini diungkap oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) beberapa hari lalu. Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan salah satu penyebabnya adalah pemutakhiran data PNS yang tidak dilakukan sehingga banyak yang tidak akurat. Jumlah PNS palsu yang begitu banyak tidak boleh dianggap sebagai keteledoran atau kelalaian biasa. Harus dilakukan penyelidikan pidana. Tidak tertutup kemungkinan ada sindikat yang mengendalikan data palsu PNS itu. Kalau jumlah yang palsu hanya ratusan dari sekian juta PNS, masih bisa dianggap sebagai kelalaian. Tapi, 97,000 data palsu tidak mungkin lagi dianggap sebagai kesalahan administrasi. Sangat besar kerugian negara akibat data palsu ini. Kalau misalnya rata-rata PNS palsu itu mendapatkan gaji/pensiun Rp3,100,000 per bulan, berarti negara kecolongan 300 miliar tiap bulan atau lebih 3.5 triliun per tahun. Mencurigai ini sebagai kejahatan atau konspirasi, sangat wajar. Sebab, operasi mempertahankan aktivasi 97,000 data palsu memerlukan kerja sama banyak pihak. Patut diduga keterlibatan orang-orang di dalam BKN, pihak penerima pembayaran gaji/pensiun palsu, dan kemungkinan keterlibatan bank-bank yang merawat rekening para PNS palsu tsb agar tetap aktif. Bisa jadi pula ada sekian banyak orang yang punya otoritas untuk menarik uang gaji/pensiun itu dari bank penerima, ikut terlibat. Itu jika pembayaran melalui transfer. Kalau pembayaran tunai langsung (yang jumlahnya sangat kecil), berarti ada orang yang bersandiwara sebagai kurir. Singkatnya, sangat banyak aspek yang perlu diselidiki oleh para penegak hukum. Sekali lagi, 97,000 PNS dan pensiunan palsu tidaklah sedikit. Kepalsuan dan misterius ini sudah berlangsung lama. Tidak ada alasan untuk meyebut ini sebagai peristiwa yang tidak disengaja. Harus dibongkar. Semua yang berperan dan mengambil keuntungan, harus dihukum berat.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

PDIP Partai Terbersih? Salah Ketik, Barangkali

By Asyari Usman Medan, FNN - Tiba-tiba PDIP menjadi partai terbersih di Indonesia. Begitulah hasil survei yang dikeluarkan oleh Puspoll, beberapa hari lalu. Entah kapan lembaga ini terbentuk, tapi baru pertama kali namanya terdengar. Survei ini menanyakan tentang partai-partai politik yang dianggap bersih dari korupsi dan pro-pemberantasan korupsi. Hasil survei Puspoll menempatkan Banteng pada posisi 15.7%, Gerindra 10%, dan PKS pada tingkat 7.8%. Dahsyat sekali. Dari posisi partai terkorup, PDIP menjadi partai terbersih. Yang menjadi pertanyaan, sejak kapan PDIP bersih dari korupsi? Dan sejak kapan pula mereka pro-pemberantasan korupsi? Sebaliknya, selama ini publik mencap Banteng sebagai partai terkorup sesuai fakta OTT (operasi tangkap tangan) KPK. Dari 41 kepala daerah yang kena OTT selama 6 tahun pemerintahan Jokowi, 14 orang berasal dari PDIP. Artinya, 34% kepala daerah yang kena OTT selama 6 tahun ini adalah kader PDIP (14 dari 41). Ini baru kepala daerah (gubernur-bupati-walikota). Belum lagi di level menteri dan kementerian. Ada kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh Juliari Batubara. Ada pula Harun Masiku (HM) yang belum juga ditemukan. Bisa dibayangkan berapa orang yang akan diseret oleh HM kalau dia ditangkap. Pasti banyak dan besar-besar. Kalau tidak, tak mungkin dia sulit sekali ditangkap setelah 500 hari berlalu. Dari angka 34% di atas, dapat pula dikatakan bahwa probabilitas (kemungkinan) kader PDIP melakukan korupsi mencapai 34:100. Ini ‘corruption rate’ yang sangat tinggi. Wajar pula untuk disimpulkan bahwa kemungkinan besar banyak kader PDIP yang melakukan korupsi tapi tidak terdeteksi. Itulah yang bisa disarikan dari probabilitas 34:100 itu. Nah, hari ini Puspoll mengangkat PDIP ke level terbersih. Dari mana alur logika yang dipakai? Bukankah publik akan curiga terhadap hasil survei seperti ini? Kita menjadi ingin bertanya: apakah para pengelola Puspoll tidak berkonsultasi dulu dengan pimpinan PDIP sebelum mengeluarkan hasil yang sangat fantastis itu? Seharusnya tanyakan dulu kepada mereka apakah memang benar temuan Puspoll. Sebab, hasil yang sangat indah itu menjadi beban bagi mereka meskipun dari satu sisi sangat menyenangkan. Lihat saja reaksi publik dalam dua-tiga hari ini. Semuanya mempertanyakan predikat “terbersih” itu. Atau, jangan-jangan definisi “terbersih” itu bermakna lain? Bukan kinerja, tetapi dari segi fisik. Misalnya, terbersih ruang kantornya, terbersih toiletnya, terbersih halaman parkirnya, terbersih mobil-mobil mewah mereka, dlsb. Jika itu yang dimaksud, bisa saja. Tapi, itu pun perlu survei dalam rentang waktu panjang sebelum menyimpulkan hasilnya “terbersih” untuk berbagai fasilitas tadi. Jadi, Puspoll harus menelaah kembali temuan survei tentang PDIP itu. Apakah tidak mungkin terjadi “salah ketik” atau “salah input”. Atau malah para operator Puspoll sendiri sempat terpukau dan mabuk ketika melihat para petinggi PDIP yang keren-keren dan banyak duit. Kita tunggu klarifikasi Puspoll tentang apa yang terjadi. Di mana letak ‘error’-nya. Apakah disebabkan responden survei hanya para penghuni kantor-kantor PDIP? Atau, mungkinkah para pengelola Puspoll tidak tahu perkembangan PDIP selama 6-7 tahu belakangan ini?[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Jokowi Sangat Ingin Tiga Periode

JOKO Widodo (Jokowi) pernah menegaskan bahwa dia tidak berniat dan tidak berminat menjadi presiden tiga periode. Sekitar dua bulan yang lalu, melalui rekaman YouTube Sekretariat Presiden menekankan bahwa dia akan mematuhi konstitusi (UUD 1945) yang mengamanatkan masa jabatan presiden maksimal dua periode. Persoalannya, bisakah pernyataan Jokowi itu dijadikan jaminan bahwa dia tidak akan melakukan upaya apa pun untuk mendapatkan periode ketiga? Kelihatannya, rakyat sudah terbiasa tidak mempercayai sepenuhnya apa yang diucapkan oleh Jokowi. Yang dia katakan itu adalah janji. Publik sudah mencatat ratusan janji Jokowi yang dia lindas sendiri. Apalagi ini janji untuk tidak meminati tiga periode. Sangat tak mungkin tidak dilanggar oleh Jokowi. Pertama, karena dia punya beban berat untuk memastikan anak-menantunya bisa berkarir lebih tinggi lagi dari jabatan walikota. Kedua, karena ada beberapa proyek pribadi yang ingin dituntaskannya. Dan ketiga, ada agenda China dan agenda taipan cukong yang harus dia laksanakan. Jokowi pastilah ingin agar Gibran Rakabuming (anak) dan Bobby Nasution (menantu) bisa naik menjadi gubernur dan seterusnya. Tanpa jabatan tiga periode, hampir pasti tamatlah riwayat Gibran sebagai walikota Solo dan Bobby sebagai walikota Medan pada 2025. Semua orang percaya bahwa Jokowi ingin memindahkan Gibran ke Jakarta menjadi gubernur DKI. Indikasinya adalah penolakan dia untuk melaksanakan pilkada Ibukota pada 2022. Ini adalah tahun masa jabatan Anies Baswedan berakhir. Kalau masa jabatan Anies dijadikan jadwal pilkada DKI, pastilah berat bagi Gibran untuk mengalahkan Anies dengan lurus-lurus saja. Dan memanglah tak mungkin pilkada DKI dibengkok-bengkokkan. Jokowi “memadamkan” peluang Anies dengan tetap mempertahankan pilkada DKI 2024 sebagaimana diamanatkan UU. Pilkada 2024 ini akan memuluskan Gibran. Tapi, hitung-hitungan ini pun tidak membuat Jokowi tenang. Sebab, masa jabatan presiden akan selesai pada 20 Oktober 2024. Sedangkan pilkada serentak 2024, termasuk DKI, akan dilaksanakan pada bulan November. Kalau Jokowi tak dapat periode ketiga, maka ambisi untuk menjadikan Gibran gubernur DKI sangat berat untuk direalisasikan. Pada bulan Juni atau Juli 2024, kekuasaan Jokowi menjadi sangat lemah karena presiden terpilih pengganti dia sudah diketahui. Praktisnya, Jokowi tidak punya ruang gerak untuk membantu Gibran begitu masuk bulan Maret 2024 –bulan pelaksanaan pilpres. Jadi, sangatlah dipahami kalau Jokowi berkepentingan untuk menyambung masa jabatannya menjadi tiga periode. Untuk kepentingan Bobby naik ke kursi gubernur Sumatera Utara (Sumut), masih bisa diusahakan Jokowi. Karena, pilgub Sumut akan dilaksanakan pada 2023. Jauh sebelum masa jabatan Jokowi selesai. Ini baru dari perspektif Gibran dan Bobby. Kita lihat kepentingan lain Jokowi untuk mendapatkan periode ketiga. Yaitu, proyek besar yang akan mencatatkan nama Jokowi di dalam sejarah. Yang terbesar adalah pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur (Penajam Paser Utara). Proyek ini menjadi taruhan pribadi Jokowi. Tentulah dia ingin memastikan itu terlaksana meskipun tidak akan rampung setelah dia selesai tiga periode. Kalau Jokowi tidak berhasil merebut periode ketiga, sangat mungkin proyek yang “banyak musuh” ini akan dibatalkan oleh presiden pengganti Jokowi pada pilpres 2024. Proyek lain yang juga memerlukan kekuasaan Jokowi adalah kepentingan para taipan yang ada di kelompok oligarkhi. Mereka semua sangat nyaman melakukan pengurasan kekayaan alam Indonesia jika Jokowi masih berkuasa. Jokowi sudah terbukti sebagai sahabat taipan yang baik sekaligus teman para cukong yang loyal. Mereka ingin agar kesempatan emas itu bisa sampai 2029. Enak dan leluasa. Jadi, itulah sebabnya orang tidak percaya kalau dikatakan Jokowi tidak berambisi memperpanjang kekuasaannya menjadi 15 tahun. Pak Amien Rais sangat jeli melihat gelagat Jokowi dalam memperjuangkan presiden tiga periode. Bisakah ini tercapai? Tidak ada yang mustahil bagi Jokowi. Dia didukung oleh para taipan dan cukong yang siap menggiring sebagian besar parpol di DPR untuk menyetujui amandemen UUD 1945. Mereka akan menyediakan “unlimited funding” (dana tak terbatas) untuk memuluskan perubahan konstitusi itu. Klop! Jokowi sangat ingin tiga periode. Sedangkan para taipan dan cukong sangat memerlukannya.[AU]