ALL CATEGORY
Babi Ngepet Tidak Lebih Berbahaya Daripada Bank Ngepet
BEBERAPA bulan lalu masyarakat di Bedahan, Depok, Jawa Barat dihebohkan oleh penangkapan Babi Ngepet oleh warga setempat. Penangkapan ini membuat masyarakat sedikit lega karena akhir-akhir ini banyak uang yang hilang di rumahnya. Masyarakat meyakini Babi Ngepet pelakunya. Dalam kepercayaan sebagian masyarakat kita, Babi Ngepet adalah babi jadi- jadian yang merupakan penjelmaan dari manusia. Tugasnya menyedot duit masyarakat yang disimpan di rumah. Tandanya, jika ada babi hutan berkeliaran di got depan rumah, masyarakat meyakini itu babi ngepet yang sedang menyedot duit penghuni rumah tersebut. Pemilik rumah baru tahu duitnya tersedot setelah babi siluman itu menghilang. Belakangan cerita Babi Ngepet di Depok ternyata prank belaka setelah seorang warga mengaku sebagai perekayasa. Polisi pun ikut menjadi korban prank babi ngepet dengan membuat press realease peristiwa yang menghebohkan tersebut. Pelaku prank bernama Adam Ibrahim. Babi ia beli dari toko online seharga 900 ribu untuk kemudian dibuat cerita seakan-akan benar adanya. Skenario ia susun, aksi dimulai dan publik percaya, bahkan polisi. Masyarakat pun berduyun-duyun. Perekayasa mengaku menangkap babi tersebut dengan ritual tertentu. Setelah ditangkap babi dibunuh lalu dikubur layaknya manusia dengan dibungkus kain kafan. Kuburan babi menjadi perhatian masyarakat luas dan membludak. Ada nilai bisnis di sini, yakni lahan parkir dan tiket masuk kuburan babi. Ini salah satu motif Adam Ibrahim membuat episode Babi Ngepet. Belakangan setelah Adam Ibrahim ditangkap polisi, cerita tentang Babi Ngepet di Depok menghilang. Meski cerita Babi Ngepet mereda, namun mitos tentang binatang haram itu tidak pernah sirna. Apalagi mitos ini pernah dibikin film layar lebar tahun 1980-an. Babi Ngepet merupakan varian lain dari cara memupuk harta dengan bantuan setan, seperti pelihara tuyul dan bulus putih. Babi Ngepet di era digital lebih parah lagi, namanya Bank Ngepet. Bank bisa menyedot duit nasabah, bahkan sampai tiris habis. Jika Babi Ngepet melakukan aksinya secara sporadis dan acak, sedangkan Bank Ngepet menyedot duit rakyat secara sistematis, rutin, dan berkala. Bank Ngepet dilakukan oleh bank pelat merah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) antara lain Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, dan Bank BTN. Mereka pada 1 Juni 2021 berencana menerapkan biaya baru bagi para nasabahnya. Cek saldo dikenakan 2500, sedangkan tarik tunai dikenakan 5000. Bayangkan jika dalam sebulan melakukan cek saldo 10 kali maka duit akan tersedot 25.000. Demikian juga jika dalam sebulan nasabah melakukan tarik tunai 20 kali, maka dalam sebulan 100.000. Ini jelas telah menciptakan beban baru bagi semua nasabah di tengah pandemi Covid-19. Di samping biaya cek saldo dan tarik tunai masih ada pungutan lain atas nama biaya admin saat melakukan transaksi seperti, bayar listrik 3500, bayar air 3500, bayar gas 3500, bayar telefon/internet 3500, cicilan rumah 3500, cicilan motor 3500, dan cicilan lainnya. Biaya ini tidak termasuk biaya admin bulanan sebesar 12.000. Jika nasabah melakuan transaksi di mall sebanyak 4 kali sebulan maka biaya bank mencapai 14.000. Jika nasabah berbelanja di Alfamart atau Indomaret sebanyak 10 kali sebulan, maka duit yang tersedot mencapai 35.000. Belum lagi besarnya biaya transfer lintas bank pelat merah ke bank swasta atau sebaliknya. Jadi, bisa dihitung berapa uang masyarakat yang disedot bank tiap bulan. Praktek Bank Ngepet oleh bank milik negara mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik keras adanya rencana perubahan biaya layanan transaksi di ATM bank BUMN. Ketua YLKI Tulus Abadi meminta penerapan biaya administrasi ini harus segera ditolak. Para konsumen dijadikan 'sapi perah' atau sumber pendapatan di tengah kondisi sulit pandemi Covid-19. Tidak elok dan tidak kreatif menjadikan biaya admin Bank termasuk cek saldo sebagai sumber pendapatan. Ini tidak pantas. Penolakan juga datang dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Indef meminta agar Himbara lebih kreatif cari pendapatan berbasis fee, jangan hanya bermain di layanan ATM. Seharusnya tidak perlu memberikan beban tambahan ke nasabahnya dalam bertransaksi di ATM Link. Ia menyebut, arah pengembangan sistem pembayaran ke depan, khususnya perbankan dituntut untuk memberikan efisiensi, sehingga biaya bisa ditekan dan ujungnya nasabah diuntungkan. Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad menilai keputusan bank Himbara menarik biaya cek saldo, dan tarik tunai bagi nasabahnya akan memberikan dampak ekonomi biaya tinggi dan beban baru bagi nasabah. Tampaknya petinggi bank milik negara tak mau kalah dengan Adam Ibrahim si perekayasa Babi Ngepet dan tukang parkir liar yang memungut parkiran di setiap gerai ATM. Aneh, duit-duit sendiri, saat diambil harus membayar kepada orang yang berodal sempritan. Jika seseorang cuma punya sisa uang di 150 ribu, lalu dia cek saldo di ATM, maka ia akan terkena biaya cek saldo. Uangnya tidak bisa diambil lantaran berada di batas minimal syarat bank tersebut. Kelak, uang itu akan dilahap habis oleh bank setiap bulan dengan dalih biaya administrasi bulanan. Ekonomi kreatif bukan memungut dan memeras uang rakyat. Ciptakan pekerjaan baru, beri rangsangan positif dan fasilitas lain yang mempermudah UMKM tumbuh berkembang. Sangat ironis. Pengusaha besar banyak diberi kemudahan fasilitas seperti tax holiday. Pengemplang pajak juga diberi ampunan dengan tax amnesty. Sementara rakyat kecil terus dipantau kepemilikannya, diintip tabungannya dan disedot hartanya. Ada saja ide untuk memeras duit rakyat mulai dari cek saldo, kotak amal musholla, hingga penarikan zakat. Belum lagi pajak penjualan, pajak penghasilan, dan pajak sabun mandi serta pajak pembelian alat-alat rumah tangga lainnya. Tak ada celah bagi masyarakat untuk menghindari auto-sedot ala Babi Ngepet. Semoga kebijakan ini tak hanya ditunda tetapi dibatalkan selamanya. (sws)
Ingat, Mereka Mau Hapus Pancasila
by Asyari Usman Medan, FNN - Alhamdulillah, hari ini kita masih punya Pancasila yang dimaksudkan untuk menjaga NKRI. Juga menjaga spirit keberagamaan dan keberagaman bangsa. Tapi, harap diingat, banyak yang akhir-akhir ini tidak suka Pancasila. Mereka merasa tak cocok dengan Pancasila. Di antara yang tak suka dan tak cocok dengan Pancasila, ada yang sangat serius. Dan cukup kuat. Mereka telah dengan terang-terangan mencoba untuk mengganti Pancasila dengan Trisila dan kemudian mau mereka jadikan Ekasila alias “gotong royong”. Tapi, gagal total sejauh ini. Siapakah mereka? Mereka itu adalah kekuatan politik besar. Motifnya? Mereka tak suka dengan sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka menggagas ketuhanan yang berkebudayaan. Elaborasinya? Tentu bisa Anda cerna. Misalnya, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Tauhid Islam. Terus? Silakan bahas sendiri saja. Tapi, apakah kekuatan politik besar itu masih akan mencoba untuk mengganti Pancasila? Jawabannya: apakah ideologi bisa sirna begitu saja? Tidak akan. Mengubah strategi, iya. Mereka akan diam untuk sementara. Sambil melakukan berbagai langkah sosial dan politik yang bertujuan agar publik tidak merasa perlu sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan penerapannya. Kita syukuri dan kita pertahankan Pancasila yang berintikan Tauhid itu. Selamat Hari Pancasila, 1 Juni. Waspadai mereka yang ingin menghapuskan dasar negara ini. Penulis Wartawan Senior FNN.co.id
Partai Baru: Popularitas dan Elektabilitas Partai Gelora Tertinggi
Jakarta, FNN - Tingkat pengenalan atau popularitas, dan elektabilitas Partai Gelora besutan politisi Anis Matta tertinggi di antara partai-partai baru. Disusul oleh Partai Umat, Partai Masyumi Reborn, dan urutan paling buncit adalah Partai Hijau. Data tersebut disampaikan oleh Project Manager Rekode Research Center (RRC) Lisdiana Putri pada pemaparan Survey Nasional dengan tajuk “Peluang Partai Baru Mewarnai Politik Indonesia 2024,” di Jakarta, Selasa 1 Juni 2021. Survei dilaksanakan dari tanggal 26 April sampai 8 Mei 2021 dengan sampel 1.210 responden, tersebar di 34 provinsi. Usia minimum sampel 17 tahun, atau sudah memenuhi syarat sebagai pemilih. Margin error 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95%. Dari total 1.210 responden ada sebanyak 190 responden atau 15,7% menyatakan belum/tidak memilih partai-partai yang ada. Dari total responden yang belum/tidak memilih tersebut mereka menyatakan tahu Partai Gelora (32,1%), Partai Umat (30.0%), Partai Masyumi Reborn (30.0%) dan Partai Hijau (9.5%). Sementara yang tertarik memilih Partai Gelora (14.2%), Partai Umat (10.5%), Partai Masyumi Reborn (10.0%), dan Partai Hijau (9.5%). “Data survei tersebut menunjukkan partai-partai baru punya peluang untuk tampil. Angka Undiceded Voters masih cukup besar,” ujar Lisdiana Putri. Tinggal bagaimana partai membangun infrastruktur, dan mesin partai bekerja meningkatkan popularitas dan meyakinkan publik. End
Parlementary Treshold Itu Konstitusionalisme Bar-bar & Abal-abal
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Makassar FNN - Kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak selalu digerakan oleh kaidah-kaidah konstitusi. Sistem partai misalnya digerakan berdasarkan kalkulasi-kalkulasi praktis politisi. Indonesia bukan hanya tak terkecuali, tetapi menampilkan sesuatu yang, untuk beberapa alasan sama, dan cenderung bar-bar. Bahkan sangat abal-abal dan kampungan. Entah disebabkan oleh kegagalan mengenal esensi republic. Namun di dalamnya gagal dalam mengenal hak sebagai esensi republic. Parlementary threshold dilembagakan sebagai cara menyederhanakan partai politik. Cara ini, memiliki watak hantu. Bukan saja menghambat, tetapi malah cara ini telah menghancurkan esensi republik. Konyol Sekonyol-Konyolnya Politisi kacangan berdansa dengan ketidaktahuan dan kedunguan tentang hak dan esensinya dalam korelasi fungsionalnya dengan kerinduan orang menciptakan republik. Ketidaktahuan politisi tolol dan dongo yang tipikalnya adalah banyak bicara, selalu terangsang memukul lawan. Prilaku yang hanya demi menggelorakan kepentingan kelompoknya sendiri. Tidak perduli dengan adanya soal kebangsaan. Sama sekali tidak. Yang terlintas di kepalanya hanyalah kepentingan mereka sendiri. Interaksi antar partai yang tercipta berputar pada kesamaan kepentingan praktis semata. Dengan perhitungan untung-rugi buat mereka. Hanya sebatas itu. Tidak lebih. Prilaku ini sebagai akibat dari kedangkalan pengetahuan mereka mengenai politik, sistem politik dan sistem partai politik. Sialnya lagi, tabiat buruk ini tidak bakal menghambat mereka untuk memasuki arena pengambilan keputusan yang berdampak besar, dan fundamental untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Konyol dan bebal. Kebodohan dan ketololan politisi yang tak terlihat itu, ternyata tidak menghambat mereka terjun ke dalam pengambilan keputusan. Dalam kasus Indonesia, hal ini telah mengakibatkan sistem politik Indonesia terdekorasi sepenuhnya menjadi bar-bar, primitif dan kampungan. Tipikal sistem politik yang bar-bar dan abal-abal itu tersaji pada kenyataan partai-partai politik yang memperoleh suara. Yang bila dikonversi ke kursi di DPR hanya menghasilkan 5 atau 10 (lima atau sepuluh) kursi, bahkan 15 (lima belas) kursi di DPR. Mereka disingkirkan ole parlementary threshold. Mereka terlempar dari pembentukan pemerintahan, juga pembuatan keputusan politik. Pembaca FNN yang budiman. Parlementary threshold disodorkan sebagai cara untuk mencapai dua hal sekaligus. Pertama, mencegah Indonesia terdekorasi dengan rimba raya partai politik. Kedua, sistem pemerintahan presidensial dapat bekerja efektif. Ini dalih yang pada semua aspeknya terlihat sangat bodoh, tolol, picisan dan konyol. Dua argumen yang mengada-ada itu, sejauh ini didendangkan dengan manis oleh politisi-politisi picisan, kampungan tak kompeten. Sialnya kini telah terkonsolidasi ke dalam sistem. Padahal dua argumen itu, untuk alasan apapun, merusak. Bar-bar, abal-abal dan primitif karena sejumlah alasan. Pertama, pemilihan umum mana di dunia ini yang diikuti oleh kerbau dan kambing? Sejak kapan kerbau dan kambing menjadi citizen, atau warga negara? Kapan kerbau dan kambing itu menyandang hak, yang dengannya kerbau-kerbau dan kambing-kambing itu membentuk dan membubarkan pemerintahan? Jelas tidak ada. Yang ada adalah pemilu diikuti oleh manusia. Pemilu diikuti orang yang menyandang status warga negara dengan kualifikasi usia tertentu atau atribut civilian lainnya yang sah. Apa yang mau dikatakan dengan pernyataan pemilu tidak diikuti oleh kerbau dan kambing? Yang mau dikatakan dengan itu adalah tidak ada pemilu yang tidak berbasis elektoral. Konsep elektoral tidak pernah memiliki substansi lain apapun itu, selain “suara pemilih.” Politisi buta alam, yang selalu terbakar kepentingan bar-bar dan abal-abal, untuk alasan kebangsaan, hemat saya harus dituntut untuk mengerti dan memahami hakikat suara pemilih. Kelompok politisi jenis rendahan ini, harus diberitahu bahwa hakikat “suara pemilih” adalah pantulan murni dari harkat dan martabat mereka sebagai manusia merdeka. Suara pemilih merupakan cerminan kehendak dan kemauan sadar, yang mengalir dari kenyataan mereka sebagai mahluk manusia merdeka. Sebagai cermin harkat dan martabat, suara pemilih adalah cara pemilih menyatakan kehddaknya melalui orang-orang yang dipercaya mengurus kehidupannya kini, esok dan sesudahnya. Itu cara adil setiap orang merdeka memastikan pembentukan republik memang didedikasikan untuk kehidupan, yang selaras dengan harkat dan martabat mereka. Itu sebab yang layak dijadikan pijakan menertawakan parlementary threshold. Praktis parlementary threshold tidak lain merupakan cara minoritas konyol menyingkirkan dan menciptakan minoritas politik. Sungguh bar-bar. Tidak Adil, Harus Ditiadakan Terlalu bodoh berdansa dengan parlementary threshold, termasuk dengan nada-nada penyederhanaan parpol. Bodoh juga berdansa dengannya, dengan menggunakan nada demi memudahkan pengambilan keputusan. Semua nada itu, semanis apapun komposisinya, tidak bakal mampu untuk menghilangkan “ketidakadilan” yan melekat dalam konsep parlenmentary treshold itu. Ratusan ribu pemilih telah memilih seseorang, tetapi mereka harus terkapar, tersingkir hanya karena partai politik mereka tidak mecapai level parlementary threshold. Itu ketidakadilan, apapun alasannya. Polarisasi idiologi, dalam kasus Indonesia, andai mau disodorkan sebagai justifikasi atas kebijakan parlementary threshold itu, hemat saya sangat bar-bar, abal-abal, dungu dan dongo. Indonesia mutakhir memperlihatkan dengan sangat jelas betapa polarisasi idiologis yang dikahawatirkan itu, tidak lebih dari khayalan belaka. Tidak ada idiologi yang cukup jelas terlihat dalam kehidupan politik partai. Apalagi untuk partai yang bekerja pada pembentukan dan pengambilan keputusan, sejauh ini. Praktis tidak ada partai politik Indonesia sejauh ini, yang nyata-nyata bergerak dengan panduan idiologis mereka. Partai-partai yang menarik garis sejauh mungkin dari pemerintah, atau mereka tidak ikut dalam pemerintahan, tidak pernah dapat menyajikan eksistensinya sebagai penantang produktif. Tidak ada gagasan alternatif, yang jangankan membuat pemerintah terkapar, melirik pun tidak, yang disajikan partai-partai berada diluar gabungan partai pemerintah. PKS dan Partai Demokrat, sejauh ini, tidak terlihat sebagai dua partai yang datang dan keluar dengan gagasan oposisional. Apalagi menantang secara produktif keputusan-keputusan pemerintah. Relasi antar partai yang terlihat oposisional, dalam kenyataannya tidak memberi efek apapun. Jadi untuk apa bicara sistem politik, yang tidak lain adalah sistem partai politik? Toh sejauh ini tidak ada partai yang saling bersaing dalam gagasan-gagasan alternatif yang mengoreksi gagasan-gagasan pemerintah. Koor oke dengan kembang-kembang khas politisi, telah terukir nyata dalam politik mutakhir sebagai tipikal partai politik dalam kehidupan bernegara. Ukuran dan kekuatan, sesuatu yang biasanya sangat diperhitungkan dalam membicarakan partai, kini terlihat kehilangan relefansinya. Toh semuanya sama. Tetapi bukan soal itu yang mengakibatkan munculnya kebutuhan untuk menyingkirkan parlementary threshold yang konyol dan tolol itu. Bukan. Soalnya adalah bangsa ini tertipu, karena ketidakadilan itu dibuat seolah adil. Dengan argumen bahwa hanya itu cara yang tersedia dalam mencegah tumbuhnya multi partai di satu sisi, dan disisi lain mengefektifkan presidensial sistem. Dalam kasus Inggris misalnya, terdapat 10 (sepuluh) partai politik yang memperoleh suara satu koma dan nol koma pada pemilu 2005. Tetapi wakil-wakil partai satu koma dan nol koma itu, semuanya dikirim ke parlemen. Mau disebut sistem partai 13, karena ada tiga belas partai? Tidak juga tuh. Tetap saja disebut two party system. Inggris sangat waras dalam soal ini. Mereka mengenal hakikat suara pemilih. Mereka tahu dan apresiatif terhadap harkat dan martabat manusia. Itu menjadi sebab hilangnya alasan untuk menyangkal bahwa cara Inggris itu terhormat dalam mengisi rerpublik. Politisi-politisi Indonesia, untuk alasan tuntutan republik, harus mau mengambil pelajaran hebat yang disajikan Ingrgris itu. Menyingkirkan parlemntary threshold yang konyol, abal-abal bar-barbarian itu, mesti disegerakan. Parlementary threshold, apapun alasannya, tetap tidak adil. Harus ditiadakan. Penulis adalah Dosen Universitas Khiarun Ternate.
Dulu BUMN Sapi Perahan Pejabat Kini Jadi Perasan Relawan Jokowi
PEMBERITAAN tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak ada henti-hentinya belakangan ini. Tidak hanya kabar tentang untung dan rugi, tetapi menyangkut pengangkatan direksi dan komisaris yang syarat nepotisme. Tidak hanya pemberitaan karena banyak karyawannya dituding radikal, dan tidak Pancasilais, karena rajin beribadah, terutama karyawan Islam yang setiap solat wajib berusaha ke masjid dan berjamaah, tetapi juga pemberitaan miring lainnya. Harap maklum, masjid di sejumlah kantor BUMN sangat indah dan sejuk karena pendingin udara (AC) yang bagus. Hal itu bisa kita jumpai terutama di kantor-kantor BUMN yang ada di Jakarta, dan di beberapa daerah. Hampir dipastikan, jika solat Zuhur, solat Ashar dan solat Jum'at, masjid-masjid BUMN penuh jemaah, baik karyawan perusahaan plat merah itu, maupun dari luar. Masalah BUMN tidak pernah sepi dari pemberitaan. Menjelang bulan Ramadhan 1422 Hijriyah yang baru lewat, ada direksi PT Pelni melarang kajian Ramadhan karena penceramahnya dituding radikal. Pihak Pelindo 2 sudah membantah larangan itu tidak ada kaitan dengan isu radikal. Yang jelas, salah seorang karyawan Pelni yang menjadi pengurus pengajian menjadi korban. Sedangkan yang mengeluarkan larangan aman, karena pendukung Joko Widodo atau Jokowi. Nah, masih berita menarik lainnya. Komisaris Independen PT Waskita Karya (Persero) Tbk berisial M dituding telah menelantarkan anak dari hasil pernikahan siri. Belakangan, komisaris berinisial M itu adalah Profesor Muradi. Namun, kasusnya hilang bak ditelan bumi. Pengacaranya membantah tuduhan yang dialamatkan kepada profesor yang juga guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Fisip Unpad), Bandung. Kasusnya tenggelam. Sang profesor tetap aman jadi konisaris independen karena pendukung Jokowi. Belakangan, berita miring tentang BUMN ramai lagi. Hal itu tidak lain karena pengangkatan Abdi Negara Nurdin alias Abdee 'Slank' menjadi Komisaris PT Telkom (Persero) Tbk. Pengangkatannya disorot karena sebagai musisi tidak memiliki kelayakan dan kapabilitas menjadi komisaris emiten berkode TLKM itu. Akan tetapi, dibalik kritik dan bahkan hujatan terhadap pengangkatannya itu, masyarakat maklum, ia diangkat karena pendukung Jokowi. Pokoknya, kalau mau menjadi direksi dan komisaris BUMN harus menjadi pendukung Jokowi. Direksi dan komisaris BUMN yang benar-benar independen sudah tergerus oleh pendatang baru yang lebih layak di mata pemerintah, yaitu relawan dan pendukung Jokowi. Bahkan, beberapa orang BuzzerRp alias pembela atau pendengung Jokowi juga ada yang masuk menjadi komisaris dan direksi BUMN. Tidak heran juga meme olok-olokan dialamatkan kepada BuzzerRp Deny Siregar, Abu Janda, Dewi Tanjung, dan lainnya tentang jatah menjadi komisaris atau direksi BUMN. Dalam foto yang beredar, para BuzzerRp itu digambarkan sebagai sosok yang sedang antre menunggu panggilan dan pengangkatan menjadi petinggi di sejumlah perusahaan negara yang masih lowong/kosong. Sangat disayangkan, komisaris dan direksi BUMN diisi oleh orang yang hanya menjadi pendukung, relawan Jokowi, dan Buzzer Rp. Pengangkatan itu sangat jauh lebih buruk jika dibandingkan di masa Orde Baru. Sejatinya, reformasi yang digulirkan juga harus melepaskan BUMN dari tangan-tangan jahil para relawan, pendukung dan BuzzerRp. Oleh karena itu, menarik dikutip pernyataan politikus PDI-P, Adian Napitupulu yang menyebutkan, 6.200 direksi dan komisaris di BUMN merupakan orang-orang titipan. Dia menyebutkan titipan karena melihat selama ini proses rekrutmen terkesan tertutup. Artinya, angka 6.200 itu mencakup seluruh BUMN. Titipan yang dimaksud termasuk relawan.dan pendukung Jokowi. Termasuk BuzzerRp. Kita tidak tahu berapa persen dari 6.200 itu yang berasal dari pendukung Jokowi secara terang-terangan atau samar-samar. Sulit juga dihitung berapa yang berasal dari relawan Jokowi. Akan tetapi, sederet nama sudah muncul di media massa. "Titipan-titipan itu konsekuensi dari tidak adanya sistem rekrutmen yang transparan?,” ujar Adian kepada Kompas.com, Sabtu (25/7/2020). Proses rekrutmen yang transparan sangat penting dilakukan untuk jabatan direksi dan komisaris di perusahaan pelat merah itu. Sebab, gaji yang dikeluarkan untuk dua jabatan tersebut berasal dari perusahaan milik negara. “Lucu dan aneh bagi saya kalau Negara mengeluarkan Rp 3,7 triliun setiap tahun untuk 6.200 orang yang rakyat tidak tahu bagaimana cara rekrutmennya dan dari mana asal usulnya,” kata Adian. Betul apa yang dikatakan Adian itu. Tidak hanya lucu dan aneh, tetapi juga.membingungkan rakyat. Apalagi, uang yang mereka terima Rp 3,7 triliun (angka 2020). Bisa jadi sekarang angkanya mendekati Rp 4 triliun. Angka itu baru berupa gaji, tunjangan, dan tantiem. Nah, jika ditambah dengan biaya perjalanan dinas, tentu angkanya sulit diperoleh. Belum.lagi fasilitas lain, termasuk mobil mewah. Nah, karena angka gaji dan tantiem serta fasilitas lain yang diperoleh sangat fantastis dan menggiurkan, maka para relawan, pendukung Jokowi berlomba-lomba mengajukan lamaran. Prosesnya pengangkatannya cepat, dan tidak transparan. Tiba-tiba saja si A, si B, si C dan seterusnya diumumkan menjadi anggota direksi dan komisaris PT. Nganu. Ya, beginilah BUMN di negara Pancasila tercinta ini. Bagi yang ingin mendapatkan kursi, silahkan merapat. Dengan catatan, relawan dan pendukung Jokowi. Aji mumpung saja. BUMN sekarang sudah berubah jargon. Jika sebelumnya, terutama di masa Orba BUMN itu menjadi sapi perahan pejabat, sekarang berubah menjadi tempat pemerasan relawan Jokowi. **
Early Warning Bencana Ideologi
By Prof Daniel Mohammad Rosyid Solo, FNN - Pada saat ummat manusia disibukkan oleh berbagai bencana akibat perubahan iklim dan pemanasan global serta kebangkrutan ekonomi akibat pandemisasi covid-19, Republik ini menghadapi bencana ideologi atas Pancasila melalui berbagai malpraktek administrasi publik. Ancaman terakhir itu terjadi segera setelah serangkaian amandemen ugal-ugalan atas UUD1945 menjadi konstitusi palsu UUD2002. Kepalsuan ini membuka jalan bagi konstruksi hukum dan tafsirnya yang mengabdi bagi kepentingan elite, bukan kepentingan publik. Bencana ideologi ini disusupkan melalui perombakan atas rancangan dasar batang tubuh UUD1945 yang semula berdasarkan Pancasila, menjadi rancangan sekuler liberal kapitalistik. Setelah dipaksa mengikuti aturan keuangan ribawi IMF sejak 1949, berbagai UU yang muncul kemudian sejak reformasi menyediakan semua peluang bagi agenda nekolimik. Ini adalah agenda kaum sekuler radikal segera setelah Soeharto dijatuhkan saat sedang bermesraan dengan kelompok Islam. Situasi ini tidak dikehendaki oleh kaum sekuler nasionalis garis keras yang sebelumnya menjadi tulang punggung Orde Baru dukungan AS, sekaligus tidak dikehendaki oleh kaum sekuler kiri radikal yang sabar menunggu kesempatan come back sejak kegagalannya di akhir Orde Lama. Kesempatan come back ini makin terbuka sejak 5 tahun terakhir ini bersamaan dengan AS yang makin inward looking di bawah Trump dan kebangkitan China sebagai raksasa ekonomi global baru mengisi kekosongan kepemimpinan global yg ditinggal AS. Pada saat China memantapkan diri sebagai manufacturer of the world, maka sejak 10 tahun terakhir lebih, industri nasional di berbagai kawasan-kawasan industri praktis telah menjadi satelit industri China. Industri nasional hanya sekedar memberi merek lokal sementara produksinya tetap di China. Sejak peluncuran inisiatif One Belt One Road, China mendeklarasikan ambisinya sebagai negara adidaya baru. Bersamaan dengan OBOR itu, gelombang investasi China masuk ke Indonesia melalui skema turn key projects di sektor mineral, energi dan batu bara serta infrastruktur seperti jalan tol, pembangkit listrik, kereta api cepat, pelabuhan dan bandara. Investasi China ini diikuti oleh impor peralatan dan bahan baku China, serta gelombang tenaga kerja asal China dari jenjang direksi, manajer, supervisor hingga tenaga kerja kasar. Kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal tidak terlalu berarti. Dampak lokal dan nasional investasi China ini hanya pada pendapatan pajak dan retribusi bagi Pemerintah, namun dampak ekonomi lokalnya sangat terbatas, sementara dampak lingkungannya serius. Berbagai kawasan investasi China itu kini berkembang menjadi kantong-kantong tertutup dan eksklusif yang beroperasi layaknya negara dalam negara. Saat gelombang kedatangan TKA China berlangsung hampir tanpa jeda lewat bandara dan pelabuhan di seluruh Indonesia, bahkan selama pandemi covid-19 ini, maka perkembangan ini perlu diwaspadai sebagai ancaman atas kedaulatan Republik. Kaum sekuler kiri radikal menunggangi kebangkitan China sebagai adidaya baru dan pandemisasi Covid-19 untuk mengambil keuntungan politik : menyusupkan ideologi kiri radikal pada berbagai UU sekaligus menyudutkan Islam melalui berbagai semburan islamophobik. Pada saat oposisi di DPR melemah, DPD nyaris tak terdengar suaranya, kontrol media nyaris tidak ada, dan kampus diam seribu bahasa, sikap otoriter anti-kritik makin menonjol akhir-akhir ini, bahkan kriminalisasi ulama. Republik ini sedang tergelincir ke totaliterianism ala imperium Romawi di bawah Nero. Kaum muslim sebagai pewaris amanah ulama negarawan pendiri Republik ini tidak mungkin membiarkan ancaman bencana ideologi yang menggerogoti Pancasila dan Republik ini terjadi di depan matanya. Muslim, terutama muslim muda, bersama komponen patriot bangsa lainnya harus segera bangkit menyiapkan diri secara fisik dan mental untuk bergerak mencegah bencana ideologi ini. Mereka harus menjadi generasi petarung, bukan generasi sarung.
Pemerintah Merampok Rp 1000 Trilyun dari Kantong Rakyat
by M. Juhri Jakarta, FNN - Janji Presiden Jokowi tentang uang Rp 11.000 Triliun di kantongnya, tak pernah bisa direalisasikan sampai hari ini. Yang terjadi justru Rp 1.000 trilyun yang sudah ada di kantong rakyat bakal dirampok oleh pemerintah. Dari dokumen Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022, pemerintah berencana menambah lapisan (layer) penghasilan kena pajak (PKP) sebagai basis pungutan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (OP). Dokumen ini menyiratkan, bahwa tarif PPh orang pribadi sesuai Pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Penghasilan kena pajak terbagi menjadi empat, yaitu; Pertama, penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50 juta dalam satu tahun, PPh 5%. Kedua, penghasilan antara Rp50 juta - Rp250 juta, dikenakan pajak sebesar 15%. Ketiga, penghasilan di atas Rp250 juta - Rp500 juta, 25%. Keempat, penghasilan di atas Rp500 juta, dikenakan pajak 30%. Sesuai Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh No. 36/2008, tarif PPh Orang Pribadi Pasal 21 adalah menggunakan tarif progresif, yang akan dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak. Kabarnya, pemerintah akan menambah kelompok PPh baru sebesar 35%, kemungkinan mengikuti pola UU Pajak Penghasilan ini akan dikenakan kepada OP berpenghasilan Rp 1 milyar. Penghasilan di atas Rp 1 milyar yang jelas transparan diterima pejabat perusahaan BUMN. Pejabat struktural lain, meskipun penghasilannya di atas Rp 1 milyar lolos dari layer baru ini, karena pendapatan yang dibawa pulang ke rumah tercatat di atas kertas tidak sampai Rp 1 milyar. Namun, isunya penambahan layer 35% itu gimmick seolah pemerintah “berani” kepada orang kaya. Padahal isu yang menguat adalah kemungkinan penghapusan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang hanya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan mengembalikan tarif pajak penghasilan kepada UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP, dijelaskan jumlah PTKP untuk WP Orang Pribadi (WP OP) adalah Rp54.000.000 setahun atau Rp Rp4.500.000 per bulan. Agar lebih mudah, sesuai PMK No.101/PMK.010/2016, maka penghasilan dengan syarat berikut tidak kena pajak (PPh 0%); lajang penghasilan Rp54 juta, lajang 1 tanggungan Rp 58,5 juta (=kawin tanpa tanggungan), lajang 2 tanggungan Rp63 juta. (=kawin 1 tanggungan), kawin 2 tanggungan Rp67,5, kawin 3 tanggungan Rp72 juta. Penghasilan gabungan (istri dan suami) tanpa tanggungan Rp112,5 juta, penghasilan gabungan 1 tanggungan Rp117 juta, 2 tanggungan Rp121,5 juta dan 3 tanggungan Rp126 juta. Bila benar ada penghapusan PTKP dengan mengembalikan kepada UU Pajak Penghasilan dan hanya gimmick adanya pph sebesar 35%, maka diperkirakan pemerintah akan mengambil kembali uang dari kantong rakyat hingga Rp 1.000 trilyun. Perhitungan ini, berdasar angka pendapatan per kapita terbaru menurut BPS, bahwa pendapatan rata-rata per kepala penduduk Indonesia sebesar Rp56,9 juta (turun dari Rp59,1 di tahun 2018). Sedangkan per Januari 2021 jumlah penduduk Indonesia tercatat 271.349.889 jiwa. Dengan perhitungan kasar, anggaplah pendapatan rata-rata per kapita sebesar Rp60 juta per tahun, maka akibat dicabutnya PTKP, PPh progresif menjadi sbb; 50 juta pertama sebesar 5% atau Rp2,5 juta. Sisanya Rp10 juta dikenakan PPh 15% yaitu sebesar Rp 1,5 juta atau total pph per kepala per tahun sebesar Rp4 juta. Sehingga, diperkirakan penerimaan negara 2022 dari penghapusan PTKP ada tambahan sebesar Rp4 juta x 270 juta penduduk atau total sekira Rp1.080 trilyun. Artinya, cukup mengutak-atik PTKP ini, Menkeu Sri Mulyani sudah memiliki pos setoran baru sebagai tambahan untuk menutup defisit APBN yang hampir mencapai Rp 1.200 trilyun (APBN 2021). Apalagi, sekadar menghapus PTKP proses penarikan pajaknya pun tidak terlalu sulit, karena tinggal potong gaji ASN maupun buruh swasta, setiap bulan setoran Rp 333.335 per orang atau sekira Rp90 trilyun tambahan dari PPh sudah masuk ke kas negara. Sementara, dana APBN yang sudah-sudah sangat leluasa digarong! Penulis Wartawan Senior FNN.co.id.
Di Tengah Gempuran Buzzer, Kini Anies Tak Terbendung
Oleh: Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Sejak Anies Baswedan terjun ke perpolitikan Jakarta melalui kontestasi pilgub DKI pada 2017, sebagian warga yang dipengaruhi buzzer bayaran dan sektarian, membentuk barisan yang tugasnya merundung dan memfitnah Anies. Anies, yang karena mendapat dukungan sebagian kalangan Islam politik selama kampanye, dituduh menunggangi politik identitas. Padahal, Anies juga mendatangi komunitas-komunitas non-muslim meminta dukungan. Dan ketika memenangkan pertarungan secara dramatis melawan Ahok yang main politik uang atas dukungan para taipan, Anies menjadi musuh besar mereka sampai hari ini. Hasil analisis data elektoral pilgub DKI 2017 oleh Syebubakar (2021) mengungkap bahwa sentimen politik identitas bukan faktor penentu kemenangan Anies. Lebih karena terkuaknya kebobrokan cagub petahana Ahok selama memimpin ibukota dan kecurangannya dalam pilgub. Puncaknya, ketika tim Ahok tertangkap basah menebar paket sembako secara masif – bertruk truk di masa tenang, menjelang pencoblosan. Akibatnya, mayoritas swing-voters dan undecided-voters serta sebagian pemilih non-sosiologis Ahok, dengan pertimbangan rasional, menjatuhkan pilihan pada Anies. Sementara, elektabilitas kedua pasangan cagub, sebelum pencoblosan, tidak terpaut jauh, dengan selisih elektabilitas masih dalam rentang margin of errors. Dengan kata lain, mereka dalam posisi seimbang. Fakta elektoral juga menunjukkan mayoritas mutlak kalangan non-muslim menjatuhkan pilihan pada Ahok. Sementara pemilih muslim terbagi dua secara merata, untuk Ahok dan Anies. Yang mengejutkan, bukan hanya warga Jakarta yang terlibat kubu-kubuan secara emosional, tapi juga warga di luar Jakarta. Tak heran, orang menyebut kontestasi Anies-Ahok sebagai pilgub rasa pilpres. Terlebih, Ahok menjadi pertaruhan hidup mati para taipan dan rezim Jokowi, menyangkut mega proyek reklamasi teluk Jakarta. Kompetisi Anies melawan Ahok berlangsung di tengah prahara penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok. Kendati Anies netral, kelompok anti demokrasi (hiper-nasionalisme, pluralisme represif, dan Islam-fobia, dengan perlindungan rezim Jokowi dan oligarki) menganggap Anies mengambil keuntungan dari insiden ini. Saking emosinya, mereka tak segan memfitnahnya sebagai pendukung khilafah dan “Islam radikal.” Belakangan, perbagai kalangan di Jakarta menyadari mereka telah salah nilai, setelah terbukti Anies memperlakukan semua kelompok agama secara adil melalui kebijakan dan program afirmatif yang inklusif. Hasilnya, Anies menerima Harmony Award Tahun 2020 dari Kemenag karena sukses melakukan harmonisasi kehidupan beragama di Jakarta. Tetapi buzzer bayaran terus memelihara dendam politik hingga sekarang. Apa pun yang dilakukan Anies langsung diserang secara membabi buta dan irasional. Kepemimpinan Anies yang mumpuni – akuntabel, kredibel, rasional, dan simpatik, bukannya mengembalikan akal sehat, malah membuat mereka semakin kalap. Sementara, karena kinerja gemilang, Anies telah menerima lusinan penghargaan dalam dan luar negeri selama tiga tahun kepemimpinannya. Bandingkan dengan Ahok yang hanya mendapat tiga penghargaan dalam negeri selama tiga tahun kepemimpinannya. Itupun penghargaan yang memang rutin diterima DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Atas semua fakta tersebut, para buzzer bayaran dan haters Anies tutup mata. Tak henti-hentinya, mereka mencari celah untuk membunuh karakter Anies yang mendapat perhatian dunia internasional karena reputasi intelektualitas dan kinerjanya memimpin Ibukota. Ia pun diundang berceramah di pusat-pusat kota dunia untuk berbicara tentang isu-isu yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Dalam menghadapi pandemi covid-19, Anies didaulat bicara di antara gubernur dan walikota seluruh dunia tentang pengalamannya mengatasi corona di Jakarta yang dianggap sukses. Belum lama ini, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Jejaring C40 Cities untuk Perubahan Iklim, Anies menyampaikan pidato singkat selama 2 menit dalam dialog yang dihadiri Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan delegasi asosiasi kota besar dunia. Anies menyampaikan usulan kepada PBB untuk membantu kota-kota di dunia mengatasi dampak perubahan iklim, dan usulan itupun langsung disetujui oleh Sekjen PBB Antonio Gutteres. Sementara itu, pendukungnya serta kalangan yang berpikir rasional dan obyektif makin yakin dengan kualitas seorang Anies yang telah teruji menghadapi segala godaan dan cobaan memimpin Jakarta. Bagaimana ia tampil dengan terobosan-terobosan gemilang untuk melayani dan meningkatkan kualitas hidup warganya, serta memperindah Ibukota. Banyak yang berdecak kagum, mengapa ia begitu berhasil menata kota yang rumit ini dan menyejahterakan warganya tanpa caci maki seperti Ahok. Dengan tidak menafikkan adanya “persoalan lama” Ibukota, seperti banjir dan polusi udara, di bawah kepemimpinan Anies, kemiskinan yang sudah sangat rendah terus berkurang, demokrasi pulih setelah diacak acak Jokowi dan Ahok, pembangunan manusia tumbuh pesat, potensi korupsi redup, oligarki surut, kohesi sosial membaik, penampilan fisik Jakarta makin indah, dan kemacetan berkurang. Selain itu, keberanian politik Anies melawan super-oligarki dengan menghentikan proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta juga patut diapresiasi, meskipun akhir-akhir ini terjadi kontroversi reklamasi Ancol yang proses pengembangan, pengelolaan dan peruntukannya sangat berbeda. Sementara, pada masa kepemimpinan Ahok, tingkat kemiskinan di Jakarta meningkat, demokrasi babak belur, oligarki meluas, dan korupsi merajalela. Laporan keuangan DKI semasa Ahok pun belum pernah mendapat penilaian WTP dari BPK. Terbukti kejujuran, kesantunan, dan kecerdasan Anies jauh lebih bertenaga untuk memajukan kota dan membahagiakan warganya. Inilah sebabnya mengapa pendukung Anies dan kalangan yang melek politik rasional merasa telah menjatuhkan pilihan yang tepat ketika memilihnya dulu. Alhasil, orang-orang yang masih dendam pada Anies, terutama buzzer bayaran, tentu akan mengeksploitasi semua isu untuk menjatuhkan Anies, tak peduli apa yang dikakukan Anies masuk akal dan bermanfaat bagi orang banyak. Maklum, target mereka adalah mencegah Anies ikut kontestasi pilpres 2024. Namun, sejauh ini upaya mereka melakukan pembunuhan karakter Anies gagal total. Publik lebih menilai kualitas personal Anies, serta menyaksikan dan merasakan hasil kerja nyatanya selama ini. Komunitas internasional pun mengapresiasi kinerja gubernur yang satu ini. Salah satu kinerja Anies yang mencolok adalah penanggulangan covid-19. Sampai-sampai rezim Jokowi yang amburadul dan menjadi pelindung Ahok pun terpaksa mengekor pada inisiatif-inisiatif Anies, meskipun selalu terlambat. Dus, pertarungan pilpres 2024 mendatang tidak akan lepas dari sosok Anies. Dia menjadi salah satu capres terfavorit, bahkan terkuat dari kalangan non-parpol. Sejumlah survei elektabilitas selalu menempatkan Anies di 3 tokoh dengan elektabilitas tertinggi capres 2024, dan sering kali menempati urutan teratas, menyalip para elit parpol yang menjadi jagoan rezim Jokowi dan para taipan. Yang pasti, potensi keterpilihan Anies untuk bertarung dalam pilpres 2024 tidak terbendung. Terlebih nanti mendapat endorsement dari parpol atau gabungan parpol. Kebencian sebagian orang, terutama kelompok yang buta politik and masih terjerat politik identitas, tidak akan mampu menghalangi Anies memimpin dan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan yang sangat dalam akibat salah urus rezim saat ini. Penulis adalah Dewan Pengurus IDe
Awas Skenario Rusuh Tiga Periode Jokowi
by Tarmidzi Yusuf Jakarta FNN - Selentingan bakal adanya 'Proyek Rusuh Nasional' dalam rentang tahun 2021 - 2023, akhir-akhir ini kembali berhembus atau dihembuskan ke ruang publik. Banyak pengamat dan aktivis dakwah mengaitkan 'Proyek Rusuh Nasional' dengan isu tiga periode Jokowi. Disebut 'proyek' karena ada sponsor politik, donatur, 'pasukan' cyber dan 'pasukan' perusuh. Bahkan yang harus dicurigai dibalik gencarnya impor TKA dari China komunis. Tentu saja erat kaitannya dengan kepentingan politik dan ekonomi para cukong, jenderal merah hitam dan kelompok kiri radikal berkedok Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurut diskusi yang berkembang, hanya melalui “Proyek Rusuh Nasional” yang berdarah-darah, skenario Jokowi tiga periode bisa berjalan mulus. Mereka mengkondisikan negara dalam keadaan darurat sipil. Penulis condong menyebutnya di darurat sipilkan sebagai alasan Jokowi lanjut tiga periode. Dalam situasi di darurat sipilkan, MPR dipaksa menggelar sidang istimewa untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur masa jabatan presiden. Pertanyaannya, kenapa harus melalui “Proyek Rusuh Nasional” untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945? Bukankah masih ada celah lain. Dekrit Presiden misalnya. Dalam situasi normal dan konstelasi politik nasional di MPR/DPR saat ini, mustahil MPR akan meloloskan amandemen Pasal 7 UUD 1945 dari dua periode menjadi tiga periode atau khusus Pasal 7 kembali ke UUD 1945 Asli kecuali melalui Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 Asli. Namun, yang perlu diwaspadai, para cukong, jenderal merah hitam dan kelompok kiri radikal akan nimbrung sebagai penumpang gelap isu kembali ke UUD 1945 Asli melalui Dekrit Presiden, apabila upaya melalui parlemen menemui jalan buntuh. Dengan kembali ke UUD 1945 Asli, otomatis Jokowi bisa melenggang kembali menjadi Presiden tiga periode. Bahkan Presiden seumur hidup. Dalam pengamatan penulis, ada beberapa partai politik pemilik kursi di MPR berada di barisan pendukung Jokowi. Misalnya; Golkar, PKB, NasDem dan PPP. Total kursi 221 kursi atau 31% dari total 711 kursi di MPR. Dengan tekanan politik yang luar bisa dalam situasi abnormal, bisa saja PDIP yang memiliki 128 kursi bersama PAN yang punya 44 kursi berbalik arah ditambah dengan sebagian anggota DPD mendukung Jokowi tiga periode. Pendukung Jokowi tiga periode di MPR diperkirakan hampir 70%. Kurang 5% untuk menjadi 2/3 suara, seperti yang dipersyaratkan oleh Pasal 37 ayat 3 UUD 1945. Isu kudeta Partai Demokrat yang memiliki 54 kursi di MPR atau 7,3% beberapa bulan lalu gagal total. Dalam konteks inilah kita membaca kenapa ada yang berupaya “merampok” Partai Demokrat. Ambisi untuk tiga priode kemungkinan saja menjadi salah satu tujuan utama. Lantas apakah rakyat akan terpancing dengan Proyek Rusuh Nasional tiga priode Presiden Jokowi? Kemungkinan rakyat akan terbelah menjadi dua kelompok besar. Yang satu pendukung Jokowi tiga periode versus yang kontra Jokowi tiga periode. Siapa yang kuat? Estimasi penulis, rakyat yang kontra Jokowi tiga periode tidak akan terpancing dengan isu “Proyek Rusuh Nasional”. Sebaliknya, “Proyek Rusuh Nasional” bisa saja mempercepat lengsernya Jokowi sebelum 2024 tiba. Ibaratnya, seperti membakar lumbung. Padinya tidak terbakar, tetapi yang membakar terbakar. Pasalnya rakyat makin cerdas, terutama belajar dari kerusuhan Mei 1998 dan kerusuhan 21 - 23 Mei 2019. Ada pasukan liar, berupa perusuh-perusuh profesional yang disusupkan seperti tahun 1998 dan 2019. Wallahua'lam bish-shawab. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial
Presiden Jokowi Harusnya Kesal Pada Dirinya Sendiri
PRESIDEN Joko Widodo atau Jokowi tengah kesal dengan amburadulnya data pemerintahan. Mulai dari pusat sampai tingkat daerah. Dampaknya selain sangat mengherankan, juga menimbulkan berbagai kelucuan yang tidak lucu. "Saya melihat, saya ini di lapangan terus. Ada waduk nggak ada irigasi-nya, irigasi primer, sekunder, tersier, nggak ada. Ada membangun pelabuhan baru, nggak ada akses jalan ke situ, apa-apaan. Bagaimana pelabuhan bisa digunakan,” ujarnya ketika memberi pengarahan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Internal Pemerintah 2021, Kamis (27/5/2021). Jokowi juga menyoroti tumpang tindihnya dana bantuan sosial (bansos) di tingkat pusat dan daerah. Soal ini juga pernah dilaporkan oleh Mensos Tri Rismaharini ke KPK. Berdasarkan audit dari BPK, ditemukan 21 juta data penerima bansos ganda. Dalam rapat kerja dengan DPR Komisi VIII DPR RI Risma mengaku mumet melihat data bansos. Yang lebih membuat Jokowi jengkel adalah rendahnya penyerapan anggaran baik pada APBN, maupun APBD. Padahal, dia sebelumnya mematok angka pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen. Salah satu mesin penggeraknya diharapkan dari gelontoran anggaran pemerintah. "Saya minta percepatan belanja pemerintah dikawal dan ditingkatkan, dan supaya kita tahu semuanya, realisasi belanja pemerintah masih rendah, sekitar kurang lebih 15% untuk APBN, dan 7% untuk APBD, masih rendah. Serapan belanja PEN juga masih rendah, baru 24,6%, sekali lagi kecepatan, tapi juga ketepatan sasaran,” tegasnya. Ini bukan pertama kalinya Jokowi menyampaikan kejengkelan dan kemarahannya kepada jajaran pembantunya di kabinet, dan birokrasi. Berkali-kali kita mencatat Jokowi menyampaikan hal itu. Jokowi tercatat pernah sangat marah kepada menterinya soal penanganan krisis Covid-19. Dia bahkan sampai mengancam akan mencopot menteri yang dianggap tidak becus bekerja. Jokowi menilai ada menteri yang bekerja biasa-biasa saja. Tidak punya sense of crisis. Kalimat yang digunakan Jokowi juga sama. “Apa-apaan ini?” Melihat data dan fakta yang dipaparkan Jokowi kita bisa memaklumi jika presiden sampai harus heran, marah dan kesal. Sangat tidak masuk akal dan konyol bila ada pembangunan waduk, namun tak ada saluran irigasinya. Ada pelabuhan, tidak ada akses jalannya. Hal semacam itu hanya mungkin terjadi di negara Wakanda. Negeri antah berantah. Super konyol dan tak masuk akal. Percaya nggak percaya. Begitu juga halnya dengan tumpang tindihnya data, dan rendahnya penyerapan anggaran. Pada periode lalu, saat posisi Wapres dijabat oleh Yusuf Kalla, pemerintah sempat berkilah rendahnya penyerapan anggaran, karena banyak pejabat yang takut dicokok oleh KPK. KPK juga dituding oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko berdampak pada rendahnya investasi yang masuk ke Indonesia. Jalan keluarnya sekarang, KPK dilemahkan. Para petugasnya yang punya integritas dan dedikasi tinggi disingkirkan melalui test wawasan kebangsaan. Selain itu dengan dalih perang melawan Covid-19 pemerintah telah menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus. PERPPU tersebut kemudian disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2020. Dengan UU tersebut, atas nama penanganan Covid-19, pejabat negara dilindungi dan kebal dari tuntutan hukum. Bebas menggunakan anggaran, tanpa harus khawatir dan takut akan dituntut secara hukum. Jadi sangat aneh bila penyerapan anggaran masih sangat rendah. Dalam situasi semacam ini kita jadi teringat dengan sebuah adagium dalam dalam dunia kemiliteran. “Tidak ada anak buah yang salah. Yang salah adalah komandan!” Presiden Jokowi harusnya bertanya kepada diri sendiri. Mengapa semua itu bisa terjadi. Jokowi sudah memasuki periode kedua sebagai seorang presiden. Dia sudah 7 tahun menjadi komandan tertinggi di Indonesia. Masa konsolidasi sudah lewat. Jokowi sudah bolak-balik bongkar pasang kabinet. Sudah enam kali reshuffle. Empat kali pada periode pertama, dan dua kali pada periode kedua. Sampai sekarang masih banyak sekali terjadi kekacauan dalam pelaksanaan pembangunan. Kekacauan data, dan kekonyolan-kekonyolan lainnya, Jokowi hendaknya bertanya kepada diri sendiri. Mengapa semua itu masih terjadi? Dia tidak bisa terus menerus menyalahkan anak buahnya. Toh dia sudah melakukan reshuffle sampai enam kali. Dia juga punya hak sepenuhnya kembali melakukan reshuffle, jika dianggap masih perlu. Kembali ke adagium militer tadi. Pasti yang salah adalah komandannya. Kesalahan itu ada pada diri Jokowi. Silakan marah pada diri sendiri. Masyarakat sudah lama marah melihat berbagai kekonyolan itu. Hanya saja rakyat tidak punya kewenangan mengganti presiden setiap saat, seperti halnya presiden bisa melakukan reshuffle. **