ALL CATEGORY

Jokowi Jangan Seperti Kapten Kapal Titanic

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Busyeeettt........ seorang kawan jurnalis menilai, dalam pemerintahan negara ini yang perlu segera diganti, dan itu sebenarnya presidennya. Bukan menterinya. Dalam sehari mau ganti seribu kali menteri pun, bila presidennya tetap Jokowi (Joko Widodo), Indonesia tidak akan menjadi besar, kuat, berdaulat, bermartabat, tangguh, disegani dan mandiri. Sebab semua itu cuma bayangan semu. Omongan kawan jurnalis itu menanggapi kabar angin yang belakangan deras mendesir, terkait isu reshuffle kabinet di sejumlah pos kementerian. Kabar tersebut, secara manusiawi, sudah barang tentu menimbulkan sport jantung bagi anggota kabinet. Terlebih bagi menteri oportunis, yang keberadaannya tak lebih dari cuma cari makan dan selamat. Tanpa memiliki semangat memperkokoh negara. Ali Mochtar Ngabalin, selaku Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, pun turut serta ambil bicara merepresentasikan sebagai orang Istana. Dia bilang, dalam minggu-minggu ini memang segera akan dilakukan reshuffle sejumlah menteri. Para menteri mulia bertanya-tanya, “duh kira-kira gue kena geser Pak Jokowi nggak nih ya”? Kira-kira begitu lamunannya saban hari. Tak pelak, Menristek Bambang Brojonegoro sempat bicara di sejumlah media massa. Dirinya pamit dan mungkin statemennya itu menjadi yang terakhir kalinya sebagai menteri. Itu dilakukan setelah mendengar kabar adanya penggabungan dua lembaga kementerian, Kemendikbud dan Kemenristek bakalan digabungkan menjadi satu kementerian. Secara jujur, sebenarnya tidak sedikit para menteri yang membantu kinerja Jokowi, memiliki integritas keilmuan mumpuni di bidangnya. Mereka paham betul terkait apa yang dibebankan dan tengah dia kerjakan. Sebut saja misalnya, Prabowo Subianto, Sri Mulyani, Bambang Brojonegoro, Sandiaga Uno, Mahfud MD serta sejumlah menteri lainnya. Mereka pada dasarnya bukan pribadi yang dungu, dongo, keleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Merka sangat menguasai persoalan tugasnya. Prabowo sngat menguasai manageman pertahanan, keamanan, intelijen dan jagad siasat bertempur. Sri Mulyani mengerti semua bab finansial dan seluk beluk perekonomian global. Bambang Brojonegoro juga ahli bidang ekonomi. Sandiaga Uno, tidak ada pihak yang meragukan kemampuannya dalam hal ekonomi mikro. Termasuk mencari celah dan terobosan pasar rakyat. Pun demikian dengan Mahfud Md, sebagai sosok yang dikenal sebagai ahli hukum tata negara. Meski begitu, mengapa negara tidak mampu meluncur sebagaimana harapan Undang Undang Dasar 1945 maupun Pancasila? Kenyataan itu disebabkan sehebat apapun seorang menteri, dia adalah anak buah presiden. Sekalipun presidennya itu tidak hebat, tetap saja menteri itu anak buah. Disini berlakulah sebuah ungkapan, “seluas angkasa kepintaran seseorang akan dikalahkan hanya dengan seruang kekuasaan. Itu uncontested. Tidak terbantahkan! Untuk mempermudah memahami, kita tarik saja satu permisalan. Perjalanan sebuah bus umum yang penuh dengan aneka rupa angkutan, baik orang maupun barang, tentu semuanya berada di bawah kendali sang pengemudi alias sopir. Sehebat apa pun kernet, kondektur, mekanik, pramugari maupun para penumpang itu sendiri tidak memiliki kewenangan mengatur sopir. Keterangan yang ditempel dalam interior berbunyi, "dilarang berbicara dengan sopir" itu sebagai indikator bahwa keselamatan seisi ruangan bus selama dalam perjalanan menjadi urusan sopir. Nah sekarang yang menjadi persoalan adalah, bagaimana kompetensi sang sopir tersebut dalam hal kecakapan mengemudi? Apakah benar-benar sopir tersebut bisa mengemudi? Apakah para penumpang betul-betul akan diantar ke tempat tujuan sesuai rute busnya? Mulailah bus "PO Indonesia" meluncur di wilayah pegunungan. Jalur yang dilintasi bukan sekedar lurus dan mulus, yang mana sopir yang kemarin sore baru bisa mengemudi pun bisa mengendalikannya. Melainkan terdapat seribu satu tanjakan dan turunan, yang dilengkapi dengan lembah dan jurang terjal di kanan kirinya. Terkadang tanjakan atau turunan itu disertai tikungan sulit, sempit dan rumit. Deretan bukit dan tebing tinggi yang memagari sepanjang jalur, setiap saat siap longsor dan meleburkan bus jika sang pengemudi tudak punya kemampuan membaca situasi. Belum lagi di musim penghujan, jalanan licin yang dalam hitungan detik bisa melempar bus berikut isinya ke dasar jurang. Ilustrasi perjalanan darat seperti itu tentu sangat dibutuhkan seorang pengemudi yang handal, cekatan, tangkas dan trengginas. Senantiasa memberi arti, bahwa penumpang menjadi yang utama diberikan kenyamanan dan keselamatan. Pendek kata harus sopir profesional, bukan amatir. Namun jika sang pengemudi ternyata tidak seperti yang diharapkan, bagaimana nasib para penumpang, kru dan pengguna jalan lainnya? Saat sang kernet memberi sinyal agar sopir memperlambat laju bus, lantaran di depan ada penyeberang jalan. Bagaimana laju bus bisa lambat? Masalahnya si sopir tidak mengerti mana pedal gas, pedal kopling dan pedal rem. Begitu suga ketika kernet memberikan aba-aba agar sopir segera memindah akselerasi mesin ke gigi satu, karena jalur menurun tajam. Tentu laju bus hilang kendali dan menyelonong liar, lantaran sopir tidak paham yang sebelah mana handle persnelingnya. Giliran ketika mekanik mengingatkan sopir agar segera mengambil tempat beristirahat, lantaran perjalanan yang sudah sekian jam mengakibatkan suhu mesin meninggi. Namun sopir tidak menggubris. Indikator temperatur di dashboard malah dikiranya jarum jam. Sopir tidak berusaha merapat untuk berhenti, melainkan malah menggenjot gas sejadi jadinya. Tentu mesin terbakar lantaran overheating. Begitu juga ketika di depan terdapat rambu penunjuk arah jalan, ke kiri dan ke kanan. Arah kiri menuju jurang, sedangkan kanan menuju obyek wisata kesejahteraan. La kok sopir bodoh tersebut malah banting setir ke kiri, lantaran dia tidak paham yang mana panel lampu signnya. Apa jadinya? Sudah bisa diterka dan dibayangkan, dalam kondisi bus yang dikemudikan seorang sopir yang barbar blas tidak mengerti dunia sopir menyopir ini, kondisi para penumpangnya pasti bengok-bengok laksana dikejar hantu. Menjerit-jerit ketakutan nggak karu-karuan. Mestinya, seorang sopir angkutan umum harus bisa membuat para penumpangnya duduk dengan tenang dan nyaman. Penumpang bisa menikmati perjalanan, duduk mengangkat kaki sambil baca link FNN.co.id. Atau tidur pulas, tanpa khawatir terjadi kecelakaan lalu lintas. Bukan malah menutup-nutupi ketidak becusannya mengemudi, dengan meminta para penumpangnya tetap tenang dan optimis. Tenang dan optimis yang bagaimana? Orang laju bus juga nggak jelas tujuannya? Lajunya oleng. Miring ke kanan atau kiri. Kadang berjalan mundur. Sedangkan bagi awak bus yang membangkang, akan dipecat. Diganti yang lebih bego. Supaya nurut apa kata sopir. Sehingga bisa diajak bekerjasama dalam per-goblog-an. Sementara bagi penumpang yang protes, akan diturunkan. Bila perlu dilaporkan ke Bareskrim Polri, agar bisa dipenjarakan. Lantaran dianggap bikin kisruh dalam bus, hingga menggangu perjalanan. Padahal sumber kekisruhan tersebut justru sopirnya sendiri. Busyeeetttt..!!! Dulu, waktu debat Capres dua tahun silam, Prabowo Subianto menyampaikan sebuah analisa, bahwa ke depan akan lebih banyak lagi BUMN yang kolaps. Dan ternyata benar itu terjadi hari ini. Saat ini sulit dituliskan (saking banyaknya) deretan BUMN yang megap-megap. Bahkan, Prabowo Subianto mengulas novel fiksi, Ghost Fleet, yang isinya dominasi sebuah analisa intelektual tentang negara Indonesia yang di kemudian hari nanti hanya tinggal kenangan. Namun kala itu Jokowi membantahnya dengan argumen mentah. Hanya mengajak agar bangsa Indonesia optimis. Jangan pesimis. Tidak bisa menyampaikan materi bantahannya secara detil, yang bisa terlihat sebagai diplomasi berkelas dan mematahkan tudingan lawannya. Harusnya Jokowi waktu itu bisa membantah kekhawatiran Prabowo Subianto, dengan jawaban yang lebih mengena dan mendasar. Mengapa? Karena Jokowi sebagai incumbent tentu memiliki seribu gudang repository atau metadata, yang bisa diminta dari semua menterinya. Namun Jokowi malah meminta Prabowo agar menggunakan data jika berbicara. Akan tetapi, Prabowo yang bicara tanpa data saja bisa membuktikan kebenaran analisanya. Terlebih jika menggunakan data. Sederet whistleblower seperti Amien Rais, Habib Rizieq Shihab, Syahganda Nainggolan, Rocky Gerung, Natalius Pigai, Munarman, Dien Syamsudin, Gatot Nurmantyo dan oposan lainnya tidak pernah lelah meniupkan peluitnya. Berulangkali mereka mengingatkan Jokowi mengenai ketidak beresan terkait kebijakan pemerintah. Baik bab hukum, ekonomi, pendidikan, sosial dan lainnya. Yang paling kentara, pelanggaran HAM akibat praktik diskresi yang dilakukan aparat kepolisian. Yakni, gugurnya 6 mantan anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di tangan polisi yang kemudian dikenal dengan istilah malapetaka kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Juga terjadinya disparitas oleh para penegak hukum, hingga mengakibatkan Habib Rizieq Shihab (HRS) dipenjara. Serta sejumlah penentang kebijakan Jokowi lainnya, hingga mengantarkan beliau-beliau berurusan hukum. Namun, berbagai masukan para pengkritik tersebut tidak pernah mendapat tanggapan melegakan dari Jokowi. Ibarat sopir bus yang tabrak lampu merah, jalan terus. Pengabaian Jokowi terhadap para pengkritiknya itu, mengingatkan legenda tenggelamnya kapal pesiar paling mewah 109 tahun silam, “Kapal Titanic”. Hanya berselang empat hari setelah lego jangkar atau 15 April 1912 ,Titanic tenggelam di laut bebas, Samudera Atlantik Utara, pada dini hari pukul 02.20. Sebanyak 2.200 penumpang, termasuk awak kapalnya tewas menyedihkan. Singkat kisahnya, kapal sepanjang 217 meter mulai dari haluan sampai buritan yang dinahkodai Kapten EJ Smith itu menabrak gunung es. Soal celakanya kapal milik Britania Raya itu akibat menabrak gunung es, memang benar. Akan tetapi yang penting untuk digaris bawahi dalam insiden mendunia itu adalah, bahwa Kapten “Kapal Titanic” telah berani mengabaikan sejumlah peringatan. Sejumlah suar dan pesan yang dikirim lewat radio oleh kapal-kapal kecil di sekelilingnya diabaikan. Akhirnya Kapten “Kapal Titanic” mengabarkan bahaya gunung es di dekatnya. Kecelakaan laut tak terhindarkan. Maka tamatlah riwayat Titanic termasuk nahkodanya, Kapten EJ Smith. Semoga tidak untuk Indonesia saat ini maupun nanti. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Mudik Kok Pelik? Itu Hak Rakyat Untuk Gembira

by Yusuf Blegur Jakarta FNN - Sejatinya pemerintah tahu dan mau memahami mudik itu adalah bagian dari spiritualitas rakyat Indonesia. Sebagaimana terdapat dalam makna substantif Pancasila. Maka kegiatan rutinitas mudik saban tahun itu, sesungguhnya merupakan tradisi religius yang sarat nilai etos dan mitos (bagian dari kerja dan kepercayaan yang sudah menjadi keyakinan rakyat) dari hampir seluruh masyarakat Indonesia yang begitu kaya secara kultural. Nilai-Nilai Mudik Selain menegaskan kekayaan nusantara secara geografis dan kebhinnekaannya yang unik, aktifitas mudik melambangkan banyak nilai positif dari banyak hal. Diantaranya sebagai ekspresi kerinduan dan pengabdian pada orang tua dan sanak saudara. Mereka berjuang hadapi tantangan hidup selama di perantauan dan hadapi hambatan dalam perjalanan. Melewati antrian macet yang panjangnya berkilo-kilo meter, mennggu lancarnya perjalanan berjam-jam adalah suka duka perjalanan, serta bunga-bunga indah situasi mudik. Kondisi ini tidak bisa ditakar atau disejajarkan dengan ketenangan batin apapun. Justru dengan mudik pula, ketahanan imun dalam tubuh mereka akan meningkat dengan drastis. Selama setahun mereka menjadi perantau sebagai pejuang ekonomi. Berjibaku mengumpulkan rezeki sebagai bekal bertahan hidup dan mengangkat derajat sosial ekonomi keluarga. Sehingga tradisi mudik sesungguhnya membawa berkah tersendiri. Mudik ikut memberi andil besar dalam menghidupkan dan menggerakan perputaran ekonomi masyarakat di pedesaan yang lesu selama setahun pandemi covid-19 terjadi. Dengan mudik, makan ekonomi di pedesaaan, baik pemudik itu sendiri maupun secara struktural bakal meningkatkan daya beli masyarakat di daerah. Masih banyak lagi nilai sosial ekonomi dalam aktifitas mudik yang bisa diurai dalam tinjauan spiritual maupun material. Sehingga mudik sangat perlu dilakukan, karena lebih banyak manfaatnya dari mudharatnya. Mudik Dilarang Kini mudik dilarang lagi pemerintah. Kebijakan pelarangan mudik tahun ini masih karena pertimbangan Covid-19. Sebenarnya terkesan menjadi paradoks, sebab disaat pemerintah berusaha untuk menjaga keseimbangan keselamatan rakyat dan pertumbuhan ekonomi, justru potensi peningkatan daya beli masyarakat dihalangi. Pilkada 2020 lalu berhasil dilaksanakan di 200 lebih Provinsi dan Kabupaten-Kota. Masalahnya banyak aktifitas pemerintahan yang secara esensi tidak berbeda dengan kegiatan mudik. Misalnya keramaian berkumpul akibat berkunjungnya pejabat pusat ke daerah. Banyak lagi kerumunan serta kegiatan massal yang tetap ada dan dibiarkan di seantero tempat di Indonesia. Bahkan kerumunan kerap dicontohkan oleh Presiden dan elit politik lain ditengah pandemi Covid-19 Mirisnya aktifitas yang secara kualitas kemanfaatannya jauh dari kegiatan mudik ternyata masih tetap dibolehkan. Yang paling nyata adalah tempat hiburan seperti club malam, restoran mahal, dan bahkan pesta pernikahan mewah dan bombastis tidak dipermasalahkan. Malah Presiden dan pejabat tinggi negara lainnya hadir sebagai peserta utama. Fenomena itu wajar jika pada akhirnya, menimbulkan kecemburuan. Rasa ketidakadilan yang berujung pada sikap skeptis dan apriori terhadap pemerintah semakin menggung. Kenyataan ini makin diperparah dengan penegakkan hukum yang pincang dan tebang pilih. Semua ini berakibat pada kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah yang semakin merosot. Sangat disayangkan dalam banyak aktifitas reguler lainnya yang terbuka dan menghimpun banyak orang dengan aturan prokes. Namun aturan prokes seperti kenapa tidak bisa diterapkan juga pada aktifitas dan perjalanan mudik. Yang pasti dengan mudik, suasana batin menjadi sangat gembira. Daya tahan tubuh meningkat. Imun dalam tubuh semakin membiak pula. Bentuk Perlawanan Rakyat Pelarangan mudik itu juga sesungguhnya berpotensi menurunkan kewibawaan pemerintah. Citra dan wibawa pemerintah dipertaruhkan. Sebab, meski dilarang rakyat bisa main umpet-umpetan dengan petugas keamanan karena tekad mudiknya yang semakin kuat dan membara. Apalagi kebijakan mudik tersebut sempat plintat-plintut. Sebentar dibolehkan, sebentar lagi dilarang untuk waktu tertentu. Kalaupun banyak yang terjaring pelanggaran dan terkena sangsi mudik, itu belum pantas disebut keberhasilan pemerintah menegakkan hukum. Lebih tepatnya disebut pemerintah gagal mengelola aspirasi rakyatnya. Sebab rakyat justru mengabaikan aturan pemerintah yang melarang mudik. Itu semacam bentuk perlawanan sipil dari rakyat. Pemerintah mestinya memahami besarnya efek psikologis yang terjadi dari dampak pelarangan mudik tersebut. Bukankah dengan mudik itu melahirkan kegembiran, kesenangan dan kebahagiaan seluruh masyarakat. Baik itu mereka yang merantau maupun sanak saudara yang ditinggalkan di kampung? Suasana kegembiraan yang tidak bisa dikonvensi dengan materi. Apalagi hanya kebijakan negara. Mudik dan Imunitas Bukankah kebahagiaan rakyat itu mendorong kekuatan mental dan fisik bangsa? Keceriaan dan senyum masyarakat pemudik karena akan berrtemua dengan sanak-saudaranya saudaranya pastilah akan memicu imun dan meningkatkan kesehatannya. Lalu mengapa harus dilarang. Bukankah itu bentuk lain dari vaksinasi yang gratis? Biarlah pandemi kita waspadai dengan prokes yang ketat tanpa merebut kebahagiaan rakyat Indonesia. Bisa jadi mudik tahun ini menjadi penangkal "hantu Covid-19 yang terkutuk itu”. Bisa jadi mudik menjadi bentuk kontribusi rakyat di pelbagai lapisan untuk membantu pemerintah mewujudkan gairah dan mendorong geliatnya ekonomi nasional. Jadi, santuy saja pemerintah. Jangan anggap remeh juga, namun jangan berlebihan. Jangan berpikir yang pelik-pelik soal mudik. Biarlah rakyat menikmati pestanya, tradisinya dan hiburannya sendiri. Toh rakyat mudik bukan dari uang hasil korupsi. Mudik bukan menggunakan uang dan fasilitas negara. Biarkan uang negara dan fasilitas negara lainya dipakai saja oleh pejabat negara. Jangan juga perlawanan rakyat melalui mudik dipahami sebagai agenda politik. Santuy saja bro, karena mudik itu hak rakyat. Hanya setahun sekali ini. Hasil dari bekerja dengan susah-payah mengumpulkan uang selama setahun. Toh polri bilang boleh mudik sebelum tanggal 6 Mei. Ayo mudiiiiiiiiiik ! Penulis adalah Pekerja Sosial dan Pemikir Rakyat Jelata.

Rakyat Tolak Otsus Papua, Jakarta Jangan Sok Kuasa

by Marthen Goo Jayapura FNN - Ketika bicara negara Indonesia, tentu tidak terlepas dari bicara sejarah bangun negara. Dimana Indonesia dibangun atas kesepakatan bersama oleh pendiri bangsa. Soekarno dan the founding fathers lainnya sangat membuka ruang dan menghargai proses demokrasi dengan perdebatan gagasan. Dasarnya adalah kesepakatan bersama mendirikan sebuah negara dari gagasan-gagasan yang dilahirkan. Logikanya, ketika merumuskan sesuatu kebijakan dalam pembangunan nasional, mestinya juga didasari pada kesepakatan bersama. Bukan pada pemaksaan kekuasaan. Apalagi Indonesia yang multi kultur, multi ras, multi kebudayaan, mestinya proses demokrasinya harus dimatangkan dalam semangat kebangsaan. Bukan pemaksaan kehendak mayoritas, seakan-akan mewakili kaum minoritas dalam kebangsaan. Tragisnya, kebijakan yang diambil justru merugikan kaum minoritas. Demokrasi dan penghormatan pada kebhinekaan mestinya dihargai sebagai upaya untuk memajukan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM). Semangat itu, kemudian lahir yang namanya konstitusi. Dalam konstitusi, pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-undang Dasar”. Terhadap pasal ini, yang pembatasannya jelas pada UUD’45. Untuk itu, mari kita berpegang pada prinsip-prinsip dasar konstitusi yang dirumuskan dalam tujuan nasional, yakni pada pembukaan yaitu (1) melindungi, (2) mensejahterakan, (3) mencerdaskan, dan (4) penertiban. Jika merujuk pada semangat konstitusi di Indonesia yang dikenal dengan UUD’45 itu, apakah UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua telah memenuhi tujuan nasional? Jika tidak terpenuhi, dan turut menghancurkan kehidupan orang Papua, apalagi selama berlangsungnya otonomi khusus justru mengancam kehidupan warga bangsa, maka sebaiknya tidak perlu dipaksakan. Dalam kenyataannya, pelaksanaan otonomi khusus tersebut hanya menyenangkan para pejabat di tanah Papua. Sebaliknya rakyat malah yang sengsara dan semakin menderita kehidupannya. Maka wajar saja kalau rakyat Papua memiliki hak konstitusional untuk menolak otonomi khusus tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat tidak perlu mamaksakan kehendak. Jangan sok kuasa. Penolakan otonomi khusus sudah berjalan sejak tahun 2004 lalu. Pada tahun tersebut, Dewan Adat Papua sebagai lembaga adat yang menjadi payung adat bagi seluruh rakyat di tanah Papua melakukan aksi besar-besaran di Jayapura, ibu kota propinsi Papua dengan menolak otonomi khusus. Rumusan otonomi khusus tidak mempertimbangkan aspek kekhususan Papua. Tidak juga menjelaskan pada pasal mana saja proteksi tersebut dirumuskan. Penolakan otonomi khusus terus berjalan di tanah Papua. Bahkan di tahun 2008, rakyat Papua di Nabire juga melakukan aksi dengan membawa peti-mati yang bertuliskan “Otonomi Khusus Telah Mati”. Aspirasi rakyat itu oleh DPRD Nabire, dibawa ke DPRP Propinsi. Tahun 2009 dan 2010, di Jayapura, dilakukan aksi besar-besaran yang diorganisir oleh Forum Demokrasi (Fordem). Aksinya dipusatkan di kantor MRP, DPR-P dan Gubernur dengan isu yang sama. Aksi-aksi penolakan otsus di Papua berjalan terus tanpa henti. Bahkan di tahun 2021 ini, di Dogiyai dilakukan aksi besar-besaran dua kali menyampaikan penolakan terhadap otonomi khusus dan penolakan pemekaran provinsi Papua. Aksi di Dogiyai merupakan aksi seluruh komponen rakyat Papua di Dogiyai. Rentetan semua itu menunjukan bahwa rakyat di Papua menolak otonomi khusus. Sementara di Yahukimo, rakyat melakukan aksi yang sama untuk menolak otonomi khusus. Sam Awom dalam zoom meeting 24 maret 2021 lalu menyebutkan bahwa “rakyat Papua menolak otonomi khusus. Sehingga oknum elit di Jakarta jangan mengatas-namakan rakyat untuk dorong otonomi khusus revisi. Rakyat hari ini meminta referendum sebagai jalan demokratis”. Sam Awom sebagai koordinator penandatanganan penolakan Otsus berkali-kali menyampaikan hal yang sama. Karena dalam petisi, dapat diukur bahwa rakyat Papua menolak otonomi khusus. Semestinya, ketika rakyat menolak otonomi khusus, DPR di senayan harus mendengarkan aspirasi rakyat. Bersikap menyuarakan aspirasi rakyat, karena esensi dari pada parlemen adalah perwakilan rakyat. Ruang aspirasi dan dengar pendapat rakyat harus dibuka selebar-lebarnya. Hari ini rakyat sudah menolak otonomi khusus. Jangan lagi direkayasa untuk melakukan revisi undang-undangnya Pada saat yang Papua menolak otonomi khusus secara merata di seluruh bumi Papua, Pemerintah Jakarta malah diam-diam ketemu dengan orang-orang yang tidak representatif dan mengatasnamakan rakyat Papua. Tujuanya hanya untuk kepentingan merubah Undang-Undang Otonomi Khusus. Bukan membuka ruang dialog yang seluas-luasnya, dari kabupaten ke kabupaten. Pemerintah pusat harus menunjukan profesionalistas dalam ketaatannya kepada konstitusi negara. Terutama yang berkaitan dengan keinginan merubah atau merevisi Undang-Undang otonomi khusus di Papua. karena merumuskan sebuah undang-undang harus dengar aspirasi rakyat. Bukan dengan upaya politisasi. Ini negara hukum yang sudah jelas perumusannya. Dasar hukum dari semangat bernegara adalah (1) tujuan nasional, (2) UUD’45, dan (3) UU. Jika tiga hal tersebut tidak terpenuhi, mestinya pemerintah berpikir format lain yang lebih memproteksi rakyat. Bukan dengan memaksakan kehendak. Fakta membuktikan bahwa otonomi khusus yang basisnya adalah Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tidak berhasil. Tidak berhasilnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2201 karena di dalam undang-undang khusus tersebut, tidak dimuat hal-hal yang berhubungan dengan masalah di Papua. mDengan demikian, tujuan nasional tidak ada dalam UU No. 21 Tahun 2001 untuk kehidupan bagi orang Papua. Selain itu, UUD’45, dimana pasal 1 ayat (2) dirujuk pada pasal 19 ayat (1) dan pasal 20 juga tidak berkolerasi. Cara pandang bahwa uang sebagai jawaban adalah sebuah kekeliruan yang patal. Karena cara pandang yang seperti itu, sama sekali tidak menghentikan marjinalisasi terhadap rakyat, pelanggaran HAM yang nyata dan telanjangserta dan kejahatan-kejahatan lainnya terhadap rakyat Papua. Soal paling penting dan strategis yang perlu dipikirkan dan dikaji baik-baik oleh pemerintah pusat. Prinsipnya adalah ketika rakyat sudah menolak otonomi khusus, karena tidak berhasil, maka, tugas pemerintah pusat adalah mencari jalan atau cara yang lebih besar dari otonomi khusus. Salah satunya adalah membuka ruang dialog dan perundingan yang seluas-luasnya dengan rakyat. Tidak ada cara lain. Jangan juga takut berhadapan dan berdialog dengan rakyat sendiri. Membuka dialog dan perundingan yang selebar-lebarnya juga ditegaskan oleh tokoh nasional asal Papua, Natalius Pigai. Tokoh pegiat HAM dan keadilan ini menyarankan agar segera “bekukan otonomi khusus dan gelar perundingan”. Barang kali, ini cara yang bisa ditempuh untuk mencari solusi bersama di Papua guna wujudkan Papua sebagai tanah yang damai untuk semua anak bangsa. Perundingan sendiri harus dilihat dalam semangat konstitusi negara. Pertama, semangat lahirnya negara. Kedua, musyawara untuk mufakat, yakni sila keempat. Ketiga, adanya referensi Aceh dalam perundingan untuk menyelesaikan masalah. Bahkan musyawarah untuk mufakat adalah ciri has kebudayaan bangsa yang wajib untuk dilestarikan. Dengan demikian, perundingan memenuhi ketentuan konstitusional. Mestinya kita harus jauh lebih bermartabat dalam menyelesaikan berbagai masalah di Papua. Bukan dengan praktek arogansi dan otoritarianisme. Apalagi mengabaikan prinsip-prinsip dalam bernegara. Jangan mengabaikan semangat rumusan UUD’45 yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan sebagai dasar lahirnya konstitusi yang tertulis di Indonesia sebagai bentuk sistim hukum tertulis (eropa kontinental). Penulis adalah Aktivis Kemanusia Asal Papua.

Vaksin Nusantara, TNI Itu Bernafas Saja Mikirin Rakyat (Bagian-1)

Semua lembaga negara boleh saja lumpuh dan tidak berfungsi karena sutau sebab yang tidak diduga. Mungkin Presiden Lumpuh. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan daerah (DPD) juga lumpuh. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) lumpuh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Polisi mungkin ikut-ikutan lumpuh. Namun kita masih bisa tetap berdiri sebagai bangsa dan negara bila mempunyai TNI yang kuat sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara pembanguan. Karena semua fungsi-fungsi negara tersebut bisa dikerjakan oleh TNI. PRESIDEN boleh saja berganti setiap saat. Bisa karena berakhirnya masa jabatan sebagai Presiden. Namun bisa juga karena satu dan lain hal diberhentikan dari Presiden atas perintah konstitusi. Namun tugas peran TNI dalam mengawal tujuan bernegara tidak pernah berakhir. Sebagai anak kandung rakyat, TNI akan selalu bersama-sama dengan rakyat dalam keadaan dan siatusi apapun. Baik diminta maupun tidak. Sebagai tentara pejuang dan tentara pembangunan, TNI tidak akan rela membiarkan rakyat berlama-lama dalam penderitaan dan kesengsaraan yang tak berkesudahan. Semangat dan spririt mencintau rakyat itulah yang mendorong para dokter dari perwira menengah TNI, terutama TNI Angkatan Darat menemukan Vaksin Nusantara. Tujuannya hanya satu, “untuk meringkan beban negara dan mengakhiri penderitaan rakyat mengahadapi pandemi Civid-19. Tidak lain selain itu. Vaksin Nusantara, yang proses penemuan dan penggunaannya datang dari dokter-diokter kalangan TNI, terutama Angkatan Darat, kini ramai diperbincangkan orang. Sebagian kalangan tanpa reserve mendukung kelanjutan proses penyelesaian dan penggunaan vaksin ini. Kalangan ini datang dari prajurit-prajurit TNI, yang telah purna tugas. Mereka cukup rasional dalam soal ini. Rasional, karena untuk alasan apapun, penemuan vaksin ini, mewakili satu aspek fundamental bangsa ini. Apa aspek itu? Aspek itu ialah bangsa ini memiliki orang-orang berotak dan kreatif. Temuan ini juga menandai bangsa ini tidak ingin terus-terusan menjadi bangsa “pembebek” dalam urusan “membebek” pada semua temuan, yang datang dari asing, terutama Cina. Sejarah mencatat kemajuan bangsa-bangsa di dunia, khusus Eropa jelas dalam soal ini. Semua aspek bangsa mereka tunjukan dengan sangat jelas. Kemajuan itu milik atau kerjanya orang-orang berotak. Mereka dengan otaknya memiliki keberanian mengambil tindakan berbeda, disaat banyak orang yang membebek pada status quo atau tradisi konyol dan konyol. Orang-orang berotak ini, dengan otak dan keberaniannya seolah menegaskan kalau kemajuan hanya datang menyapa sebuah bangsa, bila ada orang yang berpikir diluar pakem konyol. Secara terbuka menantang pakem konyol itu. Kamajuan bukan milik mereka yang jago membebek dengan segala argumentasi tradisional dan konyolnya itu. Sama sekali bukan. Tinggalkan mental “kuli” itulah kalimat lain yang seolah keluar dari mulut mereka yang memiliki otak. Sebab dengan otaknya dan keberaniannya menemukan peluang mendatangkan kemajuan. Mereka tahu mental kuli adalah mental orang-orang rendah diri, yang terlalu jago memuja teradisi-tradisi konyol. Mental mengejar keuntungan sesaat dari rente impor Vanksin Sinovac Rp 50 triliun dari Anggapan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Itu sebabnya, tidak ada alasan sekecil apapun untuk menghambat pengembangan Vaksin Nusantara ini. Apalagi sampai menghentikan kelanjutan proses penyelesaian dan penggunaannya. Ini bukan perkara yang berkaitan dengan idiologis. Perkaranya jauh lebih besar dari itu. Perkaranya adalah bangsa ini bukan bangsa “pembebek”. Kita bukan juga bangsa yang hanya jago untuk menggunakan vaksin karya orang dan negara lain. Vanksin Sinovac buatan orang-orang Cina misalnya, sampai sekarang tidak diakui dan direkomendasi oleh organisasi kesehatan dunia, World Health Orgasation (WHO) untuk digunanakan oleh rakyat Indonesia. Itu penting lebih dari apapun dalam percaturan global. Anehnya sumua protokol kesehatan yang diterapkan di Indonesia hari ini menggunakan standar dari WHO. Isolasi mandiri maupun non mandiri selama 14 hari berdasarkan stadar WHO. Mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak, atas anjuran WHO. Cara dan penanganan terhadap yang meninggal dunia karena positif Covid-19 juga menggunakan stadar dari WHO. Pertanyaannya, mengapa Indonesia dalam penggunakan vaksinnya bukan bedasarkan otorisasi WHO? Ini kan benar-benar bin ajaib. Kalau tidak menggunakan stadar dari WHO, mengapa bukan Vaksin Nusantara yang perlu untuk dikembangkan atau digunakan di Indonesia? Toh, sama-sama belum dapat rekomendasi dari WHO ini. Yang sudah pasti, akibat sikap WHO yang tidak memberikan otorirasi kepada Vaksin Sinavac buatan orang-orang dari negara Cina itu, umat Islam Indonesia menjadi korbannya. Terkena dampak sistemiknya Vaksin Sinovac. Jamaah umroh dari Indonesia ditolak masuk ke kota suci Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah oleh pemerintah Saudi Arabai. Besar kemungkinan jemaah haji Indonesia tahun 2021 akan mengalami nasib yang sama. Bekaitan dengan pengembangan Vaksin Nusantara itu, kita harus memberi apresiasi. Berdiri bersama-sama, bahu-membahu secara politik dengan para dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto atas kreasi megagumkan ini. Kita senang, karena orang-orang waras sekelas Pak Gatot Nurmantyo, Aburizal Bakri, Siti Fadilah Sufari, Ahmad Sufmi Dasco, Melki Lakalena, Adian Napitupulu dan lainnya secara terbuka memberi dukungan atas sukesnya Vaksin Nusantara ini. Menariknya disaat yang sama sejumlah kalangan justru terlihat skeptik terhadap Vaksin Nusantara ini. Mereka adalah Mustofa Bisri, Abdillah Toha, Ade Armando, Ainun Najib, Ahmad Syafi'i Maarif, Akmal Taher, Anita Wahid, mantan Wapres RI Boediono, Butet Kertaradjasa, Djoko Susilo, Erry Riana Hadjapamekas, Saparinah Sadli, Natalia Subagyo, Kuntoro Mangkusubroto, Ismid Hadad, Marsilam Simanjuntak, Jajang C. Noer, dan lainnya, terlihat skeptik. Dalam pernyataan terbuka yang tersebar beberapa hari lalu, mereka menyatakan bahwa setiap penelitian vaksin perlu diputuskan oleh lembaga yang memiliki otoritas. Penelitian perlu diputuskan oleh lembaga negara yang memiliki otoritas, yakni Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Bagaimana kita merespon sikap kalangan skeptis ini? Kita harus bersikap sejelas mungkin terhadap masalah ini. Itu karena orang bodoh, dungu dan tolol juga tahu, kalau tidak ada obat bisa beredar di Indonesia tanpa otorisasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Kalau toh ada yang beredar tanpa otorisasi BPOM, itu disebut illegal. Jelas itu. Seharusnya sikap yang dipublikasikan Erik Riana Hardja Pamekas dan kawan-kawan adalah mendesak BPOM untuk terjun ke RSPAD. kut bersama-sama, berdiri bersama-sama, bekerja bersama-sama dengan dokter-dokter TNI Angkatan Darat yang mengambil prakarsa penelitian dan pengembangan Vaksin Nusantara itu. Bukan sikap sebaliknya yang telah diperlihatkan itu. Kampungan dan picik bangat sih. Apakah BPOM, Eri Riana Hardja Pamekas dan kawan-kawan tahu bagaimana proses penelitian dan pengembangan Vaksin Sinovak buatan orang-orang Cina itu? Apa Eri Riana Hardja Pamekas, Syafi Ma’rif dan kawan-kawan tahu bahan apa saja yang dipakai, dan bagaimana proses Vaksin Sinovak itu sampai bisa diekspor ke Indonesia? (bersambung).

Mewaspadai Penarikan Modal Asing

PEKAN lalu, dalam periode 12 sampai 15 April, tercatat aliran modal asing keluar dari Indonesia tercatat Rp 710 miliar. Dengan angka itu, total aliran modal asing yang minggat dari pasar keuangan Indonesia semakin besar. Sebab, angka sebelumnya sudah mencapai Rp 5,89 triliun (angka Januari sampai awal Maret). Angka ini tidak mengkhawatirkan jika aliran modal masuk juga terus meningkat. Angka aliran modal asing yang hengkang dari pasar uang Indonesia itu cukup banyak, di tengah gonjang-ganjing pergantian sejumlah menteri pada Kabinet Joko Widodo-Ma'ruf Amin. "Nonresiden di pasar keuangan domestik jual neto Rp 0,71 triliun," kata Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryanto dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 16 April 2021. Kita tidak tahu persis kenapa terjadi alira modal asing keluar dari Indonesia. Apakah itu semata-mata nonresiden, atau karena faktor lain, yaitu ketidakpastian ekonomi, kegaduhan kabinet, kegaduhan politik atau bahkan faktor keamanan dalam negeri. Angka Rp 710 miliar bukan kecil dalam kondisi sekarang. Jika dipukul rata selama 4 hari (12 sampai 15 April 2021) Rp 177,5 miliar. Jika penuh lima hari kerja (Senin 12 sampai Jum'at 16 April) berarti rata-rata Rp 142 miliar per hari. Pertanyaannya, apakah aliran modal asing berkaitan dengan isu pergantian (reshuffle) kabinet? Apakah kepercayaan terhadap pasar turun karena kondisi perekonomian yang.masih penuh ketidakpastian. Membaca prilaku pelaku pasar sulit dilakukan. Tidak ada ukuran yang pasti, kapan investor jor-joran masuk, dan kapan ramai-ramai keluar. Kita juga tidak tahu, apakah aliran modal asing keluar dari Indonesia itu juga diikuti pelarian modal dalam negeri yang biasanya dilakukan pengusaha 'hitam.' Sebab, hampir dipastikan banyak pengusaha dalam negeri yang ingin aman, dananya.tidak.diutak-atik. Sebab, jika ditarik dan dimainkan dalam.bentuk dolar.AS.atau bentuk lainnya tentu lebih menguntungkan. Pasar uang dan pasar modal adalah mirip-mirip permainan judi. Spekulasi lebih besar dibandingkan kalkulasi. Para pemainnya mengharapkan keuntungan yang melimpah dalam seketika. Bahkan, para pemain di pasar uang utamanya, lebih cenderung seperti mafia yang harus mengandalkan spekulasi pasar. Pelaku pasar uang dan padar modal adalah para pemilik dana yang setiap waktu bisa ditarik dan dipindahkan sesuka mereka. Pemerintah diharapkan mewaspadai penarikan modal.asing, baik di pasar uang maupun pasar modal. Sebab, jika tiba-tiba mereka menarik modal dan uangnya dalam jumlah besar sehari, hal itu bisa mengguncang perekonomian. Ibrat nasabah bank tiba-tiba menarik dana tabungannya di bank, tentu sangat berbahaya. Rush pada sebuah bank misalnya, bisa membuat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan turun. Kembali ke penarikan modal asing yang keluar dari Indonesia, walau baru Rp 710 miliar tetap harus diwaspadai. Jika hal itu terus naik, bisa membuat stabilitas rupiah yang pekan lalu terpuruk, akan turun lagi. Keterpurukan nilai rupiah terhadap dolar AS bisa menguntungkan komoditas ekspor, karena harganya naik. Akan tetapi, di sisi lain akan memberatkan importir. Yang tidak kalah berat lagi adalah semakin memberatkan terhadap utang/pinjaman luar negeri, terutama yang jatuh tempo tahun ini.**

Kontroversi Nadiem Makarim Hapus Pendidikan Pancasila

by Asyari Usman Medan, FNN - Hari-hari ini sedang ribut soal Mendikbud Nadiem Makarim yang menghapus Pancasila dari daftar mata kuliah wajib. Bermunculan protes. Tak pelak lagi, Nadiem menjadi sasaran kecurigaan. Dia diduga tidak punya pemahaman tentang Pancasila, dlsb. Kontroversi ini muncul setelah PP Nomor 57/2021 yang meniadakan Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah wajib. Setelah dikritik keras di sana-sini, akhirnya Menteri Nadiem merevisi PP ini. Pancasila dan bahasa Indonesia tetap wajib diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Satu pertanyaan: apakah tuan-puan sekalian menyangka para pejabat, elit kekuasaan, elit politik, elit bisnis, dll, masih ada yang teringat dengan Pancasila? Yang masih mengamalkan Pancasila? Tentu Anda semua tahu jawabannya. Karena tahu jawabannya, pastilah Anda bisa paham mengapa Nadiem tidak peduli dengan Pancasila. Dia merevisi PP 57 itu tidak berarti hati dan pikirannya berisi nilai-nilai Pancasila. Bisa saja karena kontroversi penghapusan Pancasila itu ditentang keras oleh para ulama dan para tokoh bangsa serta pakar pendidikan yang mengkhawatirkan arah pembinaan spiritual bangsa. Tapi, apakah penghapusan itu salah Nadiem? Bukan. Itu kesalahan Presiden Jokowi yang berharap Nadiem bisa melakukan transformasi pendidikan supaya orang Indonesia bisa menjadi seperti Nadiem. Dia sukses dengan Gojek-nya. Jokowi kagum sekali dengan Nadiem yang bisa menjadi pengusaha hebat hanya bermodalkan aplikasi. Jadi, Jokowi ingin sekali anak-anak Indonesia ini menjadi inovatif seperti Nadiem. Tapi, Jokowi lupa bahwa inovasi Gojek dan sejenisnya hanya sebatas pengorganisasian penjualan jasa angkutan. Buka tidak penting. Penting juga. Cukup bagus organisasi Gojek itu. Namun, yang menjadi masalah krusial bagi Indonesia ini adalah inovasi produk yang berbasis riset. Semua produk. Baik itu produk pertanian, kelautan, elektronik, persenjataan, alat transportasi, dlsb. Ini kalau kita bicara soal inovasi yang diperlukan untuk mengangkat harkat ekonomi-bisnis rakyat. Bukan semata sukses bisnis aplikasi ala Nadiem itu saja. Kembali lagi kita ke soal Pancasila di mata Nadiem. Kelihatannya, dia tidak memikirkan aspek spiritual dalam menggapai sukses bisnis. Yang penting orang harus berpikir dan bertindak kapitalis. Menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya. Tidak ada istilah pemerataan. Tidak kenal keadilan ekonomi. Karena itu, nilai-nilai Pancasila hanya akan menggannggu gerak maju bisnis. Dari kalkulasi inilah Nadiem melihat mata pelajaran atau mata kuliah Pancasila tidak perlu diajarkan. Sebab, nilai-nilai Pancasila mengajarkan orang berbagi, peduli sesama, dan mengingatkan orang tentang kehidupan kekal yang hanya bisa dipahami melalui konsep Ketuhanan Yang Masa Esa. Sila pertama Pancasila ini bertentangan dengan prinsip cari duit sebanyak-banyaknya yang dipraktikkan Nadiem selama ini. Sekarang kita lihat apakah Nadiem masih layak duduk sebagai menteri pendidikan. Kalau Jokowi masih menganggap penting Ketuhanan Yang Maha Esa dengan segala nilai dan syariat yang membatasi ketamakan dan kerakusan, tentu saja Nadiem tidak cocok lagi mengemban tugas pendidikan. Sebaliknya, kalau Jokowi berpandangan sama dengan Nadiem, berarti pendidikan Pancasila tidak perlu ada. Dan itulah sesungguhnya yang ingin mereka lakukan ketika menerbitkan PP 57/2021. Revisi adalah sekadar reaksi ketika publik menjadi resah.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Vaksin Nusantara Mulai Banjir Dukungan, Pro-kontra Merebak

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Dukungan secara politik dibuktikan oleh beberapa pemimpin dan tokoh masyarakat terhadap Vaksin Nusantara besutan mantan Menteri Kesehatan Dr. dr. Terawan Agus Putranto, SpRad. Bahkan, dukungan juga datang dari mantan Menkes Siti Fadilah Supari. “Saya memutuskan menjadi relawan uji klinik Vaksin Nusantara, menurut saya, biasa-biasa saja dan sederhana saja, saya agak kaget kok menjadi berita?” ujar Siti Fadilah Supari dalam rilisnya, Kamis (15/4/2021). Siti Fadilah mendengar, membaca, dan berpikir tentang vaksin nusantara. Menurutnya, si peneliti berpikir logis, inovatif. Memang, inovasi selalu mengagetkan kemapanan, bahkan bisa mengganggu yang sudah mapan. Di dalam ilmu pengetahuan, logis saja tidak cukup, tetapi harus dibuktikan. Maka ia bersedia menjadi relawan karena Siti Fatilah Supari menghargai seorang peneliti yang berpikiran beda dengan yang lainnya. Dia membuat hipotesis. Dan, hipotesis itu boleh saja salah, tapi harus dibuktikan dulu. Maka perlu penelitian. Harapannya kalau memang uji klinik ini mendapatkan hasil yang positif, artinya hipotesis dr. Terawan terbukti, “waah saya sangat bahagia karena kondisi saya saat ini sangat cocok dengan metode ini.” Sedangkan tentang pernyataan BPOM? “Pernyataan dari BPOM boleh-boleh saja, memang BPOM yang punya wewenang untuk ijin edarnya,” ujar Siti Fadilah Supari. Tentang ahlinya dan lain-lainnya dari Amerika Serikat tersebut? “Wahh saya tidak tahu. Tapi, kita kan negara yang berdaulat, dengan politik bebas dan aktif, maka boleh saja bekerjasama dengan negara manapun dengan prinsip kemitraan yang transparan, setara dan adil,” lanjutnya. (Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi). Menurutnya, yang penting produk ini menjadi produk Indonesia, untuk kemaslahatan bangsa yang membutuhkan. Terutama untuk lansia seperti dirinya. Diberitakan sebelumnya, BPOM menyatakan penelitian Vaksin Nusantara belum memenuhi syarat, sehingga mereka belum mengeluarkan izin persetujuan penelitian uji klinis (PPUK) fase 2. BPOM merilis hasil uji klinis fase I atas Vaksin Nusantara yang digelar pada 23 Desember – 6 Januari 2021 di RSUD Kariadi, Kota Semarang terhadap 28 subjek. Hasilnya, sebagian besar relawan mengalami kejadian tak diinginkan mulai dari level ringan, sedang, hingga berat. “Sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2,” kata Kepala BPOM Penny Lukito, dilansir Tirto.id, Selasa (13/4/2021). Efek simpang yang dirasakan antara lain, nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. Seluruh subjek mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant. Di luar 20 subjek tersebut, terdapat 6 subjek penelitian yang mengalami efek simpang derajat berat. Sebanyak 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol. Menurut Penny, KTD grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinis yang tercantum pada protokol uji klinik. Namun, berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM, ternyata tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinis dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut. Penny menjelaskan, itu menjadi satu alasan bagi BPOM enggan menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) tahap 2 bagi vaksin nusantara. Dalam catatannya Kamis (15 April 2021), Prof. Dr. dr. Djohansjah Marzuki, Sp.BP (K), guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, mengomentari penolakan beberapa politisi dan anggota DPR terhadap keputusan BPOM itu. Profesor Djohansyah melihat, ini sebagai tanda masih rendahnya pengetahuan dan pengertian tentang Budaya Ilmiah. Vaksin adalah suatu produk ilmiah dari ilmu biologi, ilmu kedokteran, dan ilmu kefarmasian. Karena itu harus disikapi denga perilaku mengikuti kaidah-kaidah ilmiah atau nama lainnya dangan Budaya Ilmiah. Menurut Profesor Djohansyah, budaya ilmiah adalah perilaku intelektual yang berdasar pada kaidah-kaidah ilmu. Pertama, Ilmu natural berfokus pada kebenaran, dibuktikan dengan data yang terukur, tanpa bias oleh karena itu pula dikembangkan aturan dan kaidah-kaidah yang baku. Tentu kejujuran para ilmuwan menjadi mutlak. Dukungan dalam ilmu itu adalah adanya evidence dengan data yang terukur. Bukan jumlah orang atau banyaknya pejabat yang berbaris di belakangnya. Kedua, Ilmiah itu harus independen, tidak memihak kepentingan pribadi, kelompok maupun bangsa. Hanya berpihak pada kebenaran saja dan prosedur yang baku. Prosedur itupun dibuat oleh ilmuwan, bukan oleh pejabat kekuasaan negara. Ketiga, Kekuasan dan jabatan tidak boleh punya pengaruh terhadap jalannya penelitian ilmu. Ilmu natural tidak mengenal nasionalisme dan politik. No authority in science. Keempat, Ketidak-jujuran dalam ilmu diangggap perilaku yang sangat tercela. Misconduct. Tampaknya masih begitu banyak tokoh masyarakat tidak tahu masalah ini. Kalau tidak tahu maka sebaiknya serahkan saja kepada lembaga yang mengerti imu dan budaya ilmiah seperti BPOM dan lain-lain. Jangan memojokkan lembaga ilmiah dengan tuduhan-tuduhan tentang soal nasionalisme, memihak kelompok kepentingan tertentu, yang pasti itu tidak boleh dilakukan oleh lembaga ilmiah yang berbudaya ilmiah dan penuh tanggung jawab. Para politisi dan tokoh masyarakat harus bisa menghargai lembaga ilmiah. Jika tak mengerti budaya ilmiah ini janganlah menggangu pekerjaan para ilmuwan yang melakukan tugasnya dengan berbudaya ilmiah dengan tanggungjawab. Budaya ilmiah itu menjadi dasar perilaku para ilmuwan ilmu natural di seluruh dunia. Negara maju adalah negara yang menggalakkan ilmu dan budaya ilmiah dlm negaranya. Apa jadinya negara ini kalau para pemimpin dan tokoh masyarakatnya memusuhi atau tidak menghargai lembaga dan institusi keilmuan. Jika menganggap lembaga ilmiah itu menyalah gunakan fungsinya maka laporkan dan usut saja, tapi jangan dimusuhi tanpa dasar yang kuat. Profesor Djohansyah mengingatkan, memusuhi lembaga ilmiah mempunyai resiko jangka panjang menghambat kemajuan bangsa dan negara. Prof. Zubairi Djoerban @ProfesorZubairi dalam akun Twitter-nya berkomentar: Ada anggapan saya sentimen dengan Pak Terawan. Bahkan dikaitkan dengan terapi cuci otak dan sanksi terhadapnya. Beberapa media bertanya ini. Saya nyatakan tak ada sentimen itu. Tapi, saya akan sentimen pada vaksin yang diduga mengabaikan kaidah ilmiah. Tidak ada yang personal. 12.13 - 16/04/21 (Twitter). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Saat Utang Luar Negeri Sudah Over Borrowing

POSISI utang luar negeri (ULN) Indonesia dinilai telah mengalami over borrowing, kelebihan pasok dibandingkan kemampuan bayar. Itu sebabnya perlu manajemen utang yang lebih hati-hati dan terstruktur. Hal itu paling tidak dengan ancang-ancang Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang akan meminta konsultasi ke Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund--IMF) dan Bank Dunia (World Bank). Hal senada dikemukakan anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad menanggapi rilis Bank Indonesia (BI) tentang posisi utang luar negeri per akhir Februari 2021. BI menyebut, utang luar negeri pada akhir Februari 2021 telah mencapai US$422,6 miliar atau tumbuh 4,0% (yoy). Lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 2,7% (yoy). Peningkatan pertumbuhan ULN tersebut didorong oleh ULN Pemerintah dan ULN swasta. Meski meningkat, BI masih menilai posisi ULN relatif aman dan terkendali karena sebagian besar didominasi utang berjangka panjang. Benarkah ULN kita masih aman? Paking tidak ada tiga instrumen untuk mengukur utang suatu negara masuk kategori over borrowing atau lower borrowing. Yaitu, pertama, DSR (Debt Service Ratio), rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 20%. Kedua, DER (Debt Export Ratio), rasio total ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%. Ketiga, DGDP (Debt to GDP Ratio), rasio antara total ULN terhadap PDB dengan batas aman 40%. Jika mengacu pada data ULN Februari 2021, nilai DGDP ratio Indonesia sebesar 39,7%, sedangkan data mengenai DSR dan DER masing-masing sebesar 27,86% dan 215.4% pada IV-2020. Itu menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilainya hampir melampaui batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur. Itu yang menjadi alasan mengapa pemerintah melakukan manajemen utan seperti mencari sumber pendanaan yang berbiaya murah, meminimalkan risiko terkait portofolio utang dan mendukung pengembangan pasar. “Kurangi pinjaman valas secara gradual dan terencana, fokus pada pinjaman domestik dengan jatuh tempo jangka menengah dan panjang, dan fokus pada suku bunga tetap untuk pinjaman baru,” saran Kamarussamad. Kamrussamad menyarankan, penerbitan SPN (Treasury bills dengan jatuh tempo 12 bulan) hanya untuk manajemen kas dan tidak untuk menutup defisit atau refinancing utang yang masih ada. “Obligasi internasional hanya diterbitkan untuk membiayai kewajiban dalam valas, memperkuat cadangan devisa, dan menghindari crowding out pasar obligasi domestik,” tambah dia. Anggota DPR itu memahami utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 dimana pemerintah terpaksa harus pengeluaran untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Ia enggan terlibat adu argumen terkait perbandingan besaran utang negara. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi efektif agar ekonomi dapat lekas pulih kembali, bukan malah perang argumentasi yang dapat memicu hambatnya pemulihan ekonomi. Dan yang penting bagaimana kita sebagai negara yang bebas aktif dalam pergaulan internasional, tapi mandiri secara ekonomi dan berkarakted dalam budaya. Sudah saatnya mengembalikan kewibawaan NKRI lewat pengelolaan utang yang bertanggung jawab. Tabik!

Kehadiran IMF Bisa Memicu Lengsernya Jokowi

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Menkeu Sri Mulyani dalam Pertemuan Musim Semi Dana Moneter Internasional (IMF) -Kelompok Bank Dunia Tahun 2021, yang diselenggarakan secara daring pada 5-11 April 2021, meminta agar Bank Dunia dan IMF dapat membantu negara-negara di dunia untuk mengelola beban utang mereka termasuk Indonesia. Kemudian, Sri Mulyani juga berharap agar kedua lembaga tersebut dapat memberikan bantuan dalam rangka peningkatan vaksin dan menerapkan strategi pemulihan pertumbuhan negara-negara yang membutuhkan. Selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan pengawasan dan bimbingan keduanya dalam mengatasi beban utang negara yang terus meningkat. Rupanya Sri Mulyani sudah mulai kewalahan dan terlihat tanda-tanda menyerah dalam menghadapi meroketnya utang luar negeri. Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia mencapai Rp 6.361 triliun per akhir Februari 2021, naik 2,05 persen atau Rp128 triliun dari periode Januari 2021. Jika utang tersebut ditambah dengan utang BUMN, jumlah totalnya menjadi sekitar Rp 8.500 triliun. Wajar kalau banyak yang memperkirakan Jokowi nanti akan mewariskan utang Rp 10.000 Triliun jika sudah tidak menjadi Presiden lagi. Jika sekarang Sri Mulyani meminta bantuan IMF untuk mengatasi utang luar negeri, harus siap-siap nanti seluruh kebijakan ekonomi Indonesia akan diatur dan dikendalikan lagi oleh IMF seperti tàhun 1998. Sebenarnya kehadiran IMF ini juga bisa memicu lengsernya Presiden Jokowi. Sebab Kejatuhan Presiden Soeharto bulan Mei 1998, juga dipicu oleh kebijakan ekonomi IMF yang harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia waktu itu. Pasca Indonesia dihantam krismon tahun 1997, pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF dan akhirnya Soeharto terpaksa menandatangi Letter of Intent (LoI) dengan IMF. Sehingga seluruh kebijakan ekonomi Indonesia waktu itu diatur dan dikontrol IMF. Adalah Prof Dr Widjojo Nitisastro, penasehat ekonomi Presiden Soeharto yang waktu itu menyarankan agar Indonesia meminta bantuan IMF untuk mengatasi krismon. Sikap Widjojo ini didukung oleh salah seorang tokoh pers yang berpengaruh sehingga output pemberitaan medianya waktu itu ikut mendukung kehadiran IMF di Tanah Air. Namun anehnya Menkeu Mar'ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Sudradjad Djiwandono, sama sekali tidak dilibatkan pada saat penandatangan LoI antara IMF dengan Presiden Indonesia Soeharto pada Januari 1998. Keduanya memang diundang untuk datang ke rumah kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, tetapi Menkeu dan Gubernur BI hanya menunggu di luar ruangan. Saya waktu itu masih aktif sebagai wartawan di lapangan, menulis berita tentang masalah moneter dan keuangan. Sehari-hari biasa meliput kegiatan di Bank Indonesia maupun Depkeu. Soedrajad Djiwandono keberatan dan menunjukkan ekspresi tidak nyaman selama berada di kediaman rumah Soeharto karena dirinya sebagai pemegang otoritas moneter, tidak dilibatkan dalam perumusan poin-poin kesepakatan yang tertera dalam LoI IMF tersebut. Awalnya pada 31 Oktober 1997, Indonesia menandatangani LoI yang pertama dengan IMF sebagai wujud kesepakatan IMF untuk membantu memulihkan Indonesia. Kemudian penandatangan LoI kedua dilakukab Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998. Betapapun pahitnya resep IMF itu, rezim Orde Baru awalnya menduga keterlibatan dan peran lembaga keuangan ini bakal menyelesaikan krismon. Tapi nyatanya ekonomi Indonesia justru semakin terpuruk dan krismon tidak kunjung berakhir. Sebaliknya krismon meluas menjadi krisis sosial dan krisis politik. Ketika itu pertumbuhan ekonomi yang semula tumbuh 6 % menjadi minus 13 %. Sedangkan nilai tukar rupiah merosot tajam dari Rp 2.500 per dollar AS, merosot tajam hingga ke level Rp 13.000 per dollar AS. Di saat yang sama, daya beli masyarakat menurun, sementara pengangguran dan PHK terjadi dimana-mana. Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun turun. Akhirnya Soeharto lengser dari kursi Presiden pada 22 Mei 1998. Sebelum Soeharto lengser, IMF merekomendasikan kenaikan harga BBM hingga 74 % persen dan minyak tanah sebesar 44 %. Setelah itu, sontak masyarakat melancarkan protes yang kemudian memicu terjadinya gelombang aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia. Mereka menuntut Soeharto lengser. Sales Promotion Girl IMF Sama seperti Prof Widjojo Nitisastro, kali ini Menkeu Sri Mulyani kembali meminta bantuan lembaga keuangan internasional. "Kami membutuhkan pengawasan dan bimbingan yang lebih besar dari Bank Dunia dan IMF untuk mengatasi masalah utang dan mengurangi tekanan yang meningkat," kata Sri Mulyani, Selasa (13/4/2021). Ekonom Rizal Ramli mengkritik keras langkah Menkeu Sri Mulyani itu. Rizal menilai langkah tersebut justru bisa membawa Indonesia masuk ke dalam jurang krisis yang lebih dalam lagi. Bahkan Mantan Menko Maritim ini menyebut Sri Mulyani sebagai Sales Promotion Girl (SPG) IMF. "Dasar SPG Bank Dunia/IMF," kata Rizal Ramli dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/4/2021). Dia menilai perekonomian Indonesia akan semakin hancur, seperti tahun 1998. Rizal kembali mengingatkan sejarah hubungan Indonesia dengan IMF khususnya tahun 1998. "Saya dulu ekonom yang menentang masuknya IMF. Saya bilang keras-keras, Indonesia tidak butuh IMF. Krisis akan makin buruk kalau IMF diundang masuk ke Indonesia," katanya. Hanya saja hal tersebut terlambat, Presiden Soeharto justru meneken perjanjian dengan IMF. Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus menyaksikan momen penandatanganan LoI tanggal 15 Januari 1998 itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada. Sementara Soeharto membungkuk untuk menandatangani LoI. Inilah momen kekalahan Indonesia oleh IMF. Kekhawatiran Rizal soal IMF bukan tanpa alasan. Dia melihat beberapa negara malah terperosok makin dalam. Benar saja, IMF segera mengeluarkan aneka kebijakan yang membuat situasi makin buruk. Begitu IMF masuk, disarankan menaikkan tingkat bunga bank dari 18 persen rata-rata jadi 80 persen. Akhirnya banyak perusahaan langsung bangkrut. Selanjutnya, tàhun 1997 saat krismon IMF juga meminta pemerintah Indonesia untuk menutup 16 bank swasta nasional. Langkah itu menimbulkan polemik dan keresahan di kalangan masyarakat terutama para nasabah. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan Indonesia. Para nasabah ramai-ramai menarik uang simpanan mereka di bank. Dari sini pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar US$ 80 miliar. Inilah awal malapetaka kasus korupsi triliunan rupiah yang belum tuntas sampai sekarang. Kemudian Rizal membandingkan sikap Malaysia yang menolak IMF yang mengeluarkan kebijakan ketat soal moneter. Hasilnya mereka bisa dengan mudah keluar dari krisis. Oleh karena itu saat menjadi Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli menolak secara tegas saran IMF. Menurutnya, cuma di era Gus Dur ada presiden tak menambah jumlah utang negara. "Waktu saya masuk, minus 3 persen ekonominya. Kami putuskan tidak mengikuti kebijakan IMF. Kita jalan sendiri dengan segala kontroversinya," kata Rizal. Dia yakin kalaupun saat ini Indonesia menghadapi berbagai persoalan termasuk masalah ekonomi, akan ada sosok pemimpin hebat yang bisa mengatasi persoalan tersebut. Masa depan Indonesia tergantung pada pemimpinnya. Hanya Ada dua tipe pemimpin, yakni pemimpin hebat dan memble. Pemimpin memble tidak akan mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Sebaliknya membuat masalah yang tadinya sederhana menjadi ruwet. Presiden paling hebat di Amerika namanya Franklin Delano Roosevelt Waktu dia jadi presiden, ekonomi Amerika mengalami depresi berat. Kinerja ekonomi Amerika pada waktu itu juga hanya nomor 7 di dunia, tapi Franklin Roosevelt karena kepemimpinannya dia mampu membalikkan ekonomi Amerika. Perekonomian tumbuh pesat, lapangan pekerjaan tersedia dan akhirnya ekonomi Amerika naik dari nomor 7 jadi nomor 1. Roosevelt termasuk pemimpin yang kuat meski kakinya diserang penyakit polio. Para menterinya yang bekerja lembek dan tidak mampu mengatasi masalah yang ada, diminta mundur. Akhirnya, Roosevelt bisa bekerjasama dengan bawahannya yang termasuk orang-orang baik, tangguh, yang kemudian membuat Amerika jadi negara adidaya. Nah, apakah Jokowi termasuk tipe pemimpin hebat atau memble ? Sebenarnya kalau memang sudah tidak sanggup lagi menjadi Presiden, bisa saja Jokowi mengundurkan diri. Tidak perlu pura-pura meminta Menkeu Sri Mulyani mengundang IMF datang ke Indonesia untuk mengatasi meroketnya utang luar negeri. *** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Mengatasi Persoalan Beras di Jakarta

by Suhardi Suryadi Jakarta, FNN - Untuk memenuhi kebutuhan pangan 10,56 juta penduduk Jakarta setidaknya diperlukan 2.000 ton beras setiap harinya. suplai kebutuhan beras ini dipenuhi dari beberapa daerah. Menurut data Pasar Induk Cipinang, kemampuan penyediaan beras harian maksimal hanya sebanyak 30.568 ton. Ini berarti cukup untuk memenuhi kebutuhan warga sekitar 15 hari ke depan. Dewasa ini, stok beras yang tersedia di Bulog lebih dari 800 ribu ton di seluruh Indonesia. Namun yang perlu disadari bahwa persediaan beras yang ada tidak semuanya dalam kondisi baik. Mengingat terdapat sisa stok beras impor tahun 2018 yang sudah mulai menurun kualitasnya. Setidaknya mencapai 300 ribu ton. Karena itu, Menteri Perdagangan mengatakan bahwa dengan jumlah sebesar itu kelak berpotensi menciptakan gejolak harga. Menurut beliau, jumlah stok beras saat ini kurang mencapai 500 ribu yang merupakan ketersediaan paling rendah dalam sejarah Bulog, Antisipasi Gejolak Mengantisipasi kemungkinan terjadi gejolak harga akibat ketersediaan beras yang menipis, maka Pemerintah DKI Jakarta menjalin kerjasama dengan Pemerintah Daerah Cilacap terkait pengembangan kebutuhan pangan (beras). Kerjasama yang dilakukan Food Station Tjipinang Jaya (BUMD) ditandai dengan kegiatan panen bersama di lahan seluas 50 hektare yang diorganisir Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Sumber Makmur, Desa Jenang, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap. Pada dasarnya, kerja sama antara Food Station dengan Gapoktan Sumber Makmur Cilacap sudah diinisiasi sejak tahun 2018 dengan luas sawah 250 hektare. Kemudian dilanjutkan tahun 2019, dimana luas areanya bertambah menjadi 500 hektare dan akhirnya menjadi 850 hektare pada 2020. Diharapkan luas areal persawahan yang dikerjasamakan menjadi 1.000 hektar pada tahun 2021. Sehingga dapat menghasilkan 5,7 ton per hektar atau 5.700 ton gabah kering panen (GKP) yang setara dengan 2.964 ton beras dengan varietas ciherang, metik wangi, dan lainnya. Dalam kerangka itu, Pemerintah DKI melalui Food Station telah melaksanakan pendampingan kepada para petani dan off taker produk pertanian yang dikembangkan, antara lain pemilihan varietas, pasca-panen, memberikan jaminan harga, dan sebagainya. Melalui kerjasama dengan prinsip saling menguntungkan, diharapkan pergerakan perekonomian di Ibu Kota dapat juga berdampak langsung terhadap daerah. Sementara itu, bagi warga di Jakarta, yang 99 persen kebutuhan pangannya dipasok dari luar akan mendapatkan pasokan dengan harga yang terjangkau. Pada ujungnya suasana keadilan sosial dapat terwujud, dimana masyarakat Jakarta memiliki beras dengan kualitas yang baik, serta yang paling penting adalah petani di Cilacap merasakan peningkatan kesejahteraan, kata Gubernur Anies. Apa yang dilakukan oleh pemerintah DKI menunjukan bahwa menjaga kelangsungan suplai pangan bagi warganya menjadi prioritas. Penyediaan beras yang merupakan kebutuhan pokok warga Jakarta, perlu dijaga dan diutamakan. Mengingat sebagian warga yang hidup di Jakarta adalah kelompok masyarakat kurang mampu. Sehingga kemampuan menyediakan yang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah akan dianggap positif. Terlebih dengan adanya pasokan beras untuk menjamin kebutuhan warga, maka harga beras akan menjadi stabil. Stabilitas harga beras sangat penting mengingat rendahnya kemampuan ekonomi warga saat ini, terutama warga kurang mampu. Dengan demikian, manfaat ekonomi dan politik dapat diperoleh pemerintah DKI secara bersamaan. Dan selayaknya hal ini didukung pemerintah pusat dengan menyediakan fasilitas kredit misalnya kepada daerah yang memiliki lahan pertanian luas untuk membebaskan petani dari jeratan pengijon dalam soal penentuan harga. Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh pemerintah daerah lainnya yang memiliki sumberdaya keuangan yang cukup. Sehingga mendorong ketersediaan pangan dan kesejahteraan petani yang lebih luas Penulis adalah Peneliti LP3ES.