ALL CATEGORY

Tirani Pandemi

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Sarah Repucci dan Amy Slipowitz menulis artikel berjudul “Democracy Under Lockdown” : The Impact of Covid 19 on the Global Struggle for Freedom” pada bulan Oktober 2020 lalu. Kedua ilmuwan wanita asal Amerika itu menanggapi serius hasil penelitian Freedom House dengan menuliskan, bahwa tidak hanya demokrasi melemah di 80 negara. Tetapi masalahnya sangat akut di negara-negara demokrasi yang sedang berjuang dan negara-negara yang sangat represif. Pemerintah telah menanggapi dengan terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan. Membungkam kritik mereka, dan melemahkan atau menutup lembaga-lembaga penting. Seringkali merusak sistem akuntabilitas yang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Kesimpulan penelitian Freedom House baru tentang dampak Covid 19 pada demokrasi dan hak asasi manusia tersebut dihasilkan dalam kemitraan dengan perusahaan survei GQR. Sebuah perusahaan riset dan kampanye politik yang bermarkas di Washington D.C. Amerika Serikat. Berdasarkan survei terhadap 398 jurnalis, pekerja masyarakat sipil, aktivis, dan pakar lainnya serta penelitian di 192 negara oleh jaringan analis global Freedom House. Laporan ini adalah yang pertama dari jenisnya dan upaya paling mendalam hingga saat ini. Kedua ilmuwan itu menegaskan, penelitian tersebut sangat mendukung hipotesis bahwa pandemi Covid19 memperburuk penurunan kebebasan selama 14 tahun berturut-turut. Tidak hanya demokrasi melemah di 80 negara. Tetapi masalahnya sangat akut di negara-negara demokrasi yang sedang berjuang dan negara-negara yang sangat represif. Dengan kata lain, pengaturan yang telah memiliki perlindungan yang lemah terhadap penyalahgunaan kekuasaan menjadi yang paling menderita. Temuan ini menggambarkan luas dan dalamnya serangan terhadap demokrasi. Seperti yang dikatakan salah satu responden di Kamboja, “pemerintah menjadikan virus corona sebagai kesempatan untuk menghancurkan ruang demokrasi”. Gambarannya terlihat suram, kata Joshua Kurlantzick, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations. Sejak wabah dimulai, kondisi demokrasi dan hak asasi manusia semakin memburuk di 80 negara. Dimana pemerintah telah menggunakan Covid 19 sebagai dalih untuk menutup oposisi. Meminggirkan kelompok minoritas, dan mengontrol informasi, tulisnya dalam artikel di Japan Times (Jan 13, 2021) berjudul “Covid 19 Batters Asia’s Already-Struggling Democracies”. Mengomentari hasil penelitian “Freedom House” itu, Joshua mengatakan, pandemi virus corona baru hanya memperburuk kerusakan demokrasi. Memperdalam krisis demokrasi di seluruh dunia. “Memberikan perlindungan bagi pemerintah untuk mengganggu pemilu, membungkam kritik dan menekan, dan merongrong akuntabilitas yang dibutuhkan untuk melindungi hak asasi manusia serta kesehatan masyarakat”. Menurut Joshua, selama lima belas tahun terakhir, demokrasi di seluruh Asia telah mengalami kemunduran. Meskipun kawasan ini masih memiliki demokrasi yang kuat seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, banyak negara demokrasi Asia terkemuka lainnya dan negara-negara dengan potensi demokrasi telah tergelincir ke belakang. Berubah menjadi negara yang hampir otokrasi atau negara otoriter langsung. Sarah Repucci dan Amy Slipowitz menegaskan, diantara responden survei, 27 persen melaporkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah sebagai salah satu dari tiga masalah yang paling terpengaruh oleh wabah virus corona. Pejabat dan layanan keamanan melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Menahan orang tanpa alasan, dan melanggar kewenangan hukum mereka. Pemerintah kemudian mengeksploitasi kekuatan darurat ini untuk mencampuri sistem peradilan. Memberlakukan pembatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada lawan politik, dan merusak fungsi legislatif yang krusial. Seperti yang dikatakan salah satu responden tentang Turki, "Coronavirus digunakan sebagai alasan bagi pemerintah yang sudah menindas untuk melakukan hal-hal yang telah lama direncanakan, tetapi belum dapat”. Ekses buruk wabah pandemi Covid 19 terhadap kehidupan masyarakat dunia, khususnya di Indonesia, diperparah munculnya pandemi lain yang menumpang di atasnya. Merebaknya hoaks dan fitnah yang terorganisir oleh buzzer maupun influenzer. Mereka bekerja menekan suara kritis masyarakat yang resah kurang tersentuh kebijakan mitigasi negara. Misalnya, akibat maraknya praktik korupsi pejabat pemerintah di tingkat menteri. Sasaran korupsi adalah dana-dana bantuan sosial (bansos). Pejabat keasyikan sukses berburu di kebun bintang. Dilakukan di tengah duka nestapa jutaan kelompok orang miskin baru. Korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masif akibat ambruknya ratusan perusahaan tersapu wabah pandemi. Laporan penelitian Universitas Oxford berjudul, “The Global Disinformation Order : 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation” yang terbit akhir September 2019 membantu menjelaskan fenomena kelahiran buzzer dan influenzer. Penelitian yang ditangani Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard menyebutkan Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan buzzer alias pendengung untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019. Tugas utama buzzer dan influenzer menggerus ketahanan demokrasi yang sudah lunglai terdegradasi oleh kooptasi kekuasaan yang balik haluan ke jalur otoriter. Menurut penelitian Universitas Oxford itu, tercatat, sejumlah pihak di Indonesia pengguna buzzer adalah politisi, partai politik, dan kalangan swasta. Kebanyakan buzzer beraksi untuk tujuan menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi. Buzzer di Indonesia kebanyakan buzzer bayaran pada kisaran antara Rp. 1-50 saja. Para buzzer biasanya menggunakan Twitter, WhatsApp, Instagram, dan Facebook dalam melakukan aksinya. Modus yang sering mereka lakukan dengan menciptakan disinformasi dan memanipulasi informasi. Sama diketahui, serangan wabah pandemi Covid 19 sejak awal Maret tahun lalu, yang memukul sektor kesehatan dan ekonomi bahkan demokrasi, telah mendorong pemerintah memanfaatkan legitimasi konstitusi untuk mengambil langkah darurat. Pengendalian pandemi dikemas menjadi mobilisasi mitigasi. Pandemi menjadi dasar penglegitimasian diskresi negara. Presiden lalu mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Merujuk filsuf Yunani Cicero yang menegaskan “salus populi supreme lex esto”, yang bermakna “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Sejalan semangat yang tertulis dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945. Pandemi menjadi tirani baru dengan unsur baru, yaitu buzzer dan influenzer. Keduanya melengkapi potensi destruktif pandemi Covid 19 terdahulu. Mendorong demokrasi terkunci mati. Partai politik sebagai instrumen utama demokrasi tidak bicara apa-apa. Sebagai representasi suara rakyat, partai politik sama sekali tidak bunyi. Di tengah prahara penderitaan demokrasi, elite politik ramai-ramai mengunci mulut. Membutakan mata dan menutup telinga dari gemuruh longsornya marwah bangunan demokrasi. Tirani pandemi merusak tiga sistem peradaban masyarakat modern yang sudah mapan. Hancurnya secara bersamaan, yaitu sistem kesehatan, sistem ekonomi dan sistem demokrasi. Masuk akal jika, Repucci dan Slipowitz menyebutnya sebagai “Democracy Under Lock down”. Teman wartawan senior yang setia mengirim pesan WhatsApp, kembali mengingatkan kisah sejarah tragedi tentang Kaisar Nero. Dia menceritakan, “ketika kota Roma terbakar di landa kobaran api, Nero, sang kaisar malah memilih memetik gitar di sudut Istana”. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Sindroma Anak Raja & Pasangan Jokowi-Prabowo 2024

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Viral video dan foto kunjungan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono ke Solo. Ketika Menteri dan anggota rombongan lain mengambil posisi duduk di kursi. Sementara terlihat Gibran Rakabuming sang Walikota malah duduk di meja. Komentar di jagad media sosial atas video dan foto ini adalah "kurang adab". Memang terkesan Gibran Rakabuming ini adalah pejabat karbitan. Jabatan Walikota yang memang belum pantas untuk diemban Gibran. Akibatnya, pola penghormatan jabatan dan protokol diabaikan. Gibran lebih merasa anak Presiden yang tak harus hormat-menghormati. Mungkin merasa dirinyalah yang seharusnya dihormati. Ini yang namanya sindroma anak raja. Latar belakang sebagai pengusaha katering dan martabak tidak menjadi persoalan. Toh ayahnya Joko Widodo dulu juga pengusaha mebel. Masalahnya adalah miskin akan pengalaman politik, bahkan Gibran pernah menyatakan tidak akan terjun ke kancah politik. Namun di usia 33 tahun, tiba-tiba Gibran meniru jejak ayahnya maju dalam Pilkada Solo. Menjadi Walikota dengan proses instan melalui Fraksi Partai Dekorasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan didukung oleh mayoritas partai politik. Dengan lawan tanding yang hanya asal-asalan, sehingga nyaris melawan "bumbung kosong". Tidak bisa dipungkiri kalau orang melihat kemenangan dan suksesnya Gibran ditentukan oleh faktor orangtua Presiden Joko Widodo. Faktor ini yang membuat mayoritas partai politik ikut-ikutan mendukung Gibran. Oligarkhi politik istana dinilai sangat mempengaruhi. Gibran pun berhasil untuk tidak tersentuh dari keterkaitan korupsi yang menyeret mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Misalnya, soal goodie bag yang menjadi jatah anak Pak Lurah yang diramaikan. Goodie bag sebanyak sepuluh juta unit dengan harga Rp 15.000 per unit berhasil dikerjakan oleh PT Sritex melalui Penunjukan Langsung (PL). Padahal nilai proyek goodie bag tersebut adalah Rp 150 miliar. Sementara syarat dilakukan PL hanya untuk proyek dengan nilai Rp 200 juta ke bawah. Namun rupanya ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain. Tidak untuk anak Pak Lurah. Oligarkhi istana terus bergerak memastikan cengkramannya atas kekuasaan negara. Gibran digadang-gadang untuk menjabat Gubernur DKI pada Pilkada serentak 2024 nanti. Bahkan ada juga yang sampai mewacanakan dan memainkannya Gibran untuk ikut Pilpres 2024. Politik dinasti yang dibangun untuk menjadi warna budaya politik Indonesia kontemporer. Selagi kekuasaan masih berada dalam genggaman, semua bisa dilakukan. Toh semua bisa saja diatur-atur sesuai dengan selera kalau mau. Girban yang semula tidak ingin terjun ke politik, akhirnya mau juga menjadi Walikota Soloh. Wajar saja kalau ada keinginan untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Setelah itu ikut menjadi Calon Presiden (Capres) mengikuti jejak sang ayahanda. Pasangan Capres-Cawapres Presiden Joko Widodo yang berakhir masa jabatan pada Oktober 2024 memang sudah menyatakan hanya mau menjabat selama dua priode. Namun bukan berarti peluang menjabat lagi untuk tiga priode sudah hilang. Peluang tersebut masih tetap saja terbuka lebar. Apalagi amandemen UUD 45, khususnya pasal tentang pambatasan masa jabatan presiden hanya dua periode itu sedang diupayan untuk dijebol. Rencana untuk menjabat tiga lagi untuk periode ketiga sedang dikerjakan dengan sangat serius. Namun pekerjaan ini dilakukan dengan sangat senyap atau sembunyi-sembunyi. Masih malu-malu, dan khawatir kalau diketahui publik. Reaksi publik bisa sangat keras. Yang tampak ke permukaan adalah amandemen UUD 45 terkait dengan dimasukannya pasal tengang Garis-garis Besar Haluan Negara (GHBN). Yang nanti bakal diselundupkan adalah merubah pasal tentang masa jabatan presiden, yang tadinya hanya dua periode, menjadi tiga periode atau lebih. Karena pasal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan utama dilakukan amandeman UUD 45. Bukan hanya soal masuknya pasal tentang GBHN. Bisik-bisik di kalangan intelijen gadungan, besar kemungkinan yang menjadi Capres untuk priode ketiga nanti adalah Joko Widodo, yang berpasangan dengan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo Subianto. Begitulah kalau kekuasaan lagi mendesak atau menagih agar tetap dalam genggaman. Dengan duduk di atas meja, ini adalah pencitraan bahwa Gibran lebih tinggi dari siapapun, termasuk Menteri Basuki Hadimoeljono dan stafnya. Maklum saja ini anak raja. Menteri adalah bawahan "ayahku". Karenanya tidak masalah bahwa Walikota tidak menghormati Menteri. Apakah ini pencitraan? Mungkin juga iya. Karena persis sang ayah. Pola dan cara untuk mendapat dukungan politik dilakukan melalui pencitraan yang sebenarnya adalah kepalsuan semata. Banyak yang tidak sesuai antara omongan dengan perbuatan sebagai Kepla Negara dan Kepala Pemerintahan. Yang paling terakhir adalah “tiga tahun terakhir tidak pernah mengimpor beras”. Nyatanya omongan ini dibatah oleh data-data yang ada Badan Pusat Statistik, Kemnterian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Soal Giran duduk di atas meja ini telah dibantah oleh Sardono W. Kusumo. Konon itu bukan meja, tetapi kursi yang bertingkat dari panggung teater. Namun tetap saja orang bertanya-tanya, mengapa di depan itu ada "kursi lebar" yang lebih rendah? Mengapa kursi lebar itu tidak diduduki oleh Gibran? Selayaknya jika tujuannya untuk berdiskusi, maka Gibran akan duduk di samping menteri atau didepan di kursi panjang yang dapat langsung berhadapan dengan Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono. Sindroma anak raja memang penuh dengan kontroversi, disamping proteksi dan tentu saja buzzerisasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ketika Islam Dihina, Dimana Teroris Ngumpet Ya?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Bom panci semakin populer dan menjadi pilihan favourite tukang panci, eh maksudanya tukang bom-boman. Kalau sudah ada bom panci, umat atau kelompok Islam selalu saja menjadi tertuduh untuk kasus serupa berkali-kali. Sebelum diumumkan, ketika peristiwa terjadi, sudah diduga arah akan tertuju pada kelompok "teroris Islam". Seperti barang peliharaan yang telah diatur kapan munculnya. Supya mudah diarahkan tuduhannya ke kelompok Islam, maka tempat meledaknya bom panci juga diduga dipilih yang memiliki hubungan. Sehingga Gereja Katedral Makassar yang jadi sasaran peledakan. Artinya, yang kemungkinan sarat dengan nuansa-nuansa keagamaan. Tak ada hujan, tak juga ada angin yang dikaitkan dengan konflik Islam-Kristen. Namun ujug-ujug Gereja yang menjadi sasaran. Apa salah dan masalah pada Gereja Katedral? Dipastikan tidak ada. Umat Islam juga tidak ada yang punya kebencian pada Gereja beserta para jamaatnya ini. Situasi normal-normal saja. Maka pembawa bom itu yang justru dalam keadaan yang tidak normal. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai meledaknya bom panci di Gereja Katedral Makasar ini bukan soal agama. Tetapi rekayasa dan adu domba. Bukan hanya haedar Nashir, namun banyak kalangan menilai serupa. Sebab tidak percaya pada spirit terorisme berbasis agama. Jika adapun, maka itu artifisial atau buatan. Ini yang perlu dicari siapa pembuatnya. Dari dahulu tidak pernah ketemu si dalang. Mungkin saja si dalang sedang berada di tempat terang. Mungkin di depan hidungnya yang belang-belang. Aneh aparat keamanan kita tak mampu menemukan dalangnya? Selalu saja wayang-wayang, yang itupun nyawanya pada melayang. Dapat dipastikan jejak dan operatornya sudah menghilang. Masuk lubang yang berdinding uang. Klasik cerita bom panci ini...duaar dengan obyek Gereja. Cepat sekali polisi mengidentifikasi pelakunya, yang beridentitas Islam. Terlihat seperti kerja polisi yang sangat huebat dan luar biasa. Namun betapa bodoh dan dungu si pelaku yang menunjukkan siapa dirinya. Pakai surat wasiat jihad segala. Teroris sejati semestinya melakukan penyamaran, karena berorientasi pada hasil. Teroris sejati kemungkinan mengincar korban itu jemaat gereja. Bukan satpam atau pejalan kaki. Dungu jika teroruis harus bersorban, berpeci, atau berjilbab. Yang dipastikan cerdas adalah koordinator atau pembujuk atau pemegang remote control. Juga pihak ketiga yang mempunyai sumber daya, baik tenaga maupun dana. Ahli strategi yang mahir memotivasi, menggaransi, dan pastinya membohongi. Kalau lagi ruwet dan moumet..duaaar. Ruwet kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) yang terus ribut. Ruwet karena pembunuhan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) yang bergaung dan bersambung. Ruwet akibat pandemi yang menggerus uang hingga harus hutang dikorupsi. Ruwet karena skandal korupsi yang terus-terusan disorot oposisi. Ruwet karena memikirkan kemungkinan kerasnya perlawanan rakyat menolak keinginan dan ambisi besar menjabat selama tiga periode kekuasaan. Kemungkinan berpasangan dengan mantan rival yang sekarang menjadi anak buah. Ingin tiga periode untuk melanggengkan kekuasaan, menggemukkan kroni, dan melindungi dinasti. Ruwet dan riubet. Umat Islam selalu mengerutkan dahi. Benarkah teroris berjuang untuk Islam? Lantas ketika Islam dihina-hina, Islam dinistakan, Islam dimain-mainkan dengan keji oleh para tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk, dimana saja para teroris itu sembunyi dan ngmpet ya? Padahal ketika itu seharusnya teroris yang ngakunya pejuang Islam itu hadir berbuat untuk Islam dong. Jika perlu para teroris keluar untuk menghabisi para tikus, ular, kelabang, kodok dan kutu busuk yang menghina dan menistakan Islam tersebut. Sayangnya itu tak terjadi. Tidak ada teroris yang muncul saat ini. Ah, memang dasar teroris gadungan, teroris kaleng-kelang, teroris odong-odong, dan teroris beleng-beleng. Hanya mau menjadi teroris kalau diperintah oleh pemegang remote control. Disadari betul bahwa memang teroris tersebut bukan berjuang untuk Islam. Justru sebaliknya kelakuan mereka teroris-terorisan itu menghancurkan Islam dan mengadu domba umat Islam. Teroris itu tak lain adalah species yang satu komunitas dengan tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk itu sendiri. Mereka adalah bagian dari penjahat umat, bangsa, dan negara. Kini kasus bom-boman datang lagi. Aparat diharapkan profesional menangani pelakukan. Segera saja tangkap dan adili dalang. Bukan hanya wayang atau tukang gendang. Jangan cepat-cepat ditembak atau dibom. Mereka yang dianggap terlibat, tangkap hidup-hidup dan seret ke ruang pengadilan agar semua bisa mengikuti bahwa benar jaringan itu ada. Sang dalang juga segera dapat diketahui keberadaannya. Apakah di luar negeri, di hutan, di perbatasan, atau di markas sendiri? Selamat bekerja bapak-bapak aparat. Rakyat pasti sangat mendukung kerja keras, kerja tuntas, dan kerja jelas aparat. Namun bukannya kerja bias dan bermain-main dalam kebijakan yang tidak waras. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Epidemiolog Dicky Budiman: “Virus Dormant Itu Teknologi Kuno! (1)”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Vaksin AstraZeneca sempat menjadi bahasan publik usai Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyebut vaksin buatan perusahaan farmasi asal Inggris itu haram karena mengandung enzim tripsin dari babi. Meski begitu, MUI tetap memberikan lampu hijau penggunaan AstraZeneca untuk program vaksinasi, mengingat stok vaksin di Indonesia terbatas. BPOM pun pada Jumat (19/3/2021) lalu telah merestui penggunaan AsrtaZeneca untuk vaksinasi di tanah air. Restu BPOM itu menyusul vaksin AstraZeneca yang sempat ditangguhkan sementara, usai ditemukannya dugaan kasus pembekuan darah yang terjadi di beberapa negara Eropa akibat vaksinasi dengan vaksin kerjasama Oxford itu. Virus Covid-19 kini telah menginfeksi hampir 123,9 juta penduduk di bumi. Dan, setidaknya, sekarang inii dunia telah memvaksinasi lebih dari 447 juta suntikan (kira-kira setara dengan 2 kali jumlah mereka yang terinfeksi), dengan masing-masing 2 kali suntikan. Virus Covid-19 telah menginfeksi 1,46 juta penduduk Indonesia. Setidaknya, Indonesia telah memvaksinasi lebih dari 7,8 juta suntikan atau kira-kira setara dengan 5,3 kali jumlah mereka yang terinfeksi, dengan masing-masing 1 kali suntikan. Dalam catatan Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB, angka ini baru 2,1% dari target penduduk yang akan divaksinasi sebanyak 181,6 juta orang, masing-masing 2 kali suntikan. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, berikut ini petikan wawancara Mocahamad Toha dari FNN.co.id dengan dr. Dicky Budiman, MSc, PhD (Can) Global Health Security CEPP Griffith University, Australia yang juga seorang Epidemiolog. Terkait program vaksinasi (Sinovac dan AstraZeneca) yang sudah jalan di Indonesia. Sinovac dinyatakan halal oleh MUI, AstraZeneca haram. Komentar Anda? Menurut saya ada perbedaan antara Sinovac dan AstraZeneca dalam segi kemasan. Sinovac dikemas jauh lebih cermat, lebih hati-hati oleh pemerintah, terutama dari 3 segi, yaitu halal, keamanan, dan efikasi. Walaupun kita selalu ingatkan, diumumkan hampir sebelum keluar hasil dari fase ke-3 ini. Tapi, relatif lebih (dalam konteks Indonesia, faktor halal ini) sangat penting. Tapi berbeda dengan AstraZeneca. Ini timbul satu komunikasi yang kurang, untuk konteks Indonesia. Maksudnya? Karena, ternyata (dalam hal) ini belum ada sinergi yang kuat antara BPOM, Kemenkes, dan MUI. Ternyata MUI mengeluarkan fatwa haramnya. Dan, ini juga semakin menjadi bahasan publik karena di Australia, di Eropa, dan di negara lain dinyatakan halal sehingga digunakan. Padahal kan sama-sama Muslim. Sehingga ini jadi pro-kontra, jadi perbedaan. Dan tentu ini akan tidak kondusif untuk strategi vaksinasi. Karena bagaimanapun sebagian masyarakat kita akan melihat apa yang disampaikan pertama oleh pemerintah (dalam hal ini MUI). Bahwa ini memberi kandungan yang diharamkan. Dan, ini sudah melekat, sehingga ini sulit untuk diluruskan. Nah, ini yang harus diperbaiki mekanisme formnya sebagaimana Sinovac, kalau aman dan efektif. Ada beberapa kasus di Indonesia, seperti kematian pasca vaksinasi yang juga menimpa dokter dan nakes lainnya. Terakhir, yang dialami seorang guru honorer di Garut yang lumpuh. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini yang harus direspon dengan penguatan KIPI (Kejadian Ikutan Paska Iminusasi). Dan KIPI ini tentu harus dilaporkan dan disampaikan secara reguler pada publik juga. Termasuk kita ini sudah melakukan 2 vaksinasi dengan Sinovac ini beberapa waktu, bulan. Nah, ini tentu ada perkembangan, ada data yang bisa disampaikan kepada publik. Apapun data itu untuk melihat. Melihat apa? Karena ini untuk melihat efektivitas pada dunia nyata ini akan bisa terlihat, sehingga data ini juga memeperlihatkan bahwa pemerintah melakukan pemantauan ini, termasuk bukan hanya KIPI-nya tetapi juga efektivitas vaksin ini di lapangan. Dan kasus-kasus seperti itu sebagaimana yang terjadi di Indonesia maupun luar negeri, sama saja, harus diverifikasi, harus dijelaskan apakah ini berkaitan dengan vaksinasinya atau tidak. Dan ini harus tentu dengan penjelasan yang ilmiah, mengklirkan, membantu menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi dengan kasus-kasus tersebut. Fakta, kematian pasca vaksinasi AstraZeneca di beberapa negara Eropa karena terjadi pembekuan darah. Komentar Anda? Kasus kematian yang diduga dikaitkan dengan Astrazeneca di Eropa ini sudah terbukti tidak terkait. Dan memang ini dari awal saya sudah sampaikan bahwa harus sangat komprehensif ketika melihat peristiwa yang terjadi, dan diduga dikaitkan dengan vaksin. Karena, pertama harus dilihat data pada uji vaksin tersebut, ada tidak efek samping dimaksud. Bila tidak ada, sangat amat kecil kemungkinan terjadi itu. Ada, tetapi amat sangat kecil. Dan, untuk AstraZeneca di fase-3 atau hanpir semua faksin Covid-19 ini tidak ada ditemukan efek samping dalam bentuk kejadian trombosis. Kedua, untuk memperkuat fakta ini apakah ada kaitan atau tidak juga harus melihat apa yang disebut dengan background rate. Backround rate ini jadi dilihat bagaimana angka kejadian penyakit atau kasus tersebut sebelum program vaksinasi Covid-19. Bisa dijelaskan maksudnya? Misalnya, trombosis ini sebelum vaksinasi secara global itu sudah sangat dimaklumi di dunia kedokteran bahwa ini sangat sering terjadi. Satu diantara 1000 orang itu mengalami kasus ini, trombosis. Kemudian satu dari 4 kematian di dunia, itu dikaitkan dengan trombosis. Ini yang dimaksud dengan background rate itu. Sehingga saat misalnya terjadi kasus seperti ini pada orang yang sudah divaksinasi, pertama selain juga dilihat bahwa itu tidak ada kaitannya dengan fase ketiga dan kedua, background rate, dan tentu juga dilihat kasus per kasus. Dan semakin jelas juga, bahwa kasus ini banyak terjadi pada wanita yang usia di bawah 55 tahun, sesuatu yang tidak lazim juga kalau dikaitkan dengan hal trombosis semu. Menjadi paradoks tersebut adalah ditemukannya penurunan trombosit di saat terjadinya ini, pembekuan darah, sesuatu yang agak kontradiktif. Karena trombosit menurun itu berkaitan dengan pendarahan seperti pada penyakit Demam Berdarah. Tapi dalam kasus ini terjadi penggumpalan darah, dan ini tentu harus dicari tahu dulu diduga apakah ada kaitannya dengan genetik atau reaksi imun, dan lain sebagainya. Ini yang harus digali dulu. Yang jelas pada vaksin itu sangat kecil kemungkinan. Dan Indonesia harusnya juga punya sikap yang sama. Kehati-hatian iya, namun tentu tidak bisa kita gampang mengikuti dengan apa yang dilakukan negara lain, lantas kita serta merta ikut melakukan, karena dalam situasi seperti ini kita harus berpedoman pada sains. Dan, saya kira sekarang harus segera Indonesia melakukan pemberian vaksinasi ini, termasuk AstraZeneca. Namun hal-hal lain terkait dengan AstraZeneca ini adalah dari segi komunikasi resikonya yang tidak sebaik Sinovac. Terutama sinergi yang belum memadai antara BPOM, Kemenkes, dan MUI tadi. Sehingga, masalah fatwa haram ini menjadi keluar tidak di awal. Sehingga ini tentu akan berpengaruh. Tentu ini yang harus diperbaiki untuk vaksinasi selanjutnya. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Epidemiolog Dicky Budiman: “Virus Dormant Itu Teknologi Kuno! (2)”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Di Hongkong terjadi kasus Bell’s palsy (paralisa wajah) yang bisa dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Komentar Anda? Kembali melihat semacam KIPI ini seperti yang saya sampaikan. Jadi, lihat background rate dari kasus Bell's palsy ini. Kalau bicara Bell's palsy ini belum ada penyebab pastinya. Nah, kaitan antara Bell's palsy ini dengan vaksin insidensi atau tingkat insidensi dari Bell's palsy ini antara penerima vaksin Covid-19 kurang lebih sama dengan insidensi pada populasi ini. Artinya, tidak bisa selalu dikaitkan. Karena tidak cukup kuat. Ini sama saja antara penerima vaksin dengan tidak. Jadi, bahwa vaksin ini dikaitkan dengan Bell's palsy tidak kuat. Tidak kuat alibi maupun argumentasi ilmiahnya. Dan, kalau bicara dormant atau virus yang dianggap mati kemudian hidup kembali, ini kalau dalam kaitan vaksin, itu tidak terjadi. Tidak pernah terjadi. Yang terjadi sebaliknya. Pada tahun 1960-an itu yang disebut dengan culture tragedy, itu vaksin folio yang memang dilemahkan, tapi ketika itu teknologi vaksin itu masih kuno. Masih belum memiliki standar keamanan seperti sekarang ini, sehingga vaksin-vaksin yang diberikan pada saat itu di Amerika Serikat, ternyata masih ada virus folio yang masih hidup sehingga malah menyebabkan penyakit kelumpuhan, dan bahkan, kematian. Apa yang kemudian dilakukan saat itu? Nah, sejak saat itu riset vaksin ini luar biasa. Bukan hanya sifatnya standar aman, tapi juga ekstraordinari keamanannya. Kebetulan saya pernah ada di Sekretariat Organisasi Kerjasama Islam di Jeddah dan juga yang berbasis di Ankara di Komite Kesehatannya selama beberapa tahun, sehingga terkait vaksinasi folio dan lain sebagainya, saya juga terlibat. Dan, saya salah satu yang membuat perencanaannya di negara Islam. Saat itu pun sudah kita sampaikan bahwa isu vaksin yang dilemahkan itu tidak tepat. Yang terjadi, yang disebut dengan dormant itu adalah ketika seseorang sudah terinfeksi, katakan misalnya Ebola, sekalipun setelah 4-5 tahun pun ternyata si virus ini bisa hidup lagi. Si virus ini ternyata ada yang sembunyi, dormant. Itu yang terjadi. Bagaimana dengan vaksin Covid-19? Saya gak tahu untuk yang Covid-19 ini, apakah ada yang sama ketika seseorang ada yang terinfeksi sebagaimana cacar. Nah, ini yang perlu penelitian lagi. Tapi kalau dari vaksin ini terus ada yang dormant, dari standar yang ada saat ini, sangat amat kecil. Bahwa ada orang yang terpapar setelah divaksin itu bukan dari vaksinnya. Jadi, pemahaman virus dormant atau yang dianggap mati kemudian hidup lagi itu bukan dalam vaksinnya. Tapi itu lebih misalnya orang yang disebut terinfeksi itu ada yang terinfeksi ulang atau seperti kasus Ebola itu aktif lagi, sekali lagi, kasus dalam vaksin apapun pada dekade tahun 2000-an ke sini tidak memiliki peluang seperti itu lagi karena teknologi vaksin yang sudah jauh sangat baik dibanding di era tahun 1960-an, sehingga apa yang menyebabkan orang itu terinfeksi setelah divaksin itu karena sudah tidak melakukan upaya 5T sebelum, selama, dan bahkan sesudah divaksin. Karena vaksinasi, apapun jenis vaksinnya, itu akan membutuhkan waktu setidaknya saat pertama itu 12 hari, setelah suntikan dia mulai ada respons imunitas, antibodinya mulai dibangun, itu belum optimal. Apalagi kalau Sinovac itu kan perlu 2 kali suntikan. Masih harus menunggu, sampai suntikan ke-2 baru dua mingguan. Ini yang menyebabkan kenapa terjadinya orang yang terinfeksi. Saran Anda? Jadi, ini yang saya kira harus diluruskan. Bahwa, virus dormant itu tidak tepat diterapkan teorinya pada vaksinasi dengan menggunakan virus yang dilemahkan atau dimatikan untuk saat ini. Teori itu bisa berlaku dulu saat teknologinya belum semaju seperti sekarang ini. Itu kan teknologi era 1960-an hingga 1970-an itu masih bisa, Tapi saat ini teknologi itu tak tepat, sebagaimana kalau kita bicara dalam bidang kedokteran. Saya sebagai dokter, kalau jaman dulu orang dioperasi itu banyak yang meninggal, karena penanganan atau manajemen infeksinya saat itu masih buruk. Antibiotiknya dan lain sebagainya itu belum ada. Sekarang orang dioperasi ya bisa, demam pun tidak. Karena teknologinya sudah sangat maju. Nah ini yang terjadi juga dalam perbaikan kualitas riset vaksin. Terakhir komentar saya, sangat penting bagi Indonesia dalam hal ini pemerintah (Kemenkes), memang betul, penelitian vaksin ini belum selesai. Kan nanti akan dilihat nanti pada relawan, Apakah betul respon imunitas atau antibodi yang terbentuk itu bertahan satu tahun atau tidak, jadi diperpanjang ini. Juga ini dilihat efektivitas nyatanya di dunia nyata seperti apa, termasuk juga masalah KIPI ini yang harus terus dipantau dan dilaporkan, ini penting sekali untuk menjelaskan secara ilmiah, sekali lagi, apa yang terjadi pada kasus-kasus, termasuk yang seperti tadi. Ini terinfeksi, padahal sudah divaksin. Jadi, harus dikronologiskan dengan detail seperti apa. Karena hal ini penting sekali. Bukan hanya menjelaskan oh ini bukan, tapi juga memberikan penjelasan ilmiah, termasuk ini pelajaran penting untuk program vaksinasi ke depan. (Selesai) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Sepertinya, Rakyat Sudah Abai “Bom-Boman”!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Empat sekawan seperti Denny Siregar @Dennysi, Ade Armando @adearma, Ferdinan Hutahaean @Fer, dan Eko Kuntadhi @eko_kuntadhi, langsung bersuara lantang terkait Bom Gereja Katedral Makassar yang meledak hari ini, Minggu (28/3/2021). @Dennysi mengatakan, “Kadrun kelakuannya ada2aja.. pengen maki rasanya.” @adearma menulis, “Sebuah ledakan terjadi di depan Gereja Katedral Makassar. Bom meledak sebelum pelaku masuk ke gereja. Masih tidak percaya ada Islam radikal?” @Fer menyebutkan, “Terorist terus bertumbuh karena majikan2nya terus memprovokasi.” @eko_kuntadhi mengatakan, “Gerombolan pengasong agama mulai memetik panen dari pikiran ringsek yang dijajakan.” Mereka sudah menggonggong, men-framing ledakan bom di Katedral Makassar. Padahal Kepolisian belum ada pernyataan resmi tentang pelakunya. Meski mereka tidak menyebut secara gamblang ke mana arahnya, rakyat yang kritis pasti sudah tahu! Kalau ulama atau kiai yang menjadi korbannya, dapat dipastikan, mereka ini akan silent, diam seribu bahasa! Tumben, Abu Janda tidak ada suaranya? Semoga saja dia sudah bisa sadar, sehingga tidak akan berulah lagi. Kapolda Sulsel Irjen Polisi Merdisyam sudah menyebutkan, selain pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Jalan Kajolalido Makassar, sebanyak 9 orang menjadi korban dalam ledakan tersebut dan kini dirawat di beberapa rumah sakit. Namun, Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan mengatakan, korban luka akibat bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar bertambah menjadi 14 orang. Mereka sekarang ini sedang dirawat di rumah sakit, berasal dari korban luka, ledakan bom di TKP. “Ada sebagian jemaat,” katanya. Menurutnya, pelaku diperkirakan 2 orang. Ada satu orang coba menerobos dan dihalangi pihak keamanan, sehingga tidak sampai masuk ke dalam. Jadi, “Korban dari jemaat di luar saja yang terkena ledakan dan tidak ada meninggal.” Sementara, kata Walikota Makassar Ramdhan ‘Danny’ Pomanto yang menerima laporan terkait ledakan di depan Gereja Katedral Makassar menyebut, tidak ada jemaat gereja yang menjadi korban. “Saya telepon tadi Romo, tidak ada korban di dalam gereja, ini laporan sementara dari Romo. Romo sampaikan dari dalam gereja ini tidak ada korban di dalam gereja,” kata Danny, dilansir Detik.com, Minggu (28/3/2021).\ Danny belum memastikan terkait apakah jemaat sedang melakukan kegiatan ibadah di dalam gereja saat ledakan terjadi. “Saya tidak tanya (romo) tadi, saya cuma tanya korban jiwa tadi,” ujar Danny. Jadi, berapa jumlah pelaku dan korban masih belum pasti! Yang menarik terkait ledakan bom Gereja Katedral Makassar ini adalah mengapa peristiwa itu terjadi justru ketika masyarakat sedang fokus mengikuti persidangan Habib Riziq Shihab alias HRS yang sedang berlangsung di PN Jakarta Selatan? Adakah peristiwa itu hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat dari proses persidangan HRS ini? Apalagi, setelah sidang eksepsi HRS, Menko Polhukam Mahfud MD jadi bulan-bulanan di medsos terkait perannya dalam kejadian kerumunan Bandara Soekarno-Hatta. Sebelum kedatangan HRS dari Arab Saudi pada 10 November 2020, Mahfud memberi lampu hijau bagi masyarakat yang ingin menjemputnya. Dan, lautan massa yang jumlahnya jutaan pun “mengawal” HRS hingga kediaman HRS di Petamburan. Tak hanya itu. Hari-hari ini pernyataan polisi soal 1 pelaku penembakan 6 anggota FPI yang mengawal HRS yang tewas kecelakaan, menuai kecaman dan bully-an yang bertubi-tubi dari mana-mana. Ternyata polisi penembak Laskar FPI tersebut sudah meninggal pada 4 Januari 2021 dini hari, dan baru ramai belakangan ini setelah diumumkan pada 25 Maret 2021. Polri memastikan, Elwira Priyadi Zendrato, meninggal karena kecelakaan pada 3 Januari 2021. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Rusdi Hartono mengatakan, satu dari tiga anggota Polda Metro Jaya yang berstatus terlapor kasus ‘unlawful killing’ meninggal karena kecelakaan tunggal. Sementara, 3 anggota PMJ yang berstatus terlapor tersebut pada Rabu 10 Maret 2021 telah dibebastugaskan. Menariknya lagi, ternyata nama Elwira Priyadi Zendrato berpangkat Bripka tak pernah tercatat sebagai terlapor kasus penembakan 6 Laskar PFI ini. Elwira Priadi Zendrato adalah Banit 8 Unit 5 Subdit 3 Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Beda sekali dengan 3 nama yang terdapat pada laporan 7 Desember 2020. Laporan terkait Penembakan KM-50 itu dibuat pada 7 Desember 2020 oleh: 1. Briptu Fikri Ramadhan Tawainella, dengan Saksi: 2. Bripka Faisal Khasbi Alaeya dan 3. Bripka Adi Ismanto. Laporan itu mulai terungkap pada 4 Januari 2021. Sorotan lainnya, utang yang meroket dan rencana impor beras yang membabi buta, membuat jagad medsos bersatu dan berteriak. Bahkan kebijakan sosial soal pelarangan mudik yang tak masuk akal, kontan berhasil dipatahkan oleh rakyat. Kemarin seluruh provinsi mencatat penambahan kasus baru Covid-19. KIPI merajalela dan terjadi di mana-mana dan rakyat diliputi ketakutan. Apalagi, biaya kesehatan untuk Pandemi Coronavirus sudah mulai dikurang-kurangi. Biaya Kesehatan untuk 275 juta rakyat Indonesia butuh dana Rp 800-1.000 triliun cadangan sampai akhir 2022 nanti. Bencana Ekonomi akan memakan biaya luar biasa untuk pemulihan yang menurut ramalan Bank Dunia, kontraksi ekonomi akibat pandemi ini butuh waktu pulih setidaknya 7 tahun. Kira-kira butuh biaya Rp 1.500-2.000 triliun lagi. Yang paling mengerikan bagi Presiden Joko Widodo, suara takbir sudah berkumandang di banyak pelosok negeri. Bahkan tak terkecuali para santri tradisional NU di kampung-kampung yang mengaji sambil berurai air mata setelah menyaksikan ulama dibui, dikerdilkan, dan dicaci-maki. Apalagi, di kampung-kampung basis Muhammadiyah. Rasa persatuan di kalangan rakyat yang rasional, mereka yang tidak ikut makan dana haram, dan masyarakat yang muak di tingkat dewa kepada ocehan gerombolan pendengung seperti Denny Siregar Cs, sudah kian keras mengkristal. Rasa “marah” rakyat yang tak bisa berbuat banyak melihat perilaku korup di jajaran eksekutif dan legislatif pendukung Presiden Jokowi yang korup sudah memenuhi ubun-ubun dan rawan meledak. Rezim pun ketakutan. Saling lempar tanggung jawab antara Polri dan PPATK terkait kasus pembekuan 92 rekening FPI. Terjadi “perang terbuka” antara Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Bulog, dalam kasus beras impor menambah carut-marutnya kebijakan di bidang pangan. Sampai-sampai presiden dipaksa tampil untuk menenangkan, meski kelihatan tak percaya diri. Eskalasi puncak pun terjadi. Kebocoran informasi tak terelakkan. Indonesia Leaks. Data-data pribadi para polisi-penjahat membanjiri jagad medsos. Posisi dan pengungkapan identitas para dalang yang menjadi otak Unlawful Killing kian rawan. Sontak nama dan pangkat komandan eksekutor di lapangan pun disembunyikan. Tapi, sudah keburu bocor dan diungkap TEMPO. Laporan terkait Pembantaian KM-50 pada 7 Desember 2020, yang dibuat oleh tiga bintara Polri itu bukan atas kemauan mereka sendiri. Karena di atas mereka itu ada Kepala yang memimpin Operasi Penyergapan HRS. Dia adalah AKBP Handik Zusen. Kepala Operasi yang cuci tangan dan menumbalkan 3 anggotanya untuk dijadikan tersangka Unlawful Killing. Dia menjabat Kepala Sub Direktorat Reserse Mobil Polda Metro Jaya. Kemudian fakta palsu itu pun dirancang dengan tergesa-gesa. Berkejaran dengan mastermind pembocor data kepolisian. Ternyata sandiwara kematian satu pelaku kemarin tidak mempan. Kalah cerdas dengan rakyat yang pintar dan super kritis. Martabat polisi malah kian hancur. Kepercayaan kepada Presiden Jokowi drastis melorot. Apapun pendapat para menteri dicibir dan dimentahkan. Baru terjadi sekali ini dalam sejarah Pemerintahan Indonesia seluruh anggota Kabinet tak dianggap. Dari sosok presiden, menteri, hingga partai pengusungnya, dianggap “bromocorah” negara.penghancur tatanan demokrasi yang dibangun rakyat dengan penuh kesabaran, darah, keringat, dan air mata. Utang negara sudah menumpuk. Situasi ekonomi dan sosial negara sudah genting. Perut lapar rakyat bersamaan dengan kepala panas. Kepercayaan telah musnah. Kemarahan membludak. Revolusi rawan meledak. Upaya apapun yang dilakukan Pemerintah sudah tak dipercaya oleh rakyat. Meledakkan bom di mana-mana sekaligus pun, tak akan bisa meredam suara Takbir. Perhatian rakyat tak akan teralihkan. Jangan sampai rakyat melawan, seperti di Thailand, Myanmar, Bangladesh, dan Libanon. Apalagi, rakyat sudah jenuh dengan prokes yang membatasi gerak dan suara mereka! Jangan sampai rakyat abai atas nyawa mereka hingga melawan! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pemblokiran Rekening FPI Atas Perintah Jokowi

KEPOLISIAN Republik Indonesia telah menerima laporan hasil analisa (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait 92 rekening Front Pembela Islam. Polri belum atau tidak menemukan ada dugaan kejahatan asal atau predicate crime terkait rekening itu. Alhamdulillah, jika belum menemukan uang berasal dari kejahatan atau digunakan untuk kejahatan. Syukur alhamdulillah, jika Polri menyebutkan tidak, bukan belum. Sebab, jika masih menggunakan kata 'belum' seakan-akan masih ada peluang mencari-cari asal-usul uang di rekening itu. Apalagi dikait-kaitkan dengan pendanaan teroris yang tidak masuk akal. Sebab, sebagian rekening yang dibekukan PPATK itu adalah milik pribadi, terutama rekening atas nama anak dan menantu Habib Rizieq Shihab. Bahkan, rekening atas nama Munarman yang dibekukan merupakan tempat penampungan uang pensiun ayahnya, yang digunakan untuk ibunya. Jumlahnya pun berkisar Rp 30 juta. Akan tetapi, ada yang menarik di balik pernyataan Polri yang disampaikan Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Andi Rian Djajadi, tentang 92 rekening yang dibekukan PPATK itu. Menurut Andi, penyidik Bareskrim (Badan Reserse.Kriminal) Markas Besar polri tidak pernah meminta PPATK membekukan rekening tersebut. Pembukaan kembali rekening FPI yang terblokir, kata Andi, merupakan wewenang PPATK. "Penyidik Bareskrim tidak pernah meminta pemblokiran atau pembekuan rekening tersebut kepada PPATK. Iya (pembukaan blokir wewenang PPATK)," kata Andi ketika diminta konfirmasi, Rabu, 24 Maret 2021. Padahal, sehari sebelumnya, Selasa 23 Maret 2021, PPATK menyebut kewenangan terkait pemblokiran tersebut kini sudah diserahkan sepenuhnya kepada Bareskrim Polri. Apakah 92 rekening itu akan dibuka atau tetap diblokir, hal itu menjadi wewenang Polri, bukan lagi PPATK. Kepala PPATK Dian Ediana Rae menjelaskan, pihaknya hanya menganalisis terkait fakta-fakta transaksi yang dilakukan 92 rekening terkait FPI itu. Dia menyebut PPATK tidak memiliki kewenangan menentukan rekening tersebut melanggar hukum atau tidak. "Kita hanya melihat fakta-fakta saja, karena analisis transaksi keuangan menariknya begini, hanya betul-betul melihat fakta-fakta pergerakan dana itu ke mana, dari mana datangnya, keluarnya ke mana, itu saja dipastikan. Mengenai masalah apakah uang itu benar-benar dipakai untuk sesuatu yang melanggar hukum atau tidak, itu bukan kewenangan PPATK," kata Dian kepada wartawan seusai rapat dengar pendapat, di kompleks DPR/MPR, Rabu (24/3/2021). Nah, dua institusi negara ini saling melempar tanggungjawab. Kedua institusi ini (PPATK dan Polri) masing-masing melepas tanggungjawab terhadap pemblokiran tekening bank tersebut. Akan tetapi, yang jelas PPATK tidak akan mau melakukan pemblokiran rekening di sebuah bank tanpa ada permintaan dari institusi hukum, yaitu Polri, Kejaksaan RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika sebuah institusi mengajukan pemblokiran, maka PPATK memerintahkan sebuah bank memblokir rekening yang dicurigai uangnya berasal dari kejahatan atau digunakan untuk kejahatan. Misalnya, dananya berasal dari hasil kejahatan pencucian uang atau money laundry. Jadi, ada alurnya. Sebab, PPATK pun harus memerintahkan pihak bank. Tidak serta-merta lembaga tersebut membekukan rekening seseorang tanpa ada permohonan dari institusi tertentu, terutama lembaga penegak hukum. Andi Rian Djajadi juga benar dan pintar mengelak. Benar bukan penyidik yang meminta pemblokiran itu. Sebab, kalau penyidik Bareskrim Mabes Polri yang mengajukan, jelas akan ditolak PPATK. Permohonan pemblokiran sebuah rekening yang mencurigakan harus dilakukan secara resmi. Tandatangan yang memohon minimal selevel Sekretaris Jenderal (Sekjen) atau pejabat Eselon Satu. Jadi, jika dianalisa, maka dalam kasus pemblokiran 92 rekening yang terkait dengan FPI dipastikan merupakan permohonan Mabes Polri, bukan penyidiknya. Tidak mungkin permohonan pemblokiran itu diajukan KPK, Kejaksaan Agung dan institusi hukum yang berada di bawah Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Tidak mungkin juga Badan Intelijen Negara (BIN) mengajukan permohonan pemblokiran tersebut. Tidak mungkin juga Mahfud MD sebagai Menko Polhukam mengajukannya. Sebab, Mahfud bertugas mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan menteri yang berada di bawahnya. Tidak mungkin Mahfud melakukan hal itu, karena ia 'orang baik' yang selalu 'mengedepankan' hukum. Tidak mungkin juga permintaan blokir 92 rekening itu datang dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Juga tidak mungkin dari Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto. Paling memungkinkan dari Menteri Koordinator Maritim.dan Investasi, Luhut Panjaitan. Sebab, yang satu ini sering disebut "Menteri Segala Urùsan." Tapi, itu pun tidak mungkin, karena selama ini FPI tidak memiliki usaha di bidang maritim maupun lainnya. Kalaupun FPI memiliki investasi ya kecil-kecil, kategori Udaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Misalnya, membuka toko minyak wangi non alkohol di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lalu, siapa yang meminta pemblokiran 92 rekening itu? Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga tidak mungkin. Sebab, Pak Kiai sangat sayang sama umat Islam, termasuk FPI. Mungkinkah permintaan pemblokiran 92 rekening tersebut dari Presiden Joko Widodo? Sangat...sangat mungkin. Setidaknya, sebelum diblokir, Jokowi sudah mendapatkan laporan atas hal tersebut. Paling tidak, Jokowi mengetahui rencana pembekuan rekening tersebut.**

Kapitra Ampera Berpikiran Keruh, Curiga Bom Makassar Terkait Sidang Online

by Asyari Usman Medan, FNN - Kepolisian RI memastikan bahwa bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar terkait dengan Jemaah Ansharud Daulah (JAD). Itu aritnya, tidak terkait dengan FPI, Habib Rizieq Syihab (HRS) maupun sidang online (daring). Kemarin, dalam siaran langsung (live) salah satu stasiun televisi nasional, mantan pengacara HRS yang juga politisi PDIP, Kapitra Ampera (KA), meminta agar polisi mendalami adanya pengaruh sidang online HRS dengan bom bunuh diri itu. Menurut Polisi, bom bunuh diri tsb terkait dengan kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Kata Kapitra, banyak yang memprotes sidang online HRS. Termasuk di Makassar. Kapitra curiga seperti itu sah-sah saja. Yang menjadi masalah adalah isi kepala Kapitra yang memicu kecurigaan dia itu. Orang ini hanya mengedepankan pikiran keruh di kepalanya. Miris melihat cara dia memposisikan diri agar terlihat oleh Presiden Jokowi. Tentu publik masih ingat ketika Kapitra menyodorkan dirinya kepada Jokowi untuk diangkat menjadi Jaksa Agung. “Saya jadi jaksa agung sajalah,” kata Kapitra kepada Suara-com pada 30 April 2019. Ingin sekali dia menjadi orang besar, masuk ke kabinet. Sebaiknya, Jokowi kasihlah kesempatan kepada Kapitra untuk menduduki kursi menteri. Supaya dia tidak bermimpi terus. Setengah tahun saja pun, lumayanlah. Ucapan Kapitra yang cenderung asal sebut tentang bom di Makassar, sangat luar biasa. Lupa diri beliau. Padahal, dia sangat kenal dengan karakter dan garis perjuangannya HRS. Kapitra hafal bahwa HRS adalah pribadi yang taat hukum. Tidak suka dengan cara-cara pengecut. Politisi PDIP ini tahu HRS akan melakukan cegah kemungkaran ketika jelas ada pelanggaran hukum yang berlangsung semena-mena. Seperti penjualan minuman keras tanpa izin atau rumah prostitusi. Untung saja Polisi tidak mengikuti jalan pikiran Kapitra tentang kemungkinan adanya kaitan bom bunuh diri Katedral dengan sidang online HRS. Semoga saja Kapitra tidak lagi ceroboh.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Bom Yang Tidak Dianggap

SETELAH sidang eksepsi Habib Rizieq Shihab (HRS), Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjadi bulan-bulanan di media sosial soal perannya dalam kejadian kerumunan bandara Sukarno-Hatta, saat kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) dari pengasingan di Tanah Suci. Pernyataan polisi mengenai satu pelaku penembakan 6 Mujahid anggota laskar FPI yang mati kecelakaan, menuai kecaman dan bullyan yang bertubi-tubi. Utang yang meroket dan rencana impor beras yang membabi-buta, membuat jagad medsos bersatu dan berteriak. Bahkan, kebijakan sosial soal pelarangan mudik yang tak masuk akal, kontan berhasil dipatahkan oleh rakyat. Kemarin seluruh provinsi mencatat penambahan kasus baru Covid. Bahkan KIPI merajalela di mana-mana, dan rakyat diliputi ketakutan. Yang paling mengerikan bagi rezim, suara Takbir sudah berkumandang di banyak pelosok negeri. Bahkan, tak terkecuali para santri tradisional NU di kampung-kampung mengaji sambil berurai air mata menyaksikan ulama dibui, dikerdilkan dan dicaci-maki. Di kampung Muhammadiyah apalagi. Rasa persatuan rakyat yang rasional, mereka yang tak ikut makan dana haram, dan masyarakat yang muak tingkat dewa kepada ocehan gerombolan buzzeRp, sudah kian keras mengkristal. Rasa jijik kepada rezim Jokowi yang korup sudah memenuhi ubun-ubun dan rawan pecah. Rezim pun ketakutan. Saling lempar tanggung jawab antara Polri dan PPATK dalam kasus pembekuan 92 rekening FPI juga mencuat. Terjadi perang terbuka antara Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Bulog, dalam kasus beras impor. Sampai-sampai presiden dipaksa tampil untuk menenangkan, meski kelihatan tak percaya diri. Tampak jelas bahwa ia pun tak percaya kepada ucapannya sendiri. Eskalasi puncak pun terjadi. Kebocoran informasi tak terelakkan. Indonesia leaks. Data-data pribadi para polisi-penjahat membanjiri jagad medsos. Posisi dan pengungkapan identitas para dalang yang menjadi otak Unlawful Killing kian rawan. Sontak komandan eksekutor lapangan pun disembunyikan. Lalu fakta palsu dirancang dengan tergesa-gesa. Berkejaran dengan mastermind pembocor data kepolisian. Ternyata sandiwara kematian satu pelaku kemarin tak mempan. Perancang berotak abal-abal yang di dalam darahnya mengalir duit haram, kalah pintar dengan rakyat yang pintar dan super kritis. Martabat polisi malah kian hancur. Kepercayaan kepada Jokowi drastis melorot. Apapun pendapat para menteri dicibir dan dimentahkan. Baru terjadi sekali ini di dalam sejarah pemerintahan Indonesia, seluruh anggota kabinet tidak dianggap. Dari sosok presiden, menteri, hingga partai pengusungnya, dianggap bromocorah negara. Perusak dan penghancur tatanan demokrasi yang dibangun rakyat dengan penuh kesabaran, darah, keringat dan air mata. Situasi ekonomi dan sosial negara sudah genting. Perut lapar berpasangan dengan kepala panas. Kepercayaan telah musnah. Kemarahan membludak di mana-mana. Revolusi rawan meledak. Upaya apapun yang dilakukan sudah tak dipercaya oleh rakyat. Kalian ledakkan puluhan bom sekaligus pun, tidak akan meredam suara Takbir. Perhatian rakyat tak akan teralihkan. Perlawanan sedang dalam perjalanan menuju puncaknya..!

Maaf, Pernyataan Jokowi Soal Impor Beras Bohong!

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Dalam tayangan video yang diunggah akun YouTube Sekretariat Negara hari Jumat (26/3/2021), Jokowi meminta semua pihak menghentikan perdebatan atas kebijakan impor beras. "Perdebatan soal isu tersebut justru bisa berdampak buruk terhadap harga gabah dari petani," kata Jokowi. Dalam video itu, Jokowi menyatakan bahwa kebijakan ini masih sama seperti tiga tahun terakhir yang mana Indonesia tidak mengimpor beras. Pernyataan ini sama sekali tidak benar alias bohong. Untuk pejabat sekelas Presiden seharusnya hati-hati dalam membuat pernyataan, sebelum berbicara ke publik seharusnya bisa check and recheck data secara akurat. Sebelum membuat pernyataan resmi, konfirmasi dulu kepada para menteri dan atau pejabat terkait. Memang tidak sekali ini saja, Presiden Jokowi membuat kesalahan. Pernyataan lain yang blunder dari seorang presiden yang sampai sekarang tidak dilupakan masyarakat adalah: "...Di kantong saya ada uang Rp 11.000 triliun". Pernyataan ini sudah menjadi bahan olok-olok dan cibiran masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan utang Indonesia yang terus membengkak. Demikian juga pernyataan Jokowi soal impor beras. Di jagat media sosial, netizen dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyangkal pernyataan Jokowi. Kemudian kelompok kritis tersebut menyajikan sejumlah data dan grafik sebagai bukti bahwa dalam tiga tàhun terakhir ini kegiatan impor beras tetap jalan. “Hampir tiga tahun Indonesia tidak mengimpor beras? Tahun 2018 impor beras 2,25 juta ton, tahun 2019 impor 444,5 ribu ton,” tulis Institut Ecosoc Rights, Sabtu (27/3/2021). Belajar dari sejumlah kejadian selama ini, masyarakat hendaknya tidak cepat terpukau atau percaya begitu saja dengan pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar polemik soal Impor Beras dihentikan. Sepintas pernyataan Jokowi tersebut seolah tegas, meminta semua pihak untuk menghentikan semua perdebatan tentang impor beras. Padahal, pernyataan Jokowi ini sesungguhnya justru memunculkan kebohongan baru di seputar impor beras. Bagaimanapun semua aktivitas ekspor impor tercatat di Badan Pusat Statistik (BPS) termasuk data impor beras. Data BPS ini tidak bisa dibantah oleh siapapun. Rente Ekonomi Lapisan masyarakat kritis sebenarnya sudah memahami bahwa dalam setiap kegiatan impor pangan termasuk beras, selalu ada pihak-pihak yang mendapat keuntungan. Kegiatan rente ekonomi ini telah berjalan puluhan tàhun, rezim berganti namun rente ekonomi tetap berjalan sampai sekarang. Pelakunya adalah kalangan swasta yang memiliki modal besar kemudian berkelindan dengan oknum para pejabat pembuat kebijakan di sektor pangan. Keuntungan dari rente ekonomi impor pangan ini bukan hanya dinikmati oknum pejabat pemerintah tetapi juga uangnya mengalir ke para elite parpol. Parpol yang belakangan terlihat keras menentang rencana impor beras adalah PDIP. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengambil langkah yang tak sesuai dengan visi berdiri di atas kaki sendiri atau berdikari Presiden Jokowi. Langkah yang dimaksud yakni rencana Lutfi mengimpor beras dan garam. "Pak Jokowi punya kebijakan Berdikari. Tapi kemudian dipotong di tengah jalan oleh Menteri Perdagangannya," kata Hasto dalam webinar 'Impor Beras dan Garam' yang digelar oleh Repdem, Kamis (25/3) sebagaimana dikutip portal berita CNN Indonesia. Pernyataan heroik Sekjen PDIP ini seolah ingin menutup fakta tentang kegiatan impor pangan selama Jokowi berkuasa. Masyarakat sekarang tidak bodoh dan tidak gampang dibohongi para elite parpol. Kerasnya penentangan PDIP terhadap rencana impor beras diduga karena ada yang belum beres soal pembagian keuntungan dari impor beras. Sekali lagi saya tekankan bahwa ujung perdebatan soal beras impor beras ini lebih disebabkan soal pembagian hasil keuntungan impor beras yang belum jelas. Coba perhatikan kalimat bersayap dari pernyataan Jokowi soal Impor beras. Jokowi menegaskan hingga Juni 2021 tidak ada beras impor yang masuk ke Tanah Air. Artinya, setelah Juni tàhun ini ada kemungkinan impor beras tetap mengalir ke Tanah Air walaupun stok di Bulog mencukupi. Kalau pernyataan Presiden ini dibuat lugas, begini kira-kira: "Kalau pembagian keuntungan antara Partai Golkar dan PDIP sudah disepakati, silahkan keran impor beras dibuka lagi". Seperti diketahui, ide awal untuk mengimpor beras datang dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang nota bene Ketua Umum Partai Golkar. Kemudian ide ini langsung disetujui Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Lalu Mendag memerintahkan Bulog untuk merealisasikan rencana tersebut. Namun, rupanya Dirut Perum Bulog Budi Waseso atau Buwas, tidak mau membebek begitu saja sebab rencana tersebut bertolak belakang dengan kondisi riil perberasan saat ini. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR tanggal 15 Maret 2021, Buwas membeberkan kondisi perberasan. Saat ini Perum Bulog masih memiliki stok beras impor dari pengadaan tahun 2018. Dari total pengadaan beras sebanyak 1.785.450 ton, masih tersisa 275.811 ton beras belum tersalurkan. Dari jumlah tersebut, 106.642 ton di antaranya merupakan beras turun mutu. "Kami sudah lapor ke presiden saat itu, beras impor kami saat Maret tahun lalu (stoknya) 900 ribu ton sisa dari 1,7 juta ton, sekian juta ton beras impor, jadi sudah menahun kondisinya," kata Buwas. Di depan anggota DPR, Buwas juga merasa heran dengan rencana impor beras ini sebab dalam rapat terbatas yang diikuti sebelumnya tidak dibahas mengenai rencana tersebut. Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menilai bahwa kebijakan impor satu juta ton beras sangan politis. Dia bahkan mencurigai ada pejabat yang ingin rente dengan memaksakan adanya impor beras di tengah produksi padi petani yang meningkat. Sementara itu Kementerian Pertanian mencatat, sebanyak 459 kecamatan yang tersebar di 85 kabupaten mengalami kondisi harga gabah yang anjlok. Sebagaimana diberitakan portal berita Kompas, harga gabah di daerah-daerah tersebut berada di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang sebesar Rp 4.200 per kilogram, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020. "Dikonfirmasi dengan data-data di lapangan, memang harga gabah sudah turun menjadi di bawah HPP. Harga jatuh terjadi di 85 kabupaten, itu gambaran singkat perberasan," ujar Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi, Kamis (25/3/2021). Perdebatan soal rencana impor 1 juta ton beras mungkin sekarang sudah reda tetapi harga gabah di tingkat petani sudah terlanjur anjlok akibat pernyataan pejabat yang asal bunyi. Pernyataan soal impor beras ditengah panen raya secara psikologis telah mempengaruhi harga gabah/beras di pasaran. Bagi para elite, impor pangan tujuannya menikmati keuntungan dari rente ekonomi, sebaliknya bagi rakyat kecil terutama petani impor pangan merupakan malapetaka. *** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.