ALL CATEGORY
Masa Depan Bangsa Hancur di Tangan Oligarki
OLIGARKI (oligarchy) adalah struktur kekuasaan yang dipegang oleh segelintir orang. Mereka itu bisa orang terdidik, orang kaya, korporasi, tokoh politik, dan pemimpin militer. Oligarki yang berkuasa di sebuah negara bisa saja berbentuk koalisi dari berbagai latar belakang tersebut. Indonesia adalah contoh yang sempurna tentang kekuasaan oligarki. Yang berkuasa adalah kombinasi antara korporasi, politisi, dan penyandang pangkat bintang. Kini merekalah yang mengatur negara ini. Apakah ada masalah dengan kekuasaan oligarkis? Tergantung kualitas moral dan mental individu atau para indvidu yang memegang kekuasaan oligarki itu. Jika individu-individu tertempa di tengah kerakusan, ketamakan, keberingasan dan keegoisan, maka akan muncullah oligarki yang destruktif. Mereka akan berperilaku gegabah dan tak peduli dengan dampak buruk jangka panjang, terhadap semua aspek kehidupan. Bangsa dan negara menjadi berantakan di tangan mereka. Semua mereka bikin hancur, mulai dari perekonomi, lingkungan hidup, rajut sosial, tatanan politik pasti akan entang-perenang. Semua amburadul di tangan oligarki yang berideologi kerakusan. Sebaliknya, para individu pemegang kekuasaan oligarkis yang tumbuh dengan latarbelakang madani, rata-rata mereka akan menghasilkan suasana yang konstruktif. Kekuasaan oligarki akan memberikan dampak positif terhadap semua aspek kehidupan. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara ini sedang dikuasai oleh oligarki? Apakah oligarkinya berpikiran dan berperilaku membangun atau menghancurkan? Jika dilihat dari situasi politik sebagai salah satu barometer penyelenggaraan kekuasaan, sudah sangat jelas oligarki-lah yang mengendalikan para penguasa. Baik itu penguasa eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka juga bisa membeli simpul-simpul kekuasaan seperti partai-partai politik, ormas-ormas yang memiliki pengaruh besar maupun ormas-ormas yang hadir hanya sebagai benalu. Bambang Soesatyo, yang sekarang duduk sebagai ketua Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) pernah mengatakan bahwa satu parpol bisa dibeli seharga Rp1.000.000.000.000 (satu triliun rupiah) saja. Sangat murah dan sangat hina. Artinya, untuk mendapatkan kekuasaan penuh, maka koalisi oligarki hanya perlu mengeluarkan duit sekitar Rp15 triliun. Dengan dana sebesar itu, Indonesia langsung dalam genggaman. Cash and carry. Itu dari sisis politik. Kalau dilihat dari aspek ekonomi, maka kekuasaan oligarki semakin jelas lagi. Sekitar 30-an grup bisnis saja di koalisi ologarki sudah sejak lama menguasai perekonoamian negara ini. Mereka juga menguasai puluhan juta hektar lahan perkebunan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa oligarki Indonesia adalah segelintir orang yang berpikir, berencana, dan bertindak menghancurkan rakyat dan negara. Mereka adalah oligarki jahat. Bisakah Indonesia lepas dari genggaman oligarki? Bisa, kalau para pemimpin formal dan informal di negara ini memiliki visi tentang masa depan anak-cucu, masa depan bangsa, masa depan negara. Tidak akan bisa lepas, kalau mereka hanya berpikir pendek. Hanya berebut kenikmatan hari ini untuk diri sendiri saja. Celakanya, mereka yang bervisi pendek itulah yang menguasai Indonesia. Mereka puas dengan uang triliunan rupiah di rekening bank. Mereka terus saja berpura-pura memperjuangkan rakyat. Padahal, mereka menipu rakyat. Tidak hanya menipu, mereka sekaligus menyerahkan rakyatnya kepada oligarki rakus untuk diperbudak secara terus-menerus. Anda mungkin sering mendengar tentang Mahathir Mohamad dan para pemimpin puak Melayu lainnya yang berhasil menjadikan bumiputra (pribumi) lebih kuat dan lebih mampu bersaing. Mahathir mengasuh dan mengutamakan Melayu. Dia punya visi tentang rakyat pribumi Malaysia. Di Indonesia, istilah “pribumi” malah tidak boleh dipakai lagi. Padahal, “orang lain” sangat gencar membangun dan memperkuat kepribumian mereka sendiri. Kepribumian orang yang bukan pribumi, semakin solid. Semakin dalam tancapan kekuasaan ekonomi yang kemudian memperkuat penguasaan mereka di pentas politik. Mahathir tidak bisa dikuasai oleh para taipan. Dia paham betul tentang bahaya yang mengancam rakyat jika oligarki taipan diberi ruang. Di negara Pancasila ini, kita hanya bisa menyaksikan kehancuran bangsa di tangan oligarki. **
Audiensi Jokowi & TP3: Komitmen dan Prospek Penuntasan Kasus Pembunuhan 6 Laskar FPI
Oleh Marwan Batubara (Badan Pekerja TP3) Jakarta, FNN - Setelah berproses lebih sebulan, akhirnya audiensi Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Laskar FPI (TP3) dengan Presiden Jokowi terlaksana Selasa, 9 Maret 2021, di Istana Negara, Medan Merdeka Timur, Jakarta. Perwakilan TP3 adalah M. Amien Rais, Abdullah Hehamahua, Muhyidin Junaedi, Marwan Batubara, Firdaus Syam, Wirawan Adnan dan Ansufri Sambo. Sedangkan Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam Mahfud MD dan Mensekneg Pratikno. Proses dimulai dengan surat TP3 kepada Presiden Jokowi 4 Februari 2021 yang intinya berisi keinginan TP3 beraudiensi guna membuka jalan bagi penyampaian masukan dan temuan-temuan sejujur-jujurnya. TP3 menyatakan ingin ikut berperan mengawal penuntasan kasus pembunuhan enam laskar FPI, setelah melihat adanya beberapa versi temuan yang berkembang di masyarakat yang cenderung berat sebelah. TP3 menuntut agar kasus tersebut diselesaikan melalui proses hukum yang berjalan adil, objektif dan transparan. Dua minggu berselang, karena sangat confidence dengan sikap dan langkah-langkah yang akan diambil menangani kasus pembunuhan tersebut, Presiden tampaknya tidak merasa perlu menjawab langsung surat TP3. Presiden, melalui Mensekneg, memerintahkan Kemenko Polhukam membalas surat TP3. Kemenko Polhukam, melalui Sekretaris Kemenko, kemudian menjawab surat TP3 tertanggal 4 Februari 2021, melalui surat No.B-583/HK.00.00/2021 pada 25 Februari 2021. Surat Kemenko Polhukam esensinya berisi sikap pemerintah yang sangat yakin dengan laporan penyelidikan Komnas HAM yang dinyatakan sebagai lembaga “independent”. Pemerintah telah berkomitmen menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM. Dinyatakan, jika TP3 memiliki temuan lain dapat disampaikan kepada Bareskrim Polri. Jika TP3 mempunyai laporan tertulis, dipersilakan dikirim ke Kantor Kemenko dalam seminggu setelah surat diterima. Kemenko bersedia mempertimbangkan diadakannya pertemuan, jika TP3 menganggap ada hal yang perlu didiskusikan. Memperhatikan sikap pemerintah dan jawaban Kemenko Polhukam, untuk sementara TP3 menyimpulkan Presiden Jokowi memang tidak berkenan beraudiensi. Padahal di sisi lain, TP3 sangat yakin laporan Komnas HAM yang menjadi rujukan pemerintah menuntaskan kasus, berisi rekomendasi yang bias dan tidak kredibel. Karena itu, pada 4 Maret 2021, TP3 kembali bersurat kepada Presiden, dengan tembusan kepada Menko Polhukam dan Mensekneg. Dalam hal ini, TP3 tidak merasa perlu kembali meminta kesempatan audiensi. Kali ini surat TP3 hanya berisi 2 paragraf. Pertama, berupa ucapan terima kasih atas jawaban Presiden, meskipun dilakukan melalui Kemenko. Kedua, berupa pernyataan bahwa Presiden dianggap unwilling and unable menuntaskan kasus pembunuhan ini. Isi lengkap paragraf kedua sbb: Dengan tanggapan tersebut kami meyakini bahwa Presiden Republik Indonesia telah menunjukkan sikap yang tidak berkenan dan tidak mampu (unwilling and unable) untuk menuntaskan kasus pembuhunan tersebut yang menurut pengamatan dan keyakinan kami merupakan Pelanggaran HAM Berat. Kami tetap akan melakukan perjuangan untuk memperoleh keadilan bagi para korban sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang yang berlaku. Setelah 4 hari surat bertanggal 4 Maret 2021 terkirim, pada 8 Maret 2021 TP3 "dikejutkan" oleh undangan dari Sekretariat Kepresidenan. Maka terjadilah audiensi antara Presiden Jokowi dengan TP3 pada 9 Maret 2021. TP3 tidak ingin berspekulasi, mengapa akhirnya Presiden berkenan beraudiensi. Bagi TP3 yang lebih penting terbuka kesempatan, dan disaksikan pula oleh publik, untuk menyampaikan masukan dan fakta-fakta hukum bagi penuntasan kasus. Guna membuat pertemuan berjalan efektif, efisien, bebas basa-basi, dan pesan penting tersampaikan dengan seksama, TP3 memang telah mempersiapkan dua tulisan untuk dibacakan saat audiensi, yaitu kata pengantar dan pernyataan sikap. Karena itu, pertemuan hanya berlangsung sekitar 20 menit (ada yang menyebut 15 menit). Bagi TP3, yang penting masukan telah tersampaikan. Sehingga durasi pertemuan yang singkat bukan soal penting yang perlu dibahas. Kata pengantar dibacakan Amien Rais berisi peringatan Allah SWT dalam Al-Qur’an kepada ummat manusia perihal pembunuhan dan ancaman hukuman terhadap pelakunya sbb: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena orang itu berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh umat manusia. Dan barang siapa menyelamatkan kehidupan seseorang, maka seakan-akan dia telah menyelamatkan kehidupan seluruh umat manusia (Surah Al-Maidah, Ayat 32). Dan barang siapa membunuh seorang Beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahanam dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya (Surah An-Nisa, Ayat 93). Amien Rais menyatakan atas firman Allah SWT dalam Al-Qur’an di ataslah, TP3 dibentuk dan berusaha sesuai kemampuan untuk ikut berperan menuntaskan kasus. Adapun esensi pernyataan sikap TP3 yang dibacakan Marwan Batubara adalah sbb: TP3 memiliki keyakinan bahwa 6 laskar yang merupakan anak-anak bangsa, telah dibunuh secara kejam dan melawan hukum (extra judicial killing) oleh aparat negara. POLRI memang telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Selain itu, Komnas HAM juga menyatakan telah terjadi pelanggaran pidana biasa. Akan tetapi temuan TP3 menyatakan pembunuhan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu TP3 menganggap kasus ini masih jauh dari penyelesaian yang sesuai dengan azas keadilan dan kemanusiaan sesuai Pancasila dan UUD 1945. TP3 mendesak pemerintah dengan dukungan lembaga-lembaga terkait lainnya untuk memproses kasus pembunuhan ini sesuai dengan ketentuan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. TP3 juga mendesak agar kasus tersebut segera diselesaikan secara tuntas, transparan dan berkeadilan, agar tidak menjadi warisan buruk dari pemerintahan ini. Sebagai tanggapan, Presiden Jokowi menyatakan pemerintah telah meminta Komnas HAM melakukan penyelidikan tentang apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan pemerintah dalam peristiwa pembunuhan enam laskar FPI. Presiden menyatakan siap menerima masukan-masukan dari TP3. Presiden juga berjanji menjamin penuntasan kasus secara transparan dan berkeadilan. Menimpali tanggapan Presiden, Mahfud MD juga mempersilahkan TP3 memberi masukan berdasar bukti bukan berdasar keyakinan. TP3 bersyukur telah berkesempatan mengingatkan penguasa tentang adanya Allah SWT, firmanNya dan hidup setelah mati. Dengan itu, TP3 berharap pemerintah konsisten menjadikan Pancasila sebagai pedoman untuk mengatur kehidupan dan menyelenggarakan negara dalam berbagai bidang, termasuk penegakan hukum dalam kasus laskar FPI. Pesan TP3, azas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil Beradab dalam Pancasila, harus benar-benar diwujudkan dalam dunia nyata, bukan sekedar slogan kosong tanpa makna. Presiden Jokowi sudah sering mengucapkan “Saya Pancasila”. Mari kita menanti konsistensi ucapan dengan perbuatan, terutama langkah yang akan diambil pemerintah dalam proses hukum penuntasan kejahatan kemanusiaan tersebut. TP3 juga telah menyatakan perbedaan sikap dengan tegas dan terbuka atas temuan dan rekomendasi Komnas HAM, yang menyatakan pembunuhan tersebut sebagai pelanggaran HAM biasa. Bagi TP3, laporan Komnas HAM bersifat bias, tidak objektif, tidak konsisten antara fakta-fakta hukum dengan rekomendasi, sehingga tidak kredibel. TP3 menganggap pembunuhan sistemik, sadis, dan sarat penganiayaan tersebut adalah pelanggaran HAM berat yang harus diproses sesuai UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Tampaknya pemerintah cenderung memproses penuntasan kasus ini sesuai rekomendasi Komnas HAM. Bagaimana prospek penuntasan kasus?Apakah sikap pemerintah akan berubah setelah kelak menerima masukan dari TP3? TP3 dan rakyat tidak tahu. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa-lah yang tahu. Yang jelas, pemerintah telah berjanji secara terbuka akan menerima masukan TP3 dan akan menuntaskan kasus pembunuhan tersebut secara adil dan transparan sesuai peraturan berlaku. Dalam waktu dekat, TP3 akan datang kepada pemerintah dengan bukti-bukti dan analisis komprehensif, yang akan dituangkan dalam buku putih, bukan dengan “keyakinan” seperti yang disebutkan Mahfud MD. Semoga tulisan ini dapat memberi pemahaman bagi anak-anak bangsa, pencinta NKRI serta pendamba tegaknya hukum dan keadilan di bumi Pancasila. Semoga rakyat memahami apa yang terjadi dan bagaimana upaya yang dilakukan TP3 selama ini, sehingga ke depan berkenan untuk bergabung melakukan advokasi berkelanjutan secara bersama-sama. TP3 dan rakyat tentu ingin Presiden Jokowi konsistensi dengan komitmen yang dibuat, agar prospek penuntasan kasus menjadi lebih jelas ke arah tegaknya kemanusiaan dan keadilan.[]
Vaksin Covid Astra-Zeneca Bikin Polemik, Indonesia Tetap Pakai?
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sebuah media Italia Ilmessaggero.it, Kamis (11 Marzo 2021) memberitakan, Denmark menghentikan penggunaan Vaksin AstraZeneca karena ditemukan kasus serius pembekuan darah pada pasien setelah penyuntikan vaksin AstraZeneca. Diberitakan, Otoritas Kesehatan Nasional Denmark telah menangguhkan pemberian vaksin AstraZeneca sebagai tindakan pencegahan setelah melaporkan beberapa kasus pembekuan darah yang serius. Otoritas Denmark tak mengungkap berapa banyak laporan pembekuan darah yang ada, baik yang ada di Denmark ataupun negara lain. Stockholm hanya menuturkan, laporan ini tidak bisa diremehkan dan harus ditindak dengan serius. Dalam keterangan persnya, Otoritas Kesehatan Nasional Denmark sendiri sedang melakukan penyelidikan pada kasus-kasus ini untuk menetapkan apakah ada kaitannya dengan vaksinasi tersebut. Menurut Direktur Otoritas Kesehatan Nasional, Soren Brostroem, pihaknya berada di tengah-tengah program vaksinasi terbesar dan terpenting dalam sejarah Denmark. Saat ini Otoritas Kesehatan Nasional membutuhkan semua vaksin yang bisa didapatkan. Oleh karena itu, menghentikan sementara salah satu vaksin bukanlah keputusan yang mudah. Tetapi justru karena Denmark memvaksinasi begitu banyak, maka pihaknya juga harus segera merespons ketika menyadari kemungkinan efek samping yang serius. “Kami perlu mengklarifikasi ini sebelum kami bisa terus menggunakan vaksin AstraZeneca,” kata Soren Brostroem. Tak lama setelah Denmark, Norwegia dan Islandia juga menghentikan penggunaan vaksin sebagai tindakan pencegahan hingga ada pemberitahuan lebih lanjut. Siaran pers perusahaan AstraZeneca mengatakan, pihaknya “mengetahui” keputusan pihak berwenang Denmark untuk menangguhkan pemberian vaksin Covid-19, menyusul laporan efek samping obat tersebut. “Keselamatan pasien adalah prioritas tertinggi AstraZeneca. Regulator memiliki standar yang jelas dan ketat mengenai kemanjuran dan keamanan untuk menyetujui obat baru dan ini juga termasuk vaksin Covid-19 dari AstraZeneca,” tulis perusahaan farmasi Anglo-Swedia itu. Perusahaan menyebutkan, keamanan vaksin telah dipelajari secara ekstensif dalam uji klinis Fase III dan data mengkonfirmasi bahwa vaksin secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Italia bukan satu-satunya negara yang, menurut informasi yang dirilis European Medicines Agency (EMA, Badan Farmasi Eropa), telah menerima vaksin AstraZeneca batch ABV5300, yang sedang diteliti terkait kematian yang ada di Austria, kasus emboli paru, dan dua laporan tromboembolitik. Sementara evaluasi Komite Ema Prac, yang menangani farmakovigilans menambahkan, badan UE menjelaskan bahwa sebanyak 1 juta dosis tersebut telah menjangkau 17 negara: Austria, Bulgaria, Siprus, Denmark (yang menangguhkan vaksinasi dengan AstraZeneca), Estonia , Prancis, Yunani, Islandia, Irlandia, Latvia, Lituania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Spanyol, dan Swedia. EMA menjelaskan, setelah Austria, 4 negara lain – Estonia, Lithuania, Latvia, Luksemburg – telah menangguhkan batch tunggal ini sebagai tindakan pencegahan, pada tahap penyelidikan sedang dilakukan. Prac akan melanjutkan penilaiannya “dari setiap potensi masalah dengan lot, serta peninjauan peristiwa tromboemboli dan kondisi terkait”. EMA meyakinkan, yang kemarin melaporkan, pandangan pertama dari data oleh Prac tidak menunjukkan masalah spesifik. Dengan lot dan tak ada “indikasi bahwa vaksinasi telah menyebabkan kondisi ini, yang tidak ada sebagai efek samping dari vaksin ini”. Menyusul pelaporan beberapa kejadian merugikan yang serius, bersamaan dengan pemberian dosis milik batch lain (ABV2856) dari vaksin anti Covid-19 AstraZeneca, Badan Obat Italia AIFA telah memutuskan untuk melarang penggunaan lot ini secara nasional. Itu dilakukan sebagai tindakan pencegahan untuk mengeluarkan larangan penggunaan lot ini di seluruh wilayah nasional dan berhak untuk mengambil tindakan lebih lanjut, jika perlu, ini juga dalam koordinasi yang erat dengan EMA, Badan Farmasi Eropa. Untuk saat ini, memang tak ada hubungan sebab akibat antara pemberian vaksin dan kejadian ini. AIFA melakukan semua pemeriksaan yang diperlukan, memperoleh dokumentasi klinis dalam kerjasama erat dengan NAS dan otoritas yang kompeten. Sampel dari lot ini akan dianalisis oleh Istituto Superiore di Sanità. AIFA juga akan segera mengkomunikasikan “informasi baru yang harus tersedia”. Penangguhan batch ini dilakukan setelah terjadi kematian yang mencurigakan. Sebuah kasus yang dicurigai, terkait dengan keputusan AIFA untuk melarang penggunaan dosis batch ABV2856 dari vaksin AstraZeneca di wilayah nasional setelah ada beberapa “kejadian merugikan yang serius”, seperti dilaporkan di Sisilia. Seorang tentara yang bertugas di Augusta (Sr), Stefano Paternò, 43, berasal dari Corleone, tetapi penduduk di Misterbianco (Ct) meninggal Rabu (10/3/2021) pagi karena serangan jantung di rumahnya. Sehari sebelumnya tentara tersebut telah menjalani vaksin dosis pertama dari batch yang sama yang dirujuk AIFA. Dalam kasus ini Jaksa Syracuse telah membuka penyelidikan dan memerintahkan otopsi. Pada hari-hari ini, berita mengkhawatirkan telah beredar di Astrazeneca: seorang perawat tewas di Austria (dan satu lagi dirawat di rumah sakit), dan seorang tentara Italia yang meninggal setelah divaksin. Saat ini tidak ada berita resmi tentang korelasi antara vaksinasi dan kematian. Tapi, masih banyak orang yang mengeluhkan efek samping yang sangat berat akibat dosis Astrazeneca. Menteri Denmark Magnus Heunicke sendiri merinci, di Twitter, bahwa belum jelas apakah masalah ini terkait dengan vaksin. Pihaknya membutuhkan investigasi dan wawasan. Sementara Wina dengan Estonia, Lituania, Latvia, dan Luksemburg, mereka memutuskan untuk menghentikan sebagai langkah antisipasi. Bagaimana dengan Indonesia? Meski terjadi kasus kematian nakes pasca vaksinasi dengan Vaksin Sinovac, pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih berkutat pada polemik apakah itu termasuk Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau bukan. Dan bahkan, tidak ada keberanian untuk menunda atau menghentikan sementara vaksinasi selama belum ada hasil investigasi atau penelitian terkait kematian pasca vaksinasi tersebut. Jawaban klasiknya, “Itu cuma sekian persen, masih kecil!” Para pejabat terkait lebih bangga dengan mengatakan, kita bisa “mengamankan” sekian juga vaksin, sementara negara lain masih rebutan. Tanpa pernah menelisik apakah vaksin tersebut aman atau tidak, seperti AstraZeneca yang ternyata “tidak aman”. Bahkan, meski belum pernah uji klinis di Indonesia, dengan mudahnya kita terima begitu saja 1,1 juga dosis Vaksin AstraZeneca yang sudah masuk ke Indonesia. “Hari ini Indonesia menerima pengiriman pertama vaksin AstraZeneca sebesar 1.113.600 vaksin jadi,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam juma pers disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, seperti dilansir Detik.com, Senin (08 Mar 2021 18:12 WIB). Presiden Joko Widodo juga menuturkan jutaan dosis vaksin AstraZeneca segera masuk RI. Menurutnya, Indonesia telah memiliki 38 juta dosis vaksin Covid-19. Tiga juta dosis dalam bentuk sudah jadi dan 35 juta dalam bentuk bahan baku vaksin. “Dan insya’ Allah juga di bulan Maret ini, akan datang lagi vaksin AstraZeneca sebanyak 4,6 juta dosis vaksin jadi,” kata Jokowi dalam video yang disiarkan di YouTube Sekpres, Kamis (4/3/2021). Apakah Indonesia tetap memakai vaksin AstraZeneca meski sebagian negara di Eropa tadi menghentikan vaksinasi karena adanya kematian pasca disuntik Vaksin AstraZeneca? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Bola Voli antara Zhu Ting dan Aprilia Manganang (Bagian 2 - habis)
Sebuah kisah yang mengingatkan saya pada yang terjadi di negeri ini, saat ini. Kita semua pasti tahu standar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin negeri. Oleh Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - MENGAPA saya langsung membandingkan sosok Aprilia Manganang dengan Zhu Ting, pemain terbaik dunia? Karena sesungguhnya kita semua tahu sejak awal kemunculan Aprilia 'berbeda'. Kalau saya lihat bukan hanya dari segi postur, tapi cara berjalan, bahkan suara. Karena sekeras apa pun program latihan bola voli yang digelutinya sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) dipastikan tidak akan mengubah perawakan feminin khas perempuan menjadi maskulin. Zhu Ting contohnya. Ia juga berasal dari desa dan dan seperti Aprilia dipaksa bekerja keras sejak kecil. Akan tetapi, hingga saat ini, di usianya 27 ia tetap gemulai, meski statusnya pemain terbaik dunia. Anehnya, meski banyak yang meragukan gender Aprilia, tetapi kabarnya PBVSI (Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia) sebagai induk cabang olahraga selalu mensahkan status Aprilia sesuai dengan data kependudukan yang dimiliki. Bahkan, memberi karpet merah bagi Aprilia ke tim nasional dan diamini oleh KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dan KOI (Komite Olimpiade Indonesia). Padahal, seharusnya jika klub tidak bisa melakukan tes menyeluruh, PBVSI lah yang harusnya melakukannya. Kalau perlu mengirim Aprilia tes ke luar negeri, yang peralatannya lebih canggih. Yang saya ingat PBVSI di masa lalu sangat menghindari memakai pemain yang 'meragukan'. Bahkan, untuk pemain wanita yang ternyata ada 'kromosom' laki-lakinya kala itu (era 90an), PBVSI memilih tidak memanggilnya ke tim nasional, tetapi yang bersangkutan tetap bisa bermain di kejuaraan antar klub. Saya juga tak mau menyalahkan siapa pun, terlebih menyalahkan Aprilia, karena semuanya sudah terjadi. Bahkan, saya makin mengerti bahwa ini memang fenomena yang tengah terjadi di negeri ini. Semua mau yang serba instan, hanya mencari kemenangan, urusan fair play tidak penting lagi. Tidak ada cross check, mencari tahu secara detail dan akurat. Aprilia yang secara kasat mata terlihat seperti laki-laki dan akhirnya terbukti memang laki-laki tetap dipuja sebagai pemain perempuan andalan. Diundang talk show di televisi, dicitrakan sebagai pemain idola yang luar biasa. Sebuah kisah yang mengingatkan saya pada yang terjadi di negeri ini, saat ini. Kita semua pasti tahu standar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin negeri. Ada kualitas dan kapasitas yang harus dimiliki dan dipunyai, yang mengacu pada pemimpin-pemimpin terdahulu atau pemimpin negara lain. Akan tetapi, sepertinya kebanyakan kita justru menikmati kepemimpinan di luar alias di bawah standar. Pura-pura tidak melihat, mengingkari realitas. Partai-partai politik, lembaga-lembaga negara, terlebih oligarki memilih memakai kaca mata kuda melihat kejadian demi kejadian di luar nalar bernegara. Mereka tak peduli, yang penting tetap digaji dan difasilitasi di semua lini. Entah sampai kapan mereka akan membutakan matanya, menutup hatinya. Akan tetapi, saya yakin seperti kisah Aprilia, semua akan ada akhirnya, habis masanya. Semoga pada akhirnya semua sadar, karena semua belum terlambat. Semoga!** Penulis, wartawan senior FNN.co.id.
Moeldoko Ambil Alih Paksa Demokrat, Presiden Happy-Happy
YA benar, Anda tidak salah membaca judul editorial FNN kali ini. Pernyataan itu disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD ketika ditanya oleh Najwa Shihab. Bagaimana reaksi Presiden Joko Widodo ketika mengetahui orang dekatnya Moeldoko mengambil alih secara paksa partai Demokrat. “Presiden kaget. Tapi tidak (uring-uringan). Presiden happy-happy saja,” ujar Mahfud. Kalau Anda terkejut, dan merasa ada yang salah dengan pernyataan itu, maka yang salah adalah Anda. Karena menggunakan standar akal dan nalar sehat. Sebab, standar yang sudah lama hilang dari kehidupan kita berbangsa dan bernegara, sejak Jokowi menjadi Presiden pada tahun 2014. Dalam standar nalar dan akal sehat, sangat tidak patut seorang kepala negara di sebuah negara demokrasi, bersikap happy-happy, mengetahui ada sebuah partai diambil-alih secara paksa. Apalagi, yang mengambil-alih, mengkudeta dan membegal itu anak buahnya sendiri, Kepala Staf Presiden, Moeldoko. Dengan standar yang sama, seorang Menko Polhukam juga harusnya tidak mungkin mengungkap frasa “Presiden happy-happy,” kepada publik. Mahfud MD harusnya tahu, kata itu menunjukkan, betapa sudah hancur leburnya standar moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau toh benar Presiden mengungkap perasaan hatinya dengan frasa itu, adalah kewajiban dari Mahfud MD sebagai Menko Polhukam untuk menyaringnya. Menyampaikannya dengan bahasa yang lebih halus. Lebih diplomatis. Atau bahkan sama sekali tidak perlu diungkap kepada publik. Ucapan itu sama sekali tidak layak muncul dari seorang Presiden. Juga sangat tidak layak disampaikan seorang Menko Polhukam. Akan tetapi, itulah Mahfud MD. Itulah Jokowi. Bagi yang sudah hafal dengan gaya keduanya berkomunikasi, mengurus negara, hal itu sesungguhnya sama sekali tidak mengejutkan. Pengambil-alihan sebuah parpol, akuisisi politik melalui pecah belah, sudah menjadi pola baku bagi pemerintah untuk menundukkan parpol oposisi. Kita bisa menyebut sederet fakta mulai dari perpecahan di tubuh Partai Golkar, PPP, PAN, bahkan sampai partai yang tidak lolos parlemen Partai Berkarya. Hanya modusnya yang berbeda. Relatif lumayan halus. Seolah itu persoalan internal. Masih coba main cantik. Aksi Moeldoko jelas sangat berbeda. Menggunakan terminologi bisnis, ini adalah hostile take over! lebih kasar dibandingkan dengan proses akuisisi. Dia bukan kader Partai Demokrat. Secara resmi dia kader Partai Hanura. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum. Jadi, atas dasar apa dia kemudian bisa terpilih menjadi Ketua Umum melalui sebuah Kongres Luar Biasa (KLB)? Tidak perlu kaget kalau para pengurus Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono menyebutnya secara tidak hormat. KLB Abal-abal. Sementara untuk Moeldoko sebutannya lebih tidak terhormat lagi. “Begal Parpol.” “Pembajak Parpol.” Seorang Kepala Staf Presiden. Jenderal bintang empat. Pernah menjadi Panglima TNI disebut sebagai begal. Presiden pun happy-happy? Kita hanya bisa mengelus dada. Tidak salah kalau Presiden Jokowi kemudian dituduh berada di balik aksi yang sangat kasar dan tidak terhormat itu. Alih-alih mengambil tindakan tegas. Memecat Moeldoko. Presiden malah happy-happy saja. Kerusakan lebih parah seperti apa lagi yang akan terjadi pada negeri ini. Sebagai institusi pers kami ingin menggunakan hak konstitusi kami. Secara kelembagaan FNN dengan tegas menyatakan. “Pak Presiden kami tidak happy dengan kondisi negeri ini.” “Kami tidak happy dengan cara Anda mengelola negara ini.” “Kami tidak happy bahwa ada tanda-tanda yang sangat jelas Anda membahayakan demokrasi dan membawa negara ini ke jurang otoritarianisme.” **
Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan Habib Rizieq Tidak Sah
Jakarta, FNN - Tim Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab, Djudju Purwantoro menegaskan Surat Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas diri pemohon (Habib Rizieq Shihab), tidak sah menurut hukum. Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang didasari 2 (dua) Surat Perintah Penyidikan yang berdiri masing – masing dengan nomor, tanggal dan bulan yang berbeda-beda, padahal tersangkanya sama, yaitu ; Habib Rizieq Shihab. Peristiwa hukum yang sama; Locus Delictie dan Tempus Delictinya sama, yaitu 'berkerumun' di daerah Petamburan, Jakarta Pusat, dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya tim kuasa hukum Habib Rizieq Shihab, juga menyatakan penyidik Polda Metro Jaya tidak memiliki dua alat bukti yang sah dalam menangkap dan menahan kliennya atas kasus pelanggaran protokol kesehatan. Hal itu disampaikan Djudju dalam siaran pers yang diterima FNN Jumat (10/3). Tim kuasa hukum HRS menilai tindakan kepolisian tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 77 KUHAP jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Di mana dijelaskan, dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, harus ada dua alat bukti yang sah. "Bahwa termohon telah menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan bahkan termohon menerbitkan surat perintah penangkapan dan surat penahanan atas diri pemohon, padahal termohon tidak ada/tidak memiliki dua alat bukti yang sah untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka," kata Djudju. Djudju menyatakan kepolisian selaku pihak termohon belum pernah melakukan penyitaan terhadap alat bukti. Djudju juga mengklaim upaya pemanggilan terhadap Rizieq hingga pemeriksaan saksi belum pernah dilakukan oleh termohon. Dalam surat permohonan gugatan praperadilan tersebut, Tim Kuasa Hukum Habib Rizieq menyoroti adanya dua surat perintah penyidikan yang dinilai janggal. Pertama, surat perintah penyidikan dengan nomor SP.sidik/4604/XI/2020/Ditreskrimum tanggal 26 November 2020, dan Surat perintah penyidikan kedua dengan nomor SP.sidik/4735/XII/2020/Ditreskrimum tanggal 9 Desember 2020. "Surat perintah penangkapan Nomor SP.Kap/2502/XII/2020 Ditreskrimum tanggal 12 Desember 2020 atas diri pemohon adalah tidak sah karena mengandung cacat hukum, dan tidak sesuai dengan hukum administrasi yang diatur dalam KUHAP dan juga melanggar peraturan Kepala Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, tentang penyidikan tindak pidana," tulis surat tersebut. Sedangkan 2 (dua) Surat Perintah Penyidikan tersebut kata Djudju digunakan sebagai dasar dari Termohon untuk menerbitkan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas diri Pemohon, dalam kasus yang sama. Oleh karenanya mengakibatkan (kausalitas) Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas diri Pemohon adalah Cacat Hukum administrasi dan tidak sah menurut hukum, dan sudah sepatutnya dibatalkan. Hal tersebut juga selaras dengan pendapat Ahli, DR. Abdul Chair Ramadhan, SH,MH. yang dinyatakan dalam persidangan Prapud tersebut. Demikian juga ahli menyatakan bahwa Perkara khusus (Lex Specialis) tidak dapat digabungkan sangkaannya dengan Tindak Pidana Umum (lex generalis). Dengan demikian, ketentuan pasal 63 KUHP; tentang Penggabungan Beberapa Perkara Pidana yang diatur dengan peraturan hukum yang berbeda-beda, maka yang dikenakan hanya salah satu peraturan. Ahli berpendapat bahwa apabila ada suatu peristiwa hukum diatur dalam suatu peraturan Pidana Umum, dan juga diatur dalam peraturan Pidana Khusus, maka Pidana yang Khusus itulah yang semestinya diterapkan, sebagimana Pasal 63 Ayat (2) KUHP. Walaupun ancaman hukumannya berbeda- beda, namun yang diterapkan tetap pidana khusus nya. Hal tersebut diperkuat oleh Yurisprudensi Putusan Nomor : 1/ Pid.Pra/2019/PN. PNG. tanggal, 25 Maret 2019, (Pengadilan Negeri Ponorogo). Dalam amar putusannya menyatakan bahwa Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang diterbitkan berdasarkan 2 (dua) Surat Perintah Penyidikan adalah Cacat Hukum dan Tidak Sah menurut hukum.; Delik pidana (larangan berkerumunan) tersebut seperti diatur klausulnya dalam Pidana Khusus, yaitu undang- undang tentang Kekarantinaan Kesehatan. Faktanya Termohon (pihak Polri) menyalahi hukum, dengan menahan Pemohon (Habib Rizieq) menggunakan sangkaan Pidana Umum (pasal 160 KUHP). Konsekuensinya, Surat Perintah Penahanan atas nama diri Pemohon mengandung cacat hukum, karena menggabungkan peristiwa pidana khusus dengan pidana umum. Ahli juga berpendapat adalah cacat hukum, Termohon menerbitkan surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan sebelum dilakukannya pemeriksaan (BAP) Termohon oleh Pemohon. Putusan hakim (vonis), akan dilakukan pada Rabu, 17 Maret 2021. (SWS)
Moeldoko Trouble Maker Nasional
By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ada yang menarik dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Melansir Terkini.id, Selasa (9 Mar 2021 14:52), Yasonna angkat bicara mengenai perseteruan yang terjadi dalam Partai Demokrat. Yasonna menyampaikan pesan untuk pengurus DPP Partai Demokrat, termasuk Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar tidak asal menuduh pemerintah tanpa dasar. Yasonna mengaku bahwa pemerintah akan mengusut kasus itu dengan cara yang objektif. Oleh karena itu, SBY dan AHY tak perlu memberikan tuduhan yang bukan-bukan terhadap pemerintah. “Ini saya pesan kepada salah seorang pengurus Demokrat kemarin saya pesan, tolong Pak SBY dan AHY jangan tuding-tuding pemerintah begini, pemerintah begini. Tulis saja kita objektif kok. Jangan main serang-serang yang tidak ada dasarnya!” ujar Yasonna. Yasonna juga menegaskan bahwa Kementerian Hukum dan HAM akan bersikap profesional dalam menangani kasus partai bintang mersi tersebut. Pihaknya akan bertindak profesional sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Itu supaya dicatat. Itu saja titik. Ia juga mengatakan bahwa masalah dualisme kepemimpinan Partai Demokrat saat ini masih menjadi permasalahan internal partai itu. Setidaknya, sampai pihak Moeldoko mendaftarkan kepengurusan hasil KLB di Deli Serdang, Sumatra Utara, kepada pemerintah. “Kalau dari segi kami, saat ini kami masih melihat ya masalah itu masih masalah internal Demokrat. Karena kelompok yang dikatakan KLB kan belum ada menyerahkan satu lembar apapun kepada kami,” tutur Yasonna. Ia juga menegaskan, pihaknya akan menilai secara objektif sesuai AD/ART Partai Demokrat. Nanti kalau KLB datang pihaknya akan menilai semuanya sesuai AD/ART Partai Demokrat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Itu penting. Setidaknya ada tiga point pernyataan Yasonna yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan, yaitu: 1. Masalah dualisme kepempimpinan Partai Demokrat; 2. Yasonna masih menunggu berkas hasil KLB; dan 3. Pengakuan adanya penyelenggaraan KLB. Yang perlu ditegaskan, tidak ada dualisme kepemipinan Partai Demokrat. KLB Moeldoko di Sibolangit itu bodong surodong karena Tidak Memenuhi Kriteria KLB Partai Demokrat, sebagaimana yang tercantum dalam Sipol (Sistem Informasi Partai Politik), yaitu: Dihadiri minimum oleh Setengah dari 514 DPC; Dhadiri minimum oleh Dua Pertiga dari 34 DPD; Dihadiri Ketua Majelis Partai. Yang jelas, semua kriteria dalam Sipol itu tak terpenuhi. Maka jika negara ini adalah benar negara hukum, maka Menkum HAM Yasonna, yang juga ikut mengesahkan dan menandatangani dokumen syarat KLB Partai Demokrat Tidak Bisa mengesahkan hasil KLB bodong surodong tersebut. Sebagai Kepala Staf Presiden (KSP), apalagi pensiunan Jenderal TNI, Moeldoko seharusnya tahu soal itu sebelum terlibat dalam “KLB” yang diisiasi bersama pecatan mantan pengurus Partai Demokrat seperti M. Nazaruddin dan Marzukie Ali itu. Narasi Yasonna jelas memberi angin segar bagi Moeldoko Cs yang sebenarnya tidak pernah tercatat sebagai kader atau anggota Partai Demokrat. Etika politik jelas dilanggar Moeldoko Cs. Padahal, Yasonna juga ikut teken syarat KLB Partai Demokrat. Akhir pekan awal Maret ini menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi Partai Demokrat, AHY dan bahkan SBY. Di luar ekspetasi, Moeldoko, mantan KSAD dan Panglima TNI era SBY menjabat Presiden ditetapkan sebagai Ketum Partai Demokrat hasil KLB. KLB yang bisa dikatakan sebagai upaya coup de etat AHY dari kursi Ketum Partai Demokrat seakan menjadi klimaks dari tudingan Partai Demokrat (resmi) bahwa orang-orang yang ada di lingkaran Presiden Joko Widodo ingin mengambil-alih parpol berlambang mercy itu. Meski sempat dibantah, sejak beberapa minggu sebelum KLB dilangsungkan, aroma kudeta itu sudah tercium. Dan KLB plus Ketum Moeldoko ini menjadi penegas bahwa polemik kudeta Partai Demokrat tersebut benar adanya. Ironis, karena Moeldoko seakan menjadi “anak durhaka” dan nyata-nyata mengabaikan jiwa “korsa”. Sama-sama berlatar belakang militer, Moeldoko jelas-jelas menelikung seniornya: SBY, dan juniornya: AHY. Terang saja jika AHY dan SBY mencak-mencak melihat manuver KLB dan Moeldoko ini. Dan atas perilaku dari Moeldoko, Pemerintah yang akan kena getahnya. Terutama Presiden Jokowi. Kali ini Jokowi benar-benar diuji! Maklum saja jika itu terjadi, mengingat Moeldoko saat ini juga menjabat sebagai KSP. Dan pada sisi lain, kisruh ini akan menjadi ujian bagi Pemerintah untuk tetap teguh pada peraturan atau tidak. Jangan terkejut jika pada akhirnya banyak alumni "Lembah Tidar" di Magelang getol melawan. Pasalnya, Presiden Jokowi sebelum mengangkat Moeldoko sudah diperingatkan para alumni Lembah Tidar: Moeldoko berpotensi rusak citra Presiden di penghujung pemerintahan! Namun, Presiden hanya berharap, para alumni Lembah Tidar harus membantu Jokowi. Konon, terkait dengan manuver Moeldoko ini, mereka sudah menyarankan agar Presiden mencopot Moeldoko dari posisinya sebagai KSP. Dengan terbukanya “borok” mantan Panglima TNI yang melakukan kesalahan tersebut, sehingga rakyat Indonesia tahu jika Moeldoko ini trouble maker Nasional. *** Penulis wartawan senior FNN.co id
Mengapa Kemendukbud Hapuskan Frasa Agama di PJPN?
by Pramuhita Aditya Jakarta FNN- Draf Sementara Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 yang dirilis Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menghapus frasa agama. Kebijakan ini sangat mengagetkan dunia pendidikan Indonesia. Frasa agama digantikan dengan akhlak dan budaya. Jika kita tarik ketentuan peraturannya, maka sangat bertolak belakang draf PJPN 2020-2035. Pertanyaannya adalah jika frasa agama dihilangkan, maka apa acuan yang nantinya digunakan oleh Kemendikbud? Ada apa dibalik agenda Kemendikbud tersebut? Mau dibawa kemana dunia pendidikan kita? Apakah dijadikan sekularisasi dunia pendidikan Indonesia? Atau ada rencana besar Kemendukbud dibawah Nadiem Makarim untuk menjauhkan agama dari pendidikan? Luar biasa. Kita dihebohkan dengan draf visi Pendidikan Indonesia 2020-2035 dengan tema besar “membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajaran seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan pancasila”. Apa memang pendidikan selama ini dengan menggunakan frasa agama itu tidak Pancasilais? Jika kita telisik secara mendalam, maka visi ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 3 dan 4 serta Pancasila, sila pertama. Hal ini sungguh ironis. Ternyata Menteri Pendidikan kita tidak memahami peraturan perundang-undangan yang berakitan dengan pendidikan nasional. Waah, gawat. Sekalipun pihak yang mewakili Kementrian Pendidikan telah melakukan klarifikasi terkait hal ini. Namun tidak dapat dipandang remeh masalah yang sudah terjadi. Agama dalam pendidikan merupakan hal yang sangat fundamen yang sangat prinsip di negara. Jika terabaikan sedikit saja, maka bisa saja kita tergelincir ke dalam jurang pendidikan sekuler. Pahami itu baik-baik Mendukbud Nadiem. Kalau lupa, sekeder mengingatkan kalau, Negara Kesatuan Republik Indonesia itu berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapat diartiakan bahwa segala tindak-tanduk kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan yang selain itu. Sampai disini, Mendukbud kelihatannya belom paham dan mengerti. Kalau begitu, makan agama yang mana yang dimaksud? Adalah agama yang sah di Indonesia. Agama yang diakui oleh negara. Oleh karena itulah, maka agama-agama di Indonesia disahkan oleh pemerintah dan menjadi legal. Pahami dan mengerti dulu dengan baik dan benar. Jangan sampai bangsa ini menjadi malu, hanya karena Menteri Pendidikan tidak paham tentang apa itu agama-agama di Indonesia. Langkah ini menurut kami termasuk dalam kategori semantic eror. Jika tidak adanya frasa agama pada visi “membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajaran seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan pancasila” maka visi pendidikan nasional 2020-2035 kelak hanya menjadi tafsir bebas. Tergantung pada siapa yang menafsirkan. Kemungkinan pada kejadian frasa agama ditiadakan ini karena beberapa faktor. Pertama, yaitu kealpaan. Sementara yang kedua, adalah kesengajaan. Jika ini kealpaan, maka menjadi sesuatu yang alamiah. Namun untuk setingkat kementrian sangat mustahil bisa terjadi. Sebab tanggung jawab ini tidak dilakoni secara individu melainkan tim dan kelompok. Jika ini kealpaan, maka dapat disempurnakan melalui bekerjasama. Koreksi dapat di lakukan secara perorangan atau tim untuk perbaikan menjadi mutakhir. Namun jika hal ini adalah kesengajaan, apakah tujuan pengarahan pendidikan nasional kepada track yang lain? Wallahu a’lam bihsawab. Bukan tidak mungkin, sebab penguasaan suatu bangsa dapat dilakukan dengan sederhana, yaitu melalui jalur pendidikan, dan upaya ini yang paling strategis. Biasanya klausul-klausul yang disepakati harus sesuai dengan kemauan, kehendak dan kepentingan para pihak dalam membuat perjanjian atau aturan-aturan tertentu? Praktik ini sudah biasa dilakukan. Bukan hal baru dalam praktik membuat ketentuan peraturan dan perundang-undangan. Praktisnya banyak terjadi pada momen-momen politik organisasi. Namun yang sangat penting sebagai sesama anak bangsa, untuk membangun pendidikan Indonesia ke depan, kita harus berprasangka baik (khusnuzon) terhadap pemerintah yang dalam hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab Kementeian Pendidikan. Apalagi saat ini Kementerian Pendidikan sangat membuka diri untuk menerima saran, masukan dan kritikan dari masyarakat Indonesia terkait dengan hal tersebut. Keterbukaan ini kita apresiasi demi untuk kemajuan bersama. Penulis adalah Kandidat Calon Ketua Umum PB HMI 2021-2023.
Moeldoko, Bekas Panglima Yang Berubah Jadi Perampok?
by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Sebagaiamana sifat orang tua pada umumnya, almarhum kedua orang tua Moeldoko pun tidak mungkin mengajarkan kepada anaknya untuk berbuat kurang ajar. Apalagi sampai membegal terang terangan. Membajak dan merapak barang orang, pasti juga tidak diajarkan. Salah siapa jika dikemudian waktu perilaku Moeldoko menjadi nyleneh? Bahkan saja kurang ajar. Namun jauh menyimpang dari ajaran orang tuanya. Ajaran nenek moyangnya. Sebab dulu, waktu Moeldoko masih kanak-kanak, mustahil mendapat pesan bapak ibunya, “rampaslah sesuatu milik temanmu, curilah barang milik sahabatmu, bunuhlah saudaramu”. Dan seterusnya, itu pasti yang tidak diajarkan. Tentu kedua orang tuanya, Moestaman dan Masfuah, terutama sang ibu, pasti selalu berpesan dengan kata-kata indah kepada Moeldoko, “nak atau moel atau doko, belajarlah dengan yang rajin. Jangan sedetik pun meninggalkan ibadah. Jangan pernah menyakiti hati orang lain. Jangan pernah membuat kacau. Bergaullah dengan orang yang baik. Jangan merampok sesuatu yang nyata-nyata sah bukan milikmu, namun milik pihak lain”. Tentu saja, semua itu adalah ajaran Ibu yang sangat mulia kepada anaknya Moeldoko. Namun kini, di ujung usianya, dia malah membikin geram banyak orang. Bagaimana tidak. Kok tiba-tiba dia menghadiri, kalau tidak mau dibilang mengajak Konggres Luar Biasa Partai Demokrat (PD) pada Maret awal lalu. Hasilnya pun sudah bisa ditebak. Moeldoko yang lahir di Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kediri, Jawa Timur, 64 tahun silam itu akan keluar sebagai pemenangnya. Menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versinya sendiri. Tempik sorak dan standing applaus pun menggemuruh di salah satu hotel di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara, tempat berlangsungnya sinetron antagonis itu. Suka cita pun campur aduk tertumpah di ruangan itu. Saling peluk, cium, rangkul dan macam-macam gaya terpuaskan sudah. Tetapi, sorot mata publik, waktu itu kok tidak ada peristiwa polisi mengobrak-abrik acara tersebut. Dengan pasal melanggar Protokol Kesehatan (Prokes) tentunya. Tidak seperti pada saat massa FPI menyambut kedatangan Habieb Rizieq. Atau Habieb Rizieq saat mantu di Petamburan dulu. Langsung dibubarkan polisi. Satu persatu yang terlibat ditangkapi. Malah dijadikan sebagai tersangka dan ditahan sampai sekarang. Oh ya, apa mungkin karena polisinya juga bagian dari peserta KLB? Atau sekurang kurangnya polisi ikut mendukung pelaksanaan KLB? Atau mungkin ada pengertian begini, “virus Corona hanya mau menular kepada yang selain Moeldoko dan kerabatnya? Mungkin begitu ya kira-kira? Seorang kawan jurnalis malah berpendapat ekstrim. Covid-19 itu tidak akan menular kepada, sorry sebelumnya, “bajingan tengik”. Makanya, jangankan sekedar bergerombol, tumpang tindih bergumul selapangan pun akan dibiarkan. Karena tidak bakal tertular Covid-19. Soal KLB. Apa yang dilakukan Moeldoko dan segelintir orang pecatan Partai Demokrat, Jhoni Allen, Nazaruddin, Marzuki Alie, itu bukan masuk kategori berani. Tapi ngawur. Sebab, berani itu perpaduan antara nyali dan nalar. Sementara ngawur itu gelap mata. Baik dalam bermain catur, sepak bola, dan tinju. Apalagi perang selalu ada istilah mundur selangkah dulu. Baru kembali menyerang. Sedangkan ngawur itu tidak menggunakan itung-itungan. Tidak pakai tak-tik. Yang dia mengerti, “pokoknya hajar”. Misalnya, seseorang yang berhasil melompat sungai selebar 95 senti meter, kemudian mencoba melompati sungai selebar satu meter. Dengan gerakan lebih full power, dia berhasil. Itu berani. Karena berselisih jarak jangkau cuma lima senti meter lebih jauh. Masuk akal itu barang. Tapi bila seseorang cuma berkemampuan melompat sungai selebar hanya satu meter, namun tiba tiba melompati sungai selebar dua meter. Itu yang ngawur. Selisih jaraknya kelewat jauh. Akibatnya kecebur. Nah, Moeldoko nanti kecebur apa tidak? Kita tunggu saja. Korelasinya begini. Iblis pun paham bahwa Moeldoko itu sudah menjadi anggota dan pimpinan Partai Hanura, terutama ketika Hanura dimpimpin oleh Oesman Sapta Odang (OSO). Tidak pernah gabung dengan Partai Demokrat. Jangankan punya kartu anggota, koas Partai Demokrat aja kagak punya. Kok ujug-ujug ikut menggelar KLB PD? Dan akhirnya menjadi ketua umumnya lagi. Yang dari Sabang menuju Merauke tahu, Moeldoko adalah militer tulen. Terakhir pensiun berpangkat Jenderal bintang empat. Naik pangkat dari kolonel ke brigjen, mayjen, letjen dan jendral dengan ujung jabatan Panglima TNI, itu semuanya Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ngasih waktu menjabat presiden sepuluh tahun. Sekarang SBY Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Parta Demokrat. Sewaktu masih menjadi anak buah SBY maupun Pak Harto, Moeldoko tidak sekali pun menunjukkan perilaku yang aneh-aneh. Apalagi berlaku insubordinasi. Melawan pimpinan. Tidak pernah. Terlebih ketika masih dalam asuhan kedua orang tuanya. Moeldoko lebih penurut lagi. Bahkan, konon, Moeldoko suka mencari pasir di sungai, dijual untuk membantu perekonomian orang tuanya. Sepak terjang Moeldoko mulai menyimpang dari ajaran orang tuanya maupun bimbingan SBY dan Pak Harto, semenjak dia berada dalam asuhan Jokowi, Joko Widodo, Presiden RI. Sejak “diopeni Jokowi”, didapuk sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko mulai nampak galak dan berlagak. Air mukanya dingin. Tidak murah senyum. Terkesan culas dan semau gue. Dia mengancam ini dan itu terhadap setiap oposan yang turun ke jalan demonstrasi, dan menentang kebijakan Jokowi yang tidak beleid. Malahan, dia juga sempat mengancam mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo, saat deklarasi ormas KAMI setahun lalu, dimana Gatot Nurmantyo selaku Presidiumnya. "Jangan coba coba mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban. Saya tidak pandang bulu," ucap Moeldoko waktu itu. Nah, timbul analisa tentang perubahan perilaku Moeldoko. Mengapa sejak dibawah asuhan Jokowi, moral Moeldoko berubah menjadi nggak karu-karuan? Sak senenge dewe. Tidak mengindahkan tatanan main. Jauh sekali dengan saat masih dalam rengkuhan ibu bapaknya. Maupun ketika berada dalam lingkup kepemimpinan SBY atau Pak Harto. Ini salah yang diasuh, atau salah yang mengasuh? Jika merunut peri bahasa, “guru kencing berdiri, murid kencing sambil berlarian kesana kemari”. Jika demikian, apakah Moeldoko tertular atau meniru pikiran, sikap dan perilaku bapak buahnya, Jokowi. Entahlah. Yang jelas. Moeldoko sebagai anak buah Jokowi saat ini telah membegal atau membajak Parpol “milik orang lain, karena bukan miliknya”. Yang dibajak adalah Partai Demokrat yang sah dalam lembaran negara, tercantum nama Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umumnya. Dan SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Partainya. Ketidak punya maluan kubu Moeldoko dipamerkannya dengan berucap, "SBY dan AHY dalam posisi demisioner. Jika ingin gabung dengan kami, silakan". Kalau ada yang bilang sinting, salah nggak ya? Mana mungkin tuan rumah malah diatur oleh tamunya. Sudah gitu, tamu yang nggak diundang lagi. Keterkaitan itu, sangat mungkin Partai Demokrat dan AHY akhirnya menjadi simbol perlawanan. Seperti PDI dan Megawati, waktu itu. Jika itu terjadi, sikap sosial semua oposan, tak terkecuali akan mengkristal. Bersama-sama melawan Moeldoko dan mengarah ke Jokowi. Kini alam pikiran Moeldoko boleh jadi tidak tenang. Moledoko pasti sadar, kalau harta kekayaan berupa Ketum PD adalah hasil curian. Hati kecilnya tentu bilang begitu. Seperti perampok toko emas yang gundah mencari lokasi persembunyian. Pasti juga bingung, dimana akan menjual barang curiannya. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.
PDIP Akan Menjadi Partai Tunggal
Tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi sedang mendekati sistem pemerintahan partai tunggal itu kini semakin nyata. By Hersubeno Arief MEDIA negeri jiran The Australian edisi Senin (8/3) menurunkan sebuah artikel menarik. Judulnya : Jakarta Closer to Rule of One Party. Kekhawatiran Indonesia menjadi negara partai tunggal seperti di Cina dan Korea Utara ini, sesungguhnya sudah sejak lama diingatkan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo. Saat masih menjadi Panglima TNI, Gatot membungkus pesannya secara tersamar, melalui bahaya proxy war. Tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi sedang mendekati sistem pemerintahan partai tunggal itu kini semakin nyata. Sebagaimana dilansir The Australian, aksi KSP Moeldoko mengambil-alih secara paksa Partai Demokrat merupakan langkah nyata mewujudkan hal itu. Saat ini partai-partai pendukung pemerintah disebut oleh The Australian telah menguasai 74 persen kursi di parlemen. Bila sukses mengakuisisi Partai Demokrat pemerintah akan menguasai 83 persen kursi di parlemen. Hanya menyisakan PKS sebagai satu-satunya oposisi di parlemen. Kalkulasi ini menarik, karena tampaknya The Australian telah memasukkan PAN ke dalam partai pendukung pemerintah. Bila dihitung dari total 575 kursi di parlemen, kalkulasi ini kurang akurat. Berdasarkan data KPU, pada Pemilu 2019 PKS memperoleh 50 kursi atau 8, 69 persen. Demokrat 54 kursi atau 9, 39 persen. Bila hanya PKS yang menjadi oposisi, maka total kubu pemerintah menguasai 91, 31 persen kursi di parlemen. Praktis kubu partai pemerintah sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen. PKS tinggal menjadi partai oposisi pemanis saja. (Parliamentary dan Presidential Threshold) Pertanyaannya sekarang, bagaimana tahapan menuju partai tunggal bisa diwujudkan? Saat ini kendati sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen, namun belum bisa disebut sebagai partai tunggal. Baru konsorsium partai dengan penguasa tunggal. Namun tahapan menuju partai tunggal itu sudah terbayang. Coba perhatikan beberapa tahapan berikut ini. Pertama, penetapan presidential threshold 20 persen. Dengan aturan semacam itu sudah bisa dipastikan bahwa capres yang akan tampil pada Pemilu 2024 adalah calon tunggal. Kalau toh ada dua calon, maka pasangan calon kedua hanyalah boneka. Model Pilkada Solo 2020 bisa digunakan. Ada calon walikota yang sudah dapat dipastikan menang, yakni Ghibran putra Presiden Jokowi. Lawannya adalah pasangan Ketua RW dan tukang jahit. Kedua, Pemilu serentak tahun 2024. Dengan hanya ada satu capres, maka dapat dipastikan capres yang diusung berasal dari PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak (128). Pasangannya bisa dipilih dari salah satu partai pengusung pemerintah. Silakan diperebutkan. Dengan sistem pemilu serentak, maka yang akan memperoleh limpahan elektoral atau biasa dikenal sebagai coattail efect adalah pengusung capres. Dalam hal ini PDIP. Hal ini terbukti pada Pilpres 2019. Hanya ada dua Pasang capres-cawapres. PDIP dan Gerindra yang mengusung capres. Kedua partai ini mendapat limpahan suara terbanyak dan menjadi partai pemenang pertama dan kedua. Ketiga, menaikkan ambang batas parliamentary threshold. Saat ini di DPR berkembang wacana menaikkan ambang batas lolos parlemen, atau dikenal dengan istilah parliamentary threshold (PT). PDIP mengusulkan agar PT dinaikkan dari semula 4 menjadi 5 persen. Sementara Nasdem dan Golkar bahkan call tinggi, menjadi 7 persen. Dengan mempertimbangkan coattail effect pada pemilu serentak 2024, maka PDIP bisa menang besar. Apalagi berdasarkan hasil survei terbaru Litbang Kompas, partai-partai yang berada dalam lima besar bakal berguguran. Elektabilitas Nasdem saat ini tinggal 1.7 Persen. Golkar 3.4 persen. Demokrat 4.6 persen, PKS 5.4 persen, dan PKB tinggal 5.5 persen. Gerindra 9.6 persen. PDIP masih bertengger di puncak dengan elektabilitas 19.7 persen. Bila PT dinaikkan menjadi 7 persen, maka yang tersisa tinggal PDIP dan Gerindra. Itupun kalau Gerindra masih bisa mempertahankan suaranya. Dengan bergabung dalam kubu partai pemerintah, sangat diragukan Gerindra bisa mempertahankan perolehan suaranya seperti pada Pemilu 2019. Semua skenario itu dapat terwujud bila Jokowi dan PDIP bisa mengendalikan sepenuhnya partai-partai pendukung pemerintah. Partai-partai pemerintah mendukung apapun keinginan Presiden Jokowi dan PDIP. Untuk tahap awal Nasdem dan Golkar akhirnya mengalah. Mendukung pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024. Padahal sebelumnya mereka menginginkan ada revisi RUU Pilkada. Tahapan berikutnya tinggal menaikkan ambang batas lolos parlemen setinggi mungkin. Skenario partai tunggal bakal terwujud. Apakah kali ini Golkar, Nasdem, Gerindra dan partai-partai lain juga akan kembali mengalah? Yang pasti, sejauh ini dengan pola pecah belah, sandera politik, dan iming-iming kekuasaan, pemerintah berhasil menundukkan parpol-parpol menjadi pendukung yang loyal. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.