ALL CATEGORY
Gokil Abis Kalau Pilkada Serentak 2024
by Nanik S. Deyang Madiun FNN - Apapun alasan yang dijadikan pemerintah untuk ngotot tidak mau merevisi UU Pemilu, sehingga tetap menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2022 dan 2023, menimbulkan tanda tanya besar. Bila sampai Pilkada serentak 2024, nni benar-benar ngaco an gokil abis. Pemerintah maunya Pilkada pada tahun 2024, bareng atau serentak dengan Pemilihan Presiden Pilpres dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Untuk remeralisasikan rencana itu, diketahui pimpinan negara sampai harus turun sendiri melobi ketua-ketua partai. Anehnya, DPR yang tadinya paling bersemangat untuk mengajukan revisi, malah sekarang terkesan membeo. Terakhir mayoritas DPR mengikuti saja apa kemauan pemerintah, kecuali Partai Demokrat yang masih tetap menginginkan adanya revisi UU Pemilu, sehingga Pilkada bisa dilakukan di tahun 2022 dan 2023. Pilkada yang sesuai dengan berakhirnya masa jabatan para Kepala Daerah. Salah satu yang masa jabatannya habis itu adalah Gubernur DKI. Meski saya bisa mengira-ngira apa dibalik semua itu, tetapi saya tutup mata saja. Pura -pura nggak tau sajalah. Saya hanya akan menulis kalau betapa powefullnya Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bayangkan Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023 itu sebanyak 272 ( Gubernur, Bupati dan Walikota). Artinya selama dua sampai tiga tahun 272 kepala daerah akan dijabat oleh penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota. Siapa yang bakal menjadipenjabat Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut? Ya PNS yang akan ditunjuk oleh Kemendgri. Ini ngaco dan jelas gokil abis. Mungkin baru kali ini dalam sejarah Indonesia, sejak merdeka, ada 272 Gubernur, Bupati dan Walikota yang dijabat oleh penjabat dalam jangka waktu sampai bertahun -tahun. Karena dalam UU administrasi, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan para penjabat tersebut, juga masih sangat "abu-abu". Makanya, bisa dibayangkan betapa kisruhnya tata kelola suatu pemerintahan daerah, bila nanti penjabat tersebut mengambil kebijakan-kebijakan yang justru kontra produktif dari kepala daerah yang masa jabatannya habis. Peluang bagi terjadinya penyimpangan atau korupsi juga sangat besar, bahkan terbuka lebar. Karena penjabat Gubernur, Bupati dan Walikoa itu punya beban moral kepada rakyat. Mereka bisa membuat kebijakan sesuka hati. Yang penting bagi-bagi proyek dengan DPRD setempat. Kepentingan rakyat bergeser menjadi kepentingan penjabat dengan DPRD semata Persoalkan Legitimasi Pemilu Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, akan ada sekitar 272 pelaksana tugas, penjabat, atau penjabat sementara kepala daerah jika pilkada digelar serentak pada 2024 nanti. Para kepala daerah sementara itu akan ditunjuk oleh Presiden (untuk gubernur) dan Menteri Dalam Negeri (untuk Bupati dan Walikota). Menurut Burhanuddin, jika benar terjadi, maka ini menjadi masalah dari sisi legitimasi dan demokrasi. Sebab Para plt dan penjabat kepala daerah itu bukan hasil pilihan rakyat secara langsung. Kewenangan mereka pun terbatas dalam menentukan kebijakan. Selain itu, lanjut Burhanuddin, keberadaan plt dan penjabat kepala daerah dalam pilkada ini memiliki implikasi ke Pemilu 2024, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Daerah yang akan habis masa jabatan di 2022 dan 2023 ialah para kepala daerah di Jawa dan Sumatera. Seperti Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan. Daerah-daerah itu memiliki basis populasi pemilih yang besar. "Kalau misalnya muncul dugaan abuse of power untuk kepentingan 2024, baik Pileg maupun Pilpres, karena penggunaan plt atau penjabat, saya khawatir legitimasi hasil Pemilu 2024 dipersoalkan," kata Burhanuddin. Penulis adalah Wartawan Senior.
Pembunuhan KM 50, Kapolri & Kapolda Metro Jaya, Sebaiknya Mundurlah
PORTAL berita Divisi Humas Polri tanggal 11/2/2012 menyajikan berita menarik. Bareskrim Polri masih mempelajari temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait investigasi peristiwa di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) yang menewaskan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI). Saat ini berkas temuan masih dipelajari oleh penyidik Bareskrim Polri. Karo Penmas Hamas Polri, Brigjen Rusdi Hartono menyebut, terdapat dua hal yang akan jadi fokus Polri terkait hasil investigasi dari Komnas HAM. Yang pertama, kejadian penyerangan terhadap anggota Polri yang sedang bertugas. Yang kedua, permasalahan unlawfull killing. “Yang diterima Polri dalam hal ini adalah hasil investigasi dari Komnas HAM yang berjumlah lebih kurang 60 halaman,” papar Brigjen Rusdi di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (11/2/2021). Rusdi juga mengemukakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti barang bukti yang sampai saat ini masih berada di Komnas HAM. Penyidik akan berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk dapat meminta barang bukti. “Karena barang bukti ini menjadi sesuatu yang penting bagi Polri untuk dapat menindaklanjuti daripada hasil investigasi Komnas HAM yang baru diterima penyidik hari Jumat (29/1) yang lalu. Penyidik sedang mempelajari dan akan dilaksanakan rapat pembahasan besok antara penyidik dengan pengawasan internal,” ujar Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian, Selasa (2/2/202 Sudahlah Pak Argo, dan Pak Rusdi, agar tidak dinilai sedang melucu dan membanyol, sebaiknya berhenti bicara sikap Polri dalam kasus ini. Masa sudah begini lama masih terus pelajari. Yang benar aja deh. Sikap Polri tidak ditentukan oleh, maaf bapak berdua. Sikap Polri, kami yakin sepenuhnya ditentukan oleh Kapolri. Yang perlu bapak berdua lakukan adalah beri saran kepada Kapolri untuk segera berkordinasi dengan Presiden Jokowi. Kasus ini, kami nilai dirumitkan oleh lilitan politik. Orang-orang berakal sehat, dan bernurani beres, kami yakin akan menertawakan argumentasi yang menyatakan ada kerumitan teknis penyidikan kasus ini. Pak Argo dan Pak Rusdi, apa polisi yang menembak, sebut saja empat laskar itu, apa sudah berubah menjadi hantu? Pasti tidak kan? Jadi, apa susahnya menyidik? Sudahlah, berhenti bicara kasus. Serahkan soal ini sepenuhnya ke Pak Kapolri. Biarkan dia yang bicara. Toh penyidik-penyidik dibawah kepemimpinan Sigit saat jadi Kabarekskrim, telah lebih dahulu menyidik kasus ini. Tidakkah penyelidikan itu terlihat memiliki kesesuaian signifikan dengan pernyataan Irjen Fadil Imran, Kapolda Metro Jaya yang disampaikan dalam konfrensi Pers? Penyelidikan atau penyidikan yang berlangsung saat Sigit jadi Kabareskrim telah sampai melakukan rerkonstruksi. Kala itu penyidik telah memeriksa 83 orang saksi. Apakah itu hebat atau konyol yang sekonyolnya? Rasanya semut hitam di dinding-dinding bagunan rest area akan geleng-geleng kepala keheranan menilai penyelidikan itu. Semut pasti tak mampu bilang respon Kabarerskrim kala itu ngawur. Semut juga pasti tak bilang respon Sigit saat ini lebih ngawur lagi. Mengapa lambat menyidik? Jangan sodorkan kendala teknis. Sebab nanti cacing yang mendadak bergoyang mengolok-olok anda. Tunggu barang bukti dari Komnas HAM? Apakah semua barang bukti ditaruh di Komnas Ham? Masuk akalkah ini? Tidakkah laporan investigasi Komnas Ham disusun setelah memeriksa sebagian barang bukti yang ada di Polda Metro Jaya? Dimana Komnas HAM memeriksa mobil Avanza, Xenia, towing, dan landcruiser? Apakah dii Polda Metro atau di gunung lawu? Apa pakaian yang dikenakan laskar ketika terbunuh itu ditaruh di Komnas HAM? Apakah Surat tugas kepada para petugas Polisi yang menembak laska FPI itu ditaruh di Komnas HAM? Apakah voice note yang diperoleh dari HP korban sejumlah 172 rekaman dan 191 transkripsi juga ditaruh di Komnas HAM? Jangan cari pembenaran untuk menyatakan dua orang laskar FPI yang mati di KM 50 itu lawfull killing. Betul, Komnas HAM dalam keterangan pers Nomor: 003/Humas/KH/2021 tanggal 8 Januari 2021, tidak menyatakan kedua almarhum itu mati secara unlawfull killing. Karena tidak disebut unlawful killing, maka anda mau menjadikan kenyataan itu sebagai celah untuk menyatakan kedua almarhum mati secara lawfull killing? Sudahlah, logika laskar FPI menyerang petugas Polisi tidak logis. Paling mungkiin itu hanya logis bagi Irjen Pol. Fadil Imran, Kapolda Metro. Mengapa? Oke mobil Avanza Silver K 9134 EL, Xenia B. 1519 UTI dan B 1542 POI serta Land Cruiser, dalam temuan Komnas HAM telah diakui sebagai mobil polisi. Tetapi soalnya adalah apakah mobil-mobil ini punya ciri fisik sebagai mobil polisi? Petugas Polda Metro pakai mobil bernomor polisi K 9134 EL? Komnas HAM juga menemukan mobil B. 1739 PWQ, dan B 1278 KJD terlibat aktif dalam pembuntutan rombongan Habib Rizieq. Tetapi mobil-mobil ini tidak diakui sebagai mobil petugas Polda Metro Jaya. Pak Kapolri dan Pak Fadil Imran, apakah itu mobil hantu? Disopiri oleh kuntilanak dan ditumpangi cacing? Pak Kapolri, tanyakanlah ke Fadil Imran, siapa orang di mobil yang tak jelas itu? Tanyakan juga ke Kapolda Metro, apakah petugas-petugas yang teridentifikasi pakai seragam Polisi? Sudahlah Pak Kapolri, hentikan semua pembicaraan yang bernalar ada penyerangan polisi oleh laskar FPI. Berhentilah. Kura-kura hutan bisa jingkrak-jingkak lalu berlari layak kijang, bila wacana itu terus disajikan. Komnas HAM saja tak mampu mengindentifikasi sebagian mobil itu, lalu dengan cara apa logika atau rasio FPI tahu atau harus tahu mobil-mobil itu adalah mobil polisi? Berpenung polisi di dalamnya? Kalau bukan mobil polisi, dan petugas polisi tidak berseragam, bagaimana membangun nalar laskar FPI seharusnya tidak berusaha menghalangi atau tidak menghalangi petugas-petugas itu? Pak Kapolri dan Imran Fadil harus tahu laskar FPI itu bukan ahli nujum. Fadil Imran, sang Kapolda hebat ini, memang top. Kasus habib Rizieq baru tahap penyelidikan, tetapi telah diintai. Tersangka saja belum, tetapi telah diintai, dipantau secara intensif. Fadil benci habib Rizieq dan FPI atau disuruh Presiden membenci habib Rizieq dan FPI? Fadil memang top. Pak Kapolri biarkan saja “pernyataan laskar menyerang polisi” itu milik Fadil Imran seorang diri. Dilansir Detik.com (4/12/2020) Fadil pernah memberi pernyataan yang sangat bernilai. Kami, katanya, terus melakukan penegakan hukum, khususnya terhadap ormas-ormas yang berperilaku seperti preman." Mantan Kapolda Jawa Timur ini mengatakan tidak ada ruang bagi pelaku premanisme di Indonesia, khususnya di Jakarta. "Negara ini tidak boleh kalah dengan premanisme, radikalisme, dan intoleransi," imbuh Fadil Imran. Pihaknya tidak akan memberikan toleransi terhadap ormas yang berlaku preman. Ormas preman bakal ditindak tegas. "Semua ormas yang berperilaku seperti preman akan kami tindak tegas," tegas Fadil Imran lagi (detikcom, 4/12/202). Fadil Imran yang Irjen Polisi ini, sekali lagi, hebat. Dia bukan preman. Dia Kapolda Metro Jaya. Dia tidak menyebut FPI sebagai ormas berperilaku khas preman. Tetapi tiga hari saja setelah suara Fadil menggetarkan alam hukum dan politik Jakarta, Ormas FPI, yang personil-personilnya mengawal Habib Rizieq mati dibunuh. Mereka ditembak dalam mobil, dan baku-tembak. Hebat Irjen Fadil Imran ini. Setelah nyawa-nyawa itu melayang, Fadil segera maju ke depan memberi penjelasan. Sikap Fadil khas seorang pemimpin. Dengan meyakinkan, Fadil menyampaikan kepada masyarakat bahwa enam nyawa laskar FPI yang melayang itu akibat melawan petugas. Top coi. Apa sekarang nurani Fadil sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala, Yang Maha Tahu dan Maha Adil, yang tahu semua hal yang tersembunyi, tidak menggoda Fadil untuk sejenak saja menyadari bahwa seisi alam ini terluka, merasa dibohongi? Sungguh hebat bila Fadil tidak merasa ada kebohongan yang begitu telanjang dalam pernyataannya itu. Politik memang memungkinkan Fadil, yang tidak sama dengan Kapolda sebelumnya, mencari mimpi perkara ini berputar-putar tak karuan. Dengan begitu tidak ada petugas yang terluka karirnya, termasuk Fadil sendiri. Itu politik. Itu juga bukan alam semesta yang punya cara menertawakan dan mengolok-olok kenyataan itu. Tetapi andai Fadil memiliki mimpi itu, rasanya beralasan. Toh Kapolri, dalam kenyataan sejauh ini hanya mampu berucap indah, seindah pelangi disenja hari ketika mengucapkan, semacam janji di Komisi III DPR, akan menindaklanjuti kasus ini. Apa salah, andai orang waras menempatkan anda berdua, Kapolri dan Kapolda Metro Jaya, sebagai dua orang yang berada pada titik centrum tanggung jawab penuntasan kasus ini? Sekonyol apa andai orang waras membayangkan anda berdua segera tinggalkan jabatan yang sedang dipangku saat ini? Mundurnya anda berdua, kami bayangkan, menjadi sumbangan besar naiknya penghormatan yang pantas kepada Polri. Mundur akan menjadi cara terbaik merayu semesta untuk tak terus-terusan mencibir dan mengolok-olok anda berdua kini, esok, hingga akhir jabatan Presiden Jokowi nanti. Panggillah bimbingan moral dari lautan nurani anda berdua. Mungkin itu akan jadi bimbingan penentu. Tak akan ada yang bisa lebih jelas dari itu, apalagi lebih kuat. Sehebat apapun seorang manusia, tak pernah sehebat semesta menghormati ruh-ruh manusia, termasuk ruh enam laskar FPI yang telah melayang, tertembak peluru itu. Kebesaran nurani itu mahkota orang besar. Orang besar selalu kaya dan ringan menemukan cara besar dan anggun menyelesaikan soal. Orang besar melukis kebesarannya dengan tanggung jawab, karena tanggung jawab adalah teman seia-sekata kejujuran. Dunia terlalu canggih melukis godaan, membuatnya indah dan manis. Sehingga orang-orang kecil terlena, hanyut dan tenggelam dalam pelukannya. Pangkat dan jabatan selalu indah untuk pendaki dunia. Sayangnya pendaki tak selalu aman dari tipuannya. Mundurlah agar terhormat kelak.
Bubarkan Dan Hukum Itu GAR ITB
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN- Mahfud MD bukan seorang pengamat yang hanya dipandang untuk opininya. Tetapi Mahfud adalah Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Pejabat kompeten untuk melakukan "judgement" situasi politik dan keamanan negara. Termasuk menilai profil figur Prof. Dr. Din Syamsuddin MA, apakah radikal atau tidak? Pernyataan Mahfud tentang Prof. Din Syamsudin berbahaya atau tidak bagi bangsa dan negara. Tentu saja pernyataan yang tidak asal-asalan keluar. Juga pernyatan yang tidak asal bunyi dan bacot semata. Namun pernyataan yang didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman pribadi Mahfud, maupun sejabagai pejabat negara yang berkompeten di bidangnya. Pernyataan penting dari Pak Mahfud adalah bahwa Din Syamsuddin bukan atau tidak radikal. Ini mematahkan upaya Gerakan Anti Radikal (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang melaporkan Din Syamsuddin sebagai figur yang radikal kepada Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Laporan yang membuat keluarga besar Mummadiyah marah dan bereaksi. Muhammadiyah adalah Organisasi Kemasyaratan Kegamaan tertua di negeri ini. Lebih tua dari Nahdlatul Ulama (NU) beberapa tahun. Muhammadiyah lahir 18 November 1912 di Yogyakarta. Sedangkan NU lahir 13 Januari 1026. Wajar saja warga Muhammadiyah bekerasi keras. Karena Prof. Din Syamsudin pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Di tengah penentangan banyak pihak atas langkah GAR ITB ini, pernyataan Mahfud MD cukup menjadi jawaban. Laporan itu harus segera dimasukkan ke dalam keranjang sampah. Saatnya GAR ITB menuai badai. Karena organisasi ini mengatasnamakan alumni ITB, maka GAR telah mencemarkan institusi ITB. Karenanya pasca penegasan Menkopolhukam terhadap pribadi Prof Din Syamsuddin, konsekuensi terhadap GAR dan laporannya adalah : Pertama, sanksi moral harus diberikan, yaitu GAR ITB mesti mencabut laporan KASN dan meminta maaf kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. Berjanji untuk kepada publik dan ketelebagaan ITB untuk tidak lagi mengulangi kerjap-kerja yang tendensius dan berbau fitnah seperti ini Karena bukannya berdampak positif untuk isntitusi ITB, tetapi malah mendowngrade ITB. Kedua, sanksi sosial harus diberikan kepada organisasi GAR ITB , yakni desakan atau himbauan ITB agar GAR dibubarkan karena terbukti berulang kali mencemarkan nama baik institusi ITB. Pembubaran adalah konsekuensi logis dan pelajaran yang sangat berharga. Tujuannya, agar ke depan GAR tidak lagi digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik sesaat. Ketiga, sanksi politik yaitu GAR ITB diusut tentang pendanaan dan perlindungan "kakak pembina" karena memperlihatkan diri sebagai buzzer kekuasaan. GAR bukan bagian dari institusi ITB, tetapi menjadi alat mainan "luar" untuk mengacak-acak ITB. GAR bukan kumpulan akademisi tetapi gerombolan politik yang berkedok sebagai alumni ITB. Keempat, sanksi hukum. GAR ITB yang telah mencemarkan nama baik Prof. Din Syamsuddin, sehingga layak untuk diadukan ke aparat penegak hukum atas delik pelanggaran hukum yang telah diperbuat. Pelanggaran tersebut diatur dalam KUHP dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE). Disamping gugatan perdata yang juga dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Kelima, sanksi agama. Reaksi MUI, Muhammadiyah, dan NU dalam pembelaan kepada Din Syamsuddin mengindikasi ada misi keagamaan tertentu untuk memfitnah dan mendiskreditkan seorang tokoh Islam. Din Syamsuddin adalah tokoh Islam tingkat Nasional dan Internasional. Penyelidikan lanjutan diperlukan untuk membuktikan ada tidaknya "serangan keagamaan". GAR ITB telah membuat gara-gara dan kegaduhan di lingkungan akademis. Jika dibiarkan tanpa sanksi, dikhawatirkan GAR ITB akan terus bergerak merajalela menunaikan misi mengacak-acak harmoni dengan prasangka, hoaks, dan hate speech yang lebih jauh akan merusak ideologi bangsa. Kini hanya tiga kata untuk GAR ITB sang perusak harmoni, yaitu bubarkan, kucilkan, dan hukum ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pers Nasional Itu Hanya 9 Februari Saja, Selebihnya Pers Jokowi
by Asyari Usman Medan, FNN - Bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2021, Presiden Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah. Termasuk mengkritik Jokowi sendiri. Kemudian, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung malah lebih menantang lagi. Dia juga berbicara terkait HPN. Kata Pramono, pemerintah memerlukan kritik pedas. Kritik tajam. Tampaknya Jokowi “prihatin” melihat pers nasional yang utuh dan total menjilat kekuasaan. Kecuali segelintir. Kalau dicermati berita-berita tentang permintaan kritik dalam beberapa hari belakangan ini, kita semua berbesar hati. Rasa-rasanya pers segera menikmati kebebasan mengkritik penguasa. Tetapi, bisakah imbauan kritik itu dipercaya? Mungkinkah pers nasional terbebas dari ketakutan dan keterpaksaan menjilat kekuasaan?Wallahu a’lam. Too good to be true. Terasa bagaikan mimpi indah. Jokowi dan Pramono Anung mengeluarkan imbauan “mari kritik kami” itu tampaknya semata-mata untuk tujuan peringatan HPN. Mereka merasa wajib bercuap-cuap manis tentang kebebasan pers pada tanggal itu. Supaya mereka terlihat pro-kebebasan pers. Padahal, imbauan kritik itu hanya berlaku satu hari saja. Khusus pada HPN 9 Februari itu. Tidak dimaksudkan berlaku tanpa batas waktu. Argumentasinya adalah, HPN ditetapkan 9 Februari. Hanya satu hari saja. Selebihnya, dari 10 Februari sampai 8 Februari tahun berikutnya bukan Hari Pers Nasional. Melainkah Hari-hari Pers Jokowi (HPJ). Jadi, sepanjang 364 hari dalam setahun, pers di Indonesia adalah pers Jokowi. Hanya satu hari saja pers di negara ini untuk kepentingan non-Jokowi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Laporkan Din Syamsuddin, GAR ITB Seperti Buzzer Peliharaan Penguasa
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Langkah elaporkan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Din Syamsuddin MA ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) oleh Gerakan Anti Radikal (GAR) Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah tuduhan yang tidak berdasar. Tuduhan atas dasar kebencian dan hayalan semata. Tuduhan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Deliknya adalah pencemaran nama baik yang nyata-nyata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undan-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE). Jika mau, makan Prof. Din Syamsudin bisa saja melaporkan kepada polisi atas dugaan pencemaran naik, atau penyerangan terhadap pribadi seseorang. Namun semunya tentu tergantung pada Pak Din sendiri untuk bersikap. Walaupun sebenarnya publik jengkel atas sikap GAR ITB yang telah mempermalukan diri. GAR juga melacurkan kualitas akademik sebagai alumni ITB. Kampus hebat yang dirusak oleh mental alumni yang menghamba pada kekuasaan. Menurut orang Belanda itu namanya "sklaven geist" (bermental budak)! Radikalisme itu adalah isu atau ideologi yang sering dinyatakan oleh kaum penjajah kepada mereka yang bersikap kritis terhadap kebijakan penjajah. Ekstrim, radikal, pemberontak adalah sebutan yang mudah untuk disematkan kepada pribumi yang berjuang untuk kemerdekaan negeri. Mereka difitnah dan diadu domba oleh penguasa dengan memanfaatkan pribumi yang berwatak penghianat. GAR mestinya berdiskusi dulu dengan sesama akademisi untuk menetapkan kriteria yang jelas, absolut, dan akademikal tentang radikal dan radikalisme. Terlihat kalau GAR telah gagal faham atau miskin pemahaman, miskin narasi, dan miskin literasi tentang radikalisme dan ekstrimisme. Kalau untuk memahami yang kecil-kecil saja tidak mengerti latar belakangnya. Bagaimana dengan yang besar? Sebaiknya jangan seenaknya menetapkan radikal atas sikap kritis dan korektif terhadap penguasa. Sejak SBY dulu, Pak Din sudah kritis terhadap penguasa. Bahkan lebih keras dari sekarang. GAR terlalu naif atau kekanak-kanakan jika sikap kritis disamakan dengan ekstrim dan radikal. Tanpa kejelasan definisi atau makna, maka sebenarnya tuduhan itu dapat menunjuk pada diri sendiri. Dahulu para nabi, sejak Ibrahim As, Musa As, dan Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam juga dituduh ekstrim dan redikal oleh penguasa dan antek-anteknya ketika itu. Padahal yang sejatinya radikal dan ekstrim itu adalah penguasa Fir'aun, Namrud, dan Abu Jahal. Mereka adalah ekstrimis atau radikalis dalam setiap keburukan, kezaliman, dan kriminal. Nah tentu saja GAR yang seenaknya menuduh radikal kepada Prof. Din Syamsuddin, tidak akan senang jika disebut juga sebagai radikal keburukan, kezaliman, dan kriminal seperti Fir'aun, Namrud, atau Abu Jahal. Oleh karenanya bersikap lebih santun, bijak, dan "nyakola" lah sedikit. Belajarlah untuk saling menghormati sesama akademisi, perbedaan adalah hal yang wajar di dunia kampus. Sikap kritis inheren dengan karakter kampus sebagai masin produksi cendikiawanan. Kampus itu bukan tempat untuk saling memusuhi. Apalagi untuk sekedar mencari muka kepada penguasa. Terlalu primitif dan kampunganlah. Sebaliknya, GAR tampil memperlopori gagasan-gagasan briliun dari ITB untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Seperti mengatasi pandemi covid-19 dan krisis ekonomi. Melaporkan Din Syamsuddin kepada KSAN adalah pencemaran nama baik. Nyata sebagai perbuatan melawan hukum. Sama saja artinya dengan main hakim sendiri "eigen richting". Nggak lucu kan kalau orang-orang kampus main hakim sendiri? Apa bedanya dengan preman jalanan? Masa sih GAR mau disamakan dengan preman juga? Ya sebaiknya janganlah. Majalah Tempo pernah memprihatinkan keruntuhan moral dunia kampus dengan membuat ilustrasi cover tikus bertoga dan ber"barcode harga". Kampus yang digambarkan telah kehilangan nilai-nilai intelektual. Tempat pagiarisme dan komersialisme bersarang. Sama dengan tempat para kolaborator, penghianat, pencari muka bersembunyi. Organisasi para agen dan penyembah kekuasaan. GAR ITB tak perlu menjadi tukang lapor-lapor seperti para buzzer peliharaan penguasa. Hadapi secara dialogis masalah yang menjadi misi perjuangannya. Buka ruang diskusi, buktikan kecendikiawanan diri dan organisasi. Menjadi pelaksana dari prinsip "in harmonia progressio". Bukan sebaliknya penyebab kemunduran dalam ketidakharmonisan. Sayang jika ITB dicemari oleh para "buzzer" peliharaan penguasa berkedok sebagai alumni. ITB itu sejak kemerdekaan sudah hebat dan terhormat. ITB juga terkenal mandiri dan merdeka. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
WHO dan China Bakal Jadikan Indonesia “Tersangka” Sumber Corona?
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Guru Besar Biologi Molekuler Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof. Chaerul Anwar Nidom angkat bicara soal pernyataan bahwa Virus Corona bukan dari laboratorium di China. Ia meyakini COVID-19 itu buatan, tak alami. Menurutnyua, pandemi Covid-19 merupakan sebuah wabah yang didesain sedemikian rupa. Sebab, jika pandemi ini muncul secara alamiah, maka akan mudah diketahui asal-usulnya. Ia juga mengatakan, membuat virus memang ada ilmunya. “Kalau alam kan sebenarnya bisa dideteksi kan. Tapi yang tidak bisa dideteksi bagaimana ada orang jahat di sebuah laboratorium untuk kepentingan-kepentingan dan disebarkan. Nah, itu kan by design namanya. Jadi virus itu didesain,” ujar Nidom, seperti dikutip Detik.com. ”Dan, itu ada ilmunya, kemampuan itu ada bahwa virus itu bisa dibuat itu bisa,” lanjut Nidom, Rabu (10/2/2021). Pernyataan itu disampaikan setelah WHO menyatakan, virus Corona tak mungkin berasal dari laboratorium di China. “Ya karena virusnya kan ndak bisa ditanya. Jadi apa pun pendapatnya bisa saja diputar balik, kan gitu. Kecuali virusnya bisa diinterogasi kayak yang dilakukan pihak penyidik kan baru ketahuan,” ujar Nidom. Menurut Prof Nidom, itulah problematikanya. Jadi, siapa pun mau mengatakan dari mana dari mana itu bisa saja dilakukan. “Itu kan bisa demi kepentingan politik, demi kepentingan yang lain-lain,” imbuhnya. Ia kemudian mengingatkan kembali bagaimana awal kemunculan virus Corona yang pertama kali terdeteksi di Kota Wuhan, China, yang sempat mempunyai banyak nama. Namun, pada akhirnya semua menyebut sebagai Corona Virus Disease 2019 atau COVID-19. “Sama dengan dulu memberi nama virus COVID ini disebut juga dengan Wuhan Virus, terus pemerintah China protes karena nanti akan tertulis selama-lamanya. Sehingga diganti dengan SARS CoV. Kemudian penyakitnya juga dulu disebut penyakit Wuhan,” ujar Prof Nidom. “Cina protes lagi makanya disebut Corona Virus Disease 2019 atau COVID-19,” lanjut Prof Nidom. “Tapi letusan (Corona) itu kan dari Wuhan. Seandainya bukan dari Wuhan kan tidak bisa kita mengatakan bahwa ini pandemi. Jadi titik episentrum awal ini dari Wuhan,” tambahnya. “Nah sekarang sebelum dikatakan dari Wuhan dan sebagainya, ada dari mana-mana kan yang dicurigai dari Amerika Serikat dan sebagainya. Nah kalau ini benar berita seperti itu harusnya pemerintah China menuntut pemerintah Amerika,” tegas Prof Nidom. Menurut Prof Nidom, meski ada perdebatan mengenai asal-usul virus Corona, masyarakat dunia sudah terlanjur mempercayai bahwa pandemi ini memang bukan alamiah. Hal ini kemudian membuat WHO turut ikut menyelidiki muasalnya. Apalagi, di masyarakat sudah berkembang bahwa ada suatu penyakit yang bukan alamiah. Jadi ada kepercayaan dan keyakinan dari masyarakat dunia bahwa Covid ini apakah wabah alam atau wabah buatan. “Sehingga WHO ini perlu turun untuk meyakinkan masyarakat dunia. Nah, ini tergantung dari kemampuan WHO untuk menyelidiki itu," terang Prof Nidom. Sebelumnya, tim pakar internasional yang menyelidiki asal-usul Covid-19 menolak anggapan, Covid-19 berasal dari laboratorium di China. Peter Ben Embarek, Kepala Misi WHO mengatakan, sangat tidak mungkin virus itu adalah bocoran dari laboratorium di Kota Wuhan. Peter Ben mengatakan, perlu penyelidikan lebih lanjut untuk mengidentifikasi sumber virus. Penyelidikan sekarang bisa fokus di Asia Tenggara, kata seorang pakar kesehatan. Tim WHO saat ini dalam tahap akhir misi investigasi mereka. Wuhan yang terletak di Provinsi Hubei adalah tempat virus Covid-19 pertama kali dideteksi pada 2019. Sejak itulah, lebih dari 106 juta kasus dan 2,3 juta kematian telah dilaporkan di seluruh dunia. Mengarah ke Indonesia? Kesimpulan dari para tim peneliti WHO terkait laboratorium di Wuhan bahwa yang sangat tidak mungkin virus itu bocor dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium dengan banyak koleksi sampel virus, menjadi bukti WHO membela China. Dalam menentukannya, tim tersebut mengatakan, kebocoran semacam itu sangat jarang dan tidak ada bukti virus itu ada di lab itu atau di lab mana pun di dunia saat pandemi dimulai. “Sangat tidak mungkin ada sesuatu yang bisa lolos dari tempat seperti itu,” ujar pemimpin tim WHO Peter Ben Embarek saat meninjau protokol keselamatan di sana. Benarkah ini senjata biologis yang sedang dikembangkan China, seperti sinyalemen seorang perwira intelijen dan ahli perang biologis Israel Letkol Dany Shoham? Jika benar, ini jelas sangat membahayakan kehidupan manusia di dunia. Bisa saja virus ini senjata bio massal China, seperti SARS dan lain-lain. Hanya saja China sedang naas alias apes kali ini. Sekarang ini senjata paling bahaya bagi manusia bukan nuklir atau bom atom. Senjata paling bahaya ya bio massal. Perlu dicatat! Perang Dunia I berakhir itu gara-gara wabah cacar. Dan, kini dengan banyak negara punya nuklir, penangkalnya pun sudah mereka siapkan. Makanya, sekarang negara-negara maju berlomba-lomba membuat senjata biologis lagi. Sebenarnya bukan naas juga. Uji coba mereka berhasil. Cek saja siapa-siapa yang menjadi korban. Hanya kalangan miskin China. Dan, ke depan China akan berubah menjadi Thanos: melenyapkan sebagian besar populasi manusia dan hewan melalui senjata biologis. Targetnya: orang-orang miskin yang menurut China sudah tak berguna! Yang dikhawatirkan virus-virus bio massal itu dikirim ke seluruh dunia via drone. Sebab, radar belum bisa deteksi drone. Bahasa radar hanya unidentifying object. Uji coba nuklir dan penangkalnya beberapa waktu lalu justru sudah dilakukan AS dan Iran. Termasuk uji coba senjata dengan medium drone. Diduga, itu adalah senjata Nuklir. Coba saja periksa bagaimana kondisi mayat jenderal Iran yang jadi korban serangan drone AS itu. Benarkah Virus Corona yang sedang melanda Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, adalah senjata biologis yang berasal dari Wuhan Institute of Virology, sebuah laboratorium terkait senjata rahasia China yang mengembangkan virus mematikan. Tampaknya tudingan perwira intelijen Israel itu secara gamblang telah “dimentahkan” oleh WHO dan China. Dan, penyelidikan WHO sekarang “bisa fokus” di Asia Tenggara. Meski tak menyebut nama negara, sepertinya WHO dan China bakal menjadikan Indonesia sebagai “tersangka” sumber Virus Corona? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Robohnya BUMN Asuransi Kami
TAHUN 2021 adalah tahun paling menyedihkan buat industri asuransi, mengingat raksasa-raksasa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi kita terancam menderita kerugian ratusan triliun. Lebih celaka lagi potensi kerugian itu dilakukan oleh orang dalam, yakni direksi dan komisaris bekerjasama dengan para rent seeker, pemburu rente, yang menggerogoti BUMN asuransi kita secara sempurna. Bagaimana itu bisa terjadi? Tiga bulan lalu sahabat yang rajin menulis isu asuransi, yakni Irvan Raharjo, mengbarkan baru merampungkan buku Robohnya BUMN Kami. Secara filosofi judul tersebut memang datang dari kami, sehingga beliau secara pribadi mengucapkan terima kasih atas inspirasi judul buku terbarunya. Kabar yang menggemberakan dari praktisi asuransi itu, hadirnya buku itu tentu saja disambut meriah buat kalangan industri asuransi, karena telah hadir satu buku baru dibidang asuransi yang diakui sangat sulit dan tidaklah mudah membuatnya. Kabar buruknya justru apa yang diceritakan dalam buku itu menggambarkan betapa buruknya pengelolaan BUMN asuransi kita yang rerata beraset besar dan sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Memang sangat menyedihkan, rakyat Indonesia disuguhkan praktik kepemimpinan asuransi yang adigang adigung adiguno, ugal-ugalan, norak dan cenderung koruptif massif. Dengan kedekatan pertemanan direksi dan komisaris berhasil menjebol kocek asuransi BUMN yang kita cintai ini. Celakanya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bak macan ompong, tak mampu membendung proses perampokan dana asuransi baik yang secara terang-terangan maupun tersembunyi, lewat financial engineering, mark up atau mark down aset, maupun lewat goreng menggoreng saham di pasar modal. Lihat saja jejak potensi kerugian asuransi BUMN itu. Menurut Kejaksaan Agung, Asuransi Jiwasraya yang awalnya diduga menderita kerugian Rp17 triliun melonjak menjadi Rp37,4 triliun. Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) harus menanggung potensi lonjakan kerugian dari Rp22 triliun menjadi Rp23,7 triliun. Selain itu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, masih menurut Kejaksaan Agung, harus menderita potensi kerugian hingga Rp20 triliun. Sebelum itu asuransi kumpulan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang walaupun bukan BUMN asuransi, tapi merupakan municipal insurance atau asuransi kumpulan, dimana setiap pemegang polis sekaligus pemegang saham, harus menanggung negative spread Rp20 triliun. Yakni selisih antara aset Rp10,1 triliun dengan kewajiban yang harus ditanggung Rp30,1 triliun. Kalau diperhatikan, modus kejahatan BUMN asuransi itu terjadi setahun dua tahun sebelum dan sesudah Pilpres. Mengapa? Kalau proses perampokan yang terjadi sebelum Pilpres berlangsung, diduga digunakan untuk dana politik jelang Pilpres. Sementara kalau proses perampokan terjadi setelah Pilpres, itu pertanda sang Pilpres terpilih sedang menggunakan kekuasaannya untuk mengeruk dana asuransi lewat modus operandi yang berbagai macam tadi. Robohnya BUMN asuransi ini memang dahsyat dan itu terjadi dimasa kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir. Celakanya aliran dana BUMN asuransi tersebut ada yang menyasar di saham milik keluarga besar Erick Thohir, secara moral harusnya beliau mengundurkan diri atau mempersilakan aparat untuk menelusuri atau bahkan menyelidiki kasus tersebut. Lebih celaka lagi, dalam kasus Jiwasraya dan ASABRI melibatkan ahli goreng saham di pasar modal, yakni Benny Tjokrosaputro. Penulis menduga yang bersangkutan juga berperan dalam cawe-cawe dana BUMN asuransi lainnya, yakni Jiwasraya. Dalam kasus Jiwasraya, Benny Tjokro yang merupakan pihak eksternal yang sudah divonis seumur hidup dan penyidik menyita 33 hektare tanahnya di Rangkas Bitung, tentu saja ia melakukan banding. Sedangkan dalam kasus ASABRI peran Benny Tjokro sedang dalam penyelidikan. Ada lagi nama Heru Hidayat, Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk, yang ikut menjebol dana ASABRI, diketahui ikut berperan menggerogoti dana ASABRI. Jaksa Agung telah menyita 20 unit kapal tanker miliknya, dimana dalam sehari kapal-kapal tanker tersebut mendapat tarif sewa mencapai Rp437 juta per hari. Ada nama Harry Prasetyo, mantan Dirut Jiwasraya yang sempat mampir menjadi Deputi di Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia menjabat sebagai menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis. Harry diduga berperan besar dalam pembobolan dana Jiwasraya, sehingga hadirnya Harry di Istana benar-benar mencoreng nama baik KSP, Itu sebabnya Moeldoko sempat merasa kecolongan. Bagaimana cara mereka membetot dana BUMN asuransi tersebut, tentu bervariasi. Ada yang digunakan untuk menggoreng saham perusahaan yang owner-nya memiliki kedekatan dengan direksi dan komisaris BUMN asuransi itu. Ada juga yang mengakuisisi aset tanah dan bangunan dengan harga mark up, disamping juga ada modus penempatan dana dalam perusahaan, bank atau emiten, kemudian dana itu diolah sedemikian rupa sehingga merugikan perusahaan asurangi tersebut. Yang menyedihkan ada direksi yang sengaja membuat klaim palsu atau klaim atau perusahaan yang sudah selesai masa asuransinya (replanting claim), sehingga dana asuransi itu pun terbang entah kemana. Yang paling besar tentu dengan cara menggoreng saham emiten tertentu sampai setinggi langit, kemudian saham itu jatuh serendah-rendahnya sehingga investasi BUMN asuransi itupun hancur. Sayangnya kelanjutan penyelidikan aliran dana ke partai politik, yang diperkirakan menjadi penyebab utama korupsi itu terjadi, tidak berlanjut. Penyeleidikan mentok di tokoh-tokoh internal asuransi dan petinggi perusahaan emiten. Nama-nama yang mengarah ke parpol seperti Harun Masiku hilang lenyap tanpa jejak. Hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa perampokan dana-dana BUMN asuransi itu adalah, pertama, betapa budaya pemerasan BUMN sejak zaman Orde Baru hingga kini masih berpangsung dengan derajat yang makin brutal dan massif. BUMN menjadi sapi perah itu ternyata nyata, bukan mitos, dan belum berhenti. Kedua, peristiwa penggangsiran likuiditas BUMN asuransi makin hari makin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Sehingga efek kerugian yang diciptakan semakin besar. Ketiga, penelusuran rekening dan keterlibatan tokoh hanya berhenti pada direksi, komisaris dan pihak swasta yang terlibat saja. Ketika ada indikasi mengarah ke tokoh politik langsung dihentikan. Keempat, dengan masih amannya aktor intelektual yang nota bene para politisi dalam proses perampokan dana BUMN asuransi, maka besar kemungkinan proses itu masih berlanjut, karena tidak ada efek jera. Kelima, kita memang membutuhkan pimpinan yang kuat, tegas dan berwibawa untuk menghentikan proses penggarongan BUMN asuransi. Bahwa proses penggarongan dana BUMN asuransi masih terus berlangsung, membuktikan bahwa kepemimpinan yang ada benar-benar lemah, tidak tegas dan jauh dari berwibawa. Itulah nestapa yang menimpa BUMN asuransi kita, dimana perusahaan asuransi itu adalah peninggalan para founding father bangsa ini. Saat mendirikan mereka berharap BUMN asuransi kita bisa menyejahterakan rakyat Indonesia. Oleh karena rendahnya amanah dan rendahnya rasa takut pada Tuhan, maka proses penggarongan itu terjadi dan masih berlangsung. Disaat kita sibuk meratapi penggarongan BUMN asuransi, perusahaan asuransi asing justru sedang berpesta pora menikmati kinerja dan laba yang bersinar seperti Prudential, Manulife, Allianz, Zurich, dan lainnya. Itu sebabnya penulis memperkirakan BUMN asuransi kita akan tergilas oleh zaman, tergusur oleh waktu, terkubur oleh sifat rakus, tamak dan sombong. Apakah BUMN asuransi kita benar-benar akan roboh? Semua berpulang pada kesadaran rakyat Indonesia dalam memilih pemiimpinnya. Wallahu ‘alam!
Soal Inkonsistensi Jokowi Juaranya
ALIANSI Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) baru saja memberikan penghargaan penting untuk Presiden Joko Widodo. Namanya, "Juara Umum Lomba Ketidaksesuaian Omongan dengan Kenyataan." Presiden Jokowi baru saja dinobatkan sebagai figur yang inkosisten. Karena itu dalam bahasa lain, dia baru saja mendapatkan : Inkonsistensi Award! Orang Jawa menyebut figur semacam ini dengan sebuah idiom “Isuk dele, sore tempe.” Berubah-ubah dengan sangat cepat. Tidak konsisten. Pagi bicara A. Sore harinya tiba-tiba berubah B. Figur yang tidak bisa dipegang kata-katanya. Masalahnya menjadi jauh lebih serius karena Jokowi adalah seorang presiden. Seorang Kepala Negara. Seorang figur yang kata-katanya harus dipercaya oleh seluruh bangsa Indonesia. Orang yang punya otoritas besar, karena ucapannya bisa menjadi hukum. Sangat berbahaya bila ada seorang presiden, seorang Kepala Negara ucapannya tidak bisa dipegang. Tidak satu kata dengan perbuatan. Dalam agama Islam, figur semacam ini masuk kategori munafik. Yakni seseorang yang bila berkata, berdusta. Bila berjanji, tak pernah ditepati. Bila diberi amanah, dia berkhianat! Sebuah judgement, penilaian yang sangat berat. Tentu kita seharusnya tidak boleh memberi penilaian yang sangat berat semacam itu terhadap seorang presiden. Seorang munafik biasa saja sudah berbahaya. Apalagi seorang munafik menjadi pemimpin sebuah bangsa. Bakal cilakalah bangsa tersebut. Oleh karena itu, penghargaan yang diberikan oleh Aliansi Mahasiswa UGM ini tidak boleh dianggap main-main. Tidak boleh dianggap sekadar lucu-lucuan. Penghargaan itu sangat serius. Pertama, penghargaan itu diberikan oleh mahasiswa dari kampus yang menjadi almamater Presiden Jokowi. Harusnya UGM bangga karena seorang alumni menjadi presiden. Tapi alih-alih bangga. Penghargaan itu menunjukkan betapa mereka sangat kecewa dengan seorang seniornya yang kini menjadi presiden. Kedua, yang memberikan penghargaan adalah aliansi mahasiswa. Sebuah entitas sepanjang sejarah bangsa ini selalu menjadi motor perubahan. Secara tidak langsung melalui penghargaan ini mereka menyampaikan mosi tidak percaya kepada Jokowi. Orang yang tidak satu kata dengan perbuatan, adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Jokowi dinobatkan sebagai juara lombanya. Padahal, dalam sebuah negara demokrasi, basis legitimasi seorang penguasa, adalah kepercayaan publik. Kepercayaan yang mereka titipkan dalam siklus lima tahunan yang digelar melalui Pemilihan Umum. Ketiga, Jokowi dinobatkan sebagai juara lomba. Artinya ada semacam penilaian, di kalangan para pejabat negara sedang terjadi lomba inkonsistensi. Dengan penghargaan itu, Aliansi Mahasiswa UGM secara tidak langsung menyatakan bahwa pemerintahan di bawah kendali Jokowi tidak bisa dipercaya. Para pejabatnya bukan hanya tidak inkonsisten. Tapi justu saling berlomba menjadi juara dalam inkonsistensi. Cilakanya, juaranya adalah Jokowi. Seorang presiden, seorang Kepala Negara yang harusnya menjadi contoh bagi semua para pejabat di bawahnya. Juga menjadi contoh bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam situasi semacam ini kita menjadi teringat ujaran dari filsuf Yunani Marcus Tullius Cicero. Ikan membusuk mulai dari kepalanya. Ketika seorang Kepala Negara berperilaku busuk, maka kebusukan sebuah bangsa tinggal menunggu waktu. Kita tentu tidak mau hal itu terjadi. Penghargaan dari Aliansi Mahasiswa UGM itu hendaknya menjadi semacam peringatan. Peringatan bahwa anak-anak muda dari kampus almamater Pak Jokowi ini sangat mencintai bangsanya. Mereka pasti juga sangat mencintai almamaternya. Tidak mau nama baiknya tercoreng. Mereka pasti bangga dengan seorang seniornya yang sangat sukses di dunia politik, menjadi Presiden Indonesia. Presiden Jokowi dan jajaran pemerintah harus menganggap penghargaan ini sebagai alarm keras yang membangunkan mereka. Sudah terlalu banyak inkosistensi yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi. Terlalu panjang bila harus dijabarkan kembali satu persatu. Publik sudah sangat hafal dengan perilaku tersebut. Oleh karena itu, tidak perlu heran ketika presiden minta agar masyarakat mengkritik pemerintah, banyak orang yang tertawa-tawa geli. Tak percaya. Publik makin tertawa lebar ketika Mensekab Pramono Anung meminta pers mengkritik pemerintah sekeras-kerasnya. Kritik yang sangat pedas kepada pemerintah. Publik telanjur tidak percaya. Kebetulan pada saat bersamaan, penyidik senior KPK Novel Baswedan menyentil perlakuan polisi terhadap usataz Maher. Dia tewas di tahanan. Novel langsung dilaporkan ke polisi. Pelapornya hampir dapat dipastikan adalah ormas pendukung rezim pemerintah. Inkonsistensi yang berimbas pada meluasnya ketidakpercayaan publik, menjadi pekerjaan rumah yang sangat serius bagi pemerintah. Dalam situasi semacam ini perlu diingat kembali pepatah lama “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak dipercaya.” **
Menepis Amien Rais Soal Presiden Memegang Kekuasaan Membentuk UU (Bagian-6)
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Strategic Assessment : Mr. Soepomo, “caranya mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah dituruti cara pilihan menurut sistem demokrasi barat, oleh karena pilihan secara sistem demokrasi barat itu berdasar atas faham perseorangan. Tuan-tuan sekalian hendaknya insaf kepada konsekuensi dari pendirian menolak dasar perorangan itu. Menolak dasar individualisme berarti menolak juga sistem perlementarisme, menolak sistem demokrasi Barat, menolak sistem yang menyamakan manusia satu sama lain seperti angka-angka belaka. Angka yang semuanya sama harganya”. (Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945) Ir. Soekarno, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!” (Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945) Pembatasan, ”Untuk membedakan dan mempermudah, hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”. Ilustrasi Sebuah Adat Adat di Jawa ada yang disebut “lamaran”. Keluarga laki-laki datang kepada keluarga perempuan, melamar untuk mempersunting putri dari keluarga tersebut. Keluarga laki-laki datang sambil membawa hadiah sebagai tanda pengikat, yang prosesnya dinamai serah-serahan. Kadang kala, keluarga perempuan juga memberi sesuatu saat keluarga laki-laki pulang. Amien Syamsudin sahabat saya tinggal di Semarang, ngerti adat Jawa itu. Ketika Amien di Sumbar, daerah Padang, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan, melihat acara “manjapuik” seperti lamaran di Jawa. Melihat keluarga perempuan mendatangi keluarga laki-laki dengan membawa sesuatu sebagai tanda jadi. Amien berkomentar, “lho, mana boleh perempuan kok melamar laki-laki”. Betulkah komentar tersebut? Jelas keliru besar. Sebab yang dilihat dan dikomentari Amien itu adat di Padang, namun komentarnya menggunakan perspektif adat Jawa, yang ada di benaknya. Ilustrasi di atas, kita gunakan untuk membahas komentar Amien Rais terhadap Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dalam buku Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi. Pasal 5 & Pasal 20 UUD 1945 dan Pasal 5 & Pasal 20 UUD 2002. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Sedangkan Pasal 20 UUD 1945 ayat (1) “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”. Atas pasal tersebut, Amien Rais berkomentar, “Undang-undang dibuat oleh eksekutif, sedangkan legislatif hanya menyetujui. Ini ironis karena DPR tidak membuat legislasi, namun pemerintah yang membuat legislasi”. Komentar itu bisa dipahami, karena di awal reformasi kaum reformis menilai sistem pemerintahan Indonesia tidak demokratis, sehingga UUD 1945 perlu diamandemen. Tuduhan tidak demokratis ini juga datang dari negara asing, yang akhirnya ikut campur dalam amandemen UUD 1945. Baca : (https://rmol.id/read/2020/09/21/453155/menepis-pendapat-amien-rais-1-intervensi-asing-dan-implikasi-kembali-ke-uud-1945) . (google) Kesepakatan dalam amandemen dikala itu, Indonesia memilih sistem pemerintahan Presidensial, seperti di Amerika Serikat, Philipina dan negara-negara di Amerika Latin, yang dilandasi demokrasi Barat. Sistem ini menganut Presiden dipilih rakyat. Kedaulatan negara dipisahkan menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Karena itulah pasal di atas diamandemen. Pasal 5 ayat (1) UUD 2002, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”. Sedangkan Pasal 20 ayat (1) UUD 2002, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Pertanyaan kritis yang menyebabkan diamandemennya UUD 1945 adalah benarkah tuduhan bahwa Indonesia bukan negara yang demokratis? Tuduhan sekelompok orang dalam negeri dan asing tersebut jelas keliru besar. Sebab Pasal 1 ayat (2) UD 1945, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”. Kedaulatan di tangan rakyat, adalah ciri negara demokratis. Sedang musyawarah dan keterwakilan itu merupakan cara saja. Toh, Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa segala putusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Pasal ini juga menguatkan Indonesia sebagai negara demokratis. Pilihan cara ini memang berbeda dengan demokrasi Barat. Demokrasi individual “one man one vote” yang dihindari “founding fathers” ketika akan mendirikan Indonesia Merdeka. Pilihan jatuh pada musyawarah mufakat dan keterwakilan yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Sebab konstitusi harus disusun berdasar atas budaya dan sejarah bangsa. Demokrasi musyawarah mufakat dan perwakilan itu indah. Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, Ketua Komisi Yudisial 2016-2018, dalam bukunya, “Rekonstruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945” menulis hasil penelitiannya tentang prinsip permusyawaratan perwakilan yang termaktub dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Prinsip permusyawaratan perwakilan bersumber dari tradisi demokrasi yang dilaksanakan di daerah-daerah otonom yang disebut ‘desa’ di Jawa, ‘nagari’ di Minangkabau, dan ‘wanua’ di Bugis atau ‘bori’ di Makasar. Artinya, memang benar nilai-nilai Pancasila digali dari bumi Indonesia. Bukan dari Eropa, Amerika atau negeri manapun. Disamping penelitian, kita juga tahu bahwa masyarakat Melayu Islam sebelum dijajah Belanda, berlaku hukum dan musyawarah adat yang berjenjang. Penyalurkan aspirasi rakyat, penduduk di lapisan paling bawah mengangkat Kepala Kampung. Para Kepala Kampung bermusyawarah mengangkat para Tungkat, dan para Tungkat memilih dan atau menjatuhkan Datuk /Kepala Luhak. Datuk/Kepala Luhak beserta ‘Orang-Orang Besar’ yang terpilih, yang memilih dan menggantikan Raja, dan merekalah “Kawan Raja Bermusyawarah”, dan keputusan Kerapatan atau musyawarah ‘Orang-Orang Besar’ itulah yang disebut Amar/Titah dari Raja. Inilah budaya musyawarah dan demokrasi dengan perwakilan bertingkat asli Indonesia. Sistem ketatanegaraan kita, yang disusun “founding fathers” memiliki Lembaga Tertinggi Negara, tempat musyawarah bernama MPR. Negara ditata dengan landasan budaya bangsa sendiri. Budaya yang didasari nilai-nilai agama, khususnya agama Islam, sebagaimana Muh. Yamin mengutip surat Asy Syura ayat 38 untuk hidup musyawarah (BPUPKI, 29 Mei 1945). Semua itu dipadukan dengan teori Barat. Apakah kita berani menuduh “founding fathers” tidak paham ajaran Montesquieu tentang Trias Politika sedemikian, sehingga di dalam undang-undang dasar memberikan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang? Penulis pikir tidaklah pas. Jangan dikira “founding fathers” tidak ngerti yang disebut Trias Politika, demokrasi Barat, Parlementer, Presidensial dan ilmu-ilmu barat lainnya. Kapasitas bapak pendiri bangsa bisa kita baca saat persidangan di BPUPKI dan PPKI. Strategic assessment di atas merupakan cuplikan saat sidang mencari dasar negara, bukti betapa berilmunya beliau-beliau itu. Seperti Mr. Soepomo, beliau Ketua Panitia Kecil pembuat Rancangan Undang-Undang Dasar. Soepomo dari keluarga ningrat, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, meraih gelar Meester in de rechtern dengan predikat summa cum laude. Walau ningrat, tidak sombong, tidak punya jiwa feodal, pandai dan tidak sok ke-barat-baratan. Baca: : (http://rmol.id/read/2020/03/04/423954/menelusuri-jejak-penjelasan-uud-1945-dan-siapakah-mr-soepomo-itu). (google). Sistem Pemerintahan Sendiri Sistem Pemerintahan Sendiri juga sering disebut Sistem Pemerintahan MPR. Penulis sendiri lebih suka jika menyebutnya Sistem Pemerintahan Pancasila. Sistem ini memang berbeda dengan Sistem Parlementer, Sistem Presidensial ataupun kombinasi antara sistem Parlementer dengan Presidensial. Dalam pergulatan perdebatan saat sidang di BPUPKI, penulis yakin tentu sudah ada dialog, “Bukankah Presiden itu eksekutif? Mengapa diberi kekuasaan membentuk undang-undang? Bukankah undang-undang itu urusan legislatif?” Apakah dialog ini sudah terjawab? Penulis yakin sudah dijelaskan argumentasinya. Artinya, bukanlah kealpaan atau ketidaktahuan, tetapi memang kesengajaan. Karena Presiden dipilih MPR, tempat para wakil rakyat bermusyawarah, maka Presiden terpilih disebut sebagai ‘Mandataris MPR’. Presiden menerima mandat dari seluruh rakyat yang terwakili oleh anggota DPR, Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang ada di MPR. Karena mandat dari seluruh rakyat itulah, maka Presiden diberikan kewenangan kekuasaan membentuk undang-undang, agar dapat mencapai apa yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Penulis berpendapat, hal ini logis, siapapun mendapat tugas dan tanggung jawab, harus diberikan pula kewenangan. Sepintas kritik terhadap Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjelang amandemen benar. Benar karena pengkritik melihat dari sistem Presidensial. Tetapi menjadi tidak benar jika dilihat dari perspektif “Sistem Pemerintahan Sendiri atau Sistem Pemerintahan Pancasila”, sebagai pilihan “founding fathers”. Sistem Pemerintahan Pancasila ini sangat komprehensif. Untuk membatasi dan mengawal kekuasaan Presiden agar tidak kebablasan, pembentukan undang-undang harus persetujuan DPR. Disamping itu ada Lembaga Negara Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang wajib memberikan pertimbangan, jawaban dan usul kepada Presiden, diminta ataupun tidak. Lembaga ini sebagai Badan Penasehat. Betapa cantiknya sistem yang dilandasi Pancasila ini. Seluruh rakyat, melalui wakilnya di MPR memberi mandat kepada Presiden untuk melaksanakan GBHN. Setiap tahun Presiden menyampaikan laporan apa yang sudah dan yang akan dilakukan. Di akhir jabatan, dihadapan pemberi mandat, Presiden menyampaikan pertanggungjawaban. Berbeda dengan demokrasi Barat, yang kita tiru pasca amandemen UUD 1945. Presiden dipilih rakyat langsung, melaksanakan visi misinya sendiri. Akhir jabatan tidak ada pertanggungjawaban, pergi dengan lenggang kangkung. Inilah keburukan model Sistem Presidensial, pertanggungjawabannya tidak jelas. Karena itu Undang-Undang Dasar yang dirumuskan “founding fathers” tidak menggunakan model tersebut. Muh. Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo dan Bung Karno ketika pidato mencari dasar negara untuk Indonesia Merdeka dalam Sidang BPUPKI, jelas menolak demokrasi Barat. Dengan demikian, tidaklah pas jika kita menilai atau mengkritik Sistem Pemerintahan MPR dengan perspektif Sistem Pemerintahan Presidensial. Ibaratnya, bagaimana mungkin kita membandingkan atau menilai adat Padang dengan adat Jawa? Seperti ilustrasi di atas, karena keduanya memang berbeda. Penulis yakin, Sistem Pemerintahan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 5 ayat (1) bukanlah kesalahan. Bukan pula karena ketidaktahuan atas sistem-sistem pemerintahan lainya. “Founding fathers” memang sengaja membuat Sistem Pemerintahan Sendiri yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Seharusnya kita bangga dengan Sistem Pemerintahan Pancasila ini. Selama kita meyakininya, melaksanakan secara murni dan konsekuen, sistem ini bisa kita duniakan, sejajar dengan Sistem Parlementer dan Presidensial. Semoga bisa dipahami, Insya Allah. Aamiin. Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Managih Janji Presiden & Kapolri Soal Pembunuhan Enam Anggota FPI
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, saat menjalani fit and proper test di depan anggota dan pimpinan Komisi III DPR, menjanjikan untuk menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akibat pembunuhan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Pembunuhan yang dilakukan oleh anggota polisi dari Polda Metero Jaya. Kapolri berjanji untuk merealisasikan empat rekomendasi berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM. Sayangnya ,sejak dilantik sebagai Kapolri pada 27 Januari 2021 lalu, Listyo Sigit hingga kini belum ada kebijakan konkrit sebagai tindak lanjut apa-apa. Mayarakat negeri ini dan DPR hanya diberikan janji-janji kosong oleh Listyo Sigit. Meski tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM yang terbilang rendah dengan hasil rekomendasinya. Tetapi apa yang telah didapat Komnas HAM dengan hasil yang minim tersebut, seharusnya ditindaklanjuti adalah penegakan hukum. Membawa aparat yang menjadi pelaku pembunuhan ke proses peradilan yang terbuka dan transparan. Disamping janji Listyo Sigit Prabowo, juga Presiden Jokowi juga telah berjanji pula untuk menjalankan rekomendasi Komnas HAM. Sayangnya, sejak Presiden menerima laporan penyelidikan dari Komnas HAM, sampai sekarang tidak ada kelanjutan. Karenanya bola janji membawa pelaku pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI ada di tangan Presiden dan Kapolri. Sebenarnya Kapolri sebelumnya Jenderal Polisi Idham Azis sudah membentuk tim khusus pengusutan. Tim tersebut untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil penyelidikan Komnas HAM. Artinya, Kapolri baru Jendral Polisi Listyo Sigit tinggal dan menyempurnakan saja tim yang sudah dibentuk oleh Jendral Polisi Idham Azis. Tinggal melanjutkan saja yang sudah ada. Tetapi ternyata hingga kini masih tidak jelas pula agenda kelanjutan penyidikan perkara di kilometer 50 tol Japek tersebut. Keseriusan Kapolri Jendral Listyo Sigit untuk membawa pelakukan pembunhan ke pengadilan mulai dipertanyakan. Luar biasa bertele-telenya penanganan kasus ini. Sudah hampir tiga bulan peristiwa terjadi, namun masih miskin langkah nyata. Belum memulai untuk merealisakan janji soal pembunuhan enam anggota Laskar FPI, kini sudah muncul lagi kasus baru. Misalnya, meninggalnya Ustad Maheer At Thuwailibi di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yang juga menuai kecurigaan masyarakat luas. Sehingga Komnas HAM juga berniat untuk melakukan penyelidikikan terkait kematian ustadz Maheer. Tampknya semakin menumpuk saja persoalan yang bekaitan penegakan hukum dan pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan. Satu masalah belum selesai, sudah muncul masalah baru lagi. Ini akibat dari cara-cara kerja polisi yang terlihat tidak profesinal dan amatiran. Semakin menjauh dari profil polisi Indonesia yang prefesional, moder dan terpercaya (Promoter). Jika-janji Kapolri hanya tinggal janji. Tidak ada langkah-langkah nyata di lapangan. Maka wajar saja, jika pada akhirnya publik akan bertanya, sebagai Kabareskrim saat itu, Listyo bersama Kapolda Metro Fadil Imran apakah terlibat? Ketika itu ada tuntutan agar Fadil Imran dinon-aktifkan atau diberhentikan dulu sebagai Kapolda, bagaimana dengan tuntutan kepada Listyo Sigit? Presiden sebagai figur yang sering berjanji, tetapi tidak terbukti janjinya. Kini oleh para mahasiswa dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta telah dinobatkan sebagai "Juara Lomba" inkonsistensi. Janji dan realisasi yang tidak bersesuaian. Nah kasus pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI ini sebagai bola janji inkosistensi yang ada pada Presiden dan Kapolri. Pertanyaanya, akankah Pak Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit bakal menjadi juara janji yang inkonsistensi juga? Atau sekurang-kurangnya bakal menjadi runner up lomba jani dengan hasil inkonsistensi? Semoga saja tidak terjadi, sehingga kekecewaan publik terhadap kinerja polisi yang “PRESISI” tidak semakin bertambah ambruk, seperti yang sudah terjadi pada “PROMOTER” Ayo Pak Kapolri segera bergerak. Jangan ragu untuk mengumumkan dan menyeret anak buah anda ke meja hijau demi nama baik jajaran Kepolisian, Semoga nantinya Kepolisian sebagai anak kandung reformasi tidak mendapat predikat sebagai "Juara Lomba Pelanggaran HAM". Polisi harus tetap dipertahankan sebagai produk reformasi yang telah berhasil dipisahkan dati tentara. Ingat itu baik-baik pesan paling mulia dan berharga dari kode etik kepolisian, “bawahan boleh menolak perintah atasan yang bertentangan dengan hukum. Institusi polisi tidak boleh melindungi oknum yang melanggar hukum. Sebaliknya, oknum yang melanggar hukum, jangan mengorbankan institusi polisi dengan cara berlindung dibalik institusi”. Kasian institusi polisi. Ingat lagi baik-baik dengan sumpah ketika pertama kali menjadi anggota polisi, yaitu “rela berkoban dan mati untuk negara dan institusi polisi”. Ayo lakukan sumpah itu dalam kaitan dengan pembunuhan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Tujuannya untuk menjaga marwah dan martabat polisi, agar tetap dihargai masyarakat sebagai penegak hukum yang berwibawa ke depan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.