ALL CATEGORY

Buzzerkrasi Yang Leluasa di Rezim Jokowi

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Era Pemerintahan Jokowi demokrasi sangat memburuk ambruk. Indeks demokrasi terjun bebas. Cuitan Pak Kwik Kian Gie, mantan Menteri Kordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekuin), dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menyebut kondisi kini berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Sangat mengerikan kalau berbeda pendapat dengan penguasa. Suasana nampak menakutkan. Bukan karena takut mengkritik, tetapi perbedaan pendapat yang disikapi dengan serangan para buzzer, terutama buzzer rupiah. "Masalah saja pribadi diodal-adil", serunya. Pandangan Kwik disetujui oleh Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Kekuasaan buzzer yang luar biasa sekarang ini. Buzzur begitu bebas dan leluasa untuk menyerang siapa saja yang berbeda pendapat dengan penguasa. Buzzur yang menyerang dengan membabi buta. Namun tidak tersentuh oleh hukum. Negara seperti tanpa ada hukum pada para buzzer. Kenyataan prilaku para buzzur ini menggambarkan pergeseran sistem pemerintahan dari demokrasi kepada buzzerkrasi. Kata buzzer itu dari bahasa Inggris, yang artinya lonceng atau alarm. Dalam makna tradisi Indonesia adalah kentongan. Berfungsi untuk memperbesar gaung dan memanggil orang untuk berkumpul. Buzzer digunakan untuk menyuarakan kandidat, pemimpin, bahkan suara Istana. Keliling dari kampung ke kampung. Dari media satu ke media yang lain. Kalau di media sosial (medsos) buzzer lebih populer saat kini. Ada fungsi dan tugas baru dari situkang pukul kentongan ini. Tugasnya menakut-nakuti seperti terjadi pada kasus Pak Kwik Kian Gie. Apalagi dengan kekuasaan besar, proteksi hukum yang kuat, serta menjadi alat pengancam efektif, maka buzzerkrasi sekarang menjadi sangat fenomenal. Melengkapi multi predikat rezim Jokowi. Mulai dari oligarki, korporatokrasi, otokrasi, kleptokrasi, hingga buzzerkrasi. Yang terakhir ini ternyata sangat berbahaya. Sebab dibentuk memang dengan tugas untuk menyerang lawan. Korporatokrasi atau kleptokrasi hanya memangsa lingkaran kecil dan tertentu, tetapi buzzerkrasi menjadikan oposisi sebagai target. Politisi, cendekiawan, aktivis, hingga rakyat kebanyakan. Pemimpin negara yang tak punya wibawa, miskin gagasan, senang pencitraan dan pengecut, bisanya hanya membayar harga mahal para buzzer. Sayangnya bukan uang pribadi, tetapi menggunakan uang negara. Jika ini yang dilakukan, maka hal itu bukan masuk bagian dari dana sosial atau hibah, tetapi korupsi karena dana buzzer tidak masuk dalam item APBN yang disetujui DPR. Rambahan buzzer cukup luas dan sudah kemana-mana. Tokoh pegiat Keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyebut bahwa serangan rasialisme kepada dirinya yang dilakukan pula oleh para buzzer rupiah sudah ratusan, bahkan ribuan kali. Menurut Pigai, rasisme yang dilancarkan para buzzer ini diremote control oleh lingkaran kekuasaan. Meski dibantah oleh Ali Mucthar Ngabalin, tetapi kecurigaan Pigai cukup beralasan. Korbannya bukan hanya Natalius Pigai dan Kwik Kian Gie. Mantan Menteri Keluatan dan Perikanan, Susi Pujiantuti juga ikut diserang para buzzur, dengan subutan Kadrun (Kadal Gurun). Padahal Susi masih suka pakai celana pendek, pakaian ketat, dansa-dansa dan ngewain. Keberadaan buzzer menurut Ketua YLBHI Asfinawati dibenarkan atas dasar penelitian Oxford University. Buzzer ini merusak demokrasi dengan memanipulasi opini. Menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Dimanfaatkan dengan optimal oleh elit-elit politik. Tanpa ada gangguan, apalagi penangkapan aparat. Mereka menggunakan media untuk propaganda dengan melabrak kode etik jurnalistik. Jika ingin mengembalikan Negara Indonesia menjadi negara demokrasi, maka masalah buzzer ini mesti diselesaikan. Buzzerkrasi tidak boleh ditoleransi. Saatnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk buzzer. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus meneliti dugaan korupsi penggunaan uang negara untuk membiayai para buzzer. DPR-RI harus menginisiasi pembuatan UU Anti-Buzzer. Demokrasi harus dan mutlak diselamatkan. Bangsa Indonesia jangan hanya ribut soal mencegah radikalisme, ekstrimisme, intoleransi, atau anti kapitalisme, liberalisme, dan komunisme. Ada fenomena baru yang mesti diwaspadai, dicegah, dan segera dibasmi yaitu buzzerisme. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Tidak Realistis Prediksi Pertumbuhan Ekonomi 5%

PEMERINTAH menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 sampai 5 persen dalam tahun 2021. Target tersebut sangat ambisius dan sangat berlebihan, di tengah prahara perekonomian dunia yang masih kencang. Tidak jelas apa dasar pemerintah membuat target pertumbuhan seperti itu. Apakah hal itu dilakukan hanya sekedar menggembirakan hati rakyat yang sudah semakin sesak napas akibat semakin sulitnya kehidupan yang dialami kian hari? Apakah pemerintah tidak jengah atau malu menampilkan angka pertumbuhan seperti itu pada saat hampir semua sendi-sendi perekonomian masih lumpuh. Terlebih lagi melihat prediksi yang dikeluarkan Bank Dunia yang menyebutkan, dibutuhkan waktu hingga lima tahun untuk "menyembuhkan" ekonomi Indonesia agar kembali seperti sebelum Covid-19. Belum lagi jika dikaitkan dengan capaian pertumbuhan ekonomi tahun 2020 lalu yang minus 2,07 persen. Ini tentu sangat berdampak pada pertumbuhan yang akan dicapai tahun ini. Perkiraan yang disampaikan Direktur Bank Dunia, Mari Elka Pangestu bukan tidak berdasar. Jika perekonomian Indonesia baru benar-benar pulih seperti sebelum pandemi Covid-19 dalam waktu lima tahun, apakah angka lima persen tahun ini realistis? Anggap saja pulih seperti pada pertumbuhan 5 ,02 persen tahun 2019. Apa ia angka 5 persen bisa tercapai tahun ini? Atau angka pesimis (paling rendah yang disodorkan pemerintah) 4,5 persen bisa tercapai? Rasanya, menaikkan pertumbuhan ekonomi dari minus 2,07 persen tahun 2020 menjadi 4,5 sampai 5 persen tahun 2021 hanyalah sebuah mimpi dan hayalan. Mengubah pertumbuhan dari negatif ke positif bukanlah pekerjaan mudah seperti membalikkan kedua telapak tangan. Mengerek ekonomi hingga tumbuh dan pulih seperti sebelum pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) bukanlah pekerjaan yang mudah. Terlebih lagi perkiraan bahwa virus tersebut baru berakhir secara global dalam jangka waktu tujuh tahun. Sedangkan di Indonesia, wabah corona diperkirakan baru berakhir dalam jangka waktu 10 tahun. Mengacu pada berbagai perkiraan itu, ditambah lagi penanganan yang dilakukan pemerintah sangat lemah dan sangat 'banci", maka sangat sulit diharapkan ekonomi Indonesia tumbuh 4,5 sampai 5 persen. Dengan membaca fakta pertumbuhan yang dicapai minus 2,07 persen tahun lalu, maka tahun 2021 ini ekonomi Indonesia diperkirakan bangkit pada angka 2,5 sampai 3,5 persen. Itu pun sangat berat untuk dicapai. Mengapa sangat berat? Tentu karena faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal jelas karena ekonomi dunia masih "ngesot", sehingga komoditas Indonesia sulit diekspor. Terlebih lagi komoditas pertanian yang menjadi andalan sebagian besar rakyat Indonesia. Untuk komoditas tertentu, sudah volume ekspornya turun, harganya juga turut merosot. Sedangkan faktor internal menyangkut tidak adanya wibawa pemerintahan Joko Widodo- Ma'ruf Amin dalam menjalankan roda pemerintahan. Ini bisa dibuktikan dari seringnya Jokowi memarahi menterinya. Dalam penanganan Covid-19, ia menyebutkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak efektif. Padahal, yang mengumumkan adalah menterinya sendiri. Lucu kan, kebijakan yang dikeluarkan anak buah dikritik sendiri. Apakah sebelum keputusan dikeluarkan, menterinya tidak menyampaikan laporan kepada Jokowi? Faktor internal lainnya adalah tingginya kegaduhan politik, timpangnya penegakan hukum (penegakan hukum yang tidak adil), serta berbagai usaha pecah-belah bangsa yang justru banyak dilakukan buzzer bayaran. Semua itu akan menjadi faktor penyebab lambatnya pemulihan ekonomi nasional. Kegaduhan yang terjadi dan yang sering dilakukan oleh para menteri Joko Widodo juga bisa memperlambat pemulihan ekonomi, dan bahkan dapat mengacaukan keamanan nasional. Apakah pertumbuhan 4,5 sampai 5 persen bisa dicapai tahun ini? Kelihatannya itu hanya mimpi. Angka tersebut tidak realistis, jika dikaitkan dengan keadaan sektor-sektor ril yang sebenarnya, terutama UMKM yang biasanya pendongkrak daya beli masyarakat. Misalnya, semakin banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang bangkrut. Tahun ini, sekitar 50 persen atau 20.000 usaha warung tegal (warteg) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) akan bangkrut karena omset yang terus merosot hingga 90 persen. Pengelola warteg tidak mampu membayar sewa tempat. Itu contoh UMKM. Masih banyak UMKM lainnya yang sudah lama gulung tikar. Sedangkan di usaha besar, sudah banyak pabrik yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Membatasi jam dan hari kerja, hanya cara mempertahankan usaha. Di sektor pendukung parawisata misalnya, kebangkrutan sudah terjadi. Faktanya, sejumlah pemilik hotel di Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan kota lainnya sudah menawarkan penjualan. Harganya, mulai dari puluhan miliar rupiah sampai Rp 2,8 triliun. Jadi, kalau pemerintah mau pertumbuhan ekonomi sampai lima persen tahun ini bisa. Asalkan dana stumulusnya ada, dan penggunaannya tepat sasaran. Dana stumulus yang dibutuhkan untuk mencapai angka lima persen itu paling sedikit Rp 2.000 triliun. Bukankah selama tahun 2020 pemerintah sudah menggelontorkan dana sebesar Rp 695,2 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN)? Akan tetapi, dana yang nyaris Rp 700 triliun itu tidak mampu memulihkan ekonomi nasional. Dana itu hanya mampu menahan supaya pertumbuhan ekonomi tidak lebih jeblok lagi dari angka 2,07 persen. Artinya, dana PEN yang habis tahun 2020 itu tidak memiliki efek yang cukup berarti terhadap pemulihan ekonomi. Hal itu bisa terjadi karena penyaluran PEN yang tidak tepat sasaran. Atau bisa juga angka Rp 695,2 triliun itu hanya di atas kertas. Bisa jadi faktanya tidak sebanyak itu, karena uang negara tidak ada, apalagi dikaitkan dengan defisit APBN 2020 yang mencapai Rp 1.000 triliun lebih atau 6,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). **

USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian-4, Penutup)

by Prof. Dr. OK Saidin SH. M.Hum Medan, FNN - Di bagian ke-3, telah dijelaskan bahwa term (istilah) ‘self-plagiarism’ itu ada. Disimpulkan pula bahwa USU akan menghadapi masalah besar ke depan di bawah pimpinan Dr Muryanto Amin. Di bagian ke-4 sekaligus penutup ini, saya coba untuk menelusuri akar masalahnya. Apa yang salah dalam pengelolaan sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Mengapa ilmu penegetahuan tak tumbuh dan tidak berkembang. Sebenarnya Menteri Nadim Anwar Makarim telah menemukan jawabannya, yakni kampus harus diberi ruang gerak ke arah yang lebih merdeka. Tercetuslah ide Kampus Merdeka-Merdeka Belajar. Akan tetapi benarkah kampus saat ini merdeka, jika dihubungkan dengan sistuasi yang sedang dihadapi USU hari ini? Ada nilai-nilai insaniah sebagai nilai universal yang tergerus dalam penanganan kasus konkrit yang dihadapi oleh USU hari ini. Yakni nilai kejujuran dan nilai keterbukaan. Selama nilai-nilai ini diabaikan, maka selama itu pula ilmu pengetahuan tak dapat tumbuh dan berkembang. Plagiat adalah perbuatan mengambil karya orang lain, dan itu adalah perbuatan tidak jujur. Tapi tidak semua perbuatan tidak jujur itu adalah plagiat. Perbuatan Self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda adalah perbuatan tidak jujur. Perbuatan itu adalah salah satu bentuk dari pelanggaran etika akademik. Siapa pun dan kemana pun ditanyakan tentang hal itu, mereka yang jujur akan memberikan kesimpulkan dan pandangan yang sama. Nilai itu universal. Buktinya universal, hari ini terbetik ide dari Kementerian untuk menyempurnakan Permendiknas 17/2010 tentang pencegahan encegahan plagiat di perguruan tinggi (Dewi Nurita, Eko Ari Wibowo, Tempo-co, Jumat, 29 Januari 2021). Artinya pihak Kementerian menyadari ada kesalahan dan ada kekurangan dalam peraturan ini. Di luar dugaan, Kementerian Agama jauh lebih maju karena lebih rinci mengatur tentang perbuatan plagiat yang memasukkan istilah self-plagiarism (plagiat karya sendiri). Akar masalah yang lain adalah, masuknya unsur politis dalam tiap kali pelaksanaan pemilihan rektor. Hal ini tidak dapat dihindari selama Kementerian dalam pemilihan rektor porsinya 35 %. Akibatnya tiap lima tahun sekali kampus menjadi "terbelah". Habis energi dan waktu rektor untuk menyatukan kembali situasi yang sudah terbelah itu. Kadang-kadang sampai satu atau dua tahun dan bahkan sampai berakhir periode kepemimpinannya. Suasana batin para pihak yang bertikai dipenuhi oleh rasa kebencian yang tak berujung. Padahal, mereka sama-sama dosen dan kolega. Ini tentu menjadi bahan masukan dan renungan bagi pemerintah di tengah kumandang Kampus Merdeka-Merdeka Belajar. Hendaknya yang dimerdekakan dahulu adalah para sivitas akademikanya. Kalau suara Kementerian dalam pemilihan rektor tetap 35 %, itu artinya tiap 5 tahun sekali para calon rektor mencari calon anggota MWA wakil masyarakat yang dekat dengan kekuasaan yang nanti diharapkan akan menempatkan suara 35 % itu di pihaknya. Faktor masuknya unsur politik dan berbagai intervensi tak dapat terhindarkan lagi. Oleh karena itu, kaum intelektual kampus perlu memikirkan agar pemilihan rektor itu kembali ditentukan oleh MWA dengan sistem one man one vote. Pihak Kementerian tetap memiliki satu suara sama dengan suara Gubernur. Demikian juga, mereka yang duduk di eksekutif seperti rektor dan dekan tidak boleh rangkap jabatan di MWA. Jika telah duduk di MWA yang bersangkutan harus melepaskan jabatannya di eksekutif. Logikanya, tidaklah cocok orang yang harus diawasi duduk sebagai pengawas. Faktor-faktor ini sangat kental dalam menciptakan suasana tak nyaman di kampus. Carut-marut di USU hari ini bisa jadi dipicu oleh faktor-faktor itu. Pelantikan Muryanto Amin sebagai rektor USU seharusnya bisa mengakhiri perdebatan panjang seandianya saja MWA dan Kemendikbud memenuhi rekomendasi hasil rapat MWA 15 Januari 2021. Kementerian diminta membuat klarifikasi soal Surat Keputusan Rektor USU tentang penjatuhan sanksi pelanggaran etika yang dilakukan oleh Muryanto. Tapi itu tidak dilakukan. Pihak Kementerian hanya mengeluarkan surat No 4607/MPK.A/RHS/KP/21, tentang pelantikan rektor periode 2021- 2026. Padahal, ada agenda lain pada rapat tanggal 15 Januari 2021, yaitu mendengarkan penjelasan Rektor USU 2016-2021 tentang kasus plagiat yang dilakukan Muryant. Pada agenda itu, berdasarkan penjelasan Sekretaris MWA, Prof Guslihan Dasacipta, sudah disepakati bahwa akan ada klarifikasi dari tim independen untuk menjernihkan kasus itu. Agar Rektor yan dilantik memiliki kredibilitas dan justifikasi dan telah memenuhi persyaratan formal dan materil untuk memangku jabatan rektor. Akan tetapi sangat disayangkan pihak Kementerian tidak pernah menyampaikan hasil kerja iim independen bentukan Kemendikbud. Tak pernah ada penjelasan, tentang masukan dan keluhan masyarakat. Tak pernah juga ada penjelasan lebih lanjut mengenai rangkaian due process of law yaitu proses hukum yang adil yang dilakukan oleh Tim Independen. Tiba-tiba pihak Kementerian meminta dilaksanakan pelantikan segera. Inilah yang beberapa hari berikutnya memicu banyak perdebatan. Belakangan, beberapa jam setelah pelantikan baru muncul pernyataan Prof Nizam (Dirjen Dikti) yang menegaskan bahwa Muryanto Amin tidak lakukan plagiasi. Berselang tiga hari pasca pelantikan beredar informasi bahwa menteri sudah mencabut keputusan Rektor USU terkait plagiat Muryanto. Surat itu bertanggal 27 Januari 2021 yang ditandatangani oleh Nadiem Anwar Makarim. Akan tetapi, Dirjen Dikti Kemendikbud dalam klarifikasi 28 Januari 2021 tak menjelaskan bahwa sudah terbit surat Menteri yang membatalkan keputusan Rektor USU mengenai penjatuhan sanksi terhadap Muryanto. Bahkan undangan pelantikan rektor periode 2021-2026 itu sudah beredar, sebelum tanggal pencabutan atau pembatalan surat keputusan rektor USU tersebut. Artinya pelantikan itu tidak didasarkan sama sekali pada surat Menteri yang telah membatalkan atau mencabut surat rektor USU tersebut. Kementerian Dikbud "kecolongan" dan gagal menyiasati serta mendudukkan kasus ini dalam kerangka hukum dan kerangka kerja administrasi yang bersih di lingkungan kementeriannya. Rekan-rekan di USU menyampaikan diksi yang tak sedap didengar. Kemendikbud sepertinya menaburkan abu di mata publik, dengan pesan seolah-olah pelantikan rektor periode 2021-2026 telah memiliki legitimasi hukum yang kuat. Tentu anggapan ini tak boleh dibiarkan liar. Harus ada juga klarifikasi dari pihak Kementerian, jika kita ingin menegakkan marwah dan wibawa Kementerian. Tak ada salahnya MWA menggelar rapat sekali lagi pasca pelantikan rektor. Tapi itu harus dilakukan dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Semua sivitas akademika USU harus mengakui dengan hati yang lapang bahwa USU sudah memiliki pucuk pimpinan yang secara hukum mempunyai kewenangan yang sah untuk bertindak dan berbuat sesuai tugas dan fungsinya sebagai Rektor. Tak ada yang boleh dan yang bisa menyalahkan Muryanto, sebab beliau sudah memenuhi semua rangkaian proses untuk duduk sampai ke puncak jabatan itu. Beliau sudah mengikuti rangkaian proses mulai dari pencalonan sampai pada pemilihan. Setelah terplih menyeruak kasus self-plagiarism yang dipersangkakan padanya. Muryanto pun mengikuti semua proses terkait penyelesaian peristiwa itu. Mulai dari memberikan pembelaan di depan Sidang Komisi I DGB sampai pada memberikan keterangan dalam rangkai pemeriksaan pada Komisi Etik. Rektor pun telah menerbitkan Keputusan, karena itu rektor pun tak bisa dipersalahkan. Rektor telah menegakkan aturan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan USU. Sebab jika Rektor tidak melakukan itu, Rektor juga dapat dijatuhi sanksi hukum. Dewan Guru Besar dan Komisi Etik juga tidak dapat dipersalahkan, mereka telah menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai aturan yang berlaku di lingkungan USU. Kalaupun ada pihak yang harus kita minta pertanggung jawabannya hari ini, maka pertanggungjawaban itu ada pada: Pertama, Majelis Wali Amanat (MWA) USU. Seberapa jauh badan ini menjalankan amanah rakyat dalam menyikapi dan menangani kasus ini? Apakah MWA dalam menjalankan tugas dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku di lingkungan USU sebagai PTN Badan Hukum? Kedua, Mendikbud. Pertanyaannya sama. Seberapa jauh lembaga ini menjalankan tugas dan fungsi dalam menyikapi dan menangani kasus ini? Apakah pihak Kemendikbud dalam menjalankan tugas dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku di lingkungan USU sebagai PTN Badan Hukum? Jawaban atas pertanyaan itu ada pada kedua institusi ini dan itu akan menentukan jalannya USU ke depan. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui upaya hukum. Hasilnya bisa digunakan untuk menyembuhkan siapa yang terluka dalam waktu singkat. Atau justeru keduanya memperpanjang luka, bahkan bisa menambah luka baru. Tak ada yang bisa memperkirakan USU ke depan akan jadi seperti apa. Oleh karena itu mungkin ada jalan tengah, jalan rekonsiliasi. Kita kubur semua persoalan, kita buka lembaran baru. Caranya kita benahi kembali apa yang keliru dan tersilap. Hukum tertinggi adalah hati nurani dan kebenaran Ilahiyah. Jika Tuhan dapat memaafkan hambanya, dan Presiden-pun bisa memberikan ampunan terhadap rakyatnya yang diatuhi hukuman, mengapa kita tidak. Satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah semua pihak terkait, MWA, Guru Besar, Senat Akademik dan Tokoh-Tokoh Pemersatu dan Tokoh Senior di USU duduk bersama secara informal. Cari jalan penyelesaian yang arif dengan penuh kebijaksanaan. Yang pekak kita minta menghembus lesung, yang tuli kita minta menembakkan meriam. Jadikan semuanya berguna dan hargai semua potensi akademik yang kita miliki. Persoalan hukum yang menanti di depan, jika diselesaikan melalui pengadilan bukanlah solusi yang baik. Hukum mungkin bisa memberi rasa kepastian, tapi tak bisa memulihkan keadaan yang telah tercabik-cabik. Tapi dengan duduk bersama akan bisa dihapuskan dan dihilangkan hal-hal yang mendera perasaan selama "pertarungan" ini dengan satu kata yakni "ma'af". Bukankah hukum tertinggi adalah hati nurani? Dengan hati nurani kita hargai Keputusan Rektor tentang penjatuhan sanksi, agar tidak terulang kejadian yang sama. Toch Keputusan Rektor hanya menjatuhkan sanksi etik, yang bisa dihapus dengan kata ma'af. Dengan begitu Rektor dan Komisi Etik tidak kehilangan "muka". Mungkin pertanyaannya, mengapa tidak Rektor saja yang mencabut Keputusannya? Rektor yang menerbitkan keputusan itu telah berakhir masa tugasnya. Sangat tak etis pula kalau Rektor yang sekarang mencabutnya, apalagi hal itu menyangkut dirinya sendiri. Bagimana dengan keputusan Menteri yang telah mencabut SK Rektor? Berdasarkan hasil "rembukan" Menteri bisa meninjau kembali Keputusannya tentang pembatalan SK Rektor USU terkait penjatuhan sanksi. Dasar pertimbangan SK Menteri tentang Pembatalan Keputusan Rektor USU sangat banyak kekurangannya, tidak menyebutkan PP No.16/2014 tentang Statuta USU dalam konsideransnya. Dan tidak ditujukan kepada siapa keputusan itu dialamatkan. Keputusan terbit 27 Januari 2021 sedangkan undangan pelantikan rektor telah beredar 26 Januari 2021. Artinya lebih dulu Keputusan untuk pelaksanaan pelantikan daripada keputusan pencabutan Keputusan Rektor USU. Ini tentu akan menjadi perdebatan baru jika ini di bawa ke ranah hukum. Melalui "urun rembuk" ada banyak yang bisa terselamatkan. Paling tidak ini bisa menyelamatkan MWA dan Kementerian dari gugatan yang mungkin akan muncul bertubi-tubi. Memang ada diantara kita yang mengatakan, "biarkan saja", tapi itu berpotensi untuk semakin merusak kredibilitas USU di masa datang. Jika ini terus dibiarkan tak ada yang mengambil inisiatif untuk meredakannya, maka "keterbelahan" ini akan berkepanjangan dan mungkin akan diwariskan selama bertahun-tahun. Yang menang menjadi arang, yang kalah menjadi abu. Telungkup makan pasir, terlentang makan debu.[] Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (periode 2017-2020 dan 2020-2023) dan Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik USU (periode 2020-2025).

Kasus Laskar FPI dan Abu Janda, Ujian Kesetiaan Kapolri Pada Presiden dan NKRI!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ujian terbesar Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo saat ini memang tentang penuntasan pembunuhan 6 Laskar FPI. Jika Kapolri ini ingin namanya tercatat dengan tinta emas lembar sejarah bangsa, dia harus berani menyeret dalang di balik peristiwa ini ke meja hijau. Tidak hanya sekadar menyeret, tetapi Kapolri harus transparan kepada publik dan memiliki alat bukti yang kuat. Hal ini harus dilakukan supaya ketika kasus disidangkan, publik tidak melihat permainan hukum semata, dengan “mengorbankan” kroco-kroco saja. Pada sisi lain, kesungguh-sungguhan Jenderal Listyo untuk mengungkap tuntas kasus Laskar FPI ini dengan menyeret aktor intelektualnya akan menepis anggapan, Polri “bermusuhan” dengan kaum Muslim. Hal ini akan menjadi preseden baik di mata publik, mengingat bahwa Jenderal Listyo seorang beragama Kristen. Selain itu, supaya Kapolri akan bisa menyelamatkan Presiden Joko Widodo dari “ancaman” lengser. Sebab, bukan tidak mungkin akan terjadi aksi massa untuk melengserkan Jokowi dengan menumpang sejumlah isu yang dirasa menyudutkan kaum muslim saat ini. Harus diingat, indikator untuk pelengseran Jokowi dan upaya mempercepat pilpres sudah nyata terlihat di lapangan. Dan, isu untuk itu, salah satunya, muncul dari belum terlihatnya upaya nyata penuntasan kasus 6 Laskar FPI dan menyeret aktor intelektual di belakangnya. Apalagi, lewat Menko Polhukam Mahfud MD, Presiden Jokowi sudah memerintahkan agar kasus terbunuhnya enam 6 Laskar FPI diusut secara hukum dengan adil dan transparan. Ini bagus. Tapi pertanyaannya, bagaimana realisasinya di lapangan? Perintah Presiden ini seharusnya mengunci Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Dia tidak punya pilihan lain, kecuali harus melaksanakan perintah atasannya. Mengabaikan perintah tersebut, sama artinya Kapolri melakukan insubordinasi. Kapolri jangan melawan Presiden! Tidak hanya rakyat Indonesia, mata dunia pun sekarang tertuju pada upaya Kapolri untuk menuntaskan kasus tersebut. Bisa tuntas atau tidak? Atau, justru malah Jokowi yang ikut “terjungkal”. Atau, ini jalan untuk mempercepat Pilpres. Jenderal Listyo bisa ikut menentukan arahnya. Karena, akhir-akhir ini fakta nyata telah ada upaya pemakzulan Presiden Jokowi. Undangan rencana demonstrasi itu mulai beredar di medsos dan WAG. “Tindakan rezim Jokowi sangat jauh dari harapan rakyat, tidak amanah, penyalahgunaan jabatan, bahkan tidak berkeadilan hukum dalam banyak kasus yang terjadi,” tulis undangan atas nama Humas BEM Indonesia itu. “Maka diminta untuk semua rakyat indonesia yang menginginkan perubahan kepemimpinan yang adil agar kiranya bisa merapat pada: Jumat, 12 Pebruari 2021, pukul 13:00 s/d lengserkan Jokowi – Ma’ruf Amin. Pantang pulang sebelum rakyat menang.” “Kawal demokrasi, kawal keinginan rakyat yang berkeadilan, kawal konstitusi, kembalikan Pancasila dan UUD 45, Kembalikan Dwifungsi ABRI sebagai alat Pertahanan Keamanan Negara serta berpolitik, bubarkan kabinet dan parlemen, bentuk DPR/MPRS.” Terlepas apakah benar yang mengungundang tersebut berasal dari Humas BEM Indonesia, setidaknya hal itu telah membuktikan adanya kegelisahan sebagaian masyarakat yang bisa melihat kondisi sosial-politik dan hukum yang terjadi akhir-akhir ini. Lihat saja bagaimana perlakuan aparat penegak hukum kepada pegiat media sosial Permadi Arya atau Abu Janda yang saat ini menjadi sorotan sejumlah kalangan. Salah satunya, pakar telematika KRMT Roy Suryo. Nama Abu Janda makin melejit karena dianggap “sakti” tak tersentuh oleh hukum. Padahal, beberapa kali dia dilaporkan atas berbagai kasus terkait ocehan yang menyinggung suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Seperti dilansir dari GenPI.co, Jum’at (05 Februari 2021 09:20), Roy Suryo menyimpulkan, perilaku Abu Janda di media sosial yang kerap menuai polemik dikarenakan dia dibayar oleh uang rakyat. “Dari pengakuan si Abu Janda @permadiaktivis1 ini setidaknya ada dua fakta, (Pertama) Komisaris-komisaris BUMN adalah (bagi-bagi Jabatan) untuk yang berjuang di TKN,” cuit Roy Suryo dalam Twitter, Rabu (3/3/2021). Sebelumnya, beredar video di mana Abu Janda mengatakan secara gamblang, dia direkrut oleh Jokowi untuk menjadi tim pemenang kampanye Jokowi-Ma’ruf pada 2018. Roy Suryo juga mengatakan bahwa Abu Janda dan juga Deni Siregar merupakan Influencer peliharaan yang dibayar menggunakan uang rakyat. Sebelumnya, Abu Janda memang dikenal sebagai sosok yang membela Jokowi habis-habisan. Kendati begitu, Abu Janda menolak disebut buzzer. Ia mengaku ketiuka itu posisinya sebagai influencer atau orang yang memberikan pengaruh kepada masyarakat. Dalam sebuah kesempatan Abu Janda pun membeberkan pendapatannya serta hasil menjadi infuencer presiden. “Kalau orang bisnis itu istilahnya jebol, ya pas direkrut sama Pak Jokowi tahun 2018,” ujarnya. “Kami direkrut setahun sebelum Pilpres. Jadi aku lumayanlah, Alhamdulillah dapetnya (gaji) lumayan. Itu jackpot lah, sebelumnya bisa makan aja udah syukur,” beber Abu Janda, Selasa (2/2/2021). Dia juga mengaku ketiban durian setelah menjadi Tim Sukses Jokowi. “Plus gara-gara jadi Timses Jokowi, aku ada peluang untuk itu (pergi ke luar negeri untuk menjadi pembicara). Alhamdulillah, rezekinya lumayan,” katanya. Dalam kesempatan yang sama, Abu Janda juga bicara mengenai peluangnya menduduki kursi komisaris BUMN. Sebab, banyak pendukung Jokowi yang belakangan ramai mengisi jabatan tersebut. Dia pun mengatakan tak pernah ditawari kursi komisaris lantaran dia sudah dibayar besar sebagai influencer. “Kenapa ada yang dapat jabatan komisaris dan enggak? Karena, orang-orang yang dapat jabatan komisaris ini adalah orang-orang yang memang berjuang di TKN waktu itu. Kalau aku dan Denny Siregar adalah influencer yang dibayar, gede lagi,” jelas Abu Janda. Benarkah pengakuan Abu Janda yang menyeret nama Presiden Jokowi tersebut, Jenderal Lisyo Sigit harus bisa menjawabnya dengan memproses hukum Abu Janda secara adil dan terbuka. Sebab, pengakuan Abu Janda itu jelas sangat merugikan citra Presiden Jokowi. Jika proses hukum tak dilakukan pada Abu Janda yang jelas-jelas merusak nama baik Presiden Jokowi, jangan salahkan jika rakyat berbuat seperti polisi yang mengeksekusi 6 Laskar FPI. Adanya perlakuan tidak adil yang dialami rakyat yang kritis ternyata juga menimpa tokoh nasional sekelas Kwik Kian Gie. Mantan Menko Perekonomian era Presiden Megawati Soekarnoputri itu mengaku saat ini sangat takut menyampaikan kritik. Padahal pada masa Orde Baru sangat berkuasa, dia bebas mengritik melalui artikelnya yang dipublikasikan harian Kompas. Bukan hanya Kwik sebenarnya yang takut bicara. Ki Dalang mbeling Sujiwo Tedjo yang sangat kritis juga mengaku takut. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti belum ini juga menjadi korban bully karena bersikap kritis. Dia disebut sebagai Kadrun dan (maaf) Asu, karena dinilai membela Gubernur DKI Anies Baswedan. Pembungkaman orang-orang kritis seperti mereka itu jelas tidak sehat, apapun alasannya. Ini justru berpotensi terjadinya ketidakstabilan politik dalam negeri. Semua itu juga berawal dari perlakuan “tidak adil” aparat penegak hukum seperti Polisi. Makanya, beragam kasus yang kini ditangani Polri, termasuk pembunuhan 6 Laskar FPI dan kasus Abu Janda, merupakan “ujian” kesetiaan Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada Presiden dan NKRI. Penulis Wartawan Senior FNN.co.id.

Pembantaian Talangasri 1989, Mungkinkah Hendropriyono Diadili?

by Asyari Usman Medan, FNN - Hingga hari ini, pembantaian warga sipil di Umbul Cihideung, yang dikenal dengan Peristiwa Talangsari, masih belum diselesaikan secara tuntas. Pelanggaran HAM berat ini terjadi ketika hubungan pemerintah Orde Baru dengan umat Islam berada pada titik rendah. Pembantaian pada 7 Februari 1989 itu tidak bisa dilaporkan secara objektif oleh media massa waktu itu. Semua surat kabar hanya mengutip sumber resmi. Dan pemberitaan serta analisis yang disajikan pun cenderung memberikan justifikasi atas tindakan penguasa waktu itu. Sumber resmi (Pangdam Sriwijaya) ketika itu mengatakan 29 orang yang tewas. Namun, penyelidikan pasca-Reformasi menemukan setidaknya 130 orang yang dibunuh. Temuan lain menyebutkan 246 warga Cihideung dibantai. Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, media massa menjadi bebas. Begitu juga perpolitikan dan penegakan hukum mengalami perbaikan. Independensi DPR dan cabang-cabang kekuasan lainnya, mulai tumbuh. Ada reformasi besar-besaran. Meskipun dalam beberapa tahun ini suasana reformasi mundur lagi ke suasana Orde Baru. Kebebasan pers dan independensi baru setelah Reformasi membuat pembantaian Talangsari bisa diungkap kembali. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk pada 7 Juni 1993 bisa bekerja lebih leluasa. Komnas membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Talagsari 1989 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim Ad Hoc terdiri dari anggota dan staf Komnas HAM serta unsur dari masyarakat. Tim bekerja sejak 1 Mei 2007 sampai 31 Juli 2008. Tim menemukan setidaknya 130 orang tewas dan 109 rumah terbakar atau rusak. Tim Ad Hoc Talangsari 1989, dengan laporan tertanggal 31 Januari 2008, mengatakan bahwa: “Penyerangan terhadap komplek pondok Warsidi yang menyebabkan meninggalnya 130 orang melibatkan peleton dari infantri Korem 043 Garuda Hitam dan 1 Peleton dari Brimob. Peleton Brimob tersebut merupakan polisi yang di-BKO-kan dari Polwil Lampung. “Penyerangan yang berujung pada pembunuhan terhadap penduduk sipil dilakukan oleh setidaknya pasukan dari Korem Garuda Hitam dan Pasukan Brimob yang dipimpin oleh Danrem Garuda Hitam pada waktu itu. Peranan dan keberadaan Danrem dalam lokasi penyerangan ini bukan saja sebagai sebagai pimpinan pasukan tetapi juga terindikasi kuat merupakan pihak yang merencanakan penyerangan sebagai penjabaran dari perintah Pangdam.” “Bahwa serangan yang terjadi pada 7 Pebruari 1989, merupakan serangan yang bersifat sistematik. Hal ini dapat dilihat dari besarnya skala (large scale) serangan yang terjadi. Rangkaian kekerasan tersebut melibatkan sumber daya logistik berupa perlengkapan militer antara lain senjata, kendaraan berupa truk, jeep dan helikopter.” Menurut Tim Ad Hoc, serangan terhadap warga Cihideung terjadi setelah seorang perwira militer tewas terkena panah warga. Berikut kutipan laporan Tim. “Pada 6 Pebruari 1989, sekitar pukul 11.30 WIB, rombongan berjumlah sekitar 20 orang terdiri atas Kasdim Metro bernama Mayor Oloan Sinaga, Danramil Way Jepara bernama Kapten Sutiman, Serka Dahlan Bataud, Camat Way Jepara bernama Zulkifli Maliki dan Stafnya, Lurah Rajabasa Lama bernama Amir Puspamega, Kadus Talangsari bernama Sukidi, dan beberapa orang lagi menuju ke pondok pesantren Warsidi. “Kapten Sutiman mengendarai sepeda motor dan berada paling depan serta menembak ke arah pos jaga. Mendengar tembakan tersebut, sekitar 4 orang yang sedang tidur-tidur di pos jaga tersebut meneriakkan “Allahu Akbar”. Selanjutnya, jamaah yang berada di pondok keluar dan mengejar ke arah suara tembakan tadi. “Sepeda motor Kapten Sutiman terjatuh dan dia meninggalkan sepeda motornya dengan berlari mundur sambil terus menembak. Sedangkan, rombongan yang lain berbalik arah dan melarikan diri meninggalkan pondok. Dalam pelariannya, tidak jauh dari pondok, Kapten Sutiman dipanah oleh jamaah dan terkena di dada kiri dan dada kanannya dan akhirnya Kapten Sutiman tewas dalam kejadian tersebut.” Portal berita online TirtodotID pada 7 Februari 2018 menurunkan artikel “Mengenang Pembantaian Umat di Talangsari”. Berikut petikannya. “Tengah malam menjelang 7 Februari 1989, tepat hari ini 29 tahun lalu, Kolonel Hendropriyono memimpin pasukan yang terdiri 3 peleton Batalyon 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob). Pukul 04.00 tanggal 7 Februari 1989, pasukan menyerbu Umbul Cideung. Sebagaimana dilaporkan majalah Tempo edisi 18 Februari 1989, sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri. “Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menurunkan laporan terperinci yang berjudul Kertas Posisi KontraS: Kasus Talangsari 1989, Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan. Laporan itu menyebutkan pasukan yang dipimpin Hendropriyono dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat, dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat. “Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan keluar bagi jemaah untuk menyelamatkan diri, mereka hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya.” (TirtodotID). Publik terus menuntut agar pelanggaran HAM berat di Talangsari diselesaikan tuntas. Mereka mendesak agar orang-orang yang diduga terlibat, termasuk Danrem Kolonel Hendropriyono, yang kemudian menjadi jenderal dan terakhir menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN), diadili di pengadilan HAM sesuai UU yang berlaku. Mantan Menkopolkam Sudomo (almarhum) diperiksa oleh Komnas HAM pada 27 Februari 2008. Menurut Sudomo, yang bertanggung jawab atas peristiwa Talangsari adalah Hendropriyono yang menjabat sebagai Danrem 043 waktu itu. Namun, pemerintahan yang silih berganti gagal menuntaskan kasus ini. Sebab, bisa dipahami, orang-orang seperti Hendropriyono tidak mudah untuk dibawa ke pengadilan. Bagaimanapun juga, Hendro adalah orang kuat yang memiliki pengaruh besar di Indonesia. Jadi, publik hanya bisa mendesak dan bertanya: mungkinkah Hendropriyono diadili?[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Liga Indonesia, Bak Jeruk Makan Jeruk

By Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - MESKI amat sangat terlambat, akhirnya, PSSI memutuskan membatalkan Musim Kompetisi 2020/2021 bagi Liga 1 yang baru berjalan 3 pertandingan (hingga pekan ke-2 Maret) dan Liga 2 yang belum sempat digelar. Kepastian pembatalan itu dihasilkan lewat Rapat Exco PSSI, Rabu (20/1) lalu. Terlalu jauh kalau membandingkan Liga Indonesia dengan liga-liga di belahan Eropa yang meski dihentikan karena pandemi Covid-19, tetapi kemudian dilanjutkan kembali dengan tanpa penonton dan pengawasan protokol kesehatan yang ketat. Kenyataannya, liga tetangga, Malaysia pun dapat menyelesaikan kompetisinya Desember 2020 lalu dan kini tengah bersiap memulai musim baru. Bandingkan dengan PSSI yang belum mengumumkan apakah musim ini bisa menggelar liga atau kembali menjadikan musim ini tanpa ada juara. Pada musim lalu, salah satu faktor penyebab gagalnya liga dilanjutkan adalah karena Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan alias Iwan Bule tidak berhasil 'melobi' Kapolri Idham Azis. Apakah musim ini, di saat Kapolri sudah berganti, kejadian serupa terulang lagi? Kalau Idham Azis memang tak memberi ruang gerak bagi Iwan Bule untuk bernegosiasi, apakah hal serupa juga akan dilakukan Listyo Sigit Prabowo, yang dilantik sebagai Kapolri akhir Januari lalu? Direktur Operasional PT Liga Indonesia Baru (LIB), yang ditunjuk sebagai operator liga, Sudjarno menyatakan, masih menunggu izin resmi dari Polri untuk Liga 1 2021. Sampai saat ini, pihaknya baru sebatas mendengar pernyataan dari kepolisian. "Alhamdulillah sudah ada pernyataan dari kepolisian. Semoga izin resmi dari Mabes Polri bisa lebih cepat," kata Sudjarno, Kamis (4/1). Sekali lagi baru pernyataan, belum terwujud dalam selembar surat resmi. Sudah menjadi rahasia umum kalau mendapat surat izin dari kepolisian untuk menggelar pertandingan sepakbola bukan suatu yang 'gratis'. Seorang pengurus klub mengaku harus menyiapkan budget Rp 200 juta sampai Rp 400 juta untuk mendapatkan 'izin' bertanding selain juga lobi yang kuat. Bisa dibayangkan nilainya kalau ini adalah ajang semusim penuh yang akan menggelar hingga ratusan pertandingan. Apa mungkin bisa 'gratisan'? Bagaimana mungkin Iwan Bule yang mantan Kapolda Metro Jaya tidak bisa menembus institusi yang membesarkannya? Atau, apakah ini drama 'Jeruk Makan Jeruk' ala Kepolisian Republik Indonesia? Wallahu alam... Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Gadget Telah Memperbudak Manusia Sedunia

by Komisaris Jenderal Pol. Drs. Dharma Pongrekun, SH., M.M., M.H. Jakarta, FNN - Sudah setahun lamanya hampir seluruh dunia telah berada dalam keadaan yang diseragamkan oleh suatu kekuatan organisasi Non State Actor. Keadaan ini membuat hampir seluruh dunia berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan dalam segala aspek kehidupan, diakibatkan oleh adanya isu yang diseragamkan secara massive dengan mengambil thema tertentu yang telah membuat hampir seluruh dunia seolah tak berdaya serta mengalami kebuntuan di dalam menghadapinya. Namun sadarilah bahwa semua yang sedang terjadi ini sebenarnya adalah potongan-potongan puzzle dari Grand Design yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang melalui strategi yang sangat jitu, karena Terstruktur, Sistematis dan Massive (TSM) sekali, sehingga hampir tidak satupun diantara kita yang menyadari pergerakan yang terjadi dan akhirnya kita semua terperangkap di dalam permainan dari organisasi tersebut beserta underbow-nya. Padahal kalau saja kita mau menelaah dengan seksama dan hati yang jernih, maka kita akan melihat benang merahnya dengan sangat jelas, bahwa sesungguhnya ada sutradara dibalik layar bagaikan suatu skenario dari film-film yang sering kita saksikan di layar lebar, dimana akhir dari pada ceritanya dengan mudah dapat kita tebak. Didahului dengan prakondisi yang sangat cerdas melalui Gadget sebagai Artificial Inteliigence (alat pengintai) namun dengan motivasi yang sangat licik seperti ular, mengingatkan pada pepatah kuno yang tidak pernah usang yakni “bagaikan musang berbulu domba”. Mereka begitu cerdik menutupi “motivasi jahatnya” dibalik agenda besarnya bagaikan “udang dibalik batu” dengan tujuan memperbudak manusia di seluruh dunia dengan cara memainkan kejiwaan manusia lewat program alam bawah sadar untuk menguasai kejiwaan manusia dan akhirnya dengan sangat mudah mindset manusia dimanipulasi, sehingga tanpa disadari jiwa manusia sudah dikendalikan dan akhirnya menjadi budak. Motivasi itu merupakan salah satu unsur yang ada dalam jiwa manusia, sehingga sulit dibuktikan secara materiil sebagaimana metode pembuktian yang dianut oleh dunia yaitu sesuatu dinyatakan terbukti jika dapat dilihat dengan mata atau dijelaskan dengan logika sains, sementara logika sains sendiri memang sengaja diprogram agar tidak sampai memahami beyond scientific yang berkaitan dengan hal-hal immaterial, karena logikanya sudah diprogram hanya untuk memahami apa yang dapat dilihat dan dihitung saja. Ketahuilah juga bahwa sejak adanya Gadget atau Smart Phone atau Cellular Phone 10 (sepuluh ) tahunan lebih yang lalu, disitulah mulai lmaraknya istilah Hoax, Hate Speech dan Bully bermunculan. Sebenarnya inilah cara mereka membangun pemahaman yang nantinya akan mereka jadikan senjata makan tuan bagi kita semua juga termasuk semua perangkat yang ada pada Gadget tersebut seperti kamera yang selama ini tanpa kita sadari selalu memata-matai kita demikian pula dengan GPS nya, bahkan Google dan aplikasi yang menjadi platformnya untuk memuluskan terwujudnya motivasi jahat mereka. Gadget selama ini dikenal sebagai Artificial Intelligence (AI) yang sengaja diartikan sebagai kecerdasan buatan untuk memanipulasi pemahaman kita, agar manusia tidak menyadari bahwa gadget yang selalu melekat ditangan kita setiap hari sesungguhnya adalah teknologi pengintai yang digunakan oleh mereka sebagai pengganti manusia seperti pada saat perang fisik dulu untuk menyusup ke wilayah musuh dan mengintai kondisi kekuatan dan kelemahan lawan demi mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya untuk digunakan dalam mempersiapkan penyerangan pada saat yang tepat. Jadi Gadget ini juga sekaligus digunakan untuk memanipulasi pola pikir (mindset) kita, karena opini yang dibangun adalah untuk memanjakan manusia dengan kemudahan, kecepatan dan kenyamanan yang akan membuat kita terlena dan terjebak dalam zona nyaman ( comfort zone), sehingga kita tidak menyadari lagi bahwa sebenarnya gadget itu adalah alat pengintai untuk menguasai kejiwaan manusia. Jadi Gadget ini adalah tehnologi pengintai yang digunakan pada perang non-fisik saat ini. Ingatlah kata-kata “ Siapa yang menguasai informasi, dia yang akan menguasai Dunia “. Bagaimana cara kerjanya? Alat pengintai tersebut akan bekerja dengan algoritmanya untuk mempelajari sekaligus mendata karakter manusia individu per individu berdasarkan SWOT (strengths, weaknesses, opportunities) Analysis (dipelajari kekuatan dan kelemahan manusia, lalu melihat peluang yang dapat dimanfaatkan dan tantangan yang akan dihadapi), sehingga tanpa disadari oleh kita sebagai objeknya, maka mereka akan dengan mudah memprogram manusia lewat alam bawah sadarnya dengan opini-opini yang sudah disiapkan untuk disusupkan melalui konten-konten dan aplikasi-aplikasi yang selalu dibuat menarik agar kita terhipnotis dengan cara merasionalisasi sesuatu melalui visual seolah-olah kita sedang berada dalam kehidupan nyata. Padahal ini adalah ruang kehidupan semu, sehingga sama sekali tidak kita sadari apa dampaknya dikemudian hari, karena mereka sangat lihai menyembunyikan motivasinya, bahwa dibalik semua kecanggihan teknologi tersebut sesungguhnya terdapat udang dibalik batu berupa agenda besar yang tidak terbantahkan, yakni untuk menguasai mindset dan merusak potensi sel setiap manusia yang pada akhirnya alat pengintai tersebut mengetahui bagaimana cara untuk menaklukan manusia agar dapat dikontrol sepenuhnya dan akhirnya dapat diperbudak. Hal tersebut tidak saja akan melumpuhkan bangsa kita, tetapi seluruh manusia di muka bumi ini ingin mereka perbudak. Bagaimana cara memprogramnya? Yakni dengan reprogram alam bawah sadar manusia dengan mengulang-ulangi secara terus menerus (repetition), sehingga menjadi sedimen (endapan) di dalam alam bawah sadar kita yang direkam oleh sel-sel di dalam tubuh manusia seperti pita kaset sampai terbentuk kejiwaan manusia sesuai agendanya, sangat mudah bukan? Mereka memulainya dengan cara yang sangat cerdik, karena menawarkan kemudahan, kecepatan/instan, kenyamanan dan kemewahan yang merupakan hal yang memanjakan manusia, menjadi suatu kebiasaan agar manusia hidup dalam ketergantungan dan akhirnya terlena dengan tujuan agar manusia menjadi lemah dan tak berdaya. Perhatikanlah bahwa segala sesuatu yang dipromosikan selalu hanya tentang manfaatnya saja, sedangkan dampak yang merusaknya sengaja disembunyikan agar motivasi jahatnya tidak terselami, makanya tidak pernah mereka ekspose, karena kalau diekspose sejak awal, tidak akan ada yang mau menggunakannya. Tujuannya adalah supaya penggunanya mudah untuk dijerat. Hanya setelah banyak yang mengalami dampak buruk dari kerusakan yang dialami barulah mulai berpikir cara untuk mengatasinya, namun sudah sulit untuk keluar lagi, karena sudah masuk dalam jeratannya. Jadi cara kerja mereka itu bagaikan sarang laba-laba yang tersamar, sehingga membuat serangga lain terjerat. Sadarilah bahwa gadget adalah teknologi yang dengan sengaja dirancang khusus dengan motivasi dari pembuatnya untuk memperbudak manusia dibawah kontrol mereka dengan permainan alam bawah sadar yang terlebih dahulu merusak otak manusia dengan gelombang elektromagnetik-nya yang merusak 5 bagian otak sekaligus tanpa disadari, karena tidak terlihat. Ketahuilah bahwa otak manusia adalah pikiran sadar (conscious) merupakan prosesor yang mensupply data/informasi yang akan diterima oleh sel-sel tubuh yang kemudian akan diolah dan siap untuk disajikan dalam bentuk pikiran dan perasaan, sehingga terciptalah motivasi pada jiwa manusia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dipikirkan dan dirasakannya berdasarkan sensor yg ada. Penanaman doktrin pada manusia adalah dengan cara memprogram pikiran dengan melakukan pengulangan/repetisi dari sesuatu hal yang menjadi agenda dari si pembuat program terhadap manusia dengan cara membangun opini lewat imajinasi yang divisualisasikan lewat alat visualisasi sekaligus Artificial Intelligence (A=1 I=9) sebagai alat yang memata-matai perilaku manusia dengan cara menawarkan hal-hal yang mengasyikan, sehingga menjadi candu dan akhirnya manusia mudah diperbudak oleh doktrin yang ditanamkan. Ini adalah permainan alam bawah sadar yang membuat manusia tanpa sadar mudah diadu domba mengikuti skenario dari si pembuat program. Jadi cara untuk mengendalikan manusia adalah dengan cara kita dibuat tergantung terhadap segala sesuatu yang dianggap dibutuhkan oleh tubuh jasmani dengan cara memanipulasi/merekayasa jiwa yang fitrah (kudus) dengan hal-hal yang tidak fitrah, sehingga jiwa akan dengan mudah dikendalikan oleh kekuatan yang tidak fitrah ( tidak kudus). Kalau tidak ada rekayasa, maka otak kita akan memerintahkan hal yang baik dan diterima oleh sel, sel itu akan mengolah data/informasi yang dikirim oleh prosesor, setelah itu sel mulai bekerja merespon good signal yang dikirim oleh prosesor dan dia akan memproduksi hormon yang baik. Hasil olahan tersebut akan membentuk jiwa (pikiran dan perasaan) dan akan menghasilkan perbuatan yang positif sesuai dengan hasil olahan tersebut, maka motivasi yang muncul pun akan baik dan benar, karena potensi selnya maksimal, sehingga akan terefleksi pada tubuh. Sebenarnya tubuh kita ini hanyalah sebagai media, di dalam tubuh kita ini terdapat sel-sel tubuh, yang berperan sebagai sentral/ inti dari aktifitas kehidupan kita, yaitu menjadi transmitter dan sekaligus receiver yang digerakkan oleh gelombang/frekwensi. Sel-sel tubuh akan menerima (receiver) stimulus/rangsangan dari otak yang kemudian akan diolah menjadi data/informasi untuk menentukan bentuk/macam/jenis responnya, lalu dikirim (transmitter) dan akan terpancar keluar melalui frekwensi yang akan diterima oleh tubuh manusia sebagai medianya. Inilah yang disebut body inteligent, dimana sel-sel tubuh kita akan mengirimkan alert berupa frekwensi yang teresonansi pada tubuh kita dan tubuh kita akan mengikutinya secara otomatis. Ketahuilah bahwa pertahanan sel inilah yang selalu diserang untuk dihancurkan lewat program alam bawah sadar tersebut karena sel-sel tubuh berfungsi menerima informasi berupa dara untuk di olah lalu disajikan kembali seperti teori “garbage in garbage out”, sehingga terbentuklah jiwa ( pikiran, perasan dan kehendak) sesuai yang diprogram oleh pembuatnya. Sel inilah kunci dari pertahanan imunitas manusia. Kalau Selnya rusak akibat stress yang bertubi-tubi, maka imunitas akan melemah dan tubuh jasmani kita akan merefleksikan apa yang terjadi di dalamnya. Jadi kuncinya setiap penyakit yang kita derita adalah akibat rusaknya sel-sel tubuh!!! Sel inilah adalah inti dari kehidupan manusia hidup yang merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, dimana mekanisme bekerjanya sel dalam tubuh manusia yang berinteraksi melalui gelombang frekwensii telah menjadi inspirasi yang ditiru oleh penggagas Dunia Cyber dengan motivasi tersembunyinya yakni untuk menundukkan manusia di dunia dan menjadi budaknya. Kiranya tulisan ini dapat menyadarkan kita semua yang selama ini tidak menyadari, bahwa kita sudah masuk dalam jebakan dari program alam bawah sadar ( Sub Consious). Penulis adalah Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Mantan Direktur Narkoba Bareskrim Polri (2015)

Kabut Hitam Istana, Presiden Harus Bersikap

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Direktur The Global Future Institute Prof. Hendrajit mencermati “Kudeta Demokrat” yang dilakukan KSP Moeldoko atas Ketum DPP Partai Demokrat Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) yang sedang berlangsung tersebut sebagai “Drama”. “Drama ini justru mempertunjukkan bahwa semua yang bermain sebagai protagonis maupun antagonis dalam cerita ini, sejatinya berada dalam satu barisan. Berarti, kepada siapa drama ini sesungguhnya diarahkan? Berarti ada barisan lain yang sedang diganggu,” ujarnya. Diamnya Presiden Joko Widodo setelah konpres AHY dan Moeldoko, berarti sudah sesuai arahan dan skrip cerita. Menunggu SBY masuk pentas. “Sebab, kalau benar kudeta seperti kita bayangkan, istana pasti langsung membuat konpres,” lanjut Hendrajit. “Kalau sudah jalur Pratikno atau Pramono yang langsung membuat bantahan, sudah cukup untuk mematahkan pandangan adanya kaitan antara Moeldoko dan Istana,” ujarnya. Dan, “Menarik kesimpulan: manuver Moeldoko bersifat pribadi dan tak ada kaitan sama Istana.” Gimanapun juga, jantung lingkar kekuasaan Jokowi itu terletak di Pratikno dan Pramono. Bukan di KSP. Prof. Dr. Drs. Pratikno, MSoc.Sc. adalah Menteri Sekretaris Negara. Dr. Ir. Pramono Anung Wibowo, MM adalah Sekretaris Kabinet Indonesia. Akhir drama nantinya, SBY bertemu Jokowi, yang difasilitasi Moeldoko. Dengan tema sentral: Klarifikasi dan pelurusan. “Setelah itu ada kesepakatan tak tertulis, perubahan formasi politik yang saling menguntungkan. Formasi lama diubah dan disesuaikan,” kata Hendrajit. Semua happy. Cerita selesai. Jadi, misinya cuma ganggu-ganggu dan goyang-goyang Jokowi saja. Dalam politik berkhianat tapi beralih pihak hal lumrah. Tapi, di dunia timur kalau sudah cium tangan, nggak mungkin khianat. Ibarat bapak dan anak buah. Ibarat kiai dan santrinya. Patron-Client. Biasanya dalam kemiliteran itu, hal seperti ini kesetiaanya melampaui masa tugasnya di kemiliteran. Melampaui hubungan atasan dan bawahan dalam hirarki dan mata rantai komando di militer. “Jadi kalau ada pertunjukkan atau permainan panggung, pasti ada skrip dramanya. Dan untuk nyusun skrip cerita? SBY lah ahlinya,” ungkap Hendrajit. Sekadar informasi. Saat Moeldoko Komandan Brigif Jakarta-Pusat Kodam Jaya, SBY Kasdam Jaya, Pangdam Jaya Sutiyoso. Benarkah analisis Profesor Hendrajit tersebut? Bisa benar, bisa juga salah! Pasalnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rasanya tidak ikut “bermain” drama Kudeta Demokrat seperti yang dilakukan Moeldoko secara terbuka dan “kasar”. Pasti senyap, halus, dan cantik! Manuver Moeldoko sebagai pejabat Lingkar Istana Negara, jelas sangat merugikan Presiden Jokowi. Karena, petinggi dan pengurus daerah Partai Demokrat pasti menyangka gerakan yang mengusik kepemimpinan AHY tersebut “direstui” Presiden Jokowi. Apalagi, Moeldoko juga menyebut, pertemuan serupa juga pernah “dilakukan” Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman dan Investasi. Penyebutan nama Luhut itu bisa memperkuat dugaan, Istana terlibat rencana Kudeta Demokrat tersebut. “Pak LBP juga pernah cerita kepada saya, “Saya juga pernah didatangi oleh mereka-mereka. Ya saya juga sama”,” ujar Moeldoko menirukan ucapan Luhut saat memberikan keterangan pers di kediamannya di Jl Terusan Lembang, Rabu (3/2/2021). Ketika memberikan keterangan dalam jumpa pers itu, Moeldoko tampak grogi dan gugup. Ia tampak tidak siap dengan skenario gagal Kudeta Demokrat. Dikiranya semua bakal berjalan mulus. Demokrat melawan. AHY kirim surat ke Presiden Jokowi. Akun Twitter@DalamIstana mengungkap, Presiden Jokowi ngamuk setelah baca surat AHY. Dia memanggil Kakak Pembina. Marah habis-habisan. “Segera beresin semua kalau gak mau dicopot!” kata Jokowi saking marahnya. Kakak Pembina yang dimaksud itu adalah Moeldoko. “Akhirnya permufakatan jahat Kakak Pembina terbongkar juga. Seluruh tim langsung panik,” tulis Twitter@DalamIstana. Jokowi wajar ngamuk. Karena, Karena efek kesembronoan Kakak Pembina sudah merembet ke mana-mana. Golkar, Partai Berkarya, dan PPP sudah balik memanas. Kalau Kakak Pembina sampai kalah, mereka sudah ancang-ancang “mari rebut kembali”. Tokoh Golkar Aburizal Bakrie sudah bikin ancang-ancang di Golkar. Sudah ada kader yang diutus untuk ketemu Jusuf Kalla. Humprey Djemat yang kader-kadernya tidak diakomodir Suharso Moarfa sedang menyusun kekuatan. Begitu juga Hutomo Mandala Putra alias Tommy Suharto yang dikudeta dari Partai Berkarya. Gerindra tak mungkin dikudeta karena figur Prabowo Subianto terlalu kuat dan sangat solid. Apalagi, Ketum DPP Gerindra ini menjadi bagian dari Pemerintahan. Selain Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, ada Sandiaga Salahuddin Uno ditunjuk menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin. Jadi, Gerinda masih aman, tak mungkin “disentuh”. Yang selama ini di luar Koalisi Jokowi adalah PKS dan Demokrat. Tapi, rupanya, khususnya terhadap PKS, mereka tak sanggup menggoyang Mohamad Sohibul Iman semasa menjabat Presiden PKS. Kini posisinya digantikan Ahmad Syaikhu. Satu-satunya parpol potensial yang masih bisa “digoyang” tinggal Partai Demokrat. Mereka pun mulai menggarap Demokrat dengan meluncurkan isu kepemimpinan AHY. Moeldoko menjadi “operator” lapangan, yang kemudian gagal. Nazaruddin dan Johny Allen Marbun menghubungi ketua-ketua DPC. Untuk bikin isu kalau Demokrat tidak solid, mereka mau beri dana Rp 100 juta cash kalau ada Ketua DPC yang mau menjelek-jelekkan AHY. Biaya konferensi pers mereka yang tanggung. Tapi ternyata tak ada satupun yang mau. Semua Ketua DPC dan DPD Demokrat tetap solid mendukung AHY. Nazaruddin dan Johny Allen Marbun tambah jadi Rp 150 juta, tetap tak ada yang mau. Akhirnya Nazaruddin dan Johny Allen Marbun pakai orang-orang lama. Mereka yang sudah tak aktif, bahkan sudah keluar dari Demokrat. Diiming-imingin sama Rp150 juta buat yang mau ngomong. Darmizal dan Ahmad Yahya dan lain-lain. Mereka bilang ada 4 faksi yang ingin kudeta AHY. Yaitu: Faksi Marzuki Ali, Faksi Anas Urbaningrum, Faksi Subur Budhisantoso, dan Faksi Kakak Pembina (Moeldoko). Mereka ternyata tidak konfirmasi dulu terhadap nama-nama yang disebut itu. Anas, Subur, dan Marzuki marah karena nama mereka dicatut! Praktis kini tinggal Faksi Moeldoko. Mereka makin panik. Twitter@DalamIstana menulis, mereka paham, era Jokowi sudah senjakala. Kekuatan Jokowi makin lama-makin lemah seiring Covid-19 tembus sejuta dan ekonomi hancur. Rakyat mulai marah pada Jokowi. Sekarang saatnya balas dendam dan mempersiapkan Pilpres 2024. Target Ical dan JK bersatu mau tarik Golkar keluar koalisi pemerintah. Humprey Djemat juga demikian, kader-kader PPP sadar kalau terus di ketek pemerintah pas rakyat lagi kecewa, PPP bisa tidak dapat kursi di Senayan 2024 nanti. Kalau Golkar dan PPP sampai kabur, strategi Jokowi untuk memastikan kemenangan PDIP via pejabat Kepala Daerah yang dikondisikan oleh Mendagri Tito Karnavian lewat menolak Pilkada 2022 dan 2023 bakal makin sulit. JK mau memastikan Anies Baswedan bisa tetap punya panggung sampai 2024. Ical sudah setuju. Moeldoko tak bisa ngomong apa-apa. Ini pertaruhan buat Moeldoko. Kalau dia gagal karier politiknya tamat. Tanpa jabatan KSP, dia bukan apa-apa. Makanya, gantian Moeldoko yang ngamuk-ngamuk ke Nazaruddin dan Johny Allen Marbun. Max Sopacua dan Marzuki Alie yang cuma ikut-ikut langsung kabur sambil coba cuci tangan. Belakangan ada kabar, Moeldoko juga seret PDIP dalam pusaran Kudeta Demokrat. Melihat adanya “keterlibatan” Moeldoko dan diseretnya nama Luhut serta PDIP dalam rencana Kudeta Demokrat ini, Presiden Jokowi harus bersikap tegas dan bijak! Jika terbukti gerakan mereka ini ternyata dapat “restu” Jokowi, rakyat bisa marah besar! Ditambah lagi, ada banyak kasus yang membuat rakyat kecewa dengan penegakan hukum! Selain masalah ekonomi yang terpuruk dengan menumpuk ribuan triliun, perlakuan penegak hukum yang diskriminatif terhadap ulama bisa memicu Revolusi Sosial. Sikap Presiden yang memerintahkan kasus tewasnya 6 Laskar FPI oleh polisi diselesaikan secara hukum dengan transparan dan adil, sangatlah tepat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus bisa membaca perintah Presiden ini! Dengan adanya perintah Presiden itu, seharusnya Jenderal Listyo segera mengambil langkah-langkah penting. Salah satunya yang penting dan mendesak, mencopot Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran. Kita lihat saja nanti, apakah perintah Presiden Jokowi itu “didengar” dan dieksekusi Jenderal Listyo. Jika tidak didengar, berarti Jokowi memang bukan siapa-siapa! Jokowi hanya seorang Presiden yang dikendalikan oleh kekuatan “Oligarki” semata. Jangan salahkan rakyat juga jika kemudian muncul desakan agar Jokowi mundur dan rakyat minta supaya Pilpres dipercepat, seperti masa transisi dari Presiden BJ Habibie! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Rezim Menzalimi Umat Islam?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Rezim ini seperti berlebihan, tetapi sebenarnya tidak. Namun patut menjadi bahan renungan, apakah rezim Jokowi memang sedang menzalimi umat Islam? Tentu saja harus berdasarkan indikasi-indukasi sosial politik yang sedang dirasakan oleh umat Islam. Meskipun demikian, wajar juga apabila tidak semua umat Islam dapat merasakannya. Aada lima indikasi yang mengarah. Pertama, penangkapan dan penahanan terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) yang jelas-jelas dan nyata "dipaksakan dan dicari-cari" kesalahan. Ada segudang tuduhan yang dialamatkan kepada HRS. Apakah HRS adalah salah satu tokoh umat Islam? Jawabannya pasti iya. Bahkan HRS adalah tokoh umat Islam terdepan dalam mengkritik dan mengoreksi berbagai beijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Karena kebijakan pemerintah merugikan rakyat, maka otomatis juga merugikan Umat Islam. Itu pasti. Tidak perlu diperjelas lagi apa penyebabnya. Makanya penzoliman kepada HRS satu paket dengan pembubaran dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) yang tercatat telah berbuat banyak untuk kepentingan umat Islam. Sebelumnya HTI lebih dulu dibubarkan. Kedua, pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek),dalam perjalanan dari sentul menuju karawang. Pembunuhan yang terkesan diproteksi oleh rezim yang berkuasa. Sehingga pengungkapan dan tindak lanjut kasus ini juga menjadi bertele-tele, tidak serius, dan penuh konspiratif. Padahal berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah ditemukan adanya pelanggaran HAM. Untuk perkara yang sangat mudah saja, seperti siapa petugas kepolisian yang menembak keempat anggota laskar FPI, teryata sampai sekarang tak terungkap. Aneh juga. Kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat terhadap bagian dari perjuangan keumatan. Ketiga, penangkapan dan penahanan Zaim Saidi dengan tuduhan penggunaan mata uang selain rupiah dalam bertransaksi di Pasar Muamalah. Semangat Zaim adalah inovasi dalam berekonomi syari'ah. Tidak ada unsur penipuan (gharar), spekulasi (maisir), dan rente (riba). Upaya untuk berekonomi mendekati Nubuwah. Jika dinilai ada masalah dengan perundang-undangan, maka selayaknya dilakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu. Klarifikasi dan edukasi. Keempat, eksploitasi dana umat Islam, baik itu haji, zakat, maupun wakaf. Masyarakat muslim masih mempertanyakan penggunaan dana haji, zakat, dan terakhir wakaf uang yang dicanangkan Menkeu untuk digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Masyarakat Ekonomi Syari'ah berubah menjadi "lembaga politik" yang diisi personal yang tidak kompeten. Kelima, tuduhan terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme yang ditujukan kepada simbol yang ke Islam-Islaman. Pengaturan, baik melalui UU maupun Kepres serta kebijakan politik yang dialokasikan melalui berbagai Kementrian terarah kepada umat Islam. Pelumpuhan kekuatan keumatan dengan isu terorisme, radikalisme, ekstrimisme tersebut menjadi nyata adanya. Disamping itu tersebut penahanan terhadap tokoh dan aktivis umat dengan berbagai alasan juga memperkuat indikasi kezaliman. Gus Nur, Maheer, Bahar Smith, Syahganda, Jumhur, Anton, dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di berbagai daerah lainnya. Sedangkan para "penyerang umat" seperti Denny Siregar, Armando Armando, dan Abu Janda sebaliknya sangat sulit untuk diproses hukum, meski telah bertumpuk laporan dugaan pelanggaran hukumnya. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang berhubungan dengan seragam atribut keagamaan juga sangat jelas tendensius. Isi SKB yang sangat menyinggung umat Islam. Prof. Greg Fealy dari Australian National University menyatakan rezim Jokowi represif terhadap umat Islam. Represi negara dapat terjadi dalam berbagai bentuk kepada Pegawai Negeri, akademisi, guru yang masuk dalam ruang-ruang pantauan. Bahwa pada setiap rezim ada tindakan diskriminatif terhadap umat Islam mungkin benar, akan tetapi rezim Jokowi nampaknya paling tinggi tingkat represivitas dan kezalimannya. Entah apakah karena kedekatan dengan pemerintahan Cina yang komunis atau faktor lain penyebabnya. Semua dapat dianalisis tuntas setelah Pemerintahan Jokowi usai. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian-3)

By Prof Dr OK Saidin SH MHum Medan, FNN - Di bagian ke-2 tulisan ini telah dikatakan bahwa sulit untuk mengatakan Dr Muryanto Amin tidak melanggar etika publikasi. Dan sulit pula untuk mengatakan keputusan rektor USU (periode 2016-2021) No. 82/UN5.1R/SK/KPM/2021 yang menyatakan bahwa Muryanto terbukti melakukan ‘self plagiarism’, adalah keputusan keliru. Selain menemukan Perkep LIPI 5/2014 dan Bab V Kode Etika Pengarang Jurnal Ilmiah butir 5.2.1, Komisi Etik (KE) USU juga mencari peraturan-peraturan lain yang senada dengan itu. KE memulai upaya untuk mencari hukum tersebut. Bagaimana pengaturan tentang itu pada perguruan tinggi lain dalam menyikapi peristiwa yang sama. Jika faktanya ada, perbuatannya ada dan bahkan aturannya ada, hanya saja tidak tegas, maka para ahli dan praktisi hukum boleh memberi tafsir obyektif dan konkrit yang dibenarkan dalam ilmu hukum yakni Tafsir Analogi. Berikut beberapa contoh. Pertama, Universitas Indonesia (UI). Berdasarkan keputusan Rektor UI No. 208/SK/R/UI/2009 tentang penyelesaian masalah plagiat yang dilakukan oleh sivitas akademika UI, di Pasal 1 angka 1 dikatakan bahwa plagiarisme adalah tindakan seorang yang mencuri ide atau pikiran yang telah dituangkan dalam bentuk tertulis dan/atau tulisan orang lain yang digunakan dalam tulisannya seolah-olah ide atau tulisan orang lain tersebut adalah ide, pikiran dan/atau tulisan sendiri sehingga merugikan orang lain baik material maupun non material, dapat berupa pencurian sebuah kata, frasa, kalimat, paragraf atau bahkan pencurian bab dari tulisan atau buku seseorang, tanpa menyebut sumbernya. Termasuk dalam pengertian plagiarisme adalah plagiarisme diri (self plagiarism). Plagiarisme diri adalah tindakan seorang yang menggunakan karyanya berulang-ulang, baik ide atau pikiran yang telah dituangkan dalam bentuk tertulis dan/atau tulisannya sendiri baik sebagian maupun keseluruhannya tanpa menyebutkan sumber pertama kalinya yang telah dipublikasikan, sehingga seolah-olah merupakan ide, pikiran dan/atau tulisan yang baru dan menguntungkan diri sendiri. Kedua, peristiwa di lingkungan sivitas akademika perguruan tinggi agama Islam. Pihak Kementerian Agama menerbitkan aturan yang dimuat dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 7142/2017 tentang pencegahan plagiarisme di perguruan tinggi Islam. Dijelaskan di butir D (ketentuan plagiarisme) angka 2 (tipe-tipe plagiarisme), huruf (d) bahwa self plagiarism adalah salah satu tipe plagiarisme. Yang termasuk dalam tipe plagiarisme itu adalah: (a)-Plagiat kata demi kata. Penulis menggunakan kata‐kata penulis lain (persis) tanpa menyebutkan sumbernya; (b)-Plagiat atas sumber. Penulis menggunakan gagasan orang lain tanpa memberikan pengakuan yang cukup (tanpa menyebutkan sumbernya secara jelas); (c)-Plagian kepengarangan. Penulis mengakui sebagai pengarang karya tulis karya orang lain; (d)-Self Plagiarism yang termasuk dalam tipe ini adalah seperti penulis mempublikasikan satu artikel pada lebih dari satu redaksi publikasi dan mendaur ulang karya tulis/karya ilmiah. Yang penting dalam menghindari self plagiarism adalah bahwa ketika mengambil karya sendiri, maka ciptaan karya baru yang dihasilkan harus memiliki perubahan yang berarti. Artinya karya lama merupakan bagian kecil dari karya baru yang dihasilkan. Sehingga pembaca akan memperoleh hal baru, yang benar‐benar penulis tuangkan pada karya tulis yang menggunakan karya lama. . Komisi Etik juga tidak berhenti sampai di situ. Di samping penafsiran analogi, sumber hukum yang lain yang dirujuk adalah doktrin atau pendapat ahli. Semua ahli mengatakan bahwa perbuatan self-plagiarism adalah suatu perbuatan yang masuk dalam kategori pelanggaran norma dan etika akademik. Dr Henry Soelistio Budi, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Pelita Harapan yang juga pakar hukum bidang plagiat mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Dr Muryanto Amin adalah termasuk dalam kualifikasi perbuatan self-plagiarism, yaitu mempublikasikan satu artikel pada lebih dari satu redaksi publikasi dan mendaur ulang karya tulis/karya ilmiah. Komisi Etik juga tidak berhenti sampai di situ. Komisi Etik juga menelusuri kasus-kasus yang pernah terjadi di lingkungan USU sebagai jurisprudensi dalam kasus yang sama. Komisi Etik menemukan: (a)-Keputusan Rektor USU No.30/UN5.1.R/SK/SDM/2013 Tentang Penjatuhan Sanksi Bagi Dosen yang Melakukan Plagiat (plagiat antar jurnalnya sendiri) a.n. Dr Maulida ST MSc; (b)-Keputusan Rektor USU No.149/UN5.1.R/SK/SDM/2015 Tentang Penjatuhan Sanksi Bagi Dosen yang Melakukan Plagiasi (autoplagiasi) a.n. Drs Arifin Lubis. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda itu bukan peristiwa yang baru. Bukan juga perbuatan yang dibenarkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda, seumpama keukeuh yang sudah kadaluwarsa yang diberi label bertanggal baru. Itu kejahatan luar biasa yang tidak terampuni. Senada dengan perumpamaan itu, meminjam istilah Dr Henry Soelistyo Budi, self- plagiarism adalah kejahatan tak berdarah dalam dunia akademik. Bahkan ilmuwan terkemuka di Indonesia Fachry Ahli dalam account Facebook-nya, tanggal 20 Januari 2021, dengan mengutip pandangan Pro R William "Bill" Liddle mengatakan bahwa "aksi plagiat tak terampuni di dunia akademis tempatnya di "intib" (kerak) neraka. Lebih lanjut Fachry menggambarkan betapa kehidupan akademis harus jujur secara paripurna. Bahkan self-plagiarism (mengajukan tulisan lama sebagai tulisan baru atau penelitian baru) disebutnya sebagai sebuah kejahatan fatal. Rocky Gerung menyebutnya sebagai perbuatan incest, perkawinan sedarah. Perbuatan ini membuat perguruan tinggi mandek, tidak berkembang karena karya yang ditampilkan itu-itu saja, tak ada ide baru, tak ada gagasan baru, tak ada inovasi. Perbuatan itu lebih pada upaya untuk pencitraan, untuk kum kenaikan pangkat. Tapi sekali lagi, setelah Mendikbud menerbitkan Keputusan No 6169/MPK.A/KP/2021 Tentang Pencabutan Keputusan Rektor USU No 82/UN5.1.2/SK/KPM/20, kita anggaplah ini sebuah ketidak tahuan dan ketidak fahaman para staf di Kementerian dalam membaca peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulius. Etika kerap kali wujudnya dalam bentuk tidak tertulis. Setelah terbit keputusan Mendikbud ini, banyak kekhawatiran di kalangan akademisi USU. Misalnya, bagaimana Kementerian merehabilitasi nama baik dua dosen yang telah pernah dijatuhi hukuman dalam kasus yang sama? Apakah ini tidak menjadi bumerang bagi pihak kementerian sendiri jika ada dosen yang mengusulkan kenaikan pangkatnya menggunakan tulisan dengan kasus yang sama, yang selama ini tertolak di kementerian? Kemudian, bagaimana jika mahasiswa mengikuti cara-cara itu dalam menulis dan mempublikasikan karya ilmiahnya? Jadi pantas saja langkah Kementerian ini mengundang banyak tanda tanya. Ada apa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hari ini, sehingga pihak Kementerian "menutup mata" terhadap kasus ini. Apakah ada "kekuatan lain" di luar sana yang mengintervensi kekuasaan di Kemendikbud yang sedang mengumandangkan jargon, "Kampus Merdeka-Merdeka Belajar"? Atau tindakan ini dilakukan oleh segelintir oknum di Kementerian yang salah memberi informasi kepada Menteri? Kita tentu tak boleh menduga-duga. Apapun juga keputusan telah diambil. Dr Muryanto Amin telah resmi dilantik menjadi Rektor periode 2021-2026. Persoalannya, apakah dengan begitu masalah USU sudah selesai? Tampaknya peristiwa ini akan menyimpan banyak persoalan dalam perjalanan USU ke depan dan ini tak boleh dipandang sebagai persoalan remeh. Ini akan menjadi masalah serius, apalagi setelah "Tempo" menempatkan isu ini sebagai "Laporan Utama" media yang memiliki integritas di republik ini, yang bermakna bahwa kasus ini bukan kasus yang bisa dipandang "sebelah mata".[] === Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (Periode Tahun 2017-2020 dan 2020-2023). Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik Universitas Sumatera Utara (Periode Tahun 2020-2025)