ALL CATEGORY
Ujian Kapolri Baru, Koreksi Narasi Komnas HAM yang “Identik” dengan Polri
by Mochamad Toha Surabaya FNN - BISA dipastikan, Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang kini menjabat sebagai Kabareskrim Mabes Polri yang namanya diajukan Presiden Joko Widodo ke Komisi lll DPR, Rabu (13/1/2021) ini untuk diproses mengikuti fit and propper test. Dari 5 calon Kapolri pengganti Jenderal Polisi Idham Azis yang akan pensiun 30 Januari ini yang diserahkan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Presiden Jokowi akhirnya menunjuk Komjen Listyo untuk mengikuti uji kelayakan di Komisi III DPR. Penunjukan Komjen Listyo sebagai Kapolri, memang sudah diprediksi sebelumnya, karena kedekatan (chemistry) antara Listyo pribadi dengan Presiden Jokowi. Pria kelahiran Ambon, Maluku, 5 Mei 1969, itu adalah pati lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) angkatan 1991. Selama ini, Listyo Sigit dikenal dekat dengan Presiden Jokowi. Kedekatan itu diperkuat saat ia bertugas sebagai ajudan Presiden pada 2014-2016. Kedekatan Listyo Sigit dan Jokowi terbangun dalam peristiwa yang mengguncang Solo pada September 2011, yakni bom bunuh diri di halaman Gereja Bethel Injil Sepenuh, Kepunton. Bom itu meledak hanya berselang lima bulan setelah ia dilantik menjadi Kapolres Solo. Peristiwa bom itu cukup memukul karena tiga hari kemudian, Solo mesti menjadi tuan rumah Asian Parliamentary Assembly atau Majelis Parlemen Asia. Pada saat yang sama, Walikota Jokowi sedang gencar mempromosikan Solo sebagai destinasi wisata. Sigit lalu meyakinkan bahwa Solo aman. Dia bergerak mengamankan acara internasional itu dengan memulihkan kepercayaan wisatawan, dan juga pendatang. Listyo Sigit resmi dilantik menjadi Kepala Bareskrim Polri pada Senin, 16 Desember 2019. Dia mengisi kursi lowong setelah pejabat sebelumnya, Idham Azis dilantik menjadi Kapolri. Sebagai pejabat Bareskrim baru, jenderal bintang tiga itu mematok target kerja. Utamanya mengevaluasi reserse dan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Selama berkarier, Listyo Sigit pernah beberapa kali menduduki jabatan strategis di Polri. Lulusan S2 Universitas Indonesia dengan tesis penanganan konflik etnis di Kalijodo Jakarta itu pernah menjabat Kapolres Pati (2009) dan tahun selanjutnya menjadi Kepala Kepolisian Resor Sukoharjo (2010). Setelah itu, dia menduduki posisi Wakapoltabes Semarang, dan pernah menjadi Kapolres Solo. Pada 2012, Jokowi yang diusung oleh PDIP maju sebagai Gubernur DKI Jakarta dan menang dalam Pilkada tersebut, Listyo Sigit juga ikut pindah ke Ibu Kota Negara di Jakarta dengan menjabat Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri. Pada 2013, Listyo Sigit dipercaya menjadi Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Tenggara (2013), namun pada 2014 setelah Jokowi menjadi Presiden, ia kembali ke Jakarta untuk mengemban tugas menjadi ajudannya pada 20 Oktober 2014 hingga 5 Oktober 2016. Selanjutnya ia mendapat promosi jabatan sebagai Kapolda Banten dan menyandang pangkat Brigjen. Listyo Sigit memimpin Polda Banten selama 2 tahun, yakni 5 Oktober 2016 hingga 13 Agustus 2018. Selepas menjabat Kapolda Banten, ia menjadi salah satu anggota polisi yang mendapatkan promosi jabatan di lingkungan Mabes Polri, menjadi Kadiv Propam menggantikan Irjen Martuani Sormin, yang ditugaskan sebagai Kapolda Papua. Setelah kosong selama 35 hari sejak ditinggalkan Idham Azis, melalui Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/3229/XII/KEP/2019 pada 6 Desember 2019, diterangkan Kadiv Propam Polri Irjen Polisi Listyo Sigit Prabowo menjadi Kabareskrim Polri. Selama menjabat Kabareskrim Polri banyak kasus besar yang berhasil dibongkar bersama anak buahnya. Kasus yang menonjol adalah penangkapan buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra di Malaysia. Penangkapan Djoko Tjandra dipimpin langsung oleh Komjen Listyo sekaligus membuka tabir sejumlah pihak yang terlibat. Dari lima tersangka, 2 di antaranya anggota polisi yakni Brigen Pol Prasedjo Utomo dan Irjen Pol Napoleon Bonarparte. Kasus menonjol lainnya adalah kebakaran Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung). Penyidik Bareskrim telah menetapkan 8 orang sebagai tersangka. Mereka adalah tukang di Kejaksaan Agung berinisial, T, H, S, dan K. Pekerja lain yang mengerjakan wallpaper berinisial IS, mandor berinisial UAM, vendor maupun PT ARM inisial R dan PPK inisial NH. Kasus besar lainnya yang dibongkar jajaran Bareskrim adalah mengungkap narkoba jenis sabu sebanyak 1,2 ton, 35.000 butir pil ekstasi dan 410 Kg ganja selama kurun waktu Mei-Juni 2020. Barang bukti tersebut disita dari jaringan Iran-Timur Tengah yang ditangkap di dua lokasi berbeda, yakni Serang, Banten, dan Sukabumi, Jawa Barat. Dari hasil penangkapan itu, Tim Satgas Merah Putih berhasil mengamankan 7 orang tersangka. Kasus lain yang menjadi perhatian publik adalah membantu menangkap Maria Pauline Lumowa, tersangka pembobolan BNI 46 senilai Rp1,7 triliun. Penangkapan ini dipimpin langsung oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Dalam beberapa kesempatan Komjen Listyo menegaskan bahwa penuntasan berbagai kasus merupakan bentuk komitmen, transparansi di tubuh Polri. Terutama kasus Djoko Tjandra yang melibatkan 2 anggota polisi berpangkat Brigadir Jenderal. “Bareskrim Polri terus melakukan pembenahan internal untuk lebih profesional dan produktif dalam penanganan penegakan hukum di Indonesia,” ungkap Komjen Listyo. Tugas Berat Sebagai pejabat yang ikut menangani kasus penembakan 6 pengawal Habib Rizieq Shihab yang kini sedang berproses, Listyo Sigit bakal diuji dengan tugas berat. Yakni, membangun kembali trust rakyat kepada institusi Polri yang selama ini mulai pudar. Simpang-siur narasi pejabat Polri seperti Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran terkait kasus penembakan 6 laskar FPI di KM 50 hingga KM 51 Tol Jakarta-Cikampek pada Minggu malam, 6 Desember 2020, hingga Senin dini hari, 7 Desember 2020, harus dibuka kembali. Hasil akhir investigasi Komnas HAM memang nyaris sama narasinya dengan tim Bareskrim Polri: “Insiden bentrok antara polisi dengan anggota FPI hingga terjadi tembak-menembak!” Sepertinya Komnas HAM lebih percaya pada versi Polisi ketimbang FPI. Hasil penyelidikan Komnas HAM terkait “insiden bentrok” antara polisi dengan anggota FPI menyatakan telah terjadi pelanggaran oleh pihak kepolisian. Hal ini terkait penembakan oleh polisi terhadap empat anggota FPI. Komnas HAM menyebut kasus ini sebagai “Peristiwa Kerawang”. Terkait peristiwa KM 50, terdapat 4 orang masih hidup dalam penguasaan resmi petugas negara yang kemudian ditemukan tewas, maka peristiwa tersebut bentuk peristiwa pelanggaran HAM. Begitu kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (8/1/2021). “Penembakan sekaligus 4 orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain untuk menghindari jatuh korban jiwa mengindikasikan ada tindakan unlawful killing terhadap laskar FPI,” ujar Choirul Anam. Komnas HAM merekomendasikan peristiwa tewasnya 4 laskar FPI dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana. Komnas HAM juga merekom pengusutan itu lebih lanjut dugaan kepemilikan senjata api yang diduga digunakan pihak FPI. Sejak peristiwa terjadi, Komnas HAM melakukan peninjauan langsung ke lokasi peristiwa, Kerawang, pada 8 Desember 2020. Komnas HAM bekerja sesuai mandat Komnas HAM Pasal 89 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sejak Senin, 7 Desember 2020. Dalam peninjauan itu, pihaknya menemukan beberapa benda yang diduga sebagai bagian peristiwa tersebut. Beberapa diantaranya tujuh buah proyektil, tiga buah slongsong, bagian peluru, pecahan mobil, dan benda lain dari bagian mobil seperti baut. Komnas HAM juga meminta keterangan terhadap sejumlah pihak, antara lain kepolisian, siber, inafis, dan petugas kepolisian yang bertugas, hingga pengurus FPI. Komnas HAM juga mendalami bukti-bukti 9.942 video dan 137 ribu foto yang berkaitan dengan insiden tersebut. Bukti itu dijadikan tahap finalisasi laporan akhir Tim Penyelidik Komnas HAM sebelum mengumumkan hasil rekomendasi akhir. Selain itu, Komnas HAM juga melakukan pengecekan terhadap barang bukti, termasuk mobil yang dipakai saat bentrok polisi-FPI itu terjadi. Komnas HAM juga melakukan rekonstruksi insiden bentrok ini di kantor mereka secara tertutup dengan menghadirkan anggota Polri. Namun, nyatanya sebagian kalangan masyarakat tidak percaya dengan narasi Komnas HAM yang nyaris sama dengan Polisi. Kapolri Baru harus berani menyidik ulang! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Izinkan Emergency Sinovac, BPOM Tunduk Kekuasaan?
by Mochammad Toha Surabaya, FNN - ATAS nama darurat, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengizinkan penggunaan vaksin Covid-19 Sinovac buatan China disuntikkan kepada masyarakst. Izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) itu diberikan karena sudah memenuhi persyaratane sesuaiketentuan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Healt Organization (WHO). Izin penggunaan darurat itu diumumkan Kepala BPOM Penny Lukito Penny dalam konferensi pers daring, Senin,11 Januari 2021. Pemberian persetujuan penggunaan vaksin adalah yang diproduksi PT Bio Farma. Penny memastikan, pengambilan keputusan didasarkan pada rekomendasi dan sudah dirumuskan dalam rapat pleno anggota Komite Nasional Penilaian Obat, dan para ahli di bidangnya, 10 Januari 2021. Hasil pemantauan keamanan dan khasiat selama 6 bulan untuk uji klinis fase 1 dan 2, dan 3 bulan pada uji klinis fase 3, secara keseluruhan menunjukkan efek samping yang ditimbulkan bersifat ringan sehingga aman digunakan. Tekanan Presiden Joko Widodo dan Menkes Budi Gunadi Sadikin yang mengatakan penyuntikan Vaksin Covid-19 dilakukan serentak di 34 provinsi pada Rabu, 13 Januari 2021, diperkirakan membuat BPOM akhirnya juga mempercepat pengumuman itu. Vaksinasi diawali oleh Joko Widodo bersama sederet nama lainnya, di Istana Kepresidenan, Rabu kemarin. Sebagai menteri kesehatan, seharusnya Budi Gunadi tidak boleh memaksakan percepatan evaluasi atas suatu hasil uji klinis vaksin Sinovac. Evaluasi uji klinis itu tidak bisa disamakan dengan uji laboratorium seperti potensi tambang yang sebelumnya digelutinya. Sebagai Presiden, Jokowi juga tidak boleh menekan menteri kesehatan agar segera memvaksin tenaga kesehatan atau nakes, sebelum BPOM mengizinkan EUA. Sebab, uji klinis pada relawan itu juga tak sama dengan uji laboratorium hasil hutan yang bisa dihitung waktunya. Jadi, seharusnya Menkes tidak bisa memutuskan vaksinasi dimulai Rabu, 13 Januari 2021, padahal BPOM baru akan mengumumkan pada 15 Januari 2021. Akan tetapi, akhirnya BPOM harus mengumumkan pada Senin, 11 Januari 2021, sesuai “arahan” Presiden. Yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah terkesan buru-buru melakukan vaksinasi ini? Padahal, hitungan secara medis dan uji klinis pun belum tuntas? Apalagi, China sendiri tidak memakai Sinovac untuk memvaksin rakyatnya. China malah mengimpor vaksin! Berhasilkah China mengatasi Covid-19 di negerinya sendiri? Ternyata hingga kini tidak berhasil. Faktanya, sejak Selasa (29/12/2020), China telah menutup 10 area di ibukota Beijing karena adanya ledakan kasus baru Cpvid-19 di sana. Penutupan ini kembali dilakukan setelah wabah meledak pada Juni-Juli 2020 lalu. Channel News Asia menyebutkan, kota itu melaporkan 16 infeksi dan 3 kasus asimptomatik sejak 18 Desember 2020. Sebagian besar kasus terjadi di Distrik Shunyi. Beijing juga mendesak penduduk untuk tinggal di rumah selama liburan. Pejabat di distrik utara Yanqing dikabarkan akan terus menyalakan pengeras suara untuk menasihati penduduk agar tidak bepergian ke luar wilayah tersebut. Masih percaya dengan Vaksin Sinovac, meski gagal mengatasi pandemi Covid-19 di China sendiri? Ingat! China itu pernah gagal mengatasi Virus Flu Burung hingga sempat menelan korban begitu banyak. Anehnya kita malah beli vaksin dari China. Lebih aneh lagi, program vaksinasi ini telah menjadi keharusan dan kewajiban bagi rakyat di Indonesia. Padahal, WHO menyatakan tidak setuju jika negara mewajibkan vaksin Covid-19 kepada rakyatnya, apalagi dengan ancaman pidana atau denda. Vero Cell Pihak PT Bio Farma mengatakan, tidak ada bahan berbahaya yang terkandung dalam vaksin Covid-19 Sinovac. Menurut Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Bio Farma Bambang Heriyanto, Sinovac itu tidak mengandung sel vero. Sel vero hanya digunakan sebagai media kultur untuk pengembangan dan bertumbuhnya virus dalam proses perbanyakan virus sebagai bahan baku vaksin. Setelah mendapatkan virus yang cukup, maka akan dipisahkan dari media pertumbuhan. Sel vero ini tidak akan ikut atau terbawa sampai dengan proses pembuatan. Benarkah? Tentunya masih patut dipertanyakan lagi. Adapun vaksin Sinovac yang akan digunakan di Indonesia, disebut hanya mengandung virus yang sudah dimatikan. Karena ini platform-nya inactivated, jadi virusnya sudah dimatikan atau di-inaktivasi. Jadi, Sinovac sama sekali tidak mengandung virus hidup atau yang dilemahkan. Cara tersebut menjadi salah satu cara yang paling umum dalam pembuatan sebuah vaksin. Ini yang bahaya! Virus yang sudah “dimatikan” bisa saja suatu saat pada suhu tertentu hidul lagi. Kandungan lain di dalam vaksin Covid-19 Sinovac itu adalah alumunium hidroksida. Zat ini berfungsi sebagai adjuvan untuk meningkatkan kemampuan vaksin. Kandungan berikutnya adalah larutan fosfat atau sebagai penstabil, atau biasa kita sebut dengan stabilizer. Kandungan terakhir adalah larutan garam natrium klorida sebagai isotonis untuk memberikan kenyamanan penyuntikan. Tapi, garam yang digunakan telah memenuhi standar penggunaan farmasi. Benarkah sel vero itu hanya sebagai media kultur untuk pengembangan dan bertumbuhnya virus dalam perbanyakan virus sebagai bahan baku vaksin? Jawab dr. Tifauzia Tyassuma: “Betul! Tapi kalau (dibilang) tidak terbawa, itu bohong!” Analoginya seperti tanam pohon mangga. “Betul kita cuma ambil buah mangganya dan tidak makan tanahnya. Tapi buah mangga itu bisa besar dari mana? Dari unsur saripati yang ada di tanah itu,” ungkapnya kepada FNN.co.id. Artinya, buah mangga mengandung saripati tanah itu tentu saja. Sama halnya dengan virus. “Pabrik farmasi kan sudah 200 tahun biasa bohong,” sindir Dokter Tifa. Pantas saja, politisi PDIP yang anggota DPR dr. Ribka Tjiptaning menolak divaksin. Apa ini karena sudah kenyang dibohongin pabrik farmasi? ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Mungkinkah Kapolri Baru Tolak Perintah Presiden?
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN - Apakah Kapolri baru nanti mengerti hakikat republik? Apakah Kapolri nanti mengerti hakikat polisi negara apa? Apakah Kapolri baru nanti mengerti hakikat rule of law? Apakah Kapolri baru nanti berpaham Presiden sama dengan negara? Apakah Kapolri nanti menyamakan perintah Presiden itu sama dengan perintah hukum? Bagaimana pemahaman Kapolri mengenai konsep ketertiban dan keamanan dalam kerangka negara hukum demokratis? Apakah Kapolri baru nanti mengerti sepenuhnya konteks dan hakikat salus populi suprema lex esto? Bagaimana dia kerangkakan salus populi suprema lex esto itu ke dalam rule of law? Apakah Kapolri baru nanti memahami hukum sebatas teks pasal? Semoga hal-hal itulah yang ditanyakan oleh DPR kepadanya pada waktu fit and proper test nanti. Dulu Pernah Ada Jendral Polisi Hoegeng, tidak banyak bicara soal itu. Tetapi untuk alasan sengeyel apapun, tak bakal mampu menyangkal kenyataan pria ini memiliki kelas dan mengagumkan. Level tak tertandingi sejauh ini. Bukan kesederhanaannya saja yang membuatnya berkelas, tetapi lebih dari itu. Prinsipnya jelas. Berada dalam koridor kekuasaan, yang semua orang picik berebut berada di dalamnya. Menggenggam dengan cara yang khas orang-orang kecil, Pak Hoegeng, justru menjauh darinya. Top Pak Hoegeng, yang tak mampu, sekadar basa-basi saja, menyenangkan bosnya, Presiden Soeharto. Hoegeng dikenang orang hingga di kabupaten Sula, Maluku Utara ini, orang hebat. Ia tak mereandahkan harga dirinya. Tak mampu membebek, membungkuk agar bisa terus berada di koridor kekuasaan. Bapak yang kehormatan selalu bergerak menujunya, memeluknya, hebat sekali. Pak Hoegeng itu konsisten. Laksana busur pemanah kawakan. Dua peristiwa berat secara politik, ia tangani dengan cerdas. Kasus seorang anak pembesar di Yogya, dan kasus penyelundupan mobil mewah di Jakarta, yang bertali-temali dengan pembesar-pembesar politik, rontok di tangan pria lembut dan murah senyum ini. Mungkin terlihat bodoh bagi para pembebek. Untuk para hamba kekuasaan dan uang, Pak Hoegeng akhir terlempar dari jabatannya. Diberhentikan oleh Pak Harto. Apa yang membuatnya begitu kukuh menggenggam kejujuran, keadilan dan kesederhanaannya? Tak ada yang tahu. Ada kata-kata muitiara dari Ating, tulis Aris Santoso , DKK, dalam bukunya Hoengeng, yang terus melekat di benak Hoegeng. “Kekuasaan ibarat pedang bermata dua. Kalau tidak pandai menggunakannya, maka bisa mendatangkan bahaya, baik pada pemiliknya, maupun orang lain. Ingat, tulis Aris Santoso Dkk, melanjutkan kata-kata bijak Ating yang melekat pada Hoegeng, “hanya orang berilmu yang mampu menggunakan kekuasaan yang ada ditangannya, untuk menolong orang-orang yang lemah dan tidak bersalah” (tanda petik dari saya). Karena itu, Hoegeng harus sekolah baik untuk menjadi Polisi, untuk menolong orang lemah yang tidak bersalah. Pria Pekalongan ini, memang pantas menjadi alamat untuk kehormatan. Pria kelahiran 14 Oktober 1921, dan berpulang ke rahmatullah tanggal 14 Juli 2004, akan selalu begitu. Dia dirindukan orang waras, cinta kejujuran, kebenaran dan keadilan setiap kali melihat diksriminasi hukum, lembut atau ekstrim. Ada Pak Hoegeng, semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan Rahim-nya, juga Pak Prapto, Jaksa Agung 1950-1959. Prapto, pria kelahiran 2 Maret 1894 pernah bertugas diberbagai tempat. Pernah menajdi voorzitter pada Landraad Banyuwangi, Singaraja, Bali, dan Lombok pada tahun 1920 hingga 1929. Dia juga pernah menjadi hakim di Salatiga dan Pekalongan pada tahun 1941-1942, dan Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tahun 1948. Lima bulan menjadi hakim Agung (20 Juli 1950), Soeprapto diangkat menjadi Jaksa Agung. Pengangkatan ini dituangkan dalam Kepres No. 64 pada 2 Desember 1950. Bening dengan kejujuran, berkilau dengan keadilannya, Pria ini menolak perintah Presiden Soekarno, untuk satu urusan kecil, tetapi penting. Soeprapto menolak melaksanakan perintah Bung Karno, yang menurut penilaiannya bertentangan dengan hukum. Perintah Bung Karno itu adalah menindak Mochtar Lubis, penanggung jawab Harian Indonesia Raya. Karena berita-beritanya Harian Indonesia Raya yang dinilai mencemarkan nama baik Bung Karno, ditolak Prapto. Jauh setelah masa keduanya, tata negara dan politik Indonesia menemukan Pak Jendral Suroyo Bimantoro. Kapolri yang satu ini juga top. Sikapnya menolak melaksanakan tindakan atau perintah Presiden, jelas. Pria pintar ini, begitu kukuh menjaga marwah konstitusi dan eksistensi Kepolisian. Top. Agungkan Konstitusi Pak Hoogeng dan Pak Prapto, jelas, teladan dunia hukum negeri ini. Diseberang jauh, dunia baru saja menyaksikan kebesaran Mark Esper, Menteri Pertahanan Donald Trump ini memutuskan hubungan dengan Trump setelah secara terbuka menentang permohonan Insurection Act of 1807, terkait perintah Trump untuk penempatan pasukan aktif di kota-kota Amerika. Esper mengatakan bahwa "Pengawal Nasional paling cocok untuk melakukan dukungan domestik kepada otoritas sipil.” Saya mengatakan ini tidak hanya sebagai Menteri Pertahanan. Saya mengatakan ini juga sebagai mantan tentara, dan mantan anggota Garda Nasional. Pilihan untuk menggunakan pasukan aktif dalam peran penegakan hukum sebaiknya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir, dan hanya dalam dan situasi yang mengerikan. Top markotop Mark Esper. Kami, kata Esper, tidak berada dalam salah satu situasi itu sekarang. Saya tidak mendukung penerapan Insurrection Act. "Hebat, Esper menemukan langkah-langkah di hari-hari berikutnya untuk lebih menurunkan situasi. Esper mengembalikan pasukan ke pangkalan mereka tanpa memberi tahu Gedung Putih. Dia begitu faham konstitusi. Sehingga dia faham dan tunduk hanya kepada konstitusi, juga prinsip-prinsip demokrasi. Super top Mark Esper. Lain Esper, lain pula Jeffrey Rosen, Deputy Attorney General, meninggalkan jabatan yang disandangnya, setelah lebih dari tiga puluh tahun berkarir di kementerian ini. Rosen memutuskan meninggalkan jabatannya, karena satu alasan yang khas konstitutional. Rosen menilai William Barr, Bosnya, telah menggunakan, mendedikasikan kementerian untuk kepentingan politik Trump, bukan untuk konstitusi. Tragis, William Barr, sang Jaksa Agung, akhirnya juga frustrasi dengan perintah Trump. Karena Trump perintahkan Barr untuk menyediliki kecurangan pemilu, yang ternyata tidak ditemukan, justru membuat Trumph marah. Trumph juga marah, karena Barr dinilai tidak tuntas mengusut Hunter Biden, anak Joe Biden, Presiden terpilih. Frustrasi dengan perintah Trump yang menyebalkan berbagai kalangan sejauh ini, karena dinilai merusak konstitusi, Barr kehilangan kemampuannya menjadi jongos Trump. Harga dirinya bergerak naik, dan menguat melemahkan energinya melayani administrasi Trumph. Barr akhirnya menemukan dirinya sebagai laki-laki terhormat. Dia memilih meletakan jabatan itu. Selalu seperti sebelumnya, Trump mempersilahkannya, sembari mengucapkan terima kasih, member pujian politis kepada Bar (Lihat Spectrum News, Com. 23/12/2020). Kepala polisi Capitol AS dan dua pejabat keamanan senior, juga memperlihatkan level integritasnya yang sama. Menyusul pendudukan dan pengrusakan Capitol Hill, mereka mengundurkan diri. Apalagi seiring terjadinya peristiwa jorok itu, kritik masyarakat bergerak naik. Polisi dinilai ceroboh menangani serangan kejam pendukung Trump terhadap Capitol Hill. Nancy Pelosi, House Speker dari Demokrat, terlepas dari kenyataan dirinya cukup sering berseberangan dengan Trump, mengecem aksi ini. Tidak sendirian di barisan, tokoh senior lainnyapun mengecamnya. Steven Sund, Kepala Polisi Capitol Hill, tidak ngeyel khas polisi-polisi kerdil, untuk kelalaiannya itu. Dia mengundurkan diri dari jabatan itu, terhitung efektif mulai 16 Januari nanti (The Guardian, 8/1/2021). Presiden, dalam semua republik, tidak dapat disamakan, apapun alasannya, dengan konstitusi. Presiden tidak sama dengan hukum, apalagi hukum itu sendiri. Presiden adalah nama jabatan, yang pemangkunya (orangnya) dibebankan kewajiban melaksanakan konstitusi. Melaksanakannya juga harus adil. Adil mensyaratkan presiden harus transparan, dengan argumen-argumen konstitusi. Presiden juga harus tahu dignity, dan humanity. Dia harus tahu equality before the law dalam semua aspek kehidupan. Presiden, harus tahu Polisi kita, dengan argumentasi apapun, tidak bisa dikonstruksi menjadi Polisi Presiden Republik Indonesia. Betul, presiden adalah satu-satunya figur tata negara memegang kewenangan melaksanakan hukum. Betul itu. Tetapi Polisi kita, bukan Polisi presiden. Kepolisian kita adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Itulah status konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Kepolisian Republik Indonesia. Sehingga Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus memahami prinsip-prinsip konstitusi itu. Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus mengikatkan diri sepenuhnya pada konstitusi. Kapolri baru, terlepas dari siapapun orangnya, harus mengkerangkakan norma “menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat” dalam UUD 1945 ke dalam konsep negara hukum yang demokratis. Konsep ini juga dinyatakan dalam UUD 1945. Polisi itu punya hukum dan bedil. Jaksa hanya punya hukum, tanpa bedil. TNI hanya punya bedil, tak punya hukum. Polisi, sekali lagi, memiliki kedua-duanya. Demi bangsa ini, kewenangan ini harus ditata. Ilmuan tata negara dan politik yang mendalami sejarah, mengerti aksioma sejarah dua alat itu. Aksioma itu sangat yang jelas. Bedil dan hukum selalu dipakai, dengan berbagai alasan khas rezim bejat, untuk memperbesar kekuasaannya. Melumpuhkan, memenjarakan dan membunuh orang-orang yang berseberangan dengan penguasa. Penguasa-penguasa bejat membentengi kekuasaannya, hanya dengan dua alat itu, hukum dan bedil. Aksioma itulah yang merangsang orang-orang bijak yang memimpikan demorasi menggariskan prinsip-prinsuip penggunaan hukum dan bedil. Harus ada restriksi. Tujuannya melindungi dan eksistensi rakyat. Akhirnya digariskan kewenangan menggunakan dua alat itu dapat diletakan hanya pada orang yang beres otak dan mentalnya. Bukan pada orang yang kaleng-kelang, odong-odong dan beleng-beleng. Terlalu sukar untuk tak menilai bahwa salus populi suprema lex esto, sejauh ini, telah dimaknai secara keliru. Doktrin ini terlihat konyol penerapannya. Main buntuti, tembak dan bunuh, sebagaimana yang menimpa enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), harus dilihat sebagai bentuk kongkrit dari kekeliruan memahami salus polpuli suprema lex esto itu. DPR harus mengerti itu. Sebab gagasan itulah yang menjadi akar lahirnya fit and proper test. Secara praktis fit and proper test, merupakan cara politik rakyat mengecek level otak dan mental orang yang bakal memegang kewenangan itu. Darah yang tertumpah dan nyawa yang melayang di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) itu, yang menambah darah-darah yang telah lebih dahulu tumpah dan nyawa-nyawa yang telah lebih dahulu melayang, harus menjadi yang terakhir. Kesewenang-wenangan hukum harus diakhiri. Akankah sejarah hukum dan tata negara Indonesia kelak, menuliskan lagi nama seorang Kapolri, yang dengan cara halus, menolak melaksanakan perintah Presiden? Hanya karena perintah itu dinilai bertentangan dengan rule of law dan etika republik? Sejarah punya cara untuk membicarakannya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Vendor Gugat PT IMSS, Anak Perusahaan PT. INKA
by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Matahari mengambang sepenggalah. Belum meninggi berada di titik kulminasi. Waktu itu, pendule jam menunjuk kisaran pukul 10 pagi, waktu di seputaran Pengadilan Negeri Madiun, yang berdiri di jantung kota, Selasa (12/01). Sejurus kemudian, berjalan seorang pria separuh baya, bagus rupa. Benturan lantai tumit sepatunya tak terdengar. Lantaran pria berperawakan gemuk, agak pendek, itu mengenakan sepatu catch warna biru tua. Model sepatunya seperti yang biasa dikenakan Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN itu. Penyuka alas kaki demikian mencerminkan pemakainya dinamis. Energik, namun rileks. Sehingga fleksibel dikenakan sosok dengan mobilitas tinggi. Pria itu adalah Kolik, Direktur Utama PT. Inka Multi Service Solution (IMSS), yang tak lain adalah anak perusahaan BUMN PT. INKA (Persero). Kolik mendatangi gedung Pengadilan Negeri Madiun, dengan diapit dua orang pengacaranya, Joko SH. dan Wahyu SH. sebagai tergugat secara perdata. Penggugatnya adalah Sunarto, warga Desa Sukoharjo, Kecamatan Kayen Kidul, Kediri, sebagai vendor atau mitra kerja PT IMSS. Sunato pernah mengerjakan beberapa item proyek di lingkungan PT. INKA, pesanan kerja dari anak usahanya PT. IMSS. Sunarto mengaku sebagai korban atas klausul kerjasama pengerjaan berbagai proyek, yang dimulai sejak tahun 2017. Terkait pembayaran nilai proyek, menurut Sunarto, masih terdapat sisa senilai Rp. 500 juta. Uang tersebut hingga kini belum tertuntaskan. Berulangkali korban Sunarto menagih ke Kolil dan PT IMSS. Penagihan yang dilakukan, baik langsung maupun lewat sambungan telepon kepada Direktur Utama PT. IMSS, Kolik. Namun selalu mental dan gagal. Hingga akhirnya dia menggugat secara hukum. "Duuoooookkkkk.....". Palu hakim tunggal Pengadilan Negeri Madiun Kota, yang digenggam Endratno Rajamai, SH, MH, sekali membentur papan meja di tempat duduknya. Pertanda persidangan dimulai. Boleh jadi bagi penggugat, terlebih tergugat, tak mengira kerja samanya selama ini berakhir di tempat yang propertinya dominan serba hijau. Pengadilan. "Jangankan cuma Direktur Utama, presiden yang baik (negara, yang saat ini dijabat Jokowi) pun harus bertanggung jawab saat dia menjabat. Terlepas dari terjadinya persoalan sebelum dia menjabat sebagai presiden," tegas hakim tunggal PN Madiun Kota, Endratno Rajamai, SH., MH, memberikan permisalan. Perumpamaan ditujukan kepada Direktur Utama PT. IMSS, Kolik sebagai tergugat, saat memulai sidang perdana gugatan yang diajukan mitra kerjanya, Sunarto (penggugat), di pengadilan negeri setempat, Selasa (12/01). Terminologi kepemimpinan tersebut diungkapkan Endratno Rajamai, menjawab Kolik, yang saat itu diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat sebelum sidang dilanjutkan. Sewaktu diberi kesempatan menyampaikan keberatannya, Kolik yang duduk dalam apitan dua lawyernya, Joko SH. dan Wahyu SH. bersemangat menyampaikan keberatannya, sembari menggerak gerakkan kedua tangannya naik turun, guna memperjelas maksud yang diungkapkan. "Begini Pak Hakim. Yang membuat kami keberatan atas gugatan ini, saya menjabat sebagai Dirut PT. IMSS pada Tahun 2019. Sedangkan persoalan yang digugat penggugat itu terjadi sebelum saya menjabat," ucap Kolik yang mengenakan masker medis hijau itu. Namun intonasi meninggi bicara Kolik langsung mereda, sewaktu hakim tunggal bermasker putih itu menjelaskannya sebagaimana terkutip di kalimat langsung di atas. Sidang perdana gugatan perdata beragenda pembacaan materi gugatan itu berlangsung singkat. Di hadapan floor yang bersengketa, Endratno Rajamai sengaja tidak menuntaskan bacaan gugatan. Hakim beranggapan (yang diiyatakan kedua pihak) para pihak telah memahami isi gugatan. Sementara menurut vendor Sunarto selaku penggugat, pihaknya terpaksa menggugat secara hukum lantaran merasa telah jenuh dengan cara tagih konvensional yang tidak pernah berhasil. "Jadi kita bekerja itu banyak saksinya. Baik karyawan saya, maupun orang PT. INKA yang mengawasi pekerjaan saya. Saya sudah menagih berulangkali dengan baik baik. Namun selalu gagal," tutur Sunarto kepada jurnalis usai persidangan. Sementara pengacara Sunarto, Arifin P. SH. Menilai gugatan tidak dialamatkan kepada badan hukum PT. IMSS, mengingat badan hukum perusahaan tersebut, tentu memiliki perangkat sumber daya manusia, sebagai yang mengendalikan jalannya perusahaan. "Lucu kalau kami menggugat badan hukumnya. Kan di badan hukum PT IMSS itu ada pimpinan yang bertanggung jawab," jelas Arifin. P. SH. Kerugian yang diderita Sunarto mencapai Rp. 500 juta. Sedangkan proyek yang sudah selesai dikerjakan menyangkut perbaikan rel kereta api, pengecatan, pengelasan serta jenis pekerjaaan proyek lainnya. Selian Sunarto, gugatan perdata terhadap PT. IMSS itu juga dilakukan dua vendor lain, yakni Sugito dan Widodo. Dalam konteks yang sama, kedua vendor itu mengalami kerugian masing masing sebesar Rp. 500 juta. Sugito dan Widodo akan tampil menggugat di persidangan yang sama pada Rabu (13/01). Dengan pengacara tidak berbeda, yakni Arifin. P, SH. Penulis adalah Wartawan FNN.coid.
Gagal Vaksin Manifestasi Presiden Yang Gagal
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Vaksin Sinovac sudah didistribusikan ke beberapa Provinsi. Bulan Januari mulai penyuntikan vaksin. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) belum mengumumkan izin. Jika dipaksakan untuk dikeluarpun, itu tidak sehat karena tanpa penelitian tuntas dan seksama. Mau dipaksakan dan diburu-buru. Presiden Jokowi paksakan tanggal 13 Januari 2021 hari ini mulai dilakukan vaksinasi serentak. Konon Presiden akan disuntik pertama kali di istana negara. Begitulah Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengumumkan. Di beberapa negara banyak pimpinan negara memulai penyuntikan vaksin atas dirinya. Kemudian diketahui ternyata itu hanya suntikan rekayasa. Rupanya para pimpinan negara yang takut terinfeksi virus Covid 19, sama takutnya dengan disuntik vaksin. Ketakutan ini didasarkan pada keraguan akan jaminan keamanan vaksin yang disuntikan. Vaksin Sinovac masih menjalani uji klinis tahap tiga. Artinya pengujian belum selesai. Masih butuh waktu yang panjang untuk sampai pada penyelesaian uji klinis tersebut. Namun sudah dipaksakan untuk disuntikan. Tentu hari ini kita akan menyaksikan penyuntikan perdana atas diri Presiden Jokowi. Belajar dari karakter bawaan Presiden yang senang pada pencitraan, maka penyuntikan yang dilakukan mesti diperhatikan dengan seksama. Teliti benar isi vaksin, maupun cara penyuntikan. Presiden tak boleh bohong atau mekakukan rekayasa kepada rakyatnya sendiri. Jika sampai terjadi suntukan vaksin yang rekayasa dan pencitraan, maka tentu akan berdampak besar. Disamping akumulasi dari kebohongan juga bakal menjadi bagian dari penyunyikan skandal vaksin. Penolakan untuk divaksin karena keraguan keamanan khususnya vaksin China ini terjadi dimana-mana. Penolakan hampir terjadi seluruh belahan dunia. Kalangan tenaga medis sebagai klaster pertama target penyuntikan, ternyata banyak yang menyatakan menolak dan tak bersedia disuntik. Video Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang tak mau disuntik pertama, viral kembali. Begitu juga teraktual video anggota DPR Faksi PDIP dr. Ribka Tjiptaning yang tegas-tegas menolak untuk divaksin. Ribka juga mengatakan menolak anak-cucunya divaksin. Ribka bilang, lebih baik memilik untuk didenda daripada di suntik vaksin. “Memaksakan untuk melakukan penyuntikan vaksin adalah perbuatan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), “kata Ribka Tjiptaning. Sementara di tingkat elit dan kalangan medis saja banyak yang ragu dan menolak. Apalagi untuk masyarakat kebanyakan. Wajar saja kalau makin banyak masyarakat yang ragu dengan penyuntikan vaksin sinovac ini. Belum lagi soal kehalalan vaksin yang masih menjadi persoalan. Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin terkesan harus "mengemis-ngemis" agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa halal untuk vaksin sinovac. Soal halal haram tidak boleh dikaitkan dengan kebutuhan politik dan ekonomi. Jika program vaksin gagal, yakni tidak memenuhi target, maka berapa Trilyun kerugian negara yang secara tergesa-gesa telah membeli vaksin Cina Sinovac. Padahal vaksin ini ditolek oleh banyak negara di dunia. Kecurigaan terjadinya bisnis vaksin tersebut dikemukakan oleh banyak kalangan, termasuk anggota DPR Fraksi PDIP dr. Ribka Tjiptaning. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harusnya mulai menyisir akibat kerugian negara yang mungkin terjadi dari korupsi vaksin sinovac ini. Sementara DPR yang "kritis" soal vaksin juga harus mengejar pertanggungjawaban Presiden atas problema vaksin yang merugikan keuangan negara tersebut. Skandal vaksin sinovac harus dicegah dan dipertanggungjawabkan. Rakyat jangan menjadi obyek mainan dengan dalih apapun termasuk kesehatan.Gagal vaksin adalah manifestasi dari Presiden yang gagal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jihad Melawan Kemungkaran Informasi
by Adian Husaini Jakarta FNN - AMAR ma’ruf nahi munkar adalah salah satu kewajiban penting yang harus dilakukan setiap Muslim, baik secara individual maupun secara bersama atau berjamaah. Allah berfirman: "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS At Taubah:71). Aktivitas amar ma’ruf nahi munkar memang merupakan kewajiban yang sangat ditekankan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Bahkan, disebutkan, sejumlah dampak buruk bagi masyarakat, jika amar makruf nahi munkar tidak ditegakkan. Siksaan dan azab Allah akan turun kepada seluruh masyarakat, baik masyarakat yang baik maupun yang zalim. Tanpa pandang bulu. "Dan jagalah dirimu dari bencana yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah, Allah sangat keras siksanya." (QS Al Anfal:25). "Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemungkaran, sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum. (HR Abu Dawud) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi SAW membuat paparan tentang sekelompok penumpang kapal sebagai tamsil sebuah masyarakat. Penumpang menempati tempat duduknya masing-masing, ada yang di atas dan ada yang di bawah. Penumpang yang di bawah, enggan naik ke atas, untuk mengambil air. Dari pada repor-repot, maka ia lubangi saja bagian bawah tempat duduknya, untuk mengambil air. Digambarkan oleh Nabi SAW, jika para penumpang lainnya mendiamkan saja tindakan si penumpang yang membuat lubang itu, maka akan binasalah si penumpang, dan juga binasa seluruh penumpang kapal itu. Kemungkaran informasi dapat memiliki dampak yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kemungkaran secara amaliyah. Sebab, kemungkaran informasi merupakan kemungkaran di bidang keilmuan, sehingga dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sesuatu. Opini atau informasi yang salah dapat menimbulkan penyesatan opini yang sangat membahayakan masyarakat bahkan dapat merusak aqidah Islam, dan menimbulkan berbagai perilaku yang salah. Karena itu, ”informasi yang salah” adalah kemungkaran yang wajib diluruskan oleh setiap Muslim, baik dengan tangan, lisan, atau hati, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah saw. Orang yang termakan oleh informasi sesat -- misalnya, pemikiran bahwa semua agama adalah sama dan benar -- maka akan rusaklah keyakinan atau keimanannya. Sebab, al-Quran menegaskan, Hanya Islam agama yang benar dan diridhoi Allah (QS Ali Imran:19, 85). Dalam dunia pendidikan, misalnya, dikembangkan opini bahwa sekolah atau perguruan tinggi yang unggul adalah yang lulusannya mudah mencari pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia, tidak dianggap sebagai indikator penting dalam menentukan kualitas atau rangking suatu perguruan tinggi. Akhirnya, terjadilah pemujaan yang berlebihan terhadap gelar, harta dan jabatan. Demi jabatan, tak jarang, kebenaran dikorbankan. Penyesatan Opini Berbeda dengan kemungkaran yang jelas dan mudah dipahami seperti tindak kejahatan pencurian, perampokan, korupsi, perkosaan, perzinahan, minuman keras, dan sebagainya, penyesatan opini merupakan tindak kemungkaran yang cukup rumit dan memerlukan sedikit pemikiran untuk memahami kemungkaran tersebut. Kemungkaran jenis ini memang memungkinkan terjadinya -- apa yang disebut Ibnul Jauzy -- sebagai talbis, yakni menampilkan kebatilan dalam wajah kebenaran (manipulasi). Di dalam kitabnya, Talbis Iblis, Ibnu Jauzi menjelaskan dengan panjang lebar berbagai talbis yang dilakukan oleh setan terhadap berbagai golongan dan jenis manusia, mulai talbis terhadap orang awam sampai golongan ulama. Apa yang digambarkan oleh Ibnu Jauzi dalam talbis Iblis terhadap golongan batiniyah mirip sekali dengan gerakan spiritualisme, sinkretisme, dan penyamaan agama yang ramai berkembang di Indonesia saat ini. Kelompok batiniyah berpandangan bahwa yang lebih penting dari Al Quran dan hadis adalah "batin", dan bukan hal-hal yang zahir seperti ketentuan-ketentuan syariat (hukum-hukum) Islam. Justru aspek-aspek yang zahir seperti itu harus ditinggalkan (dibuang) agar tidak menjadi beban/belenggu bagi manusia. Mereka menggunakan QS Al A'raf ayat 157 sebagai landasannya: "Dan, mereka membuang beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada diri mereka." Orang yang sudah termakan oleh talbis Iblis dapat saja menjadi fanatik dan militan dalam memperjuangkan pemahamannya, seperti yang dilakukan oleh kelompok khawarij, yakni kelompok yang melampaui batas dalam pemahaman dan pengamalan agama. Jadi, penyesatan melalui opini sangat berpotensi memicu terjadinya talbis terhadap kebenaran, apalagi jika penyesatan itu dilakukan dengan metode yang baik, secara terus-menerus, terencana, dan didukung oleh tokoh-tokoh publik. Talbis akan semakin mudah terjadi jika kaum Muslim -- terutama tokoh-tokoh dan ulama mereka -- bersikap pasif dan tidak melakukan tindakan yang berarti untuk melawan usaha penyesatan opini terhadap umat Islam. Lebih berat lagi, jika informasi yang salah itu disebarkan oleh tokoh dan pemuka agama. Dampaknya akan sangat besar, karena dapat menyesatkan banyak orang. Karena itu, pada hari kiamat nanti, banyak orang dimasukkan ke neraka, karena mereka tertipu oleh informasi yang disebarkan oleh para pemimpin mereka. Mereka hanya mengikuti pemikiran para tokohnya, meskipun jelas-jelas itu bertentangan dengan kebenaran. "Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul." Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan Kami, timpakanlah kepada mereka azab, dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (QS Al Ahzab:66-68). Jihad di bidang informasi memerlukan kesungguhan dan pengorbanan yang besar, termasuk dalam soal pembiayaan. Sebab, umat Islam wajib memiliki media-media yang berkualitas agar mampu menyampaikan kebenaran dan menangkal informasi atau opini yang salah. Rasulullah SAW mengingatkan, agar umat Islam berjihad melawan kemusyrikan dengan harta, jiwa, dan lisan mereka. Maknanya, semua potensi umat wajib dikerahkan untuk perjuangan melawan berbagai macam kebatilan. Namun, di era serba internet saat ini, kemungkaran informasi itu bisa juga datang dari kalangan muslim sendiri. Biasanya itu akibat dari ketidaktahuan dan kecerobohan dalam menerima dan menyebarkan informasi yang salah. Oleh karena itu, berilmulah dan berhati-hatilah dalam menerima dan menyebarkan informasi. ** Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII).
Komnas HAM Bisa Dilaporkan ke Pengadilan Kriminal Dunia ICC
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (12/01). Kekecewaan banyak pihak atas hasil kerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memang wajar dan dapat dimengerti. Terlalu banyak pertanyaan yang masih menggantung jawabannya dari hasil penyelidikan yang telah dirilis Komnas HAM pada tanggal 8 Januari lalu. Banyak masalah yang belum dijelaskan oleh Komnas HAM. Misalnya, soal tembak-menembak, kepemilikan senjata api rakitan, alas hukum pengintaian dan pembuntutan, dan penyiksaan. Siapa komandan di dalam mobil Landcruiser? Berapa nomor polisi mobil Landcruiser? Hingga kendaraan pembuntut berisi petugas yang misterius itu. Pembunuhan yang dikategorikan pelanggaran HAM pun tak terjelaskan tempat kejadiannya. Siapa pelaku penembakan? Adalah wartawan dan reporter senior FNN.co.id, Eddy Mulyadi yang membeberkan banyak kejanggalan dari rilis Komnas HAM tersebut. Berlembar-lembar analisis kajian disiarkan kepada para pemirsa. Analisis yang tajam, akurat, namun santai, khas jurnalis senior yang dikenal berani ini. Tentu menohok kepada personal Tim penyelidik Komnas HAM yang dipimpin Choirul Anam. Menyayangkan hasil kerja penyelidikan Tim Komnas HAM yang terkesan sangat mendalam dan mantap. Namun minim sekali hasil yang dapat disampaikan kepada publik. Meskipun menyadari kemungkinan adanya tekanan yang menyebabkan Komnas HAM menjadi kelu dan ragu-ragu. Bahwa adanya rekomendasi tindak lanjut proses peradilan tentu disambut baik. Walaupun ikut juga disesalkan kesimpulannya yang tidak sampai pada terjadinya pelanggaran HAM berat. Kondisi jenazah yang menyedihkan, karena lebam-lebam, bengkak, cacat di kamaluan, kuku kaki yang lepas semua. Itu membawa keyakinan bahwa yang terjadi adalah pelanggaran HAM berat. Telah nyata-nyata dari kondisi jasat enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) mengindikasikan adanya perbuatan petugas yang di luar batas kemanusiaan. Untuk itu, wajar bila masih terdengar tuntutan perlunya penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Ini juga sebagai opsi untuk melibatkan lembaga HAM internasional yang mengemuka. Perlu juga untuk mengagendakan pelaporan ke lembaga peradilan kriminal internasional (Internasional Criminal Court) di Den Haag Belanda. Butuh obyektivitas tinggi untuk mengusut dan menyelidiki kasus yang sangat mungkin dapat berujung pada skandal tingkat tinggi lembaga Kepolisian maupun Pemerintahan. Perlu diusut motif politik dari pembunuhan atau pembantaian tersebut. Berangkat dari temuan atau kesimpulan "seribu kejanggalan" ini, maka andai kasus "Pelanggaran HAM di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)" dapat dibawa ke tingkat peradilan internasional, maka Komnas HAM yang bekerja kelu dan ragu-ragu itu dapat dijadikan pihak terlapor pula. Komnas HAM dapat diduga sebagai pihak yang telah turut serta mengaburkan peristiwa terjadinya pelanggaran HAM berat terhadap nayawa anak bangsa. Nyawa manusia terkesan dapat dinegosiasi. Karenanya Komnas HAM pantas menjadi pihak yang ikut juga melakukan "pelanggaran HAM". ICC di Den Haag diharapkan dapat menindaklanjuti laporan dari kasus yang diajukan ini. Syarat terpenting adalah "unwillingness", yaitu tidak ada kemauan peradilan di Indonesia untuk mengadili kejahatan kemanusiaan. Status sebagai "non state parties" tidak menjadi halangan atas tafsiran luas dari pasal 27 dan 28 Statuta Roma. Kejahatan yang termasuk kategori "international crime" berdasarkan prinsip universal yang berlaku dalam hukum internasional masuk dalam yuridiksi ICC. Tanpa harus melihat nasionalitas pelaku dan tempat perbuatan. Pasal 28 Statuta Roma menegaskan bahwa "atasan baik militer atau sipil harus bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan yurisdiksi ICC yang dilakukan anak buahnya". Aturan seperti ini sangat dirasakan penting untuk mampu menghukum "the most responsible person". Yang karena kekuasaan dalam negara menjadi sulit dijangkau oleh lembaga peradilan domestik. Peradilan kriminal internasional mampu menyeret Kepala Negara, Anggota Parlemen, Kapolda, atau pejabat lainnya yang dikualifikasikan terlibat dalam pelanggaran HAM (Vide Pasal 27 Statuta). Andai sejumlah organisasi pembela HAM, tokoh dan aktivis, serta keluarga korban dari pelanggaran HAM mengadu kepada ICC di Den Haag Belanda sebagai peradilan internasional independen, mungkin misteri dari peristiwa "pelanggaran HAM kilometer 50 tol Japek" akan terkuak. Yang terpenting adalah bahwa para pelaku atau perekayasa kejahatan HAM tersebut dapat dihukum. Kejahatan kemanusiaan tidak boleh dibiarkan atau terulang. Komnas HAM yang ikut bermain-main dalam kasus sensitif ini patut pula bertanggungjawab atas kelu dan ragu-ragunya itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
KM 50, Jokowi dan Bencana Demokrasi
DULU, ada SDSB yang diplesetkan menjadi Soeharto Dalang Segala Bencana atau Sudomo Datang Sisca Bahagia. Plesetan yang kedua itu merujuk pada Sudomo, Menteri Tenaga Kerja di masa orde baru yang memperistri Sisca, walau akhirnya cerai. Padahal, SDSB adalah singkatan dari Sumbangan Dana Sosial Berhadiah. SDSB yang sebenarnya adalah lotre atau perjudian berkedok mengumpulkan dana dari masyarakat. Tidak jelas juga dananya mengalir ke mana dan kepada siapa. Hadiahnya cukup besar, mulai puluhan ribu sampai Rp 1 miliar. Sebagai daya tarik agar masyarakat mau membeli SDSB, pemenang utama selalu ditampilkan fotonya sedang menerima hadiah di belakang kertas SDSB yang akan diundi pekan berikutnya. Terkadang, tukang becaklah yang ditampilkan fotonya sedang menerima hadiah Rp 1 miliar. Padahal, hadiah-hadiah besar itu bohong. Yang benar ada hanyalah hadiah-hadiah kecil dan paling tinggi Rp 10. 000.000. Ya, kalau tukang becak tiba-tiba dikasih uang Rp 10 juta sebagai konpensasi foto sedang menerima hadiah, pasti mau. Soeharto Dalang Segala Bencana merupakan plesetan SDSB yang disuarakan aktivis prodemokrasi. Ya, karena banyak bencana menimpa, baik bencana alam maupun bencana terhadap demokrasi, aktivis dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Para aktivis menyebut Soeharto dalang segala bencana karena memerintah tanpa demokrasi, sangat represif. Nyawa manusia sangat murah, ditangkap, diculik, dan ada yang dibunuh tanpa proses peradilan. Ingat peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Utara, peristiwa Talang Sari, Lampung. Sejumlah Aktivis Petisi 50 ditangkap, hanya karena mereka mengeluarkan pendapat yang dianggap berbeda dengan Soeharto. Aktivis prodemokrasi ditangkapi. Pokoknya, yang tidak sepaham dengan rezim orde baru dibungkam, diculik dan ada yang dibunuh. Peristiwa di era Soeharto, kini mirip terulang. Bencana demokrasi kini terjadi. Aktivis kritis ditangkap dan diintimidasi. Berbagai kegiatan aktivis dimata-matai. Bencana di pemerintahan Jokowi bisa dirunut. Bencana bangsa ini dimulai dengan sejumlah janji kampanye yang tidak bisa ditepati atau dilaksanakan. Paling nyaring didengar adalah ketika Jokowi memperkenalkan mobil Esemka yang menjadi icon terpilihnya ia di periode pertama tahun 2014. Ya, mobil Esemka yang katanya akan menjadi mobil nasional, kini terdengar sayup-sayup, antara ada dan tiada. Apalagi, di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah menyebabkan produksi mobil di Indonesia terjun bebas. Banyak yang menganggap mobil Esemka itu sebagai kebohongan dan tipu-tipu belaka. Candaan, dan bahkan olok-olokan tentang mobil Esemka pun bertebaran di dunia maya. "Khan Esemka udh mendunia, Malah ini populer di dua dunia, Dunia nyata maupun Maya," cuit bnu Sholh @IbnuSholh. "Mobnas Vietnam mendunia. Esemka melangit sampai sulit kembali kedunia," komentar PANGGILGUAKADRUN (MSyD64)@almarhum080864. Bencana demokrasi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) juga semakin sering terjadi. Masih ingat peristiwa bulan Mei 2019, saat masyarakat berdemo di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Massa berdemo karena menuntut keadilan terhadap hasil pemilihan presiden (Pilpres). Akan tetapi, demo itu dijawab dengan kekerasan oleh aparat kepolisian atas nama undang-undang. Gas air mata, pentungan, dan peluru karet pun digunakan untuk membubarkan massa. Massa pendemo dikejar-kejar sampai ke pemukiman penduduk. Banyak yang luka-luka, dan bahkan ada yang meninggal dunia. Yang ditangkap juga banyak. Semua yang dilakukan aparat polisi itu adalah atas nama undang-undang, karena menurut polisi semua tindakan tersebut sudah sesuai prosedur yang berlaku. Bencana demokrasi dan hukum semakin terasa kian hari. Aparat kepolisian semakin refresif dalam membubarkan demostrasi. Sejumlah aktivis, seperti Syahganda Nainggolan, Djumhur Hidayat, dan lain-lain ditangkap dan dipenjara. Mereka ditangkap hanya karena perbedaan pendapat. Para aktivis yang mengeluarkan pendapapat kritis pun dituduh ingin menggulingkan pemerintah. Tidak hanya menangkapi aktivis, aparat kepolisian pun kemudian menembak enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50. Enam laskar yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) menuju pengajian keluarga inti di Karawang dihabisi Senin 7 Desember 2020. Awalnya, polisi mengaku menembak mereka karena melawan dengan menggunakan senjata api. Keterangan kemudian berubah, mereka ditembak karena mau merebut senjata polisi. Keterangan polisi yang disampaikan Kapolda Metro Jaya, Fadhil Imran itu pun jika dicocokkan dengan rekonstruksi yang dilakukan polisi sendiri, sangat berbeda pula. Keterangan Fadhil pun disanggah oleh FPI. Melalui Sekretaris Umum sekaligus pengacara FPI, Munarman, pihaknya justru mengaku enam laskar itu hilang diculik orang tidak dikenal. Laskar, kata Munarman, tidak dibekali senjata tajam, apalagi senjata api. Tidak sampai tewasnya enam laskar, HRS pun dijadikan tersangka kerumuman di Petamburan ditahan. Masih belum puas sampai penahanan, HRS juga menjadi tersangka kerumuman di Pesantren Agrokultur Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Persoalan lahan di pesantren ini pun kemudian diungkit pihak PTP Nusantara VIII melalui somasi. Setelah kasus lahan, praperadilan tentang SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dalam kasus dugaan chat mesum pun tiba-tiba dimenangkan oleh penggugat di PN Jakarta Selatan. Tidak jelas kapan sidang atas gugatan nomor 151 itu. Padahal, praperadilan yang diajukan kuasa hukum HRS atas sangkaan kerumunan di Petamburan bernomor 150 saja baru disidang sejak Senin, 4 Januari 2021 dan Selasa, 11 Januari 2021 diputuskan. Puncaknya, pembubaran FPI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dan tiga pejabat setingkat menteri. Tidak jelas dasar hukum pembubaran yang ditandatangani oleh enam orang itu. Banyak pihak yang menyorotinya, termasuk mantan Ketua MPR Amien Rais. Badan Eksekutif Mahasisa Universitas Indonesia (BEM UI) juga menyampaikan kecaman keras. Belum puas, pemerintah pun memblokir rekening bank FPI dan rekening bank orang-orang yang berafliasi dengan ormas ysng berdiri 17 Agustus 1998 itu. Terakhir, ada 68 rekening yang dibukukan, termasuk tujuh rekening anak HRS. Jumlah rekening yang dibekukan itu kemungkinan bisa bertambah, karena yang dilakukan adalah kekuasaan yang otoriter, bukan pendekatan pemerintahan yang demokratis. Teranyar, HRS pun dijadikan terdangka dalam kasus Ruma Sakit Umi, Bogor, Jawa Barat. Entan berapa kali lagi ulama bersuara lantang dan keras itu akan dijadikan tersanga oleh polisi. Amien Rais yang juga salah satu tokoh reformasi mengatakan, pembubaran FPI itu sama saja menghabisi demokrasi di Indonesia. Sedangkan BEM UI dalam pernyataan sikapnya antara lain meminta agar pemerintah mencabut SKB pembubaran FPI. Sikap BEM UI itu bukan merupakan bentuk dukungan atau pro pada FPI. Akan tetapi, pembubaran itu dinilai mencederai hukum dan demokrasi karena dilakukan tanpa proses peradilan. Banyak yang menganggap pembubaran FPI itu sebagai pengalihan isu atas kegagalan pemerintah dalam menangani ekonomi, menangani Covid-19, dan berbagai persoalan lainnya yang dihadapi bangsa ini. Bahkan, pembubaran FPI yang sekaligus "membidik" HRS dari berbagai penjuru mata angin disinyalir sebagai upaya pengalihan isu korupsi yang menimpa dua menteri Jokowi di dalam Kabinet Kerja. Keduanya adalah Edy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditangkap oleh petugas KPK di Bandara Soekarno-Hata, ketika pulang dari Amerika Serikat. Ia ditangkap dalam kasus izin ekspor benih lobster. Kemudian Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial yang ditangkap KPK dalam kasus korupsi bantuan sosial terhadap rakyat terdampak Covid-19. Juliari Batubara yang juga Wakil Bendahara Umum PDIP itu diduga menerima suap Rp 17 miliar. Ada dugaan, dana yang dirampok Juliari dan rombongannya jauh lebih besar lagi. Nah, guna menutupi dua kasus korupsi yang sangat mempermalukan Jokowi itulah, pengalihan isu dilakukan. Apalagi kasus Juliari itu disebut menyeret Gibran Rakabuming, anak Joko Widodo. Jadi, yang dilakukan untuk menghabisi HRS dan FPI adalah bencana. Ya, bencana hukum, bencana demokrasi dan bencana terhadap HAM. Yang pasti, perampokan uang negara yang dilakukan Juliari Batubara jelas bencana kemanusian , karena mengkhianati dan mengambil hak rakyat yang tertindas. **
Bedu Amang, Deklarator Pembubaran PKI di Jogya 1965
by Syaefudin Simon Jakarta FNN – Senin (11/01). Bedu Amang, panggilan akrab Abdurrahman untuk Suku Bugis di tahun 1965-an mengukir kisah yang heroik. Sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang juga pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogya sebelum dr. Sigiat, Beddu menjadi motor penggerak anti-PKI di Yogya tahun 1965. Ingat,,, Melawan PKI tahun 1965-1967 di Yogya bukan perkara mudah. Sebab PKI saat itu telah menguasai hampir seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Suasananya sangat mencekam, karena PKI mempelihatkan kekatannya di mana-mana. Semua DPRD Yogya dikuasai oleh PKI. Di Yogya, hanya ada 8 kantong Islam yang bertahan menolak PKI. Diantaranya Kauman, Notoprajan, Suronatan, Karangkajen Kadipaten Kulon, Pakualaman, dan Nitikan. Hanya daerah-daerah ini yang aman dari "kerumunan" PKI. Itu pun hampir tiap malam, 8 kantong Islam itu diteror oleh kader partai palu arit. Kader-kader PKI yang menguasai Yogya sering melakukan razia dan meneror orang yang melakukan sholat. Orang tak berani keluar rumah. Karena di jalan utama, arak-arakan kader PKI dengan yel-yel "Bubarkan HMI, Bunuh Penghisap Darah Rakyat, dan Habisi Tuan Tanah" terus menggema. Yang dimaksud dengan penghisap darah rakyat versi PKI adalah pengusaha muslim. Tuan tanah adalah kyai dan haji yang mengelola yayasan amal yang mempunyai tanah luas untuk sekolah Islam dan pesantren. Mahasiswa UGM, terutama anggota HMI, yang tinggal di Bulaksumur, Terban, dan Pingit, jika malam mengungsi ke salah satu kampung Islam tadi. Pak Dochak Latief bercerita, beliau ngekos di perumahan dosen UGM, Bulaksumur. Tetapi kalau malam mengungsi ke Kauman. Orang-orang CGMI, Pemuda Rakyat, Gerwani tiap malam kata Pak Dochak melakukan razia di pinggir jalan. Kalau tahu mahasiswa itu adalah aktivis HMI, maka bisa dibawa ke Posko Pemuda Rakyat. Jika sudah demikian, keselamatannya terancam. Begitu berkuasanya PKI di Yogya sehingga orang militer tertinggi, Kolonel Katamso dan Letnal Kolonel Sugiono, masing-masing Komandan Resort Militer Pamungkas dan wakilnya diculik dan dibunuh. Saat itu, awal awal Oktober 1965, Yogya sudah dikuasai militer Dewan Revolusi bentukan Letkol Untung. RRI Yogya sudah mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi dengan Ketua Mayor Mulyono, kepala staf administrasi di Korem Pamungkas. Mulyono ini pula yang memerintahkan penculikan terhadap Katamso dan Sugiono, yang notabene atasannya sebelum Letkol Untung membentuk Dewan Revolusi. Dalam kondisi itulah tokoh-tokoh HMI Yogya seperti Bedu Amang, Sugiyat, Tawang Alun, dan Amidhan mencari strategi untuk menyelamatkan umat Islam. HMI Cabang Yogya misalnya, mengutus Amidhan Shaberah menemui Sulastomo, Ketua PB HMI di Jakarta untuk melaporkan kondisi keamanan Yogya yang gawat dan dikuasai Dewan Revolusi. Sulastomo dikenal dekat dengan Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad yang mendapat mandat khusus dari Bung Karno untuk mengamankan Indonesia paska penculikan para jenderal. Dengan melaporkan peristiwa penculikan Katamso dan Sugiyono, harapannya Jenderal Soeharto segera mengamankan Yogya. Apalagi Sugiyono yang diculik PKI itu, pernah jadi asistennya Soeharto waktu peristiwa Serangan 1 Maret 1949 di Yogya. Perkiraan aktivis para HMI Yogya benar terjadi. Mendapat laporan suasana Yogya yang mencekam, Soeharto nengirimkan pasukan RPKAD ke Yogya. Begitu pasukan baret merah datang ke Yogya dengan peralatan militer lengkap, Bedu Amang ikut menyambutnya. HMI Yogya pun merapat ke pasukan pimpinan Sarwo Edhie Wibowo tersebut. Bedu Amang, saat itu Sekjen Front Pancasila, organisasi bentukan Pak De Dahlan Ranuwihardjo, sesepuh HMI yang dekat Bung Karno. Bedu Amang menginisiasi rapat akbar di alun-alun Utara Yogya, depan masjid Kauman pada 21 Oktober 1965. Bersama Saibani sebagai ketua Front Pancasila, Bedu Amang membacakan deklarasi pembubaran PKI di Yogya saat itu. Langkah Bedu Amang membuat Gempar. Karena Jakarta saja belum membubarkan PKI. Tetapi Front Pancasila Yogya sudah membubarkannya. Akibat deklarasi itu, kader-kader PKI marah kepada umat Islam. Delapan kantong Islam seperti disebutkan di atas, setiap malam dijaga pasukan RPKAD. Kedatangan pasukan baret merah tersebut, terutama kehadirannya di kantong-kantong Islam Yogya, menjadikan perlawanan umat terhadap CGMI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani makin berani. Baru setelah Jenderal Soeharto mendapat Supersemar dari Bung Karno, sehari kemudian, 12 Maret PKI resmi dibubarkan. Yogya pun berangsur pulih. Sampai akhirnya benar-benar aman. Itulah salah satu momen penting perjuangan Bedu Amang di Yogya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia. Abdurrahman atau Bedu Amang pejuang anti PKI, pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) 1995-1998, alumnus Fakultas Pertanian UGM itu wafat Sabtu sore 9 Januari pukul 17.00 WIB dalam usia 85 di RS Pondok Indah Jakarta. Semoga amal ibadah Pak dan Abangda Bedu Amang diterima Allah Subhanahu Wata’ala, dan di sana mendapat tempat terbaik di sisi-NYA. Aamiin. Al-Fatihah untuk Pak dan Abangda Bedu Amang. Penulis adalah Aktivis HMI Yogya Komisariat FMIPA UGM.
Menolak Rekonsiliasi Semu
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (11/01). Sabtu kemarin (9/1) saya diundang Rekat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) binaan Jendral TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu. Ada 60 tokoh yang diundang. Mulai dari akademisi, aktifis, ulama, jenderal purnawirawan, ekonom, pengamat, hingga anggota DPR. Rekat menggagas tentang integrasi dan upaya menjaga keutuhan NKRI. Ini ide yang baik, sehingga mesti terus ditularkan ke semua jejaring anak bangsa. Semakin masif penularan, maka semakin banyak yang akan ikut memikirkan dan memikul tanggung jawab untuk mewujudkan Indonesia yang damai. Sayangnya, acara sebagus ini tidak banyak diliputi media. Dalam pertemuan itu, saya tidak berkesempatan untuk bicara. Diantaranya karena memang waktunya terbatas. Saya juga lebih suka diam dan memahami lebih dulu kemana arah Rekat ini. Apa gagasan yang akan dikontribusikan untuk masa depan bangsa. Sebab di undangan juga tidak disertakan tema yang akan jadi panduan dialog dalam pertemuan itu. Makanya diam, mendengarkan, dan menjadi pembelajar di tempat yang belum dikenal, akan lebih bijak. Alasan yang lebih jujur sesungguhnya, karena mungkin moderatornya, yaitu Dedi Gumelar (Miing) dan Fristian Griec tidak kenal saya. Mau kasih waktu gimana, kenal aja kagak. Hehe Melalui tulisan ini, saya ingin sedikit menyampaikan gagasan. Semoga tulisan ini sampai juga ke peserta diskusi Rekat sabtu kemarin. Terutama pimpinanya, Jenderal TNI (purn) Ryamizard Ryacudu. Tak lupa juga kepada host terkenal, Om Miing. Rekonsiliasi! Kata ini menjadi sakral akhir-akhir ini. Sering diperbincangkan, bahkan juga "mendadak" menjadi arus utama dalam diskusi Rekat kemarin. Kata "rekonsiliasi" tidak muncul tiba-tiba. Tentu, ada pemicunya. Yaitu keresahan bangsa atas kegaduhan sosial yang selama ini terjadi. Saya tak perlu merinci sumber kegaduhan itu. Semua sudah pada tau. Karena, dua belah pihak yang terbelah pasca pilpres 2019 saling klaim dan lempar tuduhan. Atas kegaduhan itu, sejumlah tokoh merekomendasikan untuk diadakan "rekonsiliasi nasional" . Antara siapa dan untuk apa? Dua pertanyaan ini harus lebih dulu dijawab. Kalau ada kebijakan, lalu dikritik. Apakah si pembuat kebijakan dan pengkritiknya harus rekonsiliasi? Tentu tak tepat. Tapi, kalau rekonsiliasi diartikan koalisi, nggak tepat juga. Rekonsiliasi memang tak harus berkoalisi. Tak harus, artinya boleh, sah dan mungkin bagus-bagus saja. Yang terpenting bukan koalisi menghasilkan apa. Tetapi jenis rekonsiliasi macam apa yang akan didesign untuk memberi kontribusi bagi masa depan bangsa. Kalau rekonsiliasi ujung-ujungnya bagi-bagi, itu koalisi namanya. Bukan rekonsiliasi. Jadi, kepentingan bangsa mesti jadi tujuan dasarnya. Rekonsiliasi, dalam pengertian yang sebenarnya, bisa menjadi solusi. Tetapi, ini sifatnya jangka pendek. Setidaknya, untuk sementara bisa meredam kegaduhan sosial. Tetapi, rekonsiliasi model seperti ini bersifat semu, jika ukurannya untuk orientasi jangka panjang. Konflik antar elit itu bersifat periodik. Pada pilpres 2024, identitas pemilih dan konstalasi politiknya juga akan berubah. Saat itu, atau setidaknya pasca 2024, situasi kemungkinan akan mencair. Karena itu, nggak perlu habiskan energi hanya untuk semata-mata mewujudkan rekonsiliasi. Ada sumber masalah yang sesungguhnya lebih serius dan mendasar untuk menjelaskan mengapa Indonesia mudah terpancing dan sering mengalami ketegangan sosial. Pertama, adanya kesenjangan ekonomi yang begitu lebar antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Ada ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun, bapak sosiolog dunia, dianggap berpotensi memicu ketegangan Hanya sekitar 1% orang Indonesia menguasai 50% kekayaan bangsa Indonesia. Sekitar 10% menguasai lebih dari 70% kekayaan negara. Regulasi, kebijakan dan program pembangunan bangsa selama ini tidak berorientasi untuk mempersempit jarak kesenjangan itu. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Jurang perbedaan kekayaan yang semakin lebar. Kedua, hukum kita sudah jauh keluar dari karakter normatifnya. Pasal-pasal dalam undang-undang sudah tak aman lagi, dan menjadi perebutan oleh berbagai kepentingan. Diantaranya oleh kekuasaan, korporasi, pemilik uang. Bahkan penegak hukum itu sendiri sering menjadi salah satu pemainnya . Hukum seringkali menjadi arena adu kekuatan antar pihak. Dan wasitnya ikut menjadi pemain. Ketiga, sistem demokrasi telah melahirkan para politisi minus jiwa kenegarawanan. Politisi itu tunduk pada parpol. Sementara negarawan tunduk pada aturan dan kepentingan rakyat. Politisi berorientasi prestis. Sedangkan negarawan berorientasi prestasi untuk bangsa. Politisi menjadi pemimpin para pendukung. Negarawan tak lagi peduli dukungan. Politisi menari di atas konflik dan pencitraan, negarawan sibuk melakukan rekonsiliasi. Kesenjangan ekonomi, ketidakadilan hukum dan hadirnya banyak politisi minus mental kenegarawanan menjadi faktor utama mengapa gejolak sosial mudah mendapatkan triggernya. Dan ini tak akan berhenti menjadi ancaman bagi bangsa. Kalau Indonesia ingin damai, tiga PR tersebut harus segera diselesaikan. Kalau tidak, maka drama kekuasaan akan terus memainkan rakyat sebagai aktor lapangan yang akan selalu dibenturkan satu dengan yang lain. Disitulah kegaduhan sengaja dipelihara. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.