ALL CATEGORY

Vaksin Monyet

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Senin (04/01). Tahukah Anda bahwa salah satu bahan Vaksin COVID-19 merk Sinovac itu dari Vero Cell atau jaringan kera hijau Afrika? Juga virus hidup yang dilemahkan, dan mengandung bahan dasar berbahaya, seperti boraks, formaline, aluminium, dan merkuri? Itulah fakta yang tertulis di kemasan Vaksin Sinovac dari China. Kita soroti Vaksin Sinovac ini tak bermaksud diskriminasi atas produk China, meski Pemerintah sudah memesan produk serupa dari negara lainnya. Tapi, karena Sinovac itu sudah masuk ke Indonesia. Sesaat setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pun Sinovac mendapat pengawalan yang super ketat dengan mobil petugas yang meraung-raung sirinenya. Pertanda, yang dikawal ini “barang penting”, khawatir dibajak oleh pencoleng atau bajing loncat jalanan. Dari referensi ahli ditemukan, vaksin Sinovac dibuat dengan salah satu teknologi yang paling kuno, yang sudah digunakan sejak 100 tahun yang lalu. Yaitu menggunakan virus Covid-19 yang telah “dinonaktifkan” atau “dimatikan”. Sinovac mengumpulkan sampel cairan tubuh yang mengandung virus dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China sendiri digunakan sebagai dasar vaksin. Menariknya, China tidak memakai Sinovac untuk vaksin warganya. Jika benar yang digunakan sampel cairan tubuh pasien di 5 negara itu, mengapa kita percaya begitu saja dengan vaksin yang virusnya “tidak kenal” dengan cairan tubuh pasien Covid-19 asli Indonesia? Jadi, tidak ada jaminan Sinovac membuat heard immunity rakyat kita! China sendiri hingga kini juga belum berhasil mengatasi Covid-19. Di China pun muncul varian baru yang dituduh berasal dari Inggris: VUI - 202012/01. “Tidak perlu panik,” ujar Xu Wenbo, seorang pejabat Chinese Center for Disease Control and Prevention (CDC), kepada TV Pemerintah, seperti dikutip Reuters, Sabtu (2/2/2021). “Varian yang bermutasi, dibandingkan dengan varian sebelumnya .... sejauh ini belum ada perubahan yang jelas dalam kemampuannya menyebabkan penyakit,” lanjutnya. China telah mengonfirmasi kasus pertama varian baru virus corona pada Rabu (30/12/2020). Ia adalah seorang siswi berusia 23 tahun yang baru kembali dari Inggris, Senin, 14 Desember 2020. Beberapa tindakan pengendalian telah diterapkan dalam menanggapi kasus ini. Pasien telah dipindahkan ke institusi medis yang ditunjuk untuk isolasi dan pengobatan. Ini menimbulkan potensi ancaman besar bagi pencegahan dan pengendalian Covid-19 di China. Dari pernyataan CDC China itu saja tampak kekhawatiran China munculnya varian baru virus corona ini. Apalagi, saat wabah virus flu burung, China pernah gagal menanganinya. Kasus flu burung di China telah memakan korban cukup banyak. Epideimolog dari Griffith University, Dicky Budiman menyebut situasi pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini akan memasuki masa kritis. Langkah pemerintah dalam beberapa waktu ke depan dinilai sangat menentukan nasib rakyat. “Kondisi Indonesia saat ini dan dalam 3 sampai 6 bulan ke depan (kita) memasuki masa kritis mengingat semua indikator termasuk angka kematian semakin meningkat,” kata Dicky, Sabtu (2/1/2020). Menurut Dicky, ada pemahaman yang keliru jika masyarakat mengira dengan adanya vaksin semua akan selesai. Sebab, vaksin itu bukan solusi ajaib, tapi hanyalah salah satu cara untuk membangun kekebalan individual dan perlindungan masyarakat. “Harus diketahui bahwa tidak ada vaksin yang sempurna memberi perlindungan. Sebagian kecil penerima vaksin masih memungkinkan untuk tertular Covid-19 hanya saja diharapkan dampaknya tidak terlalu parah,” katanya. Disebutkan, berdasarkan data sejarah sejauh ini tak ada pandemi yang selesai dengan vaksin. Contohnya, pandemi cacar, walau sudah ada vaksin, selesainya dalam 200 tahun. Kemudian polio baru selesai dalam 50 tahun. “Covid-19 pun sama, bukan berarti setelah disuntikan langsung hilang. Akan perlu bertahun-tahun untuk mencapai tujuan herd immunity,” ujar Dicky. Semisal, lebih dari 1 juta warga Israel sudah disuntik vaksin Covid-19, pada akhir 2020. Tapi, diantara 1 juta orang yang divaksin tersebut ada 240 orang yang dinyatakan positif Covid-19 usai menerima vaksinasi sebagaimana dikutip dari Sputniknews. Bisa saja dalam rentang waktu tersebut memang masih memungkinkan si pasien terinfeksi virus Corona. Ingat, China sendiri ternyata mengimpor vaksin Pfizer. Tidak menggunakan Sinovac! Vaksin Sinovac sudah jelas, termasuk vaksin yang bahannya menggunakan virus yang sudah “dilemahkan”. Ini sesuai dengan kemasannya: SARS-Cov-2 Vaccine (Vero Cell), Inactivated. Vaksin jenis ini tidak mudah dikembangkan dalam waktu cepat. Jika memang Vaksin Sinovac yang Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi masyarakat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Sebab, di antara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, virus dorman dan dikira mati inilah pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Yang dikira tidur dan terbangun kembali itulah yang kemudian mereplikasi dirinya lebih kuat lagi daya tularnya dengan jangkauan yang lebih luas. Jika tak ingin lebih parah lagi, batalkan rencana vaksinasi massal ini. Balikin Sinovac ke China! Lindungi nyawa para nakes! Karena mereka-lah garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Di Indonesia masih ada ahli yang mampu membuat “ramuan” untuk pasien Corona! Ketika musim haji pada 2012 mewabah Flu Burung varian baru, New Corona, di sekitar Arab Saudi, tidak ada satupun produk vaksin yang dikirim ke sana itu dari China, Amerika Serikat atau negara lainnya yang selama ini dikenal sebagai produsen virus! Tahukah Anda, yang dikirim ke Arab Saudi itu formula yang diramu ahli asli Indonesia yang dikemas dalam bentuk ampul vaksin. Atas permintaan Unicef, sebanyak 5.000 liter formula itu dikemas oleh PT OM dalam ampul vaksin. Pengiriman ke Arab Saudi diatasnamakan Unicef, kemudian dibagikan untuk jamaah haji dan relatif berhasil menghindarkan jamaah haji dari wabah new corona. Ramuan ahli yang sama dengan merk BJ dikirim ke Glenn Eagles, Singapore dan RS Malaya Malaysia, diberi merk sendiri, dengan indikasi untuk toksoplasma dan flu burung. Jika ada political will, Pemerintah tidak perlu vaksin rakyat dengan Vaksin Monyet. Karena kita punya ahlinya! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Dr. Syahganda Nainggolan, Insya Allah Bebas

by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Senin (04/01). Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lainnya dikenal berhaluan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI). Mereka kini masih berada dalam tahanan. Kasus super ringan yang dituduhkan kepada mereka, akan tergelar di pengadilan. Syahganda, kabarnya, akan disidangkan di Pengadilan Negeri Depok. Akan jelas pasal berapa, dalam UU apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada Syahganda. Pasal apapun, dalam UU apapun, yang didakwakan kepada mereka, hampir pasti tidak dapat dibuktikan. Syahganda, nampaknya sangat dekat dengan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang hukum Pidana. Dia dapat diprediksi akan dituduh atau didakwa oleh Jaksa penuntut umum dengan pasal itu. Persisnya Syahganda dituduh menyebarkan kabar bohong, yang mengakibatkan terjadinya keonaran. Kalaupun Syahganda didakwa dengan pasal lain, misalnya pasal 28 UU Nomor 11 tahunn 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang diubah dengan UU omor 19 ahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetap saja sulit bagi jaksa membuktikannya. Pasal ini tidak menjadikan media elektronik sebagai “golden goal” hal yang dilarang, melankan “content.” Contentlah yang menjadi hal yang dilarang. Baik pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 maupun pasal 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yan telah diubah itu, didakwakan kepada Syahganda, apapun bentuk dakwaannya, tetap saja sulit mendatangkan peluang terbukti. Mengapa? Terdapat dua hal sebagai penyebabnya. Kedua hal itu adalah sifat material artikel atau tulisan Syahganda, dan konteks aktual tata negara. Perihal materi atau konten tulisan Syahganda, harus dipecakan dengan menemukan kenyataan hukum berikut. Apakah tulisan itu nyata-nyata, jelas dan kongkrit terbaca tanpa ragu sebagai ajakan kepada orang? Ajakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum? Hal apa dalam tulisan itu yang memiliki kualifikasi hukum sebagai bohong? Bila Presidium KAMI menyatakan mendukung pemogokan nasional akan dilakukan buruh, bukan mendukung demonstrasi, lalu Syahganda menafsirkan KAMI mendukung demonstrasi buruh, dimanakah letak kebohongannya? Kebohongan macam apakah yang menjadi maksud substansial pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946? Apakah pada saat peristiwa ini terjadi Indoneasia sedang berada dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan persis pada tahun 1945 dulu? Apakah Nederlands Indie Civil Administration (NICA) sedang eksis di Indonesia pada saat Syahganda menuliskan isi pikirannya mengenai demonstrasi terhadap RUU Omnibus Cipta Kerja , dan menyebarkannya? Apakah ada Koninglijke Nederlands Indische Leger (KNIL) pada saat itu? Apakah ada orang bekas KNIL yang dicari-cari oleh laskar-laskar perjuangan kemerdekaan dari sabotase Belanda? Misalnya laskar Hisbullah dan Kris (Kebaktian rakyat Indonesia Sulawesi)? Apakah tentara Belanda yang membonceng NICA, sedang bergerak dari Surabaya memasuki Jakarta? Om Ventje Sumual, dalam Buku “Memoar” diterbitkan oleh Bina Insani, tanpa tahun, setelah mengambarkan susana nyata masyarakat Jakarta kala itu, menulis “banyak penghasut dikalangan penduduk”. Keadaan sungguh berat. Belanda, sesuai penilaian pemerintah akan kembali. Itu sebabnya pemerintah memberi penjelasan agar rakyat bersiaga menghadapi kembalinya penjajah Belanda yang membonceng tentara sekutu. Benar-benar berat. Kata Om Ventje, kami harus menghadapi dua masalah sekaligus. Kerja sosial untuk menolong warga yang jadi korban ekses revolusi, sekaligus menjalankan revolusi itu sendiri.” Situasi politik sangat sembrawut. Perihal keadaan ini, dapat dicek pada semua buku sejarah sejarah TNI, parlemen dan lainnya. Saya ingin mengajukan satu keadaan kecil untuk mempertebal konteks UU Nomor 1 Tahun 1946, yang mungkin akan ditembakan kepada Syahganda. Tanggal 4-5 Januari 1946 menurut Adam Malik, diadakan pertemuan wakil-wakil organisasi politik dan militer di Purwokertto dibawah pimpinan Tan Malaka. Dalam pertemuan itu, disepakati pembentukan Wadah Persatuian Perjuangan (PP). Wadah ini dikukuhkah pada tanggal 4 Februari 1946, di Solo. Tanggal pengukuhan iitu menunjuukan terjadi tiga minggu sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dibentuk oleh BP KNIP, dan diresmikan oleh Dr. Suwandi pada tanggal yang sama juga. Tanggal pembentuka UU ini, sama dengan terjadi tiga minggu sebelum pemerintahn RI, pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. John D. Lege menulis, tanggal 4 Januari 1946 malam, diam-diam Bung Karno dan Bung Hatta diberangkatkan ke Yogyakarta. Sjahrir sendiri tetap berada di Jakarta. Pemisalahan ini berhasil menaikan level oposisi yang berada di Yogyakarta terhadap pemerintahannya. Ketika Persatuan Perjuangan (PP) diinisiatifi oleh Tan Malaka- Amir Sjarifudin- memperoleh dukungan Pak Dirman pada waktu pembentukannya, melancarkan opisisi terhadap politik perundingan Sjahrir, dan hasilnya jelas. Sjahrir mengundurkan diri. Itu terjadi pada tanggal 23 Februari 1946. Apa korelasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1946? UU Nomor 1 Tahun 1946 yang ditandatangani oleh Bung Karno, Presiden RI, dan Swandi, Menteri Kehakiman, dan diundangkan oleh A.G Pringodigdo, Sekretaris Negara pada tanggal 26 Februari 1946. Praktis UU itu terbentuk tiga hari setelah Sjahrir meletakan jabatan sebagai Perdana Menteri, atau dua hari setelah kabinet Sjahrir resmi dinyatakan bubar oleh Bung Karno pada tanggal 28 Februari. Kabinet Sjahrir I ini dilantik pada tanggal 23 November 1945. Usianya tidak sampai empat bulan. Apa dari kenyataan ini yang dapat dipertalikan dengan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, yang besar kemungkinan dituduhkan kepada Sahganda Nainggolan? Kenyataan inilah yang menjadi “original intent” dari pasal 15 itu. Kabar bohong, dan keonaran mutlak dipertalikan dengan keadaan itu. Situasi dan politik semrawut. Desas-desus ada dimana-mana. Pemerintah belum terbentuk secara normal, sehingga harus ditertibkan. Itu subtantive goal dari pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Suka atau tidak, sejak tanggal 23 November 1945 itu. UUD 1945 telah kehilangan validitasnya sebagai hukum positif, setidaknya hanya berlaku secara simbolik. Mengapa? Sistem pemerintahan telah berubah dari presidensial ke sistem parlementer. Kabinet Presidensial yang dipegang oleh Presiden Soekarno tersebut, dibentuk dan mulai bekerja pada tanggal 4 September 1945. Kabinet itu resmi berhenti dan bubar demi hukum pada tanggal 23 November 1945. Terlepas dari sifat simbolik UUD 1945 disepanjang periode 23 November 1945 hingga 27 Desember 1949, untuk alasan apapun tidak dapat disangkal bahwa UUD itu tidak memuat satu pun ketentuan mengenai hak asasi manusia. Tidak ada satu pun pasal pada UUD 1945 itu, yang mengatur kebebasan menyatakan pendapat. Pengaturan inilah yang membedakan secara substansial antara UUD 1945 yang berlaku sepanjang 1945- sampai dengan 27 Desember 1949. Lalu diberlakukan lagi pada tanggal 5 Juli 1959 hinnga sekarang yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali secara berturut-turut. Cukup tegas dalam pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang telah diubah mengatur “Setap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurnainya.” Menyatakan dukungan secara lisan, menyatakan pendapat, memberi dukung kepada sekelompok orang berdemonstrasi, dan demonstrasi itu sendiri merupakan tindakan hukum yang dibolehkan menurut UU. Lalu dengan cara apa sikap Sahganda dinyatakan salah? Dengan alat dan pendekatan interpretasi apa dalam ilmu hukum, demonstrasi yang menurut hukum positif merupakan perwujujudan hak konstitusional setiap individu mengekspresikan pendapatnya, sehinga berkualifikasi melawan hukum? Apakah keonaran, dengan sendirinya ada setiap kali ada demonstrasi? Bila ya, mengapa UU mengharuskan negara menggerakkan aparatur hukum menjamin berlangsungnya demonstrasi itu? Bahaya apa yang jelas-jelas ada dan nyata atau timbul (clear and present dangger) sebagai akibat dukungan Syahganda itu? Menghukum pikiran itu hanya terjadi di Inggris abad ke-17. Saya berkeyakinan tanpa ragu, tidak ada seorang pun di Negara Kesatuan Republik Indoenesia tercinta ini, yang diam-diam memiliki, dan bekerja dengan halus membawa negara menjadi totaliter. Hanya di negara totaliter, pikiran orang menjadi subjek hukum pidana. Beralasankah karena itu, Syahganda memiliki keyakinan pernyataannya tidak dikualifikasi pidana. Beralasan juga Syahganda melihat “amar putusan yang berisi tuduhan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kalaupun terbukti, perbuatan itu bukan tindak pidana. Semoga. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Pemberhentian Wakil Dekan FPIK UNPAD: Inikah Pelanggaran HAM yang Berkedok Hukum?

By Pierre Suteki Semarang, FNN - Senin (04/01). DetikNews, Senin, 04 Jan 2021 08:46 WIB mewartakan bahwa Universitas Padjadjaran (Unpad) mengganti Wakil Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Asep Agus Handaka Suryana (AAHS). Dia diganti setelah diketahui rekam jejaknya yang pernah menjadi bagian sekaligus pengurus organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Unpad memutuskan mengganti wakil dekan FPIK, sehubungan dengan didapatkan informasi setelah pelantikan tanggal 2 Januari yang lalu terkait rekam jejak yang bersangkutan. Yang bersangkutan ternyata sempat menjadi pengurus organisasi yang saat ini dilarang oleh pemerintah RI. Demikian keterangan dari Kepala Kantor Komunikasi Publik Unpad Dandi Supriadi dalam aplikasi perpesanan, Senin (4/1/2021) dengan DetikNews. Dandi menegaskan bahwa Unpad berkomitmen untuk turut serta menjaga keutuhan NKRI berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Ia menjelaskan penggantian Wakil Dekan FPIK Unpad tersebut dilaksanakan secepat mungkin yaitu pada hari ini. Pertanyaan besarnya, apa salah AAHS, apa salah dia pernah ikut sebagai anggota HTI? Kapan ikutnya? Bukankah HTI sudah dinyatakan bubar oleh pemerintah dengan dicabutnya badan hukum HTI? Mengapa mantan anggota HTI dilarang menjabat bila ia tidak lagi menjadi anggota HTI? Mengapa mantan-mantan anggota PKI boleh mencalonkan diri sebagai pejabat baik di DPR maupun di pemerintahan? Apakah itu berarti tidak melanggar HAM, yakni HAK UNTUK DIPILIH dan MENJABAT PADA JABATAN NEGARA TERTENTU? Anda mungkin masih ingat bagaimana MK mengabulkan permohonan agar Hak Dipilih dan Dipilih para mantan anggota, keluarga anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) Diberikan Kembali berdasarkan Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi, dalam putusan akhirnya yang disampaikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (24/2/2003) petang, menyatakan bahwa pasal tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam Pemilu. Pasal 60 huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bahwa mereka tak diberikan hak politiknya adalah "Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya." Telah terjadi PELONGGARAN untuk konsolidasi faham komunisme sedangkan patut diduga kegiatan mereka makin berani dan terang-terangan. Apakah negara lain yg demokratis dan menjunjung tinggi HAM juga melakukan pembatasan hak politik? Ya! Jerman (de-Nazi-sasi), Amerika Serikat (terkait Al Qaeda). Saya sependapat dengan dissenting opinion Hakim MK Achmad Roestandi tentang pembatasan hak dipilih eks anngota PKI dan yang terlibat itu konstitusional. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh pembuat undang-undang terhadap semua hak asasi manusia, yang tercantum dalam keseluruhan Bab XV HAK ASASI MANUSIA, kecuali terhadap hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 I, yaitu : a. hak hidup. b. hak untuk tidak disiksa. c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani. d. hak beragama. e. hak untuk tidak diperbudak. f. hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum. g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Pembatasan yang diatur dalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak termasuk dalam salah satu hak yang disebut dalam Pasal 28 I ayat (1). Oleh karena itu pembatasan dalam Pasal 60 huruf g tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari keterangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terungkap bahwa ketika Pasal 60 huruf g dibahas telah secara mendalam dipertimbangkan alasan-alasan pembatasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (1) dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Hakim Achmad Roestandi, pembatasan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf g bukanlah pembatasan yang bersifat permanen, melainkan pembatasan yang bersifat situasional, dikaitkan dengan intensitas peluang penyebaran kembali faham (ideologi) Komunisme/ Marxisme-Leninisme dan konsolidasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagaimana diketahui penyebaran ideologi komunisme dan konsolidasi PKI tidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini. Menurut keterangan ahli, Dr. Thamrin Amal Tomagola, TAP MPR itu secara formal adalah sah, karena dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. Bahwasannya pembatasan ini bersifat situasional, dapat ditelusuri dengan semakin longgarnya perlakuan terhadap bekas anggota PKI dan lain-lain dari undang-undang Pemilu yang terdahulu ke undang-undang Pemilu berikutnya. Dalam undang-undang Pemilu sebelumnya bekas anggota PKI dan lain-lain, bukan saja dibatasi hak pilih pasif (hak untuk dipilih), tetapi juga hak pilih aktif (hak untuk memilih). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibatasi hanya hak pilih pasif saja. Tidak Tepat: Menyamakan Khilafah Ajaran Islam dengan Komunisme. Khilafahisme hendak disejajarkan dengan ideologi terlarang komunisme. Hal ini dapat dipandang pelecehan dan penistaan ajaran Islam. Khilafah bukan isme tapi sistem pemerintahan yang berbasis pada ideologi Islam. Mengkriminalkan ajaran Islam adalah tindakan gegabah dan menistakan agama. Jika Indonesia menyatakan belum menerima sistem kekhalifahan sebagai sistem untuk mengatur penyelenggaraan negara, tentu tidak serta merta menempatkan ajaran Islam ini sebagai isme yang dilarang dan bertentangan dengan Pancasila. Ini bukan apple to apple. Khilafah adalah bagian dari ajaran agama Islam di bidang politik (siyasah). Dalam hal ini ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Oleh karena itu ajaran agama maka Ia tak layak disejajarkan dengan paham lain buatan manusia yang bukan ajaran agama. Maka khilafah tak pantas ditambahi isme sebagaimana paham buatan manusia seperti Kapitalisme, komunisme, radikalisme, dll. Jika kesesatan berfikir tentang khilafah dibiarkan, maka bisa saja nanti ajaran Islam yang lain akan juga disejajarkan dengan ajaran atau isme buatan mausia. Bisa saja mereka akan melecehkan kesucian ajaran haji dengan haji-isme, jihad-isme, zakat-isme, jilbab-isme, dll. Padahal itu jaran islam yang pasti baik buat manusia karena datang dari Allah SWT, sang Pencipta alam semesta. Narasi khilafahisme disejajarkan dengan komunisme jelas sangat menodai ajaran agama Islam. Dampak buruknya penyamaan ini adalah menyamakan pendakwah khilafah (HTI) DISAMAKAN DENGAN pengusung komunisme (PKI). Jika sengaja menyejajarkan ajaran agama dengan paham lain buatan manusia, maka itu merendahkan bahkan melecehkan ajaran agama. Menyamakan Khilafah dengan paham komunisme, radikalisme dan paham lain yang negatif adalah termasuk merendahkan ajaran agama Islam. Bahkan dapat dikategorikan menodai ajaran agama islam. Jadi dapat dinilai sebagai penistaan agama. Syahdan! Namun, demikianlah yang terjadi di Indenesia. Karena kepentingan tertentu yang berdalih demi Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggak Ika membuat para pengambil kebijakan publik terkesan "ngawur" dan "ugal-ugalan" karena tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang absah dan dapat dipertanggungjawabkan bahkan kebijakan itu diambil berdasarkan kemauan politik. PKI itu jelas dilarang, sesuai dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 jo UU No. 27 Tahun 1999. Itu pun telah dilakukan moderasi terhadap organisasi yang radikal tersebut melalui Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003. Sekali lagi saya myatakan bahwa Putusan MK 2003 itu menyatakan bahwa Pasal 60 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam Pemilu. Pasal 60 huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bahwa mereka tak diberikan hak politiknya adalah "Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya." Kita tahu persis bagaimana peran DPR, dan DPRD dalam pembentukan hingga pelaksanaan suatu UU. Mantan PKI saja boleh dipilih, mengapa mantan anggota HTI yang telah dibubarkan pula oleh Pemerintah dipersekusi, dicabut haknya, diberhentikan atasannya, dilengserkan dari jabatan politik pemerintahan. Adilkah? Apalagi kejadiannya ini dunia kampus yang tugasnya untuk merohanikan ilmu dengan fokus pada pencarian kebenaran dan keadilan ( searching the truth, noting but truth. Meskipun AAHS terkesan menerima begitu saja atas pemberhentiannya sebagai Wakil Dekan FPIK, menurut saya hal ini akan menjadi preseden buruk pembungkaman hak berserikat, berkumpul bagi PNS atau ASN sekaligus melanggar hak dipilih para mantan organisasi yang dinyatakan bubar oleh Pemerintah karena dicabut badan hukumnya sedang Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003 masih tetap berlaku sampai kapan pun. Sekali lagi saya tegaskan, jika terhadap para bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya diberikan hak dipilih (dalam konteks yang lebih luas), tetapi mengapa mantan anggota HTI dilarang menduduki jabatan tertentu di pemerintahan? Hal ini yang saya katakan diskriminatif, represif dan otoriter dalam penegakan hukum. Adilkan menegakkan hukum sembari melakukan pelanggaran hukum dan HAM? Atas dasar ini apakah kiranya tidak berlebihan jika dikatakan telah terjadi PELANGGARAN HAM YANG BERKEDOK HUKUM? Tabik...! Penulis adalah Guru Besar FH Undip

Indonesia Itu Tidak Seluas Sungai Ciliwung Bu Risma

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (04/01). Resuffle Kabinet yang dilakukan presiden Jokowi mesti disambut baik. Berharap ini menjadi suplai optimisme bangsa ke depan. Ada Sandiaga di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sosok pekerja keras yang bisa diandalkan jika bekerja. Lepas dari dinamika dan kontroversi politik, Sandi dengan mantan para pendukungnya. Ada Menteri Agama dari NU. Berharap kehadiran Menteri Agama berbasis pesantren Nahdhiyin tersebut mampu mengurai situasi disharmoni antar ormas dan kelompok keagamaan yang selama ini terjadi. Berdiri sebagai bapak umat yang merangkul semua kelompok. Membangun jembatan silaturahmi dengan pola komunikasi yang lebih persuasif. Dalam Resuffle Kabinet, setidaknya ada dua koruptor diganti, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo dari Partai Gerindra dan Mensos Juliari Peter Batubara dari PDIP. Rakyat berharap kedua menteri pengganti tidak mengulang kesalahan pendahulunya. Bisa semakin memperburuk nama partai yang merekomendasikan dan nama presiden sebagai pimpinan. Terutama Risma, mantan Walikota Surabaya ini dikenal gigih dalam bertugas. Turun langsung ke lapangan menjadi ciri khas Ibu Mensos ini. Sampai-sampai ikut atur lalu lintas dan nyapu jalanan. Maklum, mantan kadis kebersihan, kata publik. Secara pribadi, saya mendukung langkah presiden menempatkan Risma sebagai Mensos. Cocok, karena Risma pekerja keras, gesit, tegas dan suka turun langsung ke lapangan. Terobosan Risma untuk memberi bantuan langsung tunai layak diapresiasi. Tujuannya baik, agar tak ada ruang untuk main harga di sembako. Dengan bantuan langsung tunai diharapkan juga mampu mendorong roda ekonomi bergerak. Beras petani laku lagi. Harga gabah akan normal. Untuk menunjukkan kerja seriusnya, Risma pun blusukan. Hal yang biasa dilakukan ketika jadi Walikota Surabaya. Langkah Risma blusukan mendapat banyak reaksi publik, baik positif maupun negatif. Banyak pihak yang mengingatkan Risma bahwa kerja Walikota beda dengan Mensos. Wilayah Mensos itu seluas wilayah Indonesia, bukan seluas Jakarta, apalagi sungai Ciliwung. Jauh! Apalagi, rakyat Jakarta cenderung lebih sejahtera dibanding daerah lain. Jumlah orang miskin di Jakarta juga relatif lebih kecil. Jumlah rakyat miskin tertinggi angkanya adalah Papua. Jumlah orang miskinnya 26, 24%. Lalu Papua Barat 21,37%. NTT 20, 9%. Maluku 17,44%. Gorontalo 15,22%. Bengkulu 15,03%. Aceh 14,99%. NTB 13,97%. Sulawesi Tengah 12,92%. Sumatera Selatan 12,66%. Di Jawa Tengah ada 11,41% orang miskin. Jawa Timur 11,09%. Jawa Barat 7,88%. Banten 5,92%. Jakarta? Orang miskin di Jakarta hanya 4,53%. Artinya, orang miskin di Jakarta lebih rendah dari wilayah Jawa lainnya. Jauh lebih kecil dari rata-rata jumlah penduduk miskin di luar Jawa. Jadi, Risma nggak perlu gagal fokus jika ingin mengurangi jumlah kemiskinan rakyat. Ada banyak Ciliwung di luar Jakarta yang harus lebih mendapatkan perhatian. Jangan sampai ada stigma kurang positif seolah Risma sengaja diberi tugas untuk lebih fokus di Jakarta karena disiapkan maju di pilgub DKI 2022/2024. Hal-hal yang berbau politik saat ini mestinya dihindari, agar tak menimbulkan banyak polemik yang bisa mengganggu kinerja. Agar bansos efektif, validasi data harus yang paling awal dilakukan. Data tidak boleh salah. Dan yang tak kalah penting adalah merumuskan jenis bantuan apa yang paling tepat. Tepat artinya punya pengaruh berarti bagi pertumbuhan kesejahteraan rakyat miskin. Terakhir, memastikan bantuan itu sepenuhnya sampai dan tepat sasaran. Jangan sampai nyasar ke rekening partai atau rekening yang lain. Untuk memastikan semua bantuan sampai ke sasaran, tak harus blusukan. Bayangkan, di Indonesia ada 74.957 desa. Sulit mencari model blusukan yang efektif. Cukup buka layanan pengaduan misalnya, ini akan efisien dan efektif. Pastikan penerima bansos mendapat alamat pengaduan. Yang penting sosialisasinya serius dan masif. Jika mekanisme dan kontrol kerja di kemensos terukur, program bantuan akan sampai di tujuan dan sesuai harapan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Butir-Butir P-4, Cerita Untuk Anak-Cucuku (Bag-1)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN – Senin (04/01). Strategic Assessment. “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1, Tap MPR No.XVIII/MPR/1998). Masa pandemi Covid-19 membuat anak-anak belajar secara virtual. Implikasinya, mereka banyak bergaul dengan internet. Anak-anak menjadi luas wawasannya dan cerdas. Banyak materi yang tidak diajarkan oleh guru mereka ketahui, baik berita-berita di dunia maya maupun televisi. Orang tua dan eyang-eyang, banyak waktu ketemu anak dan cucu, bercerita macem-macem. Suatu saat, cucu kelas satu SMP bertanya. “Eyang,…. sekarang kok ada sikap radikal, intoleran dan tindakan semena-mena. Radikal dan intoleran itu kan jelek, ya Eyang. Eyang kakung : “Iya. Jelek banget. Mas Abie tahu dari mana? Jangan ditiru ya”. Cucu, Abie Putro: “Baca di internet. Seperti tidak ada dan tidak dihargainya Hak Azasi Manusia ya Eyang. Tindakan menyiksa dan membunuh seenaknya. KKN merajalela. Padahal, katanya kita punya Pancasila yang disarikan dari budi luhur bangsa? Tapi kok begini? Gimana nih Eyang?” Suka tidak suka, pertanyaan inilah yang mendorong saya menulis artikel ini. Artikel pertama di tahun 2021. Cerita untuk anak dan cucu, generasi yang buta masa lalu. Tentu saya akan cerita sejarah masa lalu. Cerita bagaimana PKI ingin mengganti Pancasila dengan komunisme. Pemberontakan PKI Madiun 1948 dan G.30.S/PKI 1965 bukti yang berbicara. Orde Baru (Orba) berusaha agar Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia bisa dihayati dan diamalkan untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya. Disisi lain mencegah ideologi lain meracuni pikiran rakyat Indonesia. Ideologi yang sengaja disusupkan ke Indonesia oleh asing, atau nilai-nilai asing yang dibawa orang kita yang belajar atau tinggal lama di Eropa, Amerika, Asia, Australia, Timur Tengah dan lain-lain. Maka diterbitkanlah Tap MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), sebagai penuntun dan pegangan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara bagi setiap WNI, penyelenggara Negara, lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan. Satu hal yang penting, P-4 ini bukan tafsir Pancasila. Tidak juga tidak bermaksud menafsirkan Pancasila. “Strategic assessment” di atas tidak bermaksud memakai Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang sudah memiliki sifat einmalig (final), dan telah dicabut serta selesai dilaksanakan sebagai dasar. Saya hanya ingin bilang kepada anak-anak dan cucu-cucu saya, bahwa ketika mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4, kaum reformis juga menegaskan bahwa (a). Pancasila sebagai Dasar Negara. (b). Pancasila yang dimaksud ada di dalam Pembukaan UUD 1945. (c). Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam bernegara. Hari gini ngomong Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) emang terasa aneh. Bagaimana tidak? Barangnya udah dicabut, dan materi muatannya udah dinyatakan tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Tetapi masih berani ngomongin. Apa nggak takut mati dicap orang Orba tulen? Emang kalau ngomong P-4, jika ketemu generasi yang sejak awal menentang, pasti adu argumentasi. Bikin kedua belah pihak kupingnya panas. Lain hal, ketemu generasi yang hidupnya bisa memahami dan mengamalkan hasil penataran P-4 atau dari belajar sendiri. Tentu akan membahagiakan. Nostalgia yang manis. Persoalan lain jika ketemu generasi yang lahir tahun 1998, saat P-4 dicabut, berarti saat ini usia 22 tahun atau mahasiswa. Lahir setelah tahun 1998 atau saat dicabut masih orok atau anak-anak. Mereka pasti buta tentang P-4. Sebab sekolah dan media tidak membahas buku pelajaran miskin materi Pancasila atau P-4. Maka sangat mungkin terjadi pertanyaan seperti cucu saya di atas. Karena P-4 secara politis sudah dicabut, maka 36 (tiga puluh enam) atau 45 (empat puluh lima) butir P-4 untuk saat ini tidak mungkin disosialisasikan lagi sebagai P-4. Namun, jika anak-anak dan cucu-cucuku bingung mencari pegangan hidup, eyang akan nunjukin tuh, baca saja ketiga puluh enam atau keempat puluh lima butir P-4. Eyang tidak akan bilang, dan kalian juga tidak perlu bilang sedang membaca dan mempelajari butir-butir pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Sebab P-4 itu sudah dicabut. Eyang hanya bilang; jika kamu butuh pegangan hidup agar hidupmu tenang dan pengabdianmu kepada bangsa dan negara lurus, bacalah butir-butir tersebut sebagai ‘petuah’ atau ‘tuntunan’ dan laksanakan. Eyang berpendapat, dalam bahasa Jawanya, butir-butir itu sebagai “Pitutur kanggo lakuning urip” . Dalam bahasa Indonesia “Petuah untuk jalannya hidup”. Kalian mau nambahi sesuai dengan norma budaya yang hidup di masyarakat dan belum tercantum di dalam butir-butir tersebut, ya tidak masalah. Silakan saja. Bila anak-anak dan cucu-cucuku paham dan melaksanakannya, apakah nantinya sebagai pejabat atau bukan, niscaya kalian akan menjadi sosok yang berperilaku baik. Jika kalian menjadi pejabat, tentu tidak akan KKN karena kalian memegang kejujuran dan keadilan. Kalian menjadi orang yang tidak sombong dan tidak semena-mena walau sedang berkuasa. Mengamalkan pitutur tersebut, kalian akan menghormati dan saling mencintai sesama manusia tanpa memandang status sosial. Kalian akan jauh dari perilaku kejam, sadis, seenaknya menyiksa, membunuh, radikal dan intoleran. Kalian akan menyukai segala sesuatu untuk dikomunikasikan dan dimusyawarahkan demi persatuan. Anak-anakku dan cucu-cuku, bila ingin tahu seperti apa "pitutur" tersebut, kalian bisa baca di artikel lanjutan, “Butir-Butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Cerita Untuk Anak dan Cucuku ke-2”. Selamat membaca, berkontemplasi, berpikir, bekerja dan berkarya untuk bangsa dan negara. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan hidayah kepada kalian. Insya Allah, Aamiin. Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Selamat Datang Tahun Kegaduhan

Rakyat menjadi korban akibat carut-marutnya pengelolaan keuangan negara. Ekonomi yang dikelola tanpa visi dan misi yang jelas akan menyebabkan terjadinya kegaduhan. Kita baru empat hari memasuki tahun 2021 yang penuh tantangan dan penuh dinamika. Yang pasti, tahun 2021 ini, kita dihadapkan pada ketidakpastian, baik ketidakpastian global maupun ketidakpastian nasional. Ketidakpastian nasional yang pasti kita hadapi dengan berat adalah di bidang ekonomi dan juga ketidakpastian dalam penegakan hukum. Jika dirunut, semua ketidakpastian yang ada di dalam negeri, terjadi karena pemerintahan yang tidak stabil, pemerintahan yang semakin tidak dipercaya oleh sebagian besar rakyatnya. Ketidakpastian dalam ekonomi semakin terasa akibat Corona Virus Disaese 2019 (Covid-19). Virus yang berasal dari Wuhan, Republik Rakyat China itu telah memporak-porandakan ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Padahal, perekonomian Indonesia sudah terasa berat, jauh sebelum virus corona mewabah. Dalam lima tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-M.Jusuf Kalla (2014-2019) pertumbuhan ekonomi tidak pernah mencapai 7 (tujuh) persen seperti yang dijanjikan waktu kampanye. Jangankan tujuh persen, enam persen pun tidak pernah tercapai. Angkanya adalah 5,01 persen (2014), 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017) dan 5,17 persen (2018). Tahun 2019, ekonomi turun menjadi 5,02 persen.Tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan minus atau negatif (- 1,7 persen) sampai 0,6 persen. Bisa jadi angka ini akan berubah lebih rendah mengingat Virus China belum mereda dan bahkan semakin ganas karena ditemukannya varian baru, serra gelagat pertumbuhan ekonomi global masih suram. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya antara 4,88 persen sampai 5,17 persen dalam periode pertama Joko Widodo sengaja diangkat, agar semakin jelas dan terang-benderang bahwa pengelolaan ekonomi amburadul, dan sebagian mengatakan gagal. Ya, apapun istilahnya, yang jelas dan pasti adalah pertumbuhan ekonomi tidak pernah tujuh persen (periode 2014-2019). Padahal, selama periode tersebut, pemantik turunnya ekonomi tidak jelas, jika melihat faktor eksternal. Berbeda dengan krisis ekonomi yang terjadi tahun 2008, semasa Presiden Susulo Bambang Yudhoyono (SBY), akibat bangkrutnya perusahaan properti Amerika Serikat, Lehman Brother, dan langsung berimbas ke kawasan Eropa. Badainya pun kemudian menghantam dunia, termasuk Indonesia. Walau dihantam badai ekonomi, namun pertumbuhan Indonesia tahun 2008 masih mencapai 6,1 persen. Imbasnya baru terasa tahun 2009 dengan pertumbuhan ekonomi 4,5 persen. Perlahan tapi pasti, tahun 2010 pertumbuhannya sudah kembali ke angka 6,1 persen. Bahkan, di tengah perekonomian dunia yang masih bergejolak, ekonomi Indonesia bisa tumbuh menjadi 6,5 persen tahun 2011, 5,28 persen tahun 2012 dan naik sedikit menjadi 5,78 persen tahun 2013. Perbandingan pertumbuhan ekonomi masa pemerintahan SBY dan Jokowi sengaja diangkat, bukan bermaksud memuja-muji SBY dan juga bukan bermaksud menghakimi Joko Widodo. Biarlah rakyat yang melakukan penilaian. Sebab, rakyatlah yang merasakan berat atau tidaknya beban ekonomi. Akan tetapi yang jelas dan pasti, pengelolaan ekonomi di masa pemerintahan SBY-Boediono jauh lebih baik ketimbang penataan ekonomi pada periode pertama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Stimulus ekonomi yang dikeluarkan SBY dalam menghadapi krisis ekonomi tahun 2008 sangat tepat, sehingga tidak terjerumus pada jurang krisis yang lebih dalam. Stimus ekonomi yang dikeluarkan saat itu mampu mendongkrak daya beli masyarakat. Stimulus yang tepat itu bisa jadi karena Boediono yang menjadi pendamping SBY adalah ekonom tulen. Juga didukung oleh tim ekonomi yanh cukup bagus dan handal. Sangat berbeda dengan kebijakan ekonomi yang diterapkan Jokowi, yang lebih menekankan pembangunan infrastruktur yang terlalu dipaksakan. Arah kebijakan ekonomi dan pembangunan tidak tepat, karena pendamping Jokowi di periode pertama (2014-2019) adalah Jusuf Kalla, seorang saudagar, seorang pengusaha yang lebih berorientasi pada bisns dan keuntungan. Ditambah lagi tim menteri ekonominya lemah dan lamban dalam menganalisa masalah dan kemudian diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi. Periode kedua Jokowi akan menghadapi kendala dan tantangan yang lebih berat. Apalagi, seluruh visi dan misi hanya ada di tangan dan otak presiden. Seluruh menteri tidak memiliki visi dan misi. Tahun ini diperkirakan memperburuk keadan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Ditambah lagi pendamping Jokowi, seorang kiai, Ma'ruf Amin yang lebih piawi berceramah agama Islam ketimbang melakukan analisis tajam di bidang ekonomi. Para menterinya, terutama bidang ekonomi adalah orang yang syarat politik, ketimbang jiwa ekonomi. Jajaran menteri ekonomi, hampir semua diisi politisi. Hanya Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang berasal dari profesional (ekonom), meskipun belakangan pernyataan atau keterangannya cenderung sebagai politisi, terlebih jika menyangkut utang luar negeri. Ia membela mati-matian tentang utang luar negeri yang sudah menembus angka Rp 6.000 triliun. Padahal, semasa menjadi pengamat ekonomi, ia sangat getol menentang penambahan utang luar negeri. Oleh karena piawi mengutang, maka dia pun dijuluki "Si Ratu" Utang. Persoalan ekonomi sudah diingatkan jauh sebelum Covid-19 mewabah. Pembangunan infrastruktur, seperti pembangkit tenaga listrik 3.500 MW dan pemindahan ibukota negara sudah diminta agar dihentikan atau ditunda. Pembangunan ibukota negara di Kalimantan Timur diminta ditunda karena menghabiskan dana Rp 485,2 triliun (angka perkiraan tahun 2019). Bagaimana ekonomi 2021? Pemerintah optimis akan tumbuh pada angka 4 sampai 5 persen. Angka pertumbuhan berat yang masih patut dipertanyakan dan hanya merupakan angin syurga. Lalu bagaimana dengan APBN 2021? Apakah pendapatan pajak bisa tercapai di tengah ketidakpastian ekonomi global? Ditambah lagi sumber pendapatan dari utang luar negeri yang semakin sulit diperoleh. Kalaupun bisa mendapatkan pinjaman, itu hanya digunakan sebagai gali lubang tutup lubang. Memperoleh utang untuk membayar bunga dan utang pokok. Rakyat menjadi korban akibat carut-marutnya pengelolaan keuangan negara. Ekonomi yang dikelola tanpa visi dan misi yang jelas akan menyebabkan terjadinya kegaduhan. Rakyat merasakan langsung dalam beberapa hari setelah masuk tahun 2021? Tidak ada pasok tahu dan tempe di pasar karena pengrajinnya mogok produksi. Mereka mogok karena harga kedele yang naik dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram. Mogoknya pengrajin tahu dan tempe telah menimbulkan kegaduhan di pasar. Belum lagi jika harga kebutuhan pokok lainnya, terutama beras tiba-tiba naik. Tempe dan tahu telah membuat gaduh karena impor kedele diserahkan ke mekanisme pasar (swasta), tidak lagi dilakukan Perum Bulog. Ya, entah kegaduhan apa lagi menyusul. *

Untuk Pak Mahfud: Pasang Saja Microchip di Kepala Manusia Oposisi

by Asyari Usman Medan, FNN - Senin (04/01). Tak sampai sepekan yang lalu, Menko Polhukam Mahfud MD dengan senang hati mengumumkan bahwa Polisi Siber (Polsib) mulai diaktifkan tahun ini, 2021. Dia bilang, Polsib sangat diperlukan untuk mengawasi akun-akun media sosial yang berbahaya. Terutama konten-konten yang berisi ancaman untuk mencederai seseorang bahkan ancaman pembunuhan. Mahfud membanggakan kehebatan Polsib nantinya. Pelaku ancaman medsos bisa ditangkap dalam dua jam saja. “Jam 8 pagi ‘ngancam, jam 10 ditangkap,” kata mantan ketua MK itu. Langkah Pak Menko ini tentu bagus sekali. Ini bentuk perlindungan yang ditunggu-ditunggu. Orang-orang yang terancam, khususnya para pejabat yang sekarang ini bagus-bagus semua kelakuannya, perlu dilindungi. Supaya hidup mereka tenteram. Tapi, sayangnya, Polsib bisa disalahgunakan seperti halnya UU ITE. Pertama-tama nanti akan dipakai untuk menangani ancaman terhadap para pejabat. Setelah itu, Polsib akan dipakai untuk mengamati akun-akun yang kritis. Akhirnya, semua yang tak sejalan dengan penguasa akan dikejar oleh Polsib. Sangat mungkin mereka akan mengintip postingan (status) medsos, khususnya akun-akun oposisi. Setelah itu, penyalahgunaan ditingkatkan. Bisa jadi Polsib ikut memancing emosi di akun-akun oposisi. Supaya mereka, pemilik akun-akun kritis itu, tersulut emosi. Dengan begitu mereka bisa dipetakan. Kemudian ditangkap dalam waktu 2 jam, seperti dikatakan Pak Mahfud. Inilah arah penyalahgunaan yang perlu dicermati. Dan penyalahgunaan itu bukan hal yang baru. Apa saja yang bisa memperkuat cengkeraman para penguasa otoriter, pasti akan dilakukan. Kali ini kita bantu Pak Mahfud tentang cara yang lebih cepat untuk menangkap para aktivis oposisi. Agar biaya operasionalnya lebih murah. Soalnya, sekarang ini kabarnya pemerintah kesulitan duit. Bagaimana cara murah itu? Ada dua. Pertama, contoh saja tindakan Korea Utara. Internet diatur sangat ketat. Hanya sejumlah kecil aparat negara saja yang boleh menggunakannya. Itu pun lewat sistem Intranet. Dan semua mereka diawasi. Rakyat tidak boleh sama sekali pakai Internet. Kedua, lebih praktis lagi. Gunakan “smart microchip” untuk mendeteksi apa yang sedang dipikirkan manusia. Alat ini belum ada. Tapi bisa dipesan sekarang. Mungkin sebelum rezim jatuh karena krisis ekonomi, sudah jadi. Biayanya agak mahal tapi untuk dipakai seumur hidup. Kalau dipesan 150 juta biji untuk 150 manusia oposisi, bisa murah. Dengan bantuan alat kecil ini, Pak Mahfud bisa mengetahui secara dini apa yang ingin ditulis oleh akun oposisi. Kalau tulisan itu kritis, maka alarm di pusat kendali siber di Kemenko Polhukam akan langsung menyala. Nah, wajibkan saja semua pegiat oposisi, penulis kritis, pemilik akun medsos yang terindikasi berseberangan dengan panguasa, dll, untuk dipasangi “smart microchip” itu di kepala mereka. Pokoknya dikte saja seperti di Korea Utara. Dengan cara ini, pemantauan bisa lebih mudah. Lebih efisien. Penangkapan bisa lebih dini. Bahkan tak sampai dua jam. Dan status medsos yang mau ditulis oleh manusia oposisi, bisa dicegah sebelum diunggah. Kalau khawatir bertentangan dengan HAM dan konstitusi, buatkan saja pasal-pasal baru. Supaya orang bisa dihukum penjara karena kedapatan berpikir untuk menulis kritik di akun medsos. PDIP, Gerindra, Golkar, NasDem, PAN-Zulhas, PPP pasti akan mendukung pembuatan pasal-pasal yang diperlukan itu. Sebentar saja akan disahkan oleh DPR. Jadi, Pak Mahfud, sampeyan tak perlu Polisi Siber. Cukup pasang ‘smart microchip’ di setiap kepala rakyat oposisi. Ke mana pun mereka pergi bisa dilacak. Apa pun yang sedang mereka pikirkan, bisa terdeteksi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ketika "Jenderal Tua" Mengancam Masyarakat

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Senin (04/01). Di dunia maya terjadi perang mulut antara aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai dengan eks Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendropriyono. Apa yang dipertanyakan Pigai di Twitter sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar dan menjadi pertanyaan banyak kalangan. Natalius Pigai mempertanyakan kapasitas Hendropriyono ketika dia mengancam akan membubarkan organisasi yang menampung mantan anggota FPI. Menurut Pigai, Hendropriyono sama sekali tidak memiliki kapasitas dalam mengeluarkan pernyataan tersebut. “Ortu mau tanya. Kapasitas Bapak di negara ini sebagai apa ya? Penasihat presiden? Pengamat? Aktivis? Biarkan diurus generasi abad 21 yang egaliter, humanis, demokrat. Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua. Sebabnya wakil ketua BIN dan dubes yang bapa tawakan, saya tolak mentah-mentah. Maaf,” tulis Natalius dalam cuitan akun Twitter pribadinya yang diunggah pada Jumat, 1 Januari 2021. Sebelumnya Hendropriyono menyebutkan bahwa setelah pembubaran FPI, selanjutnya giliran organisasi yang melindungi eks-FPI dan juga para provokator yang perlu dibubarkan pemerintah. "AM Hendropriyono: organisasi pelindung eks-FPI dan para provokator tunggu giliran," cuit Hendropriyono dalam akun Twitternya @edo751945 dikutip di Jakarta, Kamis (31/12/2020). Hendropriyono mengingatkan masyarakat dan lembaga untuk tidak membela atau menampung mantan anggota Front Pembela Islam (FPI). Pernyataan Hendropriyono yang juga mantan Danrem Garuda Hitam Lampung tersebut bertolak belakang dengan sikap pemerintah dimana Menko Polhukam Mahfud MD telah membolehkan siapapun termasuk para fungsionaris FPI untuk membentuk ormas baru karena hal tersebut memang dijamin dan dilindungi Undang-undang. Oleh karena itu ketika Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan pemerintah Rabu 30 Desember 2020, pada hari yang sama eks fungsionaris FPI lama membentuk Front Persatuan Islam (baca: FPI Baru). Para deklarator FPI Baru ini adalah mantan para pengurus FPI lama di antaranya Munarman dan KH. Sobri Lubis. Selain itu, meskipun FPI dibubarkan dan dianggap sebagai ormas terlarang, tapi tidak satupun pengurusnya yang ditahan. Sementara penahanan terhadap Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab karena tuduhan pelanggaran terhadap protokol kesehatan pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kawasan Petamburan Jakarta, Sabtu 14 November 2020. Memberi Saran yang Salah Jadi sangat aneh kalau kemudian FPI atau ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah lebih dulu dibubarkan rezim Jokowi tàhun 2017 disamakan dengan PKI. Pentolan PKI ditahan dan dipenjarakan pemerintah Orde Baru karena memang mereka telah membunuh dan membantai masyarakat terutama para kiai dan para santri pada bulan September 1965 dan tàhun 1948. Sementara kegiatan FPI yang sudah dibubarkan pemerintah akhir bulan Desember 2020 justru sebenarnya banyak membantu program pemerintah karena yang dilakukan ormas Islam ini adalah mengajak pada kebaikan dan mencegah setiap perbuatan kejahatan (amar ma'ruf nahi munkar). Tidak hanya itu, selama ini FPI lama banyak melakukan berbagai kegiatan kemanusiaan. Dalam setiap terjadi bencana alam di Tanah Air, FPI lama nyaris selalu yang pertama hadir di lokasi bencana membantu masyarakat yang terkena musibah. Kalau kemudian FPI lama dibubarkan pemerintah, sungguh sangat memprihatinkan kita semua. Oleh karena itu wajar kalau Natalius Pigai mempertanyakan ancaman Hendropriyono yang akan membubarkan organisasi yang menampung mantan anggota FPI. Adanya ancaman dari orang seperti Hendropriyono yang nota bene sekarang berada di luar struktur resmi pemerintah dan negara, memang menimbulkan keheranan, tanda tanya sekaligus kecurigaan di kalangan masyarakat. Terkait hal itu, elite Partai Demokrat Andi Arief mendesak Menko Polhukam Mahfud MD untuk berhenti mendengarkan masukan dari "Jenderal Tua" yang menurutnya selalu memberi saran yang salah arah. Dalam kicauannya di akun Twitter pribadi, Jumat (1/1/2021), Andi Arief menyebutkan: "Ketimbang mendengar pandangan-pandangan yang bisa menyesatkan dari jenderal tua yang sudah terbukti menyesatkan dan melanggar HAM". Namun, Andi Arief tidak gamblang merinci siapa Jenderal Tua yang dimaksudnya itu. Menko Polhukam Mahfud MD diminta Andi Arief untuk lebih berdiskusi dan mendengarkan masukan dari masyarakat sipil (civil society). Khususnya dalam menyikapi peristiwa hukum yang belakangan ramai diperbincangkan publik. Sementara sejumlah warganet memberi komentar beragam tentang siapa sosok "Jenderal Tua" yang juga disebut sebagai pelanggar HAM oleh Andi Arief. "Jendral tua yang menyesatkan??" cetus akun @ad3ira29 yang mengomentari postingan Andi Arief. "Jendral Talangsari," timpal akun @nurkyqo menduga. Selama ini AM Hendropriyono memang banyak dikaitkan dengan kasus Talangsari Lampung. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, pada 7 Februari 1989, ketika AM Hendropriyono masih berpangkat kolonel dan menjabat Danrem Garuda Hitam Lampung, menyerbu Desa Talangsari. Banyak korban berjatuhan yang jumlahnya mencapai 300 orang. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Pada tahun 2001, korban pelanggaran HAM Talangsari telah mendesak Komnas HAM untuk segera membentuk KPP HAM. Berdasarkan rekomendasi rapat paripurna tanggal 23 Februari 2001 dibentuk tim penyelidikan berdasarkan UU No. 39 tahun 1999. Tim terdiri dari Enny Suprapto (Kekerasan), Samsudin (Hak hidup), Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan) dan Muhamad Farid (anak-anak). Tim mulai bekerja pada Akhir Maret hingga Awal April 2005. Setelah Komnas HAM turun lapangan pada Juni 2005, ditemukan adanya pelanggaran HAM berat. Namun banyak kendala dalam penyelidikan karena fokus para korban banyak yang terpecah belah karena sebagian ada yang melakukan islah dengan Hendropriyono sejak 1999. Mantan jamaah Warsidi yang melakukan islah tersebut menghalangi warga lain yang ingin mencari keadilan lewat pengungkapan kebenaran dan pengadilan HAM. Itulah antara lain kiprah AM Hendropriyono yang kini berusia 75 tàhun. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Vaksin Sinovac dari Vero Cell: Mengandung Virus Hidup yang Dilemahkan!

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Minggu (03/01). Narasi berupa peringatan beredar luas di WA Group dan media sosial. Entah dari mana dan siapa yang pertama kali menulis dan mengedarkannya. Namun, jika diamati, memang seperti itulah faktanya. Bukan hoax dan bukan pula mengada-ada. Coba perhatikan kemasan Vaksin Sinovac Covid-19 yang akan di suntikkan kepada warga. Jelas bertuliskan “Only for clinical trial” (Hanya untuk uji coba klinis alias untuk kelinci percobaan). Dan perhatikan “Composition and Description” Yaitu berasal dari Vero Cell atau berasal dari jaringan Kera hijau Afrika (Jelas tidak halal), kemudian mengandung Virus hidup yang dilemahkan, dan mengandung bahan dasar berbahaya (Boraks, formaline, aluminium, merkuri, dll). Belum lagi yang tidak tertulis pada kemasan yaitu tidak ada jaminan tidak tertular penyakit setelah di vaksin dan tidak ada jaminan atau kompensasi dari perusahaan Sinovac jika terjadi cedera vaksin atau KIPI pada korban Vaksin. Sumber yang membahas efek samping vaksin Sinovac Covid-19: Hasil keterangan FDA klik https://www.fda.gov/media/143557/download?fbclid=IwAR2U4e-sAyI1FmRSsxwFncalEoEoPVEoLI6y2zFLWL2Y7QtCzpToO41sMwM Hasbunallah wani'mal wakiil. Coba kita simak ulasan Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. Bagaimana Vaksin Sinovac merangsang pembentukan antibodi. Vaksin Sinovac dibuat dengan salah satu teknologi yang paling kuno, yang sudah digunakan sejak 100 tahun yang lalu. Yaitu menggunakan virus Covid-19 yang telah “dinonaktifkan” atau “dimatikan”. Berarti benar: mengandung virus hidup yang dilemahkan. Sinovac mengumpulkan sampel cairan tubuh yang mengandung virus dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China sendiri digunakan sebagai dasar vaksin. Dari sini nanti juga bisa menjawab: Mengapa dengan menggunakan teknologi yang sama bisa menghasilkan efikasi vaksin yang berbeda? Mengapa diperlukan uji klinis internasional untuk mengukur efikasi yang lebih baik, karena produknya kelak juga akan dipasarkan ke berbagai negara? Bagaimana cara membunuh virus Covid-19? Para peneliti di Sinovac memiliki kultur virus dalam jumlah besar di sel-sel ginjal monyet, yang mereka pilih sebagai hewan percobaan. Virus tersebut kemudian dibunuh dengan zat kimia beta-propiolactone, yang akan berikatan dengan gen-gen virus. Akibatnya virus tidak bisa lagi melakukan replikasi (membelah diri, beranak-pinak). Namun spike proteinnya yang menonjol di bagian luar virus tetap utuh. Virus tersebut kemudian “diekstraksi” dan dicampur dengan adjuvant, yaitu senyawa berbasis alumunium. Fungsi adjuvant dalam proses vaksinasi adalah untuk merangsang sistem immune tubuh kita merespon terhadap vaksin yang disuntikkan. Karena virusnya sudah mati, maka penyuntikan vaksin tidak akan menyebabkan seseorang terinfeksi virus Covid-19. Setelah berada di dalam tubuh kita virus tersebut akan dimakan (difagositosis) oleh salah satu jenis sel immune yang bernama sel T, yang memiliki bagian yang disebut dengan “antigen-presenting cell”. Antigen-presenting cell ini akan melumatkan virus dan menyisakan sebagian fragmennya di permukaan tubuhnya. Nantinya sel immune yang lain, yaitu Helper T cell akan mengenali fragmen tersebut. Jika fragmen tersebut cocok dengan protein yang ada di permukaan Helper T cell, maka sel-sel T akan diaktifkan, dan mengundang sel-sel immune yang lain untuk merespon terhadap vaksin. Sel immune lainnya yang bernama sel B juga akan menemukan fragmen protein virus. Sel B memiliki protein di permukaan tubuhnya dengan berbagai bentuk, yang beberapa diantaranya mungkin akan cocok untuk berikatan dengan fragmen protein virus Covid-19. Jika sudah berikatan, sel B akan menarik sebagian atau keseluruhan fragmen tersebut ke dalam tubuhnya kemudian mulai memproduksi antibodi yang cocok dengan bentuk permukaan virus. Produksi antibodi setelah vaksinasi ini belum diketahui akan berlangsung selama berapa bulan. Itu sebabnya kelak jika diajukan permohonan izin edar, bukan Emergency Use of Authorization, monitoring titer antibodi dan kemampuan mencegah terinfeksi akan berlangsung selama 2-4 tahun, bukan sekedar 3-6 bulan. Setelah divaksinasi sistem immune akan merespon jika kelak terjadi infeksi oleh virus Covid-19 yang hidup. Sel-sel B akan segera mengenali virus tersebut dan menghasilkan antibodi yang akan berikatan/menetralkan virus melalui spike proteinnya, sehingga virus tidak bisa memasuki sel-sel tubuh kita. Meskipun dalam waktu beberapa bulan tetelah vaksinasi titer antibodi akan berkurang, tapi tubuh kita memiliki memori B cells, yang akan mengingat bentuk virus Covid-19 hingga bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun kemudian. Jika suatu hari kelak virus Covid-19 mencoba menginfeksi, maka sel-sel B akan segera memproduksi antibodinya untuk mencegah infeksi. Vaksin Sinovac Pada Januari 2020: Sinovac mulai mengembangkan vaksin dari virus yang sudah dimatikan. Kemudian pada Juni melakukan uji klinis kombinasi fase 1 dan 2. Volunteers 743 orang. Hasil uji keamanan: tidak ditemukan reaksi yang tidak diharapkan dengan kategori parah. Pada Juli uji klinis fase 3 di Brazil, diikuti dengan Indonesia dan Turki. Pada Oktober pihak berwenang di China bagian timur, Jiaxing, memberikan vaksin tersebut pada kelompok yang berisiko tinggi tertular: tenaga kesehatan, inspektor di pelabuhan dan petugas layanan publik. Tidak disebutkan berapa jumlah orang yang divaksinasi. Pada Oktober 2020 pejabat di Brazil mengatakan bahwa vaksin Sinovac adalah yang paling aman dari 3 vaksin yang sedang diuji klinis fase 3 di sana. Pada 19 November 2020 Sinovac mempublikasikan hasil uji klinis fase 1 dan 2 di jurnal ilmiah Lancet. Hasilnya: produksi antibodi yang dirangsang oleh vaksin hanya memiliki titer sedang saja. Hanya uji klinis fase 3 yang kelak akan membuktikan apakah itu cukup untuk melindungi orang dari tertular Covid-19. Pada 18 November 2020: pemerintah Brazil mengumumkan mereka menghentikan sementara uji klinis fase 3-nya karena adanya reaksi yang tidak diharapkan (katanya paling aman?). Dua hari berikutnya uji dilanjutkan. Tak ada penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Brazil mengatakan sudah mendapat cukup data volunteers yang tertular infeksi, sehingga efikasinya sudah bisa dihitung. Mereka berencana mengumumkan laporannya, 23 Desember 2020. Tapi diundur 15 hari kemudian. Apakah vaksin Pfizer, Moderna atau Sinovac efektif untuk virus strain baru, maka jawaban Arie Karimah adalah: “Sains membutuhkan Bukti Ilmiah untuk mengklaim sesuatu. Kalau ingin tahu efektif atau tidak ya perlu dilakukan dulu uji klinis selama 3-6 bulan”. Tentu para ilmuwan juga melakukan prediksi ini. Tapi anda perlu membaca dulu untuk bisa memahaminya. Tidak bisa jump into conclusion. Pahami dulu apa itu mutasi genetik dan bagaimana vaksin Pfizer, Moderna atau Sinovac dulu dikembangkan sebelum strain baru ini ditemukan. Virus Covid adalah membran berminyak yang berisi instruksi genetik untuk membuat jutaan copy “tubuh”nya sendiri. Instruksi tersebut tertanam dalam bentuk kode di 30.000 “surat” RNA: a, c, g dan u. Saat virus menginfeksi sel tubuh kita, dengan cara spike proteinnya berikatan dengan reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzyme), maka virus akan memasukkan materi genetiknya ke dalam sel tubuh kita dan mengambil alih fungsi reproduksi sel yang dilakukan ribosome. Satu sel-sel tubuh kita yang terinfeksi bisa menghasilkan jutaan anak-anak virus, semua itu membawa copies dari original genome, yaitu semua DNA yang terdapat pada virus induknya. Tapi, saat sel tubuh kita memperbanyak genome, kadang-kadang terjadi kesalahan, umumnya hanya 1 dari 30.000 “surat” RNA. “Salah ketik” inilah yang dikenal sebagai Mutasi. “Jadi mutasi adalah perubahan kecil yang bersifat acak pada materi genetik virus, yang terjadi ketika terjadi proses replikasi (reproduksi),” ungkap Arie Karimah. Ketika virus menyebar dari orang ke orang maka mutasi-mutasi itu akan terkumpul secara acak. Berikut contoh genome dari salah seorang pasien di Wuhan yang identik dengan kasus pertama. Perbedaan atau mutasinya hanya terjadi pada surat ke 186, yang tertulis u bukan c. Setelah beberapa bulan menginfeksi dan menyebar, maka sebagian genome virus sudah mengalami berbagai mutasi. Selama pandemik telah terdeteksi lebih dari 4.000 mutasi di area spike protein. Bagian genome yang sudah mengumpulkan banyak mutasi bersifat lebih fleksibel. Mereka dapat mentoleransi perubahan urutan genetik mereka tanpa membahayakan eksistensi virus itu sendiri, sedangkan bagian yang hanya mengalami sedikit mutasi justru lebih rentan. Mutasi pada bagian ini mungkin bisa saja menghancurkan virus, karena menyebabkan perubahan yang membahayakan pada bagian proteinnya. Bagian ini sering dijadikan sebagai target cara kerja obat antivirus. Mutasi genome virus covid sebanyak 10 atau kurang dianggap biasa, dan hanya sedikit virus yang mengalami mutasi lebih dari 20, kurang dari seperseribu dari total genome. Posisi dan banyaknya mutasi yang telah terjadi bisa diketahui dengan cara sequencing genomes. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Masa Maklumat Kapolri Kalahkan UUD 1945?

Pembaca Portal Berita Online FNN.co.id. yang kami banggakan. Sikap remi Redaksi Portal Berita Online FNN.co.id yang selama ini disampaikan melalui rubrik EDITORIAL, mulai awal Januari 2021 diganti nama rubriknya menjadi “FORUM RAKYAT”. Demikian pemberitahuan kami. Jakarta FNN – Ahad (03/01). Jendral Polisi Idham Aziz, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), pada tanggal 1 Januari 2021 Kemarin, mengeluarkan Maklumat. Maklumat Nomor Mak/1/2021 Tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Pada angka 1 Maklumat ini dicantumkan kata-kata sebagai berikut “1. Bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor: 220-4780 Tahun 2020; M.HH 14.HH.05.05 Tahun 2020; 690 Tahun 2020; 264 Tahun 2020;KB/3/XII/2020; 320 Tahun 2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam”. Kapolri pasti tak menyangka sebelumnya. Bahwa maklumat ini terlihat seperti hantu yang gentayangan disiang bolong. Lalu dengan angkuh, khas setan kurap, hantu itu memasuki dan mengacak-acak meja redaksi, menerkam, menyiksa bahkan membunuh semua jurnalis. Itu alasan utama mengapa komunitas Pers, bahkan Dewan Pers bereaksi sangat sangat keras. Level reaksinya masyarakat pers kali ini, terus terang Pak Kapolri, belum pernah sekalipun terjadi setelah eranya Pak Harto berkuasa. Baru kali ini reaksi keras itu. Orang pers bukan saja tak mau lagi praktik bredel, atau apapun yang mirip dengan bredel itu hidup di era ini. Tetapi lebih dari bredel itu. Orang pers sudah tak mampu lagi diam dan hanya menggerutu melihat kehancuran harkat dan martabat kemanusiaan, hanya untuk alasan yang mengada-ada. Orang pers tak mau lagi melihat dan berurusan dengan rezim khas masa lalu itu hidup kembali di era ini. Ketertiban dan keamanan nasional yang setiap hari dikhotbahkan oleh rezim sekarang, tidak lebih dari dongeng kaum oligarki semata. Presiden Habibie dan Mohamad Yunus Yosfiah. Pak Kapolri tahu mereka berdua? Namanya keduanya begitu harum untuk kehidupan masyarakat pers Indonesia. Presiden Habibie tentu Pak Kapolri tahu, adalah pria paling logis dalam berpikir. Hebat, Pak Habibie menempatkan Pak Yunus, pria berlatar tentara tulen sebagai Menteri Penerangan. Pak Yunus Yosfiah, sang menteri dan tentara paling hebat di Timor-Timur itu, ternyata sama seperti bosnya. Sama-sama logis dalam berpikir. Hasilnya, lahirlah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini, kalau Pak Kapolri tahu, bukan sekadar menjadi benteng kehidupanpers. Tetapi merupakan karya kemanusiaan dua pria logis yang mengerti tentang hakikat peradaban yang disumbangkan pers. Tak ada faedahnya itu pers, kalau tak ada kebebasan mencari dan menyebarkan informasi. Tak ada kebebasan mencari dan menyebarkan informasi, kalau tak ada kebebasan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat. Apapun pendapat yang disampaikan itu. Tak akan ada juga penyebaran informasi, bila sarana penyebarannya dikangkangi. Tak ada pers, sama dengan tak ada pengawasan terhadap penguasa. Makanya, pers oleh masyarakat demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di muka bumi ini disebut “the four of state democration”. Pers sebagai pilir demokrasi keempat setelah Eksekutiv, Legilativ dan Yudikatif. Sehingga salah satu tugas utama pers adalah mengontrol, mengoreksi dan mengawasi pelaksanaan pembangunan dan semua penyelenggara negara yang digaji dari pajak rakyat. Penguasa yang tak dikontrol oleh pers, sama dengan membiarkan penguasa menjadi tiran dan otoriter. Ketika penguasa menjadi tiran dan otoriter, maka kemanusiaan dan peradaban hancur total. Ketika peradaban hancur total, kemanusiaan kehilangan hakikatnya sebagai manusia. Pak Kapolri pasti tahu pers dan HAM itu penting? Ya sangat penting. Karena dua hal itu yang menjadi alasan utama tiga belas negara bagian tidak mau meratifikasi UUD Amerika Serikat, yang sudah selesai dibuat di Philadelphia Convention 31 Mei 1787. Apa persisnya alasan tiga belas negara bagian itu? UUD yang mau diratifikasi itu tidak memuat atau tidak mengatur ketentuan mengenai pers dan HAM. Itu persisnya alasan utama dilaksanakan amandement pertama UUD Amerika Serikat pada tahun 1791. Empat tahun kemudian. Poin penting dari amandemen pertama UUD Amerika Serikat adalah “Kongres dan Presiden Amerika dilarang membuat rancangan Undang-Undang yang membatasi kebebasan pers”. Masih dalam tataran berfikir untuk membuat rancangan undang-undang saja tidak boleh. Sudah dilarang oleh UUD Amerika. Apalagi sampai menjadi menjadi rancangan undang-undang. Begitulah pentingnya memberikan kebebasan kepada masyarakat pers untuk mengawasi penyelenggara negara. Amendement ini digambarkan Elizabeth Zoller, Profesor of Public Law University Paris II, Visiting Profesor of Law Indiana University Maurer Scholl of Law sebagai “freedom of expression.” Memang amendement ini tidak persis menulis freedom expression. Yang ditulis dalam text itu adalah “freedeom of speech and freedom of press”. Tetapi kedua teks ini tidak punya arti lainnya, apapun itu, selain “freedom of expression”. Wajar rakyat dan pers menyambutnya sebagai mahkota mereka. Pengaturan itu, dalam hakikatnya, menegaskan kedaulatan berada ditangan rakyat. Bukan di tangan pemerintah atau penguasa, apapun jenis kekuasaan itu, Kata Michael Gybson, Asisten Profesor of Law, Oclahoma City University, rakyat America memiliki pendapat yang bersifat postulatif tentang kedaulatan. Ketika kedaulatan, tulisnya, diletakan pada mereka, bukan pada pemerintah, maka mereka terhindar dari tindakan represif pemerintah. Memang sejarah hukum Amerika menceritakan pemerintahan John Adam, Presiden kedua Amerika, membuat Sedition Act 1798, juga Alien Act 1798. Kedua UU menyangkal kebebasan menyampaikan pendapat, yang kebebasan berekspresi, dengan cara menyebarkan tulisan, pamphlet dan karikatur. Tetapi rakyat Amerika segera tahu bahwa kedua UU binasa. Itu benar-benar sangat parsial. UU dijadikan instrument politik kaum federalis, yang dipimp oleh John Adam untuik dua kepentingan. Pertma memastikan dominasi kaum federalis. Kedua untuk memastikan kemenangan John Adam terpilih kembali pada pemilu berikutnya 1801. Menelan korban tidak kurang dari delapan orang. Tetapi UU itu segera menemui akhir yang pahit. Thomas Jefferson dari gabungan Demokrat-Republik memenangkan pemilu presiden. Jefferson tampil menjadi presiden Amerika yang ketiga, segera mencabut UU tersebut. Bahkan orang-orang yang telah dihukum, diberi grasi. Ini sangat top dan berkelas. Begitulah kalau menjadi negarawan. Fortunately, Indonesia punya pasal 28F UUD 1945. Isi selengkapnya “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Buynyi pasal 26F UUD 1945 sangat jelas dan terang. Tidak butuh ahli bahasa untuk ditafsirkan lagi. Sebab Hanya dalam sistem politik totaliter, tirani, fasis dan otoriter saja, yang menempatkan kemauan penguasa lebih tinggi dari UUD. Pada semua negara demokrasi dan Republik, UUD disepakti untuk dijadikan panduan hukum tertinggi, supreme law of the republic. Terkait Maklumat Kapolri? Inilah soalnya? Apa itu soalnya? Apa Maklumat itu bukan satu bentuk hukum di antara beberapa bentuk hukum yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan? Jelas tidak. UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pun tidak mengatur Maklumat Kapolri sebagai bentuk hukum formil, atau tindakan pemerintahan yang diberi bentuk sebagai hukum. Sama sekali tidak. Mengapa soal ini harus didiskusikan? Angka 2 huruf d Maklumat ini mengatur agar “masyarakat tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI, baik melalui website maupun media sosial. Untuk alasan apapun, pasal ini membatasi hak setiap warga negara yang telah diatur dalam UUD 1945. Inilah masalahnya. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 jelas isinya. Isinya adalah “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis. Kalau anak-anak mileneal diminta memberi makna atas teks pasal 28J UUD 1945 diatas, mungkin saja mereka akan bilang begini, “pembatasan hak asasi manusia harus dengan undang-undang bro”. Tidak bisa pakai peraturan di luar undang-undag bro. Jadi, jelas Maklumat Kapolri itu bukan hukum. Kalaupun hendak disamakan dengan tindakan pemerintahan, maka yang paling mungkin dianalogikan adalah instruksi, yang sifatnya hanya ke dalam internal. Hanya ditujukan kepada pejabat atau pegawai di lingkungan organisasi pemerintahan itu. Itu bisa diterima akal. Kalau di luar internal, itu bisa ngaco, ngawur dan amburadul tata kelola negara ini. Oleh karena sifatnya instruksi. Sehingga tidak lain merupakan kebijakan tata usaha negara untuk hal dilingkungan organisasi pemerintahan itu, maka isinya tidak boleh menangguhkan hak-hak orang lain atau warga negara di luar institusi ini. Apalagi yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang telah secara nyata diatur dalam UUD 1945. Di atas semuanya, protes masyarakat pers itu, harus diakui sangat beralasan secara akal sehat. Juga sa sangat logis dan bermartabat. Protes ini sesuai dengan pasal 28F UUD 1945. Menjadi sangat hebat sekali bila Pak Idham Azis berbesar hati untuk mencabut Maklumt Kapolri tersebut sebelum mengakhiri jabatan sebagai Kapolri dalam beberapa hari ke depan.