ALL CATEGORY
Pembubaran FPI, “Memperkosa” Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul (2)
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Jumat (01/21). Menurut Panglima Laskar Pembela Islam (LPI) Maman Suryadi Abdurrahman bahwa jumlah anggota FPI saat ini mencapai lebih dari satu juta orang. Maman juga memastikan bahwa FPI tidak dalam tujuan mendorong Indonesia berpaham khilafah. Mereka bahkan memasang bendera merah-putih dalam seragam untuk memastikan tidak anti NKRI. “Tujuan kami adalah menjadikan Indonesia, di mana Islam adalah agama mayoritas rakyat, menjadi religius dan bersih dari amoralitas,” kata Abdurrahman. “Kami menginginkan negara Islami, bukan negara Islam, karena negara yang religius akan mencegah negara dari menderita ketidakadilan sosial,” sambungnya. Pemahaman seperti ini tampaknya sudah bisa diterima Presiden Donald Trump. Atensi media AS tersebut setidaknya menggambarkan sikap politik Pemerintahan Donald Trump. Pujian The Washington Post atas kiprah FPI terkait bantuan ketika ada bencana alam tentu sangat menarik untuk dikaji. Pasalnya, selama ini sejak kampanye Pilpres AS lalu, Trump dikenal dengan kebijakannya “anti” Islam, sampai membatasi orang Islam yang mau masuk AS. Pujian The Washington Post atas kiprah FPI bisa mewakili sikap Pemerintah AS. Tapi, sayangnya di dalam negeri, sikap Presiden Jokowi bertolak belakang dengan Presiden Trump. Presiden Jokowi sepertinya mengikuti arus deras desakan Pembubaran FPI. Jika ini terjadi, dan akhirnya benar-benar terealisasi, diperkirakan bakal ada perlawanan dari FPI dan simpatisannya. Secara yuridis, sebenarnya ada ketegasan hukum berdasarkan Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 bahwa sebagai bagian dari kebebasan berserikat menurut UUD 1945, maka Ormas bisa mendaftarkan kepada instansi yang berwenang dan bisa juga tak mendaftarkan izinnya. Tetapi negara tidak dapat menyatakannya sebagai organisasi terlarang dan juga tidak boleh melarang ormas untuk melakukan kegiatannya, “Sepanjang kegiatannya tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum,” lanjut Sugito. Dari sini jelas bahwa FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya sebagaimana pernyataan Presiden Jokowi. FPI sebagai ormas tetap saja bisa menjalankan kegiatannya. Dengan demikian tak ada kandungan makna dari tekanan pihak yang tidak senang untuk mendorong pembubaran FPI. Pasalnya bahwa tidak ada alasan yuridis yang kuat dari pemerintah untuk membubarkannya sebagaimana pemerintah membubarkan PKI. Dalam konteks FPI bahwa alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu? “Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab,” tegas Sugito. Pernyataan Presiden dengan jelas menyatakan, FPI dapat saja dibubarkan, jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, Pancasila serta memiliki kecenderungan mengancam keamanan NKRI. Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung Presiden Jokowi. Makanya, massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, Pan Islamisme, radikalisme, dan seterusnya. Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya. Izin FPI pun kemudian tak diperpanjang lagi sebagai langkah awal. Itulah sebabnya dalam wawancara dengan Associatte Press (AP), Jokowi dengan lugas menyebut bahwa FPI dapat saja dibubarkan. Suatu keadaan yang tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habib Rizieq Shihab yang saat itu berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Semua itu memperkuat keyakinan bahwa adanya desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan. Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya. Kita juga memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha “underground “, bawah tanah, dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini. “Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) dengan FPI. Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI,” tegas Sugito. Mereka menganggap bahwa intensitas kerja FPI ini mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu. Celakanya kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut. FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI. Dalam tudingan yang lebih serius mencapai klimaksnya hari-hari terakhir ini, khususnya pasca Pilpres 2019 dalam mana Jokowi melanjutkan ambisi dua periode kekuasaannya di singgasana kursi presiden. Menurut Sugito, FPI yang dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo Subianto – Sandiaga Uno pada Pilpres 2019, kian tersudutkan tidak ubahnya parpol-parpol Koalisi Adil Makmur. Situasi ini kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyerukan pembubaran FPI dengan alasan, dalam AD FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa. Luar biasa rasa kebencian yang dibangun dalam alam sadar penentang FPI yang melakukan provokasi meski mengalami kebutaan literasi. Pengusung kebencian yang memprovokasi pembubaran FPI tidak memahami latar belakang hadirnya FPI sebagai Ormas Islam yang inklusif (terbuka). FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan, memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problem kemanusiaan dengan pendekatan Keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam. Mereka tak menyadari bahwa FPI didirikan oleh para haba’ib, ulama, muballigh serta aktivis muslim dan umat Islam serta dipelopori oleh Muhammad Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di Ponpes Al-Umm Ciputat. Misi utamanya pada waktu itu adalah mengumandangkan reformasi moral dengan memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memberikan kontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini. Di mana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief). Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir. Sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, Presiden harus kaji lagi. Sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI. Hal ini menjadi niscaya karena jika dilakukan cuma atas dasar ketidaksukaan bisa berdampak atas pemasungan hak sipil konstitusional warga negara, serta menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan rakyat untuk berserikat dan berkumpul. Pembubaran FPI oleh 6 pejabat Pemerintah itu bisa dianggap “mengebiri” kebebasan rakyat yang bertentangan dengan UUD 1945. Jelas, Pemerintah telah “memperkosa” UUD 1945. selesai. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Hanya Ada Dua Macam: Hukum Kosmetik dan Hukum Rimba
by Asyari Usman Medan FNN - Kamis (31/12). Sejak kemarin (30/12/2020) banyak sekali tulisan, cuitan, status, dlsb, yang intinya menilai pembubaran FPI sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Tidak sesuai dengan prinsip “due process of law”. Pembubaran itu tidak mematuhi hukum. Alias, sewenang-wenang. Begitu penilaian banyak orang. Sebetulnya, respon masyarakat terhadap pembubaran FPI lewat SKB 6 menteri, sangat bagus sekali. Publik masih menerikakkan mana proses hukum? Kenapa penguasa bertindak sesuka hati? Masyarakat bilang, Pemerintah melanggar UU ini dan itu. Pemerintah zalim, dst. Ini menunjukkan bahwa warga negara Indonesia ini, khususnya pihak yang terlindas kesewenangan, masih berpegang teguh pada hukum. Masih taat hukum. Memang seperti itulah seharusnya. Luar biasa orang Indonesia. Ketika penguasa mengumumkan pembubaran FPI, spontan khalayak bertanya: mana proses hukumnya? Artinya, masyarakat ingin agar semua tindakan penguasa memiliki landasan hukum. Bersyukurlah kita bahwa rakyat masih tetap menghormati hukum. Cuma, yang perlu diingat ialah bahwa respon yang taat hukum, untuk saat ini, kelihatannya salah alamat. Reaksi yang bagus itu seharusnya ditujukan kepada para penguasa yang menjunjung tinggi asas taat hukum juga. Di situ kekeliruannya. Anda menyangka pengelolaan negara ini sudah sesuai dengan hukum yang disusun dan disetujui oleh rakyat. Padahal, mereka menggunakan hukum yang mereka buat sendiri, yaitu hukum yang lahir dari kesewenangan. Kalau pun mereka ada menyebutkan UU yang jadikan landasan, itu semua mereka perlakukan seperti kosmetik di wajah. Sebagai dandanan saja. Tentu Anda tahu kosmetik itu bisa dihapus, ditipiskan, ditebalkan, diukir, dicampur, dlsb. Inilah hukum kosmetik. Merah di bawah mata, biru muda di atas alis, tebal di bagian borok, tipis di bagian hidung. Jadi, teriakan-teriakan tentang penguasa melanggar hukum, pastilah terdengar aneh di telinga mereka. Sebab, mereka merasa apa saja yang mereka lakukan itu sudah sesuai dengan hukum kosmetik. Selain hukum kosmetik, ada lagi hukum rimba. Titah para penguasa menjadi putusan tertinggi yang harus dilaksanakan. Sebagai ‘rule of law’. Kalau penguasa ingin supaya sebuah organisasi diberangus, atau mereka ingin agar seseorang maupun kelompok orang dilenyapkan, maka keinginan itu langsung menjadi pasal-pasal hukum yang wajib diegakkan. Kalau para penguasa ingin agar orang ini dan orang itu masuk penjara, walau tak punya landasan hukum, maka akan dicarikan pasal-pasal yang bisa menjerat orang itu. Tidak ada protes. Tidak ada pembelaan yang diterima. Yang berlaku adalah aturan di hutan rimba. Begitulah hari ini. Hanya ada dua hukum: yaitu hukum kosmetik dan hukum rimba.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Catatan Akhir Tahun, Tak Ada Yang Berubah
by Dr. Ahmad Yani, SH. MH. Jakarta FNN – Kamis (31/12). Kita sudah di penghujung tahun 2020 dalam hitungan Masehi dan Fajar 2021 akan segera menyingsing. Bagi orang yang beriman dan berakal dalam beberapa kesempatan dan waktu, hendaklah berhenti sejenak untuk muhasabah atau menghitung-hitung diri dan amal yang telah dilakukan pada hari-hari yang lalu. Kemudian berusaha memperkuat keinginan untuk dapat memperbaiki dan menambah amal kebaikan untuk bekal hari esok. Pada hari kemarin (Sepanjang 2020) kita banyak menghadapi cobaan-cobaan yang sedemikian dahsyat. Kita berhadapan dengan Covid-19, suatu penyakit yang telah merenggut nyawa lebih dari 21 ribu manusia Indonesia. Wabah ini tidak hanya menyerang kesehatan kita. Tetapi juga menyerang ekonomi dan semua kehidupan kita. Dan yang paling terasa akibat Wabah ini adalah ekonomi rakyat. Covid-19 telah melumpuhkan aktivitas ekonomi. Membawa Indonesia pada jurang resesi dan krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang demikian itu membawa dampak sosial. Sebab dalam situasi krisis, frustasi dan kelaparan akan terus menghantui kehidupan masyarakat. PBB bahkan sudah mengingatkan bahwa krisis ini telah membunuh sekitar 10.000 anak per bulan karena pasokan makanan yang terputus antara pertanian-pasar dan desa-desa yang terisolasi dari bantuan makanan dan medis. Dan sekitar 7 juta orang meninggal karena kelaparan di seluruh dunia. Indonesia baru-baru ini terjadi di Nias Sumatera Utara. Seorang Ibu tega membunuh tiga orang anaknya akibat himpitan ekonomi. Pembunuhan sadis itu menjadi cerminan bagi kita. Kalau seseorang terhimpit ekonomi, lebih bersedia menanggung hukuman daripada menanggung derita himpitan ekonomi. Setelah 75 tahun merdeka, ternyata persoalan itu menjadi persoalan pelik. Janji kesejahteraan nampaknya kehilangan peta jalan. Rakyat masih saja dengan kasus lama, yaitu menghadapi getirnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Negara seakan tak mampu memberikan jawaban konkrit atas desakan keadaan masyarakat yang semakin kritis. Demikian pula kekuasaan. Meski telah banyak kekuasaan jatuh bangun, namun masalahnya tetap sama, rakyat masih tidak mendapatkan janji kemerdekaan itu. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Namun perubahan menuju indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur hanya menjadi slogan semata. Apa Problemnya? Sepanjang periodesasi kekuasaan semenjak Soekarno hingga Jokowi sekarang ini, bangsa ini hanya disibukkan dengan perebutan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Masyarakat dipecah belah untuk saling membenci demi memenuhi hasrat kekuasaan. Nafsu kekuasaan yang berlebihan membuat ingatan masa lalu terus hidup. Pertengkaran demi pertengkaran terus diproduksi. Para penguasa merasa senang dengan semua itu, untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka lahirlah polarisasi dalam masyarakat dan permusuhan antar bangsa. Sementara persoalan ketidakadilan, korupsi, hutang, gempuran tenaga kerja asing, kekerasan aparat, tidak pernah jeda sedikitpun. Upaya untuk mencari jalan keluar dari semua problem itu sangat kecil. Malah justru memperlebar kekuasaan untuk menangkal protes publik dari segala permasalah itu. Problem Utama Masalah mendasar yang membuat bangsa ini sulit mencapai kemajuan sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi atau politik saja. Tetapi yang paling mendasar adalah masalah ketidakadilan. Inilah hulu yang menyebabkan kesengsaraan sosial dan kesengsaraan ekonomi, kesengsaraan hukum, kesengsaraan moral dan kesengsaraan lainnya yang dirasakan bangsa ini. Terjadi kesenjangan sosial yang tak kunjung teratasi antara kelompok kaya dengan miskin. Bidang ekonomi, kehidupan dirasakan semakin berat. Bidang hukum, kesengsaraan akibat hukum tumpul ke golongan yang kuat dan tajam ke yang lemah. Efeknya HAM tidak dihiraukan. Betapa mudahnya mengeksekusi mati manusia tanpa pengadilan, menangkap dan memenjarakan pikiran manusia. Berbagai bidang kerusakan inilah yang disebut kerusakan moral. Kehidupan bangsa hampir tanpa rujukan moral. Kita seperti bangsa yang tak memiliki moral. Ketergantungan pada bangsa asing. Hutang yang sudah menumpuk dan pengepungan bangsa asing melalui tenaga kerja Asing tak dapat diatasi lagi. Ketidakadilan ini terasa sangat menyengat. Dari tahun ke tahun, penguasaan ribuan hektare lahan oleh segelintir orang. Sayangnya, selama itu pula belum ada solusi yang bisa memenuhi rasa keadilan bagi rakyat banyak. Masalahnya masih sama, yaitu ketidakadilan sosial. Apakah kita masih menjunjung tinggi negara Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara? Kalau memang kita masih berpegang pada Pancasila, kenapa keadilan sosial masih yatim-piatu? Korupsi Yang Masih Akut Penyebab lain adalah korupsi yang masih akut. Kasus suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Politisi Harun Masiku, yang sampai saat ini belum diketahui dimana rimbanya. Kasus itu belum terungkap dengan jelas, karena dana diduga mengalir ke petinggi partai politik tertentu. Lebih mencengangkan dalam satu bulan dua orang menteri ditangkap KPK karena Korupsi. Lebih mengiriskan hati kita semua, terjadi korupsi bantuan sosial ditengah rakyat yang teriak kelaparan. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Menurut Majalah Tempo, korupsi dana bansos itu mengalir ke partai tertentu, dan orang-orang yang berhubungan dengan kekuasaan. Ketika rakyat terbebani dengan bencana, masih saja ada oknum yang tak bermoral terus melakukan upaya untuk meraup keuntungan sendiri demi memenuhi ambisinya. Kekerasan Negara Guna melindungi kekuasaan dari protes akibat ketidakadilan dan korupsi, maka digunakan cara-cara kekerasan. Ada kekerasan sosial, kekerasan ekonomi, kekerasan politik dan kekerasan hukum. Masyarakat yang paling bawah mengalami kekerasan itu secara simultan. Berbagai kasus kekerasan sosial telah dan sedang terjadi, menghantam aktivis lingkungan, aktivis politik dan aktivis HAM. Salah satunya adalah kematian 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI) dapat dianggap sebagai kekerasan negara terhadap warga negara. Penembakan yang terjadi di kilometer 50 itu, sampai hari ini belum menemukan titik terang. Kenapa mereka dibunuh? Jawaban yang dapat kita duga adalah keterlibatan negara dalam kekerasan tersebut. Setelah "anak buahnya" ditembak mati, pimpinan FPI HRS ditangkap dengan tuduhan menghasut kerumunan. Pesantren FPI di Megamendung Bogor ingin diambil negara dengan alasan penguasaan tanah secara ilegal. Padahal menurut pengakuan FPI tanah itu sudah dibeli dari masyarakat. Mirisnya, ketika lahan dikuasai oleh korporasi besar yang jumlahnya mencapai 80%, namun hanya bangunan pesantren yang dipersoalkan. Ini ketidakadilan yang terang benderang. Yang lebih mencengangkan dipenghujung tahun 2020 tepatnya 30 Desember 2020 pemerintah mengambil keputusan yang akan sulit dilupakan dalam ingatan oleh 7 juta orang anggota FPI dan Jutaan masyarakat Indonesia baik yang simpatisan maupun yang menginginkan tegaknya rule of law dan keadilan. Yaitu mengeluarkan larangan berkegiatan bagi Front Pembela Islam (FPI). Ada tiga alasan pembubaran FPI versi pemerintah. Pertama, adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, isi anggaran dasar FPI dinyatakan bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Ormas. Ketiga, Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas berlaku sampai 20 Juni 2019 dan sampai saat ini belum memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT. Karena itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 Front Pembela Islam dianggap bubar. Padahal dalam Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Oleh karena itu peristiwa pembubaran FPI dapat dianggap sebagai kekerasan negara, karena tidak menggunakan prosedur hukum yang berlaku. Kekerasan negara juga terjadi ketika mahasiswa dan aktivis melakukan protes massal. Tak jarang terjadi kekerasan dari aparat. Kekerasan pada saat penolakan Undang-undang Omnibus Law, kekerasan ketika penolakan Revisi UU KPK yang menyebabkan 2 orang meninggal dunia di kendari. Begitu juga kekerasan terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap represifnya kekuasaan akibat penggusuran dan penguasaan lahan oleh korporasi besar. Pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan tidak pro rakyat kecil memompa protes rakyat diberbagai wilayah. Krisis dan Utang Kita sudah mengalami krisis ekonomi. Pemerintah telah mengumumkan bahwa Indonesia telah masuk ke jurang resesi ekonomi. Dampak dari resesi ini akan menyebabkan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan semakin melebar. Sementara itu, utang negara sudah mencapai Rp 6. 000 triliun. Hutang yang terus meningkat itu menurut Rizal Ramli akan memperparah kondisi perekonimian nasional. Karena uang hasil utang dipergunakan untuk membayar hutang. Setelah utang terus meningkat, justru pertumbuhan ekonomi turun. Berarti ada masalah pada penggunaan dana yang berasal dari utang. Ada ketidakefektifan dalam menggunakan hutang itu. Menurut ekonom Faisal Basri, Pemerintahan Jokowi terlalu boros menggunakan hutang. Hingga Jusuf Kalla mengatakan Indonesia menggunakan hutang untuk bayar hutang. Sulitnya Indonesia keluar dari jebakan hutan dan krisis memperpanjang dan memperlebar kemiskinan dalam negeri. Hingga sampai saat ini kesenjangan dan kemiskinan masih menjadi problem utama. Melihat Indonesia 2021 Yang terekam di tahun 2020 adalah masalah dan masalah saja. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik dan hukum yang terasa tidak adil. Lalu Seperti apa kita memprediksi keadaan 2021? Semua problem yang terjadi selama tahun 2020 belum teratasi. belum ada yang dituntaskan satu pun. Kita dapat lihat bahwa Tahun 2021, Indonesia tidak akan banyak yang berubah. Masih berkutat pada masalah krisis ekonomi yang diprediksi akan semakin memburuk di tahun 2021. Masalah pelanggaran HAM, masalah polarisasi di tengah masyarakat, dan masalah kesenjangan lainnya. Diperparah lagi dengan Covid-19 belum kunjung di atasi, bahkan keadaannya makin tak menentu. Sementara masyarakat banyak yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat virus ini. Menurut saya, 2021 hanya akan berubah apabila ada suksesi nasional. Ada perubahan penting yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karena selama pemerintah masih mementingkan kekuasaan ketimbang keselamatan dan kesejahteraan negara, selama itu pula perubahan tidak akan pernah datang. Sebagai orang yang beriman, perubahan itu niscaya. Siapa yang lebih baik dari hari kemarin adalah mereka yang beruntung. Tetapi apabila ia masih sama seperti hari kemarin maka ia merugi. Semoga kita bukan orang yang rugi itu. Wallahu Alam bisshawab. Penulis adalah Dosen FH, Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Advokat.
FPI Dibubarkan, Mati Satu Tumbuh Seribu
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Kamis (31/12). Rezim Jokowi kembali menunjukkan sikap otoriternya. Setelah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017, Jokowi kembali membubarkan Ormas Islam Front Pembela Islam (FPI), Rabu 30 Desember 2020. Bahkan pembubaran FPI didahului dengan pembunuhan terhadap enam orang laskar FPI yang mengawal perjalanan Habib Rizieq Shihab pada Senin dinihari (7/12). Setelah membunuh dengan keji enam orang syuhada, beberapa hari kemudian aparat kepolisian menahan Habib Rizieq di Polda Metro Jaya. Setelah itu berbagai tuduhan dan gugatan kepada Habib Rizieq dan FPI datang silih berganti. Kasus lama yang sudah di SP-3 pun dibuka kembali. Kasus chat sex yang dituduhkan ke Habib Rizieq, sengaja dihidupkan kembali oleh pengacara yang ingin namanya terkenal yakni Febriyanto Dunggio. Beliaulah yang menggugat dikeluarkannya SP3 tersebut. Tidak hanya itu, lahan seluas 30 hektar lebih di Kawasan Megamendung yang telah dibeli Habib Rizieq dari para petani yang telah menggarap lahan disana puluhan tàhun, tiba-tiba sekarang mau diambil alih oleh PTPN VIII. Terhadap kasus lahan yang sekarang dijadikan pesantren Megamendung maupun tentang pembubaran FPI, Habib Rizieq telah memberikan pernyataan secara terbuka kepada publik sebelum beliau ditahan. Habib seolah sudah mengetahui dengan apa yang hendak dilakukan rezim Jokowi kepada dirinya dan FPI. Tidak Ambil Pusing Habib Rizieq sudah sejak lama menyatakan dirinya tidak ambil pusing jika sampai FPI dibubarkan. Pernyataan tersebut disampaikan Habib jauh sebelum dia pergi ke Arab Saudi tiga setengah tahun lalu. Video tersebut kembali viral di media sosial beberapa jam setelah pemerintah mengumumkan Pembubaran FPI, Rabu siang (30/12). Sebelum rezim Jokowi membubarkan FPI, Habib Rizieq sudah lama mencium adanya gerakan yang ingin membubarkan ormas yang dipimpinnya itu. "Apa kerugian yang akan dialami bangsa Indonesia seandainya FPI sampai dibubarkan ? Secara pribadi kalau FPI dibubarkan tidak ada masalah. Kalau hari ini Front Pembela Islam dibubarkan, maka besok akan saya bikin Front Pecinta Islam. Dengan singkatan yang sama, pengurus yang sama, gerakan yang sama dan wajah yang sama pula, kan UU tidak melarang. Jadi saya tidak pernah pusing dengan pembubaran," tegas Habib Rizieq. Nanti kalau Front Pecinta Islam juga dibubarkan, lanjut Habib, maka akan saya bentuk Front Penyelamat Islam. "Jadi mengapa pusing-pusing, saya tidak pernah pusing mengenai pembubaran ini, tidur saya tetap nyenyak," kata Habib dalam tayangan video itu. Habib menegaskan, ada FPI atau tidak ada FPI amar makruf nahi mungkar tetap wajib dijalankan. Ada FPI atau tidak ada FPI, perjuangan para kader FPI yang ada dimana saja tetap berjalan. Dia menegaskan bahwa dirinya dan kawan-kawan di FPI tidak pernah menjadikan FPI sebagai tujuan perjuangan. Dalam berbagai kesempatan, Habib selalu mengingatkan, FPI cuma kendaraan (wasilah). Jadi kalau kendaraan (FPI) ini rusak ditengah jalan atau dibakar orang atau dicuri orang atau kendaraan terbalik dan tidak bisa dipakai lagi, tinggal diganti dengan kendaraan yang lain. "Tujuan (ghoyah) kita hanya mencari ridha Allah, tujuan kita Li’ilai Kalimatillah Subhanahu Wa Ta’ala (Meninggikan kalimat Allah). Jadi bukan tujuan kita mencitrakan FPI, membaguskan FPI, membesarkan FPI. Itu hanya proses perjuangan, tujuannya Li’ilai Kalimatillah Subhanahu Wa Ta’ala," kata Habib Rizieq. Beliau melihat pembubaran FPI merupakan gerakan sistimatis yang dilakukan musuh-musuh Islam. Diakui bahwa yang concern terhadap Amar Ma’ruf Nahi Mungkar terhadap penegakan keadilan melawan kedholiman, bukan hanya urusan FPI tetapi juga merupakan kepentingan umat Islam. Oleh karena itu keputusan pemerintah membubarkan FPI kemungkinan akan dijadikan proyek percontohan untuk memberangus ormas lain yang juga lantang melawan setiap praktek kedzoliman di negeri ini. Dengan begitu, nanti masyarakat jadi takut melawan praktek kemungkaran seperti korupsi, narkoba, perjudian, LGBT, dan lainnya. Di satu sisi, pembubaran ormas Islam bisa melemahkan semangat juang umat Islam Indonesia. Namun sebaliknya, disisi lain pembubaran tersebut juga akan semakin mengokohkan persatuan Umat Islam Indonesia. Hilang satu tumbuh seribu. Terbukti setelah FPi dibubarkan pemerintah, di hari yang sama langsung terbentuk Front Persatuan Islam (baca FPI Baru). Nah, FPI Baru diinisiasi oleh Munarman dan sejumlah pengurus FPI lainnya. Deklarasi Front Persatuan Islam ini dilakukan setelah Front Pembela Islam resmi dilarang pemerintah. Menanggapi lahirnya Ormas baru tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD membolehkannya. "Boleh," kata Mahfud lewat pesan singkat kepada portal berita Detik, Kamis (31/12/2020). Jawaban Mahfud ini disampaikan untuk menanggapi pertanyaan apakah deklarasi Front Persatuan Islam oleh Munarman dkk diperbolehkan setelah Front Pembela Islam dilarang oleh pemerintah. Bahkan logo dan mars Front Persatuan Islam hasil kreasi anak-anak milenial sudah menyebar luas di sejumlah grup-grup WA. Meskipun logo resmi belum ada, tetapi mars dan logo FPI Baru tersebut mendapat apresiasi dari warganet karena dinilai sangat kreatif dan membumi. "Logo resmi belum ada. Sedangkan logo dan mars FPI Baru yang muncul adalah kreasi dari umat. Ngga apa-àpa bagus untuk bikin ramai," kata seorang laskar di Petamburan Jakarta. Pernyataan resmi FPI Baru yang pertama dirilis Rabu kemarin antara lain menyebutkan, pembubaran ormas maupun parpol sudah pernah terjadi pada era nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) di zaman Orde Lama dibawah Presiden Soekarno. Pada era Nasakom tersebut, sasaran pembubaran juga adalah Ormas dan Parpol yang menentang terhadap Rezim Nasakom, terutama Ormas dan Parpol Islam. "Jadi pelarangan Front Pembela Islam (FPI) saat ini adalah merupakan De Javu alias pengulangan dari Rezim Nasakom yang lalu," demikian bunyi rilis yang dikeluarkan FPI Baru. Pembubaran FPI melalui keputusan bersama enam Instansi Pemerintah, juga dianggap sebagai bentuk pengalihan isu dan obstruction of justice (penghalang-halangan pencarian keadilan) terhadap peristiwa pembunuhan 6 anggota FPI dan bentuk kedzaliman yang nyata terhadap rakyat sendiri. Pembubaran FPI merupakan bentuk pelanggaran terhadap Konstitusi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa hak berserikat adalah Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat. Munarman dan deklarator lainnya menghimbau kepada seluruh pengurus, anggota dan simpatisan Front Pembela Islam di seluruh Indonesia dan mancanegara, untuk menghindari hal-hal yang tidak penting dan benturan dengan rezim dzalim. Untuk itu kemudian dideklarasikan Front Persatuan Islam. Ormas.baru ini dibentuk untuk melanjutkan perjuangan membela Agama, Bangsa, dan Negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sekarang Ormas baru sudah terbentuk dengan visi, misi dan kegiatan yang sama dengan FPI yang sudah dibubarkan pemerintah. Selanjutnya kembali fokus menuntaskan penyelidikan dan pengungkapan terhadap kasus pembunuhan enam orang syuhada. Akankah Komnas HAM mampu mengungkap otak dibalik kasus pembunuhan keji tersebut ? Kita lihat saja nanti. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pembubaran FPI: “Memperkosa” Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul! (1)
By Mochamad Toha Surabaya FNN - Kamis (31/12). Organisasi Massa dibentuk sesungguhnya sebagai wadah berkumpul demi mencapai suatu tujuan bersama anggotanya, sebagai pengejewantahan kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945. Pasal 28 UUD 1945 menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut tetap harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak bertujuan untuk merusak tatanan bangsa apalagi kehendak melakukan aktivitas yang mengarah kepada disintegrasi bangsa dan tindakan terorisme. Karena itu, munculnya SKB pembubaran Front Pembela Islam (FPI) patut dipertanyakan apa landasannya. Pemerintah harus memberikan bukti-bukti nyata “pelanggaran yang meresahkan masyarakat” seperti apa yang menjadi landasan pembubaran FPI. Ini harus dilakukan Pemerintah agar tidak muncul anggapan, Pemerintah telah memberikan kebijakan yang sewenang-wenang. Tak hanya kepada FPI, tetapi juga kepada seluruh ormas di Indonesia. Pasalnya, dari pengamatan di lapangan, sejak Peristiwa Monas, FPI berubah menjadi ormas yang dicintai masyarakat karena aktivitas sosialnya. Tapi, karena belakangan ini FPI berani “berseberangan” sikap/kebijakan dengan Pemerintah, FPI dianggap “kontra” Pemerintah. Sehingga muncullah SKB tersebut. “Tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI)”. Kesatu: Menyatakan Front Pembela Islam adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga secara de jure telah bubar sebagai Organisasi Kemasyarakatan. Kedua: Front Pembela Islam sebagai Organisasi Kemasyarakatan yang secara de jure telah bubar, pada kenyataannya masih terus melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketenteraman, ketertiban umum dan bertentangan dengan hukum. Ketiga: Melarang dilakukannya kegiatan, penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat: Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diuraikan dalam diktum ketiga di atas, Aparat Penegak Hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh Front Pembela Islam. Pembubaran FPI yang diumumkan Menko Polhukam Mahfud MD pada Rabu, 30 Desember 2020, sama halnya saat Menko Polhukam dijabat Wiranto ketika membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Senin, 8 Mei 2017. HTI merupakan badan hukum yang tercatat di Kemenkum HAM sejak 2 Juli 2014. Setdaknya, ada tiga alasan yang disampaikan pemerintah untuk menindak HTI. Yakni: Pertama, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, aktivitasnya menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI. Upaya pemerintah mengambil langkah hukum membubarkan HTI dengan alasan indikasi HTI bertentangan dengan UUD 1945 menjadi kontradiktif terhadap jaminan perlindungan HAM dalam UUD 1945: Pasal 28 UUD 1945 jo Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3). “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pembubaran FPI ditandatangani 6 pejabat tinggi negara, yaitu: Mendagri Tito Karnavian, Menkum HAM Yasonna H. Laoly, Menkominfo Johnny G. Plate, Jaksa Agung Burhanuddin, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, Kepala BPPT Boy Rafli Amar. Isu rencana pembubaran FPI itu sudah mencuat sejak medio 2019. Saat itu di medsos terjadi perang tagar #BubarkanFPI versus #SaveFPI yang menandai adanya dua faksi di masyarakat yang terlibat friksi akut. Satu faksi gencar mendorong Presiden Joko Widodo untuk membubarkan Ormas Islam FPI. Satu faksilain menjadi simpatisan FPI dan bersikeras untuk menjaga eksistensi Ormas Islam ini agar terus menjalankan peran sosialnya di negeri ini sepanjang republik ini masih ada. Menurut Sugito Atmo Pawiro, seorang kuasa hukum Habieb Rizieq Shihab, pemerintahan Presiden Jokowi tidak sulit untuk membubarkan ormas semacam FPI tersebut. Habib Rizieq Shihab adalah pendiri FPI semasa Wiranto menjadi Panglima ABRI. Dengan Perppu Nomor 2/2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17/2013 tentang Ormas yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16/2017, membuka peluang bagi pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Pembubaran bisa dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut Surat Keterangan Terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017. Untuk sampai kepada level beleid ini, harus bisa dibuktikan lebih dahulu bahwa Ormas ini memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara. Sugito mengungkapkan bahwa fakta yang sebenarnya terjadi adalah Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan sudah habis masa berlakunya pada Kamis, 20 Juni 2019. Mendagri Tjahjo Kumolo saat itu sebenarnya masih menunggu persyaratan tertentu yang dilengkapi FPI sebagai syarat perpanjangan izin. Tapi, Presiden Jokowi menyatakan, kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai Ormas. Tampaknya rencana Presiden Jokowi untuk tidak memperpanjang izin FPI sebagai Ormas ini lebih bersifat politis semata. Padahal, kiprah sosial FPI sudah dilakukan di mana-mana dan terekam media mainstream maupun non-mainstream. Bahkan, media asing kelas dunia seperti The Washington Post sempat menulis kiprah FPI saat ada bencana. Tampaknya, Presiden AS Donald Trump tidak alergi lagi pada ormas FPI yang sering digambarkan sebagai “Ormas Radikal dan Intoleran”. Melansir Demokrasi.co.id, Kamis (13/6/2019), kiprah FPI dalam membantu korban bencana alam di Indonesia tidak bisa dianggap sepele. Front bentukan Habib Rizieq Shihab itu selalu terdepan dalam setiap penanganan bencana. Jurnalis Stephen Wright menulis dedikasi FPI tersebut dalam artikel berjudul When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help yang diunggah di The Washington Post, Selasa, 11 Juni 2019 lalu. Dia mengawali tulisan itu dengan menceritakan bendera FPI yang terpasang di rumah Anwar Ragaua, korban tsunami Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2018. Pria berusia 50 tahun itu menghiraukan perintah polisi untuk menurunkan bendera tersebut. Anwar adalah satu-satunya nelayan yang selamat saat tsunami melanda ibukota Sulteng, 28 September 2018 lalu. Anwar mengenang bahwa saat itu tidak ada polisi dan pemerintah yang membantu evakuasi di daerahnya. Sebaliknya, pihak pertama yang menawarkan harapan kepadanya adalah FPI. Bahkan, FPI turut menyerahkan kapal baru untuknya kembali melaut. Anwar tinggal di kampung nelayan di daerah terpencil yang sulit terjangkau. Itulah sebagian fakta yang ditulis Wright di The Whasington Post. Kehadiran FPI dalam tanggap bencana mulai dilakukan saat terjadi tsunami Aceh pada 2004. Tsunami ini menewaskan lebih dari 100 ribu orang di Serambi Mekkah itu. Terakhir, FPI juga turut berperan ikut mengevakuasi korban gempa dan tsunami Palu yang menewaskan lebih dari 4.000 jiwa. Mereka membantu pencarian korban, pendistribusian bantuan ke daerah pelosok, dan membangun perumahan sementara dan masjid baru. Wright menguraikan, sejak didirikan dua dekade lalu, FPI konsisten mendorong hukum Islam untuk mengatur kehidupan 230 juta muslim Indonesia. FPI menilai, ada kesalahan konstitusi di Indonesia yang mengubah negara menjadi lebih sekuler. Dalam tulisannya itu, Wright juga mencatat, FPI dibentuk di Jakarta oleh unsur-unsur militer Indonesia setelah jatuhnya diktator Suharto pada 1998 sebagai alat untuk menghadapi aktivis pro-demokrasi dan liberalisme. Menurut Putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo, sebaiknya semua nilai agama di negeri juga diajarkan sebagai upaya menegakkan hukum dan keadilan untuk melawan ketidak-adilan dan penindasan. Diajarkan pula untuk menegakkan hukum guna melindungi seluruh rakyat secara adil, serta keberanian untuk melawan, jika hukum digunakan menjadi alat segolongan penguasa yang munafik serta menindas. “Diajarkan juga untuk berpikir kritis, terbuka, jujur dan adil guna memupuk keberanian rakyat melawan faham otoritarianisme gaya baru, praktek jual beli hukum dan jabatan,” lanjut Ketum Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) ini. Diajarkan untuk menumbuhkan rasa saling menghormati, mengasihi sesama dan antar umat beragama untuk menumbuhkan keberanian melawan adu domba antar umat bergama yang didasarkan kecurigaan dan kebencian buta. Diajarkan pula bahwa untuk meningkatkan kesadaran berbangsa, bernegara dan ber-Pancasila guna melawan merebaknya penghianatan yang ingin menggiring negara ini jadi antek bangsa dan negara lain. Diajarkan untuk membentuk keberanian membela dan mendidik kaum pengusaha lemah bumiputera guna berani melawan kerakusan, liberalisme, dan anarkisme pengusaha kuat. Tentunya, pengusaha kuat yang ingin menguasai kehidupan negara ini yang dampaknya bisa menimbulkan ketimpangan, kecemburuan, keresahan dan ketegangan sosial. (Bersambung) Penulis wartawan senior FNN.co.id
Dari Chicago ke Moscow?
By Daniel Mohammad Rosyid Surabaya FNN - Kamis (32/12). Kemarin siang, didampingi beberapa profesor, Menkopolhukam Mahfud MD mengumumkan bahwa FPI telah bubar dan tidak memiliki lagi legal standing, Lalu melarang FPI untuk melakukan berbagai kegiatan yang membuatnya sebuah organisasi yang konon paling berbahaya di Republik ini. Hemat saya, ini upaya putus asa Pemerintah untuk menghentikan sebuah trajectory yg ditempuh rezim ini untuk membawa Republik ini ke jurang kehancuran. Kesalahan ditutup-tutupi dengan kesalahan yang makin besar. Ini sekaligus upaya untuk membelokkan perhatian masyarakat atas skandal pelanggaran HAM berat yg telah dilakukan oleh aparat kepolisian atas 6 laskar FPI baru-baru ini di Ibukota. Saat Wamenkumham Prof. Omar Sharif mengumumkan Surat Keputusan Bersama sekian Menteri dan Kepala lembaga negara dalam rangka menghentikan FPI, saya membaca upaya memindahkan fokus perhatian publik dari kasus Al Capone di Chicago ke Dr. Zhivago di Moscow. Dari kejahatan telanjang nyata ke fiksi roman. Seperti sinyalemen Yudi Latief beberapa waktu lalu, apakah arus besar kedunguan sedang mentsunami Republik ini, sehingga para profesor rela mempertaruhkan kredibilitasnya untuk mengingkari amanat konstitusi ? Sesi pengumuman kemarin siang adalah bukti terbaru maladministrasi publik di mana hukum diciptakan dan ditafsirkan semena-mena untuk kepentingan penguasa, bukan untuk kepentingan publik. Yang tahu plot licik ini adalah Munarman yang segera mendeklarasikan Front Persatuan Islam. Pada saat ormas Facebook beranggotakan 2 milyar lebih pengguna, organisasi di era internet ini semakin menjejaring, dengan struktur yang pipih, horizontal, dengan hubungan antar simpul yang sukarela, lentur, dan dinamis. Yang mengikat anggotanya cuma satu: kesetiaan pada visi yang sama. Persetan dengan legal standing. Penulis adalah Direktur Rosyid College of Arts.
Data Keliru Yang Dipakai Untuk Pembubaran FPI
Lebih fatal lagi nih Menkopolkam, jika saya kasih data hasil penelitian juga. Dari Kemenham tahun 2019 yang menyimpulkan bahwa ada sekitar 3% prajurit TNI yang terpapar radikalisme. Itu artinya ada sekitar 12.000 anggota TNI dari total 400.000 TNI aktif terpapar radikalisme. Kalau begitu bubarkan dong TNI. Mau pak Mahfuzd bubarkan TNI? Lebih banyak dari anggota FPI loh jumlahnya yang terpapar atau beririsan. Begitulah kalau membuat kesimpulan yang fatal bukan? by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Kamis (31/12). Saya termenung sejenak. Lalu berfikir apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Republik ini? Benarkah FPI bersalah? Mengapa dibubarkan? Ada apa dibalik pembubaran FPI sampai-sampai dibubarkan melalui SKB (Surat Keputusan Bersama) enam pejabat negara. Tiga menteri dan tiga pejabat setingkat menteri? Secara sosiologis politik, FPI entitas organisasi kemasyarakatan (ormas). Sama dengan ormas-ormas lainya. Memahami Ormas Mungkin sudah pada lupa ya? Ada yang jadi Presiden karena tidak sedikit peran Relawan (mirip ormas juga) yang pada tahun 2014 dan 2019 kemarin, banyak yang melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat, meski tidak memiliki legal standing (merujuk Mahfuzd MD bahwa yang tidak punya legal standing ya tidak legal). Tahun 2014 lalu, banyak organisasi masyarakat berwujud relawan yang tak memiliki legalitas. Kemudian berlanjut tahun 2019. Dibalik relawan, tidak sedikit yang terkoneksi dengsn buzzer, atau kemungkinan besar ada juga buzzer yang dibiayai relawan. Jangan tanya siapa yang membiayai relawan? Ribut antar relawan di media sosial masih kenceng sampe hari ini. Tensi sosial masih tinggi. Siapa yang salah? Buzzernya atau yang membiayainya? Atau relawanya? Atau ormasnya? Silahkan buat kesimpulan sendiri saja. Mahfuzd MD mungkin juga lupa, dia bisa menjadi besar karena ormas, yaitu Ormas Nahdlatul Ulama (NU). Tanpa NU Mahfuzd MD tidak mungkin seperti saat ini. Sudah jadi pejabat. Tidak tangung-tanggung jabatanya Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Jika ditelusuri sesungguhnya Ormas telah memberi kontribusi besar dalam membangun negara, karena banyak melahirkan sumber daya manusia yang dibutuhkan negara. Sering juga kita melihat juga ormas membantu negara dalam situasi sulit, dari episode melawan penjajah, menghadapi bencana alam, hingga melawan Covid-19 sekarang. Sebab negara tidak cukup mampu bekerja atasi problem tanpa bantuan ormas. Silahkan cek apa sumbangan NU saat Indonesia hadapi musibah? Silahkan cek sumbangan Muhammadiyah saat tingkat pendidikan Indonesia masih rendah? Kalau mau nanya ini juga boleh, apa sumbangan ormas FPI saat Indonesia hadapi musibah? Dari musibah gempa, tsunami sampai covid-19? Silahkan di cek. Ormas secara natural adalah juga kanal dari kebutuhan sosiologis manusia yang tidak bisa dibendung. Apalagi dihilangkan secara paksa. Karena ormas melekat dengan keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk sosial. Ormas adalah hak sosial setiap manusia, sekaligus setiap warga nega, karenanya UU Nomor 16 Tahun 2017 mewadahinya. Menurut Undang-Undang tentang Ormas tersebut, dalam pasal 1 disebutkan bahwa ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,kesamaan kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demokrasi & Hak Berorganisasi Itulah sebabnya negara wajib memberi kebebasan pada warga negara untuk beserikat, berkumpul dan berorganisasi sebagaimana dijamin dalam pasal 28 UUD 1945. Para pendiri bangsa ini sejak kelahiran negara, secara progresif telah menetapkan hak-hak dasar setiap warga negara, termasuk hak berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Melakukan represi terhadap ormas adalah kesalahan fatal. Bertentangan konstitusi UUD 1945, juga sekaligus bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Bukankah demokrasi itu gagasan tentang kebebasan yang terbentuk melalui sejarah panjang. Demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Termasuk di dalamnya kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Tentu Mahfuzd MD masih ingat gagasan penting Henry Bertram Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960). Bahwa ada prinsip-prinsip demokrasi tidak boleh diganggu, karena menjadi sebab mengapa suatu negara disebut mempraktekan sistem demokratis? Diantaranya mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman termasuk keanekaragaman organisasi masyarakat. Keadilan Hukum Dalam Perkara FPI Selain itu, negara wajib menjamin tegaknya keadilan. Keadilan dalam perkara hukum hanya boleh diputus di pengadilan. Pembubaran ormas itu perkara hukum. Sehingga hanya boleh diputuskan di meja pengadilan. Bukan di meja kekuasaan. Bukankah ada putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang didalamnya memuat argumen pembubaran ormas itu sepatutnya melalui Pengadilan? Ormas FPI bersalah atau tidak biarlah pengadilan yang akan memutuskan. Bukan penguasa. Indonesia ini negara hukum yang menganut konsepsi Rechstaat. Bukan machstaat (negara kekuasaan). Jika yang dipake adalah logika machstaat, ini kesalahan fatal dalam berdemokrasi. Terlalu banyak kesalahan fatal republik ini jika diurai satu persatu. Pemerintah terlalu menyibukan diri menghadapi FPI juga sudah kesalahan fatal. Sebab sesungguhnya masalah besar bangsa ini bukan di FPI. Tetapi amburadulnya tata kelola hadapi Covid-19. Korupsi yang merajalela. Kemiskinan yang terus bertambah. Ketidakadilan dan arogansi kekuasaan (neo- otoritarianisme). Pemerintah telah salah fokus (salfok). Saking salfoknya sampai buat SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga Menteri (Mendagri, Menkumham, Menkominfo dan tiga pejabat negara setingkat menteri Kepolisian, Kejaksaan dan BNPT) dibawah komando Menkopolkam Mahfuzd MD. SKB Salah Fatal: Data Meragukan Itupun SKB-nya yang dibuat terkait FPI salah fatal. Menyatakan FPI secara dejure bubar sejak 20 Juni 2019. Padahal ada putusan MK yang menyatakan bahwa negara tidak dapat memaksakan suatu organisasi untuk mendaftarkan diri dan memiliki SKT. Makanya, silahkan cek pertimbangan putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 angka (3.19.4). Jadi SKB yang dibuat kemarin, nyata-nyata bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah saya baca isi SKB enam pejabat itu, ternyata ada kesalahan fatal lainya. Misalnya soal 35 orang FPI terlibat tindak pidana terorisme yang disebutkan dalam pertimbangan SKB poin e. Datanya dari mana? Setelah saya cek kemungkinan besar datanya dari riset Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme yang dipimpin oleh Irjen Pol (Purn.) Benny Mamoto. Sebagai informasi, ternyata Benny Mamoto juga adalah Ketua Harian Kompolnas. Dalam suatu rilis riset tersebut, Benny Mamoto menyampaikan dokumen yang berjudul "37 Anggota Jaringan Terorisme Berlatar Belakang FPI". Kalau versi SKB Pembubaran dan Pelarangan FPI, ada 35 orang yang berlatar belakang FPI. Nah, ko angkanya jadi beda? Ada apa nih? Data riset tersebut, patut dipertanyakan dari sisi metodologi, karena tidak dikemukakan secara detail bagaimana data tersebut valid. Tidak juga dijelaskan, bagaimana triangulasi data dilakukan. Benny Mamoto hanya menyebutkan bahwa sumbernya dari laman pengadilan negeri, dengan meneliti satu persatu putusan. Ini patut untuk dipertanyakan metodologinya. Bagaimana bisa memastikan mereka adalah anggota FPI atau beririsan dengan FPI? Sebagai akademisi, saya penasaran saya baca siapa saja 37 orang temuan risetnya lembaga pimpinan Beny Mamoto tersebut. Secara umum datanya masih perlu diuji. Uniknya, ternyata saya baca di data tersebut ada 10 dari 37 orang tersebut, tidak disebutkan bagaimana hubungan mereka dengan FPI? Bagaimana juga mereka berkoneksi dan beririsan dengan FPI? Sepuluh orang yang dimaksud adalah (1) Ahmad Yosefa alias Hayat, ditangkap 2011, pelaku bom Gereja Pekuton September 2011, (2) Moch Ramuji alias Muji alias Ahmad alias Kapten alias Botak, ditangkap 13 Mei 2014, (3) Ali Azhari alias Jakfar alias Topan bin Daryono (Alm), ditangkap 1 April 2010, (4) Agus Abdillah alias Jodi, ditangkap 17 September 2012, Kemudian orang ke (5) adalah Syaiful Bahri Siregar alias Ipul alias Imam, ditangkap 9 Maret 2010, (6) Munir bin Ismail alias Abu Rimba alias Abu Uteun, ditangkap 17 Maret 2010, kasus pelatihan militer Aceh, kelompok Aceh 2010, (7) Taufik bin Marzuki alias Abu Sayaf alias Alex Nurdin Sulaiman bin Tarmizi ditangkap 29 September 2010, Selain itu, yang ke (8) Muhammad Shibghotullah bin Sarbani alias Mihdad alias Asim alias Mush'ab alias Kholid alias Hani alias Faisal Septya Wardan, ditangkap 11 Juni 2011, kelompok pelatihan militer Aceh, (9) Qoribul Mujib alias Pak Mujib alias Paklek alias Mujiono alias Abdul Sika alias Si Dul alias Muji, ditangkap 12 Juli 2012, dan (10) Sefariano alias Mambo alias Aryo alias Asep alias Dimasriano, ditangkap 2 Mei 2013, perencanaan bom kedubes Myanmar. Selain yang 10 tersebut, yang tidak disebutkan konektivitaanya dengan FPI, misalnya yang 27 lainya juga untuk perlu dibuka ke publik. Apakah benar mereka semua anggota FPI? Apakah benar mereka adalah pengurus FPI? Apakah benar mereka terkoneksi dengan FPI? Beririsan dengan FPI? Metodologi Keluru Sebagai akademisi, saya memahami metodologi ilmiah. Karenanya patut bertanya tentang validitas data yang disajikan Irjen Pol. (Purn.) Benny Mamoto tersebut. Apalagi persoalan FPI ini sudah menjadi konsumsi publik. Bagaimana memastikan mereka terhubung dengan FPI? Kalau hanya asumsi, lalu disimpulkan beririsan dengan FPI ini kesalahan fatal. Penyesatan yang sangat luar biasa. Betapa banyak anggota FPI itu beririsan dengan ormas NU (Nahdatul Ulama). Secara geneologi fiqih ibadah, tareqot dan tradisinya anggota FPI itu banyak beririsan dengan NU. Mereka tahlilan, qunut, marhabanan, yasinan dan lain-lain. Lalu apakah bisa saya harus simpulkan bahwa FPI itu NU? Karenanya terkoneksi dengan teroris? Kesimpulan yang kesalahanya fatal. Lebih fatal lagi nih Menkopolkam, jika saya kasih data hasil penelitian juga. Dari Kemenham tahun 2019 yang menyimpulkan bahwa ada sekitar 3% prajurit TNI yang terpapar radikalisme. Itu artinya ada sekitar 12.000 anggota TNI dari total 400.000 TNI aktif terpapar radikalisme. Kalau begitu bubarkan dong TNI. Mau pak Mahfuzd bubarkan TNI? Lebih banyak dari anggota FPI loh jumlahnya yang terpapar atau beririsan. Kesimpulan yang fatal bukan? Jika sebuah keputusan penting negara dibuat berbasis data yang tidak valid, keliru, bahkan sesat, saya khawatir akan makin membuat Indonesia berantakan. Saya juga khawatir, data yang tidak valid itu dianalisis dan disimpulkan. Apalagi oleh Jokowi dan Mahfuzd MD.Loh kok Jokowi ikut disebut? Yang jelas, di atasnya Mahfuzd MD itu ada Presiden. Betapa bahayanya sebuah keputusan negara bersumber dari data atau analisis yang keliru. Maaf, bukankah ini salah fatal mas Presiden ? Wallahu a'lam bishawab. Penulis adalah Analis Sosial Politik Uiveristas Negeri Jakarta.
Apakah Baju, Kaos dan Celana FPI Juga Terlarang?
Jakarta FNN – Kamis (31/12). Rabu siang kemarin menjadi hari dan siang yang gelap untuk Front Pembela Islam FPI. Pemerintah Joko Widodo mengambil sikap tegas terhadap mereka FPI. Sikap itu dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT). Surat Keputusan Bersma (SKB) itu bernomor 220-4780 tahun 2020, Nomor M.HH-14.HH.05.05 tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII/2020, Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). SKB ini berlaku sejak hari Rabu (30/12). Dalam SKB tersebut, pemerintah meminta masyarakat tak terpengaruh dan terlibat dalam kegiatan penggunaan segala simbol dan atribut FPI. Masyarakat juga diminta melaporkan kegiatan yang mengatasnamakan dan memakai simbol FPI. Jelas semuanya terang dalam SKB tersebut. Begitulah demokrasi dan hukum bekerja di republik Indonesia. Atas nama hukum dan ketertiban, serta dengan satu diskresi kecil bernama SKB, FPI menemui akhir hayatnya secara permanen untuk berkegiatan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Berakhir pula, hak-hak orang FPI menggunakan simbol dan atributnya. Orang-orang FPI mungkin akan melihat larangan penggunaan atribut dan simbol FPI sebagai satu tindakan tata usaha negara. Tindakan yang menimbulkan kerugian material dengan nyata. Mungkin itulah yang membuat mereka FPI seperti mempertimbangkan untuk mengambil langkah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Andai betul orang-orang FPI bakal membawa SKB tersebut ke PTUN, ini paling hebat. Itu terlihat kalau orang-orang FPI sangat dan lebih mengerti serta memahami hukum positif di negeri ini. Mereka FPI juga masih menaruh kepercayaan yang tinggi kepada lembaga peradilan. PTUN pasti tidak bisa menolak memeriksa gugatan FPI itu. Namun bagaimana akhirnya? Itu soal lain. Kalah atau menang di pengadilan, itu soal lain. Sehebat itu sekalipun, tampaknya tidak akan lebih hebat dari SKB yang datangnya secara tiba-tiba itu. Tidak ada wacana, tidak ada perdebatan di publik sebelumnya. Tetapi tiba-tiba keluarlah SKB tersebut. Itu yang hebat betul dari SKB tersebut. Terlihat canggih. Karena tak terprediksi sebelumnya. Sama sama canggihnya dengan datangnya somasi dari PTPN VIII terhadap Habib Rizieq tentang lahan yang di atasnya dibangun pesantren. Soal lahan pasantren ini juga tak terprediksi. Tak terduga oleh FPI. Pemerintah terlihat selalu canggih. Dapat menemukan cara yang tak terduga dalam menangani FPI dan Habib Rizieq. Cukup cermat pemerintah menggunakan energinya mengenali detail-detail FPI dan Habib Rizieq. Ini juga mungkin menjadi keunggulan pemerintah disatu sisi. Sementara disisi lain menjadi kelemahan terbesar FPI. Sebab orang-orang FPI juga mungkin tak memperkirakan pemerintah sewaktu-waktu menggunakan kewenangannya. Tentu dengan efek kejut yang dapat bekerja seketika. Apakah soal kemampuan memprediksi itu, harus dimiliki oleh orang-orang FPI? Itu urusan mereka. Apakah demokrasi yang begitu diagungkan saat ini? Sehingga menjadi sebab orang-orang FPI tidak memprediksi hal-hal tak terduga dapat dikenakan pemerintah kepada mereka? Entahlah itu. Namun andai saja orang-orang FPI bersandar pada demokrasi, sehingga memiliki kepercayaan bahwa mereka tidak akan tertimpa hal-hal tak terduga. Tampaknya itu keliru untuk negeri ini sekrang. Demokrasi memang andal. Tetapi jangan lupa, demokrasi itu menjadi andal, agung, indah, hebat dan bermartabat, hanya jika berada dan dikelola oleh orang-orang besar. Ya mereka tingkat para negarawan. Misalnya Bung Karno sepanjang tahun 1945 hingga 5 Juli 1959. Kendati menjadi Presiden simbolik sepanjang tahun itu, Bung Karno tidak mengambil tindakan yang aneh-aneh. Belajar Dari Megawati dan SBY George Washington, Presiden pertama Amerika, juga negarawan. Presiden pertama Amerika itu sangat top dan membanggakan di eranya. Bagaimana tidak. Kendati tahu bahwa UUD tidak mengatur pembatasan berapa kali seseorang memangku jabatan Presiden Amerika, namun George Washinton tak mau menjabat untuk ketiga kalinya. Hebat sekali dia. Begitulah kalau negarawan yang memimpin bangsanya. Mereka bukan negarawan kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Mereka tak tergoda dengan apa yang ilmuan politik sebut d Idea of Power. Jangan lupa kekuasaan itu sangat menggiurkan. Kekuasaan itu gurih. Kekuasaan punya daya tarik, daya goda untuk digenggam selama-lamanya, dengan cara apa saja. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Habibie, Megawati dan Gus Dur juga memenuhi klasifikasi negarawan hebat itu. SBY misalnya, sepajang pemerintahan yang sepuluh tahun itu, tak melukai orang-orang yang berbeda ekspektasi politik dengan beliau. SBY tidak menggunakan polisi untuk menjebloskan para aktivis yang berseberangan dengannya ke penjara. Kendati berasal dunia tentara, SBY tentu saja sangat tahu tuntutan hakiki demokrasi. SBY mampu mengisi dan menghidupkan tuntutan demokrasi tersebut. Para aktivis kritis era SBY seperti tokoh Malari Hariman Siregar (Gerakan Cabut Mandat), Rizal Ramly (Rumah Perubahan), Adhi Masardi (Gerakan Idonesia Bersih), Adian Nepitupulu (Bendera), Mashinton Pasaribu (Repdem), Haris Rusly Moti (Petisi 28 dan Doekoen Coffe), dan Goerge Adi Tjondro (Buku Gurita Cikeas Seri Satu dan Dua). Bahkan, buku George Adi Tjondro dijawab lagi oleh kubunya SBY dengan membuat buku tandingan. SBY bukan melawan para aktivis dengan penangkapan dan krimilinalisasi. Namun dengan operasi intelijen. Walaupun demikian, nasib buruk menimpa sejumlah aktivis yang berdemo membawa karbau besar dan gemuk di Bundaran Hotel Indondesia bertuliskan “SiBuYa”. Mereka semua yang terlibat aksi demo sapi “SiBuYa” ketika itu kini telah meninggal dunia. Bagitu juga dengan peristiwa Bom Bali, yang sangat menggemparkan dunia tersebut. Menggemparkan dunia, karena tidak kurang dari 200 orang yang mati dalam peristiwa yang membuat semua manusia normal marah itu. Sebagian besar dari korban yang meninggal itu adalah warga negara asing. Namun tidak satupun pelaku Bom Bali yang ditembak mati oleh petugas dalam operasi penangkapan. Peristiwa Bom Bali terjadi di eranya Presiden Megawati. Namun semua tahapan proses hukumnya, sampai dengan perintah eksekusi mati terjadi di eranya SBY berkuasa. Para pelaku Bom Bali yang dieksekusi mati, telah mendapat mandat hukum dari negara melalu perintah resmi lembaga peradilan. Bukan seperti peristiwa tragis yang terjadi pada 6 (enam) anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang ditembak mati oleh petugas polisi di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek. Semua tahapan proses hukum Bom Bali di lewati sampai di ujung. Sampai dengan para pelaku mengajukan Peninjauan Kembali yang ditolak oleh Mehkamah Agung. Bahkan sebelum dieksekusi mati, para pelakuknya masih diberikan kesempatan negara untuk menyampaikan permintaan terakhir kepada para keluarga yang akan ditinggalkan. Permintaan terakhir itu pun sebagian besar dikabulkan oleh negara. Peristiwa Bom Bali ini, penyelenggara negara memperlihatkan kepada dunia kalau Indonesia benar-benar negara hukum (rechtstaat). Bukan negara yang menyalahgunakan kekuasaan (a bus de droit). Namun nagara yang memastikan semua asas dalam due process of law berjalan pada relnya. Densus 88 Polri ketika itu belum terbentuk. Yang ada hanya Satgas Anti Teror Bom (ATB) milik Polda Metro Jaya yang diperbantukan untuk mengusut pelaku Bom Bali. Sebagai negara demokrasi, proses hukum terhadap pelaku peristiwa Bom Bali sangat mengagumkan dan membanggakan. Sebab telah memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia nyata-nyata sebagai negara hukum. Juga hebat dan sangat membanggakan, karena operasinya As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang ketika itu bekerja dengan sangat senyap untuk mengkoordinir semua tahapan proses hukum pelaku Bom Bali. As’ad bekerjasama dengan Jendral Polisi Da’i Bachtiar, Kepolri saat itu. FPI Percaya Demokrasi Berikhtiar hanya dengan mengandalkan demokrasi itu, bukan tak bisa. Tetapi harus pandai, cermat dan cerdas dalam mengenalinya. Mengapa begitu? Sebab demokrasi selalu menyediakan argumen, dengan cara untuk menunjuk keadaan tertentu sebagai justifikasi menggerogoti dirinya sendiri. Itu terjadi di negara-negara yang dikenal sebagai mbahnya negara demokratis. Ketertiban umum atau keamanan nasional (National Security), atau national interest adalah keadaan-keadaan yang digunakan demokrasi untuk membatasi ini dan itu. Ini yang harus dicermati oleh FPI. Dan seperti biasa, pemerintah dengan semua atribut konstitusi yang mereka miliki, selalu menemukan cara menegakan pembatasan-pembatasan itu. Habes Corpus misalnya, pernah ditangguhkan oleh Abraham Linclon pada keadaan tertentu. Apakah keadaan tertentu itu cukup valid menurut akal sehat untuk ditunjuk sebagai justifikasi atau tidak? Namun dalam kenyataannya, pemerintah selalu dapat mempertahankannya. Dalil pembenarannya bisa menyusul. Itu yang dilakukan oleh Abraham Lincoln, Presiden Amerika yang ke-16 itu. Abraham Linclon menerapkannya pada saat beliau menangani perang saudara Utara-Selatan di Amerika. Presiden yang terkenal dengan government from the people, by the people and for the people itu, menangguhkan Harbes Corpus. Itu harga yang dibayar untuk usahanya mempertahankan Union Amerika. Pada masa pemerintahan Woodrow Wilson, Amerika membentuk Espionage Act 1917 dan Sedition Act 1918. Kala itu Amerika sedang terlibat dalam perang dunia pertama. Wilson yang arsitek pemerintahnya adalah Wolter Lipmann, wartawan senior penggagas dan arsitek terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa, yang berubah menjadi Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB) sekarang, ketika itu sedang melambungkan faham liberalism untuk dunia internasional. Sisi-sisi inilah mustinya dibaca dan dikenali betul oleh penguasa dan rezim Jokowi. Tampaknya soal ini kami memiliki kemampuan untuk membaca sisi yang sangat elastis tersebut. Sebab salah atau keliru dalam membaca sisi ini, urusan paling rumit bisa datang menjemput tiba-tiba. Mau bagaimana lagi. SKB sudah terbit, dan diumumkan kemarin. Lalu bagaimana dengan baju, Kaos dan Celana yang selama ini dipakai oleh orang-orang FPI? Apakah sekarang menjadi terlarang juga? Sehingga tak bisa untuk dipakai lagi. Namun semoga larangan itu hanya sebatas untuk berkegiatan atas nama FPI saja. Semoga tafsir penegak hukum atas larangan dalam SKB itu di lapangan, tidak melebar hingga meliputi baju, kaos dan celana. Sebab apa jadinya kalau baju, kaos dan celana yang berlogo FPI tersebut dipakai untuk Shalat di Masjid? Apakah akan ikut dilarang juga? Sehingga harus ikut terkena barang yang dirazia? Dalam kondisi pandemi corona yang semakin naik grafik penyebarannya sekarang, semua alokasi keuangan di keluarga masih diutamakan untuk membeli makanan. Untuk bisa makan dan bertahan hidup. Sekitar 70%-80% masyarakat yang punya uang hari ini, belum bisa digunakan membeli baju, kaos, celana dan kebutuhan lainnya Apapun itu SKB pembubaran dan pelarangan FPI ini punya hikmah juga. Hikmahnya adalah tindakan pemerintah bisa tak terduga sama sekali. Sementara tahun 2021, yang tinggal beberapa jam lagi ini, mungkin saja akan menjadi tahun yang penuh dengan kejutan-kejutan. Kita liat saja nanti. Wallaahu Alam Bishawab.
Pembubaran & Pelarangan FPI Mencederai "Due Process Of Law"
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (30/10). Orang dapat setuju atau tidak dengan kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Akan tetapi ketidakadilan terhadap tokoh Habib Rizieq Shihab (HRS) dan FPI sangat dirasakan. Setelah pembantaian terhadap 6 (enam) anggota Laskar FPI oleh aparat polisi, kriminalisasi HRS dengan dalih hukum yang dicari-cari. Tidak sampai di situ saja. Balakngan ada upaya untuk mengganggu aset pesantren "Markaz Syari'ah" Mega Mendung. Yang terakhir sekarang adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Kemeterian dan Lembaga Negara untuk pembubaran dan pelarangan organisasi dan simbol FPI. Sejak hari ini oraganisasi dan simbol FPI dinyatakan dilarang. Atas dasar kebencian tersebut, FPI dan tokohnya telah dijadikan sebagai "musuh negara". Dengan perlakuan yang tidak adil itu, pemerintah telah mendeklarasikan diri sebagai rezim yang zalim. Siapapun penguasa yang zalim, lambat atau cepat akan menjadi musuh rakyat. Pembubaran dan pelarangan melalui SKB sangat tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan UU Keormasan. Tampak seperti suka-suka penguasa saja. Padahal keputusan membubarkan dan melarang FPI sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechtstaat). Indonesia seperti sedang berubah ke arah dan menhukuhkan diri menjadi negara kekuasaan. Keputusan SKB enam Menteri dan Lembaga tersebut melanggar asas "due process of law" dengan meminggirkan fungsi peradilan. Meski SKB adalah bentuk hukum, akan tetapi karena digunakan tanpa melandaskan pada aturan hukum yang berlaku seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Tata Urutan Perundang-Undangan, maka layak untuk dikategorikan sebagai "a bus de droit" (penyalahgunaan kekuasaan). Sementara di UU Keormasan Nomor 16 Tahun 2017 tidak mengenal membubaran dan pelarangan ormas melalui Surat Keputusan Bersama Menhukham, Mendagri, Kapolri, Menkominfo, Jaksa Agung dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lebih jauh kebijakan pemerintah ini merupakan tindakan inkonstitusional yang melabrak asas negara hukum (rechtstaat). Menginjak-injak harkat dan martabaty UUD 1945. Catatan buruk sejarah hukum kedua di masa Pemerintahan Jokowi dalam kaitan pembubaran ormas dengan menggunakan "kekerasan politik" bermantel hukum. Pertama, melalui Perppu saat membubarkan HTI dan kedua melalui SKB untuk membubarkan bahkan melarang simbol-simbol FPI. Khusus yang pembubaran kedua ini, gugatan yang dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sangat berpeluang untuk dimenangkan oleh kebu FPI. Bagi FPI, soal nampaknya pembubaran tidak terlalu penting. Disamping itu bisa berganti baju menjadi Front Pejuang Islam (FPI). Toh masih tetap nama FPI juga atau lainnya. Namun pembuabaran dan pelarang FPI jangan sampai membuat lengah terhadap penembakan enam anggota FPI di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek. Prioritas perhatian justru harus diutamakan pada pengungkapan kejahatan HAM pembantaian enam anggota Laskar FPI. Hal ini merupakan masalah besar yang bila terbukti akan menjadi suatu kejahatan atau terorisme negara. Jokowi harus bertanggung jawab. Pembubaran dan Pelarangan FPI pada satu sisi hanya menunjukkan arogansi kekuasaan semata. Tidak lebih dari itu. Sementara keputusan bersama ini hanya jalan untuk membangun simpati kepada FPI. Akibatnya, FPI yang tadinya tidak terkalalu bersar akan semakin besar. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pembubaran FPI, Penegakan Hukum Tanpa Keadilan
by Sugito Atmopawiro Jakarta, FNN - (Rabu 30/12). Penyelidikan kasus pembunuhan terhadap 6 (enam) laskar FPI oleh polisi pada 7 Desember lalu sudah nyaris terungkap. Kepolisian yang melakukan tindakan membunuh tanpa alasan hukum (unlawful killing) tersebut sebentar lagi akan dinyatakan sebagai pelanggar HAM berat oleh negara. Pelaku dan pemberi perintahnya tentu saja akan dimintakan pertanggungjawaban hukumnya, jika tidak oleh peradilan HAM domestik, ya, seyogyanya oleh peradilan pidana internasional (International Justice Court). Di tengah situasi inilah tindakan pengalihan isu (deception) dilakukan. Tiba-tiba saja tanpa ada angin, kasus sumir dan aneh tahun 2017 yang menimpa HRS kembali digelar. Kasus yang dilatari laporan polisi nomer LP/510/I/2017/PMJ/Ditreskrimsus oleh Jefri Azhar, atas beredarnya percakapan palsu seolah antara FH dan HRS di website bodong, www.baladacintarizieq.com. Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sejak kasus penembakan lascar FPI, upaya menghentikan Langkah dan kiprah HRS terus dilakukan. Menyusul PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII melayangkan somasi kepada HRS agar segera mengosongkan tanah di Megamendung, Bogor, Jawa Barat yang kini dimanfaatkan sebagai Pondok Pesantren (Ponpes) Agrokultural Markaz Syariah, dan FPI diwacanakan untuk dibubarkan, kasus chat porno ini pun diungkap lagi. Seluruh permasalahan aneh ini terkait. Sulit dipahami mengapa kemudian HRS sebagai korban fitnah keji justru ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Mei 2017 atas beredarnya konten porno yang dipastikan palsu di website tersebut. Uniknya, HRS dipersangkakan dengan Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 32 UU RI No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU RI No 19 Tahun 2016 atas Perubahan UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Norma-norma hukum yang sejatinya dialamatkan kepada pembuat konten dan website tersebut. Penyidikan kasus ini sebenarnya sudah dihentikan oleh penerbitan Surat PErintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda Metro Jaya tahun 2018. Alasan pemberhentian penyidian perkara ini karena kasus tersebut tidak mungkin diteruskan jika pelaku pembuat web dan konten porno itu tidak ditemukan polisi. Ironisnya kasus ini dibuka lagi dengan putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan nomor perkara: 151/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel. Asal Bisa Menahan HRS Menangkap dan menahan HRS di penjara karena perbuatan menciptakan kerumunan massa di tengah pandemic Covid 19, 10 Desember lalu, tampaknya tidak cukup bagi polisi atau pihak yang menghendakinya. HRS terus dijadikan target dan selalu dicarikan alasan hukum agar bisa tetap di tahanan negara. Penegak hukum tidak lagi peduli apakah dasar dan prosedur hukum penahannya benar atau tidak. Masyarakat yg memahami hukum sebenarnya mudah sekali untuk mencerna kasus ini. Orang akan mudah memahami bahwa cara-cara yang ditempuh untuk menjerat HTS tidak lebih dari sebuah desain aksi dengan menggunakan prosedur hukum formal sehingga terkesan memenuhi aspek legal formal. Polisi berusaha mendapatkan justifikasi, yang seolah-olah dapat dibenarkan menurut hukum, dengan melalui usaha menindaklanjuti laporan dari masyarakat. Padahal para pelapor perkara ini dipastikan karena adanya usaha sengaja untuk membunuh karakter dan hak kebebasan HRS sebagai warga negara. Desain aksi atau rekayasa proses hukum dalam kasus chat porno karya si pembuat website bodong itu semata-mata untuk membangun propaganda di masyarakat agar kredibilitas HRS hancur. Tujuan akhirnya adalah agar langkah dan kiprah HRS, bersama FPI dan diikuti umat Islam simpatisan lainnya, tidak lagi bisa kritis dalam memperjuangkan amar ma'ruf nahi munkar versus kekuasaan. Desain aksi ini berbentuk tindakan seseorang atau sekelompok orang atas inisiatif sendiri, atau diperintahkan, telah membuat situs (website) bodong tanpa penanggungjawab bernama: www.baladacintarizieq.com. Konten dari web tersebut adalah potongan percakapan porno dari aplikasi WA (screenshot) yang dilakukan oleh seorang wanita dan pria. Dalam potongan percakapan porno itu, oleh pengelola web kemudian ditulis bahwa pelaku percakapan adalah HRS dan seorang wanita bernama FH. Seseorang bernama Jefri Azhar kemudian melaporkan HRS ke polisi dengan sangkaan perbuatan melawan UU Pornografi dan UU ITE. Padahal jika menggunakan dasar hukum UU Pornografi dan UU ITE yang benar dan tepat untuk tujuan penegakan hukum, maka sejatinya proses hukum melalu penyelidikan dan penyidikan ditujukan untuk: 1. Polisi terlebih dahulu mengungkapkan, menangkap dan menahan pelaku pembuat website www.baladacintarizieq.com berikut konten-konten pornografi di dalamnya; 2. Kepada pembuat web dan kontennya (uploader) kemudian dimintakan untuk mengklarifikasi kebenaran (otentisitas) konten yang ada pada website tersebut disertai dengan bukti-buktinya; 3. Apabila web dan kontennya adalah palsu maka pelaku pembuat website ini harus dimintai pertanggungjawaban hukum melalui proses peradilan dengan dasar hukum bahwa ia telah melakukan perbuatan pornografi dan penyebaran fitnah melalui dunia maya. Celakanya, apa yang dilakukan polisi justru sebaliknya. Polisi mempertontonkan kenaifan tanpa malu-malu di hadapan publik, yang seolah-olah seluruh warga negara buta hukum sehingga tidak mampu mengidentifikasi proses penegakan hukum yang fair-play. Tidak ada alasan pembenar bilamana subjek hukum yang dimintakan pertanggungjawabannya justru orang yang menjadi korban fitnah oleh web tersebut, yakni HRS. Inilah sebenarnya esensi kasus ini. FPI pun Dibubarkan Tidak cukup sampai disini saja, pada 30 Desember 2020 ini pemerintah pun secara resmi menghentikan kegiatan dan membubarkan organisasi Front Pembela Islam (FPI). Keputusan pemberhentian ini tergolong berlebihan dengan Keputusan Bersama Menteri-Menteri Negara, Kapolri, dan Jaksa Agung, yakni Mendagri Tito Karnavian, Menkum HAM Yasonna Laoly, Menkominfo Johnny G Plate, Kapolri Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar dalam SKB Nomor 220/4780 Tahun 2020, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI. Di mata penguasa negara saat ini, tampaknya FPI sangat istimewa sebagai organisasi yang dianggap musuh negara. Dengan berdalihkan, antara lain, FPI memiliki aktivitas yang mengganggu masyarakat dan terbukti terafiliasi dengan ISIS, serta tidak memperpanjang izinnya, menjadi dasar pembubarannya. Kelompok non-Islam anti FPI serta-merta berteriak girang tanda kemenangannya. Mudah-mudahan bubarnya FPI tidak menjadi peluang Gerakan Islamophobia mendapatkan anginnya di negeri ini. Apa pun alasannya, tampak sekali bahwa pemerintah mengambil langkah komprehensif untuk menghabisi setiap potensi kekuatan yang dimiliki HRS dalam menjalankan kegiatan mengontrol pemerintahan. Dengan bubarnya FPI dipersepsikan bahwa HRS tidak memiliki kendaraan yang terorganisir lagi dalam memobilisasi massa. Sayangnya, pemerintah melupakan satu hal, bahwa ketidakadilan dalam praktek penyelenggaraan negara dan penegakan hukum tidak sekedar berhadapan dengan FPI. Pesan Sederhana Apa yang bisa disampaikan disini adalah bahwa langkah penegakan hukum terhadap HRS ini sama sekali di luar nalar hukum dan kebenaran objektif. Polisi dengan senyatanya tidak lagi peduli dengan kebenaran materiil dan sebagainya, oleh karena tujuan sebenarnya adalah menangkap dan menahan HRS. Kasus demi kasus ini sebenarnya menjadi contoh bagi publik bahwa betapa kepolisian merupakan institusi negara yang bertindak dengan memaksakan kehendak dalam menjerat seorang warga negara agar dapat dipidana, sekali pun tanpa perbuatan melawan hukum. Kepolisian melakukan tindakan menghukum tanpa prosedur hukum yang benar (due process of law) sehingga mengingkari tujuan penegakan hukum itu sendiri, yakni kepastian hukum dan keadilan. Pertanyaannya, untuk apa penegakan hukum tanpa keadilan? Mubazir! Semua orang kini menyadari bahwa pesan di balik kasus ini sangatlah sederhana. Siapa pun yang memiliki kaliber seperti HRS, memiliki pengikut besar, dapat mempengaruhi persepsi publik untuk mendelegitimasi penguasa, akan bernasib sama dengan HRS. Hukum hanya dijadikan alat legal formal untuk mensahkan perampasan hak asasi warga negara yang selalu berekspresi menyerukan ketidakadikan negara. Siapa pun memahami pula bahwa tiada gunanya menegakkan hukum dengan cara memelintir hukum dan menghasilkan ketidakadilan. Jika fenomena ini terus berlangsung maka hukum tidak lagi ditujukan untuk menciptakan ketertiban sosial melainkan akan berujung pada kekacauan.* Penulis adalah Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab.