ALL CATEGORY
Bentuk Komisi Pencari Fakta Independen
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (07/12). Penjelasan pihak Kepolisian Metro Jaya bahwa tewasnya 6 anggota Laskar Frot Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) menyerang aparat kepolisian berbeda dengan penjelasan resmi dari DPP FPI. Sekretaris jendral (Sekjen) DPP FPI Munarman menyatakan bahwa mobil pengawal HRS lah yang duluan diserang dan ditembakin oleh Orang Tak Kenal (OTK). Enam orang anggota Laskar FPI bersama mobil yang mereka tumpangi bahkan hilang. Karena mereka diculik. Setelah adanya penjelasan dari FPI, lalu ada konferensi pers dari Polda Metro Jaya yang menyatakan bahwa keenam orang pengawal HRS tersebut ternyata tewas. Mereka ditindak dengan tegas dan terukur olah aparat kepolisian. Begitu kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Fadil Imron. Mengingat kaburnya peristiwa di atas, wajar saja muncul desakan harus segera dibentuk Komisi Pencari Fakta Independen (KPFI). Karena ini menyangkut nyawa anak bangsas enam orang yang mesti mendapat pertanggungjawaban politik maupun hukum. Bukan semata pertanggungjawaban aparat, tetapi juga Pemerintah. Penjelasan yang sepihak harus memperoleh pembuktian. Pengintaian terhadap gerak-gerik HRS yang intensif juga menunjukkan bahwa apara penegak hukum telah menempatkan HRS sebagai musuh negara. Tentu hal ini sangat tidak proporsional, mengingat persoalan yang dituduhkan hanya masalah kerumunan saat pernikahan puteri HRS di Petamburan. Kualifikasinya hanya sebatas pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Haruskah aparat kepolisian bertindak hingga penembakan yang menewaskan nyawa anak bangsa enam orang? Mengapa bukan penembakan untuk melumpuhkan? Bahwa HRS tidak hadir saat pemanggilan Polisi itu memiliki prosedur hukum yang dapat dilaluinya. Dimulai dari pemanggilan bertahap hingga panggilan paksa. Tetapi jika sampai pada pengintaian, penyerangan, dan penembakan tentu hal ini adalah di luar prosedur baku yang berlaku. Apakah proses penegakan hukum protokol kesehatan harus dilakaukan dengan pengintaian? Untuk itu, hanya dengan komisi fact finding semua persoalan bisa terungkap. Benarkah polisi diserang atau polisi yang duluan menyerang? Ini sangat penting dan mendesak, agar Indonesia sebagai negara hukum tidak bergeser menjadi negara kekuasaan. Jangan hanya perlakukan kesewenang-wenangan yang ditampilkan kepada masyarakat. Bila situasi ini diambangkan, maka akan menjadi bom waktu bagi instabilitas negeri. Kita harus menghindari terjadinya penghancuran atas negara demokrasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Di Era Jokowi, Kebobrokan Negara Terbongkar
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/12). Menteri Sosial, Julian Batubara kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) pada 5 Desember 2020 lalu. Juliari jadi tersangka dengan tuduhan korupsi Rp 17 miliar. Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga di-OTT KPK (25/11). Nggak usah kaget. Biasa saja. Entar juga akan ada yang tertangkap lagi. Menteri, ketua dan sekjen partai, anggota DPR, kepala daerah, atau pejabat lainnya, entah sudah berapa banyak dari mereka yang ditangkap KPK. Tak berarti yang tidak tertangkap itu bersih dari korupsi. Belum tentu juga. Ini hanya karena faktor apes dan bernasib sial. Korupsi di Indonesia bukan semata-mata karena bobroknya moral individu. Tetapi lebih karena faktor sistem, kultur dan mentalitas bangsa. Publik nggak usah berlebihan mengapresiasi KPK. Seolah KPK sudah siuman setelah sekian lama dikerangkeng oleh UU No 19 Tahun 2019. Para pejabat secara umum ditangkap karena pertama, dua alat bukti sudah ada. Kedua, tak ada perlindungan orang kuat. Tepatnya, kecolongan, sehingga tak sempat minta perlindungan. Ketiga, seringkali penangkapan pejabat sarat unsur politik. Meskipun dua alat bukti ada, tetapi pelindung anda orang kuat dan selalu menjaga anda, boleh jadi anda selamat. Asal tidak di-OTT. Belajar dari kasus Bank Century, dana BLBI, e-KTP sampai PAW anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku. Kok menguap? Publik berpikir ada orang kuat di belakangnya. Koruptor kakap Djoko Djandra yang sembilan tahun jadi buronan dan menyeret sejumlah perwira berpangkat bintang hanya dituntut 2 tahun. Sementara yang dituduh melanggar UU ITE diancam 6 tahun. Sampai disini anda mesti paham bagaimana penegakan hukum di negeri ini. Banyak yang ganjil. Korupsi pejabat akan "sulit dikurangi" selama penegakan hukum dan sistem politik tidak berubah. Ini jadi kata kunci. Ketidakadilan hukum jadi warisan dari satu generasi ke generasi lain secara turun temurun. Dari Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Hanya saja, sekarang klimaks. Sepertinya, para pejabat sudah banyak belajar kepada generasi sebelunnya bagaimana melakukan korupsi secara efektif. Lihai! Meski kadang ada yang kepleset dan ditangkap KPK. Apes saja. Praktek penegakan hukum semakin rusak ketika aparat hukum ditarik di gelanggang politik. Tak jarang hukum justru dijadikan instrumen untuk menghabisi. Pertama, kepada mereka yang kritis terhadap penguasa. Kedua, lawan-lawan politik penguasa. Kriminalisasi adalah suatu keniscayaan ketika aparat hukum dilibatkan dalam politik. Di sisi lain, cost pemilu sangat besar. Para calon, baik caleg, capres maupun calon kepala daerah, mereka butuh modal besar. Umumnya, mereka tak mampu membiayai dengan dana pribadi. Dana cekak memaksa mereka harus melibatkan investor. Kalau umumnya anggota DPR tak mendengar lagi suara rakyat, ya wajar. Karena saham mayoritasnya bukan milik rakyat, tapi milik para pengusaha yang membiayai mereka. Suara rakyat sudah "dibeli putus" saat pemilu. Tepatnya ketika terjadi serangan fajar. Antara Rp 50.000-100.000 ribu per suara. Selesai sudah di kotak suara. Rakyat suaranya sudah dibeli putus. Ya nggak pantas kalau berteriak. Karena sudah nggak punya saham di gedung DPR. Ini juga berlaku bagi banyak kepala daerah, dan mungkin juga presiden. Jadi, kalau mereka nggak dengar rakyat, ya nggak salah. Karena sebagian besar rakyat sudah dibeli suaranya saat pemilu. Hukum yang tidak tegak lurus serta cost politik yang sedemikian tinggi, menyebabkan korupsi makin subur. Tradisi koruptif diwariskan turun temurun. Jadi, anda jangan hanya melihat case by case. Anda jangan terpukau dengan KPK menangkap Edhy Prabowo dan Julian Batubara. Dibalik kedua menteri itu, justru seringkali faktor yang lebih menarik untuk dibahas adalah tokoh di belakangnya, partainya, posisi jabatannya, atau sepak terjang KPK itu sendiri. Hukum seringkali nggak independen. Jadi, fenomena penangkapan tersangka tindak pidana korupsi jangan dilihat dari kasusnya. Tetapi lihatlah penyebabnya. Mengapa banyak diantara mereka yang korupsi? Lihat juga penegakan hukumnya. Kenapa hanya mereka yang ditangkap? Yidak yang lain. Partai anda punya kader yang jadi menteri berapa orang? Yang jadi direktur dan komisaris BUMN berapa orang? Yang jadi kepala daerah berapa orang? Dari situ parpol-parpol itu mencari logistik. Sebagian untuk memakmurkan pengurusnya. Jadi, kalau dalam dua pekan ini ada kader dari dua partai di-OTT KPK, yang harus kita lihat pertama, jabatan menteri itu bukan cek kosong. Kedua, kebutuhan operasional partai sangat besar. Kalau menteri itu dari partai, mosok nggak ada setoran? Ketiga, posisi menteri banyak peminatnya. Posisi menteri ini menjadi arena perebutan antar partai dan antar banyak pihak. Keempat, di setiap kementerian biasanya sudah ada mafianya. Para pemain lama tentu saja sangat berpengalaman. Kelima, mata hukum seringkali "juling". Yang juling paling parah di sebelah kiri. Namu yang dihajar di sebelah kanan. Jika kita bongkar, negara ini sesungguhnya sudah sedemikian rusak. Ibarat penyakit kanker, sudah stadium empat. Korupsi "boleh jadi" ada di semua kementerian, di semua lembaga dan institusi negara, di semua BUMN. Terjadi secara sistemik. Salah satunya penyebabnya karena kesalahan sistem melahirkan tradisi dan mental koruptif. Jargon #Revolusi mental# bukannya memperbaiki, tetapi faktanya, malah masif terjadi korupsi. Ini terjadi bukan hanya di era Jokowi, tapi turun temurun. Sudah lama, terutama sejak era reformasi. Di era Jokowi ini, seolah jadi puncak gunung es. Makin parah. Lalu, darimana memperbaikinya? Perbaiki penegakan hukum dan sistem politik yang high cost itu. Dan ini harus dilakukan dari atas, yaitu oleh pemimpin. Kalau yang di atas memble, yang lain, terutama yang di bawah pasti ikut memble juga. Banyak pihak yang meragukan kemampuan Jokowi. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Penyaluran Bansos Yang Primitif
by Mukhaer Pakkanna Jakarta FNN - Senin (07/12). Kasus tertangkapnya Menteri Sosial (Mensos RI), Juliari Peter Batubara (JPB) bersama para pejabat Kemensos dan pengusaha pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) telah mencoreng wibawa Pemerintah penyelenggaara negara. Dalam situasi wabah yang makin menakutkan ini, ternyata korupsi tidak pernah berhenti. Banyak oknum penyelenggara negara, malah bernyanyi bahagia di atas penderiaan rakyat. Dengan pola penyaluran yang primtif dan tidak berkemajuan, dari awal kebijakan ini dilansir, saya sudah mencurigai bakal terjadi peluang moral hazard dan biang bancakan antara pengusaha peserta/pemenang tender dan oknum penguasa, terutama di Kementerian Sosial RI. Ini sangat riskan terjadi karena, pertama, niatan hanya sekadar karitatif, yang penting tersalurkan. Soal siapa sasaran penerima, itu soal yang lain. Yang penting bagaimana peluang ini dimanfaatkan pengusaha pengadaan dan penguasa (pemerintah). Kedua, data sasaran dari awal yang tidak jelas dan amburadul. Ketiga, manajemen penyaluran disalurkan pada beberapa institusi yang kurang akuntabel. Bayangkan, di masa pandemi Covid-19 ini, Kemensos RI memperoleh anggaram jumbo. Merujuk data Kementeian Keuangan RI, Kemensos juga menjadi kementerian dengan realisasi belanja terbesar pada Oktober 2020. Kemensos telah menyerap anggaran senilai Rp116,2 triliun. Sementara, alokasi untuk Kemensos terdiri dari PKH dan bantuan beras PKH senilai Rp41,97 triliun, sembako dan bantuan tunai sembako Rp47,22 triliun, Bansos Jabodetabek Rp7,10 triliun, dan Bansos non-jabodetabek senilai Rp33,10 triliun. Dalam kaitan itu, patut dipertimbangkan bahwa ke depan penyaluran bantuan sosial untuk rakyat miskin dan yang termiskinkan akibat pandemi, sebaiknya disalurkan secara tunai ke rekening masing-masing penerima. Bisa memanfaatkan data dari institusi resmi yang kredibel, tidak sekadar menyalurkan. Alasannya, jika disalurkan dalam bentuk barang kebutuhan pokok seperti sekarang, maka selalu terjadi potensi korupsi seperti yang sudah terbukti saat ini. Akibat korupsi maka spesifikasi barang yang dibagikan akan berkurang. Misalnya beras premium tapi isinya oplosan. Ini berarti, hanya menguntungkan pengusaha bermodal besar dan produsen-produsen besar seperti Unilver, Indofood dll. Sementara, produk UMKM sangat sulit terserap karena alasan spesikasi dan ketidaan modal. Kemudian, Sembako yang dibagikan ke masyarakat belum tentu sesuai dengan kebutuhan selera penerima. Misalnya sarden, tidak semua orang suka makan sarden. Lebih enak beli ikan di pasar dan masak sendiri. Jika disalurkan melalui transfer tunai ke rekening masing-masing penerima, keuntungannga adalah, pertama, potensi korupsi oleh oknum penguasa, politisi dan para calo akan sirna. Kedua, akan menghidupkan pasar, karena masyarakat miskin akan belanja kebutuhan pokok secara langsung di pasar dan warung-warung rakyat. Ketiga, masyarakat penerima dapat membelanjakan sesuai kebutuhan Sembako di keluarga mereka. Tidak dipaksa makan produk pabrikan yang dimiliki pengusaha raksasa tertentu. Keempat akan ikut membantu perbankan, karena dana yang ditransfer ke rekening tentu akan ada jeda waktu sebelum diambil oleh penerima. Portofolio dan cashflow perbankan akan terbantu. Maka sebaiknya jangan hanya disalurkan melalui rekening di perbankan besar, lebih bagus malah melalui bank-bank kecil yang sedang butuh dibantu portofolionya. Misalnya bank-bank BPD di daerah, bank syariah Buku 1 dan Buku 2. Termasuk BPR/BPRS yang banyak di daerah-daerah Saran ini tentu tidak hanya berlaku untuk bantuan dari pemerintah pusat. Hal yang sama juga bagi pemerintah daerah propinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia. Karena potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan itu ada pada setiap level pemegang kuasa. Kekuasaan cenderung korup, tentu buatlah sistem yang meminimalisir potensi korup itu. Pandemi mestinya menyadarkan semua pihak untuk lebih mengingat Tuhan, termasuk bagi mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan di setiap level. Penulis adalah Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah
Hukum Mati Mensos, Logika Hukum Firli dan Mahfud MD
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (07/12). Anda yang berharap Mensos Juliari P Batubara dihukum mati, bersiap-siaplah kecewa. Jangan lupa Anda masih hidup di Indonesia. Presidennya juga masih Jokowi. Partai yang berkuasa juga masih PDIP. Come on. Wake Up! Cobalah lebih menjejak bumi. Harapan yang terlalu melambung tinggi, bisa membuat kita kecewa. Sedih dan depresi. Kalau sudah begitu, imunitas tubuh bakal menurun. Rentan terkena Covid-19. Tambah berat lah beban hidup Anda! Silakan cermati kembali apa yang dikatakan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Dia hanya menyatakan, KPK tengah mendalami penerapan pasal hukuman mati. KPK juga tengah mendalami apakah ada aliran dana ke PDIP. Tolong dicatat! Hanya mendalami ya. Jangan langsung berkesimpulan bahwa KPK akan menerapkan hukuman mati. Jangan pula berkesimpulan PDIP akan dibubarkan karena menerima aliran dana korupsi. Itu namanya kesimpulan yang terlampau jauh. Jumping to conclusions. Nggege mongso, kata orang Jawa. Hiduplah dalam kenyataan. KPK hanya menerapkan pasal 12 dan 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana sudah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001. Dalam pasal 12 disebutkan, seorang penyelenggara negara yang menerima gratifikasi, ancaman hukumannya dipidana seumur hidup, paling singkat 4 tahun, dan paling lama 20 tahun. Sementara dendanya paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Bagaimana dengan pasal 11? Nah ini lebih asyik lagi. Ancaman hukumannya paling singkat 1 tahun. Paling lama 5 tahun. Dendanya paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Hukuman mati diatur dalam pasal 2. Tapi ada syaratnya. Dalam ayat 1 dinyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 Milyar. Ayat 2, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam keadaan tertentu ini bersifat interpretatif. Pemerintah menafsirkan bahwa keadaan tertentu itu adalah bencana alam. Sementara Covid-19 bencana non alam. Benar bahwa Firli tidak secara tegas menyebut Covid-19 bencana non alam. Tapi berbagai pernyataannya terkesan ambigu. Ketika berbicara di Komisi 3 DPR RI Firli menyatakan, pelaku korupsi dana Covid-19 bisa dihukum mati. Begitu juga ketika berbicara dalam wawancara di sejumlah media. Sekarang dia mencoba mencari jalan aman. Mengambangkannya dengan kata “tengah mendalami.” Soal dalam atau tidak dalamnya, lain lagi urusannya. Yang penting tekanan publik bisa diredam. Firli saat ini tengah menikmati “kesuksesan” KPK menangkap dua orang menteri. Fakta itu setidaknya bisa meredam sikap skeptis publik terhadap KPK, di bawah kepemimpinannya. Firli sekarang mengambil alih peran. Dia langsung tampil dalam setiap jumpa pers mengenai OTT Mensos. Sebelumnya ketika OTT Menteri Kelautan cukup diserahkan ke wakilnya. Dia tengah menikmati sorotan kamera. Sambil berhitung-hitung jangan sampai menggigit tulang yang terlalu keras. Bagi Firli —bukan bagi penyidik ya— beberapa OTT ini semacam lucky blow, pukulan keberuntungan dalam tinju. Dia mencoba memanfaatkan second wind, semangat baru setelah sebelumnya limbung terkena hook keras berbagai kasus pribadinya. Syukur kalau dia bisa membuat lompatan kodok karirnya karena "sukses" memimpin KPK. Mahfud dukung Firli Bagaimana dengan Menko Polhukam Mahfud MD? Menurutnya, syarat yang dimaksud dalam undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor ialah negara dalam keadaan bahaya. Saat ini tak ada negara yang dinyatakan dalam keadaan bahaya. Covid-19, kata Mahfud MD, tidak termasuk dalam bencana alam. Walaupun begitu dia tidak membantah dampak Covid-19 ini lebih besar daripada bencana alam nasional. Mahfud menyatakan Indonesia juga tidak sedang mengalami krisis ekonomi, melainkan resesi. "Yang dinyatakan resesi itu tidak sama dengan krisis ekonomi. Resesi itu adalah manakala pertumbuhan ekonomi kita minus dua kuartal berturu-turut, itu resesi namanya," ujarnya. Berdasarkan penjelasan itu, Mahfud menilai Ketua KPK Firli Bahuri saat ini sulit menemukan kaitan antara syarat-syarat dalam UU Tipikor dengan kasus yang menjerat Juliari Batubara. Penjelasan Mahfud MD harus dilihat dalam posisinya sebagai Menko Polhukam. Bukan pakar hukum. Itu adalah sikap resmi dari pemerintahan Jokowi. Pernyataan itu merupakan signal sekaligus dukungan karena Firli telah “berada di jalan yang benar.” Tidak menerapkan hukuman mati. Signal itu juga harus ditangkap oleh lembaga penegak hukum lainnya, dalam hal ini hakim di pengadilan Tipikor. Ada alternatif hukuman paling berat dan paling ringan. Bisa diambil jalan tengah. Untuk meredam kemarahan publik jangan dihukum terlalu ringan. Tapi juga jangan terlalu berat. Yang sedang-sedang saja. Toh nanti bisa banding ke pengadilan tinggi. Kasasi atau peninjauan kembali (KPK) di Mahkamah Agung. Setelah itu, jangan lupa ada potong masa tahanan berupa remisi, asimilasi, dan kalau perlu……. grasi. Sampai di sini paham khan? Ah jangan terlalu sering bermimpi lah. Apalagi mimpi yang indah! Anda masih hidup di Indonesia Bro! Bangun…..bangun!!!! EndPenulis wartawan senior FNN.co.id
Siapa Menteri Ketiga Diambil KPK?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (06/12). Setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Eddy Prabowo, salah satu kader terbaik Partai Gerindra terjerat korupsi benih lobster (benur), kini giliran Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, salah satu kader terbaik dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketam Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dikabarakan marah-marah atas kelakuan “anak selokan" terbaik binaannya. Entah dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Apakah juga ikut marah-marah atau seperti Prabowo terhadap Edhy Prabowo, atau tidak atas kerjaan dan kelakuan Wakil Bendahara Umum PDIP ini. Marah-marah itu bisa karena mencemarkan nama baik pribadi Ketum atau partai. Namun bisa juga karena cara kerja mencuri yang kok bisa ketahuan. Apapun itu, ketika awal ramai penyusunan Kabinet Pemerintahan Jokowi, partai-partai berlomba untuk menempatkan kadernya di posisi-posisi yang dianggap basah, penting dan strategis. Pertengkaran antar koalisi kadang hanya disebabkan memperebutkan posisi basah dan kering seperti ini. Setelah Menteri dari Gerindra dan PDIP terjerat korupsi, timbul pertanyaan kader partai mana lagi yang menjadi target berikutnya dari KPK. Pertanyaan aneh, tetapi wajar saja sebab semua juga tahu bahwa kader-kader partai yang ditempatkan pada jabatan-jabatan pemerintahan, baik di Kementrian maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak dapat dipisahkan dari misi partai, baik pengaruh maupun untuk pengisi kas partai. Presiden Jokowi tentu saja tidak tuli dan buta pada kepentingan partai. Terutama melalui pembagian jabatan di pemerintahan. Jadi, logisnya Presiden mampu memainkan ritme dan fluktuasi politik di lingkungan internal pemerintahan. Kejaksaan Agung atau KPK bukan barang yang steril. Toh, Dewan Pengawas KPK bisa menjadi jembatan komunikasi yang bagus dengan pusat kekuasaan. Maknya publik mungkin ragu, jika tertangkapnya dua menteri Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara adalah kejutan bagi Presiden Jokowi. Keraguan yang wajar-wajar saja. Dua partai yang juga potensial untuk diredam oleh aksi KPK berikutnya yaitu Partai Golkar dan Nasdem. Kedua partai ini mulai "nakal". Nasdem mulai aktif mendekati Anies Baswedan yang selama ini menjadi "musuh utama istana". Sedangkan Golkar, disamping tidak dukung prolegnas RUU HIP, juga memiliki tapak pada Jusuf Kalla (JK) yang membuat poros politik baru JK-Surya Paloh-Anies-HRS. JK adalah sesepuh dan mantan Ketum Partai Golkar. Untuk satu tahap, Jokowi dapat sukses menekan dan meredam KPK. Tetapi kondisi ini dapat menjadi api dalam sekam. Jika partai-partai pendukung mulai gerah karena kader-kadernya digoyang terus, maka pemerintahan Jokowi akan menjadi "tidak lagi berpartai". Kondisi akan rawan pula untuk digoyahkan ke depan. Secara politik terbuka ruang balas dendam. Dua Menteri dihajar korupsi suap. Apakah suap model seperti ini hanya dilakukan dua Menteri itu saja? Patut diduga tidak mungkin. Perlu dilakukan pengusutan yang menyeluruh. Pesiden harus meminta KPK, baik langsung maupun melalui Dewan Pengawas untuk bekerja keras seobyektif mungkin. Akan tetapi sebenarnya persoalan berat yang dihadapi adalah apakah Presiden juga bersih? Kini kita tunggu saja siapa menteri ketiga yang telah masuk agenda "permainan" bongkar-bongkar borok demi kepentingan politik ini? Satu catatan terpenting adalah bahwa pertarungan internal telah dimulai.Ke arah mana angin akan berhembus? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Enak Jamanku To?
by Basyir Al-Haddad Jakarta FNN – Ahad (06/12). Ketika dihadapkan pada kehidupan politik yang semerawut, masyarakat yang terbelah, hidup yang makin sulit, kita jadi teringat dengan Pak Harto. Lepas dengan semua kekurangan dan kelemahannya, di zaman Orde Baru, semuanya relatif stabil. Pada masa Orde Baru, nggak ada preman, atau ormas berbaju preman yang dipakai oleh penguasa untuk menggebuk lawan-lawan politik, atau kelompok sipil kritis (civil society). Keamanan relatif stabil, karena negara tidak menggunakan jasa preman. Baik preman darat maupun preman udara yang disebut buzzer medsos. Banyaknya preman yang diberi ruang bernarasi atas nama pancasila dan NKRI justru semakin membuat gaduh keadaan. Masa Orde Baru, ketahanan dan kedaulatan pangan betul-betul dijaga. Nasib petani selalu menjadi perhatian serius Presiden. Hampir setiap hari Presiden tanya ke bagian rumah tangganya, berapa harga beras, harga cabe, sampai harga bawang dan harga garam? Semua dikontrol agar petani tidak menjadi korban para tengkulak dan importir. Saat ini, impor kebutuhan pokok ugal-ugalan. Beras, gula, kedelai, bawang, cabe, bahkan garam dan sayuranpun diimpor. Ini tak masalah selama jumlah yang diimpor disesuaikan dengan kebutuhan rakyat setelah menghitung hasil panen petani. Berapa kebutuhan rakyat, lalu dikurangi hasil panen, di situlah penerintah impor. Kalau hasil panen petani sudah mencukupi kebutuhan dalam negeri, kenapa harus impor lagi? Kalau kebutuhan rakyat hanya 1 juta ton, kenapa harus impor sebanyak 150 juta ton? Petani akan mampus. Sebab, hasil panen petani nggak terbeli. Bisa dibeli, tetapi dengan harga sangat murah. Untuk mengembalikan modal saja gak cukup. Ketahanan pangan menjadi masalah ketika impor dijadikan project balas budi terhadap para donatur yang menyumbang logistik saat pemilu. Di situ para timses dan partai pendukung ikut ambil jatah. Korbannya adalah petani, petani dan petani. Soal demokrasi, Pak Harto distigmakan sebagai pemimpin yang otoriter. Menggunakan tentara untuk menjaga stabilitas keamanan dan politik pemerintah. Meski begitu, di zaman Orde Baru, tentara nggak masuk kampus, mengejar mahasiswa hanya sampai di pagar kampus saja. Apalagi polisi. Pak Harto berprinsip bahwa kampus adalah tempat bersemainya generasi penerus bangsa. Sebab di kampus inilah masa depan bangsa akan ditentukan. Kalau kampus sudah rusak, maka masa depan bangsa juga pasti akan rusak. Membonsai mahasiswa sama saja merusak benih yang disiapkan untuk masa depan bangsa. Dulu, satu mahasiswa terluka atau ditahan aparat, kampus ramai. Masyarakat sipil hingga dunia internasional bicara. Kematian sejumlah mahasiswa Trisakti berakibat Orde Baru tumbang. Saat ini, entah sudah berapa nyawa mahasiswa jadi korban. Yang terluka, ditahan dan hilang, entah berapa jumlahnya. Hampir 1.000 petugas pemilu yang mati pun sudah dilupakan. Saat ini, rektor dipilih dan ditentukan oleh menteri. Senat hanya mengusulkan sejumlah nama. Siapa yang akan jadi rektor, tangan menteri yang akan memilih. Nggak peduli seorang calon rektor itu mendapat dukungan paling sedikit di senat. Menteri mau, kepilihlah dia. Nah, menteri pasti akan memilih calon yang loyal dan bisa dikendalikan. Siapapun dia. Dan di tangan rektor, para dekan dipilih. Senat fakultas tak punya hak lagi. Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa kampus sangat terkendali. Mahasiswa dan semua sivitas akademika terkendali. Jangan heran kalau ada rektor meminta para mahasiswa baru menandatangani pakta integritas, yang salah satu isinya tentang kesediaan mahasiswa untuk tidak ikut berpolitik. Pers di zaman Orde Baru memang dibatasi. Tetapi tidak ditekan habis, sehingga harus seragam pemberitaannya. Media, terutama media mainstream, sekarang tiarap. Colak colek penguasa, ijin usahanya bisa dicabut. Kasus pajak bisa terungkap. Indonesia menganut politik bebas aktif. Pak Harto masih cukup berwibawa di setiap pertemuan dan panggung global. Indonesia punya identitas dan jati diri di mata dunia internasional. Ini bukti bahwa kedaulatan negara terjaga. Bandingkan dengan sekarang, seperti apa? Rasakan sendiri. Soal pembangunan infrastruktur, ada program repelita. Semua terencana dan terukur sesuai kebutuhan dan kemampuan. Tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Tidak ugal-ugalan ngutang sana ngutang sini. Kebutuhan masyarakat dan efek pertumbuhan ekonominya di setiap perencanaan pembangunan. Tidak ngasal dan mengumbar nafsu. Kata temen saya yang pernah jadi menteri, "dua project yang potensi korupsinya paling gede dan relatif tidak ketahuan yaitu di migas dan di pembangunan infrastruktur". Ini yang terjadi sekarang. Korupsi? Jika di zaman Orde Baru korupsi terbatas di elit, sekarang korupsi dilakukan berjama'ah. Alias ramai-ramai dan kompak. Hampir di semua lini. Jika di masa Orde Baru korupsi sembunyi-sembunyi, saat ini korupsi terang-terangan. Nggak ada malu-malunya. Ada anekdot populer, "di masa Orde Baru korupsi hanya terjadi di bawah meja. Saat ini mejanya pun ikut dikorupsi". Anekdot ini seolah mengklarifikasi adanya regulasi yang sengaja disiapkan untuk memperlancar korupsi. KPK dimatikan melalui revisi Undang-undang No 19 Tahun 2019. UU Minerba makin membuka peluang korupsi di dunia tambang. UU Ciptaker memberi ruang bagi korporasi menindas buruh dan menguasai kekayaan negara. Situasi saat ini membuat rakyat dipaksa untuk membandingkan antara masa Orde Baru dengan masa sekarang. Sebagian menganggap di masa Orde Baru kehidupan berbangsa lebih stabil dan tenang. Enak jamanku To? Penulis adalah Pemerhati Indonesia
Korupsi Marak Saat Rakyat Menderita, Dimana Jokowi?
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Ahad (06/12). Hampir satu tahun lalu kita semua dibuat penasaran tentang penyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang menghilang tak tentu rimbanya. Sementara komisioner KPU-nya sudah dipenjara. Entah mengapa KPK sampai saat ini belum menemukan sosok yang dekat dengan petinggi partai berkuasa tersebut. Lalu kita dihebohkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Edhy Prabowo Menteri Kelautan dan Perikanan pada akhir November lalu. OTT ini membuat publik marah, dan sampai saat ini belum sirna dari ingatan publik. Diduga kuat Edhy Prabowo menerima suap sebesar Rp3,4 Milyar. Tiba-tiba awal Desember ini, publik kembali dihebohkan dengan berita OTT pejabat Kementerian Sosisl RI. KPK sudah menetapkan bahwa Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial) sebagai tersangka. Publik tentu semakin marah, karena diduga kuat yang dikorupsi itu uang bantuan sosial untuk mereka yang terdampak pandemi Covid-19. Yang dikorupsi di Kemensos juga uang untuk mereka yang berpenghasilan kecil. Uang untuk mereka yang miskin dan menderita. Uang untuk mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka korupsinya cukup fantastis. Diduga mencapai Rp. 14,5 miliar Jika dicermati, dana untuk penanganan pandemi Covid-19 mencapai Rp 677,2 triliun. Ini dana yang sangat besar, tetapi rawan dan berpotensi dikorupsi karena lemahnya pengawasan publik dan lemahnya pengawasan internal akibat situasi pandemi covid-19. Pesan Jokowi & Maraknya Korupsi Masih lekat dalam ingatan publik bahwa satu tahun lalu lebih, pada 23 oktober 2019 lalu, saat melantik 34 menterinya, Presiden Jokowi mengingatkan, "Saya telah perintahkan seluruh kabinet yang sudah saya umumkan, yang pertama jangan korupsi. Supaya menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi". Peringatan Jokowi kepada para menterinya itu dilakukan berkali-kali. Kalau begitu, pertanyaanya adalah mengapa masihg tetap saja terjadi korupsi? Mencermati kondisi tersebut, setidaknya menunjukkan terdapat lima hal penting. Pertama, peringatan Presiden Jokowi tidak didengar oleh para menterinya. Peringatan Presiden Jokowi hanya didengar sambil lalu saja. Tidak dianggap sebagai hal penting. Bahkan kemungkinan dinilai hanya sebagai pemanis bibir, dan bumbu citra rasa bagi seorang Presiden. Kedua, kepemimpinan Presiden dalam menjaga kabinetnya untuk tidak korupsi terlihat lemah. Presiden tidak mampu memanage, dan mengontrol menterinya untuk tidak korupsi. Bukankah setiap rapat kabinet ada update laporan dari para menterinya? Pada setiap laporan, mestinya Presiden mampu temukan celah potensi korupsi? Tetapi jika menemukan celah, potensi kemungkinam korupsi lalu dibiarkan dan tidak ditegur, ini berarti kemungkinan ada semacam pembiaran atau kepercayaan Presiden yang berlebih kepada para menterinya. Ketiga, itu menunjukkan saat proses pengangkatan Menteri cenderung mengabaikan sisi integritas calon menterinya. Lebih dominan faktor transaksional politisnya. Ini sudah diduga dari awal, karena proses pengangkatan para menteri diawal periode kedua Jokowi ini memang tidak melibatkan KPK dalam seleksinya. Berbeda dengan saat periode pertama yang meminta KPK. Ada semacam menseleksi dari sisi track record (rekam jejak) integritas nama nama calon menterinya. Keempat, menunjukkan bahwa sang menteri, sejak awal memang tidak memiliki integritas yang baik. Selain itu, perlu ditelusuri, apakah praktek korupsi tersebut sengaja dibiarkan, disetujui, atau diperintah oleh partai politiknya? Kelima, menunjukkan tidak jera nya para elit politik dalam melihat penangkapan OTT yang dilakukan KPK. Termasuk tidak takut untuk malukukan korupsi, karena hukuman bagi koruptor ternyata ringan. Bahkan boleh lagi menjadi caleg, atau calon kepala daerah setelah keluar dari penjara. Meminjam terminologi Inge Amundsen yang disebutkan dalam artikel yang berjudul Research on Corruption: A Policy Oriented Survey (2000) karakteristik koruptif bribery (suap), embezzlement (penggelapan), dan nepotism (kedekatan hubungan) tampaknya lebih dominan di Indonesia. Peristiwa dan analisis di atas adalah obyek empiriknya. Dimana Tuan Presiden? Pada titik inilah kita patut bertanya di mana integritas Presiden Jokowi di tengah masih maraknya korupsi? Di mana posisi Presiden Jokowi dalam mendorong hukuman berat bagi para koruptor? Di mana komitmen Presiden dalam upaya pencegahan praktek korupsi di Kementrian dan Lembaga di bawah kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan? Korupsi di tengah situasi bencana pandemi covid-19, dan situasi krisis ekonomi, bahkan dalam situasi resesi ekonomi menuntut penegakan hukuman yang sangat berat. Bila perlu hukuman mati sangat dimungkinkan menurut Undang-Undang. Lantas, di mana posisi dan komitmen Presiden Jokowi yang dulu berkampanye untuk hukum berat koruptor? Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Kemudian pada ayat berikutnya (2) disebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Di dalam aturan penjelasan ayat (1) diterangkan yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” di dalam pasal ini mencakup melawan hukum dalam arti formil maupun materiil. Artinya, meski perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dapat dimaknai sebagai delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan. Bukan dengan timbulnya akibat. Sedangkan pada ayat (2) dijelaskan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menetapkan Corona sebagai bencana nasional. Maka dari itu, jika terjadi tindak pidana korupsi terhadap dana anggaran untuk penanganan Corona, maka sesungguhnya bisa ditindak sesuai dengan Pasal 2 UU tindak pidana korupsi tersebut. Saat ini Indonesia sedang dalam kondisi bencana nasional pandemi covid-19. Kita dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter. Lalu apakah hukuman mati akan diterapkan? Ini momentum penting bersejarah dalam penegakan hukuman bagi para koruptor agar semua elit politik yang berniat korupsi jera dan tidak akan melakukan tindakan korupsi lagi. Pertanyaanya, sampai saat ini, usai KPK menetapkan Mensos JPB sebagai tersangka korupsi bantuan sosial, apa suara Presiden Jokowi? Jokowi hanya mengatakan bahwa dirinya tidak akan melindungi menterinya yang korupsi. Itu benar Tuan Presiden. Tetapi ini situasi bencana nasional dan krisis ekonomi. Di mana suara lantangmu soal hukuman mati Tuan Presiden? Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Pak Dudung Jangan 'Makar' di PBSI Yaa…
by Rahmi Aries Nova Jakarta FNN - Sabtu (05/12). Pada Jumat (4/12) salah seorang mantan pemain nasional bulutangkis mengunggah fotonya bersama rekan-rekannya sesama mantan pemain nasional dan Pangdam Jaya yang tengah 'naik daun' Mayjen TNI Dudung Abdurachaman. "Terimakasih Pak Panglima @dudung.abdurachman utk main Badminton bareng kita hari ini 🙏🙏🙏 Stay safe, stay healthy & stay happy Pak 🇮🇩🇮🇩🇮🇩" Demikian unggahan yang sayangnya tak bisa saya komentari karena FB saya tengah disuspend. Padahal saya hanya ingin bertanya mengapa Dudung tidak menggunakan masker dalam foto tersebut? Terlihat juga kerumunan melatarbelakangi foto itu, apakah itu tidak menyalahi aturan protokol kesehatan? Fotonya sendiri sangat epic menurut saya, karena pasti kita semua hafal bahwa yang di kiri dan kanan Dudung adalah srikandi-srikandi bulutangkis kebanggaan kita. Kalau dilihat dari banner, istilah keren dari spanduk, yang juga terlihat dalam foto, mereka adalah Komunitas Bulutangkis Indonesia (KBI) yang 'kalah' dalam persaingan pemilihan Ketua Umum PBSI awal November lalu. Mereka gagal meminta Muldoko untuk ikut bersaing, dan terakhir calon yang terpaksa mereka usung pun gagal dalam verifikasi hingga calon dari 'kubu lawan' Ketua BPK Agung Firman Sampurna terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PBSI 2020-2024. Agung sendiri belum mengumumkan susunan pengurus yang akan membantunya nanti. Kabarnya pengumuman pengurus yang semula direncanakan Jumat (4/12), diundur hingga Senin.Yang mengejutkan adalah rumor bakal ditunjuknya Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit sebagai Sekjen PBSI mendatang. Apakah 'bergabungnya' Dudung dengan KBI adalah bagian dari upaya KBI untuk merangsek kembali di PBSI? Dan ditunjuknya Listyo Sigit untuk meredamnya? Entahlah… Karena seperti Dudung yang selalu mencurigai FPI hingga melakukan aksi turun spanduk khusus FPI, saya pun selalu curiga kalau tiba-tiba ada pejabat yang bermain bulutangkis. Karena biasanya mereka ingin jadi ketua… Ha..ha… Penulis wartawan senior FNN.co.id
Edhy Prabowo, dari “Selokan” Berakhir di KPK
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (05/12). Menhan Prabowo Subianto secara resmi akhirnya buka suara, soal OTT Menteri Kelautan Edhy Prabowo. “Dia saya angkat dari selokan, dan inilah yang dilakukan kepada saya,” ujar Prabowo seperti ditirukan adiknya Hashim Djojohadikusumo. Prabowo menyampaikan kemarahannya kepada Hashim dalam Bahasa Inggris. ”I lift him up from the gutter and this is what he does to me.” Media kemudian menerjemahkannya cukup beragam. Diangkat dari selokan, got, dan ada pula yang menerjemahkan menjadi comberan. "Pak Prabowo sangat marah, sangat kecewa, merasa dikhianati," tambah Hashim. Reaksi keras Prabowo ini sangat mengejutkan. Terutama pada pilihan diksinya. “Selokan!” Seorang mantan petinggi negara yang kenal dekat dengan keluarga Djojohadikusumo, mengaku sangat terkejut. “Kenapa sekasar itu ya? Kalau sudah tolong orang, ya tolong saja,” ujarnya. Bagi sang mantan petinggi, Hashim dan Prabowo tidak bisa cuci tangan begitu saja. Faktanya Hashim juga dapat konsesi dalam ekspor benih lobster (benur). Bahwa perusahaan Hashim mengaku belum pernah mengekspor benur. Itu soal yang berbeda. Mengapa Hashim sampai harus membuka percakapan internal itu ke publik? Walau cukup terlambat, dari sisi strategi marketing politik, Hashim sedang melaksanakan damage control management. Dia sedang mencoba mengurangi kerusakan politik yang sedang terjadi. Kerusakan politik pada Gerindra, dan secara khusus kepada brand besar yang mereka sandang, yakni keluarga Djojohadikusumo. Merek besar itu sekarang disandang oleh Prabowo, yang selama ini mencitrakan diri sebagai figur anti korupsi. Apa boleh buat, karena kedekatan hubungan antara Prabowo dan Edhy Prabowo, brand asossiasinya sangat kuat. Kebetulan pula Edhy juga menyandang nama Prabowo. Publik yang tidak mengenal secara dekat, kemungkinan besar menduga, Edhy juga bagian dari keluarga besar Djojohadikusumo. Meminjam tagline iklan produk jadul: Ingat Gerindra, Ingat Prabowo! Dalam kasus korupsi lobster, turunan brand asosiasinya menjadi : Ingat kasus korupsi Edhy Prabowo, Ingat Prabowo. Lebih cilaka lagi kalau sampai brand asosiasinya berubah : Ingat Prabowo, Ingat Korupsi Benur! Brand asosiasi adalah kesan yang melekat di benak seseorang, begitu melihat atau mendengar, sebuah objek yang berhubungan dengan produk atau barang jasa tertentu. Jadi secara asosiasi, kasus korupsi Edhy merugikan dua kepentingan besar sekaligus: Gerindra dan keluarga besar Djojohadikusumo. Karena itulah Hashim sangat berkepentingan untuk memutus mata rantai brand asosiasi itu. Dia bahkan sampai harus menyewa pengacara eksentrik Hotman Paris Hutapea. Menggelar jumpa pers, dan menjelaskan hal itu. Gerindra, Prabowo, dan Saras Apa saja kerusakan merek ( brand damage ) akibat kasus Edhy Prabowo? Dan mengapa Hashim harus menyampaikan ucapan yang begitu keras? Pertama, dalam jangka panjang, Hashim dan keluarga besar Hashim Djojohadikusumo harus menyelamatkan Gerindra. Partai yang didirikan oleh Prabowo itu, bagaimanapun harus bertahan dan menjadi legacy keluarga. Sejauh ini, Prabowo harus diakui berhasil membangun Gerindra menjadi kekuatan politik nomor dua terbesar di Indonesia. Berbagai survei menunjukkan penerimaan publik terhadap Gerindra cenderung meningkat. Kalau sampai gara-gara Edhy Gerindra hancur, harga yang dibayar amat sangat teramat mahal. Kedua, Hashim juga harus mengamankan posisi Prabowo. Dia merupakan aset terbesar keluarga saat ini. Kendati sudah dua kali sebagai capres, sekali sebagai cawapres, Prabowo tetap dianggap kandidat terkuat Pilpres 2024. Namanya tetap layak dijual. Kasus Edhy jelas merusak reputasi Prabowo, dan akan sangat berpengaruh pada elektabilitasnya. Ketiga, dalam jangka pendek ada kepentingan politik yang harus diselamatkan keluarga Hashim. Rahayu Saraswati, putri Hashim dalam beberapa hari ke depan akan mengikuti Pilkada di Tangerang Selatan. Kasus Edhy bisa dikapitalisasi oleh kompetitornya untuk demarketing dan menjatuhkan elektabilitas Saras. Berbagai pertimbangan itu lah yang membuat Hashim harus bertindak. Termasuk kalau perlu “melemparkan” kembali Edhy Prabowo ke dalam “selokan.” Cuma bikin sial! End Penulis wartawan senior FNN.co.id.
Mungkinkah Perlawanan Rakyat Bersama Habib Rizieq Dilenyapkan?
by Asyari Usman Medan FNN - Sabtu (05/12). Sampai hari ini, tidak satu pun kekuatan sosial-politik atau simbol perlawanan rakyat yang “diterge” oleh penguasa kecuali Habib Rizieq Syihab (HRS). Yang lain-lainnya dibiarkan saja bagai angin lalu. Suara NU diabaikan. Begitu juga suara Muhammadiyah. Atau ormas-ormas lainnya. Semua dianggap tidak penting oleh para penguasa. Bahkan, penguasa kelihatan yakin kekuatan OPM di Papua pun tidak dianggap mengganggu. Lihat saja bagaimana Menko Polhukam Mahfud MD menanggapi deklarasi kemerdekaan Papua oleh Benny Wenda. Mahfud bilang itu “deklarasi Twitter”. Ini menandakan penguasa tidak takut pada OPM. Lain halnya dengan HRS. Tampak sekali para penguasa merasa tak nyaman. Mereka sepertinya sangat paham bahwa kekuatan Habib bisa mencelakakan para penguasa bejat. Mungkin para penguasa itu membayangkan kekuatan HRS sekarang ini menjadi ‘uncalculable’ alias ‘tak bisa dihitung’. Sekaligus ‘unpredictable’ alias ‘tak bisa diramalkan’. Dalam arti, kekuatan Habib semakin susah dipetakan setelah Beliau “diasingkan” di Arab Saudi selama tiga tahun. Ada efek positif untuk Habib dari pengasingan itu. Blessings in disguise. Kini para penguasa berusaha keras agar Habib bisa dipidanakan. Semua cara dilakukan. Dan semuanya menjadi tertawaan publik. Misalnya, apa saja aspek yang terkait dengan karumunan di Petamburan dikejar tuntas. Termasuk pihak yang menyediakan tenda untuk acara pernikahan putri Habib, belum lama ini. Amazing! Dahsyat sekali. Mengapa penguasa begitu fokus dan detail mengejar Habib? Tentu karena mereka sangat ingin membungkam Imam Besar (IB) itu. Mengapa harus dibungkam? Karena banyak orang yang semakin gerah dengan kehadiran pengkritik lantang ini. Siapa-siapa saja yang gerah? Banyak sekali. Khususnya orang-orang yang selama ini bebas melakukan apa saja untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Yang selama ini bisa korupsi besar. Yang bisa seenaknya menjarah kekayaan rakyat. Yang selama ini menerima upeti dari para oligarkhi cukong yang membuat negara ini berantakan. Mereka itu adalah para penguasa, terutama penguasa yang punya pasukan dan mantan-mantan petinggi berbintang, yang selama ini menggendutkan rekening bank mereka. Yang memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh para cukong bangsat. Orang-orang inilah yang gerah terhadap kekuatan perlawanan Habib. Itulah sebabnya mereka akan terus mencari-cari kesalahan IB. Mereka akan terus memburu habis HRS. Sampai tidak ada lagi perlawanan yang tersisa. Itulah target penguasa. Tapi, mungkinkah perlawanan rakyat dilenyapkan tanpa sisa? Sangat tidak mungkin. Bahkan, selagi pengejaran dengan cara-cara kotor dan zalim terhadap Habib tak dihentikan, perlawanan itu tampaknya akan semakin besar.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)