ALL CATEGORY

Ini Penyebab Habib Rizieq Harus "Kabur" dari RS

by Asyari Usman Medan FNN - Senin (30/11). Sebenarnya, tidak keliru kalau para buzzer dan pembenci ulama mengolok-olok Habib Rizieq Syihab (HRS) dengan istilah “kabur” dari RS Ummi di Bogor. Bisa dimakulimi ejekan itu. Mengapa? Karena Habib memang harus "kabur" menghadapi situasi di sekeliling RS itu. Bahaya kalau beliau tidak segera "kabur". Siapa pun orangnya pasti akan memilih cara itu. Tidak mungkin situasi waktu itu dihadapi dengan cara biasa. Tidak mungkin dengan cara normal. Sebab, semua yang menunggu di depan RS Ummi bukan makhluk yang berpikiran normal. Makhluk-makhluk itu sama sekali tidak mungkin berperilaku normal. Jadi, setelah direnungkan, betul juga penyebutan “kabur” oleh para buzzer dan pembenci ulama itu. Tidak salah mereka mengejek Habib "kabur" meninggalkan RS Ummi. Kemudian, para buzzer dan pembenci ulama mengatakan “kabur dari pintu belakang” RS. Bermasalahkah atau tidak narasi yang diviralkan oleh para buzzer dan musuh ulama itu? Tampaknya tidak ada masalah. Sebab, tak mungkin dari depan. Bahaya sekali. Terus, menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “kabur” itu antara lain diartikan “berlari cepat-cepat” atau “melarikan diri”. HRS memang harus berlari cepat-cepat. Dan juga harus segera melarikan diri dari lokasi. Kalau tidak, bakal terjadilah peristiwa yang sangat fatal. Okey. Mungkin Anda akan mengatakan, sudah cukuplah penjelasan Ente. Sekarang, tolong terangkan mengapa Ente bilang wajar saja Habib kabur dari RS. Tentang mengapa tidak masalah kalau para buzzer dan pembenci ulama mengunakan istilah “kabur” untuk proses kepulangan Habib dari RS, begini uraiannya. Habib terpaksa kabur karena beliau melihat di luar RS banyak sekali anjing galak. Ukuran besar-besar semua. Tegap dan kekar. Ada jenis pitbull terrier, German Shepherd, dan ada Belgian Malinois. Kemudian ada jenis Bloodhound, Dutch Shepherd, dlsb. Semua anjing-ajing galak yang menunggu di luar RS itu sangat terlatih untuk mencederai Habib. Anjing-anjing buas itu dikerahkan ke lokasi hanya untuk mengeroyok Habib. Jadi, masuk akal ‘kan Habib terpaksa "kabur" dari RS. Cuma, Habib ternyata tak bisa kabur dari anjing-anjing yang khusus dilatih untuk membenci, menghina, dan mengolok-olok ulama. Mereka ditugaskan untuk menggonggong di dunia maya. Mereka dilatih untuk mengubah narasi kepulangan Habib dari RS “dengan kemauan sendiri” menjadi “kabur”. Begitulah dahsyatnya anjing-anjing yang dilatih dan diberi makan oleh tuan-tuan mereka.[] (Penulis bukan orang FPI)

Habib Rizieq Shihab Lebih Menakutkan Dari Covid-19

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (30/11). Bagi Presiden Jokowi, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) tampaknya jauh lebih menakutkan dibanding Covid-19. Sejauh ini, korban yang terpapar Covid-19 sudah melampaui angka 500 ribu orang. Meninggal dunia di atas angka 16 ribu. Belum ada satupun pejabat yang dipecat. Menteri Kesehatan Terawan juga bisa dengan anteng duduk di jabatannya. Padahal ucapan maupun kebijakannya, berkali-kali blunder. Sebaliknya, hanya beberapa hari setelah HRS kembali ke Indonesia, dua pejabat tinggi kepolisian dipecat. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sujana, dan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudi Sufahriadi dicopot dari jabatannya. Mereka dinilai gagal mencegah adanya kerumunan massa. Sejumlah perwira menengah Polri pada posisi Kapolres juga dirotasi. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tengah malam mengumpulkan para panglima dan komandan pasukan tempur. Menggelar press breifing, nyampaikan ancaman untuk kelompok-kelopok yang memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Tak hanya berhenti sampai disitu. Panglima TNI melakukan sidak ke markas Pasukan Khusus dari ketiga angkatan TNI. Semacam show of force kepada musuh negara. Rombongan kendaraan taktis Pasukan Komando Operasi Khusus (Koopsus), tiba-tiba berhenti tak jauh dari pintu masuk markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman bertindak cepat. Memerintahkan prajurit Kodam Jaya mencopoti baliho ucapan selamat datang HRS. Dia tak mau ketiban apes dicopot seperti koleganya di kepolisian. Sejauh ini jabatan Dudung aman. Dia dinilai berani pasang badan. Termasuk soal wacana pembubaran FPI. Tak kalah sigap, Mendagri Tito Karnavian segera menerbitkan instruksi (Inmen). Para kepala daerah, mulai Gubernur sampai Bupati dan Walikota bisa dicopot dari jabatannya bila tidak menegakkan protokol Kesehatan dan penanggulangan Covid. Gubernur DKI Anies Baswedan dipanggil polisi, untuk klarifikasi akibat kerumunan massa yang sangat besar pada acara Maulid Nabi, dan pernikahan putri HRS. Gubernur Jabar Ridwan Kamil juga dipanggil polisi. Dia diklarifikasi adanya kerumunan pada acara Maulid Nabi di pesantren milik HRS, di kawasan Mega Mendung, Bogor. Semua instansi pemerintah tiba-tiba bergerak sangat sigap. Seolah adu unjuk kerja ke Jokowi. Sampai-sampai Walikota Bogor Bima Arya Sugianto bertindak over-acting. Mengancam dan melaporkan rumah sakit UMMI tempat HRS dirawat dan menjalani swab. Paling ditakuti Berbagai kehebohan itu menunjukkan betapa besarnya pengaruh HRS. Tidak berlebihan bila wartawan asing John McBeth menulis sebuah artikel di laman Asiatime dengan judul yang sangat provokatif. “The Islamic Cleric Who Widodo Fears the Most.” Ulama yang paling ditakuti oleh Presiden Jokowi! Belum pernah dalam 9 bulan terakhir masa pandemi, pemerintah mengerahkan begitu besar sumber dayanya. Mulai dari TNI, Polri, kementerian dalam negeri, dan berbagai sumber daya lain yang tidak kasat mata. Pesan yang sampai ke publik, justru pemerintah seperti kebingungan menghadapi pandemi. Ada perasaan mendua yang bercampur. Mixed Felling. Antara mengutamakan kesehatan, atau mempertahankan ekonomi.Aspek kesehatan seperti kita sudah saksikan dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Pada kasus HRS, instruksi Jokowi sangat tegas dan jelas. Mulai dari Kapolri, Panglima TNI, sampai Mendagri harus bertindak tegas. Bersatu padu menghadapi HRS. Penanggulangan dan penegakkan protokol kesehatan jadi argumen. Skenario yang disiapkan sangat jelas dan terbuka. Penolakan HRS untuk membuka hasil swab di RS UMMI menjadi pintu masuk. Menko Polhukam Mahfud MD bahkan sampai harus menggelar konperensi pers bersama Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo dan pejabat dari Depkes. Secara tegas Mahfud menyebut ada ketentuan pidana yang bisa diterapkan bila HRS menolak bekerja sama. Bersamaan dengan itu polisi juga telah melayangkan surat panggilan. HRS akan diperiksa Polda Metro Jaya Selasa (01/12) berkaitan dengan kerumunan massa di Petamburan. Dalam surat panggilan disebutkan soal adanya dugaan tindak pidana penghasutan, dan menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Melihat besarnya penyambutan HRS di Bandara, kali ini pemerintah pasti tidak ingin kembali kecolongan. Para pejabat Polri dan TNI tak mau lagi kehilangan jabatan. Pemeriksaan HRS oleh Polda diperkirakan akan menarik bagi para pendukungnya untuk memberi dukungan. Semua pasti sudah diantisipasi. End. Penulis warrawa senior FNN.co.id

Penguasa Baru Itu Bernama Satgas Covid 19

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (30/11). Kasus Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Bima Arya yang Walikota Bogor menunjukkan watak arogansi dan kesombongannya. Bima melaporkan Direktur Rumah Sakit UMMI Bogor ke Polisi. Menurut Bima Arya, Rumah Sakit UMMI tidak terbuka dalam menyampaikan prosedur dan hasil test swab atas Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dirawat di RS UMMI Bogor. Rumah Sakit dan dokter tentu punya aturan dan kode etik sendiri mengenai pasiennya. Sehingga apa yang dilakukan tentu dengan dasar dan pertimbangan medis. Bukan pertimbangan non medis. Sikap seenaknya saja main lapor adalah cermin keangkuhan seorang pejabat. Bahkan prilaku Bima Arya dinilai sarat akan muatan politis. Politisasi masalah kesehatan. Walikota Bima Arya semestinya dilaporkan juga oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau pihak Rumah Sakit UMMI ke pihak Kepolisian. Bima Arya bisa saja dituduh mau mengacak-acak aturan dan kode etik yang sudah baku, dan berlaku di dunia kedokteran selama ini. Dokter berhak untuk tidak menyampaikan hasil pemeriksaan dan data pasien kepada publik. Satgas Covid kini adalah raja atau penguasa baru. Dimana-mana urusan ditentukan oleh Satgas. Tidak bakal keluar izin tanpa rekomendasi Satgas atau Gugus Tugas (Gutas). Jadi teringat ketika Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jawa Barat (Jabar) akan mengadakan Deklarasi. Ketika itu, semua persyaratan izin sudah selesai dipenuhi. Bahkan hotel pun telah dibayar. Namun gagal untuk melakukan deklarasi KAMI Jabar di tempat yang telah dicantumkan dalam pengumuman hanya karena Gugus Tugas membatalkan rekomendasi. Seenaknya saja. Sesuka hati saja. Apa dasar hukum kekuasaan Satuan Tugas Penanganan Covid 19, sehingga menjadi raja diraja. Satgas menjadi penentu dari segala aktivitas kehidupan bermasyarakat saat ini. Padahal soal pandemi Covid 19, semua masyarakat sudah tahu dan memahami situasinya, karena sudah berlansung hampir sembilan bulan. Tragisnya, Satgas Covid 19 dijadikan alat oleh rezim sekarang ini sebagai penguasa baru untuk menghambat dan menghalangi kegiatan masyarakat sipil (civil society) yang dianggap oposisi. Situasi pandemi Covid 19 tidak boleh dijadikan sebagai legitimasi bagi Satgas Penanganan Covid 19, sehingga memiliki kewenangan yang tidak terbatas (extra ordinary). Kewenangan untuk menyatakan seseorang atau sekelompok orang melakukan perbuatan pidana lalu dengan semaunya, sehingga melaporkan ke pihak kepolisian. Bisa terjadi penyalaggunaan kekuasaan. Indonesia ini negara hukum. Bukan negara Satgas, pak Bima Arya. Jika Direktur Rumah Sakit atau Dokter diproses hukum atas dasar alasan tidak membuka rahasia pasien, maka betapa banyak kelak korban akan berjatuhan. Semestinya jika dinilai ada kekeliruan, maka kepada lembaga profesi seperti IDI pengaduan disampaikan. Baru setelah ada kejelasan menurut kompetensi medis, maka diputuskan dapat atau tidaknya berlanjut ke ranah hukum melalui Kepolisian. UU Kekarantinaan Kesehatan dilaksanakan penuh dengan multi tafsir. Ketika pilihan kebijakan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan bukan Karantina Nasional, maka ada tidaknya sanksi pidana masih diperdebatkan di kalangan ahli hukum. Demikian juga soal test swab tentang kewajiban rakyat atau pasien membuka informasi, itupun perlu penjelasan dan aturan yang jelas. Demikian juga kewenangan Satgas yang berada di ruang administrasi atau hukum. Menjadi sama dengan aparat keamanan kah atau berstatus sebagai "Polisi Kesehatan"? Sebab, yang jelas UU No 44 tahun 2004 tentang Rumah Sakit mengatur adanya hak pasien untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita beserta data-data medisnya. Kacau negara ini jika seenaknya memberi kewenangan tanpa dasar hukum yang jelas. Pandemi Covid 19 tak boleh menjadi alat untuk merampok uang negara, atau menghukum sewenang-wenang seseorang atau institusi hanya dengan tafsir sepihak saja. Pak Bima Arya yang terhormat, kembali lagi dipertegas bahwa Indonesia ini menurut Konstitusi adalah Negara Hukum (Rechstaat). Bukan Negara Kekuasaan (Machstaat). Apalagi Negara Satgas (Satgasstaat)! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.

Nguber HRS, Bima Arya Berharap Masuk Kabinet?

by Tony Rosyid Jakarat FNN – Senin (30/11). Tiga hari bekalangan ini, nama Walikota Bogor Bima Arya jadi pembicaraan hangat di publik. Pasalnya, Sang Wali Kota lagi nguber Habib Rizieq Shihab (HRS) terkait hasil tes swabnya di Rumah Sakit Ummi Bogor. Nggak dapat hasil tes swab itu, Bima Arya hendak melaporkan pihak rumah sakit Ummi Bogor ke polisi. Tuduhannya? Rumah sakit dianggap tak transparan. Lho, apa kepentingan Bima Arya harus mengetahui hasil tes swab HRS? Emangnya hasil tes swab petinggi negara seperti Presiden Jokowi, Ibu Negara Iriana, dan para menteri juga dibuka ke publik untuk diketahuai masyaralat luas? Kenapa Bima Arya ngebet untuk kejar Habib Rizieq? Ini menarik untuk ditelusuri. Sebab, semangat memburu hasil swab oleh publik dianggap aneh bin ajaib. Ngapain kelas Walikota ngurusin hasil swab Habib Rizieq? Kenapa tidak ngurusin saja hasil swab warga dan masysarakat Bogor lainnya? Sebaliknya, kapada lima anak buah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kota Bogor yang korupsi Rp 17,2 miliar dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Sang Wali Kota Bima Arya malah minta untuk penangguhan penahanan. Yang jelas-jelas melakukan tindak pidana korupsi malah dibelain. Sementara yang tes kesehatan diuber-uber. Publik menilai, apa yang dilakukan Wali Kota ini aneh saja! Publik jadi bertanya-tanya. Apakah ini murni inisiatif dan berasal dari rasa ingin tahu Walikota Bogor saja? Atau ada pihak lain di belakang Bina Arya yang berkepentingan terhadap hasil swab Habib Rizieq? Atau Bima Arya memang lagi caru muka kepada istana negara, karena berharap bisa masuk dalam anggota kabinet Jokowi yang akan dilakukan peromabakan dalam waktu dekat? Masuk pada pertanyaan normatif, apa ada keharusan bagi pasien untuk memberi tahu hasil tes swabnya kepada Kepala Daerahnya? Ada-ada saja prilaku aneh Walikota Bima Arya. Jangan panik gitu dong Pak Walikota. Kalau bernasip baik, ya masuk kabinet. Kalau belom reziki ya sabat sajalah. Kalau Habib Rizieq di rumah pribadi, ada interaksi dan berkerumun bersama warga yang lain, maka Walikota punya kewenangan untuk meminta yang bersangkutan melakukan a, b, c, dan seterusnya. Ini memang tugas Walikota sebagai pamong Tetapi, kalau Habib Rizieq berada di dalam sebuah Rumah Sakit, dimana Habib dalam pengawasan dokter, maka mau dites suhu, mau di-USG, mau di-CT Scan, mau di-Swab, itu semua urusan dokter dan tim medis di Rumah Sakit. Nggak ada urusannya dengan Walikota Pak Bima Arya. Keputusan medis itu urusan dokter. Bukan urusannya Walikota. Keputusan medis yang menjadi urusan dokter rumah sakit itu diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), kode etik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan lain-lain. Nah, pemeriksaan pasien itu keputusan medis, bukan keputusan politis Pak Bima Arya. Walikota, Camat, Gubernur dan jajaran pemerintahan yang lain tidak punya kewenangan mencampuri urusan medis dan hasil pemeriksaan dokter. Tidak boleh ikut-ikutan dalam keputusan medis ini dan itu. Itu dengan otoritas urusannya rumah sakit. Masa Pak Bima Arya nggak ngerti juga? Perlu Bima Arya harap tahu, kalau yang ini adalah pemahaman amat dasar soal otoritas. Mosok nggak paham juga sih. Payah amat sih Pak Bima Arya. Apa yang dilakukan Bima Arya sebagai Walikota Bogor dianggap melampaui batas otoritasnya. Over laping. Walikota Bogor perlu belajar lagi tentang etika kedokteran, kata MER-C. Wajar jika publik bertanya, ada maksud apa dibalik upaya Bima Arya memburu hasil swab Habib Rizieq? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

HRS Menolak Karena Tak Percaya RS dan Instansi Kesehatan

by Asyari Usman Medan FNN - Senin (30/11). Para penguasa kelihatannya gagal paham mengapa Habib Rizieq Syihab (HRS) enggan berurusan dengan sembarang rumah sakit (RS) dan instansi kesehatan pemerintah. Yang menjadi masalah ialah bahwa Imam Besar itu tidak percaya pada cara kebanyakan RS menangani pasien biasa dan pasien yang menyandang gejala Corona maupun yang dinyatakan positif setelah dites swab (PCR). Itulah yang terjadi ketika HRS masuk ke RS Ummi di Bogor. Habib lebih suka dirawat RS Ummi yang telah dikenalnya sejak lama. Habib dan keluarganya selalu datang ke situ untuk urusan medis. Soal kepercayaan pula yang menyebabkan Habib memilih tim medis Mer-C untuk tes swab. Pantaskah Habib tidak percaya? Sangat wajar. Sebab, masyarakat luas pun sudah tidak percaya pada RS. Semua RS. Diduga, banyak kematian non-Covid dikatakan Covid oleh pihak RS. Ketidakpercayaan masyarakat itu terjadi di seluruh Indonesia. Kita pernah mendengar atau membaca berita tentang keributan antara keluarga pasien yang mengambil paksa jenazah anggota keluarga karena mereka tidak yakin si pasien meninggal karena Covid. Ada kejadian di Situbondo, akhir Agustus 2020. Keluarga jenazah perempuan berusia 71 tahun tidak yakin dia meninggal karena Covid. Si wanita punya riwayat asma. Ini yang dipercaya keluarga. Lagi pula, dia baru 3 jam dirawat di RS langsung meninggal. Di Jambi, awal September 2020, ayah dari anak laki-laki 6 tahun yang meninggal dunia di satu RS, dibawa pulang paksa. Keluarga tak sabar menunggu hasil tes swab. Mereka tak percaya pada hasil tes awal yang dinyatakan “reaktif”. Di Makassar, awal Juli 2020, keluarga pasien berusia 55 tahun mengambil paksa jenazah laki-laki itu. Mereka tak percaya pria itu meninggal karena Covid. Mereka mengatakan, pasien mengidap penyakit maag akut. Dan RS tidak bisa meyakinkan bahwa pasien meninggal karena Civid-19. Masih di Makassar, awal Juli 2020 juga, keluarga pasien laki-laki hendak menjeput paksa jenazahnya. Mereka tidak yakin pasien berstatus PDP itu meninggal karena virus Corona. Mereka menolak dikuburkan dengan protocol Covid. Setidaknya ada tiga kejadian serupa di Makassar yang semuanya terkait dengan ketidakpercayaan keluarga bahwa sanak-saudara mereka meninggal karena Covid-19. Di Manado, awal Juni 2020, terjadi kericuhan antara keluarga pasien pria 52 tahun yang mengidap penyakit pneumonia. RS menyatakan dia meninggal karena Covid. Tetapi, keluarga tidak percaya. Bahkan, pihak RS dituduh menyogok keluarga untuk menyatakan pasien sebagai penderita Covid-19. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap semua RS di masa wabah Covid-19 ini sangat serius. Krisis kepercayaan itu begitu dalam. Banyak beredar cerita tentang akal-akalan pihak rumah sakit untuk meng-covid-kan pasien yang tidak menyandang gejala virus Corona. Sekarang, saya sendiri punya dua cerita tentang kematian yang sangat sarat dengan kecerobohan penetapan Covid. Keduanya berfamili dengan saya. Pertama, seorang dosen universitas negeri di Medan. Berusia sekitar 62 tahun. Dia pengidap diabetes. Entah bagaimana, dosen ini dinyatakan positif Covid. Sanak-familinya tidak percaya. Cuma, mereka tak berdaya karena sudah dinyatakan positif oleh RS. Jenazah langsung ditangani “heavy-handed” oleh Satgas Covid. Kedua, teman sekaligus saudara dekat saya. Dia seorang dokter di Medan. Usianya 65 tahun. Meninggal sekitar tiga minggu lalu. Teman saya ini juga menderita diabetes. Suatu hari dia harus dirawat di RS karena kadar gula darahnya turun drastis. Ketika dites sewaktu masuk RS, hasilnya negatif. Tes kedua juga negatif. Entah apa yang terjadi, si dokter ini meninggal. Warga di sekitar kediaman beliau setuju jenazah dikebumikan di pekuburan umum di situ. Warga tahu peris tentang si dokter ini. Warga tak percaya dia tertular Covid. Bahkan, lurah setempat mengeluarkan surat persetujuan untuk dikuburkan sebagaimana keinginan keluarga dan warga. Namun, Satgas Covid berkeras untuk mengebumikan jenazah di pekuburan khusus Covid. Keluarganya juga tidak percaya kesimpulan RS bahwa almarhum positif Corona. Itulah antara lain cuplikan tentang ketidakpercayaan publik terhadap RS dan instansi kesehatan pemerintah, termasuk Satgas Covid-19. Isu ini diakui sendiri oleh Kepala Staf Presiden, Moeldoko, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ketika mereka bertemu di Semarang, awal Oktober 2020. Moeldoko mengangkat soal keresahan masyarakat perihal keculasan banyak RS yang menggiring pasien ke Covid. Alias mong-covid-kan pasien untuk mendapatkan dana besar dari pemerintah. Ganjar sendiri menjelaskan tentang kejadian nyata. Kata Ganjar, ada orang yang dinyatakan meninggal karena Covid sebelum hasil tes keluar. Setelah keluar, hasil tesnya negatif. Ini Ganjar yang bilang. Jadi, ketidakpercayaan publik itu bukanlah isapan jempol. Itu terjadi meluas. Kecurigaan terhadap RS sangat tinggi pada masa sekarang ini. Termasuklah rasa was-was Habib Rizieq Syihab terhadap RS selain RS Ummi di Bogor itu. Dan juga bisa dipahami kalau Habib menolak dites swab ulang oleh tim medis resmi pemerintah. Tidaklah adil kalau para pejabat pemerintah mengeluarkan ucapan-ucapan yang hanya memojokkan HRS. Sementara persoalan fundamental di kalangan RS dan Satgas Covid-19 terlihat dibiarkan begitu saja. Tanpa ada pembenahan dan pembinaan yang konkret. HRS berhak tidak mempercayai RS selain RS Ummi Bogor. Beliau berhak pula tidak percaya kepada instansi kesehatan yang dia nilai tidak bekerja profesional, yang rawan sogok-menyogok.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Bertindak Politis, Bima Arya Bagian Dari “Political Web” Istana

by Asyari Usman Medan FNN - Sungguh sangat aneh tindakan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto (BAS) dalam mempersekusi Habib Rizieq Syihab (HRS) yang akhirnya terpaksa keluar dari RS Ummi di Bogor. HRS masuk ke RS swasta itu pada 25/11/2020 karena ingin berobat sambil beristirahat. Mungkin karena masa-masa Covid-19 ini, HRS menjalankan tes swab. Kebetulan dengan bantuan tim medis Mer-C. HRS dan keluarga memang sejak lama menggunakan Mer-C untuk keperluan medis mereka. Keberadaan HRS di RS Ummi sampai ke telinga Bima Arya. Entah karena arahan siapa dan tekanan dari mana, Bima melakukan inspeksi ke RS Ummi. Menyelidiki kondisi Habib. Dan memaksa agar ikut ditangani oleh Dinas Kesehatan setempat. Bima juga mendesak agar HRS sekeluarga dites swab ulang. HRS merasa tidak perlu diulang. Sebab, pemeriksaan awal pihak RS tidak menunjukkan ke arah Covid. Beliau cuma kelelahan saja. Disebabkan aktivitas yang sangat intens sejak tiba kembali di Indonesia pada 10 November. Herannya, tindakan Bima menjadi berlebihan. Dia mengultimatum pimpinan RS Ummi. Kemudian, lewat jalur Satgas Covid Bogor, Bima melaporkan RS itu ke kepolisian Bogor dengan tuduhan menghalang-halangi pencegahan Covid-19. Publik melihat tindakan BA berlebihan terhadap Habib. Dengan alasan semua orang harus mengikuti prosedur penanganan Covid-19. Alasan normatif ini tidak ada masalah. Cuma, ‘acting’ Bima mencolok. Seolah menunjukkan bahwa dia sedang mencari perhatian. Atau, jangan-jangan dia memang telah diberi ‘green light’ untuk mencecar Habib. Ternyata, menurut pengakuan Bima, memang ada pesan WA anonim yang memberitahukan keberadaan HRS di RS Ummi. Ketua DPRD Bogor menyayangkan tindakan Walikota Bima Arya. Tim dokter Habib juga mencela cara-cara Bima. Entah sebab apa, akhirnya walikota dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan dia akan mencabut pengaduan polisi terkait RS Ummi. Drama singkat yang ‘dibintangi’ Bima ini dikecam netizen. Walikota mengatakan, intervensi yang dia lakukan tidak ada kaitan dengan politik. Di sini, Bima agak konyol. Mengira publik tidak paham apa yang dia lakukan. Bima sendiri yang kelihatan pura-pura tidak tahu bahwa apa pun yang terjadi antara penguasa dan HRS, semuanya berangkat dari terminal politik. Untuk saat ini, apa saja yang terkait dengan Habib, pasti politis sifatnya. Para penguasa tidak bisa pungkiri aspek itu. Bima Arya adalah bagian dari “political web” Istana yang memusuhi Habib Rizieq. Jadi, yang dilakukan oleh Walikota Bogor itu terhadap HRS sederhana saja deskripsinya. Bahwa dia sedang menjalankan ‘tugas politik’ dalam rangka memojokkan dan mendegradasi Habib Rizieq. Itulah motifnya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Prabowo Undercover

by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (29/11). Wuih, ada buku barukah? Hehe. Bukan, kawan. Jangan buru-buru menyangka ada sesuatu yang akan menggemparkan Indonesia. Tapi, melihat dan membaca judul tulisan ini bisa dipahami kalau Anda teringat Bambang Tri Mulyono (BTM), penulis buku “Jokowi Undercover”. Wajar sekali kalau Anda langsung ingat Bambang Tri. Dia menulis buku yang sangat menghebohkan jagad Nusantara, terutama elit politik, sekitar empat tahun lalu. Bambang mendekam di penjara gara-gara buku yang diterbitkan akhir 2016 itu. Buku ini divonis penuh fitnah, dusta, hoax dan penghinaan terhadap Jokowi. Karena isinya panas, buku Jokowi Undercover dikejar dan ditumpas sampai akhirnya hilang dari peredaran. Sekali lagi, “Prabowo Undercover” bukan buku baru. Dan tak ada kaitannya dengan data atau informasi rahasia (undercover) tentang Prabowo. Tempo hari, Bambang Tri memang menuliskan bahan-bahan tentang Jokowi yang dia istilahkan “undercover” (rahasia alias confidential). Judul tulisan kali ini hanya ingin menggambarkan situasi yang sedang dihadapi oleh Prabowo Subianto (PS) menyusul OTT Edhy Prabowo (EP) –yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Jadi, kita tidak sedang membahas buku panas. Bukan juga pembeberan rahasia Pak PS. Dan tak ada pula maksud untuk memancing kehebohan. Ok. Kalau bukan buku baru, apa itu gerangan Prabowo Undercover? Apa maksudnya? Prabowo Undercover saya artikan dalam konteks yang ringan-ringan saja. Terkait dengan sutuasi politik terkini. Khususnya, situasi pasca-penangkapan Edhy –si kader Golden Boy. Pertama, Prabowo Undercover saya maksudkan bahwa Prabowo sedang “tersungkup”. Kalau ditulis agak ‘nyeleneh’, maka kata “undercover” itu bisa saja dikatakan bentuk singkat dari “under the cover”. Yang arti harfiahnya adalah: “di bawah sungkup”. Kalau begitu, apa yang sedang menyungkup Prabowo? Bisa macam-macam. Saat ini Prabowo sedang tersungkup oleh awan gelap akibat kasus korupsi Edhy. Karena tertutup awan gelap, jarak pandang Prabowo ke depan menjadi pendek. Sebagai contoh, beliau agak kesulitan melihat Pilpres 2024. Karena terlindung awan gelap. Nah, jarak pandang yang pendek tentu sangat berbahaya. Di dunia penerbangan, para pilot memerlukan kelihaian tingkat dewa untuk bisa mendarat dengan selamat kalau jarak pandangnya pendek. Itu pengertian “undercover” yang pertama. Kedua, Prabowo Undercover adalah situasi yang membuat dia “terkepung”. Sedang “dikepung” oleh orang-orang dari faksi pragmatis “mumpungisme” (ajaran mumpung) di lingkungan Gerindra. Mereka adalah tikus-tikus di sekitar Prabowo. Tikusnya banyak. Orang-orang ‘mumpungisme’ inilah yang menjadi awan mendung yang akan menggiring Prabowo dan Gerindra masuk ke comberan politik. Inilah makna kedua Prabowo Undercover. Prabowo yang terkepung oleh para politisi kemaruk dan rakus di Gerindra. Ketiga, Probowo Undercover dalam makna yang sangat singkat. Artinya, Prabowo di bawah perlindungan (undercover). Tidak ada elaborasi. Terserah pemahaman Anda masing-masing. Pokoknya, beliau itu “di bawah perlindungan”. Perlindungan siapa? Silakan diolah sendiri. Sebagai penutup, tidak perlulah Anda mengungkap info rahasia (undercover) tentang Pak Prabowo. Tetapi, kalau ada diantara Anda yang berminat menulis buku “Prabowo Undercover” sungguhan, sebagaimana dulu Bambang Tri menerbitkan “Jokowi Undercover”, tentu boleh-boleh saja. Kita lihat nanti apakah aparat penegak hukum akan memberangus buku itu dan memenjarakan penulisnya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Menyambut Pengurus Baru MUI, Pesan Buya HAMKA: Ulama Tidak Bisa Dibeli

by Dr. Adian Husaini Lampung FNN - Minggu (29/11). Pada 27 November 2020, Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-10 telah memilih jajaran pimpinan MUI periode 2020-2025. Semoga para pimpinan MUI dapat mengemban amanah yang berat! MUI adalah lembaga keulamaan dan ketokohan umat Islam yang didirikan oleh pemerintah Orde Baru tahun 1975. Dalam usianya yang ke-45, MUI memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah umat Islam Indonesia. Banyak sikap resmi dan fatwa MUI yang memiliki pengaruh besar terhadap umat Islam dan juga pemerintah. Saat ini, MUI adalah satu-satunya lembaga Islam yang diberi kewenangan undang-undang untuk menetapkan fatwa halal suatu produk. Dalam bidang Ekonomi Syariah, fatwa MUI – melalui Dewan Syariah Nasional – dijadikan pegangan resmi oleh otoritas keuangan RI. Karena itulah, ketua umum MUI memiliki kedudukan penting dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia. Hampir-hampir, ketua Umum MUI, menempati kedudukan seperti Mufti di beberapa negara. Masuk akal, kita berharap, semoga Munas MUI ke-10 dapat memilih ketua umum yang ideal dalam menghadapi tantangan zaman. Ulama tak dapat dibeli Buya Hamka adalah Ketua Umum MUI pertama. Ia dipilih di saat umat Islam Indonesia sedang menghadapi tantangan berat dalam berbagai bidang kehidupan. Hamka menjabat Ketua Umum MUI mulai 1975 sampai wafat tahun 1981. Kepada para peserta Munas ke-10 MUI, ada baiknya mengingat kembali pesan-pesan Hamka yang disampaikan dalam acara penutupan Munas MUI ke-1 di Jakarta, 27 Juli 1975. Dalam pidatonya, Buya Hamka mengingatkan, bahwa para ulama pengurus MUI adalah penerus perjuangan ulama-ulama terdahulu. Atas ajakan pemerintah untuk berpartisipasi dalam pembangunan, memberikan nasehat kepada pemerintah – diminta atau tidak diminta – dan agar memperteguh Ketahanan Nasional dari segi kerohanian, kata Buya Hamka, “Terbukalah bagi kita yang datang di belakang ini jalan buat meneruskan amal usaha dan jihad.” “Amar ma’ruf nahi munkar adalah pekerjaan yang sungguh-sungguh berat, menyebut mudah, melaksanakannya sangat sukar. Kalau iman tidak kuat gagallah usaha kita,” kata Hamka. Menguraikan makna QS Ali Imran ayat 110, Buya Hamka menyatakan, dalam ayat tersebut, ada tiga unsur kemerdekaan yang jadi syarat mutlak bagi kemuliaan suatu umat. Pertama, kemerdekaan menyatakan pendapat (amar ma’ruf). Kedua, kemerdekaan mengritik yang salah (nahyi munkar). Pada kalimat ma’ruf terkandunglah opini publik. Artinya, pendapat umum yang sehat dan pada kalimat munkar terdapat pula arti penolakan orang banyak atas yang salah. Oleh sebab itu, maka amar ma’ruf nahyi munkar maksudnya ialah membina pemikiran yang sehat dalam masyarakat. Yang ketiga, yang utama, adalah iman kepada Allah. Itulah yang menjadi dasar utama. “Artinya, kalau iman telah berkurang, telah muram, kita tidak berani lagi ber-amar ma’ruf dan lebih tidak berani lagi ber-nahyi munkar. Kalau kita beriman, kita tidak takut ber-amar ma’ruf nahyi munkar,” papar Hamka. Hamka mengibaratkan ulama-ulama yang tergabung dalam MUI laksana “kue bika” yang dipanggang dari atas dan bawah. Dari bawah dinyalakan api. Itulah berbagai keluhan masyarakat terhadap pemerintah. Dari atas dihimpit api pula. Itulah harapan-harapan pemerintah supaya rakyat diinsafkan dengan bahasa rakyat itu sendiri. Jika terlalu berat ke atas, maka putus dari bawah. Itu artinya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat. Terlalu berat ke bawah, hilang hubungan dengan pemerintah. Bisa saja pemerintah menuduh ulama tidak berpartisipasi dalam pembangunan. “Memang sangat berat memikul beban ini. Kalau gelar ulama kita terima, padahal perbaikan diri, terutama peningkatan iman tidak kita mulai pada diri kita sendiri, niscaya akan turut hanyutlah kita dalam gelombang zaman sebagai sekarang, dimana orang berkejar-kejaran karena dorongan ambisi mencari dunia, mencari pangkat, mengambil muka kepada orang di atas, menjilat sehingga pernah terdengar suara-suara yang mengatakan: bahwa ulama bisa dibeli,” kata Buya Hamka. Terhadap suara-suara sumbang semacam itu, Buya Hamka menegaskan, “Tidak, bapak-bapak yang tercinta! Ulama sejati waratsatul anbiyaa tidaklah dapat dibeli. Janganlah Tuan salah tafsir. Tidak Saudara! Ulama sejati tidaklah dapat dibeli, sebab sayang sekali, ulama telah lama terjual. Pembelinya ialah Allah.” Hamka mengutip QS at-Taubah ayat 111: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa raganya dan harta bendanya, dan akan dibayar dengan sorga.” (Pidato Buya Hamka dimuat dalam buku berjudul “Majelis Ulama Indonesia” terbitan Sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan (1976). Terakhir, untuk kita semua – pengurus MUI, para ulama, dan pimpinan Organisasi Islam lainnya -- ingatlah pesan Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin: “Rakyat rusak karena penguasa rusak. Penguasa rusak karena ulama rusak. Ulama rusak karena cinta harta dan kedudukan!” Penulis adalah Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII)

Walikota Bogor Realisasikan Dendam Kesumat Terhadap Habib Rizieq

by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (29/11). Dalam dua hari ini, Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto kasak-kusuk mendatangi RS Ummi Bogor. Dia kejar betul apa yang terjadi dengan Habib Rizieq Syihab (HRS) yang dirawat di situ. Bima fokus sekali mengurus perawatan HRS di RS swasta itu. Dia ingin memastikan apakah HRS positif Covid atau tidak. Bahkan, ada kesan bahwa dia tidak hanya ingin memastikan positif atau tidak. Kelihatannya lebih dari itu. Cara dia mencecar kondisi Habib itu menunjukkan seakan dia ingin sekali agar Imam Besar itu positif Covid. Luar biasa sekali Bima Arya. RS Ummi sudah menjelaskan bahwa Habib cuma kepenatan. Terlalu capek. Kata pihak RS, dari pemantauan yang dilakukan belum ada pertanda kondisi HRS mengarah ke positif Covid-19. Habib telah diperika tim dari Mer-C. Beliau tidak dinyatakan positif Corona. Tapi, Bima Arya kelihatan tak percaya. Dia minta agar tes swab HRS diulang. Tidak hanya HRS, dia juga minta agar keluarga Habib pun dites ulang. Mungkin saja ada kekeliruan soal pelaksanaan tes swab itu. Tim dari Mer-C mendatangi Habib di RS Ummi. Tapi, tidaklah perlu sekali Bima Arya mengejar-ngejar sampai menimbulkan kehebohan. Terkesan dia ingin sekali memaparkan semuanya tentang HRS yang dirawat di RS Ummi. Kehadiran tim medis Mer-C ke RS Ummi untuk menangani HRS menjadi persoalan besar bagi Bima. Memang ada kesalahan kecil. Sebaiknya pemeriksaan Habib oleh tim luar melibatkan Dinkes setempat karena yang dilakukan adalah tes swab. Tapi, tidaklah mungkin tim Mer-C yang selalu profesional itu akan melakukan pelanggaran berat. Artinya, kedatangan tim itu tidak perlu diperlakukan sebagai kesalahan fatal. Tentu ada alasan kuat HRS meminta pemeriksaan dilakukan tim medis dari luar. Betul, ada isu prosedural. Tapi, bukan sesuatu yang tak bisa dikompromikan. Kalau dilihat cara Bima ‘memainkan’ soal keberadaan Habib di RS Ummi, pantas diduga bahwa dia sedang melaksanakan ‘penugasan khusus’ dari para penguasa yang lebih tinggi. Hampir pasti ada tekanan dan kontrol dari atas agar HRS segera diumumkan positif Covid. Habib sendiri tidak ingin hasil tes swabnya diumumkan ke publik. Tidak ada masalah dengan sikap itu. Tidak ada kewajiban seorang pasien mengumumkan hasil tes Covid. Tapi, Bima Arya menekan lebih keras. Sekarang dia, melalui Satgas Covid-19 Bogor, melaporkan RS Ummi ke Kepolisian. Dengan tuduhan menghalang-halangi prosedur penanganan Covid terhadap HRS. Saking bersemangatnya Bima menjalankan tugas, sampai-sampai dia sendiri yang terjun mengurusi HRS, siang-malam. Dia tidak mendelegasikan tugas investigasi kepada bawahan seniornya. Entah hadiah apa yang sedang diperjuangkan Pak Wali. Kalau bukan ingin merebut hadiah, maka satu-satunya dugaan lain adalah bahwa Pak Wali sedang merealisasikan dendam kesumat terhadap Habib Rizieq Syihab. Hanya ada dua kemungkinan: hadiah atau dendam kesumat. Bisa juga kedua-duanya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Menhan Prabowo Menolak Mundur?

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (28/11). Setelah berhari-hari diam dalam sunyi, DPP Partai Gerindra akhirnya menyampaikan pernyataan resmi soal penangkapan kadernya, Menteri KKP Edhy Prabowo. Respon itu sangat terlambat. Lebih dari 3 X 24 jam. Edhy Prabowo ditangkap di Terminal 3 Bandara, Soetta, Cengkareng Rabu dinihari (25/11) pukul 00.30 Wib. Sementara pernyataan resmi partai baru Jumat petang (28/11). Dari sisi komunikasi politik, kerusakan sudah terjadi. The damage has been done. Berita di media massa sangat massif. Umumnya menuntut agar Prabowo segera memberi penjelasan. Di media sosial lebih sadis lagi. Meme, potongan video, maupun arsip berita lama tentang Prabowo, bermunculan bagai air bah. Image yang lekat dalam ingatan publik, Prabowo adalah figur yang sangat anti korupsi. Jejak digitalnya mudah dicari. Tinggal di recall, ingatan publik segera kembali. Jadi jangan kaget kalau muncul potongan video, atau link berita: ”Korupsi di Indonesia Sudah Stadium Empat!” “Prabowo Akan Masukkan Sendiri ke Penjara kader Gerindra yang korupsi.” Dan yang lebih sensasional adalah janji Prabowo akan mengejar koruptor sampai ke Antartika! Ketika muncul kasus Edhy, orang kepercayaannya kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, wajar bila ekspektasi publik terhadap Prabowo sangat tinggi. Publik menuntut janji Prabowo. Untuk kasus-kasus semacam ini, harusnya cepat dilakukan mitigasi. Bahkan harus ada semacam manual book, buku panduan jika terjadi hal-hal semacam ini. Sehingga tidak ada kesan partai tergagap-gagap. Politisi, apalagi yang menjadi pejabat publik ditangkap karena menerima suap atau korupsi, bukankah sudah jamak? Harus ada antisipasi jauh-jauh hari. Benar bahwa Ketua Harian Sufmi Dasco Ahmad sudah memberi keterangan media. Namun sifatnya hanya normatif, bahwa Prabowo sudah mendengar informasi penangkapan Edhy. Pilihan “hanya” Sekjen yang menyampaikan penjelasan, secara komunikasi politik sudah benar. Penangkapan pejabat sekelas menteri, setelah KPK sekian lama mati suri, harus disikapi dengan hati-hati. Ada nuansa pertarungan politik tingkat tinggi, yang harus dihitung dengan cermat dan infonya harus akurat. Bila Sekjen salah menyikapi, maka kesalahannya masih bisa diperbaiki oleh ketua harian. Prabowo bisa berperan sebagai last resort jika di level bawahnya terjadi kesalahan. Contohnya pada kasus klaim bahwa Prabowo berperan dalam kepulangan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Isu ini sangat sensitif bila dikaitkan dengan posisi Gerindra sebagai partai pendukung pemerintah. Ketua Harian Sufmi Dasco Ahmad kala itu langsung menyampaikan ralat. Dia menyalahkan media dan menyebutnya sebagai “isu liar.” Prabowo tetap bertahan Bila kita cermati, pernyataan sikap yang dibacakan Muzani benar-benar dipersiapkan secara matang dan hati-hati. Bersifat standar dan terbuka. Hal itu menunjukkan Gerindra masih mempelajari segala sesuatunya dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi. Misalnya Muzani menyatakan percaya kepada KPK akan bersifat transparan. Meminta agar publik mengedepankan praduga tak bersalah. Gerindra juga minta maaf kepada Jokowi, Ma’ruf Amin, dan anggota kabinet. Mereka juga percaya bahwa pelayanan publik, proses pembangunan akan terus berjalan. Pada bagian akhir Muzani meminta maaf kepada masyarakat dan meminta agar kader solid. Tidak ada respon yang emosional, apalagi menyalahkan pihak lain. Begitu juga soal desakan agar Prabowo mundur, tidak ditanggapi. Dari pernyataan Muzani dapat disimpulkan, Gerindra menyampaikan pesan. Mereka akan tetap bertahan di pemerintahan. Prabowo juga menolak mundur. Namun bila kita cermati, ada yang tidak terucapkan. Prabowo masih bersikap wait and see. Menunggu langkah Jokowi berikutnya. Keputusan politik Gerindra sangat tergantung dengan sikap dan keputusan politik Jokowi. Sejauh ini Jokowi hanya memberi penjelasan pendek ke media, bahwa dia percaya KPK bertindak transparan. Jokowi juga minta publik menghormati proses hukum. Langkah Jokowi berikutnya adalah menunjuk orang kepercayaannya Menko Marinvest Luhut Panjaitan, sebagai Menteri KKP ad interim. Kebetulan kementerian yang dipimpin Edhy berada di bawah koordinasi Luhut. Tak lama setelah ditunjuk Jokowi, Luhut langung beraksi. Dia minta KPK tidak berlebihan dalam bertindak. Dia juga mengatakan, Edhy orang baik, dan kebijakannya benar. Terkesan Luhut pasang badan. Yang lebih menggembirakan, dia menyatakan tak ingin lama-lama memegang posisi Menteri KKP. Pekerjaannya sendiri sudah berjibun. Bagaimana sikap Jokowi selanjutnya? Apakah posisi yang ditinggalkan Edhy akan diserahkan ke partai lain, diserahkan ke profesional? Atau tetap diserahkan ke Gerindra? Sikap Jokowi akan menentukan langkah lebih lanjut Prabowo. Bila dikurangi jatahnya, sangat mungkin dia mengambil langkah drastis. Termasuk opsi mundur. Keputusan mempertahankan jatah kursi Gerindra, sebagaimana sama-sama kita pahami, tidak hanya semata berada di tangan Jokowi. Dia harus mendengarkan, bahkan menjalankan apa yang diinginkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati. Bagaimanapun PDIP adalah pemegang saham terbesar pemerintahan Jokowi. Mereka punya hak veto. Bagaimana Megawati memandang Prabowo, setelah sekian lama bersama di pemerintahan? Apakah tetap melihat Gerindra terutama Prabowo sebagai sekutu potensial 2024, atau tidak? Bila tidak, atau malah dianggap potensial bakal menjadi lawan, ya diamputasi. Kalau itu terjadi, maka dinamika politik akan sangat menarik. Karena itu lah mengapa Prabowo sampai sekarang masih terus diam. Dia mengamati dengan cermat dinamika yang berkembang. Harap dicatat, penangkapan Edhy hanya berselang sekitar dua pekan setelah Prabowo kembali dari kunjungan ke beberapa negara, termasuk AS. Kunjungan Prabowo ke AS ini sangat menarik dan pantas dicermati. Kental dengan kalkulasi politis. Selama 20 tahun terakhir, dia di black list. Tidak bisa masuk ke negeri Paman Sam. Prabowo masuk dalam daftar para jenderal yang dituding melakukan pelanggaran HAM. Sekarang Prabowo bisa melenggang. Berkunjung dan bertemu dengan sejumlah pejabat penting. Mengapa? Kunjungan itu dinilai sukses. Dari Perancis, negara sekutu AS di NATO Prabowo juga mendapat persetujuan untuk membeli pesawat tempur Rafale. Tiba-tiba ketika dia kembali ke Tanah Air mendapat kado spesial, orang kepercayaannya di OTT KPK. Ada apa? End Penulis, wartawan senior FNN.co.id