ALL CATEGORY

Damn I Love Indonesia: Bapak Presiden, Anak dan Menantu Walikota

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Rabu (09/12). Tanggal 9 Desember 2020 akan dicatat dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Presiden Jokowi mencatat sebuah prestasi baru, rekor. Anak dan menantunya memenangkan Pilkada. Gibran, anak sulungnya memenangkan Pilwakot Solo. Perolehan suaranya berdasarkan hasil sejumlah quick count, di atas 85%. Dahsyat! Di Medan Bobby Nasution menantu Jokowi juga diprediksi menang. Hasil quick count menunjukkan perolehan suaranya mencapai 55%. Prestasi luar biasa Jokowi ini tidak pernah dicapai oleh semua presiden sebelumnya. Termasuk dua presiden yang berkuasa cukup lama, Soekarno dan Soeharto. Presiden Soekarno, sang Proklamator, berkuasa selama 22 tahun (1945-1967). Tak satupun putra atau putrinya yang menduduki jabatan publik selama dia berkuasa. Baru 32 tahun kemudian, putrinya Megawati Soekarnoputri menjadi Wapres (1999) dan kemudian menjadi Presiden (2001-2004). Presiden Soeharto berkuasa lebih lama, 32 tahun. Baru berhasil menempatkan putrinya Siti Hardijanti Roekmana sebagai Mensos pada tahun 1998. Di penghujung masa jabatannya. Itu pun hanya bertahan selama 2,5 bulan. Mbak Tutut begitu dia biasa dipanggil, menjadi Mensos 14 Maret-21 Mei 1998. Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang sama-sama berkuasa dalam waktu singkat, sama sekali tidak berhasil meninggalkan warisan jabatan untuk anak-anaknya. Bos Jokowi, Megawati selama menjabat Presiden juga tidak menyiapkan jabatan publik untuk anak-anaknya. Putri mahkotanya Puan Maharani baru terjun ke politik dengan menjadi anggota DPR pada Pemilu 2009. Setelah Megawati tak lagi menjabat sebagai presiden. Benar, Puan kemudian menjadi Menko pada periode pertama masa jabatan Jokowi. Sekarang dia menjadi Ketua DPR RI. Tapi semua tidak dicapai pada masa Megawati menjabat sebagai presiden. Bagaimana dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Dalam soal menempatkan putra dan menantunya dalam jabatan publik, dia kalah jauh dengan Jokowi. SBY bersamaan dengan masa jabatannya yang kedua baru berhasil menempatkan putra keduanya Edhie Baskoro sebagai anggota DPR RI (2009). Setelah tak menjabat sebagai Presiden, SBY mencoba peruntungannya. Dia mendorong putra sulungnya Agus Harimurti menjadi cagub DKI Jakarta. Eksperimen politik SBY gagal. Pada Pilkada DKI 2017 yang hiruk pikuk, Agus Harimurti kalah. Padahal dia sudah mengorbankan karir militernya yang cemerlang. Pemegang penghargaan Bintang Adi Makayasa, lulusan terbaik Akmil tahun 2000 ini, pangkatnya terhenti hanya sampai perwira menengah. Dia pensiun dengan pangkat terakhir, Mayor TNI. Benarlah jargon yang sering didengung-dengungkan oleh para pendukung Jokowi: PRESIDEN YANG LAIN NGAPAIN AJA! Damn!! I Love Indonesia! End. Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Selamat Jalan Para Mujahid

Wahai para mujahid. Kalian lebih dahulu bertemu dengan Allah. Kalian adalah kekasih pilihan Allah. Kalian gugur karena membela ulama, habib yang senantiasa lantang membela agama Islam by Mangarahon Dongoran Jakarta, (FNN) - Rabu (9/12).Satu per satu ambulans pembawa jenazah laskar Front Pembela Islam (FPI) itu memasuki Jalan Petamburan II, Kelurahan Petambutan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ambulans pertama dengan membawa jenazah Andi tiba pukuk 21.00.Harap maklum, kedatangan ambulans pembawa enam laskar ke markas FPI tersebut tidak sekaligus. Jenazah mereka dibawa dari Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur secara bergilir/bergantian. Ambulans kedua tiba sekitar 20 menit kemudian. Diikuti ambulan ketiga yang tiba sekitar pukul 21.34. Secara total, enam jenazah tiba di Petamburan sekitar pukul 22.34. Rata-rata jenazah tiba berselang waktu 15 menit. Ambulans pembawa jenazah tersebut kemudian mundur dan pintu belakangnya masuk Gang Paksi. Dari pintu gang tersebut, seluruh jenazah dibawa ke halaman rumah Habib Rizieq untuk dimandikan dan disalatkan. Halaman rumah tersebut biasa digunakan sebagai tempat pengajian (majelis taklim). Suasana haru begitu terasa sejak ambans melewati Jalan Petamburan Raya. Begitu mendengarkan raungan sirene ambulans, laskar FPI dan masyarakat yang berkumpul langsung mengucapkan, "Allahu Akbar." Kemudian ambulans yang dikawal laskar FPI sampai masuk FPI diiringi dengan ucapan, "La ilaha Illallah…" Kalimat la ilaha illallah pun semakin nyaring diucapkan ketika peti jenazah diturunkan dari mobil ambulans. Para laskar kemudian mengangkat peti jenazah sampai ke tempat pemandian jenazah yang sudah disiapkan. Masyarakat sangat antusias menunggu kedatangan ambulans yang membawa laskar yang ditembak polisi saat mengawal Habib Rizieq dan keluarga menuju pengajian keluarga inti di daerah Karawang. Walau mereka sama sekali tidak bisa melihat jenazahnya dan tidak kenal orangnya sewaktu hidup, namun mereka rela berdiri berjam-jam di sisi kiri dan kanan Jalan Petamburan Raya, terutama menuju Jalan Petamburan III. Seorang pria paruh baya mengungkapkan kegemasannya atas meninggalnya enam orang pengawal Habib Rizieq itu. "Rasanya ingin dendam, Pak. Saya tidak mengenal mereka (para mujahid). Tetapi kabar meninggalnya mereka akibat ditembak polisi, rasanya…" kata Anton sambil mengepalkan tangan ke dadanya. Pria tersebut bukan laskar dan bukan juga anggota Bang Japar. Sebab, terlihat jelas pakaiannya biasa. Kalau laskar jelas atribut dengan pakaian putih. Sedangkan Bang Japar dengan pakaian serba hitam dan peci merah. Anggota Bang Japar juga ikut mengamankan sekitar markas FPI. Tidak ada yang bisa masuk ke tempat pemandian maupun tempat yang disiapkan untuk mengkafani. Hanya pengurus FPI, laskar dan keluarga inti yang diizinkan masuk. Pengawalan jenazah sangat ketat. Ya, jenazah para syuhada itu hanya sebentar di Petamburan. Selesai dimandikan dan disalatkan, jenazah kemudian dibawa ke rumah keluarga. Ketua Umum FPI Ahmad Shabri Lubis kepada FNN.co.id mengatakan, jenazah dibawa ke rumah keluarga agar keluarga dan tetangga bisa tahlil. Keluarga dan tetangga bisa menyalatkan lagi. Sebab, tidak semua kerabat dan tetangga almarhum bisa datang ke Petamburan. Keberangkatan ke Mega Mendung dilakukan beriringan setelah berkumpul di sebuah rest area Jalan Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor Ciawi). Sesuai rencana, jenazah kemudian akan di bawa ke Markas Syariah Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di tempat ini, jenazah yang insya Allah syahid ini dimakamkan. Ya hari ini, Rabu (9/12), jasad kalian satu per satu masuk liang kubur, tetapi semangat jihad kalian tidak akan pernah terkubur. Oh ya, ada peristiwa menarik di Mega Mendung. Berdasarkan video viral, kemarin sore, pelangi memperlihatkan keindahannya di kawasan gunung itu. Kemunculan pelangi seakan-akan ikut menyambut para mujahid yang dimakamkan di tempat tersebut. Wahai para mujahid. Kalian lebih dahulu bertemu dengan Allah. Kalian adalah kekasih pilihan Allah. Kalian gugur karena membela ulama, habib yang senantiasa lantang membela agama Islam. Kalian semua masih muda. Kalian dipilih dan gugur dengan senyum. Kalian telah mendahului kami yang lebih tua, dan belum tentu dipanggil Allah seperti kalian. Selamat jalan para mujahid. Syurga dengan berbagai kenikmatannya menunggu harumnya darah kalian.** Penulis, Wartawan Senior FNN.co.id.

6 Anggota FPI Yang Tewas, Martir Perubahan?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (08/12). Hampir setiap perubahan politik yang bukan berlandaskan proses demokrasi, pemilu misalnya, selalu didahului oleh adanya martir. Mereka yang gugur dalam proses perjuangan untuk perubahan dan perbaikan. Adanya martir ini membangun semangat dan solidaritas perjuangan. Juga memperkuat tuntutan agar rezim cepat turun. Setiap penguasa biasanya selalu waspada akan adanya martir yang dapat melengserkan dirinya. Sebab penguasa harus berhadap-hadapan dengan kekuatan perlawanan yang semakin membesar dan berani. Perjuangan yang tidak lagi mengingat pada apapun resiko yang bakal dihadapi. Pada masa orde lama, pembunuhan terhadap "Tujuh Jendral Pahlawan Revolusi" yang kemudian dikenal “Peristiwa Lubang Buaya” adalah titik kulminasi rezim Soekarno menuju kejatuhannya. Betapa besar kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan betapa berkuasanya Soekarno. Namun jatuh juga akibat dari jatuhnya martir para Jendral TNI Angkatan Darat. Soekarno boleh hebat dan digjaya. Menyebut namanya dengan Pemimpin Besar Revolusi. Namun dengan gerakan yasng tekenal dengan sebutan G-30S/PKI, yang membunuh para Jenderal TNI Angkatan darat, menjadi sebab dan momentum perubahan ambruknya kekuasaan Soekarno. Orde Lama ambruk dan jatuh. Tujuh Pahlawan Revolusi adalah martir untuk rezim Soekarno. Perubahan politik yang melahirkan gerakan reformasi, dan menumbangkan rezim Orde Baru ditengarai dengan penembakan mahasiswa. Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas oleh tembakan peluru tajam. Mereka adalah Elang Maulana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka yang ditembak pada peristiwa tanggal 12 Mei 1998 ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Keempat mahasiswa ini adalah martir perjuangan reformasi. Pada bulan Mei 1998 itu pula Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden. Orde Baru dengan segala kebesaran dan kedigjayaan selama 32 tahun berkuasa akhirnya tumbang. Sementara di masa rezim Jokowi, sejak kemenangan Pemilu yang dinilai kontroversial, telah berulang kali protes terjadi. Tewasnya 6 pengunjuk rasa pada peristiwa 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu RI, baik akibat tembakan maupun penganiayaan adalah warna awal kekuasaan Jokowi Priode kedua. Selanjutnya penuh dengan kegaduhan. Aksi unjuk rasa berulang kali terjadi untuk menentang revisi UU KPK, RUU HIP/BPIP, serta RUU Omnibus Law. Aksi revisi UU KPK menewaskan pengunjuk rasa yang tertembak. Martir. Rezim Jokowi meskipun rapuh tetapi masih mampu bertahan. Program deradikalisasi mengarah pada kelompok Islam. Umat Islam berjarak dengan kekuasaan. Bukan itu saja. Tokoh dan aktivis sering merasa terpojokkan oleh agenda kriminalisasi. Habib Rizieq Shihab (HRS) adalah salah seorang tokoh Islam yang juga menjadi obyek kriminalisasi itu. Kepulangan ke tanah air dari "pengasingan" di Makkah, tidak mengurangi gangguan dan terus menjadi target. Senin dini hari tanggal 7 Desember 2020 di area Tol Jakarta-Cikampek terjadi penguntitan terhadap rombongan keluarga inti HRS oleh orang yang kemudian diakuinya sebagai Polisi. Mobil pengawal HRS kemudian terpisah atau hilang. Terjadi penembakan terhadap enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal HRS hingga tewas. Polisi melalui Kapolda Metro Jaya, Irjen Muhmmad Fadil Imron menyatakan baku tembak antara polisi dengan laskar FPI. Sementara DPP FPI merilis bahwa anggotanya tak memiliki senjata api maupun senjata tajam. Karenanya FPI menyebut penembakan tersebut sebagai sebuah pembantaian. Tewas atau syahidnya enam anggota Laskar FPI yaitu Fais, Ambon, Reza, Andi, Lutfil, dan Kadhavi adalah wujud kekerasan dari arogansi kekuasaan Pemerintahan Jokowi. Bila terbukti memang anggota Laskar FPI ini tidak bersenjata, sebagaimana yang disampaikan oleh pihak DPP FPI, maka penembakan keenam orang tersebut merupakan suatu tindak kejahatan dan pembunuhan. Siapapun mereka, baik pelaku di lapangan, penyuruh, atau pihak yang membiarkan tindakan tersebut patut dikenakan sanksi berat. Intitusi Polisi dan Pemerintah harus bertanggungjawab. Kejadian seperti tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja dengan penjelasan dari Kapolda Metro Jaya. Dari keinginan adanya perubahan secara konstitusional, maka tewasnya enam orang anggota pengawal rombongan HRS dapat menjadi martir. Simpati dan dukungan kepada HRS dan FPI serta pada semangat perubahan yang dikenal dengan "Revolusi Akhlak" akan bertambah besar. Martir selalu jadi pemicu. Perkembangan pengusutan dari kasus penembakan anggota Polisi Polda Metro Jaya akan menentukan sikap dan reaksi publik. Masalah pelanggaran HAM itu tidaklah semata menjadi perhatian bangsa dan negara saja. Tetapi juga menjadi perhatian dunia internasional. Jika memang terjadi pembantaian, maka kiamat akan dialami oleh Kepolisian dan Pemerintah Jokowi. Martir akan selalu hadir, datang membayang-bayangi dan menghantui kekuasaan yang zalim dan semena-mena. Dengan demikian, Presiden adalah muara dari semua pertanggungjawaban. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Nyawa Manusia Di Indonesia Tak Berharga?

Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan mencermati kematian enam anggota Laskar FPI by Ubedilah Badrun Saya cukup lama merenung atas peristiwa yang menimpa enam anggota Laskar Front Pembela Islam(FPI) yang sedang mengawal Habieb Riziq Shihab (HRS) menuju pengajian subuh keluarga inti. Mereka para korban enam orang itu relatif masih muda. Yang pasti mereka adalah warga negara Indonesia. Perenungan itu dimulai dengan pertanyaan mengapa itu terjadi? Bagaimana peristiwanya? Dapatkah peristiwa itu dibenarkan atau disalahkan secara hukum? Apa argumenya? Apa buktinya? Jika itu tugas pengintaian polisi apakah ada bukti rekaman videonya? Sebagai akademisi sosiologi politik, saya mesti hati-hati menganalisis dan mengomentari peristiwa ini. Sebab ini soal nyawa manusia. Apalagi peristiwa yang kematianya melalui peristiwa penembakan. Bukan kematian yang biasa-biasa saja. Beberapa peristiwa kematian warga negara di republik ini dalam beberapa tahun terakhir sering terjadi. Sebut saja misalnya kematian Patmi petani Kendeng yang protesnya tidak didengar pemerintah. Patmi protes terhadap pembangunan pabrik Semen di pegunungan Kendeng pada tahun 2017. Patmi protes di depan Istana dengan menyemen kakinya. Kematian warga yang ditembak saat menolak pengukuran tanah di pesisir Pantai Marosi, Desa Patijala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Seorang warga negara yang tertembak di bagian dada. Ini peristiwa terjadi pada April 2018. Kemudian kematian hampir 989 petugas KPPS pada pemilu 2019 lalu. Kematian sejumlah warga pada peristiwa demontrasi di depan kantor Bawaslu RI Mei 2019. Begitu juga dengan kematian dua mahasiswa di Kendari saat demonstrasi #reformasidikorupsi# menolak pelemahan KPK pada September 2019. Adalah sederet kematian yang masih misteri sampai saat ini. Sejumlah aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) menyebut itu pelanggaran HAM baru. Pelanggaran HAM yang lama saja belum ada yang dituntaskan, kini sudah ada pelanggaran HAM baru. Kasus-kasus lama pelanggaran HAM dari tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an seperti kasus Munir sampai saat ini belum terungkap. Kini sudah ada pelanggaran-pelanggaran HAM baru lagi. Sejauh ini sejumlah kematian warga negara episode pemerintahan Jokowi itu tak terungkap. Bahkan publik sampai saat ini masih bertanya-tanya tentang itu semua. Kini publik kembali dipertontonkan dengan kematian akibat penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI. Menggunakan perspektif sosiologi politik kewarganegaraan (sosiologi kewargnegaraan), akan membuka mata hati kita untuk menempatkan manusia sebagai subyek. Siapapun dia, dan dengan latar belakang apapun dia, bukan untuk ditempatkan semata sebagai obyek. Warga negara adalah subyek yang terpenting dari yang penting-penting dalam entitas negara. Dalam terminologi sosiologi kewarganegaraan, manusia memiliki dua hak azasi, yaitu hak pasif dan hak aktif. Hak pasif merupakan hak yang diperoleh karena ia adalah manusia. Artinya semua manusia memiliki hak pasif tersebut, diantaranya hak untuk hidup. Sementara hak aktif adalah hak-hak seseorang yang merupakan anggota dari kelompok dalam entitas negara. Tidak semua orang mampu untuk mengekspresikan hak ini. Misalnya, hak untuk berpendapat dan hak berserikat. Juga hak untuk berorganisaai. Dengan demikian, setiap manusia sesungguhnya memiliki jaminan atas semua hak itu sebagai hak asasi warga negara. Tentu itu berlaku untuk siapapun, termasuk didalamnya adalah anggota dan Lakasr FPI. Mereka memiliki hak hidup sekaligus hak berserikat berorganisasi. Saya khawatir penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI itu tidak menempatkan mereka sebagai subyek warga negara. Tetapi menempatkan mereka sebagai obyek konflik politik yang menyusup dalam cara berfikir operasi pengintaian yang dilakukan oleh negara. Giorgio Agamben dalam bukunya “Homo Sacer Sovereign Power and Bare Life” (Stanford University Press,1998) mengingatkan betapa pentingnya negara menempatkan warga negara sebagai subyek dengan seluruh hak azasinya. Bukan sekedar obyek administrasi, dimana negara boleh melakukan apapun terhadap warga negara. Ketika negara menempatkan warga negara semata-mata sebagai obyek, maka apa yang disebut Giorgio Agamben (1998) sebagai proses homo sacer bisa terjadi. Merasa menjadi manusia asing di negerinya sendiri bisa terjadi pada setiap warga negara. Saya mencermati, jika ini semua terjadi pada banyak kasus maka pelan tapi pasti ke-Indonesiaan kita terancam bubar. Cara kekuasaan negara merespon kritik, merespon oposisi dan menata keragaman dari masyarakat sipil (civil society) menjadi sangat menentukan keberadaan negara dimasa depan. Cara-cara yang represif dalam menempatkan warga negara sebagai obyek, harus segera diakhiri. Pertanyaannya, mengapa itu semua terjadi? Bisa saja dimungkinkan karena cara berfikir rezim dalam melihat warga negara hanya sebagai obyek bukan sebagai subyek. Secara sosiologi kewarganegaraan, posisi warga negara itu mestinya tidak hanya ditempatkan dalam ranah kewarganegaraan politik. Tetapi juga dalam ranah kewarganegaraan sosial dan kewarganegaraan sipil. Soal bagaimana peristiwa itu terjadi? Ada dua versi. Menurut versi Polda Metro Jaya penembakan itu dilakukan dalam situasi baku tembak sebagai bentuk perlindungan karena aparat terancam. Sementara menurut versi FPI itu dilakukan oleh aparat secara sepihak. Tanpa da baku tembak, karena anggota Laskar FPI tidak memiliki senjata api maupun senjata tajam lainnya. Penjelasan dari dua pihak yang berbeda memungkinkan adanya celah yang keliru. Pembentukan Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) adalah solusi terbaik. Inisiator dan motor utama TPFI mesti dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) sebagai institusi independen. TPFI biasanya akan mampu mengungkap secara detail kronologisnya. Besa kemungkinan akan ditemukan celah pelanggaranya dari sisi hukum dan hak azasi manusia. Pada titik ini kita semua berharap agar peristiwa tersebut terungkap secara terang benderang. Supaya kita semua tau bagaimana aparat penegak hukum polisi, Komnas HAM, Pengadilan HAM dan rezim pemerintah menempatkan hak azasi warga negara. Apakah menempatkan warga negara sebagai obyek kekuasaan semata, atau menempatkan warga negara sebagai subyek? Jika kasus ini tak terungkap sebagaimana kasus-kasus hak azasi manusia sebelumnya, maka kesimpulan bahwa nyawa manusia di Indonesia tidak berharga itu ada benarnya. Jika ini yang terjadi, ini adalah episode biadab hak azasi manusia di Indonesia. Episode gelap kemanusiaan negara republik. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Semua Menteri Harus Dicurigai Sebagai Koruptor

by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (08/12). Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) mengatakan pada 27 November 2020 terkait penangkapan Edhy Prabowo, bahwa tidak semua orang jelek. Menurut Luhut, Edhy itu orang baik. Menko meminta agar KPK tidak berlebihan. Berlebihan? Di mana KPK berlebihan? Lembaga musuh koruptor ini hanya menjalankan tugas pokok mereka. Tidak ada yang berlebihan. Bahkan, KPK melewatkan banyak kesempatan untuk menangkap koruptor. Kita tidak tahu entah sudah berapa puluh orang pejabat yang lolos dari OTT KPK sejak lembaga ini dimandulkan oleh perubahan UU tentang KPK yang disetujui bersama oleh DPR dan Presiden Jokowi. Tapi, sudahlah. Sekarang KPK berusaha kembali bekerja. Kembali menjalankan fungsinya. Semoga sungguh-sungguh telah dilepaskan dari kerangkengnya. Semoga juga bukan karena ‘politcal game’. Mari kita lihat apa arti penangkapan dua menteri Jokowi lewat OTT dalam rentang 10 hari. Edhy Prabowo (menteri kelautan) ditangkap pada 25 November 2020 dan Juliari Batubara (menteri sosial) diberi rompi oranye pada 5 Desember 2020. Dari penangkapan ini, ke mana pandangan harus diarahkan? Apa saja yang semestinya dilakukan oleh Presiden? Tidak sulit mencari makna penangkapan kedua menteri itu. Hanya ada satu tafsiran OTT kedua menteri tsb. Bahwa dari kedua OTT ini, Presiden Jokowi harus mencurigai semua anggota kabinetnya sebagai pelaku korupsi. Sebagai koruptor. Sekali lagi: harus mencurigai. Tak peduli apakah dia Menko, menteri, atau pejabat setingkat menteri. Tanpa kecuali. Dari latar belakang apa pun mereka. Mengapa semua mereka wajar dan harus dicurigai sebagai koruptor? Karena selama ini, selain dua menteri yang ditangkap itu, ada sekian menteri atau pejabat setingkat menteri yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Tempo hari ada Lukman Hakim Saifuddin (sewaktu menjabat sebagai menteri agama 2014-2019) yang dilaci kerjanya ditemukan uang tunai senilai 600 juta rupiah ketika KPK, pada 18 Maret 2019, melakukan penggeledahan di kantor Lukman terkait kasus jual-beli jabatan di lingkungan Kemenag. Entah mengapa, Lukman akhirnya lolos dari jerat KPK. Ada pula kasus “Buku Merah”. Yaitu, kasus korupsi (sekitar Oktober 2018) yang diduga kuat melibatkan seorang pejabat tinggi setingkat menteri. Kasus ini sempat menimbulkan kericuhan di KPK karena “Buku Merah”, sebagai barang bukti, patut diduga telah dirusak oleh dua penyidik KPK yang berasal dari Polri. “Buku Merah” adalah buku berisi catatan yang berkaitan dengan perkara suap Basuki Hariman –seorang pengusaha daging. Basuki divonis menyuap mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar. Skandal “Buku Merah” akhirnya ditutup oleh Kepolisian. Tapi, waktu itu kuat sekali dugaan keterlibatan orang yang sangat tinggi di Polri. Seterusnya, belum lama ini Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin nyaris terseret masuk ke kasus suap yang dilakukan oleh pengusaha terpidana korupsi, Joko Tjandra (JT). Joko diduga memberikan sogok kepada para pejabat Kejaksaan Agung (Kejakgung) dalam upaya untuk mendapatkan fatwa bebas dari Mahkamah Agung (MA). Sekarang ini masih berlangsung persidangan Jaksa Pinangki Sirna Malasari (PSM). Dia ini disebut-sebut memiliki kedekatan dengan ST Burhanuddin. Ada proposal yang disebut ‘action plan’ sebesar 140 miliar untuk mendapatkan fatwa pembebasan JT. Joko menyatakan kesediaannya menandatangani kontrak ‘action plan’ itu dengan Jaksa Pinangki. Untuk mendapatkan fatwa dari MA itu, mustahil bisa dilakukan oleh Pinangki sendirian. Sebab, diperlukan semacam rekomendasi dari Jaksa Agung. Saat ini, dakwaan jaksa PU terhadap Pinangki direduksi agar tertuju hanya kepada Pinangki saja. Seolah pemangkasan atau pembonsaian dakwaan itu dilakukan untuk melindungi orang-orang besar di Kejakgung. Dalam babak fatwa 140 miliar ini, sangat patut diduga adanya peranan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Sebab, sekali lagi, mustahil secara administratif dan struktural Jaksa Pinangki bisa mendapatkan fatwa pembebasan JT dari Ketua MA. Pada periode pertama, dua menteri Jokowi ditangkap KPK karena melakukan korupsi. Mereka dihukum penjara. Keduanya adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan Menteri Sosial Idrus Marham kabinet 2014-2019. Jadi, ada empat menteri tertangkap melakukan korupsi dalam 6 tahun belakangan. Pantas diambil sebagai pelajaran besar. Mereka menjadi simbol yang sangat memalukan bagi Jokowi. Sebagai usul saja, sebelum tertangkap lagi menteri-menteri lain, ada baiknya Jokowi melakukan terapi preventif. Cek ulang saja mereka semuanya. Bebas atau tidak dari virus korupsi. Agar virus jahat itu tidak sampai masuk ke ruang kerja Presiden.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Korupsi Bansos, Pengkhianatan Terhadap Rakyat Indonesia

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Selasa (08/12). Praktek korupsi pada periode kedua Jokowi sebagai Presiden, sangat merajalela. Betapa tidak, dalam waktu dua minggu, ada dua menteri bawahan Jokowi yang terjerat kasus korupsi. Yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Keduanya telah dijadikan tersangka dan ditahan KPK . Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Partai Gerindra, ditangkap pada Kamis 25 November 2020. Dari hasil penyidikan KPK, Edhy Prabowo diduga menerima suap Rp 3,4 miliar dan uang sebesar 1.000 Dollar AS (Rp 1,4 miliar) terkait izin ekspor untuk benih lobster. Sedangkan Mensos Juliari Peter Batubara dari PDI Perjuangan, menjadi tersangka korupsi program bantuan sosial penanganan virus corona (Covid-19). Dalam kasus tersebut, KPK juga menetapkan 4 orang lainnya sebagai tersangka. Dari OTT ini, KPK menemukan uang dengan sejumlah pecahan mata uang asing. Masing-masing yakni sekitar Rp 11,9 miliar, sekitar 171.085 dollar AS, dan sekitar 23.000 dollar Singapura. Ini benar-benar sangat melukai hati rakyat. Di saat rakyat hidup prihatin akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19, Mensos malah menyalahgunakan bantuan sosial. Na'udzubillah mindzalik. Jika ada bawahan yang tersangkut kasus pidana (korupsi) maka secara moral atasannyalah yang seharusnya bertanggung jawab. Oleh karena itu, Presiden Jokowi seharusnya bertanggungjawab atas praktek korupsi yang dilakukan menterinya. Bukan malah justru lepas tangan dengan berdalih menyerahkan sepenuhnya kasus korupsi tersebut kepada KPK. Di era rezim Jokowi ini, jumlah menteri sebanyak 34 orang. Kalau ditambah dengan Wakil Menteri dan pejabat sekelas menteri jumlahnya 43 orang. Sangat boleh jadi kasus dua menteri yang diciduk KPK ini, hanyalah puncak gunung es korupsi di negeri ini. Hal itu membuktikan bahwa Revolusi Mental yang digembar gemborkan Jokowi sejak tàhun 2014 telah gagal, karena korupsi masih merajalela di jajaran pemerintahan. Di saat rakyat menderita karena Covid19, justru dana bansos yang menjadi hak rakyat dikorupsi pejabat. Ini sungguh pengkhianatan besar terhadap rakyat Indonesia. Jika Presiden Jokowi cuci tangan atas ulah para menterinya yang melakukan korupsi, maka tinggal menunggu waktu terjadinya akumulasi kemarahan masyarakat terhadap rezim penguasa saat ini. Saat ini banyak masyarakat yang merasakan penderitaan ekonomi dan korban ketidakadilan. Kini keadaan situasi psikologis masyarakat sudah bagaikan api dalam sekam. Suatu saat nanti akan meledak. Masyarakat diperkirakan akan melampiaskan kekecewaan mereka terhadap para menteri yang korupsi melalui ajang Pilkada yang akan berlangsung secara serentak pada 9 Desember 2020. Calon-calon kepala daerah yang diusung oleh parpol dua menteri yang korup tersebut, diperkirakan akan jeblok dalam Pilkada nanti. Sulit bagi Partai Gerindra dan PDIP untuk dapat menyelamatkan para calon kepala daerahnya yang akan berkompetisi dalam Pilkada. Itu merupakan sesuatu yang wajar sebab kasus korupsi Bansos ini, menambah luka dan derita rakyat. Secara keseluruhan dana yang dialokasikan pemerintah untuk program penanganan Covid19 sebesar Rp 677 triyun. Alokasi angggaran Covid 19 ini terus bertambah. Bahkan Menkeu Sri Mulyani sebagaimana diberitakan CNN Indonesia 19 Juni 2020, menyebutkan program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional diperkirakan memakan biaya sebesar Rp 905,1 triliun. Dana sebesar itu harus bisa dipantau oleh lembaga hukum dan institusi audit yang independen dan kredibel. Hal itu dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyelewengan seperti yang dilakukan oleh Mensos dan oknum pejabat di Kemensos.Sekali lagi, pengawasan terhadapdana besar yang dialokasikanuntuk penanggulangan Covid 19, perlu dilakukan karena berpotensi untuk dikorupsi. Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) yang kemudian berubah jadi UU No2 Tahun 2020, tentang penanggulangan Covid 19, dana tersebut bisa menjadi ajang korupsi bersama yang dilakukan oknum pejabat pemerintah dan swasta. Betapa tidak, UU tersebut memberi kewenangan penuhkepada pihak pemerintah untuk menyusun anggaran dan bahkan memberi imunitas kepada para pejabat tertentu di bidang keuangan untuk tidak boleh digugat. Sebenarnya ini membuka peluang terjadinya korupsi. Alih-alih menyelamatkan rakyat dari pandemi Covid19, uang rakyat justru dikorupsi. Sebenarnya pada Maret 2020 lalu atau pada awal bencana Covid 19 merebak di Indonesia, Ketua KPK, Firli Bahuri, pernah mengingatkan ancaman pidana mati bagi pihak-pihak yang melakukan korupsi anggaran bencana yang dialokasikan untuk menangani virus corona atau covid-19. Dalam aturan, jelas disebut bahwa orang yang melakukan tindak pidana korupsi saat bencana, maka ancaman hukumannya pidana mati. Sekarang kita tunggu saja pelaksanaan pidana mati terhadap pihak-pihak yang terbukti telah mengkorupsi angggaran untuk penanganan Covid19. Jika itu terjadi, akan menjadi preseden baik bagi penegakan hukum di Tanah Air yang selama ini tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Bukan Zamannya Lagi Apa Kata Polisi Ditelan Begitu Saja

by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (08/12). Bisakah dipercaya penjelasan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran tentang insiden penembakan yang menewaskan 6 Laskar FPI di jalan tol Cikampek KM-50? Inilah pertanyaan yang mungkin tidak diperhitungkan oleh Kapolda Metro. Polisi memberikan penjelasan yang 100% mencerminkan bahwa merekalah yang akan memonopoli kebenaran. Artinya, begitu mereka jelaskan tentang apa saja, akan ditelan bulat-bulan oleh publik sebagai kebenaran. Zaman itu sudah berlalu. Sudah usang cara-cara seperti itu. Dulu, para penguasa sipil atau penguasa keamanan bisa seenaknya mengatakan ini atau itu dan rakyat harus menerimanya sebagai kebenaran. Sekarang tidak bisa lagi begitu. Baik dari aspek psikologi sosial mau pun dari sisi teknologi informasi dan teknologi digital. Masyarakat sekarang sangat kritis. Sekaligus memiliki kemampuan analitis. Kebohongan bisa langsung terkuak. Itulah perubahan zaman yang didorong oleh perubahan nilai dan revolusi teknologi. Sangat mengherankan kalau Polisi tidak menyadari perubahan zaman itu. Di masa Harmoko menjadi menteri penerangan, semua orang dan media tidak bisa berbuat apa-apa. Yang dia ucapkan harus disiarkan penuh. Harus menjadi inti lembaran berita atau laporan. Wajib menjadi kebenaran meskipun seratus persen pembodohan dan pembohongan. Cara-cara itu sudah lama sirna. Rakyat telah berjuang keras agar kejujuran dan keadilan menjadi nilai utama dalam penyelenggaraan negara. Dalam insiden penembakan mati 6 laskar FPI pada 7 Desember 2020 oleh Polisi, penjelasan Kapolda Metro sangat diragukan kebenarannya. Banyak yang tak masuk akal sehat. Terkesan Pak Kapolda mau menang sendiri. Mau benar sendiri. Gaya begini tidak bisa lagi. Klarifikasi Polisi soal insiden 6 laskar FPI tewas itu tidak akan dipercaya oleh masyarakat. Kalau pun ada yang percaya, sudah bisa dipetakan siapa-siapa mereka. Karena itu, kita mengimbau agar Kepolisian mengutamakan kejujuran dan transparansi dalam insiden penembakan yang sangat ceroboh ini. Rekayasa bisa dengan mudah tercium. Akan terbongkar dengan sendirinya. Bukan zamannya lagi apa kata Polisi ditelan begitu saja oleh publik.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Kematian 6 Orang Anggota FPI, Polisi Harus Bertanggungjawab

by Sugito Atmo Pawiro Jakarta FNN - Senin (07/12). Kepolisian RI jelas harus memikul tanggungjwab hukum terhadap peristiwa penembakan hingga menewaskan 6 (enam) orang anggota Laskar FPI yang mengawal Imam Besar FPI Habib Riziq Shihab (HRS) dalam perjalanannya bersama keluarga, di KM 50 Tol Cikampek, dinihari (Senin, 7 Desember 2020). Menyusul peristiwa kelabu ini, sebuah rekayasa cerita tiba-tiba dipertontonkan kepada publik oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, bahwa seolah-olah polisi terpaksa membela diri dengan menembak keenam pengawal HRS yang menyerang lebih dahulu dengan tembakan senjata api. Alibi yang dibangun polisi itu menjadi sebuah ilusi. Pertama, untuk apa aparat kepolisian berada dalam iringan rombongan HRS dan keluarga yang sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat di Karawang dan sekitarnya untuk menjalankan acara dakwah pada Senin Subuh itu. Bukankah tidak ada urgensi dan kepentingan aparat kepolisian untuk berada di antara iringan kendaraan HRS dan keluarga yang akan menjalankan ibadah Sholat Subuh berjamaah, dini hari tadi?. Jika begitu berarti tidak ada sesuatu yang kebetulan dalam peristiwa ini. Jelaslah betul ada aktivitas tertentu dalam bentuk semacam operasi khusus yang senyap dari aparat kepolisian untuk menguntit HRS, keluarga dan rombongannya. Sebuah agenda kegiatan dari aparatur negara yang mengingkari kebebasan asasi warga negara. Penembakan terhadap keenam anggota Laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga adalah puncak kekonyolan dalam operasi yang tidak memiliki manfaatnya bagi negara ini. Kedua, cara-cara yang dilakukan kepolisian ini bersifat terencana, sistematis dan berkesinambungan untuk mengikuti setiap gerak perjalanan dan aktivitas HRS sejak kepulangannya ke Indonesia awal bulan lalu. Tampaknya aparat kepolisian mendapatkan perintah khusus untuk mencari cela agar menimbulkan sebuah peristiwa yang dapat membuat surut kiprah HRS. Peristiwa tewasnya keenam pengawal HRS sebagai puncak dari kegiatan operasi kepolisian yang melampaui batas dan kepatutan hukum. Ketiga, adalah mustahil keenam pengawal HRS melakukan penyerangan lebih dahulu terhadap petugas kepolisian, oleh karena fokus kerja keenam anggota Laskar FPI adalah pengawalan kepada HRS dan keluarga, dan bukannya untuk menyerang orang lain. Selain itu tidak ada seorang pun anggota Laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga menggunakan senjata api. Perlu ditegaskan bahwa rombongan HRS dalam perjalanan di KM 50 Tol Cikampek tersebut tidak dapat melakukan identifikasi terhadap aparat kepolisian di antara rombongan di jalan tol Cikampek itu. Dalam dugaan semula, para penembak yang mencegat pengawal HRS adalah orang-orang yang tidak dikenal (OTK). Justru identitas penembak diketahui kemudian sebagai aparat kepolisian setelah mendengar klarifikasi dari Kapolda Metro Jaya. Pelanggaran HAM Berat Penguntitan dan penghadangan terhadap rombongan HRS dan keluarga yang hendak menjalankan aktivitas dakwah dan berbuntut penembakan hingga menewaskan para pengawal yang juga anggota Laskar FPI, untuk sementara, dapat disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) oleh aparatur negara terhadap warga negara biasa. Suatu tindakan yang tidak patut dan tidak diperlukan dalam upaya pengamanan dan penciptaan ketertiban di masyarakat. Justru kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan aparat kepolisian ini merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terklasifikasi berat. Pihak kepolisian sejauh ini masih membangun sebuah alibi bahwa anggota FPI yang menyerang aparat kepolisian terlebih dahulu. Pernyataan luas ini menimbulkan kesan bahwa kepolisian yang menembak dan menewaskan keenam anak manusia itu hanyalah cara bela diri oleh aparat negara. Demikian dianggap tidak memiliki implikasi hukum apa pun. Seolah-olah hal keji tersebut dapat dibenarkan demi tegaknya hukum. Padahal pertanyaannya adalah: hukum manakah yang ingin ditegakkan ketika aparat kepolisian berpakaian preman untuk terus menguntit dan menghadang rombongan warga negara yang hendak menjalankan ritual agama dalam perjalanan di jalan bebas hambatan? Untuk membuka kebenaran dalam peristiwa kejahatan melawan kemanusiaan oleh aparat negara terhadap warga negara ini, maka urgensinya saat ini adalah membentuk semacam Tim Pencari Fakta (TPF) guna menemukan fakta sejelas-jelasnya (fact finding) ihwal siapa yang seharusnya bertanggungjawab di muka hukum atas peristiwa kelabu ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) harus membentuk TPF ini dari berbagai unsur anggota yang kredibel dan bebas dari anasir politik. Apabila nanti ditemukan fakta bahwa prosedur penembakan terhadap warga negara biasa yang mengawal HRS dalam kegiatan keagamaan itu adalah tidak patut dan menyalahi norma hukum, maka diperlukan Langkah penegakan hukum berdasarkan prinsip equality before the law. Siapa pun memiliki kesamaan di muka hukum, dan jika terang-benderang bersalah, maka harus dimintakan pertanggungjawabannya di muka hukum. Siapa pun berhak memperdebatkan kiprah HRS dan FPI dalam pro dan kontra. Akan tetapi tidak ada alasan hukum yang dapat membenarkan kesewenang-wenangan negara untuk membunuh warga negara mana pun. Untuk itu marilah kita ungkap kebenaran.*** Penulis adalah Ketua Bantuan Hukum FPI.

Buntut Penembakan Laskar FPI, Presiden Jokowi Didesak Copot Kapolri dan Kabaintelkam Polri

by Neta S. Pane Jakarta FNN - Senin (07/12). Presiden Jokowi harus segera mencopot Kapolri Jenderal Idham Azis dan Kabaintelkam Polri Komjen Rycko Amelza, sehubungan terjadinya kasus penembakan yang menewaskan enam anggota FPI di Tol Cikampek, Jawa Barat pada Senin 7 Des 2020 subuh. Selain itu, Indonesia Police Watch (IPW) mendesak agar segera dibentuk Tim Pencari Fakta Independen untuk mengungkapkan, apa yg terjadi sebenarnya. Sebab antara versi Polri dan versi FPI sangat jauh berbeda penjelasannya. Polri mengatakan, anggotanya ditembak Laskar Khusus FPI yang mengawal Rizieq. Apakah benar bahwa Laskar PFI itu membawa senjata dan menembak polisi? Agar kasus ini terang benderang anggota Polri yg terlibat perlu diamankan terlebihdahulu untuk dilakukan pemeriksaan. Sebab menurut Siaran Pers FPI, rombongan Rizieq lah yang lebih dulu dihadangan sekelompok orang yang berpakaian sipil, sehingga mereka menduga akan dirampok orang tak dikenal di jalan tol. Dalam kasus Cikampek ini muncul sejumlah pertanyaan. Pertama, jika benar FPI mempunyai laskar khusus yang bersenjata, kenapa Baintelkam tidak tahu dan tidak melakukan deteksi dan antisipasi dini serta tidak melakukan operasi persuasif untuk "melumpuhkannya". Kedua, apakah penghadangan terhadap rombongan Rizieq di KM 50 Tol Cikampek arah Karawang Timur itu sudah sesuai SOP, mengingat polisi penghadang mengenakan mobil dan pakaian preman. Ketiga, jika Polri menyebutkan bahwa anggotanya ditembak lebih dulu oleh Laskar Khusus FPI, berapa jumlah tembakan itu dan adakah bukti bukti, misalnya ada mobil polisi yang terkena tembakan atau proyektil peluru yg tertinggal. Keempat, dimana TKP tewas tertembaknya keenam anggota Laskar Khusus FPI itu karena menurut rilis FPI keenam anggotanya itu diculik bersama mobilnya di jalan tol. Kelima, bahwa keenam anggota FPI yang tewas ditembak itu bukanlah anggota teroris, sehingga polisi wajib melumpuhkannya terlebih dahulu karena polisi lebih terlatih dan polisi bukan algojo tapi pelindung masyarakat. Keenam, jalan tol adalah jalan bebas hambatan sehingga siapa pun yang melakukan penghadangan di jalan tol adalah sebuah pelanggaran hukum, kecuali sipengandara nyata nyata sudah melakukan tindak pidana. Ketujuh, penghadangan yang dilakukan oleh mobil sipil dan orang orang berpakaian preman, patut diduga sebagai pelaku kejahatan di jalan tol, mengingat banyak kasus perampokan yang terjadi di jalanan yang dilakukan orang tak dikenal. Jika polisi melakukan penghadangan seperti ini sama artinya polisi tsb tidak promoter. Dengan tewas tertembaknya keenam anggota FPI itu, yang paling bertanggungjawab dalam kasus ini adalah Kapolri Idham Azis. Tidak promoternya Idham Azis dalam mengantisipasi kasus Rizieq sudah terlihat sejak kedatangan pimpinan FPI itu di Bandara Soetta, yang tidak diantisipasi dengan profesional tapi terbiarkan hingga menimbulkan masalah. Penulis adalah Ketua Presidium Indonesia Police Watch

Penjelasan Polisi Soal Penembakan Laskar FPI Tidak Boleh Menjadi “Putusan Pengadilan”

by Asyari Usman Medan FNN - (Senin 07/12). Penjelasan pihak Polri, dalam hal ini Polda Metro Jaya (PMJ), mengenai insiden penembakan mati enam pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) dipenuhi banyak kejanggalan. Penjelasan itu tidak bisa dianggap sebagai kebenaran dan pembenaran atas penembakan yang menewaskan keenam pengawal tsb. Klarifikasi sepihak Polisi dalam insiden yang menyebabkan begitu banyak nyawa melayang, tidak boleh dijadikan “putusan pengadilan”. Seperti disarankan sejumlah pihak, ada baiknya segera dilakukan misi pencarian fakta independen yang melibatkan Komnas HAM, Kontras, YLBHI, dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jika disimak dengan cermat, banyak yang aneh di dalam rangkaian penjelasan Kepolisian yang disebarluaskan oleh media online. Mari kita telisik hal-hal yang janggal itu dalam klarifikasi yang disampaikan oleh Kapolda Metro Irjenpol Fadil Imran. PARAGRAF PERTAMA"Sekitar pukul 00.30 WIB di jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 telah terjadi penyerangan terhadap anggota Polri yang sedang melaksanakan tugas penyelidikan terkait rencana pemeriksaan MRS yang dijadwalkan berlangsung hari ini jam 10.00 WIB," jelas Fadil yang didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (7/12/2020). Kejanggalan 1: Untuk apa Polisi melakukan penyelidikan di jalan tol tentang rencana pemeriksaan HRS. Kalau pun ada informasi intelijen mengenai massa pendukung HRS akan dikerahkan ke Polda, kenapa rombogan HRS yang sedang berjalan tengah malam itu yang diselidiki. Bukankah polisi seharusnya memburu pengorganisasian massa yang bakal datang ke Mapolda Metro? Kejanggalan 2: Ketika menyampaikan klarifikasi, untuk apa Kapolda Metro harus didampingi oleh Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman? Apa urgensinya? Bukankah insiden itu 100% urusan kepolisian? Polisi bukan sedang mengejar teroris atau anggota separatis. Satu-satunya jawaban untuk kejanggalan ini adalah bahwa Kapolda Fadil Imran merasa perlu “ditemani” oleh seseorang yang dia anggap berposisi kuat dan sekaligus pernah berselisih dengan HRS. Kehadiran Pangdam Jaya sangat politis sifatnya. PARAGRAF KETIGA“Terkait hal tersebut, kami kemudian melakukan penyelidikan kebenaran informasi tersebut. Dan ketika anggota PMJ mengikuti kendaraan yang diduga adalah pengikut MRS, kendaraan petugas dipepet, lalu kemudian diserang dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam sebagaimana yang rekan-rekan lihat di depan ini.” Kejanggalan: Laskar FPI dikatakan punya senjata api. Ini tentu menjadi tanda tanya besar. Hampir tidak mungkin mereka memiliki senjata api secara legal. Kalau begitu, FPI memiliki senjata api secara legal? Malah semakin runyam. Masuk akalkah Polisi tak mengetahui senjata ilegal di tangan FPI? Mungkinkah Intelijen kepolisian kecolongan? Tidak bisa mendeteksi senjata ilegal di kalangan FPI? PARAGRAF KEDELAPAN“Selanjutnya kami, saya dan Pangdam Jaya, mengimbau kepada saudara MRS dan pengikutnya untuk tidak menghalang-halangi proses penyidikan. Karena tindakan tersebut adalah tindakan yang melanggar hukum dan dapat dipidana, dan apabila tindakan menghalang-halangi petugas membahayakan keselamatan jiwa petugas, kami, saya, bersama Pangdam Jaya tidak akan ragu untuk melakukan tindakan yang tegas.” Kejanggalan: Kapolda Irjen Fadil Imran kembali “membawa” Pangdam Jaya. Lagi-lagi untuk tujuan apa? Apakah sedang terjadi kerusuhan skala besar sehingga Polisi harus meminta bantuan TNI? Itulah antara lain berbagai kejanggalan di dalam klarifikasi Kapolda Metro. Sementara itu, pihak FPI mengatakan bahwa mereka dihadang dan diserang di jalan tol Cikampek KM-50 oleh orang tak dikenal (OTK) yang ternyata kemudian adalah aparat kepolisian seperti penjelasan Kapolda. Menurut FPI, jangankan membawa senjata api, pentungan saja pun tidak ada mereka bawa. Lembaga pemantau kepolisian, Indonesia Police Watch (IPW), juga meminta agar dilakukan penyelidikan independen untuk menemukan fakta-fakta dalam insiden penambakan mati enam lascar FPI itu. IPW juga menyebutkan banyak kejanggalan dalam peristiwa ini. IPW meminta Presiden Jokowi agar mencopot Kapolri Idham Aziz dan Kabaintelkam Komjen Rycko Amelza. IPW pun ingin mengetahui apakah benar anggota FPI membawa senjata api di dalam insiden ini sebagaimana dijelaskan Kapolda Metro. Ketua Presidium IPW Neta S Pane mempersoalkan penghadang kepolisian yang mengunakan pakaian preman dan mobil tanpa atribut Polri. Ada tujuh aspek yang dipertanyakan oleh Pane. Termasuk penghadangan beratribut sipil yang dilakukan oleh petugas kepolisian di jalan tol. Dia mengatakan, siapa yang melakukan penghadangan dengan tampilan sipil do jalan tol berarti melakukan pelanggaran hukum. Mengingat penembakan keenam laskar FPI itu berpotensi menjadi pelangaran HAM berat, publik menuntut agar Komnas HAM secepatnya turun tangan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)