ALL CATEGORY

Mungkinkah "Dark Forces" Yang Melakukan Pembunuhan di KM-50?

by Asyari Usman Medan FNN - Minggu (27/12). Kepolisian mengaku pembunuhan 6 anggota FPI di KM-50 dilakukan oleh anggota mereka. Tetapi, penjelasan polisi tentang insiden itu memunculkan berbagai pertanyaan. Ada sekian banyak simpangsiur. Kesimpangsiuran itu antara lain soal adanya tembak-menembak antara keenam korban dan aparat kepolisian. Polisi menegaskan ada kontak senjata. Sedangkan pihak FPI mengatakan anggota mereka tidak memiliki senjata. Juga simpangsiur perihal senjata api (senpi) dan senjata tajam (sajam) yang dikatakan dibawa oleh keenam anggota. Semula polisi mengatakan para korban memiliki senpi, tapi kemudian dikatakan anggota FPI itu merampas senpi dari petugas kepolisian. FPI konsisten mengatakan mereka tidak memiliki senpi maupun sajam. Akumulasi kejanggalan itu menyulut rasa ingin tahu tentang apa sebenarnya yang terjadi? Siapa-siapa saja di tim kepolisian yang bertanggung jawab dalam penembakan KM-50? Ini yang harus digali tuntas oleh Komnas HAM. Kejanggalan dan simpangsiur itu perlu diurai. Agar pengusutan berjalan transparan dan adil. Penjelasan versi FPI menyebutkan, mereka mencatat adanya penguntitan (surveillance) terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS). Itu terjadi di sekitar rumah keluarga di Sentul, Bogor, sejak beberapa hari sebelum peristiwa KM-50, dinihari 7 Desember 2020. Waktu itu, para penguntit tidak diketahui identitas mereka. Polisikah mereka? Atau ‘orang lain’? Imajinasi publik pasti cukup liar. Bahkan, menurut versi FPI, ketika terjadi percobaan oleh kendaraan para penguntit untuk masuk ke dalam konvoi HRS di jalan tol Jakarta-Cikampek, para pengawal Habib tidak tahu kalau rombongan penguntit itu adalah polisi. Mereka menyebut para penguntit itu dengan istilah “orang tak dikenal” (OTK). Setelah Polda Metro mengumumkan bahwa OTK itu adalah aparat kepolisian, barulah pihak FPI tahu siapa yang menguntit mereka. Nah, bisakah dipastikan mereka itu aparat kepolisian? Pihak polisi mengatakan orang-orang yang menembak mati anggota FPI sudah ditahan oleh Divisi Propam Polri. Artinya, mereka itu benar polisi. Namun, hingga saat ini yang ditahan tsb masih belum bisa diverifikasikan. Baik oleh media massa sebagai sumber informasi publik maupun oleh pihak-pihak lain. Kalaupun sudah ada tatap muka antara Komnas HAM dengan para terduga yang ditahan, bisa saja hasilnya meragukan. Jadi, ini yang perlu dipastikan, dikukuhkan. Benarkah aparat kepolisian yang terlibat “tembak-menembak” dengan anggota FPI? Bagi publik, masalah ini belum klar. Jangan-jangan bukan polisi. Karena itu, diperlukan penelusuran cermat. Kepolisian harus transparan tentang ini. Sangat wajar kalau ada yang bertanya: apakah mungkin para pembunuh 6 anggota FPI adalah personel dari kesatuan lain? Mungkinkah ada ‘tim luar’ yang numpang berselancar? Mungkinkah mereka itu aparat yang sudah sangat terlatih menghabisi target? Terutama target-target ‘sitting duck’ (empuk)? Mungkinkah mereka itu aparat yang beroperasi senyap, tanpa ada yang tahu? Mungkinkah ada ‘splinter group’ (kelompok sempalan)? Atau, mungkinkah mereka itu bukan aparat negara? Yaitu, hanya semacam “mercenary” (eksekutor bayaran) saja? Mungkinkah itu salah satu dari kemungkinan tadi? Banyak sekali pertanyaan yang kelihatannya tidak mudah dijawab. Banyak pembunuhan di muka Bumi ini yang dilakukan oleh “pasukan hitam” alias “pasukan siluman”. Yang biasa disebut “dark forces”. Mereka beroperasi karena instansi penegak hukum bisa dikangkangi. Bisa dikapling-kapling. Bahkan bisa dikendalikan oleh beberapa petinggi saja. Pasukan hitam atau siluman pada umumnya muncul karena pemimpin negara tak mampu menguasai situasi nasional. Pemimpin yang tak berwibawa. Ini yang kemudian memunculkan persaingan antarinstitusi keamanan atau penegak hukum. Bahkan persaingan terjadi diantara faksi-faksi di lingkungan suatu instansi. Di satu instansi bisa ada banyak kubu (clan) yang sering diistilahpasarkan sebagai “geng”. Misalnya, di intansi itu atau ini ada Geng-A, Geng-B, Geng-C, Geng-D, dst. Dan semua geng mempunyai kemampuan untuk menunjukkan eksistensi mereka masing-masing. Dari sini kita bertanya: mungkinkah “dark forces” yang melakukan pembunuhan di KM-50? Untuk menjawab ini perlu dicermati apakah penyebab kemunculan “pasukan siluman” itu bisa Anda lihat dan Anda rasakan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Di Megamendung, HRS Ajarkan Santri Berkebun, Bukan Membuat Perkebunan

by Asyari Usman Bogor FNN - Sabtu (26/12). Seorang emak-emak menangis tersedu sambil menumpahkan kesedihannya. Dia mendengar berita bahwa lahan yang dipakai oleh Habib Rizieq Syihab (HRS) untuk pesantren agrokultural Markaz Syariah (MS) di Megamendung, Bogor, akan diambil paksa oleh pemilik HGU-nya, yaitu PTPN VIII. Dirut PTPN 8, Muhammad Yudayat, sudah mengirimkan somasi per 18 Desember 2020. Inilah somasi pertama dan terakhir. Tidak main-main. Dia mengatakan, lahan seluas 31 hektar yang selama ini dipakai HRS untuk bercocok tanam, harus diserahkan kepada perusahaan perkebunan itu. Akan diambil paksa. Pak Dirut mengultimatum, jika dalam seminggu tidak dikosongkan, maka pihak PTPN 8 akan menyampaikan laporan ke polisi. Bakal menjadi pengaduan polisi yang kesekian kali atas nama HRS. Padahal, lahan itu terlantar lebih 30 tahun. Kemudian digarap oleh warga masyarakat. Dari warga penggarap itulah HRS membeli lahan tsb. Jadi, lahan itu dibeli bukan diserobot. Ibu yang menangis itu terdengar sangat pilu. “Sampai segitunya mereka membenci Habib,” ujar Ibu tersebut dalam rekaman yang beredar di berbagai platform media sosial. Ibu yang pilu itu tahu persis penggunaan lahan MS. Di atas tanah yang relatif tidak terlalu luas itu jika dibandingkan 300,000 hektar yang dikuasai oleh konglomerat, anak-anak santri MS melantunkan sholawat. Mereka berzikir. Menghafal al-Quran. Memohon kepada Yang Mahakuasa agar menyelamatkan bangsa dan negara ini. Ibu yang terisak-isak itu tahu bahwa para santri di MS tidak diajarkan memusuhi siapa pun. Yang diajarkan kepada mereka adalah cara hidup yang berguna bagi manusia lain. Mereka diajarkan memberi, bukan mengambil. Diajarkan hidup sederhana, bukan hidup semena-mena. Anak-anak santri itu dididik agar tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Mereka diajarkan menanam, bukan membabat. Diajarkan berkebun, bukan membuat perkebunan. Anak-anak santri MS diajarkan hidup mandiri, bukan menipu Bank Mandiri. Mereka diajarkan berbagi rezeki, bukan bagi-bagi uang korupsi. Kelak diharapkan para santri akan menjadi inisiator bansos, bukan koruptor bansos. Di pesantren MS, para santri tidak diajarkan membuat Tambang Batubara. Jauh dari itu. Tetapi mereka dididik agar tidak terjerumus seperti Juliari Batubara. Anak-anak santri itu tidak hanya belajar agama. Mereka juga belajar matemateika, dan pengetahuan umum. Pengetahuan umum mereka lumayan luas. Misalnya, mereka tidak hanya tahu tentang peranan penting Menhan Prabowo. Tapi mereka juga paham tentang kisah benur lobster Edhy Prabowo. Jadi, lahan 31 hektar yang dipakai HRS di Megamendung itu bukan untuk memperkaya pribadi. Melainkan untuk memperkaya kepribadian. Silakan Anda cek apa yang dilakukan oleh para konglomerat di atas berjuta hektar lahan yang mereka kuasai. Namun, kalau kalian masih perlu lahan 31 hektar yang dibeli resmi oleh HRS dari warga setempat, beliau pasti akan menyerahkanya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Vaksin Covid Masih Meragukan, Pakar: Telusuri Riwayat Uji Klinisnya (1)

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Sabtu (26/12). Prof. Yuwono, seorang Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik, mengungkapkan, pada pekan pertama uji klinis di United Kingdom (UK): Efek samping alergi dan bell's palsy (lumpuh wajah) yang terjadi setelah disuntik vaksin pfizer adalah hal yang serius secara medis. “Ada apa sebenarnya? Sebenarnya itu karena uji klinis fase 3 yang menjamin keamanan dan efektifitas Belum Selesai di seluruh dunia, termasuk uji klinis di Kota Bandung,” ungkapnya dalam akun Facebook Prof. Yuwono, Kamis (10/12/2020). Catatan lainnya, kata Prof. Yuwono, adalah vaksin pfizer itu hanya RNA Virus, sedangkan Sinovac itu Virus Utuh, logikanya bisa jadi efek sampingnya lebih beragam dibanding yang RNA saja. Sebagai dokter spesialis mikrobiologi klinik ia wajib menyuarakan ini, sebagai konsekuensi dari sumpah dokter: “Saya akan menghormati kehidupan mulai dari pembuahan” dan prinsip praktik dokter “the first do not harm”, yang utama dan pertama jangan bikin cilaka pasien”! “Moga ini didengar oleh siapapun para pemimpin agar jangan bikin cilaka warganya dalam hal apapun!” ujar Prof. Yuwono.Bahwa vaksin akan berkontribusi sebagai salah satu cara mengakhiri pandemi, menurut Prof Yuwono, itu mungkin. “Tapi faktor lain seperti sembuh sudah 80%, yang sakit berat kurang dari 1%, yang wafat 3%, dan kehati-hatian masyarakat yang semakin baik, apakah ini bukan modal untuk mengakhiri pandemi covid?” tegas Prof. Yuwono. “Coba buka data Pandemi HIV AIDS yang fatal 100% dan belum ada 1 pun yang sembuh! Jangan fokus dan cuma ngandalkan vaksin, tapi andalkan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa serta kompak-kompak saling lindungi dan bantu sesama warga NKRI,” lanjutnya. “Jangan seperti berita ramai saat ini, apapun dalihnya, membuat warga takut, susah, sakit atau mati adalah langkah tak manusiawi!” ungkap Prof. Yuwono mengingatkan. Reaksi alergi setelah disuntik Vaksin Covid-19 Pfizer juga diuraikan Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. Dua tenaga kesehatan (perempuan setengah baya) di Alaska, AS, dan dua lainnya di UK dilaporkan mengalami reaksi alergi yang parah, dikenal sebagai reaksi anafilaktik. Reaksi muncul beberapa menit setelah vaksin disuntikkan secara intramuskular (ke dalam otot). Tandanya adalah: Pemerahan di wajah, akibat pelebaran pembuluh darah. Sesak nafas, akibat penyempitan saluran pernafasan. “Reaksi alergi ini disebut sebagai adverse effect atau reaksi yang tidak diharapkan, dan bersifat merugikan,” ungkap Arie Karimah. Sedangkan efek samping (side effect) juga merupakan reaksi yang tidak diharapkan, tidak selalu merugikan bahkan kadang-kadang membawa manfat. Efek samping vaksin Pfizer: demam, sakit kepala, atau nyeri otot. Kedua perempuan Alaska tersebut tidak mempunyai riwayat alergi sebelumnya. Perempuan pertama sebelumnya mencoba mengatasi reaksi alergi itu dengan minum kapsul antialergi Benadryl, namun tidak membawa manfaat. Akhirnya dibawa ke rumah sakit dan mendapat suntikan epinefrin (EpiPen), yang merupakan standar pengobatan untuk reaksi anafilaktik. Selain itu juga mendapat obat lambung Pepcid dan Benadryl melalui infus. Gejalanya segera mereda setelah mendapat epinefrin. Orang pertama itu mendapat vaksinasi hari Selasa, dan perlu diobservasi di rumah sakit semalam. Sementara orang kedua disuntik pada hari Rabu dan langsung pulih sepenuhnya. Reaksi anafilaktif terhadap suntikan vaksin tersebut merupakan kasus yang sangat jarang terjadi (langka), dan umumnya hanya berlangsung singkat, jika segera mendapat suntikan epinefrin. Dan sesuai aturan yang sebelumnya sudah dikeluarkan oleh FDA, barang siapa mengalami reaksi alergi pada suntikan vaksin yang pertama itu, maka yang bersangkutan tidak akan mendapat suntikan kedua (booster). Di UK seminggu sebelumnya juga dilaporkan ada 2 tenaga kesehatan yang mengalami reaksi anafilaktik. Reaksi segera tertangani karena keduanya memang sudah menyiapkan suntikan epinefrin. Keduanya memiliki riwayat alergi tersebut. Menurut Arie Karimah, UK kini telah membuat rekomendasi baru: Siapapun yang pernah punya riwayat alergi parah sebaiknya tidak ikut vaksinasi. Sebenarnya reaksi anafilaktik Sudah Pernah dilaporkan dalam uji klinis di UK, sehingga Alaska sudah siap dengan penangkalnya. Ini adalah kasus pertama di AS, dan program vaksinasi akan tetap berjalan sesuai yang sudah direncanakan. Para dokter di AS kini diminta untuk memberi perhatian tentang kemungkinan munculnya reaksi alergi yang langka ini pada suntikan pertama vaksin. FDA sendiri sebenarnya sudah mengeluarkan aturan tentang siapa yang Tidak Boleh divaksinasi: Mereka yang mempunyai riwayat alergi Parah, pada suntikan pertama dengan vaksin. Mereka yang alergi Parah terhadap komponen vaksin. Menurut Arie Karimah, arti aturan ini bagi praktisi: Tetap toh harus mengalami reaksi alergi dulu disuntikan pertama, baru tidak boleh mendapat suntikan kedua (booster); Bagaimana bisa tahu alergi terhadap komponen vaksin (yang begitu banyak), kalau tidak dilakukan tes alergi terlebih dahulu. Bagi yang belum pernah belajar tentang alergi: Alergi adalah suatu Kelainan, bukan penyakit, dimana tubuh seseorang menganggap zat yang tidak berbahaya bagi Sebagian Besar orang sebagai zat berbahaya untuknya. Uji klinis vaksin Sinovac itu sudah didesain Dengan Benar. Kalau ada “manipulasi” di tengah jalan akan diketahui dari hasilnya. Dokter, Clinical Pharmacist dan Clinical Trial Experts akan mengetahuinya. Ada istilah namanya inclusion criteria dan exclusion criteria. Siapa-siapa yang boleh menjadi volunteers dan siapa yang tidak diikutsertakan sebagai volunteers. “Daftar exclusion criteria sangat panjang. Artinya, jangan tanya efek vaksin terhadap orang-orang yang masuk dalam kategori exclusion criteria,” ujar Arie Karimah. Kenapa tidak dilibatkan? Menurutnya, ini akan membutuhkan waktu uji klinis yang panjang, sementara keberadaan vaksin Covid-19 sangat mendesak dibutuhkan, karena angka kematian di seluruh dunia yang begitu tinggi (1,6 juta). Dan, jumlah populasi yang terinfeksi terus meningkat dalam jumlah puluhan juta (76,6 juta). Biaya akan sangat tinggi. Resiko kematian dalam uji klinis mungkin lebih besar. Arie Karimah menyebut, biasanya akan dilibatkan dalam uji klinis lanjutan, atau diketahui efeknya secara tidak sengaja dalam uji klinis fase 4 (post marketing surveillance). “Klaim dalam obat dan vaksin itu harus berdasarkan bukti statistik (evidence-based), yang diperoleh dari uji klinis. Bukan asal mangap, atau saya kira, atau saya duga,” ungkapnya. Menurut Arie Karimah, jika uji klinis fase 2 dilakukan dengan baik, mestinya fase 3 berjalan lancar. Seperti kandidat-kandidat vaksin yang lain. Tapi kalau fase 3 dilakukan sebelum hasil fase 2 dipublikasikan, “Ya begini jadinya: maju kena mundur kena.” (Bersambung) Penulis wartawan senior FNN.co.id ***

Prabowo-Sandi Dan Sejarah Hitam Demokrasi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (26/12). Setelah Calon Presiden 2019 Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Jokowi, kini Calon Wakil Presiden Sandiaga Salahudin Uno juga masuk Kabinet. Komitmen awal untuk siap menjadi oposisi 5 tahun ke depan runtuh sudah sudah. Rekor Muri patut disematkan untuk sejarah demokrasi bangsa Indonesia. Dimana Prabowo-Sandi ternyata sangat senang hati untuk menjadi "pembantu"Jokowi. Keterlibatan mereka berdua sebagai Capres-Cawapres 2019 hanya dagelan belaka. Bohong-bohongan saja. Ujung-ujungnya hanya ingin punya jabatan di pemerintahan. Semua itu bisa dipahami, karena karier paling tinggi bagi Prabowo hanya bintang tiga di TNI Angkatan Darat. Belom pernah jadi menteri sejak pengisun dari dinas aktif militer. Hitung-hitung, dengan menjadi Menteri Pertahanan, ada penambahan jabatan di pemerintahan pada daftar curriculum vitae bahwa Probowo juga pernah menjadi menteri. Prabowo yang galak saat kampanye membuat pendukung bangga dan mengacungkan jempol. Soekarno baru telah muncul di bumi pertiwi ini. Para pendukung rela mengorbankan harta bendanya demi sukses perjuangan sang panutan menjadi Presiden. Pengorbanan pendukung disamping mengumpulkan dana kampanye juga dengan pengorbanan jiwa, tewas 6 atau bahkan 9 orang, dan luka luka 600 orang saat aksi protes di depan Bawaslu 21-22 Mei 2019 lalu. Rupanya bukan hanya Prebowo. Kini kejutan kembali terjadi. Setelah diumumkan oleh Jokowi bahwa Sandiaga Salahudin Uno menjadi salah satu Menteri hasil reshuffle, maka lengkaplah kekecewaan pendukung Prabowo-Sandi. Sumpah serapah pun bermunculan di kalangan para pendukung di media sosial. Ada yang karena sakit hati menyumpahi dengan predikat "dasar penghianat". Keduanya menjadi bahan olok-olok di media sosial sebagai performance manusia yang tidak istiqamah. Pertimbangan didominsi oleh kalkulasi untung rugi. Para pendukung jadi teringat dengan omongan aktivis 98 yang kini menjadi Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief, yang pernah menjuluki Prabowo sebagai “Jendral Kardus”. Omongan Andi Arief seperti menjadapatkan pembenaran hari ini. Sebagian lagi pendukung sudah tak peduli pada keduanya. Pendukung berkonklusi bahwa memang seperti itulah kualitas keduanya. Bahkan ada yang bersyukur untung katanya tidak menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kalau menang, dan menjadi Presiden-Wakil Presiden, jangan-jangan mengelola pemerintahan bisa lebih parah dari yang sekarang. Tidah usah jauh-jauh ambil perbandingan. Lihat saja kader Gerindara, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait benur udang. Nah, Ketua Umum Gerindra tidak menjadi Presiden saja begitu. Bagaimana kalau Prabowo menjadi Presiden. Bisa lebih parah dong??? Ketika rakyat menghadapi masalah seperti tokoh yang dikriminalisasi. Gonjang-ganjing perundang-undangan yang merugikan rakyat. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat, Prabowo yang Menteri Pertahanan itu diam seribu bahasa. Begitu pula dengan Sandi Uno. Tak muncul komentar sebagai rasa empati kepada korban, apalagi sampai pembelaan segala. Dalam kaitan kehidupan demokrasi, masuknya Prabowo-Sandi dalam Kabinet Presiden Jokowi menjadi catatan sejarah hitam. Baru kali ini terjadi di Indonesia, mungkin juga di dunia. Catatan hitam, karena buruk sebagai preseden. Bahasanya, jika cuma sekedar mau jadi Menteri, buat apa bertarung habis-habisan dalam Pilpres. Jadi pendukung lawan saja dari dahulu Choy. Catatan hitam lain adalah membunuh budaya pengawasan dan perimbangan kekuatan. Semestinya kontrol terhadap kekuasaan itu harus kuat. Prabowo-Sandi dapat memimpin kekuatan pengawasan dan perimbangan ini. Akan tetapi dengan masuknya Prabowo-Sandi dalam Kabinet Jokowi, maka hal itu sama saja dengan memperkokoh oligarkhi. Apa boleh buat. Catatan sejarah hitam demokrasi Indonesia itu telah ditorehkan oleh Prabowo-Sandi. Mereka berdua merusak sendi demokrasi bangsa. Secara tak disadari keduanya telah berkontribusi dalam membangun kultur otokrasi. Jokowi yang semakin jumawa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Indonesia Butuh Sosok Abdul Mu'ti Yang Banyak

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (26/12). Siapa yang tidak suka jabatan? Dalam jabatan ada identitas dan status. Dalam jabatan ada curriculum vitae. Ini akan jadi catatan sejarah. Dalam jabatan, ada kehormatan sosial. Dalam jabatan ada akses kekuasaan. Dalam jabatan ada kebanggaan untuk mengangkat nama besar keluarga. Dan dalam jabatan juga ada kesejahteraan. Kata McClelland, ada tiga kebutuhan manusia. Need for achievement, kebutuhan akan prestasi. Need for affiliation, kebutuhan akan kasih sayang. Dan Need for power, kebutuhan untuk berkuasa. Salah satu kebutuhan alami manusia adalah kekuasaan. Makin tinggi jabatan seseorang, makin tinggi akses kekuasaan yang dimiliki. Disitu kesejahteraan dan sejenisnya bisa diakses. Disaat banyak orang berebut jabatan, Abdul Mu'ti, Sekjen Muhammadiyah ini menolak ditawari jadi salah satu Wakil Menteri Pendidikan. "Gak mampu" kata Abdul Mu’ti menolak. Tentu saja publik nggak percaya dengan alasan Abdul Mu’ti itu. Alasan yang terkesan dibuat-buat untuk meredam kegaduhan. Supaya yang memberi tawaran juga nggak tersinggung. Sosok Mu'ti adalah seorang guru besar. Aktifis dan lama berkarir di organisasi besar, yaitu Persyarikatan Muhammadiyah. Orang tahu, Muhammadiyah cukup rapi dan disiplin pola perkaderan. Muhammadiyah melahirkan sosok Hamka yang tegas. Sekarang ada Anwar Abbas, mantan Sekjen MUI dan Abdul Mu’ti, Sekjen Muhammadiyah. Dua sosok yang sangat tegas dan lugas. Nahdatul Ulama (NU) pada masa lalu juga melahirkan ulama tegas seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahab Hasbullah. Lalu belakangan ada Gus Dur, yang karena berpegang pada prinsip dan ketegasannya rela meninggalkan istana dan melepaskan jabatannya sebagai presiden. Sosok-sosok tegas seperti ini sudah mulai langka kita temui hari ini. Kembali ke Abdul Mu'ti. Ia adalah Sekjen Muhammadiyah. Posisi sebagai Sekjen hanya akan diberikan kepada sosok yang matang, mampu menggerakkan organisasi, administrator, jago lobi, dan piawai dalam berkomunikasi. Abdul Mu'ti punya semua itu. Jadi, nggak mungkin nggak mampu untuk menjadi sekedar Wakil Menteri Pendidikan. Ketua Ansor bisa jadi Menteri. Masak Sekjen PP Muhammadiyah nggak mampu jadi Wakil Menteri Pendidikan? Nggak mungkin itu. Sedikit banyak saya tahu sosok Mu'ti. Kebetulan dia kakak kelas saya di salah satu universitas negeri di Semarang. Sama-sama lanjut pasca sarjana di universitas negeri yang sama di Jakarta. Mu'ti adalah sosok berintegritas dan punya kapasitas. Tidak hanya untuk menjadi Wakil Menteri Pendidikan. Untuk menjadi menteri pun Abdul Mu'ti sangat mampu. Dalam hal ini, pasti ada alasan lain mengapa ia menolak jabatan yang diberikan oleh Jokowi. Supaya jangan su’udzon, alasan itu hanya Abdul Mu’ti dan Allah Subhaanuhu Wata’ala yang tahu. Boleh jadi karena negara sedang berjalan ke arah yang salah, sehingga menjadi alasan bagi Abdul Mu'ti nggak ikut di kapal yang berisiko tinggi untuk tenggelam. Abdul Mu’ti ini anak muda yang cemerlang. Masih panjang kesempatan karirnya untuk mengabdi kepada umat dan bangsa di masa depan. Soal alasan yang sebenarnya, hanya Mu'ti dan Tuhan yang tahu persis mengapa ia menolak permintaan presiden itu. Namun ketegasan sikap Mu'ti bukan tanpa risiko. Sebab siapapun hari ini yang menolak untuk bergabung dengan penguasa, seringkali dianggap oposisi. Bahkan tak jarang diposisikan sebagai lawan. Malah ada yang dipolisikan. Mu'ti seorang pemberani. Tegas dalam mengambil keputusan dan menjaga prinsipnya. Sikap dan ketegasan ini layak diapresiasi. Jabatan yang umumnya menjadi lahan rebutan bagi partai, ormas, timses, donatur, kolega dan keluarga penguasa, dengan tegas ditolaknya. Sikap Mu'ti perlu jadi referensi. Pertama, tak boleh berebut jabatan sehingga peluang orang-orang profesional dan berkemampuan yang ingin mengabdi kepada bangsa dan negara jadi sempit. Kedua, jangan terima jabatan jika merasa situasi tak kondusif untuk produktif. Ketiga, jangan ambil jabatan jika tak betul-betul yakin bisa membenahi. Keempat, siap menghadapi segala bentuk risiko ketika anda menolak jabatan. Risiko usaha bagi pengusaha, risiko politik bagi politisi, dan bahkan risiko penjara bagi aktifis. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, dua imam mazhab yang sangat populer bagi umat muslim di Indonesia seringkali dijadikan rujukan ideal bagi mereka yang berani menolak jabatan. Mungkin Mu'ti mengikuti jejak kedua imam ini. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

PTPN VIII Bisa Menjadi Tertuduh, Jika Terbukti Telantarkan Lahan

PTPN VIII vs Pesantren Agrokultural Markas Syariah (HRS) sebuah pendekatan Normatif. by Maiyasyak Johan Bogor FNN - Sabtu (26/12). Somasi PTPN VIII kepada pihak Pesantren Agrokultural markas Syariah (HRS), telah membuat masyarakat luas tersentak - dan setuju atau tidak, pendekatan politik pun tak terhindarkan. Terlepas dari itu semua, secara formal hingga saat ini Indonesia masih merupakan negara hukum, karena itu kita harus melihat sengketa antara PTPN VIII dengan Pihak Pesantren ic HRS dari sisi hukum. Dari aspek hukum perdata, kedudukan dari Pihak Pesantren/HRS bisa disebut sebagai “Pihak pembeli yang beritikad baik”. Dikatakan sebagai pihak pembeli yang beritikad baik karena peralihan hak dari pihak yang mengaku sebagai pemilik. Dan itu sudah berlangsung lama, setidaknya sejak transaksi peralihan hak dari yang mengaku sebagai pemilik dengan pihak Pesantren/HRS. - sementara pihak PTPN VIII menjelaskan sejak tahun 2013. Yang membuat publik bertanya adalah dari tahun 2013 hingga saat ini, terutama kita bangunan fisik pesantren dilakukan pihak PTPN di mana? Pertanyaan ini mengajak kita mundur ke belakang, sejak tahun berapa pihak-pihak yang menjual tanah tersebut kepada pihak pesantren/HRS menguasai tanah tersebut? Bisa jadi tanah itu merupakan HGU dari PTPN - tetapi telah ditelantarkan dan dikuasai oleh masyarakat termasuk beberapa pejabat. Dan pihak pesantren/HRS membeli dari mereka. Secara teoritis dan normatif di sini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bahwa komplain pihak PTPN VIII telah lewat waktu (kadaluwarsa); kemungkinan kedua, menurut hukum acara seharusnya pihak PTPN VIII mengajukan komplain baik pidana atau perdata kepada pihak yang menjual tanah tersebut kepada pihak pesantren/HRS. Karena pihak pesantren/dengan diketahui semua aparat dari mulai kepala desa hingga gubernur membeli tanah tersebut dari pihak lain, yang mengaku dan menerangkan tanah tersebut miliknya. Pengakuan itu dibenarkan oleh pejabat-pejabat yang terkait yang mengetahui dan memproses administrasi peralihan hak atas tanah tersebut. Dari uraian di atas, maka, secara hukum, dilihat dari aspek hukum perdata dan hukum acara perdata PTPN VIII keliru dan tidak memiliki alasan hukum untuk meminta pihak HRS Mengosongkan lahan tersebut. Kecuali ada putusan pengadilan Yang berkekuatan tetap yang memutuskan bahwa kedudukan Pihak Pesantren/HRS sebagai pembeli beritikad baik dibatalkan. Dengan kata lain, Somasi tersebut prematur serta salah pihak. Dari aspek hukum pidana, pihak PTPN VIII harus menyadari bahwa posisi hukumnya saat ini adalah ada sengketa kepemilikan antara PTPN VIII dengan HRS. Sengketa itu berdiri di atas klaim Yang sah. PTPN mengaku itu tanah merupakan bagian dari HGU miliknya, dan Pihak Pesantren/HRS mengaku itu juga miliknya yang diperoleh secara sah dan halal dari pihak Yang mengaku sbg pemilik tanah tersebut. Berdasarkan ketentuan pasal 81 Kitab Undang undang Hukum Pidana, penyidik tidak dapat melakukan proses pidana dengan tuduhan menguasai hak orang lain, sebelum ada keputusan hukum yang menyatakan tanah itu milik siapa. Dan harus diingat, pihak PTPN VIII juga bisa menjadi pihak yang potensial tertuduh bila terbukti telah lalai menjalankan kewajibannya menjaga serta memelihara aset negara sehingga dikuasai pihak lain bahkan mengalihkannya kepada pihak lainnya, dalam hal ini pihak pesantren/HRS. Begitulah saya memandang kasusnya menurut hukum perdata, hukum acara perdata dan hukum pidana khususnya pasal 81 KUHP. Ini bila kita sepakat bahwa ini masalah hukum dan akan diselesaikan menurut hukum. Selain kita juga tahu siapa pihak yang mestinya dikejar oleh PTPN VIII secara hukum, ternyata bukan Pesantren/HRS. Bila bukan lewat mekanisme hukum, tentu itu jadi aneh dan luar biasa. Penulis adalah praktisi hukum.

Surat Terbuka Kepada Dewan: APBN dan SiLPA Bisa Merugikan Negara dan Melanggar Hukum

by Anthony Budiawan Jakarta FNN - Jumat (25/12). Sementara ini, Bapak dan Ibu Dewan (Perwakilan Rakyat) mungkin tidak memperhatikan lagi pengelolaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan keuangan negara secara seksama. Hal ini dapat dimaklumi. Karena Dewan sudah kehilangan hak budget atau hak anggaran sampai tahun 2022 akibat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020 (“Perppu Corona”), yang kemudian disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2020 (“UU Corona”). Berlandaskan Perppu dan UU tersebut di atas, pemerintah menetapkan APBN 2020 secara sepihak, tanpa perlu persetujuan Dewan. APBN 2020 hanya dituangkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No 54 tahun 2020 dan Perpres No 72 tahun 2020, dengan defisit anggaran mencapai Rp1.039 triliun. Dewan yang terhormat. Kami prihatin dengan cara pengelolaan APBN dan Keuangan Negara yang sangat mengkhawatirkan dan bisa membahayakan perekonomian nasional. Cara ini sudah berlangsung cukup lama, dan puncaknya tahun 2020. Pengelolaan APBN dan Keuangan Negara seperti ini bisa memicu krisis fiskal (keuangan negara), krisis ekonomi, selain juga berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alasannya sebagai berikut. Pendapatan negara per November 2020 hanya Rp1.423 triliun, turun tajam dibandingkan tahun lalu Rp1.677 triliun. Sedangkan di sisi Belanja terjadi kenaikan tajam, dari Rp2.046 triliun per November 2019 menjadi Rp2.306,7 triliun per November 2020. Hal ini membuat defisit anggaran naik tajam, dari Rp368,9 triliun per November 2019 menjadi Rp883,7 triliun per November 2020, atau sekitar 6,3 persen dari perkiraan PDB. Defisit anggaran ini menjadi rekor defisit terbesar sepanjang Indonesia berdiri. Baik dalam nilai nominal maupun persentase PDB. Dewan Yang Terhormat. Yang menjadi persoalan bukan Kenaikan defisit anggaran yang fantastis ini. yang menjadi persoalan adalah penarikan utang untuk menambal defisit anggaran tersebut yang terkesan “ugal-ugalan”. Mohon maaf untuk kata “ugal-ugalan”. Karena, seyogyanya, penarikan utang yang juga disebut Pembiayaan Anggaran, hanya sebatas untuk membiayai defisit anggaran. Tidak boleh lebih. Dan ini juga tercantum di dalam Perpres dimaksud di atas: Perencanaan Pembiayaan (Penarikan Utang) sebesar defisit anggaran. Tetapi, apa yang dilakukan pemerintah tidak seperti itu. Per November 2020, pemerintah sudah menarik utang untuk menutupi defisit anggaran sebanyak Rp1.104,8 triliun. Sehingga terjadi kelebihan Pembiayaan Anggaran, dinamakan SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran), sebesar Rp221,1 triliun. Setara 25 persen dari defisit anggaran. Besar sekali. Pengelolaan APBN dan Keuangan Negara seperti ini sangat membahayakan perekonomian nasional. Selain juga bisa melanggar UU. Oleh karena itu, mohon Dewan Yang Terhormat mengevaluasinya secara cermat dan seksama. Pertama, saldo akumulasi SiLPA (atau juga Saldo Anggaran Lebih (SAL)) per akhir tahun 2019 tercatat Rp212,7 triliun. Pertanyaannya, kenapa uang ini tidak digunakan untuk Belanja Negara dan menutupi defisit anggaran? Sebaliknya, pemerintah bahkan menambah SiLPA Rp221,1 triliun hanya dalam periode 11 bulan tahun 2020 ini. Akibatnya, saldo akumulasi SiLPA per akhir November 2020 membengkak menjadi Rp433.8 triliun. Kelebihan penarikan utang (SiLPA) ini sebenarnya tidak diperlukan, dan mubazir. Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Pasal 3 memuat: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Dewan Yang Terhormat. Praktek pengelolaan Keuangan Negara yang mengakumulasi SiLPA hingga Rp443,8 triliun jelas merupakan praktek tidak wajar, dan terbukti merugikan Keuangan Negara akibat pemerintah harus bayar bunga atas utang yang tidak diperlukan. Kalau suku bunga utang 6 persen per tahun, maka kerugian negara mencapai Rp26 triliun per tahun. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan? Dengan demikian, unsur tindak pidana korupsi seperti dimaksud Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor di atas sudah terpenuhi. Bukankah begitu? Apakah Dewan Yang Terhormat juga sependapat? Selain itu, total kelebihan penarikan utang atau SiLPA sebesar Rp433,8 triliun tersebut bukan hanya berasal dari domestik. Tapi juga dari utang luar negeri (ULN) yang membuat ULN melonjak. Dewan Yang Terhormat. Menurut Pasal 10 TAP MPR No XVI/MPR/1998, seluruh utang luar negeri harus dimasukan di dalam rencana anggaran tahunan, dan mendapat persetujuan Dewan. Apakah amanat TAP MPR ini sudah dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah dan juga Dewan? Apakah seluruh ULN sudah ada di dalam APBN atau Perpres 54 maupun Perpres 72 tersebut di atas? Dan apakah Dewan sudah menyetujuinya? Yang lebih memprihatinkan, menurut Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD, APBN harus ditetapkan dengan undang-undang, dan dibahas bersama Dewan. Dengan demikian, APBN yang ditetapkan Perpres 54 dan Perpres 72 tersebut di atas berarti melanggar UUD, dan menjadi tidak sah demi hukum? Berarti, Dewan yang menyetujui Perppu Corona (menjadi undang-undang) dan turunannya Perpres 54 dan Perpres 72 pada prinsipnya juga melanggar UUD? Seperti kita ketahui, kalau eksekutif melanggar UUD dapat diberhentikan. Bagaimana konsekuensi dan sanksi pelanggaran kalau Dewan melanggar TAP MPR dan UUD? Apakah sudah ada peraturannya? Mohon Dewan yang mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD, berkenan menjawab semua persoalan di atas. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Di Balik "Penggusuran" Ponpes Megamendung, Dirut PTPN VIII "Tersandera"?

by Mochamad Toha Bogor FNN - Jumat (25/12). Somasi yang dikirimkan oleh PTPN (PT Perkebunan Nusantara) VIII biasanya dapat teguran dari Administratur Gunung Mas PTPN VIII (setingkat bupati) tapi untuk Pondok Pesantren Markaz Syariah Megamendung ini yang turun tangan langsung Dirutnya, Mohammad Yudayat. Ini terlihat sangat politis sekali, bukan sebagai teguran yang untuk Penegakan Hukum. Perlu diketahui, tanah-tanah yang bermasalah di pajak ex perkebunan Cikopo Selatan Gunung Mas yang sekarang diklaim oleh PTPN VIII seluas sekitar 352.67 ha ini tersebar di 6 desa. 1. Dua desa yakni Desa Sukakarya dan Kopo, Kecamatan Megamendung seluas lebih kurang 94.26 ha; 2. Desa Sukagalih, Megamendung seluas lebih kurang 40.08 ha; 3. Desa Kuta, Kecamatan Megamendung seluas 65.46 ha; 4. Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung seluas 97.71 ha; 5. Desa Citeko, Kecamatan Cisarua seluas lebih kurang 55.16 ha. Jadi, total semua di 6 di desa di 2 kecamatan itu seluas 352.67 ha. Sedangkan yang menduduki lahan lahan tanah ex PTPN Cikopo Selatan sebagai berikut: 1. Yayasan Wadi Mubarok, Desa Kuta seluas lebih kurang 5 ha; 2. Yayasan Al Mugni lebih kurang 4 ha Desa Kuta; 3. Yayasan Wadi Cidokom 1 ha Desa Kopo; 4. Yayasan Kristen Romo lebih kurang 40 ha di Desa Sukaresmi; 5. Bapak Jepri lebih kurang 35 ha Desa Sukaresmi; 6. Bapak Sugito 60 ha Desa Citeko; 7. Brigjen Polisi Edwarsyah Pernong 17.800 m2 Desa Sukagalih; 8. Jenderal Polisi Firman Gani 3 ha Desa Sukakarya; 9. Jenderal Polisi Condro Kirono lebih kurang 5 ha Desa Sukakarya; 10. Kolonel Isar Sampiray MB 6.000 m2 Desa Sukagalih; 11. Masdya Pur Kusnadi 1 ha Desa Sukagalih; 12. Ibu Lili 10 ha Desa Kuta; 13. Perusahan sayuran Korea 7 ha di Desa Kuta; 14. Perusahan bunga Alessia 5 ha Desa Sukaresmi;15. Markaz Syariah lebih kurang 30 ha di Desa Kuta; 16. Bapak Rosenvile 1 ha Kambing Sukaresmi; 17. Bapak Manurung 3 ha Sukakarya; 18. Anton Anggoman 3 ha Sukakarya; 19. Ibu Ina di Desa Kuta 3 ha; 20. Villa Bambu 2 ha Desa Kuta; 21. SMK di Desa Kopi; 22. Dokter gigi 5000 m2 pasir panjang Desa Sukakarya; 23. I Komang Agus Trijaya peternakan ayam 26.000 m2 di Desa Sukagalih; 24. PT Saung Mirwan /Pak Loki 4 ha pertanian di Desa Sukagalih; 25. Ibu Ningsih 1 ha Desa Sukagalih; 26. Bapak Sanjaya 9 ha di Desa Sukagalih; 27. Bapak Heru peternakan sapi 2,6 ha Desa Sukagalih; 28. Ibu Suryani 5 ha Desa Sukagalih; 29. Ibu Wong 3 ha Desa Sukagalih; 30. Bapak Waluyo 3 ha Desa Sukagalih. Dan banyak lagi yang tidak ditulis satu per satu. Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat hanya menyoal lahan sekitar 30 ha yang dipakai Ponpes Markaz Syariah pimpinan Habib Rizieq Shihab (HRS) saja, bukan termasuk yang lainnya? Padahal, semua lahan itu kedudukannya sama dengan Ponpes Markaz Syariah. Tidak lebih tidak kurang. Yayasan Kristen Romo di Arca Domas, Desa Sukaresmi telah berdiri 10 tahun sebelum Markaz Syariah datang, tapi tidak ada teguran dan gangguan somasi dari Dirut PTPN VIII. Jika memang penegakan hukum, seharusnya semuanya diminta kembali. Tapi nyatanya, “Somasi Pertama dan Terakhir” ini hanya khusus dan bersifat politis kepada Ponpes Markaz Syariah saja. Inilah yang patut dipertanyakan kepada Dirut Yudayat. Padahal HRS itu membeli lahan tersebut dari warga Megamendung. Lahan Markaz Syariah itu dibeli dengan sah, bukan menyerobot dari orang yang masih hidup dan siap bersaksi. HRS membeli dari beberapa orang pemilik sebelumnya. Antara lain yaitu: 1. Jenderal Polisi Dadang Garnida (eks Kapolda Jawa Barat); 2. Jenderal Beni Angkatan Darat; 3. Serka Karman Suherman; 4. I Komang Agus Trijaya; 5. Herwantoni Salim (Jakarta); dan lain-lain. Kemudian, lahan tersebut ditanda-tangani Ketua RT, RW, Kepala Desa, dan disertai dengan Rekomendasi dari Camat, Bupati, dan Gubernur. Malahan waktu itu Mentri BUMN Dahlan Iskan mengarahkan untuk memohon pelepasan seluas 100 ha. Jadi sangatlah ironis, pesantren yang bernapaskan Islam didukung oleh RT sampai Menteri, hari-hari ini tiba-tiba akan “digusur” dan mau menghilangkan keberadaan Markaz Syariah. Padahal, seharusnya Markaz Syariah, yayasan anak bangsa yang akan mencerdaskan umat, seharusnya Pemerintah mendukung kegiatan pendidikan ini dan itu merupakan sebagian dari tanggung jawab Pemerintah. Markaz Syariah itu merupakan anak bangsa yang akan mencerdaskan anak negeri, semestinya Pemerintah memberikan tanah yang dimaksud, dan memberikan dana pembangunannya. Tapi ini yang tidak dilakukan. Upaya PTPN VIII ini justru kontra produktif. Pusaran Korupsi Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat mau “menggusur” Markaz Syariah? Apakah karena ada tekanan dari pihak berwenang lainnya, sehingga dia menuruti apa kemauan “pihak ketiga” tersebut? Boleh jadi, dan bukan tidak mungkin! Coba saja simak jejak digital Mohammad Yudayat! Sebelum menjabat Dirut PTPN VIII, Yudayat tercatat sebagai Direktur Keuangan PTPN III. Ia ikut dalam gelombang perombakan Direksi PTPN III. Seperti dilansir CNN Indonesia, Selasa (29/10/2019 14:34 WIB), perubahan manajemen ini tertuang dalam SK Menteri BUMN No. SK-230/MBU/10/2019, 17 Oktober 2019, tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Perusahaan; Dan, SK-231/MBU/10/2019 pada 17 Oktober 2019 tentang Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota Direksi PT Perkebunan Nusantara III. Sebelumnya, Direktur Utama PTPN III Dolly Pulungan dan Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek Kertha Laksana ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap distribusi gula. KPK menduga Dolly meminta uang 345 ribu dolar Singapura pada Senin (2/9/2019) untuk keperluan pribadi kepada PT Fajar Mulia Transindo selaku distributor yang 'dimenangkan' perseroan dalam lelang distribusi gula. Sementara itu, I Kadek Kertha Laksana telah ditahan KPK. Kadek terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan pada Selasa (3/9/2019). Berikut susunan direksi Perkebunan Nusantara III: Plt Direktur Utama: M. Abdul Ghoni; Wakil Direktur Utama: M. Abdul Ghoni; Direktur SDM & Umum: Seger Budiarjo; Direktur Keuangan: Mohammad Yudayat; Direktur Pemasaran: Dwi Sutoro; Direktur Pelaksana: Ahmad Haslan Saragih; Direktur Operasi dan Pengembangan: Mahmudi. Melansir Alinea.id yang mengutip dari Antara, Senin (17 Feb 2020 11:16 WIB), Mohammad Yudayat yang menjabat Direktur Keuangan PTPN III disebut kembali ketika ada perubahan jajaran direksi PTPN III Holding (Persero). Kali ini diberhentikan dengan hormat. Penunjukan jajaran direksi baru tersebut berdasarkan SK Nomor 48/MBU/02/2020 tentang pemberhentian, perubahan nomenklatur, dan pengangkatan jajaran direksi. Dalam SK tersebut, Mohammad Abdul Gani diangkat sebagai Direktur Utama, Denaldy Mulino Mauna sebagai Wakil Direktur Utama, Seger Budiarjo sebagai Direktur Umum. Selanjutnya, M. Iswahyudi sebagai Direktur Keuangan, dan Wing Antariksa sebagai Direktur SDM. Selain itu, Menteri BUMN Erick Thohir memberhentikan dengan hormat Mohammad Yudayat sebagai Direktur Keuangan. Sebelumya, Mohammad Abdul Ghani menjabat Plt. Dirut PTPN III Holding dan Denaldy Mulino Mauna sebagai Dirut Perum Perhutani. M. Iswahyudi sebelumnya sebagai bankir di Bank Mandiri dan Wing Antariksa pernah menjabat Direktur SDM PT ASDP (Persero). Sekretaris Perusahaan PTPN III Holding Irwan Perangin-Angin sempat mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada Mohamad Yudayat yang berkesempatan mengabdi di PTPN III Holding dan telah banyak memberi manfaat bagi perseroan. Meski sempat menjabat sebagai Direktur Keuangan PTPN III Holding, Mohammad Yudayat masih belum bisa membantu PTPN III yang terancam gagal membayar utang Rp 25,1 triliun. Dengan rincian, sebesar Rp16,1 triliun di level unsustain alias sulit dibayar perusahan. Seperti dilansir Gatra.com, Rabu (20 Nov 2019 20:10), sisanya Rp 9 triliun, di level moderat atau berpotensi gagal bayar pinjaman pokok. Sementara, per 31 Desember 2018, utang PTPN Holding kepada pihak perbankan telah mencapai Rp37,8 triliun. Hal ini terungkap dalam salinan surat PTPN III, sebagai induk PTPN, kepada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Kejaksaan Agung, pada 9 Juli 2019. Dalam surat yang ditandatangani Direktur SDM Umum Seger Budiarjo tersebut, PTPN III meminta pendapat hukum mengenai aksi korporasi yang akan dilakukan. Untuk menyelesaikan utang PTPN Holding, PTPN III berencana menjual aset BUMN (asset settllement) dengan mekanisme novasi kredit dan jual putus. Novasi kredit yang dimaksud PTPN III, yaitu mengalihkan sebagian utang PTPN dari perbankan kepada pihak lain. Sedangkan mekanisme jual putus, yaitu penjualan aset milik PTPN Holding untuk menyelesaikan kewajiban kepada pihak lain. Maklum, jika salah-salah ambil langkah, pemulihan utang dengan dua mekanisme di atas bisa diperkarakan. Maka itu, Seger Budiarjo dalam suratnya tersebut meminta penjelasan kepada Kejagung, mengenai aksi korporasi penjualan aset BUMN tadi. “Bagaimana prosedur aksi korporasi di atas sesuai ketentuan perundangan yang berlaku?” begitu tertulis di surat PTPN III ke Kejagung. Direktur Keuangan PTPN III Mohammad Yudayat optimis bahwa PTPN III Holding mampu membayar semua utang-utang korporasi. “Sejauh ini kita masih bisa serve kewajiban utang PTPN III Holding,” ujarnya kepada Gatra.com. Ia mengatakan, penjualan aset BUMN bukan satu-satunya opsi yang akan dijalankan PTPN Holding, untuk membayar utang. “Kita punya banyak opsi untuk melunasi kewajiban,” kata Mohammad Yudayat. Anggota BPK Achsanul Qosasi mengungkapkan, pihaknya telah mengaudit keuangan PTPN Holding. Hasilnya, PTPN Holding memiliki utang sebesar Rp 39 triliun per 31 Maret 2019. “Itu menjadi gabungan seluruh PTPN. Menjadi beban Holding, tidak bisa dipisah-pisahkan,” katanya kepada Gatra.com, (20/11/2019). Achsanul Qosasi mengatakan, untuk menyelesaikan kewajiban korporasi, PTPN harus segera melakukan restrukturisasi terhadap utangnya. “Agar cash flow tidak terganggu,” katanya. Mungkinkah Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat khawatir jika namanya dikaitkan dalam “pusaran korupsi” di PTPN III? Penulis wartawan senior FNN.co.id

Di Mana Hati Nurani dan Pancasilamu?

by Naniek S. Deyang Jakarta FNN - Jumat (25/12). Masih ingat tulisan saya soal aset-aset tanah yang kini dalam genggaman konglomerat dengan alasan BOT (build on transfer) setelah 20-30 tahun akan dikembalikan, tapi nyatanya juga belum ada yang mengembalikan dll, yang nyatanya terus diperpanjang. Padahal letaknya strategis seperti di segitiga emas Jakarta atau di sekitar Senayan? Lalu ada juga lahan-lahan punya PTPN, Perhutani, Yayasan TNI, Departemen,dll yang juga dipakai konglomerat dengan alasan yang sama atau alasan tukar guling. Saya mau tanya itu kawasan industri dari mulai Cikarang sampai Purwakarta yang dimiliki para konglomerat tanah siapa? Lalu perumahan Sentul itu juga tadinya punya siapa? Kemudian Patal Senayan yang sekarang jadi kawasan bisnis itu juga dulu tanah siapa? SCBD juga tanah siapa dulunya? Bagaimana dengan mudahnya mereka menguasai tanah -tanah itu dengan alasan tukar guling? Siapa yang mengaudit tanah- tanah itu dan dipastikan tukarnya dalam posisi imbang? Kalau dijual apakah duitnya benar masuk negara, BUMN atau Yayasan? Siapa penguasa tanah -tanah negara baik dalam bentuk HGU (hak guna usaha) dan HGB (hak guna bangunan), dan nyatanya kepemilikan itu terus berulang -ulang diperpanjang, hingga seperti sudah menjadi milik sang konglomerat, bahkan satu konglomerat bisa menguasai hingga 7 juta hektar? Lalu ada seorang ulama bikin Ponpes dan Masjid, dimana Ponpesnya menggratiskan siapapun yang mondok dari mulai makan sampai biaya pendidikan , dan masjidnya menjadi gudang ilmu karena di dinding masjid itu semua dipenuhi buku-buku, bukan hanya buku agama tapi buku-buku pengetahuan umum. Di pondok itu juga ada pendidikan konservasi lahan, bercocok tanah, berkebun dan beternak untuk para santrinya. Dan satu hal, di pondok itu BENDERA MERAH PUTIH berkibar sepanjang hari dan sepanjang tahun. Lalu sekarang lokasi tanah yang hanya berapa hektar untuk Ponpes dan Masjid itu akan diminta PTPN dengan alasan milik PTPN. Padahal sebelum dipakai sang Imam, tanah itu sudah 30 tahun digarap para petani dan Sang Imam tidak gratis dalam memperoleh tanah tersebut, tapi membeli dari petani penggarap lahan. Saya tidak dalam rangka membela Ponpes atau sang Imam Besar, saya hanya bertanya di mana letak keadilan itu bila konglomerat boleh menggunakan tanah negara seenaknya, bahkan gak dibalik-balikin, tapi ini ada manusia kebetulan namanya Imam Besar itu dan digunakan untuk pendidikan para santri kok sekarang diminta paksa tanahnya? Apalagi tanah itu diperoleh tidak gratis! Sekali lagi sebagai rakyat saya hanya bertanya, karena melihat yang demikian tidak adil dan manusiawi. Oh ya di pondok itu anak-anak santri nggak cuman belajar agama, tapi belajar pendidikan umum seperti Matematika, Fisika dll dan itu porsinya 60 persen. Demi Allah saya bersaksi karena saya termasuk yang berkali - kali melihat pendidikan di sana, di pondok itu tidak diajarin anak-anak menjadi teroris, tapi menjadi insan yang mencintai agama, bangsa dan negara Indonesia.😭 Guru-guru yang rumahnya jauh dibuatkan rumah-rumah sederhana di pondokan tersebut. Rumah sang Imam sendiri hanya sebuah bangunan ecek-ecek seluas 8x10 meter. Jauh dari gambaran keren apalagi mewah. Namun santri-santri yang makan gratis itu setiap hari tidak pernah hanya makan berlauk tempe, dan sayur saja, tetapi berlauk penuh gizi dan dikontrol langsung sang Imam, saat dulu beliau belum dibuat pergi ke Mekkah. Uang hasil ceramah bila dikasih pengundang semua diberikan Sang Imam untuk memenuhi gizi atau memberi makan para santrinya. Apakah manusia seperti ini memang layak terus dimusuhi ya? Penulis wartawan senior FNN.co.id

Membangun Kesadaran “Indonesian Lives Matter & ESG Investing”

by Farouk Abdullah Alwyni New York City – Jum’at (25/12). Baru-baru ini masyarakat dikejutkan oleh tewasnya 6 anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) ditangan aparat kepolisian. Pihak kepolisian tentunya mempunyai dalih tersendiri bahwa ada perlawanan dari laskar FPI yang membuat polisi perlu membela diri. Akhirnya dalam kerangka penegakan hukum, perlu membunuh laskar tersebut. Tentunya versi polisi ini dipertanyakan oleh divisi hukum FPI yang membantah keterangan polisi. FPI menyatakan bahwa mereka adalah korban penyiksaan dan pembunuhan polisi secara sewenang-wenang. Karena laskar FPI adalah relawan yang tidak bersenjata. Indonesia Police Watch (IPW) juga menganggap ada kejanggalaan dalam penembakan 4 laskar FPI (14/12). Menurut IPW Polri harus mau menyadari bahwa terjadi pelanggaran dalam kasus kematian anggota FPI. Pelanggaran tersebut, menurut IPW lagi, membuat personnel kepolisian melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Lepas dari pro-kon yang ada, faktanya jelas, ada 6 Warga Negara Indonesia (WNI) yang tewas ditangan aparat kepolisian. Bahkan dinyatakan oleh para saksi yang memandikan jenazah bahwa di badan mereka para korban, banyak bekas-bekas penyiksaan. Pembuhunan 6 warga yang dianggap bukan kriminal, bukan koruptor, dan bukan teroris oleh aparat kepolisian yang berpakaian preman (dan dikejar dengan bukan menggunakan mobil resmi kepolisian) tentunya layak untuk dikritisi lebih jauh. Permintaan untuk dibentuknya tim pencari fakta independen telah didengungkan oleh segenap komponen masyarakat, mulai dari beberapa anggota DPR dan banyak organisasi masyarakat lainnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) juga telah mulai melakukan kerjanya untuk menginvestigasi persoalan tersebut. Bahkan telah memanggil Kapolda Metro Jaya pada hari Senin, 14 Desember 2020. Kita semua mengharapkan KOMNAS HAM dapat menjalankan pekerjaannya secara professional dan penuh integritas. Karena kekerasan yang ditimbulkan dalam bentuk yang berbeda juga pernah dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan Kantor Pusat Bawaslu, dimana pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force. Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga tak berdaya saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, usai kerusuhan 22 Mei. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar sejauh mana para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal. Dalam konteks diatas, kita bisa kembali melihat ke belakang terkait yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu. Ketika warga kulit hitam yang bernama George Floyd terbunuh oleh aparat kepolisian di Minneapolis. Kematian ini sontak memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di Amerika Serikat dalam waktu yang cukup lama dengan menampilkan slogan Black Lives Matter (BLM). Gerakan BLM ini bahkan menyebar ke banyak negara-negara lainnya di Eropa, Australia, bahkan Korea Selatan dan Jepang. Gerakan ini merupakan gerakan universal kemanusiaan melawan kesewenang-kewenangan yang ditunjukkan oleh oknum kepolisian. Pada kenyataannya banyak juga akhirnya aparat kepolisian di Amerika Serikat yang menunjukkan simpati terhadap kematian George Floyd tersebut. Aparat ke[polisian ada yang ikut membungkuk sebagai satu tanda solidaritas terhadap sang korban dalam berbagai kesempatan ketika mengawal demonstrasi masa. Lebih dari itu kematian George Floyd membangun kesadaran baru di banyak negara maju, khususnya kalangan muda untuk membedakan diri mereka dengan sebagian generasi sebelumnya terkait persoalan perbudakan dan penjajahan. Banyak patung yang merupakan simbolisasi dari perbudakan, perdagangan budak, dan penjajahan yang dirusak dan paling tidak divandalisasi oleh para demonstran. Bahkan patung Columbus pun dihilangkan kepalanya karena dianggap membawa penderitaan terhadap penduduk asli (Native Americans). Dampak dari demo-demo tersebut juga disambut oleh pihak-pihak terkait baik di dunia politik dan bisnis. Pertama, tentunya polisi yang terlibat dalam tindak kekerasan kepada warga dipecat, bahkan diproses hukum. Kedua, aturan-aturan yang lebih ketat dalam hal penindakan oleh aparat kepolisian mulai diberlakukan. Hal ini untuk mengurangi kesewenang-wenangansebagian oknum kepolisian. Terakhir, dan yang paling keras adalah gerakan untuk mengurangi anggaran kepolisian. Bahkan untuk menstop anggaran kepada aparat kepolisian mulai didengungkan (defund the police). Hal ini karena mereka melihat apa gunanya aparat kepolisian jika hanya merugikan masyarakat. Kita tentu perlu belajar dari apa yang terjadi dinegara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat. Bahwa hilangnya nyawa manusia, khususnya masyarakat sipil adalah sebuah hal yang tidak main-main. Kepolisian dibentuk untuk melayani dan melindungi masyarakat. Bukan untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap warga sipil yang belum tentu bersalah. Ketika demo-demo besar terjadi di Amerika Serikat, Gubernur New York –Andrew Cuomo menyatakan bahwa “polisi harus menegakkan,bukan menyalahgunakan hukum” (Police officers must enforce –Not ABUSE- the law). Terlebih lagi jika hal-hal yang ada lebih bersifat politis. Walau bagaimanapun dalam konteks demeokrasi modern, hak politik warga perlu dijaga. Polisi harus berada dalam posisi yang netral. Tidak bisa menjadi instrument kepentingan politik tertentu di sebuah negara. Apalagi bertindak sewenang-wenang terhadap sekelompok orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam konteks demokrasi modern, pemerintah yang berkuasa tidak boleh melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan birokrasi, kepolisian, dan militer untuk kepentingan politiknya saja. Apalagi melakukan penekanan terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Instrumen-instrumen negara tersebut harus mengayomi seluruh warga negara. Terlepas dari afiliasi politik yang ada. Kita di Indonesia tentunya ingin melihat republik kita ini menjadi sebuah negara yang sejahtera dan maju. Tidak kalah dengan negara-negara yang maju sekarang ini. Untuk itu perlu dibangun kesadaran kemanusiaan yang lebih baik untuk seluruh aparat kepolisian yang ada. Kita perlu membangun kesadaran “Indonesian Lives Matter”, bahwa hidup orang Indonesia itu adalah sesuatu yang berarti. Kita harus membuang jauh-jauh sikap neo-feodal dan neo-kolonial dari bangsa dan negara ini. Sikap yang meremehkan warga-warga yang dianggap lemah. Yang seakan-akan tidak berarti. Sebab hanya karena dengan mentalitas sikap neo feodal dan neo kolonial yang seperti itu bangsa ini tidak akan pernah maju. Akan terus terbelakang dengan sifat primitif-nya. Lebih dari itu, ketika kita berusaha untuk menarik banyak investasi dari luar negeri, kita juga harus memahami kesadaran baru di dunia bisnis global. Investasi global yang lebih perduli terhadap HAM, lingkungan, dan tata kelola yang baik (Good Governance). Dewasa ini investasi yang mempunyai dampak kemasyarakatan atau bersifat berkelanjutan (impact and/or sustainable investing) produknya mempunyai peranan yang penting di pasar global . Berdasarkan laporan dari McKinsey (2019), sustainable investing di pasar global mengalami peningkatan yang luar biasa pesatnya. Sekarang sudah mencapai U$ 30 triliun dollar. Mengalami peningkatan sebanyak 10 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2004 lalu. Amerika Serikat saja, pada awal 2018, sustainable investing diperkirakan naik 26% dari total asset senilai U$ 13 triliun dollar. Dana-dana tersebut harus dikelola secara professional adalah menggunakan pendekatan sustainable, responsible, and impact investing. Pendekatan-pendekatan investasi yang seperti ini telah menjadi mainstream dalam indek-indeks saham internasional seperti Morgan Stanley Composite Index, Dow, dan Financial Times Stock Exchange (FTSE). Indek kelompok ini dikenal juga dengan pendekatan Economic, Social, and Governance (ESG) Investing. Berbagai dana-dana pensiun besar dalam skala global seperti misalnya Australian Super, Canada Pension Plan Investment Board, Stichting Pensioenfonds ABP (Belanda), Norway Government Pension Fund Global (Norwegia), Alecta (Swedia) dan masih banyak lagi juga menggunakan pendekatan ESG dalam melakukan keputusan-keputusan investasi di seluruh dunia. ESG Investing mempunyai prinsip bahwa melakukan bisnis adalah bukan hanya sekedar mencari keuntungan (not just making profit). Tetapi juga berbuat kebaikan (but also doing good). Pendekatan ini pada esensinya adalah pendekatan bisnis yang juga perduli dengan lingkungan, hak asasi manusia/harkat martabat kemanusiaan. Mempunyai standard tata kelola yang tinggi dalam artian tidak ingin membawa kemudharatan kepada masyarakat dan segenap pihak terkait. Poin penting di sini adalah perduli terhadap penegakan HAM (selain lingkungan) dewasa ini bukan hanya urusan politik. Tetapi juga mulai masuk ke urusan bisnis. Dampaknya adalah, jika kita sebagai sebuah negara tidak kunjung perduli terhadap HAM dan harkat martabat kemanusiaan, maka bangsa kita sendiri pada akhirnya akan mengalami apa yang disebut dengan “market discipline”, yakni disiplin pasar. Pada akhirnya kita pun akan dianggap sebagai negara yang tidak baik untuk melakukan bisnis. Stigma ini akan berdampak terhadap arus investasi yang masuk ke Indonesia. Jangan sampai bisnis dan investasi yang masuk ke Indonesia adalah bisnis dan investasi kotor. Yang tidak perduli terhadap harkat dan martabat bangsa ini (dan juga lingkungan). Hanya ingin memaksimalisasi keuntungan saja. Tanpa mau melihat dampak-dampak negatif yang akan dihasilkan. Pilihan ada ditangan kita semua, khususnya elite politik. Apakah kita ingin menjadi negara yang menghargai bangsanya dengan perduli terhadap nilai keadilan dan kemanusiaan? Yang justru akhirnya akan baik dalam perspektif bisnis internasional dan Insya Allah dapat berkontribusi dalam menghasilkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa? Sehingga lebih dihargai dalam percaturan internasional, atau tetap menjadi negara dunia ketiga yang terbelakang, dengan pola fikir sempit? Pola pikir yang sempit hanya akan menjadi objek kepentingan bisnis-bisnis kotor dari luar negeri semata. Kita semua tentu tidak akan menginginkan yang kedua ini. Oleh karena itu membangun kesadaran “Indonesian Lives Matter” dan pemahaman “ESG Investing” adalah sebuah hal penting bagi kita semua anak bangsa. Untuk membangun Indonesia yang lebih adil, beretika, sejahtera, dan maju. Amin,,, Penulis adalah Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED)