ALL CATEGORY

Gerakan 07 Desember/PRI, dan Kekejaman yang Ditutuptutupi

PAGI brutal itu terjadi pada Senin, 07 Desember 2020, pukul 00.30 WIB di seputar KM 50-57 jalan Tol Jakarta-Cikampek, Polisi Republik Indonesia (PRI) telah melakukan pengkhianatan terhadap anak bangsa Indonesia. Enam laskar Front Pembela Islam telah dibunuh secara keji. Pembunuhan ini diakui sendiri oleh polisi, sebagaimana disampaikan oleh Kapolda Metro, Jaya Fadil Imron, Senin siang pukul 14.00 WIB di Mapolda Metro Jaya. Konferensi pers dilakukan dengan gagah, seakan-akan polisi berhasil menumpas teroris. Padahal yang ditumpas hanyalah anak-anak muda yang sedang mengawal Habib Rizieq Shihab yang akan mengisi pengajian subuh di sebuah tempat di Karawang. PRI bisa kita disebut sebagai dalang Gerakan 08 Desember dengan korban rakyat sipil yang belum tentu punya salah. Inilah pengkhianatan yang nyata. Polisi yang slogannya pengayom masyarakat, prakteknya telah melalukan pembunuhan terhadap warganya sendiri. Dengan kejam. Perdebatan soal adanya tembak menembak atau pembunuhan satu arah, kini sedang ditelisik oleh Komnas HAM. Biarkan mereka mengusutnya, jangan ada campur tangan dari penguasa. Mudah-mudahan hasil investigasi Komnas HAM mampu menguak siapa dalang sebenarnya dari peristiwa kelam itu. Yang harus kita catat adalah PRI mengakui telah menembak 6 laskar FPI tersebut dan kelak akan menjadi bagian sejarah hitam masyarakat Indonesia. Jadi, menyoal siapa pelakunya sudah tidak perlu dibahas, karena sudah jelas ada pengakuan. Saat ini polisi bisa saja berkilah, tetapi FPI punya data akurat. Biarkan diadu siapa yang berbohong. Jangan sampai ada intervensi dari kekuatan dan kekuasaan negara sehingga akhirnya peristiwanya menjadi kabur bahkan gelap. Polisi sebagai pelindung rakyat tidak sepantasnya melakukan kebiadaban itu. Siapapun yang membaca berita dan melihat video di media massa maupun media sosial, berkesimpulan polisi terlalu arogan dan jumawa. Narasi yang dikemukakan polisi seakan memberikan kesan, lembaga ini super power yang tidak bisa disentuh. Perkataannya wajib diamini. Tak hanya itu, polisi telah menunjukkan sisi otoritarianisme dalam menghadapi masyarakat yang kritis. Sampai saat ini belum ada pejabat pemerintah maupun lembaga negara yang mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya enam laskar FPI. Tampak sekali tidak ada sedikit pun rasa penyesalan. Padahal polisi mengakuinya telah membunuh mereka. Yang terjadi justru, polisi saat ini sibuk membangun opini publik bahwa apa yang dilakukan polisi sebuah kebenaran. Di samping membangun opini, ada pula upaya upaya untuk menghentikan kasus ini agar tidak terdeteksi siapa otak intelektualnya. Penetapan Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka atas kerumunan umat adalah upaya nyata untuk menutupi kasus pembunuhan yang telah viral secara internasional itu. Apalagi dilanjutkan dengan penahanan sang imam, jelas menunjukkan ini upaya menutupi kasus yang satu dengan kasus yang lain. Polisi tidak bekerja sendirian. Para politisi propemerintah pun sibuk membangun opini yang sama. Mereka menuduh anggota dewan atau siapapun yang kritis terhadap kasus pembunuhan ini, dicap sebagai menumpang popularitas, memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Si penuduh tidak sadar bahwa ini masalah kekejaman terhadap kemanusiaan, tidak elok memelintir kasus yang telah melukai dan menyakiti hati masyarakat luas. Polisi jangan sibuk mengkounter pernyataan-pernyataan kritis masyarakat. Hadirkan saja para algojo yang telah membunuh 6 laskar FPI. Hadirkan pula mobil yang ditumpangi para laskar yang ditembak mati. Jangan diumpetin, jangan pula bikin skenario yang berubah-ubah. Membunuh orang tanpa perintah pengadilan oleh polisi adalah kejahatan negara terhadap rakyatnya. Jangan-jangan kesimpangsiuran ini sengaja dipelihara agar tetap gaduh dan absurd. Yang mereka cari sesungguhnya bukan dalang pembunuhan, melainkan mereka sedang mencari pengaruh untuk menduduki jabatan Kapolri, Kasad, Kepala BIN, dan Panglima TNI. Gerakan 08 Desember/PRI ini sungguh kejam melebihi kekejaman PKI. (Editorial)

Kok Pak Hendro Tahu Jutaan Orang Unjuk Rasa Besok?

by Asyari Usman Medan FNN - Kamis (17/12). Tidak mengherankan tetapi penuh tanda tanya. Dari mana mantan Kepala BIN Hendropriyono tahu bahwa besok, Jumat (18/12/2020), kemungkinan ribuan bahkan jutaan orang akan ikut unjuk rasa di dekat Istana? Unjuk rasa ini bertujuan menuntut pembebasan Habib Rizieq Syihab (HRS) dan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan 6 anggota FPI. Tentunya apa yang dikatakan Pak Hendro bukan tidak mungkin menjadi kenyataan. Sebab, beliau pastilah masih selalu “update” dengan berbagai informasi keintelijenan. Tak mungkinlah orang sepenting Pak Hendro tidak memiliki informasi yang akurat. Cuma, mantan pimpinan dinas rahasia itu menganjurkan agar masyarakat tidak mengikuti ajakan untuk ikut aksi. Karena, menurut Pak Hendro, aksi unjuk rasa besok itu akan dimanfaatkan oleh para politisi untuk kepentingan pribadi mereka. Tampaknya, di sini Pak Hendro keliru. Masa semua yang dilakukan oleh politisi semata untuk tujuan pribadi? Selain imbauan Pak Hendro agar masyarakat tidak ikut demo besok, ada berbagai elemen lain yang berusaha mengendorkan dukungan publik. Tak usahlah berpanjang-panjang menyebutkan siapa mereka. Jauh lebih penting adalah menganalisis pernyataan mantan bos intelijen itu. Misalnya, boleh jadi Pak Hendro sudah memperoleh info bahwa masyarakat dari seluruh pelosok Indonesia juga akan ikut datang ke Jakarta. Atau, setidaknya warga di Jawa Barat, Banten dan Jakarta Raya sendiri akan menunjukkan solidaritas mereka dalam jumlah besar. Untuk menyampaikan pesan keras dan tegas bahwa penahanan Habib dan pembunuhan 6 laskar FPI adalah tindakan sewenang-wenang. Bisa jadi juga sinyalemen Pak Hendro tentang jutaan orang akan hadir di aksi besok itu mengisyaratkan dukungan untuk HRS tidak pernah surut seperti diperkirakan banyak orang. Artinya, Hendro kelihatan menangkap pesan bahwa penahanan Habib dan pembunuhan 6 laskar FPI akan semakin memperkuat persepsi publik tentang kesewenangan para penguasa. Kekhawatiran Pak Hendro bahwa jutaan orang akan ikut berdemo besok kelihatannya cukup beralasan. Sebagai contoh, berbagai aksi protes berlangsung di seantero negeri dalam sepekan ini. Kemarin, di Medan, ratusan spanduk bela Habib dijejer sepanjang dua kilometer. Sebelum ini, berbagai markas Polres dan Polsek didtangi masyarakat. Mereka menuntu pembebasan HRS dan pengusutan secara transparan pembunuhan 6 anggota FPI. Maknanya, semangat perlawanan dari publik terhadap kezaliman para penguasa tidak pernah melemah. Sebaliknya semakin kuat. Jadi, tampaknya tidak benar prediksi bahwa masyarakat akan berdiam diri di rumah sebagaimana disarankan Pak Hendro. Dan masyarakat juga pastilah mengerti banwa mereka wajib mengikuti protokol kesehatan dengan ketat.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

IDI "Tolak" Vaksin atau IDI Tolak Sinovac?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (15/12). Flash News yang ditulis Kompas.id pada Sabtu, 12 Desember 2020, “IDI Menolak Menjadi yang Pertama Disuntik Vaksin, Beranikah Para Menteri Menggantikannya?”, ini sudah tak bisa ditemukan lagi, dan dijawab: “Kami tidak menemukan halaman yang Anda tuju”. Hanya jejak digital tanpa isi berita saja: https://www.kompas.id/baca/video/2020/12/12/idi-menolak-menjadi-yang-pertama-disuntik-vaksin-beranikah-para-menteri-menggantikannya/. Mengapa Kompas menghapus link flash news tersebut? Yang jelas, sehari setelah penayangan tulisan singkat itu, link tersebut sudah tak bisa dilihat lagi. Munculnya berita “IDI Tolak Disuntik Vaksin Covid-19 Duluan” itu praktis membuat Prof. Zubairi Djoerban memberikan klarifikasi. Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Pengurus Besar IDI (Satgas Covid-19 PB IDI) itu pun buka suara. Berita-berita penolakan vaksin dari pihak IDI itu memang dikaitkan dengan pernyataan Profesor Zubairi beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, lewat akun Twitter @ProfesorZubairi, ia mengklarifikasi semua pemberitaan terkait masalah vaksin. “Belakangan ini, ada pihak yang anggap saya atau IDI menolak vaksin,” seperti dikutip Pikiran-Rakyat.com dari cuitan @ProfesorZubairi pada Sabtu, 12 Desember 2020. “Itu anggapan yang tidak benar,” tegasnya. Menurut Profesor Zubairi, isu-isu yang tersebar di masyarakat hanyalah salah tafsir semata. “Jangan salah tafsir atas ucapan saya yang sepertinya diambil sepotong-sepotong,” ujarnya. Ia menegaskan, kalau IDI bukan tidak mendukung imunisasi menggunakan vaksin Codivd-19 Sinovac asal Tiongkok (China) tersebut. “Yang jelas, organisasi IDI mendukung vaksinasi,” kata Profesor Zubairi. “Tentu setelah izin edar darurat (EUA) BPOM keluar,” tulisnya. Klarifikasi Profesor Zubairi langsung viral dan cukup ramai direspon netizen. Kicauan itu dikomentari 34 kali, dicuit ulang 261 kali, dan disukai 1.200 pengguna Twitter per Minggu 13 Desember 2020 pukul 09.20 WIB. “Belakangan ini ada pihak yang anggap saya atau IDI menolak vaksin. Itu anggapan yang tidak benar. Jangan salah tafsir atas ucapan saya yang sepertinya diambil sepotong-sepotong. Yang jelas, organisasi IDI mendukung vaksinasi,” tulisnya. “Tentu setelah izin edar darurat (EUA) BPOM keluar,” ujar @ProfesorZubairi) (December 12, 2020). Sebagai asosiasi bagi dokter seluruh Indonesia, IDI memang menjadi sorotan utama selama pandemi Covid-19. IDI menyayangkan banyaknya tenaga medis yang menjadi korban pandemi Covid-19 ini. Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara, sebanyak 342 tenaga medis yang terdiri dari 192 dokter, 14 dokter gigi dan 136 perawat meninggal dalam tugas akibat terinfeksi Covid-19. Tenaga medis menjadi prioritas penyuntikan vaksin sebagai garda depan penanganan Covid-19, namun IDI meminta imunisasi dilakukan setelah keluar izin darurat dari BPOM. Ketua PB IDI Daeng M. Faqih menyatakan, dokter-dokter anggota organisasi kedokteran ini siap menjadi target pertama vaksinasi Covid-19, apabila Presiden Joko Widodo pun mau menjadi pionir disuntik vaksin. “Kalau Bapak Presiden menyampaikan sudah bersiap menjadi bagian yang pertama disuntik, IDI juga bersedia menjadi salah satu yang siap pertama dilakukan penyuntikan,” kata Daeng dalam keterangan pers via daring di Jakarta, Senin (14/12) seperti dikutip Antara. Ia pun menegaskan IDI mendukung program vaksinasi yang akan dilaksanakan pemerintah untuk mengendalikan penularan Covid-19. Dokter-dokter anggota IDI, lanjut Daeing, siap menjadi penerima pertama suntikan vaksin Covid-19 yang penggunaannya sudah mendapat izin dari BPOM. Daeng pun mengklarifikasi berita yang menyebutkan bahwa organisasinya menolak vaksinasi Covid-19, karena pemberitaan itu dinilainya bisa memengaruhi kepercayaan publik terhadap program vaksinasi pemerintah. “Pemberitaan seperti itu akan berdampak pada program vaksinasi, karena masyarakat percaya betul pada dokter dan IDI. Kalau IDI saja menolak, apalagi masyarakat,” kata Daeng. Selain itu, dia pun mengemukakan bahwa masyarakat tak perlu ragu menjalani vaksinasi jika vaksin Covid-19 sudah tersedia dan BPOM mengizinkan penggunaannya setelah memeriksa kemanjuran dan keamanan vaksin. IDI menyatakan, vaksinasi merupakan upaya kedua setelah penerapan protokol kesehatan untuk menekan penularan Covid-19 di Indonesia. “Program vaksinasi ini harapan besar bagi kita semua, tidak hanya untuk petugas kesehatan saja, tapi untuk seluruh rakyat. Vaksin ini alat terbesar kita untuk menurunkan serendah-rendahnya bahkan menghentikan penularan Covid-19,” kata Daeng. Menurutnya upaya intervensi untuk menekan kasus penularan Covid-19 di Indonesia dengan cara penerapan protokol kesehatan dinilai belum efektif, karena kasus konfirmasi positif harian yang terus meningkat dari hari ke hari. Pertambahan kasus positif yang terus meningkat sejak awal Maret lalu di Indonesia tak lepas dari perilaku masyarakat Indonesia belum benar-benar menerapkan prokes dengan disiplin dan ketat. Sebelumnya, Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Zubairi Djoerban menyatakan para dokter siap jadi target vaksinasi Covid-19 jika sudah terbukti aman dan efektif. “Tujuan pemerintah kan untuk melindungi dokter dan perawat yang ada di garis terdepan, yang berisiko tinggi. Tujuannya sih baik. Kami mau mendapatkan vaksin yang aman dan efektif. Kalau belum, silakan saja duluan,” kata Profesor Zubairi, Sabtu (12/12/2020). Zubairi menjelaskan vaksin yang terbukti aman adalah vaksin yang sudah melewati uji klinis fase tiga dan dibuktikan dengan publikasi media jurnal yang terakreditasi serta sudah diulas oleh pihak ketiga yang netral. Selain itu, sambung pria yang karib disapa Pro Beri, vaksin juga harus mendapatkan surat izin edar dari Badan POM setelah melalui sejumlah uji kelayakan. Surat Dokter Menaggapi video Prof. Zubairi Djoerban, dr. Taufiq Muhibbuddin Waly, Sp.PD sempat kirim surat kepada Sejawat Para Pimpinan PB IDI. Judulnya: “Cerdaskan Masyarakat Indonesia”. Dikirim dari Cirebon, Minggu, 13 Desember 2020. Petikannya: Para Sejawat Yth,Pada hari ini saya membaca dan melihat video Ketua Tim Satgas Covid-19 PB IDI, Prof. dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM dalam masalah vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Beliau menghimbau supaya bapak Presiden dan para Menterinya seyogyanya divaksinasi terlebih dahulu. Untuk menjadi contoh teladan bagi masyarakat Indonesia sehingga tidak ragu-ragu untuk di vaksinasi. Apakah ini suatu himbauan yang baik? Para Sejawat Yth,Pada hemat saya salah satu fungsi dari dokter adalah mencerdaskan masyarakat yang awam dalam masalah kesehatan, supaya dapat lebih mengerti tentang hal tersebut. Vaksin yang akan disuntikkan kepada masyarakat Indonesia saat ini adalah vaksin Sinovac. Dan, saya telah mengirimkan artikel pada sejawat semua, tentang 10 vaksin unggulan WHO yang telah masuk fase 3 (“Agama Covid-19, Vaksin Dagelan dan Vaksin Horror (Lawan Penjajahan Covid-19)”). Hasil investigasi terhadap jurnal-jurnal internasional yang saya dapatkan, telah dituliskan dalam artikel itu. Maka berdasarkan ilmu saya, 10 vaksin unggulan WHO tersebut masih di bawah standar (vaksin dagelan). Dan yang paling terlucu dari vaksin-vaksin dagelan tersebut adalah vaksin Sinovac. Apakah para sejawat setuju dengan penilaian saya itu? Di artikel tersebut saya tuliskan bahwa titer antibodi neutralizing Sinovac, bersama dengan CanSinoBio, adalah terendah dari vaksin-vaksin lainnya. Titer antibodi IgG terhadap spike protein SARS COV-2, bersama vaksin Sinopharm, adalah terendah diantara vaksin-vaksin lainnya. Limposit T sitotoksik tidak di periksa pada riset vaksin Sinovac. Percobaan vaksinasi pada orang tua (≥ 60 tahun), tidak mereka lakukan. Padahal uji coba pada orang tua mutlak harus ada pada uji klinis fase 2 riset vaksin. Dengan dasar-dasar di atas, wajar bila Sinovac, mempunyai efek samping yang setingkat dengan placebo. Atau tidak jelas, apakah Sinovac suatu vaksin atau bukan. Karena itulah saya menempatkannya sebagai vaksin terlucu dari 10 vaksin dagelan WHO. Bila sejawat setuju dengan apa yang saya tuliskan di atas, maka menyarankan supaya presiden, disuntik terlebih dahulu dengan vaksin terlucu itu (Sinovac), adalah suatu pembodohan. Seyogyanya sejawat menyarankan pada Presiden RI, supaya vaksin Sinovac itu, jangan dipakai atau dikembalikan lagi ke negara China. Sebab memvaksinasi ratusan juta rakyat Indonesia, dengan keefektifan vaksin sangat rendah, merupakan suatu sandiwara komedi yang sangat besar, dan memalukan kita semua. Memalukan kita semua, karena kitalah yang paling mengerti dalam masalah vaksin tersebut. Dan, adalah dosa yang sangat besar, bila kita tidak memberikan ilmu yang benar dalam masalah vaksin tersebut. Fase 3 dari vaksin Sinovac, yang saat ini tengah berjalan, tidaklah merubah derajat dari ke efektifan vaksin tersebut. Sebab keefektifan vaksin terutama dinilai pada fase 1-2. Sedangkan fase 3, terutama menilai safety atau efek samping dari vaksin tersebut. Tidak ada lagi pemeriksaan laboratorium untuk menilai IgG, antibodi neutralizing, limposit T sitotoksik dan sel NK pada uji klinis fase 3. Demikianlah surat saya. Semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk memperkuat pengembalian vaksin tersebut selain pada Presiden RI, surat inipun saya tembuskan pada anggota DPR RI. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Saling berlaku jujurlah dalam ilmu, dan jangan merahasiakannya . Sesungguhnya berkhianat dalam ilmu pengetahuan lebih berat hukumannya ketimbang berkhianat dalam harta” – (Abu Nu’ai). Salam sejawat. dr. Taufiq Muhibbuddin Waly, Sp.PD Tembusan: 1. Presiden RI; 2. DPR RI Jadi, paham kan mengapa IDI membuat bersuara seperti itu? Termasuk Surat Dokter Taufiq tersebut? Saling jujurlah dalam ilmu! Penulis wartawan senior FNN.co.id

Telegram dari Langit: Teguhlah dalam Kesabaran dan Siap-siagalah

by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (15/12). Perjuangan para nabi dan Rasulullah selalu bersandar pada kesabaran. Mereka, para nabi, teguh dalam kesabaran. Dengan modal kesabaran dan teguh dalam kesabaran itulah mereka memperoleh keberhasilan. Hampir semua nabi mengalami persekusi dalam menegakkan kebenaran. Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup. Inilah puncak perskusi yang Beliau alami. Namun, sebelum ‘alaihissalam dibakar oleh kaumnya sendiri, Ibrahim tidak pernah berhenti mengingatkan orangtua dan saudara sekaum tentang Tauhid. Dan tentang amal baik. Ibrahim mengutamakan kesabaran dan teguh di dalam kesabaran itu. Akhirnya, Ibrahim sukses dan api yang membakar tubuhnya berubah menjadi dingin. Begitu juga Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ditolak oleh kaumnya. Bahkan ditolak juga oleh keluarganya. Namun, Nuh tidak surut. Tak kenal lelah, Beliau diberikan waktu 950 tahun untuk mendakwahkan kebenaran. Dahsyatnya, sepanjang sembilan abad itu hanya 83 orang yang menerima dakwah ‘alaihissalam. Namun, Nuh sabar dan teguh di dalam kesabaran. Pun sama halnya dengan Nabi Luth. Dikejar-kejar oleh umatnya yang mempraktikkan gaya hidup sejenis. Laki-laki berpasangan dengan laki-laki. Luth ‘alaihissalam memperingatkan mereka tentang kemurkaan Allah. Tapi, mereka melawan. Mereka usir Nabi dan manantang agar diturunkan azab kepada mereka jika Luth memang benar. Akhirnya mereka punah dihujani bala besar. Sebelum bencana itu diturunkan, Luth berdakwah dengan sabar dan teguh di dalam kesabaran. Nabi Musa ‘alaihissalam disiapkan Allah SWT untuk menghancurkan Fir’aun yang begitu kuat dan mengaku sebagai tuhan. Musa dibesarkan Fir’aun di istananya. Dia harus bersabar dan teguh dalam kesabaran menunggu sampai usia dewasa. Ketika itulah Musa ‘alaihissalam memulai perlawanan frontal terhadap Fir’aun. Musa dikejar sampai ke pinggir Laut Merah. Nyaris saja Nabi dan pengikutnya dihabisi balatentara Fir’aun. Namun, kesabaran Musa dan keteguhannya di dalam kesabaran membuahkan pertolongan Allah. Laut terbelah. Musa dan pengikutnya bisa menyeberang selamat. Sedangkan Fir’aun dan pasukannya tenggelam. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga berdakwah penuh tantangan dan tentangan. Beliau menghadapi resistensi keras dari kaum musyrik di Mekah. Di Taif, Rasulullah dilempari sampai berdarah-darah. Nabi terpaksa pindah ke Madinah di tengah berbagai kesulitan hidup, termasuk kesulitan logistik. Tetapi, Beliau tetap sabar dan teguh di dalam kesabaran. Sabar dan teguh di dalam kesabaran sangat krusial dalam perjuangan. Allah menukilkan ini sebagai penutup surat Ali Imran, ayat 200: “Yaa ayyuhalazina amanu, ishbiru wa shabiru wa rabithu. Wattaqullaha la’allakum tuflihuun.” “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah (ishbiru); dan teguhlah dalam kesabaran (wa shabiru), serta siap-siagalah (wa rabithu). Dan, bertaqwalah kepada Allah agar kalian berjaya.” Lebih-kurang, “telegram” dari Langit ini mengarahkan agar Anda bersabar. Tapi, tak cukup hanya itu. Anda harus teguh di dalam kesabaran. Di tengah meneguhkan kesabaran yang tidak mudah dijalani itu, Anda disuruh pula bersiap-siaga. Dan masih belum cukup juga, Anda diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah al-Qawiyyun al-‘Aziz. Setelah itu, barulah dibukakan pintu kejayaan untuk Anda. Nah, bisakah kita semua senantiasa bersabar dan teguh di dalam kesabaran? Tentulah sangat berat. Orang bilang, kesabaran ada batasnya. Tapi, Allah mengisyaratkan agar kita menumpuk kesabaran itu sebanyak mungkin sampai jumlahnya ‘tidak bernomor seri lagi’. Hanya saja, sambil menumpuk kesabaran, Anda haruslah senantiasa waspada dan siap menghadapi semua kemungkinan yang bisa terjadi. Wallahu a’lam. Mohon ampun kepada Allah jika ini salah, dan mohon maaf kepada teman-teman semua bila ini tak berkenan. Tidak ada maksud untuk berceramah.[] Penulis wartawan senior FNN.co.id

Penahanan HRS Boleh Jadi Awal Seleksi Cara Langit

by Asyari Usman Medan FNN - (Selasa 14/12). HRS diperiksa polisi selama 13 jam. Setelah itu, ditahan. Tangannya digari. Dibawa dengan mobil tahanan menuju sel. Perlukah semua ini dilakukan oleh polisi? Tentu jawaban normatifnya adalah semua itu prosedur tetap (protap). Apa kira-kira maksud protap itu diberlakukan kepada Habib? Pantas diduga tujuan gari tangan, rompi orangye, mobil tahanan dan kemudian sel tahanan adalah untuk merendahkan Habib. Membuat agar beliau ‘down’. Tercapaikah tujuan itu? Kelihatannya tidak. HRS sudah siap mental. Dia tahu persis risiko perjuangan yang diusahakannya. Rata-rata orang berpandangan bahwa gari tangan, mobil tahanan dan sel penjara adalah bentuk penghinaan terhadap ulama. Dilihat sebagai tindakan yang melecehkan. Tindakan yang berlebihan yang tidak perlu. Dan sangat menyakitkan bagi umat. Pastilah menyakitkan. Jika dilihat dengan cara biasa, maka proses penahanan HRS itu menjatuhkan martabatnya. Karena itu, banyak umat yang merasa sedih. Terpukul melihat perlakuan terhadap Habib. Banyak yang menangis menyaksikan itu. Terasa kejam dan sangat kasar. Begitu penilaian banyak orang dengan cara pandang biasa. Ini bisa dimaklumi. Namun, ada cara lain melihat proses penahanan HRS yang tampak kejam itu. Peristiwa gari tangan, mobil tahanan dan sel penjara untuk HRS bukanlah penghinaan. Boleh jadi, inilah awal dari proses seleksi rancangan Langit. Yaitu, seleksi yang bertujuan untuk mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepahaman tentang perjuangan. Lebih-kurang, Allah SWT lewat penahanan HRS yang terasa menyakitkan itu sedang merekrut orang-orang yang siap maju ke depan. Siap berjuang ‘all out’ untuk menegakkan keadilan. Agar keadilan itu dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Yaitu, keadilan untuk rakyat jelata. Keadilan untuk para penguasa. Ketika rakyat bahagia, maka para penguasa pun wajar bahagia. Jika rakyat menderita, maka para penguasa harus merasakan penderitaan itu. Bila perlu, penderitaan penguasa lebih berat lagi. Ketika rakyat dizalimi oleh para penguasa, maka para penguasa harus menerima kembali kezaliman itu. Inilah konsep keadilan yang akan ditegakkan oleh para pejuang yang boleh jadi sedang diseleksi oleh Yang Maha Kuasa, hari ini. Jika rakyat diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa, maka penguasa pun harus merasakan derita yang setimpal dengan kesewenangan mereka. Jika rakyat kehilangan kuping, maka para pelaku kezaliman harus kehilangan kuping. Siapa pun pelakuknya. Jika rakyat kehilangan nyawa karena kesewenangan para penguasa, maka para penguasa pun wajib dihukum secara adil dan setimpal dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Itulah cara lain melihat proses penahanan HRS. Ada semacam pesan Langit kepada seluruh umat bahwa mereka sedang diseleksi dengan sistem yang tidak sama dengan cara pengrekrutan di Bumi. Seleksi cara Langit bisa sangat sulit dipahami. Tetapi, proses itu akan berjalan dengan sendirinya. Semua pejuang keadilan yang diperlukan Langit akan terkumpulkan secara natural. Akan berbondong-bondong umat yang mengikuti seleksi Alam itu. Ini yang mungkin tidak terkalkulasikan oleh lingkaran kezaliman. Wallahu a’lam.[] Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Tetapkan Gibran & Bobby Sebagai Tersangka

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (13/12). Penetapan tersangka kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dan lima orang lainnya adalah preseden buruk penegakan hukum negeri ini. Pada kekuasaan Jokowi inilah hukum ditegakkan suka-suka seleranya penguasa saja. Persoalan keadilan dan kezaliman, itu urusan nanti. Yang penting, tangkap saja dulu. Salah atau benar, juga itu urusan belakangan. Model kegiatan serupa yang berfokus pada adanya kerumunan oarang dalam jumlah banyak harusnya juga dapat ditetapkan sebagai tersangka. Pilkada sangat potensial untuk menetapkan banyak orang menjadi tersangka. Salah satunya adalah Pilkada Solo dimana Gibran bin Jokowi telah melakukan unjuk massa pendukung untuk berkerumun. Begitu juga yang terjadi dengan Bobby Nasution, suaminya Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Bobby juga mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Mulai dari rangkaian kegiatan pra pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU), sampaing dengan pendaftaran di KPU dan kampanye-kapmpanye pasangan Bobby di pemilihan Walikota Medan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara berkedudukan sama dalam hukum. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk kepada putera dan anak mantu Presiden Gibran dan Bobby. Asas "equality before the law" itu berlaku universal untuk semua warga negara. Karenanya tidak berbeda antara HRS dengan Gibran dan Bobby Nasution. Proses hukum juga harus diberlakukan kepada Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution dengan tuduhan sama kepada HRS. Tersangkakan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, serta orang-orang sekitarnya yang ikut menentukan terjadinya kerumunan dalam melanggar protokol kesehatan. Masyarakat berhak bertanya, mengapa urusan Pilkada dibenarkan untuk berkerumun? Apakah karena dilakukan oleh pendukung dari kalangan partai politik penguasa? Mengapa kerumunan di pasar-pasar tradisional masih dibolehkan, mengapa acara pernikahan di tempat lain, meski dengan anjuran mengikuti protokol kesehatan tetap berkerumun juga tidak ditersangkakan? Maksimum hanya ditegur. Memang persoalan HRS dilihat penguasa bukan lagi masalah hukum. Tetapi persoalan stabilitas politik . Masalah represivitas penguasa dan keangkuhan politik terasa sangat dominan. Nah kini dalam kasus proses politik, maka hal yang membahayakan kesehatan masyarakat harus diberi sanksi pula. Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, mantu Jokowi termasuk di dalamnya. Kegiatan dan proses politik yang nyata-nyata membahayakan keselamatan masyarakat. Karena itu harus ada pertanggungjawaban atas kerumunan para pendukung dalam kemenangannya. Apakah memang polisi mennganggap bahwa tidak ada pelanggaran protokol kesehatan pada kumpulan banyak orang yang dilakukan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution? Ketika ada pejabat beralasan bahwa kasus Gibran dan Bobby Nasution berada di bawah aturan UU Pilkada, sehingga jadinya berbeda dengan perlakukan kepada HRS. Jika demikian yang menjadi alasan, maka ini nyata-nyata pembodohan publik namanya. Sebab keduanya berada dalam kondisi yang sama, yaitu sedang musim pandemi Covid 19. Bahwa yang satu diatur dengan UU Pilkada, maka yang lainnya juga diatur oleh UU Perkawinan. Jika diberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai "Lex Specialis", maka keduanya sama-sama dalam mendapatkan perlakuan hukum. Kalau HRS ditersangkakan, maka layak untuk Gibran dan Bobby juga jadi tersangka. Sebagai anak Presiden tentu tidak bisa dibedakan dan diringankan hukumannya. Malah seharusnya menjadi teladan, sehingga perlu diberatkan hukumannya. Pelanggaran atas asas "equality before the law" adalah pelanggaran juga terhadap UUD 1945. Artinya Presiden telah melanggar konstitusi negara. Hanya satu pilihan opsional untuk keadaan ini, yaitu bebaskan HRS dari tuduhan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dan penghasutan berdasarkan Pasal 160 KUHP atau segera tersangkakan dan proses hukum Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, suami Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Apapun yang ditimpakan kepada HRS, berlaku pula untuk Gibran daqn Bobby. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

HRS Diborgol, Lalu?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (13/12). Dua kali panggilan penyidik Polda Metro Jaya, Habib Rizieq Shihab (HRS) berniat hadir. Namun karena alasan kesehatan, pengacara memberi pertimbangan agar HRS tidak hadir dulu dan diwakili oleh pengacaranya. Pengacara minta kepada penyidik Polda Metro Jaya agar ada penundaan atau penjadwalan ulang panggilan. Panggilan ketiga, HRS tidak hadir karena sedang mengurus enam pengawalnya yang ditembak mati dalam peristiwa Tol KM 50. Sedang dalam masa berkabung. Karena tak hadir, rencananya HRS akan dijemput paksa oleh Polda Metro Jaya. Sebelum dijemput paksa, HRS mengutus pengacaranya untuk memberi tahu kepada Polda Metro Jaya agar tidak perlu mengeluarkan biaya dan uang negara hanya untuk mengerahkan pasukan, baik Polri maupun TNI untuk menjemput dirinya. HRS rencananya akan datang sendiri ke Polda Metro Jaya pada hari sabtu, 12 Desember 2020. Sebelum datang ke Polda Metro Jaya, HRS memberi pesan kepada Umat, bahwa dirinya telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala risiko. Apapun itu, termasuk ditahan maupun dibunuh. Apapun yang akan terjadi pada dirinya, perjuangan tidak boleh berhenti, katanya. Perjuangan harus terus berlanjut dan berlanjut. HRS selama ini dikenal dengan "Tiga Tuntutan" yang telah menjadi garis perjuangannya. Pertama, tetap dan teguh pertahankan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 Tentang Larangan Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Kedua, keadilan ekonomi, khususnya untuk pribumi. Pemerintah agar tidak rajin menjual aset negara kepada asing maupun aseng. Ketiga, menjaga toleransi beragama, dengan menindak tegas para penista agama. Siapapun mereka dan agama apapun yang dihinanya. Tawaran Untuk Tidak Hadir Saat HRS datang ke Polda Metro Jaya pukul 08.45, Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menyambut dengan menyatakan bahwa "jadi, MRS itu takut ditangkap sehingga dia menyerah dan datang ke Polda Metro Jaya" (12/12). Pernyataan ini kemudian menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Pertanyaanya, apakah betul HRS itu takut ditangkap? Beredar info, bahwa sebelum datang ke Polda Metro Jaya, banyak pihak yang menawarkan HRS untuk tidak hadir. Seperti Harun Masiku (kader PDIP saat itu). HRS bisa bersembunyi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Tapi, HRS tegas menolak. "Saya akan hadapi akan haddapi semuanya. Saya tidak akan lari", begitu katanya. Nah, poin inilah membikin banyak yang demen. HRS tidak Pengecut! Sehari sebelum HRS pulang ke Indonesia, otoritas keamanan tertinggi Arab Saudi (Amir Daulah) kabarnya telah memberi tahu jika ia pulang ke Indonesia, banyak pihak yang akan ngerjain. Disarankan HRS agar tinggal dulu beberapa bulan. Tiga bulan, enam bulan atau setahun dulu di Arab Saudi dengan jaminan keamanan dan fasilitas dari pemerintah Arab Saudi. Bahkan HRS dan keluarga boleh tinggal berapapun lamanya, Arab Saudi akan memberikan jaminan keamanan dan fasilitas. Tetapi, jika HRS pulang ke Indonesia, Arab Saudi tidak punya otoritas untuk menjamin keamanan itu. Dan jika karena situasi tertentu HRS ingin balik ke Saudi, 24 jam On Call, visa bisa disiapkan untuk HRS dan keluarga balik lagi ke Arab Saudi. Dasar bukan pengecut, HRS putuskan untuk pulang kampong. "Indonesia itu negaraku. Aku akan pulang. Saat ini, Indonesia butuh orang-orang untuk memperjuangkannya. Untuk menyelamatkannya. Bersama rakyat, saya akan berjuang untuk ikut bertanggung jawab menyelamatkan Indonesia", begitu jawab HRS kepada otoritas keamanan tertinggi Arab Saudi. Jika HRS takut hadapi risiko, takut ditangkap, bahkan takut dibunuh, tentu HRS akan memilih berdiam diri di Arab Saudi sampai menunggu situasi politik nasional stabil dan kondusif. Tetapi, HRS memang lain dari yang lain. Dia punya nyali di atas umumnya orang. Soal kalkulasi dan kirka, tak ada orang tahu apa yang ada di pikiran HRS saat ini. Apa Langkah Bereikutnya? Setelah sekitar 15 jam diperiksa penyidik, HRS ditahan dengan kedua tangan diborgol. Imam besar FPI diborgol. Penggerak demo 212 itu diborgol. Tampak HRS keluar dari ruang penyidik dengan baju tahanan berwarna khas “orange”. Lalu bagaimana kelanjutan perjuangan HRS? Terus atau ikut diborgol? Melanjutkan perjuangan atau menyerah pasrah? Bagaimana pula reaksi dari para pendukung HRS? Hanya prihatin, menangis dan membuat pernyataan di medsos? Atau mereka akan ikut menyerahkan diri untuk ditahan bersama HRS? Sebagaimana berbagai pernyataan di video yang banyak beredar sejak dua hari lalu? Apakah para pendukung HRS, atas nama keadilan dan kesamaan di depan hukum, akan melaporkan kasus-kasus kerumunan yang terjadi di berbagai tempat? Termasuk melaporkan kerumunan yang melibatkan Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, putra dan menantu Jokowi yang diduga juga telah menciptakan kerumunan? Apakah para pendukung HRS bakal melaporkan Jokowi dan mendagri yang mengizinkan pilkada 2020 lalu? Pilkada yang terbukti menyebabkan 79.241 petugas KPPS reaktif Covid-19? Sebagian malah ada yang meninggal dunia. Atau para pendukung HRS akan memilih berkumpul dengan massa dalam jumlah besar dan melakukan protes ke Polda Metro Jaya? Kabarnya, anggota FPI di seluruh Indonesia ada lima juta orang. Benarkah angka itu? Kalau benar, jumlah itu belum termasuk simpatisan dan pendukung. Apakah mereka kompak, terkonsolidasi, lalu secara serempak bisa berkumpul di satu tempat dan melakukan protes? Dan siapa yang akan pegang komando dan mengkonsolidasikan massa pendukung setelah HRS diborgol? Diborgolnya HRS kali ini (13/12) akan menguji tingkat militansi para pengikut dan pendukung HRS, serta kemampuan konsolidasi para tokoh yang berada di sekitar HRS. Publik akan melihat dan mengukurnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

“Soal Kecil” Bikin Habib Rizieq Ditahan, Adilkah?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Ahad (13/12). Setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka penghasutan dan melawan petugas, Habib Rizieq Shihab (HRS) resmi ditahan di Rutan Polda Metro Jaya (PMJ). HRS digiring ke Rutan Polda Metro Jaya dengan kondisi tangan diborgol. Seperti dilansir Detikcom di Polda Metro Jaya, Minggu (13/12/2020) pukul 00.28 WIB, HRS dikawal keluar dari gedung Direktorat Reskrimum PMJ. Tangan HRS tampak terborgol. HRS mengenakan baju tahanan berwarna oranye. Seorang perempuan simpatisan HRS tampak histeris saat melihat HRS diborgol. Beberapa di antaranya meneriakkan takbir. Allahu Akbar! “Jangan diborgol habib kami,” teriak seorang perempuan sambil menangis. HRS mendatangi PMJ, Sabtu (12/12) pukul 10.24 WIB. HRS datang menggunakan mobil berwarna putih dengan pelat nomor B-1-FPI bersama rombongan, salah satunya Sekretaris Umum FPI Munarman. Saat tiba, HRS sempat mengacungkan jempol usai keluar dari mobil. HRS tiba dengan mengenakan pakaian berwarna putih. Setibanya di lokasi, ia sempat memberikan sedikit pernyataan dan kemudian masuk ke dalam gedung Ditreskrimum PMJ. Seperti diketahui, PMJ telah melakukan gelar perkara terkait kasus kerumunan acara HRS di Petamburan, Jakarta Pusat. Dalam gelar perkara itu, polisi menetapkan 6 orang tersangka, salah satunya HRS. “Dari hasil gelar perkara menyimpulkan ada enam yang ditetapkan sebagai tersangka. Yang pertama sebagai penyelenggara Saudara MRS sendiri. Disangkakan Pasal 160 dan 216 (KUHP)," ujar Kabid Humas PMJ Kombes Polisi Yusri Yunus, Kamis (10/12/2020). Padahal, sebelumnya HRS sudah membayar denda Rp 50 juta terkait pelanggaran PSBB saat menikahkan putrinya dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Petamburan pada 14 November 2020 lalu. Dalam hukum, tidak boleh seseorang itu dihukum 2 kali terhadap kejahatan yang sama! Jadi, seseorang tidak boleh dikenakan denda double atau twice for the same crime or mistake! Itu adalah aturan hukum. Dalam hukum Pidana atau Perdata, tidak boleh hukuman itu double atau 2 kali terkait kasus, kejahatan atau kesalahan yang sama. Semua kejahatan atau kesalahan Non-Criminals, rata-rata cukup membayar Denda dan tidak ada Jail Time. Kecuali orangnya menolak membayar denda atau tidak mampu membayar denda, maka uang denda bisa diganti dengan jail time. Itulah Justice And Fairness. HRS sudah membayar denda Rp 50 juta kepada Pemprov DKI Jakarta dan kasus itu seharusnya selesai. Pertanyaannya, mengapa Polda Metro Jaya masih menjadikan HRS Target Operation dan merekayasa kasus ini dengan berbagai Dirty Tricks serta mencari-cari kesalahan HRS? Padahal, di luar sana pelanggaran kerumunan banyak terjadi di mana-mana. Tapi mengapa PMJ hanya membidik HRS? That is too obvious, bahkan pengamat politik dari Australia saja juga sudah tahu, rezim sekarang lewat polisi menarget Muslim Oposisi. That is a stupid law enforcement! Itu adalah penegakan hukum yang bodoh! Tampaknya Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran begitu sangat ingin menangkap dan memenjarakan HRS, apakah perintah atasan, demi untuk kepentingan politik, demi memburu kenaikan Pangkat atau Jabatan menjadi Kapolri pengganti Jenderal Idham Azis? Pembunuhan terhadap 6 pengawaI HRS yang tidak punya kasus sebelumnya, bukan teroris dan bukan koruptor, tahu-tahu di tembak mati tanpa due process and fair trial, merupakan pelanggaran HAM Berat dan extra judicial killings yang harus diusut tuntas. Presiden Joko Widodo harus turun tangan dan segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang harus didukung Komnas HAM. Kabarnya, Komnas HAM mulai menaruh perhatian terkait kasus penembakan 6 pengawal HRS itu. “Komnas HAM masih Rapat Internal, Mas,” ujar sumber yang dekat dengan Komnas HAM. Jika Presiden Jokowi tidak segera turun tangan, bukan tidak mungkin kasus penembakan 6 pengawal dan intimidasi HRS berpotensi dibawa ke Mahkamah Internasional. Langgar HAM Menurut Abdullah Hehamahua, mantan penasehat KPK masa jabatan 2005-2013, apa yang dilakukan polisi terhadap HRS dan pengawalnya telah melanggar HAM. Pelanggaran HAM pertama yang dilakukan oleh polisi: membuntuti perjalanan HRS. “HRS itu bukan teroris, (bukan pula) pengedar narkoba, atau tersangka yang harus dibuntuti kegiatannya. Hak azasinya sebagai warganegara untuk bisa pergi ke mana saja dalam wilayah Indonesia, sudah dirampas polisi,” katanya. Pelanggaran HAM kedua, polisi telah melakukan teror psikologis ke HRS dan keluarganya. Pelanggaran ketiga, enam orang warga sipil yang tidak bersenjata, bukan teroris, pengedar narkoba atau tersangka, dibunuh tanpa suatu proses pengadilan. Pelanggaran keempat, otopsi yang dilakukan polisi terhadap keenam jenazah pengawal HRS tersebut tanpa persetujuan keluarga. Pelanggaran kelima, ada tanda-tanda penganiayaan di keenam jenazah yang setiap jenazah terdapat lebih dari satu peluru dan mengarah ke jantung. Ini merupakan pelanggaran HAM berat. Sebab, wewenang tertinggi polisi dalam menghadapi seorang penjahat adalah melumpuhkan, yakni menembak bagian kaki. Fakta ini menunjukkan bahwa polisi sudah merencanakan pembunuhan terhadap HRS dan pengawalnya. Abdullah Hehamahua mengutip peneliti KONTRAS Danu Pratama yang mengatakan, aksi kekerasan sepanjang 2019 mayoritas dilakukan aparat kepolisian. Jumlah aksi kekerasan tersebut mencapai 103 kasus. Mayoritas adalah kasus penganiayaan dan bentrokan, sebanyak 57 kasus. Peristiwa tersebut membuat 102 orang luka-luka dan dua orang meninggal. Kemudian 33 kasus penyiksaan dengan 32 orang luka dan 9 orang meninggal, 5 kasus salah tembak dengan tiga orang luka dan lima orang meninggal, serta delapan kasus intimidasi. Ada tiga Kesimpulan Abdullah Hehamahua. Pertama, aksi penembakan dan penganiayaan terhadap enam pengawal HRS adalah tindakan pelanggaran HAM berat. Kedua, Presiden harus segera mengambil tindakan tegas pada Kapolri dan Kapolda sebagaimana yang dilakukan terhadap Kapolda Jabar dan Metro Jaya dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pendukung HRS. Ketiga, Komnas HAM, bersamaan dengan hari HAM Internasional (10 Desember 2020) segera membentuk Tim Pencari Fakta Independen, baik atas instruksi presiden maupun inisiatif sendiri, sehingga kasus pembunuhan enam pengawal HRS harus diadili oleh Pengadilam HAM, bukan pengadilan biasa. Komnas HAM dan LPSK harus menjaga mereka, melindungi mereka dan menolak semua permintaan PMJ atau institusi Kepolisian lainnya hingga kasus pembunuhan 6 laskar FPI ini selesai. Semua kasus non-crimimal terhadap HRS dan anggota FPI lainnya harus dibekukan. Kalau Pemerintah dan Polri tidak mampu menegakkan Keadilan, chaos dan conflict secara vertikal dan horizontal sudah ada di depan mata. When injustice becomes law, protest becomes a duty! Ketika ketidakadilan menjadi hukum, maka unjuk rasa menjadi sebuah kewajiban (wajib dilakukan). Penembakan 6 pengawal HRS bukan tidak mungkin itu terencana dan terprogram dengan izin institusi Polri. Jadi, jangan cuci tangan dengan hanya korbankan bawahan dikirim ke Provpam, tapi seluruh pejabat Polri dari Kapolri dan Kapolda Metro Jaya sampai eksekutor lapangan harus diseret ke Pengadilan HAM. Awalnya, HRS dibidik dengan perkara pelanggaran prokes berdasarkan pasal 93 Jo 9 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Meski sudah ada pasal 216 KUHP tentang melawan petugas/pajabat, namun konteksnya tetap dalam koridor penegakan protokol pandemi. Tapi, pada saat pemanggilan HRS dan sejumlah pihak dari FPI, tiba-tiba dalam penyidikan itu muncul pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Pasal ini tidak ada dalam proses penyelidikan, dan tak ada kaitannya dengan prokes. Setelah dipanggil tidak hadir karena ada udzur, HRS dan sejumlah pihak dari FPI secara ajaib menyandang gelar Tersangka berdasarkan pasal 216 dan 160 KUHP yang pada kenyataannya telah diikuti dengan penangkapan dan penahanan. Pasal ini adalah pasal kunci, agar bisa menahan HRS. Sebab, jika penetapan Tersangka hanya berdasarkan pasal 93 Jo 9 UU No 6/2018, dan pasal 216 KUHP, polisi tak bisa menahan HRS karena ancaman pidananya di bawah 5 tahun. Pasal 216 KUHP ancaman pidananya hanya 4 bulan 2 minggu. Pasal 93 Jo 9 UU No 6/2018 ancaman pidananya hanya 1 tahun penjara. Padahal, menurut Pasal 21 ayat (4) KUHAP huruf a dikatakan bahwa penahanan hanya bisa dilakukan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Tanpa menambahkan pasal 160 KUHP, dipastikan penyidik PMJ tak dapat menahan HRS. Pasal “melawan petugas/pajabat” (216 KUHP) jelas tidak bisa diterapkan karena HRS sudah membayar denda Rp 50 juta. Begitu pula pasal “penghasutan” (160 KUHP) tidak pantas lagi disematkan “karena tidak terjadi” kerusuhan dan sejenisnya. Jika penyidik PMJ memaksakan kedua pasal tersebut, ini sama saja penyidik “memperkosa” KUHP di depan rakyat dan mata dunia. Untuk menyelamatkan nama baik institusi, penyidik harus berani menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sebagai lembaga negara yang langsung di bawah Presiden, Jokowi harus turun tangan. Jangan sampai Presiden Jokowi akhirnya terkena “noda merah” terkait ini semua! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Sangkaan Pidana HRS, Jangan Lupakan Kejahatan HAM 6 Syuhada

by Sugito Atmo Pawiro Jakarta FNN - Ahad (13/12). Ada tanda tanya besar ketika terjadi penetapan tersangka terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) pada Jumat (10/12) lalu, terkait dengan dasar ketentuan pidana yang ditetapkan kepolisian. Kebingungan ini semakin menguat setelah HRS diperiksa sebagai tersangka, Minggu (12/12 kemarin di Mapolda Metro Jaya. Sebagaimana diketahui bahwa HRS telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan sebagaimana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, dan dugaan perbuatan pidana penghasutan di muka umum sebagaimana dimaksud Pasal 160 KUHP. Kepolisian menyampaikan kepada publik, didukung dengan opini ahli hukum yang mendukung proses penyidikan oleh polisi, bahwa HRS dikenakan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum terkait dengan perbuatannya "menghasut orang-orang untuk berkumpul di kediamannya" ketika berlangsung acara pernikahan putrinya yang dirangkaikan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, bulan lalu. Meluruskan Sangkaan & Perbuatan. Untuk itu sudah sepatutnya diluruskan logika jumpalitan dalam fenomena unik terkait penegakan hukum terhadap perbuatan HRS ini, yang pokok-pokoknya sebagai berikut: Pertama, semua pihak harus menyadari bahwa satu-satunya perbuatan yang dapat dipersangkakan kepada HRS hanyalah mengumpulkan orang atau menciptkan kerumunan pada masa berlangsungnya karantina kesehatan menghadapi wabah penyakit, yaitu pandemik Covid 19 di kediamannya. Bahwa perbuatan ini dapat diancam dengan pidana bila merujuk pada Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Kedua, HRS pada mulanya hanya dimintakan keterangannya sebagai saksi menyangkut berkumpulnya orang-orang atau kerumunan di kediamannya tersebut. Namun pada 10 Desember ditetapkan sebagai tersangka untuk perbuatan pidana yang mengumpulkan orang-orang atau menciptakan kerumunan tersebut. Abila semula HRS akan diperiksa sebagai saksi dalam dugaan tindak pidana, kemudian dikembangkan menjadi tersangka tindak pidana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, ditambahkan (diakumulasikan) dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum. Ketiga, dalam pemeriksaan oleh penyidik pada 12 Desember, dinyatakan bahwa HRS ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka tidak hanya dengan Pasal 93 UU Karantina Kesehatan, juga disangkakan dengan Pasal 160 KUHP atas perbuatannya “menghasut orang-orang untuk berkumpul” atau “menciptakan kerumunan” di kediamannya sehubungan dengan acara pernikahan anaknya dan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Keempat, dengan demikian HRS diancam dengan pidana paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta untuk Pasal 93 UU Karantina Kesehatan, dan diancam dengan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun untuk sangkaan Pasal 160 KUHP junto Pasal 216 KUHP. Dikumpulkan atau diakumulasi. Mengapa akumulasi ancaman pidana ini yang diterapkan penyidik? Sebab mungkin hanya dengan alasan akumulasi inilah HRS bisa dipaksakan untuk ditahan. Dari sinilah benar jika ada yang menganggap bahwa penggunaan pasal-pasal pidana kepada HRS adalah dipaksakan alias ‘maksain banget’. Memaksakan Kehendak Mencermati pasal-pasal pidana yang diterapkan kepada HRS, maka kita sudah bisa memastikan bahwa ada usaha dari penyidik untuk memaksakan kehendak agar HRS dapat ditangkap dan ditahan. Kebetulan Pasal 93 UU Karantina yang sejak lama disadari memiliki kelemahan, karena cenderung tidak memiliki kepastian hukum, bersifat pasal karet, dan tidak selaras dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana itu, bisa ditarik kesana-kemari. Dan tampaknya terbukti menimpa HRS. Adanya sanksi pidana penjara yang dapat juga diakumulasi dengan sanksi denda menjadikan norma hukum ini tidak sesuai dengan asas kepastian atau (lex certa). Juga kurang tegas dalam mengatur (lex stricta). Bahayanya, pelakunya bisa saja cuma didenda secara administrative atau dipenjarakan, atau bisa juga kedua-duanya. Semua tergantung pada aparat penegak hukum. Selain itu, dalam pemidanaan semestinya berlaku prinsip "ultimum remedium". Dimana sanksi pidana penjara adalah pilihan terakhir, apabila sanksi administrative masih bisa diberikan. Lebih celaka lagi, jika digandengkan secara akumulatif dengan Pasal 160 KUHP (penghasutan di muka umum) dan 216 KUHP (melawan perintah pejabat yang menjalankan undang-undang). Bukankah jika sudah ada aturan pidana khusus, maka aturan pidana umum dapat dikesampingkan (lex specialis drogat legi generali). Pasal 93 UU Karantina Kesehatan sudah menentukan “setiap orang yang tidak mematuhi karantina kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan Kesehatan” diancam dengan pidana sebagaimana dalam norma pasal ini. Dengan demikian ketentuan pidana tentang penghasutan dimuka umum dengan mengumpulkan orang yang dikaitkan dengan Pasal 160 KUHP, serta melawan perintah undang-undang sebagaimana Pasal 216 KUHP sudah tidak dapat dipergunakan karena sudah termaktub dalam frase “menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantina kesehatan” (Pasal 93 UU Karantina Kesehatan). Faktanya pada hari ini, untuk kasus HRS, kita tidak hanya disuguhi dengan praktek ketidakadilan hukum yang telanjang. Tetapi juga praktek ketidakpastian (uncertainty) dalam penegakan hukum. HRS begitu patuh memenuhi seluruh perlakuan penegak hukum terhadap dirinya. Semua itu dimaksudkan untuk menciptakan ketenangan, agar pengusutan dan pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat atas penembakan oleh polisi terhadap enam syuhada, 7 Desember lalu tidak tertutup oleh isu ini. Mudah-mudahan publik menyadari kejanggalan dalam penegakan hukum terhadap HRS hari-hari ini. Jangan sampai melengahkan kontrol publik terhadap upaya menuntut keadilan atas kematian enam orang syuhada laskar FPI tersebut. Na'udzubillah min dzalik. Penulis adalah Ketua Bantuan Hukum FPI.

Ironi Industri Nikel Nasional (Bagian-1)

Menggugat eksploitasi cadangan nikel yang hanya pro kepada para konglomerat dan asing. Kerugian negara mencapai rartusan trilun rupiah. by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Sabtu (12/12). Sesuai Pasal 170 UU Minerba No. 4/2009, larangan ekspor bijih mineral mestinya sudah berlaku sejak Januari 2014. Ketika saatnya tiba, muncul relaksasi melalui PP No. 1/2014 dan larangan ekspor mundur ke 2017. Pada 2017, kembali terjadi relaksasi melalui PP No.1 /2017, sehingga larangan baru akan efektif 2022. Maka, program hilirisasi minerba pun gagal. Ternyata, sesuai Permen ESDM No. 11/2019, larangan ekspor dipercepat khusus bijih nikel menjadi Januari 2020. Maka muncul apresiasi, karena akan diperoleh berbagai nilai tambah. Indonesia akan untung, penerimaan negara akan meningkat. Benarkah demikian? Merujuk data Ditjen Minerba (Juni 2020) cadangan bijih nikel nasional (status terbukti dan terkira) sekitar 4,59 miliar ton. Terdiri dari bijih kadar Ni>1,7% sekitat 930,10 juta ton dan bijih kadar Ni1,8%. Disebut saprolite yang harga FOB international November 2020 sekitar U$ 81/WMT. Sedang input untuk smelter HPAL dan MHP adalah bijih dengan kadar logam Ni1,7%), sementara smelter kadar rendah belum tersedia dan ekspor nikel kadar rendah dilarang, maka nikel kadar rendah sebagai “bijih ikutan” kegiatan eksploitasi, akan menjadi “waste” terbuang sia-sia. Hal ini tentu sangat merugikan dari sisi ketahanan mineral, penerimaan negara dan nilai tambah. Hingga 2026, berdasarkan data Kementerian ESDM akan beroperasi 29 smelter dan dimungkinkan akan beroperasi lebih dari 40 smelter berinput bijih kadar Ni>1,7% membutuhkan bijih yang terus meningkat. Cadangan bijih yang dimiliki Indonesia sekitar 930,10 juta ton. Kebutuhan bijih seluruh smelter pada 2020, 2021, 2022, 2023, 2024, 2025 dan 2026 masing-masing adalah 46,71 juta ton, 72,98 juta ton, 143,01 juta ton, 153,56 juta ton, 213,57 juta ton, 213,57 juta ton dan 213,57 juta ton. Maka pada 2026 smelter akan kekurangan pasokan bijih kadar Ni>1,7% sekitar 126,75 juta ton. Praktis cadangan bijih kadar Ni>1,7% hanya bertahan sekitar 6 tahun. Dimungkinkan kekurangan pasokan bijih nikel ini akan lebih cepat dari perkiraan apabila jumlah smelter melebihi dari yang diperkirakan. Jika cadangan bijih nikel berkadar rendah Ni