ALL CATEGORY
Menag Yaqut Bikin Blunder, Perlu Dikoreksi
by Ubedillah Badrun Jakarta FNN – Jum’at (25/12). Secara sosiologis politik, pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas saya kira perlu dikoreksi. Bila tidak, bisa menimbulkan kekeliruan tafsir, bahkan salah paham di masyarakat. Ada dua narasi pernyataan Menag Yaqut yang perlu dikoreksi. Pertama, pernyataan Menag Yaqut bahwa agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Bahwa agama sebagai inspirasi, itu benar. Sebab agama telah memberi inspirasi kepada banyak umat manusia di muka bumi ini untuk berubah dalam membangun peradabanya. Peradaban yang semula jahiliyah (tidak beragama) berubah kepada peradaban Ilyahiyah (bersumber dari wahyu). Namun ketika Menag Yaqut mengatakan bahwa agama jangan dijadikan sebagai aspirasi, maka itu muncul masalah baru. Sebab Menag Yaqut telah mengabaikan fakta sosiologis politik bahwa Indonesia pada titik tertentu, demi kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia, baik kini maupun di masa depan, agama perlu menjadi sandaran penting bagi pengusaha untuk membuat keputusan. Nilai-nilai agama justru penting disampaikan sebagai aspirasi untuk para penguasa dalam mengambil keputusan terbaik demi kemajuan masyarakat. Itulah sebabnya bermunculan partai-partai politik nasional yang berbasis pada masyarakat Islam seperti Pertai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan basis Nahadatul Ulama dan Partai Amanat Nasional (PAN), dengan basis Muhammadiyah. Tidak cukup sampai di situ saja. Ada juga partai-partai politik yang berbasis pada masa, dan sekaligus pemikiran pemikiran-pemikiran substantif Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Kedua aliran pertai politik yang berbasis pada masa Islam ini, sama-sama dalam bingkai ke-Indonesiaan. Keputusan Presiden Jokowi untuk memilih dan mengangkat Gus Yaqut Cholil Qoumas menjadi Menteri Agama, itu menjadi bukti bahwa agama sebagai aspirasi. Mengapa bukan pendeta Jacob Nahuway atau Romo Magnis Susena yang dipercaya menjadi Menteri Agama? Atau mengapa Menteri Agama bukan dari Muhammadiyah, tetapi dari Nahdatul Ulama? Karena ini soal representasi agama. Dengan demikian, itu juga soal agama sebagai aspirasi. Kedua, pernyataan bahwa Menag Yaqut akan melindungi minoritas Syiah dan Ahmadiyah. Jika maksud untuk melindungi itu dimaknai sebagai perlindungan atas hak-hak asasi sebagai warga negara, maka itu sudah menjadi kewajiban negara. Kontitusi UUD 1945 mewajibkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian, negara wajib untuk melindungi siapapun warga negara Indonesia. Tanpa ada pengcualian. Tetapi jika yang dimaksud Menag Yaqut adalah membatalkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang aliran sesat yang dianut oleh Syiah dan Ahmadiyah, maka pernyataan Menag Yaqut adalah keliru. Bahkan bisa dibilang sangat keliru. Sebab itu berarti Menaq Yaqut sepertinya mulai menabuh genderang perang dengan Majelis Ulama Indonesia. Menag Yaqut nampak sepertinya tidak bisa membedakan, bahkan tidak dapat melihat posisi individu sebagai warga negara dengan segala hak-hak politiknya yang harus dilindungi di satu sisi, dan posisi otoritas ulama dalam memutuskan perkara Islam dan aliran yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pokok dalam Islam di sisi lain. Menag Yaqut tampak kabur dan buram membedakan dua masalah ini, yaitu hak warga negara dan posisi MUI sebagai lembaga resmi negara yang menafsir aliran sesat dalam Islam. Pernyataan Menag Yaqut ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru. Nampak terlalu cepat Menag Yakut membuat konfrontasi. Ini akan menimbulkan persoalan baru dalam hubungan umat Islam dengan pemerintah. Semestinya hari-hari awal awal bertugas sebagai Menag ini, Gus Yaqut menampilkan keteduhan dan kesejukan dalam kepemimpinan dulu. Misalnya, merangkul semua golongan dalam masyarakat. Baik itu yang mayoritas, maupun yang minoritas. Bukan malah menabuh genderang konfrontasi. Ada baiknya Gus Yakut erlu belajar banyak dari kegagalan Menag sebelumnya Fakhrul Rozi. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.
Menag Yaqut Qoumas Buat Susah Orang Syiah dan Ahmadiyah
by Asyari Usman Medan FNN - Jumat (25/12). Bisa dipahami tujuan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ketika dia mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah akan melakukan afirmasi (pembelaan) untuk orang Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia. Tujuannya ialah untuk menyenangkan mereka. Agar mereka bisa leluasa mendakwahkan ajaran sesat, dan agar mereka terlindungi dalam memperkuat kegiatan untuk mencelakan umat. Itu tujuan Yaqut. Mungkin tujuan ini dianggap “mulia” oleh Pak Menteri. Tetapi, Pak Yaqut lupa bahwa pernyataan terbuka seperti itu malah akan membuat orang Syiah dan Ahmadiyah menjadi susah. Mengapa menyusahkan? Karena dengan pernyataan tentang afirmasi itu, Pak Yaqut membangunkan umat Islam. Umat tersentak melihat bahaya penyesatan aqidah yang bakal dilakukan orang Syiah dan Ahmadiyah. Umat Islam akan teringat lagi dengan ancaman kesesatan Syiah dan Ahmadiyah. Pastilah umat yang sudah sarat dengan berbagai tekanan dan ancaman itu akan melakukan upaya untuk menghadapi keleluasaan baru yang diberikan oleh Pak Menteri kepada Syiah dan Ahmadiyah. Untuk itu, kaum muslimin malah akan berterima kasih kepada Pak Yaqut. Karena beliau telah mengingatkan kembali umat mengenai kegiatan ajaran sesat yang akan semakin leluasa. Lantas, apakah Pak Yaqut tidak tahu bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) plus NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya sudah menegaskan bahwa kedua sekte itu sesat? Rasanya tidak mungkin. Beliau harusnya tahu. Kalau tidak tahu, tak mungkin soal Syiah dan Ahmadiyah menjadi prioritas kerjanya. Nah, bagaimana kira-kira reaksi kaum muslimin yang bakal “dipaksa” memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk mendakwahkan ajaran sesat kedua sekte itu? Tampaknya, di tengah situasi yang “pressurizing” (menekan) hari-hari ini, umat akan mencerna dulu tindakan afirmasi versi Yaqut itu. Bisa dibayangkan bahwa umat merasa Pak Yaqut melakukan ‘fait accompli’ agar kaum muslimin menerima ajaran sesat. Pak Menteri tentu ingin menunjukkan kepada boss beliau bahwa sekte Syiah dan Ahmadiyah bisa “diterima” kaum muslimin. Yaqut berjanji akan memfasilitasi dialog intensif agar kedua sekte itu “dipahami” umat. Tetapi, Pak Menag mestinya ingat bahwa kesesatan Syiah dan Ahmadiyah bukan isu perbedaan (khilafiyah) di internal ahlussunah wal jamaah. Perbedaan itu sangat fundamental. Yaitu soal rukun iman. Yang tidak akan pernah bisa diharmonisasikan di satu ruangan. Tidak mungkin bisa paralel karena persoalannya senantiasa frontal. Tetapi, kalau sekadar mempertemukan kedua pihak dalam bingkai kemanusiaan, masih mungkin dilakukan. Pak Menag bisa memprakarsai dialog yang bersisi kemanusiaan. Sebagaimana dialog umat Islam dengan umat-umat agama lainnya. Tidak ada masalah. Namun, untuk mendapatkan pengakuan dari umat bahwa Syiah dan Ahmadiyah adalah bagian dari Islam yang berpedoman pada al-Quran dan Hadith, boleh dikatakan mustahil. Sebab, kedua pihak sebenarnya sudah paham tentang perbedaan yang mendasar itu. Sudah berlangsung ratusan tahun. Jadi, lebih baik Pak Menteri tidak usah mengutak-atik isu ini agar kaum muslimin menerima kesesatan kedua ajaran tsb. Upaya beliau malah akan merepotkan semua pihak. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Ponpes Megamendung Mau “Digusur”, Ada Bau Politis di Belakangnya?
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Kamis (24/12). Masih belum puas juga atas upaya kriminalisasi pada Habib Rizieq Shihab dan pembunuhan terhadap 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal HRS dalam peristiwa Rest Area KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek, kini muncul “somasi” PTPN 8. Somasi “Pertama dan Terakhir” dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 8 ditujukan kepada Pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultur Markaz Syariah Megamendung Bogor yang dipimpin HRS. Diminta dikosongkan dalam waktu seminggu! 18 Desember 2020 Somasi Pertama dan Terakhir Kepada Yth Pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah Megamendung Bogor Dengan hormat, Sehubungan dengan adanya permasalahan penguasaan fisik tanah HGU PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Gunung Mas seluas +/- 30,91 Ha yang terletak di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah sejak tahun 2013 tanpa ijin dan persetujuan dari PTPN VIII kami tegaskan bahwa lahan yang Saudara kuasai tersebut merupakan aset PTPN VIII berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008. Tindakan Saudara tersebut merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan atau pemindahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu No 51 Tahun 1960 dan pasal 480 KUHP. Berdasarkan hal tersebut, dengan ini kami memberikan kesempatan terakhir serta memperingatkan Saudara untuk segera menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN VIII selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini Saudara tidak menindaklanjuti maka kami akan melaporkan ke Kepolisian cq. Polda Jawa Barat. PTPN VIII Surat PTPN pic.twitter.com/jkoB351RmI — Fahmi Alkatiri (@FKadrun) December 22, 2020 Surat Somasi “Pertama dan Terakhir” itu ditandatangani Dirut PTPN 8 Mohammad Yudayat, 18 Desember 2020. Selama ini Yudayat dikenal sebagai orang dekat Rini Suwandi, mantan Menteri BUMN, dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Yang perlu dicatat, hampir seluruh wilayah Puncak, Gunung Geulis, hingga Sentul awalnya merupakan Tanah Garapan. Pemilik rumah di kawasan itu baru sekitar 5% yang pegang sertifikat. Sisanya di mana? Masih proses pembuatan sertifikat oleh developer. Cek sekarang, ada kawasan perumahan mewah di sana yang sedang berproses, pegang surat apa developernya? Kabarnya, sebelum PTPN 8 meminta HRS meninggalkan lahan itu, ada warga yang diminta Bareskrim Polri untuk menyoal pondok HRS. Tapi tidak mau. Pada 2017, lahan Megamendung itu sudah pernah dilaporkan ke Polda Jabar. HRS dituduh telah merampas lahan tersebut dari warga sekitar. Namun, setelah ditelusuri, ternyata tidak ada satu pun warga yang pernah melaporkan hal tersebut. Laporan itu ternyata fiktif hasil rekayasa kasus. HRS secara sah mengambil alih dari warga (ganti rugi kepada warga) dengan uang disaksikan kades setempat. Sehingga upaya untuk mempermasalahkan lahan tersebut pada 2017 gagal total. Apakah surat somasi kali ini benar-benar dari PTPN 8 atau aspal (asli tapi palsu), seperti saat HRS dilaporkan “warga” ke Polda Jabar pada 2017? Di sinilah perlunya dicek kebenarannya. Memalsu surat semacam “Somasi Pertama dan Terakhir” itu sangatlah mudah. Jika benar itu adalah surat dari PTPN 8 yang ditanda tangani oleh Dirutnya, pasti mengerti bagaimana prosedur hukum untuk menarik kembali lahan milik negara tersebut. Somasi itu setidaknya dikirim sebanyak 3 kali, bukan “Somasi Pertama dan Terakhir”. Lahan yang digunakan oleh HRS di Megamendung itu memang milik negara (PTPN) yang sudah tidak produktif atau karena terlalu dekat dengan pemukiman warga, sehingga HGU-nya diubah menjadi CSR bagi yang mau mengelolanya. Dan, biasanya dikelola oleh yayasan, ponpes juga bisa (ada banyak ponpes lahannya milik negara/PTPN yang sudah tidak produktif lagi). Jika benar lahan itu memang mau ditarik kembali oleh PTPN, tidak semudah itu main ultimatum mengosongkan. Lahan Markaz Syariah Group (Habib Rizieq Shihab) seluas sekitar 30,91 ha ini dibeli HRS dari warga sekitar yang menggarap lahan milik PTPN 8 itu pada 2013 di depan Kepala Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Sekarang tinggal cek ulang saja ke Kades Kuta yang saat itu menjabat. Dari penelusuran, nama Kades Kuta yang menjabat saat itu adalah Kusnadi (2008-2014), dan kini untuk periode kedua juga dijabat Kusnadi (2020-2026). Semoga saja berita acara “peralihan” hak garap atas lahan tersebut masih tercatat dan aman di Desa Kuta, dan tidak “dihilangkan” karena tekanan dari pihak ketiga. Mengapa lahan tersebut yang “dikejar” oleh PTPN 8, tidak dengan lahan yang lain? Ke mana saja dulu, padahal sudah puluhan tahun lahan itu digarap warga. HRS juga membelinya dari warga, bukan menyerobotnya. Memang, kalau menurut hukum lahan HGU ya tetap HGU. Artinya, kalaupun ada CSR status tanah tetap HGU. Kecuali, kalau sudah ada redistribusi/hibah lahan yang mengubah status tanah ponpes menjadi HGB. Sebab, status yayasan setahu saya sudah tidak boleh lagi mengajukan SHM. Jika pun boleh, luasannya sekitar 2-5 ha saja. Kalaupun bisa dipermasalahkan ya somasinya. Karena, somasi itu harus dilakukan sebanyak 3 kali sebelum dilakukan eksekusi. Jadi, tidak ada yang namanya “somasi pertama dan terakhir”. Itu pun kalau sudah dilakukan jatuhnya hanya penundaan waktu untuk boyongan. Jadi, secara hukum PTPN 8 itu sudah benar. Kecuali, kalau pihak ponpes bisa menunjukkan adanya surat hibah/wakaf dari Direktur PTPN 8 sebelumnya. Surat-surat ini perlu dihadirkan sebagai “saksi” yuridis. Termasuk jika HRS sudah membeli dari warga. Sudah kesekian kalinya lahan Megamendung yang dikuasai HRS ini ada yang mencoba ambil paksa dengan berbagai dalih. Tapi, upaya itu selalu gagal. Dan, HRS sendiri sudah merasakan kalau lahan tersebut juga akan tetap dipersoalkan. Dalam video yang direkam November 2020 lalu, HRS sempat menyinggung masalah status tanahnya itu. Melihat isi ceramahnya, jelas HRSsudah tahu bahwa dalam waktu dekat status tanah yang sudah dibeli hak garapnya tersebut akan dipersoalkan. Para pemilik tanah di sekitar Markaz Megamendung itu pun sudah diintimidasi dan dihasut untuk mempersoalkan status tanah dan memfitnah HRS. Pihak PTPN 8 juga telah didatangi polisi agar segera mengambil alih tanah di Megamendung ini. Maka HRS sudah membuat pesan kepada para santrinya agar melawan jika terjadi pengusiran tanpa ada ganti rugi. Lahan Taipan? Jika menyimak Publikasi Perkumpulan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia pada 2015, lahan HGU Megamendung yang dikuasai HRS itu tak seberapa luas jika dibandungkan dengan Daftar Penggarap Hak Guna Usaha (HGU) terbesar di Indonesia. Dalam Breaking News, Rabu (23/12/2020) TUK Indonesia menyebutkan 25 grup usaha besar yang didominasi keturunan China telah menguasai 51% atau 5,1 juta ha lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas tersebut hampir setara dengan luas setengah Pulau Jawa. Dari luasan tersebut baru 3,1 juta hektar yang sudah ditanami, sisanya belum digarap. Dari ke-25 grup bisnis itu, 21 perusahaan telah terdaftar di bursa efek. Ada sebelas perusahaan yang terdaftar di bursa efek di Jakarta, enam di bursa efek Singapura, tiga di Kuala Lumpur dan satu perusahaan di bursa efek London. Lima perusahaan diantranya, bahkan memiliki penguasaan lahan melebihi 300 ribu ha. Ke-5 grup usaha itu adalah Sinar Mas, Salim Group, Jardine Matheson, Wilmar Group serta Surya Dumai Group. Berikut daftar 10 besar taipan sawit berdasarkan data TuK, beserta luas landbank dan nilai kekayaan bersih taipan pada 2018: 1. Sinar Mas Group (Eka Tjipta Wijaya) menguasai 788 ribu ha senilai Rp 120,4 triliun; 2. Salim Group (Anthoni Salim) 413 ribu ha Rp 74,2 triliun; 3. Jardine Matheson Group (Henry Keswick) 363 ribu ha Rp. 84,6 triliun; 4. Wilmar Group (Robert Kuok, Khoo Hok Kuok, dan Martua Sitorus) 342 ribu ha Rp 240,8 triliun; 5. Surya Dumai Group (Martias & Cilandra Fangiono) 304 ribu ha Rp 16,1 triliun; 6. Darmex Agro Group (Surya Darmadi) 257 ribu ha Rp 18,2 triliun; 7. Royal Golden Eagle Group (Sukanto Tanoto) 225 ribu ha Rp 37,8 triliun; 8. Harita Group (Lim Haryanto Wijaya Sarwono) 206 ribu ha Rp 21 triliun; 9. Triputra Group (Benny Subianto) 200 ribu ha Rp 9 triliun; 10. Sampoerna Agro Group (Putra Sampoerna) seluas 192 ribu ha senilai Rp 60,2 triliun. Jika diurutkan, entah ada di urutan ke berapa lahan Markaz Syariah Group (HRS) seluas 30,91 ha tersebut. Tapi, mengapa yang dikejar cuma lahan Megamendung, bukan yang dikuasai 10 taipain di atas? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Tolak Wamen Pendidikan, Top Markotop Mas Mu'thi
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (24/12). Pengumuman enam menteri baru usai. Meski ada sedikit keraguan soal Menteri Agama keliru atau tidak, Yaqut atau Staquf, karena keduanya sama-sama Khalil. Soalnya awal yang ramai adalah nama Yahya Khalil Staquf, tetapi kemudian yang diumumkan dan dilantik keesokan harinya justru Yaqut Khalil Qoumas, sang adik. Di tengah komentar dan kritik keras terhadap kepatutan Yaqut untuk menjadi Menteri Agama, juga Sandiaga Uno "paket pilpres" Prabowo yang dinilai "ambruk dua-duanya", serta Budi Gunadi Sadikin alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), yang bukan dokter, namun memimpin Kementrian Kesehatan, maka satu figur yang dicanangkan menjadi Wakil Menteri Pendidikan ternyata menolak untuk diangkat. Dialah Prof. Abdul Mu'thi. Mantap dan hebat patut diberikan kepada Mas Mu’thi. Bagaimana tidak, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu beralasan tentang ketidakmampuan dia untuk mengemban amanah sebagai Wamen. Wah, wah dan wah. Berdasarkan pertimbangan yang matang” ujarnya. Akhirnya Mas Mu’thi menjadin satu-satunya kandidat yang tidak bersedia dilantik. Sikap Mas Mu’thi ini aneh tapi nyata. Sebab pada eranya orang yang lagi gila kehotmatan dan jabatan ini, masih ada yang menolak jabatan sekelas Wamen. Berbeda dengan Sandiaga Uno, yang sejak awal-awal terdengar tak bersedia. Namun akhirnya bersedia juga. Pilihan Mas Mu'thi tentu disikapi beragam. Namun bagfi warga Persyarikatan Muhammadiyah, dapat menilai bahwa sikap ketidaksediaan untuk menjadi Wakil Menteri itu sangat difahami dan patut diapresiasi. Dua hal penting yang mendasarinya. Pertama, sebagai Wamen ruang gerak untuk mengambil kebijakan sangat terbatas. Bukankah Presiden pernah menyatakan bahwa “tidak ada visi menteri ,yang ada adalah visi Presiden”. Nah visi Menteri saja tak ada, apalagi visi Wakil Menteri. Menteri dan Wakil Menteri yang bekerja tanpa visi adalah mesin, boneka, atau robot. Kedua, dalam budaya kepemimpinan di Muhammadiyah yang "kolektif kolegial". Artinya kerja bersama yang diutamakan. Semua elemen harus saling mendukung dengan tingkat keterbukaan dan kejujuran yang tinggi. Anggota kabinet Jokowi kini sudah terbaca oleh publik suka berjalan sendiri-sendiri. Bahkan tanpa visi yang jelas. Presiden tak memiliki kemampuan sebagai dirijen yang mumpuni. Mas Mu'thi yang masuk di pertengahan jalan. Akan berat untuk dapat berselancar mengarungi dua kondisi atau kultur di atas. Karenanya dengan bahasa halus ia menyatakan "tidak memiliki kemampuan untuk mengemban amanah sebagai Wamen". Meskipun sebenarnya semua orang tahu bahwa "pendidikan" adalah bidang yang sangat dikuasai dan menjadi keahlian Mas Mu’thi. Pemerintahan Jokowi kini sedang rapuh karena menghadapi banyak masalah yang tidak pernah tuntas. Korupsi di lingkaran istana pelan-pelan terus terkuak. Sementara penanganan pandemi Covid 19 tidak konsisten. Pembuatan aturan hukum dipaksa-paksakan. Kepentingan asing yang diutamakan. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dilakukan dengan kasat mata. Hutang luar negeri terus digali. Sekarang mencapai U$ 402,08 miliar dollar (Kompas.com edisi 14 Oktober 2020). Nah, silahkan kalikan sendiri dengan kurs tengah yang berlaku sekarang. Kurva pengelolaan negara tidak sedang menaik. Justru malah menurun, dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat rendah. Mengatasi aspirasi yang berbeda, kurang akomodatif dan dialogis. Malah semakin respresivitas dan eksploitative tinggi. Terkesan kehilangan rasa malu. Mas Mu'thi sudah tepat bersikap. Menolak jabatan adalah "counter culture" yang konstruktif untuk pembangunan karakter bangsa ke depan. Padanannya adalah budaya siap mundur jika gagal. Hal demikian merupakan barang langka di era kehidupan sosial politik yang hedonis dan pragmatis. Selamat dan mantap Mas Mu'thi. Matahari memiliki cahaya sendiri. Jabatan Wakil Menteri atau Menteri sekalipun harus didasarkan pada keyakinan. Perwujudan dari iman dan amal shaleh. Menjadi agenda untuk mengajak kebenaran dan mencegah kemungkaran. Penolakan jabatan adalah bagian dari mencegah kemungkaran itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Hukum dan Senjata, Dua Alat Utama Rezim Otoriter
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Kamis (24/12). Sejarah kekuasaan tirani menyajikan banyak hal yang seluruh aspeknya menarik. Monopoli kebenaran, dan mobilisasi pendapat umum, hanyalah dua aspek kecil menarik menandai rezim barbarian ini. Berbahaya, itu jelas. Tetapi sebahaya-bahanya monopoli kebenaran dan mobilisasi pendapat umum, masih tidak lebih berbahaya dibandingkan penggunaan hukum dan senjata. Hukum dan senjata, tersaji begitu telanjang dalam sejarah kekuasaan tirani. Sebagai dua alat utama penopang kekuasaan. Hukum dan senjata menjadi dua pilar penyangga terhebat di sepanjang garis eksistensinya yang dapat diperiksa. Kedua senjata mematikan itu sepenuhnya merupakan will of the ruler’s. Tyran, yang menurut Benedikt Forchner dalam artikelnya “Law’s Nature: Philosophy Argument in Cicero’s Writing” oleh Cicero disebut “belua” that is, as a wild animal. Penilian menjadi alasan tepat menyatakan Cicero tidak hendak menjadi “salus populi supreme lex esto” menghabisi individu. Rules by rulers, bukan rule of law, teridentifikasi sejarah sebagai inti penegakan hukum dan politik pada rezim-rezim tiran. Law adalah titah, decree, sang tiran. Law, dalam semua aspeknya, pembentukan dan penegakannya, sepenuhnya merupakan ekspresi kehendak sang tiran. Dalam beberapa kasus, khususnya Jerman, tipikal itu ditunjukan dengan sangat jelas melalui apa yang dikenal dengan Enabling Act 1933. Anabling Act ini yang memungkinkan Hitler menjadi Fuhrer. Yang mengakhiri semua prilege krule of law yang digaris dalam Wimar Constitution 1919. Konstitusi demokratis ini dicampakan secara kasar, khas politik rezim binasa. Freedom from illegal arrest, and from search and seizure, inviolable secrecy of all communication by mail, telegraph or telephon, freedom of speech freedom of the press, freedom of assembly, and freedom to organized club and association, tulis Fredercik Hoefer, semuanya diberangus. Hitler sejak saat itu, segera memanfaatkan polisi yang berada dibawah kendali Frcik dan Hermann Goring, Menteri Dalam Negeri, memenjarakan para oposan. Frcik secara terbuka menyatakan don’t worry, when we are in power we shal putt of you guys in cenocentration camp. Tidak lama setelah itu, 40.000 political opponent melarikan diri keluar negeri, dan 45.000 orang ditempatkan di komp konsentrasi. Agar terlihat sebagai rechstaat, pemerintahan teroro ini mendirikan special court untuk mengadili mereka. Enabling Act 1933, membenarkan hukum yang bersifat ex post facto. Hukum ini mengalihkan legislative power dari parlemen ke tangan Hitler. Judiciary independent, oleh Enabling Act juga dihapus. Judiciary independent hanya bisa indah dalam mimpi hakim-hakim merdeka. Mengerikan hukum ini juga menjungkalkan apa yang dalam ilmu hukum pidana kenal dengan nulla siene poena sine lege. Dua tahun kemudian, tepatnya tangal 15 September 1935, ketika berpidato di Nuremberg, Hitler mendekritkan (decree), apa yang dikenal dengan nurember law atau The Reich Citizen law. Diskriminasi rasial, teridentifikasi sebagai gagasan dasar The reich Citizen law ini. Tetapi harus diakui tidak seorangpun dihukum karena bermimpi. Mimpi tidak dikualifikasi sebagai kejahatan yang dapat dihukum. Padahal tipikal totalitarian, rezim ini telah menyediakan tatanan ganda untuk hukum. Benar-benar rezim teror, totalitarian, extra judicial arrest, extra murder and extra punishment, dilembagakan di dalam hukum pidana substantifnya. Pada saat yang sama rezim ini juga melembagakan judicial arrest. Khusus untuk extra judicial arrest and murders, disajikan sertas dilembagakan dalam tatanan politik dan hukumnya untuk justifikasi kehadiran concentration camp. Kajian-kajian hukum terhadap pemerintahan teror memang tidak menemukan kenyataan penggunaan “mobilisasi rakyat” dalam mempropagandakan pernyataan Marcus Tulius Cicero “salus populi suprema lex esto”. Sama sekali tidak begitu. Tidak juga seperti itu. Tetapi mobilisasi pendapat rakyat atas tindak tanduk pemerintah, menjadi tipikal rezim teror ini. Rezim ini, tentu dengan alasan yang khasnya, melembagaan “penghianatan tingkat tinggi “high treason” dalam hukum pidana. Sesuai tipikalnya, defenisi kejahatan ditentukan oleh sang tiran melalui decree. Hukum ini lalu dipertalikan dengan keamanan nasional. Apa yang dihiananti? Nazi, yang dipuncaknya bertengger sang Fuhrer. Demi keamanan, sisi esensial dari “salus populi suprema lex esto” itulah, rezim totalitarian ini menyatakan “hight and low treason” sebagai kejahatan. Populi yang beroposisi menemukan diri berada dalam titik bidik brutal, norak dan konyol rezim teror ini. Yang suprema bukan populi, tetapi elit rezim. Bahaya, tidak hanya disebabkan rezim ini memiliki aparatur bersejnata dalam menegakan hukum. Namun juga hukuman mati disediakan untuk mereka yang berhianat. Sebut untuk kaum opisisi, tetapi lebih dari itu. Aparatur hukum bersenjata, yang juga menyandang aparatur politik ini mendefenisikan hukum dalam praktek kekuasaanya. Aparatur hukum, termasuk hakim identik dengan kaki tangan Nazi. Mereka inilah yang mengenergizer hukum dan kamp konsentrasi. Untuk apa kamp konsentrasi itu? Extra judicial punishment atau illegal punishment atau unlawfull punishment. Hakim-hakim yang mengabdi pada nuraninya, dan dengan itu menjaga judiciary independency, juga dihukum. Otto Weis, anggota parlemen dari Social Democratic Party, terlempar karena mengeritik Anabling Act. Pejabat berotak waras, tak mau jadi domba pemerintahan Hitler, yang mengeritik Nazi, ambil misalnya Hans von Dohnanyi, juga dihukum. Hans von Dohnanyi, anak muda ahli hukum ini, diidentifikasi Hans Peter Graver dalam artikelnya yang dimuat di German Law Journal Vol. 19 No.04, tahun 2018, memegang jabatan tinggi di Kementerian Kehakiman dihukum. Dohnanyi dihukum atas tuduhan berkonspirasi dengan Canaris melawan Nazi. Latza dan Kanter’s, sekalipun tidak seheroik Hans von Dohnanyi, juga dihukum untuk hal yang sama. Kalau mau mati, setidaknya masuk penjara, silakan beroposisi. Rezim ini tidak memiliki kemampuan untuk sekadar senyum kepada orang yang mencetak Koran, yang memberitakan kritik terhadap pemerintahan ini. Rezim ini juga tak mampu senyum terhadap berita radio yang kritis. Rezim totaliter ini menyediakan hukuman penjara lima tahun untuk mereka yang sekadar bersuara kritis terhadap rezim. Sungguhpun begitu, tidak logis membayangkan orang-orang tidak bisa bicara politik sama sekali. Selalu bisa, bahkan perlu. Rezim ini malah membutuhkan para penggembira, tukang tepuk tangan, terlatih menyanyikan lagu berlirik puji-pujian konyol terhadap rezim. Bagaimanapun rezim tiran selalu picik dan kerdil dalam banyak aspek. Itu sebabnya rezim-rezim tiranis memerlukan polesan yang khas. Polesan itu berbentuk propaganda atas hal-hal, yang dengannya kelangsungannya menemukan pijakannya. Itu yang dikerjakan Joseph Goeble, propagandis kawakan andalan Hitler. Apakah hukum totalitarian memenuhi persyaratan ontologi dan epistemologi sebagai hukum? Ilmu hukum barat, jelas mengagungkan positivisme. Esensinya positivisme barat mengesampingkan penyatuan moralitas dan etika dengan hukum. Keduanya, dalam pandangan positivisme khas H. A.L Hart, harus dipisahkan. Ini jelas berbeda, dengan ontologi dan epistemologi hukum alam. Hukum alam tidak memisahkan, apalagi rigid antara norma hukum buatan, yang diciptakan manusia, dengan etika atau moralitas. Tetapi apapun itu, bagaimana menemukan justifikasi rasional terhadap pelembagaan, tidak hanya diskriminasi ras, termasuk agama minoritas, dan kebebasan berbicara, berorganisasi atau berkumpul? Rasio macam apa yang dapat disodorkan untuk menjustifikasi norma hukum yang melarang orang berserikat dan berbicara? Mau disebut apa orang mati di Kamp konsesentrasi, tanpa dapat membela diri? Logiskah extra court punishment, bahkan extra court killing dilembagakan? Stephen Riley, yang pandangannya dikutip Simon Lavis dan dimuat dalam disertasinya, menilai Nazi law is not law. Penilaiannya memang berbeda dengan H.A.L Hart, positivist tulen dalam khasanah ilmu hukum. Hart tetap menganggap Nazi law is law. Baginya, law harus dibedakan dengan moralitas. Penilaian Hart ternyata disanggah oleh Llon Fuller. Penyangkalannya didasarkan serangkaian fakta, terutama extra judicial killing di kamp konsentrasi. Bagi Fuller penghukuman jenis ini tidak dapat dibenarkan, dengan semua alasan yang mungkin. Baginya nazi law is not positive law. Llon Fuller memang tidak sezaman dengan Cicero. Memang itu jelas. Tetapi kenyataan itu tidak menjadi alasan Fuller, tidak menjustifikasi pernyataan Cicero “salus populi suprema lex esto” yang disukai oleh rezim-rezim teror dan otoriter. Fuller, yang memperlakukan etika ditempat terhormat semua hukum, tahu Cicero menolak hukum yang berwatak terror, dan merendahkan human dignity. Itu menjadi alasan valid Fuller “salus populi suprema lex esto” tidak dimaksudkan Cicero untuk membenarkan tindakan teror demi keamanan masyarakat. Bagi Fuller, Cicero memperlakukan hukum sebagai cara masyarakat menjaga keamanannya. Fuller tahu Cicero memahami hukum sebagai refleksi human nature. Hukum diapresiasi tinggi sebagai sarana untuk memelihara human dignity. Pandangan Cicero tentang hukum itu juga terlihat jelas pada kajian Yasmina Benferhat. Dalam artikel berjudul Cicero and the Small World of Roman Jurist, diedit Paul J. du Plessis, yang dimuat dalam buku berjudul Cicero’s Law, Rethingking Roman Law of the Late Republic, Cicero menempatkan “populous was the prime sources of legitimacy for all form of government and constitution. Hukum tidak dibuat untuk menyangkal sifat bawaan alamiah manusia. Dalam konteks filsafat, menurutnya hukum dipertalikan dengan kondisi manusia dalam eksistesinya hidup berdampingan satu dengan lainnya secara alamiah. Hukum dibuat untuk memastikan eksistensi alamiah itu. Dalam konteks itu, hukum, menurutnya harus dimengerti sebagai sesuatu yang ideal secara alamiah untuk kehidupan bersama. Cicero memang mengawali diskurusnya dengan bicara masyarakat, tetapi hal itu tidak dapat dimengerti bahwa Cicero menempatkan masyarakat secara kolektif pada jantung pandangannya. Kombinasi semua pandangan Cicero itu, menjadi alasan siapapun untuk menyanggah “salus populi suprema lex esto” digunakan di luar kerangka hukum berspirit human nature, untuk menghasilkan terpeliaranya human dignity. Apalagi Cicero juga menyatakan just as law contradiction nature, must not be called law. Tidak ada human dignity yang menjustifikasi extra court murder dan extra judicial killing. Tidakkah Allah Subhanauhu Wata’ala, yang menciptakan hamba-hambanya, menghukum orang yang membunuh orang lain? Semoga tatanan hukum Indonesia tidak bergeser. Tidak masuk ke dalam tatanan polititik dan hukum totaliter yang fasis. Semoga.* Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Gurihnya Dana Bansos
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (23/12). Anggaran bansos per paket seharga 300 ribu rupiah. Ini angka resminya. Untuk apa saja? Beras 10 kg harga Rp. 129.390 (Rp. 12.939/kg). Minyak goreng 2 liter harga Rp. 27.800 (Rp.13.900/lt). Sarden 9 kaleng harga Rp. 71.550 (Rp. 7.950/kaleng) Mie instan 12 bungkus harga Rp. 34.260 (2.855/bks). Sambel kecap harga Rp. 7.000. Goodie bag Rp. 15.000. Keuntungan rekanan Rp. 15.000.Total: Rp. 299.990 (Genapin jadi Rp. 300.000). Coba anda lihat harga barang-barang itu di super market, mini market, agen, atau warung biasa. Jauh lebih murah. Apalagi kalau belinya glosiran. Murah banget! Kenapa untuk bansos lebih mahal? Satu alasan, buat bagi-bagi! Untuk bisa berbagi, harus ada selisih. Makin besar selisihnya, makin banyak yang dapat bagian. Caranya? Pertama, dimark up harganya. Otak-atik cocok, sikat. Kedua, volume barang dikurangi. Dengan cara ini, selisih jadi besar, dan bagi-baginya menjadi semakin besar. Ini lagu lama bro! Lagu Korupsi jaman bahula dulu. Dipakai lagi sekarang. Coba cek ke penerima bantuan. Kadang berasnya bulukan, kadang 5 kg, sarden dan mie instan cuma 5 biji. Kasus seperti ini, kabarnya banyak sekali ditemukan di masyarakat penerima bantuan. Anda bisa cek ke lapangan. Dari selisih harga saja, sudah untung besar. Kok masih nggak puas? Barang dikurangi pula. Taksiran harga beras 10 kg Rp. 82.000. Minyak goreng 2 liter Rp. 25.000. Sarden 10 kaleng Rp. 22.500. Mie instan 12 Rp. 7.200. Sambel kecap Rp. 4.100. Goodie bag Rp. 9.000. Jadi totalnya Rp. 149.000 Dengan begitu, ada selisih sekitar Rp. 150.000. Kemana saja selisih ini? Beberapa sumber mengatakan bahwa Rp. 25.000 untuk rekanan. Rp. 25.000 untuk oknum-oknum di Kementerian Sosial (Kemensos). Yang Rp.100.000 kemana? Ini tugas KPK menelusuri aliran dana Rp.100.000 itu? Adakah dana itu nyasar ke partai dan ke lingkaran istana? Dengan skema seperti ini, para pengusaha berebut. 1 SPK (Surat Perintah Kerja) minimal dapat 200.000 paket. Silahkan kalikan keuntungan dan bagi-baginya. Gede banget. Itu baru 1 SPK. Kalau sekian SPK? Karena itu, para pengusaha nggak segan-segan keluarin uang di muka untuk si A, si B, si C, sampai si Z. Bagi-bagi di awal. Uang pelicin! Bansos jelas dikorup. Dilakukan dengan telanjang mata dan terang-terangan. Nggak perlu kepandaian KPK untuk mengungkap ini. Karena jenis korupsinya sangat transparan. Dan praktek ini terjadi sejak dari awal. Jadi gosip di warung kopi dan cafe-cafe. Kenapa perampok uang negara ini terkesan dibiarkan? Anda jangan berpikir KPK hebat telah menangkap Mensos Julian Batubara. Tidak. Kalau lihat kasus ini dari awal, KPK justru dianggap telat. Mestinya nangkap dari awal. Katanya UU KPK yang baru lebih berorientasi pada pencegahan? Ini harus dibuktikan. Tugas KPK adalah membongkar kasus ini sampai ke seakar-akarnya. Julian Batubara tidak sendiri. Korupsi uang gede, kecil kemungkinan sendirian. Pasti berjama'ah. Lalu, siapa anggota jama'ahnya? KPK harus kejar siapa saja yang terlibat. Semua rekanan harus diusut. Tanpa terkecuali. Jangan pakai random smpling. Ini bukan survei! Penyedia kantongnya harus juga diinvestigasi. Dalam hal ini adalah PT. Sritex. Plus siapa yang saja yang merekomendasukan PT. Sritex jadi rekanan. Adakah uang gratifikasi yang mengalir ke orang itu. Nggak usah pedulikan siapa dan anak siapa dia. Kalau terlibat, usut! Semua pihak ketiga yang menjadi mediator dan ikut menikmati bagi-bagi dana bansos juga harus diusut. Jangan berhenti di Julian Batubara saja. Bawahan, bahkan partai Julian Batubara berasal, semua harus ditelusuri terkait aliran dana bansos ini. Kasus ini mesti dituntaskan. Adakah kemauan KPK untuk menuntaskan kasus bansos ini sebagai tanda bahwa KPK masih ada dan sudah siuman dari tidur panjangnya? Kita tunggu! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Hukuman Mati Menanti Juliardi Batubara, KPK Macan Ompong?
by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Rabu (23/12). Kita sedang menghadapi krisis ekonomi dan krisis Kesehatan Akibat Pandemi Covid~19. Pada tanggal 13 April Presiden menetapkan Covid 19 sebagai bencana nasional. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran corona virus disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional. Artinya sampai saat ini kita masih menghadapi bencana. Untuk mengatasi dampak dari bencana itu, presiden telah mengeluarkan beberapa paket kebijakan yang untuk menstimulasi dampak Covid di berbagai sektor. Salah satunya adalah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang namanya sangat panjang itu. Lalu kemudian di sahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Dalam Pasal 27 UU a quo, terdapat imunitas bagi pejabat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya selama itu berkaitan dengan covid~19. Namun dalam hal imunitas, menurut Prof. Eddy Oemar Syarif Hiariej, ada dua postulat. Pertama, impunitas continuum affectum tribuit delinquendi. Berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang itu untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat. Yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar. Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya. Berdasarkan Pasal 50 KUHP “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Bahwa seorang pejabat memiliki imunitas, hal tersebut tidak berlaku apabila ada perbuatan yang memenuhi pasal-pasal pidana. Jadi, imunitas dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah imunitas bersyarat. Pertama, diterapkannya prinsip iktikad baik dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam UU Nomor 2/2020. Kedua, tugas pokok dan fungsi aquo dilaksanakan sesuai ketentuan dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu tidak ada kekebalan hukum apabila ditemukan itikad jahat (mensrea) dan menyalahi peraturan perundang-undangan. Setiap tindakan pejabat negara yang menyalahi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak memiliki itikad baik dalam mengeluarkan keputusan, entah itu ada pasal imunitas atau tidak, tetap akan dipertanggungjawabkan dihadapan hukum. Jadi, dalam konteks apapun, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, kapan saja dapat dihukum. Ada atau tanpa imunitas. Hukum Mati Koruptor Korupsi adalah kejahatan extra ordinary crime. Sehingga tingkat kerusakannya demikian besar. Ada beberapa kerusakan akibat dampak korupsi ini. Berdasarkan Background Paper Declaratioan of 8 International Conference Against Corruption di Lima, Peru 2002, ada tujuh dampak korupsi yang melatarbelakangi internasionalisasi kejahatan korupsi. Pertama, korupsi dianggap merusak demokrasi. Kedua, sambung najih, korupsi dianggap merusak aturan hukum, teristimewa pembuatan undang-undang yang sarat dengan praktik suap-menyuap dan dalam penegakan hukum. Ketiga, korupsi menghambat pembangunan berkelanjutan. Keempat dari korupsi adalah merusak pasar. Kelima, korupsi merusak kualitas hidup, khususnya korupsi di sektor pendidikan dan kesehatan. Keenam, korupsi dapat membahayakan keamanan manusia. Terakhir, korupsi melanggar hak asasi manusia. Melihat dampak Korupsi yang sedemikian besar tersebut di atas, jelas bahwa korupsi bukanlah kejahatan biasa. Melainkan kejahatan yang luar biasa. Sehingga dalam melakukan upaya pemberantasannya harus dengan cara-cara yang luar biasa juga. Karena itu, di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kita mengenal istilah hukuman mati bagi koruptor. Hal itu terbaca dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Sedangkan, di dalam ayat (2) disebutkan “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Keadaan tertentu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) tercantum, bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Korupsi di Kemensos Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa anggaran penanganan covid sudah mencapai Rp. 677 triliun. Dengan pembagian struktur PEN menjadi sebanyak Rp.87,55 triliun untuk kesehatan, perlindungan sosial Rp. 203,9 triliun, insentif usaha Rp. 120,61 triliun, UMKM Rp. 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp. 53,57 trilun dan sektoral/pemerintah daerah Rp. 106,11 triliun. Melihat data tersebut, anggaran perlindungan sosial yang dikelola oleh Kementrian Sosial sangat besar, yaitu senilai Rp. 203,9 triliun. Sedangkan realisasi anggaran sudah mencapai Rp 144,4 triliun. Namun dibalik anggaran besar, dan realisasi anggaran tersebut, ternyata ada praktek korupsi yang masif terjadi di Kementerian Sosial. Hal ini sangat melukai perasaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam situasi bencana nasional sebagaimana yang telah di tetapkan oleh presiden dalam Kepres Nomor 12 Tahun 2020, sampai saat ini masih berlaku, maka sesuai dengan rumusan Pasal dalam UU Tipikor di atas, terbuka peluang hukuman mati bagi para koruptor yang melakukan korupsi dana bantuan sosial terkait bencana nasional yang sedang dihadapi negara saat ini. Apalagi anggaran tersebut diperuntukan untuk pemulihan ekonomi nasional akibat krisis ekonomi dan moneter yang sedang menimpa Indonesia saat ini. Karena itu, dalam perspektif hukum pidana, tersangka korupsi di Kementrian Sosial dapat di dakwah melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan dapat dijatuhi hukuman mati. Wallahualam Bis shawab. Penulis adalah Ketua Presidium Nasional Pemuda Madani & Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM
Nasib Rule of Law dan Rule by Ruler’s
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Rabu (23/12). Negara hukum yang demokratis itu selalu dirindukan orang. Karena menjanjikan keagumngan setiap individu. Sesuai konteks historisnya, konseop ini menandai naiknya moralitas baru tentang hakikat manusia dan kemanusiaan. Rindu itu yang terus bergerak. Mengurung dan memukau kaum reformasi Indonesia di tahun 1998. Kaum reformasi ini lelah melihat keangkuhan dan kesewenang-wwenangan kekuasaan ketika itu. Lelah melihat law and guns digunakan secara serampangan atas nama keamanan nasional. Keamanan yang didefenisikan secara suka-suka hati oleh penguasa. Ambisi kaum reformasi itu berhasil didesakan dan ditulis dalam UUD 1945 yang diuba sebanyak empat kali. Perubahan secara berturut-turut sejak 1999-2002. Tetapi seperti terekam dalam sejarah hukum, menulis konsep itu dalam UUD adalah satu soal. Sementara merealisasikannya dalam kehidupan bernegara adalah soal lain. Pelik memang. Mengapa? Penuh Dengan Manipulatif Kepelikan ini, sebagian disebabkan konsep yang berinduk pada liberalisme klasik itu. Konsep yang sama sekali tak bicara, sekalipun hanya sedikit, tentang pemimpin dan kepemimpinan politik. Konsep itu juga tak bicara, sekalipun hanya sekelumit, derajat tertib sosial dan politik macam apa yang berkerangka rule of law, yang pantas untuk dikreasikan. Itu peliknya konsep yang berinduk pada liberalism klasik ini. Ihwal tertib sosial dan politik, liberalisme klasik hanya menyodorkan, dalam makna mengandalkan toleransi dan saling menghormati yang berbasis saling memahami antar setiap individu merdeka sebagai kuncinya. Hanya itu titik. Tak lebih. Maxim itu terlihat cukup jelas dalam pandangan Adam Smith, filosof dan ekonom liberal kawakan itu. Smith yang menaruh kepercayaan kuat terhadap rasio, menunjuk cara itu sebagai metode terbaik. Pijakan itu membawanya pada konsep pemerintahan minimum. Pemerintahan jenis ini digambarkan Smith sebagai night watchman state, negara penjaga malam. Libealisme memang begitu skeptik terhadap pemerintah. Dalam mazim liberalisme klasik, pemerintah dibayangkan selalu menjadi faktor. Setidaknya memiliki potensi membahayakan kemerdekaan individu. Semakin besar pemerintah terlibat dalam kehidupan masyarakat, semakin besar potensi terjadinya kerusakan pada masyarakat itu. Seminimum itu sekalipun peranan pemerintah, rule of law tetap diandalkan untuk, pada level konseptual, sebagai cara terbaik menjaga kemerdekaan individu. Dala esensinya, rule of law diandalkan untuk menjinakan tindakan-tindakan sewenang-wenang pemerintah. Untuk tujuan itu, rule of law mengikatkan pemerintah pada hukum. Di Inggris misalnya, cara itu diusahakan secara bergelombang. Diawali, ambisi misalnya dengan pembentukan Petition of Right 1828, yang diprakarsai pembentukannya oleh Sir Edward Choke, ahli hukum paling cemerlang dengan konsistensinya menantang absolutisme raja, disusul Habes Corpus Act 1679. Habes Corpus Act itu dapat diparalelkan dengan KUHAP, yang dibuat tahun 1981. Menariknya sekalipun rule or law sedari awal mencurigai pemerintah, dan bukan rakyat sebagai kekuatan politik yang berpotensi besar merusak kemerdekaan individu, ternyata tersedia celah, yang memungkinkan konsep hebat itu diperkuda oleh penguasa kerdil. Pergeseran rule of law ke rule by ruler’s, tersaji baik dalam alam politik fasistik dan totalitarian maupun demokratis. Penguasa-penguasa itu, dengan kecerdasan piciknya, menemukan dan mengambil “keamanan nasional” sebagai justifikasinya. Salus Populi Suprema Lex Esto yang merupakan pernyataan dari Markus Tulius Cicero, dala dialognya dengan anaknya diambil dan dijadikan justifikasi begitu saja. Salus, yang bermakna etimologis sebagai security atau savety bagi populous, bukan roman noblemen adalah inti konteks pernyataan itu. Struktur masyarakat Romawi yang menjadi latar sosialnya kala itu, tersusun secara hirearkis. Plebian, patrician dan optimate juga slave, merupakan struktur masyarakat Romawi kala itu. Aristokrat, faksi khusus pada patrician, pada masanya teridentifikasi sebagai entitas utama yang menikmati kebijakan republik. Ini dicemaskan, bahkan ditolak Cicero. Itu sebabnya Cicero, dalam bukunya De Legibus atau Hukum, membayangkan seharusnya keamanan dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan hanya sekelompok orang saja. Sangat Berbahaya Lenin, Musolini, Hitler dan Agusto Pinoche, untuk menyebut beberapa saja, menjaga pemerintahannya dengan doktrin Cicero Salus Populi Suprema Lex Esto itu. Berbeda dengan masyarakat demokratis, pemerintahan-pemerintahan fasis, yang otomatis totalitarian mengambil kolektifisme sebagai basis sistem sosial politiknya. Konsep ini mereduksi eksistensi individu. Individualisme diganti dengan kolektivisme sebagai basis sosial politik idiologisnya. Kolektivisime, bukan indivudalisme, yang supreme dalam negara itu. Dalam tampilan praktisnya, konsep kolektivisme itu ditransformasi pada personal pemimpin. Pemimpin tersaji dalam politik itu sebagai personifikasi negara. Dan negara menjadi personifikasi masyarakat secara kolektif. Pemimpin, sebagai konsekuensi lanjutannya dalam tampilan praktis bernegara, muncul menjadi integrator seluruh unsur dalam negara. Integrator, sebagaimana diperlihatkan sejarah, selalu berada di puncak piramida seluruh pranata sosial politik negara. Persis seperti sumber air, integrator tersaji menjadi pendefenisi utama seluruh asek kehidupan bernegara. Sehebat itu sekalipun, rezim-rezim itu tidak mampu memberi tolerasi pada keragaman pendapat. Keragaman, oleh rezim-rezim ini dilihat sebagai pantulan liar individualisme, sesuatu yang bertolak belakang secara mendasar dengan konsep kolektivisme. Tertib sosial diseragamkan pada semua aspeknya. Rezim ini, sebagai akibatnya memonopoli kebenaran dalam bernegara, ya hanya kebenaran tunggal. Pemerintah yang memegan monopoli itu. Salus Populi Suprema Lex Esto pun akhirnya menemukan pijakan idiologis untuk eksis. Eksistensinya dipertalikan dengan tujuan nasional negara itu. Dan tujuan nasional, dalam kenyataannya, didefenisikan secara monopoli oleh penguasa. Tidak di luar penguasa. Demi tujuan nasional, kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat, harus dibatasi, praktek yang menjadi tipikal politik selurh rezim fasis dan totalitarian. Tetapi menariknya, fasisme dan totalitarian itu juga digerakan dengan hukum sebagai alat utamanya. Tidak seperti di negara demokratis, hukum yang mengambil bentuk decree, keputusan-keputusan ad hod penguasa. Tidak benar-benar sama dalam substansi dengan postur republik Romawi yang Cicero hidup di dalamnya. Tetapi apa yang dilakukan Pompey Magnus, menarik disajikan. Tidak bicara kolektivisme pada kekonsulannya, tetapi Eric S. Gruen, dalam bukunya The Last Generation of The Roman Republic, diterbitkan oleh University of California Press 1974, mengidentifikasi pembatasan kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat tipikal pemerintahan Pompey. Organisasi yang didalamnya terhimpun banyak orang, oleh Pompey, konsul pada waktu itu, dinilai berbahaya. Penilaian itu menjadi alasan Pompey merancang kriteria untuk mengasingkan orang-orang dan kelompok-kelompok yang dicurigai itu. Untuk tujuan itu, Pompey mentransformasi ke dalam dan rujukan utamanya. Hukum ini dikenal dengan Lex Gabina. Lex ini melarang perkumpulan-perkumpulan bawah tanah, clandestein, berkumpul di kota. Lex Gabina, melengkapi Lex Lutatio, yang telah lebih dahlu ada, yang esensinya melarang tindakan menghasut, seditio atau sedition. Cakupannya meliputi larangan terhadap tindakan menyerang public figure dan isu-isu publik. Kebenaran, jelas dalam semua aspeknya, hanya bertumpu pada apa yang dinyatakan oleh pemimpin dan aparatur negara. Suara-suara di luar yang disetujui negara, menemukan kenyataan tragis. Suara-suara itu, seperti biasa, segera ditunjuk sebagai suara subversif, dalam makna berkualifikasi melanggar hukum pidana. Rule of law ala Pompey inilah yang dengan sedikit modifikasi dipraktekan oleh, ambil misalnya Lenin dan Breznev di Uni Soviet, Musolini di Italia dan Hitler di Jerman. Modifikasi hanya sebatas menambah unsur kolektif sebagai basis idiologisnya, sesuatu yang tidak digunakan Pompey Magnus di Romawi kuno. Pola Pompey ini pulalah, untuk beberapa alasan, terlihat sedang bekerja di Hongkong. Masyarakat demokratis itu, kini terkekang oleh Salus Populi Suprema Lex Esto, yang ditransformasi ke dalam UU Keamanan Nasional, yang pembentukannya didukung pemerintahan China. UU yang baru disahkan itu, dalam kenyataan memberi justifikasi kepada pemerintah menghentikan setiap suara rakyat yang berbeda, kritis pada kebijakan pemerintah. UU Keamanan Nasional inilah, sejauh dapat diverifikasi, digunakan Polisi Hongkong untuk menangkap Jimmy Lai dan Agnes Chou, dua tokoh produktif pro demokrasi Hongkong. Apakah Indonesia mutakhir sedang bergerak mendekat ke praktek itu itu? Apakah kematian tragis petugas pemungutan suara pada pemilu lalu, ditersangkakannya demonstran UU Cipta Kerja, ditersangkakannya Sahganda Nasinggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Habib Rizieq, dan peristiwa Kilometer 50” yang mengakhiri 6 (enam) nyawa pengawal Habib Rizieq, memiliki resonansi itu? Itu soal menarik yang memerlukan analisis tersendiri nanti di tulisan berikutnya. Beralasankah menimbang pembedaan perlakuan hukum untuk kasus kerumunan, diletakan pada perspektif di atas? Penggunaan hukum “hasutan” atau yang pada pemerintahan Pompey disebut “seditio” itu terlihat mulai mudah dijumpai dalam kehidupan mutakhir sekarang. Hukum “penyebaran berita bohong, yang membuat onar” yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1946, terlihat yang semakin sering untuk digunakan. Sembari menanti munculnya keberanian orang untuk menganalisisnya, terasa masuk akal bila kenyataan empirik itu menggoda orang mempertanyakan derajat validitas konstitusional atas tampilan rule of law mutakhir. Rule of law atau rule of ruler? Menarik dianalisis pada waktunya. Konsep rule of law dalam alam demokrasi, mengharuskan siapapun menerima rule as a law. Bukan ruler’s as a law. Norma-norma UUD 1945 memaksa siapapun untuk mengerjakan rule of law dalam karangka itu. Begitulah para pendiri bangsa yang hebat-hebat itu berharap. Salus Populi Suprema Lex Esto, karena itu, mutlak dipertalikan dengan rule of law dalam kerangka norma-norma UUD 1945. Salus Populi Suprema Lex Esto, yang tak ada seorang waras pun menyangkal urgensinya itu, tidak bisa dianggap justifikatif hanya penilaian ad hoc semata. Tiba saat, tiba akal. Berkerangka kerja konstitusional seperti itu, mengakibatkan identifikasi “keamanan nasional” atau keamanan individu atau masyarakat, harus dipertalikan dengan norma hak asasi manusia yang didefenisikan dalam UUD 1945. Yang ini absolut dalam semua aspeknya. Norma-norma itu, terlepas dari apakah mewakili pandangan liberal klasik atau tidak, merefleksikan klaim moral, yang Eamon Butler, dalam bukunya Clasical Liberalism, diterbitkan pertama kali oleh Institute of Economic Affair (IEA), tahun 2015, menggambarkan justice require force, but force requires justification. Tidak bisa sewenang-wenang. Begitu esensinya. Justifikasi sosiologis atau hukum? Justifikasi sosiologis memungkinkan terjadinya reduksi atas objektifitas. Pilihan konstitusionalnya adalah justifikasi hukum. Mengapa? Rule of law mengharuskan siapapun menerima hukum sebagai hal objektif, dan melarang pertimbangan-pertimbangan subjektif. Hanya begitu pilihannya. Bukan selain itu. Bentuk empirik dari subjektif itu terefleksi dari sikap anti kelompok ini, pro kelompok itu. Kelompok ini begini dan kelompok itu begitu, persis yang dipraktekan Nazi pada Hitler. Rule of law dan ilmu hukum jelas dalam soal itu. Subjektifitas tidak diberi tempat dalam penegakan hukum. Pahami itu baik-baik. Rule of law secara absolute mengharuskan aparatur memelihara pikiran dan tindakannya dengan objektifitas. Penegakan hukum, harus, tanpa alasan, memenuhi prinsip-prinsip due process of law atau due process clause. Prinsip-prinsip ini tersebar dalam UUD 1945, KUHAP dan peraturan lainnya. Mengesampingkan prinsip-prinsip itu, sama dengan membawa bangsa ini terjatuh ke dalam kubangan fasisme dan totalitarianism. Seluruh aspek kehidupan ditentukan oleh pemimpin. Bukan soal rule of law akan tergantikan dengan rule by ruler’s. Tetapi penyankalan terhadap hakikat alamiah manusialah yang menjadi masalah besar. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Kata Netizen, “#Tangkap Anak Pak Lurah!”
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (22/12). Tangkap Anak Pak Lurah! Nggragas kok pol-polan. Tas bansos saja diembat. Vangke...” Begitu tulis netizen Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB, di akun Facebook-nya, Senin (21/12/2020). Respon pun beragam. Antara lain, seperti berikut: Wahyudi Gondin: Bukan gragas tapi original. Ani Rohani Panjaitan: Pengen denger komentar dari para 'pemuja' nya. Yang selama ini 'mengagungkan' keluarga pak lurah dan turunannya bersih, gak KKN, gak rakus jabatan, selalu berusaha mandiri. Preeeeettt.... Nelly Siswati Baswir: Ktnya nyambung jg ya ke anak bu Camat... Muhammad Ferdian Nuur: Dana bansos dikorupsi, tapi sibuk nuduh kotak amal sumber dana teroris. Budiwanti Nasution: Muhammad Ferdian Nuur, barusan beli soto di SSB...ada kotak ...terus perhatiin kotak amal .. Daan apa .. ah dengernya sakit hati . Cuma ujungnya dia bilang ..hati hati aja .. Antje Mtz II: Ngragas sudah bakat dari sebelum bapakne dadi lurah masih sbg "kader binaan" OomPung. Diah Nur Hayanti: Bisa jadi, danan operasional dari yang kecil-kecil menjadi besar. Ibarat iuran Bu. Ratih Oemiati: #TangkapAnakPakLurah#. Yusmainar 'Niar': Rakus serakus rakusnya... Rahmiyati Znoer: Tempo....keren ya..berani bongkar2. Sebelumnya, Majalah TEMPO Edisi 21-27 Desember 2020 dengan judul cover “Koruspi Bansos Kubu Banteng” menyoroti sepak terjang elit PDIP dalam korupsi Bansos. Dalam sebuah judul di Majalah TEMPO, “Otak-Atik Paket Bansos dan Jatah untuk Pejabat Negara” ditemukan adanya peran putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dalam pengadaan goodie bag yang diproduksi PT Sritex. Konon, nama Sritex merupakan rekomendasi Gibran. Hanya saja penyebutan untuk Gibran disamarkan oleh sumber TEMPO dengan kode “Anak Pak Lurah”. Oleh TEMPO, kode “Pak Lurah” disebut mengacu ke Jokowi. Masih menurut laporan Majalah TEMPO, pada akhir April lalu, mantan Mensos Juliari Peter Batubara telah menyatakan mengajak perusahaan yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah untuk memproduksi goodie bag. Politikus PDIP Deddy Sitorus mempertanyakan data yang diperoleh Majalah TEMPO. Sebab seharusnya, data yang didapat tersebut menjadi dokumen hukum yang seharusnya dibuka di pengadilan. “TEMPO tahu dari mana? Terserah mereka-lah. Nanti di tingkat pengadilan, kalau tidak benar nanti kita sue (tuntut) TEMPO-nya,” ujarnya, seperti dilansir SuaraNasional.com, Minggu (20/12/2020). Perusahaan tekstil raksasa Sritex mendapat jatah pembuatan 1,9 juta kantong kemasan, berkat rekomendasi “Anak Pak Lurah”, Gibran Rakabuming Raka, yang baru memenangkan Pilkada Kota Solo pada Pilkada Serentak 2020, 9 Desember lalu. PDF, _screenshot_ majalah TEMPO menyebar dengan cepat di media sosial. Media-media online juga ikut ramai mengutip laporan TEMPO dan memberitakannya. Pemberitaan media dan tagar #TangkapAnakPakLurah ini, direaksi kubu pendukung Presiden Jokowi. “Sejak Senin pagi (21/12/2020) tagar #TempoMediaASU mulai bergema. Dan, masuk dalam trending topic Indonesia, namun belum bisa mengalahkan #TangkapAnakPakLurah,” ungkap wartawan senior Hersubeno Arief. Riuh rendahnya pemberitaan dan tagar Anak Pak Lurah ini juga membuat Gibran gerah. Dia menantang agar KPK segera menangkapnya. “Silakan tangkap kalau ada bukti,” tantangnya. Melihat pilihan kosa kata ASX, kita sesungguhnya sudah bisa menduga siapa yang bermain di belakang tagar ini. Kosa kata itu khas gaya Jawa Tengah-an, khususnya kota Solo. Kata itu adalah sebuah makian. Menunjukkan betapa kesal dan marahnya mereka kepada Majalah TEMPO. TEMPO Group dalam beberapa pekan terakhir memang tidak hanya menelanjangi Juliari dan PDIP, tapi juga menyerang “Anak Pak Lurah”. Masih ingat saat ramai-ramai menjelang Pilpres 2019 lalu? Bupati Boyolali Seno Samudro memaki Capres Prabowo ASX. Gara-garanya, hanya karena Prabowo Subianto mengucapkan guyonan “Tampang Boyolali”. Sebuah makian yang sangat tidak pantas terhadap seorang capres. Apalagi kini Prabowo malah menjadi Menhan dalam Pemerintahan Presiden Jokowi. *Rekom Gibran?* Dalam Laporan Utama Majalah TEMPO Edisi 21-27 Desember 2020 disebutkan, masuknya nama Sritex sebagai penyedia goodie bag bansos merupakan rekomendasi dari putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Juliari diduga bertemu dengan salah seorang anggota staf Puan Maharani – yang oleh netizen disebut “Anak Bu Camat” yang mengarah ke Megawati Soekarnoputri – berinisial L. Dalam pertemuan itulah duit miliaran rupiah diserahkan kepada perempuan tersebut. Dua hari sebelum ditahan di rutan KPK, Mensos Juliari menghadap Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jumat pagi, 27 November lalu. Bersama Menko PMK Muhadjir Effendy dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Juliari melaporkan perkembangan penyaluran bansos untuk masyarakat yang terdampak Corona virus Disease 2019 (Covid-19). Kepada TEMPO di kantomya pada Selasa, 15 Desember lalu, Muhadjir mengatakan, dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi meminta tahun depan bantuan sosial diberikan dalam bentuk tunai selama 6 bulan. “Presiden bilang bansos sembako sudah cukup,” kata Muhadjir. Rencananya, duit yang dibagikan per bulan bemilai Rp 300 ribu. Menurutnya, pemberian bansos membetot perhatian Jokowi sejak awal. Sehari seusai pertemuan di Istana, Ketua KPK Firli Bahuri mengumumkan Juliari menjadi tersangka penerima suap bansos. Sebelumnya, KPK mencokok pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso, dan sopimya; Sanjaya, Presiden Direktur PT Tigapilar Agro Utama Ardian Iskandar Maddanatja; broker Harry van Sidabukke; serta beberapa orang lain di Jakarta dan Bandung. “Penyerahan uang dilakukan pada Sabtu pukul 02.00 di salah satu tempat di Jakarta,” kata Firli. KPK menyita duit Rp 14,5 miliar dalam penangkapan tersebut. Pemberian fulus itu diduga bertujuan agar Juliari dan anak buahnya memilih perusahaan Ardian dan Harry sebagai vendor penyedia bansos di kawasan Jabodetabek. Ardian dan Harry menjadi tersangka pemberi suap, sedangkan Juliari dan dua anak buahnya, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, menjadi tersangka penerima suap. Dari pengusaha ini, Juliari diduga telah menerima suap senilai Rp 17 miliar. Duit ini dipungut dari pemotongan dana bantuan sosial sebesar Rp 10 ribu dari paket bahan pokok seharga Rp 300 ribu. Selama 8 bulan ini, sudah 23,708 juta paket senilai Rp 6,464 triliun yang disalurkan. “Diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang haruss disetorkan para rekanan pada Kementerian Sosial melalui Matheus Joko,” ujar Firli. Pada Ahad dinihari, 6 Desember 2020 lalu, setelah anak buahnya ditangkap KPK, Juliari menyerahkan diri kepada komisi antikorupsi. Setelah diperiksa KPK, dia menyatakan akan mengikuti proses hukum. “Mohon doanya,” kata Juliari kepada para pewarta . Program bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak Covid-19, yang terdiri atas 14 tahap, dua diantaranya buat komunitas, diduga dirancang untuk menjadi proyek bancakan. Mendasarkan pada regulasi kedaruratan bencana. Kemensos pada Rabu, 8 April 2020, menetapkan mekanisme penunjukan langsung pada perusahaan penyedia paket bahan pokok, penyedia goodie bag, hingga untuk jasa pengiriman bantuan sampai ke kelompok penerima manfaat. Memilih vendor, Menteri Juliari Batubara membentuk tim khusus yang beranggota Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Pepen Nazaruddin serta dua pejabat pembuat komitmen, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Dua pengusaha dan seorang sumber di Kemensos bercerita, tim Juliari itu kerap menggelar pertemuan dengan calon rekanan di restoran Sate Khas Senayan seberang Kemensos, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Sejak awal penunjukan, Matheus dan Adi meminta fee Rp 10 ribu per paket. Menurut sumber yang sama, duit itu diserahkan setelah perusahaan mereka mendapat surat perintah kerja dari Kementerian Sosial. Mereka bercerita, belakangan Matheus dan Adi meminta tambahan upeti, selain Rp 10 ribu untuk Juliari Batubara, sebesar 10-12 persen dari nilai pengadaan. Penyebabnya, paket itu ada pemiliknya, yakni sejumlah politikus dan pejabat pemerintah. Nilai rupiah yang “dicopet” itu, seperi informasi yang diterima KPK, mencapai Rp 100.000 per paket. Seperti ditulis Kompas.com, Senin (14 Desember 2020 | 16:13 WIB), bansos yang diterima masyarakat tersebut hanya senilai Rp 200.000 dari yang seharusnya Rp 300.000. “Kalau informasi di luar sih, itu dari Rp 300 ribu, paling yang sampai ke tangan masyarakat 200 (ribu), katanya, kan gitu,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Senin (14/12/2020), dikutip dari Tribunnews.com. Konon, duit hasil “copetan” dana bansos itu sebagian mengalir ke PDIP, dan dipakai untuk pemenangan calon dari PDIP pada Pilkada 2020 lalu. Benarkah? Ditunggu keberanian dan independensi KPK tentunya. Apalagi, Gibran sudah berani menantang KPK, jika “Anak Pak Lurah” ini terbukti ikut menikmati dana bansoss. Penulis wartawan senior fnn.co.id
Paniknya Kekuasaan Menurut Al-Quran Shamsi Ali
by Shamsi Ali Macazzart FNN - Selasa (22/12/20). Sebuah opini atau pendapat yang disampaikan, baik secara lisan atau tulisan, tidak selalu harus dimaknai sebagai serangan kepada orang-orang tertentu. Apalagi jika tafsiran itu terbangun di atas asumsi-asumsi politis. Al-Quran sendiri penuh dengan cerita masa lalu alias sejarah. Sejarah itu penting. Karena dengan sejarah manusia belajar untuk berubah dan menjadi lebih baik di masa kini dan mendatang. Salah satu sejarah yang sering terulang dalam Al-Quran adalah sejarah kekuasaan di masa lalu. Ada kekuasaan yang berkarakter “ketakwaan”. Yaitu kekuasaan yang terbangun di atas nilai-nilai kebenaran (Al-Haq), kejujuran (al-amanah), dan keadilan (al-adl). Tapi tidak sedikit pula kekuasaan yang terbangun di atas karakter “fujuur” (penyelewengan dan dosa). Kekuasaan ini penuh dengan ketidak jujuran dan kebohongan, ketidak adilan (kezholiman), bahkan kekejaman dan kebiadaban. Lalu menurut sejarah juga Allah Yang Maha Rahman selalu menghadirkan dari kalangan hamba-hambaNya sendiri untuk mengoreksi kekuasaan fujuur (Korup) itu. Musa AS diutus kepada Fir’aun, Ibrahim AS kepada Namrud, dan seterusnya. Dalam usaha mengoreksi kekuasaan itulah tidak jarang terjadi resistensi keras dari kekuasaan korup itu. Bahkan sering terjadi pembungkaman, represi bahkan eliminasi (pembunuhan). Ada dengan cara kasar dan terbuka. Tidak jarang juga dengan senyuman, bahkan keluguan. Tapi ada satu fakta sejarah yang perlu diingat. Bahwa opresi atau kezholiman dan kekejaman penguasa kepada rakyatnya terkadang bukan karena mereka kuat dan hebat. Sebaliknya, justeru justeru karena kepanikan, ketakutan, kelemahan, bahkan awal dari kejatuhan. Kapan dan kenapa Fir’aun tenggelam di laut Merah (Red Sea?). Kapan dan kenapa Namrud terbunuh oleh seekor nyamuk? Kapan dan kenapa Tsamud binasa? Kapan, kenapa dan bagaimana para penguasa zholim dalam sejarah hidup manusia mengalami kehancurannya? Al-Quran memberikan jawaban yang pasti. Bahwa kebinasaan dan kehancuran kekuasaan zholim dan keji itu terjadi di saat rintihan dan suara rakyat kecil tidak lagi terhiraukan. Di saat mereka yang lemah dan terzholimi mengadukan nasib mereka ke Penguasa langit dan bumi. Di saat-saat seperti itulah tabir samawi akan terbuka. Lalu antara doa-doa dan rintihan mereka dan Allah tiada lagi yang membatasi. Allah akan membuka pintu-pintu “nushroh” samawi yang wujudnya kadang di luar jangkauan logika manusia. Seringkali juga Allah tidak secara langsung menghabisi mereka. Justeru diberi kesempatan demi kesempatan untuk sadar. Ini yang dikenal dalam istilah Al-Quran dengan “al-istidraaj”. Fir’aun misalnya diingatkan berkali-kali dengan berbagai bentuk peringatan (azab). Tapi peringatan itu tidak dihiraukan. Hingga pada akhirnya ditenggelamkan oleh Allah di laut merah. Tenggelamnya Fir’aun menjadi indikasi langsung bahwa kekuasaan itu, sekuat apapun, jika kehilangan amanah dan keadilan akan tenggelam. Bisa secara fisik. Boleh juga secara non fisik. Secara fisik mungkin dengan terjungkalnya sang penguasa. Boleh juga tenggelam secara popularitas dan kecintaan publik. Yang pada akhirnya dibenci oleh rakyatnya sebenci-bencinya. Karakter Fir’aun yang keras kepala di hadapan berbagai peringatan mengindikasikan bahwa harapan untuk penguasa zholim berubah itu sangat kecil. Apalagi jika penguasa itu dikelilingi oleh berbagai pihak yang memang kuat dan punya kepentingan. Fir’aun misalnya dikelilingi oleh Haman sang penjilat kekuasaan dan Qarun yang memiliki kepentingan ekonomi. Dalam situasi seperti itu hanya intervensi Ilahi yang diharapkan. Dengan rintihan dan doa-doa tulus dari mereka yang “mahzluumiin” (terzholimi) Allah akan membuka pintu langit dengan ta’yiid (penguatan) dan “nashrun” (pertolongan) untuk mereka. Hal yang harusnya disadari oleh semua kalangan adalah bahwa kezholiman penguasa terhadap rakyat kecil adalah jalan kebencanaan yang besar bagi sebuah bangsa. Karena rakyat adalah “ra’iyah” (terjaga atau terlindungi) yang seharusnya memang dijaga, digembala, diurus, diperhatikan. Bukan ditekan, disemena-seme akan, dan ditelantarka demi kelanggenan kekuasaan itu sendiri. Hanya saja, memang kekuasaan yang sedang mengalami kepanikan akan berbuat apa saja, bahkan terkadang di luar nalar atau logika sehat manusia untuk mempertahankan kekuasaannya. terkadang rasa malu itu menjadi semakian kecil. Kebohongan, sandiwara, tipuan, dan tidak jarang urusan rakyat banyak dijadikan “mainan” demi kepentingan semata. Sebaliknya upaya koreksi kekuasaan oleh rakyat dibalik menjadi kejahatan, usaha penggulingan, dan lain-lain. Ini adalah realita Qurani: “dan jika dikatakan kepada mereka jangan merusak, mereka berkata kami ini orang-orang yang melakukan kebaikan” (Al-Baqarah:11). Prilaku irrasionalitas kekuasaan itu tergambarkan misalnya ketika Namrud terjepit oleh logika Ibrahim AS. Dengan arogansi dan perasaan menguasai segalanya dia menjerit bak kesurupan syetan “uqtuluuhu wanshuruu alihatakum” (bunuh Ibrahim dan tolonglah tuhan-tuhan kalian). Tapi konsistensi dan ketabahan Ibrahim di jalan kebenaran (Al-Haqq), seraya terus berjalan di lorong-losing juang itu, Pada akhirnya menemukan buahnya. “Innni jaa’iluka linnaasi imaama” merupakan buah dari perjuangan panjang itu. Dan karenanya di tengah derasnya ombak di jalan juang itu, teruslah mengayuh dengan sekuat mungkin. Seraya menjaga keseimbangan, bangun optimisme bahwa di ujung samudra luas itu ada pulau impian yang akan tercapai. “Innallaha laa yukhliful mii’aad” (Allah takkan pernah ingkar janji). Percayalah! Udara Macazzart, 22 Desember 2020 Penulis adalah Imam di kota New York USA/Presiden Nusantara Foundation