ALL CATEGORY

Tegas, Peraturan Perundangan Bolehkan Rakyat Tolak Vaksin Covid Bermasalah!

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Minggu (03/01). Diberitakan, tiga Uskup senior Australia mengkritik keras Vaksin Corona/COVID-19 buatan Universitas Oxford, Inggris dan perusahaan farmasi AstraZeneca yang memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. WowKeren Aug 26, 2020 menulis, Universitas Oxford, bersama dengan perusahaan farmasi AstraZeneca tengah mengembangkan vaksin untuk Covid-19. Vaksin tersebut telah dipesan oleh Pemerintah Australia. Sayangnya, vaksin tersebut justru menuai kritikan keras dari 3 orang uskup senior Australia, lantaran memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. Pemerintah Australia sendiri pada Senin (24/8/2020) mengatakan, komunitas keagamaan tak perlu risau, karena tak ada masalah etis terkait vaksin yang sudah dipesan sebanyak 25 juta dosis itu. Vaksin Covid-19 milik AstraZeneca saat ini menjadi kandidat paling siap untuk diproduksi dan jadi rebutan banyak negara. Dalam proses pengembangannya itu mereka menggunakan sel-sel ginjal janin yang sengaja digugurkan. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, praktik seperti itu sendiri sudah biasa dilakukan dalam dunia medis. Namun, pada Kamis (20/8/2020), Uskup Agung Gereja Anglikan, Glenn Davies; Uskup Agung Sidney (Katolik), Anthony Fisher; dan pemimpin Gereja Ortodoks Yunani Australia, Uskup Makarios Griniezakis menyatakan keberatannya terkait vaksin Covid-19. Mereka mengirim surat kepada PM Australia Scott Morrison. Para uskup itu mengatakan, mereka mendukung adanya vaksin COVID-19, tetapi penggunaan “sel-sel janin sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat tidak bermoral.” Terlepas dari polemik para uskup Australia tersebut, apakah rakyat atau warga negara di Indonesia punya hak untuk menolak vaksinasi atau imunisasi, meski Pemerintah sudah mengeluarkan “Surat Perintah” vaksinasi Covid-19? Berhak Menolak Seperti disebutkan di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, Hak dan Kewajiban Pasien Pasal (52), pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran dan kesehatan mempunyai hak: 1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat (3); 2. Meminta pendapat dokter atau dokter yang lain; 3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4. Menolak Tindakan Medis, dan; 5. Mendapatkan isi rekam medis. Pasien bisa menyatakan menolak dilakukannya tindakan Vaksinasi atau Imunisasi padanya dengan alasan: Pertama, UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal ini terkait status kehalalan vaksin yang sudah diberitahukan oleh MUI bahwa vaksin pada anak belum bersertifikasi halal. Menjalani hidup dan kehidupan adalah pilihan, halal dan haram adalah ketentuan. “La iqraha fiddin”, tidak ada pemaksaan dalam agama apalagi untuk perkara duniawi. Kedua, UUD 1945 pasal 28G ayat 1, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi.” Jadi, setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman. Ketiga, UUD 1945 Pasal 28I ayat 1-2:(1),“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” (2), ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.” Keempat, Pasal 28b ayat 2: “Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan demikian, pasien atau rakyat berhak atas perlindungan dari intimidasi serta diskriminasi karena pilihan untuk tidak memberikan vaksin pada anaknya. Kelima, Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 dan UU Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 45, tentang informed consent, yaitu persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien. Di Indonesia, informed consent secara yuridis formal terdapat pada pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 Tahun 1988, dipertegas lagi dengan Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik/informed consent. Keenam, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 3 ayat 1, “Negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.” Ketujuh, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 45 ayat 1, “Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat sejak dalam kandungan.” Ini bentuk perlindungan rakyat atas status kehalalan dan keamanan vaksin dan perlindungan terhadap Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI), Efek Negatif Vaksin, Vitamin K Sintetis dan sejenisnya. Kedelapan, UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal, produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat islam yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kesembilan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur barang atau jasa yang bersifat halal. Kesepuluh, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang kewajiban memberikan perlindungan pada anak berdasakan asas-asas non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Kesebelas, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Hak-hak sipil meliputi hak hidup; hak bebas dari siksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat; hak atas praduga tak bersalah; hak kebebasan berpikir; hak berkeyakinan dan beragama; hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan orang lain; hak perlindungan anak; hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi. Keduabelas, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Mengenai status kehalalan vaksin yang ternyata belakangan dibantah oleh MUI dan Halal Watch. Mengenai kasus-kasus kejadian KIPI yang diinformasikan di media-media massa maupun media sosial dan penjelasan mengenai wabah. Ketigabelas, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, penjelasan pasal 5 ayat 1: bahwa upaya penanggulangan wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat, antara lain: agama. Status halal haram itu dalam agama Islam adalah hal yang essensial; Pasal 6: bahwasannya keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan wabah tidak mengandung paksaan. Keempatbelas, UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 5 ayat 2 dan 3, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan hak menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan baginya. Pasal 7, tentang mendapatkan informasi dan edukasi yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8, berhak mendapatkan informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan yang telah dan akan diterima dari tenaga kesehatan. Kelimabelas, Permenkes Nomor 12 Tahun 2017, pasal 26 ayat 2 poin b, pengecualian penyelenggaraan imunisasi program bagi orang tua/wali yang menolak menggunakan vaksin yang disediakan pemerintah. Keenambelas, Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016, ketentuan hukum, bahwa hukum imunisasi adalah mubah, kewajiban menggunakan vaksin yang halal dan suci. Sedangkan alasan darurat yang disyaratkan harus dengan fatwa ulama atau ahli terkait, Bukan Fatwa Dokter! Kewajiban pemerintah menyediakan vaksin halal dan melakukan sertifikasi halal kepada produsen vaksin sesuai dengan peraturaan perundang-undangan. Orang tua memang wajib memberikan dukungan pada program pemerintah, tapi pelaksanaan imunisasi itu tidak wajib, karena penceghan terhadap penyakit akibat virus atau bakteri bisa dilakukan dengan cara lain yaitu dengan meningkatkan antibodi. Terkait program vaksinasi untuk masyarakat yang mau menerimanya tersebut, maka kewajiban pemerintah untuk menjamin penyediaan vaksin yang Halal adalah “Mutlak”. Mereka wajib menyertakan alasan dan landasan hukum atas tindakan yang dipilih. Karena menolak, rakyat berhak pula menolak bentuk “Intimidasi” dan “Diskriminasi” serta menolak tindakan pemberian vaksin pada anaknya di luar sepengetahuannya. Dan, bila tetap dilakukan, maka rakyat bisa mengajukan Tuntutan Hukum baik terjadi Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dalam jangka pendek ataupun panjang, ataupun tidak. Serta jika terjadi KIPI pada anak mereka, maka semua pihak yang terkait harus membiayai seluruh terapi dan pengobatan saat dan pasca KIPI Seumur Hidup anaknya. Dan, bahwasannya anak-anak dan keluarga yang tidak divaksin maupun yang divaksin itu juga memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum, oleh karena itu rakyat menolak diskriminasi dan intimidasi atas keputusannya tersebut. Terakhir, yang perlu dicatat, hingga kini WHO juga belum menyatakan ketersediaan Vaksin Covid-19 hingga 2021. Penulis wartawan senior FNN.co.id

Gedung DPR Seperti Kuburan Baru Politisi

by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Ahad (03/01). Akhir-akhir ini kita sudah terbiasa mendengar kematian, pembubaran organisasi, kekerasan, kriminalisasi, perpecahan dan pembelahan dalam masyarakat. Ironisnya, ketegangan dan kengerian itu sunyi dibicarakan di gedung Lembaga legislatif. Gedung yang menjadi penyambung lidah rakyat itu seperti kuburan baru bagi politisi. Inilah yang disebut sebagai erosi demokrasi. Dimana setelah demokrasi dibangun di atas pengorbanan, darah, air mata, senjata dan kekerasan, kini berakhir pula dengan hal yang sama. Saat ini merupakan periodesasi "matinya demokrasi". Demokrasi yang menjanjikan kebebasan, kesetaraan dan hak asasi manusia, sepertinya hanya menjadi diskursus saat pemilu. Selesai itu demokrasi hanya milik kekuasaan. Ditengah rintihan kematian itu, krisis yang melanda bangsa. Kelaparan yang mengancam setiap orang. Namun gedung parlemen itu masih tetap sunyi seperti kuburan. Ketika orang mengadukan kesewenang-wenangan, hukum justru berbalik menyerang mereka. Seakan-akan hukum hanya tunduk pada pemilik senjata dan kekuasaan. Sepanjang periode tahun lalu, ketidakadilan dipertontonkan secara vulgar. Kualitas Wakil Rakyat Politisi parlemen seyogyanya dipilih oleh rakyat untuk “menggonggongi” kekuasaan. Mereka dipilih sebagai juru bicara rakyat. Mereka harus mengkritis kebijakan-kebijakan kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat. Posisi wakil rakyat itu menjadi sangat penting dan strategis dalam sistem demokrasi presidensialisme seperti Indonesia. Sebab politisi parlemen memiliki hak imunitas yang bisa memproteksi segala niat buruk kekuasaan terhadap tiap-tiap anggota Parlemen. Tetapi akhir-akhir ini, politisi bersenggama dengan kekuasaan melalui proyek-proyek yang dilakukan lewat Parlemen. Beralihnya profesi anggota dewan menjadi "pemain proyek" membuat garapan Lembaga Anti Korupsi di gedung parlemen semakin banyak. Durhakanya lagi, Wakil Rakyat telah memutuskan hubungan historisnya dengan rakyat setelah mendapatkan legitimasi politik dari rakyat. Justru politisi berdiri menggonggongi rakyat. Alasannya karena merasa diri sebagai representasi suara rakyat. Mereka telah ramai-ramai memproteksi dirinya dengan hak imunitas untuk menangkal kritik konstituen terhadap dirinya. Yang seharusnya imunitas itu untuk melindungi diri dari kekuasaan dalam aktivitasnya membela rakyat. Politisi yang dulunya mengemis kepada rakyat itu, kini tiba-tiba berubah menjadi ‘tuan’ yang tak bisa dipersalahkan atau dipersoalkan. Bahkan mereka lebih otoriter dalam berpikir ketimbang kekuasaan. Inilah arogansi politik yang dihasilkan dari sistem demokrasi. Kenapa bisa muncul politisi arogan seperti itu? Sebab, persekongkolan antara pemilik modal dan politisi tidak lagi menghasilkan politisi yang benar-benar berkualitas. Melainkan hanya melahirkan politisi yang tidak memiliki kualitas apapun. Inilah kemerosotan demokrasi yang sesungguhnya. Arogansi ini adalah mental otoriter. Dalam mental otoriter seperti itu, korupsi menjadi kebiasaan buruk keseharian elit politik, khususnya anggota dewan. Seperti orang-orang penting yang menjabat antara tahun 2014-2019 telah terjerat kasus korupsi sejumlah 23 orang. Sebagian adalah ketua Umum Partai seperti Setya Novanto dan Romahurmuzy. Keduanya merupakan ‘orang penting’ yang menjadi pesakitan karena korupsi. Karena kelakuan mereka, institusi DPR yang tadinya memiliki posisi yang kuat, akhirnya menjadi lemah. Sebab banyak politisi yang menjadi pengemis di kekuasaan setelah berhasil mendapatkan legitimasi rakyat. Mental Parlemen seperti ini yang akhirnya memperkuat posisi Presiden, dan dengan demikian Lahirlah Tirani Kekuasaan. Lemahnya Chek And Balances Setelah institusi yang melakukan pengawasan dan penyeimbang sudah berubah menjadi "jongos kekuasaan", maka eksekutif bertindak di luar kendali. Hukum dijadikan alat. Sementara bedil dan pentungan mengamankan tirani. Apalagi dalam sistem Presidensialisme, Eksekutif memiliki kekuasaan yang kuat dan besar. Dengan kekuasaan yang besar dan menggiurkan bagi siapa saja yang menjadi Kepala Eksekutif untuk melakukan tindakan yang melampaui hukum. Bukankah Polisi, Tentara, Jaksa dan lembaga-lembaga kementrian di bawah komando presiden? Kalau anggota Parlemen hanya sebatas "orang-orang kebetulan", maka tentu mereka tidak akan mengerti bahaya lahirnya pemerintahan yang otoriter. Lembaga Kehakiman yang diharapkan Independen pasti secara psikologis tidak akan berani berada di luar cengkraman rezim otoriter. Sebab hakim-hakim di Mahkamah dipilih oleh Eksekutif dan Parlemen. Jadi secara politik hubungan mereka sangat dekat. Hanya saja Konstitusi dan Perundang-undangan menyebut kekuasaan Kehakiman mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tetapi dalam transaksi kepentingan itu tidak berlaku. Lalu siapa yang akan mengawasi jalannya pemerintahan? Rakyat sendiri? Rakyat bisa saja menjadi oposan untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Namun ketika demokrasi sudah mulai meredup, kritik pun pasti akan dilarang oleh penguasa. Berulang-ulang dosen, mahasiswa, aktivis maupun masyarakat menyebutkan "kebebasan untuk berkumpul, berserikat, menyampaikan pendapat secara lisan maupun tertulis di jamin konstitusi". Capek mulut dan pecah telinga mendengarkannya. Itu hanya diskursus akademis. Berbeda dalam konteks politik kekuasaan, yang justru menjadi pembatas bagi siapa saja yang berbeda dengan kekuasaan. Karena itu dalam keadaan yang demikian, kita hanya dapat meraba-raba. Kematian apalagi yang akan terjadi selanjutnya? Kebiadaban apalagi yang akan dipertontonkan dihari-hari yang akan datang? Bagaimana Dengan Indonesia? Apa yang saya jelaskan diatas agak mirip dengan kasus yang terjadi di Indonesia. Sebuah negara Demokrasi terbesar yang sedang merosot menuju negara otoriter. Sebuah pemerintahan yang berdiri di atas kuburan 989 lebih petugas KPPS. Pemilu itu disebut oleh beberapa pihak sebagai pemilu brutal yang menewaskan banyak anak bangsa. Apabila membuat produk hukum, pasti bermasalah. Maka, dibalik produk hukum yang bermasalah itu, seperti UU KPK telah menewaskan 2 orang mahasiswa akibat melakukan protes terhadap perubahan UU tersebut. Kekerasan negara terhadap demonstran sepanjang tahun 2020 merupakan potret negara yang sedang memacu dirinya menjadi negara otoriter. Kritik dibungkam, protes ditindak dan semuanya itu berbau kekerasan negara terhadap warga sipil. Lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, menimbulkan reaksi besar dari semua kalangan. Namun pada akhirnya, meski Muhammadiyah dan organisasi masyarakat lainnya Menolak UU itu, tetapi tokh tetap saja disahkan dengan seribu satu macam dagelan dan kesalahan. Begitulah kalau DPR menjadi kuburan masal orang-orang hebat. Belum lagi masalah covid-19 yang telah merenggut nyawa 22 ribu nyawa masyarakat Indonesia. Meski ancaman Covid sangat dahsyat, namun tidak pernah mampu menghalau pilkada serentak 2020. Semua untuk memuluskan Jalan ya kekuasaan oligark yang telah bertengger menjadi mafia politik dan ekonomi. Sunyi suara Anggota DPR atas masalah-masalah yang terjadi. Tidak ada suara nyaring wakil rakyat terhadap kematian 6 orang yang diduga dibunuh secara sadis. Begitu tidak berharganya nyawa manusia dalam sebuah negara otoriter. Sunyi pula suara Anggota DPR ketika utang negara sudah mencapai Rp. 6.000 triliun. Sunyi pula anggota dewan terhadap penggunaan dana Covid-19 yang hampir mencapai Rp. 900 triliun. Bahkan sampai dikorupsi oleh Menteri Sosial. Mungkinkah ini karena anggota DPR juga kebagian? Kita tunggu saja. Kita sudah terbiasa dengan budaya membubarkan organisasi. Sudah dua organisasi yang dibubarkan hanya dengan pernyataan Menteri. Menteri sudah bisa melampaui hukum dan perundang-undangan. Sungguh berkuasa para menteri. Sehingga hanya dengan pernyataan bersama, nasib perkumpulan anak bangsa bisa dieksekusi dan dilarang. Lengkap sudah masalah yang kita hadapi. Tetapi inilah demokrasi. Setelah terpilih, demokrasi hanya milik kekuasaan dan rakyat tinggal menunggu nasib baik dan nasib buruk. Seperti kata Emha Ainun Nadjib, "di negara Komunis tidak boleh bicara,te tapi dikasih makan”. Sementara di negara kapitalis “bicara bebas, tetapi cari makan sendiri. Kalau di Indonesia, “bicara tidak boleh, cari makan masing~masing". Lengkap sudahlah menjadi warga negara Indonesia. Entah rezimnya siapa, Indonesia selalu menghadapi masalah yang serupa. Semoga kita semua masih kuat untuk menghadapi hantaman tahun 2021 ke depan. Wallahualam Bis shawab. Penulis adalah Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM & Ketua Pemuda Madani.

Pak Idham Azis Sebaiknya Jangan "Su'ul Khotimah"

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (03/01). Hanya dalam hitungan hari, Jenderal Polisi Idham Aziz akan memasuki masa pensiun. Tapatnya akhir Januari 2021 nanti Idham Azis akan meninggalkan semua kebesarannya sebagai Kepala Kepolisian Negara Rapublik Indonesia (Kapolri). Artinya itu sebentar lagi. Publik bisa menamaknnya tinggal menghitung hari. Sejak 1 Januati tahun 2021, jabatan Idham Azis sebagai kapolri sudah memasuki hitungan mundur terakhir (the final countdown). Biasanya orang selalu berdoa atau mendo’akan semoga berakhir dengan harapan "husnul khotimah". Artinya berakhir dengan yang baik-baik saja. Sebagaimana ketika mengawalinya juga dengan yang baik-baik. Teringat, sewaktu awal Pak Idam Azis menjabat sebagai Kapolri. Betapa besar harapan publik negeri ini tentang bakal datangnya perubahan kinerja Kepolisian di bawah kepemimpinan Pak Idham Azis. Sampai-sampai Dr. Margarito Kamis menulis opini di FNN.co.id. dengan judul “Bismillaahirrahim, Pak Idham di Puncak Polri” (FNN.co.id 03/11/2019). Margarito Kamis yang Ahli Hukum Tata Negara itu memulai tulisannya dengan mengutip Al-qur’an Surat Yasin Ayat ke-65 yang dijadikan Puisi oleh Pak Taufik Ismail. Ayat Qur’an ini kemudian menjadi inspirasi bagi alharhum Crisye untuk dijadikan sebagai syair lagunya. “Pada hari ini kami menutup mulut mereka. Tangan mereka akan berkata kepada Kami (Allaah), dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Akan datang waktu mulut terkunci, kaki bicara, dan tangan bicara. Tidak ada kata-kata. Margarito Kamis menaruh harapan besar ketika menjalani Fit and Profer Test di Komisi III DPR, Pak Idham memulai dengan mengutip Al-Qur’an Surat Al-An’am Ayat 162. “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah”. Pada bagian awal menjalani Fit and Profer Test, Pak Idham juga mengucapkan “hasbunallaah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nasir. Artinya, cukuplah Allaah menjadi penolong kami, dan Allaah adalah sebaik-baik penolong kami. Terlihat kalau Pak Idham hanya menghapkan pertolongan dari Allaah semata. Bukan pertolongan dari selain Allaah. Margarito menjelaskan bahwa kalimat-kali awal dari Pak Idham ketika menjalan Fit and Profer Test adalah pernyataan yang sangat berekelas dari seoran calon Kapolri. Jarang terdengar dari mulut calon pemimpin di era modern, yang sangat metrealis sekarang. “Kalimat-kalimat Pak Idham ini, sejauh fakta empiris yang bisa berbicara, harus dinilai dengan hal yang tidak biasa. Beda, dan memang sangat berbeda. Keyakinan religius ditampilkan sebegitu jelasn sebagai panduan, dan tuntunan pemandu dirinya memasuki puncak piminan Polri. Alhamdulillaah”, tulis Margarito Kamis. Tidak sampai di situ saja. Ustad Das'ad Latif seusai Rapim Polri 29 Januari 2020 berpesan kepada Kapolri baru bahwa dalam menangani unjuk rasa "jangan memukul kepala" karena siapa tahu di kepalanya ada hafalan Qur'an dan Hadits. Sementara Kapolri Idham pun titip pesan agar isi ceramah yang mengarahkan polisi dalam menangani aksi dilakukan dengan pendekatan yang humanis. Tidak menggunakan senjata api. Perkapolri No 7 tahun 2012 melarang tindakan aparat yang bersifat spontanitas dan emosional, mengejar secara perorangan, melakukan kekerasan dan penganiayaan, pelecehan dan melanggar HAM. Harapan perubahan di masa jabatannya Idham Azis itu nampak sirna. Dalam menangani unjuk rasa Omnibus Law contohnya, kekerasan terjadi terutama oleh satuan Brimob. Penangkapan aktivis oleh Polri terjadi dimana-mana. Lalu dalam menangani HRS dan FPI telah jatuh korban penembakan dengan tanda penganiayaan 6 anggota Laskar, yang dikenal dengan peristiwa atau tragedi pembunuhan di Kilomer 50. Diakui bahwa pelaku penembakan adalah aparat Kepolisian yang nampaknya masih dilindungi hingga kini. Polisi belum juga diumumkan siapa-siapa pelaku pembunuhan tersebut? Padahal dugaannya adalah pelanggaran HAM berat. Pada saat wacana panas soal calon pengganti Kapolri, justru Kepolisian mengalami gonjang-ganjing tindakan yang tidak humanis. Bukan lagi sekedar "tidak memukul kepala". Tetapi menembak dengan brutal dan sadis. Melibatkan anggota Polda Metro jaya. Hingga kini Bareskrim Mabes Polri dan Komnas HAM masih menyelidiki. Pasca pembubaran dan pelarangan FPI, Kapolri membuat maklumat yang dinilai berlebihan hingga mendapatkan protes dari masyarakat Pers. Dikomandoi oleh Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh, masyarakat Pers ramai-ramai menyampaikan protes kepada Kapolri. Aliasi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Forum Pemred, Asosiasi Media Ciber Indonesia (AMSI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan protes. Bni baru pertama kali masyarakat Pers kompak ramai-ramai menyatakan protes kepada Kapolri secara terbuka. Tentu saja ini sebuah catatan tentang kebebasan pers di akhir masa jabatan Kapolri yang kurang baik. Maklumat Kapolri itu dikritisi sebagai melanggar HAM dan perundang-undangan. Masyarakat Pers menganggap Maklumat tersebut membatasi kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers, dan MOU Dewan dengan Kapolri. Belakangan Kadiv Humas Polri Irjan Argo Yuwono mengklarifikasi penafsiran Malumat Kapolri, khususnya poin 2D. Argo Yuwono mrengatakan, “Maklumat Kapolri poin 2D tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi. Dikaluarkan Maklumat itu, artinya tidak untuk membredel berita pers”. FPI nampaknya oleh Kepolisian dijadikan sebagai target dengan langkah dan kebijakan hukum yang tidak adil. Terkesan seperti aktivis muslim diperlakukan sebagai "musuh negara". Sampai disini, Jenderal Polisi Idham Azis sedang diuji konsistensi akan tekad dan semangat untuk membangun kinerja Kepolisian yang lebih baik dan humanis itu. Husnul khotimah atau su'ul khotimah kah Pak Idham Azis di akhir masa jabatan yang tinggal menghitung hari itu? Masyarakat terus pemantau dalam hitungan mundur. We're leavin together. But still It's farewell ---it's the final countdown...(Europe) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pembunuhan KM-50: Masih Adakah Harapan Pada Komnas HAM?

By Asyari Usman Medan, FNN - Minggu (03/01). Beberapa hari lagi genap sebulan pembunuhan 6 anggota FPI dalam insiden KM-50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Pembunuhan ini sedang diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnash HAM). Kepolisian mengatakan aparat mereka menembak mati keenam warga negara Indonesia itu. Ada pertanyaan kunci: beranikah Komnas mengungkap pembunuhan ini secara transparan? Beranikan mereka membuat kesimpulan bahwa pembunuhan itu adalah pelanggaran HAM berat? Pada mulanya, Komnas HAM terkesan tidak takut membongkar pembunuhan ini apa adanya. Publik pun bersemangat. Keadilan akan tegak. Dan memang meyakinkan sekali manuver-manuver mereka. Komisioner Chairul Anam menjadi salah satu bintang Komnas. Dia menunjukkan isyarat bahwa Komnas akan mengurai tuntas pembunuhan KM-50. Komnas mengatakan mereka sudah mengumpulkan banyak bukti. Termasuk sejumlah proyektil dan selongsong peluru. Plus, banyak rekaman CCTV dari Jasa Marga. Rekaman itu tentunya terkait dengan kronologi pembunuhan. Komnas juga mengatakan sudah mewawancari banyak orang. Ada puluhan polisi dan warga sipil yang diperiksa Komisi. Initinya, Komnas HAM mempresentasikan di depan publik bahwa mereka akan mengungkap semuanya. Tidak akan ada yang ditutup-tutupi. Mungkinkah itu terjadi? Inilah yang perlu kita cermati. Suara-suara di masyarakat yang tadinya optimistis, sekarang mulai pesimistis. Pesimistis Komnas akan bertindak adil. Begitulah yang banyak disampaikan lewat media sosial. Publik tidak lagi berharap terlalu banyak pada Komnas untuk menuntaskan penyelidikan secara transparan kasus pembunuhan 6 anggota FPI. Apakah ada gelagat atau pertanda Komnas “tak sanggup” menuntaskan penyelidikan KM-50? Bisa saja itu terjadi. Gelagat pertama, ada semacam hambatan psikologis yang dialami oleh para komisioner Komnas. Hambatan psikologis itu kelihatannya bersumber dari ‘inferiority complex’ (perasaan lebih rendah) yang terkait dengan kekuasaan dan kekuatan institusional. Misalnya, Komnas HAM tidak punya struktur teritorial. Juga tidak punya kekuasaan besar meskipun setingkat dengan posisi kementerian atau lembaga setingkat kementerian. Sehingga terkesan tidak seram, tidak menakutkan. Berbeda dengan Kepolisian yang memiliki kekuasaan sangat besar. Berbagai macam hal bisa mereka lakukan. Sehingga, banyak orang yang takut berurusan dengan polisi. Seragam dinas, struktur dan atribut-atribut kepangkatan di kepolisian bisa membuat orang merasa lebih rendah dari polisi. Jangan-jangan para komisioner Komnas HAM pun merasa begitu. Hambatan psikologis berupa ‘inferiority complex’ di kalangan para komisioner Komnas itu hampir pasti akan memancarkan rasa takut. Termasuk takut kalau hasil penyelidikan mereka akan memojokkan Kepolisian. Gelagat kedua adalah tindakan Komnas membuat klarifikasi tentang “rumah penyiksaan”. Sempat viral berita bahwa Komnas menemukan “locus delicti” (TKP) berupa tempat penyiksaan para anggota FPI sebelum mereka ditembak mati. Komnas kemudian membantah. Mereka mengatakan pihaknya tidak pernah menemukan atau pun menyebut “rumah penyiksaan”. Bantahan dari Komnas itu mengindikasikan bahwa mereka sensitif sekali dengan isu ini. Seolah-olah ada yang menghendaki agar “rumah penyiksaan” itu tidak masuk dalam daftar bukti. Sebetulnya, Komnas tidak perlu membantah. Cukup mereka persilakan publik menunjukkan dan menyelidiki “locus delicti” yang dimaksud. Jika masyarakat tidak bisa menghadirkan bukti itu, maka kabar tentang “rumah penyiksaan” akan terbantah dengan sendirinya. Gelagat ketiga adalah posisi Komnas HAM yang enggan berkeras untuk membentuk tim pencari fakta independen (TPFI). Sangat aneh sikap yang ditunjukkan oleh Komnas. Sebagai lembaga yang mandiri dan dilindungi oleh UU, para komisioner Komnas tidak perlu takut. Dari sisi politik dan konstitusional, Komnas HAM memiliki basis dukungan dan landasan yang kuat. Sangat mungkin gelagat-gelagat berikut akan muncul satu per satu di babak-babak selanjutnya. Karena itu, masih adakah harapan pada Komnas HAM untuk menyelidiki tuntas pembunuhan KM-50?[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (4)

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sabtu (02/01). Apa yang sebenarnya terjadi di Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek? Mengapa sampai ada keterangan yang berbeda saat Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran melakukan jumpa pers, Senin (7/12/2020) dengan rekonstruksi Bareskrim Polri? Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Polisi Andi Rian Djajadi, empat Laskar FPI yang diamankan di TKP ketiga, yakni Rest Area KM 50 Tol Japek dalam perjalanannya melakukan perlawanan dan hendak merebut senjata aparat kepolisian. Seperti dilansir Okezone,com, Senin (14 Desember 2020 06:04 WIB), oleh sebab itu, aparat melakukan tindakan tegas dan terukur ketika pelaku mencoba merebut senjata milik polisi di dalam mobil. Hal tersebut diungkapkan Brigjen Andi usai rekonstruksi kasus penyerangan oleh Laskar FPI kepada polisi di Tol Japek, Senin (14/12/2020). “Bahwa TKP 4 ini adalah kelanjutan TKP 3, kami lihat akhir dari kegiatan atau adegan TKP 3,” ungkapnya. “Itu 4 pelaku yang masih hidup diamankan ke mobil dengan tujuan dibawa penyidik untuk ke Polda Metro Jaya. Dalam perjalanan tidak jauh jaraknya dari KM 50 sampai 51+200 terjadi penyerangan, pelaku mencoba merebut senjata anggota,” lanjut Brigjen Andi. “Dari situlah terjadi upaya dari penyidik yang ada dalam mobil untuk melakukan tindakan pembelaan, sehingga keempat pelaku di dalam mobil semuanya mengalami tindakan tegas dan terukur dari anggota yang ada dalam mobil,” ungkap Brigjen Andi. Dalam rekonstruksi ini, di TKP 1, di depan Hotel Novotel, Jalan Karawang Internasional, ada 9 adegan. Di lokasi 2 yakni, selepas bundaran Jalan Karawang Internasional hingga Gerbang Tol Karawang Barat arah Cikampek ke Rest Area KM 50 ada 4 adegan. Sedangkan di Rest Area KM 50 yang menjadi TKP 3 penyidik melakukan rekonstruksi 31 adegan. Di TKP terakhir yakni, Tol Japek selepas Rest Area KM 50 hingga KM 51 200, penyidik memperagakan 14 adegan. Awalnya petugas yang mengamankan 4 Laskar FPI itu hendak membawa ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada proses itu, polisi tidak memborgol pelaku hanya sebatas meletakkan mereka di kursi tengah dan belakang mobil. “Mereka dalam keadaan tidak diborgol mereka ditaruh di belakang kemudian satu lagi dibiarkan duduk di bagian tengah,” ujar Brigjen Andi. Ia mengukapkan, setelah dilakukan tindakan tegas dan terukur, alhasil aparat kepolisian langsung membawa anggota Laskar FPI tersebut ke Rumah Sakit (RS) Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. “Setelah kejadian ternyata dalam kondisi luka langsung dibawa ke RS Kramat Jati,” ujar Brigjen Andi. Jika menyimak Kapolda Fadil Imran dalam jumpa pers pertama, Senin (7/12/2020), maka dapat disimpulkan, bahwa TKP itu berada di Rest Area KM 50 Tol Japek. Ini merujuk pada definisi TKP: adalah tempat di mana suatu tindak pidana dilakukan atau terjadi dan tempat-tempat lain di mana tersangka dan/atau korban dan/atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan. TKP Hilang Ada yang dirasa janggal setelah penembakan Laskar FPI, khususnya di Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Polisi tidak menutup dengan police line seperti pada umumnya jika terjadi suatu peristiwa. Padahal, garis polisi ini sangat penting. Karena, di KM 50 itulah “tembak-menembak” antara polisi dengan laskar FPI, seperti versi polisi, terjadi hingga menyebabkan 2 laskar FPI tewas, termasuk 4 laskar lainnya yang sudah menyerah dan dibawa polisi meninggalkan Rest Area KM 50. Biasanya, olah TKP dimulai dari persiapan, penangananTKP, perjalanan ke TKP, Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TP-TKP). Olah TKP yang terdiri dari pengamatan umum, pemotretan,pembuatan sketsa, pengumpulan barang bukti, penanganan korban, saksi, dan pelaku, pengorganisasian olah TKP, dan yang terakhir penanganan TKP. Tapi, itu semua tidak dilakukan oleh pihak kepolisian pada saat itu. Tahu-tahu dalam jumpa pers telah ada barang bukti berupa pedang dan pistol yang disangkakan sebagai pemilik dari korban (laskar FPI). Sebagaimana dipahami secara umum bahwa jalan tol adalah jalan bebas hambatan, sehingga siapa pun yang melakukan penghadangan di jalan tol itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hukum. Aparat kepolisian itu tidak seharusnya berada di jalan tol dengan beberapa unit kendaraan, apalagi merencanakan penyergapan itu pada rombongan HRS secara khusus seolah mereka adalah teroris dan bandar narkoba kelas kakap. Sekali lagi tidak mungkin tidak, direncanakan, apalagi sejak sore hari polisi sudah berada di sekitar lokasi TKP dan itu berarti bukan pihak korban yang mencari masalah melainkan polisi yang berupaya menghentikan kendaraan rombongan HRS. Jika dicermati dari beberapa keterangan saksi, hasil investigasi wartawan Eddy Mulyadi dan TEMPO serta uraian Munarman dapat diambil kesimpulan bahwa 4 orang yang dinyatakan masih hidup saat dibawa pergi tetapi tidak dibawa ke kantor Polisi untuk dilakukan introgasi, proses verbal atau pengumpulan keterangan dari mereka. Mereka dibawa polisi di suatu tempat dan diekskusi mati disitu. Dan, ini justru sama dengan upaya pembunuhan terhadap korban yang dilakukan polisi, lebih-lebih polisi telah menyalahi prosedur penangkapan korban yang disangkakan polisi. Penembakan polisi terhadap para korban adalah bentuk pembantaian mengingat banyak luka tembak pada korban dan bekas penganiayaan dilakukan polisi. Ini jelas sangat bertentangan denganUU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ini jelas bahwa polisi telah melakukan pembunuhan berencana yang diatur dalam pasal 340 KUHP. Ini juga menjawab bahwa di TKP KM 50 tidak ada tembak-menembak. Yang ada, setidaknya ada 19 luka tembak di 6 tubuh korban disertai penganiayaan. Polisi tidak bisa menjelaskan ke mana 4 korban yang masih hidup ketika itu dibawa setelah ada 2 orang ditembak di TKP KM 50 dan apa saja yang mereka perbuat terhadap laskar FPI pengawal HRS itu. Semua peristiwa terkait penyergapan dan penembakan di Rest Area KM 50 Tol Japek pada laskar FPI itu terekam di CCTV setempat. Apakah Komnas HAM sudah punya rekamannya atau minimal melihatnya. Siapa yang menyimpan rekaman CCTV di Rest Area KM 50 itu, hanya polisi dan PT Jasa Marga selaku pengelola Tol Japek yang tahu. Apalagi, setelah rekonstruksi pada Senin, 14 Desember 2020, mulai Minggu (20/12/2020), TKP ini “ditutup”. ”Mulai kemarin Rest Area KM 50 kami relokasi,” kata Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga, Dwimawan Heru, Selasa (22/12/2020). Penutupan Rest Area KM 50 Tol Japek ini dilakukan mulai 22 Desember 2020 secara permanen. Jasa Marga menyebut sejak dioperasikannya Jalan Tol Japek Elevated pada Desember 2019, khususnya pada masa liburan, kerap terjadi kepadatan di Jalan Tol Japek, arah Cikampek, pada ruas antara KM 48 – KM 50. “Hal ini disebabkan pada lokasi tersebut terjadi pertemuan arus lalu lintas yang baru keluar atau turun dari Jakarta-Cikampek Elevated, bertemu dengan arus lalu-lintas yang melintas di Jakarta-Cikampek bawah di wilayah Karawang Barat,” kata Dwimawan Heru. Kepadatan pada lokasi tersebut, ditambah dengan adanya kendaraan yang keluar-masuk Rest Area yang terletak di KM 50 A. Aktivitas tersebut menimbulkan antrean yang mengganggu arus lalu-lintas di jalur utama Jalan Tol Japek. Mencermati hal tersebut, Korlantas Polri melalui suratnya pada 6 Februari 2020 meyarankan penutupan Rest Area KM 50 A dan melakukan pelebaran jalur jalan tol mulai KM 48 – KM 50. “Hal ini diperkuat lagi dengan instruksi Badan Pengatur Jalan Tol melalui suratnya pada 20 Maret 2020, terkait hal yang sama,” kata Dwimawan Heru. Mengapa penutupan dilakukan dua pekan setelah peristiwa penembakan pada 6 laskar FPI? Mengubah TKP, menurut aturan hukum, itu sama halnya dengan “menghilangkan” TKP dan masuk kategori melanggar hukum, karena termasuk sebuah kejahatan! (Bersambung) Penulis wartawan senior FNN.co.id ***

Kemewahan Terakhir Rakyat

by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Jum’at (01/01). Demokrasi, dengan berbagai instrumen yang melekat di dalamnya adalah kemewahan tunggal. Juga kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia. Demokrasi tak melihat stratifikasi dan kelas ekonomi. Pandangan politik, juga tak bisa jadi argumentasi untuk menegasi hak-hak berdemokrasi. Bahkan, dalam pergumulan dan dinamika politik itulah, demokrasi dituntut merefleksikan nilai dan esensi. Demokrasi adalah satu-satunya mahkota yang secara sah diwariskan, dan bebas digunakan oleh setiap anak bangsa yang telah merdeka ini. Terdistribusi merata. Tidak timpang, seperti terjadi di sektor ekonomi akibat kegagalan kebijakan. Semua punya hak yang sama atas demokrasi. Tak ada yang bisa mengklaim sebagai pemilik tunggal. Apalagi merasa paling otoritatif mengangkangi demokrasi. Bahkan kekuasaan itu sendiri, harus taat dan tunduk pada rambu-rambu demokrasi. Bila ada unsur di dalam suatu negara hukum yang merasa paling punya kewenangan menafsir dan menghegemoni demokrasi, maka pada saat itu demokrasi kita sesungguhnya sudah roboh. Demokrasi tidak memberikan pedang kepada pranata kekuasaan untuk mengamputasi kelompok, atau organisasi yang secara sepihak ditafsir “berbahaya”. Ada proses pengadilan yang harus ditempuh. Ada rambu-rambu hukum yang jelas mengatur. Penggunaan kekuasaan dengan serampangan, justru amat berbahaya bagi bangsa ini ke depan. Siapapun, jadi punya argumentasi untuk membubarkan kelompok-kelompok yang secara subyektif divonis berbahaya. Kita akan disibukkan saling melabeli. Ini tidak sehat. Semestinya, nafas demokrasi bergemuruh dengan dialog. Demokrasi Pancasila, mengajak kita duduk bersama. Menuntun bermufakat dalam hal-hal yang kita sepakati. Bertoleransi dalam silang pendapat. Bukan malah menggebuk mereka yang tidak sepakat. Lagipula, sikap over protective justru mencerminkan rasa rendah diri. Negara jangan dijebak seolah mengidap inferiority complex. Gamang atas keyakinan sendiri. Tidak percaya, bahwa ideologi yang dianut jauh lebih baik dibanding ideologi yang dilabeli “berbahaya”. Kalau sudah seperti ini, lantas siapa sebetulnya yang secara praktik memosisikan negara, bangsa, dan ideologinya lemah? Terus terang, kita merasa cemas. Kebatinan kita sebagai anak bangsa terganggu. Ketika anasir-anasir yang mendegradasi demokrasi terus difestivalisasi. Diglorifikasi sebagai kemenangan atas sebuah perang akbar. Lalu disambut dengan sorak sorai semu dari para buzzer politik. Tanpa punya pijakan aspirasi yang lahir dari kesadaran. Partai politik koalisi tambun, seharusnya lebih dari cukup sebagai modal membangun rasa percaya diri. Modal politik itu, mestinya mampu menopang konfidensi. Tak resah. Apalagi sampai terus meniupkan propaganda bahwa bangsa terancam karena dengung vokal kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam beraspirasi. Ancaman laten yang sesungguhya mendera bangsa ini adalah kemiskinan, ketimpangan ekonomi antar kelas yang parah, dan krisis multi dimensi akibat kegagalan menangani pandemi Covid-19. Mempersempit ruang kebebasan sipil, apalagi ada wacana mengaktivasi patroli siber. Justru kian jauh menyeret bangsa ini ke periode gelap otoritarianisme yang telah kita kubur di masa lalu. Jalan mundur kehidupan demokrasi bangsa Indonesia bukan sebatas isu. Tapi telah jadi fakta empirik. Disoroti berbagai lembaga global pemerhati demokrasi. The Economist Intelligence Unit’s Democracy Index yang dirilis Januari 2020 misalnya, menempatkan demokrasi Indonesia di urutan 64 dari 167 negara yang diteliti. Bandingkan dengan negeri jiran, Malaysia yang kerap disebut-sebut “belajar berdemokrasi” dari kita, situasinya justru lebih baik. Jauh di atas Indonesia, yaitu di posisi 43. Indeks demokrasi EIU itu, tidak asal-asalan disusun. Namun mengacu pada 60 indikator yang kemudian dikluster ke dalam lima isu utama. Termasuk tingkat partisipasi dalam politik. Yang dalam beberapa studi empiris, ditemukan, jika partisipasi dan pilihan politik masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau melek politik, serta kondisi ekonomi. Artinya, indeks demokrasi tersebut, merefleksikan situasi kehidupan masyarakat di bawah. Penilaian The Economist itu, melengkapi berbagai alat ukur terhadap progres atau langkah suatu bangsa. Termasuk Human Development Index yang secara reguler dirilis oleh United Nations Development Programme. Indeks Pembangunan Manusia dari PBB. Yang sama mencemaskan, rendahnya mutu demokrasi dan pembangunan bangsa Indonesia yang disajikan tersebut, terjadi sebelum krisis multidimensi terjadi. Sementara pandemi Covid-19, telah mengoyak tatanan kehidupan bangsa. Artinya, bila ada studi baru yang menyigi kehidupan kebangsaan kita hari ini, hampir bisa dipastikan semua indikator mendapatkan nilai merah. Kembali ke soal isu demokrasi, HAM dan kebebasan. Pandemi Covid-19 betul-betul dimanfaatkan untuk memuluskan berbagai agenda, yang dalam situasi normal sulit diimplementasikan. Covid-19 seolah dianggap sebagai alat legitimasi. Paling baru adalah UU Omnibus Law yang disahkan atas nama investasi dan pemulihan krisis ekonomi. RUU Omnibus Law itu, kita saksikan mendapat badai protes yang bergelombang. Berbagai elemen masyarakat tumpah ruah di jalan. Menuntut penolakan dan pembatalan. Namun aspirasi yang mestinya diserap dalam proses legislasi negara demokrasi yang sehat, justru dikesampingkan. Ada apa ini? Yang menyedihkan, gelombang aspirasi itu bahkan memakan banyak tumbal. Menurut Amnesty Internasional Indonesia, 402 orang jadi korban kekerasan aparat dalam demo penolakan UU Omnibus Law. Ini persis yang diingatkan oleh Harvard University. Sebuah artikel yang terbit di laman resmi kampus terkemuka itu menyebut, pemerintahan otoriter di berbagai negara, yang hampir bisa dipastikan secara ekonomi disetir oleh oligarki dan konglomerasi, tampak terburu-buru mengesahkan banyak aturan. Aji mumpung. Selagi perhatian rakyatnya tersedot ke persoalan Covid-19. Situasi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ini saja, telah jauh mendegradasi kehidupan bangsa ini. Indonesia, seperti nada khawatir yang ditulis oleh Harvard University terhadap praktik otoriter di tengah-tengah bencana, ditengarai akan mengalami kehidupan demokrasi yang berbeda yakni semakin jauh dari harapan setelah pasca Covid-19. Dengan kata lain, Indonesia semakin dekat dengan apa yang disebut oleh The Economist sebagai hybrid regime. Rezim hibrida. Dimana penguasa menganut politik campuran sebagai akibat dari transisi yang tidak selesai dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Rezim hibrida menggabungkan fitur-fitur otokrasi berdasarkan kekuasaan otoritarian dengan fitur demokrasi. Anasir-anasir demokrasi tampak digunakan. Namun justru untuk melanggengkan praktik otokrasi. Misalnya memakai stempel legislatif untuk mengesahkan UU, meski ditolak oleh rakyat. Dalam bahasa lain, hal ini merupakan refleksi menguatnya oligarki. Ruling oligarchy. Seperti istilah yang diintrodusir oleh Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, Amerika Serikat. Penulis adalah Senator Dewan Perwakilan Daerah.

Ahli Hukum Itu Ternyata Jongosnya Nazi

by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Jum’at (01/01). Ketika rezim demokratis mulai produktif dengan kebijakan represif, maka setiap orang dalam negara itu harus mulai membuka lembara-lembaran memorial untuk lebih cermat dan teliti. Sejarah menunjukan rezim-rezim teror, penindas bengis dan jijik, lahir dari alam demokrasi. Demokrasilah yang melambungkan Adolf Hitler. Pria inferior, yang sempat diragukan kemampuannya oleh eksekutif I.G Farben. Memasuki kekuasaan setelah Nazi memenangkan pemilu legislatif, Hitler dengan bantuan ahli hukum yang bersedia menjadi jongosnya, memukul habis demokrasi itu. Korporasi Yang Biayai Hitler Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), atau National Socialist German Workers' Party, dikenal umum Partai Nazi. Partai ini mengawali evolusinya melalui apa yang dikenal dengan Deutsche Arbeiterpartei (DAP). DAP eksis pada tahun 1920. Partai ini diprakarsai oleh para nasionalis Jerman, dan pekerja dengan kultur paramiliter. Spirit utama mereka, sederhana saja, “melawan komunis di Jerman pasca perang dunia pertama”. Spirit ini ternyata membawa Nazi, dengan Adolf Hitler, pria inferior ini menggenggam kekuasaan dan menjadi penindas paling sistimatis, kejam, bengis dan menjijikan terhadap rakyatnya. Menurut Charles F. Andrian, para pendukung Hitler itu berharap dapat memperoleh keuntungan dari persenjataan kembali Jerman. Selama berkuasa, program-program Nazi, juga Fasisme Italia, tulis Andrian, cenderung menguntungkan para pemilik tanah luas, dan industriawan besar. Siapa saja industriawan dan korporasi besar itu? Robert Simon Yavner, dalam artikel I.G Farben’s Petro-Chemical Plant and Concentration Camp at Auschwitz, menunjukan Frizt Haber dan Carl Boch (Haber-Bosch). Tahun 1916 mengambil alih BASF, Bayer, Hoescht, Cassela, Agfa, Griesheim dan ter-Mer. Tahun 1925 korporasi-korporasi ini dimerger. Terbentuklah I.G Farbenindustrie Aktiengesellschaff, yang dikenal dengan nama “I.G. Farben”. Bagaimana mereka mendekatkan, bahkan mengendalikan Hitler? Pemilu untuk Reigstaat tahun 1932 membawa partai Nazi memperoleh 230 kursi dari 608 kursi. Belum mayoritas. Tetapi itu sudah terbesar. Jumlah kursi itu menjadi politik Hitler memasuki kekuasaan. Presiden Jerman, Hindenberg, segera mengangkat dirinya (Hitler) menjadi Chancelor. Hitler belum benar-benar aman, sekalipun telah menjadi Chancelor. Didepan matanya akan berlangsung pemilihan Reigstaat yang lain. Pemilihan yang akan berlangsung pada tanggal 5 Maret 1933. Hitler berambisi memenangkannya. Bagaimana caranya? Herman Gorring, pencipta Gestapo, polisi rahasia Nazi, dikenal sangat kejam. Gorring yang bekerja berdasarkan panduan polotik Hitler, dan bukan hukum segera beraksi. Soal GESTAPO akan diulas pada kesempatan lain. Gorring segera mengadakan pertemuan rahasia dengan Hjalmar Schacht, salah seorang dari komunitas korporasi financial kala itu. Pertemuan ini berlangsung pada tanggal 20 Februari 1933. Gorring berharap akan memperoleh donasi dari komunitas ini sebesar tiga juta Reichmark untuk kepentingan Hitler memenangkan pemilu legislatif itu. Tercapaikah uang sebesar itu? Yavner menulis George von Cshnitzler, anggota dewan direksi dan direktur pemasaran I.G Farben, segera memperoleh instruksi dari Carl Bosch. Kepadanya, Bosch memerintah memberikan donasi sebesar 400.000 Reichmark. Hitler telah dibeli I.G Farben, dan menemukan diri berhutang untuk sebuah kemenangan Pemilu Legislativ pada I.G. Farben. Semuanya telah menjadi jelas untu Hitler dan I.G Farbenm. Hitler segera menggelar pertemuan rutin dengan I.G. Farben. Politik berbicara dengan tipe korup yang khas. Herman Schitz, orang I.G Farben segera diberi jabatan oleh Hitler sebagai deputi Reighstag, November 1933. Buetefisch, orang I.G. Farben lainnya segera bergabung dengan Gestapo, yang kala itu dipimpin oleh Heindrich Himmler. Begitulah kenyataannya. Oligarki dan korporasi milik orang kaya bekerja, yang isi kepalanya hanya uang dan untung. Mereka selalu mendekatkan diri pada pemerintah. Selalu menguasai dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk keuntungan mereka. Begitulah mereka, dimanapun. Mereka adalah kelompok manusia yang suka pada represi. Menjadi Jongos Nazi Hitler telah menggenggam kekuasaan sejak tahun 1933. Apa yang pertama dilakukan Hitler untuk meciptakan tatanan sosial politik dalam rangka melancarkan ambisi menjijikan itu? Hitler bukan ahli hukum. Dia tak mengerti hukum. Tetapi dia hanya merealsaikan ambisi horornya. Langkah pertamanya hanya dengan menangani hukum terlebih dahulu. Hukum, tepatnya sistem hukum langsung digarap. Diawali dengan membentuk Anabling Act 1933. Soal Anabling Act ini tidak akan saya ulas lagi. Hitler tahu ada orang yang ambisius. Yang pikiran dan sikapnya selalu konyol. Sikap seperti jongos, yang bersedia melayani Nazi. Salah besar kalau mengidentifikasi dua ahli hukum saja yang menyediakan dirinya menjadi jongos Nazi. Sekali lagi itu amat salah. Itu karena tidak mungkin membayangkan pengadilan Nazi dan Kementerian Kehakiman diisi oleh orang non hukum. Gustav Rudbruch, Carl Schimitt dan Hans Frank, harus diakui, dengan bobotnya yang berbeda, memainkan peran menentukan dalam pembentukan sistem hukum Nazi. Gustav dan Schimitt, sering disebut Schimittian untuk menunjuk pikiran-pikirannya adalah filosof. Sedangkan Frank, anak muda ini, adalah praktisi yang terlatih. Schmitt menyediakan fundasi filsafat untuk menjustifikasi nilai-nilai baru. Nilai yang selaras dalam esensi dan tampilan dengan visi Nazi, yang berpusat pada Hitler. Schmitt, anggota Privy Counsel, Ketua Reichfachgroupee, dan profesor pada Federasi Ahli Hukum Nazi, membuat “Dasar-Dasar Baru Penegakan Hukum”. Salah satu prinsip bentukan Profesor pencipta konsep “Total State”, yang kelak dikenal dengan sebutan “totalitarian state” ini adalah “penegakan hukum bersifat langsung dan dikontrol secara eksklusif, dengan cara menerapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum”. General Clause, itu bukan undang-undang. Tetapi nilai dominan bangsa. Schimitt mengonsepkan nilai ini, dalam kerangka “Total State”. Nilai ini dilukiskan olehnya sebagai nilai homogen rakyat. Nilai yang kerangka kerjanya bersifat absolute dan otoritatif. Itu adalah personifikasi pada Fuhrerr, Hitler. Hakim, dalam prinsip General Clause ini, tidak bisa menggunakan silogisme. Ini mutlak. Tak bisa ditawar-tawar dengan alasan apapun itu. Hakim tidak diberi diskresi dalam memutus perkara. Hakim terikat pada idiologi Nazi. Pengadilan dipersonifikasi pada Hitler, dengan akibat yang jelas. Curt Rothemberg misalnya menjelaskan hakim yang kata-katanya dan sikapnya berbeda dengan Nazi, dihukum. Ide Recshtaat tentang konsep hukum, oleh Schimitt tidak dihubungkan dengan hakikat ide Rechstaat itu sendiri. Karena tradisi kebebasan burjois. Jadi sejak itu ide Rechstaat atau rule of law mengesampingkan human being, baik sebagai individu maupun sebagai asosiasi. Schimitt tersohor dalam politik sebagai pemikir, dan penyedia argumen filosofis untuk menjustifikasi ide-ide Hitler. Berbeda dengannya, Hans Frank, anak muda energik dan ambisius, yang telah mengenal Hitler sejak tahun 1928, memainkan peran teknokratis yang hebat. Diminta Hitler menjadi lawyer untuk anggota Nazi yang dituduh dan disidang pada tahun 1927-1930, Hans Frank membangun relasi dengan Hitler. Membentuk organisasi untuk Nazi Lawyer pada tahun 1928, Hans segera dipakai Hitler menjadi pembela atas tiga orang tentara Jerman yang disidangkan di Leipzig Reichwahr. Orang-orang ini dituduh melakukan high treason (penghianatan tingkat tinggi). Cerdas, Frank memberi Hitler panggung. Hitler diundang Frank ke pengadilan menyampaikan pidato dalam sidang itu. Hitler menggunakan kesempatan itu. Nasib, semua usaha pembelaannya, termasuk pembelaan Hitler, tidak mampu membebaskan ketiga terdakwa. Tetapi kesempatan itu telah sangat berguna untuk Hans Frank. Dia telah memperoleh simpati hebat dari Hitler. Hasil mengagumkan pun menanti pasti. Frank segera tertakdir sebagai ahli hukum utama Nazi, (Premier Nazi Lawyer). Hal-hal hebat lain pun segera mendatangi Hans. Hans segera diminta Hitler menjadi pengacara pribadinya, dan pada waktunya Hans diangkat Hitler memimpin pembentukan sistem hukum Nazi. Melukiskan dirinya sebagai manusia dengan ambisi besar, yang memiliki kemampuan pemimpin Jerman suatu hari kelak. Hans segera bekerja menanganai sistem hukum, berdasarkan perintah Hitler. Hans, pria ambisius ini punya dua strategi pembentrukan system hukum Nazi. Kedua strategi itu, disebut Cintya Fountanine, dalam Complicity in Perversion of Justice: The Royal of Lawyer Eroding the Rule of Law in the Third Reich, dimuat dalam Jurnal St Mary’s Journal on Legal Malpractice and Etics Vol 10. Nomor 2, 2020 adalah “purging and coordinating”. Esensi strategi “purging” tidak lain selain membersihkan organisasi pengacara Jewish Lawyer, Sosial Democrat Lawyer dan Communist Lawyer. Organisasi BNSDJ, dibersihkan dari tiga kelompok itu. Pada saat yang sama Law for Restoration of Profesional Civil Service diberi mandate membersihkan organisasinya dari semua Jewish (Yahudi), Social Democrat, hakim-hakim yang secara politik tak dapat dipercaya, Jaksa, dan para dosen progresif di Universitas, dibersihkan. Mandat itu menakutkan. Karl Linz, Ketua Federasi Hakim, benar-benar takut. Linz menghawatirkan keamanan kerjanya. Dia segera bertemu Hitler. Tetapi dengan cerdik Hitler malah memberi jaminan terhadap independensi hakim, jaminan khas orang mabuk kekuasaan. Strategi itu bekerja dengan cara yang sama mematikan, juga terlihat pada strategi kedua “coordinating”. Sebagai bagian integral dari strategi membangun sistem hukum Nazi, strategi kedua ini menancapkan pengendalian. Cerdik, setelah ahli hukum dari kalangan Yahudi, Social Demokrat dan Komunis dibersihkan dari organisasi pengacara, strategi kedua mengambil bentukl kongrit lainnya. Organisasi Pengacara yang telah dibersihkan dari unsyur Yahudi, Sosial Demokrat dan Komunis, ditransformasi ke dalam kontrol penuh Menteri Kehakiman yang diberi kewenangan melaksanakan transormasi itu. Dia diberi wewnang membuat semua aturan dalam menata sistem hukum. Ini terjadi tahun 1934. Pembaca FNN.co.id yang budiman. Bagaimana melihat Hans Frank, dalam implementai strategi ini. Memang tidak djelas. Tetapi Hans Frank telah diangkat Hitler menjadi Wakil Menteri Kehakiman, tanpa portofolio. Tahun 1936, Kementrian Kehakiman menerbitkan Code Etik pengacara, yang materinya merupakan penjabaran dari doktrin Nazi, yang berasal dari Hitler. Visi Hitler mengenai sistem hukum sangat jelas. Kepentingan negara berada di atas kepentingan klien. Pengacara harus merealisikannya. Kewajiban profesional Lawyer, dalam visi itu sangat jelas. Harus merepresentasi, mendahulukan kepentingan negara. Visi ini mencapai kesempurnaan pada tahun 1939. Jerman, dengan Nazi yang dipandu Hitler, jelas pada semua aspek. GESTAPO, polisi rahasia dengan cara joroknya mematai-matai, mengawasi, menangkap, dan menjebloskan siapa saja yang berbeda haluan politik dengan Nazi di Kamp Konsentrasi. Tak ada proses peradilan, apalagi fair. Jorok sekali. Itulah hasil kerjas ahli hukum jongos terhadap sistem hukum Nazi. Schimitt Hans Frank, dan Menteri Kehakiman, telah menulis hari esoknya dengan cara itu. Rakyat, khususnya Yahudi, Komunis dan Sosial Demokrat terkapar. Bagaimana dengan para oligarki yang menjadi cukong-cukong Hitler? Mereka selalu berjaya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Harapan Awal Tahun 2021, Membangun Kecerdasan Politik Rakyat

by Farouk Abdullah Alwyni Jakarta FNN – (01/01). Mengawali awal tahun 2021 ini kita disajikan oleh pertunjukan politik unik Indonesia, ketika Sandiaga Uno diangkat menjadi Menteri di Kabinet Jokowi. Dengan masuknya Sandiaga ke kabinet pemerintahan Jokowi, maka lengkaplah sudah satu pasang Calon Presiden dan Wakil Presiden (Prabowo-Sandi) dari kubu lawan pasangan dengan Jokowi-Ma’ruf. Prabowo –Sandi masuk menjadi anak buah pasangan Jokowi’Ma’ruf yang memenangi pemilihan Presiden 2019. Padahal awalnya Prabowo-Sandi tidak menerima kemenangan sang calon Jokowi-Ma’ruf Amin. Sehingga Boleh dibilang proses politik yang terjadi tersebut adalah pendidikan politik yang paling unik dalam konteks internasional negara demokrasi modern. Sejarah baru dari proses demokrasi Indonesia telah dimulai, sejak pemilihan presiden yang langsung dipilih rakyat tahun 2004. Dalam satu sisi yang terjadi itu mungkin disebut ingin meminimalkan gesekan politik yang terjadi sewaktu proses pilpres berlangsung, dimana dua kubu pendukung calon pasangan presiden saling memberikan hujatan satu sama lain dengan istilah “cebong” dan “kampret”. Tetapi persoalannya, proses politik yang tejadi tersebut pada dasarnya menegasikan konsep demokrasi yang dikenal secara luas. biasanya pihak yang kalah berada di luar dan menjadi oposisi, dan mengkritisi pemerintahan yang berkuasa, agar proses “check and balance” bisa terjadi. Karena dengan ketiadaan “check and balance”, maka yang dirugikan adalah demokrasi, dan masyarakat secara keseluruhan. Proses kontrol dalam pemerintahan di negara demokrasi mutlak harus dilakukan. Karena tanpa kontrol, tidak mustahil kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan. Kita mendengar istilah lama terkait hal ini yang disebut dengan “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik, belakangan lembaga-lembaga pembangunan internasional menggunakan istilah “good governance”. Bahkan dalam level perusahaanpun dikenal secara internasional istilah “good corporate governance”. Dalam sejarah Islam setelah Rasulullah, Khalifah Pertama yang terpilih secara Syura, Abu Bakar Assiddiq Radiallaahu Anhu, yang menyatakan dalam khutbah pertama pengangkatannya sebagai Khalifah, “…, If I do well, help me; and if I do wrong, set me right. … Obey me so long as I obey God and His Messenger. But if I disobey God and His Messenger, you owe me no obedience. …” Esensi dari khutbah pertama Abubakar Assiddiq Radiallaahu Anhu ini adalah bahwa para pengikutnya mempunyai kewajiban untuk mengikutinya hanya jika beliau melakukan hal-hal yang benar. Tetapi mereka tidak harus mengikutinya jika beliau melakukan kesalahan, bahkan perlu melakukan koreksi kepadanya. Bahkan mengoreksinya dengan peddang sekalipun. Sebenarnya hal ini juga refleksi dari hadits Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam yang menyatakan bahwa “seorang Muslim harus selalu membantu saudaranya. Baik saudaranya itu berbuat kebaikan dan kebenaran maupun kesalahan”. Para sahabat bertanya bagaimana mungkin mereka harus membantu saudaranya jika mereka melakukan kesalahan, Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam menjawab “bahwa cara membantu saudaranya itu dengan mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang dibuat saudaranya”. Pada prinsipnya penerapan “good governance” dan “check and balance” dalam tata kelola negara. Hal yang senada juga dinyatakan oleh politisi dan negarawan Amerika Serikat, diantaranya Theodore Roosevelt (Presiden Amerika Serikat ke 26) menyatakan “to announce that there must be no criticism of the President, or that we are to stand by the President, right or wrong, is not only unpatriotic and servile, but is morally treasonable to the American Public”. Terjemahan dari pernyataan Presiden Theodore Roosevelt itu kurang lebih adalah “menyatakan bahwa disana harus tidak ada kritik terhadap Presiden, atau kita harus selalu mendukung Presiden benar atau salah adalah bukan hanya tidak patriotis dan berjiwa budak. Tetapi secara moral telah berkhianat kepada masyarakat Amerika.” Selain itu, Benjamin Franklin, salah satu founding father Amerika Serikat juga menyatakan “it is the first responsibility of every citizen to question authority”. Tang terjemahannya “adalah tanggungjawab utama dari setiap warga negara untuk mempertanyakan otoritas”. Yang tidak kalah penting, ketika kita menghadapi penurunan kualitas demokrasi dewasa ini adalah pernyataan George Washington, Presiden Amerika Serikat pertama, yang menyatakan “If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep to the slaughter”. Terjemahan bebas dari pernyataan Presiden George Washinton itu, “jika kebebasan berbicara dicabut, dan kita diarahkan untuk bisu dan diam, itu seperti domba-domba yang akan disembelih”. Tentunya dalam kesempatan yang lain kita bisa bahas batas antara kebebasan berbicara dan penghinaan. Tetapi esensi kebebasan berbicara disini adalah kritik terhadap pemerintahan. Jadi, bahwa dukungan dan kepatuhan kepada pemerintahan ataupun Presidennya ada kurannya. Terlepas apakah agama memegang peranan penting atau tidak di negara itu. Dukungan hanya berlaku jika sang pemimpin berpegang kepada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kebenaran, kebaikan, dan pemihakan kepada rakyat kebanyakan. Nilai ini berlaku mulai dari masa Kekhalifahan Rasyidin dahulu sampai dengan negara modern yang berdasarkan demokrasi dewasa ini. Dalam konteks negara demokrasi Indonesia dewasa ini, perlu dibangun sebuah kesadaran di kalangan masyarakat agar selalu mengedepankan konsep “conditional support” kepada para pemimpin yang dipilihnya. Sebaliknya, jika rakyat memberikan “unconditional support” kepada para pemimpinnya, maka itu sangat berbahaya. Karena bisa menjurus kepada negara otoriter dan keditaktoran. Kediktaroran menjadi semboyan Raja Prancis dahulu yang menyatakan l’etat c’est moi. Negara adalah saya. Apapun yang saya lakukan, benar atau salah, rakyat harus memberikan dukungan. Tidak heran jika akhirnya sebuah sistim yang seperti ini pada akhirnya berakhir dengan berdarah-darah di bawah pisau guillotine. Konsep yang hampir sama adalah “right or wrong is my country”. Konsep yang bisa menimbulkan penyalah gunaan kekuasaan luar biasa dari para oknum yang berkuasa. Memang diakui, demokrasi bukan sebuah sistim yang ideal. Anggapan itu oleh para pemikir dan politisi Barat itu sendiri. Tetapi untuk saat ini, demokrasi adalah sebuah sistim yang bisa menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengantarkan kesejahteraan dan kemajuan di negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara, Asia Timur, Skandinavia, maupun Australia dan New Zeland dibandingkan dengan sistim-sistim lainnya. Spalagi seperti sistim monarki absolut model Saudi Arabia ataupun sistim satu partai model komunis China yang cenderung represif dalam memaksakan kehendaknya. Kita juga kita melihat model-model republik yang pada dasarnya adalah negara-negara otoriter. Model seperti yang ada di Mesir (diktator militer), Syria (diktator sipil), ataupun model “hybrid” Korea Utara, pemerintahan komunis yang seperti kerajaan. Dimana satu keluarga mempunyai kontrol luar biasa terhadap satu negara. Timbulnya Arab Spring di Timur Tengah sebenarnya adalah bentuk perlawanan kepada negara-negara dengan sistim otoriter yang korup. Kembali kepada realitas politik Indonesia akhir tahun 2020 kemarin. Satu pasang calon yang kalah dalam proses demokrasi, akhirnya “submit” dan mengikuti calon pemenang. Ini pelajaran politik penting bagi para pendukung fanatik kedua pasang calon tersebut. Bahwa politik pada dasarnya bisa begitu cair, terlebih lagi di Indonesia. Para pendukung kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka tidak bisa “gelap mata” terhadap pihak yang didukungnya, baik itu bagi pemenang maupun yang kalah. Kita dengar kekecewaan datang dari kubu kedua belah pihak. Dari pendukung Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi. Pendukung pemenang melihat sendiri bagaimana lawan yang sebelumnya diserang habis-habisan, ternyata pada akhirnya bisa mendapatkan posisi. Sementara sang pendukung fanatik itupun tidak mendapatkan apa-apa. Yang lebih parah lagi adalah para dan taragis lagi pendukung pihak yang kalah. Banyak yang telah menggunakan sumber dana mereka sendiri sewaktu kampanye dahulu. Alasannya Prabowo-Sandi tidak mempunyai kekuatan pendanaan sebesar pasangan Jokowi-Ma’ruf. Alasan yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Bahkan banyak yang berdarah-darah, masuk tahanan sebagal. Sebagian lagi ada meninggal dunia ketika memperjuangkan pasangan yang didukungnya dalam demo di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Mei 2019 yang lalu. Coba bayangkan apa yang dirasakan keluarga para korban pendukung pasangan Prabowo-Sandi ketika melihat realitas politik yang seperti ini? Esensinya Prabowo-Sandi mengkhianati esensi perjuangan mereka. Mengapa hal tersebut menjadi pelajaran politik penting bagi rakyat? Sebenarnya ke depan rakyat pun harusnya tidak perlu terlalu fanatik kepada para calon yang didukungnya. Rakyat harus menyadari bahwa mereka mendukung calon karena disatukan oleh cita-cita dan idealisme perjuangan semata. Begitu juga para figur yang didukungnnya. Ketika dianggap sudah tidak berada di rel cita-cita perjuangan dan idealisme bersama, pada saat itulah mereka sudah harus siap meninggalkan figur yang didukungnya. Fanatisme buta kepada satu figur pada akhirnya hanya akan menimbulkan kekecewaan yang luar biasa. Kondisi ini tidak hanya berlaku untuk dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang lalu. Tetapi yang terpenting dalam kontestasi politik ke depannya, pada 2024 mendatang. Pembangunan kecerdasan politik rakyat penting dalam kerangka menghilangkan “slavish attitude” (watak budak) dari rakyat. Yang melihat figur yang mereka dukung adalah segala-galanya. Bahkan seperti figur setengah dewa. Pada akhirnya walaupun mungkin mereka memiliki kelebihan-kelebihan, tetapi tentunya, dan pastinya merekapun mempunyai kekurangan-kekurangan. Karena mereka bukan malaikat, ataupun Nabi yang ma’sum. Nabi yang ma’sum pun pernah ditegur oleh Allah Suhaanahu Wata’ala ketika terlihat menganggap remeh tamu orang tua miskin yang buta, yang dianggap lemah ketika pada waktu yang sama beliau sedang mencoba mengajak pembesar Quraish yang “powerful” untuk masuk Islam. Disini bahkan seorang Rasulpun mengalami sebuah proses “check and balance”. Dalam konteks politik Indonesia, khususnya pemilihan Presiden 2024 nanti, rakyat kebanyakan harus cerdas. Bahwa orang-orang yang akan ikut kontestasi pemilihan presiden tersebut adalah calon-calon pelayan publik yang perlu memberikan pelayanan yang terbaik untuk rakyat. Bukan para calon penguasa yang akan menjadi tuan-tuan mereka. Apalagi setelah duduk disinggasana, kekuasaan hanya bekerja mementingkan kelompok elite saja. Rakyat perlu menyadari bahwa dukungan mereka terbatas, jika para calon yang dipilihnya adalah benar-benar mempunyai pemihakan kepada rakyat banyak. Bisa berjuang untuk menegakkan sebuah sistim yang ber-Ketuhanan, berkemanusiaan, menjaga persatuan, menghargai musyawarah. Selain itu, akan berjuang untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (esensi Pancasila). Sebuah cita-cita luhur yang tidak main-main. Sebuah upaya menegakan masyarakat egaliter yang didasarkan oleh nilai-nilai ke-Tuhanan, atau tentunya nilai-nilai Tauhid bagi umat Islam. Rakyat dalam perjuangan politik yang seperti ini, perlu membuang jauh-jauh mental neo-feodal. Mental yang terlalu mengagung-agungkan para junjungannya. Padahal dalam konteks demokrasi modern, figur-figur yang tampil tersebut harus menjadi figur-figur yang mewakili kepentingan rakyat banyak. Figur-figur yang harus merasa lemah, jika tidak bisa menjaga kemaslahatan rakyat kebanyakan, ataupun kepentingan kelompok rakyat yang tertindas. Figur-figur yang harus merasa kuat dan bisa keras jika berhadapan dengan elite-elite yang justru membawa kemudharatan untuk rakyat banyak. Apalagi elite-elite yang mempunyai sifat menindas. Penulis adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED).

Musuh Manusia Bukan Kezaliman Tapi Rasa Takut Mati

by Asyari Usman Medan, FNN - Jumat (01/21). Sudah banyak ceramah tentang ‘takut mati’ yang kita dengar. Sudah banyak pula tulisan mengenai ‘mengapa orang takut mati’ yang telah kita baca. Dan semuanya kita pahami. Tetapi, kita semua tetap saja takut mati. Jangankan mati, cedera goresan saja pun kita takut. Inilah sebenarnya musuh terbesar manusia, termasuk umat Islam. Sekali lagi, bukan kezaliman dan kesewenangan penguasa yang menjadi musuh. Melainkan takut mati. Relevansinya sederhana saja. Kezaliman dan kesewenangan seharusnya bisa dilenyapkan jika manusia tidak takut terhadap konsekuensi apa saja. Inilah inti catatan sejarah di seluruh dunia tentang pelenyapan kesewenangan, kekejaman, keganasan, kesadisan, kebrutalan, dll. Banyak contoh historis mengenai penghancuran kekuasaan diktatorial, kekuasaan absolut, kekuasaan otoriter, di masa lampau. Mereka tumbang karena rakyat tidak takut mati. Ada cerita tentang penggulingan dan eksekusi mati Nikolai Ceausescu (1989) yang berkuasa di Rumania dengan tangan besi. Dia dituduh membunuhi rakyatnya secara semena-mena. Dia juga dikatakan menumpuk kekayaan melalui kesewenangan diktatorialnya. Ketika rakyat bangkit, Ceausescu lenyap. Ada Ferdinand Marcos di Filipina yang akhirnya mati di pengasingan karena diusir rakyatnya. Istri Ferdinand, Imelda, tidak rikuh menunjukkan gaya hidup mewah di tengah kesulitan berat rakyat Filipina. Mereka mencuri uang negara dalam jumlah ratusan juta dollar. Pada 2011, Presiden Hosni Mubarak di Mesir juga digulingkan rakyatnya yang selama puluhan tahun dia ditindas dengan kejam. Rezim Mubarak menyiksa tahanan dengan sangat kejam dan sadis. Rakyat Mesir hidup dalam ketakutan. Namun, rasa takut itu serentak hilang. Mereka melawan. Di Tunisia, Presiden Zine el-Abidine Ben Ali digulingkan rakyatnya pada Januari 2011. Revolusi rakyat ini disulut oleh kematian seorang anak muda, Mohamed Boazizi (26), yang membakar dirinya di depan kantor gubernur karena jualan asongannya disita oleh petugas kota. Rakyat yang hidup susah dan di bawah kekejaman yang menakutkan, akhirnya bergerak. Mereka melancarkan aksi protes tanpa jedah selama berminggu-minggu. Shah Iran Reza Fahlevi digulingkan rakyat lewat revolusi 1979. Kesemena-menaan keluarga kerajaan yang hidup supermewah ini berakhir setelah rakyat Iran bersatu melawan kesewenangan penguasa. Jadi, rakyat yang takut mati merupakan ‘lahan subur’ bagi kekuasaan diktatur dan otoriter. Tetapi, begitu rasa takut mati itu hilang, situasi menjadi berbalik. Rakyat tak lagi enggan menghadapi konsekuensi apa saja. Kesewenangan menjadi lenyap setelah suasana psikologis rakyat mencapai ‘break even point’ (BEP) dalam aksi protes yang tak bisa dijinakkan lagi. Setelah BEP, rakyat menguasai situasi dan kembali memegang kedaulatan. Melihat berbagai peristiwa historis di atas, kita menjadi semakin paham bahwa rasa takut mati selalu menjadi hambatan untuk melenyapkan kezaliman yang cabang-cabangnya antara lain adalah kekejaman, kesadisan, kebengisan, kebrutalan, kesewenangan, dlsb. Begitu rakyat berada di titik tak takut mati, maka berakhirlah situasi yang mendera itu. Itulah yang ditunjukkan oleh rakyat di Rumania, Filipina, Mesir, Tunisia, Iran, dan banyak negara lain.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Empat Plus Satu Wajah Jokowi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (01/01). Jokowi itu Presiden dan semestinya memiliki satu wajah. Apakah ganteng atau setengah ganteng itulah wajahnya Jokowi. Kegantengan dimaksud adalah wajah kebijakan dan kualitas sebagai pengelolaan negara. Presiden dalam sistem kabinetdan pemerintahan presidensial, sangat menentukan dalam membentuk wajah Pemerintahan. Sejalan dengan pesannya bahwa tidak ada visi dan misi menteri. Yang ada adalah visi misi Presiden. Itu sanagat jelas dan tegas dinyatakan Jokowi. Hasil Riset kepuasan masyarakat yang dilakukan oleh lembaga riset SMRC milik Saiful Mujani mencapai angka spektakuler 74 % tingkat kepuasan. Sebagian publik yang terbaca dari komentar di media sosial (medsos) meragukan akurasi dan obyektivitas riset tersebut. Kesan sebagai hasil riset pesanan pun bermuncul dalam berbagai komentar. Sayang kita tidak memiliki alat atau lembaga kontrol yang dapat memberi sanksi kepada kerja riset yang bersifat tipu-tipu tersebut. Dampaknya adalah hasil riset yang seperti ini diperkirakan bakal muncul lagi ke masyarakat. Kondisi ini dapat dipahami. Apalagi selama pesanan masih berdatangan di tengah kondisi ekonomi yang resesi seperti sekarang. Wajah Jokowi tentu terlihat pada kinerja para menterinya. Tercatat empat Menteri terbaca oleh publik yang menggiring pada konklusi bahwa Pemerintahan Jokowi itu memang berwajah buruk. Disadari atau tidak, mestinya satu persatu wajah mereka dinilai, akan tetapi empat menteri ini yang mudah dan langsung terbaca publik. Pertama, Menteri Keuangan yang nampak kalang kabut karena hutang luar negeri mencapai sduah mencapai Rp. 6.000 triliun. Bunga tahun ini yang harus dibayar berjumlah Rp. 300 triliun. Untuk tahun 2021, bunga hutang dianggarkan sebesar Rp. 373,3 triliun. Sementara investasi jeblok, dan pertumbuhan ekonomi kuartal III tahun 2020 minus -3,49 %. Kedua, Menteri yang diberi gelar "atur segala urusan" Luhut Binsar Panjaitan. Menko Maritim dan Inveastasi (Marinvest) ini menjadi garda terdepan kerjasama dengan Republik Rakyat China (RRC). Program One Belt One Road (OBOR) menjadi andalannya. Rakyat masih pesimis bahwa kerjasama dengan RRC hanya ilusi. Bukan solusi. Konflik tenaga kerja Cina dengan pribumi menjadi sinyal dari instabilitas ke depan Pemerintahan Jokowi ke depan. Ketiga, Menteri Agama yang dianggap selalu memojokan umat Islam. Fakhrul Rozi terus kampanye soal radikalisme, intoleransi, dan ekstrimisme yang arahnya adalah umat Islam. Yaqut pengganti Rozi ribut untuk mengafirmasi Ahmadiyah dan Syi'ah yang dianggap sebagai ajaran sesat. Terakhir soal tekad untuk memerangi populisme Islam yang juga menyinggung perasaan umat Islam. Keempat, Mahfud MD Menko Politik, Hukum dan Kemanan (Polhukam). Cendekiawan dan Guru Besar yang awalnya banyak didengar karena "bijak" dan moralis. Setelah menjadi Menko, maka ucapannya mulai mencla-menclo. Lebih berposisi sebagai politisi ketimbang cendekiawan.Terakhir arogan, otoriter, dan menginjak-injak hukum dengan membubarkan dan melarang Front Pembela Islam (FPI). Disamping empat wajah itu, masih ada lagi wajah yang seram Hendropriyono. Orang ini jago main ancam. Merasa dirinya seperti masih menjadi tentara aktif saja. Mengancam yang menjadi pelindung anggota FPI, mengancam organisasi lain "tunggu giliran". Hendroprijono yang Jendral TNI (Purn.) Kehormatan (Hor.) ini merasa dan berprilaku laku seperti paling sendiri jago di republik ini. Jangan-jangan otak pembubaran dan pelarangan FPI datang darfi sang Guru Besar intelijen tersebut. Republik Indonesia seperti mau dibawa menjadi negara fasis, seperti zamannya Hitler, Mussolini, Tito, dan Stalin dulu. Seenaknya saja main ancam dan menakut-nakuti rakyat. Pak Hendroprijono kan bukan Mussolini, Hitler, Tito dan Stalin, yang bermodal kekuasaan dan senjata, sehingga bisa berbuat apa saja. Kemal Attaturk atau Ariel Sharon tak berdaya dan "ampun-ampunan" menghadapi sakaratul maut tuh. Jabatan dan kekuasaan bukan untuk gagah-gagahan. Tetapi amanah yang harus ditunaikan dengan adil. Begitulah konstitusi negara UUD 1945 membimbing dan memandu kita dalam berbangsa dan bernegara. Hebatnya para pendiri bangsa meninggalkan warisan terbesar dan terbaik untuk anak cucunya. Jika tidak berlaku adil, maka akibatnya adalah penyesalan. Mantan Menkopolkam Sudomo saat diperiksa Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa pembantaian di Pesantren Talang Sari Lampung itu yang bertanggungjawab adalah Danrem Garuda Hitam 043. Lala siapa yang menjabat Danrem Garuda Hitam Lampung? Dialah Kolonel TNI. Hendropriyono. Jadi, kini semakin nampak jelas empat plus satu wajah Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.