ALL CATEGORY

Jangan Pilih Kapolri Peliharaan Cukong

Jakarta FNN - Rabu (06/01). Tanggal 30 Januari 2021, Kapolri Idham Aziz genap berusia 58 tahun. Artinya, Presiden Jokowi harus menunjuk Kapolri baru. Sesuai prosedur, Kapolri harus mengajukan nama calon kepada presiden. Setelah itu, presiden menyerahkan nama calon tersebut kepada DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Yang menjadi masalah selama ini dalam beberapa kali penetapan pejabat Kapolri, seringkali diwarnai desas-desus bahwa calon yang terpilih adalah titipan para cukong, taipan atau konglomerat, dan bahkan pengusaha hitam. Nah, untuk meredam suara-suara negatif ini, maka proses fit and proper test calon Kapolri kali ini harus dilakukan sebagaimana mestinya, jangan formalitas semata. Namanya proses uji calon, maka sudah seharusnya ada beberapa calon yang akan diajukan ke DPR, kemudian dipilih yang terbaik. Jadi, Kapolri Idham Aziz harus mengusulkan beberapa nama calon kepada presiden. Selanjutnya, presiden tidak perlu melakukan seleksi untuk menciutkan menjadi calon tunggal. Serahkan saja semua nama calon yang diusulkan Kapolri dan biarlah DPR yang menentukan siapa yang terbaik. Hal ini, selain untuk menghindari fitnah kepada presiden juga buat pembelajaran kepada DPR agar ikut bertanggungjawab terhadap proses pemilihan dan pengawasan terhadap para penyelenggara negara. Kapolri zaman sekarang memang pejabat yang banyak disorot orang. Kapolri dianggap sebagai jabatan strategis kerena tupoksi yang melekat pada Polri itu sendiri, mulai dari pelayanan masyarakat hingga penegakan hukum. Boleh dibilang Kapolri menjadi penentu hitam putihnya segala problematika di negeri ini. Mungkin Anda bertanya, bukankah Presiden yang paling menentukan di negeri ini? Memang betul presiden adalah penentu kebijakan tertinggi di negeri ini. Akan tetapi, kalau Kapolrinya tidak sigap mendukung kebijakan dan langkah-langkah presiden, apakah kebijakan itu akan berjalan sesuai rencana? Sebagai contoh, pada 20 Oktober 2016, dalam sebuah rapat koordinasi dengan gubernur seluruh Indonesia, Jokowi pernah menyerukan perang melawan pungli (pungutan liar) di semua lapisan pelayanan masyarakat. “Pungli ini sudah bertahun-tahun dan kita menganggap itu adalah sebuah hal yang normal, kita permisif terhadap pungli itu. Karena itu, saya ajak para gubernur bicarakan langkah kongkret bicara pungutan liar. Tidak hanya urusan KTP, tidak hanya urusan sertifikat, tidak hanya urusan di pelabuhan, kantor, bahkan di rumah sakit. Hal-hal apa pun yang berkaitan dengan pungutan yang tidak resmi harus kita hilangkan bersama. Dengan keterpaduan itulah kita harapkan operasi pungli ini akan efektif,” kata Jokowi waktu itu. Hasilnya apa? Sampai sekarang banyak pengusaha mengeluhkan banyaknya pungli yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Akan tetapi, yang gagal memberantas pungli sebenarnya bukan hanya presiden, tapi juga Kapolrinya. Setiap warga negara yang menjadi korban kejahatan sudah tentu berniat melaporkannya ke polisi di pos terdekat. Akan tetapi, sebagian warga mengurungkannya, karena tidak yakin laporannya bakal ditindaklanjuti. Ada guyonan yang kita dengar di tengah masyarakat. "Buat apa lapor polisi. Nanti, melapor kehilangan ayam, malah ongkosnya kehilangan kambing. Lapor kehilangan kambing, malah kehilangan sapi." Banyak rakyat khawatir melapor ke polisi bisa menjadi bumerang. Karena bukan tidak mungkin akan ada laporan balik atas dasar pasal-pasal fitnah, pencemaran nama baik, laporan palsu dan segala macam pemutarbalikan fakta. Polri harus segera berbenah diri untuk menyikapi kondisi psikis masyarakat setiap kali mau berurusan dengan polisi. Pemulihan kehormatan korps polisi ini membutuhkan sosok keteladanan dari pucuk pimpinan tertinggi. Dalam hal ini, DPR tidak perlu berwacana panjang lebar tentang kriteria calon Kapolri yang ideal. Sebab, tolok ukur Kapolri yang ideal sudah ada dalam Tri Brata Polri. Tri Brata adalah pedoman hidup bagi setiap anggota Polri. Yaitu : Kami Polisi Indonesia : Satu : :Berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dua : Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945. Tiga : Senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Kalau disederhanakan ada tiga hal yang menjadi pegangan hidup setiap anggota polisi : Bertaqwa (patuh kepada perintah dan larangan Tuhan); Nasionalis (setia kepada NKRI dan UUD 45); Tulus (sungguh-sungguh mengabdi kepada masyarakat). Yang menjadi persoalan, ketiga azimat tersebut semakin hari semakin tergerus oleh tata nilai kehidupan masyarakat yang semakin mengarah pada hedonisme-materialisme. Polisi sejatinya adalah aparat yang ditugasi negara untuk bertempur di dunia hitam. Mereka harus berhadapan langsung dengan para penjahat kelas teri hingga penjahat berdasi. Nah, polisi di mana pun seringkali mendapat godaan-godaan dari penjahat berduit agar mengkhianati sumpahnya. Nah, selama ini DPR salah kaprah dalam menelisik calon Kapolri yang mereka uji. Mereka cenderung mengunggulkan seseorang berdasarkan riwayat karier atau posisi-posisi prestisius yang pernah diduduki sang calon. Seseorang calon dianggap ideal karena pernah menjadi Kapolda atau asisten di Mabes Polri ketika masih berpangkat bintang dua. Lalu ketika berbintang tiga, dia harus berpengalaman menduduki jabatan prestisius dalam struktur Mabes Polri. Kriteria dan pola rekrutmen calon pimpinan Polri seperti itu sudah harus ditinggalkan. Karena dalam kenyataannya, kebanyakan perwira polisi seringkali moralnya dirusak oleh para cukong-cukong hitam justru ketika ia menduduki jabatan prestisius di lingkungan Polri. Sewaktu jadi Kapolres, dia akan didekati oleh cukong kelas kota/kabupaten. Selanjutnya, ketika menjabat Kapolda, sudah tentu dia akan didekati cukong yang kelasnya lebih tinggi lagi. Ketika menjabat di Mabes Polri, dia akan didekati cukong kelas nasional. Jadi, siapa calon Kapolri yang harus diunggulkan oleh DPR nanti ? Pertama, sedapat mungkin dicari perwira bintang tiga yang tidak pernah berurusan dengan cukong-cukong di level kota, kabupaten, provinsi dan pusat. Karena biasanya, seorang cukong mulai mencari beking dari level bawah dan akan terus mereka pelihara hingga naik jabatan ke tingkat pusat. Sudah tentu setelah itu harus ditelisik lagi apakah calon tersebut sosok Tri Brata sejati. Dalam kondisi perpolitikan negara yang kini sudah semakin terkotak-kotak, kita perlu mencari sosok Kapolri yang bisa mendorong persatuan bangsa. DPR harus menghindari kecenderungan memilih calon berdasarkan pendekatan suku, apalagi agama karena pendekatan seperti ini malah memperkeruh keadaan. Seorang calon Kapolri mutlak harus sosok yang bertaqwa, nasionalis dan tulus. Verifikasi persyaratan ini bisa dilakukan DPR kepada teman, atasan, bawahan atau siapa saja yang dianggap sering berintegrasi langsung dengan sang calon. Cakupan pergaulan sosial seseorang sangat berpengaruh terhadap perilaku keseharian dirinya. Calon Kapolri yang memiliki kedekatan dengan kalangan agamawan cenderung memecahkan masalah dengan pendekatan spiritual. Akan tetapi, yang dekat dengan cukong, cenderung memecahkan masalah dengan hitungan materi. *

Ayo Bubar Bubar dan Bubar

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (06/01). Saat membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui Peraturan Pemerintah (Perppu) cukup ramai pembahasan. Baik aspek politik maupun hukum. Penggunaan Perppu adalah "akal-akalan" kemauan politik dengan menggunakan hukum. Pembubaran yang sepihak ini menyebabkan HTI kehilangan "legal standing" untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk melakukan perlawanan. Inilah cara licik berpolitik penguasa sekarang. Alasannya adalah ideologi Khilafah yang bertentangan dengan Pancasila. Pembubaran kedua di era Pemerintahan Jokowi adalah Front Pembela Islam (FPI) atas target figur Habib Rizieq Shihab (HRS). Dengan prinsip "harus bubar", maka dicarilah dasar hukum terlemah dalam sejarah. Lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB). Padahal SKB, sama-sekali tidak dikenal dalam sistem hukum dan hirarki perundang-undang Indonesia. Tanpa ada kewenangan konstitusional, tiga menteri dan tiga petinggi negeri menandatangani SKB "pembubaran" organisasi yang "sudah bubar" secara hukum. Maklumat Kapolri dibuat untuk melengkapi pemberangusan. Padahal, jangankan cuma tiga menteri dan tiga pejabat tinggi negara. SKB semua menteri anggota kebinet, dan semua kepala lembaga negara Pemerintahn Jokowi sekalipun, tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Menatara Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono yang mengancam pelindung mantan FPI dan mengultimatum organisasi lain "tunggu giliran". Pembubaran akan berlanjut ? Isu liar kemana-mana soal giliran berikut versi Hendro ada yang melempar ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun ada pula yang bilang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tunggu giliran. Artinya elemen-elemen Islam yang hendak dilumpuhkan. Jika iya, tentu hal ini akan menjadi kezaliman rezim yang nyata. Misi ala penguasa sekuler atau Komunis sedang bekerja untuk membubarkan elemen-elemen Islam di negeri. Islam Phobia lagi bekerja keras, keras dan keras. Ormas atas dasar ideologi menjadi layak saja untuk dibubarkan. Karena sangat berbahaya adalah pengusung ideologi "Imamah" yaitu kelompok Syi'ah. Membahayakan bagi kewibawaan dan kelangsungan Pancasila. Ideologi Imamah sangat bertentangan dengan Pancasila. Ide Khilafah saja dimasalahkan. Apalagi Imamah yang nyata-nyata sangat berbahaya. Elemen prinsip ajaran dan perjuangan Syi'ah telah dinyatakan sesat oleh MUI dan berbagai organisasi Islam. Namun kini mendapat perlindungan dari kekuasaan. Aneh tapi nyata. Afiliasi atau pengorganisasian yang mesti dibubarkan itu adalah IJABI (Ikatan Jama'ah Ahlul Bait Indonesia) dan ABI ( Ahlul Bait Indonesia). Keberadaannya meresahkan umat Islam, karena elemen prinsip tersebut. Disamping Imamah, juga faham yang meyakini Qur'an tidak otentik (tahrif), yang mengaburkan makna hadits, menghina istri dan shahabat Rasulullah. Legalisasi zina lewat kawin kontrak, dan masih banyak lagi. Dalam kaitan partai politik, bukan saja PKS yang harus diributkan. Karena disamping tidak beralasan, juga sangat tendensius. Justru pilihan partai yang lebih layak dibubarkan adalah Pertai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ada dua alasan mengapa PDIP harus dibubarkan. Pertama, jika alasan mutatis mutandis, dengan alasan pembubaran FPI, yakni keterlibatan anggota dengan kegiatan terorisme, maka PDIP adalah keterlibatan kader dengan kejahatan korupsi. PDIP adalah partai politik penyumbang terbesar pejabat korup. Kedua, jika tidak melakukan perubahan Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi, maka misi perjuangan PDIP terhitung tahun 2015 dinilai dapat merongrong kewibawaan dan eksistensi ideologi Pancasila. Konten misi Trisila dan Ekasila tidaklah dibenarkan secara politik dan hukum di negara Pancasila dan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Bila terus saja digelindingkan soal bubar, bubar, bubar, maka jangan-jangan ungkapan Indonesia bubar tahun 2030 bisa menjadi kenyataan. Apakah kelak menjadi negara yang terpecah-pecah? Atau NKRI yang berubah menjadi Negara Federasi? Jadi, jika pak Hendro beringas soal "tunggu giliran", maka rakyat dan bangsa Indonesia akan dan harus bermusyawarah serius tentang organisasi yang layak untuk segera dibubarkan. Satu catatan yang telah tergores adalah bahwa pemerintah terus bergeser dari pelaksanaan asas demokrasi ke arah oligarkhi, demokrasi terpimpin, dan otokrasi. Bahkan mengarah ke tirani dan otoriter. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Guruku Mas Tom, Pendiri PII Priangan Timur

by Hasan Syukur Jakarta FNN – Rabu (06/01). Berpakaian jas tutup warna biru tua. Berkemeja panjang warna putih, dengan kancing bagian atas terbuka. Bercelana blue jeans merk levis. Itulah guruku Utomo Dananjaya. "Panggil saya aku Tom atau Mas Tom", kata guru nyentrik berbadan tinggi krempeng itu kepada murid- muridnya di SMP Negeri I Garut, Jawa Barat. Guruku Mas Tom, lahir di Kuningan, Jawa Barat tahun 1936. Anak seorang Kepala Desa itu merupakan sosok yang sangat populer. Guruku itu seorang komunikator piwai. Juga seorang liberal yang berani keluar dari pakem-pakem yang tradisional. Sikapnya yang egaliter disaat guru-guru lain berprilaku feodal. Akibatnya itu tadi, Mas Tom tidak mau dipanggil "Pak Guru" oleh murid-muridnya. Panggilan terhadap dirinya tidak mau dirubah-rubah. Tetap saja dengan panggilan paling nyentrik “Mas Tom”. Toh, meskipun penampilannya "ngoboy" Mas Tom terkendali oleh religi. Mas Tom tinggal di asrama Muhammadiyah Garut. Kesehariannya, sangat taat mendirikan shalat lima waktu. Tetapi dengan penampilan yang "gaul" abis itu, membuat Utomo bagaikan magnet. Mas Tom berhasil menarik anak-anak muda Garut yang tadinya suka berkelahi menjadi anggota Pelajar Islam Indonesia(PII), sebuah organisasi pelajar yang dipimpinanya. Gaos Syamdani misalnya, masih sempat berkelahi beberapa menit menjelang dilantiknya menjadi Ketua Komisaris Daerah (Komda) PII Priangan Timur di Pendopo Kabupaten Garut. Geng-geng pemuda pelajar inilah yang dimanfaatkan Utomo. Mereka dengan cerdik didekati satu per satu. Sikapnya yang sangat "gaul" itu yang menyebabkan Utomo diterima di kalangan anak-anak muda Garut, dan Priangan Timur khususnya. Kebanyakan dari mereka adalah murid-muridnya. Salah seorang muridnya, Sukarna ND biasa memanggil gurunya ini dengan panggilan "Tom"saja . Sukarna siswa "bengal" paling yang disayanginya. Bertubuh gempal dan kekar, Sukarna dikenal petarung tulen. Pak Sueb, guru bahasa Indonesia, ditinju Sukarna. Utomolah yang menyelamatkan dari ancaman dikeluarkan dari sekolah. Apa komentarnya? "Mas Tom, guru yang tak pernah memvonis", kata Karna. Uniknya, Utomo yang tak kelihatan bersarung dan berkopiah itu diterima juga di kalangan pesantren. Contohnya, KH. Yusuf Taujiri. Pimpinan Pondok Pasantren Darussalam Wanaraja Garut, yang legendaris itu. Beliau tak mudah dipengaruhi kekuatan manapun. Ia dikenal kiai yang independen. Yusuf Taujiri pernah bertahan di menara masjid Darussalam, berdua dengan KH. Anwar Musadad (belakangan pendiri perguruan Tinggi Almusadadiyah Garut), hanya dengan modal senjata mesin otomatis tatkala sepasukan DI/TII mengepungnya. Pasalnya, KH. Yusuf Taujiri menolak untuk bergabung dengan DI/ TII Kartosuwiryo. Anehnya, kepada Utomo KH. Yusuf Taujiri "menyerah". Setelah KH. Yusuf Taujiri memberikan "greenlight", maka penduduk wilayah pengaruhnya se-Kabupaten Garut blek tumplek menjadi anggota PII. Bagitulah gaya Mas Tom yang sangat berjasa membesarkan PII di wilayah Garut dan Priangan Timur. Bahkan Jawa Barat. Ketika mengajar, kebiasaan Mas Tom terlebih dulu mendesain meja belajar menjadi leter "U". Tujuannya, agar semua murid bisa berpartisipasi dalam menyimak pelajarannya. Waktu itu aku terpilih jadi ketua KMU (Ketua Murid Umum) SMP Negeri I Garut. Semacam ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSI)S saat ini. Aku biasa diharuskan oleh Mas Tom berpidato dalam berbagai upacara sekolah. Suatu ketika, Mas Tom mendekati saya mengajak untuk belajar bersama di asramanya. Pesan beliau, "ajak teman-temanmu untuk belajar bersama pada hari Ahad nanti. Ajakannya gratis", tambahnya. Anehnya, Mas Tom tak membahas pelajaran sekolah. Kami diberinya naskah dari koran atau majalah. Disuruhnya membaca artikel itu lalu mendiskusikannya sampai habis waktu belajar bersama. Diam-diam ternyata Mas Tom tengah mentraining kami untuk menjadi anggota dan aktipis PII. Maka sejak itulah kami resmi menjadi aktivis PII. Utomo rupanya tak melupakan muridnya. Sebab ketika Jimly Assidiqie, Dikdik J.Rachbini, Sudirman Said menerbitkan buku untuk memperingati 70 tahun usia Mas Tom, saya diminta menulis sebuah artikel dalam bukunya berjudul, "Mas Tom The Living Bridge". Buku setebal 450 halaman. Artikel yang saya sumbangkan itu bejudul, "Jejak Utomo Dananjaya di Garut". Mas Tom kini sudah tiada. Mas Tom wafat sekitar tiga tahun silam. Semoga iman Islam dan amal shalehnya diterima Allah Subhanahuwata'ala. Aamiin.

Jahiliyah Yang Belum Berevolusi

by Felix Siauw Jakarta, FNN - Rabu (06/01). Satu waktu, Abu Dzar yang lumayan temperamen, mendapati Bilal bin Rabah tak sejalan dengan arahannya. Lalu ia mengatakan pada Bilal. "Bahkan engkau menyelisihiku wahai anak budak berkulit hitam?". Bilal kaget.... Kegalauan atas ucapan Abu Dzar itu dia sampaikan pada Rasulullah. Wajah Rasulullah berubah, lalu menegaskan pada Abu Dzar, "Rupanya di dalam dirimu masih ada sifat jahiliyyah". Abu Dzar menangis, menyesal dan panik. Ia mencari Bilal, meletakkan pipinya di atas tanah, lalu berkata pada Bilal, "Aku takkan mengangkat kepalaku sebelum engkau menginjaknya, engkau mulia, akulah yang hina". Abu Dzar menyesali dengan tanda, bahwa tak ada kemuliaan warna kulit, atau Arab lebih mulia dari Ajam. Bilal terhenyak, tak menyangka, lalu mengucap "Bahkan engkau lebih mulia dari padaku". Mana mungkin Bilal menginjak kepala yang senantiasa bersujud pada Allah, dimana dialah yang memanggil manusia untuk selalu bersujud pada Allah 5x dalam sehari. Perkataan Bilal, "Bahkan engkau lebih mulia daripadaku", karena Nabi Adam juga memohon ampun pada Allah setelah dosanya, sebab itu dia mulia. Tapi iblis angkuh dengan ibadahnya, lalu merasa lebih baik dari manusia, karena itu dia terlaknat. Tidak ada keutamaan warna kulit di dalam Islam. Allah yang mencipta semua itu, tak melihat padanya. Akan tetapi niat dan amal mereka itulah yang membedakan. Bahkan Bilal yang berkulit hitam, selalu diinginkan posisinya oleh sahabat yang lain Intoleransi dalam Islam sudah dihapus sejak pertamakalinya kalimat syahadat diajarkan. Sahabat menegaskan dan membuktikannya pada kita lewat kisah-kisah mereka. Jadi bila masa sekarang ada yang menganggap putih lebih baik dari hitam, itulah jahiliyyah. Itulah munafik sejati, menuduh orang-orang yang baik sebagai intoleran, sesungguhnya dia sendiri yang intoleran. Mereka merusak sementara mereka mencoba mengelabui manusia dengan berkata "Kami memperbaiki". Allahummaghfirlana. Berlainannya warna kulit, untuk mengenal dan mencintai. Allah yang mencipta semua, lalu apa hak kita untuk merasa yang berkulit hitam itu lebih jelek? Bahkan hingga 2021, jahiliyah itu tetap belum berevolusi. Penulis adalah Ustadz dan Penceramah.

Ini Daftar Koruptor Kepala Daerah Era Presiden Jokowi

by Asyari Usman Medan, FNN - Selasa (05/01). Korupsi besar dana bansos yang dilakukan Juliari Batubara, mantan menteri sosial (PDIP), menambah panjang daftar elit koruptor di era Jokowi. Di masa pemerintahan Jokowi-lah terbanyak jumlah pejabat yang tertangkap menilap uang rakyat. Supaya tulisan ini tidak terlalu panjang, langsung saja kita urut para kepala daerah koruptor yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. (1)-Ojang Suhandi, bupati Subang (PDIP), kena OTT KPK pada 11 April 2016; (2)-Yon Antor Ferdian, bupati Banyuasin (Golkar), OTT 4 September 2016; (3)-Atty Suharti Tochija, bupati Cimahi (Golkar), OTT 1 Desember 2016; (4)-Sri Hartini, bupati Klaten (PDIP), kena OTT 30 Desember 2016; (5)-Ridwan Mukti, gubernur Bengkulu (Golkar), kena OTT 20 Juni 2017; (6)-Achmad Syafii, bupati Pamekasan (PD), kena OTT 2 Agustus 2017; (7)-Siti Mashita Soeparno, walikota Tegal (NasDem), OTT 29 Agustus 2017; (8)-OK Arya Zulkarnaen, bupatu Batubara (Golkar), OTT 13 September 2017; (9)-Eddy Rumpoko, bupati Batu Malang (PDIP), kena OTT 16 September 2017; (10)-T Imam Ariyadi, walikota Cilegon (Golkar), OTT 22 September 2017; (11)-Taufiqurrahman, bupati Nganjuk (PDIP), kena OTT 25 Oktober 2017; (12)-Abdul Latif, bupati Hulu Sungai Tengah (Berkarya), OTT 4 April 2018; (13)-Nyono Suharli W, bupati Jombang (Golkar), OTT 3 Februari 2018; (14)-Marianus Sae, bupati Ngada NTT (PDIP), kena OTT 11 Februari 2018; (15)-Imas Aryuningsih, bupati Subang (Golkar), OTT 13 Februari 2018; (16)-Mustafa, bupati Lampung Tengah (NasDem), OTT 14 Februari 2018; (17)-Adriatna Dwi Putra, walikota Kediri (PAN), kena OTT 28 Februari 2018; (18)-Abu Bakar, bupati Bandung Barat (PDIP), kena OTT 11 April 2018; (19)-Dirwan Mahmud, bupati Bengkulu Sel (Perindo), OTT 15 Mei 2018; (20)-Agus Faisal Hidayat, bupati Buton Selatan (PDIP), OTT 23 Mei 2018; (21)-Tasdi, bupati Purbalingga (PDIP), kena OTT 4 Juni 2018; (22)-Syahri Mulyo, bupati Tulung Agung (PDIP), kena OTT 8 Juni 2018; (23)-M Samanhudi Anwar, walikota Blitar (PDIP), kena OTT 8 Juni 2018; (24)-Ahmadi, bupati Bener Meriah (Golkar), kena OTT 5 Juli 2018; (25)-Irwandi Yusuf, gubernur Aceh (Partai Aceh), OTT 5 Juli 2018; (26)-Pangonal Harahap, bupati Labuhan Batu (PDIP), OTT 17 Juli 2018; (27)-Zainuddin Hasan, bupati Lampung Tengah (PAN), OTT 26 Juni 2018; (28)-Setiyono, walikota Pasuruan (Golkar), kena OTT 4 Oktober 2018; (29)-Neneng Hassanah Yasin, bupati Bekasih (Golkar), OTT 15 Oktober 2018; (30)-Sanjaya Purwadi, bupati Cirebon (PDIP), kena OTT 24 Oktober 2018; (31)-Remigo Berutu, bupati Pakpak Bharat (PD) , OTT 18 November 2018; (32)-Ivan Rivano Muchtar, bupati Cianjur (NasDem), OTT 12 Desember 2018; (33)-Khamami, bupati Mesuji (NasDem), OTT 23 Januari 2019; (34)-Sri Wahyuni Monalip, bupati Talaud (Hanura), OTT 30 April 2019; (35)-Nurdin Basirun, gubernur Kepri (NasDem), OTT 10 Juli 2019; (36)-Muhammad Tamzil, bupati Kudus (non-partai), OTT 26 Juli 2019; (37)-Ahmad Yani, bupati Muara Enim (PD), kena OTT 2 Agustus 2019; (38)-Saiful Ilah, bupati Sidoarjo dari PKB, OTT 7 Januari 2020; (39)-Ismunandar, bupati Kutai Timur (NasDem), OTT 2 Juli 2020; (40)-Wenny Bukamo, bupati Banggai Laut (PDIP), OTT 3 Desember 2020; (41)-Ajay M Priatna, walikota Cimahi (PDIP), OTT 27 November 2020. Jadi, ada 41 kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) yang kena OTT KPK sepanjang 2016 sampai 2020. Lumayan memalukan bagi yang punya rasa malu. Nah, bagaimana cara Anda membuat kesimpulan dari fakta ini? Kesimpulan yang terbaik adalah bahwa para pejabat yang terjaring OTT KPK ini sebagian besar berasal dari partai-partai yang berkoalisi dengan Presiden Jokowi. Tentunya bisa saja Anda rumuskan berbagai kesimpulan lain. Misalnya, pimpinan partai yang mengatakan bahwa dia sudah bolak-balik menasihati agar kadernya tidak korupsi, ternyata kader partai itulah yang paling banyak tertangkap korupsi. Para senior PDIP mengatakan ketua umum mereka sering mengingatkan agar kader tidak korupsi. Dari 41 kepala daerah yang kena OTT selama 6 tahun pemerintahan Jokowi, 14 orang berasal dari PDIP. Berdasarkan fakta ini, maka kesimpulan berikutnya yang juga ‘valid’ adalah “atlet PDIP paling banyak merebut medali”. Itu kalau kita ibaratkan korupsi seperti kompetisi. Terus, kesimpulan apa lagi? Kalau metode sampling penelitian atau survei dipinjam untuk menafsirkan angka-angka di atas, maka sangat wajar untuk disimpulkan bahwa kemungkinan besar banyak kader PDIP yang melakukan korupsi tapi tidak terdeteksi. Dasarnya? Kita lihat 34% kepala daerah yang kena OTT selama 6 tahun ini adalah kader PDIP (14 dari 41). Dengan demikian, probabilitas (kemungkinan) korupsi kader PDIP mencapai 34:100. Ini ‘corruption rate’ yang sangat tinggi.[] Penulis adalah Waratwan Senior FNN.co.id.

Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (5)

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Selasa (05/01). Apapun alasannya, penutupan Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek atas perintah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) melalui suratnya pada 20 Maret 2020, jelas dapat diidikasikan "perbuatan melawan hukum". Pasalnya, Rest Area KM 50 ini bagian dari TKP penyergapan 6 laskar FPI. PT Jasa Marga resmi menutup atau merelokasi Rest Area (tempat istirahat) KM 50 ruas Tol Japek. Alasannya, relokasi itu dalam rangka menjaga kelancaran pada pertemuan lalu-lintas kendaraan dari ruas Tol Japek Elevated dengan Ruas Tol Japek (jalur bawah). ”Mulai kemarin (Senin) Rest Area KM 50 kami relokasi,” kata Dwimawan Heru, Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga, Selasa (22/12/2020). Menurutnya, relokasi itu dilakukan secara permanen arah Cikampek di ruas Tol Japek. Penambahan lajur dan penutupan rest area itu dalam rangka kelancaran pada pertemuan lalu lintas dari Tol Japek Elevated dan Tol Japek (jalur bawah) di KM 48 sampai dengan KM 50 ini adalah instruksi dari BPJT. Bahkan, lanjutnya, ini sejalan dengan arahan Korlantas Polri yang telah terbit sejak jauh hari, yaitu pada sekitar Triwulan I 2020, seluruh tenant-tenant yang berada pada tempat istirahat (TI) KM 50 A akan direlokasi ke TI KM 71B. Untuk menampung tenant ex TI KM 50, Jasa Marga memperluas bangunan rest area di KM 71 sehingga tenant-tenant dari TI 50 dapat melanjutkan kegiatan usahanya di bangunan baru yang ada di TI KM 71. Yang dilakukan Jasa Marga itu dapat diindikasikan sebagai “perbuatan melawan hukum”, karena TKP KM 50 itu termasuk “barang/alat bukti” adanya tindak pidana. Bagaimana KM 50 bisa menjadi saksi atas penembakan laskar FPI jika sudah tidak ada lagi. Tidak seharusnya Rest Area KM 50 itu ditutup permanen sebelum proses hukum atas kasus penembakan 6 laskar FPI yang terjadi pada Senin (7/12/2020) dini hari itu selesai disidang di pengadilan. Komnas HAM seharusnya dan wajib mempertanyakan soal ini kepada Jasa Marga. Misteri KM 50 Sejauh ini pihak polisi tidak bisa menjelaskan ke mana 4 korban yang masih hidup dibawa, setelah dua orang ditembak di TKP KM 50. Dan apa saja yang mereka perbuat terhadap laskar FPI pengawal HRS itu. Ini harus diadakan investigasi oleh pihak terkait, terutama Komnas HAM. Tentunya, polisi yang mengeksekusi korban harus lebih dahulu dilakukan upaya hukum dan proses penahanan jika memang hukum mesti ditegakkan tanpa pandang bulu. Mengingat hal ini bukan perkara kriminal biasa. Tapi, pelanggaran HAM berat. Silakan polisi yang terlibat membawa 4 korban itu menujukkan lokasi tempat menembak korban yang jelas-jelas bukan lagi melumpuhkan, tetapi “pembantaian” jika ingin bicara kebenaran. Menurut Polda Metro Jaya, dari enam orang yang tewas ditembak masih ada 4 lagi laskar FPI pengawal HRS yang melarikan diri. Padahal dalam mobil Chevrolet B 2152 TBN itu hanya berisi 6 orang. Apakah mungkin Chevrolet itu berisi 10 orang? Perlu diketahui bahwa laskar FPI pengawal HRS itu ada 24 orang dalam 4 mobil. Masing masing Mobil berisi 6 orang. Selain 6 laskar di Chevrolet B 2152 TBN, semuanya pulang dalam keadaan selamat. Karena memang beda kendarraan. Dari mana polisi mengatakan, masih ada 4 orang lagi melarikan diri, sedang penumpang hanya 6 orang dan semua tewas? Ini terkesan polisi sedang membuat semacam trik alibi pada media, sebab tidak sesuai dengan jumlah penumpang dan jumlah rombongan pengawal HRS. Polisi sebelumnya juga menunjukkan dua senjata api sebagai barang bukti. Senjata api itu disebut digunakan oleh laskar khusus untuk menyerang anggota polisi ketika melakukan pengintaian terhadap rombongan HRS. Bahkan, polisi menyebut laskar khusus pengawal Rizieq sempat melesatkan tembakan 3 kali hingga mengenai mobil anggota polisi. “Asli ini (senjata api) ada tiga yang sudah ditembakan. Hasil awal kelompok yang menyerang ini diidentifikasi adalah laskar khusus yang selama ini menghalang-halangi penyidikan,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran. Jika berasumsi telah ada 3 peluru yang ditembakan maka di mana laskar FPI itu menembak polisi, sedangkan di TKP hanya terjadi 2 tembakan dan korban tewas? Semua barang bukti yang ditunjukan oleh Polda Metro Jaya sepertinya itu sengaja diadakan. Sebab, seperti yang telah dijelaskan oleh Edy Mulyadi bahwa tidak ada tembakan apapun di TKP KM 50 selain 2 tembakan saja dan itu didengar oleh saksi-saksi. Bahkan, ada saksi yang sangat dekat dengan pristiwa itu sehingga hal ini menjadi sanggahan bagi polisi yang mengatakan telah terjadi tembak-menembak di TKP KM 50. Misalnya, korban membawa pistol dan lebih dulu menembak, maka tentunya di TKP dengan banyaknya polisi di situ akan jatuh korban dari polisi juga, sehingga akan ada aksi tembak-menembak yang ramai dan semua orang yang diusir polisi dari lokasi tentu akan mendengar. Namun, kenyataan itu tidak terjadi. Yang ada adalah banyaknya tembakan polisi ke tubuh 4 korban dan eksekusi mati itu terjadi di tempat lain. Dengan dasar itu tidak mungkin di tempat lain (Lokasi X) 4 korban membawa senjata, karena saat dibawa dari KM 50 mereka digelandang dengan tangan kosong. Pertanyaanya, dari mana polisi mengklaim bahwa senjata itu dari laskar FPI yang mereka tembak? Sebagaimana hasil analisa pihak FPI dan keluarga korban bahwa para korban ditembak cukup banyak lebih dari 1 peluru di masing-masing tubuh korban. Maka, muncul pertanyaan, di mana polisi menembak mereka. Sedangkan di TKP KM 50 tidak terjadi demikian? Bagaimana polisi bisa menjelaskan, mengapa tembakan mereka pada korban hampir semua mengarah ke jantung? Bukankah itu artinya korban sudah tidak berdaya karena nyaris semua korban mengalami luka tembak yang sama dan selebihnya ditembak membabi buta? Melihat penjelasan keluarganya perihal keadaan korban dalam rapat Komisi III DPR jelas sekali, polisi menembak jarak dekat dan itu adalah eksekusi korban, bukan lagi dikatakan bahwa polisi membela diri. Diduga, sebelum ditembak, para korban yang berjumlah 4 orang itu lebih dahulu ditanya banyak hal dengan paksaan dan siksaan untuk menjawab, baru ditembak sedemikian rupa lebih dari beberapa kali untuk memastikan mereka benar-benar telah tewas. Tindakan seperti ini bukan lagi tindakan sesuai SOP Kepolisian, melainkan sudah memenuhi unsur kriminalyang dilakukan polisi sendiri, apalagi dilakukan secara rahasia (Lokasi X). Bukankah dalam prosedur penangkapan itu jika masih hidup mestinya dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan dan kemudian ditahan? Mengapa para korban seolah dianggap Teroris kelas kakap, padahal ada banyak kasus teroris yang tertangkap tidak serta merta diekskusi mati tanpa prosedur? (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Butir- Butir P4, Cerita untuk Anak dan Cucu -1

By Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta, FNN - Selasa (05/01). Strategic Assessment : “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1, Tap MPR No.XVIII/MPR/1998). Masa pandemi Covid-19 membuat anak-anak belajar secara virtual. Implikasinya, mereka banyak bergaul dengan internet. Anak-anak menjadi luas wawasannya dan cerdas. Banyak materi yang tidak diajarkan oleh guru mereka ketahui, baik berita-berita di dunia maya maupun televisi. Orang tua dan eyang-eyang, banyak waktu ketemu anak dan cucu, bercerita macam-macam. Suatu saat, cucu kelas satu SMP bertanya. “Eyang,…. sekarang kok ada sikap radikal, intoleran dan tindakan semena-mena. Radikal dan intoleran itu kan jelek, ya Eyang. Eyang kakung : “Iya. Jelek banget. Mas Abie tahu dari mana? Jangan ditiru ya”. Cucu, Abie Putro: “Baca di internet. Seperti tidak ada dan tidak dihargainya Hak Azasi Manusia ya Eyang. Tindakan menyiksa dan membunuh seenaknya. KKN merajalela. Padahal, katanya kita punya Pancasila yang disarikan dari budi luhur bangsa? Tapi kok begini? Gimana nih Eyang?” Suka tidak suka, pertanyaan inilah yang mendorong saya menulis artikel ini. Artikel pertama di tahun 2021. Cerita untuk anak dan cucu, generasi yang buta masa lalu. Tentu saya akan cerita sejarah masa lalu. Cerita bagaimana PKI ingin mengganti Pancasila dengan komunisme. Pemberontakan PKI Madiun 1948 dan G.30.S/PKI 1965 bukti yang berbicara. Orde Baru (Orba) berusaha agar Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia bisa dihayati dan diamalkan untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya. Di sisi lain mencegah ideologi lain meracuni pikiran rakyat Indonesia. Ideologi yang sengaja disusupkan ke Indonesia oleh asing, atau nilai-nilai asing yang dibawa orang kita yang belajar atau tinggal lama di Eropa, Amerika, Asia, Australia, Timur Tengah dll. Maka diterbitkanlah Tap MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), sebagai penuntun dan pegangan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara bagi setiap WNI, penyelenggara Negara, lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan. Satu hal yang penting, P-4 ini bukan tafsir Pancasila dan juga tidak bermaksud menafsirkan Pancasila. ‘Strategic assessment’ di atas tidak bermaksud memakai Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang sudah memiliki sifat einmalig (final), dan telah dicabut serta selesai dilaksanakan sebagai dasar. Saya hanya ingin bilang kepada anak-anak dan cucu-cucu saya, bahwa ketika mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4, kaum reformis juga menegaskan bahwa: a. Pancasila sebagai Dasar Negara. b. Pancasila yang dimaksud ada di dalam Pembukaan UUD 1945. c. Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam bernegara. Hari gini ngomong Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) emang terasa aneh. Bagaimana tidak? Barangnya sudah dicabut, dan materi muatannya udah dinyatakan tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara, tetapi masih berani ngomongin. Apa nggak takut mati dicap orang Orba tulen? Memang kalau ngomong P-4, jika ketemu generasi yang sejak awal menentang, pasti adu argumentasi dan bikin kedua belah pihak kupingnya panas. Lain hal, ketemu generasi yang hidupnya bisa memahami dan mengamalkan hasil penataran P-4 atau dari belajar sendiri, tentu akan membahagiakan, nostalgia yang manis. Persoalan lain jika ketemu generasi yang lahir tahun 1998 saat P-4 dicabut, berarti saat ini usia 22 tahun atau mahasiswa. Lahir setelah tahun 1998 atau saat dicabut masih orok atau anak-anak, mereka pasti buta tentang P-4. Sebab sekolah dan media tidak membahas, dan buku pelajaran miskin materi Pancasila atau P-4. Maka sangat mungkin terjadi adanya pertanyaan seperti cucu saya di atas. Karena P-4 secara politis sudah dicabut, maka 36 (tiga puluh enam) atau 45 (empat puluh lima) butir P-4 untuk saat ini tidak mungkin disosialisasikan lagi sebagai P-4. Namun, jika anak-anak dan cucu-cucuku bingung mencari pegangan hidup, eyang akan nunjukin; tuh, baca saja ketiga puluh enam atau keempat puluh lima butir P-4. Eyang tidak akan bilang, dan kalian juga tidak perlu bilang sedang membaca dan mempelajari butir-butir pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Sebab P-4 itu sudah dicabut. Eyang hanya bilang; jika kamu butuh pegangan hidup agar hidupmu tenang dan pengabdianmu kepada bangsa dan negara lurus, bacalah butir-butir tersebut sebagai ‘petuah’ atau ‘tuntunan’ dan laksanakan. Eyang berpendapat, dalam bahasa Jawanya, butir-butir itu sebagai “Pitutur kanggo lakuning urip” . Dalam bahasa Indonesia “Petuah untuk jalannya hidup”. Kalian mau nambahi sesuai dengan norma budaya yang hidup di masyarakat dan belum tercantum di dalam butir-butir tersebut, ya tidak masalah. Silakan saja. Bila anak-anak dan cucu-cucuku paham dan melaksanakannya, apakah nantinya sebagai pejabat atau bukan, niscaya kalian akan menjadi sosok yang berperilaku baik. Jika kalian menjadi pejabat, tentu tidak akan KKN karena kalian memegang kejujuran dan keadilan. Kalian menjadi orang yang tidak sombong dan tidak semena-mena walau sedang berkuasa. Mengamalkan pitutur tersebut, kalian akan menghormati dan saling mencintai sesama manusia tanpa memandang status sosial. Kalian akan jauh dari perilaku kejam, sadis, seenaknya menyiksa, membunuh, radikal dan intoleran. Kalian akan menyukai segala sesuatu untuk dikomunikasikan dan dimusyawarahkan demi persatuan. Anak-anakku dan cucu-cucuku, bila ingin tahu seperti apa ‘pitutur’ tersebut, kalian bisa baca di artikel lanjutan : “Butir-Butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila; Cerita Untuk Anak dan Cucuku ke-2”. Selamat membaca, berkontemplasi, berpikir, bekerja dan berkarya untuk bangsa dan negara. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan hidayah kepada kalian. Insya Allah, Aamiin. [Bersambung] Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007

Kalau Presiden Perintahkan FPI Sweeping Mafia Kedelai?

Jakarta FNN – Selasa (05/01). Hari ini emak-emak mulai lega karena tempe dan tahu muncul lagi di pasaran. Bagi mayoritas rakyat Indonesia, dua jenis lauk-pauk pendamping makanan pokok ini nilainya sangat vital. Makan nasi tanpa tahu dan tempe rasanya jadi hambar. Tempe dan tahu inilah yang dirasakan masyarakat dalam tiga hari terakhir karena produsen tempe dan tahu melakukan pemogokan nasional. Pemogokan akibat pemerintah gagal menekan meroketnya kenaikan harga kedelai. Padahal kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu. Menurut obrolan emak-emak dan pedagang di pasar becek, hilangnya tempe dan tahu di pasaran disebabkan para pejabat pemerintah terlena nonton sinetron “Jalinan Cinta”. Sinetron yang sedang booming akhir-akhir ini. Ada juga yang nyeletuk kisruh seputar tempe dan tahu ini akibat pemerintah terlalu sibuk membikin sinetron “radikal-radikul-radikel-radikil” yang pemeran utamanya adalah Hendroriyono. Itu cuma obrolan rakyat awam lho. Fakta sebenarnya setelah lebih enam tahun berkuasa, Presiden Jokowi telah gagal memenuhi janji-janji kampanye dulu. Janji Jokowi untuk mewujudkan swasembada pangan. Sekarang mari kita gali lagi satu dari sekian banyak janjinya enam tahun yang lalu. "Saya sudah beri target Menteri Pertanian tiga tahun. Tidak boleh lebih. Hati-hati, tiga tahun belum swasembada, saya ganti menterinya". Begitu kata Jokowi saat memberi kuliah umum di Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 9 Desember 2014. Waktu itu Jokowi menyebut secara rinci. Swasembada pangan yang dimaksud mencakup empat komoditas, yaitu beras, gula, jagung, dan kedelai. Sebagai langkah awal, Jokowi targetkan pembangunan 30 bendungan untuk penyediaan irigasi lahan pertanian. Selain itu, Jokowi bertekad menekan impor pangan. Menurut Jokowi, impor bahan pangan selama ini disebabkan ada kepentingan oknum tertentu. "Semua masih seneng impor karena banyak yang mengambil rente di sini (impor)," katanya waktu itu. Faktanya, sampai hari ini empat komoditas yang ditargetkan swasembada pada tahun 2017 itu masih diimpor. Sekarang, ada yang membangun alibi penyebab hilangnya tempe dan tahu di pasaran kemarin akibat harga pasaran kedelai internasional melambung tinggi. Ada lagi yang bilang akibat Cina memborong kedelai dari Amerika Serikat. Itu sama artinya dengan penegasan kedelai masih diimpor. Mungkin besok ada lagi yang membangun opini bahwa pandemik covid-19 sekarang ini membuat pemerintah gagal memenuhi swasembada pangan. Padahal masalah sebenarnya bukan itu. Pertanyaan rakyat, ngapain saja pemerintahan Jokowi selama enam tahun ini? Ingat loh, enam tahun lalu kalian sudah mencanangkan swasembada beras, gula, jagung, termasuk kedelai pada tahun 2017. Jadi, alasan apapun yang dikemukan, apalagi mengaitkan dengan konteks situasi krisis ekonomi dunia hari ini sudah sangat basi. Karena swasembada keempat bahan makanan pokok rakyat itu seharusnya sudah tercapai tahun 2017. Sedangkan pandemik Covid-19 baru datang Februari-Maret 2020. Baiklah, sekarang sekali lagi kita maafkan kegagalan tersebut. Lantas apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengejar kegagalan swasembada pangan ke depan? Sebetulnya langkah yang ditetapkan Jokowi enam tahun yang lalu sudah benar. Pertama, bangun waduk untuk irigasi pertanian. Progresnya tinggal dipercepat ,dan harus ada goodwill prioritas anggaran. Kedua, memberantas “import minded” yang tentunya melibatkan pejabat dan pengusaha. Nah langkah ini yang belum terlihat sama sekali. Jadi langkah yang kedua ini harus digeber sekarang juga oleh Pak Jokowi. Sampai hari ini, sektor pengadaan pangan nasional masih dikuasai mafia. Jadi tidak heran dari hari ke hari emak-emak dan suaminya pusing mengatur keuangan rumah tangganya untuk menyiapkan makanan anak-anaknya di rumah. Modus mafia pangan ini sudah terbaca dari dulu, yaitu dengan menarik rente impor yang tinggi dan penimbunan barang. Operasi pemberantasan penimbunan beras ini prnah dilakukan Kapolri Tito Karnavian beberapa waktu lalu. Sejak itu suplai beras stabil sampai sekarang. Kenapa hal ini tidak dilakukan terhadap penimbum kedelai di eranya Kapolri Jendral Idham Azis yang sebenatr lagi pensiun? Sementara ini kita memang mustahil serta-merta bisa menghapus kebijakan impor berbagai komoditas pangan. Karena kebijakan ini pasti akan dibalas negara lain dengan menolak masuk komoditas kita. Tetapi sambil mengejar kemandirian pangan, termasuk sandang dan pangan yang entah kapan bisa terwujud, paling tidak modus penimbunan barang inilah yang bisa dilakukan sekarang juga. Penimbunan kedelai pasti ada. Buktinya, tempe dan tahu bisa seketika mereka hilangkan dari dipasaran selama tiga hari. Setelah itu mereka munculkan lagi di pasaran seketika. Motifnya sudah tentu barang sengaja ditimbun di suatu gudang dan tidak dilepas ke produsen tempe dan tahu sampai pemerintah menyesuaikan harga jual kedelai sesuai kalkulasi keuntungan yang mereka harapkan. Kemarin kita lihat aparat keamanan nampak sigap sekali mencopoti spanduk Front Pembela Islam (FPI). Bahkan sempat-sempatnya melancarkan operasi spektakuler penyergapan rombongan pengawal Habib Rizieq Shihab di kilometer 50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Penyergapan yang berakhir sadis dengan ditempaknya enam anggota Laskar FPI oleh anggota Polda Metro Jaya. Sayangnya, sejauh ini tidak nampak inisiatif dan kesigapan aparat mereka untuk membantu Presiden Jokowi, dengan menyergap para penimbun bahan pangan yang jelas-jelas merugikan seluruh rakyat. Jadi, ada baiknya Presiden Jokowi mulai berpikir out of the box. Misalnya, mengangkat Habib Rizieq jadi Komandan Satgas Penumpasan Mafia Pangan. Habib Rizieq dengan FPI-nya sebetulnya punya energi besar untuk menumpas segala kemaksiatan di negeri ini. Selama ini FPI terbukti efektif menekan maraknya peredaran minuman keras, praktik prostitusi dan perjudian. Metode-metode sweeping dan konfrontasi yang mereka lancarkan terhadap preman-preman dan backing-backing segala jenis kemaksiatan terbukti menimbulkan simpati luar biasa dari masyarakat Indonesia yang mayoritas ber-Tuhan. Dalam doktrin kamtibmas maupun doktrin pertahanan semesta, FPI sesungguhnya modal sosial yang harus dimanfaatkan oleh setiap rezim yang sungguh-sungguh ingin menegakan hukum dan kedaulatan nasional. Operasi pemberantasan FPI sekarang ini sesungguhnya hanya menyenangkan geng-geng mafia yang ingin mempertahankan status quo, termasuk mafia kedelai. Mereka itulah yang ini menyutradarai sinetron “intoleran- radikal-radikul-radikel-radikil” sebenarnya hanya untuk menyesatkan fokus rakyat Indonesia menuju kemandirian bangsa. Menuju swasembada pangan. Nah, kalau FPI yang sweeping mafia kedelai, kemungkinan kedelai bakal membanjiri pasar lagi. Tempe-tahu bakal mudah didapat lagi di Warung Tegal (Warteg).

Dosa Politik Mahfud MD

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (05/01). Andai direnungkan lebih dalam, maka pak Mahfud MD ternyata menjadi menteri yang paling sering bikin gaduh di masa jabatan kedua Pemerintah Jokowi. Kegaduhan ini di luar dugaan. Karena sang guru besar itu dikenal bukan orang yang radikal. Ada dua pernyataan yang pernah dikemukakan Mahfud MD yang dianggap radikal tersebut. Pertama, "pejabat yang sudah tidak dipercaya rakyat, sebaiknya mundur. Jangan tunggu sampai dimurkan”. Kedua, "malaikat sekalpun jika masuk sistem di Indonesia dapat berubah menjadi Iblis". Pada 10 Desember 2019 Prof. Mahfud MD menyatakan bahwa sejak reformasi 1998 tidak ada kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak yang mengkritisi pernyataan ini. Sebab baru saja di bulan Mei pasca Piilpres 2019 sebanyak enam atau bahkan sembilan orang dinyatakan tewas dan teraniaya oleh aparat Kepolisian yang menangani unjuk rasa di depan kantor Pusat Bawaslu. Demikian juga soal Papua yang menurut laporan Amnesti Internasional, telah terjadi 69 kasus pembunuhan "unlawful killings". Bahkan sepanjang 2010 hingga 2018, tercatat 95 orang meninggal dunia. Sebagian besar dari mereka yang meninggal dunia akibat tindakan aparat keamanan. Meski Mahfud MD menyebut laporan Amnesti Internaional tersebut sebagai laporan sampah. Tetapi faktanya sekarang Papua telah menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia. Benny Wenda bahkan telah mengumumkan kemerdekaan Papua di Inggris. Bahkan Benny juga mengumkan dirinya sebagai Presiden sementara Papua Barat. Menghadapi Pandemi Covid 19 Mahfud MD bulan April 2020 lalu mengancam pemudik. Sampai-sampai jama'ah shalat tarawih untuk dapat dikenakan sanksi pidana karena dianggap melawan Pemerintah. Dengan menyentuh masalah sensitif keagamaan seperti ini Mahfud MD dinilai "off side". Masa mudik dan tarawih dianggap kriminal juga? Masyarakat khususnya umat Islam menolak keras proses penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Karena RUU ini disamping merongrong ideologi Pancasila, juga dinilai berbau Orde Lama. Bahkan memberi peluang bangkitnya kembali faham Komunis di Indonesia. Tak lama setelah proter yang ramai itu, Mahfud MD yang mewakili Pemerintah mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) "bodong" untuk meredam aksi. Buktinya RUU BPIP tidak menjadi agenda dalam pembahasan di DPR. Dewan sendiri bandel juga. Tetap mejadikan RUU HIP sebagai agenda prioritas Prolegnas tahun 2021. Terakhir, Pak Mahfud membacakan SKB pembubaran dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) sebagai suatu keputusan yang menginjak-injak hukum. Menzalimi FPI dengan menahan Habib Rizieq Shihab (HRS). Setelah itu, mengganggu aset pesantren, memblokir rekening, serta membantai 6 anggota Laskar FPI yang hingga kini masih dalam proses penyelidikan Komnas HAM. Sebagai Menkopolhukam. Prof Mahfud MD seyogyanya diharapkan mampu menjadi pengendali keamanan negara. Bukan sebagai pencipta kegaduhan politik dalam negara. Tampil paling depan untuk menjaga wibawa hukum, dan menegakkan keadilan. Tidak terlibat dalam melakukan perekayasaan hukum untuk kepentingan politik jangka pendek. Mereferensi pandangan bijak seorang negarawan moralis, bahwa apabila seorag pejabat sudah merasa tidak dipercaya oleh rakyat seharusnya mundur, maka berdasarkan Ketetapan MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Berbangsa, sebaiknya Menkopolhukam Mahfud MD segera mengundurkan diri. Itu sebagai langkah yang lebih bermartabat dan mengagungkan. Pak Mahfud MD lebih baik menjadi Pakar Hukum Tata Negara saja. Atau menjadi cendekiawan muslim. Bisa menjadi mubaligh yang selalu memberi pencerahan di mimbar, daripada menjadi pejabat negara. Bergaul dengan Malaikat itu lebih membuka pintu bagi keselamatan dan keberkahan. Ruangan yang paling cocok untuk pak Mahfud MD bukan di Pemerintahan. Banyak sekali gangguan yang mengharuskan Pak Mahfydz untuk selalu berlindung dari segala godaan syaetan yang terkutuk. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menyoal Peran Pemimpin Tertinggi NKRI Terkait Pembubaran FPI

by Dr. marwan Batubara Jakarta FNN – Selasa (05/01). Pemerintah membubarkan FPI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Kementerian dan tiga Lembaga Negara. SKB Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Kepala BNPT pada 30 Desember 2020. Pengumuman dipimpin Menko Polhukam Mahfud M.D. SKB bernomor banyak, yakni No.220-4780/2020, No.M.HH-14.HH05.05/2020, No.690/2020, No.264/2020, No.KB/3/XII 2020, dan No.320/2020, tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut serta Pemberhentian Kegiatan FPI. Bagi FPI dan para pendukung, sikap otoriter pemerintah terhadap FPI, dan kalangan ummat Islam yang berbeda pandangan atau bersikap kritis terhadap penyelenggaraan negara sudah menjadi hal yang biasa. “Anomali” tersebut sudah menjadi “makanan rutin” sehari-hari. Karena itu, kita tidak perlu heran, mengeluh, menyesal atau takut atas terbitnya SKB. Bagi FPI dan sebagian ummat, menjalankan perintah Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Q.S Ali Imran 104) merupakan perintah Allah SWT yang wajib dijalankan. Justru kalau tidak dijalankan, atau hanya memilih Amar Ma’ruf dan enggan menjalankan perintah “Nahi Munkar”, maka telah terjadi pembangkangan. Hal ini bukanlah pilihan bagi FPI dan sebagian ummat yang konsisten menjalankan agama. Kami paham dan mendukung pilihan sikap FPI. FPI telah memilih jalan dakwah yang integral. Bukan setengah-setengah, apalagi pragmatis. Sikap konsisten FPI bukan diambil atas dasar hitungan untung-rugi duniawi sematar. Sikap konsisten ini pasti menyimpan risiko. Namun bukan karena risiko, lalu FPI surut menjalankan perintah agama. Kriminalisasi, fitnah atau hukuman penjara sudah beberapa kali dialami pimpinan FPI. Maka, pembubaran melalui SKB merupakan hal biasa saja. Tidak merisaukan atau perlu diratapi. Karena itu, tidak menunggu sampai pergantian hari. Hanya dalam hitungan jam, sejak SKB terbit, FPI sudah mendeklarasikan pembentukan ormas baru yang diberi nama Front Persatuan Islam. FPI juga namanya.Bagi seluruh jajaran FPI, the show must go on. Kepentingan menunaikan kewajiban dakwah tidak boleh kendur, apalagi terputus. Deklarasi Front Persatuan Islam pada sore 30 Desember 2020 itu dilakukan untuk melanjutkan perjuangan membela agama, bangsa, dan NKRI sesuai Pancasila dan UUD 1945. Tentu saja Pancasila dan UUD 1945 yang 18 Agustus 1945. Karena itu, gegap gempita dan kegagahan “pembubaran FPI” oleh para petinggi pembuat SKB menjadi terasa hambar, dan berlaku hampir tanpa makna. Pembubaran FPI sarat pelanggaran hukum. dan sudah sangat banyak dibahas para pakar. Pelanggaran yang paling mendasar terhadap Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 Undang-Undang No.39/1999 tentang HAM dan Putusan MK No.82/PPU-XI/2013. Bahwa hak berserikat adalah HAM yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat. Berdasarkan UU No.17/2014 jo. UU No.16/2017 Pasal 80, SKB 6 K/L tidak berdasar hukum. Karena, Pasal 80 hanya mengatur Ormas berbadan hukum, dan itupun melalui pencabutan status badan hukum. Karena pelanggaran SKB demikian gamblang, sekaligus menunjukkan sikap otoriterianisme yang makin meningkat, maka langkah FPI untuk menempuh jalur hukum terhadap terbitnya SKB merupakan hal yang patut didukung. FPI dan para pencinta kebenaran, keadilan, demokrasi, dan HAM perlu bersatu menggugat SKB yang merupakan cerminan kekuasaan yang terasa semakin otoriter dan tidak adil. Namun, pada saat yang sama, kami menganggap perjuangan Amar Makruf Nahi Munkar, menegakkan kebenaran dan menghilangkan kemungkaran, serta gerakan sosial untuk kemanusiaan tetap harus tetap harus menjadi kerja-kerja prioritas FPI. Kriminalisasi ulama dan penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS), pembantaian 6 anggota Laskar FPI oleh anggota polisi dari Polda Metro Jaya, perampokan SDA melalui UU Minerba No.3/2020, legalisasi otoriterianisme melalui UU Korona No.2/2020, dominasi oligarki melalui UU Ciptaker No.11/2020, kebijakan pro konglo dan investor dan TKA China atas mineral nikel, korupsi dana bansos, dan lain-lain, harus tetap menjadi fokus advokasi dan perjuangan FPI. Pada sisi lain, sebenarnya cukup banyak kalangan, termasuk yang bukan pendukung FPI, menolak penerbitan SKB. Umumnya mereka menganggap dengan SKB, pemerintah telah melanggar prinsip-prinsip kehidupan bernegara. Melanggar prinsip musyawarah, keadilan, persamaan di depan hukum, pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan bebas, perdamaian, kesejahteraan, dan lain-lain. Mereka telah menyatakan penolakan secara terbuka. Namun adakah harapan SKB dicabut? Pemerintah memang telah menyatakan FPI atau siapapun yang tidak puas dengan SKB “dipersilakan” menempuh jalur hukum. Namun melihat proses penyelenggaraan negara dan penegakan hukum yang berlangsung 2-3 tahun terakhir, termasuk proses pembentukan UU KPK, UU Ciptaker, UU Korona, UU Minerba, DPT yang bermasalah, terkuburnya kasus kematian sekitar 989 orang petugas KPPS pada Pemilu 2019, sekitar 9-10 orang korban Aksi Damai di Bawaslu 22 Mei 2019, maka rakyat pantas pesimis. Menempuh jalur hukum bisa menjadi alternatif jika para penggugat siap berkorban waktu, tenaga, pikiran, dana, hujatan, penangkapan, dan lain-lain. Jika tidak, lupakan saja. Namun begitu, masih ada sedikit harapan. Siapa tahu Presiden Jokowi berkenan bertindak sesuai posisi sebagai pemimpin tertinggi NKRI. Mari kita lihat prospeknya. Usai penetapan pemenang Pilpres 2019, pada 21 Mei 2019 di Jakarta, Presiden Jokowi antara lain mengatakan, “setelah dilantik di bulan Oktober nanti kami adalah Presiden dan Wakil Presiden seluruh rakyat Indonesia, kami adalah pemimpin dan pengayom dari 100% rakyat Indonesia. Kami akan berjuang keras demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bagi 100% rakyat Indonesia”. Seusai Putusan MK atas sengketa Pilpres, pada 27 Juni 2019 di Jakarta, pidato Jokowi antara lain berisi, “saya mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu kembali. Bersama-sama membangun Indonesia. Bersama-sama memajukan negara Indonesia, tanah air kita tercinta. Tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada hanyalah persatuan Indonesia. Walau pilihan politik berbeda pada saat pilpres, namun kami sampaikan presiden dan wakil presiden terpilih adalah presiden dan wakil presiden bagi seluruh anak bangsa bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada 14 Jui 2019 di Sentul, Jokowi sebagai Presiden Terpilh menyampaikan pidato lain yang berisi, “saya yakin, semua kita berkomitmen meletakkan demokrasi yang berkeadaban. Yang menunjujung tinggi kepribadian Indonesia. Yang menunjung tinggi martabat Indonesia. Yang akan membawa Indonesia menjadi Indonesia maju, adil dan makmur”. Indonesia maju adalah Indonesia yang tidak ada satu pun rakyatnya tertinggal untuk meraih cita-citanya. Indonesia yang demokratis, yang hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat. Indonesia yang setiap warga negaranya memiliki hak yang sama di depan hukum. Menuju hari pelantikan 20 Oktober 2019, pidato-pidato Jokowi di atas memang membesarkan hati dan memberi harapan besar terjadinya rekonsiliasi seluruh anak bangsa. Banyak yang yakin Presiden Jokowi akan merangkul dan menjadi pemimpin bagi 100% rakyat Indonesi. Tak terkecuali terhadap HRS dan FPI yang sebelumnya pendukung Paslon 02. Jokowi pun telah berikrar untuk bersikap adil, menjunjung tinggi demokrasi yang berkeadaban. Menjamin setiap warga memiliki hak yang sama di depan hukum. Namun tak lama setelah pesta kemenangan Pilpres 2019, masalah segera timbul. HRS justru mengalami banyak kriminalisasi dan gugatan yang diduga sarat “manipulasi dan rekayasa”. Kepulangan ke tanah air “terhambat”. Terus mengalami hantu-hantu penghambat sejak 2018/2019 hingga menit-menit terakhir sebelum take-off dari Jedah 9 November 2020. Pada 12 Desember 2020, HRS resmi ditangkap, dan pada 30 Desember 2020, “musibah” berlanjut dengan pembubaran ormas yang dipimpinnya, yakni FPI. Lantas bagaimana hubungan pidato Presiden Jokowi dengan hal-hal yang dialami oleh HRS dan FPI? Menilik penerbitan SKB, terlepas ada sederet menteri, menko dan pimpinan lembaga tinggi yang mengumumkan, tentu saja SKB terbit minimal atas sepengetahuan dan restu Presiden Jokowi. Sudah sering mendengar pernyataan bahwa yang ada dan berlaku hanyalah visi Presiden. Malah rakyat bisa pula meyakini Presiden Jokowi memang menginginkan penangkapan HRS dan FPI dibubarkan. Sebagai warga sepakat dengan butir-butir penting pidato Presiden Jokowi di atas. Karena memang identik dengan nilai-nilai moral, demokrasi, HAM, kemanusiaan dan keadaban. Penilaian rakyat di atas bisa pula salah. Rakyat bisa salah kalau menganggap pemimpin tertinggi bersikap hipokrit. Lain yang kata, lain pula perbuatan. Presiden Jokowi sebenarnya bisa saja tidak bermaksud demikian. Bisa tidak berperan dalam penangkapan HRS dan pembubaran FPI. Bisa pula karena Presiden memperoleh input yang tidak akurat atau salah. Sehingga, sikap hipokrit yang dituduhkan kepada pemimpin tertinggi menjadi salah besar. Kami dan kita sebagai rakyat pantas menuntut agar Pemerintahan Jokowi memberi klarifikasi dan sekaligus kembali kepada tujuan awal pendirian negara, Pancasila, konstitusi dan amanat reformasi. Kita tidak ingin otoriterianisme semakin merebak, kezoliman merajalela, hukum dikangkangi, perbedaan pendapat diberangus dan sikap hipokrit merupakan hal lumrah. Kita tidak ingin pemimpin bersikap berbeda kata dengan perbuatan. Tidak ingin pula ada anggapan bahwa yang berpidato di atas adalah “Another Jokowi”. Mari menanti sikap dan peran Presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi NKRI yang sesungguhnya. Pak Jokowi, Are You The Real President? Pak Jokowi, You are The Real President! Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS.