ALL CATEGORY

Terpenjara di Alam Bebas

by Hasan Syukur Jakarta FNN – Sabtu (09/01). Aku punya teman pernah menjabat gubernur. Sebut saja dengan Pak Pulan. Menjadi Gubernur di luar Pulau Jawa. Diganjar hukuman penjara selama 10 tahun denda Rp 10 miliard. bukan main lamanya. Pak Pulan terpidana korupsi. Karena teman, aku tak peduli dengan statusnya sebagai terpidana. Sekali teman, tetap saja teman. Bagiku hukum adalah urusan atau tugasnya petugas hukum kepada siapapun yang telah dijatuhi vonis. Apalagi telah memiliki kekuatan hukum tetap. Tetapi hukum tidak menghalangi jalinan silaturahmi. koridor silaturahim aku jaga terbuka sepanjang hayat. Bukankah pintu surga tertutup bagi orang yang memutus silaturahim? Pak Pulan bagiku tetap saja teman. Nasibnya saja membuatnya harus mendekam di penjara. Tepatnya di penjara Sukamiskin, Kota Bandung. Lapas (Lembaga Pemasyarakaran) ini diperuntukkan untuk narapidana dengan hukuman minimal 10 tahun penjara. Untuk itu, temanku Pak Pulan, disanalah mendekam. Bayanganku mendekam sepuluh tahun di dalam penjara, pastiah sangat menderita lahir maupun batin. Terisolasi dari sahabat dan terasing dari keluarga. Badanya bakalan kurus kering. Sebab dulu ketika masih pejabat, selalu dilingkungi oleh para ponggawa. Selalu dihormati para sahabat. Sekarang tidak seorang ponggawa atau sahabat yang peduli lagi dengan Pak Pulan. Pasti Pak Pulan kesepian. Sebab tak seorangpun yang menemui beliau di penjara. Kecuali aku dan keluarganya. Beginilah nasib orang dihukum penjara karena korupsi. Suatu hari aku datang berkunjung ke Lapas Sukamiskin Bandung. Aku memang datang untuk sekedar bersilaturahim dengan Pak Pulan. Begitu bertemu, kami saling brangkulan melepas kangen. "Eeh Fulan kelihatan badannya sehat, wajahnya tetap ceria seperti ketika di luar Lapas. Apa karena anda rajin olahraga? tanya aku kepadanya. Jawaban Pak Pulan benar-benar di luar duggaanku. “Aku kira anda di penjara ini sangat menderita", kataku lagi. Dan diluar dugaanku, Pak Pulan malah merasa bebas hidup di dalam penjara. Selanjutnya Pak Pulan berceritera tentang keadaan dirinya selama di penjara. Kenapa kok orang hidup dipenjara justru merasa bebas. Penjahat diluar penjara malah merasa terpenjara. "Terus terang saya sampai saat ini tidak merasa bersalah" kata Pak Pulan. Kalau saya bersalah. Penjara ini sudah penuh dengan pejabat-pejabat yang menyetujui kebijakan saya. Mulai dari para Kepala Dinas, Para Bupati, anggota DPRD Provinsi sampai dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). “Kan disamping disetujui oleh para Bupati dan para anggota DPRD Provinsi, urusan Anggaran Belanja Daerah (APD) juga harus disahkan oleh Mendagri. Tetapi yang dihukum cuma saya? Karena itu saya tidak merasa bersalah. Sebab tak serupiahpun ung yang saya makan", kata Pak Pulan bersemangat ". Fisik saya memang terpenjara. Tetapi jiwaku tetap merasa bebas. Itulah sebabnya kau lihat aku sehat dan ceria. Tidak ada beban dan tekanan psikologis selama di dalam penjara. Semuanya dijalani dengan senang hati. Makanya, kata Pak Pulan lagi, saya sehat-sehat saja. Pak Pulan bilang, tidak sedikit para preman bandit korptor yang hidup di luar penjara. Dan kelihatannya mereka bebas. Tapi yakinlah San, Jiwa mereka terpenjara. Hati nuraninyalah yang selalu mendakwa. Akibatnya, tidur tak nyenyak makan juga tak enak. “Mereka merasa dihantui oleh nuraninya sendiri. Ujung-ujungnya stres dan selesai", tutur Pak Pulan. Aku tersentak juga oleh penututan temanku itu. Aku pikit benar juga. Aku jadi teringat seorang penulis Napoleon Hill, penulis buku "Think and Rich". Ia mengutip hasil sebuah riset, bahwa diantara empat tempat tidur pasien di rumah sakit, tiga diantaranya karena penyakit hati. Doktrin dibalik badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Seharusnya diubah di dalam hati yang sehat terdapat badan yang sehat. Penulis adalah Pengurus KB PII.

"Terima Kasih" Komnas HAM untuk Dua Rekomendasi Berbahaya Itu

by Asyari Usman Medan FNN - Sabtu (09/01). Kecewa dengan Komnas HAM? Tunggu dulu. Kesimpulan mereka tentang pembunuhan 6 laskar FPI yang diuraikan kemarin (8/1/2021), perlu dibaca dengan cermat. Harus sabar. Termasuk sabar membaca tulisan yang agak panjang ini. Tidak mudah melakukan penyelidikan tindak kekerasan. Apalagi tindak kekerasan itu dilakukan oleh orang-orang Kepolisian sendiri. Pastilah banyak tantangan. Mungkin juga rintangan. Inilah yang dihadapi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka sedang “apes”, terpaksa menyelidiki tindak kekerasan yang dilakukan oleh Polisi. Bisa Anda bayangkan kesulitan yang harus dihadapi Komnas. Karena itu, wajarlah disampaikan “terima kasih” bertanda kutip kepada Komnas HAM yang telah merampungkan penyelidikan atas pembunuhan 6 anggota FPI yang terjadi pada 7 Desember 2020. Apresiasi pantas disampaikan meskipun banyak yang kecewa. Publik menuntut agar Komnas menyatakan pembunuhan 6 laskar itu sebagai pelanggaran HAM berat. Tapi, Komnas hanya menyebutnya “pelanggaran HAM” saja. Tanpa kata “berat”. Karena tidak ringan menambahkan kata “berat” itu. Sebab, yang mempelototi Komnas dalam kasus ini adalah orang-orang kelas berat semua. Mereka, Tim Komnas, pasti ingin bekerja maksimal. Tetapi, dalam situasi dan kondisi Indonesia yang sedang mempraktikkan kekuasaan otoriter saat ini, Komnas HAM tentu saja ikut kecipratan dampaknya. Dampak itu antara lain adalah tekanan eksternal dan kegamangan internal. Kita tidak perlu pengakuan atau bantahan orang Komnas tentang tekanan dan kegamangan itu. Cukup dikatakan bahwa semua orang paham apa yang terjadi. Di bawah kekuasaan otoriter ini, Komnas harus menunjukkan harga dirinya. Manunjukkan mereka mandiri. Bahwa mereka independen sesuai mandat UU yang memayungi mereka. Sayangnya, semua ini hanya sebatas legal-formal belaka. Tidak di level praktikal. Untuk waktu ini, independensi maksimal Komnas HAM adalah kesimpulan bahwa pembunuhan 4 (empat) laskar FPI merupakan “unlawful killing” (pembunuhan tak berdasar hukum). Sedangkan pembunuhan terhadap 2 (dua) laskar lainnya dianggap sebagai korban kontak tembak. Kematian mereka dianggap ok. Komnas ‘tak berdaya’ menyatakan pembunuhan yang 2 orang itu pun “unlawful killing” juga. Mungkin karena mereka ini ditemukan tewas di dalam mobil yang mereka kendarai. Sehingga, apa kata polisi dianggap lebih meyakinkan bagi Komnas ketimbang apa kata intuisi dan akal sehat. Polisi mengatakan yang dua itu tewas karena tembak-menembak. Komnas pun percaya karena Kapolda Metro Irjen Fadil Imran sudah “terlanjur” mempertontonkan senjata api (pistol) yang dia katakan adalah milik para anggota FPI. Tetapi, Komnas mencari jalan lain untuk menolak narasi “tembak-menembak” itu. Dalam poin ke-3 dari rekomendasi 4 poin kasus pembunuhan 6 laskar itu, Komnas meminta agar kepemilikan senjata api (senpi) FPI diusut lebih lanjut. Artinya, secara tersirat Komnas meragukan pernyataan Polisi bahwa FPI memiliki senpi. Ini salah satu rekomendasi jebakan yang dikeluarkan Komnas. Sebab, jika penyelidikan lebih lanjut dilakukan dengan transparasi 100 persen plus kerjasama penuh semua pihak dan ‘outside interference’ (campur tangan luar) nol persen, maka sangat mungkin narasi “FPI memiliki senpi” akan goyah dan bisa dipatahkan. Jika narasi ini terpatahkan dalam proses pengusutan lebih lanjut, maka seluruh penjelasan Polisi tentang peristiwa pembunuhan 6 anggota FPI menjadi tidak ‘credible’ lagi. Tidak bisa dipercaya. Kesimpulan (Komnas HAM menggunakan istilah ‘substansi fakta’) lainnya yang “cukup berbahaya” adalah keberadaan dua mobil yang ikut dalam penguntitan rombongan Habib Rizieq Syihab (HRS). Tetapi, Polisi tidak mengakui dua mobil itu milik mereka. Yaitu, Avanza B-1739-PWQ dan B-1728-KJD. Komnas juga “curiga” terhadap keberadaan sejumlah mobil lain yang berada di belakang iring-iringan HRS. Mobil-mobil tsb terekam kamera CCTV milik Jasa Marga (pengelola jalan tol). Komnas merekomendasikan pengusutan kedua mobil itu. Sebab, kata Komnas, keduanya aktif dalam kronologi penguntitan. Sekali lagi, andaikata nanti ada yang bisa melakukan pengusutan secara transparan tanpa hambatan, maka poin ke-2 dari rekomendasi 4 poin Komnas HAM akan mampu membuka tabir tentang apa sebenarnya tujuan penguntitan rombongan HRS. Pengusutan senpi FPI dan dua mobil misterius yang direkomendasikan Komnas bukanlah permintaan biasa. Pengusutan tuntas dan transparan terhadap kedua hal ini bisa mengubah total alur cerita yang telah dijelaskan ke publik. FPI konsisten membantah tuduhan pemilikan senpi. Kalau dalam penyelidikan lanjut yang diminta Komnas itu terkonfirmasi bahwa FPI tidak punya senpi, maka kesimpulan (substansi fakta) Komnas pada poin 6 yang menyebutkan ada kontak senjata antara mobil FPI dan mobil petugas, bisa berubah total. Sekali lagi, Komnas terbaca tidak sepenuhnya menerima penegasan Polisi bahwa mereka (laskar FPI) membawa senpi. Rekomendasi pengusutan lanjut senpi FPI, menunjukkan Komnas masih sangat ragu. Demikian pula rekomendasi agar dilakukan pengusutan lanjut terhadap kedua mobil Avanza yang bukan milik Polisi itu. Pengusutan ini sangat krusial. Sebab, kedua mobil misterius tsb, plus beberapa mobil yang disebut Komnas berada di belakang rombongan HRS tetapi tak bisa dipastikan apakah mereka ikut menguntit atau tidak, menyimpan teka-teki kunci yang harus diungkap tuntas. Kalau kedua hal itu (senpi FPI dan dua mobil misterius) terurai tanpa ada yang disembunyikan, dipastikan akan terjadi “gempa 9.5 Richter” dalam keseluruhan proses penyelidikan pembunuhan ini. Bangunan narasi Polisi akan ambruk. Sekaligus akan runtuh pula tembok yang melindungi orang-orang misterius yang diduga kuat ikut “bermain”. Bahkan, boleh jadi sebagai “pemain utama”. Kedua mobil Avanza yang misterius itu, dan beberapa mobil misterius lain dibelakang rombongan HRS, kuat dugaan “berselancar” dalam drama penguntitan HRS oleh Polda Metro. Sangat mungkin mereka “membajak” penguntitan itu sehingga ada kronologi yang tak bisa dijelaskan. Ada “missing link”. Ada mata rantai yang “tercecer”. Misalnya, tim penyelidik Komnas HAM tidak mencatumkan apa saja temuan mereka setelah 4 orang laskar yang dimasukkan ke dalam mobil di sekitar rest area KM-50 dalam keadaan hidup tetapi kemudian diumumkan tewas. Komnas mengatakan mereka dibawa ke Mapolda. Tetapi, banyak pertanyaan yang harus dijawab. Apa yang terjadi sebelum mereka sampai ke Mapolda? Siapa yang memberi komando? Siapa yang menembak mereka? Siapa yang berada di dalam mobil Land Cruiser? Dan lain sebagainya. Kecewa kepada Komnas HAM, boleh. Tapi, jangan terlalu. Malahan, tidak berlebihan ucapan terima kasih Anda untuk dua rekomendasi “berbahaya” yang mereka tuliskan itu. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Polisi Siber & Polisi GESTAPO Nazi Hitler

Jakarta FNN – Ahad (10/01). Merujuk CNN Indonesia.com Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan pemerintah akan mengaktifkan kembali polisi siber."Jadi saya katakan kita aktifkan polisi siber. Bukan membentuk, (tapi) aktifkan. Karena polisi siber kita gampang kok," kata Mahfud seperti dikutip dari kanal YouTube Dewan Pakar KAHMI Official, Senin (28/12). Mahfud menyebut hoaks yang beredar tak lepas dari persoalan politik. Menurutnya, ada kelompok yang kerap menghantam pemerintah. Sehingga apapun yang dikerjakan oleh pemerintah selalu saja dianggap salah (CNN Indonesia, com. 28/12/2020). "Kalau ada orang mengancam-ancam jam delapan pagi, jam 10 sudah ditangkap, bisa kok sekarang. Dan itu banyak sudah dilakukan," kata Mahfud dalam Webinar KAHMI, Senin (28/12/2020) lalu. "Polisi siber kita bisa untuk hal-hal yang kriminil, membahayakan seperti itu," tambahnya. (Tirto.co.id, 31/12/2020). Ya Polisi Siber, diaktifkan. Jelas sudah. Ini sikap pemerintah yang cukup dapat diyakini. Tidak bakal bisa ditawar. Apapun alasan yang mungkin dan rasional, yang coba digunakan untuk menawarnya, bisa dipastikan tidak diterima pemerintah. Akankah Polisi Siber kelak bermetamorfosa menjadi Polisi Politik. Layaknya Gestapo di masa Nazi Hitler? Apakah Polisi Siber ikut menyadap telepon? Tidak hanya orang-orang kritis diluar pemerinthan. Tetapi juga aparatur pemerintah? Semakin sempitkah kebebasan berekspresi kita? Semakin represifkah pemerintahan ini? Pertanyaan-pertanyaan hipotetik itu layak kita ketengahkan. Karena satu kenyataan kecil. Profesor Mahfud memungkinkan FPI lama berubah dengan menggunakan nama lain. Tetapi, Polisi disisi lain justru hendak membubarkan bila FPI baru tidak didaftarkan. Sikap Polisi tercermin dari pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono. Dia menyatakan ketiadaan legalitas tersebut dalam hal ini,polisi diperbolehkan untuk membubarkan organisasi itu setiap kali melakukan kegiatan di setiap wilayah. "Jika tidak mendaftarkan, artinya di sini ada kewenangan dari pemerintah untuk bisa melarang dan membubarkan, " ujar Rusdi di kantornya, Jakarta Selatan, pada Selasa, 5 Januari 2021 (Tempo.oc.id, 5/1/2021). Polisi Siber, terlihat dari pernyataan Mahfud, sang Profesor Tata Negara yang pernah anggota DPR dan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, canggih. Jam 8 pagi seseorang mengunggah pikirannya di medsos, lalu kontennya dinilai kriminal, jam 10, dua jam setelah itu sudah dapat ditangkap. Sangat canggih. Menyanggah kebijakan ini, dengan cara mengambil dari gudang gagasan Rule of Law, Human Right, Due Process of Law. Lalu mengualifikasi kebijakan ini khas rezim tirani, totaliter, otoriter dan fasis, boleh jadi akan ditertawakan. Sebagai menteri yang dari mulutnya kebijakan ini terpublikasi, boleh jadi Mahfud, professor yang dua kali jadi menteri di pemerintahan Gus Dur itu, muncul sebagai orang yang paling lincah dalam pemerintahan Jokowi, membantahnya. Dunia menyediakan beragam kenyataan tercabik-cabiknya rule of law dan HAM. Demokrasi? Sama juga. Begitulah tampilan rule of law dan demokrasi mutakhir. Paradoksnya seburuk itu sekalipun tampilan praktis keduanya, ilmuan revisionis selalu mampu menyebut rule of law dan demokrasi. Sejumlah rezim demokratis menempatkan ketertiban dan keamanan di jantung demokrasi dan rule of law. National Security Act telah eksis dalam khasanah rule of law dan demokrasi. Tidak ada rezim mutakhir yang mau menyebut demokrasi di negerinya dengan sebutan pseudo demokrasi, hanya karena National Security Act eksis. Apa rakyat Indonesia punya keberanian untuk menyatakan Profesor Mahfud, yang hampir jadi calon wakil presiden Jokowi pada pilpres kemarin tidak baca buku Clinton D. Rositer, yang berjudul Constitutional Dictatorship? Beranikah seseorang mengatakan Profesor tata negara, yang sangat kaya argumen ini, tidak baca artikel Constitutional Dictatorship: Its Dangger and Its Design dari Lynford A. Landner? Diktator, ambil misalnya Hitler, memasuki kekuasaan melalui Pemilu 1933. Dan pemilu itu diatur dalam “Konstitusi Wirmar 1919”, yang dikenal sangat demokratis dan menjamin hak asasi manusia. Setelah kekuasaan diraih, berada dalam genggamannya, konstitusi dan demokrasi itu dicampakan. Keragaman khas “Konstitusi Wimar 1919” hilang. Diganti keseragaman, yang diusahakan secara serampangan. Semua aspek kehidupan diseragamkan. Ras dan politik diseragamkan. Kritik disambut rezim sebagai ancaman berbahaya dengan efek merusak yang tak terperkirakan. Pengawasan, penangkapan, penculikan, penempatan di kamp konsentrasi, bahkan pembunuhan, extra court killing, segera naik menandai tipikal rezim Hitler. Rakyat, bahkan aparatur pemerintah menemukan diri berada dalam orbit pengawasan tiranis pemerintah. Untuk mengefektifkannya, Hitler, dengan bantuan Herman Gorring, mantan perwira Ankatan laut ini, segera membentuk “Geheime Staatpolizie (GESTAPO)”. Ini terjadi pada 1933, tahun naiknya Hitler ke tampuk Cancelor. Mark Neoleus menyifatkan GESTAPO dengan Secret State Police. Polisi rahasia. Sekuritisasi Jerman Nazi, yang dikemudikan Hitler, terus bergerak maju. Ini menjadi alasan utama mengapa pada tahun 1936, Hitler memekarkan struktur Kepolisiannya. Untuk kepentingan ini, Hitler mengangkat Himler mengepalai Kepolisian German. Naik dengan tiket memperkaya strukturr Kepolisian, Himler dalam kedudukannya sebagai Kepala GESTAPO, segera membentuk lagi dua devisi. Dua devisi baru ini disebut Himler dengan Ordnungpolizie (Orpd) dan Sieherheitspolizie (Sipo). Setelah itu dibentuk lagi Kriminalpolizie (Kripo). The Security Police dipimpin oleh Reinhard Heiydrich. Pada saat bersamaan, pria ini juga memimpin Sichersheitdients (SD). Unit keamanan organisasi partai Nazi. Sekuritisasi terus bergerak naik seiring perang yang mulai dikobarkan Hitler. Tahun 1939, security police dan Unit Keamanan Partai (SD) diintergrasikan ke dalam Reichssicherheitshauptamt, atau Reich Security Head Office (RSHA). Praktis Hitler punya Sipo, Kripo, Orpo, Gestapo, SS, SD dan lainnya, yang semuanya, dalam pandan Neuclous, mencerminkan ketidak-jelasan dan kebingungan visi menangani keamanan. Pada Hitler’s War, ditulis oleh David Irving, terlihat jelas tampilan kebingungan itu. Irving menulis, salah satu pengawasan senjata terpenting di Kepolisian negara Hitler, dikendalikan oleh Herman Goring, bukan Himler, yaitu Forschungsamt atau departemen penelitian. Didirikan April 1933. Departemen ini memonopoli operasi “penyadapan” (tanda petik) redaksi telephon. FA, tulis Irving lebih jauh, merupakan sumber inlelijen polisi, ekonomi, dan politik tingkat tinggi. Artikel tercabing-cabik yang berhasil diselamatkan menunjukan efisiensi yang mengancam, menempatkan hasil penyadapan rutin terhadap actor-aktor kacangan. Gubernur Julius Stricher, Nona Unity Mitford, Putri Strefanie Holenlohe, wanita simpanan Gobles, propagandis top ini, semua disadap. Tentu oposisi, jauh lebih ketat berada di orbit penyadapan. GESTAPO, Nazi Secret State Police, dalam kerja penyamarannya, tentu tak berseragam. Ada di mana-mana di setiap sudut Jerman Nazi. Itulah potret kecil tampilan mereka. Menghimpun informasi di setiap sudut politik, sosial, ekonomi Jerman, itu pula kerja kecil lainnya dari GESTAPO. Berwenang penuh membuka dan memerika surat menyurat rakyatnya. Menyadap percakapan telehone, menghukum, bahkan membunuh tanpa proses peradilan. Dikenal dengan extra judicial killing. Itulah Gestapo. Polisi rasis, dengan semua tindak-tanduknya, jelas dikenang sebagai Polisi paling horor. Jerman Hitler diingat sejarah sebagai rasis, dengan Gestaponya di front terdepannya. Alhasil GESTAPO, yang Hitler andalkan menjadi Polisi Politik, dengan semangat rasis, yang kebejatannya berserakan dimana-mana, merasuk ke semua aspek kehidupan. Metode itu membuat Hitler nyaman dari serbuan kritik. Hasilnya jelas, Hitler itu Jerman. Hitler itu Nazi, dan Hitler itu hukum. Ini persis Raja Louise ke 14 ketika berkuaa di Perancis. Raja Louise yang terkenal dengan D’tate et’s moi (negara adalah saya). Tampilan macam itukah yang kelak akan tersaji dalam memori politik bangsa ini setelah Polisi Siber dibentuk? Yang Profesor Mahfud nyatakan diaktifkan, efektif bekerja? Apakah Polisi Siber akan bermain dalam kesamarannya, sehingga bermetamorosa menjadi Polisi politik? Sejarahlah nanti yang akan maju sebagai narasumber otoritatif untuk semua pertanyaan hipotetik itu. Pertanyaan-pertanyaan hipotetik itu, kita ajukan semata-mata karena kita ingin Republik Indonesia tercinta, kelak tak semakin menodai pembukaan UUD 1945, hanya oleh sebab-sebab picik kecil. Cukuplah korupsi Bansos, yang mengakibatkan Juliardi Batubara, Menteri Sosial, kader PDI-P itu ditahan KPK. Cukuplah itu menodai cita-cita luhur pendiri bangsa ini. Cukup sudah kematian tragis enam orang anggota Lankar Front Pembela Islam (FPI), pengawal Habib Rizieq, semuanya atau sebagian mati ditangan Polisi, menjadi penanda arogansi hukum yang kerdil dalam usaha sekuritisasi bangsa ini. Mari mulai beranjak dewasa. Segeralah pemerintah membiasakan diri berpikir dan bertindak dengan bijak. Bijaklah menedefenisikan keamanan. Kita tak mau “keamanan” dijadikan tameng kerdil dan picik. Untuk kegagalan kita menggunakan akal sehat dan nurani republik. Itu saja. Wallaahualam bishawab.

FPI & Keluarga Korban Boleh ke ICC Den Haag

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (09/01). Telah dirilis hasil penyelidikan Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam kasus pembunuhan terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta Cikampek (Japek) yang dikenal dengan peristiwa Kilometer 50. Nampaknya rilis tanggal 8 Januari 2021 ini hasil final. Karena ada butir-butir narasinya, akan dilaporkan kepada Presiden, Menkopolhukam dan Kapolri. Adapun Rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM dari penyelidikan tersebut ada empat butir. Pertama, tewasnya empat anggota Laskar FPI di tangan atau kekuasaan aparat negara merupakan kategori pelanggaran HAM. Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan agar dilakukan proses penegakan hukum lanjutan melalui mekanisme pengadilan pidana. Kedua, mendalami dan penegakan hukum orang-rang yang berada dalam dua mobil petugas di laur anggota Polda Metra Jaya. Kedua mobil tersebut adalah Avansa Hitam B 1739 PWQ dan Avansa silver B 1278 KJD. Karena kedua mobil yang bukan dari Polda Metro Jaya ini melakukan pembuntutan sejaka dari Megamendung, Setntul sampai Cikampek. Ketiga, mengusut kepemilikan senjata api milik Laskar FPI. Keempat, dilakukan proses penegakan hukum yang akuntabel, obyektif, dan transparan sesuai standar HAM. Meski meragukan dan belum jelas dalam kaitan kepemilikan senjata api milik Laskar FPI, yang menyebabkan kematian dua anggota Laskar FPI tersebut, tidak terungkap soal tanda-tanda penyiksaan. Tidak terungkapoleh Komnas HAM telah terjadi terjadi penyiksaan terhadap empat anggota Laskar FPI yang meninggal di tangan anggota Polda Metro Jaya. Catatan penting yang didapat dari rilis Komnas HAM ini adalah keyakinan bahwa telah terjadinya perbuatan yang dikategorikan pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh anggota Polda Metro Jaya. Karenanya harus berlanjut pada proses peradilan. Empat orang yang tewas ditembak pada tahap kedua, yang dikategorikan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM dapat menjadi pintu masuk. Pintu untuk menguak lebih lanjut kebenaran dari kasus yang menghebohkan ini. Apalagi terkait dengan adanya keterlibatan pihak yang bukan aparat kepolisian. Begitu juga dengan pembuntutan yang intensif dan masif terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS). Apa dasar hukumnya? Padahal HRS ketika itu bukan bestatus tersangka. HRS juga tidak berstatus sebagai buronan. Sehingga keterlibatan atasan aparat pelaku pembuntutan dan penembakan patut digali dan didalami lebih lanjut. Jika tidak, maka bisa muncul dugaan adanya kebijakan target "pembunuhan politik" terhadap HRS. Mengapa sejak dari awal keluarnya surat penugasan, petugas dari Polda Metro Jaya tidak meperkenalkan diri atau memperlihatkan surat tugas kepada HRS? Bahwa mereka sedang melakukan penyelidikan terkait dengan dugaan pengerahan massa besar-besaran? Sehingga tidak perlu terjadi pepet-pepetan dengan Laskar FPI yang mengawal HRS selama di jalan tol. Dengan memperlihatkan surat tugas resmi, maka petugas Polda Metro Jaya juga tidak perlu memaksakan diri untuk masuk dalam barisan atau konvoi rombongan keluarga HRS selama di jalan tol. Sebab antara petugas Polda Metro Jaya dengan pihak HRS sudah saling kenal dan mengetahi posisi masing-masing. Kalau sudah saling tau dan kenal, kemungkinan malah petugas Polda Metro Jaya dibiarkan saja untuk bergabung dalam rombongan HRS selama di tol. Sebab petugas tidak lagi dicurigai oleh pengawal HRS sebagai maling atau penjahat lainya. Sehingga harus dijauhkan dari rombongan keluarga HRS. Pelaku Belum Terungkap Dua hal yang disayangkan, dan tidak terungkap secara transparan dari penyelidikan Komnas HAH. Pertama, soal eksplanasi tanda-tanda penyiksaan yang menyertai pembunuhan. Kedua, siapa atau berapa orang pelaku penembakan terhadp enam anggota Laskar FPI? Pengungkapan terhadap jumlah dan identitas pelaku ini penting. Mengingat pembunuhan di kiloeter 50 ini kategorinya adalah perbuatan adalah pelanggaran HAM. Komnas HAM semestinya menemukan identitas pelaku personal perbuatan kriminal tersebut. Hasil penyelidikan Komnas HAM sebenarnya inkonsisten. Karena setelah meyakini bahwa telah terjadi pelanggaran HAM. Tetapi tidak merekomendasi ke arah penegakan hukum melalui pengadilan HAM. Ini bukan semata pembunuhan. Namun pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM berat. Dasarnya adalah UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini agar kasus serupa tidak terulang dan menjadi pelajaran berharga bagi para pelanggar HAM. Konsekuensinya, jika tidak melalui Pengadilan HAM, maka masyarakat masih dapat mendorong dan mengajukan agar proses peradilan dilakukan melalui Internasional Criminal Court (ICC) di Den Haag Belanda. Alasan untuk membawa masalah ini ICC adalah Pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh mengadili pelaku kejahatan HAM. Pembunuhan dan penyiksaan dengan kategori pelanggaran HAM masuk dalam kompetensi peradilan ICC. Tinggal masyarakat mendorong saja. Bahwa Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma tidak menjadi alasan kemungkinan tidak diproses oleh ICC. Kasus Myanmar, Amerika, dan Israel adalah contoh negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma. Tetapi terbukti menjadi obyek peradilan ICC. Apalagi legal standing untuk proses ICC bukankah negara tetapi individu dan masyarakat. Sebentar lagi bola berada di tangan Presiden. Akan diuji komitmen dan keseriusannya sebagai Kepala Negara dalam penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi. Jika tidak serius dan bermain-main dalam kasus ini, maka Presiden dapat dikategorikan sebagai bagian dan terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Harusnya Risma Blusukan ke Rutan KPK, Ada Juliari di Sana Butuh Bansos

by Asyari Usman Medan, FNN - Jumat (08/01). Mensos Tri Rismaharini babak belur gara-gara bluskan mencari tunawisma alias gelandangan di Jakarta. Drama pencitraan Bu Risma berantakan setelah muncul kontroversi karena salah seorang tunawisma yang beliau jumpai diduga palsu. Bukan gelandangan asli. Tetapi, Humas Kemensos mengatakan laki-laki yang dikatakan gelandangan palsu itu bukan Nursaman, tapi Kastubi. Dengan kata lain, Kemensos menepis tuduhan palsu itu. Sebenarnya, kalau Bu Risma bertekad terus melakukan blusukan, kita sarankan agar dia mendatangi rutan KPK. Di sana juga banyak tunawisma (homeless) dan tunakarya (jobless). Salah satunya Juliari (Ari) Batubara yang saat ini memerlukan bansos. Pak Ari perlu bantuan karena sel-sel darah beliau sangat cocok dengan sel-sel dana bansos Covid-19 yang beliau “transgelapkan” ke tubuhnya. Ibarat orang yang sudah kebanyakan narkotika di dalam darahnya, orang itu perlu suntikan narkotika untuk bisa bertahan. Begitu juga Pak Ari yang sudah banyak mengkonsumsi dana bansos. Dia perlu dibawakan oleh-oleh dana bansos agar bisa tenang di rutan. Tapi, haruslah dana bansos yang legal. Jangan yang tidak legal. Pak Ari sekarang ‘kan berstatus berhak menerima dana bansos. Kalau jadi menjumpai Pak Ari ke rutan, Bu Risma jangan lupa bawa kamera. Rekam dialog dengan beliau. Apakah dia mau dicarikan pekerjaan atau mau dipulangkan ke kampung halamannya. Kalau mau dipulangkan, apakah mau pakai private jet atau naik bus? Siapa tahu beliau kangen naik jet pribadi. Atau, kalau repot mencari jet pribadi, pulangkan saja ke rumah Bu Mega. Pak Ari itu ‘kan kader kesayangan Bu Ketum. Biar mereka bisa bincang-bincang tentang OTT. Boleh jadi Bu Mega ingin tahu kenapa Mas Ari bisa kena tangkap KPK. Apakah kurang hati-hati? Atau karena terlalu percaya diri, bahwa PDIP partai terbesar dan terkuat saat in? Pasti banyak yang hendak ditanyakan Bu Mega kepada Mas Ari. Mungkin juga mau ditanyakan bagaimana sebaiknya strategi ke depan untuk menghindarkan OTT? Dan lain-lain. Good idea-lah kalau Bu Risma bisa bantu pulangkah Mas Ari ke rumah Bu Mega. Banyak yang bisa mereka bahas. Terus, apakah ada alasan lain bagi Risma untuk menjumpai Pak Ari di rutan KPK?. Pasti ada. Bu Risma wajib mendatangi mantan mensos itu untuk menyampaikan terima kasih. Terima kasih atas kebaikan Pak Ari membukakan pintu Istana bagi Bu Risma melalui kosupsi bansos. Betapa besar pengorbanan Pak Ari untuk mengantarkan Bu Risma ke Istana. Kalau Bu Risma jadi datang ke rutan, beliau juga bisa bantu Pak Ari mendapatkan pekerjaan di penjara. Pak Ari perlu ada kesibukan di tahanan agar bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan hukuman mati. Sebab, desakan publik agar dia dihukum mati semakin keras. Ok. Kita tunggu blusukan Bu Risma ke rutan KPK. Pasti Pak Ari senang. Sekalian Bu Risma bisa lihat langsung kamar tahanan untuk koruptor dana bansos. Siapa tahu melihat sel di sana ada gunanya. Sebab, masih ada puluhan triliun lagi yang menjadi tanggung jawab Bu Risma. Iya ‘kan? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jokowi Tetap Menolak Lockdown?

Jakarta FNN – Jum’at (08/01). Memasuki pekan kedua bulan Januari, kondisi Indonesia makin berat. Kondisi berat secara kesehatan. Apalagi secara ekonomi. Per tanggal 7 Januari lalu, angka positif Covid-19 sudah mendekati 800 ribu kasus. Sementara kasus harian nyaris tembus 10.000. Tepatnya total kasus 797.723 orang, dan kasus positif harian mencapai 9.321. Dilihat kasusnya ini merupakan rekor tertinggi. Angka-angka tersebut terus naik hari demi hari. Tiga hari menjelang dan selama Natal, angkanya tembus 7.000. Naik 8.000, dan sekarang sudah di atas 9.000 kasus. Diperkirakan jumlahnya akan meningkat 30—40 persen, seiring usainya libur panjang Natal dan Tahun Baru. Meski pemerintah mengimbau warga agar tidak bepergian, namun Departemen Perhubungan memperkirakan, ada sekitar 16 juta orang yang melakukan perjalanan selama libur panjang kemarin. Akibatnya. Sejumlah rumah sakit di kota-kota besar, seperti Bandung, Surabaya, apalagi Jakarta sekarang sudah penuh. Di Surabaya dilaporkan, pasien Covid sampai harus dirawat di lorong-lorong rumah sakit. Karena tidak kebagian tempat tidur. Sementara di Jakarta, sebuah video viral menunjukkan seorang pasien ditawari dirawat di tempat duduk. Sudah tidak tersedia tempat tidur, kata seorang perawat. Situasi semacam ini sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Kondisi ini sudah diprediksi jauh-jauh hari. Ini untuk pertama kalinya Presiden Jokowi secara serius, menampakkan kekhawatirannya ,dengan perkembangan Covid. Bahkan dia mengingatkan Indonesia, khususnya Jawa dan Bali berpotensi dilakukan lockdown. Seperti halnya dilakukan oleh kota-kota lain di dunia. Jokowi menyebut contoh beberapa negara yang harus melakukan lockdown. London, Tokyo, dan yang paling dekat dengan kita Bangkok. Jokowi bahkan menyebut bukan hanya London, Inggris juga melakukan lockdown. "Hati-hati ini jadi catatan kita semuanya, jangan sampai terjadi lonjakan yang sangat drastis, sehingga kita dipaksa untuk melakukan (lockdown)," tegas Jokowi ketika melakukan rapat virtual bersama menteri dan sejumlah gubernur. Meski mengingatkan kemungkinan pemerintah terpaksa melakukan lockdown. Namun itu baru berupa wacana. Sama seperti sikap Jokowi sejak awal pandemi. Dia menolak tegas opsi lockdown yang akan akan diberlakukan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Seperti kita ketahui, pemerintah akhirnya memilih opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Berbeda dengan lockdown, dalam PSBB tidak ada konskuensi biaya yang akan membebani APBN. Bila lockdown yang dipilih, sesuai ketentuan UU, semua kebutuhan hidup warga, bahkan termasuk binatang peliharaan juga harus ditanggung pemerintah. Sementara dalam PSBB tidak ada kewajiban semacam itu kepada pemerintah. Pada PSBB juga ada opsi-opsi pengecualian. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian. Makanya kemudian dikenal berbagai istilah PSBB yang diperlonggar, dan berbagai istilah absurd lainnya. Intinya pemerintah ingin agar kegiatan perekonomian dapat tetap berjalan. Situasinya kini jelas berbeda. Menteri keuangan Sri Mulyani sudah mengisyaratkan. Situasinya saat ini benar-benar sudah darurat. Dia menyatakan tak ada pilihan lain bagi pemerintah. Menerapkan PSBB di Jawa dan Bali. Bila tidak dilakukan PSBB, maka situasinya bisa lebih buruk lagi. Sri Mulyani menggunakan istilah dalam bahasa Inggris getting worse. Pernyataan Sri Mulyani ini menunjukkan betapa buruknya situasi keuangan negara saat ini. Ada nada putus asa dalam pernyataannya. Kalimat “bila tidak dilakukan akan getting worse” menunjukkan bahwa pilihan terburuk itu mau tidak mau harus dilakukan. Ini merupakan peringatan keras bagi Jokowi dari seorang bendahara negara. Menkeu sangat tahu seperti apa kondisi keuangan negara saat ini. Namun dia juga sangat tahu bahwa kebijakan pemerintah selama ini, selalu menolak untuk melakukan lockdown, atau apapun istilahnya. Bahwa keuangan negara semakin memburuk itu sesungguhnya sudah bisa dibaca publik. Pemerintah misalnya membatalkan rencana kenaikan gaji untuk ASN minimal Rp 9 juta. Padahal sudah diumumkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Tjahjo Kumolo. Rencananya akan direalisasikan tahun 2021. Banyak juga rumor yang muncul. Misalnya, gaji pegawai belum diterima. Kalau diterima, baru sebagian. Tunjangan-tunjangan yang biasa diterima tak kunjung turun. Seorang pejabat tinggi negara bahkan menyampaikan. Kemampuan keuangan negara membayar gaji, paling banter hanya kuat sampai bulan April 2021 nanti. Sri Mulyani juga berkali-kali curhat betapa beratnya situasi keuangan negara. Pada bulan November 2020, di depan KPK, Sri Mulyani menyampaikan betapa sulitnya mengelola perekonomian negara dan fiskal selama pandemi Covid-19.. Tak lama setelah mencuat kasus korupsi bansos, Sri Mulyani curhat ke Direktur IMF. Dia susah payah mencari bantuan ke donatur. Tetapi anggaran untuk orang miskin malah ditilep Mensos Juliari Batubara. Sekarang, menghadapi lonjakan Covid-19, Sri Mulyani menyatakan tidak ada pilihan lain. Harus dilakukan PSBB untuk Jawa dan Bali. Bila tidak akan lebih buruk lagi. Bagaimana sikap Jokowi? Sewaktu Jakarta ingin melakukan PSBB diperketat saja, pemerintah pusat menolak dan melakukan tawar menawar. Apalagi sekarang Jawa dan Bali. Tetapi masalahnya, seperti kata Menkeu, tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Silakan diputuskan Pak Jokowi. Jadi Presiden itu memang berat. Biar Pak Jokowi yang memikirkannya. Rakyat tidak akan kuat!! End

Miris, Orang Telantar Ditemukan Kehujanan di Tempat Sampah Rumah Sakit

by Bambang Tjuk Winarno Madiun, FNN - Jumat (08/01). Peristiwa humanisme menyentuh perasaan terjadi di Madiun, Jawa Timur, Kamis sore (7/1). Pria muda berstatus sebagai orang terlantar ditemukan mendekam kedinginan di tempat sampah sebuah rumah sakit, dalam kondisi cuaca turun hujan. Korban yang tidak memiliki tanda pengenal diri dan sulit diajak bicara itu, pertama kali ditemukan petugas Rumah Sakit Paru Dungus, Desa Ngebrak, Kecamatan Wungu. Saat ditemukan, korban hanya mengenakan celana pendek dan kaos lusuh penuh daki. Posisinya duduk mendekam dengan kedua tangan silang mengapit dada, sebagai tanda tengah melawan rasa dingin guyuran hujan serta hawa pegunungan. "Menggigil kedinginan saat pertama kali ditemukan petugas rumah sakit itu. Mengenakan kaos tapi sudah lusuh," tutur Maidora, anggota Tim SAR, kepada jurnalis. Korban yang nampak lepas ingatan, ketakutan, dengan kedua bola mata yang pandang tiada arti itu langsung dievakuasi petugas rumah sakit. Evakuasi dilakukan dengan bantuan warga sekitar, kemudian dimandikan. Pihak rumah sakit juga mengganti baju yang menempel di tubuh korban, dengan pakaian baru yang lebih nyaman dikenakan. "Sekarang sudah berada di ruang perawatan rumah sakit tersebut. Juga sudah diberi makan dan kebutuhan lainnya. Tapi belum ada pihak keluarga yang merasa kehilangan," tambah Maidora. Pihak Rumah Sakit Paru Dungus belum ada yang bisa dimintai konfirmasi terkait itu. Yang pasti, korban sudah dalam penanganan rumah sakit setempat. Yang ironis, disaat anak bangsa terserakh di muka bumi tanpa arti, justru pejabat tinggi berpesta korupsi seakan hilang rasa peduli. Korban yang mestinya memperoleh hak penuh penanganpemerintah atas kondisi sosialnya, namun anggaran bantuan sosial segede Rp. 5,9 trilyun malah dikorupsi Menteri Sosial nya, Juliari Batubara. Kini korban dalam pengawasan pihak Rumah Sakit Paru Dungus, sambil menunggu perkembangan apakah ada pihak keluarga yang mengakui kemudian mengajaknya pulang kembali. Penulis adalah Pelaku UMKM.

Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (6)

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Jumat (08/01). Eksekusi mati atas 6 Laskar FPI yang dilakukan aparat Kepolisian, jelas pelanggaran HAM Berat. Jika Komnas HAM tak berani mengungkap secara transparan, kasus ini berpotensi dibawa ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Para pakar hukum lebih memahami peraturan perundangan dan undang-undang apa saja yang telah dilanggar aparat kepolisian terkait eksekusi mati terhadap 6 laskar FPI pengawal Habib Rizieq Shihab menuju tempat pengajian rutin keluarga. Padahal rombongan HRS ketika itu sedang dalam perjalanan melaksanakan pengajian rutin keluarga bersama anak-cucunya, bukan sedang melakukan kegiatan kriminal, perampokan, begal, narkoba, apalagi teroris. Kalaupun misalnya HRS tidak atau belum memenuhi panggilan polisi terkait pelanggaran protokol kesehatan, apakah harus dilakukan upaya pembunuhan sebagai motto Tindakan Tegas polisi dan dikuntit ke mana saja ia pergi seolah HRS itu seorang kriminal? Hasil Uji Balistik Komnas HAM menguatkan baku tembak antara polisi dan anggota FPI sebelum KM 50. Ada proyektil dan selonsong yang identik dengan pistol milik polisi dan pistol yang diduga milik anggota FPI. (Koran Tempo, 7 Januari 2021). Kejanggalan Rekonstruksi Bareskrim Polri melakukan reka ulang penembakan terhadap enam anggota laskar FPI yang merupakan pengawal HRS pada Senin dini hari (14/12/2020. Rekonstruksi menggambarkan rentetan kejadian hingga berakhir pada tewasnya enam anggota FPI. “Rekonstruksi ini hasil dari berita acara pemeriksaan, olah TKP dan bukti petunjuk,” ungkap Kepala Divisi Humas Polri Irjen Polisi Argo Yuwono seusai rekonstruksi di Jalan Tol Jakarta Cikampek, Karawang, Senin, 14 Desember 2020. Polisi membagi rekonstruksi ke dalam empat titik lokasi. Lokasi Pertama Lokasi pertama di depan Hotel Novotel Karawang, Jalan International Karawang Barat. Hal ini berdasarkan reka adegan, saat kejadian itu ada dua mobil yang ditumpangi anggota FPI, yaitu Toyota Avanza dan Chevrolet Spin. Sedangkan empat anggota polisi menaiki sebuah mobil Avanza. Polisi menyebut di Kawasan tersebut mobil anggotanya dipepet oleh mobil Avanza FPI hingga ke pinggir jalan. Setelahnya mobil itu pergi. Namun, mobil Spin yang berisi enam orang anggota FPI berhenti di depan mobil Avanza polisi. Empat anggota FPI keluar dari mobil itu membawa senjata tajam. Dua anggota di antaranya disebut memukul mobil polisi dengan senjata tajam. Merespon hal itu, seorang polisi keluar dari mobil dan melepaskan tembakan peringatan. Tembakan peringatan membuat empat laskar FPI kembali masuk ke dalam mobilnya. Namun, setelah itu dua anggota FPI lain yang tadinya berada di dalam mobil menembak sebanyak tiga kali ke arah mobil polisi, lalu kembali melaju. Kejanggalan lokasi pertama:Dalam rekaman Audio Relawan dalam komunikasi intens mereka sepanjang perjalanan, mereka sama sekali tidak menyinggung atau bercerita tentang peristiwa ini. Seandainya ada, maka sejak awal seharusnya mereka sudah melakukan penghindaran dari kejaran polisi dan tidak akan terus mengawal HRS dan tentu komunikasi mereka akan jauh lebih terkesan panik. Tapi, kenyataannya dalam rekaman audio kemunikasi mereka malahan sangat rileks, bahkan santai sepanjang perjalanan hingga Rest Area KM 50 . Itu artinya, tidak ada kejadian seperti reka ulang (silakan cermati lagi audio komunikasi mereka). Dalam reka ulang ini Isi Mobil Spin Adalah 6 Orang, Bukan 10 Orang! Dan, itu berlawanan dengan penjelasan polisi bahwa masih ada 4 orang lain melarikan diri. Di sini polisi diduga berusaha berbohong. Lokasi Kedua Reka adegan berlanjut di lokasi kedua, yakni Jembatan Badami yang berjarak sekitar 500 m dari lokasi pertama. Di jembatan itu, dua mobil kembali terlibat kejar-kejaran. Reka adegan menunjukkan, polisi dan FPI kembali terlibat baku-tembak. Mobil polisi gagal menyalip karena terhadang truk yang melintas di pertigaan. Mobil Spin melaju ke arah tol Jakarta-Cikampek. Kejanggalan Lokasi kedua: Dalam adegan ini dikatakan ada kejadian baku tembak. Dan, itu artinya justru menjadi janggal. Sebab penjelasan polisi sebelumnya mengatakan dalam jumpa pers bahwa laskar menembakkan tiga kali saja. Kalau memang ada tembak-menembak, maka tentu akan banyak paluru ditembakkan dan ada kemungkinan kendaraan polisi bisa terkena tembakan laskar. Meskipun tak mengenai polisi, namun faktanya tidak ada kendaraan polisi yang terkena tembakan dalam kejadian ini. Jika menyimak rekaman pembicaraan selama perjalanan, lagi-lagi dalam komunikasi audio, tidak ada cerita para laskar membahas kejadian tembak- menembak di lokasi ini. Lokasi Ketiga Reka adegan selanjutnya dilakukan di Rest Area KM 50. Di lokasi itu, mobil Spin 6 laskar FPI terhalang sebuah mobil saat ingin keluar dari rest area. Saat itulah empat polisi keluar dari mobil dan mengepung mobil Spin tersebut. Polisi langsung membekuk empat anggota FPI dari dalam mobil, lalu memerintahkan mereka tengkurap di tanah. Adapun dua anggota FPI sisanya nampak terkulai tak bergerak di dalam mobil. Seorang anggota polisi mengecek kondisi kedua orang itu. Dia juga menyita sepucuk senjata api, 10 butir peluru dan sejumlah senjata tajam dari dalam mobil. Polisi juga menyita ponsel milik keenam anggota FPI tersebut. Kemudian datang mobil Daihatsu Xenia yang ditumpangi oleh dua orang polisi di Rest Area KM 50. Setelahnya, para polisi mengangkat dua orang anggota FPI dari dalam mobil Spin, lalu merebahkan tubuh kedua laskar FPI itu di bagian belakang mobil Avanza. Kemudian, dua orang anggota polisi menaiki mobil tersebut dan membawa mereka. “Setelah kejadian ternyata dalam kondisi luka, sehingga dibawa ke RS Kramat Jati Polri,” ungkap Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Andi Rian di lokasi. Sementara, keempat anggota FPI lainnya dibawa dengan menggunakan mobil Xenia. Tiga anggota polisi ikut dalam mobil yang membawa 4 anggota FPI. Sementara, seorang polisi menaiki mobil derek yang membawa mobil Spin. Di mobil Xenia, dua orang polisi duduk di depan. Seorang polisi duduk di tengah bersama seorang anggota FPI. Tiga anggota FPI yang lainnya duduk paling belakang. “Mereka tidak diborgol,” kata Andi. Kejanggalan Lokasi 3: Di lokasi ini ternyata sudah ada 2 orang terkena tembakan. Yang jadi pertanyaan, mereka ini ditembak di mana? Di lokasi 2 kah? Bagaimana bisa ada dua orang sudah tertembak di lokasi 2 saat terjadi tembak-menembak? Jika memang ada tembak-menembak di lokasi dua dan memakan korban 2 orang maka paling tidak mobil Spin itu sudah tertembak dan tentu ada bekas tembakan dan darah korban. Jadi jika dikatakan ada 2 orang sudah tertembak saat dikepung, maka semakin aneh. Karena, saksi yang ada di lokasi mengatakan ada 2 tembakan! Dan itu dijelaskan oleh wartawan Edy Mulyadi ketika cek lokasi TKP. Hal lainnya, kok bisa masih ada 10 peluru? Katanya di lokasi 2 terjadi tembak-menembak? Bagaimana menjelaskan itu semua? Menurut saksi di lokasi, setengah jam lebih kurang datang mobil ambulan untuk membawa 2 korban pergi. Tetapi direka-ulang, korban malah dinaikan ke mobil Avanza? Penjelasan Andi justru makin aneh saja. Belum lagi adanya penjelasan dari investigasi Edy Mulyadi bahwa kendaraan itu rodanya ditembak, sehingga saat masuk area TKP dan mobil sudah terseok-seok. Anggaplah ini benar kena tembak saat tembak-menembak di lokasi 2 tetapi apakah mungkin mobil dalam kondisi ban pecah sampai ke lokasi Rest Area KM 50? Mengapa tidak disergap saja saat di lokasi 2, sebab mobil sudah pasti akan berjalan lamban? Dalam reka ulang terlihat bahwa 4 orang dibawa polisi dengan mobil Xenia hanya dikawal dengan 3 orang polisi. Satu polisi berdua dengan seorang korban dan ini akan menjadi dasar kematian 4 orang ini di KM 51, apakah mungkin? Apakah yakin mereka tidak diborgol dengan posisi duduk demikian dalam mobil di mana hanya ada 1 polisi di tengah bersama seorang laskar? (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Ratu Drakor di Panggung Srimulat

by Jarot Espe Surabaya, FNN - Jumat (08/01). Tidak ada kelompok dagelan, yang popularitasnya melebihi Srimulat. Bahkan ketika Srimulat bubar pun, para pelawaknya laku keras mengocok perut lewat layar teve. Terlahir di Solo dari tangan dingin seniman Teguh Slamet Raharjo, Srimulat mencapai puncak kejayaan ketika rutin manggung di Taman Hiburan Surabaya (THR) Surabaya. Setiap malam Jumat, panggung Srimulat diisi tema drakula. Benar benar suasananya mencekam, karena sang sutradara Teguh, menghadirkan back sound yang mendukung tema. Adakalanya, sosok drakula muncul di tengah penonton. Seluruh panggung menjerit histeris. Tapi beberapa saat kemudian, penonton terpingkal pingkal. Coba bayangkan, sang drakula setengah berlari menuju panggung karena 'kebelet' kencing. Dialog pemain Srimulat memang cocok di telinga arek arek Suroboyo. Meski faktanya, penonton Srimulat berdatangan dari berbagai kota. Maklum, panggung Srimulat juga diselingi band pengiring dan penyanyi dari Surabaya. Jadi kalau ada yang nggak paham dialog Suroboyoan, paling tidak terhibur oleh live musiknya. Srimulat sungguh menghibur. Walikota Surabaya, waktu itu, Soekotjo, menjadikan Srimulat sebagai aset kota pahlawan. Usia Trimaharini alias Risma, pengganti Soekotjo 30 tahun kemudian, masih usia sekolah dasar atau SMP. Apakah Risma dulunya juga sering nonton panggung Srimulat? Entahlah. Paling tidak, seperti layaknya arek Suroboyo, saya juga merasa terhibur selama Risma menjadi walikota Surabaya selama 2 periode. Bu Risma, demikian wong Suroboyo memanggil akrab walikotanya, galak. Galak khas orang Jawa Timur, sekaligus membuat orang tersenyum. Terhibur. Mirip respons spontan penonton di panggung Srimulat. Saat Surabaya dilanda hujan deras, 16 Desember 2019, kondisi lalu lintas di Jalan Raya Darmo, macet. Risma pun beraksi. Mengenakan jas hujan, ia berdiri tepat di persimpangan dari arah Jalan Diponegoro menuju arah Wonokromo. Padahal di lokasi yang sama, petugas gabungan dari Satpol PP, Dishub Surabaya maupun kepolisian juga terus mengatur kepadatan kendaraan. Empat bulan kemudian, Risma kembali beraksi manakala Mal Pelayanan Publik Siola Surabaya terbakar. Menggunakan alat pengeras suara, Risma meminta seluruh pengunjung gedung keluar. Sampai ada yang nyeletuk mengingatkan agar Risma hati-hati. Sebab sudah ada petugas yang lebih tahu situasi dan kondisinya. Aksi terakhir Risma sebelum dilantik sebagai Mensos, terlihat saat para demonstran menggelar demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Surabaya, Oktober 2020. Mengetahui banyak fasilitas publik dirusak pengunjuk rasa, Risma marah dan viral di media sosial. Sosok Risma bisa dianggap katup pelepas ketegangan atas kondisi hidup yang dihadapi warga. Lupakan sejenak penegakan hukum yang amburadul, seperti terlihat pada kasus penembakan 6 anggota FPI. Apalagi membahas kasus korupsi bansos oleh kader PDIP, mantan Mensos Juliari Batubara. Abaikan sebentar, kasus covid 19 yang melonjak tak terkendali. Tetap fokus bahagia mencari hiburan Srimulat ala Risma. Selepas dilantik sebagai Mensos, gaya Risma tetap menghibur, paling tidak bagi saya. Wong Suroboyo. Ia enteng berkata, mendapat izin Presiden Jokowi untuk merangkap jabatan: yaitu Mensos sekaligus Walikota Surabaya. Benar benar khas Risma, terdengar spontan, meski melabrak perundangan di Indonesia. Sepekan terakhir, Risma melanjutkan aksi blusukannya. Termasuk menemui tuna wisma di kawasan elite Jakarta, Sudirman-Thamrin. Kali ini sebagai orang Surabaya saya sedih. Respons khalayak demikian negatif, karena tuna wisma yang ditemui Risma, ternyata abal-abal. Namanya, Nur Saman, 70 tahun, penjual poster Soekarno di Jalan Minangkabau, Manggarai, Jakarta Selatan. Dia juga jualan kelapa muda. Saya berencana menulis surat terbuka ke Bu Risma. Jadi semua itu setingan, Bu? Siapa gerangan sutradaranya? Tahukah ibu dianggap melanggar UU ITE karena menyebarkan kebohongan? Hoax..! Kini terasa Bu Risma gak selucu dulu. Gak menghibur seperti panggung Srimulat. Aku wong Suroboyo... arep misuh ga enak. Lha sampean menteri kok dipisuhi. (Aku orang Surabaya, mau mengumpat ga enak. Anda (Bu Risma) kan menteri, masak diumpat). Penulis adalah Pemerhati Seni.

FPI Dibubarkan, FPI Baru Juga Diancam. Maunya Apa Sih?

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Jumat (08/01). Rezim pemerintahan Joko Widodo telah membubarkan Front Pembela Islam (FPI) tanggal 30 Desember 2020 lalu. Meski secara hukum pembubaran tersebut sangat lemah karena hanya diputuskan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani enam pimpinan kementerian dan lembaga, namun para pengurus FPI tidak mau ambil pusing. Oleh karena itu lalu para fungsionaris FPI segera mendeklarasikan Front Persatuan Islam (baca: FPI Baru). Pembentukan ormas baru ini sangat dimungkinkan karena memang dijamin dan dilindungi undang-undang. Bahkan Menko Polhukam Mahfud MD membolehkan pembentukan ormas bernama Front Persatuan Islam. "Boleh," kata Mahfud lewat pesan singkat kepada portal berita Detik, Kamis (31/12/2020). Jawaban Mahfud ini disampaikan untuk menanggapi pertanyaan apakah deklarasi Front Persatuan Islam oleh Munarman dkk diperbolehkan setelah Front Pembela Islam dilarang oleh pemerintah. Nah karena sudah mendapat sinyal dari pemerintah melalui pernyataan Menko Polhukam, kemudian deklarasi FPI Baru pun dilakukan di berbagai daerah. Tapi rupanya melihat soliditas umat Islam dalam melanjutkan kegiatan dakwah Amar ma'ruf nahi munkar melalui FPI Baru makin kuat, aparat keamanan justru menjadi gerah. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan tegas mengancam akan membubarkan seluruh kegiatan Front Persatuan Islam (FPI) di seluruh daerah di Indonesia. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Rusdi Hartono menegaskan bahwa Front Persatuan Islam sudah tidak memiliki legalitas dan payung hukum. Oleh karena itu menurutnya, polisi diperbolehkan untuk membubarkan organisasi tersebut jika melakukan kegiatan di setiap wilayah. "Jika tidak mendaftarkan artinya di sini ada kewenangan dari pemerintah untuk bisa melarang dan membubarkan," ujar Rusdi sebagaimana dikutip portal berita Pikiranrakyat-Bekasi, Rabu 6 Januari 2021. Indonesia Negara Kekuasaan? Menanggapi hal tersebut, pakar hukum tata negara Refly Harun mengaku merasa aneh dengan sikap yang diambil pihak kepolisian tersebut. "Ini agak aneh rasanya kalau kita belajar hukum, terutama hukum tata negara yang terkait dengan konstitusi dan hak asasi manusia," kata Refly Harun seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com Dari kanal YouTube Refly Harun. Menurut Refly, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memberi putusan bahwa di Indonesia terdapat dua jenis organisasi massa (ormas), yaitu ormas berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Ormas yang tidak berbadan hukum itu ada dua juga, ormas yang terdaftar di Kemendagri dengan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan ormas yang tidak mendaftar atau tidak terdaftar. Refly Harun meminta aparat keamanan untuk bisa memahami tentang seluk-beluk ormas di Indonesia. "Legalitasnya bukan dari penguasa, karena itu adalah HAM, sudah melekat kepada warga negara dan warga negara berhak setiap saat berserikat dan berkumpul, termasuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan," jelas Refly Harun. Namun, jika ormas tersebut sudah terbukti mengganggu ketertiban masyarakat, keamanan, dan melanggar hukum, maka aparat penegak hukum berhak untuk membubarkan kegiatan ormas tersebut. "Jadi, tidak bisa aparat kepolisian ujug-ujug membubarkan sebuah kegiatan ormas, walaupun ormas itu belum mendaftar di Kemendagri," tegas Refly Harun. Kalau hanya ingin berkumpul, melakukan kegiatan tanpa berpikir bantuan dari negara, jelas Refly, maka tidak perlu mendaftar dan tidak perlu mendapatkan SKT. Pernyataan Refly tersebut juga didukung oleh aturan baru MK yang menyatakan bahwa tidak terdaftar bukan berarti kemudian bisa dibubarkan. "Karena sekali lagi, eksistensi semua ormas itu tidak digantungkan dengan ada tidaknya pengakuan dari negara, melainkan dari kegiatan atau aktivitas ormas itu sendiri," ungkap Refly Harun. Dia meminta kepada aparat keamanan agar bisa memahami secara matang tentang konstitusi dan HAM. "Supaya aparat tidak menggunakan bahasa kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru bisa dikatakan melanggar hukum, HAM dan konstitusi," tuturnya. Ia juga meminta kepada pemerintah ke depannya agar tidak lagi membubarkan sebuah ormas tanpa proses hukum yang jelas, walaupun UU memungkinkan hal tersebut. Namun menurutnya, UU yang memungkinkan hal tersebut yakni UU No. 16 Th. 2017 adalah sebuah produk otoriter. Dalam menyikapi lahirnya FPI Baru ini, sikap pemerintah sendiri tidak sama. Di satu sisi, Menko Polhukam Mahfud MD membolehkan terbentuknya Front Persatuan Islam. Di sisi lain, Polri justru mengancam akan membubarkan segala bentuk kegiatan FPI Baru itu. Aneh bin ajaib. Menko Polhukam berbicara dengan bahasa hukum, sebaliknya pihak kepolisian menggunakan bahasa kekuasaan. Jadi sebenarnya Indonesia ini negara hukum atau negara kekuasaan sih? Kalau melihat Konstitusi NKRI Pasal 3 sebenarnya sudah sangat jelas dikatakan bahwa “Indonesia adalah Negara Hukum” (Rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (Machstaat), sehingga seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana tidak bisa langsung dihukum tanpa melalui proses hukum.. Konsep Negara hukum tentu mengutamakan supremasi hukum dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh para pejabat di Republik ini dan bukan atas dasar kekuasaan yang dimilikinya. Setiap orang yang dituduh bersalah secara harus diproses secara hukum. Tidak bisa dipungkiri bahwa sekarang faktanya Indonesia sebenarnya sudah bergeser menjadi negara kekuasaan dimana proses hukum hanya sebagai formalitas belaka. Dengan demikian, isi yang terdapat dalam UUD kini tinggal rangkaian kata-kata yang tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Yang berlaku sekarang adalah tangan besi kekuasaan. Oleh karena itu menjadi dianggap biasa oleh penguasa otoriter untuk menahan dan memberangus pihak-pihak yang tidak sejalan dengan penguasa. Rezim pemerintah otoriter bisa dengan bebas dan leluasa memenjarakan orang-orang yang dianggap berlawanan dengan penguasa termasuk para ulama dan para tokoh masyarakat lainnya. Jika mengikuti perjalanan bangsa ini, silahkan Anda menilai sendiri apakah reformasi yang telah berjalan sejak tàhun 1998 ini sedang bergerak maju atau sebaliknya berjalan mundur ke era Orde Lama? Semangat kebangsaan untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera, nampaknya tinggal harapan kosong. Optimisme yang menggelora diawal-awal reformasi, kini menjadi seperti antiklimaks manakala menyaksikan perilaku pejabat pemerintah dan aparatur keamanan di republik ini. Upaya pihak kepolisian untuk menghambat kegiatan FPI Baru, sangat boleh jadi didasari oleh skenario untuk melumpuhkan berbagai upaya hukum dari para pengurus FPI Lama dalam mengungkap kasus pembunuhan keji yang dilakukan aparat kepolisian terhadap enam laskar FPI pada Senin 7 Desember 2020. Jika eks fungsionaris FPI Lama ini dianggap tidak mampu membentuk Ormas "yang diakui" pemerintah, maka bisa saja nanti pihak kepolisian secara sepihak mengesampingkan orang-orang yang memperjuangkan penyelidikan terhadap kasus pembunuhan tenam laskar FPI. Kalau sudah demikian kondisinya, wis angel tuturane. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior Fnn.co.id.