ALL CATEGORY
Mengenang 40 Hari Laskar Dibunuh
Setiap muslim meyakini, doa anak yatim dan piatu, yatim piatu sangat cepat diterima oleh Sang Khalik, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian juga doa orang tua, terutama doa ibu kepada anak. by Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - SENIN dini hari, 7 Desember 2020 sekitar pukul 00.30, enam laskar Front Pembela Islam (FPI) tewas ditembak polisi. Mereka adalah bagian dari iring-iringan mobil pengawal Habib Rizieq Shihab dan kelurga yang akan mengikuti pengajian keluarga inti di sebuah tempat di daerah Karawang, Jawa Barat. Sejak menjelang subuh sudah ada informasi di media sosial, terutama di WatsApp yang mengabarkan adanya laskar yang hilang. Diduga, mereka diculik orang tidak dikenal. Namun, tabir kemudian dibuka Allah. Siang hari Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Fadil Imran mengumumkan bahwa anggotanya yang menembak enam laskar tersebut. Alasannya, karena melawan petugas dengan senjata api. Terjadi baku-tembak. Tapi, alasan itu kemudian berubah. Mereka ditembak (khusus empat orang yang dibawa ke mobil polisi tanpa diborgol atau tangannya diikat menggunakan tali) karena di dalam mobil berusaha merampas senjata polisi. (?) Apa pun alibi atau alasan yang dikemukakan, sangat sulit dipercaya karena saksi hanya sepihak, yaitu polisi yang masih hidup. Akan tetapi, sebagai manusia yang beragama, terutama agama Islam, kesaksian di dunia itu adalah tipu-tipu belaka. Kesaksian yang berat itu adalah di hadapan Allah yang menjadi hakim yang paling adil. Biarlah tempat peristirahatan KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek ditutup secara permanen dan selamanya menjadi saksi bisu. Akan tetapi, tempat itu beserta benda dan bangunan yang ada di sana kelak menjadi saksi di hadapan Allah. Biarlah pistol yang meletus menjadi saksi bisu di dunia. Kelak di akhirat akan menjadi saksi yang sebenarnya. Biarlah mobil laskar sudah rusak, dan mobil petugas yang membawa mereka masih utuh menjadi saksi bisu yang kelak berbicara di hadapan Allah. Biarkan semua jadi saksi bisu, termasuk aspal yang dilewati, ambulans yang mengangkut jenazah, rumah sakit tempat autopsi menjadi saksi bisu. Kelak semua akan bicara apa adanya di hadapan Allah. Biarlah di dunia mulut membela, tapi di akhirat mulut dikunci, tangan dan kaki bersaksi. Ingat Firman Allah dalam surat Yaasin ayat 65. Artinya, walau di dunia lolos dari hukuman, tetapi di akhirat tidak. Di akhirat, semua menjadi saksi, apakah pernyataan dan keterangan polisi yang benar atau sebaliknya salah. Apakah keterangan dan pernyataan FPI yang benar atau sebaliknya salah. Allah adalah hakim yang seadil-adilnya. Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM ) sudah mengeluarkan rekomendasi, pembunuhan terhadap enam orang laskar FPI itu adalah pelanggaran HAM. Harus diusut secara pidana. Artinya, dalam kasus ini pelaku pembunuhan harus dibawa ke peradilan umum, tidak cukup hanya atasan menghukum. Jumat, 15 Januari 2021 malam, kepulangan mereka ke Sang Khalik diperingati dengan mengadakan doa tahlil di rumah keluarga masing-masing. Ya, pengajian mengenang 40 hari mereka berpulang dengan senyum walau tubuhnya penuh dengan bekas penyiksaan. Yang jelas dan pasti, rata-rata mereka ditembak pada bagian dada dan jantung, menembus ke belakang. Pengajian atau tahlil 7 hari, 40 hari, 100 hari dan bahkan 1.000 hari adalah kebiasaan yang dilakukan umat Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa yang mayoritas penganut Imam Syafi'i. Mazhab Imam Syaf'i jugalah yang dianut oleh Nahdlatul 'Ulama (NU). Jumlah penganut Imam Syafi'i yang tidak menjadi pengurus dan anggota NU secara struktural jauh lebih banyak. Mereka tidak tercatat secara struktural, tapi dikenal secara kultural NU, termasuk yang ada di FPI. Padahal, yang tidak tercatat di NU itu adalah pengikut Imam Syafi'i yang fanatik membaca doa qunut setiap salat subuh, zikir dan doa bersama, peringatan Maulid Nabi Muhammad, membaca surat Yasin setiap malam Jumat, dan kegiatan keagamaan lainnya. Itu juga yang dilakukan FPI yang setelah dibubarkan pemerintah, dan berganti nama menjadi Front Persaudaraan Islam. Masih ingat, peringatan Maulid Nabi Muhammad di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat yang menjadikan Habib Rizieq Shihab menjadi tersangka. Sebagai informasi, ketika H Burhanuddin Lubis, ayah Ketum FPI Ahmad Sabri Lubis meninggal dunia pada 7 November 2019 dalam usia 83 tahun. Saat pemakaman di lingkungan Pesantren An-Nur, Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, doa tahlilnya panjang. Tahlil malam ketujuh diselenggarakan di rumah almarhum. Sedangkan tahlil mengenang 40 hari diadakan di Pesantren An-Nur, tempat almarhum dimakamkan. Jamaah yang datang membludak. Semasa hidupnya, almarhum adalah penganut mazhab Imam Syafi'i tulen, dan sangat fanatik, walau menganut toleransi mazhab. Padahal, almarhum lulusan Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Sepanjang hidupnya, tidak pernah putus membaca surat Yaasin tiap malam Jumat, kecuali bulan Ramadhan. Tahlil juga dilakukan FPI, organisasi yang mengikuti mazhab Imam Syafi'i. Oleh karena itu, jangan heran jika HRS dan pengikutnya sering mengadakan tablig akbar, yang sudah pasti diisi dengan pembacaan solawat secara bersama, zikir dan doa juga bersama. Jadi, jangan benturkan antara NU dam FPI yang sama-sama penganut mazhab Imam Syafi'i. Terkecuali, karena kepentingan politik yang penuh intrik. Kembali ke tahlil. Tidak mengherankan jika keluarga enam pengawal HRS itu mengadakan di rumah masing-masing. Hal Itu karena pandemi corona yang menyebabkan PSBB di Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Andaikan tidak ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dipastikan jamaah yang hadir dalam tahlil 40 hari itu akan membludak, walau diselenggarakan berpencar, di rumah keluarga masing-masing almarhum. Di Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah, Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tahlil hanya dilakukan oleh para santri dan ustaz yang tiap hari tinggal di sana. Doa Anak Yatin Sebab, daerah markas sudah ditutup untuk tamu lain, karena Kabupaten Bogor juga memberlakukan PSBB. Jika tidak dalam kondisi "ditutup" sudah dipastikan jamaah yang datang ke Markaz Syariah Mega Mendung berjubel. Hal ini mengingat lima jenazah laskar dimakamkan di area pesantren. Kepastian Markaz Syariah tertutup terhadap pihak luar disampaikan kepada Sabri Lubis melalui WA dari pengurus pesantren. "Wa Alaikum Salam Wr Wb. MS (maksudnya Markaz Syariah) sudah LOCKDOWN Ust Sobri karena di Bogor sedang ada PSBB hingga Tanggal 25, In Sya Allah MS akan buat. Namun Internal saja Dewan Guru & Santri. Sehingga siapa pun dilarang masuk. Jad mohon maaf karena kondisi tidak memungkinkan utk ada peliputan di dalam MS đđ." Itu kalimat WA yang disampaikan Sabri Lubis kepada FNN.co.id. Ya, walaupun tahlil 40 tidak terlalu ramai, namun mereka senantiasa didoakan oleh umat Islam. Apalagi, khatib Jumat yang mendoakan seluruh kaum muslimin dan muslimat, baik yang masih hidup apalagi yang sudah mati atau meninggal dunia. Doa dari keluarga enam laskar, terutama kedua orang tua, lebih khusus doa dari anak yang ditinggalkan, sangat dahsyat getarannya. Setiap muslim meyakini, doa anak yatim dan piatu, yatim piatu sangat cepat diterima oleh Sang Khalik, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian juga doa orang tua, terutama doa ibu kepada anak. Doa oran tua, anak yatim adalah doa yang tidak ditolak oleh Allah. Ketika mereka mengangkat tangan, malaikat penghuni langit bergetar, seraya ikut mengaminkan doanya.** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Jokowi Yang Disuntik, Anak Tokoh PKI Curiga
PERISTIWA yang paling ditunggu publik adalah bagaimana reaksi medik terhadap kesehatan tubuh Presiden Jokowi setelah menjalani suntikan pertama vaksin Sinovak (asal China) di lengan kirinya, Rabu (13/01) lalu. Sebagian masyarakat dengan tingkat kecerdasan tertentu, menunggu dengan amat sangat. Malah ada yang cemas, dan itu mungkin saja. Sementara kelompok masyarakat lain dengan kecerdasan berbeda, lebih kritis, akan bersikap tenang. Tidak gupuh-gapah dan bingung. Karena sudah bisa menebak, pasti tidak terjadi apa-apa dengan Presiden Jokowi. Tidak akan jatuh sakit, pingsan misalnya. Apalagi sampai mati. Tidak mungkin itu. Jokowi agaknya, tengah memainkan trik propaganda âmenang atau benarâ di belakang. Sehingga lebih memiliki kualitas kebenaran tinggi. Bahkan lebih berarti. Sehingga tertancap opini publik, bahwa Jokowi adalah orang benar. Apalagi ini Presiden. Pandangan itu didasarkan pada penilaian dari khabar yang tersiar jauh hari sebelumnya, jika Jokowi dan beberapa pejabat tinggi negara ogah disuntik pertama kali vaksin dengan penangkal Covid-19 buatan negara komunis China itu. Bahkan pakar hukum Tata Negara, Refly Harun, dan beberapa kritikus lain sempat berlontar kata, Jokowi sebagai pemimpin harus bisa menjadi tauladan. Harus sanggup menjadi orang pertama yang bersedia disuntik vaksin. Nah, peristiwa Rabu lalu, penyuntikan Jokowi oleh Wakil Kepala Tim Dokter Kepresidenan, seakan-akan sebagai konfirmasi bahwa Jokowi bukan pengecut. Bukan juga pengkhianat. Jokowi adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya. Disini muncullah pembentukan opini publik, "Jokowi adalah pemimpin tulen. Berani mengambil resiko kematian sekali pun". Luar biasa hebatnya. Buktinya, tudingan miring para pengamat dan kritikus ternyata meleset semua. Tak terbukti. Namun begini. Segala hal yang berkaitan dengan penanganan sesuatu oleh pihak yang memiliki profesi tertentu, yang terjadi adalah sebuah kondisi dimana cuma pihak yang memiliki profesi yang menguasai persoalan. Sedangkan sisi pihak yang meminta tolong hanya bersandar kepada kenyataan âbergantungâ. Karena memang tidak mengerti. Juga tidak mudeng. Misalnya, seseorang bermaksud memperbaiki sepeda motornya yang rusak. Entah kenapa, karena bukan ahlinya, maka motor itu dibawa ke sebuah bengkel motor. Padahal ngadatnya motor tersebut cuma karena businya yang sowak. Harganya murah. Apalagi kalu mau membeli sendiri. Namun karena pemilik motor bukan ahlinya, dibilang sama mekanik bengkel misalnya, kerusakan terjadi pada piston. Atau onderdil lain bagian dalam mesin. Pemilik motor dipastikan tidak tahu. Jangankan untuk memegang barang yang rusak. Melihat saja belum pernah. Maka pemilik motor tidak memiliki opsi lain, kecuali mengiyakan. Dalam praktek dunia suntik menyuntik. Pasti dilakukan oleh tenaga ahlinya, dokter atau para medis lainnya. Tidak ada pasien yang mengerti, obat atau cairan apa yang disuntikkan. Berapa cc seharusnya? Bagaimana reaksinya? Serta seluk-beluk dunia kedokteran lainnya. Semua tidak dikuasai oleh pasien. Nah, cairan yang disuntikkan ke lengan Presiden Jokowi itu apakah benar Sinovac? Boleh jadi itu cuma vitamin biasa yang memang tidak berefek frontal. Pingsan atau mati misalnya. Sebab, dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah plasebo. Plasebo adalah sebuah teknik pengobatan yang tidak memiliki dampak apa-apa. Lain kata, plasebo itu tindakan medis secara palsu yang bertujuan mengontrol efek dari pengharapan. Bisa jadi, Jokowi tengah berafirmasi. Atau melakukan testimoni di hadapan publik tentang mujarabnya Sinovac pabrikasi China komunis itu. Dengan harapan, setelah dia disuntik rakyat pun berbondong minta suntik tanpa rasa khawatir. Terlebih usai diinjeksi Jokowi bilang, "tidak terasa apa-apa". Anak tokoh PKI sekalipun mencurigai Presiden Jokowi terkait dengan persuntikan vaksin sinovac itu. Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, dr. Ribka Tjiptaning, anak gembong PKI, Soeripto Tjondro Saputro, menuding bahwa cairan yang disuntikkan ke tubuh Jokowi dan para tokoh lainnya, boleh jadi, bukanlah vaksin Sinovac. (law-justice.co, 14/01). "Bisa saja itu bukan Sinovac. Yang dikasih kan kita enggak tahu semuanya. Jangan ada dusta diantara kita," kata Ribka. Ribka pun mengaku sempat ditegur partainya, PDIP, terkait pernyataannya itu. Pandangan tersebut disampaikan Ribka, berlatar pengalamannya saat mengetahui adanya vaksinasi polio beberapa tahun lalu. Saat itu, kata Ribka, masyarakat sehat malah menjadi mati sebanyak 12 orang setelah mendapat vaksinasi polio. Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menstempel tentang kehalalan vaksin Sinovac. Namun, kembali ke atas. Halal atau tidak halal itu otoritas MUI. Sedangkan rakyat tidak pernah tahu, apakah barang tersebut benar-benar halal. Andai pun halal, bagaimana kemanjurannya? Publik dan kader-kader PDIP sangat faham kalau Ribka Tjitaning adalah kawan baik Presiden Jokowi. Apalagi separtai di PDIP. Namun jika kawan baik saja mencurigai perilaku Jokowi, itu pertanda Sinovac memang serius untuk dicurigai. Sementara, ahli epidemiologi, dr. Tifauzia Tyassuma, menurut repelita.co, 12/1, menolak injeksi vaksin Sinovac. Akademisi dan peneliti dari Lembaga Ahlina Institute ini mengaku hanya bersedia divaksin buatan dalam negeri, yakni Vaksin Merah Putih. Ke NKRI-an dokter cantik ini sangat mengagumkan. "Lebih baik saya mati setelah disuntik Vaksin Merah Putih. Daripada mati dalam suntikan vaksin lain (Sinovac)," tegasnya. Sebab itu, seandainya dia mati atas Vaksin Merah Putih setidaknya kematiannya bernilai kebangsaan. Menggerakkan si peneliti vaksin untuk memperbaiki kualitas temuannya, agar tak terjadi ulang pada pihak lain. Vaksinasi Covid-19 belum tamat hanya sampai pada Presiden Jokowi disuntik. Kita tunggu bersama kisah vaksinasi ini pada peristiwa lanjutan. Apakah normal-normal saja? Baik-baik saja? Ataukah berefek tragis yang menimbulkan korban jiwa seperti yang pernah terjadi di vaksinasi polio beberapa tahun lalu itu? Vaksin folio itu juga terjadi masih dalam kepemimpinan Jokowi.
Perlu SKB Enam Menteri Soal Vaksin
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Pandemi akibat Covid-19 belum juga berakhir. Bahkan eskalasinya dalam beberapa hari belakangan ini justru semakin naik. Setiap hari hampir 13 ribu orang terinveksi. Lebih dari 200 orang mati. Total kematian mencapai lebih dari 24 ribu. Segala upaya sudah dilakukan. Mulai Mencuci Tangan, Memakai Masker dan Menjaga Jarak (3M) sampai dengan membatasi aktifitas kerja dan kerumunan. Saat pandemi, semua aspek kehidupan termasuk sosial, ekonomi dan ibadah mengalami banyak perubahan. Selama pandemi, puluhan orang kena denda akibat melanggar Protokol Kesehatan (Prokes), khususnya di DKI. Soal penerapan prokes tersebut, DKI memang dikenal lebih tegas dari daerah lain. Ada juga yang dipenjara gegara melanggar prokes. Pertanyaannya, kenapa angka yang terinveksi tak juga turun, malah terus naik? Ada tiga penyebabnya. Pertama, kebijakan yang sering terlambat dan tidak konsisten. Kedua, aturan yang tidak benar-benar ditegakkan untuk semua. Ketiga, kedisiplinan masyarakat yang rendah. Ujung-ujungnya, herd immunity. Saat ini, 3M dianggap tidak cukup. Muncul gagasan vaksinasi. Bahkan sudah dijalankan. Semua langkah memang perlu ditempuh, selama itu memberi efek pencegahan, atau setidaknya meminimalisir jumlah terinveksi. Selama tujuan dan realisasinya benar, efek positifnya terukur, dan terjamin keamanannya, rakyat relatif akan bisa menerima. Ada penelitian menarik yang dilakukan Kemenag soal vaksinasi. Sebanyak 54, 37 persen rakyat menerima untuk divaksin. Sekitar 9,39 persen lagi menolak. Dan sisanya 36,25 persen belum punya pilihan. Bisa diartikan, masih ragu-ragu. Masih banyak masyarakat yang ragu dan menolak untuk divaksin. Mulai dari dokter, perawat, anggota DPR hingga rakyat biasa. Salah satunya karena faktor informasi yang simpang siur. Ada enam hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum "atau sembari" program vaksinasi dijalankan. Pertama, perlunya jaminan bahwa vaksinasi ini halal, aman, efektif dan tidak ada risiko. Jika ada risiko, baik ringan maupun berat, pemerintah sebaiknya menjamin akan bertanggungjawab, setidaknya secara materiil. Misalnya, pemerintah menanggung biaya rumah sakit jika terjadi risiko akibat vaksinasi. Pemerintah pun menjamin biaya hidup keluarganya jika sampai ada tulang punggung keluarga yang meninggal akibat vaksinasi. Kedua, soal regulasi. Vaksinasi wajib, boleh menolak tanpa sanksi, atau seperti apa. Vaksinasi jadi tanggung jawab pusat, atau daerah. Perlu ada kepastian hukum. Entah itu kepres, peraturan menteri, atau peraturan kepala daerah. Bila perlu Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Menteri, yaitu Menkes, Mensos, Menkominfo, Mendagri, Menkumham dan menteri BUMN. Kok banyak kali menteri yang terlibat? Biar mantabs saja. Sekarang lagi musim serba "enam". Ketiga, soal panduan teknis. Mesti jelas siapa yang melakukan vaksinasi? Dimana saja tempat vaksinasi? Urutan pasien berdasarkan profesi dan wilayah, serta kepastian schedulenya. Setiap orang dapat berapa kali vaksinasi. Semua orang akan mendapat vaksin sinovac yang sama atau beda. Apa saja yang harus dilakukan oleh peserta vaksinasi, baik sebelum atau sesudah divaksin. Setelah divaksin, bolehkah berkerumun tanpa masker, misalnya. Disini, perlu panduan secara rinci. Keempat, sosialisasi. Perlu ada jubir khusus yang ditunjuk sebagai pihak resmi yang menyampaikan informasi atas nama pemerintah. Kalau semua pejabat bicara tentang vaksinasi, rakyat jadi bingung. Pejabat A bilang ada sanksi. Pejabat B bilang nggak ada sanksi. Menteri A bilang ini, menteri B bilang itu, kan berabe. Simpang siur. Sudah lama simpang siur informasi dari para pejabat tinggi negara terjadi. Sudah waktunya ditertibkan. Kelima, soal konsistensi. Mesti dipikirkan, didiskusikan dan direncanakan secara matang sebelum aturan, kebijakan atau panduan terkait vaksinasi itu dibuat. Inkonsistensi akan pasti terjadi jika persiapan tidak dilakukan dengan matang. Keenam, perlu pengawasan. Jangan sampai ada malpraktek, atau adanya pihak-pihak yang berbisnis secara tidak halal di program vaksinasi ini. Agar tidak bernasib seperti bansos dan Kementerian Benur, program vaksinasi mesti diawasi lebih ketat. Supaya tidak ada lagi korupsi. Bila perlu, KPK terlibat. Jaminan halal, aman, efektifitas, serta ada pertanggungjawaban medis dan material dari pemerintah kemungkinan akan dapat mengurangi setidaknya tingkat keraguran pada rakyat. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Dorong Koalisi Sipil Lapor ke Pengadilan Kejahatan Internasional
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN â Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah final menyampaikan hasil penyelidikan. Bahwa kasus penembakan terhadap 6 anggota Laskar Pront Pembela Islam (FPI) adalah "Pelanggaran HAM". Selanjutnya proses Pengadilan pidana adalah tindak lanjut. Presiden tinggal memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk mulai penyidikan. Mudah-mudahan saja, untuk menetapkan tersangka, baik pelaku penembakan maupun yang ikut serta, termasuk kemungkinan atasan dari pelaku kejahatan tidak menemui hambatan. Tidak ada lagi kesulitan, seperti yang terjadi pada penyedisik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Tidak perlu butuh bertahun-tahun untuk menemukan tersangkanya. Entah bentuk perlawanan atau pengaburan kasus, serangan penguasa kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) belakangan ini terasa semakin membabi buta. Seribu satu macam kesalahan pun dicari-cari. Setelah kasus baru ditimpakan seperti soal test swab di Rumah Sakit (RS) UMMI yang menyeret juga menantu HRS dan Direksi RS UMMI, kini soal pemblokiran rekening yang merajalela. Disamping 59 rekening yang terkait dengan FPI diblokir oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), juga 7 rekening milik putera HRS pun ikut diblokir. Belakangan adanya informasi bahwa bahwa rekening pribadi Munarman yang konon untuk menampung uang pensiunan ayahnya juga diblokis. Padahal rekening Munarman itu, sebagai biaya ibunya yang sedang sakit. Pemblokiran yang sebenarnya secara hukum tidak beralasan ini dapat saja digugat ke pengadilan. Akan tetapi persoalannya adalah kuatnya kemauan politik yang tidak peduli akan hukum. Kemauan politik yang bermisi secara brutal untuk "menghabisi HRS, keluarga, FPI, dan segala keterkaitannya". Hal ini sesungguhnya masuk dalam ruang kesewenang-wenangan kekuasaan yang sekaligus menjadi lanjutan pelanggaran HAM secara terang-terangan. Dalam kasus pembunuhan 6 anggota Laskar FPI terus digemakan suara pentingnya pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Disamping itu, untuk obyektivitas dan keterbukaan proses peradilan, semangat menarik kalau melibatkan Mahkamah Internasional. Banyak fihak yang mencari solusi untuk mekanisme atau prosedurnya. Komnas HAM sendiri yang melapor hasil penyelidikan kepada Presiden, semakin terlihat tidak dapat dipercaya. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari banyak organisasi yang peduli dengan HAM telah membuat buku saku tentang International Criminal Court (ICC). Buku saku untuk ICC sebagai lembaga peradilan kejahatan internasional yang siap mengadili kejahatan kemanusiaan. Apalagi negara pelanggar HAM tersebut, tidak ada kemauan (unwilling) dan tidak ada kemampuan (unability) untuk memproses kejahatan pelanggaran HAM. Nampaknya perlu kebersamaan semua pihak untuk menguak pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini. Baik kasus 6 laskar FPI, kasus kematian 6-9 orang pada 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu, atau pun kasus tewasnya kurang lebih 989 petugas Pemilu pada Pilpres yang lalu. Semuanya menjadi terasa mutlak untuk keterlibatan Pengadilan Kriminal Internasional. Apalagi mengingat ketidakmauan dan ketidakmampuan Pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut. Keluarga korban, tokoh dan aktivis, para pengacara, bersama-sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil kiranya perlu mencari solusi. Pelaporan atau pengaduan kepada lembaga seperti ICC menjadi salah satu upaya yang dinilai strategis dalam memperjuangkan dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Andaikata pemerintah mau "mundur sedikit" melangkah bersama rakyat, maka mungkin solusi bersama mengatasi problema dapat digalang. Akan tetapi bila "maju terus pantang mundur", maka posisinya yang berhadap-hadapan dengan koalisi masyarakat sipil pasti akan terjadi. Iklim politik yang tidak sehat seperti ini selalu berprinsip "menang dan kalah". Lalu negara (baca : pemerintah) tidak boleh kalah ? Jika demikian berlaku hukum, "Fa idza jaa-a ajaluhum la yasta'khiruun saa'atan walaa yastaqdimuun" (QS Al A'raf 34). Jika saat ajal telah tiba, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mempercepat atau memundurkan. Itulah momen dari perubahan. Bisa 2024 bisa pula 2021. Wallahu a'lam. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pertamina Digugat Mozambik Rp 40 Triliun, Pemerintah Tanggungjawab!
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Pada Februari 2019 Pertamina telah menandatangani perjanjian jual beli (sale and purchase agreement, SPA) dengan Anadarko Petroleum Corporation. Perjanjianuntuk pembelian LNG dari Mozambique LNG1 Company Pte. Ltd (MLNGC). Kesepakatan berlaku untuk pengiriman LNG sebesar 1 mtpa (million ton per annum) dalam jangka waktu 20 tahun. Belakangan muncul masalah. Harga gas dunia turun dan pasokan gas/LNG dalam negeri melimpah, sehingga serapan gas domestik, termasuk untuk diekspor, tidak maksimal. Setelah berlangsung hampir setahun, Pertamina tak kunjung mengeksekusi SPA tu, meski telah berulang kali diingatkan MLNGC. Belakangan Menteri Energi Mozambik menulis surat kepada Menteri ESDM untuk menagih komitmen Pertamina. Jika tidak, Pertamina akan dituntut membayar ganti rugi US$2,8 miliar (sekitar Rp 40 triliun). Faktanya memang program jangka panjang terkait bisnis gas dan LNG, yang dari awal merupakan bagian dari bisnis Pertamina, belum pernah dibatalkan manajemen Pertamina yang baru. Hal ini terjadi atas sepengetahuan komisaris sebagai wakil pemegang saham. Karena menyangkut uang negara hingga Rp 40 triliun, maka gugatan tersebut perlu ditinjau dan dianalisis, termasuk menelusuri siapa saja pihak-pihak yang terlibat dan siapa pula yang harus bertanggungjawab. Sebagai perusahaan yang 100% sahamnya milik negara, tentu rakyat sebagai stakeholders Pertamina tidak rela membayar denda yang sangat besar. Apalagi jika hal itu disebabkan oleh segelintir orang yang ada di sekitar kekuasaan pemerintahan. Rakyat perlu pahami masalah ini. Membahas secara transparan dan menggugat pihak-pihak yang terlibat jika terjadi pelanggaran hukum dan/atau tindak KKN. Pengadaan LNG sejak awal pembentukan Direktorat Gas masuk dalam Rencana Jangka Panjang Pertamina sejak sekitar 2012. Impor LNG umumnya disetujui pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina setiap awal tahun. Artinya, rencana impor LNG memang dilakukan atas dasar telah adanya persetujuan pemerintah. Demikian halnya dengan pengadaan LNG Mozambik, telah masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina yang disetujui RUPS pemegang saham pada tahun 2019. Persetujuan pemerintah diberikan melalui wakil pemerintah yang menjabat Komisaris Utama dan Komisaris saat RUPS berlangsung. Tidak mungkin Direksi Pertamina (saat itu dipimpin Nicke Widyawati) berani menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina dan merencanakan pembelian LNG tanpa persetujuan pemegang saham (Kementrian BUMN dan pemerintahan Jokowi). Secara rutin, setiap tahun pemerintah melalui Kementrian ESDM menyusun dan menerbitkan neraca gas nasional, yang mencakup supply dan demand. Ternyata, rencana impor LNG dari Mozambik tersebut memang ditetapkan setelah mengacu pada ketersediaan dan konsumsi gas yang tercantum dalam neraca gas nasional yang terbit pada 2018. Apakah gas yang diproduksi Pertamina tidak cukup? Tampaknya memang demikian. Sebab, support dari kepemilikan gas dan LNG diperlukan karena produksi natural gas yang dihasilkan anak perusahaan Pertamina tidak secara otomatis seluruhnya menjadi milik Pertamina, tetapi harus melalui pengajuan alokasi terlebih dahulu kepada pemerintah/KESDM. Jika ditelisik, volume LNG Mozambik yang akan diimpor ditetapkan setelah mempertimbangkan kebutuhan Pertamina menggunakan gas untuk mengoperasikan kilang BBM dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Proyek Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW di Cilamaya, Jawa Barat. Kedua proyek besar tersebut akan membutuhkan gas cukup besar dan tidak dapat dipenuhi supply gas domestik. Kebutuhan ini pun ditetapkan setelah mempertimbangkan harga LNG Mozambik yang murah dan hasil kajian konsultan yang disewa pemerintah/Pertamina. Hal lain yang perlu dicatat, pengadaan LNG sebagai bahan bakar pengganti BBM maupun pengganti bahan baku gas, merupakan salah satu syarat dari pemerintah untuk mendapatkan persetujuan investasi proyek. Baik untuk mengikuti tender PLTGU Jawa-1, maupun rencana pembangunan proyek RDMP yang merupakan proyek yang dipantau Presiden. Silakan terlibat proyek PLTGU Jawa-1 dan RDMP, asal Pertamina mau impor LNG Mazambik. Dalam hal ini mafia dan oligarki pemburu rente bisa saja terlibat. Presiden Jokowi sendiri telah menetapkan proyek RDMP Pertamina sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PEN) sesuai Perpres No.109/2020. Pada situs Komite Percepatan Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), RDMP disebut sebagai proyek revitalisasi kilang-kilang BBM Pertamina di Cilacap, Balongan, Dumai dan Balikpapan. RDMP dijalankan bersamaan dengan proyek kilang baru, Grass Root Refinery (GRR) di Tuban. Menurut KPPIP nilai investasi proyek RDMP/GRR Rp. 246 triliun. Kembali ke gugatan Mozambik Rp 40 triliun, tuntutan itu potensial menjadi tanggungan Pertamina. Karena itu perlu diidentifikasi penyebab dan siapa penanggungjawab.Pertama, karena Pertamina memang tidak meresponse balik atau mengkonfirmasi rencana pembelian kepada pihak penjual, maka Pertamina harus bertanggungjawab. Padahal response tersebut merupakan tahapan dan syarat yang harus dilalui dalam kontrak perjanjian jual beli gas/LNG. Tahapan ini merupakan hal yang rutin dilakukan oleh Direktorat Gas sebelum dibubarkan dan Pertagas diakuisisi PGN pada 2018. Kedua, sejak dibubarkannya Direktorat Gas Pertamina yang biasanya menangani bisnis gas/LNG, pucuk pimpinan Pertamina bisa saja tidak aware atau tidak care dengan keberdaan bisnis tersebut. Padahal bisnis gas dan LNG ini bukan hanya bisnis Pertamina. Tetapi juga bisnis yang menguntungkan Indonesia. Bisa saja kealpaan Pertamina ini akibat kelupaan, ketidakpedulian atau kesengajaan. Apa pun itu, akibat buruknya adalah Pertamina sangat berpotensi merugi Rp 40 triliun. Dalam hal ini, Pertamina dan pemerintah yang telah membubarkan Direktorat Gas layak pula harus bertanggungjawab. Ketiga, untuk mencegah turunnya harga saham atau bangkrutnya PGN, pada 2018-2019 pemerintah telah membuat kebijakan mengalihkan sebagian besar bisnis gas dan LNG Pertamina ke PGN dan memaksa Pertamina menjual saham Pertagas ke PGN (pola inbreng). Lalu Direktorat Gas Pertamina dibubarkan. Pada akhirnya tidak semua bisnis gas, apalagi bisnis LNG yang sarat reputasi dan modal, dapat dialihkan dan mampu dikelola PGN dengan baik. Akibatnya sampai saat ini sejumlah bisnis gas/LNG yang dirintis dan dikelola Pertamina menjadi terbengkalai, termasuk LNG dari Mozambik. Kebijakan pemerintah mengalihkan bisnis gas dan LNG yang lebih mengutamakan pemegang saham asing dan publik di PGN ini diduga bernuansa moral hazard. Patut diusut tuntas secara hukum. Yang jelas, akibat kebijakan ini sangat potensial membuat Pertamina harus membayar denda sekitar Rp 40 triliun dalam kontrak LNG Mozambik. Keempat, Pertamina dan pemerintah melalui komisaris Pertamina tak kunjung mengeluarkan kebijakan dan membuat keputusan atas permasalahan LNG Mozambik yang terlanjur dibeli Pertamina. Padahal LNG tersebut belum dapat segera digunakan karena keterlambatan pembangunan kilang RDPM/GRR. Rakyat pantas menuntut pemerintah yang gagal membuat keputusan, termasuk Komut Pertamina yang sebenarnya tidak layak secara legal menjadi Komut, karena diduga terlibat berbagai kasus korupsi Kelima, tertundanya proyek RDMP dan pembangunan kilang-kilang BBM baru tahun-tahun sebelumnya tak lepas dari peran mafia minyak. Mereka ditengarai terus menghambat pembangunan dan revitalisasi kilang-kilang Pertamina, agar dapat terus menikmati rente impor BBM/minyak. Keterlambatan dan hambatan atas proyek RDMP pantas pula dipertanyakan kepada pemerintah, termasuk kepada Presiden Jokowi, yang pada Juli 2014 pernah berjanji akan memberantas mafia minyak. Ketika hasil audit forensik KordaMentha, yang berisi peran dan keterlibatan mafia minyak dalam impor minyak/BBM melalui Petral akan dilaporkan ke KPK, laporan justru tertahan karena tidak disetujui Presiden Jokowi. Menteri ESDM Sudirman Said mengungkap Presiden Jokowi yang memintanya menunda melaporkan hasil audit Petral oleh KordaMentha kepada KPK (16/2/2019). "Malam itu saya dapat pesan Presiden lewat seseorang, laporan Petral ke KPK ditunda dulu," kata Sudirman di Jakarta, 16/2/2019. Ternyata laporan ditunda hingga sekarang atau malah sudah dikubur! Lima penyebab yang potensial membuat Pertamina merugi Rp 40 triliun di atas, secara terang benderang menunjukkan besarnya pengaruh pemerintah dalam mengelola Pertamina dan bisnis migas nasional. Prinsipnya, pengelolaan tersebut tidak sesuai prinsip good corporate governance, dan patut diduga bernuansa moral hazard. Terkesan âugal-ugalanâ atau âsemau gueâ. Sedikit melihat ke belakang, menjelang Pilpres 2019, Pertamina telah menjadi sapi perah dan korban intervensi kebijakan âugal-ugalanâ. Sehingga harus menanggung beban subsidi BBM sekitar Rp 96 triliun (akumulasi 2017-2019). Beban subsidi ini mestinya ditanggung APBN. Namun karena pembayaran melalui APBN tidak lancar, beban subsidi itu telah membuat keuangan Pertamina nyaris mengalami gagal bayar (default). Kondisi APBN yang semakin bermasalah akibat pandemi Covid-19, piutang Pertamina ke pemerintah pun tak kunjung diselesaikan pemerintah. Untuk membantu keuangan Pertamina, pemerintah membiarkan Pertamina tidak menurunkan harga BBM saat harga minyak dunia turun. Harga terendah sempat menyentuh angka US$ 20 per barel pada Maret 2020. Padahal sesuai formula harga BBM yang sudah berlaku bertahun-tahun, harga BBM harus turun saat harga minyak turun. Kondisi harga turun ini pun terjadi di seluruh dunia. Kebijakan pemerintah tidak menurunkan harga BBM sesuai peraturan dan formula harga yang diterbitkan sendiri oleh pemerintah jelas merupakan pelangggaran hukum yang serius. Akibatnya, konsumen BBM Indonesia membayar lebih mahal dari yang seharusnya, yang jumlahnya sekitar Rp 70 triliun untuk periode Maret hingga Desember 2020. Ringkasnya, akibat kebijakan âsemau gueâ yang sarat kepentingan politik pencitraan Pilpres 2019, Pertamina dirugikan puluhan triliun, dan ujungnya konsumen BBM lah yang menjadi korban. Harus menanggung kerugian sekitar Rp 70 triliun akibat harga BBM yang lebih mahal. Jika akhirnya Pertamina harus menanggung kerugian membayar denda Rp 40 triliun akibat kontrak LNG Mozambik yang bermasalah, maka yang menjadi penyebab tampaknya tidak jauh berbeda dengan kasus harga BBM. Keduanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang bersifat semau gue dan bernuansa moral hazard. Ditambah pula oleh sikap manajemen BUMN yang ABS. Kebijakan tersebut tampaknya tak jauh dari sikap menjadikan BUMN sebagai sapi perah dan objek untuk perburuan rente. Apakah DPR dan lembaga penegak hukum peduli? No way. Kasus LNG Mozambik siap-siap merontokkan Pertamina. Tapi Pertamina bisa saja survive karena disubsidi rakyat melalui harga BBM yang tidak turun, asal harga minyak dunia turun signifikan. Selamat untuk mafia, pemburu rente dan âpemimpinâ yang ingin memberantas mafia! Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS.
Geger Baru Vaksin Sinovac: Jokowi vs Ribka Tjiptaning
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Presiden Joko Widodo sudah divaksin Sinovac di Istana Negara pada Rabu, 13 Januari 2021. Prof. dr. Abdul Muthalib, Wakil Ketua Tim Dokter Kepresidenan, yang menyuntik Presiden itu sempat gemetaran ketika proses penyuntikan. âMenyuntik orang pertama di Indonesia ada rasa (gemetar) juga. Tapi, masalah itu tidak jadi halangan buat saya untuk menyuntikkannya,â kata Prof Muthalib. Proses penyuntikan selesai dalam waktu singkat. Presiden Jokowi menyebut tidak ada yang dirasakannya saat disuntik vaksin tersebut. âWaktu menyuntikkannya tidak masalah, pertamanya saja agak gemetaran. Bapak tidak ada pendarahan sama sekali di bekas suntikannya,â lanjutnya. Setelah disuntik, Jokowi menunggu sebentar untuk memastikan kondisinya. Dilihat di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jokowi masih terlihat bugar seperti sebelum disuntik. Jokowi pun terlihat berdiri dan berjalan di dalam ruangan Orang yang sudah disuntik vaksin harus menunggu 30 menit. Setelah itu, orang yang disuntik tadi bisa kembali beraktivitas. Vaksinasi Corona perdana ini juga disiarkan langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden. Jokowi disuntik vaksin oleh tim vaksinasi COVID-19. Sebelum disuntik, Jokowi duduk di kursi pertama. Jokowi menjalani tes tekanan darah dan ditanya ada atau tidaknya gejala yang dirasakan Jokowi oleh tim tenaga kesehatan terlebih dahulu. Selain Jokowi, sederet pejabat lain juga turut divaksinasi. Di antaranya Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Ketua PB IDI dr. Daeng M. Faqih. Juga ada Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan tokoh agama (Islam, Katolik, Protestan dan lain-lain), termasuk MUI. MUI sendiri sudah âmelabeliâ vaksin Sinovac sebagai produk âsuci dan halalâ, seolah telah menjawab keraguan umat Islam atas kehalalan vaksin Sinovac buatan China ini. Pasalnya, bibit vaksin Sinovac itu dikulturkan di jaringan organ monyet (vero cell). Meski Presiden Jokowi sudah berusaha meyakinkan masyarakat dengan âdemoâ suntikan vaksin Sinovac atas dirinya, tapi toh suara sumbang masih terjadi di lingkungan PDIP, partai yang mengusung dan membesarkannya. Lihat saja ungkapan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning yang berpendapat, bisa saja cairan yang disuntikkan kepada Presiden Jokowi dan sejumlah tokoh lainnya pada Rabu (13/1/2021) bukan vaksin buatan Sinovac. Dugaan tersebut dilontarkan Ribka dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Lanjutan Komisi IX DPR RI bersama dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin, Kepala BPOM Penny Lukito, dan Direktur Utama PT Biofarma Honesti Basyir pada Rabu (13/1/2021). âBisa saja itu bukan Sinovac yang dikasih, kan kita enggak tahu semuanya, jangan ada dusta di antara kita,â kata Ribka. Di sisi lain, Ribka melanjutkan, Jokowi tidak bakal mengalami kesulitan jika ditemukan masalah ke depan imbas dari suntikan tersebut. Pasalnya, Jokowi bersama tokoh lainnya dilengkapi dengan fasilitas kesehatan masyarakat yang prima. âKalau Pak Jokowi jadi contoh demonstratif begitu disuntik orang pertama, kita semua tahu kalau itu Sinovac, kalau ada apa-apa? Ya, memang dokternya saja yang ngikuti ada berapa, rumah sakit siap, tetapi yang [ada di daerah] di ujung-ujung sana, susah,â tutur Ribka. Sikap itu disampaikan Ribka berlatar pada pengalamannya saat menjabat Ketua Komisi IX. Ketika itu, dia mengingat, terdapat sejumlah vaksin yang ditemukan bermasalah dan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. âYang tadinya vaksin untuk polio malah [jadi] lumpuh layu, yang kaki gajah jadi mati 12 [orang] di Sindangaya sana di Jawa Barat,â kata Ribka. Kekhawatiran Ribka yang berlatar belakang dokter tentu saja cukup beralasan. Tak hanya tokoh PDIP seperti Ribka saja yang mengkritisi vaksinasi pasca Presiden Jokowi divaksin. Seorang dokter spesialis, dr Taufiq Muhibbuddin Waly, SpPD, mengirim surat ke Presiden Jokowi pada Rabu, 13 Januari 2021. âSetelah melihat berkali-kali video itu dan berdiskusi dengan para dokter serta para perawat senior, maka saya menyimpulkan bahwa vaksinasi yang Anda lakukan adalah gagal. Atau, Anda belum divaksinasi,â tulis Dokter Taufiq. Alasannya adalah injeksi vaksin Sinovac, seharusnya intramuskular (menembus otot). Untuk itu, penyuntikan haruslah dilakukan dengan tegak lurus (90 derajat). Dan, memakai jarum suntik untuk ukuran volume minimal 3cc (spuit 3cc). âTetapi yang menyuntik tadi siang memakai spuit 1cc dan tidak tegak lurus 90 derajat. Hal tersebut menyebabkan vaksin tidak menembus otot sehingga tidak masuk ke dalam darah,â lanjutnya. Suntikan vaksin yang dilakukan pada Jokowi itu hanyalah sampai di kulit (intrakutan) atau di bawah kulit (sub kutan). Dan, itu berarti vaksin tidak masuk ke darah. Pabrik vaksin Sinovac telah membuat zat vaksin tersebut, hanya bisa masuk ke dalam darah bila disuntikkan dengan cara intramuskular. Penyuntikan di kulit (intrakutan) atau di bawah kulit (subkutan) tersebut tak akan menyebabkan vaksin tersebut masuk ke dalam darah. Kalaupun bisa masuk, hanya sedikit sekali. Lain halnya bila vaksin atau obat itu di desain untuk tidak disuntikkan secara intramuskular. Misalnya menyuntikkan insulin. Injeksi insulin harus dilakukan secara subkutan. âSetelah menonton berkali-kali, saya melihat bahwa masih ada vaksin yang tertinggal pada spuit tersebut. Atau, tidak seluruh vaksin disuntikkan,â ungkap Dokter Taufiq. Ia juga melihat vaksinasi pada Raffi Ahmad. Penyuntikan dengan sudut 90 derajat itu sudah benar. Vaksin dalam spuit telah habis dikeluarkan semuanya. Tetapi, karena yang digunakan spuit 1cc, maka sudah pasti spuit itu tidak bisa menembus otot Raffi Ahmad. Atau, Raffi Ahmad pun harus mengulang vaksinasi Covid-19 seperti juga Presiden Jokowi. Dokter Taufiq tentunya tidak mungkin berkirim surat itu tanpa dasar. Apalagi, dalam surat itu disebut, âberdiskusi dengan para dokter serta para perawat seniorâ. Begitu pula Ribka Tjiptaning yang lebih ekstrim lagi dengan menyebut, bisa saja cairan yang disuntikkan itu âbukan vaksin buatan Sinovacâ. Bisa jadi, âsuaraâ Ribka ini sebenarnya suara riil rakyat dan PDIP yang menolak vaksinasi! Masyarakat juga banyak yang ragu dengan vaksin Sinovac. Apalagi, kata Ribka, vaksin Sinovac adalah rongsokan asal Cina. Sebelumnya dia dengan tegas menolak divaksin. Ribka lebih memilih membayar denda. WHO tidak memungkiri jika banyak kalangan yang masih meragukan efektivitas dan keamanan vaksin corona. WHO dan seluruh kepentingan di dunia perlu berjuang meyakinkan masyarakat umum agar mau divaksinasi. âCerita soal vaksin adalah berita bagus. Ini adalah kemenangan usaha manusia atas musuh mikroba. Kita perlu meyakinkan orang dan kita perlu meyakinkan mereka," kata Direktur Urusan Darurat WHO, Micahel Ryan, seperti dikutip AFP. Lebih dari 50 negara kini dilaporkan telah memulai vaksinasi Covid-19. Diperkirakan 70-90 persen dari 7,8 miliar orang di dunia perlu divaksin sebelum mencapai âherd immunityâ agar dapat kembali ke kehidupan normal. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Pembunuhan Politik Jadi Pilihan Para Penguasa
by M Rizal Fadillah Bandung FNN -Terbunuhnya aktivis Munir Said Thalib beberapa tahun lalu, di masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju Belanda adalah pembunuhan politik. Mungkin rezim takut selama studi di Belanda, Munir akan banyak membangun akses yang berefek pada sikap dunia pada pemerintah Indonesia. Tersangka yang divonis bersalah hanya almarhum Pollycarpus Budihari Prijanto, mantan pilot Gadura Indonesia. Sedangkan aktor intelektual beserta jaringan pembunuhannya, masih aman-aman saja. Masih aman-aman saja. Bahkan sampi dengan Pollycarpus keluar dari penjara, dan meninggal dunia mereka masih masih man-aman saja. Akibat pembunuhan politik? Sedangkan terbunuhnya secara sadis 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) bukan pembunuhan yang berkualifikasi biasa. Tetapi kualifikasinya adalah pelanggaran Hak Azasi manusia (HAM). Dimulai dari target dan kegiatan pengintaian dan pembuntutan yang dinilai tidak legal adalah Habib Rizieq Shihab (HRS). Kini HRS mendekam di tahanan. HRS dan FPI telah menjadi sasaran "pembantaian politikâ. HRS ditempatkan sebagai lawan politik yang sanghat berbahaya. Bisa mengancam eksistensi dan keselamatan pemerintah Jokowi di tengah gagalnya penanganan Covid-19 dan resesi ekonomi yang semakin para. Belum lagi indeks tindak pidana korupsi yang semakin marak di era pemerintahan Jokowi. Korupsinya tidak tanggung-tanggung. Bantuan Sosial (Bansos) yang dikelola Kementerian Sosal bernilai trilunan rupiah, yang seharusnya diterima oleh masyarakat yang membutuhkan, malah dikorupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalis ada 17.760.000 paket Bansos kemungkinan bodong. Tidak sampai ke masyarakat, karena orangngnya tidak ada. Paket Bansos bodong 17.760.000 tersebut, terdidiri dari 16.700.000 paket, orangnya tidak mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan 1.0.60.000 paket bansos lagi adalah NIK ganda. Jika satu paket Bansos senilai Rp 300.000,- maka totalnya senilai Rp Rp. 5,328 triliun. Itu baru data bodong saja. Terbunuhnya 6 anggota FPI yang menjadi pengawal HRS di masa pemerintahan Jokowi ini dapat juga disebut sebagai pembunuhan politik. Pebunuhan yang berusaha mengalihkan kegagalan pemerintahan Jokowi di berbagai bidang. Satu-satunya keberhasilan pemerintahan Jokowi hanya pembangunan infrastruktur. Itu pun dengan biaya yang harus dihitung ulang oleh auditor keuangan dan konstruksi. Hutang yang dibuat selama pemerintahan Jokowi enam tahun sudah Rp. 3.400 triliun. Banding dengan hutang sejak Indonesia merdeka sampai berakhir pemerintahan SBY sebesar Rp. 2.600 triliun. Sekarang total hutang pemerintah menjadi Rp 6.000 triliun. HRS yang sebelum ditahan tidak memiliki keluhan serius, namun selama ditahan nampak mulai sakit-sakitan. Kejutan saat terjadi sesak nafas berat yang berimplikasi pada perlunya dampingan tabung oksigen. Kini perdebatan terjadi antara perlu tidaknya HRS dirawat di Rumah Sakit. Meskipun semua nampak berjalan normal-normal, namun bisa saja ada pihak-pihak tertentu yang menghendaki bukan saja FPI beserta rekeningnya yang habis, tetapi juga HRS harus habis. Tidak kurang dari 70-an rekening bank yang terkait dengan HRS dan FPI kini dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pembunuhan politik kerap terjadi, meski pada umumnya tak terungkap tuntas. Jaksa Agung pertama Gatot Taruna Mihardja di masa pemerintahan Soekarno dikenal tegas dalam membongkar kasus korupsi. Gatot ditahan dan mengalami percobaan pembunuhan dengan penabrakan mobil. Pada masa pemerintahan Soeharto, Jaksa Agung Kabinet Pembangunan V Sukarton Marmo Sudjono juga gencar dalam membongkar kasus-kasus korupsi. Program penayangan wajah koruptor di TVRI tiba-tiba terhenti dengan meninggal mendadaknya Sukarton Marmo Sudjono secara misterius. Di masa pemerintahan Gus Dur, meninggal yang mencurigakan di Riyadh Arab Saudi, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung yang dikenal jujur, bersih dan tegas dalam memberantas korupsi Baharudin Lopa. Kita teringat dengan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita yang mengadili kasusu korupsi, tewas ditembak 4 orang tak dikenal pada tahun 2001. Urusan korupsi selalu bersahabat dengan kekuasaan. Harun Masiku kader PDIP yang tersangkut kasus suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, hilang secara misterius sampai sekarang. Mulai muncul informasi liar hahwa Harun Masiku telah meninggal. Dugaan dalam rangka penghilangan jejak-jejak yang terkait dengan fihak-fihak yang terlibat. Bila benar, maka inipun menjadi bagian dari apa yang disebut pembunuhan politik. Tidak mudah untuk membongkar pembunuhan bermotif politik. Karena biasanya hal yang demikian menjadi kegiatan atau bagian dari operasi intelijen, baik resmi ataupun tidak. Pembunuhan adalah puncak dari teror dan tekanan. Sebab pembunuhan politik terkadang menjadi pilihan paling aman para penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Nisan aktivis pejuang hak sipil Amerika Martin Luther King yang juga menjadi korban pembunuhan politik, bertuliskan "Free at last, free at last. Thank God Almighty, I'am free at last". Luther pun terbebas dari intaian FBI dan tekanan berat politik kekuasaan. Politik kekuasaan kriminal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pak Taufan Damanik, Komnas HAM Itu Bukan Organisasi Selebriti
by Asyari Usman Medan FNN - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah lembaga yang pasti akan berhadapan dengan para penjahat kelas berat. Sangat mungkin akan berhadapan dengan para pemilik laras panjang otomatis yang bisa membunuh belasan orang dalam hitungan menit. Komnas akan berhadapan dengan berbagai institusi negara dan kelompok atau kartel yang memiliki senjata api, baik legal maupun ilegal. Komnas HAM tidak mungkin berhadapan dengan orang-orang lemah. Tidak mungkin juga akan berhadapan dengan preman kampung, maling ayam, maling singkong, atau orang-orang lemah lainnya yang melakukan kejahatan recehan. Komnas tidak akan mengusut kasus perampokan, pencurian, pembegalan, dlsb, yang menyebabkan korban jiwa. Tidak juga kasus tabrakan maut. Termasuk tidak akan mengurus tabrakan beruntun yang, katakanlah, menewaskan puluhan orang. Komnas bukan dihadirkan untuk menyelidiki kematian akibat tanah longsor, gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi, kecelakaan pesawat, kecalakaan kapal, dsb. Komnas HAM dibentuk untuk mengusut kasus-kasus pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara, kelompok pemberontak, atau kartel narkoba yang memiliki kekuasaan dan kekuatan besar. Yang bisa melakukan apa saja. Yang memiliki perangkat lengkap untuk merekayasa kejadian. Yang memiliki sistem, peralatan, dan kapabilitas serta kapasitas untuk mengadakan atau tidak mengadakan sesuatu. Komnas HAM dibentuk terutama untuk mengusut pembunuhan yang dilakukan oleh aparat bidang Hankam. Tepatnya, tindak kekerasan atau pembunuhan yang dilakukan oleh institusi negara, termasuk Polri, TNI, atau lembaga-lembaga intelijen. Jadi, bisa dibayangkan medan yang dihadapi oleh para komisioner Komnas. Banyak intimidasi, tekanan, ancaman fisik dan ancaman nyawa. Artinya apa? Artinya, para komisioner lembaga penegak hak asasi ini harus siap menghadapi semua kemungkinan. Termasuk kemungkinan dilenyapkan. Jadi, seharusnya sejak awal para komisioner sudah paham tugas mereka dan risiko yang melekat pada tugas itu. Anda bukan dipilih untuk menuliskan laporan pelanggaran sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan. Kemudian Anda persembahkan laporan yang âaman dan nyamanâ itu kepada presiden. Anda punya alasan untuk bertemu presiden. Berita pertemuan itu masuk telvisi dan dimuat di banyak media lainnya. Setelah itu, Anda merasa senang foto Anda bersama presiden dimuat di mana-mana. Kalau itu yang Anda bayangkan ketika melamar menjadi komisioner Komnas HAM, Anda bukan orang yang tepat untuk duduk di situ. Anda hanya menyia-nyiakan uang rakyat. Jadi, wahai Pak Taufan Damanik (ketua Komnas HAM) dan para komisioner lainnya, Komnas itu bukan organisasi selebriti yang mengutamakan agenda pertemuan dengan presiden. Supaya beritanya viral. Kalau itu tujuan Anda, lebih baik Anda bergabung ke paguyuban artis sinetron saja. Kalau Anda takut diintimidasi, jangan masuk Komnas HAM. Serahkan saja kepada orang lain yang siap menghadapi semua risiko. Mau sesadis apapun, apalagi pembunuhan 6 warga negara itu baru akan Anda sebut âpelanggaran HAM beratâ? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Seberapa Penting Posisi âKetua Umumâ Polri
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) secara resmi mengajukan Komisaris Jenderal (Komjen) Listyo Sigit Prabowo, Kabareskrim, sebagai calon Kapolri ke DPR. Pengajuan calon tunggal ini mengisyaratkan Jokowi tidak ingin orang lain. Kecuali DPR menolak. Kelihatannya, kecil kemungkinan ditolak. Seperti biasa, setiap kali ada pergantian Kapolri, semua mata tertuju ke situ. Menjadi kepala berita di mana-mana. Banyak orang berkomentar. Semua media besar menurunkan laporan analisis tentang siapa yang pantas dan tak pantas menjadi pimpinan kepolisian. Macam-macam komentar publik. Kalau Komjen X atau Komjen Y yang duduk sebagai Kapolri, maka situasi Indonesia akan menjadi baik atau makin buruk. Jokowi pun diperingatkan tentang figur yang cocok untuk duduk sebagai orang nomor satu di kepolisian itu. Belakangan ini, Kapolri menjadi orang yang sangat penting setelah presiden. Teramat penting dalam konstelasi kekuasaan di Indonesia ini. Sangat krusial dalam perpolitikan di negeri ini. Terasa polisi ada di semua lini kehidupan. Sekarang ini, semua hal diurus oleh polisi. Apalagi menyangkut pemberangusan oposisi. Polisi sangat cepat hadir. Surat panggilan akan meluncur dalam hitungan jam. Polisi juga cepat tanggap ketika ada yang memerlukan penghapusan âred noticeâ Interpol. Juga kalau ada yang perlu surat jalan domestik plus pendampingan tingkat bintang. Bisa diatur. Misi pengayoman Polri memang luar biasa. Kalau Anda mau dikawal jogging, silakan telefon Pak Polisi. Mobil Patwal (Patroli Pengawal) siap 24 jam. Bagaimana dengan urusan Politik? Nah, malah ini yang sangat âlucrativeâ alias subur selama enam tahun belakangan. Tepatnya, sejak Jokowi menjadi presiden 2014 dan terpilih kembali pada 2019. Misi pengayoman polisi diperluas dengan tugas tambahan. Yaitu, mengamankan pencapresan Jokowi. Terbukti aman. Dan itu tidak mengherankan. Karena Polri memiliki jaringan kekuasaan yang menjangkau sampai ke lorong-lorong kampung, ke dusun-dusun di gunung. Di seluruh Indonesia. Sehingga, setiap TPS pasti âamanâ di tangan polisi. Suara rakyat juga âdiamankanâ polisi. Begitu amannya, sampai-sampai Jokowi memberikan hadiah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada Tito Karnavian. Dia sukses mengamankan pencapresan si Bapak sampai terpilih lagi menjadi presiden. Termasuk mengamankan orang-orang yang memprotes hasil pilpres. Mahasiswa padam dibuat Tito. Anak-anak muda yang mencoba lempar batu, akhirnya benjol-benjol bercucuran darah. Bahkan, ada yang diamankan permanen. Begitulah dahsyatnya polisi. Kekuasaan mereka sangat besar. Polisi boleh dikatakan bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Polisi bisa menjinakkan orang-orang yang vokal. Polisi juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Yang tak ada, bisa menjadi ada. Yang ada, bisa menjadi tak ada. Buku Merah bisa berubah menjadi Buku Putih, orang melek bisa menjadi buta. Air lembut bisa menjadi air keras. Begitulah hebatnya Polri. Tidak heran, sebenarnya. Di sana banyak doktor alias S3. Bahkan, Polri di masa Tito dipimpin oleh seorang profesor. Satu-satunya Kepolisian di muka Bumi yang dikepalai oleh seorang gurubesar. Profesor Doktor Jenderal Tito Karnavian. Bayangkan! Beliau memang âguruâ yang berjasa besar. Tito berhasil menggurui Polri tentang penegakan hukum yang mensejahterakan seluruh rakyat, khususnya rakyat Trunojoyo. Tito pula yang berhasil mengembangkan Polri menjadi âpartai politikâ di Indonesia. Kok dikatakan partai politik? Apakah benar Polri berpolitik? Kalau Anda ragu, mari kita balik pertanyaan ini: apakah Polri tidak ikut berpolitik di era Jokowi ini? Apakah Polisi tidak ikut dalam misi memenangkan Jokowi di pilpres 2019? Apakah Anda lupa kegundahan AKP Sulman Aziz, mantan Kapolsek Pasir Wangi di Garut, yang mengatakan atasannya mengeluarkan perintah penggalangan dukungan untuk Jokowi? Jadi, sudah jelas sepak-terjang politik Polri. Rekam jejaknya ada di mana-mana. Tak salah organisasi kepolisian disebut sebagai Partai Polri. Terasa lebih pas, lebih relevan. Partai Polri tidak hanya eksis melainkan juga ada pada posisi sebagai partai politik terkuat di Indonesia. Lihat saja, parpol mana yang memiliki struktur yang rapi, terkomando, dan sistematis hingga ke tingkat kecamatan? Parpol mana yang setiap tahun mendapat dana negara 100 triliun? Tentu tidak ada. Dalam konteks sebagai âparpolâ terkuat itulah, maka pemilihan âketua umumâ Polri di era Jokowi ini selalu menarik perhatian. Sebab, posisi âketumâ polisi sangat strategis. Karena âketua umumâ bisa mengeluarkan komando yang pasti akan terlaksana sampai ke pelosok-pelosok, serentak dan seragam. Karena itu, figur âketua umumâ Polri akan selalu diselaraskan dengan kepentingan âKetua Dewan Pembinaâ-nya yang saat ini dijabat oleh Presiden Jokowi. Termasuk kepentingan pilpres atau pilkada. Nah, bagaimana nanti kalau Listyo Sigit Prabowo disahkan menjadi âketua umumâ Polri? Apakah Polri tetap menjadi parpol? Seratus persen tidak akan berubah Partai Polri.**
Kejar Terus Korupsi Bansos
DALAM pertemuan dengan Menteri Sosial Tri Rismaharani awal pekan ini, KPK membeberkan fakta yang sangat mengejutkan publik. Menurut hasil kajian KPK, dari 97 juta orang yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), ditemukan sebanyak 16,7 juta orang (17,21 persen) yang tidak memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan). Selama ini NIK adalah atribut utama untuk memfilter kualitas data DTKS. Pusat data milik Kemensos itu terus diverifikasi dan divalidasi setiap dua tahun. Setiap rakyat di pelosok daerah yang mau mengklaim penyaluran bansos kepada pengurus RT/RW-nya juga dianjurkan lebih dulu melakukan pengecekan data di situs https://dtks.kemensos.go.id/ dengan syarat wajib memasukan NIK-nya. Bagi mereka yang tidak punya NIK, jangan harap muncul sebagai penerima bansos dari pemerintah pusat. Jadi memang aneh jika ada orang tanpa NIK bisa masuk dalam DTKS. Lebih-lebih lagi DTKS bukan disusun berdasarkan survei acak yang memungkinkan adanya batasan kesalahan (margin error) sekitar 1 hingga 5 persen. DTKS adalah pusat data orang/keluarga tidak mampu seluruh Indonesia yang disusun berdasarkan data kependudukan di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) dan pemerintahan daerah. Kalau melihat tingkat keberhasilan Kemendagri dalam melakukan perekaman e-KTP hingga mencapai 99 persen warga negara wajib ber-KTP hingga tahun 2020, maka terjadinya kesalahan input yang mencapai 17,21 persen dalam DTKS, jelas sebuah kesalahan statistik yang tidak dapat ditoleransi. KPK telah mendesak Mensos untuk menghapus data penerima bantuan sosial fiktif tersebut. Mensos berjanji akan segera memperbaikinya untuk menyempurnakan penyaluran bansos Covid-19 di tahun 2021 ini. Akan tetapi, apakah persoalan ini kita anggap sudah selesai? Masalahnya bagaimana pertanggungjawaban pemerintah atas semua anggaran perlindungan sosial yang telah digelontorkan secara besar-besaran oleh pemerintah sepanjang tahun 2020 itu? Menurut data Kemenkeu per November 2020, pemerintah telah menetapkan pagu perlindungan sosial sebesar Rp 234,33 triliun. Anggaran ini merupakan porsi terbesar dari total anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam rangka penanganan bencana nasional Covid-19 yang totalnya Rp 695,2 triliun. Persoalannya sekarang, apakah berarti sebanyak 17,21 persen (lebih Rp 40 triliun) anggaran perlindungan sosial itu telah diserahkan kepada penerima fiktif alias tidak nyata? KPK harus mengejar hasil temuan awal ini. Kasus ini tidak akan selesai dengan hanya mendesak Mensos menghapus data penerima bansos fiktif dari DTKS. Karena ada indikasi kuat telah terjadi tindak pidana korupsi secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) seiring rampungnya penyaluran perlindungan sosial tahun anggaran 2020. Sedangkan pemerintah bulan ini mulai mengeksekusi program Bantuan Sosial Tunai (BST) untuk 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) masing-masing sebesar Rp 300.000 setiap bulan untuk empat bulan. Nah jangan sampai kita kebobolan lagi. Indikasi terjadinya korupsi âTSMâ dalam penyaluran bansos tahun 2020 ini sudah ada petunjuk kuat dengan ditangkapnya Mensos Juliari Batubara oleh KPK di awal Desember 2020. Sejauh ini memang hanya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena menerima gratifikasi sebesar Rp 17 miliar dari perusahaan swasta yang menjadi vendor pengadaan sembako dalam paket bansos Covid-19. Apa yang telah diungkapkan KPK kepada publik sejauh ini menurut beberapa sumber masih sebagian kecil dari nilai total korupsi yang sesungguhnya dalam penyaluran bansos Covid-19 tahun lalu. Faktanya, jumlah kontrak vendor bansos Covid-19 tersebut ternyata bukan satu kontrak, melainkan mencapai 272 kontrak. Sementara para tersangka yang ditangkapi KPK sekarang ini baru berasal dari 1 kontrak. Seorang pengusaha yang pernah menawarkan diri menjadi vendor packaging bansos mengaku langsung mundur begitu diminta uang cashback sebesar Rp 30 miiar untuk paket 1 juta bansos. Padahal dia cuma menawarkan diri sebagai pihak yang berperan mengemas sembako dari vendor lain ke tas bansos bertanda Banpres warna merah putih itu. Artinya, penyaluran bansos Covid-19 ini sejak awal memang sudah sarat dengan modus-modus korupsi di berbagai lini. Berangkat dari kasus yang sudah di-OTT KPK ini, maka wajar saja rakyat juga menduga telah terjadi korupsi dengan modus mark-up data penerima bansos. Ini adalah tugas KPK untuk mengurai data dan mengejar ke mana saja larinya dana bansos itu dari hilir ke hulu. Kita berharap KPK menuntaskan kasus korupsi bansos ini secara terang benderang. Faktanya korupsi ini terjadi di tengah kesusahan rakyat yang didera pandemik Covid-19 yang berkepanjangan dan belum jelas kapan akan berakhir. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mencantumkan pasal-pasal yang memungkinan KPK penerapan tuntutan pidana hukuman mati bagi oknum-oknum yang melakukan tindak pidana korupsi di tengah negara dalam situasi bencana. Ini momentum terbaik KPK untuk membuat jera para calon koruptor. KPK harus berani, tegas, dan jangan mau dibohongi seorang anak kecil yang pernah bilang kalau mau korupsi carilah di proyek yang gede, yaitu di PLN, Pertamina dan jalan tol, bukan di proyek bansos. Ini jelas penyesatan publik. Karena proyek bansos ini menyangkut proyek sangat besar yang menelan anggaran sebesar Rp 234 triliun yang sebagian dibiayai dari hutang. **