ALL CATEGORY
Jokowi Tidak Sial di Hari Rabu
TAMPAKNYA hari Rabu adalah segalanya bagi Presiden Jokowi. Segala aktivitas pentingnya harus diawali pada hari Rabu. Perihal keistimewaan hari Rabu ini pun sudah menjadi rahasia umum. Publik memperbincangkannya dengan beragam penilaian. Sejak menjadi presiden periode pertama, Jokowi selalu memilih hari Rabu sebagai hari andalan untuk menandai peristiwa-peristiwa penting, mulai dari peresmian proyek, penentuan kabinet, dan terakhir penyuntikan perdana vaksin Covid-19. Sebagian masyarakat menganggap apa yang dilakukan Jokowi adalah praktik klenik, sebab semua hari adalah baik, tak perlu cari hari baik, tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa itu budaya Jawa yang sudah turun temurun. Faktor kehati-hatian menjadi patokan masyarakat Jawa. Oleh karena itu pentingnya menentukan hari baik. Mengapa yang dipilih hari Rabu, sebab Jokowi sendiri lahir pada Rabu, 21 Juni 1961. Hari ini dalam tradisi Jawa memiliki makna khusus. Masyarakat Jawa percaya, jika seseorang ingin punya hajat tidak mencari hari baik, maka akan tertimpa kemalangan atau kesialan. Jokowi tampaknya ingin semua kebijakannya berjalan baik, lancar, dan terhindar dari sial. Ia menyandarkan hari baik itu pada hari Rabu. Benarkan ritual hari Rabu ini menyelamatkan Jokowi? Mari kita telusuri catatan ke belakang. Pada awal jabatannya sebagai Presiden, Jokowi melakukan pelantikan pertama Kabinet Gotong Royong pada Hari Rabu (22/10/2014). Dua bulan kemudian, Jokowi memilih hari Rabu akhir Desember 2014, untuk boyongan ke Istana Bogor. Namun sial, dua tahun kemudian Jokowi merombak kabinet besar-besaran pada Rabu, 27 Juli 2016. Ternyata ada yang salah dari orang-orang yang difilternya. Perombakan ini dilakukan lantaran banyak menteri yang tidak punya kapabilitas. Jokowi mengutak-atik 11 posisi kementerian di Kabinet Kerja jilid II. Satu setengah tahun kemudian, Jokowi kembali merombak susunan kabinet juga pada Rabu, 17 Januari 2018. Saat itu ia mengganti posisi Menteri Sosial, Kepala Staf Presiden, menambah anggota Wantimpres dan pelantikan KSAU. Pada awal 2019 Jokowi melakukan pertemuan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) usai pencoblosan Pilpres kala itu. Jokowi maunya di hari Rabu, yakni 22 Mei 2019. Toh setelah itu tidak ada komunikaai yang baik di antara keduanya. Pada periode kedua, Presiden Jokowi juga melakukan pelantikan Kabinet Indonesia Maju pada hari Rabu (23/10/ 2019). Tapi sial, satu tahun kemudian, tepatnya pada Rabu, 25 November 2020, Kabinet Jokowi tertimpa musibah. Orang yang dipilihnya berkhianat. Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus ekspor benur lobster. KPK menangkap Edhy, sepulang dari lawatannya ke Amerika Serikat bersama istrinya di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada Rabu dini hari. Ndilalahnya, Edy tertangkap hari Rabu juga. Tamparan keras buat Kabinet Jokowi. Tak hanya itu, 12 hari kemudian tepatnya pada Sabtu (5/12/2020) anggota kabinet yang sudah diritual dengan “Rabu Baik”, juga dicokok KPK. Dia adalah Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial termuda. Politisi PDIP ini harus berurusan dengan hukum dalam kasus dugaan suap pengelolaan dana bantuan sosial penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020. Konon uang yang dikorup mencapai Rp 3 triliunan. Ini korupsi yang sangat memalukan dan jahat. “Rabu Sakti” yang diistimewakan Jokowi ternyata tak mampu menjaga dari sambikolo, sial, dan wirang. Akan halnya dengan pelaksanaan penyuntikan vaksin Covid 19, di mana Presiden Jokowi adalah orang yang pertama kali divaksin. Momen penting ini juga dipilih hari Rabu sebagai “Hari Baik” bagi Jokowi, tepatnya pada 13 Januari 2021. Acaranya demonstratif, disiarkan langsung oleh banyak stasiun televisi, dari teras Istana. Pesan utama yang ingin presiden sampaikan adalah, vaksin sinovac aman, halal, dan suci. Sialnya, rakyat Indonesia kadung skeptis. Apalagi pro-kontra soal vaksin ini tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dari pemerintah. Rakyat bahkan tidak percaya, karena merasa terlampau sering dibohongi penguasa. Adegan heroik Jokowi disuntik vaksin, justru berubah jadi olok-olok. Berbagai macam keraguan muncul. Rakyat, antara lain, mempertanyakan apa betul yang disuntikkan itu vaksin Sinovac? Bukannya cuma vitamin biasa? Keraguan dan penolakan datang dari banyak kalangan, termasuk dari partai pendukung utama rezim. Adalah Ribka Tjiptaning anggota DPR dari PDIP terang-terangan menolak vaksin untuk dirinya dan anak cucunya. Ribka yang satu partai dengan Jokowi bahkan menuding di RRC vaksin sinovac adalah barang rongsokan. Ribka memilih jual mobil untuk membayar denda, ketimbang tunduk divaksin. Penolakan Ribka jelas menohok Jokowi. Jokowi jadi wirang karena kolega separtainya membangkang. Sial memang. Tak hanya Ribka, Trimedya Panjaitan juga menohok Jokowi dengan telak. Politisi PDIP itu bukan mencela soal vaksin, tetapi soal Listyo Sigit Prabowo, calon Kapolri pilihan Jokowi sebagai polisi yang tidak punya prestasi. Dari sisi pendidikan kepolisian Sigit bukanlah peraih Adhi Makayasa seperti Tito Karnavian. Sepanjang karirnya sebagai jenderal polisi, Sigit hanya menjabat sebagai Kapolda Banten (2016-2018), bukan Polda kelas A seperti Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Metro Jaya. Jokowi dilanda sial karena banyak perlawanan dari dalam lingkungan Jokowi sendiri. Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menolak Jokowi yang akan menunjuk Kabareskrim Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri baru pengganti Jenderal Polisi Idham Azis yang akan pensiun 25 Januari 2021. “Karena itu, demi masa depan NKRI, Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo, tidak layak diusulkan apalagi dipilih jadi Kapolri 2021 ke depan,” kata Petrus. Koor pembangkangan sedang nyaring dinyanyikan oleh PDIP yang mustinya atau komando mendukung kebijakan Jokowi. Perihal hari Rabu, kita masih ingat kejadian 2 Mei 1992 di Jogjakarta. Bambang Wahyu Nirbito dan Ambar Widyatmoko keduanya 27 tahun, mahasiswa Akademi Akuntansi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (AA-YKPN), harus mendekam di Polresta Jogjakarta hanya gara-gara Hari Rabu. Lelucon yang ia mainkan di depan sekitar 500 mahasiswa menuai badai. Saat mengisi acara di Radio Geronimo Yogya mereka memelesetkan bagian ayat Quran. "Wa laa taqrabuzzinaa...". Ayat ini sebenarnya berarti "jangan mendekati zina". Namun, oleh mereka, dipelesetkan menjadi, "Jangan berzina di hari Rabu. Jadi, boleh berzina pada hari lainnya. Maka, marilah kita berzina sepuas-puasnya." Buntutnya, mereka harus mendekam di kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan pelecehannya. Kini, apakah ritual Jokowi “Rabu Baik” itu membawa kedamaian bagi bangsa Indonesia? Apakah kesejahteraan rakyat tercipta berkat “Rabu Baik?” Apakah utang luar negeri berkurang, pertanian subur, harga harga terjangkai, pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen, hukum tegak, ulama dan umat terlindungi, semua gara-gara “Rabu Baik?” Tampaknya, Jokowi hanya merasa nyaman dan damai di hari Rabu. Hari-hari lain ia pusing cenderung frustasi menghadapi suara suara kritis di masyarakat. Apalagi suara langit yang dikumandangkan peramal Mbak You bikin merinding rezim Jokowi yang diteropong akan jatuh pada 2021. Untuk mengurangi ketegangan rezim, Mbak You pun buru-buru meralat ramalannya, Jokowi bukan lengser 2021 tetapi akan turun pada 2024. Padahal, Mbak You tidak meramal, ia cuma merangkai peristiwa, membaca medsos, dan mengira- ira saja. Tetapi Jokowi yang kadung percaya dengan dunia ghaib dan “Rabu Baik”, tampaknya sangat percaya ramalan Mbak You. Jika pemimpin percaya ramalan dan utak-atik gathuk, maka kebijakannya pun tambal sulam, sporadis, dan sesukanya. Jika tabiat ini tidak diubah, maka hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan Jokowi. *)
Siasat Licik China Jualan Vaksin Sinovac, MUI Jadi “Tumbal”
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Penggunaan Vaksin Sinovac, China, di Indonesia menimbulkan reaksi pro dan kontra. Selain efikasinya yang dipandang masih terendah di antara sejumlah proto-vaksin sejenis lainnya, legalisasi penggunaan Sinovac di Indonesia dinilai memiliki “udang di balik batu”. Pasalnya, setelah terbit izin penggunaan darurat vaksin Sinovac di Indonesia oleh BPOM, vaksin ini juga diketahui telah mengantungi sertifikasi “Suci dan Halal” dari MUI. Dalam perkembangannya, sertifikasi halal dari MUI tersebut digunakan China sebagai “alat” menjual vaksin Sinovac ke negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam. Siasat licik China inilah yang kemudian memunculkan kontroversi: Indonesia, dalam hal ini MUI, diperalat untuk kepentingan Negara Tirai Bambu tersebut. Ajaibnya, Pemerintah RI seakan tutup mata dengan kontroversi vaksin Sinovac, baik di dalam Indonesia maupun di dunia. Sadar atau tidak, ternyata Sertifikat “Suci dan Halal” yang disematkan pada vaksin Sinovac oleh MUI dimanfaatkan China untuk memasarkan Sinovac ke Negara-Negara Islam, seperti ditulis JPNN.com, Selasa (12 Januari 2021 – 05:59 WIB). Dilansir JPNN.com, Pemerintah China mengajak Indonesia untuk bersama-sama mendukung ketersediaan dan keterjangkauan vaksin Covid-19 di negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Ajakan tersebut disampaikan Kantor Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) melalui pernyataannya kepada ANTARA di Beijing, Senin (11/1/2021). Langkah tersebut merupakan respons terhadap terbitnya sertifikat halal MUI pada vaksin yang dikembangkan oleh perusahaan China, Sinovac. Berkat dukungan pemerintah China dan Indonesia, Sinovac bersama mitranya di Indonesia berhasil melakukan kerja sama penelitian dan pengembangan, pengadaan, dan uji klinis tahap ketiga hingga akhirnya berhasil memperoleh sertifikat halal. Vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac telah tiba di Indonesia dalam dua tahap. Vaksin itu sudah bisa digunakan untuk keperluan darurat. Sebelumnya, Komisi Fatwa MUI menyepakati bahwa Sinovac halal untuk digunakan. Setelah ada pernyataan halal dari MUI ini, BPOM akhirnya mengeluarkan izin penggunaan darurat aksin Sinovac. Namun, anggota DPR dari F-PKS Ansori Siregar mengungkap fakta mengejutkan. Kabarnya, ada ancaman dan tekanan, sehingga BPOM menerbitkan izin penggunaan darurat vaksin Sinovac sebelum Rabu, 13 Januari 2021. “Saya tidak respek dengan Anda,” tegas Ansori Siregar kepada Kepala BPOM Penny K Lukito. Dia juga memarahi Dirut Biofarma Honesty Bashir karena hanya mengekor saja kemauan Meneg BUMN Erick Thohir. Siapa yang mengancam dan menekan mereka? Presiden Joko Widodo? Mengingat Jokowi ingin divaksin pertama pada Rabu, 13 Januari 2021. Efikasi Sinovac Sebelumnya, tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, merancang proses uji klinis vaksin Sinovac selesai kurang dari setahun sejak Agustus 2020. Melansir Tempo.co, Minggu (17 Januari 2021 19:15 WIB), dari hasil selama 3 bulan pertama perjalanan risetnya telah dilaporkan kepada BPOM dan mengantar terbitnya izin penggunaan darurat pada 11 Januari 2021. Tim memang menilai hasil sementara uji klinis vaksin Covid-19 dari China itu bagus. Tujuan utama dari uji klinis itu adalah untuk mengevaluasi efikasi atau khasiat vaksin Sinovac dalam mencegah Covid-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. Tujuan sekundernya seperti mengevaluasi keamanan dan imunogenisitas vaksin. “Tingkat efikasi dari interim report itu 65,3 persen,” kata ketua tim riset Prof Kusnandi Rusmil yang dihubungi pada Kamis malam, 14 Januari 2021. Tingkat efikasi itu, jelasnya, didapat setelah diketahui ada 18 peserta uji klinis di kelompok penerima plasebo dan 7 di kelompok penerima vaksin yang masih terinfeksi Covid-19 pasca dua kali penyuntikan atau dosis penuh. Sayangnya tingkat efikasi dengan 18 peserta uji klinis kelompok penerima plasebo dan 7 di kelompok penerima vaksin yang masih terinfeksi Covid-19 pasca dua kali penyuntikan atau dosis penuh itu baru dibuka sekarang ini. Sebelumnya, saat mengumumkan izin EUA (Emergency Use of Authorization) penggunaan darurat vaksin Sinovac, baik BPOM maupun FK UNPAD terkesan tidak mau membuka data hasil uji klinis dari dua kelompok tersebut. Adapun jumlah relawan dan rentang usianya, sesuai permintaan pihak Sinovac. “Mereka menetapkan yang di Indonesia itu jumlahnya 1.620 orang relawan umurnya antara 18-59 tahun,” kata Kusnandi. Di Brazil, hasil terbaru yang dikeluarkan oleh tim peneliti di Butantan Institue, penyelenggara uji klinis di sana mengatakan, efikasi vaksin Sinovac hanya 50,4%, hampir 30% ada di bawah angka yang diberitakan hanya seminggu sebelumnya, yaitu 78%. Pertama kali memang dinyatakan bahwa efikasi uji klinis Sinovac melebihi syarat FDA: lebih dari 50%. Berikutnya keluar angka 78%, dan yang terbaru kembali ke pengumuman pertama: Sedikit di atas 50%. Menurut Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB, rendahnya efikasi akan berarti bahwa dibutuhkan waktu makin lama bagi Brazil untuk mengatasi pandemik Covid-19. Turunnya angka efikasi secara drastis ini menurut mereka dikarenakan: Angka 78% belum memasukkan perhitungan dari data kelompok penerima vaksin yang “terinfeksi sangat ringan”, namun tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Dengan dimasukkannya angka tersebut, artinya mengurangi Persentase Kelompok Plasebo yang terinfeksi, sehingga angka efikasi menjadi turun. Efikasi diperoleh dari membagi jumlah kelompok plasebo yang terinfeksi dengan total volunteer terinfeksi. Jadi, mereka ingin mengatakan, Sinovac: 50,4% efektif mencegah infeksi sangat ringan yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit; 78% efektif mencegah infeksi ringan yang memerlukan perawatan di RS;100% efektif mencegah infeksi sedang hingga parah. “Kompetitor mereka dari Barat: Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca tidak memerlukan breakdown seperti ini. Mereka berikan satu data hasil rata-rata,” ujar Arie Karimah. Ada beberapa kasus kematian pasca-vaksin Covid-19 buatan Pfizer dan BioNTech. Seorang dokter di Florida, Amerika Serikat, Dr. Gregory Michael, 56 tahun, meninggal dunia setelah 16 hari divaksin. Di Jerman, tercatat 10 orang meninggal dunia pasca-divaksin dengan vaksinasi yang sama: buatan Pfizer dan BioNTech. Dan di Norwegia, 23 orang dinyatakan meninggal dunia pasca-vaksin produk yang sama. Meski telah menimbulkan korban puluhan orang, namun 3 negara tersebut menyatakan akan tetap menggunakan vaksin buatan Pfizer dan BioNTech. The Norwegian Medicines Agency menyatakan, “Ini bukan alarm. Nyata-nyata bahwa vaksin ini memiliki resiko yang sangat rendah, dengan pengecualian bagi relawan berusia manula dengan tingkat kesehatan yang rendah.” Di Norwegia sendiri, vaksin Pfizer dan BioNTech diujicobakan terhadap 25 ribu orang dari pelbagai usia dan jenis kelamin. Vaksinasi itu sendiri dimulai pada 27 Desember 2020. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Ibu Risma, Jangan Bertindak Seperti Presiden
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Bikin gaduh aja! Begitulah kesan publik terhadap Risma. Jabatannya Menteri Sosial (Mensos). Tetapi upla uplek di Jakarta cari gelandangan. Setelah menemui gelandangan di Jl. Thamrin, kini Risma kasih rekomendasi gelandangan jadi pegawai di BUMN. Apakah langkah Risma ini akan menyelesaikan persoalan? Pastinya tidak. Yang ada justru muncul persoalan baru. Pertama, berapa banyak gelandangan yang bisa ditampung di BUMN? Kalau jumlah gelandangan di kota-kota besar jumlahnya jutaan, termasuk di Surabaya, apa akan bisa ditampung di BUMN? Nggak mungkin. Di bawah jalan tol Waru-Tanjung Perak Surabaya saja ada 175 gelandangan. Itu baru satu tempat. Di Surabaya saja. Bagaimana dengan kota-kota lain? Ada banyak kolong-kolong jembatan yang sekarang menjadi tempat tinggal bagi gelandangan. Mau ditampung semuanya di BUMN? Ngayal saja ah. Justru, upaya Risma memberi kerjaan hanya untuk segelintir gelandangan akan dianggap publik sebagai pencitraan belaka. Kenapa Risma tidak memperbanyak tempat-tempat penampungan di berbagai kota besar. Di tempat-tempat kota besar seperti Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Makasar, Pelambang, Yogyakarta dan Jakarta ini, para gelandangan dikumpulkan. Setelah itu dilatih skillnya agar bisa bekerja atau usaha. Ini jauh lebih efektif sebagai solusi. Tetapi, nggak mudah juga mengumpulkan mereka dalam satu tempat. Mereka terpencar di berbagai lokasi. Banyak yang nggak mau dilokasir. Ini problem klasik yang dihadapi setiap pemda terkait gelandangan. Risma pasti tahu soal ini. Karena itu, nggak boleh ada dusta diantara kita. Kedua, soal skill. Banyak yang punya skill, berpendidikan lagi. Tetapi susah untuk mencari kerja. Nggak diterima di banyak perusahaan. Karena memang, lapangan kerja makin sempit. Ini para gelendangan, sekolahnya entah apa, dan bagaimana juga skillnya? Masuk di BUMN. Ingat lho, bekerja di BUMN itu seksi. Gajinya aduhai lagi. Tetapi keren, Risma bisa memberi rekomendasi ke kementerian BUMN. Apakah Erick Tohir sebagai Menteri BUMN bisa mengakomodir pola Risma yang spontan dan instan ini? Terakhir, Risma mau bikinin KTP buat para pengemis dan gelandangan. Lagi-lagi, urusan KTP itu urusan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), dibawah Mendagri Tito Karnavian. Soal e-KTP, ada prosedurnya. Harus jelas asal usul orangnya. Ada teknis mengurusnya. Dimulai dari RT-RW semua data akan diverifikasi. Warga mana, sudah punya KTP atau belum, bagaimana dengan KK-nya. Kalau dari desa, mesti ada surat pindah domisili. Prosedur ini dibuat untuk menghindari KTP ganda. Aturan ini ada di Kemendagri. Apalagi, tahun 2018 kemarin adalah akhir Kemendagri tuntaskan urusan KTP. Kalau sekarang Risma mau bikinin KTP lagi buat para gelandangan, ini jadi tamparan buat Mendagri. Seolah-olah urusan KTP ini nggak pernah beres rupanya. Ada lagi masalah baru. Akan jauh lebih bijak, bila Risma mendata lebih dahulu para gelandangan di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Verifikasi secara detail identitas mereka. Gali lebih mendalam apa masalahnya. Setelah data-data itu terverifikasi, cari solusi, termasuk menjalin kerjasama lintas Kementerian dan Pemda. Semangat boleh, gebrakan juga oke-oke aja. Kerja cepat, itu juga bagus, tetapi nggak bisa spontan dan instan saja. Semua perlu dikerjakan secara sistemik. Ada data dan perencanaan. Jangan asal liat ada gelandangan dan tuna wisma, langusng teriak sana, teriak sini. Umbar janji sana, janji sini. Risma itu mensos, bukan presiden. Kalau presiden, bisa perintahkan menteri-menteri lain. Juga sudah ada mekanisme koordinasi yang lazim dengan daerah. Risma mestinya jangan bertindak sebagai presiden. Ingat, nggak ada visi menteri, yang ada visi presiden. Kecuali jika tujuannya untuk persiapan Pilgub DKI 2022. Kalau itu targetnya, Risma sungguh nggak cerdas. Sebab, langkahnya membuat publik, termasuk warga DKI, malah nggak simpati. Buktinya, Forum RT-RW se-DKI malah menuduh Risma bikin gaduh. Artinya, sepak terjang Risma direspon negatif oleh warga DKI. Juga oleh rakyat Indonesia. Ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono!
Edan Edun Edin,,, Dukun Dikriminalisasi Juga
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Para pendukung penguasa semakin kehilangan akal sehat dan rasionalitasnya. Setelah mimpi Ustadz Haikal Hassan ketemu Nabi Sallaahu Alaihi Wasallam dilaporkan ke Polisi, kini spesialis pelaporan polisi Muannas Alaidid hendak melaporkan Mbak You, ibu dukun yang telah meramalkan kejatuhan Jokowi pada tahun 2021. Sebelumnya Mbak You "sukses" meramal kejatuhan pesawat. Setelah diancam akan dilaporkan, Mbak You mengklarifikasi bahwa yang dimaksud penggantian Jokowi itu tahun 2024. Sebenarnya ini bukan klarifikasi tetapi perubahan ramalan akibat adanya tekanan mau dikriminalisasi. Sebab narasi ramalan jatuhnya Presiden itu satu paket dengan jatuhnya pesawat terbang. Sama-sama bakal terjadi pada tahun 2021. Kini giliran peramal yang mau dikriminalisasi. Kejadian seperti ini hanya ditemukan ada di eranya Jokowi. Mungkin juga sudah lupa bahwa Jokowi dahulu pernah juga meramal kalau ekonomi Indonesia akan terus meroket. Ramalannya tahun 2017 akan mencapai 7,1%. Sementara tahun 2018 dan 2019, masing-masing bakalan mencapai 7,5 % dan 8 %. Nah, ramalan tentang bakalan meroketnya pertumbuhan ekonomi di atas 7%, dimulai sejak tahun 2017 itu yang membuat harapan pada masyarakat. Namun akhirnya mengecewakan, karena pertumbuhan ekonomi merosot atau meroket ke bawah. Malah nyungsep dan ternjun bebas. Ramalan palsu jadinya. Untuk menyamakan dengan hasil pertumbuhan ekonomi yang decapai selama SBY berkuasa saja susah. Mengkriminal dimensi transenden adalah fenomena baru dalam sejarah hukum dan politik di negara Pancasila. Begitu semena-menanya kekuasaan mengkriminalisasi warga negaranya. Mengkritisi disebut makar. Mimpi dan meramal disebut bikin onar. Hanya pandangan sendiri dari penguasa saja yang paling benar. Selain dari penguasa, semua salah. Dasar ambyar. Dalam hukum pidana itu berlaku asas "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali". Artinya, seseorang tak dapat dipidana tanpa ada delik yang mendahuluinya. Karenanya kriminalisasi terhadap mimpi dan ramalan adalah bertentangan dengan asas hukum pidana ini. Baik KUHP maupun aturan hukum pidana lain. Tidak ada aturan hukum yang mengatur delik seperti ini. Dahulu saja kasus dukun santet tak bisa dihukum karena tak memiliki rumusan delik. Pembuktian yang tidak mudah. Sangat susah. Pasal 545 (1) KUHP yang dilarang adalah peramalan dijadikan sebagai mata pencaharian. Bukan konten ramalan, itupun sanksi pidana kurungan hanya 6 (enam) hari dan denda 300 rupiah. Apalah artinya sanksi pidana yang seperti itu. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang baru, dukun santet dicoba untuk diancam dengan pidana. Namun RUU itupun hingga kini tak kunjung dibahas. Entah mangkraknya dimana? Apakah di pemerintah atau di DPR? Namun nyatanya tidak pernah ada pembahasan lebih lanjut. Paling-paling ujungnya saling menyalahkan antara pemerintah dan DPR. Mungkin perlu ada titel sendiri dalam RUU KUHP baru yang memuat delik mimpi, ramalan, khayalan, lamunan, atau sejenisnya. Lalu dibahas oleh Pemerintah dan DPR dengan serius. Jangan asal-asalan pembahasannya. Sementara dunia memperhatikan dengan seksama bagaimana sekumpulan orang gila sedang ikut merumuskan hukuman terhadap fantasi. Begitu mungkin fikirnya. Nah Mbak You, you adalah Mbak. Banyak yang komentar atas suksesnya meramal pesawat terbang jatuh, dan kini banyak yang menunggu pilot pesawat lain yang jatuh di tahun 2021 ini. Namun ketika mengubah menjadi tahun 2024, rupanya Mbak You sukses melobi Jin komunikator. Jin yang takut dilaporkan ke Kepolisian. Atau Jin yang mungkin telah disuap agar dapat berkelit demi politik? Edan, edun, edin. Ramal meramal memang bukan ruang orang sehat. Karenanya agama melarang mempercayai ramalan. Agama Islam menyebutnya dengan syirik atau menyekutukan Tuhan. Itu adalah dosa besar yang sulit untuk diampuni. You memang keterlaluan dalam hal plintat-plintut. Tetapi yang main lapor jauh lebih keterlaluan lagi. Edan, edun, edin. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
BI Cetak Uang Rp 300 Triliun
INI kabar menarik dan teranyar dari Bank Indonesia (BI). Bank sentral yang berkantor pusat di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat itu dikabarkan akan segera mencetak uang kartal Rp 100 triliun sampai Rp 300 triliun. Tentu, BI mengordernya ke Perum Peruri (Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia). Langkah tersebut harus diambil karena keadaan darurat keuangan negara yang semakin kritis. Keadaan terpaksa, itulah yang diambil oleh otoritas moneter nanti. Sebab, jika tidak buru-buru mencetak uang, dalam beberapa bulan ke depan tidak ada lagi dana untuk membayar gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri. Apa betul sudah mulai tidak ada uang negara? Bisa benar, jika melihat kejadian terlambatnya pembayaran gaji ASN di beberapa daerah, pada Januari 2021. Biasanya ASN, sudah menerima gaji tanggal 1, tapi bulan ini ada yang mundur sampai tanggal 8. Ini dialami ASN di DKI Jakarta dan Banten, misalnya. Terlambat, karena alasan ada perbaikan sistem. Kok perbaikan sistem di DKI Jakarta dan Banten bisa kompak. Jangan-jangan daerah lain juga sama sehingga gaji ASN terlambat. Bahkan, info yang diperoleh, gaji TNI juga terlambat. Bisa jadi perbaikan sistem secara bersamaan itu benar dalam arti, dari yang biasanya ada uang menjadi tidak ada. Makanya, terlambat bayar. Rencana mencetak uang antara Rp 100 triliun sampai Rp 300 triliun kelihatannya tidak main-main. Berdasarkan kabar yang diperoleh, Gubernur BI Perry Warjiyo sudah membahas rencana tersebut dengan pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari Kemenkeu kabarnya baru diwakili pejabat setingkat Eselon I. Sedangkan dari OJK juga belum diikuti oleh ketuanya. Bisa jadi, karena ini pembicaraan awal, Menteri Keuangan dan Ketua OJK masih mengutus wakil. Akan tetapi, dalam pertemuan tersebut, Perry sebagai tuan rumah alias pengundang menggambarkan situasi keuangan negara yang semakin kritis. Sebab, dari sisi penerimaan pajak tahun 2021 ini sangat jauh dari harapan. Hal ini berkaca pada pengalaman penerimaan pajak tahun 2020 yang juga tidak sesuai target. Selain penerimaan pajak yang seret, investasi juga tidak mencapai target, sementara penerimaan negara juga meleset dari target. Padahal, pengeluaran pemerintah semakin besar. Mengharapkan utang atau pinjaman juga semakin sulit. Sebab, semua negara lebih fokus pada pemulihan ekonomi masing-masing. Semua tahu, pinjaman bilateral, multilateral dan institusi keuangan global cukup ketat. Penerbitan SBN atau Surat Berharga Negara mulai jenuh, sehingga satu-satunya jalan sebagai solusi penambal APBN adalah mencetak uang. Jika mencetak uang sampai Rp 300 triliun merupakan alternatif yang diambil, itu sangat berisiko. Sebab, mencetak uang di luar batas-batas yang telah ditetapkan oleh undang-undang, jelas mengundang berbagai dampak dan masalah. Dampak paling jelas dan mengerikan adalah inflasi akan naik tidak karu-karuan. Inflasi bisa terbang meroket. Ingat, tahun 1998, inflasi mencapai 77,63 akibat kerusuhan yang terjadi di berbagai kota di tanah air, saat berakhirnya era Orde Baru. Saat itu tidak ada cetak uang kartal. Yang ada justru penjarahan uang negara oleh 48 bank melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebanyak Rp 144,5 triliun. Dari jumlah itu, Rp 138 triliun atau 95 persen berpotensi dikorupsi atau diselewengkan. Jika BI pada akhirnya mencetak uang kartal sampai angka Rp 300 triliun atau bisa jadi lebih besar dari itu, selain memicu inflasi jelas merembet ke lainnya, terutama daya beli masyarakat yang semakin tertekan, karena harga terus membubung/melambung. Ditambah lagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin terpuruk. Jika ekspor berjalan bagus, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu tentu bagus. Akan tetapi, ekspor Indonesia, terutama yang dihasilkan petani masih jalan di tempat. Mencetak uang kartal dengan maksud pemulihan ekonomi bukanlah sebuah jalan keluar yang tepat. Apalagi, ketika awal Mei 2020 yang lalu, Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menolak mentah-mentah usulan DPR agar mencetak uang kartal Rp 600 triliun untuk penanganan pandemi Covid-19. Apakah penolakan itu merupakan bentuk sikap dari BI dan pemerintah yang tidak mau didikte oleh DPR? Semua masih menunggu jawaban. Mencetak uang kartal dalam jumlah ratusan triliun rupiah, bukan merupakan praktik kebijakan yang lazim dan prudent dilakukan oleh sebuah bank sentral. Dengan catatan, kecuali kepepet dan mendapatkan tekanan dari penguasa. Ini ibarat pepatah buah simalakama. "Dimakan mati ayah, tidak dimakan mati ibu." Cetak uang membuat daya beli masyarakat terpukul, tidak mencetak lebih terpukul lagi. **
Jokowi Disentil Keras Soal Perahu Karet untuk Banjir Kalimantan
by Asyari Usman Medan, FNN - Ketika orang-orang biasa mampu memikirkan penyebab banjir besar di Kalimantan Selatan, Presiden Jokowi melalui Twitter @jokowi mencuitkan tentang kesigapan beliau mengurusi banjir besar ini. Dalam cuitan itu, akun dengan nama Joko Widodo yang berfoto profil Pak Jokowi dengan pakaian jas, berpeci dan masker, mengatakan Presiden telah memerintahkan kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulan Bencana), TNI dan Polri agar secepatnya mengirimkan bantuan termasuk perahu karet. Cuitan “perahu karet” ini kemudian ditonjok keras oleh netizen dengan akun @Dandhy_Laksono (Dandhy Laksono). Dandhy mengatakan, “Kalau soal perahu karet, tanpa perintah presiden pun, tim lapangan paham. Porsi Presiden itu memerintahkan evaluasi izin dan audit lingkungan semua sektor ekstraktif (tambang-pen) di Kalimantan, agar banjir dan asap tidak terjadi lagi.” Sekarang, saya permisi mau menojok balik Bung Dandhy. Ada beberapa poin kritikan untuk Anda. Pertama, Pak Jokowi itu bereaksi sangat konotatif, kognitif, dan konglomeratif. Artinya, begitu ada banjir, Pak Jokowi langsung berkonotasi ke perahu karet. Ini wajar karena setiap kali ada banjir, Pak Jokowi selalu melihat perahu karet di lokasi. Jadi, ada aspek kognitif Pak Jokowi yang bekerja. Sedangkan reaksi yang sifatnya konglomeratif adalah pikiran dan tindakan yang “conglomerate friendly” (ramah konglomerat). Selalu memikirkan para konglomerat jika ada indikasi keterkaitan antara bencana banjir di Kalimantan dan tambang batubara serta perkebunan sawit. Ini maksudnya adalah: jika ada banjir besar di sana, maka Pak Jokowi akan spontan teringat bagaimana cara menjawab cecaran terhadap para konglomerat. Seterusnya, Pak Jokowi terbiasa bereaksi produktif. Yaitu, langsung mengatasi masalah seketika. Ada banjir, kirim perahu karet. Di mana saja ada banjir, solusinya perahu karet. Jadi, wajar saja kalau perahu karet yang disebut Pak Jokowi dalam cuitannya. Nah, Anda, Bung Dandhy, sangat keliru menuntut evaluasi izin tambang dan izin perkebunan sawit. Anda mungkin berpendapat izin di kedua sektor ini sebagai penyebab banjir air di Kalimantan. Keliru besar. Izin tambang dan izin perkebunan itu adalah penyebab “banjir duit”. Bukan hanya penyebab banjir air seperti yang terjadi saat ini. Sebagai penyebab “banjir duit”, maka izin tambang dan izin perkebunan sawit tidak cocok dinilai buruk. Sebaliknya harus dievaluasi dan diaudit dengan predikat “sangat bagus”. Namanya juga “banjir duit”. Siapa yang akan memberikan evaluasi tidak baik? Pak Jokowi harus berpikir keras tentang bagaimana cara mengkanalisasikan “banjir duit” itu agar tidak menggenang ke mana-mana. “Banjir duit” harus diarahkan ke satu tempat saja. Supaya mudah dikelola. Poin yang kedua, Panjenengan kayaknya belum mampu memahami Pak Jokowi. Beliau itu menggunakan cara halus untuk memukul para pemilik tambang dan perkebunan di Kalimantan. Beliau menggunakan bencana alam untuk menegur mereka. Nanti Pak Jokowi tinggal bilang, “Bapak-bapak sekalian, beginilah dampak buruk tambang batubara dan perkebunan sawit di Kalimantan.” Dengan teguran satu kalimat itu saja, puluhan pengusaha tambang dan sawit sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Mereka akan mengumpulkan donasi untuk korban banjir. Pastilah akan terkumpul ratusan miliar atau bahkan triliunan. Setelah donasi terkumpul, akan diminta bantuan Juliari Batubara (mantan menteri sosial) untuk menyalurkannya. Pak Juliari sudah sangat berpengalaman menyalurkan bansos Covid. Beliau sudah sangat paham menunjuk pihak-pihak yang bertugas menyampaikan bantuan ke pihak-pihak yang “berhak”. Terus, untuk mendistribusikan bantuan dari para konglomerat tambang dan sawit itu tentu diperlukan tas tenteng atau ‘goodie bag’. Ini bisa dipesan dari PT Sritex. Supaya pesanan aman dan efisien, bisa minta bantuan Mas Gibran. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Jokowi Bisa Dipidana Jika Suntik Vaksin Bohongan
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sudah banyak yang mewanti-wanti agar dalam proses vaksinasi ini kepeloporan Presiden Jokowi harus diikuti dengan transparansi. Selain itu, tidak membuka celah pintu dugaan negatif dalam pelaksanaan vaksinasi vaksin yang berasal dari Cina Tiongkok tersebut. Bermain-main dengan vaksin bukan saja berbahaya tetapi juga mengarah pada skandal. Penyuntikan yang tidak tanggung-tanggung. Penyuntikan dilakukan seorang Guru Besar yang tangannya "gemetaran" ketika menyuntik. Prof. dr. Abdul Mutholib, Sp. PD. KHOM. Mungkin sebenarnya dapat lebih tegar dan mahir jika dilakukan oleh seorang paramedis. Tetapi itulah fungsi pencitraan. Presiden disuntik vaksin oleh Guru Besar Kedokteran. Benar saja, banyak yang curiga. Yang paling menonjol dan viral adalah surat terbuka seorang dokter dari Cirebon. Dokter spesialis penyakit dalam dr. Taufiq Muhibbudin Waly, Sp PD. Beliau berpendapat setelah mendiskusikan dengan dokter dan paramedis senior, bahwa cara penyuntikan vaksin kepada Presiden Jokowi adalah salah. Harusnya tidak begitu. Menurut dr. Taufik Muhibbudin Waly, agar masuk intramuskular harus lurus 90 derajat. Jika intramuskular miring seperti yang dilakukan oleh Prof. dr. Abdul Mutholib Sp. PD. KHOM. kepada Presiden Jokowi, maka vaksin salah masuk. Demikian juga alat suntik, harusnya spuit 3 cc. Bukan spuit 1 cc seperti yang terlihat kemarin itu. Meski ini hanya opini, yang kemudian dinafikan oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng Faqih yang juga ikut disuntik bersama Presiden, tetapi hal tersebut harus dikarifikasi serius. Tidak cukup hanya dengan dibantah saja. Apalagi sekedar menyebut surat hanya berdasar pada opini. Publik berhak tau apa sesungguhnya yang dengan vaksin sinovac yang banyak ditolak di berbagai belahan dunia. Rakyat Indonesia menyaksikan dan mempertaruhkan diri kelak terhadap penyuntikan yang dicontohkan oleh Pak Jokowi. Presiden pun berbahagia dan menyatakan "tak terasa, terimakasih Prof". Sikap refleks yang menimbulkan multi tafsir di masyarakat. Sehingga uji kesahihan harus dilakukan. Apakah dr.Taufik Muhibbudin Waly yang benar, atau dr. Daeng Faqih yang benar ? Jika ada kesalahan suntik, maka solusinya jelas, harus dilakukan pengulangan sebagaimana saran dr Taufik Muhibbudin Waly. Jika cara penyuntikan yang dlakukan oleh Prof. dr. Abdul Mutholib Sp. PD. KHOM. dan isinya sudah benar, maka dr Taufik dapat dikenakan sanksi oleh IDI. Masalah terberat adalah jika ternyata "salah suntik" itu "by design" semata. Kalau salah suntik yang terjadi pada Presiden Jokowi ini hanya by design semata, makan ini akan masuk ranah penipuan publik. Hoaks yang tersebar di banyak media. Presiden dan tim telah menyebarkan kebohongan.Bukan hanya satu dua orang, tetapi 260 juta rakyat telah tertipu. Bisa dikatagorikan sebagai pembohongan publik yang sengaja dan direncanakan. Merujuk peristiwa kebohongan yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet, yang kemudian dihukum penjara selama dua tahun, maka bila Presiden yang melakukan hal serupa, juga tidak boleh kebal hukum. Delik pelanggaran yang dikenakan kepada Ratna Sarumpaet adalah penyebaran berita bohong Pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Tuduhan kepada Ratna Sarumpaet dikaitkan pula dengan Pasal 28 Jo Pasal 45 UU ITE. Untuk itu, Penelusuran secara transparan dan obyektif untuk menyimpulkan bahwa penyuntikan vaksin sinovac kepada Presiden itu benar, salah, ataupun suatu kebohongan menjadi sangat penting, mengingat akibat hukum yang ditimbulkannya. Pertanyaannya kini adalah mungkinkah pihak-pihak yang terlibat berani memberi pengakuan atau kesaksian di bawah sumpah? Atau mungkin perlu dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen untuk menyelidiki kasus vaksinasi vaksin sinovac kepada Presiden Jokowi ini? Memang lucu juga jadinya, tetapi apa sih yang tidak lucu di negeri ini? Terlalu banyak pemimpin yang menjadi pelawak suntik,,, eh pelawak politik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Lima Episode Drakor Vaksin Rongsokan
DI negeri kita, apapun harus jadi drama. Pencopotan baliho dilakukan pasukan tempur terlatih. Pembubaran FPI pakai SKB enam menteri dan pejabat tinggi. Pemindahan Habib Rizieq Shihab (HRS) dari tahanan Polda Metro ke Bareskrim Polri dikawal aparat bersenjata laras panjang, layaknya menjaga pentolan teroris, bos mafia, atau gembong narkoba. Sementara itu, saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini membantah adanya tudingan blusukan politik yang dilakukan Mensos. Risma membantah dengan mata berkaca-kaca, suara bergetar, dan bersumpah dengan nama Tuhan. Penyuntikan vaksin perdana produksi Sinovac jadi drama teranyar besutan Istana. Rabu Wage 13 Januari 2021 ditetapkan sebagai hari baik. Selanjutnya, asesoris disiapkan. Emergency use authorization dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dikeluarkan. Fatwa halal dan suci dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sertifikat halal dari BPJPH. Lakon pun dimulai. Presiden Jokowi disuntik pertama. Publik memelototi detik-detik jarum suntik menusuk lengan kiri Presiden. Aneh juga. Prof. Abdul Muthalib, Wakil Ketua Tim Dokter Kepresidenan, yang sudah sangat berpengalaman, terlihat gemetar juga. Padahal Prof. Abdul Muthalin adalah dokter yang sangat senior. Seorang dokter di Cirebon mempersoalkan ukuran volume spuit yang cuma 1 cc. Posisi penyuntikan yang tidak tegak lurus, alias tidak intra-muskular. Sebagian cairan vaksin tertinggal di spuit. Memang PB IDI buru-buru membantah klaim anggotanya itu. Tetapi publik sudah kadung punya alasan kuat untuk meragukan adegan tersebut. Judul dramanya, “Jangan-jangan Ada Dusta di Antara Kita”. Mood publik soal vaksin tambah rusak gegara polah tak senonoh pesohor Raffi Ahmad. Setelah paginya didapuk ikut menerima vaksin perdana mewakili milenial, malamnya Raffi kedapatan bersuka-ria dalam sebuah pesta pribadi bersama sejumlah sosialita Jakarta, termasuk Ahok. Pesta dilaksanakan di sebuah rumah di kawasan elit Prapanca, tanpa protokol kesehatan. Istana kena tampar keras tepat di wajah. Kalau pemidanaan tidak dilakukan terhadap Raffi dan Ahok, bisa dipastikan publik mendapat satu bukti lagi bahwa pemidanaan HRS yang berawal dari sangkaan melanggar prokes, bukan soal penegakan hukum, melainkan dendam kesumat politik. Sampai di sini, judul dramanya “Habis Berkah, Terbitlah Musibah”. Sejatinya skenario drama sudah kacau sejak H-1. Dr. Ribka Tjiptaning, kader PDIP, yang statusnya sama dengan Pak Jokowi, yaitu petugas partai, dalam Raker dengan pemerintah yang diwakili Menteri Kesehatan, frontal menolak vaksin Corona. Walaupun klaim-klaim yang dia kemukakan vaksin banyak menimbulkan masalah. Vaksin polio menyebabkan lumpuh layu, vaksin filariasis menewaskan 12 orang. Vaksin Sinovac belum melewai uji klinis tahap III. Jelas saja tidak valid. Tetap saja publik menikmati sensasi aktingnya yang berapi-api. Apalagi di Raker lanjutan, sehari sesudah vaksinasi perdana, Ribka menuding vaksin Sinovac adalah barang rongsokan. Publik jadi bertanya-tanya, apa maksud tersirat dibalik lakon yang dipentaskan oleh dr. Ribka Tjiptaning tersebut? Bisa jadi ini kode keras dari PDIP, yang tidak diajak dalam proses pengadaan vaksin. Padahal konon anggaran yang disediakan untuk pengadaan Vaksin Sinovac bernilai besar, yaitu USD 1,49 miliar, atau setara dengan Rp. 20,9 trilyun. Bisa juga ini adalah upaya PDIP membangun kesan peduli pada urusan rakyat, untuk memperbaiki citranya yang babak belur sebagai parpol terkorup. Apalagi setelah Juliari Batubara dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam urusan korupsi Bantuan Sosial (Bansos). Di sini judul drama berganti jadi “Sekali Bersuara Lantang, Dua-Tiga Aib Tertutupi”. Ternyata drakor vaksin Covid-19 tidak hanya pentas di panggung utama. Panggung samping pun punya cerita. Brasil merevisi tingkat efikasi vaksin Sinovac, dari 78%, menjadi hanya 50,4%. Artinya, cuma sedikit di atas batas minimum yang ditetapkan WHO. BPOM memang merilis data interim efikasi 65,3%. Tapi insider informan berbisik, angka sesungguhnya di bawah 50%. Menurut epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengatakan, efikasi yang rendah itu menunjukkan bahwa vaksin Sinovac tidak cukup efektif untuk mencegah dan mengendalikan penularan Covid-19. Bahkan media asing memberitakan, Presiden Indonesia telah disuntik vaksin yang hasil uji klinisnya mengecewakan. Artinya, pemerintah memang membeli barang rongsokan. Untuk apa? Atau lebih tepatnya, untuk menguntungkan siapa? Episode ini judulnya “Belilah Daku, Kau Kutipu”. Masih ada satu episode lagi. Profesor Hukum dari kampus Bulak Sumur, yang baru seumur jagung jadi Wamenkumham, Edward Hariej mengancam “rakyat yang menolak vaksin bisa dipidana hingga satu tahun penjara dan/atau denda sampai 100 juta rupiah”. Lalu ramai orang mengkritik dan menghujat newbie di kabinet ini, mulai dari pakar hukum, hingga mantan komisioner Komnas HAM. Bahkan Bung Natalius Pigai mempertanyakan di mana Hariej sekolah? Sampai Hariej tidak mengerti penerapan UU Kekarantinaan Kesehatan. Yang parah, beberapa pejabat negara pun menafikkan pernyataan Hariej, termasuk bosnya, Menkumham Yasonna Laoly. Menkes Budi Gunadi Sadikin juga mengatakan, Hariej sudah ditegur di Rapat Kabinet. Nah, episode drama yang ini enaknya diberi judul “Tebar Ancaman, Tuai Hujatan”. Lama-lama rakyat jadi biasa, dan menerima saja peran Istana sebagai penulis skenario, sekaligus sutradara, drakor, alias drama kotor, yang tak ada habisnya. Termasuk dalam urusan vaksin kaleng-kaleng buatan China ini. Bahkan bisa jadi mereka ketagihan, menunggu-nunggu kelanjutannya, sekedar untuk memancing tawa, agar imunitas meningkat dalam menghadapi virus Corona. Jangan-jangan memang itulah tujuan Istana menggelar drakor ini. Agar rakyat senang, dan bisa terbahak bersama, sehingga melupakan enam jiwa warga negara yang melayang di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek (Japek), anggaran penanganan Covid-19 yang jadi bancakan partai-partai, dan demokrasi kriminal mahal yang dikendalikan para taipan.
Langgar Prokes, Raffi Ahmad dan Ahok Harus Ditangkap!
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ulah selibritas Raffi Ahmad “happy-happy” tanpa prokes, membuat Presiden Joko Widodo kini dalam dilema. Bagaimanapun itu sebuah pelanggaran. Apalagi, dia “duta vaksin” yang menemani Jokowi vaksin perdana. Masyarakat akan mencermati, apakah ada tindakan hukum yang keras seperti halnya kepada Habib Rizieq Shihab. Konsistensi terhadap penegakan hukum yang imparsial kembali diuji. Dampaknya bisa sangat serius bagi program Jokowi melawan Covid-19. Benar-benar serius atau sekadar “basa-basi” sok serius? Pasalnya, ada beberapa kasus terkait kerumunan saat pandemi Covid-19 ini, mesti tak menerapkan protokol kesehatan, ternyata tak diproses hukum, kecuali hanya berlaku kepada HRS dan FPI. Keraguan masyarakat semakin bertambah terhadap program vaksinasi, karena duta vaksinnya sendiri justru melanggar prokes. Apalagi, pelanggaran itu dilakukan bersama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Komisaris Utama PT Pertamina. Acara pesta ulang tahun yang dihadiri Raffi hingga pejabat seperti Ahok di wilayah Prapanca, Mampang, Jakarta Selatan pada Rabu (13/1/2021) itu dipastikan polisi tak berizin. “Yang pasti dari pihak kepolisian tidak ada menerima pemberitahuan, tidak mengeluarkan izin,” kata Kapolsek Mampang Kompol Sujarwo, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (14/1/2021). Sujarwo mengaku pihaknya kesulitan mendeteksi kegiatan yang terjadi di wilayah tersebut. Menurutnya, pesta yang kemudian diduga melanggar prokes Covid-19 itu digelar di rumah pribadi. “Itu rumah pribadi ya, bukan cafe dan sebagainya,” ujarnya. Menurut Sujarwo, berdasarkan informasi awal yang dihimpun kepolisian, pesta itu dihadiri sekitar 30 orang. Mobil-mobil para tamu, lanjutnya, juga terparkir di dalam rumah sehingga tak menutupi jalan dan memperlihatkan tanda-tanda terjadinya kerumunan. Sebagai informasi, lokasi tersebut merupakan kediaman dari pembalap Muhammad Sean Ricardo Gelael. Dalam acara itu, sejumlah selebritas dan pesohor hadir, mulai dari Raffi Ahmad, Once, Gading Marten, hingga Ahok. Kisruh ini bermula ketika selebgram Anya Geraldine mengunggah foto di Instagram Story, Rabu (13/1/2021) malam. Dalam foto itu, terlihat Raffi, Nagita Slavina, Anya Geraldine, Sean Gelael, dan Gading Marten, berpose berdempetan tanpa mengenakan masker. Raffi pun langsung dibanjiri kritik dari berbagai pihak. Ia menjadi sorotan lantaran mengikuti pesta tanpa mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Di saat yang sama, pihak Istana Kepresidenan menegur Raffi karena kedapatan melanggar protokol kesehatan beberapa jam setelah menjalani vaksinasi Covid-19 bersama Presiden Joko Widodo. Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono mengatakan pihaknya telah berkomunikasi dengan Raffi agar kembali menerapkan prokes. “Sudah diingatkan kembali oleh tim komunikasi covid-19 untuk tetap pakai masker, cuci tangan, jaga jarak,” kata Heru kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/1/2021). Mengapa cuma diingatkan, tidak “diperintahkan” diproses hukum dengan penahanan? Meski polisi, kabarnya, sedang menyelidiki pesta di rumah pembalap Sean Gelael tersebut! Jika polisi berani menahan Raffi dan juga Ahok, pasti rakyat akan acung jempol! Toh, tidak bakal ada “penembakan” seperti yang dialami oleh 6 laskar FPI yang mengawal HRS, Minggu-Senin, 6-7 Desember 2020, hingga tewas. Di sini keseriusan polisi benar-benar diuji. Padahal, persoalannya juga sama: melanggar prokes Covid-19! Seperti halnya Raffi, meski pesta itu diadakan bukan di rumahnya, sebagai duta vaksin, dia seharusnya memberi contoh yang baik. Apalagi, Ahok yang pejabat negara. Tidak seharusnya memberi “contoh buruk” ikutan kumpul bareng selibritas seperti Raffi dkk. Raffi Ahmad sendiri telah buka suara terkait ikut serta dirinya dalam pesta setelah divaksinasi Corona perdana. Raffi meminta maaf atas tindakannya. Permintaan maaf itu disampaikan Raffi di akun Instagram-nya, Kamis (14/1/2021). Raffi mulanya menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden Jokowi dan seluruh masyarakat Indonesia. “Terkait peristiwa tadi malam, di mana saya terlihat berkumpul dengan teman-teman tanpa masker dan tanpa jaga jarak, pertama saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Presiden Republik Indonesia Bapak @jokowi,” tutur Raffi Ahmad. Juga kepada Sekretariat Presiden, KPCPEN, dan kepada seluruh masyarakat Indonesia atas peristiwa itu. Raffi menjelaskan peristiwa yang terjadi itu merupakan keteledoran dan kesalahannya. Dia pun berjanji ke depannya akan lebih mematuhi protokol kesehatan. “Jujur bahwa kejadian tadi malam adalah murni karena keteledoran saya, karena kesalahan saya. Ke depan, saya akan lebih menaati protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan),” tulisnya. “Saya juga berharap teman-teman dan seluruh masyarakat Indonesia agar terus menjalankan protokol kesehatan, meskipun vaksinasi sedang berjalan. Vaksin dan protokol kesehatan adalah satu kesatuan,” papar Raffi. Sebelumnya, perlakuan serupa diterima 2 bos Waterboom Lippo Cikarang, Kabupaten Bekasi yang dijadikan tersangka pelanggaran prokes. Keduanya tidak ditahan. Mereka dikenakan pasal dengan ancaman maksimal hukumannya 1 tahun penjara. Dua orang petinggi Waterboom Lippo Cikarang yakni General Manager Waterboom Lippo Cikarang Ike Patricia dan Manager Marketing Waterboom Lippo Cikarang, Dewi Nawang Sari ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana kekarantinaan. Proses hukum kepada 2 orang tersebut bermula dari adanya kerumunan di Waterboom Lippo Cikarang pada Minggu (10/1/2021). Mereka berdua tidak ditahan polisi. Andai HRS sebagai pemilik Waterboom Lippo Cikarang seperti James Riady, pastilah aman. Andai HRS seorang selebritas seperti Raffi dan pejabat negara seperti Ahok, pastilah tidak akan dikenakan pasal “penghasutan”. Inilah fakta hukum di Indonesia! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Percayalah, Kasus Pembunuhan 6 Pemuda Itu Bakal Lenyap Juga
by Asyari Usman Medan, FNN - Putus harapan tak boleh. Pesimis wajar. Begitu mungkin advis terbaik dalam melihat destinasi kasus pembunuhan sadis 6 warga negara Indonesia yang berstatus sebagai anggota FPI. Mereka ditembak mati oleh aparat negara dalam insiden penguntitan rombongan Habib Rizieq Syihab (HRS) di jalan tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020. Masih adakah harapan penegakan keadilan? Per hari ini, harapan masih ada. Sebab, pembunuhan itu tetap menjadi salah satu topik pembicaraan luas di kalangan media dan warga internet (netizen). Sorotan ke pemerintah sebagai penyelenggara penegakan keadilan, masih sangat kuat. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), saat ini sedang hangat diperdebatkan. Ketua Komnas, Ahmad Taufan Damanik, sudah menyampaikan langsung temuan, kesimpulan, dan rekomendasi kepada Presiden Jokowi, Kamis (14/1/2021). Meskipun rekomendasi itu disambut publik waras dengan perasaan kecewa. Kecewa karena ada kesan Komnas tak berani apa adanya. Presiden memerintahkan agar rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti. Secara normatif, pernyataan Jokowi ini cukup untuk membangkitkan semangat optimistik bahwa pembunuhan ini akan diadili sebersih mungkin. Cuma, harap diingat, pengalaman masa lalu menunjukkan penyelesaian kejahatan HAM selalu kandas. Khususnya kasus-kasus yang menyeret nama-nama besar yang bisa melakukan apa saja. Kalau pun tidak kandas, sangat lumrah penyelesaiannya didasarkan pada inspirasi, bukan esensi. Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, adalah salah satu contoh penyelesaian yang dipenuhi banyak inspirasi. Esensi kasus Novel tak muncul sama sekali. Tertutup oleh inspirasi.. Publik berharap, proses lanjutan perkara pembunuhan yang masuk kategori “pelanggaran HAM” (bukan pelanggaran HAM berat) ini bisa bebas dari inspirasi pihak mana pun. Biarkanlah esensi peristiwa yang menjadi pedoman. Jangan ada naskah yang telah disiapkan oleh pihak tertentu yang akhirnya diikuti oleh pelaksana rekomendasi. Novel Baswedan berpendapat penyelesaian kasus penyiksaan terhadap dirinya penuh dengan inspirasi. Yaitu, inspirasi yang melindungi pihak yang memberikan perintah penyiraman air keras ke wajah Novel. Begitu juga pendapat para ahli dan publik tentang penyelesaian kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib. Diduga kuat, seorang berpangkat jenderal terlibat pembunuhan Munir pada 7 September 2004 ketika dia dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia. Majelis hakim yang mengadili kasus ini menghukum pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, sebagai pelaku pembunuhan. Dia bebas murni pada 29 Agustus 2018. Tidak penuh menjalani hukuman 14 penjara tahun. Hingga sekarang belum bisa diungkap aktor yang memberikan perintah kepada Pollycarpus. Pemberi perintah itu “wajib ada” karena sulit mencarikan alasan pilot Garuda itu menghabisi Munir. Sekarang, kasus Munir semakin gelap. Polly meninggal dunia belum lama ini karena Covid. Kisah-kisah penyelesaian yang penuh inspirasi seperti inilah yang mungkin akan membayangi penyelesaian kasu pembunuhan 6 pemuda FPI. Komnas HAM menyimpulkan 4 di antara 6 orang itu dibunuh sewaktu mereka berada di tangan aparat negara. Aparat negara harus bertanggung jawab. Tetapi, para aparat bawahan itu hampir pasti hanya mengikuti perintah atasan mereka. Mata rantai komando ini harus diuraikan dengan transparan. Jangan lagi ada “orang besar” yang disembunyikan. Perintah Presiden Jokowi agar rekomendasi Komnas HAM ditintaklanjuti, memang cukup membesarkan hati. Tetapi, rekomendasi dan implementasi adalah dua hal yang selalu bertolak belakang seperti selama ini. Proses hukumnya seringkali mengundang “distrust” (ketidakpercayaan) publik. Belum lagi dimulai proses tindak lanjut yang diusulkan Komnas HAM, publik sudah lebih dulu skeptis. Sejumlah netizen mengatakan, “Percayalah, kasus pembunuhan sadis 6 pemuda itu bakal lenyap juga.” Tapi, marilah tetap berharap dan mengawal kasus ini. Semoga tidak menguap pelan-pelan di makan waktu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.