ALL CATEGORY

Orkestra Jokowi Makin Sumbang dan Getir

by Jarot Espe Surabaya, FNN - JIKA seni merupakan ekspresi manusia menyikapi hidup, pada bagian mana Presiden Jokowi bertindak solutif lewat gerakan baton atau tongkat dirijen? Selama dua periode, Jokowi memimpin orkestra di panggung besar. Negara di khatulistiwa. Baton berwarna putih bergerak naik turun di tangan sang konduktor. Jokowi menulis sendiri partiturnya, dan para menteri tinggal membaca dan memainkan alat musik yang dipegang. Jokowi adalah konduktor di panggung politik. Sangat berbeda dengan konduktor sekaliber Ludwig Van Beethoven. Masa hidup Beethoven, tahun 1770 hingga 1827, sarat dengan penciptaan karya klasik. Dalam kondisi pendengaran kian berkurang, ia menyelesaikan simphony 5 yang mempengaruhi musik klasik abad modern. Simphony 5 bukan menggambarkan kondisi saat itu, melainkan luapan perasaan Beethoven. Dari gelap, terbitlah terang. Umat Muslim lebih mengenal dalam firman Allah, di balik kesulitan, ada kemudahan. Beethoven memang terlahir sebagai seniman, komposer kelas wahid yang menomor satukan harmonisasi suara. Begitu banyak musisi serta alat musik yang dihadirkan, justru menimbulkan musik yang enak di telinga. Ia membuktikan bahwa musik instrumental tak bisa lagi dianggap kelas dua. Adapun Jokowi merupakan politikus, meski tidak memiliki partai sendiri. Justru inilah kelebihan Jokowi yang mampu merangkul sekaligus menaklukkan lawan politiknya dalam satu keranjang. Jokowi terampil memanfaatkan potensi potensi di muka bumi, dipadukan dengan keberanian dalam mengumbar janji. Baginya lain urusan, jika di kemudian hari, tidak terealisasi. Orkestra Jokowi tidak perlu harmonisasi. Bahkan, bagi sebagian orang terasa menyayat. Tapi musik harus terus dilanjutkan, tidak mungkin berhenti di tengah jalan, ataupun dihentikan oleh mereka yang berada di luar panggung. Sejak awal, konduktor telah memastikan, show must go on. Adakalanya, penonton yang bersesakan di dunia maya, memberi applaus, saat Jokowi menghadirkan bintang tamu bersuara tenor diajak tampil di panggung. Sempat terdengar suara fals, tapi sejurus kemudian tertutup oleh permainan solo seorang personelnya. Pentas orkestra ditutup sementara, dan berganti ke lembaran partitur berikutnya. Dan pada bagian inilah, Jokowi pentas di panggung kehidupan yang sesungguhnya. Suara sumbang sudah terdengar beberapa saat setelah kalimantan selatan terendam banjir. Kemana Jokowi menggerakkan tongkat dirijen? Ia menginstruksikan pengiriman perahu boat. Sang konduktor tampaknya terbiasa memainkan tempo ceria. Ia lupa audiens yang dihadapi kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Cibiran pun menggema menyesaki sudut sudut panggung. Orkestra berbalut pilu juga terdengar di mamuju Sulawesi Barat. Massa menjarah bantuan korban gempa bumi yang tersimpan di rumah dinas wakil bupati mamuju. Dalam video yang viral di media sosial, terdengar teriakan agar pemerintah segera mengirimkan bantuan dan aparat keamanan. Penjarahan bantuan pangan semasa pandemi, apalagi di lokasi bencana, merupakan potret buram simponi kehidupan. Apakah ini indikasi tumpulnya kepekaan sosial masyarakat Indonesia yang dulu termasyur hidup gotong royong? Telunjuk kesalahan diarahkan pada kelambanan dalam pendistribusian bantuan. Aksi memprihatinkan di lokasi bencana hanyalah puncak gunung es persoalan besar yang dihadapi sang konduktor. Kasus korupsi bansos oleh kader PDI Perjuangan, tidak hanya melibatkan mantan menteri sosial Juliari batubara. Rekan separtainya, yang menjabat Ketua Komisi VIII DPR Ihsan Yunus, ternyata salah satu rekanan penyedia bansos yang mendapat kuota 'jumbo' dengan jumlah 1,23 juta paket sembako. Korupsi adalah kejahatan sistematis. Terencana. Merusak tatanan kehidupan masyarakat. Disharmonisasi. Rakyat miskin tambah sengsara karena jatah bantuan diembat politisi partai politik pimpinan megawati soekarnoputri. Dan rakyat wajib menuntut ganti rugi karena disuguhi pentas menjijikkan harkat manusia. Dalam batas ini, tongkat dirijen di tangan Jokowi terasa melompat lompat tidak terkendali. Betapa tidak, ada pemain musiknya yang mengeluarkan suara minor. Saya pun bergegas membatalkan keinginan bermimpi agar Jokowi mengikuti jejak Beerthoven, yang masuk dalam daftar 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Penulis adalah Pemerhati Seni dan Budaya.

Hadapi Covid Melalui Terapi Woukouf dari Papua

by Tjahya Gunawan BEKASI, FNN - Masa pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda kapan berakhir mendorong masyarakat berupaya meningkatkan imunitas. Salah satu cara yang diyakini dapat meningkatkan imunitas adalah dengan terapi woukouf. Terapi ini diperkenalkan oleh Uztaz Fadlan Rabbani Garamatan, pendakwah asal Papua. Menurut pria yang dijuluki “Ustaz Sabun Mandi” ini, terapi woukouf sudah dikenal di tanah Papua sejak abad 12. “Terapi ini, terapi raja-raja Papua abad 12. Sampai sekarang masih dilakukan,” kata Fadlan, di Pesantren Nuu Waar Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN), Setu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (19/1/2021). Secara makna, jelas Fadlan, woukouf berarti memanaskan tubuh dengan uap panas yang diramu dengan rebusan 75 macam rempah yang didatangkan dari Papua. Penguapan dilakukan di bilik-bilik bambu yang sudah disiapkan beberapa kursi. Praktik terapi woukouf dilakukan di Pesantren Nuu Waar AFKN setiap Sabtu dan Ahad pagi. Jika peserta membludak, akan ditambah dengan hari Selasa dan Rabu. Fadlan mengaku, masyarakat sangat antusias untuk mengikuti terapi woukouf. Seperti yang terjadi pada Selasa (19/1/2021) pagi. Meski awan mendung melingkupi wilayah Bekasi, namun tak menyurutkan langkah masyarakat untuk terapi woukouf. Sekitar 30 orang terlihat duduk dan antri di sebuah aula Pesantren Nuu Waar AFKN. Mereka berasal dari berbagai profesi, antara lain pekerja media, purnawirawan TNI, ustaz, dan tokoh masyarakat. Salah satu yang ikut acara terapi ini adalah Letjen (Purn) TNI Agus Sutomo, mantan Inspektur Jenderal ((Irjen) Kementerian Pertahanan dan Komandan Sesko TNI. Dia datang bersama putranya. Pada tahapan pertama, peserta secara bergilir diterapi pukul tubuh dengan kayu. Bagian tubuh yang dipukul adalah punggung, paha, dan betis. Tahapan terapi ini untuk merangsang lancarnya peredaran darah. Selesai tahapan ini, peserta diberi minum ramuan kayu ular asli Fakfak dan qusthul hindi. Ramuan ini pahit di lidah. Kemudian, peserta menuju bilik-bilik bambu. Sebelum masuk ke bilik yang berkapasitas sekira 15 orang, Fadlan memberikan pengarahan kepada peserta. Pengarahan selesai, peserta masuk ke bilik. Peserta duduk mengelilingi panci besar yang berisi rebusan 75 rempah asal Papua. Bacaan Alquran, takbir, serta shalawat mengiringi proses penguapan. Para peserta diminta membuka mata dan menghirup dalam-dalam kepulan asap ramuan. Proses penguapan di dalam bilik berlangsung selama 33 menit. “Lama nya terapi 33 menit, dari sebelumnya 17 menit. Diperpanjang agar ramuan masuk ke tubuh secara maksimal,” jelas Fadlan. Ades Satria Sugestian, warga Depok, Jawa Barat merasakan manfaat dari terapi woukouf. Meski baru pertama kali, Ades berencana akan mengikuti terapi ini secara rutin. “Insya Allah mau rutin. Otot dan saraf yang tegang, Alhamdulillah jadi rileks. Keringat juga deras banget bercucuran. Bisa membakar lemak dan kolesterol juga,” kata Ades seusai menjalani terapi. Fadlan mengatakan, selain meningkatkan imunitas, terapi woukouf berkhasiat untuk mengobati darah tinggi, kolesterol, stroke. “Bahkan ada beberapa peserta yang positif Covid ikuti terapi ini. Alhamdulillah dengan izin Allah sembuh dari Covid,” terang pendakwah yang dikenal sebagai ustaz yang mensosialisasikan kepada masyarakat Papua mandi menggunakan sabun. Adapun soal tarif terapi, Fadlan tak mematok. Namun, jika masyarakat membayar, dialihkan untuk pembangunan masjid dan sarana Pesantren Nuu Waar AFKN. “Kalau kita memasang tarif, kasihan saudara-saudara kita. Bayar hanya dengan shalawat kita terima, dengan syahadat kita terima. Ini bagian bakti pesantren AFKN untuk masyarakat,” ujar Fadlan. Sampai berita ini ditulis, tercatat sudah 7000 orang yang mengikuti terapi woukouf. Bagi masyarakat yang ingin terapi, maka harus mendaftar dua pekan sebelumnya. “Siapa pun boleh datang. Mau Islam, mau bukan Islam, silahkan. Kita melayani semua orang. Daftar dua pekan sebelumnya, karena kita siapkan rempah-rempah,” jelas Fadlan. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Uji Klinis Sinovac Bandung, 25 Positif Covid-19, Masih Yakin Sinovac Aman?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Faktanya China belum berhasil atasi Virus Corona alias Covid-19 hingga kini! Fakta: sekarang ini China kembali mengumumkan “kondisi darurat” untuk lebih dari 37 juta penduduknya guna memadamkan infeksi kasus Covid-19 pada Rabu (13/1/2021). “Negeri Panda” kembali bergerak tegas untuk menahan infeksi di negaranya. Sebagian besar wilayah China telah mengendalikan virus corona sejak kemunculannya di Wuhan pada akhir 2019. Namun, sekarang ini China kembali dilanda infeksi Covid-19. Tapi, dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah kasus infeksi kembali muncul. Kondisi itu mendorong penguncian lokal diberlakukan, pembatasan perjalanan langsung, dan pengujian luas terhadap puluhan juta orang. Melansir Kompas.com, Rabu (13/01/2021, 16:17 WIB), lebih dari 20 juta sekarang berada di bawah semacam isolasi di wilayah utara negara itu. Pemerintah timur laut Kota Heilongjiang memberlakukan “keadaan darurat” di kota berpenduduk 37,5 juta orang itu. Penduduk diminta tak meninggalkan provinsi itu, kecuali benar-benar diperlukan, dan untuk membatalkan konferensi dan pertemuan. Itu sebagai tanggapan atas temuan 28 kasus Covid-19 pada Rabu (12/1/2021), termasuk 12 kasus yang tidak menunjukkan gejala. Tiga infeksi ditemukan di ibu kota Provinsi Harbin, yang menjadi tuan rumah festival patung es terkenal yang biasanya menarik banyak wisatawan. Selama beberapa hari ke depan, suhu di salah satu kota terdingin China itu bisa turun hingga minus 30 derajat Celcius. Sementara itu, Kota Suihua ditutup pada Senin (11/1/2021), setelah melaporkan satu kasus yang dikonfirmasi dan 45 kasus tanpa gejala. Kota yang bisa ditempuh dengan perjalanan singkat mobil ke utara China itu adalah rumah bagi lebih dari 5,2 juta orang. Beberapa kota kecil lain di dekat Suihua ditutup atau menerapkan pembatasan perjalanan, kata pihak berwenang Rabu (13/1/2021). Ratusan juta orang diperkirakan akan berpindah ke seluruh negeri pada masa itu. Ada kekhawatiran bahwa perjalanan tahunan yang sangat dinanti-nantikan, akan terhambat jika kluster baru terus berlanjut. Padahal, periode tersebut seringkali merupakan satu-satunya kesempatan bagi pekerja migran untuk melihat keluarga mereka. Komisi Kesehatan Nasional China melaporkan 115 kasus Covid-19 baru pada Rabu (13/1/2021). Sebanyak 90 kasus lainnya ada di sebuah klaster di Provinsi Hebei, yang mengelilingi ibu kota Beijing. Pihak berwenang pekan lalu meluncurkan uji coba massal dan menutup jalur transportasi, sekolah, dan toko di Kota Shijiazhuang, Hebei. Kota ini diyakini menjadi pusat wabah terbaru. Wilayah tetangganya, Kota Xingtai, rumah bagi tujuh juta orang, juga telah dikunci sejak Jumat lalu. Apa yang terjadi di China sekarang ini menunjukkan, hingga kini China belum juga berhasil menghentikan pandemi Covid-19. China hanya bisa mengendalikannya dengan “mengunci” wilayah dan secara medis dengan obat-obatan yang ada. Nyaris tak terdengar sama sekali “sukses” Vaksin Sinovac berhasil mengatasi Covid-19 di China. Apa mungkin karena terlanjur diekspor ke Indonesia dan negara lainnya? Wallahu Akbar. Lha, China saja tidak pake Sinovac, mengapa kita pake? Lebih ironis lagi, untuk Uji Coba fase-3 Sinovac dilakukan di negara lain seperti Indonesia, Turki, dan Brazil. Mengapa bukan di China? Padahal, bibit yang ditanam di vaksin Sinovac itu virus Covid-19 “asli” China inaktif karena telah “dimatikan”. Sinovac China melaporkan temuan beragam dalam uji coba vaksin Covid-19. Sebagaimana diberitakan media lokal, Rabu (18 November 2020 pukul 16.09 GMT + 7), Sinovac Biotech, salah satu pelopor vaksin Covid-19 China. Sinovac menerbitkan temuan beragam dari 2 uji klinis pertamanya pada Selasa (17/11/2020). Perusahaan menyebut, vaksin itu menghasilkan tingkat antibodi pelindung yang lebih rendah dalam aliran darah dibandingkan dengan yang muncul pada pasien Corona yang sudah pulih. Sebagai perbandingannya, Moderna dan Pfizer, yang memiliki vaksin eksperimental terpisah, telah melaporkan tingkat antibodi yang setara atau lebih tinggi daripada yang diproduksi pada pasien virus Corona yang pulih. Hasil awal ini menempatkan Sinovac tertinggal untuk membuktikan vaksinnya efektif dalam uji coba Fase 3 yang sedang berlangsung. “Itu adalah kekhawatiran,” kata Thomas Campbell, dekan penelitian klinis di University of Colorado, tentang rendahnya tingkat antibodi dalam uji coba Fase 2 Sinovac. “Ini adalah poin penting di sini, dalam hal membandingkan vaksin ini dengan, vaksin Moderna dan Pfizer.” Saat dunia menunggu vaksin Covid-19, beberapa di China mendapatkan dosis dini. Indonesia baru-baru ini membuat spekulasi pada vaksin Sinovac ketika para pejabatnya bergulat dengan wabah virus Covid-19 yang parah. Dalam wawancara dengan Reuters pada Jumat (13/11/2020) saat itu, Presiden Joko Widodo mengatakan, pemerintah telah meminta izin darurat dari BPOM untuk meluncurkan vaksin pada akhir 2020. Dalam studinya yang diterbitkan Selasa, di jurnal Peer-review the Lancet, Sinovac menulis, meskipun tingkat antibodi lebih rendah, ia yakin vaksinnya akan terbukti efektif. Untuk jenis Covid-19 lainnya, tingkat antibodi yang lebih rendah masih memberikan kekebalan, katanya. Apakah ini masalahnya, padahal kala itu sedang diuji dalam uji coba Fase 3 Sinovac yang sedang berlangsung di Indonesia, Brasil, dan Turki. Setelah melaporkan tingkat antibodi yang kuat dalam uji coba Fase 2, Moderna dan Pfizer dalam beberapa hari terakhir mengumumkan tingkat kemanjuran Fase 3 pendahuluan di atas 90 persen, sebuah hasil yang disambut dengan antusiasme dari dunia medis. (Untuk vaksin virus Corona eksperimental mereka, Moderna yang bermitra dengan National Institutes of Health dan Pfizer bermitra dengan perusahaan bioteknologi Jerman, BioNTech.) Seorang juru bicara Sinovac mengatakan bahwa perusahaan tidak dapat segera merilis tingkat kemanjuran Tahap 3 pendahuluannya sendiri, karena tidak cukup kasus virus korona yang muncul dalam populasi penelitiannya. “Untuk hasil analisis awal Tahap 3, kami perlu mengakumulasi sejumlah kasus untuk analis data melakukan analisis mereka," kata juru bicara Sinovac dalam sebuah pernyataan kepada The Washington Post. “Kami belum memiliki data ini, jadi kami belum bisa membalas.” Campbell mengatakan Moderna dan Pfizer dapat memberikan hasil Tahap 3 awal, sebagian, karena meningkatnya wabah virus Corona di Amerika Serikat, yang mengakibatkan cukup banyak kasus di antara mereka yang terdaftar dalam studi mereka untuk analisis statistik. Sementara Sinovac telah mengumumkan beberapa hasil dari uji coba Fase 1 dan Fase 2 selama musim panas, menyebut mereka sukses, studi peer-review minggu ini adalah yang pertama kali memberikan data dan detail. Uji coba Fase 1 Sinovac dimulai pada April dengan 144 peserta, dan uji coba Fase 2 dimulai pada Mei dengan 600 orang. Peserta berusia antara 18 sampai 59 tahun dan direkrut dari satu kabupaten di provinsi Jiangsu selatan China. Dalam uji coba Fase 1 Sinovac, 23 dari 96 orang penerima vaksin melaporkan efek samping, yang menurut Sinovac sebagian besar ringan, seperti nyeri di tempat suntikan. Satu orang mengalami reaksi gatal-gatal yang parah dan sembuh dalam tiga hari dengan pengobatan. Dalam uji coba Fase 2, peserta dengan cepat memproduksi antibodi sebagai respon terhadap injeksi vaksin, tetapi tingkat antibodi tetap di bawah pengukuran pada pasien yang pulih. Bagaimana dengan uji klinis di Indonesia? Meski uji klinis Fase 3 belum selesai, ironinya BPOM sudah mengizinkan penggunaan darurat, Emergency Use of Authorization (EUA). Sebanyak 25 relawan uji klinis kandidat vaksin dari Sinovac terkonfirmasi positif Covid-19, terdiri dari 18 orang penerima obat kosong (plasebo) dan 7 orang lainnya telah mendapatkan dua kali vaksinasi Covid-19. Sebelumnya, ada 1.620 relawan yang mengikuti uji klinis Fase 3 di Kota Bandung. Berbeda dengan negara lainnya yang mengambil relawan dari kalangan tertentu, relawan uji klinis Fase 3 di Bandung itu berasal dari kalangan terbuka. BPOM pun telah mengumumkan pekan lalu tingkat efikasi atau kemanjuran dari vaksin ini membentuk antibodi di kisaran 65%. Angka tersebut masih berada di atas batas aman yang ditetapkan WHO yakni 50%. Ternyata yang terinfeksi Covid-19 versi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran sangat berbeda dengan versi IDI dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyebut adanya 101 orang yang terinfeksi Covid-19. Menurut Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB, membuat perbandingan uji klinis vaksin, Pfizer, dan Moderna: Volunteer yang masih terinfeksi meskipun telah mendapat vaksinasi: Sinovac: 26 dari 800 orang (3,25%); Pfizer: 8 dari 21.500 orang (0,04%); Moderna: 11 dari 15.000 orang (0,07%). Volunteer dari kelompok plasebo yang terinfeksi: Sinovac: 75 dari 800 orang (9,4%); Pfizer: 162 dari 21.500 orang (0,75%); Moderna: 185 dari 15.000 orang (1,08%). Prediksi Jumlah Terinfeksi: Jika ada 1.000.000 orang divaksinasi, maka kemungkinan yang Masih Bisa terinfeksi ringan: Sinovac: 32.500 orang (Bukan 325.000 orang); Pfizer: 372 orang; Moderna: 733 orang. Apakah dengan fakta masih adanya relawan yang terinfeksi Covid-19 itu bisa disebut gagal? Apalagi, China sendiri ternyata mengimpor vaksin produk luar! Masih percaya Sinovac? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Sembunyikan Positif Covid, Menko Airlangga Melakukan Penipuan Besar

by Asyari Usman Medan, FNN - Entah dengan alasan apa, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto tidak mengumumkan dirinya positif Covid-19, tahun lalu. Kondisi positif ini baru ketahuan ketika Airlangga ikut menjadi donor plasma konvalesen pada 18 Januari 2021. Pendonoran ini otomatis menginformasikan bahwa Airlangga pernah positif Corona. Hari berikutnya, 19 Januari 2021, barulah keluar penjelasan jurubicara Kemenko Perekonomian Alia Karenina yang mengakui bahwa bosnya positif Covid-19 tahun lalu. Airlangga ikut dalam acara online Pencanangan Gerakan Nasional Pendonor Plasa Konvalesen yang diselenggarakan oleh Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhajir Effendy. Banyak pertanyaan, dugaan dan penilaian valid yang akan muncul dari penyembunyian kasus positif Menko Airlangga. Sebab, dia adalah pejabat publik dengan posisi tertinggi di bawah presiden. Dari Airlangga dan semua kolega kabinetnya selalu dituntut integritas, kejujuran, dan transparansi. Dia adalah salah seorang teladan bangsa. Mengapa Arilangga harus menyembunyikan positif Covid-19 itu? Ini sangat berbahaya bagi Presiden Jokowi dan juga para pejabat di lingkungan Airlangga. Dan juga berbahaya bagi orang-orang yang berjumpa dengan Pak Menko. Tapi, bisa juga tidak berbahaya kalau Airlangga melakukan isolasi mandiri tanpa diketahui publik. Cuma, bisa saja sudah ada “kluster Airlangga” akibat penyembunyian itu. Bisa jadi juga ada orang atau orang-orang Istana yang terinfeksi. Dan dugaan-dugaan lainnya. Airlangga beruntung bisa sembuh. Apa yang terjadi kalau kondisi positif Pak Menko waktu itu berkembang menuju fatalitas? Bukankah penyembunyian itu menjadi masalah besar? Pihak Istana menegaskan mereka tidak tahu sama sekali kasus positif Airlangga. Heru Budi Haryono, Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres), tampak agak kesal. Dia mengatakan, seharunya Kemenko Perekonomian menjelaskan kondisi positif yang dialami Arilangga. Tetapi, di lingkungan Istana sendiri ada gelagat yang memunculkan tanda tanya juga. Salah satu pertanyaan itu adalah: apakah selain Budi Karya Sumadi (menteri perhubungan), tidak ada pejabat penting lain yang positif Covid? Apakah tidak ada masalah di unit-unit pelaksana tugas di lingkungan Istana seperti KSP, Sekab, Setneg, Paspampres, Rumah Tangga Kepresidenan, dlsb? Pertanyaan puncaknya: apakah Presiden Jokowi sendiri ok-ok saja selama ini? Begitu juga dengan keluarga Presiden, apakah tidak pernah ada masalah dengan Covid? Publik wajar mendapatkan jawaban dan penjelasan yang transparan untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Sikap Airlangga merahasiakan positif Covid-nya memicu kesangsian besar publik tentang kondisi yang sesungguhnya di lingkungan Istana. Tidak berlebihan kalau tim dokter kepresidenan mengeluarkan penjelasan apa adanya agar ‘trust’ publik terjaga. Kembali ke kasus Airlangga, yang lebih berbahaya lagi adalah pelanggaran etika kejujuran dan keterbukaan. Airlangga tidak seharusnya menyembunyikan peristiwa penting ini. Dengan tindakan penyembunyian penyakit yang sedang mengancam Indonesia saat ini, Pak Menko sengaja mengelabui rakyat. Ini adalah penipuan besar. Kasus ini memunculkan dugaan yang valid tentang mentalitas Airlangga dan juga para kolega kabinet. Patut diduga Airlangga telah melakukan banyak penipuan lain dalam implementasi kewenangan dia sebagai Menko Perekonomian. Penyembunyian positif Covid itu bisa disebut bentuk korupsi juga. Dan tak salah kalau korupsi penyembunyian Covid ini adalah cermin dari potensi-potensi korupsi lainnya. Dalam perspektif ini, Airlangga tidak lagi memiliki pijakan moral untuk terus duduk sebagai menteri.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Negara Tidak Boleh Kalah Hadapi Bencana

KEMARIN, Presiden Jokowi gagal berkunjung ke Majene salah satu episentrum gempa bumi di Sulawesi Barat. Alasannya, karena jalan menuju ke lokasi terputus akibat longsor. Seorang kepala negara gagal mengunjungi korban bencana alam jelas sangat memalukan. Apalagi kalau alasannya cuma karena kendala transportasi. Padahal, mempunyai helikopter kepresidenan? Kalau helikopter tersebut ditinggal di Jakarta bukankah presiden bisa meminjam helikopter dari Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin, Makassar? Kenyataan ini membuat kita menjadi miris mengingat belakangan ini sering terdengar slogan “Negara Tidak Boleh Kalah” yang digembar-gemborkan oleh beberapa pejabat dan ormas tertentu. Slogan tersebut adalah bahasa politik yang merujuk pada sebuah ideologi tertentu untuk yang menyudutkan sebuah kelompok tertentu dalam masyarakat yang berujung pada pembubaran Front Penyelamat Islam (FPI) baru-baru ini. Baru-baru ini kita saksikan “negara” begitu gagah dan percaya diri membubarkan FPI, menangkap pemimpinnya Habieb Rizieq Shihab, bahkan membekukan semua rekening bank yang terkait dengan FPI. Akan tetapi, sekarang kita melihat presiden gagal menuju ke lokasi bencana hanya karena kendala transportasi. Artinya, negara saat ini begitu lemah ketika menghadapi bencana alam. Padahal ribuan korban gempa menunggu kedatangan presiden agar mendapat perhatian sungguh-sungguh. Negara kita sekarang ini memang terlihat kuat kalau menghadapi hantu. Iya namanya juga hantu, sesuatu yang tak terlihat tetapi menakutkan. Akan tetapi, anehnya begitu menghadapi realitas, tiba-tiba negara menjadi lemah. Lihat saja bencana alam di awal tahun ini begitu beruntun, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa, angin puting beliung hingga gunung meletus. Kita saksikan betapa rakyat harus berjuang sendiri menghadapi alam yang ganas. Banyak yang marah-marah kepada pemerintah karena terlambat mendatangkan bantuan logistik, kesehatan dan segala pertolongan pertama yang dibutuhkan para korban. Bencana alam adalah takdir yang dihadapi Indonesia dari tahun ke tahun. Harusnya kita sudah siap menghadapi setiap kali bencana datang. Dunia internasional sudah lama menetapkan Indonesia sebagai negara paling rawan bencana. Segala perhatian dan bantuan keuangan internasional sudah banyak mengalir ke negeri ini. Kendala transportasi harusnya bukan menjadi alasan lagi bagi negara agar segera memberikan bantuan dan harapan hidup bagi rakyat yang tertimpa musibah. Uang hibah dari dunia internasional selama ini ke mana saja larinya? Itu yang jadi pertanyaan rakyat sekarang. Tahun lalu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus menyewa helikopter Chinook dari Amerika Serikat untuk mengatasi kebakaran hutan dan penanggulangan Covid-19. Artinya, BNPB dari dulu butuh alat angkut berat lintas udara untuk memaksimalkan tugas mereka sebagai leading sector di bidang bencana alam. Akan terapi, badan yang kini dipimpin Doni Monardo itu cuma bisa menyewa. Kalau masa sewa habis ya harus dikembalikan. Nah ketika bencana alam terjadi beruntun di bulan Januari ini, helikopter itu tidak nongol di pusat bencana besar seperti banjir besar di Kalsel dan gempa hebat di Sulbar ini. Helikopter angkut raksasa sekelas Chinook adalah urgensi bagi Indonesia. Sudah banyak stake holder atau pemangku kepentingan kebencanaan yang memimpikan Indonesia memiliki helikopter serba guna ini. Namun, sampai sekarang tidak kesampaian. Konon karena harga dan biaya perawatannya mahal. Ada yang bilang lebih baik menyewa saja. Masalahnya, kalau menyewa, perlu waktu untuk mendatangkannya dari luar negeri. Sementara bencana dan korban perlu pertolongan secepat mungkin. Sekarang bandingkan urgensinya dengan proyek LRT dan bandara internasional yang digeber habis-habisnya beberapa tahun terkahir. Faktanya LRT Palembang dan Bandara Soekarno- Hatta tidak diminati masyarakat. Bandara Internasional Kertajati dan Silangit sepi total. Semua proyek ini merugi dan mungkin pinjamannya sulit dibayar. Padahal, proyek tersebut tidak mendesak dibangun. Tidak ada juga masyarakat setempat yang mendesak kepada pemerintah agar membangun proyek itu. Tarulah misalnya BNPB tidak punya anggaran untuk membeli dan merawat pesawat ini. Namun, anggarannya bisa dialokasikan untuk alat angkut di bawah penguasaan TNI atau Polri. Dalam keadaan perang, pesawat tersebut terbukti efektif sebagai alat angkut maupun artileri udara. Dalam keadaan damai pesawat ini sangat handal digunakan untuk operasi kemanusiaan. Tidak usah jauh-jauh, Singapura pernah mengirim armada heli Chinook-nya saat membantu bencana tsunami di Aceh, 26 Desember 2004. Helikopter inilah yang mengirim logistik dan mengevakuasi korban dari wiayah-wilayah yang tak terjangkau alat transportasi lain. Heli ini harganya mahal. Namun sangat efektif dan tangguh. Bisa mengangkut 50 personil, 12 ton barang, jarak jelajahnya pun luar biasa, bisa sampai 700 km lebih. Singapura yang luasnya cuma 700 km persegi saja punya pesawat ini. Mereka membelinya tentu bukan sekedar untuk menjaga wilayahnya yang secuil itu. Pembeliannya, jelas karena punya misi kemanusiaan, TNI-AD sejak tahun 2018 sudah berniat membeli helikopter ini. Tapi sampai sekarang tidak jelas kelanjutannya. Untuk tahun anggaran 2021, TNI dan Polri masing-masing mendapat pagu anggaran sebesar Rp 140 triliun dan Rp 120 triliun yang menempatkan mereka sebagai tiga besar penerima APBN selain PUPR. Tapi tidak terlihat rencana kongkrit mereka untuk menganggarkan pembelian alat transportasi serba guna ini untuk alat angkut personil maupun misi kemanusian. Negara tidak boleh kalah. Kita butuh TNI dan Polri yang memiliki daya gentar terhadap musuh negara. Namun, kita jadi sedih sekarang karena melihat TNI dan Polri begitu sigap mencopoti baliho FPI, tapi tak berdaya ketika harus segera memberi pertolongan kepada rakyat yang tertimpa bencana. **

Amerika, From The New World Order to The New Covid World Order

by Sayuti Asyathri Jakarta FNN – Tulisan ini sebagai catatan untuk Amerika menjelang pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Rabu 20 Januari 2021. Amerika sendiri di dalam dirinya adalah sebuah bangsa yang terbelah. An inherently divided nation. Demokrasi dengan sistem cheks and balances adalah sebuah sistem yang didisain untuk mengelola enerji yang terbelah tersebut untuk memperkuat Amerika dalam pencapaian cita cita kebangsaannya. Salah satu alasan utama mengapa kalangan konservatif tetap mempertahankan kebijakan, dimana rakyat, dengan syarat tertentu, dibolehkan memiliki senjata. Kebijakan tersebut dianggap sebagai salah satu cara bagi mereka untuk tetap mempertahankan diri dari ancaman “negara”. Kebijakan yang juga untuk menyelamatkan cita-cita Amerika yang bersatu dalam perserikatan. Apabila negara terlempar keluar dari poros keseimbangan dalam mekanisme cheks and balances bisa berakibat patal. Sebab tidak semua negara dengan demokrasi cheks and balances sebagaimana yang diterapkan Amerika menggunakan cara seperti itu. Tetapi sejarah perang sipil Amerika yang menyimpan enerji pembelahan dan pertentangan mendasar itu telah meyakinkan Amerika selama ini untuk menerapkan kebijakan cheks and balances. Meskipun hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika yang yang baru lalu juga bisa menjadi ukuran meningkatnya penentangan atas kebijakan dalam soal itu. Sementara kebijakan cheks and balances dan sejumlah kebijakan lain semacam itu, sangat khas Amerika. Terutama karena posisinya sebagai pusat perhatian dan pergesekan paling intensif dengan semua bagian dunia lain. Amerika menerapkan banyak kebijakan yang unik dan tidak mudah. Bahkan tidak bisa ditiru oleh negara lain. Kini, Amerika terancam keluar dari keseimbangan cheks and balances yang membanggakan selama ini. Semua akibat hasil Pilpres yang telah memenangkan Joe Biden sebagai presiden. Menjelang pelantikan Biden, banyak senjata-senjata yang habis terbeli. Sebagian toko malah menambah jumlah stafnya untuk melayani pembeli senjata. Suasana dan nuansa instabilitas sangat mewarnai kehidupan masyarakat Amerika sekarang ini. Belum pernah Amerika mengalami sebuah situasi demokratis yang seperti ini. Siatuasi sekarang menempatkan Amerika seperti keadaan di negara negara berkembang yang bergolak dan tidak stabil. Negara-negara berkembang yang sering mengundang Amerika dan Barat selama ini untuk dijadikan sebagai sasaran khotbah tentang hak asasi manusia dan demokrasi. Situasi yang terjadi sekarang ini adalah sebuah ujian dan sekaligus gugatan telak atas jalan sejarah sebuah negara. Amerika yang dalam perkembangannya telah menggabungkan dirinya dalam enerji imperialisme yang mengganas dan pengkhotbah yang tidak otentik tentang hak asasi manusia dan demokrasi di berbagai belahan dunia. Namun sejarah menunjukkan bahwa Amerika menjadi negara kuat atau terkuat di dunia hanya kalau berhasil mempertahankan keutuhannya dan menyelamatkan demokrasinya. Karena posisinya yang selama ini mendefinisikan potret dunia dalam perang dan ketidakadilan. Rumus sederhananya apabila Amerika berubah menjadi lebih baik, maka dunia juga akan memetik hasilnya. Hanya saja, ada kekuatan lain yang kini mendefiniskan kekuatan Amerika dan dunia, yaitu covid-19. Dunia akan melihat bagaimana kekuatan Amerika bangkit mengatasi tantangan tersebut. Mengingat bahwa pukulan covid-19 yang perkasa atas Amerika akan jauh lebih parah. Karena pukulan itu berkelindan dengan selain prestasi Amerika, juga dosa-dosa kemanusiaannya yang bagi sebagian besar belahan dunia sulit untuk dimaafkan. Bagi dunia, siapapun yang terpilih sebagai presiden Amerika, itu adalah refleksi perjalanan dialektisnya sebagai sebuah negara yang tidak pernah selesai mendefiniskan dirinya. Seperti kata Samuel P Huntington, masalah sejatinya adalah karena Amerika tidak miliki sebuah akar budaya yang otentik. Padahal "culture matter", katanya. Situasi yang dialami Amerika itu adalah pilihan dari bait puisi Walt Whipman tentang cita-cita menjadi sebuah bejana pelebur, dari sebuah melting pot. Dengan asumsi seperti itu, maka terpilihnya Joe Biden mestinya juga dilihat sebagai hasil refleksi dialektis itu. Bila itu yang terjadi maka Amerika akan dihela Biden menurut sebuah logika tatanan baru, yakni dari The New World Order menuju The New Covid World Order. Pusat tatanan baru itu, Amerika dan dunia diyakinkan dan dideterminasi, bukan oleh pilihan spiritualitas atau materialisme. Tetapi oleh keduanya sebagai suatu kesatuan yang mengalami asyik masuk dialektis eksistensial. Covid ada di pusat rekleksi dialektis itu, menginterupsi kehidupan manusia dan menarik manusia ke istana eksistensialnya yaitu kerendahtian, ketulusan dan kepedulian. Sebab manusia tidak pernah berhenti bertengkar di arus gelombang kemanusiaan dan keadilan meskipun dari situ keluar yakut dan marjan. Disana hampir tidak pernah ada kedamaian. Pilihan arus spirituslisme dan materialisme itu juga selalu dalam keasyikan eksistensial, sehingga tidak pernah berpisah. Seakan-akan karena cinta dan kepedulian. Karena denyut cinta dan kepedulian abadi itulah kita selalu ada, dan berbagi cerita tentang hari depan manusia yang kita cintai. Manusia-manusia besar dalam kehidupan dunia adalah pasak-pasak kemanusian dan cahaya keadilan. Boleh jadi ungkapan itu adalah sebuah tafsir metafora dari kalimat kitab suci. Kita sedang memasuki dengan pasti sebuah masa depan yang, suka atau tidak, didefinisikan oleh The New Covid World Order. Sebuah dunia dengan tatanan baru yang menantang kehadiran manusia manusia yang berkualifikasi pasak itu untuk menentukan dan menyelamatkan masa depan dunia kita bersama. Penulis adalah Alumni of Advanced Course of National Defense Institute, Indonesia, KSA X, 2000.

DPR Harusnya Tolak Listyo Sigit Sebagai Kapolri

by Luqman Ibrahim Soemay Lhokseumawe FNN - Listyo Sigit Prabowo, Kabareksrim berpangkat Komisaris Jendral (Komjen) Polisi, telah resmi dicalonkan oleh Presiden menjadi Kapolri. Sigit dinilai Presiden sebagai orang tepat menggantikan Jendral Idham Aziz, yang segera pensiun. Sigit hebat. Karena Sigit dikenal luas pernah menjadi ajudan Presiden Jokowi itu, mengalahkan tiga Komjen senior lainnya. Tiga nama itu adalah Komjen Pol. Gatot Edy Pramono (Letting 1988A) , Komjen Pol. Boy Rafly Amar (Letting 1988A) dan Komjen Pol. Agus Andrianto (Letting 1989) harus menerima kenyataan terlempar dari meja Presiden sebagai calon Kapolri. Mereka tidak lebih unggul dari Sigit. Karena itu Sigit memang Top. Sigit, mungkin tidak akrab dengan Jokowi kala bertugas Solo. Tetapi itu tidak mengubah hal apapun bahwa Sigit dan Jokowi, telah saling kenal sejak di Solo. Entah takdir atau begitulah roda politik bekerja. Sigit dan Jokowi jumpa lagi dalam status yang berbeda. Jokowi menjadi Presiden dan Sigit jadi ajudannya. Kini, Sigit dicalonkan menjadi Kapolri oleh Jokowi. Sangat istimewa, surat Presiden tentang pencalonan dirinya, yang ditujukan ke DPR diantar sendiri oleh Pratikno, Menteri Sekertaris Negara. Ini istimewa. Tetapi jangan bilang kenyataan itu sebagai refleksi aktual tebalnya politik perkoncoan antara Sigit dengan Jokowi. Pernyataan itu akan sangat mudah disanggah oleh Menteri Sekretaris Negara. Dia bisa bilang itu adalah tata karma baru yang sedang dikembangkan Presiden dalam menjaga relasi manis dengan DPR. Ini tata krama baru hubungan non legal antara Presiden dengan DPR. Jadi seharusnya dihormati, bukan dikritik. Lagi pula cara itu sama sekali tidak melanggar hukum. Sigit, pria berpembawaan tenang dan tidak banyak cakap ini, entah sedang riang gembira dengan pencalonannya atau tidak. Tetapi Sigit, entah apa pertimbangannya, dalam mengkonsolidasi jalannya menuju Tri Barata (TB) 1, atau mengirimkan pesan kepada masyaraat bahwa dirinya menghormati para senior, mendatangi sejumlah mantan Kapolri. Sigit pas untuk jabatan Kapolri? Suara-suara di luar sana, terlihat sama tone-nya. Dia pas, Dia punya kompetensi untuk jabatan itu. Macam-macam bukti disodorkan. Diam-diam Sigit mengecek kelangkaan persedian barang kebutuhan rakyat, yang disinyalir langka. Terakhir diam-diam Sigit mengecek fenomena kelangkaan kadelai. Sewaktu jadi Kapolda di Banten, Sigit pergi ke Pesantren-Pesantren. Alhasil,Sigit Dia digambarkan sebagai sosok yang memiliki hubungan bagus dengan pesantren-pesantren di Banten. Logiskah soal-soal itu dipertimbangkan? Tidak juga. Pengecekan kelangkaan persediaan bahan pangan itu pekerjaan teknis, yang hanya memerlukan penyebaran intel-intel. Tidak perlu sampai Kabareksrim. Sekali lagi itu tidak perlu. Kecuali membentuk citra, harus jujur dikatakan tidak ada urgensinya Kabareskrim turun mengecek harga-harga di pasar.. Soal relasinya dengan pesantren-pesantren, apa perlu dipertimbangkan? Tidak juga. Betul sejarah pembantaian ummat Islam terheboh dalam masa pemerintahan Pak Harto terjadi ketika Penglima ABRI berada di tangan Jendral Beny Moerdani. Sistem kala itu memungkinkan Pangab mengendalikan bedil sekaligus hukum. Pada kepemimpinan Beny Moerdani inilah ummat Islam terteror secara sistimatis. Puncaknya terjadi pembantaian terhadap Ummat Islam di Tanjung Priok tahun 1984. Tetapi kenyataan itu, dimana Benny Moerdani yang merangkap sebagai Pangkopkamtib tersebut tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menolak Sigit sebagai Kapolri. Tidak begitu. Kerana bukan itu soalnya. Namun harus diakui bahwa Sigit punya masalah nyata, yang tidak bisa disederhanakan. Juga tidak bisa dibiarkan. Akan sangat membahayakan bangsa dan negara ini ke depan. Apa masalah nyata Sigit itu? Bareskrim yang dikomandaninya, itulah yang menyelidiki peristiwa penembakan anggota Polda Metro Jaya terhadap enam warga negara, laskar Anggota Front Pembela Islam (FPI) di Kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Bahkan penyelidikannya itu telah sampai level rekonstruksi peristiwa. Bareskrim yang dikomandani Sigit inilah yang memanggil dan memeriksa Edy Mulyadi, wartawan senior dari Portal Berita FNN.co.id. yang ditugaskan oleh redaksi FNN.co.id untuk menginvestigasi pembunuhan yang terjadi di kilometer 50 tol Japek itu. Pemeriksaan penyidik bareksirim terhadap Edy Mulyadi dilakukan tanpa melalui persidangan etik atas konten berita di Dewa Pres. Padahal Dewan Pers adalah institusi yang ditugaskan negara untuk mengadili pelanggaran atas kode etik jurnalistik dan pers sebelum diperiksa oleh penyelidik kepolisian. Edy Mulyadi malah dipanggil dan diperiksa Bareskrim begitu saja. Apa Sigit tidak tahu bahwa bahwa orang yang dapat dijadikan saksi dalam satu perkara itu adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri peristiwa tersebut? Masa Kabareskrim tidak tahu prinsip hukum yang sangat sesederhana seperti itu? Kabareskrim tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, atau memang arogan? Bareskrim juga yang melakukan penangkapan terhadap Jumhur Hidayat, Dr. Sahganda Nainggolan dan Anton Permana. Apakah Kabareskrim tidak tahu protokol penangkapan? Apakah penangkapan ini diperintahkan langsung oleh Jendral Idham Aziz, Kapolri, sehingga Kabareskrim tidak berdaya menolaknya? Jumhur, Sahganda dan Anton diborgol tangannya. Bandingkan dengan empat laskar anggota FPI yang dimuat petugas Polisi di mobil tanpa diborgol tangan atau kakinya. Padahal menurut versi Kapolda Menro Jaya Fadil Imran, telah didahului dengan tembak-menembak. Apa begitu hukum yang berlaku di Bareksrim yang dipimpin oleh Sigit? Komjem yang sudah dicalonkan oleh Jokowi jadi Kapori ini? Sejauh ini Sigit diam soal temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) atas pembunuhan yang menjijikan terhadap empat orang anggota Laskar FPI. Padahal Komnas HAM sudah menyebut peristiwa itu “unlawfull killing”. Orang tahu temuan ini diumumkan Komnas HAM jauh setelah Bareskrim melakukan rekonstruksi atas peristiwa itu. Orang atau publik tahu itu. Kalau saja Komnas tidak mengumumkan temuannya, tentu Bareskrim yang Sigit pimpin akan bekerja sesuai dengan reskonstruksi yang telah dilakukan itu. Bekerja berdasarkan rekonstruksi jelas maknanya. Enam orang FPI itu mati secara sah, alias menurut hukum. Mengapa? Sesuai dengan pernyataan resmi Irjen Pol. Fadil Imran, Kapolda Metro, mereka melawan petugas. Kecuali tidak diumumkan, dan itu kami ragukan, sampai sejauh ini, Bareskirm yang dipimpin Sgit, sang calon Kapolri ini, tidak berbuat apapun. Tidak terlihat tanda-tanda Bareskrim yang dipimpim Sigit sedang berkerja menyidik peristiwa pembunuhan yang unlawful tersebut. Apa Sigit, calon Kapolri ini, tidak tahu bagaimana Dr. Ahmad Yani, SH.MH. mau ditangkap Bareskrim, atau apapun namanya itu? Apa Sigit tidak tahu pemanggilan terhadap Dr. Ahmad Yani, SH.MH harus dilakukan dengan mengerahkan para penyidik atau petugas malam-malam ke kantornya di Jalan Matraman? Mengantar surat panggilan ko banyak orang? Apa begitu hukumnya Pak Sigit? Apakah kewenangan Sigit sebagai Kabareskrim begitu terbatas? Sehingga tidak ada satu tindakan yang nyata-nyata terlihat oleh publik dalam merespon penanganan orang-orang yang dituduh melaklukan pembakaran di halte Busway Sarinah Thamrin pada demo UU Cupta Kerja? Dari video yang beredar di masyarakat, para pelaku pembakaran halte Buway Sarinah Thamrin itu berjalan penuh percaya diri? Tidakkah pada peristiwa itu, Najwa Shihab, Jurnalis yang menggawangi acara Mata Najwa mengedarkan video yang memperlihjatkan adanya orang lain di luar mereka yang telah ditangkap itu? Apakah mereka yang terekam di gambar yang diedarkan Najwa Shihab itu telah diselidiki? Apakah yang telah Kabareskrim Sigit lakukan terkait pembakaran halte Busway itu? Kalau soal-soal yang seelementer itu saja tidak mampu direalisasikan oleh Sigit dalam pekerjaan teknis, apa yang bisa bangsa ini harapkan dari Sigit sebagai Kapolri? Untuk bisa mendekorasikan republik tercinta ini dengan keadilan hukum? Apa Sigit mengerti dan faham kalau Republik Indonesia ini telah mengharamkan ketidakadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk hukum? Kalau nyawa anak-anak FPI diambil dengan cara paling jijik, tak beradab, bar-bar itu, jorok, primitif berhasil mejungkir-balikkan “Polisi Proter” yangsangat dibanggakan Prof. Dr. Tito Karnvan Ph.D tersebut, tidak mampu untuk menggetarkan nurani Sigit, lalu apa maknanya? Apakah tidak wajar orang berhipotesa bahwa nyawa-nyawa akan melayang lagi dalam yang belom dapat diduga? Nyawa-nyawa anak bangsa akan diambil dengan cara-cara yang menjjijikan, jorok, primitif, tidak beradab, dan bar-bar oleh petugas petugas polisi, dimasa Sigit menjadi Kapolri akan semakin sering terjadi? Atas dasar itu, kami mohon Maaf, dan dengan segala hormat kami yang tinggi kepada pribadi Komjen Pol. Sigit, kami harus yatakan Sigit tidak memiliki kaulifikasi dan kompetensi teknis bidang hukum. Entah kalau Dia memiliki kompetensi politik dalam menggerakan hukum. Atas dasar itu pula, Sigit harus dinilai tidak memiliki kompetensi untuk jadi Kapolri. DPR harus berbesar hati menolak Sigit menjadi kapolri. Sebaiknya DPR segera bersurat kepada Presiden meminta agar Presiden mengirimkan lagi nama lain untuk di fit and proper test. DPR sebaiknya tidak ngeyel terhadap soal-soal elementer di atas. Soal-soal itulah yang, dalam penilaian kami, sangat berkontribusi besar menghasilkan keadaan politik, yang kian hari kian mengkhawatirkan bangsa ini. Diskriminasi hukum yang kian menjulang saat ini, suka atau tidak, tidak bisa disepelekan. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Khadavi, Korban Pembunuhan Polisi di KM 50

by Abdullah Hehamahua Bandung FNN - Mobil yang saya tumpangi melaju ke arah Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Matahari telah condong ke barat. Di depan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, mobil berhenti. Sebab, adzan maghrib terdengar di beberapa masjid dan mushalla di Kawasan tersebut. Kami menuju mushalla kecil di pekarangan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Melihat ukuran mushalla, dugaan kuat, tidak semua muslim di kantor itu, shalat dzuhur berjamaah. Mungkin saja pimpinannya nonmuslim. Kalaupun pimpinannya muslim, nilai Pancasila yang diperoleh ketika kuliah, paling nilai C. Sebab, sila pertama Pancasila – Ketuhanan Yang Maha Esa- menunjukkan Indonesia negara agama, bukan negara komunis. Sepertinya Kepala Kejaksaan Negara (Kajari) atau pejabat di kantor itu kurang memahami isi UUD 45. Sebab, hakikat pasal 29 ayat (1) dan (2) mewajibkan umat beragama, khususnya Islam untuk shalat berjamaah di masjid atau mushalla. “Mau jumpa siapa pak,” tegur pegawai kantor itu setelah kami bersama selesai shalat berjamaah. “Cuma mampir untuk shalat maghrib,” jawabku singkat. Rumah Sederhana di Mulut Gang Mobil diparkir di tepi jalan Puri Kembangan yang sudah mulai sepi. Kami berlima menyeberang jalan. Sekitar seratus meter, kami menjumpai banyak anak muda berpakaian koko dan ketayap putih. Gang sempit di depan rumah orang tua Khadavi digelar tikar dan karpet. Banyak anak muda duduk sambil berdzikir. Kami berlima dipersilahkan duduk di atas tikar tersebut. Malam itu, 15 Desember 2021, hari ke-40, enam laskar FPI meninggal dunia dibunuh polisi dari Polda Metro Jaya. Rumah itu sederhana itu panjangnya mungkin 8 meter. Lebarnya sekitar enam meter. Ruang tamu berukuran, kurang lebih dua setengah kali tiga meter. Ruang keluarga sekitar tiga kali tiga setengah meter. Tidak nampak perabot rumah yang mewah. Di atas meja kecil, terpampang foto Khadavi. Wajahnya cerah, ganteng, bercahaya. Masih muda, sekiar 21 tahun. Nama lengkapnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Anak pertama dari dua orang bersaudara. September nanti, Khadavi akan wisudah. Dia kuliah di Fakultas Perkapalan, satu universitas di Jakarta. Khadavi Ingin Menegakkan Keadilan “Khadavi pernah mau pindah ke jurusan hukum,” kata Herman Mulyana, ayah Khadavi. Mantan Satpam di salah satu super market di Jakarta ini berperawakan sedang, ramping tubuhnya. Memerhatikan postur dan penampilannya, musykil bagi saya, Herman bisa mendidik anaknya menjadi seorang teroris. “Mengapa dia ingin pindah jurusan? ” tanya saya penasaran. “Dia ingin menegakkan keadilan dan melindungi ulama,” terang Herman. Saya termenung sekejap. “Menegakkan keadilan,” gumam saya. Sesampai di rumah malam itu, terbayang kawan-kawan di KPK. Ada Penyelidik dan Penyidik KPK yang sengaja ditabrak di jalan sampai cedera. Teror dan intimidasi sudah jamak bagi pegawai Gedung Merah Putih ini. Bahkan, terjadi “perang” di antara cicak dan buaya, sampai beberapa jilid. Beberapa komisioner KPK dikriminalisasi, ditahan, dan diberhentikan secara tidak adil hanya karena mereka membuka borok korupsi yang ada di Indonesia. Wajah pegawai KPK yang saya tidak bisa lupakan adalah Novel Baswedan. Sewaktu jumpa di Singapura (2018), saya lihat bola mata kanannya menonjol keluar. Mata kiri, hampir tertutup seluruhnya. Novel berada di Singapura untuk operasi mata akibat disirami air raksa oleh dua anggota polisi. Kini, sekalipun sudah melalui operasi dan pengobatan oleh dokter pakar di Singapura, mata Novel tetap tidak pulih sebagaimana sebelumnya. Beliau mengalami cacat mata permanen. Kawanan harimau di wilayah Riau, protes atas penyelesaian kasus salah seorang kawan mereka. Sebab, Januari tahun lalu, hakim menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap pemuda yang membunuh rekan mereka, tanpa hak. Pembunuh mungkin mau menjual kulit harimau yang dibunuh tersebut. Kawanan harimau tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena kawan mereka tidak dapat hidup kembali sekalipun pembunuhnya dihukum empat tahun penjara. Di alam manusia yang konon paling pancasilais, penganiaya Novel hanya dijatuhi hukuman penjara setahun dan setahun setengah. Padahal, sebelah mata Novel buta total dan yang lainnya hanya 25% berfungsi. Alasan jaksa dan hakim, pelaku tidak berniat jahat untuk mencelakai Novel. Saya yang sarjana hukum dan delapan tahun berkhidmat di KPK saja, kurang mafhum atas alasan penegak hukum tersebut. Khadavi yang masih berstatus mahasiswa. Wajar jika beliau ingin menjadi sarjana hukum agar dapat menegakkan keadilan. Mungkin dalam pikirannya, bagaimana subuh hari, dua polisi datang ke masjid tempat Novel shalat, kemudian menyirami wajah Penyidik KPK tersebut dengan air raksa, tanpa niat. Apakah niat mereka sebenarnya datang ke masjid untuk shalat berjamaah saja? Sewaktu melihat Novel, timbul kegeraman mereka karena sakit hati atas apa yang dilakukan terhadap atasan mereka, beberapa waktu sebelumnya. Spontan, mereka mencelakai Novel. Sampai di sini, masih manusiawi alasannya. Pertanyaannya, dari mana air raksa yang digunakan untuk mencelakai Novel tersebut? Oh “niat”, dimana engkau berada.? “Puyeng” untuk bisa memahami jalan pikiran jaksa dan hakim. Tentu, jutaan rakyat Indonesia yang waras akan berpikir seperti saya. Wajar jika Khadavi bercita-cita, menegakkan keadilan. Kekhawatiran saya, selama pemerintahan Jokowi, ratusan, ribuan, bahkan jutaan akan bernasib sama dengan Khadavi. Tujuh jutaan peserta 212 yang di Monas tahun 2016 lalu akan menjadi Khadavi-Khadavi baru. Apalagi dengan menyaksikan penahanan HRS, ulama, dan aktivis KAMI secara lebai dan semena-mena. Khadafi Akan Wisudah Khadavi mengambil jurusan perkapalan, salah universitas di Jakarta. Di depan saya dan empat anggota rombongan lainnya, Herman mengekspresikan wajah sedihnya sewaktu mengatakan, “September ini Khadavi akan diwisudah”. Seorang mantan Satpam dengan isteri yang hanya suri rumah membesarkan dan menyekolahkan kedua anak mereka. Kedua anak ini, terkenal saleh. Apalagi Khadavi biasa menasihati orang tuanya agar jangan gila dunia. Ingatlah kehidupan akhirat. Selangkah lagi, Herman dan pasangannya akan menyaksikan anak sulungnya duduk di pelaminan, mengenakan pakaian kebesaran ‘toga’ sebagai seorang sarjana perkapalan. Namun harapan tersebut pupus hanya karena kegilaan dan nafsu duniawi di hati polisi yang menganiaya Khadavi sampai tewas. Terbayang, betapa bangga dan gembira ketika dengan isteri menghadiri satu persatu anak-anak saya wisuda. Tiba-tiba muncul gambaran syahdu di benak saya. Muncul kenangan sewaktu saya harus mengaduk semen sebagai kernek tukang bangunan di kawasan Cheras, Selangor, Malaysia agar bisa membayar uang kontrakan rumah. Bagaimana saya harus menjual pisang goreng dan air kelapa muda di tepi jalan, kawasan Ulung Kelang, Selangor, guna membeli perlengkapan sekolah anak-anak. Begitulah kira-kira perasaan dan kenangan seorang Herman dan jutaan Herman lainnya di pelosok negeri yang jatuh bangun membesarkan anak-anak dalam keterbatasan ekonomi keluarga. Pertemuan Terakhir Pagi itu, Khadavi seperti biasa pamit dari ayah dan ibunya menghadiri majelis ilmu. Sejak SMP, Khadavi rajin mengikuti majelis ta’lim di mana-mana di Jakarta. Belakangan, beliau rajin mengikuti kegiatan FPI. Apalagi memerhatikan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah khususnya lima tahun terakhir ini, membuat Khadavi semakin tertarik dengan kegiatan dan dakwah FPI. FPI sering muncul ketika terjadi bencana alam, baik tsunami, gempa bumi atau banjir. Mereka menolong korban tanpa pamrih, mulai dari tsunami Aceh, Banten, NTB, Sulawesi Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya serta bencana lainnya di hampir seluruh Indonesia. Herman dan isterinya tidak sangka, pertemuan pagi itu, 6 Desember 2020 adalah pertemuan terakhir dengan anak sulungnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Herman sedih tapi bersemangat ketika mengemukakan kondisi fisik jazad anaknya. Menurutnya, ada dua lobang peluru dekat jantung, berwarna hitam. Maknanya, Khadavi ditembak dari jarak dekat. Matanya juga terdapat bekas penganiayaan. Ada jahitan di dada yang menunjukkan rumah sakit melakukan autopsi tanpa ijin keluarga. Bagian belakang kepala Khadavi, sampai di liang lahat pun masih keluar darah. Wajar jika Herman menolak tuduhan polisi yang mengatakan anaknya membawa senjata. “Beli gorengan saja, dia kongsi dengan kawan-kawannya. Dari mana duit untuk beli senjata,” tambahnya. “Senjatanya adalah baju koko dan kopiah putih,” lanjutnya. Itu sebabnya, Herman menolak memenuhi panggilan Polda Metro Jaya. Menurutnya, dua kali surat panggilan Polda Metro Jaya dibawa oleh Babinsa dan Ketua RT. Herman minta agar pak RT mengembalikan surat panggilan polisi tersebut. Herman kemudian minta keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya terhadap para pelaku pembunuhan. Keadilan yang bagaimana? Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini ditegaskan lagi di UUD 45, pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) mengatakan, “negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan Pancasila dan UUD 45 terebut mengisyaratkan bahwa, hukuman bagi pembunuh (tanpa hak) harus sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Esa. Maknanya, penegak hukum harus merujuk Al-Qur’an, Injil, dan KUHP di mana pembunuh harus dijatuhi hukuman mati. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al Baqarah: 178). “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Injil, Kejadian 9:6). “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” (KUHP pasal 340). Jika polisi yang membunuh Khadavi, ikhlas menjalani hukuman mati yang didahului dengan tobat nasuha, in syaa Allah, mereka akan memeroleh keringanan dalam pengadilan akhirat nanti. Bahkan, bisa masuk surga jika dia muslim. Para Penyidik, JPU, dan Hakim yang menyidik, menuntut, dan memutuskan hukuman mati juga akan memeroleh keringanan atau kebebasan hukuman di akhirat kelak. Penulis adalah Mantan Penasehat KPK.

Jokowi Melompat-Lompat di Tumpukan Hutang Rp 6.000 Triliun

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Banyak tersiar berita mengenai semangat Pemerintahan Jokowi untuk keluar dari krisis multi dimensi sekarang. Bahkan kabarnya Pemerintahan Jokowi bakal melakukan lompatan besar pasca krisis. Saat membuka secara virtual Rakornas III Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) tanggal 15 Januari 2021 lalu, Jokowi bertekad untuk melakukan lompatan saat krisis. Melompat berdasarkan langkah yang diakuinya "extra ordinary" seperti reformasi birokrasi, UU Cipta Kerja, pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), serta pembentukan Indonesia Investment Authority sebenarnya kontroversial. Sebab rezim investasi ini terbukti di lapangan, sedang mengalami hambatan atau kegagalan. Kehadiran UU Cipta Kerja yang diobrak-abrik oleh para buruh, masyarakat adat dan pegiat lingkungan. Birokrasi yang semakin gemuk, serta program UMKM yang tak jelas. Bahkan terkesan tiak lebih dari sekedar pencitraan semata. Belom lagi pertentangan di dalam interal birokrasi antara Kementerian Kordinator Perekonomian dengan Kementrian Kordinator Maritim dan Investasi. Banyak netizen menyindir tentang akumulasi mimpi-mimpi dan janji-janji Jokowi yang realisasinya ibarat jauh panggang dari api. Pada tingkatan yang terbilang ekstrim, ada yang mengusulkan agar Jokowi segera dilaporkan ke Kepolisian, dengan mereferensikan pada Babe Haekal yang juga dilaporkan akibat mimpi bertemu Rosulullah Sallaahu Alaihi Wasallam. Mimpi melompat di tengah krisis itu boleh-boleh saja Pak Jokowi. Akan tetapi nampaknya yang dibaca publik adalah sebaliknya. Yang dibaca publik ini berangkat dari pengalaman mimpi-mimpi yang sudah-sudah. Pemerintahan Jokowi justru sedang bersiap siap melompat ke dalam got kembali. Ini terjadi akibat dari roket menukik meluncur ke bawah. Roketnya bukan meluncur atau melesat ke atas. Krisis ekonomi semakin dalam. Hutang luar negeri pemerintah semakin dahsyat angkanya, yaitu Rp. 6.000 triliun lebih. Dari jumlah tersebut, sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya SBY di Oktober 2014 (69 tahun) hanya Rp 2.600 triliun. Sedangkan selama Pak Jokowi menjadi Presiden 6 tahun, hutang pemerintah yang berhasil dibuat Pak Jokowi Rp. 3.400 triliun lebih. Hutang pemerintah Rp. 3.400 triliun lebih ini adalah prestasi Pak Jokowi yang paling membanggakan. Kondisi ini diperparah dengan daya beli rakyat semakin gawat dari har ke hari. Belum lagi investasi yang tak kunjung meningkat. Jangankan untuk meningkat, invetasi datang saja susah dan seret. Yang lebih tragis dan miris adalah alokasi anggaran untuk mengatasi pandemi dikorupsi oleh kader PDIP Juliari Peter Batubara dan koleganya saat menjabat Menteri Sosial. Dari laporan Majalah TEMPO, diduga adanya keterlibatan petinggi PDIP yang lain, termasuk Ketua DPR Puan Maharani. Setelah diteliti lebih jauh, keterlibatan banyak pihak dalam korupsi Bantuan Sosial (Bansos) ini semakin melibatkan banyak pihak, termasuk Istana sendiri. Belakangan KORAN TEMPO edisi Senin (18/01/2021) memberitakan kalau dua kader PDIP, yatu Herman Hery dan Ihsan Yunus, diduga memeperoleh proyek pengadaan bansos terbesar di Kemneterian Sosial (Kemensos). Dua kader PDIP ini mendapatkan kuota senilai Rp. 3,4 triliun. Herman Hary sekarang menjabat sebagai Ketua Komisi III DPR yang membidangi masalah-malah hukum. Bidang tugas Komisi III DPR adalah Kapolisian, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, Kompolnas, Komisi Kejaksaan serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Mimpi untuk melompat seperti harimau (leaping like a tiger) sulit untuk terealisasi. Sebab faktanya adalah melompat-lompat seperti katak (jumping like a frog). Semua itu, akibat dari kebijakan yang tak terencana dengan baik, reaksioner dan cenderung tambal sulam. Berkhayal untuk melompat di tengah krisis. Namun yang terjadi adalah melompat-lompat memperdalam krisis. UU Omnibus Law, reshuffle yang asal-asalan, vaksin yang tergesa-gesa, ancaman pidana kepada warga masyarakat yang penolak vaksin, lelang Rurat Utang Negara (SUN) Rp. 35 triliun, serta "menjual" danau Toba ke China adalah contoh kebijakan yang melompat-lompat seperti katak. Sementara saat berada dalam air menendang-nendang juga. Setelah hantu radikalisme dan intoleransi disebar, kini hantu baru dimunculkan, yakni ekstrimisme yang mengarah pada terorisme sebagaimana Perpres No 7 tahun 2021 yang baru diterbitkan. Perpres ini hanya alibi untuk menutupi kegagalan pemerintah mengatasi penyebaran Covid-19, resesi ekonomi dan korupsi Bansos yang diduga mulai menyasar lingkaran inti PDIP dan istana. Perpres No 7 tahun 2021 adalah tendangan katak beracun. Patut diduga sasarannya tak lain adalah umat Islam. Kelanjutan dari isue atau kebijakan "radikalisme, intoleransi, dan anti kebhinekaan" sebelumnya. Umat Islam dikesankan sebagai kekuatan berbahaya bagi Pemerintahan Jokowi yang sekuler, pragmatis, dan materialistis. Perpres terbaru yang diterbitkan ini potensial untuk membangun iklim politik saling curiga dan rawan adu domba. Kebijakan yang melompat-lompat (jumping like a frog) ini sebenarnya menunjukkan tiga fenomena. Pertama, pembangunan tanpa rencana. Kedua, menciptakan kegaduhan secara permanen. Ketiga, penggunaan alat paksaan untuk memproteksi dan mengekalkan kekuasaan. Tiga fenomena tersebut menjadi ciri negara otoritarian. Negara yang jauh dari prinsip demokrasi, abai terhadap hak-hak asasi, serta di tengah pandemi masih bisa menari-nari. Menari melompat-lompat ke kanan dan ke kiri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Hancur-Lebur, Ketua Komnas HAM Menjadi Jurubicara Polisi

by Asyari Usman Medan, FNN - Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM, mengatakan di satu diskusi ‘online’, 17/1/2021, bahwa laskar FPI ketawa-ketawa ketika terlibat bentrok dengan aparat kepolisian pada 7 Desember 2020. Lebih sinis lagi, Taufan menilai para pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) itu “menikmati pergulatan”. Ini betul-betul hancur-lebur. Posisi ketua Komnas berubah menjadi jurubicara polisi. Pernyataan seperti ini seharusnya diucapkan Irjen Argo Yuwono atau jubir-jubir Polri lainnya. Taufan Damanik menyimpulkan begitu berdasarkan rekaman suara (voice note) percakapan di antara para pengawal HRS yang dia dengar. Mungkin pernah Anda dengar juga. Waktu itu viral di medsos. Ada bagian-bagian dari ‘voice note’ percakapan tsb yang sesekali terdengar ketawa. Tetapi, Taufan tidak meletakkan suara ketawa itu dalam konteks yang utuh. Pertama, para pengawal HRS tidak tahu siapa penguntit yang sedang mereka hadapi. Sebelum konprensi pers Kapolda Metro (7/12/2020) siang yang mengakui aparat kepolisian membunuh 6 pemuda FPI, pihak FPI tidak menyadari bahwa para penguntit itu adalah polisi. Artinya, pada saat terjadi kejar-kejaran itu pihak FPI beranggapan mereka tidak sedang berhadapan dengan polisi. Mereka menyebutnya OTK (orang tak dikenal). Dalam konteks ini, Taufan Damanik salah total. Dia mengatakan, “ada anggota laskar Front Pembela Islam yang tertawa-tawa saat terlibat bentrok dengan anggota Polda Metro Jaya pada 7 Desember 2020.” Taufan lupa bahwa para anggota FPI itu tidak tahu kalau para penguntit adalah aparat kepolisian. Para penguntit yang menggunakan beberapa mobil biasa (unmarked police car) itu tidak pernah menyebutkan identitas mereka. Ketua Komnas tidak bisa mengatakan, “…ketawa-ketawa ketika terlibat bentrok dengan aparat kepolisian...” Karena, kembali lagi, rombongan OTK itu masih berstatus “bukan aparat kepolisian”. Saat itu, anak-anak muda FPI tsb sedang ada masalah dengan OTK. Bisa jadi mereka menduga para penguntit adalah preman-preman yang berniat melakukan kejahatan. Kedua, Taufan Damanik juga mengatakan ada keterangan yang menunjukkan bahwa para pengawal HRS ingin berhadapan dengan pihak yang membuntuti. Tentang ini, tak perlulah analisis para ahli. Anak-anak muda yang menduga para penguntit mereka adalah “para penjahat”, pastilah mereka ingin menghadapi para penguntit OTK itu. Sesuatu yang wajar dalam insiden kejar-mengejar di jalan raya (c.q. jalan tol) seperti yang terjadi tengah malam itu. Dalam kesimpulan penyelidikan Komnas HAM, kesan “ingin menghadapi OTK” itu menjadi salah satu yang ditekankan. Di dokumen resmi Komnas disebutkan “menunggu mobil petugas” di satu rest area. Di sini, Komnas lebih berat menyalahkan anak-anak FPI itu. Bukannya menyalahkan aparat kepolisian yang jelas-jelas telah menembak mati anak-anak muda itu. Ketua Komnas sangat subjektif. Berat sebelah. Lebih berpihak kepada para penguasa ketimbang kepada rakyat. Taufan Damanik harus mencabut ucapannya tentang “anak-anak FPI ketawa-ketawa ketika menghadapi aparat”. Anda itu digaji oleh rakyat bukan untuk menjadi jurubicara polisi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.