ALL CATEGORY

Komnas HAM Sebaiknya Dibubarkan Saja

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Bekerja sia-sia saja. Bahkan tidak profesional adalah pilihan diksi yang mungkin pas untuk diberikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang diberi amanah untuk menyelidiki kasus pembantaian 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) pada tanggal 7 Desember 2021 lalu di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Harapan publik begitu besar atas kerja keras penyelidikan Komnas HAMK yang transparan, obyektif, dan independen. Namun harapan itu sirna melalui realita kerja Komnas HAM. Ada kesan Komnas HAM menyembunyikan fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan. Indikasi ke arah itu cukup nyata. Misalnya, komnas HAM tidak mengungkapkan siapa dan dari institusi mana pelaku penembakan terhadap dua anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Begitu juga Komnas HAM menyebutkan siapa-siapa yang berada di dalam dua mobil Avanza yang membuntuti rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) sejak dari Sentul Bogor? Lalu siapa penumpang yang berada di dalam mobil Landruiser, dan berapa nomor polisinya? Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menempatkan Komnas HAM sebagai yang lembaga mandiri. Komnas HAM berfungsi untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM. Kuat sekali mandat undang-unang yang diberikan kepada Komnas HAM untuk bekerja. Pasal 89 ayat (3) butir c dalam hal pemantauan, maka Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga terdapat pelanggaran HAM. Ada kesalahan mendasar Komnas HAM dalam penyelidikan kasus penembakan terhadap 6 anggota Laskar FPI. Pertama, dari peristiwa yang secara dini dipantau publik diduga penembakan bahkan pembantaian yang terjadi adalah "extra ordinary" dengan tuntutan keras akan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen, maka sesuai UU No 26 tahun 2000, seharusnya Komnas HAM membentuk tim ad hok yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 89 ayat 2). Kedua, bahwa hasil penyelidikan dengan kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM, Komnas HAM seharusnya mengumumkan kepada publik siapa yang diduga melakukan pelanggar HAM tersebut. Mengetahui penembak atau pembantai adalah hal termudah dan layak didapat oleh Komnas HAM dalam penyelidikan kasus ini. Ketiga, Komnas HAM tidak mampu menjelaskan indikasi penyiksaan (torture), bahkan terkesan menghindar. Kenyataan ini merupakan pelanggaran atas tanggungjawab moral kemanusiaan yang mendasar. Foto kondisi jenazah yang beredar ternyata tidak terklarifikasi baik dalam penyelidikan. Keempat, Komnas HAM keliru. Hanya melaporkan hasil kerja kepada Presiden, sebab pada pelaporan reguler saja dilakukan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung (Pasal 97 UU HAM), apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu dalam bekerja bukan atas perintah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus penyelidikannya. Apalagi mengganggu asas dan dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan angggota yang kini menjabat patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi. Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian bertanggungjawab atas kegagalan Komnas HAM. Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas dasar "mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM". Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara kolektif dan sistematis. Maka Komnas HAM yang semestinya menjadi pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan dan pelanggaran HAM itu sendiri. Sehingga jika hasil kerja Komnas HAM memang dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Luka Hati Rakyat Yang Semakin Dalam

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Kita semua pernah mengalami luka hati. Terasa sangat sakit. Sebab luka hati tidak hanya merusak satu bagian tubuh. Tetapi secara perlahan bagian lain bisa rusak. Butuh waktu lama untuk sembuh. Itu juga tidak mudah. Sebab yang tersakiti adalah hati. Bukan hati dalam makna fisik tetapi hati dalam makna psikis. Abstrak, tetapi jiwa terasa begitu luka. Jiwa yang luka, pada tingkat rasionalitas tertentu seringkali daya arus baliknya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk melawan. Perlawanan yang tidak lagi memikirkan apa akibat yang timbul kemudian. Penghianatan dan janji palsu adalah dua hal yang sangat melukai hati. Kita semua pasti sangat luka jika dikhianati. Begitu juga jika diberi janji-janji palsu. Janji selangit, tetapi realisasinya hanya segorong-gorong, seselokan atau bahkan kosong. Hanya imaji citra dan pencitraan yang terus diomongkan dan dikonstruksi di arena publik. Misalnya, janji kalau pengangguran akan berkurang. Namun nyatanya pengangguran terus bertambah dari waktu ke waktu. Janji demokrasi makin membaik, nyatanya memburuk. Represip dan kriminalisasi terjadi secara telanjang di depan mata. Rakyat makin lapar, tetapi dramaturgi politik yang disuguhkan. Bukan mengatasi kelaparan yang diderita rakyat. Kehadiran negara secara historis sesungguhnya untuk melindungi, agar tidak ada jiwa rakyat yang terluka. Mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Rakyat yang harsnya dibahagiakan. Bukan rakyat disakiti, apalagi dibunuh. Demokrasi juga hadir untuk mendengarkan hati dan suara rakyat. Mendengarkan jiwa jiwa yang terluka akibat ketidakadilan. Rakyat harus diutamakan. Bukan para oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas dan rakus yang harus diurus kepentingannya. Sebab dalam demokrasi, rakyat yang berdaulat. Bukan segelintir kecil elit. Democracy, literally, rule by the people demikian Robert Dahl, profesor politik dari Yale University mengingatkan (1915-2014). Korupsi Dana Untuk Rakyat Itulah sebabnya banyak negara memilih jalan demokrasi. Bukan jalan oligarki, apalagi jalan otoriter dan fasis. Sebab dalam jalan demokrasi itu keragaman dihargai. Perbedaan pendapat dan sikap kritis dari civil society dihormati. Kritik adalah bagian penting untuk membuat demokrasi lebih bergizi. Pertanyaannya, apa yang membuat hati rakyat semakin luka seperti tersayat sembilu? Jawabannya korupsi. Indonesia adalah peringkat tiga sebagai negara terkorup se Asia (Transparency International, 2020). Sangat memprihatinkan dan menyakitkan sekali. Ya, korupsi sangat menyakitkan hati rakyat. Korupsi itu mencuri uang rakyat, mencuri hak-hak rakyat. Apalagi uang yang dikorupsi seharusnya untuk rakyat miskin yang terdampak covid-19, dan kehilangan pekerjaan. Mereka makan sehari sekali bahkan kadang tidak makan. Tetangganya bahu-membahu membantu, tetapi penguasa dan partai yang berkuasa diduga mengorupsi hak rakyat miskin itu. Sangat menyakitkan. Tidak tanggung-tanggung korupsinya. Menurut Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), tahun 2020 uang yang dikorupsi total mencapai Rp. 20,8 milyar. Bahkan ada kemungkinan uang yang dikorupsi berpotensi jumlahnya trilliunan rupiah, karena jumlah total proyeknya mencapai Rp. 5,9 triliun. Jumlah ini belum termasuk yang disebut dugaan korupsi lainya di BUMN pada periode ini yang sudah menjadi berita. Misalnya, korupsi Jiwasraya Rp. 16,8 triliun, potensi korupsi di Asabri Rp.17 trilliun, potensi korupsi di BPJS Rp. 43 trilliun, dan potensi korupsi di Bumiputera Rp 48,9 trilliun. Sungguh-sungguh sangat melukai hati rakyat. Di negeri ini ada pasal 2 ayat 2 dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi Nomor 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa mengorupsi bantuan untuk bencana bisa dihukum mati. Tujuan pasal 2 ayat 2 undang-undang itu untuk memberantas korupsi, membuat jera koruptor. Bukan untuk melindungi koruptor. Apakah hukuman mati akan diberlakukan? Entahlah, sebab yang terjadi seringkali hukum tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Apalagi jika yang korupsi bagian dari elit yang berkuasa. Jika hukum terus tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah, tentu itu makin melukai hati rakyat. Rakyat bisa melawan. Ada kabar terbaru yang juga sangat menyakitkan hati. Ternyata dana Bansos yang dikorupsi itu tak sampai ke kelompok masyarakat difable. Banyak difabel yang bekerja sebagai buruh harian lepas harus menggadaikan alat mata pencaharian dan menanggung resiko kehilangan penghasilan. Rakyat Dibunuh Aparat Selain korupsi, pembunuhan aparat terhadap rakyat adalah juga sangat melukai hati rakyat. Nyawa seperti tak berharga di negeri ini. Masih inget perjuangan mahasiswa dan siswa STM yang menolak upaya pelemahan KPK oleh Pemerintah dan DPR pada September 2019 lalu? Niat luhur mahasiswa dibalas dengan peluru tajam menembus dada kanan mahasiswa dan ditemukan bekas tembakan atau serpihan proyektil peluru di kepala (Kontras, 2020). Dua mahasiswa Universitas Haluuleo Kendari yang bernama Yusuf Kardawi dan La Randi itu ditembak mati aparat. Luka hati rakyat semakin dalam. Di penghujung tahun 2020, ada 6 anak muda pengawal Habieb Rizieq Shihab (HRS) dadanya ditembak peluru tajam hingga tak bernyawa. Hasil penyelidikan Kimisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan telah terjadi itu pelanggaran HAM. FPI menyebut itu pelanggaran HAM berat. Kini kasus tersebut dilaporkan FPI ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional. Kasus-kasus HAM yang lama seperti kasus Munir, kerusuhan Mei 1998, dan lain-lain tidak ada satupun yang diselesaikan dengan tuntas. Kini kasus-kasus pelanggaran HAM baru malah bertambah. Ya, rakyat makin banyak yang menderita dan terluka hatinya. Terlalu banyak aspirasi rakyat banyak yang tidak didengar, bahkan dicuekin. Rakyat banyak menolak UU Omnibus Law Ciptaker, tetapi rezim penguasa tetap jalan, menutup telinga, mengesahkan undang-undang itu. Ya, penguasa bertepuk sebelah tangan. Saat kampanye, rakyat mahasiswa dan buruh didekati. Begitu berkuasa, aspirasi rakyat mahasiswa dan buruh tidak lagi didengar bahkan ditinggalkan, dan dibuang ke tong sampah. Kenyataan ini yang membuat luka hati yang makin dalam. Yang Kristis Dipenjarakan Kini penguasa senang berutang. Bahkan menyembunyikan hutang hingga Rp. 921 trilliun (Indef,2020). Hingga akhir Desember 2020, Indonesia tercatat memiliki hutang sebesar Rp 6.074,56 triliun (Kemenkeu,2020). Angka itu setara dengan 38,68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dibandingkan 2019, nilai utang Indonesia meningkat Rp 1.296 triliun atau 27,1 persen. Utang yang besar itu akan terus bertambah. Tahun ini bisa sampai Rp. 7.000 triliyun lebih. Pemerintah terjebak gali lobang tutup goa. Bayar cicilan utang dengan membuat hutang baru. Makin menyakitkan lagi hasil hutang itu yang dikorupsi, sementara rakyat yang menanggung cicilan utangnya. Sadis amat penguasa. Rakyat kembali menjadi korban atas keserakahan dan tata kelola negara yang buruk dan korup tersebut. Rakyat menanggung beban untuk bayar hutang dan bunga hutang sampai lebih dari 50 tahun ke depan. Sementara penguasa bersama jaringan mafia oligarki dan konglomerasi culas, licik, picik dan tamak berpesta pora dengan mengeruk uang rakyat di APBN yang hampir separuhnya dari hutang. Korupsi uang Bantuan Sosial (Bansos) adalah faktanya. Itu fakta yang tidak bisa dibantah. Sementara rakyat semakin menderita. Disaat yang sama rakyat juga tertindas. Dibungkam suara rakyat dengan berbagai cara. Diretas media digitalnya, dilaporkan, ditangkap dan dipenjara, termasuk dipaksa swab test dan karantina agar tidak ada lagi suara-suara kritis. Apakah rakyat akan selamanya diam? Diam atau melawan? Luka hati rakyat yang tertindas memang sangat menyakitkan! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.

Perpres Nomor 7 Itu Arahnya ke Umat Islam Lagi

by Asyari Usman Medan, FNN - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan dia sudah lebih dulu menduga Perpres 7/2021 pasti akan dicurigai. Padahal, menurut Kepala Sataf, perpres ini didukung oleh 50 ‘civil society organisation’ (CSO). Dia tak menyebutkan CSO-CSO yang ‘credible’. Hanya menyebutkan Wahid Foundation (WF). Tak jelas mengapa dia tidak bisa menyebutkan beberapa CSO yang hebat-hebat. Hanya WF yang lumayan dikenal. Yang 49 lagi boleh jadi entah siapa-siapa saja. Kalau dibaca konsideran, ‘timing’ (waktu) penerbitan, dan tujuan Perpres ini, maka tidak mengherankan kalau Moeldoko bisa menduga sambutan curiga dari publik. Mari kita cermati berbagai aspek dari penerbitan Perpres ini. Sambil mencari poin-poin yang mencurigakan itu. Pertama, judul Perpres 7/2021. Nama Perpres itu adalah Rencana Aksi Nasional Penanggulangan dan Pencegahan Ekstremisme Berbasis Tindak Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Disingkat RAN PE. Kita lihat kata terakhirnya: “terorisme”. Sudah bisa ditebak siapa yang dimaksudkan oleh Perpres ini. Pastilah orang akan mengaitkan Perpres ini dengan umat Islam. Apa saja indikasinya? Pertama, semua peristiwa yang disebut terorisme di masa lampau selalu berurusan dengan umat Islam. Tindakan penguasa terkait peristiwa-peristiwa terorisme acapkali melibatkan umat Islam, para tokoh Islam, pendidikan Islam, sampai ke hal-ihwal pengelolaan masjid, pengajian, dlsb. Kemudian, program pencegahan terorisme yang dilakukan para penguasa selama ini selalu terkait dengan konten ceramah agama, tipe ustad, kiyai maupun ulama, hingga ke cara berpakaian dan tampilan (celana cingkrang, cadar, janggut, dll). Kedua, ‘timing’ (waktu) penerbitan Perpres 7/2021 ini berdekatan dengan kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS) dari Arab Saudi dan peristiwa pembunuhan 6 pemuda FPI pada 7 Desember 2020. Kalau dilihat skala tindakan penguasa terhadap HRS dan FPI, jelas sekali para penguasa melihat peristiwa KM-50 sebagai drama ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Kalau bukan kepada HRS dan FPI, ke mana para penguasa meletakkan narasi “ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme” itu? Apakah masuk akal dikaitan dengan kelompok separatis Papua? Atau para bandar Narkoba? Mau dikaitkan ke para koruptor, tampaknya kejauhan. Sebab, para koruptor hanya melakukan ‘terorisme keuangan’ yang sering berefek positif bagi orang-orang yang pandai memainkannya. Ketiga, tujuan penerbitan Perpres 7/2021. Aspek ini malah akan lebih memperkuat kecurigaan bahwa umat Islam-lah yang dimaksudkan peraturan baru itu. Lihat saja rencana yang akan dilakukan para penguasa berdasarkan peraturan ini. Ada pelatihan warga untuk menjadi pelapor hal-hal yang mencurigakan di lingkunga mereka. Nah, sebagai komponen mayoritas di negara ini, maka 85% calon pelapor dan yang akan dilaporkan adalah orang Islam. Ini logika persentase umat Islam. Sekarang begini saja. Mari kita blak-blakan dan logis-logisan tentang siapa yang mau dibidik Perpres 7/2021 itu. Satu pertanyaan saja. Komunitas mana di luar umat Islam yang mau disasar? Budha? Hindu? Kristen? Kong Hu Chu? Syiah? Ahmadiyah? Penganut Aliran Kepercayaan? Kelompok liberal? Apakah ada di antara komunitas ini yang mau ditarget RAN PE itu? Sebagai penutup, yang menjadi masalah di negara ini bukanlah umat Islam maupun komunitas-komunitas lainnya. HRS, FPI, atau pun individu dan kelompok lain yang selama ini menunjukkan sikap kritis, itu hanyalah reaksi. Reaksi terhadap ketidakadilan, kesewenangan, kezaliman. Yang menjadi masalah bangsa ini adalah korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kerakusan oligarkhi bisnis, kemiskinan yang dibiarkan, penegakan hukum tebang pilih, dan salah kelola. Tidak perlu berputar-putar mencari dan mengidentifikasi masalah. Kalau para penguasa berlaku adil, membela rakyat, dan membasmi korupsi secara sungguh-sungguh, sudah sejak dulu negeri ini damai. Sudah sejak lama Indonesia menjadi salah satu negara maju.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Hutan Kalsel Digunduli, Datanglah Bencana

by Hasan Syukur Jakarta FNN - Bencana banjir di Kalimantan Selatan kini menyisakan penderitaan bagi penduduk yang ditimpa bencana itu. Sikitar 11 Kabupaten dan Kotamadya tergenang mulai setinggi lutut hingga hampir dua meter air. Sebagian besar penduduk ditampung di tempat-tempat pengungsian. Berbagai penyakit mulai datang mengancam para pengngsi. Dampak dari bencana banjir mulai terasa di bidang sosial ekonomi. Begiutu juga sarana dan prasarana dan jalan-jalan yang rusak. Yang paling menderita tentulah petani di pedesaan terpencil yang kini sangat mengharapkan bantuan dari Pemerintah Daerah setempat. Kehadiran sarana teransformasi untuk perbaikan pasca banjir tampaknya memerlukan waktu cukup lama. Sementara pada daerah lain di pulau Jawa seperti di Sumedang dan kawasan puncak, banjir bandang merengut puluhan jiwa. Di Provinsi Iain, tercatat ada 67.842 jiwa yang terdampak bencana. Bangunan rumah milik warga yang terdampak sebanyak 19.452 unit. Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor sudah mengumumkan wilayahnya berstatus tanggap darurat banjir. Direktur Eksekutif Walhi Kalimatan Selatan, Kusworo Dwi Cahyono menegaskan, banjir besar di yang terjadi Kalimantan Selatan beberapa hari ini, bukan sekedar akibat cuaca yang ekstrem. Melainkan akibat rusaknnya ekologi dan ekosistem lingkungan di daeah ini. Kerusakan terbesar sebagai akibat dari eksploitasi lingkungan secara komersial tanpa megabaikan dampak yang timbul di kemudian hari. Berdasarkan catatan Walhi, tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang yang dilakukan oleh 157 penguasa tambang batubara. Lubang-lubang tambang tersebut, sampai sekarang masih aktif. Bahkan ada yang ditinggalkan tanpa reklamasi. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pembukaan lahan hutan untuk perkebunankelapa sawit. Pasti bakal mengurangi daya serap tanah. Kondisi ini nenampakan daya tampung dan daya dukung lingkungan di Kalimantan Selatan dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Masalah ini sudah sering kita ingatkan. Sejak dari total wilayah seluas 37 juta hektar. Kini hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit", ujar Kusworo. Sumber Kementrian Kehutanan menyebutkan Pulau Kalimantan sebenarnya menjadi areal gundul yang cuma memiliki hutan primer kurang dari 20 persen. Padahal supaya lalulintas air hujan tak tumpah ruah di darat, maka diperlukan paling sedikit 30 persen daya dukung hutan primer. Inilah jawaban mengapa bencana banjir dan longsor belakangan ini sering terjadi di pulau yang setengah abad silam dikenal amat rimbun terseut. Parahnya kerusakan itu tidak mendadak. Ketika Orde Baru mulai melakukan pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sudah diingatkan oleh berbagai pihak bahwa rusaknya hutan akan mengganggu keseimbangan ekosistem yang berujung bencana alam. Padahal hutan tropis kita diakui dunia sebagai paru-paru di planet bumi ini. Alasannya waktu itu perlu dana untuk pembangunan dan hutan merupakan asset yang menjaadi sumber keuangan negara. Kondisi lahan kritis ini, mencuat hanya dalam waktu lima tahun setelah pemberian izin HPH. Kini tahun-tahun setelah Orba mengobral izin kepada pemodal kuat. Pohon-phon legendaris seperti kayu besi, meranti, mahoni, pohon kenari dan pohon borneo mungkin hanya tinggal ceritera. Bila mau menanam kembali pohon-pohon tersebut memerlukan waktu lama. Kalau ditanam bijinya yang sudah nyaris punah. Andaikan tumbuh dalam satu tahun cuma beberapa centi meter. Walhasil seperti menebang pohon yang berumur ratusan tahun. Hanya dalam waktu beberapa menit sudah tumbang. Padahal merehabilitasi lahan kritis jauh lebih sulit ktimbang mrusaknya. Lahan kritis semakin lana semakin luas. Ini artinya semakin musnah fungsi biologi dan ekologi sebagai habitat satwa floraan fauna. Mulai dari endemik sebagai jenis burungvikan serangga kupu-kupu sampai ke binatang melata dan parimata. Padahal kekayaan ini sangat luar biasa, karena tidak dimiliki neara lain. Ada upaya menanam kelapa sawit. Tetapi hasilnya tidak maksimal. Sebab tidak bisa menolonng karena akar serabut pohon kelapa sawit tidak mampu menyerp air. Kondisi semakin diperparah dengan kebijakan pengusaha sekarang, yang getol untuk mengundang investasi asing di biang perberkebun kelapa sawit dan mengeksploitasi pertambangan. Apabila demi investasi dan kecenderungan ini terus berlangsung, bangsa kita bukan bertambah kaya. Tetapi bertambah miskin. Hutang terus bertambah dan menggunung, sementara kedaulatan semakin hilang. Negeri yang terkenal denganngan julukan "jamrud khatulistwa" itu bagi generasi mendatang mungkin tiinggal kenangan. Gilirannya kini alam membalas keserakahan manusia. Penulis adalah Pengurus KB Pelajar Islam Indonesia (PII).

Perpres Berbahaya, Mau Dibawa ke Mana Negara?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Presiden telah menandatangani dan memberlakukan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme. Dasar pertimbangannya sesuai konsiderans Perpres adalah "seiring dengan semakin meningkatnya ancaman ekstrimisme yang berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia". Menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana terjadinya peningkatan ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah ada terorisme itu? Terlebih jika dihubungkan dengan "mengancam rasa aman dan stabilitas nasional". Adakah kasus HRS dan FPI yang baru saja terjadi adalah model ancaman yang dimaksud dengan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 itu? Pentingnya kewaspadaan tentu dapat difahami. Akan tetapi jika berlebihan, maka menjadi kontra produktif, tidak sehat, serta menciptakan kultur saling curiga. Sosialisasi hingga pelatihan untuk mengadukan atau melaporkan kepada yang berwenang atas dasar kecurigaan dapat membangun budaya "main lapor" seenaknya atau rekayasa perkara. Budaya ini berbahaya, dan dapat mengancam iklim demokrasi. Sikap kritis akan mudah dituduhkan sebagai ekstrimisme. Sementara pendukung kekuasaan atau mungkin penjilat menjadi nyaman dalam perilakunya, yang sebenarnya juga ekstrim, radikal, atau intoleran. Bernuansa teror pula. Setelah dibombardir dengan isu dan program deradikalisasi, anti kemajemukan, dan lainnya kini rakyat ditambah beban baru berupa penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Masyarakat terus ditakut-takuti dengan doktrin yang rumusannya bersifat multi tafsir atau bias makna. Perpres No 7 tahun 2021 ini berbahaya, karena beberapa hal. Pertama, dasar hukum Perpres yang tidak kuat. Jika dimaksud adalah UU No 5 tahun 2018 yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, maka hal ini tidak adekuat. Terorisme memiliki rumusan delik yang jelas sedangkan ekstrimisme tidak. Semestinya derivasi aturan pun adalah Peraturan Pemerintah. Bukan Perpres yang merumuskan "ekstrimisme" itu bias. Rumusan yang bias memungkinkan untuk ditarik kemana-mana meskipun dengan kalimat "berbasis kekerasan" Kedua, melibatkan banyak kementrian, instansi, atau badan dan lembaga menyebabkan "ekstrimisme" menjadi isu di banyak ruang dan bidang. Program pelatihan kepada penceramah dan ruang ibadah sebagai contoh kegiatan yang dinilai tendensius. Ekstrimisme yang diatur Perpres menjadi racun baru yang dipaparkan ke publik, doktrin keseragaman, serta legalisasi tindakan membungkam demokrasi. Ketiga, sosialisasi yang masif dengan melibatkan banyak institusi adalah kebijakan membuka banyak proyek komersial berbasis ideologi. Dana negara yang akan dihambur-hamburkan atas nama program strategis. Konsentrasi pemerintahan pun terfokus lebih pada "kegaduhan" radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang pada hakekatnya tak lain untuk menutupi maraknya korupsi, krisis ekonomi, serta kegagalan dalam menangani pandemi. Menciptakan kecurigaan apalagi ketakutan di masyarakat adalah khas pemerintahan otoriter atau komunis. Hembusan fitnah dan adu domba menjadi habitat. Tentu kita tidak ingin kekuasaan dibawa ke arah sana. Pilihan kita adalah demokrasi berkeadaban, sarat nilai, santun dan menumbuhkan sikap saling percaya di masyarakat. Perpres 7 tahun 2021 yang ditindaklanjuti dengan desk aduan khusus yang dibuka di Kepolisian dan Kejaksaan. Ditambah dengan Calon Kapolri yang bertekad untuk menghidupkan kembali Pamswakarsa, lalu pandemi Covid 19 yang dijadikan alasan untuk kebijakan represif, maka wajar menimbulkan pertanyaan hendak dibawa kemana negara ini? Semakin gencar membombardir masyarakat dengan isu radikalisme, intoleransi, ekstrimisme hingga terorisme, maka secara tidak sadar negara sendiri yang sedang memberi predikat dirinya sebagai negara radikal, negara ekstrim, dan negara teroris. Sejarah hitam mulai digoreskan kembali di negeri Republik Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat ini. Genderang demokrasi terpimpin telah dimulai. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Wadi Rababa Menjadi Target Yahudisasi dan Permukiman di Al-Quds

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Pemerintah zionis Israel akhirnya mendapat lampu hijau untuk membangun permukiman di wilayah Tepi Barat. Rencananya, pemerintah Zionis itu akan membangun ratusan rumah di atas lahan yang direbut dalam perang 1967. Seperti dilansir JPNN.com, Senin (18 Januari 2021 – 16:18 WIB) PM Benjamin Netanyahu sudah lama menjadikan proyek pemukiman tersebut program utamanya. Namun, berbagai halangan membuat rencana berulang kali batal dieksekusi. Pada Minggu (17/1/2021), komite pemerintah akhirnya memberikan ratifikasi akhir untuk 365 rumah dan persetujuan awal untuk 415 rumah lainnya. Seorang juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengutuk pembangunan itu sebagai ilegal, menuduh Israel melakukan upaya pencegahan untuk melemahkan upaya apa pun oleh Presiden AS Joe Biden untuk meluncurkan kembali proses perdamaian yang terhenti. Dalam menghadapi Yuhudisasi dan ekspansi permukiman Yahudi, sebanyak 800 warga al-Quds berjuang dengan kegigihan dan ketabahan mereka di Wadi Rababa di Kota Silwan, di sebelah selatan Masjid Al-Aqsha di kota suci al-Quds yang diduduki penjajah Israel. Wadi Rababa terletak di area sekitar 210.000 m2. Untuk bisa tetap bertahan kelangsungan hidupnya, para penduduknya harus menghadapi kebijakan penjajah Israel dan praktik-praktik para pemukim Yahudi yang bertujuan untuk mengusir mereka dari tanahnya. Seorang Relawan Indonesia di Palestina, Von Edison Alouisci, mengungkapkan, penjajah Israel berusaha untuk mendapatkan kendali atas Wadi Rababa dengan melaksanakan proyek dan rencana ekspansi permukiman Yahudi. Proyek yang paling menonjol belakangan ini adalah proyek “Jembatan Gantung”. “Dimulai dari kampung Al-Tsauri, melalui kampung Wadi Rababa, hingga ke daerah Nabi Dawud,” ungkap Von Edison Alouisci. Di samping pekerjaan lain di tanah kampung tersebut untuk mengubahnya menjadi “jalan dan taman taurat”, ditambah lagi dengan membuat kuburan palsu di beberapa bagian lainnya dari kampung tersebut. Seorang pakar urusan al-Quds, Nasser Al-Hidmi, menegaskan, Wadi Rababa itu merupakan perpanjangan dari daerah Silwan yang berada dekat dengan Masjid Al-Aqsha. Dalam pernyataan khusus kepada Pusat Informasi Palestina, Al-Hidmi menyatakan bahwa penjajah Israel sedang fokus menarget Lembah Rababa. Karena daerah tersebut dekat dengan Masjid Al-Aqsha dan dianggap sebagai sisi yang agak lemah. Ia menjelaskan, banyak tanah di daerah Wadi Rababa kepemilikannya tidak jelas, dan bukti kepemilikan tidak sesuai dengan yang semestinya. Karena itu penjajah Israel menarget dengan memintar agar masyarakat di kampung itu membuktikan kepemilikan mereka. Al-Hidmi menyatakan, jika warga tidak bisa membuktikan kepemilikan atau tidak terdaftar secara resmi, maka dikonversi dari tanah pendudukan menjadi tanah yang dianggap sebagai “properti tanpa pemilik”. Yang pada gilirannya, bisa dialihkan kepemilikannya ke organisasi permukiman Yahudi untuk pembangunan permukiman. Ia menekankan, penjajah Israel ingin masuk melalui sisi ini untuk menembus perkampungan al-Quds dan memecah-mecahnya melalui koloni-koloni permukiman yang dihuni oleh para pemukim ekstrim Yahudi untuk menguasai kota al-Quds dan mencegah komunitas-komunitas warga al-Quds terintegrasi dan saling terhubung. Kampung ini dinamakan Wadi Rababa, karena bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya berkembang melebar secara bertahap, seperti alat musik Arab kuno “Rababa”. Pemberian nama tersebut termasuk baru, dibandingkan dengan penamaan lama. Dulu, di periode Kanaan, lembah ini disebut dengan “Jai Hinom”, artinya adalah “Lembah Neraka”. Sementara itu orang-orang tua penduduk al-Quds, menyebutnya dengan nama “Tanah Tak Bertuan”, karena merupakan garis pemisah antara bagian timur dan barat kota. Al-Hidmi menjelaskan, lembah tersebut membentang dari lembah yang memanjang dari sisi Wadi al-Jauz dan bertemu dengan Wadi Qadrun (lembah Neraka), dan meluas ke arah Wadi Rababa yang mengelilingi di bukit tempat dibangunnya Masjid Al-Aqsha yang diberkati. Ia menyatakan, wilayah Wadi Rababa dianggap tempat suci oleh semua agama yang pernah ada di wilayah tersebut. Al-Hidmi mengingatkan, Wadi Rababa menghadap ke Gerbang Al-Rahma, yang oleh kaum muslimin dijadikan sebagai kuburan, menghadap ke kuburan untuk orang Kristen dan juga kuburan untuk orang Yahudi, di samping kuburan pagan tua yang berasal dari zaman Firaun yang disebut oleh orang Yahudi “Avi Shalim”. “Penyerbuan dan aksi-aksi perataan tanah yang terjadi di Wadi Rababa merupakan bagian dari kelanjutan yang terjadi di daerah Al Bustan di Silwan tentang surat-surat pemberitahuan penghancuran rumah dan mengosongkan daerah tersebut,” ujar Al-Hidmi. Ia mengingatkan, 80 rumah yang oleh pihak penjajah Israel telah diberi surat pemberitahuan penghancuran, dengan dalih bahwa rumah-rumah itu merupakan bangunan yang dibangun di atas tanah yang kepemilikannya tidak jelas. “Atau dibangun tanpa memperoleh izin yang semestinya di wilayah itu,” lanjutnya. Kampung Wadi Rababa adalah wilayah yang tersisa bagi masyarakat Silwan untuk membangun rumah dan sekolah serta membuat taman pribadi. Tapi otoritas pendudukan penjajah Israel menolak untuk mengeluarkan izin untuk itu. Mereka mengejar dan memburu warga ketika membangun atau memperluas atau bahkan mengolah tanah dan membangun pagar. Rencana Yahudisasi Hanna Issa, Sekretaris Jenderal Organisasi Islam-Kristen, mengatakan bahwa kampung Wadi Rababa adalah bagian integral dari Tanah Suci Kota al-Quds selain lembah-lembah lainnya. Dalam pernyataan khusus kepada Pusat Informasi Palestina, Issa menyatakan, penjajah Israel sekarang berencana mendirikan apa yang disebut “Yerusalem Raya” di atas lahan seluas 600 kilometer persegi. “Dengan tujuan untuk melakukan yahudisasi kota itu, menciptakan karakter Yahudi baru, dan membangun “Yerusalem Raya” yang mirip dengan ibu kota Inggris, London,” kata Issa. Menurut Issa, penjajah Israel telah memulai rencananya di Wadi Al-Jauz, Wadi Rababa, dan kampung-kampung lainnya di al-Quds. Ia menyatakan bahwa penjajah Israel mengerahkan semua tekanan pada penduduk Silwan. Dan, sedang mengerjakan pembongkaran besar-besaran untuk mengosongkan daerah tersebut dari warganya, meratakan wilayah dan memperluas permukiman-permukiman Yahudi, serta mendirikan kampung-kampung permukiman Yahudi yang sejalan dengan “Yerusalem Raya”. “Kita, sebagai orang Palestina, harus memikirkan, bagaimana mengubah aturan konfrontasi dengan penjajah Israel dengan asas-asas baru. Harus ada pemikiran baru, perjuangan baru dan persatuan nasional berdasarkan fondasi yang kuat dan upaya kolektif semua orang Palestina.” Bagaimana masa depan Palestina pasca terpilihnya Presiden AS yang baru, Joe Biden? Calon Menlu yang akan dipilih Biden, Antony Blinken, berjanji akan tetap melanjutkan pengakuan AS atas Al-Quds sebagai ibukota Israel, dan melanjutkan keberadaan Kedubes AS di sana. Situs Rusia Today menyebut, dalam pertemuan di hadapan kongres AS, Blinken menjawab “Ya” dua kali, saat ditanya senator James Rish, “Apakah Anda setuju bahwa Al-Quds ibukota Israel? Dan, apakah Anda komitmen mempertahankan kedubes Amerika di Al-Quds?” Dalam pertemuan tersebut, Blinken memaparkan dukungannya terhadap solusi 2 negara, dan perundingan damai antara Palestina – Israel menjadi tantangan besar, yang sulit mencapai kemajuan dalam waktu dekat ini. Sebelumnya, AS di bawah kepemimpinan Donald Trump sangat gencar mendukung semua kebijakan Israel, termasuk mendukung Al-Quds sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya kesana. Selain itu, Trump menggagas proposal perdamaian yang dikenal dengan Deal of Century, yang menguntungkan Israel dan mempersempit Palestina. Termasuk mendukung rencana aneksasi Israel terhadap wilayah Tepi Barat. Pihak Italia pada Selasa kemarin menyampaikan keresahannya atas keputusan pemerintah Israel membangun 800 unit hunian di komplek permukiman Yahudi di Tepi Barat, karena melanggar Undang-Undang Internasional dan menggagalkan peluang solusi berdirinya dua negara. Kementerian Luar Negeri Italia mengatakan, pihak Italia berkali-kali telah mengungkapkan kekhawatiran dan kekecawaannya atas keputusan Israel membangun 800 unit hunian baru di permukiman Yahudi di Tepi Barat. Kemenlu Italia menambahkan, pihaknya kembali meminta seperti yang sudah disampaikan pada 17 November 2020 lalu kepada Israel untuk mengkaji ulang keputusan tersebut. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Amien Rais Cs Minta Pertanggungjawaban Jokowi atas Pembunuhan Enam Warga Sipil

by Tjahya Gunawan Jakarta, FNN - Pengungkapan terhadap kasus pembunuhan keji yang dilakukan aparat kepolisian terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) memasuki babak baru. Tokoh reformasi Amien Rais bersama 17 tokoh masyarakat lainnya membentuk Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI di Jakarta, Kamis (21/1/2021). Pembentukan TP3 Enam Laskar FPI diumumkan lewat siaran langsung melalui akun YouTube Refly Harun dari sebuah hotel di Kawasan Senayan Jakarta. Undangan acara tersebut bersifat terbatas karena masih berada dalam situasi pandemi Covid19. Dalam undangan kepada para wartawan, Ketua TP3, Abdullah Hehamahua, sehari sebelumnya meminta agar undangan ini tidak di share ke manapun. Jurnalis yang akan hadir diwajibkan untuk memberi konfirmasi pada panitia. Sesaat sebelum acara jumpa pers diadakan, sejumlah personel polisi mendatangi lokasi kegiatan. Wakapolres Metro Jakarta Pusat AKBP Setyo Koes Heriyanto memimpin jajarannya melakukan penyisiran. Setyo sempat bertemu dengan salah satu panitia acara Marwan Batubara guna menanyakan apa maksud tujuan mereka menggelar acara tersebut. Marwan menjawab, pihaknya sudah diberikan izin oleh pihak hotel untuk menggelar acara tersebut. Menurutnya, beberapa waktu lalu dirinya juga menggelar serupa, tetapi tidak sampai didatangi oleh pihak kepolisian. Amien Rais menjelaskan, TP3 enam laskar FPI, akan melakukan advokasi hukum dan HAM berkelanjutan agar kasus pembunuhan enam warga sipil terungkap jelas dan pelakunya diadili sesuai hukum yang berlaku. TP3 melakukan langkah-langkah advokasi setelah mengamati secara cermat sikap, kebijakan dan penanganan kasus oleh pemerintah dan Komnas HAM, yang mereka nilai jauh dari harapan dan justru cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta-fakta di lapangan. Dari kompilasi infomasi yang dilakukan, TP3 menemukan fakta bahwa laskar FPI tidak memiliki senjata, tidak pernah melakukan penyerangan dan dengan demikian tidak mungkin terjadi baku tembak. TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan dan pembantaian yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat polisi tersebut sudah melampaui batas dan di luar kewenangan menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan alias extrajudicial killing. Tindakan brutal aparat polisi ini, kata Amien Rais, merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran atas azas praduga tidak bersalah dalam pencarian keadilan, sehingga bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan peraturan yang berlaku. Karena itu TP3 mengutuk dan mengecam keras para pelaku pembunuhan, termasuk atasan dan pihak-pihak terkait. TP3 menuntut pelakunya diproses hukum secara adil dan transparan. Sebagai pemimpin pemerintahan, TP3 meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi atas tindakan sewenang-wenang dalam kasus pembunuhan tersebut. Penyerangan sistematik TP3 menyatakan, penembakan enam laskar FPI oleh aparat negara tidak sekadar pembunuhan biasa dan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM biasa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Komnas HAM. "Kami dari TP3 dengan ini menyatakan bahwa tindakan aparat negara yang diduga melakukan pengintaian, penggalangan opini, penyerangan sistemik, penganiayaan, dan penghilangan paksa sebagian barang bukti merupakan kejahatan kemanusiaan, sehingga dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM Berat dalam bentuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity)," demikian pernyataan sikap mereka. Pembunuhan 6 (enam) laskar FPI merupakan pelanggaran terhadap Statuta Roma dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang Undang Nomor 5 tahun 1998. Oleh karena itu, proses hukumnya harus dilakukan melalui Pengadilan HAM sesuai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. TP3 menilai penyerangan sistematis terhadap warga sipil enam Laskar FPI merupakan tindakan tidak manusiawi yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka berat pada tubuh atau untuk kesehatan mental atau fisik. Sampai saat ini, Negara Republik Indonesia belum memberikan pertanggungjawaban publik atas peristiwa pembunuhan enam Laskar FPI dan tidak menyampaikan permintaan maaf atau belasungkawa kepada keluarga mereka. Bagi TP3, ini adalah satu pengingkaran terhadap hak-hak korban dan keluarganya yang semestinya dijamin oleh negara seperti terkandung dalam UU No. 13 tahun 2006 jo UU No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun anggota TP3 antara lain Dr. Busyro Muqoddas, KH. Dr. Muhyidin Djunaedi, Dr. Marwan Batubara, Prof. Dr. Firdaus Syam, Dr. Abdul Chair Ramadhan dan Hj. Neno Warisman. ** Penulis adalah wartawan senior FNN.co.id.

Kejar Aktor Pelanggaran Ham Berat di KM 50 Tol Japek

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menuai kecaman. Karena Komnas HAM dianggap tidak mampu untuk menuntaskan tugas penyelidikan dengan baik, berkaitan dengan pembunuhan yang dilakukan anggota Polda Metro Jaya terhadap 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 to Jakarta Cikampek (Japek). Terlalu banyak pertanyaan yang menyertai pengumuman hasil penyelidikan Komnas HAM. Misalnya, benarkah terjadi tembak-menembak? Dimana sebenarnya dua orang anggota Laskar FPI tewas itu ditembak? Siapa penembak dua dan empat anggota Laskar FPI itu? Benarkah dua anggota Laskar FPI telah ditembah oleh anggota Polda Metro Jaya seperti yang diakui oleh Kapolda Metero Jaya? Bagaimana menjelaskan dugaan adanya bekas luka siksaan pada tubuh korban? Lalu siapa saja penumpang-penumpang yang ada di dalam dua mobil Avanza sebagai pembuntut misterius, yang bukan dari polisi Polda Metro Jaya? Sebab dua mobil Avanza tersebut membuntuti rombongan keluarga Habib Rizieq Shuhab sejaka dari Santul. Apakah penumpang-penumpang di kedua mobil tersebut yang terlibat baku tembak, sehingga mengakibatkan dua anggota Laskar FPI meninggal? Lalu siapa "sang komendan" yang ada di dalam mobil Landcruiser itu? Mobil Landcruiser itu milik siapa? Berapa plat nomor polisinya. Jabatannya sebagai apa? Dalam rangka apa orang yang berada di dalam mobil Landruiser itu berada di lokasi rest area kilometer 50 tol Japek. Apakah komendan yang ada di dalam mobil Landruiser itu ikut juga memberikan perintah atau arahan kepada dua mobil Avanza dan mobil-mobil dari Polda Metro Jaya? Masih banyak lagi pertanyaan lain yang mengganjal. Nyaris pekerjaan penyelidikan Komnas HAM sia-sia karena gagal menemukan fakta-fakta penting. Hasil kerja Komnas HAM sangat normatif, tak ambil risiko, dan ujung-ujungnya pro kepada Polisi. Bahkan semakin ke sini justru terkesan Komnas HAM terkesan berubah menjadi juru bicara Kepolisian. Lebih menyebalkan setelah secara kontroversial melapor ke Presiden. Tua-tuan Komnas HAM yang hebat-hebat, Presiden Indonesia itu bukan atasannya Komnas HAM. Lalu Komnas HAM juga bekerja bukan bekerja atas dasar perintah dari Presiden, sehingga hasilnya harus dilaporkan kepada Presiden. Tetapi atas perintah dari Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM, perlindungan atas nila keadilan dan harkat serta martabat kemanusiaan Salah satu lembaga yang wajib untuk dilaporkan hasil kerja penyelidikan Komnas HAM adalah Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Untuk di dalam negeri, laporan disampaikan Komisi III DPR dan Mahkamah Agung. Bukan melaporkan hasil penyelidikan kepada Presiden. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tanggal 18 Januari 2021 telah menyatakan bahwa pekerjaan Komnas HAM tidak tuntas. Untuk itu diminta untuk Komnas HAM mendalami kembali, sehingga ditemukan aktor intelektual dari kejahatan "unlawful killing" tersebut. Kualifikasinya bukan semata pelanggaran HAM. Tetapi pelanggaran HAM berat. Presiden hendaknya mendukung pendalaman atau investigasi guna menyeret aktor intelektual hingga ke proses peradilan. Diduga kuat peristiwa pelanggaran HAM berat "Km 50 tol Japek" bukan insiden yang kebetulan semata. Karena berawal dari pengintaian dan pembuntutan yang intens terhadap HRS dan FPI. Suatu cara kerja yang tidak lazim. Bahkan berindikasi melanggar aturan hukum positif yang berlaku. Keberadaan mobil Landcruiser yang datang mengomandani"pembunuhan atau pembantaian, patut untuk ditelusuri lebih lanjut. Begitu juga dengan keberadaan surat perintah atau surat tugas dari institusi yang menugaskan penumpang yang berada di dalam mobil Landruiser tersebut. Orangnya berasal dari institusi mana. Berada di KM 50 tol Japek atas perntah siapa pimpinannya? Bisa saja aktor intelektual perbuatan aparat brutal ini adalah Kapolda Metro Jaya, bisa pula Kapolri. Bukan tidak mustahil juga Presiden Republik Indonesia. Karenanya perlu ada kejelasan dari Komnas HAM. Meski pihak Kepolisian telah membantah adanya keterlibatan atasan. Akan tetapi indikasi yang ada menuntut untuk dilakukan pengusutan lebih lanjut. PP Muhammadiyah mendesak Komnas HAM agar dapat ditemukan aktor intelektual dari kejahatan ini. Ditemukan dan lebih lanjut diproses hukum aktor intelektual pelanggaran HAM berat "Km 50 tol Japek" ini sangat penting untuk sekurangnya tiga hal. Pertama, agar tidak terbiasa mengorbankan bawahan untuk melepas tanggungjawab atasan dan kepentingan politik yang lebih luas. Kedua, menjadi terobosan atas banyaknya kasus pelanggaran HAM yang menggantung dan terus menjadi tagihan dari perilaku rezim sekarang dan rezim yang sebelum-sebelumnya. Ketiga, dapat menghindari keterlibatan lembaga penyelidikan dan peradilan HAM internasional. Dari pantauan publik dan juga laporan "sederhana" Komnas HAM, maka peristiwa pelanggaran HAM berat "Km 50 tol Japek" diduga kuat menjadi peristiwa berdisain matang dan panjang yang melibatkan satu atau lebih aktor intelektual. Karenanya desakan PP Muhammadiyah bukan saja rasional dan obyektif, tetapi juga merupakan jalan strategis bangsa untuk menghargai dan memuliakan Hak Asasi Manusia. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Anies Dikerjain, Kabel Listrik Bakal Diputus Lagi

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) salah siapa? Salah Hujan! Kalau banjir di Jakarta? Itu salah Anies. Begitulah bunyi sebuah meme yang beredar di medsos. Entah siapa yang buat, setidaknya itu ekspresi rakyat untuk mengingatkan logika yang seringkali terbalik. Ada pihak yang kerjanya menyalahkan Anies. Di otak mereka, tidak ada yang bener sedikitpun dengan Anies. Semua keliru dan salah. Mereka menganggap semua penghargaan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta itu hasil kerja gubernur sebelumnya. Tetapi, semua masalah yang terjadi di DKI itu salahnya Anies. Tentu, logika ini tidak fair. Ada penghargaan, yang tentu saja ikut andil di dalamnya gubernur-gubernur sebelumnya. Ini tidak dapat disangkal. Harus ujur untuk mengakui itu. Tetapi, tak semua penghargaan dan kemajuan di Jakarta itu hasil investasi dari pemimpin terdahulu. Janganlah lebay juga! Ganjaran Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tiga penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Top Digital Award 2020, Gubernur Terpopuler, penghargaan sebagai Pembina Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang sukses. Pembangunan fasilitas untuk kenyamanan pejalan kaki dan pengguna sepeda, panorama kawasan Soedirman-Thamrin itu kerja Anies. Ada jua penghargaan untuk transparansi dan keterbukaan publik. Pernghargaan Jakarta Internasional Studion (JIS), pembangunan Museum Rasulullah, dan banyak lagi yang tidak terhubung sama sekali dengan gubernur-gubernur sebelumnya. Jadi, kalau bilang Anies tidak bekerja, ini bertentangan dengan banyak fakta adanya berbagai kemajuan dan penghargaan untuk Pemprov DKI Jakarta. Ruang persepsi publik kita memang sering dirusak oleh mereka yang dibayar untuk tugas itu. Orang menyebut mereka "buzzer rupiah". Operasi mereka berhasil memprovokasi kelompok-kelompok fanatik yang memang suka dengan hoak, yang diolah dengan narasi-narasi pejoratif semacam itu. Akibatnya, ruang publik kita menjadi tidak rasional. Merusak kecerdasan. Ini semua menyebabkan interaksi dan diskusi publik yang semakin tidak sehat. Kemenangan Anies di Pilgub DKI 2017 yang disusul dengan penyegelan "project raksasa ribuar triliun" bernama "reklamasi" memposisikan Anies sebagai tokoh yang seksi. Lebih seksi lagi ketika Anies punya kans cukup besar untuk maju di Pilpres 2024. Kenyataan ini membuat mereka panik, karena tidak punya lawan tanding yang sepadan di 2024 nanti. Dalam posisi ini, Anies dianggap ancaman, sekaligus harapan. Ancaman, karena tidak mudah untuk berkompromi dengan proyek-proyek ilegal. Proyek yang dianggap membahayakan eksistensi dan masa depan bangsa. Reklamasi dan Alexis adalah dua dari sekian banyak contoh bisnis yang melanggar aturan dan merugikan masan depan bangsa. Disisi lain, Anies dianggap harapan. Ditengah bangsa yang sedang terbelah, maraknya pelanggaran hukum, arogansi oligarki, demokrasi yang hampir mati, ekonomi yang mengalami resesi, Anies memiliki kapasitas yang dianggap mampu menghadapi situasi seperti itu. Anies punya latar belakang pendidikan di bidang ekonomi dan kebijakan publik. Basik ekonomi akan sangat membantu mengatasi pertumbuhan ekonomi yang minus, dan problem resesi. Basik kebijakan publik memberi modal Anies untuk memahami dan merumuskan setiap persoalan bangsa. Track record Anies yang selalu mengedepankan pola persuasi. Selalu merangkul bukan memukul. Komitmen Anies soal hukum dan pemberantasan korupsi dengan berdirinya lembaga semacam KPK di DKI. Kematangan Anies terlihat dalam merespon setiap kritik, bahkan lawan politik. Ketegasan Anies dalam menghadapi mafia kapitalistik, dan kemampuannya membuat terobosan-terobosan program yang tak biasa. Itubisa dinilai secara obyektif oleh publik sebagai harapan buat Indonesia. Ini tidak berlebihan, karena ada data dan fakta yang bisa dibaca publik setiap saat. Sebagai harapan, Anies mendapatkan banyak dukungan dari publik. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme publik ketika membicarakan Anies di media sosial. Sayang, jika satu dari 20 tokoh yang dianggap oleh Majalah FORESIGHT Jepang mampu memberi arah perubahan dunia ini tidak diberi ruang untuk membangun Indonesia ke depan. Namun, sejumlah pihak yang menganggap Anies sebagai ancaman masa depan politik dan bisnis, mereka secara konsisten dan sistematis terus melakukan berbagai hal untuk menjegal Anies. Tidak semua publik tahu upaya-upaya yang dilakukan mereka untuk menjegal Anies. Sebagian terpublis, tapi sebagian dilakukan di belakang kamera. Operasi yang kasar diliput media, operasi khusus lebih halus. Terakhir, tapi mungkin bukan yang paling akhir, sejumlah kabel pompa air di Jakarta dipotong. Ada juga yang dicuri. Oleh siapa? Pasti jawabnya adalah "orang tak dikenal". Padahal ini bukan aksi pengrusakan dan pencurian biasa, tapi sabotase! Setiap Januari-pebruari, Jakarta berhadapan dengan curah hujan yang lebat. Pompa air menjadi andalan untuk memperpendek durasi banjir. Jika dirusak aliran listriknya, ini akan menyebabkan pompa nggak jalan dan banjir nggak terkendali. Disinilah Anies, lagi-lagi, akan disalahkan dan menjadi bulan-bulanan media. Tujuan mereka satu “Anies dipersepsi gagal memimpin Jakarta”. Dengan begitu, nggak layak nyapres. Banjir seringkali dijadikan indikator yang paling berpengaruh. Isunya paling seksi. Khusus Jakarta. Tidak hanya di Kalsel, tidak juga di daerah lain. Bagimana jika segala upaya penjegalan gagal, dan Anies tetap melaju ke pilpres 2024? Ingat, mafia kapitalis dan elit politik adalah orang-orang yang rasional dan sangat pragmatis. Jika Anies tak juga bisa dijegal, tetap melaju ke pilpres 2024, maka mereka akan merubah strategi, yaitu kompromi. Demi menjaga posisi politik dan keamanan bisnis mereka. Mereka cukup piawai dan berpengalaman untuk melakukan penyesuaian-penyusaian. Layaknya sutradara, sekaligus pemain drama. Begitulah panggung politik, ada intrik, kalau gagal, ya kompromi. Rakyat berharap, apapun judul dan sekenario drama yang sedang dan akan ditawarkan, Anies harus tetap konsisten memperjuangan kepentingan bangsa dan negara dalam artikulasi yang sesungguhnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

PDIP Baru Tahu Enaknya Menjadi Penindas

RATA-RATA, orang-orang PDIP hanya berkomentar normatif tentang pembunuhan 6 anggota FPI dan tentang pembubaran FPI. Tidak ada kritik terhadap pemerintah maupun Polri. Kritik manis saja pun tidak ada, apalagi kritik pedas. Anggota DPR dari PDIP, I Wayan Sudiarta, malah memuji tindakan polisi. Dia mengatakan, langkah melindungi diri oleh Polisi dengan menembak 6 pemuda FPI, sudah benar. Meskipun dia meminta agar pembunuhan itu diusut lebih dalam, tapi Sudiarta cenderung senang dengan tindakan Polisi menembak mati anggota FPI tsb. Kolega Sudiarta, yaitu Arteria Dahlan, juga ikut setuju ‘tindakan tegas’ terhadap FPI dan Habib Rizieq Syihab (HRS). Arteria mengatakan, ada kesan HRS tidak patuh hukum. Pada 11/12/2020, Arteria mengatakan HRS pantas menjadi tersangka pidana kerumunan Covid. Namun, pada 11/01/2029 politisi PDIP ini menyatakan ikut berduka terhadap kematian 6 anggota FPI. Hanya Tuhan yang tahu apakah itu benar dukacita atau ‘duka citra’. Setelah itu, politisi PDIP lainnya yang juga ketua Komisi III DPR, Herman Herry, menyatakan dukungan terhadap tindakan pemerintah membubarkan FPI. Kemudian, puncak sikap PDIP keluar dari mulut Ketum Megawati Soekarnoputri. Bu Mega menyerahkan sepenuhnya masalah FPI kepada pemerintah. Dari komentar Bu Mega ini dan dari berbagai komentar para politisi PDIP di atas, bisa disimpulkan bahwa Partai Banteng tidak begitu peduli ada atau tidak pelanggaran HAM berat maupun ringan terhadap anggota FPI. Mau ditembak atau dibunuh dengan sadis, PDIP tak ambil pusing. Ada atau tidak kriminalisasi terhadap para ulama, biarkan saja. Bukan urusan. Mengapa PDIP bersikap seperti itu? Ringkas saja jawabannya. Karena mereka tampaknya ikut menikmati penindasan yang dilakukan oleh para penguasa sekarang ini. Khususnya sejak “petugas partai” mereka mengemudikan pemerintahan. Mereka senang bisa menjadi bagian dari penindasan itu. Persis sama seperti pengalaman Golkar yang sangat menikmati penindasan yang dilakukan para penguasa Orde Baru, dulu. Waktu itu, Golkar menjadi pendukung setia sekaligus stempel penguasa. Dan yang ditindas pada masa itu termasuklah PDIP sendiri. Hari ini, PDIP adalah pendukung setia penguasa. Sekaligus pendukung terkuat. Seharusnya Bu Megawati dan PDIP menentang kesewenangan. Mereka memiliki kuasa besar untuk mencegah itu. Dan mereka sudah merasakan sakitnya di bawah penindasan. Sangat antagonistik. Sudah mengalami dan paham betul penderitaan di bawah kekuasaan otoriter Orba, tapi PDIP seperti lupa semuanya. Bahasa tubuh Bu Mega dan PDIP menunjukkan mereka tidak berkeberatan dengan cara sewenang-wenang yang dipraktikkan penguasa hari ini. Sulit dipahami mengapa blok politik terkuat menjadi begitu. Wallahu a’lam. Bisa jadi sekarang ini orang-orang PDIP baru tahu betapa enaknya menjadi penindas. Seperti kenikmatan Golkar menindas rakyat di era Orba. Mereka bisa melakukan apa saja. Bisa mengatur semua yang diinginkan. Apa indikasi lain yang menunjukkan PDIP menikmati kekuasaan sewenang-wenang? Sangat mudah melihatnya. Indikasi itu adalah kekompakan Partai Banteng dengan Golkar. Kedua blok politik ini terlihat akrab dan saling memahami. PDIP sudah merasa seperti Beringin di masa lalu. Sedangkan Golkar tampaknya memahami bahwa saat ini wajar saja PDIP mendapatkan kesempatan menindas. Sekarang mereka berkoalisi. Golkar membiarkan saja apa yang dilakukan oleh PDIP. Mereka seakan saling lirik. Yang satu mengatakan, “Sekarang giliran kami ya, Mas.” Sementara yang satu lagi menjawab, “Silakan, Mbak. Tidak masalah.” PDIP tak pernah lagi melihat Golkar sebagai musuh yang pernah menjadi mesin politik yang mendukung penindasan Orba. Banteng sudah berdamai dengan Beringin. Seakan sudah ada “memorandum of understanding” (MoU) antara mereka. Yaitu, pakta saling pengertian yang menjadi dasar agar Golkar memahami giliran PDIP yang menjadi mesin pendukung penindasan yang dilakukan penguasa. Sekarang, ke mana-mana bergandengan tangan dengan Golkar. Sama-sama mendukung tindakan sewenang-wenang pemerintah Jokowi. PDIP kelihatannya terinspirasi oleh riwayat Golkar sebagai partai penindas. Dengan mendukung penguasa otoriter, PDIP bisa mendapatkan akses ke sumber-sumber yang mereka perlukan. Jadi, itulah ‘berkah’ memberikan dukungan penuh kepada penguasa yang mempraktikkan penindasan. Itulah dulu yang diperankan Golkar. Sekarang PDIP sedang menikmati itu.[]