ALL CATEGORY
Pidana Mati Untuk Korupsi Bansos, Itu Sangat Logis
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial Republik Indonesia itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Juliari tersangkut kasus dugaa korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) di Kementerian yang dipimpinnya. Ia akhirnya, entah minta berhenti, atau diberhentikan oleh Presiden dari jabatan itu. Geram dengan korupsi dana untuk oran miskin ini, maka bergemalah pidana mati untu para pelakunya. Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), begitu gema tuntutan itu. KPK tidak boleh kehilangan nyali untuk menuntut Juliari dan kawan-kawannya dengan pidana mati. Mereka dianggap keterlaluan. Bantuan negara untuk orang fakir dan miskin, ko masih dimakan juga. Keterlaluan biadab memang. Begini Kuncinya Apakah bansos kepada rakyat miskin, ditengah keadaan ekonomi yang sangat berantakan, dan daya beli masyarakat yang terus bergerak turun, dapat dijadikan justifikasi mengenakan pidana mati kepada para pelaku tindak pidana ini? Apa uang yang akan diserahkan kepada Juliari dapat dikategori uang suap? Bisakah uang itu dikategori sebagai keuangan negara? Ya uang negara? Apakah uang yang ketika disita penyidik KPK terlihat bertas-tas besar itu adalah uang negara? Mungkinkah secara hukum, uang yang terlihat berasal dari penyuap alias swasta, tak memiliki sifat dan kapasitas hukum sebagai uang negara? Itulah soal-soal elementer hukum, yang harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Mengapa? Hukum korupsi itu punya kriteria jelas. Pelaku tindak pidana korupsi dapat dipidana mati bila terdapat dua syarat atau keadaan hukum. Pertama, uang yang dikorupsi harus uang yang secara hukum, nyata-nyata memiliki sifat sebagai uang negara. Kedua, tempus (waktu) terjadi tindak pidana (delic) itu harus bersifat absolut, terjadinya keadaan bencana. Soal-soal di atas harus dibuat terang hukumnya oleh Penyidik KPK, suka atau tidak. Tidak bisa main pakai pidana mati saja. Penyidik harus mampu menemukan keadaan-keadaan itu. Setelah itu, barulah muncul justifikasi untuk pidana mati. Tanpa keadaan-keadaan itu, tidak bisa dipakai hukum pidana mati. Apakah penyidik KPK punya kemampuan untuk menemukan sifat keuangan negara pada uang yang dipakai menyuap Juliari itu? Dengan cara apa penyidik memasuki dan menemukannya? Satu-satunya cara yang tepat secara hukum adalah melakukan interpretasi. Tetapi bukan interpretasi analogi. Sebab hukum pidana tidak memberi tempat untuk itu. Berbahaya risikonya. Lalu harus pakai interpretasi apa? Bagaimana step-stepnya menurut kaidah keilmuan hukum? Sukarkah soal ini? Tidak sama sekali. Penyidik, dalam kerangka itu, dapat menggunakan interpretasi tekstual dengan pendekatan ejusdem generis. Penyidik harus mengawali interpretasinya dengan memeriksa fakta. Lalu secara deduktif menginferensinya dengan kaidah hukum. Dalam inferensi ini, penyidik harus benar-benar memeriksa. Kata Ali, pejabat humas KPK, seperti dilansir Liputan6.com (27/1/2021) KPK telah memeriksa Budi Pamungkas. Budi diminta keterangan terkait keikutsertaan perusahaannya dalam menyediakan paket bansos. Tidak itu saja. Budi juga dimintai keterangan tentang teknis pembayaran atas kerjasama pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kemensos. Temukan Uang Negara Keterangan ini menaik. Apanya yang menarik? Proyek ini telah berjalan. Pembayaran telah dilakukan. Kenyataan ini bernilai sebagai penentu. Dimana letak penentunya? Proyek ini telah berjalan, dan uang negara telah keluar dari kas negara untuk mebayar paket bansos. Masalahnya sekarang uang swastakah yang mau diberikan kepada Juliari? Uang itu murni berasal dari pengusha? Apakah uang itu dapat dikategorikan sebagai keuntungan pengusaha? Sebab memperoleh keuntungan dalam berusaha itu soal biasa. Masalahnya, apakah keuntungan itu turut dirancang oleh pejabat pengguna barang dan jasa itu atau tidak? Ini harus dibuat sejelas-jelasnya oleh penyidik KPK. Agar jelas, maka tidak ada pilihan lain, selain soal-soal berikut dibuat jelas oleh penyidik KPK. Apakah jenis dan jumlah barang memiliki nilai uang setara Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) atau tidak? Apakah jenis dan jumlah barang bantuan itu tidak setara dengan nilai uangnya Rp. 300.000,- tetapi tetap dihargai setara Rp.300.000,- Sekali lagi, soal-soal diatas harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Bila dapat dilakukan secara meyakinkan oleh KPK, maka dapat diketahui ada atau tidak mark-up harga. Semoga tidak ada mark-up. Bagaimana kalau ada mark-up? Apa konsekuensi hukumnya? Konsekuensinya penyidik harus memperoleh fakta yang secara jelas menerangkan kesesuaian angka Rp.300.000 dengan jenis dan jumlah barang. Dalam hal tidak terdapat kesesuaian antara angka Rp. 300.000 dengan jenis dan jumlah barang, maka penyidik menggunakan fakta itu sebagai dasar konstruksi tentang sifat jumlah uang atas harga barang itu. Konstruksinya bisa seperti ini. Agar terlihat tak melawan hukum, maka selisih harga barang, yang seharusnya tidak perlu ada atau terjadi, tetapi tetap diadakan. Lalu diintegtrasikan ke dalam anggaran bansos. Cara itu menjadi pijakan penyidik memasuki konstruksi atas sifat uang itu. Itu fase krusial. Pada titik ini, suka atau tidak penyidik harus melakukan interpretasi terhadap uang Bansos perpaket itu. Adakah selisih lebih didalamnya? Dalam hal ada selisih lebih di dalam anggaran Bansos perpaket, maka tersedia jalan kristalisasi sifat hukum uan itu sebagai keuangan negara. Penyidik, mau tau mau harus melakukan interpretasi. Metodenya tak mungkin lain selain tekstualis. Interpretasi, tidak lain merupakan kontruksi menurut istilah Profesor Sudikno Mertokusumo menemukan hukum. Ini sangat eksplosif. Lalu bagaimana inferensinya? Inferensinya begini. Selisih lebih uang, sebut saja Rp. 10.000. (sepuluh ribu rupiah) per paket, sebagai fokus interpretasi tekstual. Pendekatannya ejusdem generis. Pendekatan ini mengharuskan penyidik fokus pada terminologi “keuangan negara”. Terminologi ini jelas didefenisikan pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Pada titik itu penyidik harus fokus menemukan sifat selisih uang sebesar Rp. 10.000,- per paket. Bila nyata-nyata uang selisih lebih sebesar Rp. 10.000,- yang itu dimaksudkan untuk dijatahi kepada Juliari, terlepas dari jumlah akumulatifnya, maka interpretasi tekstualis dengan pendekatan ejusdem generis jadi begini. Uang sebesar Rp.10.000. itu adalah spesis dari uang yang dianggarkan untuk bansos. Jadi, total uang untuk kegiatan Bansos, yang sebesar Rp. 300.000. per paket itu adalah genusnya. Sedangkan uang Rp 10.000,- per paket, yang berasal dari anggaran bansos ini adalah spesisnya. Kongklusinya adalah uang sebesar Rp. 10.000,- itu merupakan spesis dari genus (uang untuk seluruh anggaran bansos sebesar Rp. 300.000,- per paket). Konsekuensi konstruksi hukumnya menjadi begini, uang sebesar Rp. 10.000,- yang merupakan selisih lebih dari harga yang seharusnya, mutlak memiliki sifat hukum sebagai keuangan negara. Hukumnya jelas kasus ini bukan penyuapan. Peluang Terbuka Lebar KPK seperti dilansir (liputan6.com) sedang menyelisik peran dan arahan khusus dari mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dalam pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek di Kementerian Sosial tahun anggaran 2020. Penyidik KPK memeriksa Ex ADC Mensos Eko Budi Santoso pada hari ini, Rabu (27/1/2021). Eko diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Juliari Batubara. "Eko Budi Santoso didalami pengetahuannya terkait peran dan arahan khusus tersangka Juliari Peter Batubara. Peran dalam hal apa? Penentuan jenis dan jumlah barang? Termasuk harganya? Dua hal ini, saya cukup yakin, menjadi episentrum penyidikan KPK. Tetapi saya juga berharap penyidik KPK tidak menemukan fakta itu. Sebab bila penyidik menemukan fakta itu, maka kelebihan harga Rp. 10.000 ,- per paket akan menjadi terang. Terang dalam makna uang Rp.10.000,- yang menjadi selisih lebih itu dirancang secara sadar, atau dimaksudkan untuk dikembalikan kepada pejabat. Hukumnya jelas. Hukumnya adalah tindak pidana. Sekali lagi, ini bukan penyuapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana ini lebih tepat diterapkan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini membenarkan terdakwanya dituntut dengan pidana mati. Ayat (2) pasal ini mengatur norma adanya keadaan tertentu. Apakah pandemi Covid-19, dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sebagai bencana non alam atau tidak? Secara hukum itu tidak menentukan determinatif. Mengapa? Kenyataannya, pandemi itu nyata-nyata ada. Ini telah menjadi kenyataan umum. Keadaan itu juga menjadi dasar Mensos keluarkan paket Bansos. Masalahnya bagaimana memberi nilai dan sifat hukum terhadap kenyataan (pandemi covid-19) itu? Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Penembakan di KM 50 Jangan Seperti Kasus Novel Baswedan
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sejak hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) dilaporkan kepada Presiden dua minggu yang lalu hingga kini terlihat adama-yem saja. Tidak ada kebijakan atau perintah apapun yang diberikan Presiden untuk menuntaskan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI tersebut. Jika ada itikad baik dan serius, maka semestinya sudah ada langkah tindak lanjut dari pelaporan kepada Presiden. Kini bola berada di tangan Presiden. Mau diapakan hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah menghebokan jagad politik dan hukum Indonesia itu, terserah pada Presiden. Mau didiamkan saja hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut? Ataukah akan ditindaklanjuti dengan penyidikan yang menetapkan para pelaku penembakan sebagai tersangka? Peristiwa yang dikenal dengan “kasus kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)” ini, memang sejak awal penanganan oleh Komnas HAM sudah dinilai "bermasalah". Karena banyak kejanggalan yang dilakukan Komnas HAM dalam menyimpulkan hasil penyelidikan dan narasi rekomendasi. Fakta yang disampaikan pun terpotong-potong dan kurang lengkap. Komnas HAM membuat kesimpulan dengan loncat sana-loncat sini. Tidak runtun mengikuti temuan yang didapat di lapangan. Saking kecewanya, publik menginginkan adanya evaluasi dan pendalaman ulang kerja Komnas HAM yang tersksan sebagai hasil negoisiasi dan barter terhadap kematian orang. Kekecewaan itu sampai pada usul agar Komnas HAM dibubarkan saja. Hingga kini tidak diumumkan siapa-siapa saja pelaku penembakan yang telah melakukan pelanggaran HAM tersebut? Komnas HAM hanya mengumumkan bahwa pelakukan penmabakan adalah anggota Kepolisian. Padahal untuk menemukan pelakukan penembakan adalah pekerjaan paling mudah dan gampang. Namun oleh Komnas HAM dibuat menjadi berbelit-belit. Jadi teringat pada kasus penyidik sinior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dulu. Untuk menemukan siapa pelaku penyiram air keras ke mata Novel Baswedan, rupanya tidak gampang. Butuh waktu sampai tiga tahun lebih untuk menemukan pelakunya. Ternyata pelakunya adalah anggota Polisi sendiri. Sungguh sangat ironi. Untuk menemukan pelaku kejahatan pidana yang dilakukan anggota polisi, seperti yang terjadi pada Novel Baswedan, rupanya tidak mudah. Sangat sulit, sebab butuh waktu seribu hari lebih atau bertahun-tahun. Namun andaikan pelanggaran hukum itu yang dilakukan oleh masyarakat sipil, polisi terlihat bekerja sangat hebat, cepat dan canggih untuk menemukan pelakunya. Untuk kasus pidana teroris misalnya, polisi tampil sangat menghebokan. Namun berbeda antara langit dan bumi dengan kasus Novel Baswedan. Ujung dari cerita model Novel Baswedan ini adalah vonis hakim untuk pidana penjara selama 1,5 dan 2 tahun. Sementara aktor intelektual "bablas angine". Semoga kasus Novel Baswedan ini tidak terulah pada penembakan enam anggota Laskar FPI. Semoga saja tidak membutuhkan waktu tiga tahun juga untuk mengumumkan nama-nama pelaku pembunuh enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Novel Baswedan. Haruskah dibawa berputar-putar dahulu hingga masa pemerintahan Jokowi usai? Atau sedang disusun skenario ceritra novel yang menarik dan terlihat logis untuk menyelamatkan wajah Kepolisian, instansi lain, dan presiden sendiri? Kejujuran itu lebih baik. Yang salah nyatakan salah, kalau ditutupi juga toh sejarah akan menjadi hakim kelak. Lebih baik buka saat ini, lalu selesailah masalah satu persatu. Jangan ditumpuk hingga berkarat. Sebab peristiwanya akan dicatat dengan tinta hitam nantinya sebagai rezim yang paling buruk dalam sejarah hukum Republik Indonesia. Tertunda, tetapi menyakitkan diri dan untuk anak cucu. Pembunuhan terhadao enam anggota laskar FPI disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM. Itu artinya bukan pembunuhan biasa. Harus cepat ditindaklanjuti dengan proses hukum. Jika mengambang tentu akan dikategorikan bahwa negara itu "unwilling" dan “unable". Artinya berlaku kepedulian universal yang menyebabkan lembaga peradilan internasional wajar dan harus ikut turun tangan. Kasus yang terjadi di kilometer 50 tol Japek jangan seperti Novel Baswedan. Apakah Novel Baswedan atau ceritra Novel yang memang bertele-tele? Masyarakat dunia sudah membaca duduk perkaranya. Semua terhalang hanya oleh kemauan politik yang terkesan sedang ditutup-tutupi. Pembunuhan oleh aparat ini terlalu sarat dengan bahasa politik. Political language is designed to make lies sound thruthful and murder respectable. Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan itu terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihargai (George Orwell). Untuk itu, kasus kilometer 50 tol Japek ini harus segera tuntas, jangan menjadi narasi konspirasi politik yang dibuat bertele-tele. Penjahat kemanusiaan harus segera dihukum berat ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Rakyat Diperas Habis
TIDAK ada lagi yang diharapkan selain meminta bantuan dari rakyat. Tidak ada lagi alasan, selain membuka diri dengan selebar-lebarnya kepada rakyat bahwa keuangan negara berada di zona merah. Coba diikuti betapa pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin kini sedang dihadapkan pada situasi yang amat sulit. Berada dalam keadaan sulit di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), juga dialami negara lain. Akan tetapi, yang membedakannya dengan Indonesia adalah karena pemerintah tetap ingin mengandalkan rakyat. Tidak mau memberlakukan penguncian atau lockdown, karena tidak ada uang yang bisa diberikan kepada rakyat untuk belanja kebutuhan hidup mereka. Pemerintah seolah-olah berupaya iba kepada rakyat, sambil terus memeras penghasilan rakyat, terutama rakyat menengah ke atas. Anda bisa bayangkan, di tengah kesulitan dan penderitaan ekonomi yang dirasakan rakyat, pemerintah masih mengajak mereka yang memiliki tabungan uang di atas Rp 100 juta agar belanja. Rakyat disuruh belanja dengan uangnya sendiri. Wow, keren sekali. Hebat sekali perhatian pemerintah terhadap rakyatnya. Mestinya pemerintah mengguyur uang ke rakyat, terutama rakyat memengah ke bawah, lalu disuruh membelanjakan uang itu habis-habisan. Anda tidak percaya ajakan berbelanja itu? Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Ekonomi Airlangga Hartarto. Katanya, masyarakat menengah ke atas cenderung menambah deposito atau tabungannya, ketimbang belanja. Padahal, belanja oleh rakyat menengah ke atas sangat diharapkan dapat membantu menggerakkan ekonomi. Akan tetapi, di balik ajakan halus itu, ternyata terselip juga akal busuk. Anda kan tahu, kalau belanja dalam jumlah besar, apalagi belanjanya di mal atau pasar modern, Anda pasti dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Wow, hebat kan. Ibarat kata pepatah, ajakan Airlangga itu adalah, "Sambil menyelam, minum air." Kalau ajakan itu diiringi dengan penghapusan pajak bolehlah. Akan tetapi, penghapusan PPN dan PPh saat ini hanya berlaku terhadap produk yang bersentuhan dengan kesehatan. Di luar itu tidak! Nah, itu baru cara menarik pajak dari kalangan menengah ke atas lewat ajakan berbelanja. Ajakan yang hampir sama juga dialamatkan kepada rakyat berpenghasilan bawah, dan bahkan berpengasilan pas-pasan. Ini menyangkut keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akan menarik pajak atas pulsa telefon, kartu perdana, token listrik, dan voucher yang mulai berlaku hari ini, Senin, 1 Februari 2021. Meski mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu sudah menjelaskan, pemajakan itu tidak berpengaruh terhadap harga item tersebut, namun masyarakat sudah terlanjur tidak percaya. Rakyat tidak percaya yang dikenakan pajak adalah operator dan distributornya. Artinya, yang kena pajak adalah pelaku usahanya, bukan konsumennya. Apa iya, pelaku usaha mau menalangi pajak itu? Apa ia, jika seorang pedagang pulsa telefon, misalnya beromset Rp 100 juta per bulan, mau mengurangi keuntungan dengan membayar pajak yang mestinya ditanggung konsumen atau pembeli? Penarikan pajak yang dituangkan dalam PMK Nomor 06/PMK.03/2021 itu pun menjadi pembicaraan di berbagai tempat. Bahkan, menjadi olok-olokan, karena Sri Mulyani menyebutkan tidak terpengaruh pada harga pembelian pulsa, kartu perdana, token listrik dan voucher, karena selama ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas sejumlah item tersebut sudah berjalan. Pertanyaannya, kalau selama ini sudah berjalan, mengapa mengeluarkan aturan baru lagi? Lucu juga ya, si Ratu Utang ini. Tidak hanya ajakan belanja dan rencana pengenaan pajak pada pulsa atau kartu perdana, token listrik, dan voucher, pemerintah pun meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Gerakan ini merupakan salah satu program pengembangan ekonomi syariah guna mendukung percepatan pembangunan nasional. Peluncurannya dikakukan Presiden Joko Widodo. Ia menyebut potensi wakaf uang bisa mencapai Rp 188 triliun. Total wakaf uang yang ada di bank mencapai Rp 328 miliar hingga 20 Desember 2020, sedangkan project base wakaf sebesar Rp 597 miliar. Saat konprensi pers di Istana Negara secara virtual, Senin, 25 Januari 2021, Jokowi menyebutkan potensi wakaf sangat besar, mencapai Rp 2.000 triliun per tahun. Potensi wakaf uang, bisa menembus Rp 168 triliun. Luar biasa potensinya, sehingga perlu meluncurkan gerakan. Akan tetapi, lagi-lagi masyarakat sinis atas gerakan ini. Padahal, gerakan ini bernilai ibadah. Tahun 2002 Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai dibolehkannya wakaf uang. Masyarakat malah mengeluarkan nada mengolok-olok. "Kalau uang wakaf mau, uang umat mau. Tetapi, umat seringkali dituduh macam-macam, dituduh radikal dan intoleran," demikian antar lain kalimat yang dapat dibaca di dunia maya. Padahal, sekali lagi wakaf itu bagian dari ibadah. Akan tetapi, rakyat terutama sebagian besar umat Islam terlanjur tidak percaya. Umat Islam lebih percaya wakaf langsung disalurkan ke ormas Islam yang juga membangun sarana pendidikan dan ke majelis taklim. Umat Islam lebih senang menyalurkan wakaf, infak dan sedekah pada pembangunan sarana ibadah masjid dan musala, seperti yang selama ini dilakukan. Toh, kalau ditotal-total, sudah berapa banyak dana wakaf, infak dan sedekah yang terkumpul selama ini. Anda hitung saja jumlah masjid dan musola yang ada, jumlah pesantren dan sarana pendidikan Islam lainnya. Dari wakaf tanah saja, nilainya tidak hanya beribu-ribu triliun rupiah, tetapi bisa puluhan ribu triliun rupiah, dan bahkan ratusan ribu triliun rupiah. Belum lagi nilai bangunannya, dan sarana pendukungnya. Kok wakaf uang ditolak umat? Ya, karena momentum peluncuran gerakan itu tidak tepat. Tidak mau beribadah dengan wakaf uang juga menyangkut ketidakpercayaan umat kepada pengelola keuangan negara. **
Abu Janda Ditangkap? Anda Pasti Sedang Bermimpi atau Berkhayal
by Asyari Usman Medan, FNN - Tiba-tiba saja banyak yang berharap, dan yakin, Polisi kali ini akan menjebloskan Permadi Arya alias Abu Janda ke penjara. Alasannya banyak. Si Abu sudah sangat keterlaluan. Kali ini dia diduga melakukan “multiple crimes” (banyak tindak pidana). Rasis (SARA) terhadap tokoh Papua, Natalius Pigai. Terus, dia juga dituduh menistakan Islam sebagai agama arogan. Tuduhan-tuduhan ini tentu sangat serius. Khususnya perbuatan rasis terhadap Pigai. Ini bisa mengancam persatuan bangsa dan negara. Si Abu tak bisa mengelak lagi. Begitu juga kasus Islam agama arogan. Ini pun sangat berbahaya kalau dibiarkan. Plus, kasus-kasus peti-es yang cukup banyak selama ini. Kesimpulannya: pasti dia kena kali ini. Itu dari sisi dugaan tindak pidana. Dari sisi pelapor, lebih seru lagi. Membuat semua orang bersemangat. Seolah-oleh si Abu tak berkutik. Ketua Umum KNPI Haris Pertama melaporkan ke Polisi. Semua parpol di DPR mendukung, kecuali satu-dua. Belum lagi komentar-komentar keras dari para tokoh NU –ormas yang selama ini dibawa-bawa si Abu sebagai tempat berlindung. Ketua KNPI tidak tanggung-tanggung. Dia akan mundur kalau Abu Janda tidak diproses. Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini ikut memojokkan si Abu. Terus, Bu Susi Pudjiastuti (mantan Menteri Kelautan) ikut juga memberatkan pegiat medsos yang sangat tak disukai banyak orang itu. Bu Susi mengajak netizen agar ‘unfollow’ akun Abu Janda. Tentu pukulan Bu Susi ini mencerminkan semua orang dibuat resah oleh Abu Janda. Pokoknya, kali ini Abu Janda selesai. Klar. Tak mungkin lolos lagi. Tambahan pula, dia sendiri menghapus cuitan rasis terhadap Pigai. Ini dianggap sebagai bentuk ketakutan si Abu. Dengan alasan-alasan inilah publik berharap Polisi akan memborgol si Abu sambil pakai rompi oranye. Publik mungkin tidak sekadar berharap. Tapi yakin akan diproses. Masyarakat begitu bersemangat. Tak lama lagi Abu Janda meringkuk di penjara. Nah, ini dia. Sebaiknya, jangan dulu keluarkan harapan Anda itu. Kalau pun dikeluarkan, pelan-pelan dulu. Jangan cepat-cepat percaya Abu Janda kali ini akan ditangkap. Kali ini dia tak bisa berkelit. Karena sudah sangat keterlaluan. Kalau sekadar bermimpi dia masuk penjara, wajar. Namanya juga mengimpikan sesuatu. Apalagi kalau cuma berhayal dia masuk penjara. Ini lebih pas lagi. Kenapa pesimis sekali, Bang? Lha, rupanya saudara-saudari semua optimis? Anda percaya Polisi akan berubah? Anda percaya Listyo Sigit Prabowo yang kemarin-kemarin mengurusi kasus-kasus buzzer dalam posisi Kabareskrim, tiba-tiba hari ini berubah drastis karena dia sekarang duduk sebagai Kapolri? Anda yakin Polisi akan sim-salabim, tidak lagi menjadi alat politik para penguasa? Anda yakin Listyo Sigit akan blokir nomor HP orang-orang kuat? Apakah mungkin Listyo menolak arahan para pelindung si Abu? Sekali lagi, kalau sebatas bermimpi Abu Janda masuk penjara, bisa dipahami. Karena sudah begitu lama perasaan Anda terpenda, ingin melihat kebal hukumnya si Abu, luntur. Tentu tidak salah berhalusinasi. Silakan saja. Gratis, kok. Cuma, untuk melihat si Abu masuk penjara tampaknya posisi panggang masih terlalu jauh dari api. Tak bakalan matang. Perlu 4-5 tahun baru masak. Harus tahan lapar sampai 2025. Atau, tak usah dipanggang kalau apinya kejauhan. Bisa digulai asam. Bisa juga disambal balado. Yang dikhawatirkan, Anda semua tak sabar. Panggangannya Anda giling, Anda jadikan makanan ternak.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Jokowi, Rocker NKRI yang Kehilangan Suara
by Jarot Espe Surabaya, FNN - Presiden Indonesia Jokowi itu rocker sejati. Vokalnya melengking tinggi menembus langit, dan kerap membuat lutut pendengarnya gemetar. Rock never die..!!! Penggemar musik cadas pasti paham, teriakan tersebut semacam sumpah setia mereka untuk terus mengibarkan rock. Dari Led Zeppelin yang legendaris, Queen kesayangan Pak Jokowi, hingga Linkin Park dan Gun's n Roses. Berkiblat pada rocker dunia, suara Pak Jokowi merupakan harga mati NKRI. Ia yakin pilihan lagunya, bertema UU Ciptaker, bakal nendang, meledak di pasaran. Seluruh negeri pun merespons dengan teriakan, bahkan tangisan. Persis seperti keyakinan Freedy Merkuri, Rocker Queen, yang bersikeras 'Bohemian Rhapsody' akan menjadi hit terkenal. Lagu ini nyaris batal dirilis karena sangat panjang dan alunan musiknya yang tidak biasa. Mirip cerita Bohemian Rhapsodi, karya lainnya yang disuarakan Pak Jokowi melintir beken ke penjuru Nusantara. Dalam industri musik, disebut booming. Deretan lagu beraliran rock, bahkan heavy metal, bisa dilihat kasat mata. Dengar saja kisahnya, sejak pembunuhan 6 laskar FPI, penahanan Habib Rizieq Shihab, hingga pembubaran FPI dimainkan dalam tempo cepat bernada tinggi. Seluruhnya menjadi koleksi album rocker kelahiran Solo ini. Anda masih ingat Robert Plant, rocker flamboyan Led Zeppelin yang mengagumi penyanyi mesir Ummi Kultsum? Plant sebelas-dua belas dengan Pak Jokowi. Beda-beda tipis. Perbedaan besarnya, yaitu, Plant bertahun-tahun melakukan observasi terhadap Ummi Kulzum. Sang rocker ingin menciptakan karya megah, sebagaimana dirasakan pada sosok idolanya. 'Starway to heaven' pun menjadi hits terkenal sepanjang zaman. Sebaliknya, rocker NKRI hanya fokus pada target, mengabaikan proses penciptaan. Pada album gerakan nasional waqaf uang, Sri Mulyani yang menjadi backing vokal Pak Jokowi mempercantik tampilan luar. Ia menggunakan kerudung saat menjelaskan misi waqaf uang. Tapi sejujurnya, pada album teranyar kali ini, sang rocker tidak mengindahkan perasaan audiens. Setelah berlalu para ulama ditangkapi, kok mendadak menggunakan konsep Islam untuk mengeruk dana umat Islam. Barangkali Pak Jokowi kehabisan narasi untuk dituangkan dalam karya-karyanya? Mengapa sampai terucap syair alhamdulilah, bukannya inna lillahi wa inna illahi rojiun ketika angka covid-19 di negeri ini tembus satu juta kasus? Atau mungkin Pak Jokowi dilanda demam panggung saat mengetahui lagu yang baru dirilis tidak direspons masyarakat? Entahlah. Yang sangat mungkin adalah para rocker dikenal sebagai pribadi introvert ketika turun panggung. Justru di sinilah kematangan seorang rocker. Jika terbiasa pentas live, vokal dan stamina benar-benar terjaga. Berbeda dengan penyanyi rekaman, yang segala kekurangan bisa diakali. Indikasi paling nyata adalah menyimak saat rocker muncul di panggung. Kilatan lampu membuat silau mata. Untuk mengukur berapa jumlah massa, sang rocker mendekatkan bibirnya ke mikrofon. Tesst..check sound.. satu..satu, dua, tigaaa...Stadion pun serasa mau runtuh saat massa merespons sang idola. Namun kali ini, lidah Pak Jokowi kelu. Ia tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Pak Jokowi benar benar kehilangan suara. Penulis adalah Pemerhati Seni.
IDI Bingung, Statemen Presiden Beda dengan Realitanya
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Presiden Joko Widodo menyatakan pandemi telah terkendali. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bilang, bingung. Jumlah kasus di Indonesia sudah 1 juta, kalau dibuat rasio dengan jumlah penduduk, kita ranking 4 di ASEAN. Yakni: Singapura 1/100, Malaysia 1/165, Filipina 1/200, dan Indonesia 1/270. Sebanyak 65% kasus kita ada di Pulau Jawa. Kematian 2,8% (bukti ilmiah 2 - 3%). Harus diakui, penularan belum akan usai karena angka Ro masih > 1. “Jika Ro sdh < 1 maka berangsur-angsur kasus baru akan menuju angka 0. Usaha mengobati dengan terapi antivirus, terapi steroid, terapi antibodi monoklonal, dan terapi plasma,” tulis Prof. Yuwono, pakar mikrobiologi Universitas Sriwijaya, Palembang. Seperti dilansir Kompas.com, Rabu (27/1/2021), sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut, sepanjang 2020 dan memasuki 2021 Indonesia menghadapi berbagai cobaan yang sangat berat. Salah satu ujian itu berupa pandemi Covid-19 yang mengakibatkan krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Namun, Jokowi mengklaim, Indonesia bisa mengendalikan dua krisis itu dengan baik. “Kami bersyukur Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan dua krisis tersebut dengan baik,” kata Jokowi dalam acara Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-gereja (PGI) di Indonesia melalui tayangan YouTube Yakoma PGI. Ucapan “bersyukur” tersebut langsung direspon Ketua IDI DKI Jakarta Slamet Budiarto yang mempertanyakan pernyataan Presiden Jokowi tersebut yang menyebut pemerintah berhasil mengendalikan pandemi virus corona Covid-19. Slamet bingung parameter yang digunakan Jokowi saat menyebut pandemi terkendali. “Saya tidak paham Pak Jokowi menyatakan begitu. Mungkin dari sisi ekonomi, saya juga tidak tahu ekonomi seperti apa. Yang saya tahu dari sisi kesehatan,” katanya kepada Kompas.com. Slamet juga menegaskan, dari sisi kesehatan, pandemi jelas tak terkendali. Parameter pertama bisa dilihat dari angka kematian yang tinggi. Sampai Selasa lalu, masih ada penambahan 336 pasien Covid-19 yang meninggal dunia. Penambahan itu membuat total pasien Covid-19 meninggal jadi 28.468. “Angka kematian di kita tertinggi nomor 1 di negara Asean, baik presentase maupun jumlah. Saya perkirakan ini sampai akhir tahun ada kematian 100.000 orang sampai Desember 2021,” kata Slamet. Sementara itu, parameter kedua yang digunakan IDI adalah angka penularan kasus Covid-19. Sampai kemarin, ada penambahan 13.094 kasus baru. Penambahan tersebut membuat akumulasi kasus Covid-19 di Indonesia menembus satu juta kasus. Wakil Ketua Umum IDI ini pun mengaku tidak paham parameter yang digunakan Presiden sehingga menyebut kasus Covid-19 terkendali. “Ya mungkin Presiden punya parameter lain. Kalau parameter kami di IDI angka kematian dan infeksi,” ujar Slamet. Terlepas dari parameter yang digunakan, Slamet meminta pemerintah untuk fokus menangani pandemi dari sisi kesehatan agar korban bisa ditekan. Slamet mengaku sudah mengusulkan pada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin agar pasien Covid-19 gejala ringan bisa dirawat di rumah masing-masing dengan pengawasan dokter umum. “Satu dokter kan bisa memantau 10 orang. Nanti bisa diberi insentif,” katanya. Dengan cara ini, maka rumah sakit tidak penuh. Ruang perawatan di rumah sakit bisa fokus digunakan untuk pasien gejala sedang dan berat. “Sekarang kan kematian meningkat karena RS overload,” ujar Slamet. Seorang dokter mencatat, Indonesia kembali melaporkan penambahan kasus Covid-19 itu yang tertinggi sejak terjadinya pandemi Covid-19 di tanah air, yaitu 14.518 jiwa. Penambahan 14.518 kasus tersebut menjadikan total kasus Corona di Indonesia menjadi 1.066.313. Berdasarkan data dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah spesimen yang diperiksa sepanjang 24 jam terakhir mencapai 70.026. Dengan 74.985 orang dinyatakan suspek Covid-19. Terjadi juga penambahan yang cukup banyak pada kasus harian sembuh dari Covid-19 yang mencapai 10.242. Sehingga totalnya menjadi 862.502 kasus. Penambahan pada kasus harian sebanyak itu membuat kasus aktif Covid-19 di Indonesia menjadi 174.083 atau 16,3 persen dari terkonfirmasi Virus Corona. Virusnya juga mungkin sudah bermutasi seperti yang terjadi di Inggris dan Afrika Selatan. Jadi, lebih mudah menular dan menyebar sehingga terjadi lonjakan pada jumlah orang yang terinfeksi. Disamping adanya pengaruh perubahan iklim. Pada musim penghujan suhu temperatur udara cenderung rendah/dingin sehingga virus bisa lebih survive! Pada musim hujan orang juga lebih sering berkumpul di ruangan tertutup jika dibanding di daerah terbuka untuk menghindari kehujanan. Atau efek kekurangan vitamin D karena matahari kurang bersinar dengan terik akibat lebih sering mendung pada musim hujan. Atau karena daya tahan tubuh lebih rendah pada musim hujan di banding musim kemarau akibatnya orang lebih rentan mengalami sakit. Varian Virus Corona baru penyebab Covid-19 dilaporkan telah muncul di berbagai penjuru dunia. Varian tersebut diklaim bersifat lebih mudah menular, sehingga sebagian pakar mengatakan kemungkinan butuh upaya ekstra untuk menekan laju penyebarannya. Mantan Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (AS), Tom Frieden, menyarankan agar orang-orang memperbaiki kualitas masker yang biasa dipakai. Kehadiran virus yang lebih mudah menular menekankan pentingnya kita segera memperbaiki strategi. “Bukan lebih banyak melakukan protokol kesehatan yang sama, tetapi melakukan protokol yang sama dengan lebih baik,” ujarnya, seperti dikutip dari Washington Post, Jumat (29/1/2021). Ahli penyakit infeksius Anthony Fauci menyebut memakai dua lapis masker bisa jadi hal yang masuk akal untuk menambah efektivitasnya. Hanya saja diingatkan agar orang-orang memilih masker yang nyaman digunakan di tempat umum. “Ini seperti tragedi-tragedi Covid kita yang sebelumnya. Kita belum memiliki jawaban yang pasti, secara konstan harus berupaya memadamkan masalah, dan berharap agar masyarakat bisa bertindak mandiri,” ujar Abraar Karan, dokter dari Brigham and Women's Hospital. “Anda memang akan selalu membutuhkan masker yang lebih baik. Sejak dari awal kita butuh masker berkualitas yang baik,” pungkasnya, seperti dilansir Detik.com, Jumat (29 Jan 2021 10:25 WIB). Kabar terbaru, kasus Covid-19 yang terus meningkat membuat Indonesia kini menjadi negara dengan kasus aktif tertinggi di Asia melampaui jumlah kasus aktif di India yang sebelumnya tertinggi. Kasus aktif adalah jumlah orang yang masih dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Dari data Worldometer pada Minggu (31/1/2021), kasus aktif di Indonesia berjumlah 175.095 setelah bertambah 12.001 kasus baru pada hari ini. Seperti dilansir CNNIndonesia.com, Minggu (31/01/2021 18:08 WIB), jumlah ini menjadi yang terbanyak di Asia dan ke-15 di dunia. Sedangkan total kasus Covid-19 keseluruhan di Indonesia mencapai 1.078.314. Kasus aktif di Indonesia lebih tinggi dibandingkan India yang saat ini memiliki 169.654 kasus. Total kasus 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan Indonesia yakni tepatnya 10.747.091 kasus. Negara dengan kasus aktif tertinggi lainnya di Asia adalah Iran dengan 150.949 kasus dari 1.411.731 kasus keseluruhan. Selanjutnya, Libanon memiliki 117.410 kasus aktif dengan total kasus 298.913. Negara kelima di Asia dengan kasus aktif terbanyak adalah Turki yang saat ini memiliki 89.627 kasus aktif. Kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat sejak Januari 2021. Angka peningkatan kasus baru dalam setiap hari kerap menembus angka 10 ribu, bahkan mencapai lebih dari 14 ribu kasus. Jika memang demikian kenyataannya, dalam artian sebenarnya pandemi Covid-19 belum terkendali, sebaiknya Presiden Jokowi meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Di samping itu, sudah selayaknya pula Pemerintah mendengarkan para pakar kesehatan. Hal itu dimaksudkan untuk lebih mengintensifkan protokol kesehatan dan mengedepankan penanganan pandemi yang manusiawi dan berkualitas, bukan hanya sekadar berwacana ini-itu untuk mengalihkan “kepanikan” dan kekurangmampuan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Ada Apa di Antara Hendropriyono, Abu Janda, dan Pigai?
PUBLIK negeri ini dibikin terkaget-kaget. Tidak ada hujan, tidak juga ada angin. Namun Abu Janda secara masif dan terang-terangan menyerang habis-habisan tokoh pegiat Keadialn dan Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, dengan prilaku yang sangat rasis. Anehnya, Pigai tidak sedikitpun menyerang balik Abu Janda. Pigai membiarkan publik untuk menilai sendiri prilaku Abu Janda yang sebenarnya. Abu Janda selama ini dikenal sebagai figur yang dekat dengan lingkaran Istana. Sehingga prilakuknya yang kadang melanggar hukum sekalipun, sulit disentuh aparat penegak hukum. Apalagi Abu Janda selalu memperkenalkan diri sebagai figur terdepan kader Banser, organ Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Selalu menonjolkan diri sebagai yang paling Nahdatul Ulama (NU) melebihi orang NU asli. Perseteruan Abu Janda dengan Natalius Pigai bermula dari kritik Pigai kepada mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jendral TNI (Purn.) Kehormatan (Hor.) Hendropriyono di twitternya. Sebagai pegiat Keadilan dan HAM, Pigai mempertanyakan kapasitas Hendropriyono yang menyatakan “organisasi lain yang melindungi eks Front Pembela Islam (FPI) tunggu giliran”. “Organisasi pelindung eks FPI dan para provokator, tunggu giliran”, cuit Hendropriyono di akun twitternya. Walaupun demikian, dia tidak menyebutkan nama organisasi pelindung FPI yang dimaksud. Hendropriyono yakin masyarakart lega dengan pembubaran FPI. “Tanggal 30 Desember 2020 rakyat Indonesia merasa lega, karena mendapat hadiah berupa kebebasan dari rasa takut yang mencekam selama ini”, ujar Hendropriyono. Mennggapi pernyataan Hendropriyono yang bercitarasa ancaman ini, sebagai pegiat Keadilan dan HAM, Pigai mempertanyakan kapasitas Hdnropriyono sebagai Apa? Apakah sebagai Penasehat Presiden atau pengamat? “Ortu, maksudnya orang tua, mau tanya. Kapasitas bapak di negara ini sebagai apa ya? Penasehat Presiden? Pengamat? Aktivis? “Biarkan saja negara diurus oleh gen abad 21 yang egaliter, humanis, dan demokrat”, ujar Pigai. Pigai mengatakan, pernah ditawari Hendropriyono jabatan sebagai Wakil Kepala BIN dan Duta Besar. Akan tetapi tawaran tersebut ditolaknya. “Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua. Sebab itulah, tawaran sebagai Wakil Kepala BIN dan Duta Besar yang bapak tawarkan, saya tolak mentah-mentah. Maaf”, kata Pigai. Menanggapi pernyataan Pigai di akun twitternya inilah yang membuat Abu Janda naik pitam. Melalui akun twitternya @Permadiaktivis1, Abu Janda menaggapi Natalius Pigai yang mempertanyakan kapasitas dalam sebuah berita berjudul “Pigai ke Jendral Hendropriyono, apa kapasitas Bapak di negeri ini”. Abu Janda kemudian memaparkan sejumlah jabatan yang pernah dijabat Hendropriyono, baik semasa pemerintahan Presiden Soeharto, BJ. Habibie dan Megawati. Misalnya, sebagai Direktur BAIS di eranya Soeharto, Menteri Transmigrasi di eranya Habibie. Abu Janda lantas mempertanyakan kapasitas Pigai dalam ciutannya. Kau @NataliusPigai, apa kapasitas kau? Sudah selesai evolusi belum kau? Pernyataan Abu Janda soal “sudah selesai evolusi belum” inilah yang memicu kemarahan dari Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI). Ketua Umum DPP KNIP Haris Pratama bersama sejumlah pengurus lainya melaporkan Abu Janda ke Bareskrim Polri. Laporan DPP KNPI lantas mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat, terutama kaum Nahdiyin dan Parai Politik. Tidak kurang dari mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015, KH As’ad Said Ali memberikan tanggapan atas prilaku Abu Janda. Selaku Ketua Dewan Penasehat GP Ansor, KH As’ad pernah mempertanyakan kepada pimpinan GP Ansor tentang Abu Janda setelah melihat Abu Janda bicara di televisi tentang NU. KH As’ad yang mantan Wakil Kepala BIN untuk tujuh Kepala BIN, sejak dari Letjen TNI. Moetayib di era Soeharto, sampai Letjen TNI Marciano Norman di akhir eranya Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, berkesimpulan bahwa Abu Janda adalah orang yang sangaja disusupkan ke dalam Ansor dan NU. Untuk itu, perlu ditelusuri kenapa Abu Janda bisa ikut Pendidikan dan Latihan (Diklat) kader Asnor dan Banser. Setelah dicek, ternyata tidak ada rekomendasi dari Wilayah dan Cabang Ansor dan Banser untuk Abu Janda. Padahal rekomendasi Wilayah dan Cabang adalah syarat untuk bisa diterima sebagai peserta kaderisasi Ansor dan Banser. Namun setelahb ditelusuri lebih lanjut, Abu Janda diterima atas rekomendasi dari seorang tokoh penting NU. “Saya kira rekomendasi dari tokoh NU itu dengan peritmbangan prasangka baik. Tanpa mengecek ke dulu belakang siapa sebenarnya Abu Janda. Pimpinan Banser sudah menegur Abu Janda untuk tidak lagi bicara tentang NU atas nama Ansor. Beberapa media nasional juga sudah diingatkan untuk tidak lagi menggunakan Abu Janda untuk bicara atas nama NU. Masalahnya, Abu Janda suah terlanjur memakai seragam Banser di media. Sehingga publik menyangka dia bagian dari NU. Padahal fikrah dan akhlaknya bukan sebagai pengikut Ahli Sunnah Wal Jamaah (Aswaja). Dampak provokasi yang ditimbulkan di lingkungan NU selama ini cukup besar. Beberapa Pondok Pasantren sampai terusik. Ada yang sampai menjauh (mufarakah) dari struktur NU. Menurut KH As’ad, beberapa Pondok Pasantren di Daerah Bogor mufarakah dari struktur NU, karena yang disampaikan Abu Janda bertolak belakang dengan fikrah an nahdiyah. KH. As’ad mensinyalir masih ada Abu Janda-Abu Janda lain, yang berpura-pura membela NU melalui medosos. Tetapi sesuangguhnya meraka adalah musang berbulu ayam. Keras dan tegas sikap KH. As’ad kali ini. Padahal sebagai orang intel, KH As’ad jarang bicara ke publik. Namun sebagai nahdiyin asli, terpaksa KH As’ad memberikan saran kepada PBNU. “Bahwa sudah saatnya PBNU bersikap tegas secara resmi terhadap Abu Janda. Sebab dia memanfaatkan nama besar NU untuk kepentingan pribadi. Kondisi ini kalau dibiarkan, akan merusak keutuhan NU”, kata KH As’ad. Pertanyaannya, siapa orang yang telah berhasil menyusupkan Abu Janda ke tengah- NU? Sampai-sampai bisa mengakibatkan terjadinya mufarakah di internal NU? Lalu siapa juga orang yang berhasil meloby tokoh penting NU, sehingga bisa memberikan rekomendasi kepada Abu Janda untuk mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) Banser? Jangan cepat-cepat dulu berprasangka buruk (su'udzon). Meskipun Abu Janda sangat mengagumi Hendropriyono, yang biasa disapa dengan “Om Eddo” tersebut, sampai menyerang Natalius Pigai dengan tidak pantas. Namun belum tentu “Om Eddo” sebagai orang yang menyusupkan Abu Janda ke NU, sehingga berhasil menciptakan perpecahan di internal NU. Berprasangka baik (husnudzon) juga penting. Sebaiknya juga jangan dulu ber-su’udzon kepada “Om Eddo”, karena berburuk sangka itu adalah dosa. Mungkin lebih baik bertanyalah saja kepada tokoh penting NU yang memberikan rekomendasi kepada Abu Janda mengikuti Diklat Banser. KH As’ad tentu saja yang paling tau siapa tokoh penting NU tersebut?
Bangsa Terbelah, Ini Sangat Menyedihkan
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Kalah menang, itu biasa. Termasuk kalah menang dalam pemilu. Kalau yang kalah itu kecewa, wajar. Secara psikologis, ini manusiawi. Sebagian ada yang belum move on, harus juga dimaklumi sebagai wajar juga. Tugas kita, terutama pemenang, menyadarkan mereka yang belum move on itu. Menyapa dan merangkulnya. Jumlah mereka nggak banyak, dan mudah untuk dipulihkan. Yang menjadi masalah, dan soal ini cukup serius adalah, orang-orang yang melakukan kritik kepada pemerintah dituduh sebagai bagian dari kelompok yang belum move on. Dianggap sebaga kelompok mencari-cari kesalahan dan mau menjatuhkan wibawa pemerintah. Disini letak kesalahannya. Di tengah gendutnya koalisi penguasa, posisi pemerintah saat ini sangat kuat. Nyaris tidak terkontrol. Partai-partai nyaman dengan berbagai posisi dan bagiannya. DPR menjadi lumpuh. Tidak lagi punya gigih, kecuali hanya menjadi legitimator bagi keputusan dan kerja eksekutif. Ini sangat menyedihkan. DPR terburuk dalam sejarah demokrasi negeri ini. Pers dan mahasiswa juga tiarap. Disini, penguasa cenderung berprilaku semaunya. Banyak kebijakan yang tak aspiratif dan tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Kebjakan yang dibuat pemerintah lebih utama untuk menampung kepentingan oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas, tamak dan rakus. Rakyat hanya menonton main pemerintah bersama oligarki dan konglomerasi. Dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu diingatkan. Disini, perlu orang-orang yang kritis yang mau mengontrol kinerja dan memberi peringatan ketika ada kebijakan pemerintah yang keliru. Supaya ada check and balances. Supaya pemerintah tau kalau rakyat itu kritis. Sehingga pemerintah tidak asal-asalan dalam membuat kebijakan negara. Setiap rezim, selalu muncul orang-orang dan kelompok idealis. Mereka lahir untuk meluruskan arah kebijakan penguasa yang salah. Menembalikan penguasa kepada tujuan bernegara yang digariskan oleh para pendiri bangsa. Ini terjadi dari zaman awal kemerdekaan, hingga era reformasi. Dan saat ini, kita sedang menghadapi era neo-reformasi. Era yang berbeda sama sekali dari pra dan pasca reformasi. Sayangnya, munculnya kritik seringkali dianggap sebagai upaya menjatuhkan penguasa. Ini yang keliru. Jika kritik itu datang bukan dari kelompok pendukung, dituduh belum move on. Jika kritik berasal dari pendukung, dianggap sakit hati karena tak mendapat posisi. Gak ada yang bener. Parahnya, ada petugas khusus yang disiapkan untuk menghadapi para pengkritik ini. Mulai dari buzzer rupiah, hingga yang bertugas sebagai pelapor ke polisi. Mereka seperti "kebal hukum". Diduga kuat ada pihak yang melindungi mereka. Mereka bisa dengan leluasa mempolisikan siapa saja yang dianggap sebagai oposisi kepada kekuasan. Hebat sekali mereka. Sampai disini, keterbelahan yang sudah muncul saat pemilu, sekarang makin parah. Penguasa tidak terlihat merangkul pendukung yang kalah. Sementara kerja buzzer rupiah bekerja semakin masif untuk merusak tatanan persatuan dan kesatuan. Pancasila dan NKRI seringkali menjadi mainan narasi melawan kelompok pengeritik. Media dan medsos isinya penuh provokasi. Aksi dan reaksi kedua belah pihak terus mengambil sejarah kegaduhan bangsa ini. Istilah dan nama "binatang" sudah jadi identitas kebanggaan masing-masing kelompok. Sopan santun dan sikap saling menghargai sebagai ciri khas dan karakter bangsa mendadak hilang dari kehidupan kita. Mendadak dan cepat giganti dengan cacian dan kebencian. Sekedar analogi, jika di dalam rumah anda selalu terjadi keributan, jangan salahkan anak-anak. Tetapi, itu salah ayah dan ibunya. Mereka adalah orang tua yang diberi kepercayaan mengelola rumah tangga. Artinya, kalau ribut terus, berarti bapak-ibunya nggak becus urus itu rumah tangga. Negara adalah rumah tangga dalam bentuk yang lebih besar. Saat ini, setiap orang seolah dipaksa untuk memilih. Anda berada disini, atau berada disana? Kalau nggak disini, berarti anda musuh kami. Stigma ini membuat banyak intelektual kehilangan jati diri dan akal sehatnya. Agamawan telah dihadap-hadapkan dalam arena pro dan kontra. Yang pro dapat uang, yang kontra seringkali diancam. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE) serta Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 7/2021 tentang "Ektrimisme" yang dipikir bisa diharapkan jadi solusi, ternyata malah banyak kontradiksi. Bukannya mendamaikan atau menyatukan. Tetapi malah semakin menambah ketakutan dan keterbelahan anak bangsa. Lalu apa solusinya? Pertama, rangkul para pengkritik dengan cara mendengarkan mereka. Negara akan sehat jika kritik didengarkan. Jangan anggap mereka sebagai musuh. Kedua, hentikan buzzer rupiah yang terus membuat kegaduhan. Stop anggarannya, mereka akan berhenti. Sebab, operasional buzzer rupiah itu cukup besar. Tanpa biaya operasional, mereka nggak bisa beroperasi. Stop itu. Ketiga, hadirkan hukum untuk memberi rasa keadilan kepada semua rakyat. Jika demokrasi berjalan normal dan wajar, tidak ada lagi orang-orang sewaan yang bekerja untuk memproduksi kegaduhan di masyarakat. Hukum ditegakan di atas semua golongan, maka Indonesia akan menyuguhkan kenyamanan dan selamat dari keterbelahan. Sampai disini, kita bisa teriak bersama bahwa "NKRI Harga Mati". Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Merespon Krisis Ulama (Bacaan Ringan Akhir Pekan)
by Imam Shamsi Ali New York City FNN - Tanggal 29 Januari kemarin saya berkesempatan menjadi narasumber di webinar ke 12 LP2PPM (Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren PP Muhammadiyah). Acara yang dihadiri oleh tokoh pendidik dan pimpinan Pondok pesantren Muhammadiyah se-Indonesia itu mengambil tema “Pesantren Muhammadiyah sebagai pusat kaderisasi ulama, antara realita, harapan dan tantangan”. Dalam presentasi yang bersifat spontan itu, saya menyampaikan beberapa hal. Antara lain, menekankan kembali bahwa Pondok pesantren adalah pusat pendidikan yang unik dan sejatinya menjadi institusi pendidikan alternatif disaat dunia mengalami kebingungan dan kegoncangan. Di pesantren para siswa atau siswi tidak saja menimba ilmu. Mereka juga belajar tentang kehidupan dan menjalani hidup. Saya juga kembali mengulangi hal yang selama ini sering saya sampaikan di banyak kesempatan. Bahwa sebagai putra bangsa, bagian dari negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia yang telah lama tinggal di luar negeri, saya cukup kalau dengan kenyataan bahwa Muslim Indonesia kurang dikenal dan dipertimbangkan oleh dunia internasional. Termasuk dalam hal keilmuan dan Keulamaan. Pondok pesantren harus tampil untuk merespon kegalauan dari putra-putri bangsa seperti saya. Dalam rangka merespon itulah, saatnya Pondok pesantren ditampilkan secara “exceptional” (istimewa). Saatnya stigma pesantren sebagai sekolah orang-orang rendahan, pembuangan anak-anak nakal dan tidak mampu, harus dirubah. Untuk terwujudnya Pondok pesantren yang exceptional tersebut, beberapa hal harus menjadi perhatian. Pertama, Pondok pesantren abad kini harus mampu membangun wawasan global. Bahwa dunia kita saat ini adalah dunia global yang memiliki berbagai karakter di antaranya: 1) kecepatan yang dahsyat. Dengan kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang informasi segala sesuatu bersifat instant. Di sinilah pesantren harus mampu mempersiapkan SDM yang jeli, cermat dan cekatan menangkap peluang yang ditawarkan oleh dunia. 2) dunia mengalami pengecilan. Semua manusia berada dalam satu rumah di bawah atap yang sama. Dan karenanya pilihan yang ada hanya damai dan kerjasama atau saling mengusur dari rumah yang menjadi milik bersama itu. 3) dunia global juga melahirkan kompetisi yang ekstra ketat. Di sinilah Pondok harus mempersiapkan SDM yang kompetitif (unggulan). Kedua, Pondok Pesantren tidak boleh kehilangan fondasi ruhiyahnya. Karena bagaimanapun juga pesantren adalah pusat pengokohan iman dan karakter. Iman dalam Al-Quran itu digambarkan bagaikan pohon yang baik. Akarnya kuat menghunjam ke dalam tanah, rantingnya tinggi menjulang langit, dan memberikan buah-buah setiap saat dengan izin Tuhannya. Sebuah penggambaran bahwa iman yang kokoh tidak mudah goyah. Apalagi tercabut oleh keadaan apapun. Ketinggiannya menggambarkan bahwa Iman itu harus “visible” (terlihat) dengan karya dan inovasi (amal saleh). Dan buah-buahnya memberi manfaat luas bagi manusia. Intinya, di pesantren itu harus terbentuk Iman yang kuat dan sehat, yang dapat dirasakan oleh orang banyak. Bahkan Iman tersebut pada akhirnya menjadi fondasi terbentuknya peradaban manusia. Ketiga, di Pondok itu terbangun “aqliyah” (akal, pemikiran, logika, rasionalitas”) yang tajam dan luas. Dunia kita adalah dunia yang rasional. Dunia yang semakin menjadikan Ilmu dan rasionalitas sebagai bahan pertimbangan dalam menjalani kehidupan. Dan Islam sendiri adalah agama yang sangat menjunjung tinggi rasioanalitas itu. Tentu dengan catatan bahwa rasionalitas itu adalah pertimbangan akal yang tidak liar (wild thinking). Rasionalitas liar itu maksudnya adalah pemikiran yang terlepas kendali, sehingga melanglang buana tanpa arah. Itu akan terjadi ketika pemikiran manusia tidak dikendalikan oleh wahyu Samawi. Selama pemikiran itu terkait dan terikat oleh wahyu Samawi, Al-Quran dan as-Sunnah, maka apapun bentuknya akan diapresiasi Islam. Inilah bentuk rasionalitas yang harus dibangun dan dikembangkan di Pondok Pesantren. Sehingga pendekatan-pendekatandogmatis yang seolah dipaksakan telah usang. Kaum Muslim millennial, apalagi di dunia Barat akan semakin terpental dengan pendekatan keagamaan yang bersifat dogmatis yang serasa dipaksakan. Keempat, Pesantren harus mampu melahirkan ulama yang memiliki kemampuan komunikasi yang handal. Selain komunikasi dalam arti luas, termasuk “cultural adjustment” (penyesuaian budaya) yang kadang berbeda, juga kemampuan bahasa yang handal. Diakui atau tidak, salah satu kekurangan (handicap) Ulama Indonesia adalah kemampuan komunikasi. Khususnya penguasa bahasa asing, yang lemah. Bahkan mereka yang pernah belajar di luar negeri sekalipun, anggaplah Timur Tengah, bahasa Arabnya rata-rata bersifat bahasa pasif. Dalam dunia global, peranan ulama Indonesia sangat terbatas. Hal itu terlihat ketika sebagian Ulama keluar negeri, rata-rata dimanfaatkan oleh warga Indonesia. Itupun terbatas para orang tua. Anak-anak remaja tidak tertarik dengan pendekatan dalam bahasa dan kultur yang kental dengan negara asal. Padahal keperluan yang paling mendasar dihadirkannya guru ke sebuah negara, ambillah Amerika misalnya, salah satunya untuk membantu menjaga keilmuan dan keimanan generasi yang hampir hilang (lihat tulisan saya: American Muslim and the Lost Generation). Kelima, Pondok Pesantren perlu mempersiapkan keilmuan yang bersifat inovatif dan proaktif. Bukan keilmuan yang bersembunyi dibalik titel akademis yang banyak. Tetapi keilmuan yang produktif dan inovatif. Keilmuan yang dapat merespon kepada kebutuhan dunia. Hal ini tentunya akan banyak ditentukan oleh “mindset” yang terbangun dalam memahami keilmuan, termasuk keilmuan Islam. Bahwa ilmu bukan sekedar tahu. Tetapi yang terpenting adalah bahwa pengetahuan itu melahirkan kemanfaatan yang luas bagi manusia. Inilah yang dikenal dengan “ilmun naafi’” sebagai dalam doa yang dipinta. Sebagai contoh saja. Bagaimana seharusnya ulama memahami ayat Al-Quran, “sesungguhnya pada kesulitan itu ada kemudahan”? Pemahaman yang inovatif dan proaktif dari ayat ini adalah bahwa orang-orang Islam itu harus mampu menghadirkan kemudahan di saat manusia menghadapi kesulitan. Bukan sekedar percaya bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan. Dengan Covid 19 misalnya, apa kemudahan yang orang Islam hadirkan? Atau justeru orang menunggu kemudahan dari orang lain? Menunggu vaksin dari Amerika atau China misalnya? Lalu dimana makna yang kita fahami dari “inna ma’al ‘usri yusra?”. Keenam, Pondok Pesantren harus membangun lingkungan yang mampu mengembangkan pemikiran yang berkemajuan. Pemikiran yang berkemajuan itu akan terlihat pada kemampuan dan keberanian untuk berijtihad, termasuk dalam keilmuan Islam. Sebab ada masa-masa dimana Umat ini menjadikan ijtihad sebagai sesuatu yang tabu, bahkan dianggap membawa dosa. Biasanya dengan mamakai dalil, “siapa yang berdusta terhadapku maka diapkan tempatnya di neraka” (hadits). Padaha hadits ini lebih sebagai peringatan dan ancaman kepada mereka yang mencipta-cipta hadits dan mengaitkannya dengan Rasulullah SAW. Tetapi kalau berusaha memahami ayat atau hadits dengan akal dan Ilmu alat yang cukup (termasuk bahasa) maka itu adalah ijtihad. Dan ijtihad akan selalu diapresiasi. Jika benar dapat dua pahala. Dan jika salah juga masih dapat satu pahala. Ketujuh, Pondok Pesantren harus membangun suasan, dimana santri-santriyah mampu membangun “self confidence” (rasa percaya diri) yang tinggi. Self confidence itu bukan keangkuhan. Self confidence itu berarti ada potensi sekaligus keberanian untuk mendaya gunakannya untuk kemaslahatan umum. Angkuh itu merasa lebih dari orang lain, justeru terkadang realitanya tidak ada potensi. Untuk Indonesia mampu memainkan peranan signifikan dan diakui oleh dunia global, rasa minder (inferioritàs) yang sejak lama menjangkiti bangsa ini harus dirubah. Masanya membangun percaya diri bahwa bangsa ini adalah bangsa besar yang potensial dan mampu sebagaimana bangsa besar lainnya. Hal ini juga sangat diperlukan oleh para ilmuan dan Ulama Indonesia untuk tampil di dunia global. Kekurangan para Ulama kita terkadang kurang percaya diri. Apalagi ketika berhadapan dengan ulama dari Timur Tengah.Padahal sejarah keislaman tidak selalu didominasi oleh Ulama Arab. Begitu banyak muhaddits (ahli hadits) maupun fuqaha (ahli fiqhi) dari kalangan ‘ajam (non Arab). Masanya bangsa ini, termasuk Ulamanya untuk bangkit dan berada di garis depan untuk menampilkan Islam yang saat ini dirindukan dunia. Islam itu harusnya memang ditampilkan bangsa yang berkarakter “rahmatan lil-alamin”. Bangsa yang mampu menyatukan niai-nilai universal Islam dengan kehidupan dunia masa kita. Termasuk di dalamnya syura, sopan-santun dan keramahan, penghormatan pada wanita, HAM, serta komitmen keagamaan dalam tatanan kerukunan dan toleransi. Semua itu di Indonesia bukan sekedar teori. Tetapi telah dan tetap mampu dibuktikan di tengah dinamika sosial yang ada. Tentunya disinilah kemudian Pondok Pesantren memiliki peranan krusial dan signifikan untuk mewujudkan semua itu. Semoga! Penulis adalah Imam di Kota New York & Presiden Nusantara Foundation.
Rektor Baru USU Harus Rehabilitasi Dua Dosen Yang Pernah Divonis Otoplagiasi
by Asyari Usman Medan, FNN - Pelantikan Muryanto Amin sebagai rektor USU belum lama ini menyertakan konsekuensi. Sekarang, dia harus mencabut dua keputusan rektor yang mengukuhkan perbuatan otoplagiasi (self plagiarism) atas dua dosen USU di masa lalu. Tidak hanya mencabut keputusan itu, Rektor Muryanto Amin harus merehabilitasi nama baik kedua dosen tsb. Dia juga wajib memberikan kompensasi material dan non-material akibat predikat otoplagiasi. Yang pertama adalah Dr Maulida ST MSc, pengajar Fakultas Teknik. Pada 2013, dia dinyatakan berbuat plagiasi berdasarkan SK Rektor USU No. 30/UN5.1.R/SK/SDM/2013 tanggal 15 Januari 2013. Hukuman untuk Maulida cukup berat. Selain tidak boleh mendapatkan promosi, dia juga tidak bolehkan diusulkan menjadi guru besar (profesor) di USU maupun di luar, tanpa batas waktu. Yang kedua adalah Drs Arifin Lubis MM Ak, pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis. Pada 2015, dia dinyatakan bersalah melakukan otoplagiasi berdasarkan SK Rektor USU No. 149/UN5.1.R/SK/SDM/2015 tanggal 2 Februari 2015. Dia dihukum penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Mengapa rektor baru USU harus mencabut kedua SK Rektor di atas ini? Tidak lain karena Kemendikbud telah mengabaikan SK Rektor USU (2016-2021) No. 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 tanggal 14 Januari 2021 yang menyatakan bahwa Muryanto Amin (rektor 2021-2026) telah dengan sah dan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan otoplagiasi. Kedua dosen USU yang disebutkan di atas (Dr Maulida ST MSc dan Drs Arifin Lubis MM Ak) dijatuhi hukuman atas desakan dari Kemendikbud waktu itu. Hari ini, Kemendikbud malah menganulir keputusan Rektor USU (2016-2021) yang menyatakan Muryanto Amin terbukti melakukan otoplagiasi. Kepada kedua staf pengajar ini harus diberikan kompensasi. Mereka menderita kerugian material dan non-material yang disebabkan keputusan yang tidak seharusnya ditimpakan kepada mereka jika berpedoman pada kasus Muryanto. Kemendikbud harus bertanggung jawab atas kedua keputusan masa lalu itu yang hari ini dibuktikan keliru total. Kenapa ada tanggung jawab Kemendikbud? Karena, kata para dosen USU, kedua surat keputusan otoplagiasi 2013 dan 2015 itu diterbitkan atas desakan Kementerian. Jika nama baik kedua dosen itu tidak dipulihkan dan tidak ada kompensasi, berarti Rektor Muryanto Amin melakukan “moral crime” (kejahatan moral) yang sangat tak pantas dilakukan oleh seorang pimpinan lembaga keilmuan yang berbasis kejujuran dan keadilan. Kedua dosen yang dihukum otoplagiasi di masa lalu itu bisa melancarkan gugatan kalau Rektor USU dan Kemendikbud tidak segera memulihkan nama baik mereka. Sebagai langkah awal, kedua dosen tsb bisa melayangkan somasi yang berisi tuntutan permintaan maaf secara terbuka di sejumlah media cetak dan media elektronik.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.