ALL CATEGORY

Perlombaan Vaksin Covid-19 Belum Usai, Imun Tubuh Harus Kuat! (2)

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Seorang teknisi rontgen di Orange County, California, Tim Zook, 60 tahun, meninggal empat hari setelah mendapat suntikan kedua vaksin Covid-19 Pfizer pada 5 Januari lalu. Dua jam setelah disuntik Zook mengalami nyeri perut dan gangguan pernafasan. Dokter mengatakan bahwa ini sebagai reaksi peradangan (inflamasi). Zook memiliki riwayat hipertensi dan sedikit kelebihan berat badan. Kematian Zook sudah dilaporkan ke FDA dan CDC Selasa lalu. Menurut Coroner, salah satu otoritas kesehatan di sana yang berhak menentukan penyebab kematian tak wajar, penyebab kematiannya tersebut belum bisa dipastikan dan uji toksisitas (keberadaan racun di dalam tubuh) akan memerlukan waktu beberapa bulan. Isterinya tidak menyalahkan Pfizer, karena dia tahu suaminya mempercayai vaksin. Hanya saja dia berharap perlu dilakukan lebih banyak riset untuk reaksi alergi yang parah, yang meskipun insidennya jarang, namun pada beberapa kasus bisa menyebabkan kematian. Sebelumnya seorang petugas kesehatan di Placer County, California, juga dilaporkan telah meninggal beberapa jam setelah mendapat vaksinasi Covid-19, namun belum diketahui vaksin mana yang diterimanya. Orang ini hasil tesnya akhir Desember lalu menunjukkan positif Covid-19, dan dia (tetap) divaksinasi 21 Januari lalu. Tidak disebutkan apakah petugas vaksinasi mengetahui hasil tes itu sebelum memberikan suntikan. Belum ada berita lengkapnya. ThrombocytoPenia Menurut Arie Karimah, meninggalnya Michael, seorang dokter Obgyn di Florida, AS, setelah vaksinasi Covid-19 dosis pertama Pfizer diduga karena komplikasi penyakit ITP. Immune ThrombocytoPenia-ITP adalah salah satu bentuk penyakit autoimun. Artinya sistem kekebalan tubuh bukannya menyerang musuh, misalnya bakteri atau virus, melainkan bagian tubuhnya sendiri yaitu trombosit atau platelet. Istilah trombosit lebih populer untuk orang awam, sedangkan platelet untuk kalangan medis. ThrombocytoPenia artinya adalah kadar trombosit di dalam darah rendah, di bawah angka normalnya yaitu 150.000 - 400.000/mm3. Trombosit adalah salah satu bagian dari sel darah. Dalam keadaan normal, jika terjadi infeksi oleh bakteri atau virus maka sel-sel darah putih akan menuju ke lokasi infeksi, dia keluar meninggalkan pembuluh darah menuju sel yang terinfeksi, atau ke kelenjar getah bening untuk membunuh bakteri atau virus. Bekas keluarnya sel darah putih ini akan “ditambal” atau ditutup oleh trombosit, agar tidak terjadi pendarahan. “Kira-kira mirip dengan cara abang tambal ban ketika menambal ban tubeless yang bocor,” tulis Arie Karimah dalam akun FB-nya. Hal yang sama juga terjadi jika ada cedera pada dinding pembuluh darah bagian dalam. Untuk mencegah terjadinya pendarahan trombosit akan berikatan dengan benang-benang fibrin, faktor pembekuan darah dan sel darah merah. “Inilah yang dikenal sebagai proses pembekuan darah,” jelas Arie Karimah. Jadi, bisa dibayangkan jika jumlah trombosit sangat rendah maka pendarahan bisa terjadi di mana-mana, karena proses masuknya bakteri dan virus ke dalam tubuh berlangsung terus-menerus, sehingga perlawanan oleh sel darah putih juga berlangsung 24 jam nonstop. “Lubang-lubang” bekas keluarnya sel darah putih akan dibiarkan terbuka, sehingga plasma dan sel-sel darah merah bisa ikut keluar meninggalkan pembuluh darah. Inilah yang disebut dengan proses pendarahan. Demikian juga cedera pada pembuluh darah: tidak terjadinya proses pembekuan darah akan menyebabkan terjadiya pendarahan. Itulah sebabnya sangat mudah dipahami ketika dr. Michael angka trombositnya Nol, maka pendarahan bisa terjadi di seluruh tubuhnya. Terjadinya hemorrhagic stroke yang dialaminya dua hari sebelum meninggal menunjukkan terjadinya pendarahan di pembuluh darah di otak. Darahnya akan membanjiri otaknya, dan mungkin ini yang menjadi penyebab kematiannya. Penyakit autoimun adalah penyakit yang langka. “Saya menyebutnya ini adalah penyakit yang termasuk dalam kategori takdir, yang tidak bisa dihindari,” ujar Arie Karimah. Berbeda dengan kebanyakan penyakit lainnya, misal: hipertensi, diabetes, tifus atau radang sendi, yang lebih disebabkan oleh kesalahan pola hidup dan pola makan selama belasan atau puluhan tahun. Artinya, orang bisa menghindari penyakit ini kalau mau memilih melakukan pola hidup dan pola makan yang sehat. Selain ITP, contoh yang termasuk dalam kategori penyakit autoimun adalah: Lupus (SLE, Systemic Lupus Erythematosus) yang menyerang persendian, ginjal atau bagian lain; Diabetes mellitus tipe 1 yang menyerang kelenjar pankreas; Rheumatoid arthritis yang menyerang persendian, terutama jari tangan. Menurutnya, pada penyakit autoimun dikenal istilah periode remisi dan eksaserbasi. Artinya, penyakit ini bisa tiba-tiba muncul (kambuh, eksaserbasi), dan bisa juga “menghilang” atau sembuh dengan sendirinya (remisi). Jarak antara fase remisi dan eksaserbasi ini bisa dalam hitungan bulan, tahun atau bahkan belasan tahun. Cara mengontrolnya bisa dilakukan dengan pemeriksaan berkala trombosit, Rf (rheumatoid factor) atau jumlah leukosit. Arie Karimah berpesan, yang perlu dihindari: Semua suplemen atau makanan dengan klaim bisa meningkatkan sistem imun (immune booster). Pengobatan: dengan kelompok steroid (deksametason, metilprednisolon) atau immunosuppressant (Sandimmun, Cellcept). Risiko: lebih sering/mudah mengalami infeksi jika sedang dalam masa pengobatan dengan steroid atau immunosuppressant. Menurut Arie Karimah, setelah mempelajari beberapa kasus reaksi alergi yang parah pada vaksinasi, CDC mengeluarkan informasi yang baru: Mereka yang pernah mengalami reaksi alergi parah yang tidak berkaitan dengan vaksin atau obat-obatan (apa saja) yang disuntikkan, misalnya: alergi makanan, bulu binatang peliharaan, debu, atau lateks tetap masih bisa mendapat vaksinasi. Mereka yang memiliki riwayat alergi pada obat-obatan (apa saja) yang diminum, memiliki riwayat keluarga dengan reaksi alergi parah, atau pernah mengalami reaksi alergi ringan terhadap vaksin bukan Covid-19 (misal: merah, gatal, dan Bukan anafilaksis), masih bisa mendapatkan vaksinasi. “Kalau anda berpendapat vaksinasi ini mengerikan karena bisa menyebabkan kematian, let me tell you this!” ujarnya. Dalam catatan Arie Karimah, ini adalah orang Ketiga yang meninggal setelah divaksinasi di AS. Jumlah orang yang telah divaksinasi di AS: lebih dari 24 juta. Jumlah yang meninggal akibat Covid-19: 443,7 ribu orang, dari total 26,3 juta kasus Covid-19 di AS (7,96% populasi). Jadi persentase kematian akibat Covid di AS: 1,7% dari total kasus, 0,13% dari seluruh populasi, atau 0,14% dari orang yang tidak terinfeksi Covid. Jadi, “Jauh Lebih Banyak kematian yang disebabkan oleh Covid-19 dibandingkan vaksin. Begitu cara membuat apple-to-apple comparison,” simpul Arie Karimah. Jika menyimak kasus di Jerman dan AS tersebut, yang jelas, apapun produk vaksin Covid-19 saat ini diyakini masih belum aman untuk dikonsumsi. Ini menandakan bahwa “perlombaan” vaksin belumlah selesai. Nama besar, seperti Pfizer, belumlah jaminan. Namun, jika mengkonsumsi vaksin dengan efikasi rendah dan lebih tidak aman, seperti Sinovac, justru sebaiknya harus dihindari. (Selesai) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Wajah Demokrasi Makin Buram di Pemilu Serentak 2024

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Demokrasi direpresentasikan paling nyata dalam pemilu. Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Setiap orang diberi hak suara. One man One vote One value. Di Indonesia, dalam lima tahun, ada sekali pilpres, sekali pileg-pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan 548 kali pilkada. Terdiri dari 514 Kabupaten dan Kota dan 34 Provinsi. UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 menghendaki adanya pemilu serentak 2024. Pilpres, Pileg dan Pilkada diselenggarakan sekaligus. Bersama-sama dalam satu waktu. Belajar dari Pilpres dan Pileg 2019 lalu, ada sebanyak 894 petugas pemilu yang meninggal dunia. Katanya karena faktor kelelahan. Dibilang "katanya", karena beritanya simpang siur. Dan nggak ada hasil investigasi. Maka, diusulkanlah revisi UU tersebut. Dan RUU-nya telah masuk Prolegnas. Ada banyak perubahan di RUU. Termasuk usulan "normaliisasi pilkada" 2022 dan 2023. Semula, hanya PDIP yang menolak. Partai lain, semua sepakat adanya "normalisasi pilkada". Artinya, 2022 dan 2023 tetap ada pilkada. Belakangan, Presiden mendukung pemilu tetap diselenggarakan serentak di 2024, sesuai UU No 10 Tahun 2016 tersebut. Setelah pernyataan presiden ini, banyak partai yang mendadak berbalik. Golkar, Gerindra, PKB, PAN dan PPP mendukung usulan presiden. Otomatis, mendukung PDIP. Total suara partai pendukung usulan presiden itu ada 327 suara di DPR. Sementara hanya PKS, Demokrat dan Nasdem yang tetap bertahan dengan usulan "normalisasi pilkada" 2022 dan 2023. Total suaranya hanya 248. PKS, Nasdem dan Demokrat kalah suara. Maka, keputusannya sudah bisa dibaca: 2022 dan 2023 tidak ada pilkada. Diundur di 2024. Para kepala daerah, gubernur, walikota dan bupati yang habis masa kerjanya tahun 2022 dan 2023 akan diganti oleh Pelaksana Tugas (Plt). Jumlahnya ada 272 kepala daerah. Masing-masing Plt menjabat 1-2 tahun. Dari mana Plt-Plt ini? Akankah semuanya diisi dari pejabat Kemendagri? Ataukah ada yang dari Polri, mengingat Mendagri Tito Karnavian adalah mantan Kapolri? Atau ada yang dari TNI, semacam alasan untuk berbagi? Atau juga ada dari kader parpol yang ditunjuk oleh mendagri? Memang, jika pemilu diselanggarakan serentak, maka akan lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Tetapi sangat berisiko. Petugas akan kelelahan. Belajar dari pemilu 2019 yang hanya pilpres-pileg saja, hampir seribu petugas pemilu meninggal dunia. Meski menyisakan teka-teki, apakah seluruhnya mati karena unsur kelelahan, atau ada faktor lain. Dalam pemilu serentak, manipulasi kemungkinan akan lebih masif. Karena pengawasan sangat terbatas. Cara berpikirnya sangat sederhana. Sebab pemainnya bertambah banyak, sementara jumlah pengawas tetap. Tidak bertambah. Ya pasti tidak proporsional. Pada pemilu 2019, Panwas mengawasi Pilpres danPpileg saja sudah sangat kedodoran. Bagaimana mungkin ditambah lagi dengan pemilihan bupati/walikota dan gubernur? Mau berapa banyak lagi petugas Pemilu yang harus meninggal dunia karena kelelahan. Pemilih pun umumnya gagal fokus. Karena banyaknya jumlah surat suara dan jumlah calonnya. Dalam satu waktu pemilih harus mencoblos surat suara untuk DPRD I, DPRD II, DPR, DPD, bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden. Tujuh surat suara. Pasti akan sangat membingungkan. Dua surat suara saja, banyak yang nggak fokus. Apalagi ini tujuh surat suara. Coba hitung jumlah caleg DPR, DPRD I, DPR II, calon DPD, calon bupati/walikota, dan calon gubernur, plus calon presiden-wakil presiden. Kurang lebih ada 40 nama. Anda yang muda dan cerdas saja kebingungan untuk memilih. Apalagi ABG dan para orang tua. Bagaimana mau menghasilkan pejabat yang berkualitas? Anda coba bayangkan ketika mereka kampanye di depan anda. Ada 40 calon yang kampanye. Dan hampir semuanya tidak anda kenal dengan baik. Siapa yang akan anda pilih? Tak sedikit pemilih yang akhirnya pragmatis. Sama-sama tidak kenal, pilih yang kasih uang paling besar. Selama ini, itulah yang banyak terjadi di desa-desa, dan daerah pinggir perkotaan. Pemilih pragmatis. Karena sistem mendorong pemilih untuk bersikap pragmatis. Apalagi, hukum tak pernah hadir disitu. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk penghitungan. Bisa sehari semalam. Bahkan sampai pagi. Disini, para saksi juga akan mengalami kelelahan. Apalagi Panwas dan petugas KPPS. Kasihan mereka para petugas itu. Idealnya, ada tiga kali pemilu. Pilkada, pileg dan pilpres dilakukan secara terpisah. Pemilih bisa fokus pada pilihannya. Pengawasan juga bisa dilakukan dengan baik. Masyarakat, lembaga-lembaga independen dan pers bisa jadi alat kontrol untuk menjaga kualitas pemilu. KPPS, Panwas dan para saksi tidak harus menanggung risiko fisik karena faktor kelelahan atau lainnya. Entah apa yang menjadi pertimbangan partai-partai tersebut sehingga pemilu diusulkan serentak. Jangan sampai hasrat politik mengalahkan kepentingan bangsa, termasuk untuk keselamatan petugas KPPS, Panwas dan para saksi. Terutama "yang paling penting" untuk menjaga kualitas hasil pemilu. Selama ini, kualitas pemilu kita sudah buruk. Sarat money politics, intimidatif dan manipulatif. Dengan pemilu serentak, besar kemungkinan akan semakin buruk. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Perlombaan Vaksin Covid-19 Belum Usai, Imun Tubuh Harus Kuat! (1)

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Fakta ini terjadi di Eropa. Media Prancis pada Senin, 25 Januari 2021 menulis, sebenarnya Jerman melaporkan dua kematian baru-baru ini. Pada akhir Desember lalu, seorang nenek Swiss berusia 91 tahun meninggal setelah disuntik dengan vaksin BioNTech/Pfizer. Tapi, menurut investigasi departemen resmi Swiss, kematian itu tidak terkait dengan vaksin. Dalam kasus lain, pada pertengahan Januari 2021 lalu, seorang nenek berusia 90 tahun dari Lower Saxony, Jerman, meninggal beberapa jam setelah disuntik dengan vaksin BioNTech/Pfizer. Menurut investigasi Jerman, kematian tersebut tidak terkait dengan vaksin. Sejauh ini, belum ditemukan kasus kematian akibat vaksin BioNTech Jerman. Dua kematian di Jerman itu langsung “ditangkap” Liu Xin, reporter Tiongkok International Television. Pada 16 Januari 2021, Liu Xin menulis di Twitter: “Saya tidak dapat memastikannya secara independen, tetapi beritanya mengganggu: ‘Sepuluh orang meninggal beberapa hari setelah vaksin BioNTech/Pfizer di Jerman’.” Berita ini berasal dari 2 laporan di Jerman tersebut. Media resmi Komunis Tiongkok Global Times sebelumnya telah melaporkan, vaksin BioNTech/Pfizer tidak efisien dan dikembangkan di bawah batasan waktu yang ketat. Di Jerman, efektivitas dan keamanan dari vaksin Tiongkok dipertanyakan oleh publik. Baru-baru ini, Mingguan Der Spiegel Jerman, Focus, dan banyak media seperti Weekly dan Frankfurt Review juga mengklaim bahwa banyak masalah vaksin Tiongkok. Pemberitaan media di Jerman yang mempertanyakan efektivitas vaksin produk Tiongkok itu menunjukkan bahwa dalam persaingan vaksin, Tiongkok gagal. Di sisi lain Tiongkok menyebarkan berita palsu tentang vaksin yang dikembangkan bersama oleh BioNTech Jerman dan Pfizer AS untuk merusak kepercayaan publik terhadap vaksin ini, sehingga mengalihkan perhatian orang dari vaksin Komunis Tiongkok yang bermasalah. Der Spiegel melaporkan bahwa Tiongkok berharap menjadi yang terdepan dalam perlombaan vaksin Tiongkok, tetapi gagal mencapai keinginannya. Sekarang agen propaganda Tiongkok menyebarkan informasi palsu yang ditargetkan untuk mendistorsi persaingan. Baik Der Spiegel dan Focus percaya, Tiongkok dengan sengaja memutarbalikkan fakta dan menyebarkan berita palsu. Tiongkok terkenal akan hal ini. Tiongkok ingin menunjukkan, vaksin yang dikembangkannya itu cemerlang, tapi vaksin yang dikembangkan Barat tidak. Focus, Munich Mercury, dan banyak media lainnya mengkritik, Tiongkok mendiskreditkan vaksin lain untuk mendukung vaksin Tiongkok. Menurut sebuah laporan Prancis, banyak media Jerman percaya bahwa penyebaran informasi palsu oleh media resmi Tiongkok adalah karena vaksin yang dikembangkan oleh Tiongkok berada dalam posisi terbelakang dalam kompetisi internasional. Vaksin Tiongkok sendiri masih memiliki banyak masalah. Sementara itu Vaksin BionTech/Pfizer melampaui vaksin Tiongkok. Pada 5 Januari 2021, pakar vaksin Tiongkok Tao Lina memposting di Weibo mengatakan, ada sebanyak 73 efek samping setelah vaksinasi Sinopharm. Menurutnya itu adalah vaksin yang paling tidak aman di dunia. Tetapi postingan itu segera dihapus, dan Tao Lina kemudian meminta maaf dan mengatakan bahwa dia akan divaksinasi di Tiongkok. Selain itu, pada November tahun lalu, sebuah survei di Shanghai menunjukkan bahwa staf medis Shanghai enggan menerima vaksin Tiongkok. Diantara mereka, lebih dari 90% staf medis di RS Pengobatan Tradisional Tiongkok Distrik Yangpu menolak vaksin. Pemberitahuan survei dari Kota Zhenjiang, Provinsi Jiangsu juga menunjukkan, tidak ada pejabat pemerintah daerah yang mendaftar untuk vaksin Tiongkok. Laporan Free Asia pada 15 Desember 2020 menyebutkan, setidaknya 17 karyawan Tiongkok di Angola terinfeksi virus Tiongkok, dan sekitar 300 pekerja Tiongkok di Serbia terdiagnosis virus Tiongkok. Bagaimana dengan Vaksin Pfizer di AS sendiri? Sudah 181 kematian akibat suntikan pertama vaksin Covid-19 di AS. Demikian tulis Dr. Tenpenny, Warrior for the preservation of human DNA (https://t.me/DrTenpenny). Korban Vaksin? Kematian Dr. Gregory Michael, 56 tahun, seorang dokter Obstetri dan Ginekologi di Florida, Miami tengah diselidiki oleh otoritas kesehatan setempat, bersama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan FDA. Michael divaksinasi Covid-19 produksi Pfizer, 18 Desember 2021, di Mount Sinai Medical Center, tempat dia bekerja selama 15 tahun. Tiga hari setelah vaksinasi muncul titik-titik merah di kaki dan tangan, sehingga segera dibawa ke UGD Mount Sinai Medical Center. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa angka platelet (trombosit) dia jauh di bawah normal sehingga Michael langsung dirawat di ICU. Selama 2 minggu di ICU, dengan bantuan para ahli di seluruh negeri, dokter berusaha meningkatkan angka platelet Michael. Namun apapun yang mereka lakukan, angkanya tak bertambah. Selama proses itu Michael dikabarkan tetap sadar dan energik. Namun, beberapa hari sebelum ikhtiar operasi terakhir dilakukan Michael mengalami (hemorrhagic) stroke dan akhirnya meninggal. Pfizer mengatakan, Michael meninggal 16 hari setelah mendapat suntikan pertama vaksin Covid-19 produksi mereka. Namun, Pfizer mengatakan kasus ini “sangat tidak biasa” dan diperlukan kondisi yang parah yang bisa menyebabkan darah tidak membeku, sehingga menyebabkan pendarahan internal. “Hemorrhagic stroke adalah stroke karena pendarahan di otak, umumnya disebabkan oleh pecahnya aneurysm, bukan rendahnya angka platelet,” ujar Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB. Menurut Pfizer, hingga hari ini sudah ada lebih dari 5 juta warga AS yang divaksinasi dengan vaksinnya, dan Pfizer memantau dengan ketat seluruh reaksi yang tidak diharapkan (adverse effects) pada setiap individu yang menerima vaksin tersebut. Pfizer masih beranggapan bahwa kematian itu Tidak berkaitan langsung dengan vaksinnya. CDC berjanji akan mengevaluasi kasus tersebut dan akan memberikan update secara berkala tentang apa yang sudah diketahui dan tindakan apa yang akan dilakukan. Pada saat yang bersamaan CDC dan FDA juga tengah melacak daftar efek samping potensial melalui database elektronik nasional, yang datanya berasal dari tenaga kesehatan (nakes) dan produsen vaksin. FDA juga mengakui, umumnya Tidak Mungkin untuk menentukan apakah problem ini benar-benar dipicu vaksin hanya berdasarkan database itu. Karena, efek samping yang dilaporkan kepada FDA bisa berkaitan dengan kondisi kesehatan, obat resep yang sedang dikonsumsi, dan faktor-faktor kesehatan lainnya. Mengutip akun Facebook Arie Karimah (11 Januari 2021), sebuah laporan dikeluarkan oleh CDC Rabu lalu tentang reaksi terhadap suntikan pertama vaksin Pfizer. Hampir 2 juta dosis yang sudah diberikan hingga 23 Desember 2020: Dari hampir 2 juta dosis itu, “hanya” ada 4.393 reaksi yang tidak diharapkan (adverse reactions) yang sudah dilaporkan. Ada 175 kasus yang sedang dipelajari tentang kemungkinan reaksi alergi yang parah, yang bisa mengancam nyawa (reaksi anafilaktik), sangat jarang terjadi setelah dilakukan vaksinasi. Ditemukan 21 kasus alergi, termasuk di dalamnya 17 orang yang Memang punya riwayat alergi. Dari sini disimpulkan, reaksi alergi terhadap vaksin Pfizer termasuk “langka/jarang”, namun kesimpulan ini dibuat berdasarkan data yang masih terbatas. Juru bicara otoritas kesehatan setempat mengatakan: memang terlalu dini untuk mengatakan bahwa vaksin mempunyai efek terhadap kematian Michael. Namun satu hal yang sudah pasti: Michael berada dalam kondisi kesehatan yang baik sebelum divaksinasi. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Almarhum Pak Salikin Idolaku

by Awalil Rizky Jakarta, FNN - Pak Solikin almarhum merupakan seorang tokoh pejuang dari dusun Piyaman, Wonosari. Meninggal pada tahun 2016, foto bersama mas Saat Suharto ini diambil 3 bulan sebelumnya. Rumah almarhum dipakai untuk Kongres HMI (MPO) tahun 1988 selama seminggu, ketika pertanggungjawaban era Eggie dan terpilihnya Tamsil. Aku ketua panitia ketika itu dan Saat salah satu panitia inti. Beberapa hari setelah Kongres usai, pihak aparat rezim marah besar karena kecolongan dan telah mengawasi dengan ketat aktivitas kader HMI cabang Jogja. Aparat kemudian menghukum penduduk dewasa, laki dan perempuan, satu dusun lokasi acara, untuk apel di lapangan seharian. Semua juga diinterogasi untuk memperoleh informasi. Pak Solikin yang merupakan kepala dusun kemudian menjadi tahanan kota tidak resmi selama 3 bulan. Hampir tiap hari, almarhum wajib lapor ke Korem kala itu. Apa kata beliau, lebih dari 27 tahun kemudian, ketika berjumpa Saat dan berfoto di atas. “Pada waktu kalian selesai acara dan pamitan. Aku katakan aku relakan kalian pulang, berpencaran menjadi peluru-peluru perjuangan. Ketahuilah hingga kini harapan itu masih tetap aku panjatkan.” Farid dan keluarga besar HMI yang takziyah, diceritakan tentang berapa hal oleh bu Salikin. Perempuan yang juga luar biasa ini bercerita dengan bangga, "Bapak dipukuli sama tentara dan polisi, tapi tidak terasa, istighfar aja pokoknya.” Dilanjutkan lagi oleh beliau tentang kata-kata almarhum, “Saya bangga dengan anak2 HMI itu. Saya tak tahu apa yang mereka kerjakan selain memberi tempat. Saya hanya tahu mereka berjuang.” Sebagai tambahan informasi, rumah almarhum ini memang sering dipakai LK I dan LK II sebelum kongres itu. Setelahnya tidak bisa lagi dipergunakan, selalu ada aparat yang rutin memeriksa. Bahkan sempat beberapa lama, ada aparat yang ditempatkan di dusun tersebut untuk mengawasi selama alamrhum menjadi “tahanan kota”. Pejuang seperti beliau ini lah yang membuat harapan perbaikan negeri tidak pernah berakhir. Dari desa tanpa penerangan listrik waktu itu, secara sadar membantu anak-anak mahasiswa mengkader diri, dan itu penuh risiko karena “melawan” kebijakan rezim Soeharto. Semoga harapan beliau pada kami yang berkongres kala itu tak sia-sia. HMI (MPO) berutang besar yang hanya bisa dibayar dengan memenuhi harapannya. Beliau ini pula yang menjadi salah satu alasanku untuk tetap berupaya istiqomah. Penulis adalah Citizen Journalism.

Presiden Rasis Jika Abu Janda Tidak Diproses Tuntas

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Diproses seriuskah Abu Janda setelah ber hahaha hehehe minta maaf? Cukup sampai di sinikah hukum berbicara? Wah keterlaluan. Ini bukan negara minta maaf, apalagi minta wakaf segala. Ini negara hukum yang menempatkan semua berkedudukan sama di depan hukum. Pejabat dengan rakyat kebanyakan itu sejajar. Profesor Guru Besar dengan badut juga sama. Pengecualian hanya kepada oranag gila yang tak bisa dipidana. Tetapi kalau itu gila-gilaan, maka harus menjadi alasan untuk memperberat hukuman. Begitulah cara hukum itu berbicara, dan memandu penyelenggara negara untuk menegakakan kepada semua warga negara. Hukum tegak tanpa harus memandang siapa latar belakang orang tersebut. Hari Senin kemarin, katanya Abu Janda diperiksa Direktorat Ciber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Berita yang muncul menyatakan tidak jelas kapan Abu Janda datang ke Bareskrim. Ujug-ujug sudah ada di dalam, dan "sedang diperiksa" katanya. Laporan perbuatan pidana atas dirinya adalah "rasis" dan "penistaan agama" terhadap agama Islam. Masalah sasis dan penistaan atas agama adalah dua delik berat yang mesti dipertanggungjawabkan secara hukum. Sispapun orang . Abu Janda boleh pulang setelah dicecar dengan 50 pertanyaan oleh penyidik. Entah akan ada pemanggilan lanjutan atau tidak? Ditangkap atau tidak? Suka-suka Bareskrim saja. Masyarakat tinggal menonton, apa hasil akhirnya nanti. Toh, dalam kasus penembakan terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek), Barekrim juga terlihat suka-suka hati. Itu terlihat dari rekonstruksi perkara yang dilakukan Bareskrim terhadap kasus kilometer 50 tol Japek. Arahnya mengikuti keterangan awal yang disampaikan Kepolda Metro Jaya, Irjen Pol. Fadil Imran. Untung saja masih ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang melakukan penyelidikan. Hasilnya, walaupun dengan bebrbagai catatan yang cenderung kompromistis, namun Komans HAM yang menyatakan penembakan terhadap empat anggota FPI yang berada di dalam penguasaan polisi dari Polda Metro Jaya sebagai pelanggaran HAM. Kalau tidak, maka polisi menjadi benar selamanya, dan FPI menjadi salah selama-lamanya juga. Banyak pihak berkeyakinan Abu Janda akan kena batunya. Tetapi tidak sedikit juga yang skeptis pada keseriusan Direktorat Ciber Bareskrim memeriksa Abu Janda. Seorang jurnalis senior FNN.co.id, Asyari Usman meragukan. Asyari Usman menulis di FNN.co.id edisi Senin (01/02/2021) dengan judul “Abu Janda Ditangka? Anda Pasti Sedang Mimpi Atau Berkhayal". Judul tulisan Asyari usman ini tentu saja merujuk pada beberapa laporan terdahulu yang telah menguap begitu saja. Dari sudut manapun mengaitkan Natalius Pigai dengan "evolusi" adalah penghinaan yang sangat rasis dan keji. Soal penghinaan dapat dimasukkan dalam klacht delict (delik aduan). Tetapi soal rasisme tentu saja tidak. Demikian juga dengan "Islam arogan" mudah untuk dikualifikasikan sebagai penodaan agama. Ahok saja soal tafsir ayat dikenakan hukuman. Bila terbukti dan terpenuhi rumusan delik, serta dukungan publik yang kuat atas perilaku kriminal Abu Janda, namun tidak diproses Direktorat Ciber Bareskrim sebagaimana mestinya, Padahal Abu Janda adalah bagian dari Istana atau "influencer bayaran", kemudian istana membiarkan, maka istana tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab politiknya. Proteksi otoritatif yang layak ikut menanggung dosa. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, khususnya pada Pasal 7 mengingatkan bahwa Pemerintah wajib memberi perlindungan efektif kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis. Perlindungan yang dimaksud itu adalah dengan penegakan hukum melalui proses peradilan. Kepolisian itu di bawah Presiden. Presiden memiliki kewenangan memantau dan memerintahkan. Jika tugas yang dibawah kewenangan itu bekerja lambat atau menyimpang, dapat dan harus ditegur. Tidak bisa dengan enteng berkilah "bukan urusan saya". Ada tanggungjawab moral, politik, dan hukum disana sebagai konsekuensi dari statusnya sebagai Kepala Pemerintahan Indonesia. Tanggungjawab Presiden itu berkaitan dengan sikap pembiaran negara "by omission", yakni negara yang tidak melakukan sesuatu tindakan lebih lanjut untuk melaksanakan yang menjadi kewajiban hukumnya. Rasisme seorang Abu Janda atas Natalius Pigai tidak bisa dibiarkan oleh negara. Pemerintah harus hadir untuk memproteksi. Pembiaran menjadi kejahatan yang berkualifikasi sama bagi pemegang otoritas. Abu Janda yang tidak diproses tuntas dalam kasus rasisme, akan membawa konsekuensi pada predikat bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah seorang yang rasis. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Robohnya Buzzer “Kami”

REZIM ini tampaknya tak nyaman lagi berada di bawah lindungan buzzer. Meski telat, kesadaran rezim tentang keberadaan buzzer yang hanya bikin gaduh, layak diapresiasi. Rezim ini pernah beruntung ditopang buzzer. Di era pertama Presiden Jokowi menjabat, buzzer sangat ampuh menyerang masyarakat sipil di media sosial. Maklum buzzer telah menjelma menjadi makhluk yang serba bisa. Mereka bisa membenarkan perilaku rezim yang salah dan menyalahkan perilaku masyarakat yang benar. Mereka pintar memelintir fakta. Bicara apa saja bisa, persoalan akan "tuntas" oleh mulut buzzer. Dari kontrak Freeport sampai harga BBM dari batubara hingga smelter. Mereka fasih bicara agama, yang tak sepaham mereka labeli dengan sebutan Kadrun. Mereka lancar mendegradasi umat Islam. Memelintir korban penembakan jalan tol menjadi pelaku adalah salah satu kreasi buzzer yang masif. Barisan pendengung ini telah sukses memalingkan sebagian masyarakat Indonesia dari yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Mereka setting sesuai permintaan penguasa. Modalnya cuma gaduh dan keras. Cocok di negeri yang cinta damai yang malas meladeni orang aneh. Dengan mendengungkan kegaduhan secara kontinyu, mereka eksis dan tumbuh subur. Dan nyatanya penguasa sangat menikmatinya sejak 6 tahun yang lalu. Buzzer telah menjadi aset rezim. Buzzer terbukti nyata telah menopang kekuasaan dari guncangan hebat. Benarkah sesuatu yang menguntungkan akan dibuang begitu saja? Jika masih punya uang tentu akan tetap dipertahankan. Maklum tarifnya sangat mahal. Mungkin menunggu gerakan wakaf nasional sukses dulu. Nyatanya, seiring perjalanan waktu, buzzer, influencer, atau pendengung, kini tidak bisa lagi dianggap alat yang efektif untuk menyerang oposisi dan menjilat penguasa. Faktanya terjadi kontraproduktif di masyarakat atas ulah mereka. Apa yang disampaikan pendengung kerap menjadi serangan balik bagi pemerintah. Mereka membela rezim secara ugal-ugalan di luar nalar. Apalagi buzzer kerap melanggar tata krama, etika, agama, dan hak asasi manusia. Maklum, mereka sepertinya ada yang menjamin tidak akan disentuh aparat berwajib jika melanggar undang-undang. Tapi, kini pemerintah sudah sadar dan secara hitungan politik Jokowi tak butuh lagi corong propaganda. Ditambah lagi, Jokowi sendiri mengaku tak punya beban politik di periode kedua ini. Berakhirnya kejayaan buzzer ditandai dengan dilaporkannya gembong buzzer paling radikal, Abu Janda alias Permadi Arya ke Bareskrim Polri oleh Ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), Haris Pertama pada Jumat 29 Januari 2021. Ia dilaporkan terkait cuitannya tentang mantan Komisioner Komnas HAM asal Papua, Natalius Pigai yang dinilai berbau rasisme. Di twitternya, Abu Janda mempertanyakan Natalius Pigai yang belum selesai berevolusi. Pernyataan yang sungguh tidak beretika. Hari berikutnya DPP KNPI kembali melaporkan Abu Janda terkait penistaan agama yang menuduh Islam agama pendatang yang arogan. Dukungan terhadap Haris menjebloskan Abu Janda ke penjara terus mengalir. Sejalan dengan tekad Haris Pertama yang sudah bulat dan menyatakan siap mundur dari jabatannya jika Abu Janda tidak ditangkap polisi. Menurutnya ini merupakan pertaruhan marwah KNPI dan harapan masyarakat Indonesia tentang penegakan hukum yang adil adalah dengan ditangkapnya Abu Janda. Abu Janda tak bisa leluasa lagi berulah. Ia kini kena batunya. Mungkin Tuhan mengabulkan doa-doa orang teraniaya yang telah dilecehkan oleh Abu Janda. Saking kesalnya hati masyarakat terhadap polah Abu Janda, banyak yang enggan menyebut nama buzzer bengis ini. Masyarakat lebih suka menyebutnya dengan sebutan “beliau” atau “makhluk ini”. Makhluk yang bernama Abu Janda tak hanya menyakiti umat Islam, belakangan orang-orang yang seirama dengan Abu Janda dalam mengawal rezim ini pun, mulai jengah. Mereka mulai menjauhi. Dukungan untuk menjebloskan mahkluk ini ke penjara juga makin banyak. Tak hanya itu, fraksi-fraksi di DPR RI kecuali PDIP sepakat agar kepolisian menangkap Abu Janda. Partai Nasdem mengatakan polisi harus segera tangkap Abu Janda. Gerindra ingatkan Abu Janda jangan merasa tak tersentuh hukum. PKB mengharapkan Abu Janda diproses polisi, tidak ada toleransi bagi perusak persatuan. PAN meminta polisi segera memproses Abu Janda. PKS mengharap polisi menindaklanjuti arogansi Permadi Arya. Partai Demokrat menyatakan tidak boleh seseorang kebal hukum, termasuk Abu Janda. PPP menyatakan saatnya hukum ditegakkan ke siapa pun. Dari Ormas atau perorangan juga banyak yang berharap kepada kepolisian agar segera menangkap Abu Janda. PP Muhammadiyah mengatakan Abu Janda harus segera ditangkap yang secara jelas keliru menafsirkan Islam. Yenny Wahid mengaku tidak kenal Abu Janda, tetapi Islam mengajarkan kasih sayang sesamanya. Politisi PDIP Arteria Dahlan mengatakan buzzer sudah menjadi antek penguasa kapital dan markus tanah. Mantan menteri KKP, Susi Pudjiastuti memutus pertemanan di medsos dengan Abu Janda. Banyak meme yang beredar, tangkap Abu Janda, tapi jangan lupakan Tragedi KM 50 Tol Cikampek. Dan masih banyak lagi. Apakah Abu Janda legowo? Tentu tidak. Di medsos, ia buru-buru memberi klarifikasi dan meminta maaf kepada ormas NU. Aneh, minta maafnya bukan kepada umat Islam, Natalius Pigai, dan rakyat Papua. Ia meminta maaf hanya kepada NU. Sesuatu yang tidak tepat sasaran. Tidak hanya itu, aktivis 98 siap memberi bantuan hukum bagi Abu Janda. Bahkan menyiapkan 1000 pengacara. Mereka menilai pelaporan Permadi Arya atau Abu Janda atas tuduhan rasisme oleh KNPI, Haris Pertama tidak sesuai fakta hukum dan terkesan memanaskan suasana. Ketua Ikatan Aktivis 98 Immanuel Ebenezer mengatakan akan menggalakkan dukungan kelompok-kelompok pro-demokrasi dan pro NKRI buat Abu Janda. Immanuel menuduh Haris Pertama tidak memiliki kapasitas untuk melaporkan Abu Janda atas dugaan penghinaan terhadap Pigai. Haris diminta cukup melakukan klarifikasi saja ke Abu Janda. Para pendukung Abu Janda tidak sadar bahwa kehadiran makhluk ini tidak ada faedahnya sama sekali bagi kesejahteraan rakyat. Mereka lupa bahwa jika bicara tentang rezim ini adalah bicara tentang utang yang menggunung, pertumbuhan ekonomi yang terseok, dan kemiskinan yang terserak di setiap langkah. Loyalis buta tuli Abu Janda tak bisa melihat jika bicara tentang parlemen hari ini adalah bicara tentang banyaknya mulut-mulut bisu menyaksikan aneka kezaliman, kesewenang-wenangan, dan apatisme. Anak muda zaman dulu bilang,"Emang Gue Pikirin". Apa hebatnya Abu Janda dibela mati-matian? Pengikut Abu Janda juga gagal paham melihat kondisi bangsa ini, dimana jika bicara tentang hukum hari ini adalah bicara tentang ketidakadilan, pilih kasih, dan utak-atik pasal serta penuntasan kasus-kasus korupsi yang terseok-seok. Apa yang bisa diharapkan dalam situasi seperti ini. Rasanya semua jalan menjadi buntu, karena pemerintah yang diharapkan mampu mengatasi keadaan, malah asyik menyusun strategi baru melanggengkan kekuasaan. Kita jadi ingat pesan Habib Rizieq tentang pentingnya revolusi akhlak. Sejurus dengan Habib Rizieq, ahli filsafat Rocky Gerung lebih nyata, tegas, dan lugas menyampaikan solusinya. Saat ini kata Rocky, syarat revolusi sudah terpenuhi. Biasanya sebelum revolusi rakyat masih sekadar olok-olok ke pemerintah. Pilihan ini hanya untuk mengendapkan energi yang tiba-tiba meledak. Kata Rocky, semua syaratnya sudah ada di depan mata kita, yakni ketidakadilan sosial, disparitas, GDP menurun, pendapatan pemerintah menurun, IQ menurun, dan korupsi yang meningkat. Jadi seluruh parameter revolusi sudah terpenuhi. Satu satunya yang naik di pemerintah saat ini adalah utang dan korupsi. Semua rakyat sudah tahu kondisi buruk rezim ini, tetapi mereka hanya bisa mengekspresikan dalam bentuk olok-olok. Sri Mulyani tak luput dari bahan olok-olok. Ia tahu dan dia tidak bisa marah karena tidak tahu harus marah kepada siapa. Kalau mau marah ya marahlah pada meme. Jokowi juga pernah dibikin meme oleh Majalah Tempo. Inilah orkestrasi buruk dari kabinet ini. Demikian kesaksian Rocky Gerung di channel YouTube-nya. Apakah dengan robohnya buzzer, roboh pula rezim ini? Entahlah. Yang jelas mengandalkan mulut dan jari buzzer untuk melanggengkan kekuasaan, tidak hanya bodoh, tetapi memang tidak kapabel. Posisinya lebih rendah atau minimal sama dengan buzzer itu sendiri. (SWS).

Kudeta Partai Demokrat Adalah Salah Satu Cara Menjegal Anies Baswedan

by Asyari Usman Medan, FNN - Musuh-musuh politik Anies Bawedan akan berkerja keras untuk menjegal beliau. Sebab, tanpa survei apa pun, Anies bakal tampil sebagai kontenstan yang sangat kuat di Pilpres 2024. Inilah yang setiap hari menghantui Jokowi dan Megawati serta semua elemen yang tidak suka Anies. Tapi mereka tahu betul bahwa Anies tidak mudah disingkirkan dari Pilpes 2024. Dan sudah terbayang pula bahwa peluang Anies masuk ke Istana sangat besar. Karena itu, mereka melakukan berbagai cara untuk menghadang Gubernur DKI yang semakin mengancam itu. Yang sudah dan terus mereka lakukan adalah upaya masif dan sistematis yang bertujuan untuk menjatuhkan Anies. Menjelekkan nama beliau. Ini dilakukan oleh mesin buzzer bayaran dan media massa penjilat atau media yang pemiliknya tersandera. Ini cara halus. Cara kasar pun dilakukan. Misalnya, belum lama ini ada peristiwa pemutusan kabel mesin pompa air pencegah banjir di Jakarta. Kabelnya sengaja diputus oleh para pelaku yang tak mungkin tidk terkait dengan upaya demonisasi (penjelekan) Anies. Si penjahat pemutus kabel itu bisa jadi paham bahwa kalau mesin pompa air tak bekerja, pastilah masyarakat akan menyalahkan Anies ketika banjir datang. Cara lain menjegal Anies adalah menghambat revisi UU Pemilu. Menurut UU Pemilu yang berlaku saat ini, pilkada DKI berikutnya dilaksanakan pada 2024. Masa jabatan Anies berakhir 2022. Artinya, setelah habis masa jabatan Anies pada 2022, di DKI Jakarta akan ditunjuk pelaksana tugas (Plt) gubernur menunggu pilkada 2024. Semua faksi di DPR, kecuali PDIP, setuju UU Pemuli direvisi. Agar pilkada diselenggarakan pada 2022. Kalau revisi ini sukses, Anies bisa ikut lagi dan sangat mungkin terpilih kembali. Sehingga, beliau bisa tetap punya panggung politik sampai pilpes 2024. Periode kedua sangat penting bagi Anies untuk ikut pilpres. Dengan duduk di kursi gubernur, Anies bisa terus “berkomunikasi” dengan publik selama dua tahun menjelang pilpres 2024. Jokowi dan Megawati bertekad keras mencegah Anies dua periode. Karena itu, mereka tidak mau pilkada DKI 2022. Jadi, “confirmed” (bisa dipastikan) bahwa tujuan mereka menolak revisi UU Pemilu adalah untuk menghadang Anies ikut. pilpres 2024. Untuk menjegal Anies, tidak hanya lewat jadwal pilkada DKI. Aspek kendaraan politik dan dukungan parlementer juga mereka bidik. Artinya, parpol-parpol yang berpotensi mendukung Anies harus mulai “dikerjai” sejak sekarang. Isu kudeta Partai Demokrat (PD) yang muncul kemarin, hampir pasti terkait dengan upaya untuk menjegal Anies Baswedan. Ini bisa ditelusuri dari jejak manuver PD selama ini. Misalnya, garis politik partai Pak SBY ini di Parlemen selalu beroposisi terhadap penguasa. PD sangat logis akan bergabung ke kubu Anies di pilpres 2024 nanti. Mengapa sangat logis? Lihat saja peta yang ada sekarang. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang saat ini duduk sebagai ketua umum PD, tidak mungkin akan bersekutu dengan poros Megawati-Prabowo. AHY dan PD jauh lebih natural bergabung ke kubu Anies. Kemungkinan ini sudah dibaca oleh lawan-lawan Anies. Di sinilah benang merah antara isu PD mau dikudeta dan pilpres 2024. Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), santer diberitakan ingin mengambil alih partai ini. Kebetulan, ada sejumlah kader Demokrat yang aktif dan yang telah dipecat, yang bisa dijadikan penggerak dari dalam. Seperti dilaporkan CNNIndonesia, Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, mengatakan sejumlah pimpinan tingkat pusat dan daerah dipertemukan dengan Moeldoko. "Mereka dipertemukan langsung dengan KSP Moeldoko yang ingin mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat secara inkonstitusional untuk kepentingan pencapresan 2024," kata Herzaky kepada CNNIndonesia, Senin (1/2). Jadi, sangat jelas apa tujuan kudeta itu. Yaitu, mengacaukan pencapresan Anies di 2024. Kecil kemungkinan Moeldoko mendapatkan tiket pilpres. Tapi, kalau PD bisa dia kuasai, berarti dukungan politik untuk Anies menjadi lemah. Anies bahkan bisa digagalkan oleh Moeldoko kalau dia duduk sebagai ketua umum PD.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Raja, Kapan Engkau Sembuh?

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip cerita Sa'di, seorang penyair Persia, dalam karyanya yang diberi judul "Gulistan" . Ketika itu ada seorang Raja Yunani yang sedang sakit. Sakitnya parah, dan kabarnya susah disembuhkan. Oleh tabib, Raja diberi resep, “potong leher pemuda dan dijadikan tumbal”. Ditunjukkan oleh tabib ciri-ciri pemuda itu. Singkat cerita, pemuda itu ditemukan. Kedua orang tuanya diberi banyak yang uang, dan sangat senang. Pengadilan pun membuat keputusan bahwa untuk menyelamatkan Raja, sah nyawa pemuda dikorbankan. Lalu tiba saatnya pemuda itu dihadapkan kepada Raja, dan siap dieksekusi. Ketika di depan Raja, pemuda itu mengangkat kepalanya ke langit, lalu tersenyum. "Dalam keadaan seperti ini, kamu masih bisa tersenyum?" Tanya Raja. Pemuda itu menjawab, "orang tua yang seharusnya melindungi dan merawat anaknya, tetapi justru menjualnya demi uang. Hakim Agung mestinya menjadi tempat pengaduan, tetapi menvonisnya. Dan Raja seyogianya menjadi tempat mencari keadilan, tetapi malah sewenang-wenang. Selain Tuhan, tak ada lagi yang bisa menolongku."Kemana aku harus lari dari cengkeraman tanganmu? Aku kucari keadilan yang bertentangan dengan kekuasaanmu". Kegitu kata-kata pemuda tersebut menutup kalimatnya. Pemuda hanya berharap pertolongan Tuhan. Mendengat kata-kata pemuda itu, hati sanga Raja tersentuh. Raja menangis dan berkata, "lebih baik aku yang binasa daripada menumpahkan darah pemuda yang tidak bersalah". Lalu, Raja memeluk pemuda itu dan mencium kepalanya. Pemuda itupun diberi hadiah dan disuruh pulang. Setelah itu, Raja sembuh dari penyakitnya. Luar biasa sang Raja. Pesan cerita ini sangat patut untuk dicontoi para penguasa. Sebab jika seorang Raja ingin sembuh dari penyakitnya, maka dengarkan anak-anak muda. Peluklah dan sayangi mereka. Sebab, mereka adalah generasi masa depan yang menyelamatkan bangsa dan negara. Anak-anak muda itu sekarang ada di kampus-kampus. Bebaskan mereka dari segala bentuk intimidasi para rektor yang dikendalikan oleh SK Menteri. Anak-anak muda itu juga menyebar di berbagai media. Jangan berangus mereka dengan menyandera para pemilik media. Anak-anak muda itu juga aktif di berbagai organisasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok studi, forum-forum kajian dan pengajian. Jangan habisi mereka ketika mereka datang dan mengingatkan Sang Raja. Karena pasti ada manfaatnya anak-anak muda itu. Biarkan mereka bicara, tanpa tekanan dan rasa ketakutan. Jika mereka takut, lalu bisu dan tak bicara, maka mereka tidak akan bisa menyembuhkan Raja. Hanya mereka yang menjadi obat Raja. Kejujuran, ketulusan dan idealisme mereka adalah obat untuk kesembuhan Raja. Untuk itu, Raja harus segera disembuhkan. Jika Raja sakit, bangsa dan negara juga ikut sakit. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Inilah Musibah Besar Umat Islam

by DR. Masri Sitanggang Medan FNN - Seorang guru besar salah satu perguruan tinggi Islam (tak perlulah kusebut namanya) mengatakan, dakwah di Indonesia telah mengalami kemajuan pesat. Indikatornya, antara lain bahwa pakaian muslim sudah membudaya. Masjid yang dulu diisi para lansia kini ramai oleh kalangan muda. Peminat umroh dan haji sudah ngantri. Zakat-infaq sadaqah dan wakaf berkembang. Begitu juga dengan semangat melakukan ibadah qurban terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai salah seorang pembicara dalam seminar itu, aku tidak dalam kapasitas membanding dan oleh karenanya aku pun tidak menanggapi pemikiran sang Guru Besar itu. Aku menganggap pikiran beliau tak mewakili para intlektual Islam dan para pelaku dakwah. Soalnya, menurutku terlalu sederhana bila melihat dakwah dengan cara yang disampaikan itu. Tetapi aku agaknya keliru. Setelah beberapa waktu berlalu, kudapati pikiran itu ternyata ada di banyak benak tokoh Islam. Mereka puas dengan capaian dakwah seperti yang digambarkan sang Professor. Ini, tenu saja, mencemaskan kita yang menekuni dakwah ilallah, dan karena itu perlu diluruskan. Apalagi fakta menunjukkan, saat ini, dakwah justeru mengahadapi berbagai cabaran yang kian hari kian berat. Kekeliruan pandangan Sang Professor, dan mereka yang sealiran dengannya, bertitik-tolak dari kkurang tepat memahami hakekat Dakwah Islamiyah. Apa sesungguhnya missi dakwah, dan mana “titik” sebagai ultimate goal, yang akan dicapai? Sederhananya, sebutlah disorientasi. Kekeliruan ini bisa juga dilihat sebagai indikator masih kuatnya pengaruh pemikiran Snouck Hurgronje. Meski sudah merdeka tiga per empat abad, yang diterapkan penjajah Belanda di negeri ini masih saja berlanjut. Islam diarahkan kepada pelaksanaan ibadah-ibadah ritual. Karenanya, itulah yang dianggap tugas dakwah sekaligus ukuran keberhasilan dakwah. Tentu saja kita bersyukur. Bila Dakwah Islamiyah diibaratkan sebuah perjalanan, kita telah meningkatkan, misalnya, kecepatan kenderaan dari 60 km/jam menjadi 80 km/jam sehingga di satu saat tiba di titik yang indikasinya seperti dilukiskan oleh sang Professor. Ada peningkatan kerja. Ada kemajuan yang telah dicapai. Tetapi satu hal yang harus disadari, Dakwah Islamiyah tidak bergerak di ruang hampa. Ada banyak yang bergerak di ruang yang sama, yakni lawan-lawan dakwah, atau sebutlah anti dakwah sebagai sebuah nilai kebathilan. Anti dakwah itu bukan saja berupaya menghambat laju dakwah. Namun berusaha agar dakwah melenceng dari jalurnya. Selain itu, berupaya dan bergerak lebih cepat mendahului dakwah, sehingga atmosfer kehidupan dilingkupi sepenuhnya oleh anti dakwah (kebathilan). Yang demikian itu dimaksudkan agar pada gilirannya cahaya dakwah padam. Tertutupi oleh kebathilan. Jadi, ada perlombaan di situ. Ada kompetisi, bahkan ada pertarungan di situ. Bila menggunakan logika fisika gerak berubah beraturan, peningkatan dari 60 ke 80 km/jam itu hanya akan berarti bila dibandingkan dengan benda diam. Kita seolah bergerak di ruang hampa. Tidak ada yang bergerak. Tetapi jika kita sadari bahwa Dakwah Islamiyah adalah sebuah kompetisi, atau perlombaan pertarungan, dimana yang anti dakwah juga bergerak, maka peningkatan 20 km/jam dari 60 ke 80 km/jam menjadi tidak punya arti apa-apa, jika yang anti dakwah ternyata bergerak dari 60 km/jam menjadi 100 km/jam. Artinya, dakwah Islamiyah bergerak dengan kecepatan minus 20. Tertinggal 20 km/jam dibandingkan yang anti dakwah. Pada saat yang sama, tentu saja capaian anti dakwah (kebathilan) lebih tinggi dari Dakwah Islamiyah. Karenanya, menilai keberhasilan dakwah mestinya tidak dalam perspektif ruang hampa, tetapi di ruang pertarungan. Harus bandingkan gerakan dakwah dengan gerakan anti dakwah, sehingga jelas dimana posisi Dakwah Islamiyah? Mendahului atau didahului, menang atau kalah? Cara penilaan ini mengarahkan kita pada satu pengertian dakwah yang lebih luas dan komplek. Dakwah tidak boleh lagi dipahami sebagai mengajar dan pidato di mimbar, melainkan segala upaya untuk mengalahkan gerakan anti dakwah. Termasuk yang penting tentu saja, adalah duduk di belakang meja bergelut dengan informasi dan data tentang apa saja yang dilakukan dan direncanakan lawan serta menganalisa informasi tersebut. Apa pengaruhnya terhadap kerja dawah? Merujuk pada Alqur’an, Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam diutus untuk missi yang jelas dan tegas, yaitu li yudzhirohu ‘alad dini kullih. Untuk memenangkan (sistem) Islam di atas semua (agama) sistem tatanan kehidupan yang ada. Itulah ultimate goal Dakwah Islamiyah. Ke arah itulah gerakan dakwah ditujukan. Itu pula tolok ukur keberhasilan Dakwah Islamiyah. Ada tiga ayat yang menegaskan tujuan konkrit diutus-Nya Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam itu, yang tentu saja sekaligus menjadi missi dan orientasi dakwah kita sepanjang zaman. Attaubah (9) : 33, Alfath (48) : 28 dan As Shaf (61) : 9. Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan dien (sistem tatanan kehidupan) yang haq (yakni Islam), agar dimenangkan-Nya (Islam itu) di atas segala sistem tatanan kehidupan yang ada, sekalipun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya (membencinya.) (QS 9:33; 61:9) (Pada QS 48:28, anak kalimat wa lau karihal musyrikun (walau pun orang-orang musyrik membencinya) yang ada pada QS 9 : 33 dan 61 : 9 diganti dengan wa kafa billahi syahida (cukuplah Allah menjadi saksi atas kemenangan itu) Missi memenangkan Islam, mendzahirkan (mengeksiskan) Islam di atas semua sistem yang ada, memberi pengertian yang jelas bahwa sesungguhnya Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam diterjunkan ke arena untuk bertarung. Sebab, tidak ada kemenangan tanpa ada pertarungan. Berdakwah pada hakekatnya adalah bertarung. Dengan demikian, dunia ini sejatinya adalah sebuah arena kompetisi atau pentas pertarungan dua sistem tatanan kehidupan, atau sebutlah ideologi, Islam dan bukan Islam. Dalam hal ini, Islam wajib menang. Anak kalimat “sekalipun orang-orang musyrik membencinya” atau “dan cukuplah Allah menjadi saksi (atas kemenangan itu)” pada ayat-ayat tadi, mempertegas, adanya pertarungan itu. Mempertegas adanya upaya-upaya serius untuk melemahkan atau bahkan menghentikan gerakan dakwah. Pengulangan ayat-ayat yang senada seperti di atas, tentulah dapat dimaknai bahwa Allah bermaksud memberikan tekanan kuat akan pesan yang terkandung di dalamnya agar ummat Islam sadar. Tidak lengah, atau melupakannya barang sekejap. Begitu penting pesan bertarung untuk mememenangkan sistem Islam, yang terkadung dalam ayat itu, sehingga Allah mengulang-ulangnya agar umat Islam jangan sampai lupa. Tetapi, inilah musibah besar yang melanda ummat Islam kini. Kebanyakan mereka memang lupa, bahkan tidak sadar dan tidak merasa bahwa mereka sesungguhnya sedang bertarung. Bagaimana mungkin dapat tampil sebagai pemenang, kalau merasa bertarung saja pun tidak? Tentulah mereka tak menyiapkan diri secara mental dan fisik untuk betartarung. Tidak siap menyuarakan hal-hal fundamental tentang ke-Islaman karena khawatir akan menyinggung atau menarik perhatian negatif penganut ideologi lain. Takut kalau-kalau kaum musyrik, kafir atau munafiq akan marah dan membenci. Mereka ingin tampil sebagai orang “baik” di mata semua orang termasuk di mata penyeru kebathilan. Mereka tidak sadar sedang bertarung. Tidak sadar pula kalau sesungguhnya mereka punya lawan, dan karenanya sering-sering lawan dijadikan kawan dan kawan dijadikan lawan. Sebaliknya, kalau mendapat serangan pukulan dari penganut ideologi lain, hanya bisa mengeluh, merasa didzalimi dan diperlakukan tidak adil. Padahal dalam satu pertarungan, tinju misalnya, lawan memang menginginkan mereka KO. Maka, saksikanlah bagaimana nasib mereka di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Tidak berdaya di semua aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM. Meski mayoritas, bobot mereka tak ubahnya buih. Tidak berdaya menghadapi gerakan anti dakwah. Tidak punya mental petarung, cukup puas dengan hanya diberi gula-gula. Mungkin gula-gula itu berupa pakaian muslim yang dikenakan pejabat, terutama di masa kampanye, atau dikirimi hewan qur’ban. Kadang shalat berjemaah yang diekpose secara luas. Sebagai sebuah sistem kehidupan, Islam meliputi semua aspek kehidupan. Dalam konteks Indonesia, bisalah kita menyebutnya IPOLEKSOSBUDHANKAM. Maka pertarungan yang dimaksud antara Dakwah Islamiyah versus anti dakwah, setidaknya meliputi semua aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM itu. Pada aspek-aspek itu pula keberhasilan atau kegagalan dakwah dinilai. Sejauh mana Dakwah Islamiyah mewarnai aspek-aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM. Tentu aku tidak bermaksud melakukan evaluasi Dakwah Islamiyah secara lebih detail dalam tulisan ini. Biarlah hal itu dilakukan pemikir Islam lainnya. Yang pasti, Dakwah Islamiyah saat ini memang sedang menghadapi tantangan yang nyata besar dan berat. Persoalan besar dan mendasar internal umat Islam adalah mereka tidak merasa sedang bertarung. Mereka merasa mencukupkan dengan apa yang bisa dicapai. Meskipun itu hanya sebatas gula-gula. Ya, bagaimana mungkin Guru Besar Perguruan Tinggi Islam merasa puas mendapat gula-gula di tengah tumpukan besar harta benda berharga? Inilah musibah besar umat Islam. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Sekjen Masyumi Reborn.

Donald Trump Sang “Imam Besar”

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Di tangan Donald Trump, seorang pengusaha tanpa tradisi eksekutif dan politik dalam jejak kehidupannya, bahkan tidak punya anjing piaraan. Nmaun bangunan demokrasi di Amerika Serikat dibuat porak-poranda. Tradisi demokrasi yang menjadi kebanggaan dan andalan utama Amerika Serikat di dunia selama satu setengah abad nyaris kehilangan bentuk. Luas diketahui Trump tidak pernah mengikuti pendidikan wajib militer. Dengan alasan ada kelainan pada bagian kaki. Ada taji, semacam di tulang kakinya. Tidak meloloskannya mengkuti wajib militer untuk Perang Vietnam. Diapun tidak pernah memangku jabatan publik, semisal anggota DPR (House Of Representative) atau anggota senat atau gubernur negara bagian. Tidak ada semua itu. Trump menjadi orang pertama di Amerika yang menjadi pemimpin tertinggi, semata-mata hanya dengan tradisi pengusaha di dalam darahnya. Sebelum terjun ke dunia politik menjadi orang nomor satu di Amerika, Trump memang dikenal sebagai taipan real-estate dan pebisnis. Jaringan bisnisnya termasuk hotel, kasino, lapangan golf, resor, dan properti hunian di wilayah New York City dan beberapa negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Itulah yang membantu menjelaskan mengapa di dalam diri Trump tidak ada kepekaan politisi. Membuatnya seperti sopir mobil angkot, suka menerobos lampu merah. Doyan tabrak lari dari aturan selama 4 tahun memerintah di Amerika. Trump memainkan obsesi sebagian rakyat fanatikus kulit putih Amerika yang mayoritas Kristen. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Skenario Fatamorgana”, Dahlan Iskan (2021) menulis, “di kalangan kelompok pendukung Trump, yakni mereka yang percaya bahwa Amerika Serikat itu aslinya didirikan sebagai negara Kristen kulit putih. Yang sekarang lagi dibelokkan oleh kekuatan rahasia pemuja setan. Mereka merasa wajib berjuang mengembalikan Amerika sesuai dengan misi saat didirikannya”. Mike Pompeo sendiri saat mengakhiri jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri menegaskan, multikulturalisme bukanlah Amerika, tulis Dahlan yang mengutip cuitan Pompeo di twitternya. Pompeo melanjutkan, memang, belakangan kalau ditanya siapa Amerika itu, jawabnya adalah negara multikultural. “Tapi tokoh pendukung Trump sekelas Pompeo pun secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa Amerika adalah itu tadi”. Melansir media Amerika, Tony Firman, menulis (2019) “orang-orang Evangelis yang tak memilih Trump adalah orang bodoh. Mereka benar-benar orang bodoh yang tidak memiliki pendirian dan tidak dapat mengakui bahwa dirinya salah," ujar Robert Jeffress di radio Fox News yang dipandu oleh penyiar Todd Starnes, pada suatu hari di tahun 2019. Robert Jeffress adalah seorang pendeta Evangelis dari Gereja First Baptist, Dallas, Amerika Serikat, yang cukup tersohor. Dalam bincang-bincang di radio waktu itu, Jeffress blak-blakan menyatakan dukungan, dan tidak sungkan-sungkan mengajak jemaatnya untuk menyokong Presiden Donald Trump yang menurutnya sedang memperjuangkan nilai-nilai khas Kristen Evangelis. “Ini masalah hidup dan mati. Ini sangat hitam dan putih, kebaikan versus kejahatan”. Bagi Jeffress, “memilih Trump adalah harga mati”. Tak hanya Jeffress yang mengambil sikap demikian. Pemuka agama Kristen Evangelis lainnya seperti Jerry Falwell Jr. yang menjabat penasihat Trump, menempatkan Trump sebagai "presiden impian". Franklin Graham, CEO Billy Graham Evangelistic Association, dalam unggahannya di Facebook mengatakan Trump terpilih sebagai presiden berkat campur tangan Tuhan. Mayoritas penganut Evangelis Amerika memang sangat mengidolakan sosok Donald Trump. Saat Pilpres Amerika 2016, exit poll yang dilakukan Washington Post menunjukkan 80% Evangelis kulit putih memilih Trump sebagai presiden. Ini adalah dukungan suara Kristen Evangelis terbesar di dua dekade terakhir. Dukungan Evangelis ke lawan Trump, Hillary Clinton dari Partai Demokrat, hanya sekitar 16%. Nah, kembali ke Indonesia, seorang teman wartawan senior mengirimkan pesan Whatsapp mengatakan, apabila kasus Trump dianalogikan dengan situasi kondisi dan budaya Indonesia, maka Donald Trump pujaan Kristen Protestan Evangelis itu adalah semacam “Imam Besar” di negeri kita. “Semua fatwanya dianggap benar dan sakral. Makanya wajib dilaksanakan”. Sikap itu terlihat dalam kasus serangan pendukung Trump ke Capitol Hill. “Kendati jauh dari standar moralitas Kristen, Donald Trump terus mendapat dukungan dari Kristen Evangelis”. Sebab fatwa sesat sang “Imam Besar” Donald Trump telah mengakibatkan kerusuhan besar pada 6 Januari 2021, yang berujung pengrusakan gedung parlemen di Washington DC. Terjadi penjarahan laptop Nancy Pelosi ketua DPR dari Demokrat, musuh bebuyutan Trump. Sementara itu Jaksa Amerika yang secara agresif mengejar pelaku serangan Gedung Capitol, telah mengidentifikasi hampir 300 orang yang dicurigai terlibat. Ditengarai sebagai pendukung Trump. Meskipun ada bantahan. Tindak kekerasan tersebut telah menewaskan empat orang. Diantaranya seorang wanita dan petugas kepolisian. Catatan hitam itu sampai hari Jumat 15 Januari. Jika ditarik analogi terhadap dinamika paradoksal yang sedang terjadi di Amerika saat ini, seakan-akan dari layar televisi terpantul sebuah sebuah flash back kehidupan. Kehidupan yang secara konservatif alphabetis normatif bergulir, dari inferno (neraka) ke purgatorio (tempat pensucian) dan puncaknya di paradiso (surga), sebagaimana tertera dalam puisi Dante Alighieri. Penulis kelahiran Italia itu menulis karyanya yang berjudul "Divina Comedia” (Komedi Ilahi) hampir tujuh abad yang lalu. “Divina Comedia” adalah puisi naratif yang panjang. Puisi ini secara luas dianggap sebagai karya unggulan dalam sastra Italia. Hanya saja hari ini yang terbaca di Amerika adalah kebalikan dengan puisi Dante, alias new normal, dari paradiso bergerak mundur ke purgatorio dan balik kembali menuju ke inferno. “Kekacauan” situasi di Amerika adalah buah karya Trump. Karya yang membuat bangsa itu bagaikan sedang berada di dalam bara panas api neraka (inferno). Melahirkan perlawanan budaya yang mengerikan, yaitu homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Sebuah penjungkirbalikan pesan moral atas karya Dante Alighieri. Apapun kata dunia, toh faktanya sang “Imam Besar” telah menyeret demokrasi Amerika mundur jauh ke belakang. Kenyataan ini menurut beberapa pengamat politik luar dan dalam negeri, “pandemi” demokrasi yang dihembuskan Donald Trump ke dalam tubuh AS, membuat Joe Biden presiden terpilih AS ke 46. Pengganti Trump ini, memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk menemukan vaksin, sebagai upaya meningkatkan imunitas bangsa Amerika guna membangun kembali reruntuhan kepercayaan masyarakat dunia. “Penghinaan” terhadap keampuhan “obat kuat” Amerika yang bernama demokrasi telah tersaji. Dunia mencemooh propaganda “obat kuat” itu. Demokrasi Amerika rentan dihajar oleh masyarakat Amerika sendiri. Itu di Amerika sendiri. Oleh presiden Ameika sendiri, Donald Trump sang “Imam Besar” itu. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.