ALL CATEGORY
Kudeta Demokrat, Ada Luhut di Belakang Moeldoko?
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Pertempuran jelang Pilpres 2024 mulai menghangat. Sejumlah tokoh nasional mulai ancang-ancang untuk menjadi kontestan dalam pergelaran 5 tahunan tersebut. Setelah ramai “kampanye” Erick Tohir, Menteri BUMN, melalui sejumlah media luar, ruang terpasang di sejumlah daerah di Indonesia, terkini kabarnya Moeldoko juga menyusul bakal ikut kontestasi Pilpres 2024. Yang dilakukannya tidak main-main. Moeldoko dituding telah siapkan “kudeta” menjungkalkan Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketum Partai Demokrat. Dengan kata lain, Demokrat dilirik Moeldoko menjadi “kendaraannya” untuk maju Pilpres 2024. Meski Partai Demokrat hanya mengantungi suara lebih-kurang 8 persen pada Pemilu 2019 lalu, Demokrat yang kini menjadi “oposisi tanggung itu”, dipandang berpotensi mengirim capres pada Pilpres 2024. Selain dua nama tokoh nasional di atas, nama Anies Baswedan, Sri Mulyani, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, AHY, dan bahkan nama Mensos Tri Rismaharini, muncul juga di tengah masyarakat sebagai kandidat capres dan cawapres terkini. Di belakang mereka, masih ada nama Capres dan Cawapres 2019 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Harus diakui, meski gelaran Pilpres 2024 masih berselang lebih-kurang 3 tahun lagi, situasi politik mulai memanas. “Konflik” Demokrat dengan Moeldoko diyakini akan semakin panas. Mungkin saja akan berimbas ke parpol-parpol lain. Jika para gajah sudah mulai bertarung seperti sekarang, siapa yang akan menjadi korban? Apakah pertarungan para gajah tersebut akan menguntungkan atau demi kepentingan rakyat? Hanya sang waktu yang bisa memberikan jawaban! Terungkapnya “rencana kudeta” Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), itu disampaikan AHY sendiri dalam jumpa pers sebelumnya. AHY memang tak menyebutkan nama, karena mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan menunggu proses konfirmasi. Pasca konferensi pers AHY, berkembang spekulasi, siapa sosok pejabat pemerintahan yang dimaksud AHY ini. Selasa malam (2/2/2021), KSP Moeldoko sendiri memberikan penjelasan langsung yang bisa disaksikan oleh rakyat. “Respon beliau sudah terprediksi. Nervous, gugup, dilihat dari gerakan tangan dan beberapa kali KSP Moeldoko menyebut gua gue gue,” ungkap Kepala Badan Komunikasi DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Moeldoko menganggap dirinya dikaitkan dalam gerakan ini, karena berdasarkan foto-foto belaka. Padahal, faktanya tidak demikian. “Untuk itu, atas nama Partai Demokrat, saya perlu memberikan tanggapan atas pernyataan KSP Moeldoko,” lanjutnya. Pertama, pertemuan antara KSP Moeldoko dan beberapa kader Demokrat, tidak dilakukan di rumah, melainkan di luar rumah. Kedua, kedatangan kader Demokrat dari daerah ke Jakarta, itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis oleh pelaku gerakan. Menurut Herzaky, ada yang mengundang, membiayai tiket pesawat, menjemput di bandara, membiayai penginapan, termasuk konsumsi. Ketiga, Jika Moeldoko mengatakan konteks pembicaraan nggak dimengerti, sungguh sulit dipahami.” Berdasarkan keterangan yang dimiliki Demokrat, pembahasan utama yang disampaikan pelaku gerakan dalam pertemuan itu adalah rencana mengusung KSP Moeldoko sebagai calon Presiden 2024. “Untuk memuluskan rencana tersebut, para pelaku gerakan mempersiapkan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat, melalui proses Kongres Luar Biasa (KLB),” lanjut Herzaky Mahendra. Keempat, proses pengiriman surat Ketum Demokrat AHY kepada Presiden Joko Widodo merupakan buah dari komitmen dan kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk saling menjaga hubungan baik dan komunikasi yang lancar. Komitmen tersebut dilakukan juga untuk menghentikan tindakan orang-orang yang gemar mencatut dan mengatasnamakan Presiden, maupun nama Ketum Partai Demokrat, dengan tujuan yang tidak baik dan mengadu domba. Mereka, kata Herzaky, berencana menjemput KSP Moeldoko sebagaimana menjemput SBY pada 2004 sebagai calon presiden. Lalu ada pelaku gerakan bernama Yus Sudarso menyatakan, “apa salahnya kami melakukan ini? Salahnya adalah upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang sah melalui Kongres Luar Biasa,” tegas Herzaky Mahendra. Dulu, hal itu tidak ada. Bapak SBY duduk sebagai Dewan Pembina,” lanjutnya. Jadi, kalau KSP Moeldoko mau menjadi Capres melalui Partai Demokrat, ya bikin KTA dulu sebagai kader Partai Demokrat. Jangan tiba-tiba ingin menjadi Ketua Umum, apalagi melalui KLB. Itu saja sudah salah besar. Itu jelas inkonstitusional. Pak Moeldoko itu siapa? Pak Moeldoko itu KSP, stafnya Presiden. Tugasnya sekarang membantu Presiden menyelesaikan pandemi dan krisis ekonomi. “Kasihan rakyat, lagi pandemi kok malah memikirkan pencapresan. Kasihan Presiden yang membutuhkan bantuan untuk menangani krisis pandemi dan ekonomi,” ujarnya. Sebut Luhut Dalam tulisan sebelumnya, saya menulis, sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis”. Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil, sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena sudah lemah betul di bawah kendali AHY. Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa “RI-1 dan RI-2” pilihannya. Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya. Padahal ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik. Siapa Jenderal Pebisnis yang saya sebut dalam tulisan sebelumnya itu? Sekarang mulai terbuka. Sebelumnya, Moeldoko menyebut nama Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Moeldoko mengatakan bahwa Luhut juga pernah bertemu dengan sejumlah kader Demokrat, sama seperti dirinya. Menanggapi hal itu, filsuf politik Rocky Gerung memaparkan, terdapat dua kemungkinan yang terjadi. “Ya dua soal sebetulnya. Ingin nyari patron supaya bebannya enggak terlalu berat, maka sebagian dilimpahkan kepada Pak Luhut,” katanya di kanal YouTube Roger Official seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com pada Kamis, 4 Februari 2021. Akan tetapi Roger tidak melihat Luhut melibatkan diri di dalam proyek kudeta Partai Demokrat. “Mungkin Pak Luhut punya pengetahuan tentang apa yang terjadi di internal Partai Demokrat,” ujar dia Tetapi ini, AHY langsung bikin konferensi pers. Artinya, ada skala persoalan yang luar biasa besar itu,” lanjut Roger yang akademisi itu. Roger memperkirakan saat ini sangat mungkin 10 persen kader Partai Demokrat di tingkat DPC sudah dapat sejumlah uang. Jadi, mungkin problem-problem itu yang dikhawatirkan oleh Partai Demokrat, karena itu dibeberkan. Menuru Roger, Moeldoko berupaya untuk mencari pelindung. Tetapi bahwa hal kurang tepat. “Itu peristiwa yang lain dengan maksud yang lain. Karena itu jangan terlalu banyak cari alibi, Pak Moeldoko. Nanti kejebak. Sementara Luhut itu dijadikan jembatan untuk memberi tahu pada Presiden Joko Widodo bahwa tidak sedang terjadi apa-apa. Tidak hanya Moeldoko. Konon, Luhut juga pernah didatangi mantan Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang sama-sama ingin Kudeta Demokrat. Presiden Jokowi sendiri, kabarnya, ngamuk setelah baca surat AHY yang dikirimkan kepadanya. Ia memanggil “Kakak Pembina”. Jokowi marah habis-habisan. “Segera beresin semua kalau nggak mau dicopot”, begitu kata Jokowi saking marahnya, mengutip akun Twitter@DalamIstana. “Kakak Pembina” yang dimaksud selama ini tidak lain adalah KSP Moeldoko. Apakah ini sinyal bahwa istana pecah? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pemilu Serentak 2024, Berapa Lagi Mau Terbunuh?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Pertanyaan aneh tetapi rasional berdasarkan pengalaman empirik. Pemilu 2019 telah tewas lebih dari 800-an petugas secara misterius tanpa penyelidikan seksama. Ditambah saat aksi unjuk rasa 21-22 Mei. Saat itu Pemilu digabung antara Pemilihan Legislatif (Pileg)dan Pemilihan Presiden (Pilpres) dalam satu hari. Nah kini ada beberapa partai politik bersikukuh dan ngotot untuk menyelenggarakan Pemilu serentak. Bukan saja Pileg dengan Pilpres yang disatukan. Tetapi juga bersama dengan Pilkada 34 Provinsi dan 416 Kabupeten serta 98 Kota. Jadi, total Pilkada pada 2024 nanti ada 558 daerah. Terbayang bagaimana tingkat kesulitan dan "kelelahan" yang bakal dialami para penyelenggara. Belum lagi soal kecurangan. Waktu 2019 lalu, rakyat perhatian tersedot ke Pemilu Pilpres sehingga perhatian dan pengawasan pada Pileg menjadi kurang. Bahkan boleh dibilang tidak ada yang peduli dengan Pilkada. Sehingga abai terhadap kecurangan yang mungkin saja masif pada Pileg. Bukan rahasia lagi jika money politics marak terjadi pada setiap pelaksanaan Pileg. Karena hampir semua pasang mata masyarakat tertutup oleh magnet kompetisi dua sampai tiga pasang kontestan Pilpres. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pilpres selalu saja yang paling menarik perhatian masyarakat. Kenyataan ini membuat ruang kecuarangan para Pelig dan Pilkada menjadi sangat masif. Partai Politik memang pragmatis dan "koor" dengan suara mayoritas setelah Presiden sebagai dirijen melalui Kepala Staf Kantor Presidenan (KSP) Moeldoko memberi arah kecenderungan kepada Pilkada 2024. Tak peduli dengan garuk-garuk Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bingung dan bersiap-siap dengan risiko yang lebih parah dari Pemilu tahun 2019. Ketua KPU pasti sudah mulai memperkirakan berapa banyak jumlah anak buahnya yang menjadi Kalompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal karena kelelahan. Petugas yang terbunuh oleh "kelelahan" kelak mungkin lebih banyak lagi. Lalu siapa yang harus tanggung jawab? Apakah bakal didiamkan begitu saja, seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu. Karenanya DPR RI dalam memutuskan bahwa Pilkada serentak harus tetap dilaksanakan tahun 2024, sebaiknya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, evaluasi total penyelenggaraan Pemilu gabungan Pileg dan Pilpres tahun 2019, dan harus ada model pelaksanaan penyelenggaraan yang baru agar lebih terjamin keamanan khususnya para petugas. Kedua, penyelidikan ulang kasus terbunuh akibat "kelelahan". Meninggalnya para petugas Pemilu karena peristiwa '"pelanggaran HAM" ini dinilai janggal. Baru terjadi dalam sejarah Pemilu di negara Republik Indonesia. Belum pernah terjada pada pemuli-pemuli sebelumnya. Anehnya, pemerintah dan KPU tidak melakukan penyelidikan khusus. Ketiga, baik KPK, Pemilu Watch, serta aparat lebih seksama mempersiapkan pengawasan Pemilu serentak "aneh" dan "dipaksakan" tahun 2024 tersebut. Karena politik uang, kecurangan, serta "virus sabotase” sangat mungkin terjadi di tengah kebingungan KPU dan penyelenggara Pemilu Daerah. Konsekwensinya pengawasan tidak boleh diperlonggar. Perlu penegasan pula bahwa Pileg, Pilpres, dan Pilkada yang dilakukan serentak tahun 2024 sebenarnya bukanlah pelaksanaan dari asas demokrasi (kedaulatan rakyat). Melainkan kondisi ini sebagai sebuah praktek dari mobokrasi (kedaulatan gerombolan). Bagaimana tidak, pemaksaan kehendak politik (political violence) lebih dikedepankan daripada kebijakan politik (political wisdom). Partai Politik berjuang melalui upaya politik dengan "memakan" kelompok politik yang lemah. Bila perlu dengan cara-cara pengeroyokan sekalipun. Merujuk pada Pemilu 2019 yang lalu, wajar bila timbul pertanyaan serius yang muncul dalam benak masyarakat, apakah Pemilu 2024 akan berjalan dengan jujur, adil, dan aman? Berapa banyak lagi anggota KPPS dan Pengawasan yang akan terbunuh akibat kelelahan? Sekibat partai-partai politik yang hanya memikirkan kepentingan partainya sendiri ? Paradigma politik kontemporer yang sama sekali tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian 1)
by Prof. Dr. OK Saidin SH. M.Hum Medan, FNN - Pada 28 Januari 2021, Dr Muryanto Amin SSos MSi resmi dilantik oleh Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi Rektor periode 2021-2026, melalui sidang secara Virtual. Pelantikan berlangsung di aula Kemendikbud di Jakarta secara daring dan luring, diiringi dengan pembacaan Surat Keputusan MWA, pengambilan sumpah jabatan dan pengalungan tanda jabatan yang dilakukan oleh Nizam (Dirjen Pendidikan Tinggi) mewakili Mentdikbud. Beberapa minggu sebelum pelantikan, menyeruak isu pelanggaran etik yang dilakukan oleh rektor Periode 2021-2026. Banyak pandangan dan pendapat yang bergulir. Saya sendiri “puasa bicara” baik di media cetak maupun di media on line. Alasannya, karena saya sendiri adalalah salah seorang anggota yang duduk di Komite Etik (KE) USU, yang memeriksa kasus ini. Saya tak mau bicara. Khawatir saya menjadi tidak obyektif. Dan kalau saya memberikan pendapat, pandangan saya bisa bias dan mempengaruhi anggota KE yang lain dalam mengambil keputusan. Hari ini, setelah pelantikan usai, apalagi setelah terbit Keputusan Mendikbud No. 6169/MPK.A/KP/2021 tentang Pencabutan Keputusan Rektor USU No. 82/UN5.1.2/SK/KPM/2021, saya terpanggil juga untuk bersuara. Alasannya, karena saya merasa terusik dengan Surat Keputusan Menteri itu. Saya adalah orang yang ikut bertanggung jawab dunia dan akhirat atas keputusan KE yang menjadi dasar Rektor menerbitkan keputusannya. Saya mengambil porsi untuk bicara dalam kapasitas saya sebagai guru besar Ilmu Hukum USU yang mendalami kajian Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) di samping posisi saya sebagai Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik USU (Periode Tahun 2020-2025) dan sebagai Anggota KE yang memeriksa kasus dugaan plagiarisme Dr Muryanto Amin, SSos. Banyak sudah pandangan yang bergulir seputar isu plagiarisme yang dialamatkan kepada Dr Muryanto Amin, SSos MSi. Sebagian menyatakan tidak ada pelanggaran hukum dalam kasus itu, seperti yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Nizam. Walaupun beliau mengakui adanya plagiasi atas karya sendiri dan melakukan penerbitan ulang (www,tribunenews-com, 28/1/2021). Alasan yang dikemukakan oleh Dirjen Prof Nizam adalah karena term (istilah) tentang self-plagiarism (plagiasi diri sendiri atau swaplagiasi) tak dikenal dalam Permendiknas No. 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Yang ada adalah term plagiat, yakni mengambil karya orang lain yang diakui sebagai karyanya dengan tidak menyebutkan sumber secara memadai. Dirjen Dikti sendiri menyampaikan pandangannya setelah meminta Tim Independen dari UGM, UNDIP dan UNNES yang dibentuknya. Tetapi, hasil penelusuran Tim Independen itu tak pernah disampaikan kepada MWA hingga saat pelantikan. Pandangan yang sama dikemukanan oleh Prof Dr Bismar Nasution, SH MH. (www.rmolsumut-id) dan juga Prof Dr Tan Kamello, SH MS (m.mediaindonesia-com). Dua guru besar USU ini mengatakan tak ada hukum positif yang dilanggar. Pandangan lain masih dari kalangan guru besar USU, yakni Prof Dr Alvi Syahrin, SH MS yang mengatakan bahwa SK penjatuhan sanksi oleh Rektor USU tak cukup beralasan. Sebab, terdapat kesalahan prosedural dan administratif. Beliau juga mengatakan pembentukan Tim Penelusuran Melanggar Statuta USU (Tribun Medan-com, 21-01-2021). Ragam pendapat itu tentu harus kita hormati, semua punya argumentasinya sendiri-sendiri. Bahwa pelanggaran hukum berbeda dengan pelanggaran etik, semua kita sepakat. Begitu juga adab, moral, akhlak, kepatutan, kebiasaan adalah sumber etik; semua ahli hukum sepakat. Akan tetapi kalau mau dijadikan sebagai peraturan yang mengikat, etik itu harus dituangkan dalam bentuk norma ertik. Di sinilah perdebatannya. Karena ada ahli yang berpedapat etika dan moral tak perlu harus tertulis. Misalnya, larangan buang angin di meja makan tak perlu dituliskan, walaupun kalau ada orang buang angin saat sedang makan tak ada sanksi hukumnya. Pelanggaran Etik. Hukum dan Etik adalah dua hal ang berbeda. Kalau pelanggaran hukum terhadap pelaku plagiat akan diancam melalui UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai tindak pidana, sedangkan pelanggaran etik akan dijatuhi sanksi etik. Perbedaan dalam menafsirkan norma itu juga yang membuat pihak Kementerian hanya memandang perbuatan plagiat melalui tafsir Pasal 1 Permendiknas No. 17/2010 tentang pencegahan plagiat di Perguruan Tinggi. Walaupun Pasal 2 mengatakan bahwa lingkup dan pelaku palgiat itu tidak dibatasi secara limitatif. Lengkapnya, redaksi Pasal 2 ayat (1) itu diawali dari kata-kata, "Plagiat meliputi tetapi tidak terbatas pada: a,b,c,d dan e". Artinya ada pelaku dan lingkup yang masuk dalam kategori perbuatan plagiat yang lain, yang dimaksud oleh Permendiknas No. 17/2010 itu. Peluang untuk adanya bentuk plagiasi yang lain selain yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) dibuka oleh Pasal 2 ayat (1). Pernyataan terakhir ini pun menimbulkan perdebatan lagi. Karena Pasal 2 ayat (1) itu harus pula dibaca dalam konteks pasal 1 angka (1). Kalaupun ada perbuatan plagiat di luar apa yang dinyatakan oleh Pasal 2 ayat (1) harus juga dimaksudkan mengambil karya orang lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya. Di sinilah ranah perdebatannya. Terasalah bahwa memaknai norma hukum sesui dengan maksud pembuatnya tidaklah mudah. Itulah sebabnya membaca norma hukum itu harus disertai dengan penjelasannya dan bahkan memory van toelichting-nya. Kalau dalam hukum Islam harus dilihat ‘asbabun nuzul’-nya. Kasus self-plagiarism , double publication, salami publication atau publikasi ganda tidaklah terang benderang diatur dalam dalam Permendiknas 17/2010 dan bukan pula masuk dalam kualifikasi pelanggaran hukum. Akan tetapi, walaupun perbuatan self-plagiarism, double publication, salami publication atau publikasi ganda tida ada diatur dalam Permendiknas ini, norma tentang itu dapat ditemukan dalam praktek sehari-hari sebagai kebiasaan dan diterima sebagai etika dalam publikasi ilmiah. Bahkan telah dinormakan dalam Peraturan Kepala LIPI No. 5 Tahun 2014 tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 1385. Oleh karena itu semua kita yang berkecimpung di dunia akademik, khususnya dosen dan mahasiswa, harus memahami bahwa Permendiknas 17/2010 itu menyangkut tentang norma dan etika penulisan. Sedangkan Perkep LIPI No. 5/2014 itu menyangkut norma dan etika publikasi. Ini adalah dua hal yang berbeda. Inilah yang hendaknya harus dipahami secara bersama. Keduanya mengatur tentang etika ilmiah akademik. Yang satunya tentang etika penulisan, yang satu lagi tentang etika publikasi. Dalam kasus Dr Muryanto Amin SSos MSi, sekalipun tak dapat disebut pelanggaran etika penulisan yang diatur Permendiknas 17/2010, tetapi perbuatan itu termasuk pelanggaran etika publikasi yang ditaur Perkep LIPI 5/2014. Seharusnya tidak ada perdebatan di sini. Tetapi mengapa persoalannya menjadi menyeruak? Itu karena tidak semua kita bisa melihat dan mendudukkan persoalan ini secara jernih. Banyak di antara kita justeru berupaya untuk mencari "pembenaran" padahal yang dituntut dalam dunia akademik adalah "kebenaran". Ada aturan yang membatasi pengarang atau penulis dalam menulis, dan ada pula batasan yang diberikan kepada pengarang dalam hal mempublikasikan karya ciptanya. Etika untuk tidak melakukan perbuatan self-plagiarism, double publication, salami publication kemudian di terima oleh seluruh pengelola jurnal sebagai etika publikasi. Yang tidak hanya diikuti oleh pengelola jurnal di USU sendiri, tetapi juga seluruh perguruan tiunggi di Indonesia. Bahkan pihak kementerianpun menolak setiap usulan kenaikan pangkat para dosen yang dalam pengusulannya menggunakan artikel publikasi ganda atau double publication atau salami publication yang termasuk pada kategori self-plagiarism. Penolakan oleh Kementerrian itu bukan karena melanggar etika penulisan ilmiah, tetapi melanggar etika publikasi ilmiah. [Bersambung] Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektuyal Indonesia (Periode Tahun 2017-2020 dan 2020-2023) dan Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik Universitas Sumatera Utara (Periode Tahun 2020-2025).
Ancaman Virus Nipah China, Bisa Lebih Dahsyat dari Covid-19
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Belum tuntas atasi Virus Corona atau Covid-19, China mulai dilanda Virus Nipah dengan tingkat kematian sekitar 75 persen bisa menjadi pandemi selanjutnya. Demikian laporan Access to Medicine Foundation dilansir dari Al Arabiya, Minggu (31/1/2021). Melansir Kompas.com, Minggu (31/01/2021, 07:27 WIB), wabah virus nipah ini berpotensi menjadi pandemi besar dengan perusahaan farmasi raksasa tidak siap karena saat ini masih fokus menangani Covid-19. “Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar. Nipah (ini) bisa merebak kapan saja. Pandemi berikutnya bisa menjadi infeksi yang tahan terhadap obat,” ungkap The Guardian mengutip Jayasree K Iyer, Direktur Eksekutif Access to Medicine Foundation yang berbasis di Belanda. Virus ini langka dan disebarkan oleh kelelawar buah, yang dapat menyebabkan gejala mirip flu dan kerusakan otak. Virus nipah bisa menyebabkan ensefalitis atau radang otak, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Perawatan yang biasa dilakukan adalah perawatan suportif yang mencegah penyakit sedini mungin berkembang. Wabah virus nipah di negara bagian selatan India, Kerala pada 2018 silam merenggut 17 nyawa. Negara-negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab saat itu melarang impor buah dan sayuran beku juga olahan dari Kerala. Ketika itu, para otoritas kesehatan meyakini bahwa wabah nipah di Bangladesh dan India mungkin terkait dengan konsumsi jus kurma. Tak hanya tentang virus nipah saja yang dirilis, laporan indeks 2021 dari Access to Medicine juga menunjukkan tindakan dari 20 perusahaan farmasi terkemuka di dunia untuk membuat obat, vaksin, dan diagnostik lebih mudah diakses. Ditemukan bahwa penelitian dan pengembangan untuk Covid-19 telah meningkat dalam setahun terakhir, tetapi risiko pandemi lainnya sejauh ini belum tertangani. Menurut Iyer, indeks tersebut disiapkan selama krisis kesehatan masyarakat terburuk dalam satu abad yang menunjukkan ketidaksetaraan parah akan akses ke obat-obatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menurutnya, obat-obatan bisa dicapai semua kalangan jika para pemimpin perusahaan besar bertekad untuk memastikan bahwa orang yang tinggal di negara miskin dan menengah tidak berada di paling akhir. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI sendiri telah mengimbau kepada para pihak terkait untuk mewaspadai adanya potensi penyebaran virus nipah di Indonesia. “Indonesia harus selalu waspada terhadap potensi penularan virus nipah dari ternak babi di Malaysia melalui kelelawar pemakan buah,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes dikutip dari Antara, Rabu (27/1/2021). Virus Nipah adalah virus yang ditemukan di kawasan Asia. Ia ditemukan oleh pemburu virus asal Thailand, Supaporn Wacharapluesadee. Mengutip BBC (12/1/2021), Wacharapluesadee adalah peneliti di Chulalongkorn University, Bangkok. Ia telah mengambil ribuan sampel kelelawar dan mendeteksi banyak jenis virus. Diantaranya jenis virus corona yang banyak ia temukan, ada jenis virus lain yang berhasil ia dapatkan, itu adalah virus nipah yang dapat menular kepada manusia dan belum ada vaksinnya. Sejauh ini virus nipah belum pernah dilaporkan ada di Indonesia. Meskipun pada 1999 wabah virus nipah pernah merebak di Malaysia. Virus nipah ketika itu menyebar di Semenanjung Malaysia pada ternak babi dan manusia. Didik mengatakan, Indonesia harus selalu waspada penyebaran virus dari babi di Malaysia melalui kelelawar pemakan buah. Hal ini karena dari sejumlah penelitian kelelawar buah bergerak teratur dari Semenanjung Malaysia ke Sumatera Utara. “Sehingga ada kemungkinan penyebaran virus nipah melalui kelelawar atau perdagangan babi yang ilegal dari Malaysia ke Indonesia, “ kata Didik. Ia mengatakan pemerintah telah melakukan pengetatan ekspor dan impor komoditas babi antara Indonesia dan Malaysia. “Menurut Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia, pemerintah Indonesia hanya menerima kiriman yang disertai dengan sertifikat kesehatan dan dikeluarkan oleh Departemen Layanan Hewan Malaysia untuk menyatakan bahwa babi yang diekspor sehat," kata dia. Mengutip Kompas.com, Selasa (26/1/2021) virus nipah oleh WHO dimasukkan dalam daftar panjang patogen yang dapat menyebabkan darurat kesehatan masyarakat. Virus nipah adalah salah satu virus yang belum tersedia/ada vaksinnya. Ada sejumlah alasan yang membuat virus nipah begitu mengancam, yakni: Periode inkubasi yang lama dilaporkan setiap kasus perlu waktu hingga 45 hari, sehingga ada kesempatan bagi inang yang terinfeksi, tidak menyadari bahwa mereka sakit sehingga bisa menyebarkan. Dapat menginfeksi banyak jenis hewan yang makin menambah kemungkinan penyebarannya. Dapat menular baik langsung maupun konsumsi makanan yang terkontaminasi. Virus nipah berasal dari inang kelelawar buah. Virus ini disingkat dengan nama NiV dan bisa menyebabkan kematian di antara 40-75 persen orang yang terinfeksi. Sejumlah gejala bagi mereka yang terinfeksi, yakni infeksi saluran pernapasan akut, kejang, ensefalitis fatal, hingga koma dalam waktu 24-48 jam. Adapun gejala umumnya yaitu seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, muntah, dan sakit tenggorokan. Tinjauan Mikrobioma Potensi pandemi Virus Nipah tersebut bisa juga dilihat dari sudut pandang yang “berbeda”. Hal ini bisa dimaklumi. Karena ketika ada species atau strain tertentu yang dominan di alam ini, akan memicu species/strain-strain lainnya untuk mengalami regeneratif. Hal itu dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensinya di alam ini. Sehingga mereka jumlahnya beratus/ribu kali lipat, dan akhirnya menyebar. Virus atau bakteri-bakteri yang ukurannya kecil-kecil tersebut untuk mampu terbang jauh itu, sesungguhnya membutuhkan bakteri inang sebagai tumpangan mereka, sehingga tidak heran kalau kasus-kasus pandemi tertentu itu, selalu diikuti dengan scunder infeksi yang serius. Bisa jadi, dan sangat mungkin, bakteri inangnyalah yang memicu terjadinya scunder infeksi. Dengan selalu menjaga keseimbangan mikrobioma dalam tubuh kita membuat tubuh kita ini tidak mudah terjangkit penyakit. Selalu mengkonsumsi produk berbasis mikro bakteri sebagai bentuk ikhtiarnya. Makanya, konsep produk berbasis mikroba ini tidak membunuh mereka, tetapi dengan 2 cara, yaitu: merusak protein media regeneratifnya dan merusak struktur sel virus/bakterinya. Selain itu, secara alamiah, bakteri-bakteri komunitas itu akan melakukan koloni atas keberadaan bakteri/virus, untuk selanjutnya dijatuhkan ke tanah, dan kembali ke alam. Ada mekanisme lain, yakni menggunakan enzim-enzim buatannya bakteri-bakteri komunitas. Berdasarkan riset, diyakini terdapat ribuan enzim yang ada di semua produk berbasis mikroba. Tentu saja, mekanisme menggunakan enzim-enzim tadi adalah cara terakhir yang dilakukannya. Mekanisme enzim-enzimnya merusak protein media regeneratifnya, atau memotong sel-sel virus. Cara ini disebut lebih alami, karena yang digunakan multi senyawa, insya’ Allah lebih efektif, dan potensi mutasinya menjadi lebih rendah. Salah satu dasar pemikirannya, enzim yang kompleks itu lebih berdaya guna dibanding enzim tunggal. Serta, berdasarkan hasil-hasil riset, pemakaian enzim kompleks, tidak berpotensi menimbulkan efek samping. Jadi, pemakaian enzim komplek dari hasil produk berbasis mikroba ini, lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan pemakaian berbagai produk vaksin! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Mungkinkah Presiden Jokowi Dikudeta?
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - DI tengah ramainya persekongkolan politik untuk mengkudeta Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono oleh Jend TNI (Purn) Moeldoko Cs, terbesit dalam benak saya tentang kemungkinan kudeta terhadap Presiden Joko Widodo. Apakah itu mungkin terjadi ? Kalau pertanyaannya seperti judul tulisan ini, maka kemungkinannya bisa saja terjadi. Apalagi beberapa hari lalu, di Myanmar juga telah terjadi kudeta militer atas penguasa sipil di negeri pagoda itu. Kanselir Negara Aung Saan Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditangkap. Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing diberi wewenang penuh memegang kendali militer oleh Penjabat Presiden Myint Swe. Amerika Serikat yang selama ini menjadi pendukung Suu Kyi kecewa atas kudeta ini. Sebaliknya warga muslim Rohingnya yang diusir rezim Aung San Suu Kyi, menyambut gembira peristiwa kudeta tersebut. Berita mengenai penangkapan Suu Kyi itu tersebar dengan cepat di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak di Bangladesh, di mana sekitar sejuta pengungsi Rohingya tinggal. "Dia penyebab semua penderitaan kami," kata tokoh masyarakat Farid Ullah seperti dilansir kantor berita AFP dari Kutupalong -- kamp pengungsi terbesar di dunia. Di era Orde Baru, setiap gejolak politik yang terjadi di negara tetangga Filipina selalu menjadi bahan analisa yang menarik untuk dikaji. Ini karena Presiden Filipina waktu itu Ferdinand Marcos dianggap memiliki kemiripan dengan Presiden Soeharto. Sama dengan Soeharto, Marcos merupakan Presiden terlama di Filipina. Dia menjadi Presiden Filipina sejak tàhun 1965 dan berakhir pada tàhun 1986 setelah digulingkan melalui kekuatan People Power. Nah ketika Marcos digulingkan oleh Corazon Aquino, seorang politisi wanita Filipina tàhun 1986, secara tidak langsung peristiwa politik tersebut telah menginspirasi kalangan sipil di Indonesia. Gerakan People Power di Filipina waktu itu telah membangkitkan semangat warga sipil di Tanah Air yang kemudian akhirnya terwujud dalam Gerakan Reformasi yang terjadi tàhun 1998. Seperti kita ketahui, pada bulan Mei 1998, Soeharto akhirnya bisa ditumbangkan setelah menjadi presiden selama 32 tàhun. Banyak analis politik menyebutkan, Soeharto waktu itu lengser dari kursi presiden bukan sepenuhnya sebagai gerakan people power seperti di Filipina. Proses suksesi di Indonesia waktu itu kental dengan gerakan politik yang awalnya dipicu oleh mundurnya sejumlah menteri kepercayaan Soeharto. Sejarah telah mencatat, Ginandjar Kartasasmita merupakan sosok menteri yang memelopori gerakan politik di jajaran Kabinet Pembangunan yang melawan kekuasaan Soeharto. Kendati sebelumnya dia dikenal dekat dengan Soeharto, tapi toh Ginandjar bersama sejumlah menteri lainnya memilih melawan Soeharto dengan cara ramai-ramai mengundurkan diri dari kabinet. Setelah itu, bola politik bergulir ke lembaga MPR-RI. Ketika itu Ketua MPR Harmoko yang sebelumnya dikenal sebagai loyalis Soeharto saat puluhan tahun menjadi Menteri Penerangan , akhirnya juga ikut mencabut mandat yang telah diberikan MPR kepada Soeharto. Jadi, dengan kata lain, lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan bukan sepenuhnya karena gelombang aksi mahasiswa. Aksi demo mahasiswa hanya sekedar faktor yang ikut memanaskan situasi politik waktu itu. *Pergantian Panglima TNI* Pertanyaannya, apakah pergantian presiden sekarang bisa dilakukan melalui proses politik seperti yang terjadi tàhun 1998 ? Secara de facto, saat ini sulit mengharapkan pergantian presiden melalui gerakan atau proses politik. Sebab saat ini hampir semua kekuatan parpol sudah dapat dikendalikan rezim oligarki. Memang peran Presiden Jokowi tidak seperti Soeharto yang waktu itu mampu mengontrol semua kekuatan politik yang paling penting yakni ABRI, Birokrasi, dan Golkar (ABG). Namun, kini Presiden Jokowi dikendalikan oleh kekuatan pemilik modal (konglomerat) dan oligarki Parpol. PDIP sebagai partai penguasa, selain mampu mengatur Presiden Jokowi juga bisa "mengatur" suara parpol lain di parlemen kecuali PKS. Dalam contoh sederhana, betapapun besarnya keinginan Presiden Jokowi untuk mengganti Kepala BIN Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan berbarengan dengan reshuffle menteri beberapa waktu lalu, namun kalau Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri tidak setuju, maka keinginan Jokowi pun kandas. Menurut sejumlah sumber di bidang Polkam, Jokowi telah mengajukan beberapa kali usulan untuk mengganti Kepala BIN sebab Budi Gunawan dianggap sudah cukup lama menjabat sebagai Kepala BIN yakni sejak tàhun 2016. "Namun usulan Jokowi tersebut ditolak Megawati. Padahal Jokowi akan memberi tempat jabatan menteri di kabinet kepada Budi Gunawan. Akhirnya, dalam reshuffle kabinet beberapa waktu lalu, Kepala BIN tidak jadi diganti," kata sebuah sumber. Lalu kelompok mana yang potensial untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Jokowi? Saya mengamati, kelompok yang sangat potensial untuk melakukan itu adalah jajaran militer. Sedangkan Polisi sudah berada di bawah kendali langsung presiden setelah mendapat anggaran jumbo dari APBN. Selama tàhun 2020 saja, Polri menikmati suntikan dana APBN sebesar Rp 104,7 Trilyun. Dengan demikian, Polri telah menjadi anak emas pasca reformasi, khususnya dengan alokasi anggaran yang besar. Di atas kertas, kecil kemungkinannya pihak kepolisian melakukan kudeta. Justru Polri yang akan mengamankan posisi Presiden Jokowi. Bagaimana dengan kelompok militer TNI ? Meskipun secara institusi lembaga TNI sudah bisa dikendalikan presiden sebagai Panglima Tertinggi, namun di lapisan bawah masih muncul riak-riak kecil dan gesekan akibat adanya kecemburuan yang muaranya bersumber pada perbedaan sumber anggaran antara TNI dan Polri. Kenyataan ini, antara lain misalnya, tercermin dari kasus bentrokan antara kelompok TNI dan polisi di Kawasan Ciracas Jakarta Timur beberapa waktu lalu. Memang masih patut dipertanyakan apakah sebagian prajurit atau perwira TNI yang kecewa itu, akan mampu melakukan kudeta atau tidak. Yang jelas kalau melihat peristiwa kudeta di Myanmar, yang melakukan kudeta adalah pemimpin tertinggi militernya. Momen kudeta militer di Indonesia bisa saja terjadi pada saat proses pergantian Panglima TNI. Seperti diketahui, tàhun 2021 ini Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun. Pada tàhun 2014 atau saat pertama Jokowi menjadi presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla, tradisi pemilihan Panglima TNI dari tiga angkatan secara bergilir mulai dirombak. Pada periode pertama sebagai Presiden, Jokowi tidak mengajukan nama Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) sebagai pengganti Jenderal Moeldoko dari unsur Angkatan Darat, sesuai dengan tradisi bergilir pengangkatan panglima sebelumnya, tetapi mengangkat KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Gatot Nurmantyo dilantik sebagai Panglima TNI pada 8 Juli 2015. Namun Gatot menjadi Panglima TNI hanya 2,5 tahun, kemudian digantikan oleh Marsekal Hadi Tjahjanto yang sebelumnya menjabat KSAU. Kali ini, Jokowi menerapkan kembali tradisi bergiliran dalam pengangkatan Panglima TNI. Penunjukan KSAU Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI sesuai dengan UU 34/2004 tentang TNI. Pasal 13 ayat 4 menyebutkan, Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Marsekal Hadi Tjahjanto secara resmi dilantik Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI pad 8 Desember 2017. Sebenarnya, Presiden Jokowi juga melakukan penataan organisasi TNI bersamaan dengan penyusunan Kabinet Indonesia Maju 2019–2024. Melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI, yang ditandatangani 18 Oktober 2019, ditetapkan satu posisi baru, yakni Wakil Panglima TNI yang keberadaannya membantu Panglima TNI untuk urusan teknis organisasi. Meski jabatan wakil panglima kembali dihidupkan setelah dihapus tahun 2000, tetapi hingga saat ini belum ada jenderal bintang empat yang ditunjuk mengisi posisi tersebut. Tiga kepala staf dari tiap matra, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara berpotensi menjadi wakil panglima di organisasi TNI itu. Menurut sejumlah sumber di bidang Polkam, posisi Wakil Panglima TNI sebenarnya sudah ditawarkan kepada KSAD Jenderal TNI Andhika Perkasa, namun dia menolak jabatan tersebut. Andhika lebih memilih sebagai KSAD karena dianggap lebih penting dan strategis daripada posisi Wakil Panglima TNI. "Jenderal Andhika Perkasa akan lebih memilih jabatan sebagai Panglima TNI ketimbang Wakil Panglima TNI," ujar sebuah sumber di bidang Polkam. Nah, akankah Presiden Jokowi kembali akan mengesampingkan KSAL dan lebih memilih KSAD dalam menunjuk Panglima TNI yang baru nanti ? Jika Presiden Jokowi mau konsisten dengan tradisi giliran dalam penentuan jabatan Panglima TNI, maka Panglima TNI mendatang seharusnya berasal dari angakatan laut, yakni KSAL Laksamana TNI Yudo Margono. Kita lihat saja nanti apakah Panglima TNI baru akan diberikan lagi kepada KSAD atau KSAL. Yang jelas, jika pergantian Panglima TNI ini tidak menimbang dan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada terutama keadaan yang dialami para prajurit TNI, akan bisa menimbulkan gejolak keamanan. Dan bukan mustahil akan mendorong terjadinya kudeta militer. Wallohu a'lam bhisawab. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pemilu Serentak 2024, Waraskah Itu Pak Presiden?
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Pemilu dan pilkada memang bisa ditunda. Bisa juga dipercepat, dan diakali dengan seribu satu akal udang dan bulus. Mati tidak. Mati itu pasti. Dia akan mendatangi siapapun sesuai tabiatnya, yang tak tertebak mahluk. Tak ada seorangpun, termasuk Presiden, yang sejauh ini terlihat menolak menyelenggarakan pilkada pada tahun 2022, bisa lari dari kedatangannya. Sebagai mahluk, presiden dengan semua kebesaran artifisialnya, tak dibekali dengan kemampuan untuk menghindari kematian. Nafas akan selalu begitu, menemui akhir yang pasti. Nafas akan berhenti pada waktunya. Selalu begitu dalam rahasianya, kematian mengirim sebab untuk mendahuluinya. Kematian Yang Brutal Tidak seperti pemilu dan pilkada yang bisa diprediksi awal dan akhirnya, mati tidak? Tidak seperti pemilu dan pilkada, mati tak bisa diakali. Kematian punya tabiat sendiri, yang untuk alasan apapun, oleh siapapun, tidak dapat disetarakan dengan pemilu. Mati itu pasti dalam semua aspeknya. Pemilu tidak. Ingat, Pemilu itu, apapun jenisnya, bisa diakali pada semua sudutnya dari awal hingga akhir. Akhir yang menyenangkan untuk siapa? Dan akhir yang pahit untuk siapa? Selalu mudah dikerjakan dan disajikan dalam pemilu. Siapa menang dan siapa kalah, tersaji menjadi hal biasa dalam pemilu dimanapun itu. Termasuk dunia politik sedemokratis Amerika sekalipun. Itulah tabiat bawaan pemilu yang disajikan sejarah. Sejarah sehitam itu, terekam otentik sejak pemilihan konsul di Romawi kuno dan beberapa presiden Amerika. Pemilihan konsul di Romawi kuno tahun 68 setelah masehi terekam oleh Machivelli dengan jual beli suara. Sejarah Romawi itu, dan sejarah pemilu Amerika adalah menjadi sejarah tentang mainan orang berduit. Kaum aristokrat Romawi kuno merupakan blok khusus pada strata patrician inilah yang mengendaslikan pemilihan konsul. Romawi yang memulai tradisi republik, yang dengan itu pemilu diadakan. Memberi sumbangan otentik tentang larangan jual-beli suara. Larangan itu teridentifikasi pada Lex Vigula. Lex ini diprakarsai pembentukannya oleh Vigulus, senator top yang dipercaya Cicero. Markus Tulius Cicero, yang kala itu ikut kontestasi Konsul, mendesaknya membuat lex itu. Cicero cukup yakin dia akan terlempar, bila kelakuan beli-membeli suara yang telah melembaga, yang dilakukan para aristokrat tak dihentikan. Level negarawan yang dimilikinya, diyakini tidak bisa membantunya. Terlalu banyak pemilih yang tidak cukup cerdas. Terlalu banyak pemilih yang tak dapat diandalkan dan diminta mengetahui risiko salah pilih orang. Cicero tahu tanpa UU itu, jabatan Konsul akan jatuh dan jatuh lagi pada kelompok aristokrat, oligarki yang sepanjang sejarah selalu membinasakan itu. Lex vigula memang berhasil membentengi Cicero. Dia menang dan jadilah konsul pada waktunya. Bagaimana dengan Indonesia? Hukum larangan beli-membeli yang diatur dalam UU Pemilu dan Pilkada hanya memiliki daya ledak setara meriam bambu. Bunyinya doang yang gede. Efeknya? Nyamuk pun tak bisa sempoyongan, apalagi mati. Lalu Pemilu yang berintegritas? Itulah omong kosong terbesar dalam politik dan hukum pemilu Indonesia. Pemilu ya uang. Beli ini dan itu dalam nada curang dan sejenisnya dengan segala pembenarannya. Bagaimana dengan pemilu 2019? Itu pemilu pailing brutal, jorok, primitf dan bar-bar. Bahkan lebih jorok, primitif dan brutal dibandingkan dengan pemilu-pemilu otoritarian sepanjang orde baru. Pemilu Presiden, DPR, DPD dan DPRD 2019 tertulis jelas. Pemilu itu tertulis sebagai pemilu menjijikan, dengan duka dan pilu pada dimensi praktisnya. Itulah kenyataan sejarah tata negara dan politik Indonesia dibawah Presiden Jokowi. Lebih dari 800 orang Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) mati. Mereka mati sesaat setelah mengadakan penghitungan suara. Ini otentik dengan ketelanjangannya yang utuh. Pemilu itu juga telanjang untuk ketidakberesan dan ketidaknetralan aparatur negara. Jorok, jijik, brutal, dan sejenisnya memang menjadi penanda pemilu 2019 itu. Entah ambisi murahan khas orang-orang tak beradab, yang tak punya malu, yang menyediakan dirinya menjadi jongos oligarki atau hal lainnya. Kematian tragis KPPS itu berlalu begitu saja. Tak ada investigasi terkordinir dan bertanggung jawab dari pemerintahan Jokowi. Bahkan belasungkawapun, kalau tak salah, tak terucap dari pemerintahan Jokowi. Tragis dan menyedihkan. Main kasar bermantel konstitusionalisme dalam pemilu 2019 itu. Hebat politik konstitutionalisme menerima hasil akhirnya sebagai legal. Konstitusionalisme memang begitu, selalu kalah dan menyerahkan nasibnya pada pemenang. Itu kelemahan terbesar konstitusionalisme. Postur kehidupan tata negara dan politik yang dihasilkan sesudah itu, jelas. Gersang dan main suka-suka, kasar dan habis-habisan terlihat menjadi epistemologi politik sesudah itu. Kearifan kelembagaan yang secara diam-diam diminta oleh demokrasi konstitusional, kini terlihat mengering sempurna. Corak politik berkelas rendahan ini, beralasan diproyeksikan sebagai hasil akhir pemilu “mematikan lagi” dan “brutal lagi” malah “lebih brutal” dan lebih menginjak-injak harkat dan martabat orang pada pemilu 2024 yang diserentakan nanti. Empat kotak saja telah mematikan begitu banyak petugas KPPS, apalagi lima kotak. Masih Waraskah? Hukum konstitusi tak lain merupakan kristalisasi murni ambisi dan kalkulasi partisan yang saling bersaing. Mengerti hukum konstitusi, termasuk yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) harus dimengerti juga dalam konteks itu. Hukum konstitusi tentang pemilu yang lahir dari putusan MK, entah nomor berapa itu, jelas mewakili perspektif ini. Bagaimana bisa menandai pandangan Bang (almarhum) Slamet Effendy Jusuf (semoga Allah Yang Maha Rahman selalu merahmatinya di alam sana), sebagai pemilu serentak? Bagaimana skema gagasan yang diperagakan Bang Slamet dimengerti sebagai pemilu lima kotak? Skema itu hanya menegaskan pejabat-pejabat untuk jabatan tunggal (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota), harus dipilih. DPR, DPD dan DPRD juga harus dipilih. Tidak ada yang diangkat. Itu saja. Itu substantial intenttion dari gagasan yang diperagakan Bang Slamet. Tidak lebih dari itu. Hukum konstitutsi final saat ini secara kategoris menempatkan pilkada sebagai bukan pemilu. Memang saat ini sengketa pilkada diperiksa, diadili dan diputus oleh MK. Tetapi itu sepenuhnya disebabkan peradilan khusus yang diperintahkan pembentukannya oleh UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota belum dipenuhi. Kecuali mau menyebut hukum konstitusi tentang pemilu saat ini sebagai hukum suka-suka, seenaknya saja, asal saja, penggabungan pemilu presiden dan legislatif di level pusat dengan pilkada, jelas tidak waras. Sekali lagi itu pelaksanaan demokrasi yang tidak waras. Kalau akhirnya kedua jenis pemilihan ini disatukan, dan diserentakan penyelenggaraannya pada pemilu 2024, maka sempurnalah sifat “suka-suka” pada hukum pemilu. MK jelas punya andil besar atas lahirnya hukum suka-suka ini. Ahli hukum bukan jongos, bukan juga penjilat, entah apa namanya, memang bisa menemukan argumentasi penyatuan ini. Sekali lagi bisa. Ahli hukum yang bukan jongos dan babu politik bisa saja beragumen pemilu dan pilkada sebagai dua peristiwa hukum, yang secara konstitusional disifatkan sebagai dua hal hukum berbeda. Argumentasi justikatif itu tidak akan dapat dilihat lain, selain sekadar memoles kedangkalan penalaran dan inkonsistensi dari lembaga yang namanya MK. Pak Presiden, dengan segala hormat, saya sarankan abaikan putusan MK itu. Putusan itu tidak logis. Kalau kontraksi politik membayangi Pak Presiden sehingga harus diikuti, maka waras sekali kalau pelaksanaannya dipisahkan. Karena memang harus dipisahkan. Serentak pada satu waktu untuk pemilu Presiden, DPR dan DPD. Dan serentak pada waktu yang lain untuk pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD Provinsi, kabupaten dan Kota. Itu cara waras merawat kehebatan bangsa, yang kian mengering, dan mencekam hari demi hari ini. Menyerentakan pemilu dan pemilihan kepala daerah, termasuk DPR provinsi, kabupaten dan kota bukan takdir konstitusi. Juga bukan takdir republik. Republik hanya punya takdir jabatan-jabatan itu harus diisi dengan cara dipilih. Mereka dipilih oleh rakyat. Republik ini menakdirkan mereka sebagai sumber kekuasaan. Itu saja. Tidak lebih. Jadilah orang besar. Orang besar menandai dirinya dengan kualitas dan kapasitas mengenal yang tak dikenal, dengan citarasa arif yang tak terjangkau politisi kacangan. Jadilah orang besar yang mampu membalut nafas, fikiran dan tindakannya dengan cita rasa menahan diri yang tak biasa. Konstitusi tak selalu indah. Tetapi bisa sangat indah dan menjadi kekuataan yang di Amerika ditunjuk sebagai penyumbang kejayaan mereka, karena dua hal. Putusan hakim dan keputusan pemimpin politik, khususnya Presiden. Presiden-presiden hebat memandu kehebatannya dengan kearifan. Mereka tahu kearifan pemimpin politik memiliki tempat istimewa dalam demokrasi. George Washington, Thomas Jefferson, Ulisius Grant, dan lainnya, memenuhi kualifikasi itu. Mereka membuat konstitusi dan demokrasi terlihat hebat, dalam sifatnya sebagai modal politik tak tergantikan. Toleransi terhadap sikap lembaga lain, itu juga yang diminita demokrasi konstitusional menghidupkan mimpi-mimpi konstitusi. Golkar, Nadem, PKS dan Demokrat, untuk alasan separtisan apapun, tidak dapat dibilang menyimpan amibis lain atas gagasan agar pemilihan kepala daerah tetap dilaksanakan pada tahun 2022 ini. Waras mereka. Ada sisi kemanusiaan yang timbangannya begitu berat dalam gagasan itu. Partai-partai itu terasa tidak sedang main kasar, apalagi main habis-habisan sampai menabrak, menghancurkan prinsip-prinsip konstitusi. Sama sekali tidak. Nelar mereka waras. Terlihat nyata citarasa penghormatan kemuliaan manusia dalam gagasan itu. Demokrasi itu ada karena ambisi memuliakan manusia, bukan mematikan melalui politik tak yang waras dan jorok. Jangan ada lagi KPPS yang mati. Tetapi KPPS akan mati lagi, bila pemilu dan pemilihan kepala daerah diserentakan pada waktu yang bersamaan. Menghindarinya akan terasa seperti kerbau menangkap angin disenja hari. Mimpi Golkar, Nasdem, PKS dan Demokrat itu masuk akal. Ada cahaya terang kemanusiaan yang dijanjikan akan menyinari jalannya bangsa ini. Lupakanlah sejenak ambisi partisan. Sejukkanlah bangsa ini sesejuk embun pagi. Waras memang menyambut gagasan mereka. Renungkanlah itu Pak Presiden agar terlihat waras. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Menjegal Anies Baswedan & Menguatnya Posisi Tito Karnavian
by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Sebenarnya tulisan ini merupakan dua tulisan saya yang dirilis setahun yang lalu. Prediksi dan analisis yang disajikan banyak bersesuaian dengan kondisi objektif politik hari ini. Pertama, tulisan tentang “Anies Baswedan Dihadang Skenario 2022 Tidak Ada Pilgub DKI”. Penulis rilis 19 November 2021. Kedua, tulisan penulis, 25 Januari 2020 tentang Posisi Strategis Tito Karnavian dan Upaya Menjatuhkan Anies Baswedan Menjelang 2024. Dua tulisan tersebut sengaja saya angkat lagi. Sehubungan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedang hangat dibahas DPR. Melihat peta politik DPR hari ini, termasuk prediksi pecah kongsinya Anies Baswedan dan Gerindra di tahun 2024. Kemungkinan tahun 2022 dan 2023 tidak ada Pilkada serentak termasuk DKI Jakarta. Menurut Undang-Undang No 10/2016, Pilkada serentak dilakukan pada 2015, 2017, dan 2018. Kemudian akan dilakukan lagi pada 2020 sebagai lanjutan Pilkada 2015. Pilkada 2022 adalah lanjutan dari Pilkada 2017, dan 2023 lanjutan Pilkada 2018. Pada Pilkada 2024, akan diikuti seluruh daerah yang melakukan Pilkada pada 2020, 2022, dan 2023. Konsekuensinya, pemenang Pilkada 2020 hanya akan menjabat selama empat tahun. Sementara untuk Pilkada 2022, dan 2023 akan dipilih pejabat kepala daerah (jika UU Pemilu tidak direvisi) untuk mengisi kekosongan, sambil menunggu Pilkada 2024. Hal ini merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 1/2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pilgub DKI Jakarta akan digelar pada 2022. Merujuk pada UU No 10/2016 ada kemungkinan Pilgub DKI Jakarta tahun 2022 ditiadakan. Akan digelar serentak pada tahun 2024 berbarengan dengan Pilpres. Artinya, selama 2 tahun hingga 2024 DKI Jakarta akan dijabat oleh Pejabat Gubernur. Untuk pertama kalinya, Indonesia berencana menyerentakkan pilkada, pileg, dan pilpres pada 2024. Tercatat ada 541 daerah yang akan menggelar pilkada selanjutnya. Selama tidak ada revisi UU Pemilu Nomoe 10 tahun 2016, klausul kepemimpinan pejabat kepala daerah sampai tahun 2024 berlaku. Posisi Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri dinilai sangat strategis untuk maju pada Pilpres 2024. Bila UU Pemilu tidak direvisi, ada sekitar 25 Pejabat Gubernur diangkat oleh Mendagri Tito Karnavian. Tito Karnavian atas restu Jokowi bisa membangun 'kekuatan politik' melalui penunjukan sekitar 25 Pejabat Gubernur termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tiga propinsi lumbung suara Pilpres 2024. Membangun kekuatan politik diluar jalur partai, karena keduanya tidak punya posisi strategis di partai dan Tito Karnavian bukan orang partai. Tidak menutup kemungkinan bakal ada skenario beberapa jenderal polisi aktif turun gunung. Ditunjuk sebagai pejabat gubernur di ketiga propinsi yang paling potensial untuk mengantarkan Tito Karnavian ke kursi Presidenan. Selain jenderal polisi aktif bisa juga pejabat sipil loyalis Tito Karnavian ditunjuk sebagai pejabat gubernur, bupati dan walikota. Masalahnya kemudian adalah partai apa yang bakal mengusung Tito Karnavian? Disinilah kita memahami kenapa Moeldoko, pensiunan Jenderal AD 'berambisi' mengambil alih Partai Demokrat. Orang-orang dilingkaran Istana sedang berkompetisi merebut tiket pilpres 2024. 'Adu kuat' mantan Kapolri vs mantan Panglima TNI. Belajar dari Pemilu 2019, dimana Pileg dan Pilpres disatukan telah banyak menelan korban jiwa. Lebih dari 894 orang petugas pemilu meninggal, yang hingga kini masih menjadi misteri penyebab kematian ratusan petugas pemilu tersebut. Tidak dapat kita bayangkan bila 2024 Pileg, Pilpres dan Pilkada disatukan. Mungkin saja ribuan petugas pemilu harus merenggang nyawa. Belum lagi money politic dan kongkalikong penyelenggara pemilu dengan kandidat presiden, caleg dan kandidat kepala daerah sulit untuk dikontrol. Bisa jadi akan menimbulkan 'kekacauan nasional'. Resistensi konflik dan perpecahan sangat tinggi. Sebaiknya dikaji lagi penyatuan pemilu yang rentan manipulasi dan korban meninggal dunia. Revisi UU Pemilu menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari kekacauan dan kecurangan nasional. Revisi tentang pemilu serentak (pileg, pilpres dan pilkada) dan sulitnya pembuktian kecurangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah mustahil kecurangan bisa dibuktikan di UU yang sekarang. Keterlibatan Polisi dan TNI di Bawaslu dan Panwaslu di semua level baik nasional maupun daerah untuk menjamin netralitas Polisi dan TNI dalam pemilu. Sudah menjadi rahasia umum, kalau ada kelompok politik tertentu yang punya track record curang dan bengis kepada rakyatnya sendiri. Seperti dipertontonkan pada Pilpres 2019 yang lalu. Akhirnya, terjawab sudah misteri kenapa Mendagri dijabat oleh Tito Karnavian. Padahal pada periode pertama Jokowi menjadi jatahnya PDIP. Apalagi Kapolri yang sekarang, Jenderal Listyo Sigit Prabowo merupakan loyalis Jokowi. Munculnya kekuatan politik baru dari jenderal polisi memungkinkan presiden selanjutnya dari jenderal polisi dengan dukungan kelompok jenderal merah dan kekuatan politik “siluman” yang punya segalanya (uang, jaringan, intelijen dan media). Prediksi saya, bila kekuatan politik Islam lemah dan mau “dilemahkan”, presiden 2024 kemungkinan besar tipikalnya seperti Jokowi. Presiden yang didukung oleh kelompok jenderal merah dan kekuatan politik “siluman” yang mengontrol politik dan ekonomi 5 tahun terakhir. Disinilah kenapa Anies Baswedan sebagai calon Presiden yang memiliki peluang besar untuk menang, mau dijegal melalui RUU Pemilu yang meniadakan Pilkada serentak 2022 dan 2023. Selanjutnya, terserah pecinta NKRI dan ummat Islam. Mau pasrah dengan keadaan karena lemahnya posisi politik atau bangkit dari keterpurukan untuk melawan. Bangkit untuk melawan agenda terselubung dari pembenci Islam yang secara terbuka telah melakukan deislamisasi, baik secara politik, ekonomi, pendidikan dan dakwah Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.
Kudeta Terhadap AHY dari Istana?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kuderta menjadi istilah yang sedang "in" saat ini. Dalam kancah internasional, ada peristiwa kudeta militer atas penguasa sipil di Myanmar. Kanselir Negara Myanmar, Aung Saan Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditangkap. Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing diberi wewenang penuh memegang kendali militer oleh Penjabat Presiden Myint Swe. Amerika Serikat yang selama ini menjadi pendukung setia Suu Kyi tentu saja kecewa atas kudeta ini. Sementara di dalam negeri, lagi ramai pula rencana kudeta atas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari jabatan Ketum Partai Demokrat oleh gerakan Moeldoko yang sekarang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KKSP). Rencananya AHY mau dikudeta melalui upaya Kongres luar Biasa (KLB). Gonjang-ganjing dan situasi panas di partai yang rada malu-malu untuk beroposisi atau setengah oposisi ini cukup mengejutkan. Sabab rupanya rezim Jokowi ingin menaklukan semua Partai politik yang ada di parlemen. Tinggal Partai Demokrat dan PKS saja yang belum "bergotong royong" dengan Pemerintahan Jokowi. AHY pun berkirim surat segala kepada Presiden Jokowi untuk klarifikasi. Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam)Mahfud MD dalam cuitannya membantah ikut dan tahu soal rencana kudeta di tubuh Partai Demokrat terhadap AHY tersebut. Disamping Moeldoko, ada beberapa menteri yang dicurigai terlibat dengan rencana ini. Sayangnya rencana kudeta ini keburu diketahui oleh kubu AHY. Moeldoko menyatakan, keterlibatan dalam persoalan Partai Demokrat sebagai uruan pribadi. Tak berkaitan dengan Presiden Jokowi ataupun kedudukannya sebagai Kepala KSP. Moeldoko berujar, bahwa kudeta itu dari dalam Partai Demokrat. Bukan dari luar. Mungkin Moeldoko lupa bahwa kudeta itu biasanya biasa digerakkan oleh pihak luar. Moeldoko kini seolah menjadi brutus yang menikam Julius Caesar. Moeldoko yang dulu diangkat oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari mulai Kasdam Jaya, menjadi Pangdam Jaya, lalu menjadi Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), seterusnya menjadi KSAD dan Panglima TNI tersebut, mau memimpin kudeta terhadap partai dan anaknya SBY. Beredar media sosial berbagai fose foto Moeldoko sedang mencium tangan Presiden SBY saat itu. Namun Mooldoko hari ini bukan lagi Moeldoko yang dulu berkali-kali menciun tangannya SBY. Moeldoko sekarang adalah anak buahnya Presiden Jokowi yang diberikan kehormatan dan jabatan sebagai Kepala KSP. Tidak semua orang bisa meraih jabatan tersebut. Bulan Oktober 2020 lalu, pernah ramai juga isu kalau Jokowi akan dikudeta. Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP Darmadi Durianto yang mengangkat isu itu dengan sebutan "kudeta merangkak". Menurutnya, solusi untuk mengantisipasinya adalah Jokowi harus melakukan reshuffle kabinet. Lalu Ketua Brigade 98 juga menyebut ada empat kelompok yang ingin mengkudeta Jokowi yang salah satunya adalah kelompok Cendana. Tiga kelompok lainnya yang mau mengkudeta Presiden Jokowi adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kalangan pengusaha hitam, dan kelompok oligarki. Ujunya adalah HTI dibuabrkan. Langkah pembubaran HTI itu didahului dengan kebijakan Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Masyarakat melihat isu kudeta terhadap Presiden Jokowi hanya "mainan" untuk meningkatkan wibawa Jokowi sendiri yang terus merosot. Kecuali kudeta dalam partai politik, baik melalui pembiayaan "jor-joran" di forum pemilihan Ketua Umum, atau melalui pembelahan partai. Makanya kudeta terhadap seorang Kepala Negara tidak tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Nah wajar kita curiga, ke depan bukan mustahil muncul isu kudeta lagi. Apalagi di tengah belepotan dan paniknya pemerintah menghadapi segudang persoalan. Misalnya, gagalnya penangan pandemi covid-19, korupsi yang pelakunya berlindung di sekeliling istana, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), macetnya investasi dari luar, tumpukan hutang luar negeri yang menggunung, daya beli masyarakat yang rendah, serta krisis ekonomi yang sedang terjadi. Rupanya perlu kreativitas palsu-palsuan untuk mendongkrak krisis terhadap kepemimpinan negara. Akan tetapi rakyat itu suah semakin cerdas. Sangat sulit untuk menipu rakyat dengan drama teror, walaupun berjudul kudeta. Acta est fabula, plaudite. "Sandiwara telah berakhir, ayo segera bertepuk tanganlah"! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bersiap-siaplah, Muryanto Amin Akan Bawa USU Ke Puncak Prestasi
by Asyari Usman Medan, FNN - Universitas Sumetara Utara (USU) kelihatannya akan melakukan “quantum leap” (lompatan besar) dalam cara mahasiswa di semua strata menyelesaikan program perkuliahan. Yang tampaknya paling menonjol adalah kemudahan dalam pembuatan thesis, skripsi dan karya-karya ilmiah lainnya. Singkatnya, akan ada terobosan besar yang diciptakan oleh rektor yang baru dilantik, Dr Muryanto Amin. Beliau akan membawa USU menuju “kebebasan akademis” yang tidak pernah ada di mana pun juga. Betul-betul bebas. Dalam makna hakiki. Itulah kebebasan yang akan diperkenalkan oleh Muryanto Amin. Kebebasan hakiki itu adalah kebebasan tanpa batas etika akademis. Adab akademis tidak lagi menjadi rambu keilmuan. Begitu juga norma kejujuran akademis, tidak perlu lagi dijadikan acuan dalam penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Ini standar baru yang bertujuan untuk meringankan mahasiwa dan dosen. Mengapa kebebasan hakiki itu akan diimplementasikan Muryanto? Karena beliau telah merasakan betapa beratnya proses purifikasi gagasan ilmiah dalam bentuk yang ada saat ini. Sampai-sampai beliau dinyatakan oleh Rektor USU periode 2016-2021 telah melakukan ‘self plagiarism’ (otoplagiasi) secara sengaja dan berulang. Padahal, Muryanto hanya melakukan tindakan efisiensi akademis untuk mempercepat penyusunan dan penerbitan karya ilmiah. Dia telah mencontohkan cara yang praktis untuk mendapatkan angka kredit. Cara Muryanto itu mendapatkan apresiasi dari negara. Dia akhirnya bisa melepaskan diri dari predikat otoplagiasi. Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mencabut SK Rektor No. 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 yang dianggap mendiskreditkan Muryanto. Sekarang, dia dinyatakan bersih. Tak lagi memikul dosa akademis. Semua dosa itu ditanggung oleh Mendikbud sebagai “juru selamat”. Muryanto pastilah tidak ingin pengalaman yang traumatis ini dirasakan orang lain. Karena itu, perlu ada simplifikasi dalam pembuatan karya tulis ilmiah. USU harus menjadi Univesitas Simpel Urusan. Para mahasiswa akan diberi kebebasan hakiki. Agar bisa membangun loyalitas akademis.Tidak terus-menerus dihantui oleh proses rafinasi ilmiah yang “torturing” (menyiksa) itu. Loyalitas yang akan dirangsang oleh Muryanto adalah ketaatan mahasiswa dan dosen pada karya-karya akademis yang sudah pernah terbit. Dalam arti, karya-karya tulis yang sudah ada dalam lingkup sesuatu subjek akademis, akan dipertahankan dan dilestarikan. Ini bisa dilakukan antara lain dengan cara menerbitkan ulang karya-karya ilmiah itu untuk berbagai tujuan. Bisa untuk kenaikan pangkat, jabatan struktural, dll. Para mahasiswa dan dosen tentunya diminta bijak dalam menerapkan prinsip taat karya ilmiah itu agar tidak menimbulkan “curiosity” (keingintahuan) publik. Dalam tataran praktis, itu artinya berhati-hatilah memilih tempat untuk menerbitkan ulang karya-karya ilmiah yang sudah dipublikasikan di tempat lain. Yang penting, harus selalu cermat dan penuh siasat sebagaimana dicontohkan oleh Muryanto yang kemudian mendapatkan pengakuan dari Mendikbud. Para mahasiswa dan dosen diminta agar memastikan bahwa penerbit memiliki reputasi sebagai pengelola jurnal yang memudahkan, bukan menyulitkan. Kalau iklim akademis konvesional masih belum kondusif untuk penerbitan ulang (multiple publications) karya ilmiah, maka para mahasiswa dan dosen bisa melakukan semacam “propitious adjustment” (penyesuaian yang bijaksana). Ini termasuk perubahan minor yang dilakukan agar loyalitas akademis tidak terlalu mencolok. Diperkirakan, Muryanto akan menjadikan USU sebagai satu-satunya universitas di dunia yang akan mendorong loyalitas akademis itu. Ini akan sangat menguntungkan mahasiswa dan dosen yang tak punya waktu untuk meneliti dan menulis. Dalam bahasa Rocky Gerung, Muryanto akan memprakarsai pertumbuhan ilmu gaya baru, yaitu tumbuh ke bawah. Pertumbuhan yang mengikuti grafik minus. Bukan tumbuh kembang, tetapi tumbuh kuncup. Apakah ini akan menjadi masalah? Belum tentu. Berikanlah ruang dan waktu kepada Muryanto untuk bereksperimen di USU. Bukankah Mendikbud dengan tegas mendukung cara-cara Muryanto “mengembangkan” ilmunya? Tenanglah Anda semua. Percayakan seluruhnya pada Muryanto. Dia akan membawa USU ke puncak prestasi. USU akan menjadi Unik-Simpel-Ujug-ujug. Unik, satu-satunya di dunia. Simpel: cukup copy paste saja. Ujug-ujug: Anda bisa menjadi apa saja, kapan saja.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Kudeta Demokrat: Ini Bukan Permainan SBY!
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Nama Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko hari-hari ini viral di berbagai media. Pasalnya, mantan Panglima TNI era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini “terendus” berniat akan “mengkudeta” Ketum Partai Demokrat Agus Harimurty Yudhoyono. Semula, nama Moeldoko masih remang-remang sebagai salah satu tokoh di luar Demokrat yang berkolaborasi dengan “orang dalam” partai besutan SBY itu. Adalah Kepala Bappilu Demokrat Andi Arief menyebut, orang yang dimaksud adalah Moeldoko. Gerakan dan manuver politik oleh segelintir kader dan mantan kader yang akan mengkudeta Demokrat sampai ke telinga AHY. Disebutkan, ada lima orang yang menggalang kudeta itu. Mereka berasal dari internal dan eksternal partai, dilakukan secara sistematis. AHY menyebut, mereka terdiri dari 1 kader Demokrat aktif, 1 kader yang sudah 6 tahun tidak aktif, 1 mantan kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat karena dihukum akibat korupsi, dan 1 mantan kader yang telah keluar dari partai 3 tahun yang lalu. Sementara satu lagi adalah non kader partai yang kini menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Ialah Moeldoko. “Banyak yang bertanya siapa orang dekat Pak Jokowi yang mau mengambil alih kepemimpinan AHY di Demokrat, jawaban saya KSP Moeldoko,” ujar Andi Arief. Pernyataan tersebut selaras dengan apa yang disampaikan Wasekjen DPP Demokrat Jansen Sitindaon, orang itu adalah pejabat militer yang pernah dibesarkan oleh Presiden SBY yang mengangkat Moeldoko sebagai Panglima TNI. Sementara itu mengenai kader Demokrat aktif yang turut menggalang kudeta, kabar yang beredar mengerucut pada nama Johny Alen Marbun, Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat itu memang pernah berbeda pandangan dengan DPP saat Pilpres 2019 lalu. Sedangkan untuk nama kader yang disebut tidak aktif lagi sejak 6 tahun lalu, kabarnya adalah Marzuki Alie. Mantan Ketua DPR RI dari Demokrat ini sudah menghilang sejak 6 tahun lalu, tepatnya saat gagal lolos ke Senayan pada Pileg 2014. Pada 2015, nama Marzuki Alie sudah tidak ada lagi bercokol di pengurus Demokrat. Adapun nama kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat karena kasus korupsi ini diduga adalah Muhammad Nazaruddin. Nama Nazaruddin memang sudah tak asing bagi dunia politik di negeri ini. Pada 9 tahun lalu dia ditangkap di Bogota, Kolombia setelah menjadi buron dalam kasus Wisma Atlet. Sedang nama mantan kader yang sudah keluar sejak 4 tahun lalu diduga adalah Max Sopacua. Nama Max Sopacua memang kerap muncul ketika ada gaduh mengenai internal Demokrat. Max Sopacua beberapa kali juga mendengungkan untuk dilakukan Kongres Luar Biasa di tubuh Partai Demokrat. Namun, belum ada kabar resmi siapa 4 orang di luar nama Moeldoko yang dimaksud AHY sedang menjadi “dalang kudeta” itu. Demokrat Melawan “Kita ikuti saja terus perkembangan situasi eksternal, sambil perkuat konsolidasi internal kita. Perkuat terus narasi dan persepsi bahwa kita secara internal memang solid dan kompak, dan siap Lawan siapapun yang mau merusak soliditas dan kekompakan itu,” tegas AHY. Karena saat ini mereka tengah berupaya membangun narasi (termasuk melalui media) bahwa di tubuh PD ada gerakan besar yang ingin kudeta. Padahal, lanjut AHY, ya pelakunya hanya segelintir orang (dan orangnya ya itu-itu saja). “Bedanya kini ada Aktor Eksternal yang sudah sangat kebelet ingin jadi Presiden. Karena perlu “kendaraan” untuk nyapres nanti, makanya dia ingin rebut Demokrat secara paksa dan dengan cara-cara yang inkonstitusiona l, keluar jauh dari nilai-nilai moral dan etika,” ujarnya. Para pelaku gerakan juga seenaknya beranggapan bahwa Demokrat for Sale. Lantang katakan kalau Demokrat is Not for Sale! “Yang jelas, mereka tidak menyangka kalau kita akan berani se-frontal dan setegas itu untuk menguak kebenaran dan menuntut keadilan. Tunjukkan terus sikap seperti ini kepada Rakyat kita,” tegas AHY. “Mengapa kita harus berani? Karena kalau takut kita akan diinjak-injak. Dan kalau kita takut, lalu siapa lagi yang akan berani berdiri tegak membela kebenaran dan keadilan tadi? Kalau Demokrat merasa lemah dan tak berdaya, apalagi rakyat kita?” “Dan, mari kita ingatkan diri kita, bahwa kita hanya boleh takut kepada Tuhan, dan Rakyat; karena Suara Rakyat, Suara Tuhan. Mereka bisa saja ngeles ke kiri dan ke kanan; mencoba escape dari situasi sebenarnya,” ungkap AHY. Mereka juga mencoba menunjukkan sikap “santai”, menyederhanakan permasalahan. Bahkan mereka coba membuat persepsi kalau Demokrat “Cari Perhatian”, “Baper”, “Playing Victim”, “Halusinasi” atau sedang bermain “Drama”. “Tegaskan bahwa kita bukan Pemain Drama, kita adalah Politisi yang Kesatria. Bukan seperti Mereka. Jangan ragu, apalagi kita sudah kumpulkan berbagai bukti, yang pasti akan membuat mereka sulit untuk tidur nyenyak,” tegas AHY. Jadi, lanjutkan perjuangan para pengurus DPP! Lanjutkan untuk membangun opini sekaligus kontra-opini melalui media mainstream maupun media sosial. Lawan segala bentuk Fitnah dan Hoax yang merusak citra partai kita, termasuk yang dilakukan oleh para Buzzer. “Akhirnya, marilah kita ambil hikmah dari ini semua. Justru jadikan ujian yang sedang kita hadapi bersama ini sebagai momentum yang baik untuk merapatkan barisan dan menguatkan Otot Politik kita,” pinta AHY. Dalam organisasi apapun (apalagi Partai Politik), secara internal sangat wajar kalau ada perbedaan pandangan atau sikap di antara kita terkait berbagai hal. Menurut saya, perbedaan (dalam takaran tertentu) justru Sehat bagi sebuah organisasi. Namun, yang mungkin tidak mereka sadari adalah: semua perbedaan itu akan segera kita tinggalkan ketika ada ancaman Musuh Bersama dari luar. “Kini, tanpa kita minta dan tanpa kita sangka, Musuh Bersama itu telah hadir mengusik dan mengancam soliditas, kedaulatan dan kehormatan Partai kita. Oleh karena itu, marilah kita fokuskan pikiran, energi, dan daya kita untuk Hadapi Musuh Bersama kita hari ini!” Sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tidak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis". Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil dulu sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena dipikir Demokrat sudah lemah betul di bawah kendali AHY. Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa RI1 dan RI2 pilihannya. Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya. Ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.