ALL CATEGORY
Gadget Merusak Sel Tubuh Manusia
by Komjen Pol. Dharma Pongrekun MM. MH. Jakarta FNN - Gadget adalah teknologi yang memang dengan sengaja diciptakan oleh penggagasnya untuk mempermudah pengendalian manusia di seluruh belahan dunia. Pengendalian dilakukan melalui program alam bawah sadar, agar dengan sangat mudah dapat memanipulasi jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) manusia tanpa disadari. Diawali dengan membangun paradigma seolah-olah Gadget itu hanyalah sekedar kemajuan jaman. Kemajuan kecanggihan teknologinya yang memberikan berbagai macam kemudahan, kecepatan dan tentunya kenyamanan yang memanjakan. Sehingga kita terbuai, karena keasyikan dan akhirnya kecanduan yang membuat kita semua terjerat dalam jebakan sistem global. Sistem global adalah sistem yang terbangun dengan sendirinya sebagai hasil dari pada rekayasa yang sitematis. Gadget memang telah disiapkan menjadi teknologi yang merangkai seluruh sistem dari setiap kegiatan secara rekayasa dalam seluruh aspek kehidupan yang ada ke dalam satu sistem yang terkendalikan secara Global. Hal tersebut telah membuat kita tidak dapat lagi melihat dan merasakan adanya agenda tersembunyi atau motivasi jahat dibalik semua itu. Bahwa tujuan akhir dari agendanya sistem global adalah untuk memperbudak semua manusia di dunia seperti yang kita telah rasakan dampaknya saat ini. Mengapa demikian? Karena melalui Gadget itu, mereka telah berhasil menyatukan sistem kendali seluruh dunia melalui rekayasa kehidupan (life engineering) yang begitu cerdas. Rekayasa kehidupan melalui program alam bawah sadar (subconcious mind). Caranya dengan cara merasionalisasi aktifitas kehidupan dari sesuatu yang tidak nyata (dunia maya) menjadi realita pada aktifitas kehidupan dunia nyata masing-masing pemegang Gadget tersebut. Namun bila googling kita tidak akan pernah menemukan istilah life engineering. Tetapi hanya social engineering, dengan maksud agar masing-masing kita tidak menyadari, bahwa pribadi demi pribadi kita yang memiliki keunikan masing-masinglah. Sedangkan yang direkayasa (engineering) menjadi budak sistem global. Di dalam memahami kehidupan manusia, terlebih dahulu kita harus memahami tiga unsur utama manusia, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Tubuh adalah ruang kosong yang hidup, karena diisi oleh roh yang berasal dari Roh Tuhan. Setelah tubuh itu hidup, maka terbentuklah jiwa yang akan diwarnai oleh berbagai keadaan yang dilalui selama masih hidup. Baik buruknya kejiwaan manusia sangat tergantung pada kekuatan potensi sel yang akan mendukung kekuatan dalam pengendalian pikiran (mind control). Perlu juga diketahui bahwa tubuh manusia dikendalikan oleh dua bagian utama, yaitu otak dan sel. Otak mempunyai kekuatan 5% dan sel mempunyai kekuatan 95% dalam mengendalikan tubuh. Tubuh manusia terdiri dari 50 triliun sel dan setiap selnya mengandung 1,4 volt listrik. Jadi, ada 70 triliun volt listrik di dalam tubuh manusia yang diaktifkan melalui gelombang (frekwensi). Sekarang mari kita pahami bagaimana cara merekayasa mind-set melalui alam bawah sadar. Yakni dengan merasionalisasi paradigma melalui opini-opini yang ingin dibangun secara visual melalui aplikasi-aplikasi yang menarik dan berbagai kontennya. Semua sudah diprogram untuk dapat memanipulasi pikiran dan perasaan dalam jiwa manusia dengan cara memprogram alam bawah sadar secara berulang-ulang (repetition) dengan metode komunikasi satu arah. Targetnya hanya program opini terselubung itulah yang menguasai alam bawah sadar manusia, seperti pepatah yang mengatakan bagaikan “batu ditetesi air terus-menerus, akhirnya akan bolong juga”. Konten dan program tersebut akan terekam oleh sel-sel tubuh yang akan mengolah dan menyajikan informasi dan data yang membentuk imajinasi dalam pikiran dan perasaan yang ada dalam jiwa manusia. Sehingga seolah-olah sedang menjalani kehidupan di dunia nyata. Padahal hanya di dunia maya, namun akan berimplikasi pada prilaku dalam kehidupan nyata. Selanjutnya, pikiran dan perasaan yang terbentuk secara gradual melalui program alam bawah sadar tersebut, akan terefleksi pada perubahan karakter dan perubahan perilaku manusia. Prilaku dalam kehidupan nyata dari kehidupan yang fitrah (original) diselewengkan (refocusing) untuk menjauhkan manusia dari citra Tuhan, sehingga tidak menyadari lagi fitrahnya sebagai hamba Tuhan. Jadi, sel-sel dalam tubuh manusia itulah yang diserang oleh gelombang elektromagnetik yang ada (radiasi). Sehingga memudahkan pengendalian alam bawah sadar dan menguasainya untuk merubah persepsi. Persepsi tersebut otomatis akan merubah fungsi sel dalam tubuh, bahkan juga menjadi rusak. Itulah sebabnya Gadget disebut cellularphone, karena mekanisme kerjanya meniru mekanisme kerja sel tubuh manusia dalam berinteraksi dengan sel manusia lainnya, alam semesta dan dengan Tuhan sebagai sumber kehidupan yang sejati. Jadi sel adalah inti dari kehidupan manusia hidup. Apabila sel mengalami kerusakan, juga akan melemahkan potensi sel, dan otomatis menurunkan imunitas di dalam tubuh manusia. Tubuh manusia hanyalah merefleksikan apa yang dipancarkan dari sel-sel yang rusak. Keadaan inilah yang kita kenal dengan istilah penyakit. Perlu diketahui juga bahwa selain dari perangkatnya sendiri, konten-kontennyapun seperti pornografi dan game online dapat menyebabkan kecanduan yang lebih buruk. Bahkan lebih buruk dari pada narkoba yang hanya merusak tiga bagian otak. Sementara gelombang elektromagnetik yang dipancarkan terus-menerus dari Gadget yang aktif akan merangsang sel-sel pada otak mengeluarkan hormon dopamine secara berlebihan dan tidak wajar. Keluarnya hormon dopamine yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan pada lima bagian otak. Otak bagian depan atau Pre Frontal Cortex (PFC), sehingga PFC akan mengkerut dan mengecil hingga +- 4%. PFC inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Akibatnya orang tersebut akan kehilangan kemampuan pengendalian emosi, membedakan benar dan salah, serta berperilaku layaknya binatang. Itu terjadi sebagai akibat dari pada kecanduan. Contohnya, apabila seorang anak yang sedang bermain game, bila diambil Gadgetnya, maka si anak akan mengamuk dan marah-marah tak terkendali. Karena telah mengalami gangguan perkembangan otak serta masalah kesehatan mental yang merubah prilaku. Mereka akan menjadi agresif dan mudah tersinggung disebabkan hormon dopaminnya mendadak berhenti terproduksi. Ini akibat rangsangan sel dari gelombang elektromagnetikpun berhenti atau dalam narkoba dikenal dengan istilah sakau (tubuh nagih). Contoh lain dari dampak bekerja sel, semisal saat seorang pria melihat wanita, maka mata pria tersebut akan menangkap gelombang yang dipancarkan dari tubuh wanita. Gelombang itu kemudian diterima (receiver) oleh sel-sel dalam tubuh pria tersebut untuk diolah dan memproduksi hormon sesuai dengan infromasi yang direkam. Hormon selanjutnya disajikan (transmit) menjadi imajinasi yang menimbulkan hasrat yang mendorong pria tersebut menginginkan wanita tersebut. Inilah makna dari pepatah lama ketika seseorang jatuh cinta kemudian kasmaran “dari mata turun ke hati”. Tujuan dari rekayasa sitem global tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memonetize (memetik keuntungan finansial-red). Keuntungan dari setiap kebutuhan jasmani manusia yang telah terprogram melalui pikiran dan perasaan yang ada dalam jiwa yang terbentuk dari hasil program agenda rekayasa kehidupan melalui dunia maya menjadi kebutuhan jasmani dalam dunia nyata. Terutama, kebutuhan jasmani yang termotivasi dari keinginan untuk mempertahankan dan melindungi diri serta menjaga eksistensi hawa nafsunya dalam euforia kehidupan di dunia. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani tersebut, maka manusia akan digiring untuk membeli produk-produk dari hasil industrialisasi yang dipikir dan dirasakan perlu. Sebagai akibat dari program rekayasa kehidupan yang telah menjadi paradigma barunya (new paradigm). Yang sudah barang tentu harus mengeluarkan sejumlah angka-angka yang tertera dalam lembaran-lembaran kertas yang nantinya akan didigitalisasi juga oleh sistem global. Ketahuilah bahwa dibalik Gadget yang melekat pada diri kita sehari-hari ada sutradaranya. Sehingga, Gadget tersebut bukan saja merupakan teknologi yang dapat dan telah mencuri seluruh data dan informasi dari masing-masing pribadi kita. Tetapi juga sedang mencatat setiap aktivitas kehidupan yang kita kerjakan ataupun lakukan melalui aplikasi. Aplikasi yang merepresentasikan aktivitas kehidupan yang dikendalikan oleh source code dari setiap aplikasi yang ada di dalamnya. Setiap aktivitas kehidupan, baik atau buruk yang terjaring lewat internet, yang telah mereka siapkan. Semuanya akan tersimpan secara otomatis pada sistem database. Sehingga kebebasan hidup sebagai manusia merdeka secara otomatis sudah tersandera. Mekanisme tersebut persis dengan mekanisme sel-sel dalam tubuh manusia yang merekam catatan dosa dan menyajikannya kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta secara real-time, yang dihubungkan juga oleh gelombang frekwensi. Jadi, semakin jelaslah bahwa Gadget selain merupakan teknologi yang disiapkan untuk memata-matai aktivitas kehidupan manusia. Gedget juga merupakan teknologi yang ingin mengambil alih kendali (kontrol) jiwa manusia dari otoritas kendali Tuhan, yakni sebagai hamba Tuhan untuk diselewengkan (refocusing) menjadi hamba sistem dunia bagaikan robot (benda hidup tertapi tidak punya jiwa). Dengan kata lain, Gadget telah menjadikan manusia budak hawa nafsu duniawi. Penulis adalah Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Mantan Direktur Narkoba Bareskrim Polri (2015).
Membangun Indonesia Bersama Abu Janda
by Asyari Usman Medan, FNN - Setelah mendamaikan Natalius Pigai dan Abu Janda, Waketum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengajak netizen untuk membangun Indonesia bersama kedua orang yang bertikai itu. Bagus sekali! Cuma, apa bisa Abu Janda diajak membangun? Termasuk membangun persatuan dan persaudaraan kebangsaan? Semalaman tak bisa tidur memikirkan cara membangun Indonesia bersama Abu Janda. Sebab, salah satu hal urgen yang diperlukan untuk membangun adalah membersihkan sampah sosial-politik yang sekarang menggunung di depan Monas. Kalau sampah itu masih ada di sana, mana sudi orang mendengarkan imbauan Pak Dasco. Mengapa tak sudi? Begini. Kalau di Monas saja banyak sampah sosial-politik, bagaimana lagi di tempat lain termasuk di Senayan sana. Tentu tumpukannya lebih dahsyat lagi. Logikanya, di depan Istana saja menggunung dan tak bisa dibersihkan. Apalagi di Senayan. Tentu semakin berat, bukan? Jadi, kayaknya Pak Dasco lupa dengan bau busuk sampah Senayan. Atau, bisa jadi, beliau sudah kebal dengan bau sampah di sana. Ini pun logis. Orang yang bermukim di sekitar lokasi pembuangan sampah, biasanya tidak terlalu lama menyesuaikan diri dengan suasana sampah itu. Ok, mari kita tunggu Pak Dasco membangun Indonesia bersama Abu Janda.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Perlu Diwaspadai Laporan Keuangan PLN 2020
by Ahmad Daryoko Magelang, FNN - Mari kita cermati besaran angka-angka keuangan PLN 2020 dari berbagai sumber di bawah ini, antara lain : Sesuai berita CNBC.Indonesia.com 15 Oktober 2020 seorang Direksi PLN mengatakan PLN akan untung Rp 10 triliun pada 2020. Tidak lama kemudian sesuai pemberitaan cnnindonesia.com tanggal 23 Oktober 2020 Melissa Brown pengamat kelistrikan dari Institute Economy for Energy Financial Analysis (IE2FA) mengatakan bahwa PLN perlu subsidi Rp 170,2 triliun untuk 2020. Kemudian disusul oleh statement Kepala Satuan Kebijakan APBN Kemenkeu (yang dilansir Repelita Online 8 Nopember 2020) bahwa 2020 PLN membutuhkan subsidi Rp 200,8 triliun. Dan yang terakhir seorang pengamat ekonomi energi, Sunarsip melalui Republika 18 Januari 2021 mengatakan bahwa subsidi listrik 2020 hanya Rp 51,82 triliun. Kesimpulan Terjadi kesimpangsiuran pemberitaan terkait berapa sebenarnya subsidi listrik 2020 kemarin? (setelah kelistrikan 90% dikuasai swasta aseng/asing yang ber konspirasi dengan Luhut B Pandjaitan, Erick Tohir, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Taipan 9 Naga dll). Memang tagihan listrik belum melonjak bahkan golongan-golongan tertentu cenderung turun. Itu karena tarif listrik disubsidi pemerintah dengan cara hutang. Namun dengan dikuasainya kelistrikan oleh swasta, maka pemerintah tidak bisa mengontrol lagi "biaya operasi" dari Liswas tersebut! Artinya swasta bisa terapkan ekonomi Kapitalis yaitu "cost" serendah mungkin dan "keuntungan" setinggi mungkin. Memang nanti angka acuan resmi adalah Laporan Keuangan PLN (biasanya dalam bentuk Laporan Statistik PLN) yang sampai saat ini belum selesai. Namun dari berita simpang siur terkait angka keuangan PLN 2020 di atas diindikasikan akan terjadi "manipulasi" angka-angka operasional kelistrikan! Mengingat bila diketahui bahwa benar benar pemerintah telah menggelontorkan subsidi sampai Rp 200,8 triliun (menggelembung 400% dari biasanya) yang ternyata hanya dinikmati oleh oligarkh "oknum" pejabat di atas, maka pasti akan menimbulkan gejolak sosial (meskipun tagihan listrik tidak naik). Bisa jadi dilaporkan bahwa subsidi hanya kecil meskipun berasal dari hutang LN yang "super jumbo" ! Lagi pula siapa yang mampu cek jumlah hutang LN saat ini ? Berita pun simpang siur ada yg bilang Rp 10.700 triliun, ada yang bilang Rp 7.600 triliun , ada yang bilang Rp 5000 triliun . Mana yang benar ? Lembaga keuangan pun bisa jadi sudah masuk dalam "jajaran oligarki" guna sama-sama memperkuat agar rezim tidak goyah! Rakyat ujung+ujungnya hanya menerima "getah" nya saja. Persis saat NKRI punya hutang LN sebesar USD 132 Miliar di masa lalu, kemudian muncul LOI Oktober 1997 dan dampaknya terjadi Amandemen UUD 1945 dan bahkan dampaknya terjadi sampai saat ini (seperti terjadinya liberalisasi kelistrikan dan penjualan PLN ke swasta spt saat ini). Apakah kemudian akan terjadi dampak yang lebih drastis lagi , karena saat ini sudah habis+habisan akibat LOI sebelumnya? Misal terjadi "Balkanisasi" Indonesia? Dan Indonesia barat diserahkan ke China sebagai bagian dari OBOR (One Belt One Road) dan Indonesia Timur ke AS dan barat sebagai bagian dari "Globalisasi"? Innalillahi wa Inna illaihi roojiuunn !! Penulis adalah Koordinator INVEST.
Misteri Wafatnya Ustadz Maaher, Mengapa Polri Bersifat “Defensif”?
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ada pernyataan menarik dari Polri yang tidak mengungkap secara gamblang penyakit yang diderita Soni Eranata atau Ustadz Maaher At-Thuwailibi sebelum meninggal. Penyakitnya disebut sensitif. “Yang jadi pertanyaan itu, kenapa Saudara Soni Ernata meninggal? Ini karena sakit. Saya tak bisa sampaikan sakitnya apa karena sakit yang sensitif,” kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono dalam jumpa pers, Selasa (9/2/2021). Seperti dilansir Detik.com, Selasa (09 Feb 2021 12:50 WIB), Argo menegaskan, pihaknya tidak akan mengungkap penyakit yang diderita oleh Ustadz Maaher. Pertimbangannya adalah terkait keluarga Maaher. “Ini bisa berkaitan dengan nama baik keluarga almarhum. Jadi, kita tidak bisa sampaikan ini secara jelas dan gamblang sakitnya apa karena penyakitnya adalah sensitif, ini masalahnya,” ujarnya. “Bisa membuat nama baik keluarga juga tercoreng,” tambah Argo. Diberitakan, Maaher berstatus tahanan kejaksaan yang dititipkan di Rutan Bareskrim Polri. Sewaktu menjadi tahanan Dittipidsiber Bareskrim, Maaher sempat dibantarkan karena sakit. Maaher meninggal dunia pada Senin (8/1/2021) malam. Kini jenazahnya dimakamkan di Ponpes Daarul Quran, Cipondoh, Tangerang. Pihak pengacara dan keluarga sebelumnya menyebut bahwa Ustadz Maaher sempat sakit terkait usus. Beberapa kali Maaher sudah mengeluhkan hal itu. “Awal beliau dioperasi ususnya itu, kira-kira 3 bulan yang lalu, nampaknya penyakit itu masih menjadi keluhan juga,” ujar pengacaranya, Djudju Purwantoro, kepada wartawan di RS Polri, Senin (8/2/2021). Keluarga mengatakan hal yang sama. “Beliau kan punya TB usus. Dulu sebelumnya sempat sakit parah kan, drop, terus kemudian sudah membaik,” kata adik Maaher, Jamal, ditemui di rumah duka, di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (9/2/2021). Sebelumnya, seperti ditulis Suara.com, Selasa (9 Februari 2021 pukul 06.54), pengacaranya mencium ada keanehan kematian Maaher yang meninggal dunia di Rutan Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (8/2/2021). “Kami sebagai kuasa hukumnya meminta keterangan terbuka dari tim medis setempat untuk mengklarifikasi sebab kematian tersebut,” kata Novel Bakmumin kepada Suara.com, Senin (8/2/2021). Penangguhan penahanan yang tak pernah dikabulkan Polri disayangkan kuasa hukum. “Saya sangat menyesalkan upaya yang sudah tidak menimbang unsur kemanusiaan,” tuturnya. Istri Maaher, Iqlima Ayu, sempat mengajukan penangguhan penahanan atas suaminya. Dia berharap Maaher bisa dibebaskan setelah pihaknya menjaminkan dirinya sebagai upaya penangguhan penahanan kepada penyidik Bareskrim Polri. Namun, pengajuan tersebut tidak dikabulkan. Belakangan ini, meninggalnya Maaher di rutan Bareskrim Polri ternyata berbuntut panjang. Kuasa hukumnya menduga dia sengaja 'dihabisi'. Hal ini disampaikan Novel Bamukmin di Bang Edy Channel di YouTube. Menurut Novel, penguasa sengaja “mengirim pesan” kepada para ulama dan aktivis kritis lainnya. Caranya, mereka sengaja “menghabisi” Ustadz Maheer. “Rezim ingin menegaskan, jika kalian tetap berseberangan dan kritis terhadap kekuasan, lihat yang terjadi pada Ustadz Maaher. Ini pesan yang ingin penguasa sampaikan,” kata Novel. Terlepas dari dugaan yang disampaikan kuasa hukum Maaher itu, tidak kalah penting adalah enggannya polisi mengatakan penyakit Maaher sebenarnya dengan alasan karena “sakit yang sensitif”, meski pihak keluarganya telah membuat pernyataan, “tahu” penyakitnya. Apa itu? Covid-19, HIV/AIDS, atau Racun? Fakta Medis Maaher meninggal dalam kondisi sangat mengenaskan. Dari foto wajahnya yang beredar di WAG, kayak gabakan hitam-hitam semua, lemas, dan gatal-gatal (mirip herpes). Jika melihat pemeriksaan luar pada tubuh Maaher, coba kita lihat apa penyebabnya. Saturasi oksigen. Yaitu suatu komplikasi umum dapat terjadi ketika virus menghalangi aliran darah membawa oksigen dalam tubuh, kondisi seperti hipoksia, disorientasi, kebingungan, bibir atau wajah kebiruan. Jika ini terjadi, artinya bisa jadi merupakan sinyal adanya gangguan pada jantung. Gangguan apa pun pada aliran darah dapat menyebabkan penggumpalan, meningkatkan peradangan, dan mempersulit jantung untuk melakukan tugasnya. Pada umumnya, ini bisa terjadi saat virus menghalangi aliran darah membawa oksigen dalam tubuh, kondisi seperti hipoksia, disorientasi, kebingungan, bibir atau wajah kebiruan. Jika hal ini terjadi, artinya bisa jadi merupakan sinyal adanya gangguan pada jantung. Gangguan apa pun pada aliran darah itu dapat menyebabkan penggumpalan, meningkatkan peradangan, dan mempersulit jantung untuk melakukan tugasnya. Saturasi oksigen ini salah satu dari 6 gejala dan tanda Covid-19 mulai mempengaruhi kesehatan jantung. Gejala dan tanda Covid-19 lainnya, dilansir Kompas.com, Rabu (20 Januari 2021 | 05:55 WIB), yaitu Sindrom takikardia. Peneliti percaya, pasien Covid-19, yang melakukan perjalanan jauh bisa menghadapi kondisi seperti POTS atau sindrom takikardia ortostatik postural. Sindrom ini merusak sistem saraf, menyebabkan ketidakseimbangan detak jantung, tingkat tekanan darah yang tidak biasa. Selain itu, yang perlu diwaspadai yakni tanda takikardia juga dapat bermanifestasi menjadi gejala seperti pusing, sirkulasi darah menurun, menyebabkan jantung berdebar-debar, pusing, kekebalan tubuh yang terganggu. Itu semuanya dapat dianggap sebagai tanda awal gangguan jantung. Apakah penyakit Ustadz Maaher masuk dalam 2 dari 6 gejala dan tanda Covid-19 tersebut, hanya dokter dan pihak RS Polri yang tahu. Di sinilah perlu keterbukaan pihak Polri. Ruam kulit bisa menjadi petunjuk dan bukti adanya infeksi Virus Corona (Covid-19). Hal ini dialami Dewi Persik yang mengaku menderita ruam kulit akibat terinfeksi Covid-19. Ruam kulit juga termasuk gejala terinfeksi virus corona. Tapi, tak banyak yang tahu kalau perubahan di kulit itu bisa menjadi salah satu tanda gejala Covid-19. Munculnya ruam kulit, terutama di tangan dan kaki seringkali merupakan tanda pertama infeksi virus corona pada orang yang tidak memiliki gejala penyakit lain. Seperti dilansir Kompas.com, Jumat (25 Desember 2020 | 17:55 WIB), diterbitkan di dalam American Journal of Clinical Dermatology, ulasan berbasis bukti ilmiah menunjukkan kalau ruam kulit ternyata memengaruhi satu dari lima pasien Covid-19. “Dokter harus menggunakan informasi ini untuk mengidentifikasi pasien dengan Covid-19 yang tidak memiliki gejala lain,” kata penulis studi dan dokter ahli bedah di Keck School of Medicine University of Southern California di Los Angeles, Daniel Gould, MD, PhD. “Dokter juga harus menggunakan informasi tersebut agar lebih agresif dalam menguji virus,” sambung dia. Apakah Ustadz Maaher terinfeksi Covid-19? Untuk mengetahui itu semua bisa saja melihat perlakukan dokter saat Maaher dirawat di RS Polri. Apakah dokter dan nakes yang merawat Maaher memakai alat pelindung diri (APD) lengkap atau tidak? Sesuai dengan SOP penanganan pasien Covid-19, jika mereka memakai APD, itu bisa menjadi petunjuk bahwa Maaher terkena Covid-19 atau tidak. Jika bukan Covid, apa mungkin Maaher terkena Sindrom Stevens Johnson (SSJ)? Ini adalah kelainan langka yang menyerang pada kulit dan selaput lendir sebagai jaringan lunak pelapis sistem pencernaan dari mulut ke anus, organ reproduksi (saluran genital), serta bola mata. SSJ jarang terjadi, tapi dapat menimbulkan kondisi yang serius bahkan fatal. Sindrom ini biasanya disebabkan karena reaksi terhadap obat-obatan tertentu, maupun terkadang oleh infeksi. Awalnya, gejala SSJ menyerupai flu, diikuti dengan ruam merah keunguan yang menyebar dan membentuk lepuhan. Selanjutnya, kulit akan mati dan mengelupas. SSJ adalah kondisi kegawatdaruratan yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Penyebab SSJ belum diketahui secara pasti. Namun secara umum, kondisi ini terjadi sebagai reaksi tubuh atas obat-obatan tertentu dan juga infeksi. Pada anak-anak, SSJ biasanya dipicu oleh infeksi virus. Pada orang dewasa, SSJ seringkali muncul sebagai bentuk reaksi yang merugikan pada obat (adverse reaction). Apakah Maaher kena SSJ, penyidik tidak juga mau menyebutnya. Atau, karena terkena racun sehingga dia “keracunan”? Jika menyimak foto Maaher yang beredar, wajahnya nyaris sama dengan foto jenazah mantan Ketua KPU Husni Kamil Malik. Pasalnya, di foto wajah Husni Kamil penuh dengan bintik merah. Hal itu menandakan jika pembuluh darah Husni Kamil pecah. Berbagai spekulasi pun mncul. Sebagian berpendapat, Husni Kamil meninggal mendadak “terkena” racun. Sayangnya, jenazah Husni Kamil saat itu tidak diotopsi. Penulis Wartawan Senior FNN.co.id.
Jenazah Ustadz Maheer Perlu Diotopsi Tim Dokter Independen
by M. Rizal Fadillah Bandaung FNN - Ustadz Maheer At Thuwailibi telah meninggal dalam status tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Mengapa dalam keadaan sakit, masih tetap dipaksakan untuk ditahan? Mengapa tidak ditangguhkan saja dulu penahanannya sesuai permohonan penagguhan penahanan dari istri almarhum Ustadz Maheer? Tentu dengan alasan terbuka meninggalnya Ustadz Maheer adalah akibat sakit yang belum jelas jenis penyakitnya apa? Konon masalah lambung. Diantara kuasa hukumnya, ada yang mencurigai kematian Ustadz Maheer itu sebagai meninggal tidak wajar. Sebab itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berniat menyelidiki sebab meninggalnya ustadz Maheer. Sayangnya niat baik Komnas HAM tersebut direspon dengan tidak antusias oleh publik. Ada rasa tak percaya kepada Komas HAM berdasarkan pengalaman penyelidikan atas terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Khawatirnya hasil penyelidikan Komnas HAM malah mirip-mirip dengan penjelasan polisi. Meski ada dugaan yang menguat di masyarakat. Tetapi tidak bisa dipastikan bahwa Ustadz Maheer meninggal sebagai korban dari pembunuhan politik. Apalagi akibat diracun segala. Untuk itu, ada baiknya dilakukan otopsi dan klarifikasi kebenaran bahwa pendakwah ini meninggal dengan wajar. Bukan meninggal karena diracun atau sejenisnya. Otopsi melibatkan tim kesehatan yang independen. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dokter Mer-C dan Dokter Rumah Sakit Muhammadiyah perlu dilibatkan dalam tim yang melakukan otopsi. Sebab bagaimanapun kematian dalam status sebagai tahanan patut untuk dicurigai. Aapalagi akses publik yang terbatas terhadap tahanan adalah faktor-faktor keniscayaan itu. Dalam sejarah, kematian aktivis HAM Munir dalam perjalanan pesawat Garuda 747 rute Jakarta-Amsterdam Belanda tahun 2004 adalah bukti pembunuhan politik dengan diracun lewat makanan dan minuman. Pilot senior pesawat Garuda, almarhum Pollycarpus Budihari yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Munir. Pollycarpus dihukum oleh Pengadilan dengan penjara 14 tahun. Pada bulan Oktober 2020 lalu, Pollycarpus meninggal dunia setelah selesai menjalani hukuman di penjara. Publik sangat faham kalau Pollycarpus hanya sebagai fasilitator pembunuhan Munir. Orang yang dipilih untuk dikorbankan. Sedangkan aktor intelektual hingga kini tidak terungkap. Aktornya masih bergentayangan sampai sekarang. Kecurigaan pembunuhan melalui racun juga terjadi pada saat meninggalnya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Malik dengan indikasi wajah yang penuh bintik merah. Husni Malik menjadi penanggungjawab atas pelaksanaan Pilpres 2014. Tidak ada penyelidikan apa-apa atas kematiannya itu. Dugaan bisa iya bisa juga tidak, karenanya semestinya ada otopsi dan penyelidikan yang mendalam. Dugaan racun yang mengakibatkan kematian juga terjadi pada mantan Jaksa Agung, alhmarhum Baharuddin Lopa. Publik mengenal Baharuddin Loppa sebagai Jaksa Agung yang tidak memberi ampun kepada para koruptor yang terlibat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLIB). Lopa meninggal di Arab Saudi. Jasadnya hitam, yang diduga kebakaran akibat racun. Racun sebagai alat pembunuhan politik telah tercatat sejak lama digunakan oleh penguaa. Pada masa Kerajaan Romawi Kuno, para Kaisar maupun lawan-lawan politiknya biasa dibunuh dengan cara diracun. Racun menjadi salah satu alat paling ampuh untuk membunuh lawan. Nero dan Caligula membunuh penentangnya dengan berbagai cara, diantaranya dengan racun. "Janda Hitam dari Roma" tiga peracik racun terkenal yang dipekerjakan oleh Kaisar untuk membunuh lawab politiknya adalah Martina, Locusta, dan Canidia. Kaisar perempuan Cina Wu Zetian juga gemar meracun pihak yang berseberangan dengannya, termasuk terhadap anggota keluarganya sendiri. Dilakukan secara terang-terangan maupun diam-diam. Alexei Novalny tokoh oposisi Rusia koma karena diracun pada teh yang diminum saat tinggal landas dari bandara Omsk. Kim Jong Nam, adaik tiri penguasa tertinggi Korea Utara Kim Jong Un, bulan Februari 2018 dibunuh di Kuala lumpur dengan mengoleskan racun saraf kimia VX di wajahnya. Racun menjadi alat paling ampuh untuk menghabisi lawan politik. Georgi Markov yang menjadi salah satu pengeritik Pemerintah Bulgaria meninggal karena diracun dengan zat O,2 miligram risin. Dan banyak lagi tokoh politik yang dibunuh dengan cara diracun. Tentu saja tidak boleh ada kecurigaan, kalau Ustadz Maheer yang meninggal di Rutan Bareskrim Polri karena diracun. Untuk itu, perlu dilakukan otopsi oleh tim independen. Supaya tidak ada kecurigaan yang berkiatan dengan wafatnya ustadz Maheer, perlu dioptimalkan klarifikasi dan pertanggungjawaban. Perlu dilakukan dengan pembuktian kesehatan dan penanganan pada saat masih sakit. Sebelumnya publik telah dikejutkan oleh peristiwa sesak nafas berat yang dialami Habib Rzieq Shihab (HRS) dalam tahanan Polda Metro Jaya. Sehingga tabung oksigen selalu disiapkan untuk HRS. Kini pun konon HRS masih sakit-sakitan. Tragis memang prilaku penegak hukum republik ini. Harus memaksakan kewenanganya untuk menahan orang di dalam Rutan, meskipun dalam keadaan sakit. Entah sila kemanusiaan yang adail dan beradab yang seperti apa yang dipahami oleh mereka? Dimana saja sila yang kedua dari Pancasila ini ditempatkan dalam panduan penegakan negeri ini? Ulama dan aktivis Islam serta pejuang demokrasi banyak ditahan dan dalam proses peradilan. Akses komunikasi sangat terbatas dengan alasan pandemi Covid 19. Agar terjamin kondisinya dan terhindar dari kecurigaan atas perlakuan yang di luar hukum dan melanggar HAM, perlu selalu terinformasikan keadaannya baik kepada keluarga maupun masyarakat luas. Sebenarnya kasus Ustad Maheer hanya berkaitan dengan delik penghinaan yang sifatnya "personal". Rasanya tidak perlu sampai mendapat tekanan hukum yang berlebihan, sehingga menderita sakit parah di dalam Rutan Bareskrim. Ungkapan Novel Baswedan perlu menjadi pelajaran "orang sakit kenapa dipaksakan ditahan?". Menurutnya kematian ini bukan persoalan sepele. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Labelisasi Teroris Kembali Digunakan
ISLAM politik yang semakin menguat akhir-akhir ini membuat para penguasa islamofobia merasa terancam. Pilkada DKI 2017 beserta prolognya memberikan kesempatan besar bagi Islam politik untuk berekspansi. Kontestasi jabatan Gubernur DKI yang berakhir dengan kekalahan Basuk Tjahja Purnama alias Ahok menjadi lonceng peringatan bagi para penguasa. Dan mereka kebingungan. Gerakan umat yang menghadirkan jutaan orang dalam setiap kali ‘kumpul Monas’ antara akhir 2016 hingga akhir 2019 adalah salah satu simbol kebangkitan Islam politik. Para penguasa eksekutif dan para pengawal mereka di legislatif melihat ancaman Islam politik akan semakin besar kalau terus dibiarkan. Gerakan umat sangat solid dan kuat. Para penguasa tahu gerakan umat itu tak terbendung. Gelombang gerakan itu semakin membesar. Ini yang membuat para penguasa menjadi “disoriented”, kehilangan arah. Mereka tidak paham bagaimana cara menghadapinya. Para penguasa tidak paham karena mereka merasa tidak ada masalah dengan diri mereka. Di sinilah simpul persoalannya. Rakyat, khususnya umat, sudah sangat muak melihat cara-cara yang dilakukan para penguasa. Tidak saja muak, rakyat harus memikul beban berat akibat kesewenangan yang bermodalkan non-kompetensi. Para penguasa tidak kompeten mengelola negara besar ini, tetapi mereka terus mabuk dengan cara sewenang-wenang. Di tengah kesewenangan dan non-kompetensi inilah Islam politik menggumpal dan merajut kekuatan. Tak dapat dipungkiri, Habib Rizieq Syihab (HRS) adalah episentrum Islam politik itu. HRS kemudian menjadi ‘iconic figure’ (tokoh simbol). HRS bisa melakukan peran ini karena dia dilihat memiliki semua teladan yang dicari umat untuk gerakan Islam politik yang ideal. Umat mendambadakan kejujuran, kesederhanaan, keberanian dan konsistensi. Habib Rizieq memperlihatkan karakteristik ini. Umat memerlukan kecerdasan dan aksetabilitas dalam kebinekaan, HRS telah menunjukkan itu sejak lama. Umat mendambakan ketegasan dalam “mutual respect and tolerance” (saling menghormati dan toleransi), HRS pun sudah melakukan hal itu dari dulu. Ketika seluruh kompenen rakyat menuntut pembasmian korupsi dan pemulihan kedaulatan yang telah tergadai, HRS bisa diterima semua pihak. Singkat cerita, HRS bisa meyakinkan semua orang, kecuali oligarkhi politik dan bisnis, bahwa dia tidak punya agenda pribadi atau kelompok ketika meneriakkan penegakan hukum dan keadilan tanpa pilih kasih. Sejak itulah HRS tidak punya akseptabilitas di kalangan para oligarkhi rakus, para koruptor dan pengkhianat. Rating HRS menjadi nol di mata para penguasa laknat. Tidak hanya minus akseptabilitas dan rating di depan oligarkhi jahat dan para penguasa zalim, HRS kemudian dijadikan musuh yang berbahaya. Musuh yang mengancam kenikmatan mereka dalam mengobrak-abrik negara dan kekayaannya. Mau tak mau, HRS harus menghadapi kolaborasi kekuatan para penguasa zalim dan para penggarong. Inilah yang sekarang “on display” (sedang dipajang). HRS akan dikejar habis. Dengan segala cara. Apa saja yang bisa ditimpakan kepada dia pasti akan dilakukan. HRS tidak akan diberi ruang sedikit pun. Bagi para penguasa zalim yang didukung oleh oligarkhi, Habib Rizieq jangan lagi bisa mengganggu mereka. Kepulangan HRS dari Arab Saudi membuat mereka merasa terganggu. Itulah sebabnya begitu ada kekeliruan kecil yang dilakukan HRS, para penguasa langsung menjadikan itu sabagai kesempatan untuk memukul. Kesalahan sepele itu, termasuk kerumunan Petamburan dan Megamendung, serta ‘swab test’ di RS Ummi Bogor, memberikan justifikasi untuk menginteli gerak-gerik HRS. Dari sinilah bermula peristiwa KM-50 yang berujung pembunuhan 6 pengawal HRS pada 7 Desember 2020. Setelah peristiwa itu, situasi berbalik. Kesalahan kecil HRS tenggelam oleh pembunuhan sadis ke-6 anak muda FPI itu. Para penguasa zalim balik dikejar oleh opini publik. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi. Komnas menyimpulkan ada pelanggaran HAM. Penguasa terpojok. Bakal ada proses hukum terhadap para pembunuh. Tentunya ini sangat aib. Sayangnya, Komnas HAM yang semula berapi-api dalam penyelidikan pembunuhan ini akhirnya bisa jinak dan terkooptasi. Pernyataan-pernyataan yang kemudian keluar dari para petinggi Komnas terutama ketuanya, Ahmad Taufan Damanik, berbalik menyudutkan para korban, HRS, dan FPI. Habib dijebloskan ke penjara lewat kasus kerumunan Covid yang sebtulnya sudah terjadi ribuan kali di tempat-tempat lain. Termasuk ketika berlangsung kampanye pemilihan Wali Kota Solo. Penguasa mulai menjalankan taktik pembunuhan karakter terhadap HRS dan FPI. Labelisasi teroris adalah salah satu pembunuhan karakter yang sangat ampuh. FPI sedang digiring ke sini. Labelisasi teroris ini pula sekarang dijadikan taktik untuk mengubur kasus pembunuhan sadis 6 anggota FPI. Agar kasus ini tak jadi dibawa ke pengadilan. Labelisasi teroris juga akan mejadi pedang mermata dua. Taktik ini sekaligus akan membungkam umat Islam. Tidak hanya membungkam HRS dan para mantan pengurus FPI. Umat akan diam. Tak lagi keras menyuarakan pembunuhan yang telah dinyatakan sebagai “unlawful killing” (pembunuhan sewenang-wenang) oleh Komnas HAM. Belakangan ini, para penguasa terlihat mencari-carikan cara untuk menghubungkan FPI dengan aksi terorisme. Meskipun publik mencatat bahwa FPI tidak pernah terlibat tindakan teror. Pada 15 Desember 2020, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Irjen (Purn) Benny Mamoto, mengatakan ada 37 anggota atau mantan anggota FPI (yang waktu itu FPI masih belum dibubarkan) yang terlihat langsung dengan kelompok teroris di Indonesia. Meskipun dia seorang polisi, Benny Mamoto sebagai Ketua Harian Kompolnas tidak layak mengurusi orang-orang yang trindikasi ini dan itu. Itu bukan urusan dia. Kompolnas seharusnya mengurusi kinerja kepolisian dan melayani keluhan masyarakat terhadap kepolisian. Sebagai contoh, di Inggris ada Independent Police Complain Commission (IPCC) yang bertugas mengawasi profesionalisme polisi. Mereka melayani pengaduan masyarakat terkait tindakan polisi yang melanggar hukum. Bukan menjadi jurubicara kepolisian seperti yang dilakukan oleh Mamoto. Akan teapi, begitulah Indonesia. Hal-hal yang kontradiktif atau aneh, sudah menjadi sesuatu yang lazim. Dikritik pun, tidak akan dihiraukan. Baik, kembali ke labelisasi teroris untuk membungkam para aktivis FPI dan umat Islam pada umumnya. Permainan ini sangatlah kasar. Sangat mungkin nantinya akan ada vonis bahwa FPI terkait dengan ISIS (Islamis State of Iraq dan Syria, yaitu Negara Islam Irak dan Suriah). Pada 6 Januari 2021, Polda Makassar menangkap 19 orang yang dikatakan sebagai anggota Jemaah Ansharud Daulah (JAD) yang selama ini dilabel teroris. Setelah mereka dibawa ke Jakarta pada 4 Februari 2021, Karo Penmas Polri Birgjen Rusdi Hartono mengatakan ke-19 orang tersangka teroris ini adalah anggota FPI. "Semua terlibat atau menjadi anggota FPI di Makassar. Mereka sangat aktif dalam kegiatan FPI di Makassar," kata Rusdi dalam konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta ketika para tersangka mendarat dari Makassar. Beberapa hari lalu, mantan petinggi FPI, Munarman, “berhasil” dikaitkan dengan ISIS. Dikatakan, seorang anggota FPI Sulawesi Selatan mengaku bahwa dia dibaiat sebagai pengikut ISIS dengan disaksikan langsung oleh Munarman. Jika sudah tersemat bahwa FPI terhubung dengan ISIS, maka para mantan pemimpin FPI dan anggota mereka otomatis bisa disebut teroris oleh para penguasa. Bila sudah “resmi” teroris, maka bisa dengan mudah dipropagandakan oleh para penguasa bahwa 6 orang yang terbunuh itu pun termasuk yang terkait dengan teroris ISIS. Sehingga, rekomendasi Komnas HAM agar pembunuhan para pengawal HRS itu dibawa ke pengadilan, bisa diabaikan. Alasannya, organisasi mereka telah dipastikan oleh para penguasa sebagai kelompok yang mendukung teroris. Propaganda para penguasa akan didukung oleh media massa penjilat. Mereka akan beramai-ramai dan serentak menggaungkan bahwa FPI adalah organisasi teroris. Inilah yang telah dan sedang dilakukan oleh para penguasa zalim. Mereka kembali menggunakan labelisasi teroris untuk membungkam umat. Taktik usang yang sangat mudah dibaca.**
Presiden Jokowi Tambah Lucu, Belajar dari Srimulat Ya?
by Jarot Espe Surabaya, FNN- Malam itu Kabul Tessy Basuki muncul di panggung Srimulat dengan monolog genit nan ceriwis. Khas peran pembantu rumah tangga. "Aku iki sakjane bingung," ujar Tessy menyatakan rasa gelisah atas perilaku majikannya. "Dikongkon dadi pembantu, wis tak turuti." (disuruh jadi pembantu, saya jalankan). "Dadi tukang kebon, oke. sopir, opo maneh." (jadi tukang kebun, oke. jadi supir pun, apalagi). Pokoknya, sang majikan meminta Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik (nama beken Kabul Basuki di panggung) untuk berperilaku sebagaimana pemilik rumah. Merasa sama-sama memiliki. Namun begitu Tessy mulai melirik istri majikan yang gemerlap ditimpa kilau perhiasan permata di jari tangan dan leher, sang bos marah besar. Kalap..! "Kan dia bilang anggap saja rumah sendiri. Lha bener kan.. apa salahnya kalau istri bos menjadi milik bersama." Seisi panggung serasa runtuh oleh gelak tawa. Tessy mewakili prototype pelawak khas Srimulat. "Unik, nyleneh. Saat muncul di panggung, dia harus mampu menarik urat bibir penonton untuk tersenyum," ujar Teguh Slamet Raharjo berbagi tips keberhasilan para pelawak didikannya. Panggung Srimulat merupakan paradoks kehidupan karena semata-mata memberi hiburan, meski mereka sesungguhnya perlu dihibur karena himpitan ekonomi. Ingat Srimulat, saya jadi ingat Presiden Jokowi, karena mereka sama-sama dilahirkan di Kota Solo. Maaf, wajah Pak Jokowi juga menggemaskan. Sumpah lucu, tapi beliau tidak pernah tertawa saat berbicara, padahal itu kocak, menghibur. Dulu, menjelang Pilpres 2014, Pak Jokowi dilekatkan sebagai sosok Ratu Adil alias Satrio Piningit atau pemimpin yang dinantikan karena akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Ketika itu ditampilkan foto Pak Jokowi yang bersahaja. Mimiknya serius, meski di belakang hari mengundang senyum sinis, karena hingga Pak Jokowi terpilih menjadi presiden kedua kali, belum terlihat tanda-tanda kehadiran Ratu Adil. Ekonomi menukik tajam ke bawah, aktivis pro-demokrasi dipenjarakan. Yang paling gress (terbaru) ketika Pak Jokowi merasa rindu dikritik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan, kata bapak presiden dalam sambutan laporan akhir tahun Ombudsman RI, 8 Februari lalu. Banyak yang ingin tersenyum pak, tapi ditahan-tahan, karena takut terjerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Takut disangka menghina Kepala Negara, khawatir dianggap menyebarkan berita bohong alias hoax, bahkan dilaporkan ke polisi dengan framing menebar kebencian. Kalau Pak Jokowi gak percaya, tanyakan ke ekonom Kwik Kian Gie yang dibuzzer habis-habisan lantaran mengemukakan pendapat berbeda. Padahal niatnya cukup baik, memberi langkah alternatif. Tapi buzzer tak mengenal kosa kata kritik. Mereka membalas Kwik, bahkan menyentuh ranah pribadi Pak Kwik. Atau Pak Jokowi bisa ngecek di akun twitter, karena mantan menteri Anda, Susi Pudjiastuti menyampaikan langsung keluhannya. Bu Sus menulis, pandemi sudah cukup membuat depresi sosial, ekonomi dan kesehatan. Ia memohon presiden menghentikan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama, ras, suku ataupun relawan. Kekhawatiran Bu Susi berbanding lurus dengan pernyataan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang menilai pembuatan UU ITE seharusnya menekankan perlindungan dan keamanan informasi masyarakat. Usman tidak melihat urgensi pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di dalam UU ITE. Menurutnya, kedua pasal itu dihapus saja, apalagi pencemaran nama baik sudah ada di KUHP. Kembali ke Bu Susi, mengapa permohonan penghentian ujaran kebencian ditujukan ke Pak Jokowi? Karena bapak adalah Presiden Indonesia, yang dengan gamblang meminta agar masyarakat tidak ragu-ragu melontarkan kritikan. Terus terang pak, saya tersenyum. Bukankah tema lawakan Srimulat sering menggunakan paradoks semacam itu. Pembantu yang diperankan Tessy, diminta untuk berperilaku sebagaimana lazimnya sang majikan. Anggap saja rumah sendiri, kecuali berbagi ranjang dengan istri. Nah jangan-jangan yang dimaksud Pak Jokowi seperti majikan Tessy. Lontarkan kritikan, asalkan jangan ke Pak Jokowi. Ahh... Pak Jokowi begitu. Tapi cukup menghibur kok. Penulis adalah Pemerhati Seni.
Jokowi dan PBSI, Please Deh Jangan Norak
By Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - KETUA Umum Persatuan Bulutangkis Indonesia (PBSI) Agung Firman Sampurna tiba-tiba menyatakan niatnya menggelar turnamen bulutangkis bertajuk Piala Presiden. Ide tersebut muncul seusai ia menghadap Presiden Jokowi di Istana beberapa waktu lalu. Dalihnya, di cabang lain, seperti sepakbola dan tinju punya turnamen Piala Presiden, mengapa di bulutangkis tidak? "Bulutangkis sangat layak memiliki ajang sekelas Piala Presiden. Sebab, bulutangkis merupakan olahraga kebanggaan Indonesia serta yang paling banyak menyumbangkan prestasi di gelaran internasional. Sepakbola dan tinju punya Piala Presiden, sedangkan bulutangkis yang merupakan olahraga dengan prestasi internasional bertahun-tahun tidak punya Piala Presiden,” kata Agung dalam laman resmi PBSI, Jumat (5/2). Pernyataan Agung sungguh menggelikan, kalau tidak boleh disebut mengecewakan. Nggak nyambung, kalo istilah anak sekarang. Apa hubungannya prestasi di gelaran internasional dengan Piala Presiden? Yang nyambung itu kalau prestasi diganjar bonus dari presiden. Atau seperti China dan Korea Selatan yang atlet peraih emas Olimpiadenya dijamin hidupnya sampai tua alias pensiun seumur hidup. Tidak seperti di Indonesia, memberikan pensiun untuk peraih emas Olimpiade yang cuma segelintir saja tidak bisa. Parahnya lagi Agung atau Jokowi sepertinya tidak paham kalau kalender BWF (Federasi Bulutangkis Dunia) juga amat padat. Begitu juga kejuaraan di regional Asia, bahkan nasional. Kalau maksud Agung ingin memasukkan Piala Presiden ke dalam kalender BWF (internasional) rasanya tidak mungkin. Karena saat ini saja BWF sudah cukup pusing untuk menjadwal ulang turnamen-turnamen yang batal karena Covid-19. Jangan lupa PBSI membutuhkan perjuangan puluhan tahun untuk menggolkan Piala Sudirman, Kejuaraan Beregu Campuran, menjadi ajang kejuaraan beregu resmi BWF, selain Piala Thomas dan Uber. Agung seolah-olah juga tidak tahu kalau pergelaran Piala Presiden di cabang sepakbola pada 2015 adalah karena 'kecelakaan'. Kala itu pemerintah ingin menutup malu setelah PSSI terkena sanksi FIFA karena ulah Menpora Imam Nahrawi yang kini di bui. Untuk mengganti liga yang tidak boleh bergulir, dihelatlah Piala Presiden. Jadi, Piala Presiden adalah turnamen untuk mengisi waktu yang kosong karena tidak ada liga, dan berikutnya dijadikan turnamen pra-musim jelang liga yang pelaksanaannya kerap tertunda. Suatu hal yang tidak terjadi di bulutangkis karena turnamen sudah sangat padat dan kewajiban PBSI mengirim pemain sebanyak mungkin ke turnamen-turnamen tersebut sepanjang tahun. Intinya, Piala Presiden bukanlah suatu yang penting yang harus digulirkan di cabang bulutangkis. Harusnya, Jokowi bukan menantang Agung untuk membuat Piala Presiden, tetapi menantangnya berani pasang target berapa medali emas yang harus diraih di Olimpiade Tokyo mendatang? Atau lebih hebat lagi kalau Jokowi berani menjanjikan bahwa seluruh dana pembinaan cabang yang prestasinya internasional semua ditanggung full oleh pemerintah terutama bulutangkis. Jadi, Agung yang Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK) tak perlu repot-repot 'menginjak' BUMN untuk mau menjadi sponsor PBSI. Pembinaan kita juga akan bisa menyaingi China dan meraih makin banyak gelar di masa mendatang. Melahirkan Susi Susanti dan Taufik Hidayat baru lebih penting ketimbang menggelar Piala Presiden. Jangan dibalik yaaa..! Please deh, jangan norak dengan gagasan Piala Presiden untuk bulutangkis! ** Penulis adalah wartawan Senior FNN.co.id.
Meski Diganjal, Anies Tetap Berpeluang Menjadi Presiden 2024
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sepanjang tidak terbuka jalan kriminalisasi, maka Anies Baswedan Gubernur DKI sulit untuk dibendung menjadi Presiden Republik Indonesia 2024-2029 nanti. Baik elektabilitas maupun popularitas yang cukup tinggi, sehingga sampai sekarang belum mampu ada yang bisa menandingi. Semua kandidat yang bermunculan sekarang, masih jauh di bawah Anies. Meskipun belum dipastikan Partai Politik yang bakaln menjadi pengusung Anies, tetapi kendaraan itu akan mudah untuk didapat bila sudah tersedia elektabilitas dan popularitas tinggi. Gula selalu didatangi semut. Partai Nasdem misalnya, sudah memberikan sinyal dan ancang-ancang kalau bakal mendorong Anies sebagai Calon Presiden pada Pilpres 2024 nanti. Saat ini rezim status quo sedang berupaya dengan segala cara untuk mengganjal laju Anies. Konspirasi dilakukan dengan sangat masif. Baik itu melalui bully buzzer, opini yang melemahkan, bahkan melalui peraturan perundang-undangan. Akting "blusukan" Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini juga bagian dari upaya-upaya penjegalan tersebut. Namun Anies Baswedan tetap bergerak dengan prestasi dan penghargaan yang dinilai obyektif. Tidak mengeda-ngada dan melakukan rekayasa. Tidak juga membuat pencitraan di sana-sini. Serangan demi serangan dilayani Anies dengan sikap tenang dan modal pengalaman yang matang. Semua serangan dijawab dengan kerja nyata. Bukan dijabwab dengan kata-kata. Terakhir rencana revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada serentak untuk dilaksanakan tahun 2022. Namun dimentahkan oleh "buldozer Jokowi” yang mengarahkan Pilkada tetap tahun 2024. Bersamaan dengan Pileg dan Pilpres. Sebagian partai koalisi pendukung yang semula menghendaki Pilkada di 2022 dan 2023 segera balik badan mengamini. Dengan demikian, berubah sikap semua Partai Politik dari semangat awal yang menghendaki revisi UU Pildaka, kecuali PDIP. Dengan Pilkada tahun 2024, maka Anies harus menyerahkan jabatan Gubernur kepada Plt Gubernur pada tahun 2022. Maksud konspiratifnya adalah Anies Baswedan dalam kompetisi Pilpres 2024 tidak lagi berstatus sebagai Gubernur DKI. Ini dianggap kelemahan dari Anies kelak. Benarkah rencana? Belum tentu benar juga. Bisa jadi ini merupakan keuntungan politik untuk Anies. Sebab, jika Pilkada dilakukan pada tahun 2022, meskipun Anies berpeluang memenangkan kompetisi untuk menjadi Gubernur lagi, akan tetapi biaya ekonomi dan politiknya sangat besar untuk mampu fit kembali bertarung di Pilpres 2024. Sebaliknya, dengan konsentrasi penuh bagi Pilpres 2024, maka persiapan akan lebih baik dan ringan. "Kampanye" lebih dini dapat berjalan, dukungan pun mulai digalang jauh-jauh hari. Anies bisa keliling Indonesia dengan mudah, tanpa terganggu dengan tugas-tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Waktu lebih banyak untuk konsolidasi dan menyapa rakyat di daerah-daerah. Jadi agenda yang semula untuk "memotong" Anies, akan berubah menjadi "menolong". Suka atau tidak, mendukung atau menolak, namun faktanya hari ini Anies Baswedan masih menjadi kandidat terkuat. Belum terlihat ada lawan yang sepadan. Kesempatan besar untuk melakukan pilihan Partai. Pilpres 2024 menjadi momen untuk mengukuhkannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Upaya mengganjal Anies adalah pengakuan betapa sulit untuk mengalahkannya bila sudah memasuki fase kompetisi. Upaya yang kemungkinan hasilnya hanya sia-sia. Bahkan bisa jadi sebaliknya, semakin meningkatkan elektabilitas dan popularitas Anies. Apalagi pengakuan lembaga-lembaga internasional atas prestasi dan kemampuan Anies semakin berdatangan dari mana-mana. Ada yang menarik dari pandangan mantan Waketum Partai Gerindra Arief Poyouno yang menyatakan bahwa satu-satunya orang yang dapat mengalahkan Anies Baswedan di Pilkada DKI adalah Gibran Raka Buming. Jika Pilkada dilaksanakan tahun 2022. Tentunya setelah menjadi Gubernur, Gibran seperti ayahnya mungkin saja maju lagi untuk Pilpres 2024. Entah serius atau main-main, Mas Arief ini berpandangan seperti itu. Sulit untuk ditebak. Sama sulitnya dengan melihat status Gibran menjadi kompetitor melawan Anies sebagai Walikota Solo atau pengusaha Martabak? Yang jelas Gibran harus banyak belajar politik dulu sebelum mimpi terlalu jauh. Matang di pohon yang bukan karbitan, tidak menjadi mainan taipan, atau bermodal sekedar anak dari seorang Presiden. Istana bukan panggung drama atau sandiwara. Istana bukan tempat bergaya untuk para pemain sandiwara, lalu penonton pun terpaksa tertawa he he he, hanya karena rasa kasihan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Ustad Maaher Mati di Rutan Bareskrim, Kapolri Sigit Mundurlah
DITENGAH sikap, entah apa namanya, Polri dibawah Jendral Listyo Sigit, yang tidak juga menyidik anak buahnya dalam peristiwa pembunuhan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Namun Indonesia disentak lagi dengan satu kematian. Ustad Maaher, yang semasa hidupnya kritis terhadap pemerintah. Setidaknya kritis kepada pendukung-pendukung pemerintah, mati. Ustad Maaher mati pada hari Senin (8/2/2021), usai ba’da maghrib. Almarhum mati di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Almarhum ditahan di rutan ini, karena disangka melakukan tindak pidana menyebarkan berita yang dapat menimbulkan gangguan Suku, Agama Ras dan Antargolongan (SARA). Bareskrim yang pada saat itu dipimpin Listyo Sigit, sekarang Kapolri terlihat hebat. Sangat responsive. Segera setelah menerima laporan, anak buah Sigit menindaklanjutinya. Almarhum ditangkap di rumahnya di Bogor. Penangkapan dilakukan dini hari. Sigit sangat sensitive terhadap kasus almarhum. Sigit yang Kabareskrim kala itu memang top markotop. Mati tiba-tiba? Tidak begitu juga. Mabes Polri telah memberikan penjelasan seputar meninggalnya Ustad Maaher. Dilansir dari Republika,.co.id, adapun perkara almarhum sudah masuk tahap dua, dan sudah diserahkan ke kejaksaan. Tetapi sebelum tahap dua dilaksanakan yang bersangkutan mengeluh sakit. Kata Argo Yuwono, "kemudian petugas rutan, termasuk tim dokter membawanya ke RS Polri Kramat Jati. Setelah diobati dan dinyatakan sembuh, yang bersangkutan dibawa lagi ke Rutan Bareskrim". Setelah tahap dua selesai, barang bukti dan tersangka diserahkan ke jaksa, namun Maaher kembali mengeluh sakit. Lagi-lagi, petugas rutan dan tim dokter menyarankan agar dibawa ke RS Polri, tetapi yang bersangkutan tidak mau, sampai akhirnya meninggal dunia. "Soal sakitnya apa, tim dokter yang lebih tahu. Jadi, perkara Ustad Maaher ini sudah masuk tahap dua, dan menjadi tahanan jaksa," terang Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Argo Yuwono, Senin (8/2). Dilansir RMol (9/2/2021) Argo Yuwono menegaskan, "ini karena sakit meninggalnya. Saya enggak bisa sampaikan sakitnya apa. Karena sakit yang sensitif ini bisa berkaitan dengan nama baik keluarga almarhum," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (9/2). Tidak bisa kasih keterangan tentang sakitnya almarhum, tetapi ko bisa menyatakan sakitnya sensitif? Hebat sekali tuan Argo Yowono ini. Logika tuan ini mungkin hanya bisa dimengerti oleh tuan sendiri dan Kapolri. Yang lain seperti kami-kami ini tidak bisa memahami. Orang menderita sakit, lalu mati, dan sakitnya bisa berkaitan dengan nama baik keluarga? Top juga logika bos Argo ini. Apakah logika ini muncul setelah dirinya memperoleh arahan dari Kapolri, Jendral Listyo Sigit? Hanya Allah Subhanahu Wata’ala, malaikat dan mereka berdua yang tahu. Pak Argo dan Pak Kapolri, sudilah dapat memberi jawaban otoritatif terhadap pertanyaan kecil berikut ini. Sahkah secara hukum kalau ada orang sembunyikan penyakit postif Covid-19? Kalau ada orang yang selesai diperiksa di Rumah Sakit, misalnya rumah sakit Omni di Bogor, Rumah Sakit yang Habib Rizieq Shihab (HRS) pernah memeriksakan kesehatannya. Orang itu positif Covid-19, tetapi yang bersangkutan tidak mau beritahukan kepada siapapun, karena menyangkut nama baik keluarganya, bisakah tindakannya itu dikualifikasi melakukan tindak pidana? Pak Argo dan Pak Kapolri, tolonglah beri jawaban yang otoritatif juga. Sekarang mari beralih kesoal yang agak teknis. Ya perkara almarhum, semoga Allah Subhanahu Wata’ala, yang Maha Pengampun, dengan ampunannya yang tak memiliki ujung, merahmati, telah dinyataklan P.21. Apa makna hukumnya? Makna hukumnya adalah tanggung jawab hukum atas tersangka beralih dari penyidik ke Kejaksaan. Itu satu soal. Soal kedua, tanggung jawab terhadap fisik Ustad Maaher dan segala yang terkait fisik tersangka. Ya tentu saja kesehatan dan lainnya masih ada pada pihak Rutan. Nah. Rutan dalam kasus ini adalah Rutan Bareskrim. Jadi petugas Rutan tak bisa lepas tanggungg jawab. Namun sudahlah, itu soal kecil. Terlalu kecil untuk didiskusikan. Petugas Rutan itu tak berpangkat Jendral bintang dua atau tiga. Mereka, kami duga, tidak punya wewenang bikin kebijakan untuk tahanan, yang jelas-jelas top, karena sikap kritisnya terhadap pemerintah. Para petugas Rutan ini, tak mungkin tak berada dibawah perintah Bos-bosnya. Dalam urusan tahan-menahan ini, Bos terbesarnya tidak mungkin lain selain Kabareskrim dan Kapolri. Di luar itu tidak ada. Wahai Jendral Listyo Sigit, sang Kapolri pilihan Presiden Jokowi. Tidak adakah kearifan kemanusiaan pada dirimu yang terlihat jago dan hebat ketika menjalani fit and proper test di Komisi III DPR? Sehingga setelah dari Rumah Sakit, almarhum masih harus ditahan juga? Beginikah cara tuan Kapolri memahami penegakan hukum dan soal-soal kemanusiaan pada sila kedua dan kelima dari Pancasila? Kalau almarhum telah sehat, mengapa mati? Berapa lama waktu antara almarhum mengeluh sakit hingga mati? Dia mengeluh sakit, tetapi tidak mau dibawa lagi ke rumah sakit, sehingga atas dasar itu, pantaskah almarhum harus terus berada dalam Rutan? Hebat betul postur penegakan hukum yang tuan sajikan sejauh ini untuk republik kita. Padahal belum cukup sebulan tuan Kapolri menjalani fit and proper test di DPR, yang terlihat seperti mengagumkan, menjanjikan harapan perbaikan dunia hukum ke depan. Tuan Kapolri, apakah tuan tak punya secuil rasa? Tuan Kapolri, segersang inikah dunia hukum untuk mereka yang kritis terhadap pemerintah? Beginikah politik penegakan hukum yang tuan sajikan dalam kepemimpinan tuan sebagai Kapolri? Tuan kencangkan demarkasi lawan dan kawan pemerintah sebagai basis kebijakan penegakan hukum? Safari tuan ke Ormas-ormas Islam, Kejaksaan Agung, KPK, dan lainnya, terus terang, tidak disambut sebagai perubahan penegakan hukum. Bukan omong kosong, tetapi apa yang dapat diambil dari situ untuk melukis seindah-indahnya postur penegakan hukum? Apa yang bisa tuan argumentasikan bahwa safari itu merupakan variable penentu perbaikan postur penegakan hukum? Tuan mau sodorkan safari itu sebagai penanda penegakan hukum dibawah tuan akan menjauh dari diskriminasi? Tuan rajin bersafari, hingga kasus kilometer di 50 tol Japek menjadi cerita pilu yang terus mengeras di memori orang-orang berbudi pekerti. Tuan keringkan cinta kasih dengan cara membiarkan selama mungkin kasus itu? Tuan juga akan gersangkan akal budi atas kematian almarhum Ustad Maher ini? Tuan Kapolri punya kuasa besar, yang selain Presiden. Tidak seorang pun yang bisa mengubah sikap tuan Kapolri. Tuanlah panglima penegakan hukum, dalam banyak hal. Tuan punya kuasa menggunakan senjata. Tuan juga punya kuasa mengarahkan hukum. Tuan bisa bikin apa saja semau tuan dan Presiden. Sungguh tega sekali, entah tuan sendiri atau dengan yang lain. Tuan menolak permohonan istri almarhum agar bisa ditangguhkan penahanannya. Sungguh kami tak mampu merenungkannya. Hati ini terluka, tercabik-cabik. Terlalu berat untuk dibayangkan, dan terlalu menusuk cita rasa kemanusiaan untuk diingat. Entah bagaimana cara tuan memahami sila kedua dan kelima Pancasila yang sarat dan penuh dengan muatan kemanusian yang berdab itu? Apakah hanya menjadi lipstik semata? Rasanya bukan soal cinta, yang menjadi dasar dia, sang istri untuk memohon penangguhan. Toh almarhum memang nyata-nyata sakit. Tidakkah kenyataan itu beralasan secara hukum? Subhanalllah, walaupun musim hujan dan banjir terjadi dimana-mana, namun sungguh kering dan gersang hukum di negeri ini menjiwai makna keadilan yang beradab, terutama ketika dipimpin Presden Jokowi. Ya Allah Ya Rabbii, tunjukanlah kearifan-Mu yang tak terjangkau oleh mahluk apapun itu kepada Tuan Kapolri Sgit dan Tuan Presiden Jokowi. Cerahkan mereka berdua dengan Nur Mu yang mulia, agar bangunan hukum di negeri ini, tidak terus-terusan menjauh dari Sila Pertama Pancasila. Juga sila kemanusiaan yang adil beradab, dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sungguh kami lelah mengarungi samudra hukum dalam pemerintahan Jokowi. Merana, hampir menjadi teman disetiap menit yang kami lalui dalam dunia hukum. Kami hampir tak mampu lagi menemukan jawaban untuk semua ini. Sungguh kami merasa keangkuhan telah menjadi ciri hukum di negeri ini. Pak Kapolri, timbanglah dirimu. Temukanlah jawaban yang jujur. Apakah Tuan Kapolri memang orang yang tepat untuk memimpin Kepolisian? Terus terang kami tak mampu menaruh kepercayaan atas kepimpinan Tuan. Sebab Tuan telah memimpin Bareskirm. Dalam masa Tuanlah terjadi perisitwa pembunuhan enam laskar FPI. Dalam kepemimpinan Tuan jugalah terjadi penangkapan dan penahanan, almarhum dan lainnya. Mereka adalah Jumhur Hidayat, Sahganda Nainggolan, Anton Permana, Ibu Kinkin, Habib Rizieq, Ustad Sobri Lubis dan lainnya. Itulah kepempinan Tuan selama di Bareskrim. Ini nyata. Bukan mengarang bebas.com. Ini tidak bisa untuk disepelekan. Terus terang, itu sebabnya sukar sekali kami memberi kredit poin yang positif kepada tuan. Sudahlah Pak Kapolri, sudilah tinggalkanlah jabatan itu. Tuan memang punya konsep Presisi yang sepintas terlihat hebat, entah sebagai tandingan konsep Promoter atau tidak, itu tidak lagi penting. Namun Presisi, tetapi ada orang yang mati di dalam tahanan Bareskrim itu sangat menggelikan dan buruk.