ALL CATEGORY
Setan & Iblis Ikut Bahas Korupsi Bansos
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Pagi tadi (Jum’at 26/02), selesai sholat subuh, saya baca pesan dari teman yang pernah menjadi menteri di eranya kabinet Jokowi-Jusuf Kalla. Pesannya dikirim dari semalam sekitar jam 21.45 WIB. Namun baru dibaca selesai sholat subuh. Isi pesannya adalah, “adinda, bisa ke rumah jam 08.00 WIB pagi ini untuk sarapan, sambil ngombrol-ngobrol kecil di rumah”? Tanpa pikir panjang, saya langsung jawab saja, “insya Allah bisa bang”. Cuma kemungkinan saya agak terlambat yang bang, karena harus ketemu dengan teman yang sudah terlanjur janjian jam 06.30 WIB pagi ini. Dijawab oleh abang yang mantan menteri itu “ok saja adinda. Abang tunggu ya. Sampai jumpa di rumah dinda nanti”. Sebagai wartawan, tentu saja ini adalah kesempatan yang tidak bakalan saya disia-siakan. Saya sudah mulai terbayang bakalan dapat cerita dan informasi penting sekitar pemerintah Jokowi, naik dulu ketika masih menjadi anggota kabinet maupun sekarang. Paling kurang ada kesempatan untuk saya menggali dan menanyakan beberapa informasi penting dari sang mantan menteri. Tepat jam 07.45 WIB, saya meninggalkan rumah teman untuk menuju rumah mantan menteri tersebut. Karena macet, saya baru tiba di rumah sang mantan menteri jam 09.15 WIB. Setelah dipersilahkan oleh staf rumahnya untuk masuk ke ruang tamu, tiga menit kemudian mantan menteri keluar dari kamar pribadi untuk menemui saya. Kami lantas saling memberikan salam protokol kesehatan (prokes) dengan menunukan kepal tangan masing-masing dari jarak jauh. Sambil menunggu sarapan dihidangkan, sang mantan menteri mengajak saya untuk foto-foto dengan beberapa latar belakang lukisan yang dibuat dengan alat lukis dari pedang. Latar belakang foto kami bedua lainnya adalah ketika sang menteri masih mudah. Stafnya lalu memfoto kami berdua untuk beberapa kali. Setelah itu, hidangan sarapan pagi disajikan untuk kami berdua. Sambil sarapan dan ngopi tanpa gula, mantan menteri itu bilang, “anda ini kan wartawan gila. Saya kanal kamu sejak awal tahun 1990, saat baru pulang kuliah S-3 dari Amerika. Saat itu, kita sama-sama membongkar skandal rente ekonomi Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Dana Reboisasi (RD) yang sangat kecil dipungut untuk negara. Sementara mereka para pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bisa kaya raya tanpa melakukan investasi”. Pengusaha HPH hanya investasi alat untuk menebang kayu. Saya jawab, “benar bang. Ketika itu saya masih wartawan yunior di Harin Ekonomi NERACA. Abang membantu Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan yang sangat peduli dengan masalah eksploitasi hutan yang tidak banyak memberikan manfaat, baik kepada negara maupun untuk masyarakat yang hidup di sekitar hutan sebagai pemilik sebenarnya hutan. Sambil sarapan, sang mantan menteri bertanya kepada saya, “Kisman, kamu tau nggak, apa yang sedang dibahas oleh para iblis dan setan dalam pertemuan mereka beberapa hari belakangan ini”? Saya jawab, ”ya pasti nggak taulah bang. Saya kan bukan iblis dan setan”. Kemudian saya tanya kepada sang mantan menteri, “memangnya yang abang tau tema apa yang dibahas setan dan iblis”? Sambil tertawa kecil, sang mantan menteri menjawa, “pasti yang dibahas itu korupsi di Indonesia yang merata, dan tidak pernah berakhir. Korupsi yang hampir merata di semua kementerian dan lembaga. Totol korupsi di industri asuransi dengan palaku yang sama hampi mencapai Rp. 100 triliun. Kalau ada yang belum terungkap, bukan karena tidak adanya korupsi. Ini hanya soal waktu saja. Nanti juga akan terungkap pada waktunya". Namun korupsi di Indonesia yang paling banyak dibahas setan dan iblis adalah korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos). Ditambahkan sang mantan menteri, kalau setan dan iblis juga bingung nggak abis pikir, masa dana Bansos untuk orang kecil yang lagi kesulitan akibat pandemi kovid-19 dikorupsi sih? Tega-teganya mereka para kader partai yang mengaku sebagai pembela rakyat kecil tersebut ya? Dimana rasa kemanusian mereka terhadap orang kecil? “Kita-kita (iblis dan setan) yang spesialis penghisap darah manusia saja, masih pilih-pilih darah segar mana yang mau dihisap? Yang pasti bukan darahnya orang-orang kecil yang akan dihisap oleh kita-kita. Sebab pasti darahnya tidak lagi lagi segar, karena kurang vitamin dan nutrisi. Namun kalau darahnya para oligarki dan konglomerat yang merampok uang rakyat itu pasti kita dihisap. Karena pasti masih segar dan bau enak”. Mengakhiri pertemuan yang hampir dua jam itu, sang mantan menteri mengingatkan saya agar Portal Berita FNN.co.id jangan sampai bosan untuk memberitakan korupsi dana Bansos tersebut. Alasannya, FNN jangan sampai kalah dengan iblis dan setan yang sangat perduli dengan korupsi dana Bansos. Masa FNN kalah perduli dengan iblis dan setan? Oh ya, ada lagi nih. “FNN jangan juga lupa dengan soal Goodie Bag anak Pak Lurah yang harganya Rp. 15.000,- per unit”. Padahal Boodie Bag itu kalau bisa dikerjakan oleh Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UMKM), harganya bisa lebih murah, yaitu Rp 5.000,- per unit. Bisa memberikan pekerjaan kepada UMKM dalam jumlah yang banyak, dengan harga yang sangat murah”. Goodie Bag itu penunjukan langsung sebanyak 10 juta unit kepada PT Sritex, sehingga total anggaran adalah Rp. 150 miliar. Setan dan iblis juga mengingatkan kalau penunjukan langsusung itu hanya dibolehkan untuk proyek dengan nilai di bawah Rp. 200 juta. Kalau penunjukan langsung untuk pekerjaan di atas Rp. 200 juta, iblis dan setan sepakat kalau itu pidana. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Presiden Jokowi Harus Ditahan
PERNYATAAN Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas yang dilansir berbagai media sangat mengejutkan.Judulnya bermacam-macam. Ada yang menurunkan judul dengan sangat tegas dan lugas. “MUI Desak Jokowi Ditahan Seperti Habib Rizieq Shihab.” Ada pula yang menampilkan judul secara netral “Kasus Kerumunan Massa Jokowi dan HRS, Ini Kata Waketum MUI". Apapun judulnya, substansinya sebenarnya sama. Buya Anwar Abbas mempertanyakan inkonsistensi pemerintah berkaitan dengan aturan larangan berkerumun di tengah pandemi. Kita semua tentu saja terkejut menyaksikan video yang beredar. Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke NTT tampak disambut ribuan orang. Mayoritas tidak mengenakan masker dan tidak mengindahkan protokol kesehatan. Yang lebih memprihatinkan, Presiden Jokowi tampaknya sangat menikmati momentum dia dielu-elukan rakyat. Dia muncul dari dalam mobil. Berdiri di atap mobil yang bisa dibuka (sun roof) melambai-lambaikan tangan kepada massa penyambutnya yang berdesak-desakan. Kemudian dia melempar-lemparkan benda yang diperebutkan warga. Juru bicara Istana menyebut benda yang dilempar adalah souvenir, berupa kaos dan masker. Momen tersebut tidak hanya sekali terjadi. Dalam momen lain, Presiden Jokowi juga tampak melempar-lemparkan benda dari dalam mobilnya yang melaju. Pada momen lain, terlihat warga berebutan mendekat ke mobil Jokowi. Sepeda motor petugas yang mencoba mencegah massa mendekat ke mobil Presiden, sampai roboh terdorong massa. Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin menyatakan, peristiwa tersebut terjadi secara spontan. Warga menyambut iring-iringan mobil rombongan Presiden Jokowi. Apa pun penjelasan istana, publik melihat kunjungan Presiden Jokowi ke Maumere, Sikka, NTT itu menimbulkan kerumunan besar. Sebuah peristiwa yang tidak boleh terjadi di tengah suasana pandemi. Presiden Jokowi sudah mengingatkan dan mewanti-wanti hal semacam itu tidak boleh terjadi. Dalam Rapat Kabinet Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi tanggal 16 November 2020, Presiden Jokowi dengan tegas memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mencegah terjadinya kerumunan massa.Jokowi juga memerintahkan Mendagri agar menegur para kepala daerah yang tidak menegakkan protokol kesehatan. Kemarahan Presiden ini nampaknya dipicu oleh kerumunan massa dalam jumlah besar, saat Habib Rizieq Shihab kembali ke Indonesia. Habib Rizieq kembali ke Indonesia bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2020. Kerumunan itu berlanjut dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad Saw dan pernikahan putrinya di markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Kemudian juga pada peringatan Maulud Nabi dan peresmian Markas Syariah FPI di kawasan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebagaimana kita ketahui bersama, Habib Rizieq sudah meminta maaf. Dia juga dikenakan denda sebesar Rp 50 juta oleh Pemprov DKI. Namun, kasusnya berlanjut. Dia dijerat dengan berbagai kasus pidana akibat kerumunan massa. Dia juga ditahan di Polda Metro Jaya dan kemudian dipindahkan ke tahanan Bareskrim Mabes Polri. Selain Habib Rizieq, Gubernur DKI Anies Baswedan juga diperiksa polisi. Dia diklarifikasi, begitu polisi menyebutnya selama 9 jam di Polda Metro Jaya. Dengan latar belakang peristiwa semacam itu, tidak mengherankan bila publik heboh melihat adanya kerumunan massa dalam jumlah besar, akibat kunjungan presiden di NTT. Ada perlakuan yang berbeda antara Habib Rizieq Shihab dan Presiden Jokowi. Padahal, peristiwanya sama. Publik kembali disuguhi sikap inkonsisten pemerintah. Khususnya Jokowi. Dia melanggar instruksi yang dia keluarkan sendiri. Jokowi dan para pendukungnya tidak bisa berlindung di balik posisinya sebagai presiden. Dalam negara demokrasi ada prinsip yang sangat dijunjung tinggi, yakni kesamaan posisi di mata hukum. Equality before the law. Dengan prinsip itu, Jokowi justru harus dihukum lebih berat, karena posisinya sebagai presiden. Dia merupakan figur teladan. Perilakunya akan ditiru oleh publik. Berdampak sangat buruk. Kembali ke pernyataan Buya Anwar Abbas. Pernyataan itu haruslah dilihat sebagai suara kemarahan publik karena hukum di negeri ini tidak ditegakkan secara adil. Tumpul ke atas. Tajam ke bawah. Seperti jaring laba-laba. Hanya bisa menjerat benda kecil dan tak mampu menjerat benda yang lebih besar. Sekarang semuanya terpulang kepada kebijaksanaan Presiden Jokowi, jika kalimat yang sangat berharga itu masih ada. Dalam hukum ada adagium yang dijunjung sangat tinggi : Tegakkan Hukum Walau Esok Langit Akan Runtuh! Hukum adalah sendi penopang utama sebuah negara. Bila hukum tidak ditegakkan, maka keruntuhan sebuah negara tinggal menunggu waktu.
Buzzer Denny Siregar Membuat Bising Aceh
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Adalah ungkapan syukur "Alhamdulillah" dari Denny Siregar, aktivis Syi'ah yang sekaligus buzzer yang masyarakat Aceh marah. Denny menyindir warga Aceh dan pemerintahannya atas laporan Badan Pusat Statintik (BPS) Aceh mengenai naiknya angka kemiskinan sebesar 15,43 % pada September 2020 yang dinilai tertinggi di Pulau Sumatera. Twit Denny sangat menyakitkan. Denny mengoceh "lho, propinsi termiskin itu prestasi. Karena jadi propinsi kaya itu biasa, sudah banyak yang melakukannya. Miskin itu gaya hidup yang tak semua orang bisa. Pertahankan posisi juara bertahan. Anda bisa". Dengungan buzzer ini dinilai tak layak. Karena hanya dengan berdasar laporan BPS saja, Denny sudah menyimpulkan terlalu jauh. Bersyukur lagi. Netizen mengingatkan akan kontribusi Aceh bagi bangsa dan negara ini besar. Sumber Daya Alam (SDA yang dialokasikan Aceh untuk Pemerintah Pusat cukup besar. Baik itu gas alam, nikel, emas, minyak bumi, hingga perkebunan. Dikaitkan dengan sejarah perjalanan bangsa ini, maka mudah menunjukkan sumbangan besar tidak ternilai dari masyarakat Aceh. Mulai dari sumbangan pesawat RI OO1 Seulawah 1 dan 2, kapal laut, hingga emas 28 kg. Bahkan sebagian besar emas di puncak Monas adalah sumbangan sukarela dari putera Aceh Teuku Markam. Apakah itu mau dianggap tidak ada? Sindiran Denny Siregar dinilai keterlaluan dan berbahaya. Aceh, Maluku, dan Papua adalah propinsi yang potensial untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bila hantaman semakin tajam, dan penghargaan kepada masyarakat Aceh hilang, maka bukan mustahil bakal berujung pada desakan referendum pemisahan dari NKRI. Jika ini yang terjadi bukan hanya Aceh yang berpisah. Ada efek domino yang meluas. Pemerintah harus segera membungkam buzzer-buzzer berbahaya seperti Denny, Abu Janda, Ade Armando dan lainnya sebagai wujud penegakan hukum berdasarkan keadilan. Kebebasan yang diberikan kepada para buzzer tanpa batas, dapat menciptakan ketersinggungan regional maupun nasional. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan aspek keagamaan atau keumatan. Denny Siregar sudah berulangkali berulah. Berulangkali pula dilaporkan ke Kepolisian tanpa ada tindak lanjut proses hukum. Kondisi ini akan menyebabkan kekecewaan publik yang semakin memuncak dari hari ke hari. Proteksi kepada buzzer dinilai mencolok dan berlebihan. Privilege yang unlawful. Tidak mengherankan kalau publik harus mencurigai penegakan hukum kita amburadul dan jorok. Mengapa Denny selalu sinis dalam cuitannya, dan senantiasa menohok kepada sentimen keagamaan? Sebagaimana Denny menuduh "calon teroris" kepada santri cilik di Tasikmalaya dulu? Nampaknya Denny tidak akan menyerang jika Aceh bukan propinsi khusus yang menerapkan syari'at Islam. Tiga status yang melekat pada diri Denny, sehingga terkesan Islamophobia. Pertama, sebagai buzzer yang sewarna dengan rezim yang kurang, atau tidak bersahabat dengan umat Islam. Radikalisme dan ekstrimisme diarahkan pada umat Islam. Sayangnya, bersamaan dengan itu minta dana wakaf dari umat Islam. Satu sisi butuh dana umat Islam setelah gagal mengelola ekonomi bangsa. Namun sisi lain bersikap Islam phobia. Kedua, sebagaimana pengakuannya bahwa Denny adalah Syi'ah, sementara mayoritas umat Islam Indonesia itu Sunni. Sebagai aktivis Syi'ah tentu Denny dituding berupaya menciptakan instabilitas dengan ocehan dan sikap politiknya. Ketiga, sebagai pegiat sosial media, Denny memanfaatkan media ini untuk menyerang banyak orang dan tokoh seperti Novel, Prabowo, Almira Yudhoyono, HRS, hingga Anies Baswedan. Tokoh Aceh Fahrul Rozi dibully saat pembuatan Qonun yang berkaitan dengan Hukum Keluarga. Sikap sinis kepada masyarakat dan pemimpin Aceh sebagai propinsi berprestasi kemiskinan sungguh menyakitkan. Jika Denny berada dan menjadi warga Aceh mungkin saja sudah dihukum mati. Beruntung Denny berada di area ibu kota Negara, sehingga bisa berlindung dan sembunyi di pantat penguasa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Polisi Medsos Kurang Kerjaan
Bagi polisi hanya ingin bertanya, nurani Anda di mana? Sadarkah Anda bahwa aib-aib institusi Anda juga tengah dibuka satu persatu oleh Yang Maha Kuasa? by Rahmi Aries Nova Jakarta, (FNN) - "BUKANNYA menyatakan perang habis-habisan pada narkoba yang daya rusaknya luar biasa, sampai-sampai sekelas Kapolsek pun menggelar pesta narkoba dengan anak buahnya. Eh, ini malah medsos yang dijaga 24 jam." Tanpa polisi medsos atau media sosial saja jutaan akun sudah diberangus baik oleh Facebook, Twitter, juga Instagram. Contohnya, akun pribadi saya, sudah ditake down twitter sejak 1 Desember 2020, atau seminggu menjelang kejadian pembantaian pengawal Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab. Pada hari itu, mungkin puluhan ribu, bahkan ratusan ribu akun Twitter diberangus.Terutama akun-akun yang memakai profil picture HRS atau apa pun yang berbau FPI. Padahal saat itu FPI belum dinyatakan terlarang lho! Mungkinkah kejadian KM50 ada kaitannya dengan dihabisi akun-akun Twitter demi meredam berita di medsos? Sementara akun Facebook saya ditakedown pada 6 Februari lalu. Keduanya, (Twitter dan Facebook) bukan akun anonim, dan sudah ada sejak 13 tahun lalu. Dari dua akun tersebut, insya Allah saya tidak pernah menyebarkan hoax, menyerang personal, apalagi memfitnah. Akun saya pasti anti pornografi, tidak pernah dipakai untuk berjualan apalagi menipu. Saya bahkan sangat menahan diri untuk memposting hal-hal pribadi kalau kesannya agak pamer. Misal, saya tidak pernah posting foto berdua-duaan dengan suami karena menjaga perasaan teman saya yang belum menikah atau sudah berpisah. Soal anak pun begitu. Selalu dipikirkan apakah kalau saya posting, teman-teman yang tidak dikaruniai anak bakal bersedih? Posting makanan malah saya paling anti, karena membayangkan masih banyak orang yang tidak bisa makan di negeri ini. Intinya, akun saya akun toleran. Sebaliknya Twitter dan Facebook sangat intoleran pada yang berbau FPI dan HRS. Entah salah apa dan atas perintah siapa dua inisial itu tidak boleh ada di platform mereka. Di negeri yang mengaku mengusung demokrasi, mereka justru melakukan diskriminasi. Dan itu pasti akan menjadi-jadi karena kini medsos pun sudah dijaga polisi. Bagi teman-teman yang masih bermedsos, harap berhati-hati jangan sampai terjebak oleh jerat aparat yang mewakili syahwat penguasa. Bagi polisi hanya ingin bertanya, nurani Anda di mana? Sadarkah Anda bahwa aib-aib institusi Anda juga tengah dibuka satu persatu oleh Yang Maha Kuasa? Mulai dari kasus narkoba, menjual senjata, membunuh orang tak bersalah (bahkan tentara). Sungguh tidak akan ada kedamaian tanpa keadilan, baik itu di medsos, apalagi di dunia nyata. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pak Jokowi, Akui Saja Kesalahan Kerumunan di Maumere Itu
by Asyari Usman Medan, FNN - Sebetulnya, kalau Presiden Jokowi mau memberikan teladan terbaik, akui saja kerumunan di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai kesalahan pribadi. Bayar denda 100 juta dan sampaikan permintaan maaf secara terbuka. Setelah itu, bebaskan H125. Semua orang, kawan atau lawan, pasti akan mengakui keteladanan itu. Bukanlah sesuatu yang memalukan mengakui kesalahan. Percayalah, orang-orang yang beroposisi kepada Pak Jokowi akan mengakui kehebatan meminta maaf dan membayar denda pelanggaran prokes itu. Tidak perlu memperpanjang polemik. Tidak perlu ada perdebatan yang bertele-tele tentang kerumunan itu. Melanggar aturan atau tidak. Akhiri saja pro-kontra, bela-membela. Karena memang jelas kerumunan itu melanggar aturan. Untuk apa dikatakan kerumunan itu bukan disebabkan provokasi, bukan ajakan, bukan keinginan Jokowi, dlsb. Kerumunan yang tercipta akibat kunjungan di Maumere itu pasti bertentangan dengan protokol kesehatan. Tidak usah berdebat soal kepastian bahwa itu pelanggaran. Semua kita bisa melihat suasana kerumunan melalui foto dan rekaman video. Lebih bijak mengaku salah. Cara ini sangat terhormat bagi Anda, Pak Jokowi. Inilah saatnya Anda merebut simpati dari semua pihak, termasuk dari oposisi. Hormat akan mengalir deras kepada Anda. Setelah mengakui kesalahan kerumunan, akui juga semua kesalahan lain selama enam tahun ini. Akui kesalahan dalam pengelolaan pemerintahan, perekonomian, dan tumpukan utang. Akui kesalahan Anda tak menepati janji-janji. Juga akui tanggung jawab moral, spiritual, legal, kolegial, dan tanggung jawab lainnya dalam kasus korupsi besar bansos, lobster, BUMN, dst. Akui juga kesalahan Esemka, uang 11 ribu triliun di luar negeri, dll. Ini alinea (paragraf) khusus untuk Pak Jokowi jika segera mengaku salah. Saya akan menuliskan status spesial di sini untuk menyatakan rasa salut kalau Anda mengakui kesalahan kerumunan Maumere, meminta maaf, membayar denda, dan mengakui pula semua kesalahan lainnya. Setelah itu, terserah Anda saja. Mengundurkan diri, bagus juga. Anda akan dikenang sebagai pemimpin yang ksatria. Patriotis. Rendah hati. The choice is yours. Pilihan sepenuhnya di tangan Anda, Pak.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Tolak Zuhairi Misrawi Sebagai Dubes Arab Saudi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pengajuan Zuhairi Misrawi sebagai Duta Besar Kerajaan Saudi Arabia terus menuai kontroversi. Persoalannya adalah rekam jejak kader PDI-P ini yang memang kontroversial. Disamping pendukung Lesbi, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT), Ahmadiyah dan Syi'ah, juga fikiran liberalnya menyentil Syari'ah. Shalat gerhana dan ibadah umroh dipermasalahkan. Pegiat Aktivis Jaringan Islam Nusantara (JIN) ini membuat ocehan dalam Twitter yang mem"bully" ibadah umroh. Syari'at Nabi Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam dan perintah Allah Subhaanahu Wata’ala dalam Al Qur'an ini dinistakan. Misalnya, membandingkan dengan amalan lain. "Dikampung kalau mau berdo'a cukup baca Yasin atau ziarah kubur. Sekarang harus ke Mekkah dengan biaya tinggi. Beragama jadi mahal". Cuitan lainnya adalah "padahal, kalau kita umroh berarti kita menyumbang devisa bagi Arab Saudi". Untuk ini Zuhairi membuat tagar konspirasi. Asumsi bahwa umroh adalah bagian kejahatan konspirasi untuk menguntungkan negara Saudi Arabia. Menurutnya pula, "secara sosiologis ziarah kubur itu menjadikan biaya beragama relatif lebih murah daripada harus umroh ke Mekkah". Betapa Zuhairi melecehkan ketentuan Allah Subhaanahu Wata’ala jika soal ibadah diukur semata pada nilai materi. Allah pun tidak pernah memaksakan ibadah umroh tetapi mengembalikan pada kemampuan. Zuhairi dengan alasan materi telah menafikan syari'at Allah tentang perintah melaksanakan ibadah umroh. Bagaimana bisa jika seorang Duta Besar di negara tempat dua kota suci Makkah dan Madinah berada, justru profil aktivis yang menistakan syari'at? Mengecilkan makna ibadah umroh serta menyerang Pemerintah Saudi Arabia sendiri ? Menganggap umroh sebagai konspirasi demi devisa Saudi adalah perbuatan kriminal. Menkopolhukam Mahfud MD perbah merasa kesal dengan cuitan Zuhairi Misrawi tentang umroh yang dibandingkan dengan ziarah kubur berharga murah. Mahfud MD menyatakan, "banyak orang yang berwisata ke Eropa, Australia, Amerika dan negara lain sekedar wisata. Masak orang berwisata umroh diejek ? Keblinger dan genir toh". Duta Besar model seperti ini bakal memalukan diri sendiri karena menista syari'at. Merendahkan bangsa dengan kualitas rendah keagamaan, serta tidak akan mampu membangun persahabatan dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Tak ada yang bisa diharapkan dari Duta Besar yang tidak menghargai bangsa dan umatnya sendiri. Apalagi melecehkan negara dimana dia bertugas. Karenanya wajib kita sebagai bangsa bermartabat dan umat Islam yang senantiasa khidmah ibadah kepada Allah, untuk menolak pengangkatan Zuhairi Misrawi sebagai Duta Besar di Kerajaan Saudi Arabia. Meskipun kita faham bahwa urusan mengangkat duta dan konsul itu kewenangan Presiden. Tetapi aspirasi rakyat harus didengar. Publik layak untuk mendesak Kementrian Luar Negeri Indonesia mencabut usulan Zuhairi Misrawi sebagai Duta Besar Saudi Arabia. Masyarakat juga boleh meminta Komisi I DPR RI agar menolak Zuhairi Misrawi untuk dilakukan fit dan proper test sebagai Calon Duta Besar. Wajar dan demi menjaga harmoni hubungan Indonesia dengan Saudi Arabia, sangat dimengerti jika Pemerintah Saudi tidak mau menerima Zuhairi Misrawi untuk ditempatkan sebagai Duta Besar Republik Indonesia di Kerajaan Saudi Arabia. Sebab Zuhairi Misrawi memang belum atau tidak pas dan pantas menjadi Duta Besar. Tahu diri dengan mundur itu lebih baik dan bermartabat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Habib Rizieq Shihab-Jokowi: Ya Jauh Bedalah
Revolusi mental yang diusung Jokowi ternyata mampu melahirkan semakin banyak koruptor. Revolusi mental ini telah mementalkan dua menterinya ke penjara, karena korupsi, yaitu Edy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan), dan Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial). Juliari Batubara adalah Wakil Bendahara Umum PDIP periode 2019-2024 yang merupakan partai pengusung Jokowi-Ma'ruf Amin. by Rahmi Aries Nova Jakarta FNN - "KERUMUNAN Jokowi di Nusa Tenggara Timur (NTT) disebut ingin 'menyaingi' kerumunan yang terjadi ketika Habib Rizieq Shihab kembali dari Tanah Suci." Suka atau tidak, diakui atau tidak, faktanya 'kelas' Presiden Joko Widodo memang di bawah Habib Rizieq Shihab atau HRS. Faktanya, kerumunan yang terjadi saat HRS pulang dengan kerumunan yang 'dibuat' Jokowi di NTB sangat jauh berbeda. HRS mampu 'membuat' kerumunan yang disebut mencapai jutaan orang. Padahal, tanpa undangan. Akan tetapi, kerumunan yang dibuat Jokowi, walau seorang presiden, jumlahnya tidak mencapai ratusan ribu, bahkan hanya ribuan orang. Padahal, ada acara pembagian oleh-oleh dari sang presiden, yang selama ini sering dilemparkan dari dalam mobil. Hanya ribuan orang, atau bahkan di bawah angka 5.000 orang sebagaimana yang bisa ditonton di media sosial maupun media mainstream. Perbedaannya jauh, ibarat kata pepatah, "Bagaikan bumi dan langit." Padahal, keduanya sama-sama pemimpin. Bedanya, HRS pemimpin umat, sedangkan Jokowi pemimpin negara. Jokowi berhasil memperoleh kursi presiden dari 'pemberian' partai dan pemodalnya. Mungkin ia dipilih karena sosoknya 'ndeso' yang bisa dipakai untuk menarik simpati rakyat kelas 'bawah'. Sebab, berdasarkan Survei Indikator, "Basis Pendukung Jokowi Berpendidikan Rendah, Prabowo dari Kalangan Berpendidikan Tinggi." (Kompas, 3 April 2019). Sementara sejak Aksi Damai 2 Desember 2016 atau dikenal aksi 212, HRS dianggap sebagai pemimpin umat bagi sebagian besar muslim di tanah air. Namun, sebagian tidak percaya dan mengatakan, "Hal itu terlalu berlebihan." Akan tetapi, faktanya hanya HRS yang mampu mengumpulkan 7 juta orang di Monas pada aksi 212 itu. Bahkan, jumlahnya diperkirakan mencapai 13 juta orang. Atau kegiatan umat yang menjemputnya saat tiba di tanah air, pada Selasa 10 November 2020 pagi. Jumlah umat yang menjemput mulai dari Terminal 3 Bandara Internasional Sukarno-Hatta sampai kediamannya di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, diperkirakan sedikitnya 3 juta orang. Jika ditambah dengan pendukung lainnya yang tidak bisa datang ke Jakarta karena dicegat polisi di beberapa tempat, jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Bedalah dengan Jokowi. Sang presiden yang suka menjawab pertanyaan wartawan dengan, "Ng...ng... nganu... Duuh'" tidak bisa dibandingkan dengan HRS yang mampu mengumpulkan massa dalam jumlah banyak tanpa diundang. Keduanya tidak bisa dibandingkan. HRS 'singa' podium yang ceramah penuh semangat dan berapi-api. Ia biasa berceramah atau berpidato berjam-jam tanpa teks. HRS gemar berdiskusi dan sangat menghargai dialog. Diwawancara wartawan pun mengasyikkan, karena jawabannya selalu lugas, gamblang dan terbuka. Berbeda jauh dengan Jokowi. Berhadapan dengan wartawan untuk doorstop, ia kadang menghindar, balik badan, dan mengesankan kabur karena tidak mampu menjawab pertanyaan. Di kalangan wartawan, seperti juga yang rakyat bisa tonton di televisi maupun media sosial, Jokowi sering terlihat menjawab dengan melempar tanggungjawab kepada menterinya atau orang lain. "Jangan tanya saya. Itu, ng...ngg... nganu..." Itu kalimat yang pernah terdengar dari seorang presiden saat doorstop dengan wartawan. Oleh karena itu, ucapan, "Nganu" itu pun disematkan rakyat kepadanya, sebagai kalimat gurauan, dan bahkan olok-olokan. Lima tahun pertama menjadi presiden, Jokowi tidak pernah tampil berpidato di hadapan Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa. Sangat berbeda jauh dengan presiden sebelumnya. Ini kemungkinan akibat tidak percaya diri untuk tampil di panggung kelas dunia dengan gagasan besar. Bisa juga karena miskin ide-ide berkelas dunia. Antara HRS dan Jokowi berbeda jauh. Tidak perlu membandingkan keduanya, apalagi dalam ilmu agama Islam. Yang bisa disamakan antara keduanya adalah karena keduanya sama-sama mengangkat 'revolusi' dalam jargonnya. Jokowi dengan "Revolusi Mental" dan HRS dengan "Revolusi Akhlak." Revolusi mental yang diusung Jokowi ternyata mampu melahirkan semakin banyak koruptor. Revolusi mental ini telah mementalkan dua menterinya ke penjara, karena korupsi, yaitu Edy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan), dan Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial). Juliari Batubara adalah Wakil Bendahara Umum PDIP periode 2019-2024 yang merupakan partai pengusung Jokowi-Ma'ruf Amin. Selain menumbuh-suburkan korupsi, Revolusi Mental juga mampu menghidupkan kembali kolusi dan nepotisme. Yang terakhir ini (nepotisme), telah menghantarkan anak dan menantu menjadi Wali Kota Solo dan Wali Kota Medan. Keren, tapi edan ya. Revolusi mental juga telah membuat negara dalam bahaya utang utang luar negeri. Peredaran narkoba semakin mengerikan dan mengancam generasi milenial. Berbeda dengan HRS yang mengusung "Revolusi Akhlak." Jargon ini dimaksudkan menanamkan ketakwaan atau rasa takut pada Allah, di hati umat. Sebab, semua kejahatan bisa terjadi karena tiadanya rasa takut pada Allah di hati manusia. Semestinya, Revolusi Akhlak tersebut bisa berkolaborasi dengan Revolusi Mental. Jokowi dan jajarannya, seharusnya memetik manfaat dari revolusi akhlak tersebut. Revolusi mental dan revolusi akhlak harusnya disandingkan. Jokowi tidak perlu merasa disaingi dengan jargon HRS itu. Apalagi, jika Jokowi ingin Indonesia 'meroket' di segala bidang. Jokowi tak perlu merasa tersaingi oleh HRS, apalagi bernafsu ingin 'menghabisinya'. Justru ia bisa belajar banyak hal dari HRS, sosok tulus, tak terbeli, yang sangat mencintai negeri ini. Revolusi akhlak terpaksa dimulai dari penjara, karena HRS disangkakan dengan pasal yang sudah dipatahkan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, Revolusi mental pun bukan tak mungkin berakhir di penjara. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Tak Laku di Masyarakat Urban, Jokowi Jual Blusukan di Luar Jawa
DI BAWAH guyuran hujan, seorang presiden rela menemui masyarakat di tengah sawah di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tentu saja yang dilakukan oleh Pak Jokowi pada Selasa (23/2/2021) kemarin itu sangat dramatis. Warga terpukau habis. Mana ada presiden yang sangat merakyat seperti itu. Seorang pria yang merekam kejadian itu berkomentar, “Pemimpin terbaik, memang.” Apa-apa saja yang dilakukan oleh Jokowi di NTT dalam kunjungan kemarin? Sebenarnya bukan hal yang urgen. Hanya mengecek situasi Sumba Tengah sebagai lumbung pangan (food estate). Tetapi, mengapa aksi Jokowi berhujan-hujan itu yang justru viral? Karena “unit pencitraan” di Istana tahu betul bahwa blusukan ke sawah masih sangat laris dijual di masyarakat yang tidak paham atau tidak peduli dengan kebijakan-kebijakan Jokowi yang menghancurkan negara ini. Mereka tidak ambil pusing dengan kesulitan keuangan, tumpukan utang, korupsi besar, ancaman kebangkrutan BUMN yang besar-besar, dlsb. Di masyarakat urban (perkotaan), pencitraan model berhujan-hujan, masuk gorong-gorong, dll, tak laku lagi dijual. Di sebagian besar wilayah Jawa, tidak ada lagi minat publik terhadap blusukan apa pun yang disandiwarakan Jokowi. Sebab, mereka sudah sangat paham bahwa Jokowi memang sebatas blusukan. Hobi berfoto atau bervideo jalan sendiri atau berhenti menatap lokasi bencana alam, dst. Seluruh pelosok Jawa boleh dikatakan sebagai kawasan urban. Ruang pencitraan Jokowi di sini semakin sempit. Itu sebabnya dia “menggarap” daerah-daerah luar Jawa. Khususnya di kalangan masyarakat yang masih terkagum-kagum dengan blusukan. Seandainya dilaksanaan Pilpres besok di NTT, dijamin Jokowi akan merebut suara 500%. Bukan hanya 100%. Kok bisa? Bisa! Begini penjelasannya. Jumlah pemilih di NTT ada sekitar 1.2 juta orang. Semuanya akan memilih Jokowi setelah blusukan ke sawah di tengah hujan kemarin. Berarti 100% di tangan. Terus, pemilih di Bali ada 3 juta orang. Di Sulawesi Utara (Sulut) ada sekitar 1.8 juta. Berarrti ada suara ekstra sebanyak 4.8 juta. Nah, suara ekstra 4.8 juta ini berarti 400% dari total pemilih di NTT. Sehingga, total kemenangan Jokowi seluruhnya menjadi 500%. Lho, mengapa pemilih dari Bali dan Sulut ikut Pilpres di NTT, besok? Karena, kalau Jokowi melakukan blusukan ke sawah di kedua provinsi ini di tengah guyuran hujan, pastilah 4.8 juta pemilih dari Bali dan Sulut akan menuntut ikut Pilpres di NTT. Tak diragukan lagi. Dia akan menang 500%. Pak Jokowi sangat populer di Bali dan Sulut. Blusukan apa saja yang beliau lakukan, dijamin OK. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Jokowi masih saja melakukan blusukan? Apa tujuannya? Memang terlihat membingungkan. Jokowi tidak perlu lagi mencari basis dukungan elektoral. Karena secara konstitusional dia tidak bisa lagi ikut Pilpres. Boleh jadi Jokowi hanya sekadar ingin melupakan persoalan-persoalan besar yang kini menghimpit pemerintahannya. Dia tentunya sadar bahwa “bom waktu finansial” bisa meledak kapan saja. Dia juga kelihatannya mulai merasakan desakan yang semakin keras dari kegagalan dalam menangani wabah Covid-19. Jadi, untuk menjauhkan sejenak masalah ini, Jokowi pergi ke NTT untuk menikmati sambutan warga. Padahal, dari sambutan ini muncul masalah baru yang disoroti publik. Yaitu, soal kerumunan tanpa prokes. Sekarang, Jokowi dinilai tidak memberikan teladan soal kerumunan. Bahkan, banyak yang menilai bahwa kerumunan Jokowi di NTT melanggar aturan yang dibuat oleh pemerintah sendiri.
Sebut Kematian Disebabkan Covid-19, Alibi Agar Non-KIPI?
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Pada Selasa, 23 Februari 2021, beredar Press Release Komda KIPI Sulawesi Selatan: “Kematian Ny. ES Tidak Berhubungan dengan Vaksin”. Contact Person bisa hubungi: Dr. dr. Martira Maddeppungeng, SpA(K). Bahwa World Health Organization (WHO) telah menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi global pada Rabu, 11 Maret 2020. Indonesia merupakan salah satu dari 114 negara yang mengalaminya. Saat ini kasus di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, per 22 Februari 2021 mencapai 54.209 kasus terkonfirmasi. Vaksinasi Covid-19, bagian penting dari upaya penanganan pandemi Covid-19 yang menyeluruh dan terpadu meliputi aspek pencegahan dan penerapan prokes. Vaksinasi Sinovac sebagai upaya Pemerintah dalam melindungi seluruh rakyatnya, dilakukan sebanyak 2x dengan jangka waktu 14 hari. Kekebalan tubuh baru terbentuk maksimal setelah 28 hari sejak vaksinasi pemberian pertama diberikan. Upaya penanganan pandemi ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan mengadakan vaksinasi Covid-19. Ny. ES di sini adalah inisial dari nama DR. Eha Soemantri SKM, MKes, Bendahara Persakmi Sulawesi Selatan. Komda KIPI (Komisi Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) Sulawesi Selatan mengadakan penyelidikan, almarhumah mendapat vaksinasi Covid -19 pada Kamis, 14 Januari 2021. Kemudian almarhumah pergi ke Mamuju, 5 hari sebelum vaksinasi Covid-19 ke 2 pada Kamis, 28 Januari 2021. Doktor Eha diketahui mendapat gejala sesak, demam, batuk 3 hari pasca vaksinasi dan dinyatakan terkonfirmasi Covid-19 pada Senin, 8 Februari 2021. Setelah mendapat perawatan di RS Pelamonia kemudian dirujuk ke RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dinyatakan negatif PCR pada Kamis, 18 Februari 2021. Kesimpulan: 1. Almarhumah kemungkinan tertular saat pergi ke luar kota sebelum vaksinasi kedua diberikan dan kontak dengan anggota keluarga lain terkonfirmasi Covid-19 yaitu suami beserta ketiga anaknya; 2. Gejala timbul setelah vaksinasi kedua. Kekebalan tubuh pada saat itu belum terbentuk maksimal; 3. Almarhumah sudah mendapatkan penanganan sesuai tatalaksana Covid-19 dengan hasil PCR swab nasofaring terakhir negatif. Namun pada beberapa kasus Covid-19, perburukan terjadi karena badai sitokin sehingga menyebabkan masalah sistemik berbagai organ sehingga terjadi gagal nafas; 4. Kematian disebabkan oleh Covid-19 bukan karena vaksin. Bersama beberapa pejabat Pemprov Sulsel dan Forkopimda di Sulsel, pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoni terkait vaksinasi, setelah divaksin beberapa waktu lalu. Eha mengimbau masyarakat untuk tidak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntikan vaksin pada tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut. “Alhamdulillah, setelah divaksin saya tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, mari kita mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus Covid-19,” ujarnya. Tapi, Jumat (19/2/2021) pagi, Eha dinyatakan meninggal dunia di RS Wahidin Sudiro Husodo, Kota Makassar. Yang dialami Eha sudah seharusnya dilakukan investigasi karena peristiwa itu termasuk dalam kategori KIPI Serius. Sebelumnya, KIPI Serius lainnya dialami nakes RSUD Ngudi Waluyo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Erny Kusuma Sukma Dewi (33), yang meninggal setelah disuntik vaksin Covid-19, pada Minggu, 14 Februari 2021. Nakes Erny menjalani vaksinasi tahap pertama pada Kamis, 28 Januari lalu. Sebelum disuntik vaksin Sinovac, ia juga menjalani screening seperti yang lain, dan dinyatakan sehat. Erny tak memiliki penyakit penyerta. Suhu tubuh juga normal. Sembilan hari setelah vaksinasi (tahap 1), Erny tiba-tiba mengalami gejala sakit. Tubuhnya panas. Juga, muncul sesak yang itu membuat yang bersangkutan langsung dilarikan ke rumah sakit. Saat di swab ternyata positif (Covid-19). Kabar terbaru, drg. Bernadi Into, Sp.Prost, meninggal dunia, Senin, 22 Februari 2021, karena Covid-19. Padahal, Rabu, 27 Januari 2021, CEO PT Mustika Keluarga Sejahtera, pemilik RS Mustika Medika, Kota Bekasi, posting foto di medsosnya sedang divaksin. Bukan Vaksin? Seorang dokter bercerita soal keluarganya yang dokter. Selama setahun pandemi, bulek-nya itu tidak terinfeksi Covid-19 sama sekali. Tapi, setelah keluarga dokter yang bekerja di sebuah RSUD ini divaksin semua, ternyata mereka terinfeksi Covid-19 dan diopname. Di sana juga banyak perawat yang diopname setelah divaksin Sinovac. Agar tidak terlanjur parah, keluarga dokter ini minum suplemen dan lain-lain. “Alhamdulillah, ada hasilnya, gejala minimalisir di area lambung,” ujarnya. Hanya suaminya yang ketularan, sedang sesak pneumoni, anak mantunya anosmi. Cerita dari dokter alumni sebuah PTN di Surabaya ini bukanlah hoax. Sekali lagi, bukan hoax! Cerita ini adalah fakta di lapangan yang mungkin tidak ada dalam berita. Kembali ke soal meninggalnya Doktor Eha di Makassar tersebut. Ada dua point kesimpulan yang disampaikan Komda KIPI Sulawesi Selatan yang perlu disimak dengan jeli dan teliti. Yaitu: 1. Almarhumah (ES) kemungkinan tertular saat pergi ke luar kota sebelum vaksinasi kedua diberikan dan kontak dengan anggota keluarga lain terkonfirmasi Covid-19 yaitu suami beserta ketiga anaknya. Dari sini tampak sekali Komda KIPI sebenarnya ingin mengatakan bahwa kematian Doktor Eha itu bukan karena vaksin. Jadi, seperti ditulis dalam kesimpulan ke-4, “Kematian disebabkan oleh Covid-19 bukan karena vaksin.” Terkesan, Komda KIPI berusaha menutupi fakta, kematian Eha disebabkan suntikan vaksin. Bukankah prosedur vaksinasi itu diawali dengan menjalani screening atas kesehatan penerima vaksin? Jika hasil screening Eha itu ternyata terpapar Covid-19, bukankah akan dilarang ikut vaksin? Bagaimana bisa seseorang yang terinfeksi Virus Corona tetap saja boleh divaksin? Bukankah seharusnya ditolak? Tampaknya adanya nakes yang meninggal setelah divaksin tersebut membuat Komnas KIPI dan Kemenkes perlu menjelaskannya. Dan, “Pemerintah berharap, kejadian serupa tidak akan terulang kembali kedepannya,” kata Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Spa(K), MTropPaed. Menurut Ketua Komnas KIPI itu, kekebalan tubuh tidak langsung tercipta pasca penyuntikan pertama, kalaupun ada, itu sangatlah rendah. Kekebalan baru akan tercipta sepenuhnya dalam kurun waktu 28 hari pasca penyuntikan kedua. “Meskipun sudah divaksinasi, dalam dua minggu kedepan sangat amat rawan terpapar,” tutur Prof Hindra. Prof Hindra menambahkan, vaksin Covid-19 ini membutuhkan dua kali dosis penyuntikan. Suntikan pertama ditujukan untuk memicu respons kekebalan awal. Sedangkan suntikan kedua, guna menguatkan respons imun yang terbentuk. Oleh karena itu setelah diimunisasi tetap harus menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, dan menjauhi kerumunan, karena masih rawan, kalau kita lengah bisa saja terjadi hal yang tidak kita inginkan. “Vaksin Covid-19 yang digunakan untuk vaksinasi dipastikan aman dan berkhasiat. Sebab, dalam proses pengujiannya telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh WHO,” kata Prof Hindra. “Dengan hasil pengujiannya di fase 1, fase 2 dan fase 3, kita hasilnya ringan,” tambah Prof Hindra Hal ini merujuk pada uji klinis yang dilakukan oleh Tim Riset Uji Klinik Vaksin Covid-19 Universitas Padjajaran: efek samping yang ditimbulkan dari vaksinasi Covid-19 bersifat ringat dan mudah diatasi seperti reaksi lokal berupa nyeri, kemerahan atau gatal-gatal. Untuk mengantisipasi timbulnya KIPI, pemerintah telah menyiapkan langkah penanganan termasuk menyediakan contact person di setiap pos pelayanan vaksinasi. Prof Hindra mengungkapkan bahwa di Indonesia sendiri, proporsi efek samping serius yakni 42 per 1.000.000 sedangkan non serius 5 per 10.000. Menurutnya, vaksinasi merupakan upaya tambahan untuk melindungi seseorang dari potensi penularan Covid-19, sehingga tetap membutuhkan prokes untuk memberikan perlindungan yang optimal. “Vaksinasi itu tak menjamin 100 persen (tidak akan tertular), namun sebagai upaya tambahan untuk mengurangi risiko terpapar/terinfeksi,” katanya. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes yang juga Direktur Pencegahan Penyakit Menular Langsung dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid, mengingatkan agar meski telah divaksinasi, tetap disiplin prokes, karena seseorang masih berisiko terpapar virus Covid-19. “Bagi seluruh masyarakat saya berpesan, dengan adanya vaksinasi kita juga masih punya kewajiban menjalankan protokol kesehatan,” ucapnya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Benarkah Fikri, Adi & Faisal Adalah Polisi Penembak 6 Laskar FPI?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pertanyaan ini muncul sehubungan dengan beredarnya di media sosial Oppositeleaks yang menayangkan foto dan pelaporan Briptu Fikri Ramadhan kepada Mabes Polri tanggal 7 Desember 2020 yang disertai dua orang saksi, yaitu Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto. Uniknya, terlapor adalah enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang meninggal ditembak. Banyak pernyataan publik yang mendesak agar Kepolisian segera mengumumkan siapa nama-nama penembak dan personal lain yang terlibat dalam kasus yang menjadi perhatian nasional, bahkan dunia tersebut. Kualifikasi kejahatan teringan berdasarkan Laporan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah pelanggaran HAM dengan indikasi unlawful killing. Bungkamnya Polri selama ini sampai sekarang tentang siapa-siapa anggota polsisi yang telah melakukan penembakan hingga tewas tersebut tentu dapat menimbulkan banyak spekulasi. Ini kondisi yang tidak sehat. Dugaan bahwa Kepolisian sedang berfikir keras dan mencari skenario penyelamatan wajah korps memang wajar menjadi opini publik. Korban tewas karena ditembah, mau diputar menjadi penjahat. Sementara pembunuh mau dijadikan sebagai pahlawan. Munculnya tiga nama anggota polisi, seperti Fikri, Adi, dan Faisal didapat Oppositeleaks 6890 dari pelaporan 7 Desember 2020. Artinya, laporan itu dibuat masih pada hari yang sama dengan terjadinya peristiwa pembunuhan dini hari tersebut. Aksi pembunuhan tersebut sendiri dimulai jam 23.45 WIB tangga 6 Desember 2020. Briptu Fikri Ramadhan menerangkan tindakan aparat melakukan hal tersebut tak lain sebagai "tindakan tegas dan terukur kepada pelaku". Publik menilai ini untuk mengganti diksi "menembak" (bacaan lain "membantai" dan "menyiksa"). Ada tiga hal kemungkinan terhadap tiga nama di atas. Pertama, Briptu Fikri, Bripka Adi, dan Bripka Faisal itulah orang-orang yang sebenarnya melakukan penembakan. Sehingga yang ketiganya yang paling siap untuk mempertanggungjawabkan hingga ke proses hukum di peradilan sesuai peristiwa atau skenario peristiwa. Kedua, bukan ketiganya yang menjadi pelaku penembakan. Tetapi mereka beertiga menjadi "pemeran pengganti", sekedar sebagai formalitas untuk melaporkan. Kemungkinan masih ada pelaku lain, baik yang dari anggota Polri atau instansi lain yang menjadi eksekutor sebenarnya. Ketiga, anggota Polri dan instansi lain berkolaborasi untuk mengeksekusi. Artinya, kemungkinan bisa lebih dari tiga orang personil di atas. Proses penguntitan dan pembuntutan dilakukan bukan oleh satu atau dua orang. Banyak orang dan pihak yang diduga terlibat. Lalu siapa sebenarnya mereka itu? Tentu sangat mudah untuk diketahui oleh lembaga Kepolisian yang telah mengakui bahwa penembakan dilakukan oleh aparat polisi. Hanya hingga kini terjadi ke anehan, bahwa hal yang mudah ini justru tidak mau diungkap. "Jangan gras- grusu", kata seorang pejabat dari Markas Besar Kepolisian. Ini bukan soal grasa-grusu Pak Polisi. Tetapi fakta kejahatan yang mesti segera diusut. Justru nyata betapa lambat kasus ini ditangani. Wajar kalau publik bertanya-tanya tentang skenario yang dipakai polisi untuk kasus ini. Ayo Pak Kapolri, segera umumkan siapa pelaku yang melakukan unlawful killing tersebut. Benarkah mereka adalah Fikri, Adi, dan Faisal? Jika iya, tentu tinggal melakukan penyidikan saja. Namu jika ternyata bukan, maka jangan sampai ada orang yang sebenarnya tidak bersalah harus dikorbankan. Apalagi sampai dinyatakan bersalah. Kasihan masa depan mereka. Kasihan juga keluarganya. Persoalan ini akan semakin jelimet dan bikin mumet, jika perencana atau pembuat skenario bermotif untuk menutupi kebenaran. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.