ALL CATEGORY

Masalah Penegakan UU ITE, Hulunya di Politik Pak Bosh

HUKUM, sayangnya bukan sabda alam. Hukum itu sabda politik, suara orang-orang politik. Sebagai sabdanya orang politik, hukum dimana-mana di dunia ini menandai eksistensi teksnya itu dengan kontroversi. Itu soalnya. Teks hukum tak selalu dapat memenjelaskan maksud sebenarnya dari pembuatnya. Pasal 27 dan 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 Yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, salah contoh terbaiknya. Tetapi itukah masalah utama, yang membuat Presiden memikirkan kemungkinan UU ITE diubah? Entahlah. Presiden memang bicara keadilan dalam pidatonya itu, tetapi apakah tepat elastisitas teks sebagai hulu masalah UU ITE? Tidak juga. Terlalu terburu-buru kalau gagasan Presiden itu, dinilai sebagai cara pemerintah berkelit dari laporan KNPI atas dugaan Abu Janda menghina Natalius Pigai. Tetapi beralasan untuk disayangkan, bila Presiden tidak memiliki keberanian menyatakan politik yang joroklah, yang murni menjadi sebab-musabab dari bobroknya penegakan hukum UU ITE. Hukum tajam setajam-tajamnya kepada kaum oposan. Sebaliknya, cukup tumpul untuk mereka, yang senada dengan kekuasaan pemerintah. Cara jorok penegakkan hukum model ini telah teridentifikasi secara acak di tengah masyarakat. Apakah itu soal hukum? Tidak juga. Sama sekali tidak. Ini soal politik. Jorok, Analisa Dianggap Bohong Bagaimana bisa, gambar yang dipakai sebagai rujukan komentar, dijadikan parameter ada kebohongan? Bagaimana bisa pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, tentang hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong (Lihat CNNIndonesia, 11/09/2020), yang dijadikan rujukan oleh Syahganda, tetapi dinyatakan melawan hukum? Bagaimana yang seperti itu? Jauh sebelumnya, Profesor Mahfud MD telah bicara tentang oligarki. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan Indonesia bukan negara demokrasi. "Demokrasi kita tersandera, bergeser jadi oligarkis," katanya kepada wartawan di gedung Rektorat Universitas Airlangga, Jumat, 14 Maret 2014 (Lihat Tempo.co.id 14/3/2014). Analisis-analisis tentang oligarki, memiliki kemiripan dengan analisis “cukongi calon kepala daerah”. Dimana nalarnya sehingga analisis Syahganda itu serta-merta barubah jadi analisis terlarang? Bahkan menjadi sebab, salah satunya, Syahganda dituduh melakukan tindak pidana? Waraskah ini Pak Bosh? Hanya pendekatan politik yang mampu mengatakan itu waras. Ilmu hukum dari dunia mana, yang dapat dipakai untuk “mengkriminalisasi” seruan atau dukungan terhadap demonstrasi? Demonstrasi, unjuk rasa menurut terminologi hukum adalah tindakan hukum yang sah. Hal hukum yang sah itu tiba-tiba berubah menjjadi pidana? Ini namanya “ilmu hukum tiba saat tiba akal, dan ilmu hukum akal bunuh akal”. Apa nalarnya, sehingga analisis terhadap draft RUU Cipta Lapangan Kerja, pernah disingkat (RUU Cilaka) sebelum berubah menjadi RUU Cipta Kerja, dikualifikasi sebagai “menyebar berita bohong? Lalu Apa nalarnya gambar yang dijadikan backround, atau apapun namanya pada twitnya yang merujuk pernyataan Jendral (Purn.) Gatot Nurmantyo dikualifikasi sebagai berita bohong? Apakah pernyataan-pernyataan itu berkualifikasi jahat, pada semua aspeknya terhadap keselamatan negara, sehingga Syahganda ditangkap menjelang pagi buta? Persisnya jam 00.40 dinihari? Siapa yang melaporkan twit-twit Syahganda ke Polisi? Jam berapa pelapor selesai diperiksa, sehingga jam 00.40 Syahganda ditangkap? Logiskah kalau petugas yang menangkap Syahganda itu dijadikan saksi? Perangkat elektronik Sahganda yang diduga digunakan menyebar dukungannya terhadap demonstrasi buruh, disita. Apa sekarang Dr. Syahganda didakwa dengan pasal UU ITE? Syahganda didakwa dengan pasal-pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Ancaman hukum pada pasal 14 ayat (1) UU Nomor Tahun 1945 itu 10 (sepuluh) Tahun. Ngeri sekali. Perlakuan Yang Berbeda Semoga pelapor Dr. Syahganda ke penyidik adalah masyarakat umum? Siapa mereka? Apakah pelapor pada kasus Syahganda juga dijadikan sebagai saksi pada kasus Jumhur? Apakah pelapor pada kasus Jumhur juga dijadikan saksi pada kasus Syahganda? Telah terjadi kerusuhan demo buruh? Kapan rusuhnya? Pembakaran halte busway di Jalan Thamrin? Siapa yang membakar itu? Apakah mereka yang ditangkap itu yang nyata membakar? Hantukah orang-orang yang tertangkap di kamera CCTV, yang terlihat menyulut api di halte itu, yang didiskusikan pada acara Mata Najwa? Dimana mereka sekarang? Ahok memang sudah lama bebas, dan sekarang menjadi Komisaris Utama PT Pertamina. Mulai dari penyidikan sampai dengan hari terakhir persidangan (vonis), Ahok tidak ditahan. Setelah vonis hakim, barulah Ahok ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob Kepapa Dua Depok. Sekarang giliran Habib Rizieq Shihab (RHS) yang menjalani proses penegakan hukum. Perlakuan politik negara terhadap Ahok dalam kasusnya, terlihat beda antara bumi dan langit, dengan perlakuan negara terhadap Habib Rizieq. Itulah karena soal politik Pak Bosh. Bukan persoalan hukum. Cerita bajak-membajak akun seseorang, sudah begitu sering terdengar. Bajak lalu beri gambar porno. Setelah itu sebar. Si empunya akun tak tahu, tetapi karena berasal dari akunnya, maka dia dilebeli menyebarkan gambar porno. Kalau akun itu milik oposan, bisa barabe kan? Entah apa kasus video porno yang dialamatkan ke habib HRS, yang dulu telah dihentikan penyidikannya, tetapi dinyatakan tidak sah oleh pengadilan, masuk kategori ini atau tidak? Lagi-lagi ini soal politik yang jorok tersebut. Ini bukan soal hukum. Tuntutan Bebas ke Syahganda Apakah 27 ayat (1) bersifat delik aduan mutlak? Mutlak atau tidak, hanya orang yang dihinalah yang berhak melapor. Dialah yang dirugikan, sehinga hanya dia yang bisa mengadu. Fitnah itu, untuk alasan apapun, tidak bisa dilebur atau diaborsi meliputi orang lain. Apa begitu kenyataannya? Menarik sekali penuturan Kang TB Hasanudin. Kapokja perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, memiliki penilaian jelas masalah UU ITE ini. Dalam garis besarnya pernyataan Kang TB Hasanudin tentang pasal 27 ayat (1) yang tegas menunjukan intensi mereka adalah pasal 27 harus dipertalikan dengan pasal 310 dan 311 KUHP. Bagi TB Hasanudin, masalah pada penegakan hukum, bukan pada pasal 27 dan 28 itu. (Lihat RMol, 15/2/2021). Joroknya kehidupan politiklah, hulu kerusakan dunia penegakan hukum. Ini yang harus dibereskan lebih dulu. Bukan mengubah UU ITE. Apalagi dibereskan dengan membuat edaran (pedoman) kepada penyidik agar tidak serta-merta menerima laporan yang disampaikan oleh orang lain atau selektif menerima laporan. Sama sekali tidak begitu. Sekali lagi soal politiklah, yang harus dibuat beres dulu. Itu yang harus dimengerti dan dipahami oleh Presiden. Bereskan cara pandang tentang cara kita berbangsa. Cara berpikir tentang kita berbangsa itu bukan soal hukum. Tetapi itu soal politik Pak Bosh. Lingkungan penegakan hukum dapat disamakan dengan apa yang L. Friedman, ilmuan sosiologi yang menjadikan hukum sebagai obyek kajian sebut dengan legal culture. Legal culture inilah yang harus dibuat bersinggungan dengan non hukum. Fungsinya sebagai determinan pembentukan kelakuan, cita rasa, kepekaan terhadap keadilan, kemanusiaan penegak hukum. Politik tak selalu dapat diraba arahnya. Presiden memang terlihat bersungguh-sunggu membenahi UU ITE. Tetapi sekali lagi, bukan itu hulu persoalan penegakan UU ITE itu. Persoalannya terletak pada postur politik yang membentuk lingkungan politik penegakan hukum. Tetapi sudahlah, andai Presiden bersungguh-sungguh dengan pernyataannya, maka sebelum benar-benar mengubah UU ITE itu, perintah dulu Jaksa Agung menuntut bebas Dr. Sahganda, Jumhur, Dr. Anton, ustazah Kingkin dkk. Presiden bilang kepada Jaksa Agung segera hidupkan mesin keadilan untuk terdakwa-terdakwa kasus kritik, yang Polisi kualifikasi sebagai menghina dan menyebar kabara bohong. Tuntutlah Dr. Syahganda, Jumhur, Anton, Ibu Kinkin dkk dengan “tuntutan bebas”. Bila itu terjadi saat ini, maka logis menganggap Presiden, selain memiliki kesungguhan menata politik bangsa ini, juga menunjukan Presiden mengerti masalah dasar bangsa ini. Presiden harus diberi tahu “hanya orang hina yang bisa menghina orang lain”. Hanya pembohong yang mau menjadi berbohong. Pak Presiden analisis itu tidak pernah bisa dibilang bohong. Dunia ilmu pengetahuan tidak akan tumbuh, bersinar menyinari bangsa ini kalau orang-orang intelektual tidak lagi bisa menganalisis masalah. Galileo Galilei, yang dipenjara itu, karena dituduh berbohong, ternyata jauh dunai membenarkan analisis yang dinyatakan secara terbuka. Jauh setelah dirinya tiada. Menyebarkan kabar bohong dan memfitnah itu buruk. Bangsa yang berbudi tak memberi tempat untuk tindakan itu. Kecuali politik rendahan. Tak ada ilmu yang bisa dijadikan argumentasi kalau tindakan Dr. Syahganda, Jumhur, Dr. Anton dan Ibu Kinkin sebagai menyebar kabar bohong untuk bikin onar. Jaksa Agung “harus tuntut bebas mereka”. Jaksa Agung harus jadi alat keadilan, bukan alat politik kotor. Ya bola sekarang berada ditangan Jaksa Agung. Menuntu bebas Dr. Syahganda, Jumhur, Dr. Anton dan Ibu Kinkin itu, imperative adanya. Segera Terbitkan Perppu ITE Bangsa ini telah begitu letih dengan tingkah polah politik kotor. Tragisnya, nalar kotor politik ini terlanjur terserap dan mengeras membentuk sumsum-sumsum hukum. Nadi-nadi hukum melemah sudah. Mata-mata alam tak lagi mampu sembab, karena keseringan basah oleh tabiat hukum yang buruk. Berhenti membanggakan politik hukum penjara terhadap anak-anak politik seperti Dr. Syahganda, Jumhur, Dr. Anton dan Ibu Kinkin. Juga ustad-ustad yang lidah dan suaranya selalu basah dengan impian mengagungkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pak Presiden, “hanya orang hina yang memiliki kemampuan menggunakan penjara untuk lawan-lawan politik”. Presiden juga harus kita ingatkan bahwa basa-basi politik itu, tidak pernah manis dan indah di mata manusia maupun alam. Suatu hari nanti alam akan mengolok-oloknya. Itu karena alam hanya mengenal kejujuran, yang sari dan tampilannya selalu menjadi nutrisinya. Alam mengenal kejujuran sebagai nutrisi batin manusia. Pak Presiden, kalau anda bersungguh-sungguh degan pernyataan mengubah UU ITE, segera buktikan saja dengan menerbitkan Perpu. Justfikasi Perpu itu sepenuhnya politik. Politik selalu mudah semudah orang hina menghina orang lain. Toh paling-paling tambahkan satu ayat pada pasal 27 itu. Tambahkan saja 1 (satu) ayat pada pasal 27 ayat (3). Ayat 3 nanti berisi ketentuan sebagai berikutya “Tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tindak pidana aduan. Hanya itu. Mudah kan? Perintahkan saja Profesor Mahfud MD, dan Profesor Edy Oemar Hiraje buat. Paling dua menit beres. Begitu sederhana seperti Pak Presiden memacu sepeda di lingkungan Istana Bogor. Oh ya Pak Presiden, jangan lupa segera bebaskan Dr. Syaganda, Jumhur, Dr. Anton, Ibu Kingkin dan semua ustad yang ditahan atas tuduhan melanggara protokol covid. Maaf Pak Presiden, boleh jadi rumput akan segera tertawa dan mengering ditengah guyuran air hujan, kalau Pak Presiden sampai bilang “itu sama dengan intervensi pengadilan”.

Begitu Abu Janda Terjepit, UU ITE Pun Dilunakkan

by Asyari Usman Medan, FNN - Menarik sekali melanjutkan analisis teman saya, Arief Budiman, di Coffee Break FNN, kemarin. Bahwa UU ITE boleh jadi dievaluasi karena kasus “Islam Arogan” Permadi Arya alias Abu Janda bisa menjebloskan dia ke penjara. Artinya, seluruh penyelenggara negara ini mencarikan jalan untuk menyelamatkan Abu Janda. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya. Sebab, penistaan terhadap Islam oleh Abu Janda dengan mengatakan agama Islam itu arogan, tidak bisa diolah lagi agar tidak menjadi pidana penistaan. Abu Janda asli terperosok. Ibarat tupai yang sangat pandai melompat, sekali ini si Abu terjatuh. Dalam kasus “Islam Arogan”, si Abu tak bisa mengelak. Dari arah mana pun penistaan itu dilihat, Abu Janda kena laras hukum penistaan agama. Semua pihak mencela cuitan si Abu. Para kiyai NU saja, yang dianggap si Abu tidak masalah, justru mengutuk pegiat media sosial yang merangkap buzzer itu. MUI juga mengecam. Begitu pula sejumlah ormas keagamaan dan ormas-ormas nasionalis. Dalam cuitan Twitter 25 Januari 2021, Abu Janda lewat akun @permadiaktivis1, mengatakan: “Yang arogan di Indonesia itu adalah Islam, sebagai agama pendatang dari Arab, kepada budaya asli kearifan lokal. Haram-haramkan ritual sedekah laut, sampe kebaya diharamkan dengan alasan aurat.” Begitu lebih-kurang cuitan si Abu. Dia mengatakan, Islam Arogan itu tidak dimaksudkannya sebagai Islam secara keseluruhan. Hanya ditujukan kepada Tengku Zulkarnaen dan Salafi-Wahabi. Tetapi, kalau dibaca isi cuitan tidak ada lain dia memang mengatakan Islam agama arogan. Apalagi kalau cuitan ini diletakkan dalam konteks sikap, tulisan, komentar, dan lakon-lakon ejekan si Abu terhadap hal-hal yang terkait dengan Islam. Bisakah dipercaya bahwa Abu Janda mengarahkan “Islam Arogan” itu hanya kepada aliran Salafi-Wahabi dan Tengku Zulkarnaen? Tampaknya, sulit dipercaya. Sebab, tak berapa lama sebelum cuitan “Islam arogan”, Permadi Arya mencuitkan kalimat rasis kepada Natalius Pigai –mantan komisioner Komnas HAM. Begini bunyi cuitan Twitter itu: “Kau @NataliusPigai2, apa kapasitas kau? sudah selesai evolusi belom kau?” Nah, kepada Pak Pigai saja si Abu sangat, sangat kasar. Rasis pula. Padahal, Pigai berasal dari latarbelakang yang biasanya dibela si Abu. Apalagi terhadap Islam yang memang tidak disukai oleh Abu Janda. Saya yakin dia mengatakan Islam agama arogan itu bukan ditujukan ke Salafi-Wahabi, tetapi kepada Islam seluruhnya. Cuitan ini juga membukakan pintu penjara bagi Abu Janda. Tetapi, karena dia buzzer yang dilindungi, semua penguasa seiya-sekata mengusahakan jalan keluar untuk si Abu. Jadi, perubahan dalam menerapkan UU ITE yang diberlakukan oleh Kapolri baru Jenderal Listyo Sigit Prabowo “kebetulan” sekali menguntungkan Abu Janda. Dia tak akan ditahan karena sudah meminta maaf kepada warga NU dan Muhammadiyah. Setelah meminta maaf, sesuai panduan Kapolri tentang penggunaan UU ITE, terlapor yang dijadikan tersangka tidak lagi ditahan. Selamatlah Abu Janda. Dia tetap selalu kebal hukum.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Rezim Oleng, Haruskah Harmoko Dijadikan Ketua DPR/MPR

PRESIDEN Soeharto akan tetap berkuasa, jika tidak ada permintaan mundur dari Ketua DPR/MPR Harmoko tahun 1998. Sikap Harmoko sungguh sangat bijaksana merespons realita di masyarakat. Berbeda dengan sikap Ketua DPR dan MPR saat ini, nyaris tak terdengar di tengah situasi politik, ekonomi, dan hukum yang gaduh dan bising. Ribuan nyawa melayang, demo berjilid-jilid, dan utang setinggi langit tak akan membuat presiden mundur, jika pimpinan DPR diam. Harmoko adalah contoh pimpinan yang tegas, lugas, dan ksatria. Dulu, masyarakat boleh saja memelesetkan Harmoko menjadi Hari Hari Omong Kosong, tapi nyatanya ia telah bertindak secara jantan dan tepat dalam menghadapi situasi politik tahun 1998. Omongannya tak lagi kosong, tapi ampuh menghentikan kekuasaan absolut Orde Baru yang telah dibangun selama 32 tahun. Harmoko saat itu dengan gagah berani mendesak Presiden Soeharto agar mundur dari jabatannya. Padahal beberapa bulan sebelumnya, Harmoko mengatakan kepada Soeharto bahwa, berdasarkan hasil Safari Ramadan ke sejumlah daerah, rakyat menganggap tidak ada tokoh lain yang dapat memimpin negara kecuali Soeharto. Namun hanya selang beberapa bulan, Harmoko berubah pikiran. Ia meminta Soeharto turun dari jabatan presiden. Pidato Harmoko di gedung DPR MPR itu mengakhiri ketegangan politik yang terjadi beberapa hari. Pilihan sikap Harmoko didasari oleh adanya demonstrasi mahasiswa yang bergerak masuk ke Gedung DPR. Situasi semakin panas setelah terjadi penembakan di Universitas Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa kampus itu. Selain itu, situasi politik pun semakin pelik disertai kekerasan berbasis prasangka rasial yang menimbulkan beberapa korban tewas. Tak hanya itu, nilai rupiah turun 9 persen. Bank Indonesia tidak mampu membendungnya hingga merosot mencapai level Rp 17.000/US$ atau kehilangan 85 persen. Kondisi itu membuat hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut dan semakin meneguhkan anggapan para pengamat dalam dan luar negeri bahwa rezim kala itu sudah terbelit nepotisme, korupsi, dan inkompetensi. Atas perintah Harmoko, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti yang ketujuh kalinya. Meski diawali dengan berbagai demonstrasi dan kerusuhan, pergantian kepemimpinan itu kategori lembut dan damai. BJ Habibie, yang sebelumnya sebagai wakil presiden ditunjuk menjadi presiden. Di masa pemerintahannya yang terbilang singkat 1 tahun 5 bulan, Habibie berhasil menerapkan berbagai terobosan untuk kepentingan negara. Kendati demikian, ia juga pernah mengalami momen pahit saat sidang MPR tahun 1999, yang kala itu dipimpin oleh Amien Rais. Saat itu Amien Rais menolak laporan pertanggungjawaban BJ Habibie, pada 20 Oktober 1999 lantaran dianggap tak mampu menjalankan tugas sebagai presiden. Penolakan itu juga disebabkan oleh kebijakannya menyelenggarakan referendum di Timor Timur pada 30 Agustus 1999 yang berujung pada lepasnya provinsi ke-32 ini, menjadi negara Timor Leste. Lepasnya Timor Timur juga menyisakan kepedihan yang mendalam bagi para pejuang di perbatasan sejak tahun 1975 khususnya veteran Seroja. Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia dilantik menjadi presiden RI keempat pada 20 Oktober 1999 lewat voting dalam sidang umum MPR, mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Ia dilantik di tengah sejumlah permasalahan rumit. Dari mulai krisis ekonomi hingga disintengrasi bangsa. Kondisi negara diperparah dengan masalah pemberontakan di Aceh dan Papua, serta kerusuhan Ambon dan Poso. Gus Dur pun akhirnya harus berhenti di tengah jalan, karena dianggap tak mampu mengatasi persoalan bangsa. Jatuhnya Gus Dur hanya dibidik dengan persoalan sepele, yakni dituduh menyalahgunakan dana Yanatera Bulog Rp 35 M dan bantuan Sultan Brunei. DPR kemudian menjatuhkan memorandum dua kali untuk presiden. Buntutnya pada 23 Juli 2001 MPR menggelar Sidang Istimewa memakzulkan Gus Dur dan menggantinya dengan Megawati. Puluhan ribu Banser yang sudah siap di lapangan Monas untuk menopang Gus Dur dari kursi presiden akhirnya harus legowo menerima keputusan Sidang Istimewa MPR. Pun demikian pergantian kepemimpinan berjalan dengan lancar dan mulus. Bagaimana dengan era saat ini? Jika menggunakan parameter presiden-presiden sebelumnya, jelas kondisi saat ini jauh lebih parah. Jokowi dalam tangkapan aspirasi publik sudah sangat rendah tingkat kepercayaannya. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya komentar, meme, dan karikatur yang cenderung mengolok-olok. Nyaris, apa yang diperbuat rezim ini di mata masyarakat, serba salah. Contoh paling anyar. Kesediaan Jokowi menjadi orang pertama yang divaksin Covid19, tidak berpengaruh pada sikap publik. Saat ini publik masih banyak yang menolak divaksin. Hanya 2 persen yang terpengaruh. Menjadi pertanyaan serius, ke mana 57 persen pemilih Jokowi- Maruf dalam Pilpres 2019? Ada 55 persen pemilih Jokowi menolak vaksin. Jangan-jangan yang 2 persen pun pemilih Prabowo. Kenyataan ini sangat berbahaya. Dalam situasi pandemi dan keselamatan rakyat terancam, mereka tetap tidak percaya kepada Jokowi. Ambruknya pertumbuhan ekonomi, korupsi dan nepotisme yang merajalela, janji-janji yang tak terealisasi, utang yang sangat besar, penyusupan ideologi komunisme, TKA China dan kerja sama dengan RRC, serta kapasitas kepemimpinan yang sulit didongkrak, akan menjadi keadaan yang menyebabkan sulitnya untuk menyelamatkan dan memulihkan kepercayaan dari rakyat. Di sektor Hak Asasi Manusia lebih parah. Pembunuhan 6 laskar FPI oleh aparat kepolisian, tak jelas nasibnya. Komnasham yang mustinya kritis terhadap temuan polisi justru berada satu barusan dengan polisis. Mereka menyetel frekuensi yang sama. Di sektor keagamaan lebih menyakitkan lagi. Rezim makin memperlihatkan kebencian terhadap Islam semakin jelas. Lewat mulut buzzer atau lewat kebijakan pemerintah, semua tampak nyata. Di bidang hukum, rezim makin radikal pengkhianatannya terhadap rasa keadilan masyarakat. Korupsi ugal-ugalan dana bansos tak menunjukkan pengusutan yang lebih serius. Malah ada upaya memutus mata rantai korupsi. Rezim ini sudah layak dihentikan. Syarat untuk menurunkan Jokowi kata Rocky Gerung sudah terpenuhi, hanya butuh niat baik pimpinan DPR/MPR melakukan sidang Istimewa. Mundur atau dimundurkan jangan dijadikan masalah. Bangsa ini harus terbiasa dengan pemakzulan. Pergantian kepemimpinan seharusnya menjadi kebiasaan yang baik. Tak ada yang perlu ditakutkan. Jangan takut bayang-bayang. Hanya butuh kerelaan untuk melepas jabatan sesaat, butuh keteladan dan keikhlasan. Pergantian presiden cepat atau lambat harus menjadi budaya baru. Jangan menyakralkan jabatan presiden, apalagi mengkultuskan sosok presiden. Presiden, sebagaimana Ketua RT seharusnya bisa diganti kapan saja. Yang penting program tetap jalan, rakyat tetap solid, dan kesejahteraan terjamin. Jangan menyandera rakyat hanya demi libido kekuasaan segelintir orang, sehingga pergantuan presiden di tengah jalan dianggap tabu dan malu. Indonesia harus berubah. Bahkan menjadi pioner pergantian presiden yang bisa kapan saja dilakukan. Di tengah jalan atau di ujung jalan. Sistem harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada dampak yang serius dari perubahan rezim yang cepat. Jika sistem ini sudah kuat, maka bayangan menakutkan dilengserkan masyarakat di tengah jalan menjadi hal yang lumrah dan asyik. Pada situasi saat ini, pimpinan DPR/MPR harus bertindak. Jangan sampai dituduh terlibat dalam menjerumuskan utang yang menggunung, korupsi yang merajalela, pencabutan subsidi yang membabi-buta, serta permusuhan terhadap umat Islam. DPR jangan menjadi Dewan Perwakilan Rezim demikian juga MPR jangan menjadi Majelis Permusyawaratan Rezim. Masyarakat butuh peran nyata dari Dewan Perwakilan Rakyat. Kalian dipilih oleh rakyat dan harus bertanggung jawab terhadap rakyat bukan mengekor pada rezim. Di tengah eforia menerima gelar doktor honoris causa, pimpinan DPR harus peka menangkap suasana batin masyarakat yang menghendaki pergantian pimpinan negara. Hampir semua parameter keberhasilan pemimpin negeri ini berada di bawah standar. Sementara parameter pemakzulan juga sudah terpenuhi. Mengharap mereka tahu diri, jelas tidak mungkin. Maka, tirulah ketegasan dan keberanian Harmoko. Haruskah rakyat mengangkat Harmoko menjadi Ketua DPR dan MPR? (sws)

The New Istiqlal

by Imam Shamsi Ali Makasar FNN - Hari Ahad kemarin, 22 Februari 2021 masjid Istiqlal melangsungkan hari jadi atau Miladnya yang ke 43. Acara itu dihadiri oleh Wakil Presiden (Wapres) KH. Ma’ruf Amin dan beberapa Menteri Kabinet Indonesia Maju. Ada juga pejabat tinggi negara lainnya, serta perwakilan-perwakilan negara sahabat termasuk Akting Dubes Amerika Serikat. Saya sendiri secara pribadi diundang melalui telpon langsung oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. Sayang sekali saya tidak bisa hadir karena terlebih dahulu terikat oleh beberapa jadwal di Makassar, Sulawesi Selatan. Namun Jumat lalu saya menyempatkan hadir Jumatan di Istiqlal sekaligus menjadi narasumber pada pelatihan peningkatan SDM Rohis/Bintal TNI. Masjid Istiqlal memang sangat membanggakan bangsa Indonesia. Selain karena bersejarah, juga merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini tentu juga dikenal sebagai masjid negara. Dan karenanya untuk pertama kalinya, pengangkatan Imam Besar dan seluruh jajaran struktur kepengurusannya melalui Surat Keputusan Presiden RI. Kali ini Istiqlal memang sedang berbenah. Saya yakin bahwa semua ini tidak lepas dari kelihaian Imam Besar, Guru dan Kakak saya, Professor Nas. Kelihaian itu tidak saja secara substansi keilmuan karena beliau memang seorang guru besar dalam ilmu agama. Professor Nas juga dalam hal profesionalitas menejemen yang beliau miliki. Ditambah lagi keluasan dan keluwesan beliau dalam membangun komunikasi dan relasi dengan semua pihak, baik dengan pemerintah maupun masyarakat luas, bahkan dengan non Muslim sekalipun. Kini Istiqlal semakin berbenah. Tentu saya tidak ingin memakai kata sempurna. Karena kesempurnaan itu hanya milik Allah, sang Khaliq. Tetapi masjid Istiqlal semakin membaik, maju dan berkembang baik secara fisik maupun secara substansi (program dan kegiatan). Secara fisik, dalam sejarahnya baru kali ini masjid Istiqlal mendapat perhatian penuh dari pemerintah dan semua masyarakat luas untuk direnovasi secara besar-besaran. Dan itu dapat disaksikan secara dekat di saat mengunjungi masjid Istiqlal. Salah satu hal yang unik di masjid Istiqlal saat ini adalah penyinarannya dengan memakai sistem solar (matahari). Selain itu masjid Istiqlal memperbaiki segala fasilitasnya secara profesional, termasuk ruang-ruang sekolah/perkuliahan yang semakin indah. Bahkan mungkin yang juga unik, khususnya di Indonesia, adalah dihadirkannya tempat olah raga atau Gym yang modern. Nggak itu karena masjid Istiqlal memiliki wawasan membangun manusia seutuhnya. Sehat secara spiritual, intelektual, dan juga secara fisikal. Tetapi dari semua itu yang paling menggembirakan adalah bahwa visi masjid Istiqlal tidak lagi bahwa masyarakat itu harus memberdayakan masjid. Saat ini justeru minimal harus ada perhatian timbal balik. Sehingga yang berkembang dan kuat bukan masjidnya saja. Namun juga masyarakat atau jamaah masjid tersebut. Perberdayaan masjid sebagai pusat pemberdayaan masyarakat ini terlihat dalam inisiasi berbagai program yang, menurut saya pribadi, sangat maju dan inovatif. Saat ini ada 41 bentuk program yang dicanangkan oleh masjid Istiqlal. Dan bersamaan dengan hari Miladnya yang ke 43 program-program tersebut diluncurkan secara resmi oleh Wakil Presiden RI. Saya tidak akan menyebutkan kesemua 41 program itu. Semuanya dapat diakses melalui website masjid Istiqlal saat ini. Saya hanya akan menyebut tiga hal yang menurut saya sangat relevan dan diperlukan. Pertama, terbentuknya Majelis Mudzakarah masjid Istiqlal yang beranggotakan 20 orang dan diketuai oleh Ahli Tafsir dan Ulama Indonesia, Prof. Dr. Quraish Shihab. Saya sendiri dimasukkan sebagai salah seorang anggota di Majelis tersebut. Dengan terbentuknya Majelis Mudzakarah ini, masjid Istiqlal kemudian meluncurkan program pengkaderan ulama yang secara akademik setingkat S2 dan S3. Program ini dikerjasamakan dengan Institute Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Jakarta. Kedua, sebagai bagian dari pengkaderan Ulama tadi, masjid Istiqlal secara khusus melakukan pengkaderan Ulama wanita. Bagi saya pribadi hal ini sangat penting dan inovatif, bahkan sesungguhnya sangat diperlukan untuk tujuan-tujuan multidimensi yang sangat penting. Pengkaderan Ulama perempuan akan menjawab berbagai tuduhan bahwa Islam itu diskriminatif kepada wanita, khususnya dalam Kajian keagamaan. Dan tentuny lebih khusus lagi bahwa wanita akan memiliki akses besar dalam penafsiran-penafsiran yang selama ini diakui atau tidak memang “masculine dominant” (didominasi oleh Ulama pria). Setahu saya belum ada negara Islam yang melakukan hal ini selain Indonesia. Maroko Beberapa waktu lalu mengadakan hal yang sama. Di mana kedudukan mufti juga diperbolehkan untuk diduduki oleh kaum hawa. Hanya saja Indonesia melangkah lebih jauh karena memang program ini adalah mengkader Ulama yang akan berkontribusi secara penuh dalam keilmuan dan pemikiran Islam. Ketiga, masjid Istiqlal ingin menjadi pelapor jaringan masjid-masjid besar dunia. Bagi saya pribadi hal ini sangat penting dan relevan karena memang masanya Indonesia berada di garis depan untuk meraih kepemimpinan di dunia global, khususnya di dunia Islam. Jika hal ini terwujud maka tentu salah satu kegalauan saya sebagai Putra bangsa yang telah lama di luar negeri akan terjawab. Saya adalah putra bangsa yang beragama Islam yang telah lama mengimpikan peranan global Umat Islam Indonesia. Semoga masjid Istiqlal ke depan dapat bekerjasama dengan Nusantara Foundation dan Pesantren Nur Inka Nusantara Madani untuk memainkan peranan global itu. Insya Allah. “Selamat kepada Masjid Istiqlal di hari jadi yang ke 43. Dan selamat sebagai The New Istiqlal”. Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation/Pesantren Nusantara Madani USA.

Sory Bro Anies, Rupanya Ada Banjir Jakarta Ya?

by Asyari Usman Medan, FNN - Sekali ini, nyaris tidak tahu ada banjir di Jakarta. Minta maaf kepada Pak Anies Baswedan. Terlewatkan berita banjir beberapa hari yang lalu itu. Tak sempat berkomentar. Begini. Sebetulnya, bukan terlewatkan. Tapi, banjir yang datang hari Sabtu (20/2/2021) itu cukup cepat berlalu. Lihat berita malam tadi, sudah kering Senin dinihari (pukul 03.00). Saya menangguhkan komentar tentang banjir ini karena biasanya genangan air berlangsung berhari-hari. Saya pikir, nanti sajalah. Apalagi sedang dalam perjalanan (musafir) empat hari. Ada dengar juga kawasan Kemang tenggelam hingga satu meter. Rupanya, tak sampai 48 jam sudah 100% surut di semua titik di Jakarta. Begini, Bro Anies. Supaya komentar ini netral, saya setuju Ente katakan bahwa banjir kali ini lebih cepat surat karena “izin Allah”. Ente bilang “bi-iznillah” (dengan izin Allah). Pada hakikatnya, yang Ente katakan itu “absolutely correct” (benar sekali). Mengapa saya pinjam kata “bi-iznillah”? Saya khawatir kalau saya katakan banjir Jakarta kali ini cepat surut karena kesiapan dan kesigapan Gubernur beserta seluruh jajarannya, pastilah mereka katakan saya ini cari muka. Padahal, muka saya saja belum pernah Ente lihat. Iya, ‘kan? Nah, biarlah saya sebut “dengan izin Allah”. Tidak usah disebut-sebut pekerjaan Anies yang semakin baik. Tak usahlah saya katakan ente semakin paham cara meminimalkan dampak banjir. Saya pikir, ini akan lebih baik untuk Ente, Pak Gub. Yang penting ‘kan rakyat Jakarta tidak terlalu berat deritanya. Itu yang pertama. Yang kedua, para pemburu kelemahan Ente akan semakin berat cari makan. Dan yang ketiga, ini yang teramat penting, Ente tidak perlu berkoar-koar di depan publik bahwa “banjir Jakarta akan mudah diatasi kalau saya menjadi presiden”. InsyaAllah, sebelum masuk Istana pun Ente bisa atasi. Nah, ini yang perlu Ente katakan dalam bentuk kompetensi kerja. Dan kompetensi pikir. Menonjolkan “bi-iznillah” adalah representasi isi kepala dan isi hati yang paralel dalam kerundukan. Orang lain menyebutnya “silence is golden”. Ada orang yang isi kepalanya entah di mana dan isi hatinya entah terbuat dari apa. Tapi, dengan bangga menjajakan limbah karatan besi lapuk yang dibawanya keluar-masuk kampung, dan dia katakan itu emas. Hebatnya, orang-orang goblok masih belum merasa tertipu. Mereka terus saja mengatakan limbah besi karatan itu emas yang akan membawa Indonesia menjadi negara hebat dan bangsa yang dahsyat. Dan mereka masih akan membuzzerkan itu dengan cara menyerang kompetensi orang lain. Bahayanya, mereka akan berusaha melanggengkan limbah besi karatan itu melalui upaya pendinastian. Sambil berusaha menjelekkan di depan publik kompetensi kerja dan pikir yang bertaraf logam mulia. Sebaliknya, mereka setiap saat akan menggosok limbah besi karatan sampai akhirnya semua orang tersenyum. Karena kebodohan yang tak masuk akal. Jadi, sudah sangat tepat ketika Ente, Pak Gub, menyematkan keberhasilan mempercepat surut banjir kemarin itu sebagai “takdir Tuhan” dan kerja keras semua staf Ente. Bukan karena kompetensi Ente. Itu pertanda Ente mengerti bahwa permata tak mungkin tertutupi oleh kotoran yang keluar dari pikiran kotor. Bagaimanapun juga, kompetensi adalah lawan positif dari inkompetensi alias ketidakbecusan. Perbedaan keduanya sangat kontras. Dan cepat ketahuan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Banyak KIPI Akibat Vaksin Sinovac, Pemerintah Masih Berkilah

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Ada pernyataan menarik dan mungkin ironis sekali dengan “fakta” di lapangan terkait dengan angka kematian tenaga kesehatan atau nakes dari Presiden Joko Widodo akibat COVID-19 yang menurun berkat adanya penggencaran vaksin. “Dari angka-angka yang kita lihat di Jawa Tengah kemarin yang sudah disuntik vaksin, itu kelihatan sekali drop-nya angka kematian untuk nakes, drop sekali,” ujarnya dalam akun YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu (20/2/2021). Menurut Presiden, pada vaksinasi tahap 1 yang sudah berlangsung sejak Rabu, 13 Januari 2021, penerima hanyalah nakes. Pasalnya, kelompok inilah yang memiliki risiko tertular paling tinggi dari interaksi langsung dengan pasien Covid-19. Pemilihan kelompok penerima vaksin ini bukan dilakukan sembarangan. Pada tahap pertama, vaksin (itu) diberikan pada orang-orang dengan mobilitas dan interaksi yang tinggi. Dengan harapan, kekebalan imunitas kelompok bisa dimulai dari kelompok masyarakat ini. “Pendekatan kita adalah herd immunity, (yaitu) pendekatan klaster kelompok-kelompok yang memiliki mobilitas tinggi dan interaksi tinggi. Bukan karena yang lain tidak penting, tapi kita ingin dapatkan kekebalan komunal yang maksimal,” tambah Presiden Jokowi. Benarkah pernyataan Presiden Jokowi tersebut? Coba kita lihat bersama faktanya! Vaksinasi tahap 1 dimulai pada Rabu, 13 Januari 2021, diawali oleh Jokowi bersama beberapa pejabat lainnya yang disaksikan oleh rakyat melalui televisi. Esoknya, Kamis, 14 Januari 2021, barulah giliran para nakes di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk salah satu diantaranya di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Dokter JF ikut dalam tahap 1 tersebut. Jum’at pagi (15/1/2021), dokter berusia 48 tahun itu ditemukan meninggal di pelataran parkir sebuah mini market. Prof. Yuwono menyebut, korban meninggal di dalam mobil. Korban tak punya comorbid dan tidak memiliki riwayat dirawat di rumah sakit. Dokter forensik RS M. Hasan Bhayangkara Palembang Indra Nasution mengatakan, tim forensik menemukan bintik pendarahan yang disebabkan kekurangan oksigen di daerah mata, wajah, tangan, dan dada. Temuan itu menyimpulkan dugaan penyebab kematiannya. “Diduga meninggal karena sakit jantung,” ungkap Indra. “Benar berdasarkan laporan yang bersangkutan baru saja divaksin, namun vaksin tidak ada hubungan dengan penyebab kematian,” tegasnya. Kasi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular, Dinas Kesehatan Kota Palembang, Yudhi Setiawan mengatakan, penyebab Dokter JF meninggal dunia bukan karena vaksin Covid-19, melainkan kekurangan oksigen. Menurut akademisi dan peneliti dari Lembaga Ahlina Institute dr. Tifauzia Tyassuma, kasus serupa bakal mewarnai 2021. “Kejadian seperti ini akan mewarnai hari-hari di tahun 2021. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) akan dicatat dan dilaporkan,” katanya. “Penerima vaksin yang menjadi korban ini akan dicatat dan dilaporkan, dan yang meninggal akan dikubur,” lanjutnya. Pemerintah nantinya akan sibuk mengklarifikasi demi meyakinkan masyarakat bahwa penyebab kematian itu bukan karena vaksin Covid-19. Dan, klarifikasi dari Pemerintah dan para ProVaks hardcore akan bilang bahwa korban (itu) meninggal bukan karena vaksinasi, tetapi karena jantung berhenti berdetak, paru tak mampu mengambil nafas, dan batang otak berhenti bekerja. “Pasti bukan karena Vaksin. Apalagi Vaksin China yang jelas-jelas sangat aman,” sindirnya. Yang membuat Dokter Tifa gusar sejak awal, mengapa para nakes itu diberi jatah Sinovac? Padahal apa susahnya memesan 3 juta botol dari merk lain dengan kualitas lebih bagus. Vaksin Virus Corona Covid-19 kembali “makan korban”. Kali ini yang menjadi korban DR. Eha Soemantri SKM, MKes, Bendahara Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat (Persakmi) Sulawesi Selatan. Eha meninggal di ICU RS Wahidin Sudiro Husodo, Makassar. Setelah shalat subuh. Kabar beredar, sebelumnya Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Eha sendiri sebelumnya sudah divaksin. Namanya masuk dalam penerima vaksin pertama di Sulsel. Bersama beberapa pejabat Pemprov Sulsel dan Forkopimda di Sulsel. Pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoni terkait vaksinasi, setelah divaksin beberapa waktu lalu. Eha mengimbau masyarakat untuk tidak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntikan vaksin pada tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut. “Alhamdulillah, setelah divaksin saya tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, mari kita mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus Covid-19,” ujarnya. Tapi, pada Jumat (19/2/2021) pagi, Eha dinyatakan meninggal dunia di RS Wahidin Sudiro Husodo, Kota Makassar. Yang dialami Eha sudah seharusnya dilakukan investigasi karena peristiwa tersebut termasuk dalam kategori KIPI Serius. Sebelumnya, KIPI Serius lainnya dialami nakes RSUD Ngudi Waluyo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Erny Kusuma Sukma Dewi (33), yang meninggal setelah disuntik vaksin Covid-19, pada Minggu, 14 Februari 2021. Nakes Erny menjalani vaksinasi tahap pertama pada Kamis, 28 Januari lalu. Sebelum disuntik vaksin Sinovac, ia juga menjalani screening seperti yang lain. Erny yang sehari-hari bekerja di ruang isolasi pasien positif RSUD Ngudi Waluyo, dinyatakan sehat. Yang bersangkutan tidak memiliki penyakit penyerta. Suhu tubuh juga normal. “Dia lolos screening,” kata Direktur RSUD Ngudi Waluyo, Endah Woro Utami, Minggu (21/2/2021). Sembilan hari setelah vaksinasi (tahap pertama), Erny tiba-tiba mengalami gejala sakit. Tubuhnya panas. Juga, muncul sesak yang itu membuat yang bersangkutan langsung dilarikan ke rumah sakit. “Saat di swab ternyata positif (Covid-19),” ungkap Woro, seperti dilansir iNews.id, Minggu (21/2/2021). Kabar terbaru, drg. Bernadi Into. Sp.Prost, meninggal dunia Senin, 22 Februari 2021 karena Covid-19. Padahal pada Rabu, 27 Januari 2021 CEO PT Mustika Keluarga Sejahtera, pemilik RS Mustika Medika, Bekasi, posting foto di medsosnya sedang divaksin. Kematian Tertinggi Kematian petugas medis dan kesehatan (nakes) di Indonesia bertambah dan disebut menjadi yang tertinggi di Asia dan nomor tiga terbesar di seluruh dunia. Menurut Dr Adib Khumaidi SpOT dari Tim Mitigasi IDI, ini berdasarkan perbandingan statistik testing dan populasi. Tim Mitigasi IDI mengumumkan pembaruan data tenaga medis yang wafat akibat Covid-19 sepanjang pandemi di Indonesia berlangsung mulai Maret 2020 hingga pertengahan Januari 2021, telah mencapai total 647 orang. Data ini dirangkum oleh Tim Mitigasi IDI dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesidia (Patelki), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Adapun dari total 647 nakes yang wafat akibat terinfeksi Covid-19 ini terdiri dari 289 dokter (16 guru besar), 27 dokter gigi (3 guru besar), 221 perawat, 84 bidan, 11 apoteker, 15 tenaga laboratorium medik. Sementara itu, dokter yang wafat tersebut terdiri dari 161 dokter umum (4 guru besar), dan 123 dokter spesialis (12 guru besar), serta 5 residen. Di mana keseluruhannya berasal dari 26 IDI wilayah provinsi dan 116 IDI cabang kota/kabupaten. Berdasarkan data provinsi: Jawa Timur: 56 dokter, 6 dokter gigi, 89 perawat, 4 tenaga laboratorium (lab) medik, 33 bidan; DKI Jakarta: 43 dokter, 10 dokter gigi, 25 perawat, 2 apoteker, 3 tenaga lab medik, 7 bidan; Jawa Tengah: 41 dokter, 2 dokter gigi, 27 perawat, 3 tenaga lab medik, 2 bidan; Jawa Barat: 33 dokter, 4 dokter gigi, 27 perawat, 6 apoteker, 1 tenaga lab medik, 13 bidan Sumatra Utara: 26 dokter, 1 dokter gigi, 3 perawat, 9 bidan; Sulawesi Selatan: 18 dokter, 7 perawat, 4 bidan Banten : 12 dokter, 2 perawat, 4 bidan; Bali: 6 dokter, 1 perawat, 1 tenaga lab medik; DI Aceh: 6 dokter, 2 perawat, 1 tenaga lab medik, 1 bidan; Kalimantan Timur: 6 dokter dan 4 perawat; DI Jogjakarta: 6 dokter, 2 perawat, 3 bidan; Riau: 6 dokter, 2 perawat, 1 bidan; Kalimantan Selatan: 5 dokter, 1 dokter gigi, dan 6 perawat; Sulawesi Utara: 5 dokter, 1 perawat, 1 bidan; Sumatra Selatan: 4 dokter, 1 dokter gigi, 5 perawat; Kepulauan Riau: 3 dokter dan 2 perawat, Nusa Tenggara Barat: 2 dokter, 1 perawat, 1 tenaga lab medik, 1 bidan; Bengkulu: 2 dokter, 2 bidan; Sumatra Barat: 1 dokter, 1 dokter gigi, dan 2 perawat Kalimantan Tengah: 1 dokter, 2 perawat, 1 apoteker, 2 bidan; Lampung: 1 dokter dan 2 perawat Maluku Utara : 1 dokter dan 1 perawat Sulawesi Tenggara: 1 dokter, 2 dokter gigi, 1 perawat; Sulawesi Tengah: 1 dokter, 1 perawat; Papua Barat: 1 dokter Bangka Belitung: 1 dokter; Papua: 2 perawat, 1 bidan; Nusa Tenggara Timur: 1 perawat; Kalimantan Barat: 1 perawat, 1 apoteker, 1 tenaga lab medik; Jambi: 1 apoteker; DPLN (Daerah Penugasan Luar Negeri) Kuwait 2 perawat, 1 dokter masih dalam konfirmasi verifikasi. Tingginya kematian nakes ini merupakan salah satu dampak dari akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi belakangan ini. “Meski angka positif Covid-19 sudah lebih dari satu juta, namun Indonesia belum memasuki puncak pandemi,” kata Adib. Kembali ke pernyataan Presiden Jokowi di atas, jadi di mana letak terjadinya penurunan angka kematian nakes? Faktanya: vaksinasi dimulai Kamis, 14 Januari 2021. Jum’at (15/1/2021), dr. JF meninggal di Palembang. Minggu (14/2/ 2021) Erny Kusuma Sukma Dewi meninggal di Wlingi. Jum’at (19/2/2021), DR. Eha Soemantri SKM, MKes juga meninggal di Makassar. Senin, 22 Februari 2021, drg. Bernadi Into. Sp.Prost. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Tergerusnya Modal Sosial Kader HMI di Usia 74 Tahun.

by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Pada 5 Februari kemarin, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati Milad ke-74 tahun. Tentu saja di usia 74 tahun, bagi HMI bukan lagi yang muda. Namun HMI terus dan terus saja mengalami pergolakan politik yang melintasi zaman. Dinamika konflik yang terus berkepanjangan itu memporak-porandakan internal pengurus yang tak terkendali. Momentum proses pembelajaran soal mengkaji isu situasi nasional dan mancanegara dilewatkan begitu saja dalam bidang bidang. Kenyataan ini ditambah lagi dengan tergerusnya modal sosial antar sesama kader, yang bisa dipengaruhi kapanpun dan oleh siapapun. Situasi ini menjadi tantangan terberat untuk perjalanan HMI memasuki era for point zero (4.0) sekarang dan mendatang. Menariknya, tema yang diangkat saat milad ke 74 itu “mengokohkan kometmen kebangsaan dan keindonesiaan”. Beragam opini yang tampil membelah reaski kader ke dalam kubu pro dan kontra secara masif datang silih berganti. Bahkan tanpa berkesudahan. Kenyataan itu merupakan dampak dari konflik yang masuk ke dalam lingkup internal perkaderan. Secara historis, bisa kita lihat kembali bagaimana tujuan HMI hadir? Salah satunya tentang komitmen HMI untuk mengangkat derajat umat islam dan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Untuk itu, perlunya mengoptimalkan tujuan dan komitmen kehadiran HMI tersebut. Bukan sekedar hanya memelihara komitmen yang telah dibuat oleh pendiri HMI. Sekali lagi perlu mengoptimalkan. Bukan sekedar memelihara kometmen yang telah dibuat oleh pendiri HMI. Dalam kenyataan asasinya, bahwa HMI adalah organisasi yang memiliki peran aktif dalam denyut nadi dan gerak langkah pembangunan nasional. Sayangnya, belakangan ini HMI lebih banyak menyita waktu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan internal memata. Seperti layaknya organisasi yang saja baru lahir kemarin sore. Sebagai organisasi perkaderan yang memiliki tujuan perjuangan, kiprah HMI sementinya diutamakan untuk melihat tantangan persoalan pembangunan ke depan. Menjadi kewajiban gerak serta langkah kader-kader HMI dalam mengejawantahkan tujuan-tujuan HMI. Untuk itu, perlu diingat kembali tentang independensi HMI yang menurut pengamatan penulis ini mulai hilang di dalam jiwa kader HMI. Bahwa independensi HMI adalah salah satu moral kader HMI yang seharusnya tetap dijunjung tinggi. Independensi HMI menjadi sesuatu yang utuh. Sesuatu yang original, sehingga HMI memiliki posisi tawar untuk selalu berkontribusi dalam pembangunan nasional. HMI tidak dibawa dan diseret-seret ke dalam kepentingan politik pragmatisme. Itulah sejatinya jati diri HMI. Potret tergerusnya modal sosial itu cukup kompleks. Meramba seperti jamur yang tumbuh subur di musim hujan. Berdampak pada kekacauan sistem nilai dan kepercayaan dalam diri kader. Sistem nilai yang hanya bertumpu pada pragmatisme. Suka atau tidak suka, itulah yang terjadi saat ini. Padahal, bukan untuk kepentingan pragmatisme itu HMI lahir. HMI lahir untuk ke-Islaman dan ke-Idonesiaan. Jauh sebelumnya telah didesaign khusus oleh aktor-aktor intelektual HMI, dan itu diajarkan oleh para master HMI di ruang ruang basic training atau Latihan Kader (LK) Satu yang dibalut dengan lima kualitas insan cita HMI sebagai pintu masuk awal berHMI. Yaitu, kkualitas akademis, kualitas pencipta, kualitas pengabdi, kualitas bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur dan kualitas bernafaskan Islam”. Subhanallah, betapa sangat mulianya para pendiri dan senior HMI yang telah menyiapkan kader-kader HMI dengan “lima kualitas insan cita HMI” tersebut. Bagi para pendiri dan senior HMI yang telah mendahului kita menghadap robbina, semoga Allah Subhaanahu Wata’ala selalu merahamati para pendiri dan senior HMI dengan rahmat-Nya tidak terbatas itu di dalam kuburnya. Belum cukup hanya di LK satu saja, jenjang khusus perkaderan di HMI ini kalau diibaratkan semacam kuliah, banyak yang telah lulus S-3 . Tentu pemahaman yang utuh tentang bagaimana insan yang hanief ini memihak kepada yang benar secara independensi. Memihak yang benar itu memihak kepada perintah Al-qur’an dan hadist, yang dimana Al-qur’an menyampaikan kepada sesuatu yang haq. Keberanan berdasarkan Al-qur’an dan Hadits itulah yang perlu diperjuangkan, dalam konteks dinamika HMI tentang Ummat dan bangsa. Namun sayang seribu kali sayang. Lembaran desaign yang baik dan mulia itu tinggal bungkusnya saja. Isinya telah lenyap dimakan rayap. dan entah kemana jejaknnya. Celakanya lalgi, modal sosial yang tergerus tersebut, juga mengacaukan komitmen sosial. Sebaliknya, berpacu memproduksi dan melahirkan komitmen material.Bahkan terlihat menjadi semakin terdepan dalam menghancurkan kekuatan silaturahmi yang awalnya mampu menghangatkan hubungan sosial antar kader HMI dan lainnya. Hubungan antar pribadi sesama kader HMI, sesama kelompok berubah menjadi hubungan yang hanya berbasis yang di ukur secara finansial semata. Itulah konsekuensi nyata dari berlangsungnya perkaderan hari ini. Tentu ukuran-ukuran material menjadi patokan untuk menilai. Kesuksesan dan kegagalanpun diukur berdasarkan isi kantong setiap kader yang berkontestasi, mulai pada level bawah hingga Pusat. Sepatutnya, setiap kader HMI mampu menempatkan dirinya secara proporsional, sehingga harmonisasi hidup sosial antar kader berlangsung dalam suasana sama-sama menghormati dan menghargai. Modal sosial menjadi sesuatu nilai yang sangat berharga jika setiap pribadi mampu memberi, mampu peduli dan mampu saling memaafkan bila ada perbedaan. Peringatan yang disampaikan Rasullaah Sallaahu Alaihi Wasallam, “aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”. Demikian Hadist ini sangat erat kaitannya dengan independensi HMI yang semestinya disimpan dalam jiwa setiap kader. mampu untuk dimplementasikan dalam kehidupan sosial, sehingga senantiasa mendapatkan ridha dari Allah Subhaanhu Wata’ala. Menjelang kongres yang akan berlangsung, beberapa pekan ke depan. Mari sama-sama kita menata rumah hijau ini dengan niat yang tulus. Niat yang tanpa adanya hujatan serta adu-domba yang berlebihan dinatara sesama kita. Menata kembali konsistensi independensi yang adaptif sesuai dengan visi HMI. Mari menata konsistensi independensi adaptif yang sesuai dengan tuntutan zaman yang serba digital ini, serta excellen untuk kemajuan rumah kita bersama. Seperti yang pernah ditawarkan oleh pendiri HMI Almarhum Lafran Pane sebagai kemerdekaan hati. Semoga Allah Subhaanahu Wata’ala mengampuni segala kasalahannya, dan kemuliaannya mendirikan HMI menjadi pintu yang terbuka lebar untuk menggapai syurganya Allah. Penulis adalah Bakal Calon Kandidat Ketua Umum PB HMI.

Dana Covid Pemerintah Mulai Sesak Nafas?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020, yang namanya sangat panjang, dan susah dihafal itu sudah memberi keleluasaan penggunaan dana Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) untuk penanganan pandemi Covid 19. Saking leluasanya, maka Pasal 27 memberikan an membebaskan para pembuat kebijakan keuangan yang terkait Covid-19 dari tuntutan hukum. Dampak positifnya adalah kebijakan keuangan yang terkait penanggulangan pandemi menjadi prioritas. Sedangkan negatifnya bisa terjadi pemborosan, kebocoran, dan pengelolaan yang tidak becus. Anggaran sangat mudah untuk dibesar-besarkan dari yang sebenarnya. Mark up anggaran bisa terjadi dengan sangat gampang, seperti yang terjadi pada Bantuan Sosial (Bansos) yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan anak Pak Lurah. Indonesia menurut Laporan Bank Dunia termasuk 10 negara berpendapatan kecil menengah, dengan jumlah hutang Luar Negeri (LN) yang besar. Sampai akhir Desember 2020, besaran hutang kita telah mencapai Rp. 6.074 triliun. Sementara total hutang baru Pemerintah tahun ini akan mencapai Rp. 1.439 triliun, akibat pandemi Covid 19. Pemerintah sendiri mulai berjanji dan teriak untuk waspada. Hutang yang tidak terkelola dengan baik akan menjadi back fire. Tragisnya lagu, hutang dikorupsi oleh orang-orang yang berlindung di sekeliling istana. Padahal pandemi Covid-19 yang menjadi alasan keleluasaan penggunaan dan peningkatan hutang kini sudah terasa menjadi back fire. Alokasi dana penanganan Covid 19, juga mulai tersendat. Jumlah pasien Covid yang semakin terus meningkat, dan mencapai angka di atas satu juta orang, dengan tingkat keterisian Rumah Sakit akumulatif 70%, telah melampaui angka batas aman yang ditetapkan oleh WHO, yaitu maksimal 60%. Menurut Asosiasi Rumah Sakit (ARSSI) pemerintah mulai tidak mampu membayar klaim biaya pasien yang ditaksir sebesar Rp. 1 triliun lebih. Ketidakmampuan pemerintah untuk membayar Rumah Sakit untuk tiga bulan Oktober, November, dan Desember 2020 cukup menggelisahkan banyak Rumah Sakit. Karena hal ini tentu mempengaruhi cash flow Rumah Sakit tersebut. Jumlah tersebut, belum termasuk Januari dan Februari 2021 nanti. Angla Rp. 1 triliun klaim tersebut tentu bertambah dengan tagihan bulan sebelumnya akibat adanya dispute. Sebagaimana dahulu BPJS yang juga bermasalah dalam pencairan pembayaran kepada Rumah Sakit, kini klaim pembayaran penanganan pasien Covid-19 pun mulai bermasalah. Dana Covid-19 di pemerintah mulai sesak nafas. Pemerintah harus membayar tanggungan triliunan rupiah untuk sebuah Rumah Sakit. Sementara dana pemerintah mulai megap-megap. Sebagai contoh, Rumah Sakit yang hanya mernyediakan 30 bed (tempat tidur) untuk pasien Covid-19, pemerintah telah menunggak untuk tiga bulan sebesar Rp. 10 miliar. Dapat dibayangkan untuk Rumah Sakit yang menyediakan bed jauh daripada itu. Tentu saja tunggakan pemerintah kepada Rumah Sakit jauh lebih besar lagi dari yang hanya 30 bed. Jika janji untuk waspada tak terealisasi, dan pemerintah abai terhadap penyelesaian tunggakan kepada Rumah Sakit, maka bukan saja berpengaruhi terhadap pelayanan pasien Covid 19. Tetapi juga akan dapat mengganggu keadaan Rumah Sakit itu sendiri. Bukan hal yang mustahil beberapa Rumah Sakit swasta dapat ambruk akibat Covid-19 ini. Pemerintah harus serius memperhatikan keadaan ini. Semoga saja dalam kaitan penanganan pandemi Covid 19, pemerintah tidak sedang berada di ruang ICU dan isolasi. Sehingga butuh ventilator untuk menstabilkan pernafasannya. Nafas yang semakin sesak dan tersendat. Wajar saja, kalau pemerintah berharap bisa mendapatkan dana wakaf dari Umat Islam. Namun sayangnya, Umat Islam keburu sudah tidak percaya dengan pemerintah. Sikap Umat Islam yang tidak mau percaya, karena pemerintah selalu berubah-ubah. Pagi bisa menjadi tempe, dan sore berubah menjadi dele. Ditambah dengan sikap Islamphobia. Untuk itu, kiranya penting bagi pemerintah untuk untuk meningkatkan keberhasilan penanganan pandemi Covid 19, khususnya berkaitan dengan pendanaan, antara lain : Pertama, meningkatkan alokasi anggaran. Rencana anggaran sektor kesehatan yang akan dialokasikan ternyata masih terkecil, yaitu hanya Rp. 104,7 triliun, dibandingkan untuk sektor perlindungan sosial Rp. 150,96 triliun, pariwisata, ICT, ketahanan pangan Rp. 141,36 triliun, dan korporasi & Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) sebesar Rp. 156,66 triliun. Kedua, audit ketat anggaran untuk penggulangan Covid-19. Jangan sampai dana untuk menggulangi Covid-19 menjadi obyek perlombaan korupsi. Kasus korupsi dana bansos menjadi bukti tentang rawannya dana-dana atas nama kondisi darurat, sangatlah untuk disalahgunakan. Pandemi Covid-19 telah ikut membahagiakan dan memakmurkan para perampok. Ketiga, memprioritaskan pengamanan pembayaran untuk sarana kesehatan, termasuk tunggakan kepada Rumah Sakit Swasta. Tidak boleh ada tunggakan klaim pembayaran kepada Rumah Sakit, baik Swasta maupun pemerintah. Sebab hal ini berbahaya bagi layanan pasien Covid-19, termasuk untuk keberlangsungan hidup Rumah Sakit. Covid-19 tak boleh membunuh semua. Hutang yang bengkak dan kebocoran yang mengejutkan adalah sinyal lampu kuning menuju merah. Bahwa keuangan keuangan pemerintah dalam bahaya. Gambaran kemampuan pemerintah mengelola potensi dan keuangan negara, berada pada titik yang sangat rendah. Semoga Pemerintah bukan pasien yang harus segera masuk ruang IGD, dan memerlukan alat bantu pernafasan. Pemerintah jangan seperti dana Covid-19 yang mengalami sesak nafas berat. Janji Pemerintah untuk waspada jangan sampai menjadi tagihan baru rakyat yang mulai tak percaya dan bosan dengan prilaku pemerintah yang banyak janji. Namun banyak juga inkar janji, terutama janji kampanye. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

GAR-Alumni ITB dalam Politik Hegemoni

by Radhar Tribaskoro Jakarta, FNN - Gerakan Anti-Radikalisme Alumni ITB (GAR) tidak memusuhi Din Syamsudin saja. Selain Din, GAR juga menyerang Yayasan Pembina Masjid Salman (YPM Salman), Ibu Nurhayati Subakat, dan Prof. Dr. Brian Yuliarto. Objek serangan GAR itu menjelaskan apa motif dan tujuan tersembunyi aksi-aksi GAR. Siapa Objek Serangan GAR? Sebuah perkenalan singkat barangkali perlu untuk mengetahui lebih jauh figur-figur yang diserang oleh GAR ITB. Banyak orang mungkin tidak asing kepada Prof.Dr. DIn Syamsudin. Din, begitu biasanya ia dipanggil teman-temannya, sepertinya dilahirkan sebagai pemimpin. Umur 12 tahun ia telah menjadi Ketua Ikatan Pelajar NU di Sumbawa. Sepuluh tahun kemudian Din menjadi Ketua Senat Mahasiswa di IAIN Jakarta. Din menyelesaikan studi S2 dan S3nya di Amerika Serikat sembari menjabat Ketua PP Pemuda Muhammadiyah. Pengalaman dan kepemimpinannya yang sangat mumpuni di organisasi sosial keagamaan menyebabkan ia direkrut menjadi Ketua Departemen Litbang Golkar, ketika usianya baru 35 tahun. Lima tahun kemudian ia diangkat menjadi Dirjen Penempatan Tenaga Kerja di Depnaker RI. Karir Din semakin menanjak di tingkat nasional dan internasional. Ia adalah presiden Asian Committe on Religion for Peace (ACRP), World Conference for Religion for Peace (WCRP), World Peace Forum (WPF) dan Center for Dialogue and Cooperation Among Civilizations (CDCC). Semua di atas belum menyebut apa yang telah orang ketahui tentang Din: ia adalah Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, organisasi Islam paling terkemuka di Indonesia, untuk dua periode. Ia juga pernah menjadi Ketua Umum MUI sebelum digantikan oleh Ma’ruf Amin. Dalam hemat saya tidak ada orang lain secemerlang Din yang berkarir di hampir semua ranah: organisasi sosial keagamaan, organisasi politik maupun pemerintahan, di tingkat nasional maupun internasional. Ia adalah salah satu puncak prestasi Indonesia muslim yang saleh. Sementara itu Yayasan Pembina Masjid Salman ITB (YPM Salman) adalah pengelola Masjid Salman yang legendaris. Orang Bandung sangat mengenal Masjid Salman, sebuah mesjid di hadapan kampus ITB di jalan Ganesha. Masjid Salman terkenal karena arsitekturnya yang unik (tidak ada sokoguru tengah) dan pendidikan kadernya yang hebat. Masjid itu berdiri atas partisipasi seluruh civitas academica ITB. Pada tahun 1964 Bung Karno merestui pendiriannya, sekaligus memberinya nama Salman. Bunga Karno pula yang menghibahkan tanahnya dan menyetujui desain arsitekturnya. Masjid Salman masih harus menunggu 8 tahun untuk diresmikan. Masjid Salaman adalah masjid kampus pertama yang didirikan di Indonesia. Sejak 1972 reputasi Masjid Salman terus berkembang. Masjid Salman tidak dikenal sebagai tempat sholat yang teduh, tenang dan nyaman saja, Masjid Salman adalah pusat pergerakan pikiran maupun amal ibadah. Hal itu dilatarbelakangi oleh peran Masjid Salman dalam menciptakan kader yang hebat. Pelopornya adalah Imaduddin Abdurrahman. Bang Imad, biasa beliau dipanggil, sangat dikenal karena merintis Latihan Mujahid Dakwah (LMD) dan kuliah tauhidnya. LMD Salman telah mencetak ribuan da'í dan pemimpin selain menjadi model pelatihan bagi seluruh aktivis masjid di kampus maupun luar kampus. Dosen lulusan Amerika ini juga membuka mata mahasiswa ITB akan arti penting sains dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Ia mengajak mahasiswa-mahasiswa binaannya untuk mewujudkan Islam secara nyata dalam kehidupan, melalui pengembangan sains dan ilmu pengetahuan. Pemikiran Bang Imad itu tentu saja beresonansi kuat di kampus sains dan teknologi ITB. Katanya, sains bukan saja mendorong orang mengenali hukum alam, terlebih dari itu sains mendidik orang untuk jujur dan berani. Bang Imad terkenal atas ucapannya bahwa "Amerika lebih islami daripada Indonesia." Dari kelas-kelas tauhidnya lahir banyak tokoh bangsa, diantaranya Hatta Rajasa dan Alhilal Hamdi. Di luar mereka ribuan kader Salman telah berkontribusi di lapangan yang sangat luas, mulai dari penelitian sains nuklir, politik sampai penggerak UKM di akar rumput. Alhasil Masjid Salman adalah masjid model gerakan dakwah kampus di Indonesia. Nurhayati Subakat dalam pada itu adalah pemilik brand Wardah, produk komestik nasional terbesar saat ini. Seperti halnya Din Syamsudin, ibu Nur merangkaki karirnya dari bawah. Ia lulusan Departemen Farmasi ITB, dan atas prestasinya pada tahun 2019 lalu ITB menganugerahkan beliau gelar Doktor Kehormatan. Ibu Nur memulai bisnis kosmetik halalnya ketika usia 35 tahun dengan memproduksi shampoo. Ia ketika itu hanya ditemani seorang pembantu rumah tangga. Bisnisnya sekarang telah jauh berkembang. Selain Wardah, perusahaan yang ia dirikan, PT. Paragon Technology and Innovation, juga mengembangkan merk Putri, Make-Over, Emina dan IX. Dengan Paragon, Ibu Nur sekarang telah menghidupi lebih dari 12.000 pegawai, menguasai 30% pangsa pasar kosmetik dalam negeri dengan 95 juta unit dari 1000an item produk per tahun. Seorang muslimah yang taat, Ibu Nurhayati mengatakan bahwa motivasinya membangun bisinisnya adalah untuk "menolong orang". Ia membesarkan perusahaan agar bisa mempekerjakan orang lebih banyak. Ibu Nur menunjukkan kesalehannya dengan selalu ingat Tuhan. Ketika membangun strategi perusahaannya ia menambahkan P kelima, Pertolongan Tuhan, ke dalam formula marketing mix 4P yang terkenal itu. Keyakinan kepada agama menjadikan Ibu Nur seorang dermawan, ia menyumbang Rp.40 milyar untuk Covid-19 dan RP. 52 milyar untuk Dana Abadi ITB. "Hidup adalah untuk menyebarkan kebaikan," katanya. Adapun Prof. Dr. Brian Yuliarto adalah dosen muda ITB yang sangat berprestasi. Meraih gelar profesor pada usia 43 tahun, Brian termasuk guru besar termuda di ITB. Brian hanya perlu waktu 6 tahun untuk menamatkan pendidikan S2 dan S3nya di Universitas Tokyo, perguruan tinggi paling terkemuka di Jepang. Ia telah melakukan puluhan penelitian dan menghasilkan puluhan artikel ilmiah yang mengukuhkan dirinya sebagai ilmuwan teknologi nano paling terkemuka di Indonesia. ITB berulangkali menahbiskan dirinya sebagai Dosen Berprestasi. Prof. Brian juga seorang muslim yang saleh. Dari gambaran di atas kita bisa menyimpulkan bahwa keempat pihak yang menjadi target GAR ITB memiliki ciri yang sama. Pertama, mereka adalah tokoh muslim dan lembaga Islam terkemuka. Kedua, mereka adalah puncak-puncak prestasi muslim dan muslimah di dunia politik, pendidikan, amal, akademik, dan bisnis. Prestasi mereka telah menginspirasi jutaan orang. Ketiga, mereka adalah representasi dari kebangkitan Islam yang menampilkan muslim dan muslimah dengan citra rasional, moderen namun penuh belas-kasih dan independen. Namun lebih dari semuanya, mereka adalah muslim dan muslimah yang saleh, dalam arti selalu mendasarkan pikiran dan tindakannya kepada ajaran Islam. Siapa GAR? Saya memiliki banyak teman di GAR ITB, baik yang tergabung dalam grup whatsapp GAR atau yang menjadi penandatangan dukungan pada surat-surat mereka. Tetapi GAR tentu saja lebih dari sekadar penjumlahan sifat dan watak orang-orang yang saya kenal pribadi. Dalam hemat saya GAR adalah produk dari apa yang disebut Gramsci sebagai Perang Posisi yaitu perjuangan politik dan ideologi untuk memperebutkan kedudukan hegemoni di Indonesia. Perang posisi itu berada di bawah permukaan dan merepresentasikan konflik eternal kaum sekuler vs kaum agama di Indonesia. Perang tersebut sengit, penuh trik, tipudaya, framing dan banyak menggunakan proxy. Tetapi saya tidak akan membahas lebih jauh tentang hal ini. Saya menunda pembahasannya supaya kita tidak kehilangan fokus terhadap isu GAR ini. GAR ITB memperkenalkan dirinya sebagai Gerakan Anti-Radikalisme, yaitu organisasi dari sejumlah alumni ITB yang ingin membersihkan ITB dari radikalisme. Dari nama dan misinya kita bisa menyimpulkan bahwa semua tindakan dan kebijakan GAR mestilah berkaitan dengan upaya deradikalisasi. Kita melihat bahwa dalam semua kegiatan GAR mulai dari menentukan target, menganalisa dan mencari pembenaran atas tuduhannya, mencari dukungan tandatangan, membuat surat resmi, beraudiensi dengan para pejabat untuk memperoleh dukungan dan sebagainya hanya terkait kepada 4 nama: YPM Salman, Din Syamsudin, Nurhayati Subakat dan Brian Yuliarto. Mudah bagi kita kemudian menduga bahwa keempat nama yang diserang oleh GAR itu mestilah pihak yang mereka indikasikan radikal, atau setidaknya membantu menyebarkan radikalisme di ITB. Kalau bukan begitu nama dan misi mereka menjadi hal yang sia-sia belaka. Alasan yang dikemukakan GAR tidak penting kita bahas karena pertama, semua alasan yang mereka kemukakan adalah alasan trivial (sepele, tidak substantif, remeh). Alasan semacam itu hanya dihargai oleh pemerintah absolutis dimana "Anda dihukum bukan karena tidak menggunakan seragam merah, tetapi karena ada noda hitam di kerahnya". Alasan terkait pemakzulan Din Syamsudin khususnya membuat saya sangat malu. Sebab sebagai mantan aktivis ITB saya tahu bahwa semua aktivis yang melawan Orde Baru saat itu berkomitmen memperjuangkan demokrasi. Dan sekarang, setelah reformasi, GAR menggunakan bahasa Bakorstanas untuk memakzulkan Din. Apakah di ITB reformasi sudah tidak berarti? Apakah kebebasan berbicara di ITB sudah mati? Sikap GAR itu bahkan jauh lebih buruk daripada Bakorstanas, mereka lebih mirip remaja mentah Pengawal Merah di era Revolusi Kebudayaan Cina Mao yang menghantamkan palunya ke kepala ayah mereka sendiri. Kedua, keinginan GAR bukan mengoreksi keadaan yang dianggapnya salah tetapi untuk menjatuhkan orang/lembaga yang menjadi target mereka. Dalam kasus YPM Salman dan Nurhayati, keduanya sebetulnya sudah akomodatif. Pihak Paragon (Nurhayati) telah menyingkirkan logo perusahaan dan pihak YPM Salman telah menghapus syarat khusus mahasiswa muslim. Toh surat protes tetap dikirimkan. GAR berkukuh karena surat mereka memang tidak bertujuan mengoreksi keadaan sebagaimana mereka sampaikan secara terbuka. Surat tersebut bertujuan menjatuhkan YPM Salman dan ibu Nurhayati dan menyematkan label "partisan dan agen radikalisme" di dada keduanya. Label itu tidak berguna bagi orang yang berpikiran waras. *Namun label itu sangat berguna untuk peluru buli-bulian para buzzer di media sosial.* Penutup GAR menurut saya adalah orang-orang tua yang tertipu. Mereka korban dari operasi intelejen yang sedang membangun necessary conditions bagi dominasi kekuatan sekuler atas kekuatan Islam saleh yang rasional, moderen, canggih, penuh belas-kasih dan independen. Kekuatan Islam yang coba dijatuhkan ini adalah generasi baru Islam yang tidak terlibat dalam dilema negara Islam vs negara Pancasila. Mereka justru adalah tokoh-tokoh yang bergulat secara kreatif dalam polemik tersebut namun berhasil menemukan solusi-solusi original. Generasi baru ini mencerminkan kebangkitan Islam yang diimpikan begitu lama, saat ini menjadi sasaran untuk dijatuhkan dan dipermalukan. Kalau hal itu berhasil maka terbentuklah kondisi dimana Islam tetap dianggap agama inferior, dan umat Islam dianggap tidak mampu menyajikan dan memimpin jalan kemajuan. Harapan saya GAR bisa mengkoreksi diri. Semasa mahasiswa dulu saya diajarkan negasi, yaitu semangat untuk mempertanyakan apapun yang orang katakan kepada saya. Semangat itu hendaknya dihidupkan kembali: untuk apa, untuk siapa, mengapa saya harus melakukan hal ini? Narasi radikalisme yang dipompakan oleh BNPT itu sebetulnya dangkal. Survei-survei yang mengatakan radikalisme berjangkit di kampus-kampus itu jauh dari standar akademis. Begitu banyak celah untuk mempertanyakan kebenaran narasi radikalisme dan deradikalisasi. Akhirnya, saya ingin menggarisbawahi pentingnya terus dihidupkan kerinduan kepada kebangkitan Islam. Dimana-mana kita melihat pentingnya kesalehan pemimpin, dan di sana agama memiliki peranan yang besar sekali. Namun kita pun tahu kesalehan tidak bisa berdiri sendiri. Di dalam lingkungan yang dipenuhi ketidak-adilan, kesalehan bisa memudar. Oleh karena itu, pemimpin baru Islam mesti bisa menjawab tantangan menciptakan sistem baru yang lebih berkeadilan. Last but not least, diskusi ini memunculkan dua pesan untuk generasi baru Islam. Pertama, bentuklah diri kalian dengan kesalehan. Dan kedua, ukir jalan perjuangan kalian untuk menciptakan masyarakat adil. Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Politik.

Jokowi Lempar Handuk dalam Urusan Lapangan Kerja

"KUNCI lapangan kerja bukan dari pemerintah." Demikian judul berita yang dapat dibaca di berbagai media daring atau online. Kalimat itu bersumber dari ucapan Presiden Joko Widodo, di Istana Bogor, Sabtu, 20 Februari 2021. Perluasan lapangan kerja secara berkelanjutan, katanya, hanya bisa dilakukan oleh pelaku usaha, bukan pemerintah. Itu berarti, kunci dari penyediaan lapangan kerja ada di pengusaha. Perluasan lapangan kerja berkelanjutan adalah dari pelaku usaha, dari dunia usaha, kuncinya di situ bukan dari pemerintah. Sedangkan pemerintah hanya bisa menyediakan lapangan usaha sesekali waktu atau tidak berkelanjutan. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan ucapan Jokowi itu, jika disampaikan dalam situasi normal. Akan tetapi, ucapannya itu menjadi pertanyaan bagi rakyat. Jika kunci lapangan kerja tidak di pemerintah alias diserahkan kepada pelaku usaha, lalu fungsi pemerintahan itu ke mana? Apakah ucapan itu dapat diartikan bahwa Jokowi ingin meliberalisasi perekonomian secara total? Apakah ucapan Jokowi itu menunjukkan, pemerintah cuci tangan alias lempar handuk atas ketidakmampuan atau tidak becusan mengurus negara, terurama di bidang ekonomi? Sehingga, jika terjadi kegagalan dalam penyerapan tenaga kerja, yang disalahkan adalah dunia usaha atau pelaku usaha. Kira-kira kalimatnya melempar handuknya begini. Misalnya, tahun 2021 ini, pemerintah akan menciptakan lapangan kerja antara 2,8 sampai 3 juta dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Mudahan-mudahan tercapai, sehingga jumlah pengangguran tidak bertambah. Nah, jika tidak tercapai, pemerintah sudah memiliki beberapa jawaban. Pertama, kunci lapangan kerja bukan di tangan pemerintah, tetapi sudah diserahkan kepada pengusaha, terutama dunia usaha swasta. Anda tahu sendiri kan, jika kunci mobil atau kunci rumah sudah berpindah tangan, ya suka-suka pemegang kunci baru. Mau mobilnya diganti warna dan tambah variasi, ya urusan pemegang kunci baru itu. Mau rumah direnovasi sedikit atau total, itu urusan pemilik rumah yang sudah menerima kunci itu. Jika kita sandingkan dengan kunci lapangan kerja bukan di pemerintah, artinya diserahkan semua urusan penerimaan kerja dan cara mempekerjakannya diserahkan kepada pelaku usaha swasta. Makanya, pengusaha swasta semakin banyak yang sewenang-wenang terhadap pekerjanya. Kesewenang-wenangan ini diperkirakan terus meningkat dengan berlakunya UU Cipta Kerja, apalagi dengan ucapan presiden yang menyerahkan kunci lapangan kerja ke sektor swasta. Kedua, jika lapangan kerja 2,8 sampai 3 juta tahun ini tidak tercapai, Jokowi dan para menterinya diperkirakan akan kompak mengeluarkan kalimat ngeles. Bisa alasannya karena perekonomian belum pulih. Kalau alasan ini yang keluar, mungkin semua rakyat maklum. Akan tetapi, kalimat yang muncul bukan karena ekonomi belum pulih. Melainkan kalimat menggelikan atau bahkan menyakitkan. "UU Cipta Kerja didemo terus oleh buruh/pekerja. Yang mengganggu ya pekerja juga. Jadi mereka menghalangi calon pekerja." Demikian kira-kira bunyi ucapan kalimatnya. Sebuah kalimat yang tidak diharapkan, karena sangat provokatif dan mengadu-domba pekerja dengan pengusaha. Jadi, Jokowi jangan menyerahkan kunci lapangan kerja itu ke pengusaha. Pemerintah harus pro-aktif dalam membuka lapangan kerja bagi rakyatnya. Pemerintah tidak bisa berdiam diri manakala pengangguran semakin banyak. Ketika anak-anak SMA/SMK dan perguruan tinggi yang baru lulus menganggur, dikhawatirkan sangat berdampak buruk pada kehidupan sosial dan hukum. Kejahatan intelektual bisa meningkat, karena yang menganggur orang-orang terdidik. Jadi, sekali lagi jangan serahkan kunci itu kepada pengusaha. Apalagi mengingat janji manis kampanye Jokowi pada 14 Februari 2019. Saat itu ia berjanji akan memberikan tiga kartu jika terpilih menjadi presiden pada periode 2020-2024. Tiga kartu yang dijanjikan itu adalah kartu pintar, kartu sembako murah dan kartu pekerja. Kartu pekerja akan diberikan agar pelayanan kepada pekerja lebih maksimal. Kartu tersebut juga diperuntukkan bagi calon pekerja dan bekas pekerja. Semua menunggu realisasi janji manis dari Jokowi. Rakyat, khususnya pekerja dan lebih khusus lagi calon pekerja dan bekas pekerja yang di PHK, menunggu bukti, bukan sekedar janji. Rakyat jangan disodorkan dengan "sinetron" yang tidak berarti dan bernilai. **