ALL CATEGORY
Begitu Banyak Masalah, Kok Jilbab Yang Dikejar-kejar?
by Asyari Usman Medan, FNN - Cepat, sigap, tegas, solid. Begitulah reaksi pemerintah ketika ada sekolah di Sumatera Barat yang keras soal anjuran pemakaiab jilbab. Jilbab dianggap berbahaya oleh pemerintah. Padahal, UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan anak didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Gara-gara SMKN 2 Padang yang ingin ikut menciptakan manusia-manusia baik, tiga menteri bersatu melarang pemerintah daerah mengarahkan anak-didik ke arah yang baik. Sebentar saja lahir SKB Tiga Menteri. Viral dan menakutkan. SKB ini tidak membolehkn pemerintah daerah mewajibkan atau melarang siswa memakai jilbab. SKB ini keluar seola-olah Indonesia telah berada di ambang kehancuran gar-gara jilbab dan busana muslim. Seakan negara ini akan dipenuhi teroris di mana-mana. Padahal, problem yang jelas-jelas menyusahkan dan merusak rakyat ini adalah korupsi, tumpukan utang, kekuasaan olirarkhi, peredaran Narkoba, pergaulan bebas, pornografi, dan sekarang ini pandemi Covid. Kok aturan jilbab di Sumatera Barat yang dikeroyok oleh tiga menteri? Tendensius sekali. Luar biasa zalim. Kalian biarkan Narkoba beredar semakin banyak. Kalian sibuk dengan julbab umat Islam. Kalauan slow-slow saja dengan para bandar Narkoba yang telah merusak lebih dari 4 juta manusia Indonesia. Kalian kejar-kejar jilbab anak sekolah, tapi kalian biarkan bumi Indonesia ini diacak-acak oleh para bangsat penggarong rakus. Kalian biarkan korupsi merajalela. Kalian mandulkan KPK. Kalian biarkan orang-orang yang menggemukkan rekening bank mereka. Kalian diamkan kasus Buku Merah di KPK yang sangat kuat mengindikasikan korupsi seorang mantan jenderal polisi. Negara ini hancur-lebur bukan karena umat Islam yang berjilbab. Tapi karena inkompetensi, korupsi, dan kekuasaan oligarkhi. Hari-hari kalian habiskan waktu, pikiran dan dana untuk memojokkan dan mengerdilkan umat Islam. Kalian sangka ini solusi untuk persoalan yang begitu banyak dan fundamental. Padahal, cara kalian ini hanya akan memunculkan masalah baru. Sungguh aneh. Begitu banyak masalah, kok jilbab yang kalian kejar-kejar?[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Hancur-Hancuran Jejak Pembunuhan di KM 50
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah pengosongan dari para pedagang di rest area kilometer (KM) 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)berlanjut ke perusakkan bangunan agar tak bisa digunakan. Lalu penutupan lagi untuk jalur persinggahan. Akhirnya bangunan itu kini seluruhnya telah diratakan dengan tanah. Habislah saksi-saki bisu pembunuhan dan pembantaian terhadap enam anggota enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat Kepolisian. Meskipun demikian sejarah akan tetap bisa lantang bercerita tentang kejahatan dan kebenaran. Secara fisik bangunan yang menjadi saksi mungkin hilang tetapi jejak tidak bisa. Terlalu terang peristiwanya. Terlalu banyak saksinya, dan terlalu kentara rekayasanya. Biarlah semakin keras upaya-upaya untuk menghapus, semakin sakit para pelaku dan pengatur kejahatan itu. Menghapus jejak di Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah wujud dari kegelisahan perencana dan pelaku pembunuhan yang sangat luar biasa. Secara hukum merusak dan menghilangkan barang bukti tentu berisiko. Seluruh dinding bangunan rest area kilometer 50 adalah bukti. Penyidikan belum dilakukan, merusak dan menghilangkan barang bukti sama dengan menghalangi penyidikan. Penghilangan TKP ini akan menjadi kasus tersendiri. Pasal 216 KUHP menghadang di depan. Begitu juga dengan delik perusakannya yang terancam dengan Pasal 233 KUHP. Lumayan juga ancaman jukuman. Bisa 4 tahun penjara. Ada dua mesium yang kelak bisa dibangun di area KM 50 setelah terkuak perbuatan pelanggaran HAM beratnya. Pertama adalah "Monumen Enam Syuhada" sebagai peringatan atas kebengisan aparat kepolisian melawan ketidakberdayaan rakyat. Kedua, "Museum Hak Asasi Manusia " ini lebih luas. Bukan hanya peristiwa pelanggaran HAM atas enam laskar FPI saja, tetapi banyak pelanggaran HAM lainnya. Ini kalau kekuasaan ini suah berganti tahun 2024 nanti Kilometer 50 dan areal sekitar Karawang adalah tempat strategis yang menjadi saksi sejarah perjuangan demokrasi, hak asasi manusia, dan anti penjajahan politik negara kepada warga negara. Temuan yang diduga proyektil di depan Masjid Al Ghammar Muhammadiyah Karawang Barat menandai awal drama kekerasan yang berujung pada syahid. Penghancuran sarana fisik di rest area KM 50 menyedihkan dan memilukan. Bagian dari upaya untuk menghilangkan jejak, ingatan, dan pembuktian. Penghancuran ini menjadi bukti terbaru dari kejahatan yang terjadi. Perlu pengusutan siapa yang mengatur penghancuran rest area KM 50? Apa motif politik? Apa keterkaitan dengan laporan Komnas HAM dan instruksi Kapolri baru tentang penyelesaian kasus? Kapolda Metro Jaya kini hilang bagai tertiup angin. Tak pernah muncul lagi dalam berita yang terkait kilometer 50. Dimanakah posisi petinggi Polri yang satu ini? Padahal awalnya diwacanakan akan mengisi jabatan strategis di Mabes Polri. Tetapi ternyata tidak. Ya namanya juga wacana. Bisa iya, namun bisa juga tidak. Tergantung user yang mau menggunakan. Memang Kapolda Metro jaya mestinya diberhentikan dulu, atau sekurangnya dinon-aktifkan, agar penyelidikan dan penyidikan atas pelanggaran HAM enam anggota laskar FPI dapat berjalan obyektif, transparan, dan bebas hambatan. Jangan sampai posisi Fadil Imran sebagai Kapolda Metro Jaya sekarang bisa menjadi hambatan penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Pengusutan harus cepat dimulai. Bukankah rest area sudah diratakan tanah. Terlalu lama para pelaku pembunuhan dibiarkan untuk menghirup udara bebas. Sementara aktor intelektual dan perencana juga telah cukup waktu untuk berfikir keras agar dapat lolos dari jeratan hukum. Mereka mungkin saja bisa lolos di pengadilan dunia, namun tidak untuk pengadilan akhirat. Saatnya membuktikan kejujuran itu mampu mengalahkan kebohongan. Keadilan dapat menggusur kezaliman. Kekuasaan yang zalim bertekuk lutut di bawah tajamnya pedang aturan hukum. Atau sebaliknya, sesungguhnya kita ini masih berada di alam mimpi tentang kisah-kisah yang baik-baik itu. Moga saja tidak terwujud. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Terbukti, Faktanya Vaksin Sinovac “Tidak Aman”
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - VaksinVirus Corona COVID-19 kembali “makan korban”. Kali ini yang menjadi korban: DR. Eha Soemantri SKM, MKes, Bendahara Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat (Persakmi) Sulawesi Selatan. Eha meninggal di ICU RS Wahidin Sudiro Husodo, Makassar. Setelah shalat subuh. Kabar beredar, sebelumnya Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Eha sendiri sebelumnya sudah divaksin. Namanya masuk dalam penerima vaksin pertama di Sulsel. Bersama beberapa pejabat Pemprov Sulsel dan Forkopimda di Sulsel. Pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoni terkait vaksinasi, setelah divaksin beberapa waktu lalu. Eha mengimbau masyarakat untuk tidak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntik vaksin pada tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut. “Alhamdulillah, setelah divaksin saya tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, mari kita mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus covid-19,” ujarnya. “Tentunya dengan tetap mematuhi 3M. Memakai masker, menjaga jarak, dan mematuhi protokol kesehatan,” lanjutnya. Eha Soemantri adalah pengurus Persakmi Sulsel. Ibu tiga anak itu meraih gelar Doktor di Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS pada 2016. Ia dinyatakan lulus setelah mempertahankan disertasi yang berjudul Determinan Kejadian Stunting pada Anak Usia di Bawah Lima Tahun di Sulsel. Ia meneliti manusia “kate” atau manusia pendek. Mereka yang kehilangan daya tumbuh karena beberapa faktor. Termasuk kekurangan gizi. Sebelum meninggal, Eha memilih mengabdikan dirinya menjadi tenaga pengajar sekaligus menjabat sebagai Direktur Pascasarjana STIK Tamalatea Makassar. Melansir Porostimur.com, Eha menjadikan pendidikan sebagai wadah untuk memperbaiki mutu kehidupan umat manusia. Jumat (19/2/2021) pagi, Eha dinyatakan meninggal dunia di RS Wahidin Sudiro Husodo. Peristiwa yang menimpa Doktor Eha Soemantri itu sudah sepatutnya mendapatkan perhatian serius dari Kementrian Kesehatan. Pasalnya, yang dialami Eha ini termasuk Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Sesuai petunjuk WHP, salah satu bagian tugas dari setiap petugas kesehatan dan NRA/BPOM dalam program imunisasi adalah: - Mengantisipasi dan/atau mengevaluasi kemungkinan terjadinya KIPI yang terjadi pada vaksin tertentu. - Membandingkan angka KIPI sebenarnya yang dilaporkan dengan angka KIPI yang diperkirakan terjadi pada kelompok yang divaksinasi dan kelompok yang tidak di vaksinasi. - Melakukan investigasi segera apabila ada laporan KIPI serius. Tantangan yang penting adalah bagaimana sistem surveilans KIPI bisa membedakan dengan baik antara KIPI karena peristiwa koinsidens dengan KIPI yang disebabkan reaksi terhadap vaksin dan komponen-komponennya. Yang dialami Eha sudah seharusnya dilakukan investigasi karena peristiwa tersebut termasuk dalam kategori KIPI Serius. Pasalnya, Eha telah divaksinasi dua kali: Kamis, 14 Januari, dan Kamis, 28 Januari 2021. Kabarnya, Eha dirawat karena terinfeksi Covid-19. Jangan sampai muncul anggapan, Vaksin Sinovac yang disuntikkan pada Eha ternyata “tidak aman”, meski “halal”, seperti yang telah dinyatakan oleh BPOM. Sebelumnya, beredar video 6 petugas nakes dari 5 Puskesmas di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) mengalami pusing, mual, dan muntah-muntah setelah divaksin Sinovac pada Senin, 15 Februari 2021. Dikabarkan oleh SerambiOn TV, hingga kini mereka masih mendapatkan perawatan di RSU Cut Meutia, Aceh Utara, dan RS Arun, Kota Lhokseumawe. Mereka dilarikan ke RS karena mengalami muntah, mual dan pusing mendapat vaksinasi di tempat mereka bekerja. Untuk diketahui, Aceh Utara mulai melaksanakan vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mulai Rabu (12/2/2021) yang diadakan secara serentak di 36 titik, termasuk di RSU Cut Meutia. Melansir Serambinews.com, Selasa (16/2/2021), vaksinasi tahap pertama itu ditargetkan bisa tuntas diadakan pada Senin (15/2/2021) atau selama 5 hari kerja dengan jumlah nakes 6.115 orang. Lalu, pada sorenya, Darlina (35) nakes asal Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, tiba-tiba mengalami mual dan kemudian muntah setelah divaksin. Ia dibawa ke RSU Arun Lhokseumawe untuk mendapat penanganan medis sekitar pukul 14.30 WIB. Tak lama kemudian empat nakes empat nakes lainnya, dari tiga Puskesmas juga mengalami hal yang sama. Mereka kemudian dibawa ke RSU Cut Meutia Aceh Utara sekitar pukul 17.00 WIB. Masing-masing, Melisa Anggraini (34) asal Kecamatan Samudera bertugas di Puskesmas Meurah Mulia, Murniati (40) asal Meunasah Alue Kecamatan Muara Dua Lhokseumawe yang bertugas di Puskesmas Syamtalira Bayu. Widiya Riyani (36) asal Peureumpok Kecamatan Syamtalira Aron yang bertugas di Puskesmas Syamtalira Aron dan Mutmainnah (45) asal Desa Alue Awe Kecamatan Muara Dua Lhokseumawe yang bertugas di Puskesmas Syamtalira Aron. Lalu, pada Selasa (16/2) sekira pukul 00.30 WIB, bertambah satu nakes yang dirawat di RSU Cut Meutia. Pria tersebut adalah Maulana (27) asal Desa Ulee Blang Mane Kecamatan Blang Mangat Lhokseumawe bertugas di Puskesmas Geureudong Pase, Aceh Utara. Sebelumnya, peristiwa serupa menimpa dua nakes di Musi Rawas, Sumatera Selatan. Dua nakes Puskesmas Selangit dan Puskesmas Beliti langsung mengalami kejang-kejang dan muntah usai diivaksin Sinovac. Keduanya langsung menjalani perawatan untuk diobsevasi di RSU Sobirin Musi Rawas pada Selasa (2/2/2021). Tidak Aman Perlu diketahui bahwa vaksin Sinovac itu terbuat dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”. Jika vaksinasi yang kini sedang berjalan itu tidak dihentikan sementara, hal itu sama saja dengan menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Sebab, seperti yang sering saya sampaikan, diantara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itulah pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Ingat, virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, faktanya saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian. Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) saja, tetapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus penyanyi yang meninggal beberapa bulan lalu). Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Fakta klinis tersebut ditemukan di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Covid-19 juga sudah mulai menginfeksi saluran pencernaan, sistem saraf, hingga mata. Perlu diingat, Covid-19 itu terjadi dan meledak lebih dari setahun lalu. Padahal, kalau tidak salah, fase membuat vaksin itu butuh waktu 12-18 bulan. Dari mana specimen virusnya itu diperoleh? Kabarnya, basic dari vaksin ini adalah kasus SARS-Corona 5 tahun yang lalu, bukan Covid-19 ini. Apakah efektif untuk Covid-19? Kematian dr. JF di Palembang, sehari setelah divaksin, dan Doktor Eha di Makassar, janganlah dianggap remeh. Bagaimana pula kalau sekarang ini varian baru yang telah ditemukan di Malaysia, Thailand, Philipina, yang kemampuannya 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19? Termasuk, di Inggris dan Afrika sekarang ini? Covid mampu menyerang saluran pencernaan dan saraf. Jangan bisanya mengatakan, pasca divaksin: “jika meninggal atau cacat memperoleh santunan sekian juta rupiah”. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Mau Cari Duit ke Timur Tengah, Tapi Terlanjur Tak Suka Arab
by Asyari Usman Medan, FNN - Saya banyak mendengar cerita faktual, bukan fiktif, tentang orang Arab —khususnya Arab Saudi, Kuwait, Qatar, UAE— yang sangat dermawan. Mereka menyalurkan infak, zakat, sedekah, dll, ke para mustahiq (yang berhak) di negara-negara berpenduduk Islam. Banyak per orangan (individu) orang Arab yang menyumbangkan uang miliaran rupiah kepada per orang atau orgasisasi amal. Di Indonesia maupun di negara-negara lain. Ini menunjukkan negara-negara Arab tidak mengalami gangguan finansial signifikan di tengah pandemi ini. Pemerintah dan rakyat mereka tetap surplus. Masih sangat bagus cash flow mereka. Nah, di tengah paceklik duit akhir-akhir ini yang dialami pemerintah Indonesia, teringat kita seandainya para pejabat dan buzzer tidak rasis atau tidak Arabfobia terhadap orang Arab, mungkin saja bisa kita dekati mereka untuk mendapatkan pinjaman lunak tanpa bunga. Tapi, para pebguasa dan buzzer sudah terlanjur membenci orang Arab. Dan orang Arab pun tahu itu. Para penguasa lebih suka RRC. Pinjam duit dari China. Menjualkan barang-barang produk China. Membukakan pintu lebar-lebar untuk TKA China. Memberikan keistimewaan kepada para investor China. Pokoknya, semua serba RRC. Padahal, RRC sendiri sekarang memperketat pinjaman. Belakangan ini, mereka datang ke sini hanya untuk berjualan, bukan membawa uang. Jadi, sayang sekali. Ada negara-negara Arab yang mungkin masih bisa meminjamkan uang, tapi sudah tak enak rasa. Mereka dilecehkan sebagai kadrun, pembawa agama arogan, dlsb. Para penguasa dan buzzer juga tidak suka dengan orang Arab dan hal yang kearab-araban. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Merevisi Otak Presiden dengan Quantum Ikhlas
by Jarot Espe Surabaya, FNN - Otak merupakan rangkaian gelombang elektro magnet, lantas bagaimana cara Presiden Jokowi menggunakannya saat menghadapi kritikan masyarakat? Kalau muncul pertanyaan, masyarakat yang mana? Bisa dipastikan frekuensi berpikir presiden masih di jalur biasa. Padahal Pak Jokowi berada dalam posisi luar biasa; sebagai presiden dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Selama ini wajah Pak Jokowi dikenal dalam berbagai rupa. Dari sosok sederhana, pemberi asa, hingga penggemar musik cadas, rock. Hobi inilah yang barangkali dominan mempengaruhi frekuensi pikiran presiden dalam membuat kebijakan publik. Rock yang hingar bingar, terdeteksi sebagai bunyi yang menyentuh bagian atas kemampuan telinga untuk mendengar. Frekuensi gelombang suara terukur dalam satuan Hertz (hz), dari 20 hingga 20.000. Para rocker yang tengah pentas, orang yang emosional, terbiasa menggunakan kekerasan, tak bisa menggunakan logika sehat, bakal terdeteksi di frekuensi atas. Adapun blues atau jenis musik lain yang ketukan nadanya lamban, membuat pendengar berperilaku lebih tenang. Erbe Sentanu, penulis buku best seller Quantum ikhlas, menggunakan musik serta gemericik air dan kicau burung, untuk mengelola frekuensi gelombang di otak. Suara yang ditimbulkan sangat lembut, membuat orang rileks, senantiasa optimistis, tanpa prasangka. Penuh keikhlasan, karena itu disebut Quantum ikhlas. Istilah quantum merujuk ke satuan terkecil sebuah zat yang tak bisa diurai lagi. Dengan selalu berpikir positif, hal-hal positif secara otomatis akan menghampiri. Demikian sebaliknya. "Hidup kita adalah apa yang kita bayangkan, apa yang kita pikirkan," kata Erbe menjelaskan hukum daya tarik menarik. Jadi jika Pak Jokowi benar-benar ingin dikritik, sebaiknya menurunkan gelombang otak, agar muncul gelombang positif. Dari frekuensi beta (memilik rentang 13 hingga 30 hertz) menjadi alfa (8 sampai 13 hertz). Merujuk penjelasan ilmiah Erbe Sentanu, gelombang beta berkaitan dengan tingkat kesadaran, kewaspadaan dan gairah tinggi. Ketika Pak Jokowi membuat keputusan, sangat dipengaruhi oleh gelombang beta. Bahkan, pada keputusan kontroversial yang memicu reaksi masyarakat, saya meyakini, Pak Jokowi menggunakan gelombang gamma yang berkuatan sangat tinggi, berkisar 40 hertz. Lantas dari mana Pak Jokowi harus mulai merevisi gelombang berpikirnya? Latihan! Setiap pagi mendengarkan compact disc Erbe Sentanu yang sudah disetel di frekuensi alfa, dimana orang pada kondisi setengah tertidur tapi tetap terjaga. Bayangkanlah, Indonesia makmur, penuh damai, serta lupakan kosa kata buzzer rupiah dari memori anda. Jangan lupa menyebut asma Allah, Pak. Mohon jangan meremehkan ilmu Quantum Ikhlas, karena Erbe Sentanu sudah membuktikan. Vonis medis bahwa pasangan Erbe Sentanu mandul, pada akhirnya rontok setelah mereka berdua menjalani terapi Quantum ikhlas. Tidak hanya membayangkan, Erbe dan istrinya berperilaku seolah-olah menyiapkan kelahiran anak bayinya. "Di mana kalian berobat," tanya sang dokter geleng-geleng kepala mengetahui istri Erbe positif hamil. "Dari dokternya manusia"! jawab Erbe. Jadi Pak Jokowi memang harus merevisi gelombang frekuensi di otak sebelum membuat kebijakan publik untuk memuliakan umat, mensejahterakan rakyat. Bapak adalah presiden seluruh penduduk Indonesia. Benar apa yang disampaikan Rocky Gerung (meski saya bukan followernya) , Pak Jokowi memang harus mulai membuka kesempatan oposisi bersuara. Mengawali dari hulu, agar bisa diikuti di hilir. Penulis adalah Pemerhati Seni.
Gencatan Senjata & Dialog Jakarta-Papua, Cara Paling Bermartabat
by Marthen Goo Jayapura FNN - Mestinya di era modern, orang harus berpikir bijaksana. Mencari jalan-jalan damai dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dalam semangat tersebut, maka mekanisme penyelesaian masalah seperti musyawarah untuk mufakat menjadi jalan penyelesaian masalah yang paling bertabat dan mengagumkan. Cara lain adalah dialog atau perundingan bisa dan sangat terbuka untuk dilakukan. Menolak perundingan dan dialog itu cara berfikir primitif, kampungan dan kuno. Jika negara itu meyakini bahwa negaranya menganut sistem demokratis, maka yang dipakai dalam pencarian penyelesaian masalah adalah dengan cara-cara bermartabat dan demokratis pula. Cara itu dengan mengedepankan semangat demokrasi. Bukan dengan kekerasan atau pendekatan militer yang berlebihan, sehingga rakyat tidak berdosa yang menjadi korban. Menghindari korban sekecil apapun itu adalah cara befikir yang orang-orang top yang berkelas dan mengumkan. Menurut Sekertaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua, Ambrosius Mulait, “kita sepakat, kekerasan tidak akan menghasilkan kedamaian. Baiknya mengedepankan gencatan senjata. Daripada bicara sana-sini, tetapi hasilnya tidak berubah. Peristiwa terus terjadi karena pemerintah tidak serius. Pemerintah pusat dan daerah harus mencari solusi masalah Papua secara konprehensif. Hari ini rakyat Intan Jaya membutukan pertolongan semua pihak”.(Jubi.co.id: 19/2/2021). Sementara Komisioner Komnas HAM (periode 2013 -2017), Natalius Pigai dalam mengunjungi Fraksi-fraksi di DPR RI memberikan rekomendasi agar Otonomi Khusus dibekukan dan digelar “Perundingan”. Tentu rekomendasi itu didasari berbagai masalah-masalah di Papua dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua yang tidak Efektif dan Efisien. Kesemuanya agar terciptanya kedamain. Riset yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berusaha merumuskan bahwa ada empat akar masalah di Papua. Pertama, masalah sejarah integrasi Papua dan indentitas politik orang Papua. Kedua, kekerasan politik dan masalah pelanggaran HAM. Ketiga, gagalnya pembangunan di Papua dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otsus. Keempat, marjinalisasi orang Papua. Tentu empat masalah tersebut masih terus terjadi di era otonomi khusus. Pendekatan yang militeristik masih dianggap sebagai solusi di era modern dan era reformasi. Padahal pembangunan yang diheboh-hebohkan tersebut, menurut pendeta Dr. Benny Giay, “di Papua adalah pembangunan bias migran”. Tentu pembangunan yang dilakukan di Papua jika dilihat dari pernyataan Pendeta Doktor Benny Giay dan hasil penelitian LIPI, justru turut memberikan bobot mempercepat marjinalisasi terhadap penduduk Papua. Apalagi Papua dijadikan daerah operasi militer yang berdampak pada semua sektor. Pendekatan tersebut berbeda jauh dengan yang dilakukan Belanda terhadap penduduk Papua, yakni dengan pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan. Mestinya dalam menyelesaikan masalah di Papua, tidak dilakukan pendekatan kekerasan atau militer. Pemerintah bisa mengkaji lebih dalam dari referensi Gus Dur dan referensi yang dilakukan oleh Belanda terhadap pendekatan masyarakat di Papua. Kekerasan Itu Menelan Korban Kekerasan atau pendekatan kekerasan yang dilakukan di Papua hanya mengorbankan warga sipil. Juga mencederai semangat demokrasi yang sudah dibangun sejak 1998 dengan lairnya reformasi. Tujuan reformasi adalah pemenuhan hak asasi manusia bagi semua manusia Indonesia ataupun dimana saja, tanpa batas dan tanpa memandang status golongan, suku, ras atau budaya. Pendekatan kekerasan di Papua telah merugikan rakyat sipil Papua. Ratusan , bahkan ribuan rakyat mengungsi di hutan-hutan. Dimana pun mereka pergi, hak kehidupan mereka diabaikan. Pemerintah belum menyiapkan tempat pengungsian yang wajar dan layak bagi warga. Hak hidup mereka tidak diberi jaminan. Kasus Nduga, Timika dan kini di Intan Jaya pun mengalami peristiwa yang sama. Mestinya pengungsian menjadi tanggungjawab negara. Terkait peran pemerintah (negara) terhadap pengungsian, bisa kita lihat perpedaan perlakukan. Saat warga pendatang atau migran di Wamena mengalami persoalan dikarenakan dampak dari peristiwa rasisme, negara cepat hadir untuk memproteksi dan melindungi warga migran. Hal itu berbeda dengan pengungsian orang asli Papua. keseriusan terhadap untuk memproteksi orang asli Papua tidak terlihat. Ada perlakuan yang berbeda dari negara. Karenanya kekerasan di Papua yang berlangsung begitu lama, dan terus menerus, apalagi diikuti dengan perlakuan yang berbeda, sesungguhnya juga turut merusak Demokrasi. Merusak Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama), Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (Sila ketiga). Perlindungan terhadap warga. terkhusus sila kelima soal keadilan pun tidak diwujudkan. Terhadap empat hal yang fundamental itu, memberikan bukti ada yang salah dalam implementasi kebijakan yang melindungi segenap warga bangsa dan mewujudkan secara kongkrit pembukaan UUD ’45. Gus-Dur harus dijadikan referensi dalam mengelolah negara untuk memproteksi seluruh rakyat dengan mengedepankan aspek demokrasi (musyawara untuk mufakat), kemanusiaan dan kebudayaan. Gus-Dur pernah telah membuktikan bahwa mewujudkan Papua sebagai “tanah yang damai bisa dilakukan”. Walaupun hanya satu tahun kepemimpinan Gus Dur, Papua sempat menjadi Papua yang damai. Intinya soal “Hati nurani dan keseriusan”. Bukan pada banyaknya kunjungan ka Papua. Kita harus sepakat bahwa kekerasan hanya mencederai kemanusiaan. Merendahkan martabat manusia, seakan manusia tidak memiliki nilai yang humanis. Seakan cara-cara damai tidak bisa dilakukan. Pilihan utamanya hanya kekerasan, dan merusak citra kemanusiaan. Padahal Indonesia telah meratifikasi, dan bahkan merumuskannya dalam Pancasila, UUD ’45 sampai pada UU tentang HAM. Jika kekerasan hanya merendahkan martabat kemanusiaan, maka semua pihak harus bersepakat untuk dilakukannya “gencatan senjata”. Cara kongkrit dan bermartabat yang bisa dipakai sebagai sarana gencatatan senjata tersebut adalah “Dialog atau Perundingan Jakarta-Papua”. Cara damai dan cara-cara bermartabat sesungguhnya sudah harus dilakukan. Dialog Itu Indah Soekarno dikenal dengan “founding father”, selalu berkata “…Jangan sekali-kali melupakan sejarah…” yang kemudian dikenal dengan istilah Jas-Merah. Tentu kekerasan yang berulang-ulang tidak akan dilupakan oleh anak cucu. Akan membuat kebencian seumur hidup dalam perjalanan bangsa. Sehingga, harus dipikirkan cara-cara damai agar kedamaian pun tidak dilupakan, bahkan menjadi prinsip. Ciri bangsa yang bermartabat selalu mencari jalan damai dengan cara bermartabat. Cara itu adalah yang mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, keadilan serta mengedepankan demokrasi dan dialog. Jangan dijadikan dimbolis belaka. Indonesia dikenal dengan musyawarah-mufakat, dimana itu sebuah mekanisme yang selalu dipakai dalam mencari solusi damai. Dengan semangat itu, telah dipakai mencari solusi damai di Aceh. Pemerintah menggelar perundingan. Tentu dalam perundingan yang dialukan antara Aceh dan pemerintah pusat, tidak membahas tujuan. Dalam perundingan yang dilakukan membahas tentang masalah-masalah, kemudian dirumuskan solusi bersama. Sehingga, tidak ada alasan untuk menolak perundingan, karena itu mekanisme paling damai menyelesaikan masalah. Sesungguhnya hal yang sama bisa dilakukan di Papua. Mengutip perkataan almarhum Dr. Muridan SW. (peneliti senior LIPI), “dialog itu tidak membunuh”. Itu terbukti juga dalam mekanisme adat di Papua, ketika semangat menyelesaikan masalah yang rumit, dikenal dengan sebutan “Para-para Adat”. Sebuah mekanisme yang dipakai masyarakat adat dalam menyelesaikan berbagai masalah “mari bicara doloo”. Semangat mewujudkan “Papua Tanah Damai”, almarhum Dr. Pater Neles Tebay Pr, saat sebelum meninggal dunia, sebagai koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) pernah berjumpa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, dan kemudian Presiden Joko Widodo menyampaikan pentingnya Dialog Jakarta- Papua untuk menyelesaikan masalah Papua secara holistik. Sayangnya, hal itu belum dilihat penting. Karena dialog belum dilakukan juga pasca pertemuan tersebut. Barang kali kalau setelah koordinator JDP saat itu berjumpa presiden dan proses sudah dilakukan, masalah-masalah yang sekarang sedang terjadi sudah tidak ada lagi. Barang kali sudah tidak ada perang-perangan. Sudah tidak ada lagi pengungsian. Tidak ada lagi rakyat yang korban atau mungkin militer Indonesia yang korban. Tentu saja semua itu belum terlambat untuk mencari cara yang bermartabat, walau banyak yang sudah menjadi korban. Dengan rumitnya masalah di Papua, jika pemerintah ingin menyelesaikan masalah secara menyeluruh sebagai bangsa yang bermartabat, maka cara-cara yang bermartabat bisa dilakukan. Salah satu jalan yang efektif dan efisien adalah harus digelarnya Dialog atau Perundingan Jakarta-Papua. Presiden harus memberikan kewenangan Politik kepada Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin untuk mengurus pelaksanaan perundingan seperti penyelesaian masalah di Aceh. Dengan demikian, Presiden harus mengangkat Special Envoy untuk mempersiapkan semua tahapan sampai perundingan itu terjadi. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Papua.
Aneh Juga, Kok Menteri Bisa Kritik Kebijakan Pemerintah?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Indonesia memang unik. Bagaimana tidak, setelah enam tahun Presiden Jokowi memerintah, barulah masyarakat diminta untuk melakukan kritik kepada pemerintah. Kritiknya juga yang keras. Sayangnya, banyak yang tidak percaya karena menengok pada sejarah. Presiden yang sama, Jokowi pernah menyatakan rindu untuk didemo. Namun setelah di demo, eh malah banyak yang ditangkap, menjadi korban kekerasan, bahkan ada yang tewas ditembak. Soal kritik ini, keunikan muncul kembali. Ada menteri anggota kabinet Jokowi yang mengeluh atau mengkritik kebijakan Pemerintah. Publik merenung apakah menteri itu bukan bagian dari Pemerintah? Atau mungkin karena tidak ada visi misi menteri, tetapi yang ada adalah visi dan misi Presiden. Sehingga menteri bebas mengkritik visi misi Presiden? Adalah Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Teten Masduki yang curhat berkonten kritik dalam acara Program Kolaborasi Akselerasi Mencetak 5000 Eksportir. Kata Teten, bahwa KUKM telah dipersulit oleh Pemerintah untuk melakukan ekspor. Banyak izin dan sertifikat yang harus dipenuhi untuk hal ini. Akibatnya, KUKM berat untuk melakukan ekspor berbagai komoditas. Sebaliknya, impor dari negara lain justru sangat mudah. Tidak berbelit-belit. Sebagai rakyat, apalagi pengusaha KUKM tentu berharap ada langkah konkrit untuk mempermudah ekspor dan mempersulit impor. Hal ini untuk mendorong semangat agar KUKM menjadi sokoguru usaha masyarakat, yang bukan saja diproteksi tetapi dibantu dan didorong oleh pemerintah. Kenyataan yang terjadi di pemerintahan Jokowi ini berbeda antara langit dengan bumi, jaka dibadingkan eranya Soeharto dulu. Ketika Orde Baru berkuasa, semua yang berbau impor dihalangi dengan berbagai kebijakan pemerintah. Impor hanya dikecualikan untuk barang-barang yang menjadi bahan baku produksi, dan tidak bisa dihasilkan dari dalam negeri. Akibatnya, ribut yang tak berkesudahan dengan organisasi perdagangan dunia World Trade Organisation (WTO) tidak bisa dihindari. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam perundingan dengan WTO adalah Rahmat Saleh, Arifin Siregar, Sudrajat Jiwandono dan Billy Yudono. Sementara ekpor, terutama produk-produk dari KUKM harus digenjot dengan segala cara. Makanya, dibentuk Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) di bawah Departemen Perdagangan. Seharusnya Menteri Teten bukan dalam kapasitas mengeluh atau mengkritik. Tetapi langsung saja mengambil kebijakan atau mendiskusikan dengan menteri terkait lainnya, yaitu Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Perindutrian dan Menteri Pertanian untuk keluarnya suatu kebijakan yang memudahkan ekspor produk-produk KUKM. Bila perlu "menekan" Presiden agar mengeluarkan kebijakan yang memudahkan dan menguntungkan KUKM. Masyarakat dan pelaku usaha KUKM butuh mendengar dan menjalankan kebijakan yang memudahkan untuk ekspor produk mereka. Tidak perlu diajak untuk ikut pusing bersama pusingnya sang menteri. Apalagi hanya untuk mendengar curhat atau kritikan. Menteri itu bukan pengamat, tetapi pengambil keputusan. Bahasa lainnya menteri adalah Pemerintah juga. Pemerintahan memang kacau, koordinasi dalam kabinet saja tidak bagus. Presiden dan para Menteri cari panggung sendiri-sendiri. Mungkin juga korupsinya sendiri-sendiri. Sampai-sampai saling mengkritik pula. Terlihat seperti kekanak-kanakan. Jadi teringat pada bulan Juni 2020 lalu, dalam Rapat Paripurna Kabinet, Presiden mempertontonkan marah-marah dan mengkritik para menteri di panggung publik. Entah apakah ini pertanda kalau menterinya yang tak becus atau Presidennya sendiri yang kacau-balau? Atau kedua-duanya memang bermasalah? Kasus keluhan, curhat, dan kritik Menteri KUKM Tenten Masduki adalah bukti inkompetensi atau impotensi. Tontonan yang sebenarnya tidak menarik untuk dilihat dan didengar rakyat. Namun apa boleh buat. Masalah utamanya ada kepala pemerintahan yang memang tidak becus memimpin. Kata Cirero, “ikan itu busuknya dari kepala”. Pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa tidak ada visi menteri, itu sebagai mengukuhkan sistem pemerintahan presidensial. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Presiden adalah penanggungjawab. Karenanya kekacauan kebijakan ekspor impor, kemerosotan ekonomi, tingginya hutang luar negeri, hingga pelanggaran hak asasi oleh Polisi, maka muaranya adalah Presiden. Semoga sistem pemerintahan presidensial tidak menyebabkan Presiden menjadi pembawa sial. Apalagi jika berwatak pembual dengan kabinet abal-abal. Membawa Indonesia meluncur terus menuju predikat sebagai negara gagal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Di Mana “Rasul” Kami?
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Hanya berselang sepuluh hari, masih di dalam suasana memperingati Hari Pers Nasional tahun ini, mata saya menangkap sebuah arsip yang berisi rangkuman suara hati almarhum Jakob Oetama dalam bentuk naskah pidato berjudul, “Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna". Pidato Jacob Oetamaitu disampaikan pada acara “Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa” dalam Bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 17 April 2003. Pemimpin “kerajaan” media grup Kompas tersebuta meninggal dunia 09 September 2020. Menjelang usia 76 tahun kemerdekaan Indonesia dan di usia 75 pers Indonesia, apa yang telah diberikan dunia pers kepada bangsa ini? Tidak ada salahnya mengutip kembali pernyataan JFK (John F. Kennedy) ketika dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35, “Ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country”. Artinya, “jangan tanya apa yang negara Anda bisa lakukan untuk Anda ; tanyakan apa yang dapat Anda lakukan untuk negara Anda”. JFK, yang pensiunan Letnan Angkatan Laut Amerika Serikat (1941-1945) tersebut, pernah bekerja sebagai koresponden, Hearst Newspapers (1945-1946). JFK dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35 pada Januari 1961, dan dibunuh, tertembak November 1963 pada usia 46 tahun. Saat ini beredar dua berita “trending topic” di masyarakat. Pertama, Transparency International Indonesia(TII) menyatakan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia pada 2020 turun ke peringkat ke 102 dari 180 negara. Dibandingan pada tahun 2019, Indonesia menempati posisi ke 85. Kedua, turunnya IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU). Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Sebelumnya 6.48. Di kawasan Asia Tenggara saja, indeks demokrasi Indonesia ada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir Indonesia dikategorikan sebagai negara flawed democracy (demokrasi cacat). Sekitar 18 tahun yang lalu, Jakob Oetama dalam inti pidatonya itu telah memprihatinkan gejala “merajalelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu” pada bangsa ini . “Media harus memahami lebih jauh, mengapa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela. Apa akar permasalahannya? Latar belakang struktur dan budaya feodal ikut menyuburkan KKN. Demikian pula dengan paham feodal, bahwa power is privilege. Warisan sejarah bisnis yang diungkapkan dengan setiap penguasa ada koneksi bisnisnya. Tertimpa oleh sikap hidup kapan lagi. Merajalelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu”, tulis Jakob Oetama. Frasa “tertimpa oleh sikap hidup kapan lagi, merajelelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu”, yang disinggung Jakob, justru inilah persoalan bangsa yang serius. Infrastruktur moralitas merosot di tengah masifnya pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan tol, jembatan layang dan pelabuhan udara maupun laut. Kader partai politik sebagai pemangku jabatan publik melakukan malpraktik. Korupsi berjamaah, yang didalam berbagai kajian disebutkan, “korupsi materi dan korupsi politik”. Kenyataan iuni menegaskan lemahnya komitmen sekaligus rendahnya kualitas moralitas beberapa politisi. Miris membaca hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Temuan yang menunjukkan sepanjang tahun 2004 - 2019 terdapat 1152 kasus yang melibatkan pejabat publik dan swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 397 orang diantaranya menduduki jabatan politik. Tercatat 257 orang adalah anggota DPR atau DPRD, 21 orang adalah gubenur dan 119 orang adalah bupati atau walikota. Dimana semuanya berlatar belakang dari partai politik. Reformasi 1998 ternyata tidak serta merta menghilangkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh birokrasi Indonesia. Meski telah 20 tahun lebih reformasi berlalu, hingga kini, disaat Presiden Jokowi berkuasa, korupsi tetap saja menjadi “primadona” kekuasaan. Banyak yang menyebut korupsi yang Terstruktur, Sitematis dan Masif (TSM) saat ini sebagai “cacat bawaan” reformasi. Tercatat 11 menteri terjerat kasus korupsi. Tiga diantaranya merupakan menteri sosial. Mengungguli jabatan lain. Pelaku korupsi terbanyak kalangan legislatif dan eksekutif, bahkan yudikatif. Semuanya pejabat publik yang telah mengangkat sumpah dengan kitab suci. Kepada siapa lagi rakyat dapat menggantungkan harapan kemaslahatan masa depan bangsa ini? Sementara itu, pemimpin yang tersedia sebagaimana ditulis Jakob Oetama, mereka yang terlihat sangat bersemangat “konsumerisme dan hilangnya rasa malu”. Mesin Pemilu sebagai wahana demokrasi harus berani dikatakan “gagal total” menyeleksi calon pemimpin bangsa yang ditawarkan partai politik. Ibarat “kawah chandra dimuka”, partai politik gagal sebagai kampus suci penggemblengan mentalitas dan moralitas calon pemimpin supaya kuat, terlatih, bersahaja dan tangkas. Calon pemimpin yang berani tampil berani. Yang menutup semua peluang kejahatan politik. Apapun namanya. Jakob Oetama menyinggung tulisan Samuel P. Huntington bersama Laurence E. Harrison tentang Culture Matters yang disinggung kedua penulis dalam bukunya tersebut. Jakob mempertanyakan, kultur yang mana? Ethika Protestan? Revolusi Meiji, Konfucian, Ascetisme Gandhi, Ascetisme Hatta. Kita punya, kita bahkan termasuk kaya budaya. Bagaimana menjadikan budaya Indonesia sebagai pemicu kemajuan, Pemicu pemerintah yang bersih, Pemicu hidup hemat, kerja keras? Bagaimana berencana serta membangun social trust alias kepercayaan sosial yang kuat, kreatif, produktif? Peringatan Hari Pers Nasional 2021 diisi partisipasi insan pers atau para pekerja media alias wartawan mendukung program FJPP (Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku) yang diselenggarakan Dewan Pers dan Satuan Tugas Penanganan Covid 19 bersama PWI yang bertema, “Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers sebagai Akselerator Perubahan”. Diberitakan 5000-an wartawan dari Aceh sampai Papua aktif mengampanyekan perubahan perilaku masyarakat supaya taat prokes (protokol kesehatan) sesuai standar WHO. Sembari menangkal berita hoaks terkait Covid 19. Program yang diluncurkan awal Oktober itu, menurut Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Doni Monardo, pada Desember mencapai keberhasilan 63 persen program sosialisasi itu mengubah perilaku masyarakat. Dan itu oleh kerja keras dan kerja rela insan pers. Fakta itu membangun harapan dan semangat baru. Besarnya kepercayaan masyarakat kepada insan pers (wartawan) adalah modal sosial yang masif efektif membangun ketahanan akhlakul kharimah untuk “Reinventing Indonesia Baru”, sebagaimana disinggung Jakob Oetama. Bersih dari mental pecundang dan pembonceng gelap demokrasi. Kekuatan Indonesia baru itu sejatinya terkonsolidasi menjadi moral force (kekuatan moral) yang terniscayakan sebagai mesin pendorong gerakan nasional kesadaran rakyat untuk bangkit mengubah aneka UU hasil reformasi. Terutama pasal-pasal di dalam UU yang banyak salah jalan dan melahirkan pemimpin dadakan, yang daripadanya budaya korupsi tersuburkan. Pers Indonesia memikul tanggung jawab moral menjadi obor penerang langit demokrasi dari kegelapan. Rakyat harus didorong keberaniannya bangkit menyita mandat dari komplotan politisi korup yang bermarkas di partai politik. Politikus yang telah disandra para oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas dan tamak. Oligarki dan konglomerasi yang tidak pernah puas menghisap darah kakyat negeri ini. Saatnya publik kembali mengampanyekan mentalitas kejujuran dan kesederhanaan sebagai prasyarat utama menjadi seorang pemimpin bangsa. Kita punya tokoh asketisisme legendaris yang harus dijadikan ikon suri tauladan moralitas. Seorang tokoh proklamator yang hingga akhir hayatnya, tidak pernah bisa mampu membeli, walau hanya sekedar sepasang sepatu Bally. Lantaran diikat konsistensi moralitas tinggi yang menolak menunggangi celah-celah kekuasaan. Namanya Bung Hatta! Seorang karib mantan pejabat mengirim pesan WhatsApp, “rakyat Indonesia saat ini merindukan pemimpin jujur”. Rakyat itu kini seakan sedang berteriak, dimana “rasul” kami? Penulis adalah Wartawan Senior Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Awas, Sinyal Utang Mendekati Lampu Merah
LEBIH besar pasak daripada tiang, itulah pepatah yang representatif untuk menggambarkan kondisi utang pemerintah Indonesia saat ini. Akankah kita sebagai negara bisa sustain dengan tumpukan utang yang kian meninggi setiap tahunnya? Tengok saja posisi utang pemerintah pada Desember 2020 sebesar Rp6.074,56 triliun, sebuah realitas utang yang amat besar. Artinya sepanjang tahun 2020 pemerintah menciptakan utang baru sebesar Rp1.257 triliun jika dibandingkan dengan posisi utang Januari 2020 yang sebesar Rp4.817,5 triliun. Sungguh luar biasa. Jika ditelusuri lonjakan utang terbesar di bulan November 2020 yakni sebesar Rp136,92 triliun. Dengan demikian, maka rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,68%. Narasi apa yang bisa dijelaskan Menkeu Sri Mulyani Indrawati terkait lonjakan utang yang fantastis tersebut? Menkeu berpendapat posisi Indonesia masih relatif cukup hati-hati dengan rasio utang 38,68% tersebut. Dia memperkirakan utang Indonesia akan mendekati rasio 40% dari PDB, namun utang Indonesia masih relatif dalam posisi yang cukup hati-hati atau prudent. Alasannya, rasio utang pemerintah di negara-negara lain terhadap PDB jauh lebih besar ketimbang Indonesia. Bahkan, ada beberapa negara yang rasio utang pemerintahnya melampaui PDB. Misalnya untuk negara maju yakni Amerika Serikat (AS) sekitar 103%, dan Prancis lebih 118%. Lalu, beberapa negara maju lainnya juga memiliki rasio utang yang cukup besar terhadap PDB seperti Jerman 72%, China hampir 66%, dan India mendekati 90%. Lalu untuk negara-negara di ASEAN seperti Thailand 50%, Filipina 54,8%, Malaysia 66%, dan Singapura yang melampaui PDB yakni 131%. Selain itu, menurutnya pemerintah mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan, sehingga kontraksi ekonominya cukup moderat. Lalu, defisit APBN 2020 6,09% jauh lebih kecil dibandingkan negara lain yang di atas 10% seperti AS yang mendekati 15%, dan Prancis 10,8%. Ini artinya apa? Negara-negara ini hanya dalam satu tahun utang negaranya melonjak lebih dari 10%, sementara Indonesia tetap bisa terjaga di kisaran 6%. Argumentasi Menkeu Sri ada benarnya, tapi seharusnya posisi utang pemerintah juga dilihat dari beban bunga terhadap pendapatan negara. Rasio utang pemerintah terhadap PDB memang di bawah banyak negara maju. Tapi utang pemerintah itu juga harus dilihat dari berapa rasio beban bunga. Menurut IMF yang baik adalah maksimal 10% dari pendapatan negara. Rasio beban bunga utang Indonesia sudah 19,2% dari pendapatan negara (termasuk PNBP) pada 2020. Kalau dari penerimaan pajak, rasio beban bunga utang sudah capai sekitar 25%. Saat ini, beban bunga dari utang pemerintah sudah sangat besar. Jadi berdasarkan tambahan tolak ukur ini, maka utang pemerintah Indonesia sudah sangat tinggi sekali. Meskipun rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60%. Alasan lain yang perlu dilihat, angka utang pemerintah apabila dilihat dari kemampuan bayar utang atau debt service ratio (DSR) sudah hampir lampu merah. DSR tier I Indonesia terus naik melebihi 25%, padahal negara seperti Filipina cuma 9.7%, Thailand 8% dan Meksiko 12.3%. Dengan melihat perbandingan DSR maka bisa dikatakan utang sudah jadi beban dan kemampuan bayar berkurang. Ini bisa dikatakan lampu kuning sudah hampir lampu merah. Di sisi lain, rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jerman, Singapura, dan sebagainya. Ini ibarat membandingkan mobil Esemka dengan Mercy, BMW, Lexus, atau bahkan pesawat Airbus, tentu tidak apple to apple. Apalagi posisi Indonesia turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah. Indonesia cocoknya dibandingkan dengan sesama negara berkembang. Dari porsi utang pemerintah lebih besar dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja barang. Hal itu tentu saja akan menurunkan produktivitas. Kalau beban utang terus meningkat, sementara belanja di sektor produktifnya kalah dengan belanja birokrasi seperti belanja pegawai dan belanja barang. Tugas pemerintahan ke depan tentu akan semakin berat, karena harus mencari penerimaan lebih besar dan itu hanya dapat ditempuh dengan menerbitkan utang baru. Utang yang bertambah namun produktivitas menurun, itu artinya pemerintah hari ini mewarisi beban ke generasi masa depan, generasi milenial dan generasi Z dari tumpukan utang yang amat besar. Hal lain yang cukup memprihatinkan, di tengah rating utang pemerintah yang lebih baik dari Filipina, Thailand dan Vietnam, harusnya bunga utang kita 1% hingga 2% bisa lebih murah. Nyatanya, bunga utang Indonesia 2% hingga 3% lebih tinggi, sehingga akan menjadi warisan bunga utang yang akan melilit leher generasi masa depan, generasi milenial, generasi Z. Apakah kita akan sanggup mengatasi permasalahan utang ini? Kalau pemerintah yang berjalan sudah dapat dipastikan tidak, bahkan pemerintahan yang berjalan menjadi beban anak cucu bangsa. Diperlukan generasi yang menjadi solusi atas permasalahan utang ini.
HMI Untuk Perdamaian Islam (Bagian-1)
by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Dahulu, para pendakwah dan penyiar Islam masuk ke nusantara yang hari ini Indonesia dengan membawa kedamaian. Selain menyiarkan ajaran yang diwahyukan kepada Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam, para penyiar ini juga mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu kehidupan kepada para pribumi. Yang sangat kita kenal selain daripada ilmu aqidah ada juga syariat dan akhlak. Kenyataan ini mendorong peningkatan kualitas berpikir dan hidup ke jenjang yang lebih tinggi. Perlu kita apresiasi jasa kaum muslimin dalam membangun dunia serta bangsa dan negara Indonesia. Hari ini kita nikmati kemerdekaan dan hidup beranak-pinak di dalamnya. Bebas berekspresi dan membangun masa depan negara yang kita cintai ini. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu organisasi mahasiswa Islam di Indonesia, patutlah menjadi ikon pembangunan Indonesia ke depan. Organisasi yang malang-melintang dalam perjuangan membangun Indonesia ini sedikit banyak memberikan kontribusi kepada perjalanan sejarah Indonesia masa kini dan masa yang akan datang. Begitulah organisasi mahasiswa Islam ini bermetamorfosis dari zaman ke zaman. Selain untuk kepentingan bangsa dan negara, HMI juga harus mengikuti perkembangan zaman yang kekinian. Sehingga HMI menjadi organisasi yang survive dalam perkembangan zaman. Selalu ada pada setiap dinamika dan perubahan dinamuka kehidupan. Organisasi HMI sudah saatnya membangun sistem kehidupan organisasi yang baik dan benar. Sehingga terwujudnya dinamika yang sehat. Hasilnya tercipta para kader yang cenderung kepada kebenaran (hanif). Maka yang pertama-tama adalah meninjau dan mengevaluasi kembali sistem keorganisasian yang dimulai dari perekrutan, pendidikan dan pelatihan hingga pengabdian. Tawaran untuk pengembangan organisasi yang baik secara kultur maupun struktur adalah suatu langkah strategis untuk pengembangan dan peningkatan sepak terjang HMI di masa yang akan datang. Sebab kita menghadapi hiruk-pikuk perkembangan organisasi-organisasi secara umum di dunia dan secara khusus di Indonesia yang kian signifikan. Jika kita perhatikan secara saksama saat ini, maka organisasi-organisasi tumbuh menjamur tak terkendali. Entah itu organisasi mahasiwa, organisasi masyarakat, organisasi profesi, organisasi buruh, organiasi usaha, organiasi pemuda, maupun organiasi pelajar dan lain-lain. Baik itu yang bersiafat stategis maupun taktis telah tersedia. Lain halnya dengan tahun 1990-an, yang kita kenal hanyalah beberapa organisasi. Apalagi pada kalangan mahasiswa. HMI memiliki pamor yang cukup signifikan. Selain itu, HMI juga menawarkan bergam pengetahuan yang dapat digeluti selain daripada politik kemahasiswaan. Sehingga organisasi yang terkenal dengan warna hijau hitam ini menjadi pilihan utama para mahasiswa. Belakangan banyak tumbuh organisasi mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus, yang bertabuaran di dalam lingkungan akademis seperti jamu tumbuh di musim hujan. Tidak terkecuali juga organisasi-organisasi yang orientasinya meresahkan dan menyebarkan ketakutan, juga bebas aktif dan progresif dalam perekrutan, serta melakukan aktivitas organisasinya. Tumbuhnya organisasi mahasiswa di kampus menjadi pilihan kalangan tertentu mengembangkan bakat, dan menyalurkan hobi yang disediakan dalam berorganiasi. Sehingga hal ini memicu carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kehidupan yang luhur dan penuh dengan budaya dan adat-istiadat yang beraneka ragam ini. Kuncinya, jika kita akan membangun dan memperbaiki Indonesia, dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur, maka kita memperbaiki secara internal organisasi. Yang berkembang ke eksternal merupakan dampak daripada perbaikan internal organisasi. Karena inti perbaikan bisa dibangun melalui pribadi-pribadi, kolektif organisasi dan Negara. Perdamaian Islam Tatanan dunia yang bergerak dengan masif ke arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyuguhkan keterbukaan informasi yang bebas tanpa sekat kebangsaan atau kenegaraan. Kondisi perlu dicermati bahwa perkembangan dunia semakin jauh ke depan. Bahkan pada abad ke-21 ini seluruh negara-negara di dunia berlomba-lomba dengan pola dan gagasannya untuk menciptakan dominasi diantara sesamanya. Upaya ini diperkirakan bakal menimbulkan gesekan yang cukup keras. Konflik masyarakat dunia pun tak bisa dihindari. Dinamika kehidupan mengajarkan kepada kita, jika para pemangku kepentingan besar berhadap-hadapan, maka yang berikutnya adalah konflik. Sejarah dunia telah menyajikan cerita kepada kita yang seperti itu. Di sela-sala kehadiran Islam, terdapat dua kekuatan besar, yakni Romawi dan Persia. Begitu juga pada abad ke-15, dimana Portugis dan Spanyol membagi kekuasaan dunia. Hingga akhir perang dunia II, muncul dua kekuatan besar, yakni blok barat dan blok timur. Perkembangan hari ini dunia dikategorikan dengan predikat negara maju dan negara berkembang berdasarkan klasifikasinya. Begitu pesatnya perkembangan dunia dan penyebaran ideologi, serta berbagai ajaran yang ikut mengeringinya. Begitu juga dengan ajaran Islam yang terus berkembang seiring berjalannya waktu. Interaksi antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran dan paham-paham yang lahir dari para filsuf atau pakar dalam ilmu pengetahuan sering mengalami benturan. Benturan antara ajaran Islam dengan kaum filsuf ini mengakibatkan disharmoni dalam kehidupan. Apalagi konflik tersebut menyerempet masuk kedalam ranah politik hingga kekuasaan negara. Ujung-ujungnya perseteruan akan terjadi antar sesama. Sejarah islam juga pernah mengalami masa kelam, up and down. Dimana pergantian kekuasaan sangat rentan dengan konflik. Banyaknya suku mengakibatkan eskalasi konflik yang semakin meningkat diantara mereka. Namun tidak sedikit harmonisasi agama, budaya dan ilmu pengetahuan yang berkembang selaras dalam lingkungan islam yang berpadu subur dengan umat-umat lain. Lihat saja pada Joel L. Kraemer (2003 : 155) “Abu Zakariyya merupakan penganut Kristen Jacobis yang lahir di Tikrik, dimana tempat tersebut merupakan pusat cendekiawan. Tempat untuk diskusi-diskusi mengenai theologi dan filsafat sering diselenggarkan di Tikrit. Baik itu di kalangan internal kaum Kristen maupun antara kaum Kristen dengan kaum Muslim”. Pada masa tersebut tolerasi Islam sangat tinggi terhadap beragam perbedaan. Artinya, Islam tidak pernah alergi dengan pluralitas dan perbedaan dalam masyarakat. Namun menurut keyakinan kaum muslimin bahwa perbedaan adalah sunnatullah dari sang maha pencipta. Jika diingkari, maka mendurhakai hukum-hukum dalam ajaran Islam. Perbedaan menjadikan kita berpikir lebih jernih dan terbuka untuk menerima realitas yang dihadapi. Tak bisa dipungkiri sikap keyakinan mayoritas kaum beragama terkadang tumbuh bagaikan warna yang hanya hitam dan putih. Sehingga justifikasi yang terjadi pada suatu kelompok atau kejadian hanya benar dan salah yang ada. Tidak selain salah dan benar. Sebagai agama yang mayoritas di Indonesia, Islam memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk dan membangun Indonesia. Hanya saja, benturan yang terjadi belakangan ini menyeret-menyeret ajaran Islam masuk terlalu jauh ke ranah politik praktis dan kekuasaan. Kenyataan ini mengakibatkan dikotomi pemahaman dan partisan menjadi berkepanjangan. Bukannya hal ini menjadi salah di mata umat beragama atau ideologi lain yang saat ini berkembang. Namun terkadang fanatisme buta yang tumbuh secara berlebihan dari kelompok Islam tertentu yang mengakibatkan hubungan harmonis dalam lingkup pergaulan antar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi tercerai berai. Ajaran islam dihadapkan dengan tantangan-tantangan perkembangan zaman yang sungguh signifikan ini membuat benturan yang tidak terhindarkan. Benturan yang mengakibatkan gesekan terjadi di berbagai belahan dunia. Tidak dipungkiri bahwa kaum muslimin juga menjadi terpojok dan marjinal pada negara-negara tertentu. Pembunuhan, teror dan pengusiran secara besar-besaran pun terjadi sebagai dampak dari beberapa kejadian teror di dunia yang didalangi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam. Sejak abad 18 masehi, kekuatan Islam mengalami kemunduran dikarenakan ambisi perebuatan kekuasan yang mengakibatkan negeri-negeri Islam dan wilayah Timur Tengah dikuasai bangsa barat. Namun dalam waktu yang bersamaan bangsa-bangsa barat mencapai puncak kekuasaan dan kejayaan, hingga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi mutakhir. Sejarah mencatat kejadian ini, salah satu penyebab terjadi keruntuhan Islam karena klaim kebenaran kelompok. Sebaliknya, balik menuduh kelompok yang lain salah sehingga konflik menjadi tak terelakkan. Pembangunan stigma negatif tentang Islam bukan saja datang dari orang-orang yang menjadi musuh, melainkan juga datang dari kelompok-kelompok internal islam sendiri. Munculnya sitgma negatif tentang Islam ini diakibatkan karena panatisme yang berlebihan terhadap kelompok. Bukan patantisme kepada ajaran islam itu sendiri. Harusnya perbedaan dalam mazhab menjadi khasanah bagi umat Islam untuk selalu mengingat Allah Subhaanhu Wata’ala. Konflik internal dalam kaum muslimin tidak begitu sengit dan berkepanjangan jika dibandingkan dengan konflik agama Islam dan negara saat ini. Tersiar di seantero penjuru dunia, bahwa Islam menjadi tandingan atas negara-negara dengan prinsip dan keyakinan terkait struktur negara yang berbeda dengan sistem tatanan negara domokrasi hari ini. Sehingga menjadikan Islam dikategorikan sebagai ajaran yang anti perbedaan, atau istilah terkini intoleran. Samuel P. Huntington (1997:89) “demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri dimana mayoritas besar pendududknya beragama Islam, Budha atau Konfusius”. Artinya, semua negara-negara Islam sementara bertransformasi menuju sistem demokrasi. Sebagaimana agama kristen protestan dan katolik terdahulu. (bersambung). Penulis adalah Bakal Calon Ketua Umum PB HMI Kongres XXXI Surabaya.