ALL CATEGORY
Obrolan Punakawan ke-6, Mengapa Hanya GBHN, Seharusnya?
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Ada perkembangan menarik di tahun 2019/2020, terkait tuntutan “Kaji Ulang Hasil Amandemen UUD 1945” ataupun “Kembali ke UUD 1945 Asli Untuk Disempurnakan Dengan Adendum”. Menarik karena bergulir di masyarakat. Menarik kedua, karena sampai di telinga para wakil rakyat di DPR/MPR. Lebih menarik, karena ada respon dari elite politik setelah para tokoh pergerakan bersama masyarakat menyampaikan aspirasinya di MPR. Namun sayang, responnya setengah hati. Bagaimana tidak setengah hati? Perbincangan di elite politik, kelompok pertama hanya bilang perlunya GBHN. Kelompok kedua, ingin mengembalikan kedudukan MPR tetapi Pilpres tetap dengan Pilpres langsung. Kelompok tiga, ingin MPR dikembalikan seperti sebelum amandemen, tetapi suara ini nyaris tak terdengar. Semua berjalan alot, sehingga berhenti. Umumnya mereka punya kesadaran tenang perlu perencanaan pembangunan yang berkesinambungan. Di dalam UUD 1945 dinamai garis-garis besar daripada haluan negara atau GBHN. Beda dengan sistem presidensial hasil amandemen. Rencana pembangunan dari visi dan misinya Presiden. Sehingga, Presiden selesai menjabat, pergi tak pamit. Tak pula memberi pertanggungjawaban. Ini ngawur. Mereka ada juga yang sadar, bahwa sistem ketatanegaraan kita perlu MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Tetapi mereka kebingungan antara berpikiran pragmatis, partaiku atau golonganku dapat apa? Jarang yang berpikir strategis konseptual dalam kesisteman demi bangsa dan negara. Ujung-ujungnya kebingungan, karena berpikir sektoral. Akibatnya tidak menemukan kata sepakat, alias macet. Kabar tersebut tertangkap di kupingnya para punakawan. Seperti biasa para Punakawan Semar, Gareng (G), Petruk (P) dan Bagong (B) sambil makan singkong goreng dan secangkir kopi sore ngrumpi ngobrol soal-soal negara. G : Romo, jujur saja ya,… negara kita itu demokratis apa nggak sih? B : Romo, pertanyaan Gareng penting. Romo perlu menjawab. Semar : Anak-anakku bocah bagus, jika kalian rajin baca buku pengetahuan pasti ngerti. Kalian hanya baca komik, yo mesti bingung. P : Romo itu aneh, tidak menjawab malah nyindir. Petruk baca di media, sekarang demokrasi mati. Pak Kwiek Kian Gie, begitu juga yang lain, bilang takut jika mengutarakan pendapat yang beda. Padahal masuk era reformasi, maunya negara ini dibikin demokratis. Bagaimana pendapat Romo? Semar : Ngger anakku, demokratis atau tidak, ukurannya macem-macem. Tergantung sing ngomong. Dulu sistem pemerintahan kita ya demokratis. Cuma kata si pengamandemen UUD 1945 dan asing, tidak demokratis karena ada MPR dan Presiden dipilih MPR. Padahal “founding fathers” di Pembukaan UUD 1945 sudah menekankan “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Berdasar kepada ‘………Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, dan seterusnya. Nilai tersebut ditransformasikan ke dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, ‘Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Sedang di Pasal 6 ayat (2), ‘Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak”. Jadi kurang opo maneh? Negara berkedaulatan rakyat dan di tangan rakyat. Itu ciri negara demokratis. Jadi, negara demokratis kita. Kalau Pilpres oleh MPR, itu kan caranya. Karena ada yang pingin demokrasi liberal seperti Amerika Serikat, kita dibilang tidak demokratis. Padahal, Amerika Serikat saja Pilpres tidak seperti di Indonesia. Beberapa negara yang Kepala Pemerintahan dipegang Perdana Menteri, juga ada yang tidak dipilih langsung rakyat. Setelah Pilpres dipilih rakyat langsung, kita seperti dininabobokan. Bangga dapat nomor sebagai negara demokratis. G : Apa maksud Romo dininabobokan? B : Reng, kamu tahu lagu ninabobok? Karena dipuji sebagai negara demokratis, diantara kita banyak yang terlena. Mata dan hati tertutup, tertidur. Tidak mau mikir, pelaksanaan kedaulatan rakyat yang cocok untuk Indonsia itu sebenarnya seperti apa. Umumnya, jarang yang sadar, bahwa Pilpres dan Pilkada langsung sudah membelah persatuan kita. Mungkin ini maunya asing. Sistem ini ada yang menyukai, utamanya Parpol, karena diuntungkan. Hanya Parpol yang punya hak usung calon Presiden dan Wapres. Tetapi bagi kepentingan bangsa dan negara jelas merugikan, khususnya terhadap Persatuan Indonesia, tidak dihitung. Semar : Seratus untuk Bagong. Cara melaksanakan kedaulatan rakyat yang cocok dengan budaya kita adalah musyawarah perwakilan. Jangan dikira “founding fathers” kita tidak ngerti sistem-sistem barat itu. Bapak bangsa kita ngerti, tetapi tidak milih demokrasi barat, karena bisa merusak budaya kita. Kalian pasti mengamati, sejak ada Pilpres dan Pilkada langsung, sosial budaya kita rusak. Ketidakjujuran dan ketidakadilan menjamur. Orang mudah bohong, memfitnah, mencaci, umbar kebencian, tidak ada toleran, korupsi, dan radikal. Bukan saja rakyat kecil, pejabat dan kelas menangah ke atas pun ikut melakukan. Perpecahan terjadi tidak saja di keluarga, tetapi juga di RT, RW, organisasi-organisasi, masyarakat luas, dan lain-lain. B : Apa yang diomongkan Romo benar. Kondisi sosial budaya kita sebelum Pilpres langsung tidak seperti ini. Padahal Persatuan Indonesia itu sangat penting bagi kehidupan kita. Persatuan yang dibangun susah payah untuk melawan penjajah, sekarang mudah dirusak, akibat salah pilih cara pemilihan Presiden. G : Tapi anehnya, elite politik kok malah berpikir akan mendahulukan bikin GBHN dibanding mencari penyebab rusaknya sosial budaya, dan mancari jalan keluar agar Persatuan Indonesia tidak koyak ya? Semar : Romo juga heran. Untuk apa mendahulukan GBHN, tetapi persatuan terbelah? Pembangunan itu memerlukan persatuan dan stabilitas dalam segala bidang. Makanya cita-cita nasional, “Persatuan” itu nomor dua setelah merdeka. Mestinya cara berpikirnya tidak sepotong-potong, tetapi harus komprehensif dan integral dalam sebuah sistem. G, P, B : Haa… apa itu Romo? Nalarnya bagaimana? Semar : Gampangnya begini tole anakku. Kalian kalau mau mendirikan rumah kan bikin podasi dulu. Nah, ketika kita akan mendirikan negara Indonesia merdeka, para “founding fathers” pertama-tama juga mencari, menyusun atau membuat pondasi negara yang disebut “Dasar Negara”. Romo tidak akan ngulangi prosesnya ya. Kalian sudah ngerti bukan? B : Betul. Bagong ingat, Romo pernah cerita. Bagong juga baca beberapa literatur yang memberikan penjelasan, nilai-nilai dalam Pancasila itu bersumber dari budaya bangsa. Buku tulisan Yudi Latif : “Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”. Juga buku Prof. Dr. H. Kaelan, M.S. : “Filsafat Hukum Pancasila dan Semiotika Hukum Pancasila” dan bukunya Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari : “Rekonstruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945” memberikan gambaran yang jelas tentang Pancasila. Semar : Wouuw… kamu hebat Bagong. Romo ngaku kalah. Mata Romo sudah tak tahan baca. B : He he he…. Tetapi lanjutannya Romo saja. Semar : Baik tole anakku. Setelah dasar negara Pancasila disepakati, selanjutnya nyusun Hukum Dasar atau Undang-Undang Dasar, yang dikenal dengan UUD 1945. Nah, pasal-pasal UUD 1945 itu merupakan jabaran dari nilai-nilai Dasar Negara, Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945. Kalau Bung Karno mengenalkan Sila keempat Pancasila sebagai Demokrasinya Indonesia, maka pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar ya harus ngikuti nilai-nilai tersebut bukan? Coba bayangkan, kalian bikin rumah dengan pondasi gaya Betawi. Tetapi di atasnya kalian bangun gaya Spanyolan, bisa nggak? Kuat nggak? Tentu mudah roboh karena arsitektur bangunan beda dengan pondasinya. G, B, P : Ha ha ha… karena Romo tidak punya gelar profesor doktor, njelasinya ya gaya Warung Tegal. Lugas, gamblang, murah dan kenyang. Romo tidak pakai istilah demokrasi barat, demokrasi liberal, “one man one vote” yang invidualistis, sehingga gamping bangiit, saya menerimanya. Semar : Kalau GBHN disusun MPR, berarti perlu legalitas. Padahal MPR saat ini tidak punya produk hukum lagi. Ketetapan MPR sudah tidak ada lagi. Agar Presiden tunduk untuk melaksanakan GBHN dari MPR, berarti Presiden harus “Mandataris MPR”. Padahal Parpol masih suka Pilpres dipilih langsung rakyat, jadi mana mungkin? Belum lagi soal siapa anggota MPR saat ini. Anggota DPR plus DPD, nyaris orang-orang Parpol semua. Semua anggota melalui pemilihan yang sarat dengan “money politic”. Tidak ada Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagaimana ciptaan “founding fathers”. Sehingga keterwakilan rakyat tidak tampak. MPR bukan lagi sebagai representasi rakyat Indonesia. Dengan demikian, jika sistem masih menggunakan demokrasi liberal, maka yang kuat itu yang menang. Pemilik modal atau kapitalis yang menang. Tidak menutup kemungkinan para konseptor GBHN adalah jago-jagonya kaum kapitalis. Mereka akan leluasa mendikte, pembangunan apa yang mereka inginkan. Karena mereka sudah menguasai lahan dan tambang (misalnya). Mereka bisa saja mendikte untuk memindahkan Ibu kota Negara, Propinsi ataupun Kabupaten. Mereka bisa mendikte memindahkan ataupun membuat lapangan terbang dan pelabuhan yang bisa mendukung kepentingannya. Semua tersusun dalam GBHN dengan argumentasi yang cantik, sehingga bisa diterima, walaupun tentu ada yang mengkritisi. Tetapi apalah artinya kritik, jika sistem sudah dikuasai pemilik modal. Apalah artinya GBHN yang disusun MPR itu, jika Presiden bukan Mandataris MPR. Apakah akan dipaksakan? Pemaksaan Presiden yang bukan Mandataris MPR untuk melaksanakan GBHN produk MPR, jelas itu penyimpangan dari pemahaman Presidensial, dimana Presiden dipilih rakyat langsung. Dalam sistem Presdiensial, pembangunan didasarkan visi dan misinya Presiden, walaupun hanya dipilih 50 % plus 1 orang. B : Waduh… apakah yang disampaikan Romo tersebut yang akhirnya angin sepoi-sepoi MPR akan bikin GBHN maju mundur, terus macet? Semar : Bagong anakku cah bagus, Romo ora ngerti opo sebabnya. Penjelasan Romo tadi, pendapat Romo saja. Romo hanya ingin membandingkan dengan pemikirannya “founding fathers” yang runtut seperti ini. Setelah Dasar Negara ditetapkan, nilai-nilainya melandasi sistem ketatanegaraan ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR (Ps. 1 ayat 2). Siapa MPR? MPR representasi rakyat Indonesia, anggotanya diatur (Ps.2 ayat 1). Bagaimana rakyat bisa menyalurkan keinginan membangun negara untuk kesejahteraan? MPR diberi kewenangan menetapkan GBHN (Ps. 3). GBHN tentu ada yang menjalankan. Siapa? Ya Presiden. Dalam “Sistem Pemerintahan Negara” ditentukan Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawahnya MPR. Kemudian dalam “Kekuasaan Pemerintahan Negara”, kekuasaan dan kewenangan Presiden, cara pemilihan Presiden, semua diatur dalam Pasal 4, 5, dan 6 UUD 1945. Inilah yang disebut dengan “Sistem Pemerintahan Sendiri” atau Sistem Pemerintahan MPR. Prijanto dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) lebih suka menyebut dengan Sistem Pemerintahan Pancasila. Mengapa, karena dilandasi nilai-nilai Pancasila. Negara lain memakai sistem Parlementer, Presidensial atau kombinasi keduanya, silakan saja. Kita harus bangga dengan milik dan cara sendiri. Baca : (https://rmol.id/read/2021/02/06/473938/menepis-pendapat-amien-rais-bagian-6-soal-presiden-memegang-kekuasaan-membentuk-undang-undang) (Google) B : Romo hebat. Rasa nasionalisme Romo seperti “founding fathers”. Saat ini, sulit dicari tandingannya. Lanjutken Romo. Semar : Sehingga pertanyaan kritisnya “Mengapa hanya GBHN yang dipikirkan”? Konon kata petinggi Parpol, masalah Pilpres secara langsung tunda dulu. Ini kan pikiran yang sifatnya sektoral. Apa karena Pilpres secara langsung memberi kenikmatan Parpol, sehingga ditunda dan dibiarkan? Padahal Pilpres secara langsung merusak Persatuan Indonesia. Seharusnya semua berpikir komprehensif dan integral. Tinggalkan kepentingan kelompok dan golongan, menatap ke depan demi bangsa dan negara. Persatuan Indonesia adalah utama, GBHN dari MPR sangat diperlukan, Presiden sebagai Mandataris MPR agar bisa melaksanakan amanat GBHN syarat utama. G : Sore ini Romo panjang banget ceritanya. Biasanya kalau ditulis paling 900-an kata. Tetapi sore ini lebih dari 1600 kata. G, P, B : Terima kasih Romo atas penjelasannya. Semar : Romo juga terima kasih, kalian mau mendengarkan. Semoga ngerti dan bermanfaat. Insya Allah, aamiin. Penulis adalah Aster Kasad 2006-2007/Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Heuristika Hukum Menjawab Tantangan Berhukum Indonesia
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN - Konsep heuristika hukum merupakan suatu lompatan berpikir yang cerdas dan mengagumkan. Konsep ini sangat futuristik, holistik dan menukik di tengah kebekuan penarapan hukum normatif yang tidak menjawab rasa keadilan masyarakat hari ini. Gagasan besar dari Yang Mulia Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH. tentang Heuristika hukum bisa memecahkan kebekuan dan kekakuan hukum kekinian. Kekauan dan kebekuan yang terkesan lamban dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman. Ide dan gagasan heuristika hukum merupakan buah dari pemikiran Yang Mulia Ketua Mahkaham Agung H.M Syarifuddin selama menyelami dan menjiwai dunia berhukum sebagai hakim kurang lebih 35 tahun. Ketua Mahkamah Agung ini menyadari betul ada problematika klasik dalam penegakan hukum korupsi yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas. Tidak saja dalam dunia akademis, melainkan juga dalam dunia praktik hukum. Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari ketentuan hukum normatif dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Terutama yang berkaitan dengan penafsiran terhadap ketentuan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Kedua pasal ini memberikan ruang penafsiran yang sangat leber kepada penegak hukum, termasuk para hakim untuk menentukan besaran dan lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Penegakan hukum korupsi di Indonesia terkadang sangat kaku. Bahkan kurang memberi rasa keadilan dan kemanfaatan hukum kepada para pihak. Kenyatan ini sebagai akibat dari model penafsiran hukum oleh hakim yang ansih hanya bersifat legalistik formal semata. Hakim terkesan sangat kaku. Malah tidak berani keluar dari pakem normatif formalisitk. Hakim tidak berani tampil out of the box dalam penjatuhan sanksi pidana di pengadilan. Yang di dunia peradilan dikenal dengan istilah Judicial Aktivism. Oleh karena itu, sudah sangat tepat ajakan dari Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin kepada teman-teman sejawatnya sesama hakim, agar jangan terpaku pada aturan normatif semata. Hakim harus berfikir secara holistik dan progresif dalam mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan demi mewujudkan keadilan sejati. Keadilan yang tidak hanya bermanfaat untuk manusia dan pencari keadilan di dunia. Tetapi juga bermanfaat untuk hakim ketika di depan pengadilan Allah Subhaanahu Wata’ala. Sebab semua putusan hakim ada pertanggungjawaban di depan pengadilan akhirat. Ajakan dari Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin ini sejalan dengan karekter dan prinsip-prinsip pemidanaan dari Yang Mulai Hakim Syuraih, seorang hakim yang sangat terkenal dalam sejaraah peradaban Islam. Yang Mulia Hakim Syuraih terkenal di masa Khalifah Umar Bin Khatab Radiallahu Anhu sampai dengan Khalifah Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung menuangkan konsep heuristika hukum dalam pidatonya saat pengkuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Konsep ini sebagai terobosan penting dan strategis. Heuristika ini adalah bentuk lain ijtihad seorang dalam membuat keputusan. Konsep heuristika hukum baru terdengar sebagai sebuah motode di jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Khususnya dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi. Namun ini merupakan suatu lompatan berfikir yang futuristik untuk memecahkan kekakuan dan kebekuan hukum normatif, yang terkesan lamban dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman. Yang mulia Prof. Dr. Syarifuddin sudah sangat tepat dengan dan layak dengan konsep heuristika hukum. Apalagi sebagai orang yang menduduki puncak pimpinan tertinggi di Lembaga Peradilan Indonesia. Tentu saja konsep ini berangkat teori dan pengalamannya selama menjadi hakim. Konsep heuristika juga lahir dari pergolakan pemikiran secara teoritis. Tujuan dari konsep heuristika hukum adalah memberikan solusi bagi kebuntuan hukum normatif yang ada saat ini. Kebuntuan yang banyak dialami para hakim. Kebuntuan yang terkadang tidak mampu untuk menyelesaikan masalah hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam rangka memberikan layanan keadilan bagi para pencari keadilan di pengadilan. Konsep heuristika hukum ini lahir dari pergolakan batin Yang Mulia Prof Dr. Syarifuddin yang panjang sebagai seorang hakim, yang mengedepankan hati nurani. Pergolakan batin dalam menjatuhkan putusan untuk menegakan hukum dan keadilan secara substantif. Keadilan tanpa mengesampingkan aspek kepastian dan kemanfaatan hukum. Karena menjadi sesuatu yang baru di Indonesia, maka konsep heuristika hukum perlu disosialisasikan dan dibedah melalui forum-forum diskusi ilmiah di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Tujuannya, agar konsep ini bisa diuji eksistensinya. Terutama dalam rangka menjawab problem penegakan hukum, khususnya di lembaga peradilan. Sebagai sebuah gagasan, sudah tentu pasti terjadi pro dan kontra. Namun pro-kontra adalah hal yang wajar di kalangan akademisi. Pro-kontra yang tentu saja untuk menambah dinamika dan dialektika wajah hukum Indonesia. Juga untuk memperkaya intelektual seiring lahirnya konsep heuristika hukum. Dalam pidatonya, Ketua Mahkamah Agung, Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin mangatakan tantangan penegakan hukum adalah dalam hal disparitas pemidanaan. Lebih spesifik lagi dalam contoh kasus putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum yang sama maupun adanya kesamaan pada unsur-unsur tindak pidana korupsi. Namun tetap saja terdapat kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas terkait adanya disparitas pemidanaan tersebut dalam putusan hakim. Disparitas ini menyebabkan terjadinya degradasi bagi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai putusan pengadilan yang dianggap tidak konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, kenyataan ini semakin melebarkan jarak antara ekspektasi masyarakat terhadap putusan hakim dan tujuan hukum. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Revisi UU ITE, Seriuskah Presiden Jokowi
PRESIDEN Joko Widodo menyatakan pemerintah akan melakukan revisi UU Informasi Transaksi Eltronik (ITE). UU tersebut selama ini dianggap sangat merugikan. Membuat rakyat makin takut melakukan kritik kepada pemerintah. Ada kesan yang sangat kuat, UU itu selama ini digunakan untuk membungkam kelompok-kelompok kritis. Lawan pemerintah. UU ITE juga menjadi etalase betapa UU itu diterapkan secara tidak adil. Tajam kepada kelompok oposisi. Tumpul kepada para pendukung kekuasaan. Sebagai langkah awal, Presiden meminta Polri lebih selektif dalam menerapkan UU tersebut. Tidak semua pengaduan harus diproses. Apalagi bila si pengadu tak ada kaitannya. Bukan mereka yang secara langsung dirugikan. Kapolri sendiri bertindak cepat. Dia meminta Kapolda dan Kapolres untuk segera membuat pedoman. Intinya Polri akan mengedapankan restorative justice. Musyawarah antara yang merasa dirugikan dengan yang merugikan. Kasus itu juga berupa delik aduan. Jadi yang merasa dirugikanlah yang harus melaporkan. Selama ini semua kritik terhadap rezim penguasa, selalu dilaporkan oleh mereka-mereka yang dikenal sebagai spesialis pelapor. Semua laporan itu langsung diproses polisi. Sebaliknya laporan terhadap para pendukung pemerintah tidak pernah ditindaklanjuti. Sebelum menyampaikan niatnya untuk merevisi UU ITE, Presiden Jokowi sudah menyatakan keinginannya agar masyarakat lebih banyak menyampaikan masukan dan kritik kepada pemerintah. Respon dari publik tak seperti diharapkan pemerintah. Banyak yang menganggap permintaan Presiden sebagai lelucon yang tidak lucu. Namun, tampaknya pemerintah ingin menunjukkan keseriusannya. Presiden Jokowi kemudian menyampaikan wacana adanya revisi UU ITE. Sebagai bukti keseriusannya ketika bertemu dengan pemimpin sejumlah media di Istana Rabu (17/2) Presiden Jokowi menyatakan sudah memerintahkan Menkuham untuk menyiapkan draft revisi. Seperti gayung bersambut, semua fraksi di DPR menyambut baik. Mereka memahami masyarakat sudah jenuh dengan aksi saling lapor. Tentu kita menyambut baik itikad dari pemerintah. Sejak awal, kita mendorong pemerintah untuk segera turun menghentikan perpecahan di tengah masyarakat. Yang sangat mengkhawatirkan, ada kesan kuat justru pemerintah lah yang menjadi bagian dari perpecahan itu. Pemerintah memeilihara para buzzer dan para pelapor sebagai senjata menghadapi kelompok kritis dan oposisi. Seperti dua anjing penjaga yang siap menyalak, manakala majikannya ada yang mengganggu. Revisi UU ITE diharapkan menjadi tahap awal. Bahwa pemerintah serius untuk kembali merekatkan ikatan bangsa yang terpecah belah, pasca Pilpres 2019. Bila dibirakan berlarut, bisa terjadi Balkanisasi. Indonesia bisa terpecah belah seperti negara-negara eks Yugoslavia. Revisi UU ITE hendaknya diikuti dengan berbagai langkah demokratisasi lainnya. Revisi UU Pemilu, penghapusan ambang batas pencalonan presiden 20%. Pembatalan UU Omnibus Law, UU Stabilitas Keuangan Nasional, UU Minerba, dan berbagai perundang-undangan lain yang dilahirkan secara tidak demokratis. Sangat jelas pandemi Covid-19 dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Kelompok oligarki menyelundupkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang hanya menguntungkan mereka. Kita mendorong Presiden Jokowi untuk terus mengembalikan proses demokratisasi ke jalur semula. Tugas itu tidak mudah. Di tengah ketidak percayaan masyarakat yang begitu meluas di satu sisi. Dan kepentingan oligarki yang mencengkeram erat-erat kekuasaan. Tunjukkan bahwa kali ini sebagai Presiden Anda bersungguh-sungguh. punya niat baik. Bukan seorang Presiden yang sering menebar harapan palsu. Sebuah citra yang selama ini melekat erat pada Presiden Jokowi. Sebagai Presiden Anda masih punya waktu untuk membuat sebuah warisan. Menyelamatkan demokrasi yang tengah dibajak oligarki. **
Pemerintahan Jokowi Semakin Lemah?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN- Meski sulit mempercayai begitu saja ucapan Presiden, namun ada fenomena yang ada patut mendapat pencermatan. Dua hal yang menarik pernyataan dari pemerintahan Presiden Jokowi belakangan ini. Pertama, permintaan agar masyarakat banyak melakukan kritik yang keras kepada pemerintah. Kedua, pengusulan agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Informatika dan Tekonologi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008. Rupanya Presiden kalayu sadar bahwa UU ITE telah banyak ditafsirkan salah oleh aparat penegak hukum di lapangan. Polisi asal main tangkap, dan menetapkan orang sebagai tersangka. Urusan benar-salah, itu belakangan. Yang penting tangkap, tangkap dan tangkap saja dulu. Itu terlihat pada penangkapan disertai penetapan tersangka kepada Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana, Ustazah Kingkin dan kawan-kawan. Membuka pintu kritik dan revisi UU ITE positifnya adalah terjadi proses demokratisasi yang meluas di masyarakat. Namun yang masih menjadi pertanyaan besar adalah, apakah kenyataan ini sebagai pertanda paradigma baru bahwa kepemimpinan Presiden Jokowi yang percaya diri dan semakin kuat? Atau hanya cermin bahwa Pemerintah semakin lemah ? Sejak menjabat Presiden untuk periode kedua, situasi ekonomi dan politik terasa semakin berat. Penanganan seperti tak terarah. Apa yang dirasakan dan menjadi kegelisahan rakyat selalu dicoba untuk ditutupi. Pandemi Covid 19 berefek pada hutang yang semakin membengkak, investasi mandeg, serta pertumbuhan ekonomi yang negatif. Kasus Habib Rizieq Shuhab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI) yang berujung pada tuduhan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Demikian juga dengan penahanan terhadap para tokoh dan aktivis yang bernuansa politik. UU ITE menjadi alasan atas pelanggarannya. Namun korupsi terus terkuak. Mulai dari Jiwasraya, Asabri, BPJS Tenaga Kerja hingga Bantuan Sosial (Bansos) Covid 19. Desakan untuk mundur serta pemakzulan akibat ketidakmampuan melaksanakan teta kelola negara yang baik dan benar menjadi wacana dan tuntutan publik. Sementara Presiden nampak terus kesulitan memacu kerja dan mengendalikan kabinetnya. Para menteri anggota kabinet seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa visi yang jelas. Apalagi prestasi segala. “Jauh panggang dari api”, kata orang tua-tua dari kampung-kapung. Pemborosan dan kebocoran keuangan terjadi hampir di semua anggaran Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Deparetemen. Sehingga membuka pintu kritik yang dilempar Presiden tanpa dibarengi oleh pembebasan tahanan politik adalah omong kosong semata. Hanya janji, seperti janji-janji lain, yang tidak bisa direalisasikan Presiden Jokowi. Revisi terhadap UU ITE pun ditanggapi beragam. Ada yang setuju ada pula yang mendorong dicabut saja. UU ITE dinilai sama dengan UU Anti Subversi. Di tengah pengelolaan negara yang semakin berantakan, maka sikap akomodatif pada aspirasi rakyat adalah suatu keniscayaan. Pilihan ini hanya untuk menopang langkah Pemerintah terlihat yang semakin melemah dari hari ke hari. Sebaliknya, jika kritik dan revisi terhadap UU ITE hanya merupakan permainan politik, maka langkah lemah itu justru akan menambah goyahnya pemerintahan. Sehingga akhirnya ambruk tak bisa tertolong. Butuh pembuktian dan itikad baik. Caranya dengan membuka pintu kritik dan revisi UU ITE adalah langkah serius untuk melanjutkan dengan demokratis lain, seperti pembebasan aktivis yang kritis. Begitu juga dengan perubahan kinerja aparat penegak hukum ke arah yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Tanpa ada langkah demokratis lanjutan, maka membuka pintu kritik dan revisi UU ITE hanya merupakan bualan politik dan sandiwara babak berikutnya saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Lepas Radikalisme, Din Syamsudin Bakal Dibidik via KAMI?
By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Saat kasus “radikalisme” Din Syamsudin sedang ramai diberitakan, dalam sidang terdakwa Deklarator KAMI Syahganda Nainggolan, nama Din Syamsudin dan Abdullah Hehamahua dimunculkan oleh ahli digital forensic Bareskrim Polri, Herman Fransiskus. Herman dihadirkan jaksa dalam sidang kasus penghasutan demo berujung ricuh di Jakarta dengan terdakwa Syahganda Nainggolan. Herman mengungkapkan isi chat Din Syamsuddin hingga Abdullah Hehamahua dalam grup WhatsApp (WA) 'Deklarator KAMI'. Seperti dilansir Detik.com, Kamis (18 Feb 2021 18:48 WIB), awalnya, jaksa Paris Manalu meminta Herman mencarikan chat dari 3 nomor handphone yang tergabung dalam grup WA 'Deklarator KAMI'. Dari hasil pencarian nomor yang disebutkan jaksa, ditemukan 3 nama, yakni 'Hehamahua KAMI', 'Din Syamsudin', dan 'Nina Bahri ketemu di Bawaslu'. Sebelumnya, barang bukti digital ini diambil dari handphone milik Syahganda yang bertindak sebagai admin grup. Kembali ke hasil pencarian, saksi ahli menemukan beberapa chat dari nomor Hehamahua. Salah satu isi chat itu, sebut Herman, memuat saran agar KAMI membentuk tim kecil guna menemui Presiden Joko Widodo. “Jadi, saya meminta supaya ahli mencari dari nomor HP 085882359*** untuk ditampilkan dan saudara ahli menjelaskan apa isinya,” ujar jaksa Paris dalam persidangan di PN Depok, Jawa Barat. Herman menyebut, jika misalkan ia search dari nomor tersebut, ada di (BAP) 382, nomor tersebut mengirimkan chat di dalam WhatsApp tersebut dengan kata-kata (sebagai berikut),” balas Herman. Herman kemudian membacakan isi chat Hehamahua berisi saran pembentukan tim kecil oleh Presidium KAMI. Salah satu pesannya adalah rencana meminta Jokowi mundur apabila terjadi kericuhan demo seperti pada 8 Oktober 2020 di Jakarta. “Saran: Kalau besok terjadi kondisi seperti tanggal 8 Oktober 2020 atau lebih parah, maka Presidium membentuk Tim Kecil (sekitar 7 orang) untuk menemui Presiden guna meminta beliau mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan ke Wakil Presiden.” “Wakil Presiden bertugas untuk berkoordinasi dengan MPR dalam menyiapkan sidang umum istimewa MPR untuk antara lain menetapkan kembali ke UUD 45 asli,” ungkap Herman saat membacakan chat Hehamahua di BAP. “Untuk maksud tsb, perlu ada pembagian tugas di antara Presidium, Komite Khusus dan Komite Eksekutif dan melobi beberapa pihak mengenai hal tsb. Misalnya, Pak Gatot melobi Pak Moeldoko, Pak Din melobi KH Ma'ruf Amin dan Pak Rachmat melobi Pak Mahfud MD,” ujar Herman. “Saya insya’ Allah akan melobi Ketua MPR. Pak Bachtiar bisa melobi Menko Ekonomi. Demikian dan terima kasih. Itu pada tanggal 12-10-2020 pukul 05.23.42 PM,” lanjutnya, mengutip isi chat tersebut. Herman kemudian membacakan lagi dua chat lain dari Hehamahua di grup itu. Chat tersebut berisi soal gerakan mahasiswa dan rekrutmen anggota KAMI yang asal comot. “Maaf saya keliru. Cuma, setahu saya, gerakan mahasiswa sejak 65, 74, 77, dan 98 semuanya adalah gerakan moral dan berhasil melengserkan Soekarno dan Soeharto,” ujar Herman kala membacakan chat kedua. “Maaf, memang kurang taktis. Cuma, saya tidak pernah menjadi orang munafik dalam berjuang sejak mahasiswa. Satu pelajaran yang saya petik di grup ini, ternyata rekrutmen anggota pendukung KAMI dan peserta grup WA ini, tidak secure alias asal comot,” lanjutnya membacakan chat ketiga dari Hehamahua. Herman tidak menjelaskan soal konteks chat tersebut. Dia hanya diminta jaksa menjelaskan isi chat dari hasil pencarian nomor yang ternyata memunculkan nomor milik 'Hehamahua KAMI'. Selain itu, jaksa meminta saksi ahli menjelaskan isi chat dari nomor 'Nina Bahri ketemu di Bawaslu' dan Din Syamsudin. Herman membacakan chat Din di grup 'Deklarator KAMI' soal permintaan agar pendukung KAMI untuk menahan diri melihat situasi saat itu. “Dear all, sehubungan dengan dinamika dan eskalasi situasi dan sdh mulai ada gerakan mendeskreditkan KAMI. Diminta kpd semua utk dapat menahan diri,” ucap Herman membacakan bagian chat Din. Dalam sidang ini, terdakwa Syahganda Nainggolan hadir secara virtual. Selaku hakim ketua adalah Ramon Wahyudi, sementara penasihat hukum dipimpin Abdullah Alkatiri. Tim jaksa dihadiri Putri Dwi Astrini, Syahnan Tanjung, Paris Manalu, dan Maylany Wuwung. Dalam perkara ini, Syahganda Nainggolan didakwa menyebarkan berita bohong terkait kasus penghasutan demo menolak omnibus law yang berujung ricuh di Jakarta. Ia didakwa melanggar Pasal 14 ayat 1 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam pasal ini, Syahganda terancam pidana penjara 10 tahun. Adakah pengungkapan chat Din Syamsudin di grup ‘Deklarator KAMI’ itu bakal dijadikan “pintu masuk” untuk menyeret mantan Ketum PP Muhammadiyah ini setelah manuver GAR ITB yang melaporkan Din ke KASN dianggap “gagal”? Apalagi, belakangan muncul dan beredar “Laporan Keuangan Proyek DinS dari GAR ITB Tanggal 1 Februari 2021” di medsos dengan rincian penggunaanya, dan asal dana pemasukan “Proyek DinS” tersebut. Pemasukan Proyek: Donasi individual dari 71 orang alumni ITB Rp 41.834.579,00; Donasi komunitas dari para alumni ITB Angkatan 1973 Rp 8.451.082,00; Pendapatan bunga tabungan Rp 35.399. Jumlah total pemasukan proyek sekitar Rp 50.000.000,00. Pengeluaran Proyek di antaranya: Biaya pasang dan penjagaan spanduk PECAT DS tgl 9 Juni 2020: Rp 5.260.000,00; Biaya 3 buah papan “Dukung Brimob Polri” tgl 12 Des 2020: Rp 2.850.000,00; Biaya 1 buah papan bunga “Dukung Mengkopolhukam” tgl 30 Des 2020: Rp 1.300.000,00; Biaya pasang 4 buah spanduk "GAR Dukung Unpad" tgl 5-6 Jan 2021: Rp 2.000.000,00; Biaya 1 buah papan bunga “Dukung Program Vaksinasi” tgl 13 Jan 2021: Rp 1.400.000,00; Biaya rilis & Surat GAR kpd Satgas SKB-11 Menteri tgl 19 Jan 2021: Rp 1.408.000,00; Biaya operasional delegasi GAR ke Menteri PAN-RB tgl 21 Jan 2021: Rp 645.000,00; Biaya rilis & kirim Surat GAR kpd KASN ttg DinS tgl 28 Jan 2021: Rp 1.300.000,00; Biaya 1 bh papan bunga "Dukung SE Menpan RB" tgl 29 Jan 2021: Rp 850.000,00; Biaya media release Surat GAR kepada KASN ttg DinS tgl 30 Jan 2021: Rp 1.000.000,00. Jumlah Biaya Langsung: Rp 34.586.600,00; Jumlah Biaya Tak Langsung: Rp 964.079,89. Jumlah Total Pengeluaran Proyek: Rp 35.550.679,89; Saldo Dana Proyek DinS Terakhir: Rp 14.770.380,59. Melansir KOMPAS.TV, Juru bicara Gerakan Anti Radikal (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) Shinta Madesari membantah, menuding mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai sosok radikal. “Kami tidak menuduh Pak Din radikal. Teman-teman di Muhammadiyah belum baca detil laporannya, jadi ambil kesimpulan masing-masing," kata Shinta saat diwawancara "Kompas Petang" di Kompas TV, Sabtu (13/2/2021). Shinta juga mengatakan bahwa laporannya sudah masuk ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). “Ya jadi nanti yang memutuskan KASN. Mau ditindaklanjuti atau tidak,” katanya pasrah. Sebelumnya, GAR Alumni ITB melaporkan Din Syamsuddin ke KASN, dalam surat nomor 05/Lap/GAR-ITB/X/2020 pada 28 Oktober 2020, perihal Laporan pelanggaran Disiplin PNS atas nama Terlapor Prof. Dr.. H.M. Sirajuddin Syamsuddin, MA, PhD. Dan, surat nomor 10/Srt/GAR-ITB/I/2021 pada 28 Januari 2021, perihal Hukuman disiplin PNS a/n Prof. Dr. H.M. Sirajuddin Syamsuddin, MA, PhD. Ada enam poin laporan GAR Alumni ITB ke KASN. 1. GAR menganggap Din bersikap konfrontasi terhadap lembaga negara dan keputusannya. Peristiwa ini dicatat GAR ITB pada 29 Juni 2019; 2. Din dicap mendiskreditkan pemerintah, menstimulasi perlawanan pada pemerintah, berisiko terjadinya proses disintegrasi bangsa; 3. Din dituding melakukan framing menyesatkan kepada pemahaman masyarakat umum. Ia berupaya mencederai kredibilitas pemerintahan RI yang sah; 4. GAR ITB menyoal posisi Din sebagai PNS yang menjadi pemimpin kelompok yang beroposisi pada pemerintah. Hal ini terjadi saat deklarasi KAMI pada 18 Agustus 2020; 5. Din dinilai telah menyebarkan kebohongan, fitnah, dan mengagitasi publik agar bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah; 6. Din dituding berupaya mengeksploitasi sentimen agama. Menkopolhukam Mahfud MD membenarkan ada sekelompok alumni ITB menemui Menpan RB Tjahjo Kumolo. Namun, lanjutnya, Tjahjo hanya mendengarkan saja.“Pemerintah tidak menindaklanjuti laporan itu, apalagi memproses,” kata Mahfud, Sabtu (13/2/2021). *** Penulis wartawan senior FNN.co.id
Ikhtiar Menemukan Keadilan Humanitas (Bagian-2)
Tulisan ini adalah bagian kedua dari catatan akademis singkat terhadap buah pikiran Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH., teman sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, terkait pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Universitas Diponegoro, dengan judul “Pembaruan Sistem Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern : Pendekatan Heurestika Hukum”. by Prof. Dr. Syaiful Bahri SH. MH. Jakarta FNN – Prof. Dr. M. Muhammad Syarifuddin SH. MH meyakini bahwa Heuristika dapat diimplementasikan dalam hukum. Sebab hukum adalah sistem yang dinamis dan bersegi banyak. Dinamis dalam arti bahwa hukum senantiasa berubah dan bergerak mengikuti perkembangan zaman. Hukum selalu mengikuti kebutuhan berhukum di masyarakat. Bersegi banyak berarti hukum bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal. Sebaliknya, hukum terbentuk dan berdinamika sedemikian rupa. Karena dipengaruhi oleh faktor-faktor di luarnya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, psikologi, dan agama (Syarifuddin, 2021: 22). Dalam mengimplementasikan gagasan tersebut, pandangan saya sebagai kolega yang bersangkatan adalah terletak pada hakim itu sendiri. Hal ini menyangkut isyu tentang kemandirian hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Terutama dalam menjatuhkan putusan hakin yang berkaitan erat dengan pidana dalam perkara-perkara korupsi. Pemidanaan bermaksud untuk menegakkan kemaslahatan, perdamaian, serta kebahagiaan untuk seluruh manusia. “Tidaklah seseorang yang berdosa akan memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum, hingga Kami utus Rasul terlebih dahulu” (Q.S. 17 ayat (15). Pidana sebagai nestapa yang dikenakan negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang. Pidana dijatuhkan secara sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Ukuran kenestapaan pidana yang patut diterima oleh seseorang merupakan persoalan yang tidak terpecahkan. Pidana baru dirasakan secara nyata apabila sudah dilaksanakan secara efektif. Tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana tetapi dengan jalan menggunakan tindakan-tindakan (Saleh, 1983: 9). Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sekunder, yakni apakah perbuatan pidana itu betul-betul harus dijatuhi hukuman. Karena secara primer hukum pidana, berguna untuk menginsafkan perbuatan yang keliru agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hukum pidana terkandung asas kemasyarakatan dan perikemanusiaan yang merupakan sendi-sendi negara kita. Itu berarti perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, laksana dua mercusuar yang memancarkan sinarnya di atas samudera yang gelap dan berbahaya. Sehingga para pelayar dalam menuju pangkalannya diharapkan tiba dengan selamat dan berbahagia. Karenanya dua pangkal sinar itu harus selalu diawasi dan diikuti. Sebab jika tidak, bukan kebahagiaan yang akan dialami, sebaliknya kesengsaran dan kesewenang-wenangan (Moelyatno, 2008: 27). Setiap pemidanaan yang dijatuhkan oleh peradilan, dengan aktor utamanya adalah hakim pidana, selalu mendapatkan perhatian di masyarakat. Terutama terhadap tingkat kepuasan dan keseriusan dari pemidanaan tersebut. Apakah suatu alat pembalasan ataukah alat pembinaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam warna warni “keadilan” yang dimaknainya. Disinilah pertemuan pemikiran falsafah Pancasila sebagai pengendali emosi dan hasrat keadilan di relung paling dalam dan suci dari para hakim pidana dalam memberikan kemuliaannya. Menilai peristiwa konkrit dengan tulus ikhlas. Tanpa adanya tanpa muatan-muatan apapun. Hanya dengan hasrat keadilan, hakim dapat membenarkan putusan-putusan pemidanaannya (Bakhri, 2016 : 4). Dalam budaya hukum pidana barat, hakim pidana, karena kepercayaan yang diberikan padanya, menikmati kewenangan yang cukup luas. Kewenangan yang berkenaan dengan penetapan hukuman. Kebebasan itu tidak hanya terhadap pilihan-pilihan bentuk pemidanaan semata. Namun juga terhadap berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Patokan berat ringannya pemidanaan, berdasarkan pada patokan tentang tingkat keseriusan dari perbuatan. Juga latar belakang situasi dan kondisi yang melingkupi pelaku ketika melakukan tindak pidana. Karena itu sangat mendapatkan perhatian tentang sejumlah panduan, atau berkaitan dengan sejumlah ciri-ciri yang terkait dengan kejahatan tersebut. Hakim dapat menyimpangi ketentuan perundang-undangan, dengan memberikan alasannya (Kelk, 2012: 69). Tidak ada batas yang jelas atas kebebasan yudisial, bukan berarti hakim tidak terikat dengan peraturan. Tetapi dalam arti kreasinya, hakim menafsirkan bunyi undangundang dan menilai fakta dalam kerangka menyusun nalar hukum. Putusan yang tidak adil, tidak manusiawi dan sebagainya, yang konotasinya bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan harapan masyarakat, secara teknis tercakup dalam kategori salah dalam menerapkan hukum. Hakim bisa salah. Tetapi hakim dengan keyakinannya dapat menilai relevansi, signifikasi dan realibiltas fakta, serta bukti untuk menentukan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa pidana. Sehingga hakim dalam menentukan hukuman, apakah mengukum atau membebaskan dari segala dakwaan (Asmara, 2011: 11). Jaminan yang diberikan kepada seorang hakim, sangatlah penting keberadaannya. Penting guna tercapainya tujuan hukum, dalam hal ini hukum pidana dan ruang lingkup sistem peradilan pidana. Kebebasan hakim didasarkan kepada kemandirian dan kekuasaan kehakiman di Indonesia, telah dijamin dalam konstitusi Indonesia. Independensi hakim diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan negara lainnya. Kebebasan dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak ekstra yudisiil, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan undang-undang. Mengenai penyelenggaraan pengadilan, walaupun kekuasaan kehakiman, karena kedudukannya yang bebas dan bertanggungjawab, tidaklah boleh Hakim menyalahgunakan kedudukannya yang bebas itu. Karena hakim terikat pada syarat-syarat tertentu yang harus diindahkannya saat menunaikan tugasnya. Syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku, untuk memberi jaminan-jaminan bagi suatu penyelenggaraan peradilan yang layak dan adil. Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandirian atau kemerdekaan. Dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman. Hakim bebas dari campur tangan kekuasaan, bersih dan berintegritas serta profesional. Pada hakikatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan dalam mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hakim bukan hanya sekedar berperan memantapkan kepastian hukum, melainkan juga keadilan hukum. Sehingga setiap Hakim bersifat spiritual. Secara lahiriah, terdapat tanggung jawab hakim secara batiniah, Bertanggungjawab pada hukum, diri sendiri dan kepada rakyat, serta lebih jauh pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam merumuskan tujuan hukum yang sesungguhnya, tidak dirumuskan dalam kata-kata, tetapi dipahami dan dihayati, karena bersumber pada hati nurani manusia (Bakhri, 2016: 27). Habis. Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Rezim Bani Berudu Bengak Buyan & Lolo
by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN – Setelah itu kalian akan dipimpin oleh para penguasa yang berkata bukan berdasar landasan ilmu, dan berbuat bukan berdasar landasan ilmu. Barang siapa menjadi penasihat mereka, pembantu mereka, dan pendukung mereka, berarti ia telah binasa dan membinasakan orang lain. Hendaklah kalian bergaul dengan mereka secara fisik. Namun janganlah perbuatan kalian mengikuti kelakuan mereka. Persaksikan siapa yang berbuat baik diantara mereka sebagai orang yang berbuat baik, dan orang yang berbuat buruk diantara mereka sebagai orang yang berbuat buruk. (HR. Ath-Thabrani, Silsilah al-Ahadits al-Shahihah no. 457) Orang Palembang menyebut penguasa, penasihat, pembantu dan pendukung mereka seperti diungkap dalam hadits di atas sebagai bengak, buyan dan lolo, yang disingkat BBL. "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (QS. al-An'am: 44) Dalam tafsir al-Madinah al-Munawwarah/Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, Professor Fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah menjelaskan ayat di atas: فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ (Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka). Yakni meninggalkan kesadaran setelah peringatan dengan kemiskinan dan kemelaratan dan mereka malah berpaling dari peringatan tersebut. فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوٰبَ كُلِّ شَىْءٍ (Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka) Kami memberi mereka istidraj (jebakan berupa limpahan rezeki karena bermaksiat) dengan membuka pintu-pintu kenikmatan bagi mereka. حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ (sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka) Berupa kenikmatan-kenikmatan dengan berbagai jenisnya, lalu mereka merasa senang dan penuh keangkuhan dan kesombongan serta merasa bahwa mereka diberi kenikmatan karena kekafiran mereka merupakan jalan yang benar. أَخَذْنٰهُم بَغْتَةً (Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong) Yakni dengan tiba-tiba, dan mereka tidak menyangka kedatangannya. فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ (maka ketika itu mereka terdiam berputus asa) Yakni sedih dan putus asa dari hal yang baik karena buruknya keadaan yang menimpa mereka. Rezim bani berudu sedang mendapat istidraj, salahsatunya kekuasaan yang mereka peroleh hari ini karena kemaksiatan mereka. Tiba-tiba mata mereka terbelalak karena buruknya keadaan yang bakal menimpa mereka. Wallahua'lam bish-shawab. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.
Hati-Hati, GAR ITB Menyerempet Isu SARA
ADA yang menduga Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni ITB adalah “mainan” yang sengaja diciptakan untuk mengacaukan ketenangan di kampus. Ada kelompok kecil orang dengan latar belakang etnis dan agama tertentu yang dijadikan pion-pion pengacau. Akhir-akhir ini mereka mempersoalkan kemenonjolan aktivitas dan peranan civitas academica yang berlatar belakang Islam. Ini sangat berbahaya. Tidak pernah ada persoalan di antara semua orang dari latar belakang apa pun, selama ini. Jumlah civitas academica Institus Teknologi Bandung (ITB) mayoritas adalah warga muslim. Baik di kalangan dosen maupun mahasiswa. Tentu tidak ada masalah dengan proporsi ini. Sebagian besar perguruan tinggi, baik PTN (perguruan tinggi negeri) maupun PTS (perguruan tinggi swasta), pastilah memiliki fakta demografi (kependudukan) yang sama seperti di ITB. Sebab, memang seperti itulah fakta kependudukan Indonesia. Inilah statistik proporsional yang tak terelakkan. Adalah fakta juga bahwa warga muslim menyandang keperluan-keperluan relijiusitas yang khusus selama mereka berada di lingkungan kampus. Misalnya, mereka memerlukan masjid atau surau. Mereka melaksanakan kegiatan pengajian di masjid maupun surau. Banyak pula yang harus melaksanakan berbagai aktivitas bersama (berjemaah) pada bulan Ramadan di masjid kampus termasuk berbuka puasa, dll. Rata-rata dalam implementasi keperluan khusus itu, para civitas academica muslim di mana pun juga nyaris tidak pernah mengalami masalah dengan sesama warga kampus yang non-muslim. Selama puluhan tahun telah terbangun pengertian di antara segenap komponen non-muslim di kampus-kampus tentang keperluan khusus relijiusitas dimaksud. Selama puluhan tahun itu pula tidak pernah ada gesekan yang bernuansa SARA. Pengertian yang terbangun itu sangat sesuai dengan dasar negara Indonesia –Pancasila. Negara ini memang bukan negara agama. Tetapi negara ini harus diisi oleh orang-orang yang memegang sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Para pendiri negara ini bersepakat bahwa KYME merupakan sila terpenting yang harus mendasari proses pembangunan bangsa di segala aspek. Bagi warga muslim, KYME itu adalan pelaksanaan ibadan sholat lima kali dalam sehari. Kalau KYME biasa disebut sebagai esensi Pancasila, maka sholat lima waktu sehari adalah esensi KYME itu. Untuk tetap bisa menjaga esensi Ketuhanan itu, diperlukanlah tempat sholat yang layak dan nyaman. Secara historis, tempat sholat inilah yang menjadi bagian integral dari kegiatan akademik sejak awal-awal Indonesia mengenal pendidikan tinggi modern. Masjid-masjid kampus boleh dikatakan sama usianya dengan perguruan tinggi setempat. Sesuatu yang telah integral sifatanya berdasarkan fakta demografis dan faktor filosofis (Pancasila), tentunya sudah menjadi baku dengan sendirinya di kampus-kampus. Belakangan ini berkembang sesutau yang terasa sangat tidak natural. Ada elemen-elemen yang mencoba mengutak-atik “kesepakatan” historis ini. Dan cara mereka mempersoalkan fakta sejarah ini sangatlah tendensius. Cara itulah yang sedang dipresentasikan oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). GAR masuk melalui isu yang sangat seksi saat ini. Yaitu, radikalisme. Isu ini tidak saja seksi tetapi juga sensitif bagi kaum muslimin. Sebab, di tengah gelombang islamofobia akhir-akhir ini, GAR “menembak” Prof Din Syamsuddin dengan tudingan radikalisme. Tetapi, akal sehat yang ada di semua pihak membuat pembunuhan karakter (character assassination) terhadap Pak Din tidak berhasil. Tidak ada pihak yang memberikan peluang kepada GAR ITB. Tentu ini bukan karena faktor Din Syamsuddin sendiri yang terbukti bukan seorang radikal seperti ditudingkan oleh gerakan alumni itu, melainkan juga karena semua pihak memahami fakta domografis dan fakta historis bangsa ini. Penolakan terhadap argumentasi GAR ITB tentang Pak Din merupakan isyarat bahwa mereka adalah gerombolan yang sangat berbahaya. Semua pihak memahami bahwa jika skenario gerombolan ini dibiarkan, maka akan terbuka kemungkinan munculnya percikan konflik SARA yang tak perlu terjadi. Kalaulah pembunuhan karakter Din Syamsuddin sukses, GAR ITB diperkirakan akan menulari kampus-kampus lain. Sengaja atau tidak, sangat mungkin akan berlangsung orkestrasi kegaduhan yang berpunca dari fakta demografis dan historis kampus-kampus Indonesia yang selama ini sudah sangat lazim dengan keperluan khusus para civitas academica (dosen dan mahasiswa). GAR ITB tidak hanya mempersoalkan “keradikalan” Pak Din, tetapi juga program Beasiswa Perintis 2021 yang diberikan oleh perusahaan kosmetik Wardah produksi Paragon milik Nuhayati Subakat –salah seorang anggota Majelis Wali Amanat (MWA) ITB. Program beasiswa ini bekerja sama dengan pengelola Masjid Salman ITB. GAR mencecar habis soal ini. Mereka mempertanyakan mengapa beasiswa itu diberikan kepada para calon mahasiswa muslim saja. Melihat latarbelakang para inisiator GAR ITB, tak salah kalau orang menyimpulkan kelompok alumni itu berangkat dari niat buruk. Lagi-lagi, masalah ini sangat peka (sensitif) dari kaca mata hubungan antargolongan. Jadi, dari dua hal di atas, patut diduga GAR ITB telah menyiapkan misi yang menyerempet isu-isu SARA. Semua pihak harus berhati-hati.
Pertarungan Kejagung Versus KPK?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Tentu aneh jika dua lembaga penegak hukum ditempatkan pada posisi saling bertarung. Akan tetapi jika kekuasaan politik ikut menentukan penegakan hukum, maka bukan mustahil antar lembaga penegak hukum tersebut pun dapat saling berkompetisi bahkan berkonfrontasi. Kepentingan politik yang tampil memperalat hukum. Kejaksaan Agung (Kejagung) yang memiliki ruang lingkup penyelidikan luas, termasuk kasus korupsi. Sementara Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) khusus untuk mengusut kasus-kasus korupsi. Batas pilihan penanganan oleh Kejaksaan maupun KPK ternyata tipis-tipis saja. Korupsi dengan nilai di bawah satu miliar memang ditangani Polisi dan Kejaksaan. Sementara KPK tugasnya melakukan pengawasan dan supervisi terhadap penangan korupsi yang dilakukan Polisi dan Kejaksaan. Perpres Nomor 102 tahun 2020 memberi kewenangan kepada KPK mengambil alih penanganan korupsi untuk keadaan tertentu. Jadi, dalam kondisi PKP berwewenang untuk mengambi alih tugas-tugas Kejaksaan dan Polisi, khususnya kasus-kasus korupsi. Kejaksaan juga dapat menangani kasus korupsi yang di atas satu milyar rupiah. Kini saja Kejagung menangani kasus korupsi Jiwasraya dengan angka kerugian negara Rp 16,81 triliun. Sementara kasus PT Asabri mencapai Rp 23,73 triliun. Kejagung pun didorong untuk mengusut dana BPJS Ketenagakerjaan yang ditaksir senilai Rp 43 trilyun. Kenapa tidak KPK ya? Ada apa dengan KPK? KPK melalui Dewan Pengawas adalah "tangan Presiden" sementara Kejaksaan dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah "milik PDIP". Sebelumnya Jaksa Agung itu kepanjangan tangan Partai Nasdem. Disinilah akar pertarungan bermula. Ada nuansa politik meski samar. Begitu keras perebutan antara Nasdem dengan PDIP soal Jaksa Agung saat penyusunan kabinet dahulu. Nasdem ngotot mempertahankan posisi Jaksa Agung untuk kadernya HM. Prasetyo. Namun PDIP tidak mundur setengah incipun untuk menguasai posisi Jaksa Agung. Nasdem sedikit mengalah, dengan opsi tetap di posisi Jaksa Agung untuk kurun waktu satu sampai dua tahun. Tetapi PDIP tetap ngotot untuk ambil Jaksa Agung, sehingga jadilah ST Burhanuddin, adik dari TB Hasanudin. Kasus Jiwasraya sangat menohok Istana. Demikian juga dengan Asabri. Karenanya Istana melalui KPK "membalas" dengan mengusut kader PDIP Harun Masiku dalam kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sebenarnya sudah merembet ke petinggi PDIP yang lain. Hanya saja dengan hilangnya Harun Masiku, membuat terhenti rembetan tersebut. Misteri besar dari muncul dari kasus ini Harun Masiku tersebut. Istana menyerang terus PDIP melalui kasus bantuan Sosial (Bansos) yang membawa penangkapan dan proses hukum Mensos Juliari Peter Batubara, kader PDIP. Selain Juliari Batubara, sejumlah kader dan petinggi PDIP yang lain kemungkinan besar bakalan terseret kasus korupsi Bansos tersebut. Melalui kesaksian dalam pemeriksaan kasus korupsi Bansos disebut, keterlibatan lingkungan Istana "Anak Pak Lurah" lalu sodokan lagi menuju "Madam" dari PDIP. Proses hukum masih berjalan, hanya belum terkuak rinci sampai kepada "Anak Pak Lurah" maupun "Madam". Publik menduga bargaining politik bisa saja terjadi. Konsekuensi jika penegakan hukum berada di bawah bayang-bayang politik. Jika akur, tentu Kejaksaan dalam proses pengusutan Jiwasraya, Asabri, maupun BPJS Ketenagakerjaan semestinya melibatkan KPK. Namun dalam prakteknya, Kejaksaan berjalan sendiri. Karenanya wajar timbul kecurigaan tersebut. Dalam kasus mega korupsi ketiga institusi di atas, mudah dipastikan akan keterlibatan kekuasaan. Tetapi dalam menarik keterlibatan lingkungan istana sangat minim. Disini terkesan ada "tarik ulur" dan "tekan menekan". Bangsa dan rakyat Indonesia berharap KPK dan Kejaksaan bisa melepaskan kepentingan politik yang mendasari kerja keduanya. Bahkan satu dengan lain seharusnya dapat bekerjasama. Jika berlomba pun dalam rangka berprestasi untuk membongkar dan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Bukan menjadi alat untuk "bargaining politik". Rakyat bertanya-tanya, sampai kapan Kejagung akan bertarung dengan KPK? Sebab justru yang dirugikan adalah rakyat. Uangnya telah dirampok habis oleh para penjahat besar dari kalangan penguasa dan penguasa. Koruptor, terminator, dan predator. Pepatah menyatakan gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati ditengahnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Menanggapi Tulisan Bernada Buzzer Penghina Kwik Kian Gie
by Anthony Budiawan Jakarta, FNN - Saya menerima tulisan di Whatsapp pada 10 Februari 2021 dengan judul “Koko Kwik Mengecewakan, Kalah Debat Dengan Yustinus Malah Ngadu Sama Rocky Gerung”. Penulis mengaku bernama Jaya Wijaya. Saya belum pernah mendengar nama tersebut, apalagi terkait ekonomi. Juga tidak pernah membaca tulisannya, apalagi tentang ekonomi. Saya coba search nama Jaya Wijaya di google. Yang keluar gunung Jaya Wijaya. Ada akun twitter atas nama jayawijaya @jayawija dengan 1 following dan 2 followers. Artinya, Jaya Wijaya termasuk orang misterius. Akun seperti ini menulis, mengomentari dan mempersekusi Kwik Kian Gie. Membela Prastowo dan memuji setinggi langit. Ada apa? Dari nada tulisannya, saya ragu Jaya Wijaya (seandainya eksis) adalah seorang ekonom. Jaya Wijaya terkesan buzzer, menulis dengan kata kasar, terkesan memaki-maki dan menghina Kwik. Jaya Wijaya menulis mengenai “debat” ekonomi antara Kwik Kian Gie dengan Yustinus Prastowo, “staf ahli Kemenkeu alias anak buah Sri Mulyani” katanya. “Debat” tersebut terkait tulisan Kwik yang katanya dimuat idxchannel .com. Sensasional. Pembicaraan di twitter dianggap “debat”. Padahal hanya perbincangan medsos saja. Saya tidak yakin Kwik menanggapinya dengan serius, paling hanya basa-basi saja. Menurut Jaya Wijaya, Kwik sebelumnya mengatakan obligasi pemerintah Indonesia saat ini laris manis karena pemerintah berani bayar bunga tinggi. Prastowo membantah pendapat Kwik, sambil terkesan mau memberi kuliah. Mungkin mau memberi kesan pinter sambil merendahkan orang lain. Dalam obligasi dikenal yield atau imbal hasil, katanya. Prastowo menunjukkan data imbal hasil obligasi pemerintah termasuk rendah jika dibandingkan dengan negara (lainnya: tambahan dari saya karena kalimat terputus), tulis orang gaib Jaya Wijaya. Tidak jelas dibandingkan negara mana karena tidak ada data di dalam tulisan Jaya Wijaya. “Data tersebut menunjukkan yield dari SBN Indonesia turun dari 4,38 persen pada Oktober 2020 menjadi 4,14 persen pada Januari 2021”. Dengan data tersebut, Prastowo berpendapat investor membeli obligasi pemerintah Indonesia karena percaya, meskipun imbal hasilnya rendah. Artinya pendapat Kwik salah, dan patut dipersekusi. Itu salah satu kebiasaan Prastowo kalau di medsos. Yang penting persekusi dulu. Jaya Wijaya juga menuduh Kwik baper. Kwik secara sopan dan rendah hati mengutarakan keheranannya kenapa Prastowo menganggap Kwik mengkritik pemerintah. Padahal sebelumnya Kwik mengatakan bahwa utang besar tidak masalah karena bisa dibayar dengan menerbitkan obligasi lagi. Keheranan Kwik ini membuat persekusi semakin menjadi-jadi. “Debat” antara Prastowo dengan Kwik diramaikan oleh pendukung Jokowi. “Wajar saja, namanya media sosial, jangan baper” kata Jaya Wijaya dengan nada terkesan menghina. Jaya Wijaya menambahkan Kwik sekarang banyak bergaul dengan kadrun, otomatis opini tercemar kadrun dan menganggap buzzer itu bayaran pemerintah. Karena Prastowo adalah orang pemerintahan juga, maka dituduhlah dia macam-macam oleh Kwik. Selain itu, Jaya Wijaya menulis mengenai ketakutan Kwik mengkritik pemerintah, menyinggung mental dan otak Kwik terguncang. “Kalah hanya oleh staf kemenkeu. Bagaimana kalau debat dengan Sri Mulyani ya?”, katanya. Jaya Wijaya juga menuduh Kwik sekarang payah karena bergaul dengan antara lain Rocky Gerung. Dengan nada menghina, Jaya Wijaya mengatakan Kwik adalah bukan “naga gurun”, tapi “ular gurun” atau “cacing gurun”. Saya ingin menanggapi tulisan Jaya Wijaya. 1. Obligasi negara jangka menengah dan panjang mempunyai bunga kupon. Kalau obligasi jangka pendek (treasury bills) melalui diskonto. Pada saat penawaran perdana, bunga kupon ini kurang lebih sama dengan yield-to-maturity (YTM), dan ini yang relevan bagi Investor obligasi di pasar perdana. Yang dimaksud dengan “pemerintah menawarkan bunga tinggi” artinya menawarkan kupon tinggi. Sampai di sini paham? Kwik tidak membicarakan yield. 2. Di dalam perjalanannya, harga obligasi berubah (tidak sama dengan par value), disebabkan antara lain perubahan suku bunga acuan, inflasi (deflasi), dan lainnya. Perubahan harga obligasi membuat perhitungan (matematis) yield obligasi juga berubah. Perubahan harga dan yield hanya relevan bagi investor baru di pasar sekunder. Bagi investor yang beli obligasi di pasar perdana, perubahan harga obligasi dan yield tidak relevan, karena YTM sama. Semoga Prastowo dan Jaya Wijaya paham. 3. Ketika resesi, yield obligasi turun. Bukan hanya obligasi Indonesia, tetapi juga obligasi negara lain. Apakah yield obligasi pemerintah Indonesia lebih rendah dari negara lainnya, misalnya ASEAN-6 (Indonesia, Singapore, Malaysia, Philipina, Thailand dan Vietnam), seperti di-klaim oleh Prastowo? 4. Seorang ekonom seharusnya tahu, yield obligasi sangat tergantung dari suku bunga acuan bank sentral. Sedangkan suku bunga acuan di Indonesia merupakan salah satu tertinggi di ASEAN-6, sehingga bagaimana mungkin yield obligasinya lebih rendah? Untuk ini, kita tidak perlu data yield obligasi. Insting ekonom sudah harus tahu itu. 5. Suku bunga acuan di Indonesia 3,75 persen, Singapore mendekati 0,25 persen, Malaysia 1,75 persen, Thailand 0,5 persen, Philipina 2 persen, Vietnam 4 persen. Yang menarik Vietnam. Meskipun suku bunga acuannya lebih tinggi dari Indonesia tetapi yield obligasi pemerintah Vietnam jauh lebih rendah dari Indonesia. 6. Selain itu, suku bunga pinjaman di Indonesia juga tertinggi di ASEAN-6. Karenanya, yang mengatakan yield obligasi Indonesia lebih baik dari ASEAN-6 akan ditertawakan karena menunjukkan kebodohan dan ketidaktahuan. 7. Menurut data World Government Bonds, yield obligasi pemerintah Indonesia (10Y) merupakan yang tertinggi di ASEAN-6 pada 17/02/21 (lihat gambar), dan salah satu tertinggi di dunia. 8. Prastowo mau disandingkan dengan Kwik Kian Gie? Yang benar saja. Apakah masih sehat? Apa prestasi Prastowo selama ini? Baru menjabat staf khusus Kemenkeu beberapa bulan sudah mau diagungkan dan disandingkan dengan tokoh ekonom terkemuka Kwik Kian Gie yang sangat sederhana dan rendah hati, yang sudah dikenal dan dihormati di seluruh tanah air? Hanya alam pikiran buzzer yang bisa berpikir seperti itu. Orang normal tidak akan bisa memelihara ilusi kelas dewa ini. 9. Kwik Kian Gie tidak perlu membuktikan kehebatannya lagi di Indonesia. Rekam jejaknya sudah banyak dan dikenal secara luas. Beliau tidak mengomentari bukan berarti kalah “debat”. Beliau tidak mau menghabiskan energi untuk meladeni alam pikiran buzzer. 10. Saya kira banyak tokoh yang tidak akan mundur dan mau mewakilkan Kwik Kian Gie untuk berdebat ekonomi dalam arti luas baik dengan Yustinus Prastowo maupun atasannya. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)